Anda di halaman 1dari 32

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Farmasi Rumah Sakit


Dosen Pengampu: Drs. Saroja., Sp.FRS.,Apt

Disusun oleh :
Fajar Indah Rahayu Ningsih

(1061521034)

Indranila

(1061521042)

Rahmad Aprianto

(1061521065)

Safana Asri Widyaningsih

(1061521073)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI YAYASAN PHARMASI
SEMARANG
2016

1. Apa Saja Pelayanan Farmasi Klinik yang dikembangkan dari unit


produksi internal?
Berdasarkan Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia NO 58 Tahun
2014 Tentang STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI RUMAH
SAKIT
1. Dispensing Sediaan Steril
Dispensing sediaan steril harus dilakukan di Instalasi Farmasi Rumah
Sakit dengan teknik aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan
melindungi petugas dari paparan zat berbahaya serta menghindari terjadinya
kesalahan pemberian Obat. Dispensing sediaan steril bertujuan:
menjamin agar pasien menerima Obat sesuai dengan dosis yang dibutuhkan;
a. menjamin sterilitas dan stabilitas produk;
b. melindungi petugas dari paparan zat berbahaya; dan
c. menghindari terjadinya kesalahan pemberian Obat.
Kegiatan dispensing sediaan steril meliputi :
1) Pencampuran Obat Suntik
Melakukan pencampuran Obat steril sesuai kebutuhan pasien yang
menjamin kompatibilitas dan stabilitas Obat maupun wadah sesuai dengan dosis
yang ditetapkan. Kegiatan:
a. mencampur sediaan intravena ke dalam cairan infus;
b. melarutkan sediaan intravena dalam bentuk serbuk dengan pelarut yang
sesuai; dan
c. mengemas menjadi sediaan siap pakai.

Faktor yang perlu diperhatikan:


a. ruangan khusus;
b. lemari pencampuran Biological Safety Cabinet; dan
c. HEPA Filter.
2) Penyiapan Nutrisi Parenteral
Merupakan kegiatan pencampuran nutrisi parenteral yang dilakukan oleh
tenaga yang terlatih secara aseptis sesuai kebutuhan pasien dengan menjaga
stabilitas sediaan, formula standar dan kepatuhan terhadap prosedur yang
menyertai. Kegiatan dalam dispensing sediaan khusus:
a. mencampur sediaan karbohidrat, protein, lipid, vitamin, mineral untuk
kebutuhan perorangan; dan
b. mengemas ke dalam kantong khusus untuk nutrisi.
Faktor yang perlu diperhatikan:
a. tim yang terdiri dari dokter, Apoteker, perawat, ahli gizi;
b. sarana dan peralatan;
c. ruangan khusus;
d. lemari pencampuran Biological Safety Cabinet; dan
e. kantong khusus untuk nutrisi parenteral.
3) Penanganan Sediaan Sitostatik
Penanganan sediaan sitostatik merupakan penanganan Obat kanker secara
aseptis dalam kemasan siap pakai sesuai kebutuhan pasien oleh tenaga farmasi
yang terlatih dengan pengendalian pada keamanan terhadap lingkungan, petugas
maupun sediaan obatnya dari efek toksik dan kontaminasi, dengan menggunakan

alat pelindung diri, mengamankan pada saat pencampuran, distribusi, maupun


proses pemberian kepada pasien sampai pembuangan limbahnya. Secara
operasional dalam mempersiapkan dan melakukan harus sesuai prosedur yang
ditetapkan dengan alat pelindung diri yang memadai. Kegiatan dalam penanganan
sediaan sitostatik meliputi:
a. melakukan perhitungan dosis secara akurat;
b. melarutkan sediaan Obat kanker dengan pelarut yang sesuai;
c. mencampur sediaan Obat kanker sesuai dengan protokol pengobatan;
d. mengemas dalam kemasan tertentu; dan
e. membuang limbah sesuai prosedur yang berlaku.
Faktor yang perlu diperhatikan:
1. ruangan khusus yang dirancang dengan kondisi yang sesuai;
2. lemari pencampuran Biological Safety Cabinet;
3. HEPA filter;
4. Alat Pelindung Diri (APD);
5. sumber daya manusia yang terlatih; dan
6. cara pemberian Obat kanker.
Persyaratan Ruang dan Sarana yang harus dipenuhi
1. Ruang produksi;
Persyaratan bangunan untuk ruangan produksi harus memenuhi kriteria:
a) Lokasi :Lokasi jauh dari pencemaran lingkungan (udara, tanah dan air
tanah).

b) Konstruksi :Terdapat sarana perlindungan terhadap: (1) Cuaca;(2) Banjir;


(3) Rembesan air; (4) Binatang/serangga
c) Rancang bangun dan penataan gedung di ruang produksi harus memenuhi
kriteria: (1) Disesuaikan dengan alur barang, alur kerja/proses, alur
orang/pekerja. (2) Pengendalian lingkungan terhadap: (a) Udara; (b)
Permukaan langit-langit, dinding, lantai dan peralatan/sarana lain; (c)
Barang masuk; (d) Petugas yang di dalam. (3) Luas ruangan minimal 2
(dua) kali daerah kerja + peralatan, dengan jarak setiap peralatan minimal
2,5 m; (4) Di luar ruang produksi ada fasilitas untuk lalu lintas petugas dan
barang.
d) Pembagian ruangan
(1) Ruang terpisah antara Obat jadi dan bahan baku;
(2) Ruang terpisah untuk setiap proses produksi;
(3) Ruang terpisah untuk produksi Obat luar dan Obat dalam;
(4) Gudang terpisah untuk produksi antibiotik (bila ada);
(5) Tersedia saringan udara, efisiensi minimal 98%;
(6) Permukaan lantai, dinding, langit-langit dan pintu harus: (a) Kedap air;
(b)

Tidak

terdapat

sambungan;(c)

Tidak

merupakan

media

pertumbuhan untuk mikroba; (d) Mudah dibersihkan dan tahan


terhadap bahan pembersih/desinfektan.e) Daerah pengolahan dan
pengemasan; Hindari bahan dari kayu, kecuali dilapisi cat
epoxy/enamel;

(7) Persyaratan ruangan steril dan nonsteril harus memenuhi kriteria Cara
Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) untuk: (a) Ventilasi ruangan; (b)
Suhu; (c) Kelembaban; (d) Intensitas cahaya. (3) Pemasangan instalasi
harus sesuai kriteria CPOB untuk: (a) Pipa saluran udara; (b) Lampu; (c)
kabel dan peralatan listrik.
2. Ruang Aseptic Dispensing
Ruang aseptic dispensing harus memenuhi persyaratan:
a) Ruang bersih : kelas 10.000 (dalam ` Laminar Air Flow = kelas 100)
b) Ruang/tempat penyiapan : kelas 100.000
c) Ruang antara : kelas 100.000
d) Ruang ganti pakaian : kelas 100.000
e) Ruang/tempat penyimpanan untuk sediaan yang telah disiapkan:
Tata ruang harus menciptakan alur kerja yang baik sedangkan luas
ruangan disesuaikan dengan macam dan volume kegiatan. Ruang
aseptic dispensing harus memenuhi spesifikasi:
a) Lantai: Permukaan datar dan halus, tanpa sambungan, keras, resisten
terhadap zat kimia dan fungi, serta tidak mudah rusak.
b) Dinding: (1) Permukaan rata dan halus, terbuat dari bahan yang keras,
tanpa sambungan, resisten terhadap zat kimia dan fungi, serta tidak
mudah rusak; (2) Sudut-sudut pertemuan lantai dengan dinding dan
langit-langit

dengan dinding dibuat melengkung dengan radius 20

30 mm; (3) Colokan listrik datar dengan permukaan dan kedap air dan
dapat dibersihkan.

c) Plafon :Penerangan, saluran dan kabel dibuat di atas plafon, dan lampu
rata dengan langit-langit/plafon dan diberi lapisan untuk mencegah
kebocoran udara.
d) Pintu:Rangka terbuat dari stainles steel. Pintu membuka ke arah ruangan
yang bertekanan lebih tinggi.
e) Aliran udara : Aliran udara menuju ruang bersih, ruang penyiapan, ruang
ganti pakaian dan ruang antara harus melalui HEPA filter dan memenuhi
persyaratan kelas 10.000. Pertukaran udara minimal 120 kali per jam.
f) Tekanan udara: Tekanan udara di dalam ruang bersih adalah 15 Pascal lebih
rendah dari ruang lainnya sedangkan tekanan udara dalam ruang
penyiapan, ganti pakaian dan antara harus 45 Pascal lebih tinggi dari
tekanan

udara luar.

g) Temperatur:Suhu udara diruang bersih dan ruang steril, dipelihara pada


suhu 16 25 C.
h) Kelembaban :1) Kelembaban relatif 45 55%; 2) ruang bersih, ruang
penyangga, ruang ganti pakaian steril dan ruang ganti pakaian kerja
hendaknya mempunyai perbedaan tekanan udara 10-15 pascal. Tekanan
udara dalam ruangan yang mengandung risiko lebih tinggi terhadap
produk hendaknya selalu lebih tinggi dibandingkan ruang sekitarnya.
Sedangkan ruang bersih penanganan sitostatika harus bertekanan lebih
rendah dibandingkan ruang sekitarnya.

3. Laboratorium Farmasi.
Dalam hal Instalasi Farmasi melakukan kegiatan penelitian dan
pengembangan yang membutuhkan ruang laboratorium farmasi, maka
harus memenuhi syarat sebagai berikut: a) Lokasi; 1) Lokasi terpisah dari
ruang produksi; 2) Konstruksi bangunan dan peralatan tahan asam, alkali,
zat kimia dan pereaksi lain (harus inert); aliran udara, suhu dan kelembaban
sesuai persyaratan.
4. Ruang Produksi Non Steril
5. Ruang Penanganan Sediaan Sitostatik
6.Ruang Pencampuran/Pelarutan/Pengemasan Sediaan Yang Tidak Stabil
7. Ruang Penyimpanan Nutrisi Parenteral
2. Kriteria Obat apa saja yang bisa di produksi internal rumah sakit dan
berikan contoh obatnya
Berdasarkan Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia NO 58 Tahun
2014 Tentang STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI RUMAH
SAKIT
Produksi Sediaan Farmasi
Instalasi Farmasi Rumah Sakit dapat memproduksi sediaan tertentu apabila:
1) Sediaan Farmasi tidak ada di pasaran; contoh: kapsul NaCl 500 mg,
Aquapro irigasi.
2) Sediaan Farmasi lebih murah jika diproduksi sendiri. Conroh: pembuatan
OBH dan OBP

3) Sediaan Farmasi dengan formula khusus. contoh: alkohol 70%, ekstrak


alergen di RS. DR. SOETOMO Surabaya. Sirup tetrahidrat
4) Sediaan Farmasi dengan kemasan yang lebih kecil/repacking;contoh:
pemngemasan ulang povidon iodin 10 cc
5) Sediaan Farmasi untuk penelitian. Contoh: mengetahui efek terapi dan efek
samping dari penggunaan citerizin dan CTM (dibandingkan dalm bentuk
yang sama)
6) Sediaan Farmasi yang tidak stabil dalam penyimpanan/harus dibuat baru
(recenter paratus). Contoh: Lotio Kumerferdi
3. Apa Saja yang perlu disiapakan Instalasi bila akan membuka PIO
Berdasarkan Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia NO 58 Tahun
2014 Tentang STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI RUMAH
SAKIT
Pelayanan Informasi Obat (PIO)

merupakan kegiatan penyediaan dan

pemberian informasi, rekomendasi Obat yang independen, akurat, tidak bias,


terkini dan komprehensif yang dilakukan oleh Apoteker kepada dokter,
Apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di
luar Rumah Sakit.
PIO bertujuan untuk:
a. menyediakan informasi mengenai Obat kepada pasien dan tenaga kesehatan
di lingkungan Rumah Sakit dan pihak lain di luar Rumah Sakit;

b. menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan


dengan Obat/Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai, terutama bagi Tim Farmasi dan Terapi;
c. Menunjang penggunaan Obat yang rasional.
Kegiatan PIO meliputi:
a. menjawab pertanyaan;
b. menerbitkan buletin, leaflet, poster, newsletter;
c. menyediakan informasi bagi Tim Farmasi dan Terapi sehubungan dengan
penyusunan Formularium Rumah Sakit;
d. bersama dengan Tim Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS)
melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat inap;
e. melakukan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga kefarmasian dan tenaga
kesehatan lainnya; dan
f. melakukan penelitian.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam PIO:
a. sumber daya manusia;
b. tempat; dan
c. perlengkapan.
Pelayanan Informasi Obat dilakukan di ruang tersendiri dengan dilengkapi
sumber informasi dan teknologi komunikasi, berupa bahan pustaka dan
telepon. Pada saat melakukan PIO dapat dibantu dengan menggunakan
website dari http://pio.binfar.depkes.go.id/

4. Kebutuhan Informasi Apa Saja yang harus ada pada tahap Perencanaan
dan Penyimpanan Obat
Berdasarkan Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia NO 58 Tahun
2014 Tentang STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI RUMAH
SAKIT
Tahap Perencanaan
Perencanaan Kebutuhan
Perencanaan kebutuhan merupakan kegiatan untuk menentukan jumlah dan
periode pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin terpenuhinya
kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan efisien. Perencanaan
dilakukan untuk menghindari kekosongan Obat dengan menggunakan metode
yang dapat dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah
ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi
dan epidemiologi dan disesuaikan dengan anggaran yang tersedia.
Pedoman perencanaan harus mempertimbangkan:
a. anggaran yang tersedia;
b. penetapan prioritas;
c. sisa persediaan;
d. data pemakaian periode yang lalu;
e. waktu tunggu pemesanan; dan siklus penyakit

f. rencana pengembangan.
Berdasarkan Management Of Drugs at Healh Centre Level, WHO 2014
informasi yang perlu diperhatian pada saat melakukan perencanaan
diantarnaya:
1. Kriteria pemilihan obat
Beberapa kriteria yang digunakan dalam memilih obat dan bentuk sediaan
adalah sebagai berikut:

memilih obat dan bentuk sediaan yang terjangkau dan hemat biaya
sehingga dapat mengoptimalkan sumber daya keuangan;

memilih obat yang tersedia untuk pengobatan yang paling umum dari
suatu

penyakit dan dapat tersedia di tingkat pelayaan primer sampai

tersier;

berkualitas baik, aman, dan efektif

2. Prosedur yang diterapkan dalam perencanaan obat meliputi:

Memperkirakan Jumlah setiap produk obat yang diperlukan untuk


suatu periode tertentu,

Mencari tahu harga dan bentuk sediaan obat yang berbeda,

Prioritas sifat bentuk obat dan dosis,

keuangan tersedia.

2. Estimasi kebutuhan obat


Estimasi bentuk obat dan dosis yang diperlukan untuk suatu periode
tertentu dilakukan agar: menghindari kekurangan (out of stock) dan
memastikan layanan kesehatan yang kredibel dan Untuk mencegah

kelebihan stok dan menghindari pemborosan (kehilangan atau salah


mengurus sumber daya keuangan).
4. Menentukan jenis obat dan jumlah yang dibutuhkan
Faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan dan Jumlah obat meliputi:

pola Penyakit,

variasi musim dalam pola penyakit,

tingkat konsumsi obat.

Pengetahuan tentang jumlah masing-masing bentuk sediaan yang


dikonsumsi, secara teratur.

Jumlah klien (pasien) mengunjungi pusat kesehatan

5. Lead waktu
Hal ini penting untuk menetapkan berapa lama waktu yang dibutuhkan
untuk obat sampai dan dan ditermia oleh rumah sakit. untuk menjamin
bahwa obat tersebut tidak kehabisan stok. Periode ini disebut pengiriman
atau lead time. Pengiriman dapat terjadi sehari, seminggu atau bahkan
berbulan-bulan. waktu pengiriman mungkin lebih dari dua bulan karena
alasan berikut:

kondisi jalan yang buruk, terutama di musim hujan,

Kondisi tidak ada kendaraan untuk pengiriman,

tidak tersediannya obat yang dibutuhkan

Tingkat Konsumsi obat

6. Perencanaan kebutuhan Obat dapat menggunakan metode konsumsi atau


morbidity

UN
HCR Drug Management manual, 2006
Tahap Penyimpanan
Berdasarkan Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia NO 58 Tahun
2014 Tentang STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI RUMAH
SAKIT
Setelah barang diterima di Instalasi Farmasi perlu dilakukan penyimpanan
sebelum dilakukan pendistribusian. Penyimpanan harus dapat menjamin kualitas
dan keamanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sesuai dengan persyaratan kefarmasian. Persyaratan kefarmasian yang dimaksud
meliputi persyaratan stabilitas dan keamanan, sanitasi, cahaya, kelembaban,

ventilasi, dan penggolongan jenis Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai.
Komponen yang harus diperhatikan antara lain:
a. Obat dan bahan kimia yang digunakan untuk mempersiapkan Obat
diberi label yang secara jelas terbaca memuat nama, tanggal pertama
kemasan dibuka, tanggal kadaluwarsa dan peringatan khusus;
b. elektrolit konsentrasi tinggi tidak disimpan di unit perawatan kecuali
untuk kebutuhan klinis yang penting;
c. elektrolit konsentrasi tinggi yang disimpan pada unit perawatan pasien
dilengkapi dengan pengaman, harus diberi label yang jelas dan
disimpan pada area yang dibatasi ketat (restricted) untuk mencegah
penatalaksanaan yang kurang hati-hati; dan
d. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang
dibawa oleh pasien harus disimpan secara khusus dan dapat
diidentifikasi.
Instalasi Farmasi harus dapat memastikan bahwa Obat disimpan secara benar
dan diinspeksi secara periodik. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai yang harus disimpan terpisah yaitu:
a. bahan yang mudah terbakar, disimpan dalam ruang tahan api dan diberi
tanda khusus bahan berbahaya
b. gas medis disimpan dengan posisi berdiri, terikat, dan diberi
penandaaan untuk menghindari kesalahan pengambilan jenis gas medis.
Penyimpanan tabung gas medis kosong terpisah dari tabung gas medis
yang ada isinya. Penyimpanan tabung gas medis di ruangan harus
menggunakan tutup demi keselamatan.

Metode penyimpanan dapat dilakukan berdasarkan kelas terapi, bentuk


sediaan, dan jenis Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai dan disusun secara alfabetis dengan menerapkan prinsip First Expired
First Out (FEFO) dan First In First Out (FIFO) disertai sistem informasi
manajemen. Penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai yang penampilan dan penamaan yang mirip (LASA, Look Alike
Sound Alike) tidak ditempatkan berdekatan dan harus diberi penandaan
khusus untuk mencegah terjadinya kesalahan pengambilan Obat. Rumah Sakit
harus dapat menyediakan lokasi penyimpanan Obat emergensi untuk kondisi
kegawatdaruratan. Tempat penyimpanan harus mudah diakses dan terhindar
dari penyalahgunaan dan pencurian. Pengelolaan Obat emergensi harus
menjamin:
a. jumlah dan jenis Obat sesuai dengan daftar Obat emergensi yang telah
b.
c.
d.
e.

ditetapkan;
tidak boleh bercampur dengan persediaan Obat untuk kebutuhan lain;
bila dipakai untuk keperluan emergensi harus segera diganti;
dicek secara berkala apakah ada yang kadaluwarsa; dan
dilarang untuk dipinjam untuk kebutuhan lain.

Berdasarkan Drugs Management Manual 2006

Gambar 1. Contoh Tempat Penyimpanan obat


Mengatur gudang dan rak sebagai berikut:
Jika menggunakan palet, tumpukan karton pada palet:

setidaknya 10 cm (4 inci) dari lantai;

minimal 30 cm (1 kaki) dari dinding dan tumpukan lainnya;

tidak lebih dari 2,5 m (8 kaki) tinggi (aturan umum).

Untuk semua penyimpanan:

Ikuti petunjuk dari produsen atau pengirim ketika susun,

ikuti label untuk kondisi penyimpanan.

Menempatkan produk cair di rak-rak yang lebih rendah atau di bawah

produk yang membutuhkan di suhu yang sesuai

zona dikendalikan.

Tempat penyimpanan Terpisah dari produk yang rusak atau


kedaluwarsa

menyimpan semua komoditas dengan cara FIFO atau FEFO

Mengatur karton sehingga panah menunjuk ke atas dan adanya label


untuk identifikasi dan kadaluwarsa

Tempatkan produk dimana dan tanggal pembuatan terlihat. Jika hal ini
tidak mungkin, maka menulismnama produk dan tanggal kadaluwarsa
dari sisi jelas terlihat.

5. Diskusikan Faktor faktor penyebab resep di Rumah Sakit tidak rasional


Berdasarkan Modul Pengobatan Rasional Kementrian Kesehatan RI, 2011
Ciri-ciri Penggunaan Obat yang Tidak Rasional Penggunaan obat yang tidak
rasional dapat dikategorikan sebagai berikut:

SISTEM PENDIDIKAN (Penulis Resep)


Kurangnya bekal dan ketrampilan mengenai pemakaian obat (terapeutika)

yang di dapat selama pendidikan (pre service)


Contoh : 5% Dokter di USA (1992) memerlukan retraining.
Kurangnya mengikuti penyegaran ilmu / pendidikan profesi berkelanjutan
Kurangnya mengikuti perkembangan informasi mengenai obat dan

terapetika yang baru


SISTEM PELAYANAN
Sistem suplay obat yang tidak efisien
Ketiadaan buku pedoman pengobatan / formularium di unit-unit pelayanan
Beban pelayanan pasien yang terlalu banyak sehingga setiap pasien tdak

bisa ditangani secara optimal


PENULIS RESEP (PRESCRIBER)
Peresepan mengandung arti :
a Pemilihan jenis obat, penentuan dosis, cara dan lama pemberian
b Informasi / edukasi kepada pasien

Permintaan dokter kepada apoteker agar memberikan obat dan instruksi

pemakaian kepada pasien


d informasi sekali mempengaruhi kebiasaan peresepan
PASIEN
Tekanan dan permintaan pasien, terutama bila dokter meresepkan semua
obat keinginan pasien tanpa memilih mana yang tepat dan tidak tepat

a. Peresepan berlebih (overprescribing) Yaitu jika memberikan obat yang


sebenarnya tidak diperlukan untuk penyakit yang bersangkutan. Contoh:

Pemberian antibiotik pada ISPA non pneumonia (umumnya disebabkan

oleh virus)
Pemberian obat dengan dosis yang lebih besar daripada yang dianjurkan.
Jumlah obat yang diberikan lebih dari yang diperlukan untuk pengobatan

penyakit tersebut.
Pemberian obat berlebihan memberi resiko lebih besar untuk timbulnya
efek yang tidak diinginkan seperti: Interaksi; Efek Samping; Intoksikasi

b. Peresepan kurang (underprescribing), Yaitu jika pemberian obat kurang


dari yang seharusnya diperlukan, baik dalam hal dosis, jumlah maupun
lama pemberian. Tidak diresepkannya obat yang diperlukan untuk penyakit
yang diderita juga termasuk dalam kategori ini. Contoh :

Pemberian antibiotik selama 3 hari untuk ISPA pneumonia.


Tidak memberikan oralit pada anak yang jelas menderita diare.
Tidak memberikan tablet Zn selama 10 hari pada balita yang diare

c. Peresepan majemuk (multiple prescribing) Yaitu jika memberikan


beberapa obat untuk satu indikasi penyakit yang sama. Dalam kelompok
ini juga termasuk pemberian lebih dari satu obat untuk penyakit yang
diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis obat. Contoh:

Pemberian puyer pada anak dengan batuk pilek berisi: Amoksisilin,

Parasetamol, Gliseril guaiakolat, Deksametason, CTM, dan Luminal.


d. Peresepan salah (incorrect prescribing) Mencakup pemberian obat untuk
indikasi yang keliru, untuk kondisi yang sebenarnya merupakan
kontraindikasi pemberian obat, memberikan kemungkinan resiko efek
samping yang lebih besar, pemberian informasi yang keliru mengenai obat
yang diberikan kepada pasien, dan sebagainya. Contoh :
Pemberian antibiotik golongan kuinolon (misalnya siprofloksasin &

ofl oksasin) untuk anak.


Meresepkan asam mefenamat untuk demam.bukannya parasetamol
yang lebih aman

Dalam kenyataannya masih banyak lagi praktek penggunaan obat yang


tidak rasional yang terjadi dalam praktek sehari-hari dan umumnya tidak disadari
oleh para klinisi. Hal ini mengingat bahwa hampir setiap klinisi selalu
mengatakan bahwa pengobatan adalah seni, oleh sebab itu setiap dokter berhak
menentukan jenis obat yang paling sesuai untuk pasiennya. Hal ini bukannya
keliru, tetapi jika tidak dilandasi dengan alasan ilmiah yang dapat diterima akan
menjurus ke pemakaian obat yang tidak rasional.
Contoh lain ketidakrasionalan penggunaan obat dalam praktek sehari hari:
a. Pemberian obat untuk penderita yang tidak memerlukan terapi obat.
Contoh: Pemberian roboransia untuk perangsang nafsu makan pada anak
padahal intervensi gizi jauh lebih bermanfaat.
b. Penggunaan obat yang tidak sesuai dengan indikasi penyakit. Contoh:
Pemberian injeksi vitamin B12 untuk keluhan pegal linu.
c. Penggunaan obat yang tidak sesuai dengan aturan.Contoh:

Cara pemberian yang tidak tepat, misalnya pemberian ampisilin


sesudah makan, padahal seharusnya diberikan saat perut kosong atau

di antara dua makan.


Frekuensi pemberian amoksisilin 3 x sehari, padahal yang benar adalah
diberikan 1 kaplet tiap 8 jam.

d. Penggunaan obat yang memiliki potensi toksisitas lebih besar, sementara


obat lain dengan manfaat yang sama tetapi jauh lebih aman tersedia.
Contoh: Pemberian metilprednisolon atau deksametason untuk mengatasi
sakit tenggorok atau sakit menelan.padahal tersedia ibuprofen yang jelas
lebih aman dan efficacious.
e. Penggunaan obat yang harganya mahal, sementara obat sejenis dengan mutu
yang sama dan harga lebih murah tersedia. Contoh: Kecenderungan untuk
meresepkan obat bermerek yang relative mahal padahal obat generik
dengan manfaat dan keamanan yang sama dan harga lebih murah tersedia.
f. Penggunaan obat yang belum terbukti secara ilmiah manfaat dan
keamanannya. Contoh: Terlalu cepat meresepkan obat obat baru sebaiknya
dihindari karena umumnya belum teruji manfaat dan keamanan jangka
panjangnya, yang justru dapat merugikan pasien.
g. Penggunaan obat yang jelas-jelas akan mempengaruhi kebiasaan atau
persepsi yang keliru dari masyarakat terhadap hasil pengobatan. Contoh:
Kebiasaan pemberian injeksi roborantia pada pasien dewasa yang
selanjutnya akan mendorong penderita tersebut untuk selalu minta diinjeksi
jika datang dengan keluhan yang sama.

6. Tindakan apa saja yang dilakukan untuk meningkatkan peresepan


rasional
Berdasarkan Modul Pengobatan Rasional Kementrian Kesehatan RI, 2011
Untuk mengatasi masalah penggunaan obat yang tidak rasional
diperlukan beberapa upaya perbaikan dan intervensi, baik di tingkat provider
yaitu peresep (prescriber) dan penyerah obat (dispenser) dan pasien/masyarakat
(consumer) hingga sistem kebijakan obat nasional.
a. Upaya Pendidikan (educational strategies)
Upaya pendidikan dapat mencakup pendidikan selama masa kuliah (pre
service) maupun sesudah menjalankan praktek keprofesian (post service).
Upaya

tersebut

mutlak

harus

diikuti

dengan

pendidikan

kepada

pasien/masyarakat secara simultan. Upaya peningkatan mutu calon dokter


selama dalam masa pendidikan dapat dilakukan dengan pendekatan berdasar
masalah (problem-based approach), memperbaiki isi (content) maupun metode
pengajaran (teaching method) agar lebih diarahkan pada pengobatan yang
rasional. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pendidikan farmakologi
lebih banyak berorientasi pada aspek obat, bukannya penerapan pengobatan
pada kondisi-kondisi tertentu (terapi), sehingga tidak jarang muncul
kesenjangan antara pengetahuan tentang obat dengan pelaksanaan pengobatan
dalam klinik. Salah satu upaya pendidikan pre service ini antara lain dengan
membiasakan

mahasiswa memecahkan masalah klinik dalam bentuk

pembahasan kasus. Upaya pendidikan yang lebih mendasar adalah dengan


menambahkan Kurikulum Farmakologi Klinik ke dalam Kurikulum Fakultas
Kedokteran.
b. Upaya manajerial (managerial strategies)

Upaya lain yang dapat dilakukan untuk memperbaiki praktek


penggunaan obat yang tidak rasional adalah dari segi manajerial, yang
umumnya meliputi:
1 Pengendalian kecukupan obat
Melalui sistem informasi manajemen obat. Dengan sistem ini setiap
penggunaan dan permintaan obat oleh unit pelayanan kesehatan dapat
terpantau, sehingga kecukupan obat dapat dikendalikan dengan baik. LPLPO
merupakan sistem informasi manajemen obat yang saat ini digunakan di
Puskesmas-Puskesmas di Indonesia.

Perbaikan sistem suplai


Melalui penerapan konsep obat esensial nasional. Disini mengandung arti
bahwa di tingkat pelayanan kesehatan tertentu hanya tersedia obat yang
paling dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat dan tersedia setiap saat
dengan harga yang terjangkau. Untuk Rumah Sakit, konsep obat esensial ini
diaplikasikan dalam bentuk Formularium Rumah Sakit.

Pembatasan sistem peresepan dan dispensing obat.


Untuk itu perlu disediakan buku pedoman pengobatan di masing-masing
pusat pelayanan kesehatan, formulirformulir resep dengan jumlah R/ yang

terbatas, dan sebagainya.


Pembentukan dan pemberdayaan Komite Farmasi dan Terapi (KFT) di
Rumah-rumah Sakit.
Komite Farmasi dan Terapi mempunyai tugas dan fungsi untuk
meningkatkan/menerapkan Penggunaan Obat secara Rasional di Rumah
Sakit.
1 Informasi Harga

Akan memberi dampak sadar biaya bagi para provider serta


2

pasien/masyarakat.
Pengaturan pembiayaan.
Bentuk pengaturan ini dapat merupakan pembiayaan berbasis kapitasi
dan cost-sharing.

Intervensi regulasi (regulatory strategies)


Intervensi regulasi umumnya paling mudah ditaati, mengingat sifatnya
yang mengikat secara formal serta memiliki kekuatan hukum. Dengan
cara ini setiap penyimpangan terhadap pelaksanaannya

akan

mempunyai akibat hukum. Namun demikian, pendekatan ini sering


dirasa kaku dan dianggap membatasi kebebasan profesi. Padahal jika
kita simak, misalnya konsep obat esensial, maka kesan membatasi
kebebasan tersebut tidaklah benar. Di negara maju pun sistem
pengendalian kebutuhan obat melalui regulasi juga dilakukan. Hal ini
antara lain didasarkan pada kenyataan bahwa biaya obat secara
nasional merupakan komponen terbesar dari anggaran pelayanan
kesehatan. Strategi regulasi dilakukan dalam bentuk kewajiban
registrasi obat bagi obat jadi yang beredar, peraturan keharusan
peresepan generik, pelabelan generik, dan lain-lain.
Berdasarkan Tanggung jawab apoteker terhadap keselamatan pasien (patient
safety) Direktorat BINFAR Departemen Kesehatan RI, 2008
Penggunaan obat rasional merupakan hal utama dari pelayanan kefarmasian.
Dalam mewujudkan pengobatan rasional, keselamatan pasien menjadi masalah

yang perlu di perhatikan. Peran Apoteker Keselamatan Pengobatan (Medication


Safety Pharmacist) meliputi :
1. Mengelola laporan medication error
Membuat kajian terhadap laporan insiden yang masuk
Mencari akar permasalahan dari error yang terjadi
2. Mengidentifikasi pelaksanaan praktek profesi terbaik untuk menjamin
medication safety
Menganalisis pelaksanaan praktek yang menyebabkan medication error
Mengambil langkah proaktif untuk pencegahan
Memfasilitasi perubahan proses dan sistem untuk menurunkan insiden
yang sering terjadi atau berulangnya insiden sejenis
3. Mendidik staf dan klinisi terkait lainnya untuk menggalakkan praktek
pengobatan yang aman
Mengembangkan program pendidikan untuk meningkatkan medication
safety dan kepatuhan terhadap aturan/SOP yang ada
4. Berpartisipasi dalam Komite/tim yang berhubungan dengan medication
safety
Komite Keselamatan Pasien RS
Dan komite terkait lainnya
5. Terlibat didalam pengembangan dan pengkajian kebijakan penggunaan
obat
6. Memonitor kepatuhan terhadap standar pelaksanaan Keselamatan Pasien
yang ada

Apoteker harus berperan di semua tahapan proses yang meliputi :


1

Pemilihan:

Pada

tahap

pemilihan

perbekalan

farmasi,

risiko

insiden/error dapat diturunkan dengan pengendalian jumlah item obat


dan penggunaan obatobat sesuai formularium.
2. Pengadaan: Pengadaan harus menjamin ketersediaan obat yang aman
efektif dan sesuai peraturan yang berlaku (legalitas) dan diperoleh dari
distributor resmi.
3. Penyimpanan: Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan untuk
menurunkan kesalahan pengambilan obat dan menjamin mutu obat:
Simpan obat dengan nama, tampilan dan ucapan mirip (look-alike,
sound-alike medication names) secara terpisah.
Obat-obat dengan peringatan khusus (high alert drugs) yang dapat
menimbulkan cedera jika terjadi kesalahan pengambilan, simpan di
tempat khusus. Misalnya :
menyimpan cairan elektrolit pekat seperti KCl inj, heparin,
warfarin, insulin, kemoterapi, narkotik opiat, neuromuscular
blocking agents, thrombolitik, dan agonis adrenergik.
kelompok obat antidiabet jangan disimpan tercampur dengan obat
lain secara alfabetis, tetapi tempatkan secara terpisah
Simpan obat sesuai dengan persyaratan penyimpanan.
4. Skrining Resep: Apoteker dapat berperan nyata dalam pencegahan
terjadinya medication error melalui kolaborasi dengan dokter dan pasien.
Identifikasi pasien minimal dengan dua identitas, misalnya nama dan
nomor rekam medik/ nomor resep,

Apoteker tidak boleh membuat asumsi pada saat melakukan interpretasi


resep

dokter.

Untuk

mengklarifikasi

ketidaktepatan

atau

ketidakjelasan
resep, singkatan, hubungi dokter penulis resep.
Dapatkan informasi mengenai pasien sebagai petunjuk penting dalam
pengambilan keputusan pemberian obat, seperti :
Data demografi (umur, berat badan, jenis kelamin) dan data klinis
(alergi, diagnosis dan hamil/menyusui). Contohnya, Apoteker
perlu mengetahui tinggi dan berat badan pasien yang menerima
obat-obat

dengan

indeks

terapi

sempit

untuk

keperluan

perhitungan dosis.
Hasil pemeriksaan pasien (fungsi organ, hasil laboratorium, tandatanda vital dan parameter lainnya). Contohnya, Apoteker harus
mengetahui data laboratorium yang penting, terutama untuk obatobat yang memerlukan penyesuaian dosis dosis (seperti pada
penurunan fungsi ginjal).
Apoteker harus membuat riwayat/catatan pengobatan pasien.
Strategi lain untuk mencegah kesalahan obat dapat dilakukan dengan
penggunaan otomatisasi (automatic stop order), sistem komputerisasi
(e-prescribing) dan pencatatan pengobatan pasien
Permintaan obat secara lisan hanya dapat dilayani dalam keadaan
emergensi dan itupun harus dilakukan konfirmasi ulang untu
memastikan obat yang diminta benar, dengan mengeja nama obat
serta memastikan dosisnya. Informasi obat yang penting harus

diberikan kepada petugas yang meminta/menerima obat tersebut.


Petugas yang menerima permintaan harus menulis dengan jelas
instruksi lisan setelah mendapat konfirmasi.
5. Dispensing
Peracikan obat dilakukan dengan tepat sesuai dengan SOP.
Pemberian etiket yang tepat. Etiket harus dibaca minimum tiga
kali:pada saat pengambilan obat dari rak, pada saat mengambil obat
dari wadah, pada saat mengembalikan obat ke rak.
Dilakukan pemeriksaan ulang oleh orang berbeda.
Pemeriksaan meliputi kelengkapan permintaan, ketepatan etiket, aturan
pakai, pemeriksaan kesesuaian resep terhadap obat, kesesuaian resep
terhadap isi etiket.
6. Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE): Edukasi dan konseling kepada
pasien harus diberikan mengenai hal-haL yang penting tentang obat dan
pengobatannya. Hal-hal yang harus diinformasikan dan didiskusikan pada
pasien adalah :
Pemahaman yang jelas mengenai indikasi penggunaan dan bagaimana
menggunakan obat dengan benar, harapan setelah menggunakan obat,
lama pengobatan, kapan harus kembali ke dokter
Peringatan yang berkaitan dengan proses pengobatan
Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) yang potensial, interaksi obat dengan
obat lain dan makanan harus dijelaskan kepada pasien

Reaksi obat yang tidak diinginkan (Adverse Drug Reaction ADR) yang
mengakibatkan cedera pasien, pasien harus mendapat edukasi mengenai
bagaimana cara mengatasi kemungkinan terjadinya ADR tersebut
Penyimpanan dan penanganan obat di rumah termasuk mengenali obat
yang sudah rusak atau kadaluarsa.
Ketika melakukan konseling kepada pasien, apoteker mempunyai kesempatan
untuk menemukan potensi kesalahan yang mungkin terlewatkan pada proses
sebelumnya.
7. Penggunaan Obat: Apoteker harus berperan dalam proses penggunaan obat
oleh pasien rawat inap di rumah sakit dan sarana pelayanaan kesehatan
lainnya, bekerja sama dengan petugas kesehatan lain. Hal yang perlu
diperhatikan adalah :
Tepat pasien
Tepat indikasi
Tepat waktu pemberian
Tepat obat
Tepat dosis
Tepat label obat (aturan pakai)
Tepat rute pemberian
7. Monitoring dan Evaluasi: Apoteker harus melakukan monitoring dan
evaluasi untuk mengetahui efek terapi, mewaspadai efek samping obat,
memastikan

kepatuhan

pasien.

Hasil

monitoring

dan

evaluasi

didokumentasikan dan ditindaklanjuti dengan melakukan perbaikan dan


mencegah pengulangan kesalahan.
7. Diskusikan program jaminan mutu penggunaan obat pasien rawat inap?
Supaya terjamin mutu penggunaan obatnya, sebagai farmasis dalam
melakukan pemberian obat kepada pasien rawat inap harus diperhatikan
supaya tidak terjadi kesalahan. Hal terpenting yang harus diperhatikan adalah
berkembangnya suatu proses yang menjamin pemberian sediaan farmasi dan
alat kesehatan yang benar dan tepat kepada pasien, sesuai yang tertulis kepada
resep atau kartu obat atau kartu instruksi obat serta dilengkapi dengan
informasi

yang

cukup.

Farmasi

rawat

inap

menjalankan

kegiatan

pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pasien rawat


inap di rumah sakit, yang diselenggarakan secara sentralisasi dan atau
desentralisasi dengan sistem persediaan lengkap diruangan, sistem resep
perorangan, sistem unit dosis, dan sistem kombinasi oleh satelit farmasi.
8. Diskusikan SPO pelayanan resep rawat jalan dalam program jaminan
mutu?
Pedoman pelayanan farmasi untuk pasien rawat jalan di rumah sakit
mencakup: persyaratan manajemen, persyaratan fasilitas dan peralatan,
persyaratan pengelolaan order atau resep obat, dan pedoman operasional
lainnya. Pelayanan farmasi untuk pasien rawat jalan harus dipimpin oleh
seorang apoteker yang memenuhi syarat secara hukum dan kompeten secara
profesional. Sistem distribusi obat yang digunakan untuk pasien rawat jalan
adalah sistem resep perorangan yaitu cara distribusi obat pada pasien secar

individual berdasarkan resep dokter. Pasien harus diberikan informasi


mengenai obat karena pasien sendiri yang akan bertanggung jawab atas
pemakaian obat tanpa adanya pengawasan dari tenaga kesehatan. Apoteker
juga harus bertindak sebagai konsultan obat bagi pasien yang melakukan
swamedikasi.

DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia NO 58 Tahun 2014 Tentang
STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI RUMAH SAKIT
Website http://pio.binfar.depkes.go.id/
Management Of Drugs at Healh Centre Level, WHO 2014
Tanggung jawab apoteker terhadap keselamatan pasien (patient safety) Direktorat
BINFAR Departemen Kesehatan RI, 2008
UNHCR Drug Management manual, 2006

Anda mungkin juga menyukai