Trauma Kimia Pada Mata
Trauma Kimia Pada Mata
PENDAHULUAN
Mata adalah salah satu organ yang memiliki sistem pelindung yang cukup
baik seperti rongga orbita, kelopak, dan jaringan retrobulbar.Selain itu terdapatnya
refleks memejam dan mengedip, tetapi mata masih sering mendapatkan trauma
dari dunia luar.Trauma dapat mengakibatkan kerusakan pada bola mata, kelopak
mata, saraf mata, dan rongga orbita. Kerusakan mata akan dapat menimbulkan
penyulit sehingga mengganggu fungsi penglihatan.
Trauma mata merupakan tindakan sengaja maupun tidak disengaja yang
dapat mengakibatkan perlukaan pada mata. Perlukaan yang ditimbulkan dapat
ringan, sedang, maupun berat. Pada mata dapat terjadi beberapa trauma terdiri dari
trauma tumpul, trauma tembus bola mata, trauma kimia, dan trauma radiasi.
Trauma kimia mata merupakan salah satu kegawatdaruratan mata yang
membutuhkan penatalaksanaan sesegera mungkin. Akibat buruk yang akan
ditimbulkan jika penatalaksanaan trauma terlambat adalah timbulnya berbagai
komplikasi yang salah satunya menyebabkan kebutaan bahkan kehilangan mata.
Lebihdari 800.000 kasus trauma mata yang berhubungan dengan pekerjaan terjadi
setiap tahunnya. Dibandingkan dengan wanita, laki-laki memiliki rasio terkena
trauma mata 4 kali lebih besar. Dari data WHO tahun 2008 trauma okular
berakibat kebutaan unilateral sebanyak 19 juta orang, 2,3 juta mengalami
penurunan visus bilateral, dan 1,6 juta mengalami kebutaan bilateral akibat cedera
mata. Sebagian besar (84%) merupakan trauma kimia. Rasio frekuensi bervariasi
trauma asam:basa antara 1:1 sampai 1:4. Secara international, 80% dari trauma
kimiawi dikarenakan oleh pajanan karena pekerjaan1.
Trauma kimia pada mata adalah trauma yang mengenai bola mata akibat
terpaparnya bahan kimia baik yang bersifat asam atau basa pada bola mata.
Trauma kimia diakibatkan oleh zat asam dengan pH < 7 ataupun zatbasa pH > 7
yang dapat menyebabkan kerusakan struktur bola mata.Tingkat keparahan trauma
dikaitkan dengan jenis, volume, konsentrasi, durasi pajanan, dan derajat penetrasi
dari zat kimia tersebut. Trauma bahan kimia dapat terjadi pada kecelakaan dalam
Sklera (bagian putih mata) : merupakan lapisan luar mata yang berwarna
putih dan relatif kuat. Merupakan jaringan ikat yang kenyal dan memberikan
bentuk pada mata.
Jaringan uvea: merupakan jaringan vaskular yang terdiri dari iris, badan
siliar, dan koroid. Jaringan uvea dan sklera dibatasi oleh ruang yang potensial
mudah dimasuki darah bila terjadi perdarahan pada ruda paksa (perdarahan
suprakoroid).
Konjungtiva : selaput tipis yang melapisi bagian dalam kelopak mata dan
bagian luar sklera.
Lensa : struktur cembung ganda yang tergantung diantara humor aqueus dan
vitreus; berfungsi membantu memfokuskan cahaya ke retina.
Saraf optikus : kumpulan jutaan serat saraf yang membawa pesan visuil dari
retina ke otak.
Humor aqueus : cairan jernih dan encer yang mengalir diantara lensa dan
kornea (mengisi segmen anterior mata), serta merupakan sumber makanan bagi
lensa dan kornea; dihasilkan oleh prosesus siliaris.
Humor vitreus : gel transparan yang terdapat di belakang lensa dan di depan
retina (mengisi segmen posterior mata).
Tulang orbita yang melindungi mata juga mengandung berbagai saraf lainnya,
yaitu:
Saraf lakrimalis merangsang pembentukan air mata oleh kelenjar air mata
mata kanan, sedangkan darah dari mata dibawa oleh vena oftalmika dan vena
retinalis. Pembuluh darah ini masuk dan keluar melalui mata bagian belakang3.
rumah tangga. Setiap trauma kimia asam pada mata memerlukan tindakan segera.
Irigasi daerah yang terkena trauma kimia asam merupakan tindakan yang harus
segera dilakukan6.
Trauma kimia asam bersifat lebih ringan dibandingkan dengan trauma kimia
basa karena cedera jaringan yang lebih fokus, selain itu epitel kornea dapat
memberikan perlindungan terhadap asam lemah. Pada saat terkena bahan asam
maka ion hidrogen akan merubah pH permukaan, sedangkan anion terkait
bereaksi dengan epitel dan sel stroma superfisial untuk mengendapkan dan
mendenaturasi protein permukaan. Protein yang di gumpalkan tersebut berfungsi
sebagai penghalang superfisial dan mencegah cedera intraokular. Asam kuat dapat
menembus dan menghasilkan pola cedera yang sebanding dengan sebuah luka
bakar basa, seperti kerusakan jaringan yang dalam pada mata yang mencapai pH
2,5 atau kurang7.
2.2.2 Etiologi
Trauma kimia asam biasanya disebabkan bahan-bahan yang tersemprot atau
terpercik pada wajah. Tabel 2.1 berikut merupakan contoh bahan kimia yang
bersifat asam:
Sumber Utama
Catatan
Percampuran
dengan
air
robekan jaringan
lebih
dari Relatif
- Terbentuk
sulfur berpenetrasi
percampuran
mudah
dibandingkan
mata
- Pengawet buah/sayuran
- Bahan pemutih
- Bahan pendingin
Bahan pemoles/pemutih kaca, Mudah
pemisah
mineral,
berpenetrasi
dan
berat
bila
31-38%
pekat
dan
Cuka
konsentrasi
4-10%,
cuka
pajanan kronis
biang Trauma
ringan
konsentrasi
bila
<10%,
konsentrasi pekat
Pajanan yang kronis dapat
menyebabkan konjungtivitis
kronis
dengan
brown
discoloration
Trauma kimia asam yang paling parah disebabkan oleh asam hidrofluorik
karena berat molekulnya yang rendah dan ukurannya yang kecil, fluroride akan
menembus masuk ke stroma dan menyebabkan cedera kornea serta segmen
anterior. Asam sulfat merupakan penyebab trauma kimia mata tersering. Asam
sulfat bereaksi dengan air dan masuk ke dalam robekan pre kornea untuk
memproduksi panas yang mendestruksi epitel kornea serta konjungtiva. Salah satu
kejadian yang mengakibatkan luka bakar asam sulfat adalah ledakan accu mobil,
yang mungkin merupakan penyebab tersering dari luka bakar kimia pada mata10.
2.2.3 Klasifikasi
Trauma kimia asam dapat diklasifikasikan sesuai dengan derajat keparahan
yang ditimbulkan akibat bahan kimia penyebab trauma. Klasifikasi ini juga
bertujuan untuk penatalaksanaan yang sesuai dengan kerusakan yang muncul serta
indikasi penentuan prognosis. Klasifikasi ditetapkan berdasarkan tingkat
kejernihan kornea dan keparahan iskemik limbus. Selain itu klasifikasi ini juga
untuk menilai patensi dari pembuluh darah limbus (superficial dan profundus).
Klasifikasi tingkat keparahan akibat rudapaksa kimia berdasarkan M.J. RoperHall:
Tabel 2.2 Klasifikasi Trauma Kimia11
Gradasi
I
II
III
IV
Kornea
Erosi kornea
Keruh, detail iris jelas
Kerusakan epitel total, stroma
keruh, detail iris kabur
Keruh/putih, detail iris
Konjungtiva
Prognosis
Iskemia (-)
Baik
Iskemia < limbus Baik
Iskemia 1/3 Kurang baik
limbus
tak Iskemia > limbus
tampak
Jelek
2.2.4 Patofisiologi
Asam dipisahkan dalam dua mekanisme, yaitu ion hidrogen dan anion
dalam kornea. Molekul hidrogen merusak permukaan okular dengan mengubah
pH, sementara anion merusak dengan cara denaturasi protein, presipitasi, dan
koagulasi. Koagulasi protein umumnya mencegah penetrasi yang lebih lanjut dari
zat asam, dan menyebabkan tampilan ground glass dari stroma korneal yang
mengikuti trauma akibat asam. Sehingga trauma pada mata yang disebabkan oleh
zat kimia asam cenderung lebih ringan daripada trauma yang diakibatkan oleh zat
kimia basa5.
Asam hidrofluorida adalah satu pengecualian. Asam lemah ini secara cepat
melewati membran sel, seperti alkali. Ion fluorida dilepaskan ke dalam sel, dan
memungkinkan menghambat enzim glikolitikdan bergabung dengan kalsium dan
magnesium membentuk insoluble complexes. Nyeri lokal yang ekstrim bisa terjadi
sebagai hasil dari imobilisasi ion kalsium yang berujung pada stimulasi saraf
dengan pemindahan ion potassium. Fluorinosis akut bisa terjadi ketika ion
fluorida memasuki sistem sirkulasi, dan memberikan gambaran gejala pada
jantung, pernapasan, gastrointestinal, dan neurologi5.
10
Proses perjalanan penyakit pada trauma kimia ditandai oleh 2 fase, yaitu
fase kerusakan yang timbul setelah terpapar bahan kimia serta fase
penyembuhan.Kerusakan yang terjadi pada trauma kimia yang berat dapat diikuti
oleh hal-hal berikut:
a. Terjadi nekrosis pada epitel kornea dan konjungtiva disertai gangguan dan
oklusi pembuluh darah pada limbus
b. Hilangnya stem cell limbus dapat berdampak pada vaskularisasi dan
konjungtivalisasi permukaan kornea atau menyebabkan kerusakan
persisten pada epitel kornea dengan perforasi dan ulkus kornea bersih
c. Penetrasi yang dalam dari suatu zat kimia dapat menyebabkan kerusakan
dan presipitasi glikosaminoglikan dan opasifikasi kornea
d. Penetrasi zat kimia sampai ke kamera okuli anterior dapat menyebabkan
kerusakan iris dan lensa
e. Kerusakan epitel siliar dapat mengganggu sekresi askorbat yang
dibutuhkan untuk memproduksi kolagen dan memperbaiki kornea
f. Hipotoni dan phthisis bulbi sangat mungkin terjadi
Proses penyembuhan epitel kornea dan stroma diikuti oleh proses-proses berikut:
a. Terjadi penyembuhan jaringan epitelium berupa migrasi atau pergeseran
dari sel-sel epithelial yang berasal dari stem cell limbus
b. Kerusakan kolagen stroma akan difagositosis oleh keratosit sehingga
terjadi sintesis kolagen baru12.
Bahan kimia asam yang mengenai jaringan akan mengadakan denaturasi
dan presipitasi dengan jaringan protein di sekitarnya. Karena adanya daya buffer
dari jaringan terhadap bahan asam serta adanya presipitasi protein maka
kerusakannya cenderung terlokalisir. Bahan asam yang mengenai kornea juga
mengadakan presipitasi sehingga terjadi koagulasi, kadang-kadang seluruh epitel
kornea terlepas. Bahan asam tidak menyebabkan hilangnya bahan proteoglikan di
kornea. Bila trauma diakibatkan asam keras maka reaksinya mirip dengan trauma
basa13.
2.2.5 Anamnesis
11
Pada anamnesis pasien mengeluh adanya bahan kimia asam yang mengenai
mata disertai rasa nyeri sampai tidak bisa membuka mata, berair, kabur, dan silau.
Bahan asam yang mengenai mata bisa berupa cairan atau mata tersemprot gas
sehingga partikel-partikelnya masuk ke dalam mata. Rincian lengkap terjadinya
trauma dapat diperoleh lewat pertanyaan-pertanyaan berikut:
-
trauma)
Apakah memakai kacamata pelindung/ada kerusakan kacamata pengaman
Bagaimana keadaan mata dan visus sebelum trauma
Apakah ada korpus alienum intraokuler
Pertolongan yang telah dilakukan sebelumnya
Apakah trauma mengenai bagian tubuh lainnya
Nama dan alamat saksi mata14
2.2.7 Pemeriksaan
Pemeriksaan yang seksama sebaiknya ditunda sampai mata yang terkena zat
kimia asam sudah teririgasi dengan air dan pH permukaan bola mata sudah netral.
Obat anestesi topical atau lokal sangat membantuagar pasien tenang, lebih
nyaman dan kooperatif sebelum dilakukan pemeriksaan. Setelah dilakukan irigasi,
pemeriksaan dilakukan dengan perhatian khusus untuk memeriksa kejernihan dan
keutuhan kornea, derajat iskemik limbus, tekanan intraocular, konjungtivalisasi
12
pada kornea, neovaskularisasi, peradangan kronik dan defek epitel yang menetap
dan berulang3.
a. Anastesi lokal
Obat anastesi lokal digunakan untuk menghilangkan nyeri pada mata, atau
saat akan melakukan pemeriksaan diagnostik tertentu seperti tonometer,
uji anel, pemeriksaan dengan goniolens, serta bedah pengeluaran benda
asing pada kornea atau konjungtiva. Obat anastesi local yang sering
dipakai adalah tetrakain 0,5%, kokain 2-5%, dan pantokain 2%.
Obat anastesi lokal dapat memberikan efek samping berupa:
- Memperlambat penyembuhan epitel kornea
- Memperberat proses kelainan kornea
- Dapat merusak epitel kornea
Kokain dapat memberikan efek samping berupa epitel kornea menjadi
ireguler, gelisah, demam, kejang, gangguan kardiovaskular.
b. Tes fluoresein
Merupakan tes untuk mengetahui terdapatnya kerusakan epitel kornea. Zat
warna fluoresein akan berubah berwarna hijau pada epitel kornea yang
defek. Alat/bahan yang dibutuhkan yaituzat warna fluoresein 0,5 2 %
tetes mata atau kertas fluoresein, serta obat tetes anastetikum pantokain.
Teknik pemeriksaan awalnya mata ditetesi pantokain 1 teteslalu zat warna
fluoresein diteteskan pada mata atau kertas fluoresein ditaruh pada forniks
inferior selama 20 detik. Zat warna diirigasi dengan larutan garam
fisiologik sampai seluruh air mata tidak berwarna hijau lagi. Cari bagian
pada kornea yang berwarna hijau
Bila terdapat warna hijau pada kornea berarti terdapat defek pada epitel
kornea. Defek ini dapat dalam bentuk erosi kornea atau infiltrat yang
mengakibatkan kerusakan epitel. Zat warna yang menempel pada defek
epitel akan menghilang sesudah 30 menit
c. Pemeriksaan memakai lampu senter + loupe, slit lamp
Loupe merupakan alat untuk melihat benda menjadi lebih besar dibanding
ukuran normalnya. Loupe mempunyai kekuatan 4-6 dioptri. Untuk melihat
benda dengan loupe yang berkekuatan 5,0 dioptri maka benda yang diliht
harus terletak 20 cm (100/5) atau pada titik api lensa loupe. Dengan jarak
13
ini mata tanpa akomodasi akan melihat benda lebih besar. Bila benda yang
dilihat disinari sentolop, maka benda yang dilihat akan lebih tegas. Hal ini
dipergunakan sebagai slitlamp, karena cara kerjanya hampir sama.
Pemeriksaan dengan loupe atau slitlamp (lampu celah) akan lebih
sempurna bila dilakukan di dalam kamar yang digelapkan.
d. Kertas pH meter atau lakmus untuk mengetahui jenis bahan kimia
Pemeriksaan pH bola mata dilakukan secra berkala. Irigasi pada mata
harus tetap dilakukan sampai tercapai pH normal.
e. Lid retractor / desmares untuk membantu membuka kelopak mata
f. Pemeriksaan oftalmoskopi/funduskopi direk dan indirek
g. Foto rontgen dan pemeriksaan menggunakan magnet
Foto rontgen dilakukan terutama untuk benda logam yang radioopak,
sehingga lokasinya dapat ditentukan lebih cermat. Selanjutnya, dapat
dilakukan pemeriksaan dengan magnet. Caranya, magnet didekatka pada
mata dan digerak-gerakkan sehingga benda asing di mata akan ikut
bergerak dan mata terasa sakit bila benda tersebut bersifat magnetis.
h. Tonometri
Untuk mengetahui tekanan intraokular
2.2.8 Diagnosis
Diagnosis pada trauma mata dapat ditegakkan melalui anamnesis, gejala
klinis, dan hasil pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Namun hal ini
tidaklah mutlak dilakukan karena trauma kimia asam pada mata merupakan kasus
gawat darurat sehingga hanya diperlukan anamnesis singkat15.
2.2.9 Diagnosis Banding
Beberapa penyakit yang menjadi diagnosis banding trauma kimia asam pada
mata
antara
lain
konjungtivitis,
konjungtivitis
hemoragik
akut,
14
selain
ditujukan
pada
kornea
mata,
juga
untuk
fornik
superior/inferior, bila ada sisa bahan kimia dapat dibersihkan dengan lidi
kapas steril basah atau pinset. Irigasi minimal 1 liter untuk masing-masing
mata, untuk bahan kimia asam irigasi dilakukan selama jam
b. Double eversi pada kelopak mata dilakukan untuk memindahkan material
yang terdapat pada bola mata. Selain itu tindakan ini dapat menghindarkan
terjadinya perlengketan antara konjungtiva palpebral, konjungtiva bulbi,
dan konjungtiva forniks.
c. Debridemen pada daerah epitel kornea yang mengalami nekrotik sehingga
dapat terjadi re-epitelisasi pada kornea. Selanjutnya diberikan bebat
(perban) pada mata dan artificial tear (air mata buatan)
15
Tujuan tindakan pada fase ini yaitu menghilangkan material bahan asam hingga
sebersih mungkin. Tindakan yang dilakukan antara lain:
-
steroid
dapat
menghambat
penyembuhan
stroma
dengan
steroid hanya diberikan secara inisial dan di-tappering off setelah 7-10 hari.
Dexametason 0,1% eye drop dan Prednisolon 0,1% eye drop diberikan setiap
2 jam. Bila perlu dapat diberikan Prednisolon IV 50-200 mg.
b. Sikloplegik
Untuk mengistirahatkan iris, mencegah iritis dan sinekia anterior. Atropin 1%
eye drop atau Scopolamin 0,25% diberikan 2 kali sehari.
c. Asam askorbat (vitamin C)
Mengembalikan keadaan jaringan scorbutik dan meningkatkan penyembuhan
luka dengan membantu pembentukan kolagen matur oleh fibroblast kornea.
Natrium askorbat 10% topical diberikan setiap 2 jam. Untuk dosis sistemik
dapat diberikan sampai dosis 2 gram per hari.
d. Beta bloker/karbonik anhidrase inhibitor
Untuk menurunkan tekanan intraocular dan mengurangi resiko terjadinya
glaukoma sekunder. Diberikan secara oral Asetazolamid (Diamox) 500 mg.
e. Antibiotik
Diberikan untuk mencegah infeksi oleh kuman oportunis. Tetrasiklin efektif
untuk menghambat kolagenase, menghambat aktivitas neutrophil dan
mengurangi pembentukan ulkus. Dapat diberikan bersamaan antara topical
dan sistemik.
f. Asam hyaluronik
Untuk membantu proses reepitelisasi kornea dan menstabilkan barrier
fisiologis. Asam sitrat menghambat aktivitas neutrophil dan mengurangi reson
inflamasi. Natrium sitrat 10% topical diberikan setiap 2 jam selama 10 hari.
Tujuannya untuk mengeliminasi fagosit fase kedua yang terjadi 7 hari setelah
trauma.
Tindakan pembedahan terbagi atas pembedahan segera dan pembedahan
lanjut. Tindakan pembedahan segera merupakan pembedahan yang sifatnya segera
dibutuhkan untuk revaskularisasi limbus, mengembalikan populasi sel limbus dan
mengembalikan kedudukan forniks. Prosedur berikut dapat digunakan untuk
pembedahan12:
a. Pengembangan kapsul Tenon dan penjahitan limbus bertujuan untuk
mengembalikan vaskularisasi limbus, juga mencegah perkembangan ulkus
kornea
17
b. Transplantasi stem sel limbus dari mata pasien yang lain (autograft) atau
dari donor (allograft) bertujuan untuk mengembalikan epitel kornea
menjadi normal
c. Graft membran amnion untuk membantu epitelisasi dan menekan fibrosis
Sedangkan penanganan bedah pada tahap lanjut dapat menggunakan metode
berikut:
a. Pemisahan bagian-bagian yang menyatu pada kasus conjungtival bands
dan simblefaron
b. Pemasangan graft membran mukosa atau konjungtiva
c. Koreksi apabila terdapat deformitas pada kelopak mata
d. Keratoplasti dapat ditunda sampai 6 bulan. Makin lama makin baik, hal ini
untuk memaksimalkan resolusi dari proses inflamasi
e. Keratoprosthesis bisa dilakukan pada kerusakan mata yang sangat berat
dikarenakan hasil dari graft konvensional sangat buruk
Tabel 2.3 Penatalaksanaan Fase II9
Tindakan
A
B
Gradasi I
AB + steroid tetes
Gradasi II
Bandage lens
Kortikosteroid
Gradasi III
Bandage lens
Dexamethasone/
Gradasi IV
Bandage lens
Dexamethasone/
4-6x
tetes 6x
Prednisolon
Prednisolon
AB + steroid tetes
Tetrasiklin salep 4x
tetes/jam
Tetrasiklin salep 4x
30 menit
Tetrasiklin salep 4x
4-6x
Doxysiklin
Doxysiklin
Doxysiklin
2x100mg
Timolol 0,5% tetes
2x100mg
Timolol 0,5% tetes
2x100mg
Timolol 0,5% tetes
2x
2x
2x
Asetazolamide
Asetazolamide
tetes/
Sulfas atropin 1%
Sulfas atropin 1%
2x500mg
Sulfas atropin 1%
2x500mg
Sulfas atropin 1%
tetes 2x
tetes 2x
tetes 2x
tetes 2x
Vitamin C 4x500mg
-
Vitamin C 2000mg
-
Vitamin C 2000mg
Nekrotomi + graft
Vitamin C 2000mg
Nekrotomi + graft
konjungtiva limbus
konjungtiva limbus
c. Fase pemulihan dini (early repair: hari ke-7 sampai dengan hari ke-21)
Tujuan tindakan pada fase ini yaitu membatasi tingkat penyulit. Masalah yang
dihadapi pada fase ini antara lain hambatan reepitelisasi kornea, gangguan fungsi
kelopak mata, hilangnya sel goblet, ulserasi stroma hingga perforasi kornea.
18
Prinsip dan tata laksana sama seperti fase sebelumnya, disesuikan dengan kondisi
pasien.
Tabel 2.4 Penatalaksanaan Fase III9
Tindakan
A
Gradasi I
Reepitelialisasi
Gradasi II
Reepitelialisasi
sempurna
sempurna
Bandage
Gradasi III
Bandage lens
Gradasi IV
Bandage lens
Dexamethasone/
lens
AB + steroid tetes
diteruskan
Kortikosteroid tetes
Dexamethasone/
tapering off
tapering off
Prednisolon
tetes
Prednisolon
tetes
dengan:
dengan:
NSAID
tetes
NSAID
tetes
(Indometason/
(Indometason/
AB + steroid tetes
Tetrasiklin salep 2x
Diclofenax) 6x
Tetrasiklin salep 2x
Diclofenax) 6x
Tetrasiklin salep 2x
tapering off
-
Doxysiklin 2x100mg
Peningkatan TIO (-)
Doxysiklin 2x100mg
Peningkatan TIO (-)
Doxysiklin 2x100mg
Timolol 0,5% tetes 2x
timolol stop
timolol stop
Asetazolamid + ion K
Sulfas
atropin dihentikan
atropin dihentikan
tetes 3x
Vitamin C 2000 mg
Vitamin
atropin
1%
diteruskan
Sulfas atropin
1%
tetes 3x
C
2000
Vitamin
2000
mg/hari
mg/hari
Vitamin A dan E
2x
Jaringan nekrotik (+)
Jaringan
: eksisi
(+) : eksisi
Mukosa bibir/amnion
tarsoaphy
(+)
nekrotik
stem
cell
19
Gradasi I
Solcosery 3x
Gradasi II
Epiteliopati
(+)
Solcosery 4x
NSAID tetes4x
Gradasi III
Epiteliopati
(+)
Gradasi IV
Reepitelialisasi (+) :
Solcosery 4x
bandage
lens
Retinoic acid 1% 1x
diteruskan
malam
NSAID tetes 4x
NSAID tetes 4x
Medroxy progesteron
Medroxy progesteron
1% 4x
-
1% 4x
Tetrasiklin salep 4x
Doxyiklin 2x100mg
Peningkatan TIO (-) :
Timolol 0,5% tappoff
Asetazolamid + ion K
dihentikan
Uveitis (-) : sulfas
atropine dihentikan
Vitamin
2000
mg/hari
F
Vitamin A dan E
Graft
konjungtiva
limbus
terapetik
keratoplasti,
keratoprostesis
2.2.11 Komplikasi
Komplikasi segera6:
a. Glaukoma akut
Dapat terjadi 2-4 jam setelah trauma, hal ini karena adanya pelepasan
prostaglandin yang merangsang terjadinya uveitis
b. Ekspose kornea, perlunakan kornea
Komplikasi jangka panjang6:
a. Simblefaron
Merupakan kelainan dengan gejala gerak mata terganggu, diplopia,
lagoftalmus, sehingga kornea dan penglihatan terganggu. Dapat diatasi
dengan simblefarektomi.
20
c. Katarak traumatika
Dapat diatasi dengan ekstraksi lensa
21
d. Sikatrik kornea
Dapat diatasi dengan keratoplasti
22
23
dan askorbat yang berkurang, padahal kedua unsur ini memegang peranan penting
dalam pembentukan jaringan kornea3.
2.3.2 Etiologi
Beberapa bahan penyebab trauma kimia basa, antara lain5:
2.3.3 Klasifikasi
Menurut klasifikasi Thoft, trauma basa dapat dibedakan dalam19:
1.
2.
3.
4.
kornea.
Derajat 4: Konjungtiva perilimal nekrosis sebanyak 50%.
Gambar 2.11 Klasifikasi Trauma Kimia menurut Thoft20, (a) derajat 1, (b) derajat
2, (c) derajat 3, (d) derajat 4.
24
2.3.4 Patofisiologi
Bahan-bahan yang bersifat basa dibagi menjadi ion hidroksil dan
kationnya dalam bola mata. Ion hidroksil menyebabkan terjadinya saponifikasi
asam lemak membran sel, sedangkan kationnya berinteraksi dengan kolagen dari
stroma dan glikosaminoglikan. Collagen hydration menyebabkan terjadinya
ketidaksempurnaan dan pemendekan benang-benang fibrin, yang mengarah ke
perubahan jalinan trabekula di bilik mata depan yang nantinya akan menyebabkan
terjadinya peningkatan tekanan intra okuli. Selain itu, adanya pelepasan mediator
inflamasi selama proses trauma yang merangsang pelepasan dari prostaglandin,
juga akan meningkatkan tekanan intra okuli5.
Interaksi ini juga dipengaruhi dari dalamnya penetrasi ke dalam kornea
dan segmen anterior dari bola mata. Proses perjalanan penyakit pada trauma kimia
ditandai oleh 2 fase, yaitu fase kerusakan yang timbul setelah terpapar bahan
kimia serta fase penyembuhan. Kerusakan yang terjadi pada trauma kimia yang
berat dapat diikuti oleh hal-hal sebagai berikut:
25
Nekrosis pada epitel kornea dan konjungtiva disertai gangguan dan oklusi
pembuluh darah pada limbus.
Hilangnya stem cell limbus yang akan berdampak pada vaskularisasi dan
konjungtivalisasi permukaan kornea atau menyebabkan kerusakan
persisten pada epitel kornea.
Penetrasi yang dalam dari suatu zat kimia dapat menyebabkan kerusakan
dan presipitasi glikosaminoglikan dan opasifikasi kornea.
Penetrasi zat kimia sampai ke kamera okuli anterior dapat menyebabkan
kerusakan iris dan lensa.
Kerusakan epitel siliar dapat mengganggu sekresi askorbat yang
dibutuhkan untuk memproduksi kolagen dan memperbaiki kornea.
Hipotoni dan phthisis bulbi sangat mungkin terjadi.
Sedangkan untuk proses penyembuhan epitel kornea dan stroma diikuti
oleh proses-proses berikut:
1.
2.
2.3.5 Anamnesis
Pada anamnesis sering sekali pasien menceritakan telah tersiram cairan
atau tersemprot gas pada mata atau partikel-partikelnya masuk ke dalam mata.
Perlu diketahui apa persisnya zat kimia dan bagaimana terjadinya trauma tersebut
(misalnya tersiram sekali atau akibat ledakan dengan kecepatan tinggi) serta
kapan terjadinya trauma tersebut2.
Perlu diketahui apakah terjadi penurunan visus setelah cedera atau saat
cedera terjadi. Onset dari penurunan visus apakah terjadi secara progresif atau
terjadi secara tiba tiba. Nyeri, lakrimasi, silau dan pandangan kabur merupakan
26
gambaran umum trauma. Dan harus dicurigai adanya benda asing intraokular
apabila terdapat riwayat salah satunya apabila trauma terjadi akibat ledakan21.
2.3.6 Gejala Klinis
Terdapat gejala klinis utama yang muncul pada trauma kimia yaitu,
epifora, blefarospasme, dan nyeri berat. Trauma akibat bahan yang bersifat asam
biasanya dapat segera terjadi penurunan penglihatan akibat nekrosis superfisial
kornea.
Sedangkan
pada
trauma
basa,
kehilangan
penglihatan
sering
27
oftalmoskopi direk dan indirek juga dapat dilakukan. Pemeriksaan fluoresin tes
untuk mengetahui adanya defek pada kornea. Selain itu dapat pula dilakukan
pemeriksaan tonometri untuk mengetahui tekanan intraokular3.
2.3.8 Diagnosis
Diagnosis pada trauma mata dapat ditegakkan melalui gejala klinis,
anamnesis dan pemeriksaan fisik dan penunjang. Namun hal ini tidaklah mutlak
dilakukan dikarenakan trauma kimia pada mata merupakan kasus gawat darurat
sehingga hanya diperlukan anamnesa singkat3.
2.3.9 Tata Laksana
Tatalaksana Emergensi
1. Irigasi
Semua luka bakar akibat bahan kimia harus diterapi sebagai kedaruratan
mata. Pembilasan dengan air bersih harus segera dilakukan di lokasi cedera
sebelum pasien dikirim. Bila mungkin irigasi dilakukan paling sedikit 60 menit
segera setelah trauma. Tidak hanya itu, semua benda asing yang tampak jelas juga
harus diirigasi. Di ruang gawat darurat, dilakukan anamnesis dan pemeriksaan
singkat sebelum permukaan mata, termasuk forniks konjungtiva, diirigasi dengan
cairan yang sangat banyak16.
Irigasi larutan normal saline minimal 1 liter untuk masing-masing mata
selama 1 jam hingga pH mata menjadi normal. Mungkin diperlukan spekulum
palpebra mata atau lid retractor untuk membantu membuka kelopak mata, dan
infiltrasi anastesik lokal untuk mengatasi blefarospasme. Karena basa (alkali)
cepat menembus jaringan mata dan akan terus menimbulkan kerusakan lama
setelah cedera berhenti, maka pada trauma basa hendaknya dilakukan irigasi lebih
lama, dan pemeriksaan pH secara berkala. Harus dipastikan nilai pH terletak
diantara 7,3 dan 7,7. Makin lama makin baik.Jika perlu dapat diberikan anastesi
topikal, larutan natrium bikarbonat 3%, antibiotik dan balutan untuk
mengoptimalkan terapi. Irigasi dalam waktu yang lama lebih baik menggunakan
28
irigasi dengan kontak lensa (lensa yang terhubung dengan sebuah kanul untuk
mengirigasi mata dengan aliran yang konstan16.
2. Double eversi pada kelopak mata
Dilakukan untuk memindahkan material yang terdapat pada bola mata.
Selain itu tindakan ini dapat menghindarkan terjadinya perlengketan antara
konjungtiva palpebra, konjungtiva bulbi, dan konjungtiva forniks21.
3. Debridemen
Analgesik dan anastesi topikal serta siklopegik hampir selalu diberikan.
Penggunaan aplikator berujung kapas yang dibasahi dan pinset ahli perhiasan
untuk mengeluarkan benda-benda berbentuk partikel dari forniks, yang terutama
terjadi pada cedera yang berhubungan dengan plaster bangunan dan semen.
Trauma kimia ringan (derajat 1 dan 2) dapat diterapi dengan pemberian obatobatan seperti steroid topikal, sikloplegik, dan antibiotik profilaksis selama 7 hari.
Sedangkan pada trauma kimia berat, pemberian obat-obatan bertujuan untuk
mengurangi inflamasi, membantu regenerasi epitel dan mencegah terjadinya ulkus
kornea.
4. Medikamentosa
Steroid bertujuan untuk mengurangi inflamasi dan infiltrasi neutofil. Namun
pemberian steroid dapat menghambat penyembuhan stroma dengan menurunkan
sintesis kolagen dan menghambat migrasi fibroblas. Untuk itu steroid hanya
diberikan secara inisial dan di tappering off setelah 7-10 hari. Dexametason 0,1%
ED dan Prednisolon 0,1% ED diberikan setiap 2 jam. Bila diperlukan dapat
diberikan Prednisolon IV 50-200 mg. Apabila telah terjadi glaukoma sekunder
dan uveitis berat (grade 3 dan 4), pengobatannya adalah dengan steroid topikal,
obat-obatan antiglaukoma, dan siklopegik selama 2 minggu pertama. Setelah 2
minggu, pemakaian steroid harus hati-hati karena dapat menghambat reepitelisasi.
29
30
6. Pembedahan7
Pembedahan Segera:
2.
Transplantasi stem sel limbus dari mata pasien yang lain (autograft) atau
dar donor (allograft) bertujuan untuk mengembalikan epitel kornea
menjadi normal.
3.
Terapi Penyulit:
1.
Keratitis sika diatasi dengan air mata buatan. Penggunaan tarsofari atau
bandage contact lens mungkin juga bermanfaat untuk penatalaksanaan
2.
3.
4.
2.3.10 Komplikasi7
Komplikasi dari trauma mata juga bergantung pada berat ringannya
trauma, dan jenis trauma yang terjadi. Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus
trauma basa pada mata antara lain:
Segera:
1.
2.
31
3.
Perlunakan
kornea
akibat
perforasi
akibat
berlanjutnya
aktivitas
kolagenase.
Jangka Panjang:
1.
2.
3.
Sikatrik Kornea.
4.
5.
2.3.11 Prognosis
Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi prognosis kesembuhan akibat
trauma kimia. Pertolongan pertama saat kejadian menentukan prognosis trauma
kimia, semakin cepat, akan semakin baik prognosisnya. Kompetensi pembuluh
darah sklera dan konjungtiva terbukti juga memiliki nilai prognostik. Semakin
banyak jaringan epitel perilimbus serta pembuluh darah sklera dan konjungtiva
yang rusak, mengindikasikan prognosisnya yang semakin buruk. Selain itu,
prognosis trauma kimia pada mata sangat ditentukan oleh bahan penyebab trauma,
jumlah, dan tingkat kepekaan konsentrasi bahan kimia tersebut. Semakin banyak
jumlah dan kepekaannya yang tinggi, maka kerusakannya semakin hebat. Bentuk
paling berat pada trauma kimia ditunjukkan dengan gambaran cooked fish eye
dimana prognosisnya adalah yang paling buruk, dapat terjadi kebutaan23.
32
BAB 3. KESIMPULAN
Trauma kimia pada mata dapat berasal dari bahan yang bersifat asam
dengan pH < 7 dan bahan yang bersifat basa dengan pH > 7. Trauma basa
biasanya memberikan dampak yang lebih berat dari pada trauma asam, karena
bahan-bahan basa memiliki dua sifat yaitu hidrofilik dan lipolifik dimana dapat
masuk secara cepat untuk penetrasi sel membran dan masuk ke sudut mata depan,
bahkan sampai retina. Sementara trauma asam akan menimbulkan koagulasi
33
protein permukaan, dimana merupakan suatu barier pelindung sehingga zat asam
tidak penetrasi lebih dalam lagi. Gejala utama yang muncul pada trauma mata
adalah epifora, blefarospasme dan nyeri yang hebat. Trauma kimia merupakan
satu-satunya jenis trauma yang tidak memerlukan anamnesa dan pemeriksaan
yang lengkap.
Penatalaksanaan yang terpenting pada trauma kimia adalah irigasi mata
dengan segera samapai pH mata kembali normal dan diikuti dengan pemberian
obat terutama antibiotik, multivitamin, antiglaukoma, Selain itu dilakukan juga
upaya promotif dan preventif kepada pasien. Menurut data statistik 90% kasus
trauma dapat dicegah apabila dalam menjalankan suatu pekerjaan menggunakan
pelindung yang tepat.
34
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
Ilyas, Sidarta. 2010. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
4.
5.
6.
7.
Belin MW, Catalano RA, Scott JL. Burns of the eye. In: Catalano RA, Belin
MW, editors. Ocular emergencies. Philadelphia: WB Saunders; 1992. p. 179
96.
8.
Ilyas, Sidarta. 2008. Atlas Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
9.
10. McCurly JP. 2009. Chemical Injuries, the conea: Scientific Condition
Foundation and Clinical Practice. Boston. Ed 2, pp 527-542.
11. Trudo, Edward W dan William Rimm. 2008. Chemical Injuries of the Eye.
Washington.
12. Kanski, JJ. 2000. Chemical Injuries. Clinical Ophthalmology Edisi Keenam.
Philadelphia: Elsevier Limited.
13. Gunawan, Wasidi. 2008. Kegawatdaruratan dalam Ilmu Penyakit Mata.
Dalam: Purnasidha, Henry Ed. Clinical Update: Emergency Cases.
Jogjakarta: Press Jogjakarta.
14. Asbury, Taylor, Sanitato James J. Trauma, dalam Vaughan Daniel G, Abury
Taylor, Eva Paul Riordan. 2007. Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal: 372-378.
35
15. Lang GK, Ocular Trauma, in Lang GK. 2000. Ophthalmology, A Short
Textbook. Tieme Stuttgart. New York.
16. Wagoner MD, Kenyon KR. 2008. Principle and Practice of Ophtalmology:
Clinical Practice. Philadelphia, WB Saunders. Vol. I, pp 234-245.
17. Gerhard K. Lang. 2006. Ophthalmology A Pocket Textbook Atlas 2nd. Stuttgart
New York.
18. Adeola Kosoko. BA, M3. 2009. Chemical Ocular Burns: A Case Review.
19. Nurwasis. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu Penyakit Mata.
Surabaya: Rumah Sakit dr.Soetomo.
20. Dua, H. S., King, A.J., Joseph, A. 2001. New classification for ocular surface
burns. British Journal of Ophthalmology. Vol 85: 1379-1383.
21. Stephen J Morgan, Chemical burns of the eye: causes and management.
British Journal of Ophthalmology.
22. Vaughan DG, Taylor A, and Paul RE. 2000. Oftalmologi Umum. Jakarta:
Widya medika.
23. William G. Fernandez, MD, MPHa; Chemical, Thermal, and Biological
Ocular Exposures.
24. Arthur Lim Siew Ming and Ian J. Constable. 2005. Color Atlas of
Ophthalmology Third Edition. Washington.
25. American Academy of Ophthalmology. 2006. Ocular Trauma Epidemiology
and Prevention Ophthalmology, Basic and Clinical Science Course Section.
13: 121-134.
36