Crs Syok Hipovolemik
Crs Syok Hipovolemik
PENDAHULUAN
Pasien seorang laki-laki usia 18 tahun rujukan dari Rumah Sakit Ma.Bulian
dengan diagnose suspek perdarahan intra abdominal post kecelakaan lalu lintas. Saat
tiba di Rumah Sakit Umum Jambi pasien dengan tingkat kesadaran somnolen dan sudah
dalam keadaan syok hipovolemik, dimana akral pasien teraba dingin, nadi lemah,
tekanan darah sulit ditentukan, terpasang kateter tapi urine tidak keluar.
Kronologis kecelakaannya 2 hari sebelum masuk RSU pasien mengendarai
motor dengan kecepatan tinggi bersama teman yang diboncengnya, tiba-tiba dijalan
seekor anjing melintas, pasien mengerem kendaraannya secara mendadak, sehingga
kendaraannya berputar ditempat dan akhirnya terjatuh di aspal dimana posisi teman
pasien jatuh menimpa pasien dan perut pasien seperti terhempas dan tertekan ke benda
tumpul. Saat kejadian pasien tidak sadarkan diri, kemudian langsung dibawa ke
puskesmas. Dipuskesmas pasien sadarkan diri dan muntah. Tak lama kemudian pasien
merasa keadaannya sudah membaik dan dokterpun mengizinkan pulang, teman pasien
hanya sedikit mengalami luka lecet. 1 hari sebelum masuk Rumah Sakit pasien merasa
sakit bila buang air kecil dan warnanya juga agak kemerahan, tapi pasien kira itu tidak
apa-apa. Malamnya pasien merasa perutnya sakit buah zakarnya membesar, tapi pasien
masih bisa berjalam. 10 jam sebelum masuk RSU perut pasien terasa tegang dan sakit
bila disentuh, keluarga pasien segera membawa pasien ke RS terdekat, dan kemudian
dirujuk ke RSU jambi.
BAB II
STATUS RESUSITASI UNTUK MAHASISWA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER UNJA
BAGIAN ANESTESIOLOGI RSUD RADEN MATTAHER JAMBI
I.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Adzan Marjulis
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Umur
: 18 th
BB
: 50 kg
Tanggal Masuk
: 11 Mei 2011
Pekerjaan
: Pelajar
Alamat
: Ma. Bulian
II.
akral pasien teraba dingin, nadi lemah, tekanan darah sangat rendah bahkan sulit
ditentukan. Terpasang kateter tapi urine tidak keluar.
d. Riwayat penyakit dahulu :
- Asma (+), kambuh bila capek.
- Hipertensi/Hipotensi disangkal
- Penyakit hati, ginjal, dan jantung disangkal.
- Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama dengan saat ini disangkal
III.
DATA OBYEKTIF
a. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
Kesadaran
Vital Sign
Kepala
Leher
Thorax
Abdomen
infraumbilicus.
Ekstremitas
RINGKASAN
3
A:
:
GCS : 14 (E3M6V5)
KU
: Sakit berat
TD
: nadi lemah sehingga TD sulit ditentukan
Nadi : lemah
Suhu : 35,7 C
RR
: 26 x/menit
syok hipovolemik + peritonitis ec perdarahan intraabdominal post KLL
P:
DX :
PROGNOSIS
Quo ad Vitam
: Dubia ad malam
Quo ad Fungsionam : Dubia ad malam
VI.
LEMBAR FOLLOW UP
Tanggal/
Pukul
TD
N
RR
T
(mmHg) (x/menit) (x/menit) (C)
11-05-2011
16.30
26
35,7
16.45
17.00
17.15
17.30
120/70
110/70
109/68
106/68
120
118
101
98
24
25
24
24
36
35,7
35,8
35,4
SpO2
(%)
97
100
100
100
17.45
18.00
18.15
18.30
18.45
19.00
19.15
19.30
-
108/68
107/66
109/68
120/71
118/72
109/68
110/69
120/71
-
100
90
92
87
87
88
79
80
-
23
23
24
22
23
23
22
23
-
36
36,2
36
36,1
35,9
36,3
36,4
36,8
-
99
100
76
90
64
26
28
45
36,5
36,6
36,1
(loading)
Ku: sedikit membaiik GCS 15
NGT => cairan hitam => inj.
kalnex 1 gr iv
Line I: Widha HESS,
Line II:RL 20:20tts/mnt
Urin 1 jam 25 ml
Konsul dokter bedah => USG
100
98
100
110/70
100/70
100/70
Abdomen
100
21.20
21.45
22.00
Keterangan
100
99
fluid
(hemmorhagic)
collection
ec
rupture
organ berlumen.
100
22.15
22.30
22.45
23.00
23.15
23.30
23.45
110/70
100/70
100/70
100/80
100/80
110/70
110/70
89
87
85
98
72
63
83
44
43
45
40
46
47
44
36,2
35,9
36,1
36
36,6
36,7
36,1
12-05-2011
00.00
00.15
00.30
00.45
01.00
01.15
01.30
01.45
02.00
98
120/70
110/70
110/70
100/70
100/80
100/80
100/70
100/70
?
82
84
81
80
76
78
80
59
Lemah
39
40
45
44
38
39
47
46
6
36,3
36,4
36,2
36,6
37,2
37,8
37
37,2
38,7
95
97
99
98
98
02.25
Apnue
97
98
99
100
99
98
98
100
98
89
90
90
BAB III
TEORI DAN PEMBAHASAN
A. TEORI
PRINSIPPRINSIP FISIOLOGI CAIRAN dan ELEKTROLIT
Air merupakan komponen terbesar dan pelarut terpenting dari tubuh kita,
dinyatakan dalam persen berat badan dan besarnya berubah menurut umur. Pada saat
menjelang dan segera setelah lahir, air meliputi 78%-80% berat badan kemudian
jumlahnya menurun secara bertahap. Bayi normal sebesar 70%-75%/kgBB, sebelum
pubertas sebesar 65%-70%/kgBB, dan dewasa sebesar 50%-60%/kgBB. 3-7 Cairan tubuh
terbagi dalam dua kompartemen yaitu intraseluler dan ekstraseluler. Ekstraseluler terbagi
dalam ruang interstisial dan intravaskuler.5
(2/3) dan paru (1/3), tergantung faktorfaktor yang mempengaruhi energy expenditure
(tidak tergantung keadaan cairan tubuh). Ini berbeda dengan kehilangan cairan melalui
keringat (sensible water and electrolyte losses) yang biasanya terjadi bila suhu tubuh
dan/atau lingkungan meningkat. Kehilangan cairan melalui keringat ini diatur oleh sistem
saraf otonom. Pengeluaran urin penting untuk mengatur osmolalitas dan komposisi cairan
ekstraseluler. Jumlah dan kadar urin dikendalikan oleh aksis neurohypophysealrenal,
yaitu anti diuretic hormone (ADH).5
Distribusi antar kompartemen dipengaruhi permeabilitas membran dan gradient
osmolalitas, tetapi keseimbangannya menganut hukum isoosmolaritas, neutralitas
elektron, dan keseimbangan asam basa. Osmolalitas plasma dapat dihitung dengan rumus:
Kebutuhan cairan per hari didasarkan pada insensible water loss (IWL) + urin +
cairan tinja. Bisa juga diperkirakan berdasarkan energy expenditure, bahwa setiap 1 kcal
= 1 ml H2O. Berdasarkan perhitungan energy expenditure ratarata pasien yang dirawat
dirumah sakit didapatkan kebutuhan cairan perhari sebagai berikut:5
Bayi 1 hari = 50 ml H2O/kgBB/hari
Bayi 2 hari = 75 ml H2O/kgBB/hari
Bayi > 3 hari = 100 ml H2O/kgBB/hari
Berat badan 10 kg pertama = 100 ml H2O/kgBB/hari
Berat badan 10 kg kedua = 1000 ml + 50 ml H2O/kgBB/hari
Berat badan > 20 kg = 1500 ml + 20 ml H2O/kgBB/hari
Pada pasien dengan kesulitan kompensasi terhadap kelebihan atau kekurangan
cairan dan elektrolit (misalnya pada kelainan jantung, ginjal) harus dilakukan perhitungan
secara ketat/titrasi. Adanya faktorfaktor yang bisa mengurangi/meningkatkan kebutuhan
cairan juga harus diperhitungkan. Perkiraan kebutuhan elektrolit perhari didasarkan pada
kebutuhan metabolisme atau pada kebutuhan cairan perhari, adalah:3-5
Natrium : 2 4 mEq/100mlH2O/hari
Kalium : 1 2 mEq/100mlH2O/hari
Klorida : 2 4 mEq/100mlH2O/hari
Persamaanpersamaan untuk menentukan kebutuhan rumatan cairan dan elektrolit
diatas didasarkan pada beberapa asumsi dari ratarata kehilangan cairan insensible,
energy expenditure, metabolisme, dan produksi urin dengan anggapan tidak ada sumber
8
kehilangan cairan dan elektrolit dari tempat lain dan fungsi ginjal normal. Pada
penderitapenderita dengan kegawat daruratan atau sakit kritis seringkali terdapat
abnormalitas dari asumsiasumsi tersebut, karena itu penatalaksanaannya harus
disesuaikan kondisi klinis penderita.5
SYOK
Syok adalah sindrom klinis akibat kegagalan sistem sirkulasi dengan akibat
ketidakcukupan pasokan oksigen dan substrat metabolik lain ke jaringan serta kegagalan
pembuangan sisa metabolisme. Berdasarkan komponen system sirkulasi, terdapat 3 jenis
syok yaitu syok hipovolemik, kardiogenik, dan distributif (syok anafilaktik, syok septik,
syokneurogenik). 1,2
Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik merujuk kepada suatu keadaan di mana terjadi kehilangan
cairan tubuh dengan cepat sehingga terjadinya multiple organ failure akibat perfusi yang
tidak adekuat. Syok hipovolemik ini paling sering timbul setelah terjadi perdarahan hebat
(syok hemoragik). Perdarahan eksternal akut akibat trauma tembus dan perdarahan hebat
akibat kelianan gastrointestinal merupakan 2 penyebab syok hemoragik yang paling
sering ditemukan. Syok hemoragik juga bisa terjadi akibat perdarahan internal akut ke
dalam rongga toraks dan rongga abdomen.1,2 Dua penyebab utama perdarahan internal
adalah terjadinya trauma pada organ dan ruptur pada aneurysme aortic abdomen. Syok
hipovolemik bisa merupakan akibat dari kehilangan cairan tubuh lain selain dari darah
dalam jumlah yang banyak. Contoh syok hipovolemik yang terjadi akibat kehilangan
cairan lain ini adalah gastroenteritis refraktrer dan luka bakar hebat.1
Syok hipovolemik terbagi atas:
hipovolemia sedang (20-40% volume darah): lebih cemas dan takikardia lebih jelas
dan bisa ditemukan pada posisi berbaring.
hipovolemia berat: tekanan darah menurun drastis dan tidak stabil walau posisi
berbaring, takikardia hebat, oliguria dan agitasi (bingung).
Patofisiologi
9
10
tekanan darah rendah, biasa ada mekanisme kompensasi sampai terjadi kehilangan
1/3 dari volume sirkulasi darah.
CVP rendah.
b. Respirasi.
-
c. Gastrointestinal.
-
d. Genitourinary.
-
e. Dermatology.
-
(2)
(3)
(4)
b. Manifestasi Klinis
(1)
Nyeri abdomen
(2)
Tanda hipovolemia
(3)
(4)
c. Manajemen
(1)
11
(2)
Hentikan kerusakan dan perdarahan pada organ yang cedera, menjadi sumber
perdarahan.1
karena perdarahan maka pilihan volume expander terbaik adalah darah. Pada beberapa
keadaan khusus perlu dipertimbangkan penggunaan koloid.1-5,8
Pada saat awal, cairan hangat diberikan dengan tetesan cepat sebagai bolus. Dosis
awal 1-2 liter pada dewasa dan 10-20 ml/kgBB pada anak dalam 1530 menit. Cairan
kristaloid (ringer laktat atau ringer asetat diberikan 3x jumlah perkiraan perdarahan
karena tidak bertahan lama di intravaskuler. Evaluasi perbaikan klinis meliputi status
mental, tanda vital, dan produksi urin. Bila masih diperlukan bisa diulang. Bila belum
membaik setelah diberikan 60 ml/kgBB, pertimbangkan pemasangan central venous
pressure (CVP) untuk menentukan volume intravaskuler yang lebih tepat.1-5
Bila volume sirkulasi efektif telah tercapai dan masih belum memungkinkan
peroral, total kebutuhan diberikan intravena dengan mempertimbangkan:5
a.
PEMBAHASAN
13
Pada kasus ini, pasien datang dalam keadaan syok yang ditandai dengan akral
dingin, nadi lemah dan cepat, tekanan darah sulit ditentukan karena nadinya yang lemah,
kateter terpasang tanpa ada urin yang keluar, capillary refill : menurun, sesak napas (+),
dan mukosa bibir kering. Adanya riwayat trauma yang disertai distensi abdomen, edema
testis dan adanya memar di region infraumbilicus membuat kita berpikir kemungkinan
adanya trauma tumpul abdomen yang menyebabkan perdarahan intraabdominal, dan hal
ini dicurigai sebagai penyebab terjadinya syok. Selain itu, pada pemeriksaan fisik
abdomen juga ditemukan adanya distensi abdomen dan nyeri tekan dan sentuh dinding
abdomen yang kamungkinan telah terjadi komplikasi perdarahan intraabdomen berupa
peritonitis.
Peradangan peritoneum (peritonitis) merupakan komplikasi berbahaya yang sering
terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis,
salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post
operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen. Pada keadaan normal,
peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri. Namun adanya kontaminasi bakteri yang
terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi tubuh yang menurun, dan adanya benda
asing atau enzim pencerna aktif, kesemua hal ini merupakan faktor-faktor yang dapat
memudahkan terjadinya peritonitis (radang peritoneum).2
Pada kasus ini tindakan resusitasi dan terapi yang dilakukan meliputi:
Lakukan Primary Survey
a.
Penilaian
(a)
Mengenal
patensi
(2)
Pengelolaan airway
(a)
(b)
14
(3)
b.
Penilaian
(a)
(b)
Pasien
masih
(d)
(e)
Auskultasi
thoraks
(2)
Pengelolaan
Pemberian oksigen dengan simple mask dengan FiO2 8L/menit
c.
Penilaian
(a)
Mengetahui
sumber
Mengetahui
sumber
Periksa
nadi
(e)
(2)
(a)
Penekanan langsung
pada sumber perdarahan eksternal
(b)
Kenali
perdarahan
internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta konsultasi pada ahli bedah.
(c)
Pasang kateter IV 2
jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel darah untuk pemeriksaan rutin,
kimia darah, golongan darah dan cross-match serta Analisis Gas Darah (BGA).
Pemasangan dapat dilakukan di
- Perifer (v. lengan bawah),
- Akses PD sentral (v. femoralis, jugularis, subclavia, safena)
(d)
Memberikan
cairan
Cegah hipotermia.
Disability
(1)
(2)
Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan awasi
tanda lateralisasi
e.
Exposure/Environment
(1)
(2)
f.
Tambahan
Pasang kateter uretra kecuali bila ada kontra indikasi dan monitor
urin setiap jam untuk penilaian terhadap terapi cairan yang telah diberikan
16
pastikan jalan napas pasien dalam keadaan baik kemudian pasang simpel sungkup dan
beri oksigen 8 L/menit pada pasien untuk mencegah terjadinya hipoksia jaringan,
kemudian untuk memperbaiki sirkulasinya beri terapi cairan, pasang kateter IV dengan
transfusi set 2 line. Masing-masing line loading dengan cairan kristaloid (RL 1 kolf : 1
kolf) selama 15-30 menit. Kemudian, lanjutkan line I dengan cairan kristaloid (RL) 20
tetes/menit dan line II dengan cairan koloid (Widha HES) 20 tetes/menit untuk
mempertahankan volum intravaskuler dikarenakan cairan isotonis seperti RL hanya
bertahan sebentar di intravaskuler. Pasang kateter tetap untuk observasi keseimbangan
cairan dan monitor urin setiap 1 jam (Normalnya 0,5-1 ml/kg/jam). Pasang monitor
EKG, dan pasang Naso Gastric Tube (NGT) untuk mengurangi distensi abdomen
dengan cara mengalirkan isi lambung keluar tubuh.
Medikasinya, untuk mencegah perdarahan lanjut dapat di injeksi Asam
Traneksamat 3x 1 gram iv, untuk proteksi lambung berikan ranitidine 3x 50 mg iv, dan
antibiotik yang berspektrum luas seperti ceftriaxone 1x2gr untuk mencegah perluasan
infeksi.
Setelah 3 jam perawatan keadaan pasien telah stabil dan pasien sadar seutuhnya
kemudian dilakukanlah pemeriksaan USG abdomen sesuai instruksi dokter konsulen
bedah. Pemeriksaan USG menunjukan adanya Intraabdominal fluid collection
(hemorrhagic) ec ruptur organ berlumen. Saat NGT terpasang juga ditemukan keluar
cairan berwarna hitam. Pemeriksaan laboratorium ternyata menunjukan kadar Hb
pasien dalam batas normal, sehingga untuk sementara tidak ada indikasi untuk transfusi
darah. Selanjutnya, observasi tanda-tanda vital pasien, saturasi O2 nya, dan
keseimbangan cairan ( input- output). Bila jumlah urine/jam nya tidak sesuai dengan
jumlah urine normal/kg/jam ini berarti kebutuhan cairannya masih kurang, seperti pada
kasus ini jumlah urinenya setelah 3 jam post terapi cairan masih 25cc, sehingga
sebaiknya pada pasien ini terapi loading cairan ditambah lagi. Karena ini menandakan
perfusi ke ginjalnya masih kurang, bila hal ini dibiarkan maka dapat menyebabkan
hipoksia jaringan dan terjadi kerusakan sel-sel jaringan sehingga bisa mengakibatkan
17
terjadinya gagal ginjal. Begitu juga dengan organ-organ tubuh lainnya, sehingga
akhirnya dapat menyebabkan kematian.
Setelah 9 jam perawatan, kondisi pasien menurun, pasien gelisah, napas cepat,
dan mengorok. Kembali tindakan resusitasi dilakukan untuk pembebasan jalan napas
dengan triple maneuver airway dan pasang oropharingeal airway (OPA), lalu keluarkan
cairan dari rongga mulut dengan alat suction, setelah bersih beri bantuan pernapasan
dengan ambu bag. Beberapa menit kemudian pernapasan pasien semakin lemah dan
nadi tidak teraba. Untuk mencegah henti jantung dan napas maka dilakukanlah tindakan
RJP dan pemberian O2 dengan ambu bag 15:2/menit. Setelah 30 menit RJP dihentikan
karena tidak ada respon positif dari pasien dan pupil telah dilatasi maksimal, dan EKG
flat. Pukul 02.25 ( 10 jam perawatan) akhirnya pasien dinyatakan telah meninggal
dunia.
BAB IV
KESIMPULAN
Syok adalah sindrom klinis akibat kegagalan sistem sirkulasi dengan akibat
ketidakcukupan pasokan oksigen dan substrat metabolik lain ke jaringan serta kegagalan
pembuangan sisa metabolisme. Berdasarkan komponen system sirkulasi, terdapat 3 jenis
syok yaitu syok hipovolemik, kardiogenik, dan distributif.
Syok hipovolemik merujuk kepada suatu keadaan di mana terjadi kehilangan
cairan tubuh dengan cepat sehingga terjadinya multiple organ failure akibat perfusi yang
tidak adekuat. Syok hipovolemik ini paling sering timbul setelah terjadi perdarahan hebat
(syok hemoragik) baik perdarahan eksternal maupun internal.
Tujuan utama penatalaksanaan cairan pada syok
hipovolemik
adalah
mengembalikan volume sirkulasi efektif yang adekuat dengan segera. Jumlahkan semua
kebutuhan air dan elektrolit dari sisa defisit, kehilangan cairan yang masih berlangsung
(ongoing losses), dan kebutuhan rumatan. Kemudian tentukan jenis cairannya
18
berdasarkan jumlah total air dan elektrolit yang diperlukan dan juga kalori untuk
diberikan dalam 24 jam. Pertimbangkan juga kondisi klinis penderita seperti adanya
kelainan jantung dan kelainan ginjal. Untuk memperbaikai volume sirkulasi efektif,
apapun jenis dehidrasinya (isoosmotik, hipoosmotik, maupun hiperosmotik) cairan awal
yang seharusnya diberikan dalah cairan isotonis. Dalam hal ini yang biasa digunakan
adalah Ringers Lactat dan Ringers asetat. Dosis awal 1-2 liter pada dewasa dan 10-20
ml/kgBB pada anak dalam 1030 menit. Diberikan 3x jumlah perkiraan perdarahan
karena tidak bertahan lama di intravaskuler. Pemberian cairan harus diteruskan hingga
mencapai normovolemik. Kebutuhan cairan untuk mengisi ruang intravaskular umumnya
dapat dikurangi bila digunakan cairan koloid.
DAFTAR PUSTAKA
1. Az Rifki. Syok dan Penanggulangannya. Lab/SMF Anestesiologi FKUA/RSUP Dr. M.
Djamil, Padang. 2001. Diunduh dari URL: http://www.tempo.co.id/medika/arsip/03
2001/sek-1.htm.
2. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku ajar ilmu bedah: Syok; Keseimbangan cairan dan
elektrolit; Gawat Abdomen. Edisi ke-2. Jakarta: EGC. 2004. Hal: 119-20, 126-29,
189-91.
3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk, editor. Buku Ajar ilmu penyakit dalam:
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, Jilid 1. Edisi ke-4. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2007. Hal: 134-35, 180-81.
4. Price Sylvia A, Wilson LM: dalam Hartanto H, Susi N, Wulansari P, Mahanani DA,
editor. Patofisiologi Konsep klinis proses-proses penyakit: gangguan cairan dan
elektrolit, Vol.1. Edisi ke-6. Jakarta: EGC. 2005. Hal: 308-24.
5. Hariyadi M. Terapi cairan pada kegawatdaruratan anak. Jakarta. 2009. Diunduh dari
URL : http://www.scribd.com/doc/24361736/13747207-Terapi-Cairan-Pada-Kegawat
-Daruratan-Anak
6. Muhiman M, Thaib M.R, Sunatrio S, Dahlan R. Anestesiologi. Jakarta: Bagian
Anestesiologi Dan Terapi Intensif FKUI. 1989. Halm: 87-92.
7. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi ke-2.
Jakarta: Bagian Anestesiologi Dan Terapi Intensif FKUI. 2001. Hal: 133-39.
19
8. Dobson MB: dalam Dharma A, editor. Penuntun Praktis anestesi : prinsip terapi cairan
dan elekrolit. Jakarta: EGC. 1994. Halm: 41-44.
20