RA Kajian Dampak Penambangan Bauksit Lingga PDF
RA Kajian Dampak Penambangan Bauksit Lingga PDF
LAPORAN PENELITIAN
JAKARTA, 2010
RINGKASAN
Wilayah perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamut (Kepulauan
Lingga), termasuk sebagian diantara Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang merupakan
kawasan konservasi pada wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Pemanfaatan lahan baik
di daratan maupun perairan yang tidak mempertimbangkan kepedulian terhadap kondisi
lingkungan, berpotensi menimbulkan terjadinya degradasi lingkungan sekitarnya. Dua (2)
isue penting yang kini
nelayan wilayah pesisir Bintan Timur tentang dampak aktivitas penambangan bijih bauksit
di daerah Kijang terhadap perubahan kualitas perairan pesisir timur Pulau Bintan dan
kekhawatiran masyarakat Desa Mamot terhadap rencana penambangan bijih bauksit
(besi) di Pulau Mamot dapat menimbulkan kerusakan dan / atau perubahan ekosistem
perairan di wilayah tersebut.
Mengingat ke-dua (2) wilayah tersebut merupakan kawasan konservasi (daerah
perlindungan laut) yang perlu dilestarikan ekosistemnya, maka diperlukan upaya untuk
memprediksi dan memitigasi akibat adanya ancaman baik dari kegiatan penambangan
bauksit maupun kegiatan lainnya diluar sektor pertambangan. Oleh karena itu, kajian
mengenai kondisi eksisting dan potensi terjadinya perubahan kualitas perairan serta
kemungkinan perubahan ekosistem perairan laut di ke-dua wilayah tersebut menjadi
penting (urgen) untuk dilakukan.
Kajian dilakukan melalui interpretasi dari citra landsat dan ALOS, dilanjutkan
dengan survey di lapangan untuk memperoleh baik data primer maupun data sekunder
serta analisis di laboratorium. Berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dilakukan
analisis korelasi antara dampak penambangan dengan kemungkinan perubahan
ekosistem perairan dengan indikator parameter fisik, kimia dan kandungan unsur logam
berat serta biota perairan baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
Hasil kajian
Berdasarkan interpretasi baik dari citra landsat maupun ALOS, tingkat kekeruhan
di perairan pesisir timur Pulau Bintan dibagi menjadi 3 (tiga) tingkat, yakni : dari
arah selatan
ii
pada
umumnya belum begitu nampak jelas (tidak signifikan). Hasil pengamatan secara
sepintas terhadap terumbu karang dan padang lamun di sekitar lokasi DPL
(seperti perairan pesisir Pantai Trikora, perairan pesisir
perairan pesisir Pulau Pangkil) masih dalam kondisi baik dan belum terjadi
perubahan secara signifikan,
sekitar lokasi dermaga (jeti) yang mempunyai tingkat kekeruhan tinggi, pada
umumnya sudah mulai rusak dan bahkan mati. Demikian pula tentang vegetasi
mangrove, pada umumnya masih dalam kondisi baik, kecuali vegetasi mangrove
yang berada di sekitar aktivitas penambangan bauksit di bagian selatan Pulau
Bintan mengalami ancaman kerusakan yang cukup serius.
Pulau
Bintan.
Sementara
tingkat
kekeruhan
yang
terjadi
akibat
iii
plankton, benthos, dan nekton dan berdampak lebih lanjut terhadap penurunan
produktifitas primer serta pertumbuhan terumbu karang.
2.
Tidak terdapat korelasi antara dampak penambangan bijih bauksit (besi) dengan
perubahan kualitas perairan pesisir Pulau Mamot, mengingingat lokasi
penambangan jauh berada di bagian utara (Pulau Senayang) yang kini sudah
ditutup dan daerah Sakanah, Pulau Lingga. Hasil pengamatan secara sepintas
baik terhadap terumbu karang dan padang lamun maupun vegetasi mangrove di
sekitar perairan pesisir Pulau Mamot relatif masih dalam kondisi baik dan bahkan
mulai muncul tunas baru.
Kekhawatiran
masyarakat
di
Desa
Mamot
tentang
adanya
rencana
penambangan bijih bauksit (besi) yang hingga kini masih dalam tahap ijin
eksplorasi dapat dimengerti, mengingat dampak penambangan yang akan
ditimbulkannya sangat besar. Tidak hanya masalah perubahan ekosistem
perairan saja, melainkan juga punahnya habitat perikanan dan beberapa mata air
yang merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat pesisir di Pulau Mamot dan
pulau-pulau sekitarnya.
iv
3.
Pengelolaan
pertambangan
bauksit
(termasuk
bahan
tambang
lainnya)
diarahkan agar dilakukan secara baik dan benar (good mining practice), dalam
arti bahwa kegiatan usaha pertambangan agar memenuhi ketentuan-ketentuan,
kriteria, kaidah dan norma-norma yang tepat sehingga pemanfaatan sumber
daya mineral memberikan hasil yang optimal dengan dampak buruk minimal
(Suyartono, 2003). Disatu sisi usaha pertambangan tetap menguntungkan,
namun didisi lain dituntut agar tetap memperhatikan/kepedulian terhadap kondisi
lingkungannya. Sebagaimana tertuang dalam Undang Undang No.4, tentang
MINERBA, pasal 2.b antara lain menyebutkan bahwa usaha pertambangan
harus
mendukung
pembangunan
yang
berkelanjutan
dan
berwawasan
lingkungan hidup, juga dalam pasal 8.g disebutkan bahwa usaha pertambangan
dituntut untuk melaksanakan pengembangan dan pembangunan masyarakat
setempat dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Walaupun lokasi
penambangan bauksit di daerah Kijang telah sesuai dengan peruntukkan
tataruangnya, namun sebagaimana tertuang dalam strategi penataan ruang
wilayah pesisir dan lautan termasuk didalamnya laut perbatasan negara bagi
kemakmuran rakyat yang meliputi perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian
pemanfaatan ruang secara terpadu dan tak terpisahkan dari ruang daratan
dengan memperhatikan kepentingan sektoral dan daerah untuk mewujudkan tata
ruang wilayah pesisir dan lautan yang berkualitas dan berwawasan lingkungan
(Bappeda Kabupaten Bintan, 2007).
Berdasarkan kajian tersebut, solusi yang diusulkan guna memitigasi
terjadinya tingkat kekeruhan maka:
-
juga
dilakukan
pengapalan
produk
tambangnya
dengan
cara
Rencana penambangan bijih bauksit (besi) di Pulau Mamot yang hingga kini
masih dalam tahap eksplorasi, diusulkan untuk tidak ditindak lanjuti dengan
tahap eksploitasi mengingat berbagai aspek yang perlu dpertimbangkan,
diantaranya bahwa:
-
Perairan sekitar pesisir Pulau Mamot kaya kan jenis ikan, yang merupakan
sumber kehidupan bagi sebagian besar masyarakat yang tinggal di pulau
tersebut. Disamping itu juga terdapat beberapa sumber mata air, yang
merupakan penopang kehidupan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar
Pulau Mamot.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karuniaNya, sehingga kami dapat
melaksanakan survey lapangan hingga menyelesaikan laporan tentang kajian dampak
penambangan bijih bauksit di daerah Kijang dan sekitar Pulau Mamot korelasinya dengan
perubahan ekosistem di perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau
Mamot. Laporan ini merupakan langkah awal untuk memberikan jawaban atas berbagai
isue permasalahan lingkungan yang akhir-akhir ini berkembang di masyarakat pesisir.
Terdapat dua (2) isue penting, yakni : kekhawatiran masyarakat pesisir tentang
perubahan tingkat kekeruhan perairan pesisir timur Pulau Bintan sebagai akibat adanya
aktivitas penambangan di daerah Kijang dan kekhawatiran masyarakat tentang adanya
rencana penambangan bijih bauksit (besi) di Pulau Mamot dan kemungkinan dampaknya
terhadap ekosistem perairan pesisir Pulau Mamot.
Untuk dapat mengungkap peristiwa perubahan lingkungan pada kawasan
konservasi perairan pada wilayah pesisir timur Pulau Bintan dan perairan sekitar Pulau
Mamot, telah dilakukan kajian secara terpilih pada beberapa lokasi zona penambangan
bauksit dan bahan tambang lainnya sebagai sumber dampak maupun zona perairan yang
diduga mengalami perubahan lingkungan perairan laut. Melalui pengamatan secara
langsung dan pengambilan beberapa conto untuk di analisis di laboratorium guna
mengetahui gambaran sifat fisik dan kimia perairan. Laporan ini disusun baik berdasarkan
data primer maupun data sekunder yang diperoleh dari dinas terkait baik yang berada di
Kabupaten Bintan maupun di Kabupaten Lingga. Untuk itu kami menyampaikan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam memperoleh data / informasi
tersebut. Tidak lupa kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan kepercayaan dan bimbingan kepada kami baik dari awal pelaksanaan
kajian maupun hingga selesainya penulisan laporan ini.
Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan penjelasan kepada
pemangkukepentingan dalam upaya memitigasi dampak perubahan lingkungan maupun
perubahan kondisi perairan laut di wilayah kajian. Semoga laporan ini dapat bermanfaat
baik sebagai sumber informasi maupun sebagai pendorong munculnya pemikiran baru
dalam mengatasi permasalahan dampak perubahan lingkungan perairan maupun dalam
upaya mitigasi pada kawasan tersebut.
Bandung, 10 November 2010
Tim Penelitian
vii
DAFTAR ISI
RINGKASAN .........................................................................................................
vii
vii
xi
xiv
BAB I
PENDAHULUAN ..............................................................................
1.1
Latar Belakang ......................................................................
1.2
Perumusan Masalah .............................................................
1.3.
Maksud dan Tujuan ..............................................................
1.4
Manfaat Kajian ......................................................................
1.5
Ruang Lingkup ......................................................................
I-1
I-1
I-3
I-3
I-3
I-4
BAB II
METODOLOGI ................................................................................. II - 1
2.1
Kerangka Pikir ....................................................................... II - 1
2.2
Hipotesis ................................................................................ II - 2
2.3
Metoda ................................................................................... II - 3
2.4
Tahapan Kegiatan ................................................................. II - 3
2.4.1
Pengumpulan Data Sekunder ................................. II - 3
2.4.2
Pengumpulan Data Primer ...................................... II - 3
2.4.3
Pengolahan dan Evaluasi Data ............................... II - 6
2.4.4
Penyusunan Laporan .............................................. II - 6
BAB III
III - 1
III - 1
III - 1
III - 4
III - 4
III - 7
III - 7
III - 9
III - 10
III - 10
III - 11
III - 15
III - 19
III - 19
III - 20
III - 20
III 22
III - 22
III - 22
III - 22
viii
3.5.4
Pasang Surut ............................................................
3.5.5
Suhu Muka Laut ........................................................
Ekosistem Peairan Laut Dangkal ...........................................
3.6.1
Terumbu Karang ......................................................
3.6.2
Padang Lamun ........................................................
3.6.3
Vegetasi Mangrove (Bakau) ...................................
Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Pesisi ..........................
3.7.1
Budaya Masyarakat .................................................
3.7.2
Sosial Ekonomi ........................................................
III - 27
III - 27
III - 27
III - 27
III - 29
III - 30
III - 30
III - 30
III - 31
IV - 1
IV - 1
IV - 3
IV - 1
IV - 7
IV - 10
IV - 13
IV - 14
IV - 14
V-1
3.6
3.7
BAB IV
BAB V
IV - 15
IV - 16
IV - 19
IV - 21
IV - 21
V-1
V-3
V-7
V-9
V-9
V - 15
V - 19
V - 28
V - 28
ix
5.3.2
5.3.3
BAB VI
VII - 1
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
II - 4
Gambar 2.2
II - 5
Gambar 3.1
III - 2
III - 3
III - 5
III - 6
Gambar 3.5
III - 8
Gambar 3.6
III - 14
Gambar 3.7
III - 16
Gambar 3.8
III - 17
Gambar 3.9
III - 19
III - 20
III - 21
III - 23
III - 24
III - 26
III - 28
Gambar 4.1
IV - 2
Gambar 4.2
IV - 3
Gambar 4.3
IV - 4
Gambar 4.4
IV - 5
Gambar 3.2
Gambar 3.3
Gambar 3.4
Gambar 3.10
Gambar 3.11
Gambar 3.12
Gambar 3.13
Gambar 3.14
Gambar 3.15
xi
Gambar 4.5
IV - 6
IV - 11
IV - 11
IV - 12
Gambar 4.9
IV - 12
Gambar 4.10
IV - 13
Gambar 4.11
IV - 14
Gambar 4.12
IV - 20
Gambar 4.13
IV - 21
Gambar 4.14
IV - 22
Gambar 4.15
IV - 22
Gambar 5.1
V-2
V-4
V-4
V-5
V-6
Gambar 5.6
V-7
Gambar 5.7
V - 10
V - 11
Gambar 4.6
Gambar 4.7
Gambar 4.8
Gambar 5.2
Gambar 5.3
Gambar 5.4
Gambar 5.5
Gambar 5.8
Gambar 5.9
Gambar 5.10
Gambar 5.11
V - 12
V - 13
xii
Gambar 5.12
Gambar 5.13
Gambar 5.14
Gambar 5.15
Gambar 5.16
Gambar 5.17
Gambar 5.18
V - 18
V - 21
V - 23
V - 25
V - 27
V - 29
V - 30
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1
III - 13
Tabel 3.2
III - 18
Tabel 3.3
III - 25
IV 5
IV 6
IV 8
IV - 9
Tabel 4.5
IV - 14
Tabel 4.6
IV - 15
Tabel 4.7.
IV - 16
Tabel 4.8
IV - 17
Tabel 4.9
IV - 18
Tabel 5.1
V - 17
Tabel 4.1
Tabel 4.2
Tabel 4.3
Tabel 4.4
xiv
BAB - I
PENDAHULUAN
I-1
seperti bintang laut pemakan karang (Dahuri, 1996). Sedangkan kerusakan terumbu
karang yang disebabkan oleh kegiatan manusia seperti penangkapan ikan dengan
menggunakan bahan peledak dan racun seperti sianida dan potasium. Ekskploitasi
terumbu karang yang berlebihan untuk berbagai kepentingan seperti cinderamata
(perhiasan) dan bahan baku fondasi bangunan rumah. Disamping itu, kerusakan terumbu
karang juga bisa dikarenakan terjadinya siltasi dan sedimentasi akibat pengerukan dan
penimbunan pantai untuk konstruksi pembangunan infrastruktur (pemerintah) dan
bangunan komersial (hotel), pembukaan lahan perkebunan dan aktivitas penambangan.
Menyikapi kerusakan terumbu karang tersebut, pemerintah Indonesia membuat
program yang berkaitan dengan pengelolaan terumbu karang yang disebut sebagai :
COREMAP (Coral Reef management and Program) yang dalam pendanaannya didukung
oleh ADB (Asean Development Bank). Program tersebut secara nasional bertujuan untuk
menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam meningkatkan pengelolaan dan rehabilitasi
terumbu karang agar sumber daya laut dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan
bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat (lokal). Dalam konteks ini,
dilakukannya kajian di kawasan perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir
Pulau Mamot (Lingga), mengingat di sekitar wilayah perairan tersebut banyak dilakukan
aktivitas penambangan bauksit.
Kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan bauksit di
Pulau Bintan dan Pulau Lingga, pada umumnya belum menerapkan konsep pengelolaan
pertambangan yang baik dan benar (good mining practice) sehingga dapat menimbulkan
dampak lingkungan terhadap wilayah di sekitar pertambangan tersebut. Disatu sisi
kegiatan tersebut berdampak positif, yakni dapat memberikan konstribusi dalam
penyediaan lapangan kerja serta meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) di wilayah
tersebut, namun disisi lain juga berdampak negatif, yaitu dapat mengakibatkan terjadinya
degradasi kualitas air permukaan (sungai) yang mengalir menuju ke perairan laut.
Dampak negatif aktivitas penambangan tersebut, antara lain dapat menyebabkan
terjadinya perubahan kualitas air laut di perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan
pesisir Pulau Mamot (Kepulauan Lingga) yang memiliki ekosistem terumbu karang yang
harus di lindungi. Berdasarkan peta konservasi terumbu karang dunia (Asia Tenggara),
perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot (Kepulauan Lingga)
mempunyai tingkat ancaman kerusakan ekosistem terumbu karang termasuk kategori
sedang hingga tinggi. Ancaman terjadinya kerusakan tersebut dapat terjadi sebagai akibat
baik karena proses alami maupun ancaman yang paling besar sebagai akibat kegiatan
manusia, seperti aktivitas pembukaan lahan kehutanan dan pertambangan. Sementara
I-2
I-3
sekitar Pulau Lingga. Kondisi umum seperti kondisi geologi, tutupan lahan, iklim, arus dan
gelombang laut serta faktor-faktor lingkungan perairan seperti kualitas fisik dan kimia air,
biota perairan yang berperan terhadap perubahan ekosistem terumbu karang di perairan
pesisir timur Pulau Bintan dan sekitar perairan pesisir Pulau Lingga.
I-4
BAB - II
METODOLOGI
II - 1
pesisir timur Pulau Bintan dan di sekitar perairan pesisir Pulau Mamot (Lingga).
Pendekatan permasalahan kajian dilakukan melalui analisis citra landsat untuk
mendeleniasi sebaran kekeruhan di wilayah kajian, yakni : baik wilayah potensi sumber
dampak (aktivitas penambangan) maupun wilayah yang berpotensi terkena dampak
(ekosistem perairan terumbu karang). Selanjutnya dilakukan survey lapangan untuk
mengecek hasil analisis tersebut, serta dilakukan pengukuran parameter fisik, kimia air
dan unsur logam berat serta biota perairan. Disamping itu, juga dilakukan pengambilan
(sampling) terhadap beberapa conto air (5 sample) dan plankton untuk keperluan analisis
fisik, kimia air dan unsur logam berat serta biota perairan di laboratorium. Disamping itu
juga dilakukan sampling terhadap conto bijih bauksit untuk mengetahui komposisi mineral
dan komposisi kimia serta karakter bijih yang meliputi ukuran butir dan densitasnya.
Guna mendukung analisis tersebut dilakukan juga kompilasi data sekunder baik melalui
koordinasi institusi maupun studi literatur.
2.2 Hipotesis
Terdapat korelasi antara dampak aktivitas penambangan bauksit di daerah Kijang (Pulau
Bintan) dan di sekitar Pulau Mamot (Lingga) jika dilakukan tanpa pengelolaan
pertambangan yang baik dan benar, dengan kemungkinan terjadinya perubahan
ekosistem dan bahkan menurunnya pertumbuhan terumbu karang di perairan pesisir
timur Pulau Bintan dan di sekitar perairan pesisir Pulau Mamot (Kepulauan Lingga).
II - 2
2.3 Metoda
Metoda untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan melalui analisis citra landsat dan
survey lapangan guna mengidentifikasi aktivitas penambangan sebagai sumber dampak,
sampling dan pengukuran parameter fisik air permukaan dan air laut di wilayah perairan
yang diprediksi terkena dampak. Guna mendukung analisis data tersebut diperlukan: citra
landsat, peta rupabumi, geologi, batimetri, tinggi gelombang dan arah arus laut, iklim yang
mencakup data curah hujan, arah angin serta kabijaksanaan tata ruang, sebaran bahan
tambang dan aktivitasnya, peta fungsi lahan dan kawasan konservasi. Disamping itu, juga
dilakukan koordinasi dengan dinas terkait untuk memperoleh data sekunder serta data
sekunder lainnya melalui studi literatur tentang laporan-laporan dan tulisan ilmiah
mengenai kondisi sosial-ekonomi-budaya di kedua wilayah kajian tersebut secara
komprehensif.
2.4.1
Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi literatur dan penelusuran data
melalui internet, serta berkoordinasi dengan dinas terkait untuk memperoleh data
sekunder yang relevan dengan ruang lingkup wilayah kajian, seperti citra landsat, ALOS
atau sejenisnya, peta rupabumi, peta geologi, tutupan lahan, curah hujan, batimetri, arus
dan gelombang laut serta data sosial-ekonomi masyarakat pesisir.
2.4.2
Persiapan Lapangan
Persiapan lapangan dilakukan melalui analisis citra landsat di studio guna menentukan
batas wilayah studi, lokasi tambang, deliniasi sebaran tingkat kekeruhan, potensi dampak
perubahannya. Merencanakan titik-titik sampling air permukaan, jumlah sample,
menentukan parameter fisik dan kimia air serta jenis unsur logam berat yang akan
dianalisis di laboratorium. Tahapan kegiatan secara rinci disajikan pada bagan alir
Gambar 2.2.
II - 3
Studi
literatur
Penyusunan
KAK
Persiapan
lapangan
Analisis
citralandsat
Survey
lapangan
Identifikasi,
pengukuran
, sampling
Teridentifikasi sumber
dampak & wilayah terkena
dampak, sample
Kegiatan
laboratorium
Analisis
sample
Pengolahan
data
Analisis
korelasi
Kesimpulan dan
saran
Evaluasi
data
Penyusunan
laporan
Laporan
Survey lapangan
Survey lapangan dilakukan di kedua wilayah kajian tersebut selama 14 hari guna
memperoleh data primer yang meliputi identifikasi aktivitas penambangan dan
perlindungan lingkungan, sampling air permukaan dan air laut, sedimen, pengukuran
parameter fisik air di wilayah studi, serta berkoordinasi dengan dinas terkait sesuai
dengan ruang lingkup ke-dua wilayah kajian tersebut untuk memperoleh data sekunder.
Disamping itu juga dilakukan pengamatan lapangan secara diskriptif dan difokuskan
pada komponen ekologi seperti gambaran terumbu karang, padang lamun, mangrove,
dan hidrologi, dan gejala-gejala fenomena alam yang terjadi seperti sedimentasi,
degradasi lahan, erosi dan kekeruhan. Penentuan posisi geografis lokasi pengamatan
dilakukan dengan menggunakan instrumentasi standard berupa GPS dan peta topografi
Bakosurtanal.
II - 4
TAHAP
PERSIAPAN LAPANGAN
Peta lokasi :
Wilayah Perairan
Pesisir Timur Pulau
Bintan
Peta Dasar Kajian
Peta Geologi
Peta Rupabumi
Peta Lokasi
Tambang
Data Curah hujan
Laju, Arah Arus,
Gelombang Laut,
Peta Batimetri
Peta Pola
Sebaran Tingkat
Kekeruhan,
Titik Sampling Air,
Peta Ancaman
Kerusakan Ekologi
Terumbu Karang
MENENTUKAN
WILAYAH KAJIAN
Peta lokasi :
Wilayah Perairan
Pesisir Kepulauan
Lingga Utara
MENENTUKAN
BATASAN WILAYAH
KAJIAN
Peta Pola
Sebaran Tingkat
Kekeruhan,
Titik Sampling Air,
Peta Ancaman
Kerusakan Ekologi
Terumbu Karang
ANALISIS
CITRALANDSAT
PETA TEMATIK
Analisis di laboratorium
Analisis di laboratorium dilakukan terhadap conto bijih bauksit untuk mengetahui
komposisi mineral, komposisi kimia dan analisis ukuran butir serta densitas. Sementara
analisis conto air dilakukan untuk mengetahui parameter fisik dan kimia air serta
kandungan unsur logam berat. Parameter kimia dan fisika
berubah, seperti pH, temperatur, oksigen terlarut (DO), daya hantar listrik (DHL), dan
bikarbonat, pengukuran dan analisis kimia dilakukan di lapangan.
Sementara analisis kimia seperti bikarbonat, klorida, zat organik, oksigen terlarut,
COD, kalsium, dan magnesium dilakukan secara volumetri. Nitrat, nitrit, ammonium,
boron, sulfida, posfat, silikat fluorida, secara spektrofotometri sinar tampak. Sulfat dan
kekeruhan secara turbidimetri, dan logam berat secara spektrofotometri serapan atom
(AAS). Disamping itu juga dilakukan analisis terhadap conto biota perairan, seperti jumlah
toksa plankton.
II - 5
2.4.3
II - 6
BAB - III
TINJAUAN UMUM WILAYAH KAJIAN
km
diantaranya terdiri dari karang batu yang berjumlah lebih dari 450 jenis, karang lunak 210
jenis serta 350 jenis gorgonian. Potensi keanekaraman terumbu karang ini menyimpan
sebanyak 53 % dari potensi terumbu karang dunia, yang terdiri dari 3000 jenis species.
Namun demikian, kondisi terumbu karang di Indonesia cukup memprihatikan mengingat
kondisi terumbu karang yang sangat baik hanya tinggal 5.23 %, selebihnya 24.26 %
dalam kondisi baik, 37.34 % dalam kondisi cukup dan 33.17 % dalam kondisi kurang baik
atau rusak.
Berbagai ancaman cukup serius terhadap kerusakan terumbu karang tersebut,
baik ancaman yang berasal dari aktivitas manusia melalui penangkapan ikan yang tidak
ramah lingkungan, penggunaan bom dan sianida, pembukaan lahan untuk perkebunan
dan penambangan, maupun ancaman lainnya yang berasal dari aktifitas alam.
Kerentanan ekosistem terumbu karang akibat berbagai aktivitas manusia terus memaksa
terdegradasinya terumbu karang. Tingkat kerentanan terumbu karang di Indonesia
terhadap ancaman kerusakan diperlihatkan pada Gambar 3.2.
III - 1
Gambar 3.1
III - 2
Gambar 3.2 Peta tingkat ancaman kerusakan terumbu karang di perairan Indonesia
Berdasarkan uraian tersebut, maka kawasan konservasi terumbu karang di
perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot dipilih sebagai
lokasi kajian. Sebagai dasar pertimbangan bahwa perairan tersebut di satu sisi
merupakan kawasan koservasi perairan yang mempunyai ciri khas tertentu yang ideal
untuk tujuan penelitian (ilmu pengetahuan) yang menunjang budidaya perikanan,
kelautan, pariwisata, namun disisi lain juga rentan terhadap ancaman kerusakan akibat
aktivitas pertambangan disekitar perairan tersebut. Wilayah Kecamatan Bintan Timur
merupakan wilayah kawasan pertambangan bauksit, granit, pasir darat (Bappeda
Kabupaten Bintan, 2010). Sedangkan Pulau Mamut dan Pulau Senayang di rencanakan
akan dilakukan eksplorasi dan eksploitasi tambang bijih bauksit (komunikasi dengan
masyarakat Desa Mamut, 2010).
.
3.1.2
Terdapat 2 (dua) lokasi daerah kajian terpilih, yaitu : wilayah penambangan bauksit di
daerah Kijang (Pulau Bintan) hingga perairan pesisir timur Pulau Bintan - Pulau Mapur,
III - 3
dan wilayah penambangan bauksit di sekitar Pulau Mamot (Kepulauan Lingga) hingga
perairan pesisir Pulau Mamot (Gambar 3.3). Secara regional kedua wilayah kajian
tersebut termasuk wilayah administrasi Pemerintah Daerah Kabupaten Bintan dan
Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau.
Bagi kepentingan penelitian kelautan, lokasi daerah kajian di sekitar perairan
pesisir timur Pulau Bintan terdapat 7 lokasi Daerah Perlindungan Laut (DPL). Sedangkan
lokasi daerah kajian di sekitar perairan pesisir Pulau Mamot terdapat 7 lokasi DPL. Lokasi
DPL di ke-dua daerah kajian tersebut, secara jelas dapat dilihat pada peta Gambar 3.4
Gambar 3.3 Peta lokasi daerah kajian, yang meliputi wilayah perairan pesisir timur Pulau
Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot , Kepulauan Lingga
III - 4
Gambar 3.4
Peta lokasi daerah perlindungan laut (DPL) yang terletak di perairan timur
Pulau Bintan dan perairan di sekitar Pulau Mamot
Geologi Regional
Berdasarkan hasil penafsiran dari citra landsat di daerah Bintan (Kabupaten Bintan) dan
Lingga (Kabupaten Lingga), memperlihatkan bahwa jenis dan sebaran batuan bervariasi
yang mengikuti bentuk, ciri-ciri tektur dan rona, baik tekstur kasar, sedang, maupun halus
setara dengan sebaran jenis batuannya. Berdasarkan data-data yang diperoleh baik dari
data sekunder maupun data primer hasil penafsiran citra landsat, susunan lapisan batuan
di kawasan konservasi perairan di sekitar daerah Bintan Timur dan sekitar Lingga dapat
diuraikan dari yang berumur tua ke muda sebagai berikut :
1.
Batuan granit dan diorit yang terdiri dari granit Munjung dan Tanjung Buku, berwarna
ke abuan, tektur kasar, berbutir kasar umumnya membentuk sebagai batolit. rbreksi
vulkanik, lava, tufa yang dihasilkan dari aktifitas gunungapi Tersier. Penyebarannya di
bagian Pulau Singkep dan di Pulau Bintan dan pulau disekitarnya.
III - 5
2.
Kuarsit Bukit Duabelas yang terdiri dari kuarsa, sisipan filit dan batusabak.
3.
Formasi Tanjung Datuk berupa batupasir malihan, batulempung, lanau sisipan batu
rijang dan berwarna abu kecoklat-coklatan.
4.
Formasi Pancar yang terdiri dari serpih kemerahan,urat kuarsa tipis, sisipan batupasir
kuarsa berlapis baik dan konglomerat.
5.
Formasi Semarung terdiri dari batupasir arkose, berbutir kasar, berlapis baik,
terkonsilidasi baik, sisipan batulempung.
6.
7.
lokasi patahan naik yang terdapat di Pulau Singkep (Suwarna, N dkk, 1989). Peta geologi
yang menggambarkan kondisi geologi di wilayah kajian tersebut diperlihatkan padam
Gambar 3.5. Berdasarkan kondisi geologi dan pola struktur geologi di daerah Bintan dan
Lingga ditemukan indikasi adanya sebaran cebakan bouksit, bijih besi, timah, granit,
andesit dan pasir darat yang cukup berpotensi untuk di usahakan penambangannya.
Gambar 3.5 Peta geologi daerah Bintan dan Lingga (PSG, 2002).
3.2.2
Bijih bauksit secara umum merupakan sumber logam alumina (Al) yang dikenal dengan
rumus kimia (Al2O3.2H2O) dengan sistem kristal oktahedral, sedangkan bentuk mineral
lainnya berupa ikatan monohidrat seperti diaspore (Al2O3 H2O), bouhmite dan gibsite Al
III - 6
(OH) 3. Namun pada kenyataannya di alam, secara umum mempunyai komposisi berbagai
oksida logam, diantaranya terdiri dari oksida alumina (35 - 65 %) Al2O3; oksida besi (2 20 %) Fe2O3; silika bebas antara (2 - 10 %) SiO2; oksida titan (1 - 3 %) TiO2 dan air (10 30 %) H2O.
Keterdapatan bijih bauksit di alam bisa berbentuk cebakan bijih bauksit primer dan
cebakan bijih bauksit sekunder. Cebakan bijih bauksit primer terbentuk sebagai akibat
proses magmatik dan hidrotermal yang kaya akan mineral yang mengandung alumina.
Batuan sumber sebagai akibat proses magmatik, yakni berupa batuan beku yang
mengandung mineral anorthosite [(Na,K) AlSi3O8] dan nepheline (Na3K,Al4Si4O16) dan
syenite yang mengandung lebih dari 20 % Al2O3. Sementara oksida alumina produk dari
alterasi hidrotermal pada batuan trachyte dan rhyolite pada daerah volkanik menghasilkan
mineral alumnit [K,Al3 (SiO4)2(OH)2] yang mengandung sekitar 75 % Al2O3.
Sedangkan cebakan bijih bauksit sekunder dapat terbentuk sebagai akibat proses
metamorfosa dari mineral-mineral alumina silikat seperti andalusite, silimanite dan kianite
(Al2SiO5). Cebakan bijih bauksit juga dapat terbentuk sebagai akibat proses pelapukan
dari batuan primer yang bersifat feldspatik (nepheline), terangkut dan terjadi
pengendapan. Berdasarkan letak pengendapannya, cebakan bijih bauksit sekunder dapat
dibagi menjadi 3 (tiga), yakni cebakan (endapan) bauksit residual, bauksit koluvial dan
bauksit aluvial. Sementara berdasarkan lingkungan pengendapannya, cebakan bijih
bauksit dapat diklasifikasikan sebagai cebakan bauksit pada batuan klastik kasar (misal:
bouhmite); cebakan bauksit pada batuan karbonat berumur paleosin (terarosa), misalnya
diaspore; cebakan bauksit pada batuan phosphate yang pada umumnya banyak
mengandung mineral lempung (seperti monmorilonite dan atapulgite); cebakan bauksit
pada batuan sedimen klastik yang banyak dijumpai pada lingkungan pengendapan sungai
berstadium tua atau delta.
Cebakan bauksit di daerah kajian termasuk jenis cebakan residual, merupakan
hasil pelapukan (mengalami laterisasi) akibat pengaruh perubahan temperatur secara
terus menerus dari batuan sumber (granite). Pada awal pelapukan, alkali tanah dan silikat
akan larut dengan baik pada pH : 5 - 7 sebagai akibat delitifikasi. Demikian pula kaolin
bebas akan larut dalam air yang bersifat asam. Proses ini menyesuaikan suasana basa
lemah dari alumina, besi dan titan yang kemudian membentuk endapan aluvial.
Sementara unsur yang mudah larut (Na, K, Mg dan Ca) dihanyutkan oleh air, warna
hidroksida besi lambat laun akan berubah dari warna hitam menjadi coklat kemerahan
dan akhirnya berwarna merah. Litifikasi akan membentuk laterit yang selanjutnya
III - 7
3.3
3.3.1
penataan
ruang
belum
mendapat
perhatian
proposional,
adanya
konflik
pemanfaatan, kewenangan yang belum jelas dan kurangnya koordinasi antar instansi.
Rekomendasi penting yang perlu diperhatikan bagi Pemprov Kepri adalah perencanaan
tata ruang Provinsi Kepulauan Riau harus memperhatikan kekhasan daerah antara lain :
terdiri dari ribuan pulau termasuk pulau-pulau terluar, posisi strategis, berada di jalur
perdagangan internasional serta kemungkinan ditetapkannya sebagai kawasan Defense
III - 8
3.3.2
Kabupaten Bintan yang terletak berdekatan dengan negara tetangga, yaitu Singapura dan
Malaysia menjadikan peluang bagi pengembangan daerah dengan prinsip persamaan
dan saling menguntungkan. Disamping letak yang sangat strategis, Kabupaten Bintan
juga mempunyai potensi kawasan budidaya dari berbagai sektor, yakni sektor perikanan,
pertambangan, pariwisata, pertanian dan industri. Kebijaksanaan tata ruang yang
mencakup tentang pengelolaan dan pemanfaatan ruang kawasan budidaya tersebut,
diperlukan strategi pengembangan wilayah yang selaras dengan tujuan kebijaksanaan
pengembangan wilayah regional baik tingkat propinsi maupun tingkat nasional, yaitu
berupa :
Mempromosikan
pusat-pusat
pertumbuhan
baru
melalui
struktur
dan
pola
III - 9
Menyediakan
dan
mendistribusikan
sarana
dan
prasarana
pelayanan
yang
laju
pembangunan
antar
kabupaten/kota
untuk
mengurangi
III - 10
No
Landuse
Luas ( Ha )
Hutan mangrove
Tegalan
17.794
Semak belukar
57.256
Pemukiman
5.812
Lahan terbuka
1.795
Pertambangan
7.845
13.203
8.244
Jumlah
3.949
115.898
III - 11
Gambar 3.6
b.
c.
III - 12
1.
2.
3.3.3
Kebijaksanaan Tata Ruang Kabupaten Lingga tidak jauh berbeda dengan Kebijaksanaan
Tata Ruang di Kabupaten Bintan, karena Kabupaten Lingga merupakan kabupaten yang
baru terbentuk dari hasil pemekaran. Berdasarkan data yang diperoleh Bappeda
Kabupaten Lingga, penggunaan peruntukan lahan seperti disajikan pada Tabel 3.2 dan
Gambar 3.7 dan model strateginya diperlihatkan pada Gambar 3.8.
III - 13
No
Landuse
Luas ( Ha )
7.361
Hutan mangrove
Tegalan
Semak belukar
Pemukiman
385
Lahan terbuka
103
Pertambangan
189
73.250
2.334
492
1.403
Jumlah
85.517
Pada Gambar 3.8 tersebut, terlihat bahwa Pulau Mamot terletak di antara 2 (dua)
model strategi pengembangan dan pemanfaatan lahan, yakni :
III - 14
1.
2.
3.
Berdasarkan model strategi tersebut dapat ditarik model strategi pengembangan dan
pemanfaatan Pulau Mamot sebagai :
Koleksi dan distribusi hasil perikanan dan kelautan
Kawasan pertanian, perkebunan dan perikanan
Pusat koleksi dan distribusi hasil pertanian
Simpul pelayanan transportasi lokal
Perumahan dan permukiman
3.4
Kondisi Iklim
Sistem klasifikasi iklim di Indonesia pada umumnya mengacu klasifikasi Oldemann dan
klasifikasi Schmidt & Fergusson, kedua klasifikasi ini didasarkan pada jumlah bulan basah
dan bulan kering dalam setahun yang terjadi di suatu daerah. Parameter yang diperlukan
antara lain curah hujan dan banyaknya hari hujan, arah dan kecepatan angin, suhu dan
kelembaban. Iklim di wilayah kajian mengacu data iklim tahun 2009 yang diperoleh dari
stasiun metereologi Hang Nadim yang merupakan stasiun terdekat.
3.4.1
Curah Hujan
Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt & Fergusson, wilayah kajian termasuk jenis iklim
basah (type B), dengan Q berkisar antara : 20 - 33 %. Data curah hujan yang diperoleh
dari stasiun Pos Pengamatan Tajung Pinang dan Lingga (Bappeda 2008), menunjukkan
bahwa curah hujan rata-rata di daerah ini adalah 1500 - 3300 mm/tahun dan bulanan
antara 135 280 mm/bulan (gambar 3.9 dan gambar 3.10). Bulan basah untuk daerah
ini terjadi pada bulan Oktober hingga Maret, sedang bulan kering terjadi pada April hingga
September. Dengan demikian daerah kawasan konservasi perairan pesisir timur Pulau
III - 15
Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot (Lingga) mempunyai bulan basah yang lebih
banyak dari pada bulan keringnya.
Gambar 3.9
mm
250
200
150
100
50
0
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des
Bulan
Gambar 3.10
III - 16
3.4.2
Angin
Kondisi angin sangat dipengaruhi oleh sistem tekanan udara di Asia dan Australia
sehingga dalam periode Bulan Desember sampai dengan Bulan maret angin rata-rata
bertiup dari arah Baratdaya menuju Timurlaut, dengan kecepatan angin rata-rata sebesar
5.knot. Pada periode ini bertiup angin musim Barat yang dicirikan oleh hembusan angin
yang kuat dan disertai besarnya amplitudo gelombang laut. Periode Mei sampai Oktober
angin dominan bertiup dari arah Selatan dengan kecepatan berkisar antara 5-7 knot.
Periode Mei sampai Agustus bertiup angin musim Timur, sementara periode bulan
September Oktober adalah musim peralihan. Data arah angin dan kecepatan angin
rata-rata bulanan tahun 2009 disajikan pada Gambar 3.11
3.4.3
Suhu udara rata-rata bulanan tahun 2009 adalah 26,4o C, sedangkan suhu minimum
berkisar antara 21,8 - 24,9o C, dan suhu maksimum berkisar antara 30,4 - 34,5o C.
Kelembaban nisbi bulanan rata-rata antara 80 - 87 %, tekanan udara berkisar antara
1009,0 hingga 1011,4 MBS.
Gambar 3. 11
III - 17
organisme air maupun tingkat kekeruhan air laut dipengaruhi oleh gerakan massa air di
perairan.
3.5.1
Kedalaman (batimetri)
Berdasarkan peta laut yang dikeluarkan oleh Dinas Hidro Oceanografi TNI AL (Gambar
3.12), dapat diketahui bahwa perairan di wilayah kajian mempunyai dasar perairan
dangkal dengan kedalaman antara 2 sampai 46 m kedalaman di bawah permukaan air
laut (dpal).
3.5.2
Arus
Pola arus di wilayah kajian dan sekitarnya pada bulan Nopember.- Mei.berarah Baratlaut
dan Tenggara, sementara pada bulan Juni September berarah Tenggara dan Baratlaut
(gambar 3.13 ). Sementara dari hasil analisis progresif vector diagram di wilayah studi
diperoleh data bahwa arus bergerak
amper
hanya antara dua arah tersebut. Kekuatan arus tersebut tercermin dua osilasi yang kuat
dan
amper
lemah dengan dua puncak dalam waktu 24 jam. Nampak bahwa massa
amper
Baratlaut dan
sekitar 24 jam.
3.5.3
Gelombang
Gelombang atau ombak adalah pergerakan massa air (naik turun) yang dibangkitkan oleh
angin, semakin kuat angin semakin besar pula gelombang yang dibangkitkan. Gelombang
akan menjalar dan bereaksi pada saat mencapai kedalaman tertentu, dan berpotensi
membentuk
mempengaruhi tinggi, panjang dan periode gelombang adalah kecepatan, arah, lama
angin bertiup dan fetch. Gelombang dapat diprediksi berdasarkan significant wave
method atau wave spectrum method. Berdasarkan prediksi gelombang laut pada bulan
Jjuli 2010 seperti disajikan pada tabel 3.14 yang memperlihatkan tinggi gelombang
perairan secara regional.
III - 18
Gambar 3.12
Gambar 3. 13 Peta arah dan kecepatan arus di wilayah Kabupaten Bintan dan
Kabupaten Lingga
III - 19
Tabel 3.3
Prediksi gelombang laut, arah dan kecepatan angin serta arus laut di
beberapa perairan pada bulan Juli 2010
lebih
kecil
dari
8(cmsq),
maka
gelombang
tersebut
belum
mampu
menggerakkan kolom massa air sampai dekat dasar. Dengan demikian peran gelombang
belum memberikan konstribusi terhadap turbulensi yang dapat mengaduk atau
mengangkut sedimen dari dasar laut.
III - 20
Gambar 3. 14
3.5.4
Pasang surut
Pasang surut adalah fenomena naik turunnya paras muka air laut yang diakibatkan oleh
gaya tarik menarik matahari dan bulan. Gaya tarik bulan mempunyai pengaruh yang lebih
besar dibandingkan gaya tarik matahari. Pola pasang surut di sekitar lokasi kajian
dipengaruhi oleh kondisi perairan sekitarnya. Tinggi pasang surut tidak dilakukan
pengamatan, sementara tinggi pasang surut di wilayah kajian sekitar 0,7 sampai 3 m.
3.5.5
Sebagai gambaran umum tentang suhu muka laut di Indonesia diilustrasikan dalam
bentuk peta seperti terlihat pada gambar 3.15. Pada peta tersebut terlihat dengan jelas,
bahwa suhu muka laut di Indonesia pada umumnya berkisar antara 28 30oC, dengan
suhu muka laut tertinggi di kawasan perairan Indonesia bagian timur, sedangkan suhu
muka laut di sekitar Kepulauan Riau berkisar antara 28 29oC. Sedangkan di perairan
Batam dan sekitarnya pada umumnya masih dalam batas normal berkisar 0,5 s/d +
0,5oC.
III - 21
3.6
Ekosistem perairan laut dangkal terdiri dari terumbu karang, padang lamun, hutan bakau,
yang pada umumnya memiliki keanekaragaman jenis tumbuh-tumbuhan dan hewan yang
sangat tinggi.
3.6.1
Terumbu Karang
Terumbu
karang
merupakan
ekosistem
khas
daerah
tropis
yang
mempunyai
Gambar 3.15
III - 22
III - 23
pengikat sedimen dan penyaring zat-zat pencemar yang berhaya. Disamping itu, juga
berfungsi sebagai tempat pemijahan dan pembesaran ikan serta penghasil nutrien.
Beberapa jenis lamun yang terdapat di perairan pesisir timur Pulau Bintan, antara
lain : Halodule universis, Halodule pinifolia, Syringodium isoetifolium, Thalassia hemprichii
dan Enhelus acoroides. Bahkan diketemukan di Berakit satu jenis lamun yang langka di
Indonesia (LIPI, 2003), yaitu : Halophyla spinulosa yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan
berpotensi sebagai bahan baku industri makanan, obat dan kosmetika.
3.7
3.7.1
Budaya Masyarakat
Pola budaya penduduk di sekitar kawasan konservasi perlindungan laut di Bintan Timur,
Kabupaten Bintan dan di Pulau Mamut, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau
terlihat dalam kehidupan sehari-hari terutama untuk golongan nelayan saling tolong
menolong antara tetangga yang tinggal berdekatan terutama untuk pekerjaan-pekerjaan
kecil yang lokasi berdekatan. Demikianpula tolong menolong antara kaum kerabat dalam
suatu keluarga atau upacara adat sekitar titik-titik peralihan pada lingkungan hidup
individu atau keluarga.
Nilai budaya dari semua suku selalu berorientasi ke atas/vertikal (ketua adat) hal ini
menimbulkan kurang percaya pada kemampuan sendiri, sikap tak berdisiplin murni dan
kurang mempunyai rasa tanggung jawab. Tetapi dari aspek negatif nilai budaya
masyarakat tersebut dapat menjadi positif dilakukan untuk membangun dengan
III - 24
mengajak tokoh-tokoh masyarakat (ketua adat) menjadi penuntun (sebagai conto hidup
hemat, kerja keras dan disiplin) dalam proses membangun tersebut. Aspek lainnya yaitu
sifat tahan penderitaan, hal ini dikarenakan oleh kondisi alamnya sehingga apabila akan
dikembangkan untuk proses pembangunan perlu keuletan untuk bekerja.
3.7.2
Sosial Ekonomi
Kabupaten Bintan (khususnya Bintan Timur), Provinsi Kepulauan Riau memiliki luas
kurang lebih 2.046,60 km2 atau 204.660 Ha, perkembangan jumlah penduduk yang terjadi
berakibat pada semakin berkembangnya kegiatan dari tingkat perekonomian wilayah.
Struktur penduduk menurut mata pencaharian umumnya dikaitkan dengan tingkat
pendidikan yang didominasi belum tamat SD serta keahlian yang didapat merupakan
warisan turun menurun/budaya, hal ini menunjukkan bahwa dominasi kegiatan untuk
melakukan produktifitas sehari-hari masih disektor pertanian kurang sebesar 76,31 %,
sektor jasa kemasyarakatan 8,08 %, industri pengolahan 5,56 % dan jasa pariwisata yang
masih relatif kecil.
Dalam konteks pembangunan ekonomi wilayah tiap-tiap daerah mempunyai pola
arahan pengembangan struktur tata ruang wilayah, untuk wilayah Taman Nasional
Kelimutu di katagorikan sebagai Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) 3 (tiga) yang
dimasukkan dalam wisata bahari, kelautan dan budidaya perikanan. Pertumbuhan
ekonomi wilayah Kabupaten Bintan Timur secara bertahap masih mengandalkan
beberapa sektor antara lain pertambangan (bauksit, andesit, pasir kuarsa dan lainnya),
perkebunan
kelapa
sawit
(tanaman
pangan,
tanaman
perkebunan,
kehutanan,
III - 25
BAB - IV
KAJIAN AKTIVITAS PENAMBANGAN
DAN KONDISI PERAIRAN
Beberapa jenis bahan tambang yang terdapat di wilayah kajian, diantaranya adalah bijih
bauksit, bijih besi, pasir kuarsa dan batuan andesit. Bijih bauksit kini pada umumnya
dieksport ke Singapura masih dalam kondisi mentah, namun masih menyisakan
pertanyaan apakah bijih tersebut diolah menjadi bahan baku industri lainnya atau hanya
sekedar dijadikan sebagai material tanah urug?. Demikian pula dengan bijih besi dan bijih
bauksit yang juga masih dalam kondisi mentah di ekport untuk memenuhi permintaan
industri peleburan di Cina (RRC). Sementara pasir kuarsa dan batuan granit (andesit)
yang telah direduksi ukurannya menjadi agregat di eksport ke Singapura sebagai bahan
bangunan.
Sementara menurut Undang Undang No.4 tahun 2009, tentang pertambangan,
dalam pasal 8 dinyatakan bahwa semua bahan galian (tambang) sebelum di eksport
harus dilakukan pengolahan terlebih dahulu didalam negeri. Dengan demikian akan dapat
memberikan nilai tambah dan mampu mensuport kebutuhan bahan baku dalam negeri
untuk industri-industri lainnya diluar sektor pertambangan. Diantara jenis bahan tambang
tersebut, bijih bauksit merupakan primadona komoditi eksport bahan tambang dan paling
dominan untuk dieksploitasi baik di Kabupaten Bintan maupun di Kabupaten Lingga.
4.1.2
Terdapat 4 (empat) jenis komoditi bahan tambang, yaitu bijih bauksit, bijih besi, batuan
andesit dan pasir kuarsa. Diantara ke-empat komoditi bahan tambang tersebut, bijih
bauksit yang paling banyak disusahakan untuk ditambang baik di Kabupaten Bintan
maupun di Kabupaten Lingga. Dengan demikian dalam konteks ini, hanya dipilih bijih
bauksit saja yang akan dikarakerisasi lebih lanjut, mengingat aktivitas penambangannya
paling berpotensi terhadap kemungkinan perubahan ekosistem perairan laut dangkal.
IV - 1
Bijih Bauksit
Secara megaskopik bijih bauksit berwarna coklat kemerahan, coklat kekuning-kuningan,
kuning kecoklatan. Pada umumnya, bijih bauksit bersifat keras, berongga, dan fragmental
dengan ukuran fragmen berkisar (1 mm - 1,5 cm). Komposisi fragmen dan matriks telah
mengalami pelapukan secara intensif dan pada umumnya menjadi mineral lempung dan
oksida besi (Gambar 4.1).
Gambar 4.1 Foto sample bijih bauksit (A. Kijang 1, B Kijang 2, C. Mamot)
Komposisi Mineral
Berdasarkan hasil analisis mikroskopis terhadap sayatan tipis pada posisi nikol silang
seperti diperlihatkan oleh fotomikrografi (Gambar 4.2), menunjukkan bahwa batuan induk
berupa granit teralterasi sangat kuat, dan memperlihatkan tekstur klastik yang terdiri dari
fragmen dan matriks. Ukuran fragmen (0,2 - 2) mm, pada umumnya terdiri dari fragmen
yang yang komposinya telah terubah menjadi mineral lempung (Lp) yang berwarna coklat
kemerah-merahan. Mineral-mineral lainnya berupa mika halus (Mk), silika halus (Si),
kuarsa (Ku), dan felspar yang terserisitkan, serisit (Se) serta nefelin syenite. Matriksnya
berupa mineral lempung berwarna coklat kemerah-merahan hingga kekuning-kuningan.
Nampak adanya Gibbsite (= Gb, yaitu: salah satu jenis dari mineral bauxite) yang
menunjukkan bentuk-bentuk struktur radier/agregat/melingkar dan kadang-kadang
menyerupai bentuk garis (lining) yang mirip dengan felspar dan seringkali mengisi rongga
(space), dan mineral limonit (berupa Goethite = Gt) yang berwarna coklat kehitamhitaman.
Sementara defraktogram hasil analisis X-RD (X-Ray Diffraction) teerhadap ketiga
conto tersebut sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 4.3. Pada defraktogram tersebut
menunjukkan bahwa contoh bijih bauksit tersebut mengandung beberapa jenis mineral,
seperti : Gibbsitte [Al (OH)3], Hematite (Fe2O3), Goethite (Fe3O(OH), Nacrite
IV - 2
[Al2Si2O2(OH)4] (termasuk jenis lempung). Hasil analisis baik secara mikroskopik maupun
dengan metoda X-RD, menunjukkan bahwa sebagian bauksit mengandung mineral
lempung yang berpotensi terjadinya kekeruhan perairan.
A. Kijang 1
Lp Gt
Si
Gb Ku
Lp
Si Se
Gt
Gb
Gb
Lp Gt
B. Kijang 2
Ku
Gb
Mk
Gt/Lm
Gt
Gb
Gb
Gb
Gt, Lp
Gb,
C. Mamot
Gb
Mk,
Si,
Gt
Mk, Si, Gt
Gb
Ku
Ok
IV - 3
A. Kijang 1
Gibbsite
Hematite
Nacrite
B. Kijang 2
Gibbsite
Hematite
Nacrite
C. Mamot
Nacrite
Gouthite
Gibssite
Hematite
Gouthite
IV - 4
Tabel 4.1 Hasil analisis kimia sample bijih bauksit (Kijang 1, Kijang 2, Mamot)
Komponen
Oksida (% berat)
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
7,49
0,11
0,00
0,01
0,06
1,44
5,71
1,92
22,15
25,32
Keterangan
Gravimetry
Spectrophotometry
Titration
36,74
0,11
0,00
0,00
0,56
5,19
4,68
3,34
10,18
15,38
AAS
AAS
AAS
AAS
AAS
AAS
Spectrophotometry
Gravimetry
Gravimetry
Gravimetry
90.00
80.00
BINTAN
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
0.001
0.01
0.1
10
DIAMETER BUTIR
Gambar 4.4. Grafik distribusi ukuran besar butir sample bauksit Pulau Bintan
berdasarkan ASTM
IV - 5
90.00
80.00
LINGGA
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
0.001
0.01
0.1
10
DIAMETER BUTIR
Gambar 4.5
Densitas
Tabel 4.2 Hasil analisis densitas contoh bijih bauksit Pulau Bintan dan Pulau Mamot
NO. CONTOH
KEDALAMAN
WAKTU PENGERJAAN
NO. PIKNOMETER
Pulau Bintan
Stockpile
12 Oktober 2010
18
20A
Pulau Mamot
Permukaan tanah
12 Oktober 2010
17
5A
64.34
65.09
66.91
65.05
gr
50.23
51.42
52.15
51.06
gr
14.11
13.67
14.76
13.99
SUHU
24
24
24
24
gr
160.02
157.63
165.35
158.88
(W4) gr
151.49
149.3
156.53
150.50
0.9973
0.9973
0.9973
0.9973
(W1-W2) + W4 (W5)
gr
165.600
162.970
170.867
164.084
gr
5.58
5.34
5.52
5.20
2.5287
2.5599
2.6752
BERAT JENIS
WT/(W5-W3)
gr/cm
2.5443
2.6885
2.6818
IV - 6
4.1.3
Sejarah aktivitas pertambangan bijih bauksit di daerah Kijang dimulai pada tahun 1924,
yakni sejak diketemukannya cebakan bauksit oleh sebuah perusahaan Belanda, NV
Nederland Indische Bauxiet Exploitatie Maatschappij (NIBEM). Namun NIBEM baru mulai
melaksanakan penambangannya pada tahun 1935 hingga tahun 1942. Pada tahun 1942
hingga 1945, usaha pertambangan tersebut diambil alih oleh pihak Pemerintah Jepang
melalui perusahaan Furukawa Co.Ltd. Sekitar tahun 1959, usaha pertambangan tersebut
kembali ditangani oleh NV Nederland Indische Bauxiet Exploitatie Maatschappij (NIBEM).
Setelah tahun 1959, kegiatan pertambangan bauksit ini diambil alih oleh Pemerintah
Republik Indonesia dengan mendirikan PT Pertambangan Bauoksit Indonesia (PERBAKI)
yang kemudian dilebur menjadi PN Pertambangan Bauksit Indonesia yang berada di
lingkungan BPU PERTAMBUN. Tahun 1968, BPU PERTAMBUN bersama-sama dengan
PN, PT dan proyek-proyek lainnya dalam lingkungan BPU PERTAMBUN dilebur kedalam
PN Aneka Tambang (Persero) yang selanjutnya berganti nama menjadi PT Aneka
Tambang. Tbk.
Semenjak paska penambangan bauksit oleh PT Aneka Tambang, kini telah
dilakukan kembali kegiatan inventarisasi dan evaluasi terhadap area bekas tambang
bauksit di wilayah PT Aneka Tambang dan pengamatan lapangan pada perusahaanperusahaan tambang yang kini masih aktif. Perusahaan-perusahaan pertambangan
tersebut diantanya adalah: Perusahaan tambang granit PT. Bukit Panglong di daerah
Panglong (Kijang), CV Kijang Jaya dan PT Mitra Investindo di daerah Galang Batang,
Kecamatan Gunung Kijang, serta Perusahaan tambang pasir PT Anyer Raja Utama dan
PT Pulau Batu Mulia. Namun dengan diterbitkannya Keputusan Kementrian Perdagangan
Nomor 2 tahun 2007, yakni kebijakan pemerintah tentang pelarangan ekspor pasir darat,
sehingga produksi
IV - 7
Tabel 4.3 Jenis, lokasi, luas dan kondisi bahan tambang di Kabupaten Bintan (2010)
No
Jenis
Nama Perusahaan
Pasir Darat
PT.Buana Bangun
Sejati
PT.Shanindo Indah
No dan Tgl
SIUP
244/V/2009,
5 Mei 2009
259/V/2009,
20 Mei 2009
227/IV/2009,
27 April 2009
408/X/2009,
13 10 2009
488/XII/2009,
30 12 2009
298/VI/2010,
23 Jun 2010
Lokasi
Bahan tambang
Kec.Gunung Kijang
Kec.Seri Kuala
Loban
Teluk Bakau, Kec
G.Kijang
Kec.Tel Bintan
Luas
(Ha)
Status
Kondisi
45.5 Produksi
71.12 Produksi
10 Produksi
35.1 Produksi
Kec.G.Kijang
44.23 Produksi
Kec.G.Kijang
57.14 Produksi
Kec.Gunung Kijang
Kec.Seri Kuala
Loban
Teluk Bakau, Kec
G.Kijang
41.78 Produksi
Granit
1
PT.Bukit Panglong
PT.Sindo Mandiri
PT.Mitra Investindo
244/V/2009,
5 Mei 2009
259/V/2009,
20 Mei 2009
227/IV/2009,
27 April 2009
408/X/2009,
13 10 2009
488/XII/2009,
30 12 2009
22.98 Produksi
63.72 Produksi
Kec.G.Kijang
42.5 Produksi
Kec.Tel Sebaong
26.2 Produksi
Bauksit
1
PT.Gunung Sion
PT.Gunung Kijang
Jaya Lestari
PT.Danpac Resources
PT.Wahana karya
Suksesindo
6
7
8
9
*)
PT.Bintang Cahaya
Terang
PT. Gunung Bintan
Abadi
PT.Lobindo Nusa
Persada
PT.Tunggul Ulung
Makmur
173/III/2010,
23 Mei 2010
174/III/2010,
29 3 2010
217/IV/2009,
26 April 2010
352/VIII/2008,
13 8 2008
488/XII/2009,
30 12 2009
385/IX/2010,
07 Sep 2010
219/IV/2010,
26 April 2010
127/III/2010,
12 3 2010
49/I/2010,
28 Jan 2010
Kec.Bintan Pesisir
Kec.Batang
Desa G.Kijang,
Kec.G.Kjang
P.Matang Baru
Perpanjangan
577.9 IUP
Perpanjangan
19 IUP
Perpanjangan
186.5 IUP
Kec.Bintan Timur
195.8 Produksi
Kec.Tel Sebaong
26.2 Produksi
Kec.Tel Bintan
Kec.Tel Bintan,
Kec.Bintan Pesisir
148.2 Produksi
IUP
- Eksplorasi
IUP
373.7 Eksplorasi
IUP
62.4 Eksplorasi
2050
Kec.Bintan Timur
Kec.Bintan Pesisr
Jumlah total
IV - 8
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Lokasi
Kondisi
Eksploitasi
Eksplorasi
Eksplorasi
Eksplorasi
Eksplorasi
Eksplorasi
Eksplorasi
Eksplorasi
Eksplorasi
Eksploitasi
Eksploitasi
Eksploitasi
Eksploitasi
Eksploitasi
Eksploitasi
Eksploitasi
Eksploitasi
Eksploitasi
Eksploitasi
IV - 9
4.1.4
Eksploitasi
Eksploitasi
Eksploitasi
Eksplorasi
Eksplorasi
Eksplorasi
Eksplorasi
Eksplorasi
Eksplorasi
Eksplorasi
Sistem penambangan yang diterapkan pada umumnya adalah sistem tambang terbuka
(surface mining) dengan metoda penambangan (open cash dan/atau atau open pit) yang
dilakukan secara berjenjang (benching). Aktivitas penambangan dengan sistem tambang
terbuka minimal terdiri dari 5 (lima) tahapan kegiatan, yakni: tahap persiapan
(development), dimulai sejak dari pembersihan lahan (land clearing) dan pengupasan
tanah penutup (stripping of overburden) hingga pembangunan infrastruktur. Tahap
penambangan terdiri dari penggalian, pemuatan, pengangkutan dan penampungan
menuju ke (stockpile). Tahap pengolahan produk : seperti reduksi ukuran besar butir,
pencampuran (mixing) dan pencucian. Tahap pemasaran : pemuatan dan pengapalan.
Tahap terakhir adalah paska tambang (reklamasi).
Sebagai gambaran tentang aktivitas penambangan bijih bauksit diperlihatkan pada
(Gambar 4.6), yaitu semenjak tahap persiapan hingga tahap pemasaran produk
dilakukan dengan bantuan peralatan berat. Beberapa jenis alat berat, seperti bouldozer
digunakan sebagai alat gali dan alat dorong dalam pekerjaan stripping dan land clearing.
Sementara back hue disamping digunakan sebagai alat gali juga sekaligus sebagai alat
muat, whell loader digunakan sebagai alat muat, serta dump truck digunakan sebagai alat
angkut. Sedangkan di laut umumnya digunakan tongkang yang ditarik oleh toughboat
(Gambar 4.7).
IV - 10
Gambar 4.6 Foto aktivitas penambangan bauksit di daerah Kijang, Pulau Bintan
Sedikit berbeda dengan aktivitas penambangan bijih bauksit maupun bijih besi,
penambangan batuan granit (andesit) sebagai agregat bahan bangunan yang dilakukan
melalui pengambilan/ pengumpulan batuan andesit berbentuk boulder yang banyak
tersebar di wilayah usaha pertambangan. Sebagian besar boulder tersebut diangkut ke
beberapa lokasi unit pemecahan batu untuk direduksi ukurannya secara manual
(konvensional)
dengan
melibatkan
masyarakat
penambang
setempat
secara
berkelompok, sementara boulder yang berukuran lebih kecil langsung diangkut ke unit
cruhing plant yang berada di dekat pantai. Produk batu belah yang dihasilkan oleh
masyarakat penambang, selanjutnya diangkut ke lokasi crushing plant untuk mereduksi
menjadi ukuran yang lebih kecil sebagai produk agregat dalam berbagai ukuran yang siap
untuk dipasarkan (Gambar 4.8 ).
Lain halnya dengan penambangan pasir darat (kuarsa) yang menempati kolamkolam bekas area penambangan terdahulu, pada umumnya dilakukan oleh kelompok
IV - 11
Gambar 4.8 Foto aktivitas reduksi ukuran butir (crushing plant) granit (andesit)
IV - 12
4.1.5
pengangkutan,
penimbunan
di
stockpile
hingga
ke
pemasaran
(pengapalan). Perubahan tersebut terutama jika turun hujan, dimana tumpukan material
lepas terangkut oleh air hujan dan mengalir melalui sungai yang pada ujungnya bermuara
ke perairan laut. Oleh karena itu, dalam pengelolaan pertambangan perlu dilakukan
secara baik dan benar, atau paling tidak mempunyai kepedulian terhadap lingkungan di
sekitarnya. Kepedulian lingkungan tidak hanya dilakukan pada tahap paska tambang,
melainkan dilakukan semenjak awal perencanaan tambang sudah dipikirkan.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, menunjukkan bahwa sebagian besar
usaha pertambangan baik di Kabupaten Bintan maupun di Kabupaten Lingga masih
kurang kepedulian terhadap lingkungan. Terutama aktivitas penimbunan (stockpile) dan
pemuatan di dermaga (jeti) tempat pengapalan bahan tambang yang akan di eksport,
yang pada umumnya tidak dibuat benteng maupun kolam pengendapan. Ketika terjadi
turun hujan, sebagian material lepas (bijih bouksit) terbawa air hujan mengalir menuju ke
laut, sehingga dapat mengakibatkan air laut menjadi keruh sebagaimana diperlihatkan
pada gambar 4.10, dengan demikian dapat menimbulkan terjadinya perubahan kualitas
perairan yang berujung pada perubahan ekosistem perairan dan degradasi lingkungan
perairan.
Gambar 4.10 Foto perbedaan kekeruhan air laut di sekitar jeti ketika turun hujan
IV - 13
Komponen parameter fisik air yang diamati dan akan digunakan sebagai indikator dalam
kajian ini, yakni : derajat keasaman (pH), temperatur, daya hantar listrik (DHL), salinitas,
total disolved solid (TDS), total suspended solid (TSS), kekeruhan dan kecerahan. Hasil
analisis terhadap sample air yang diambil di lokasi wilayah kajian (Gambar 4.11), baik di
perairan timur Pulau Bintan (kode sample BT) maupun di perairan utara Kepulauan
Lingga (kode sample MT) disajikan pada Tabel 4.5.
Kode
Sample
01
02
Koordinat
X
BT- 01
456621
108962
BT- 02
459454
109695
6.68
26.8
90
0.0
122
50
4.02
03
BT- 03
449646
133191
6.88
26.6
6430
3.4
340
56
6.59
04
BT- 04
459479
109708
8.26
26.4
50900
33.6
49396
46
0.28
05
BT- 05
470193
102942
8.47
28.6
50200
32.9
59406
36
0.56
06
BT- 06
477029
110365
8.38
29.5
43600
29.0
58754
36
15.2
07
BT- 07
461769
100625
8.38
27.2
42700
27.5
46990
142
98.8
08
BT- 08
457824
99350
5.70
27.3
34
0.0
134
36
0.74
09
BT- 09
457178
87089
8.41
27.0
46100
30.1
49246
52
61.6
10
BT- 10
462444
101193
8.45
27.5
47900
31.4
48754
52
0.82
11
BT- 11
461961
105474
8.40
27.9
47000
30.5
61006
36
0.29
12
MT- 01
443820
14214
6.89
27.0
43
0.0
104
28
0.67
13
MT- 02
445906
12102
8.36
28.6
45200
29.5
46490
40
0.62
14
MT- 03
448047
10814
8.53
27.3
45900
29.7
48680
38
0.43
15
MT- 04
449706
9122
8.44
27.6
45600
29.5
52382
34
0.82
Suhu
oC
28.1
pH
6.13
Kekeruhan
NTU
0.88
IV - 14
No.
Kode
Sample
Koordinat
Nitrat
Nitrit
NH4
PO4
Zat.Org
COD
mg/liter
mg/liter
mg/liter
mg/liter
mg/liter
mg/liter
mg/liter
01
BT- 01
456621
108962
3.95
0.346
ttd
0.45
0.45
13.37
48.16
02
BT- 02
459454
109695
5.05
0.651
ttd
0.78
0.42
31.14
36.72
03
BT- 03
449646
133191
3.99
0.602
ttd
0.23
ttd
41.52
54.01
04
BT- 04
459479
109708
5.95
0.415
ttd
0.39
0.17
53.68
36.48
05
BT- 05
470193
102942
5.78
0.365
ttd
0.08
0.18
28.05
57.24
06
BT- 06
477029
110365
5.77
0.377
ttd
0.14
0.16
15.72
55.08
07
BT- 07
461769
100625
5.78
0.404
ttd
0.26
0.17
15.41
59.41
08
BT- 08
457824
99350
3.04
0.709
ttd
0.22
0.25
32.16
46.04
09
BT- 09
457178
87089
5.88
0.426
ttd
0.24
0.18
32.16
44.28
10
BT- 10
462444
101193
6.11
0.408
ttd
0.01
0.19
29.36
32.41
11
BT- 11
461961
105474
6.38
0.423
ttd
0.18
0.17
38.89
29.16
12
MT- 01
443820
14214
5.52
0.354
ttd
0.21
0.67
3.23
48.60
13
MT- 02
445906
12102
6.14
0.468
ttd
0.19
0.20
64.30
61.56
14
MT- 03
448047
10814
6.54
0.499
ttd
0.29
0.17
35.44
59.40
15
MT- 04
449706
9122
5.78
0.392
ttd
0.17
0.16
36.10
48.60
IV - 15
No.
Kode
Sample
Koordinat
Pb
Zn
Fe
Cd
Cr
Al
mg/liter
mg/liter
mg/liter
mg/liter
mg/liter
mg/liter
mg/liter
01
BT- 01
456621
108962
0.027
0.031
0.047
1.006
0.278
0.040
0.312
02
BT- 02
459454
109695
0.032
0.035
0.072
1.247
0.281
0.039
0.325
03
BT- 03
449646
133191
0.033
0.037
0.066
0.988
0.403
0.041
1.575
04
BT- 04
459479
109708
0.041
0.042
0.067
1.012
0.517
0.030
1.600
05
BT- 05
470193
102942
0.098
0.071
0.091
1.111
0.666
0.042
2.013
06
BT- 06
477029
110365
0.096
0.098
0.114
0.907
0.704
0.037
1.742
07
BT- 07
461769
100625
0.098
0.098
0/113
1.305
0.862
0.048
1.426
08
BT- 08
457824
99350
0.099
0.081
0.112
1.021
0.875
0.030
1.389
09
BT- 09
457178
87089
0.116
0.091
0.126
0.994
0.776
0.034
2.111
10
BT- 10
462444
101193
0.085
0.086
0.121
1.010
0.993
0.031
1.964
11
BT- 11
461961
105474
0.091
0.091
0.115
1.234
1.002
0.055
1.783
12
MT- 01
443820
14214
0.096
0.010
0.120
0.987
0.741
0.043
1.888
13
MT- 02
445906
12102
0.097
0.107
0.118
1.026
0.863
0.040
1.065
14
MT- 03
448047
10814
0.136
0.140
0.091
0.941
0.542
0.037
1.942
15
MT- 04
449706
9122
0.135
0.140
0.101
1.110
0.708
0.040
1.965
4.2.3
Komponen biota perairan yang diamati dalam kajian ini, terbatas pada 3 (tiga) komponen,
yakni: phytoplaknton, zooplankton, dan nekton (ikan) walaupun masih ada komponen
lainnya seperti benthos. Meskipun demikian, komponen-komponen tersebut merupakan
refleksi dari keberadaan dan dinamika lingkungan kimia-fisik perairan. Keberadaan ke-tiga
komponen tersebut akan saling berkaitan dalam rangkaian fungsi kehidupan yang
tercermin di dalam ekosistem perairan.
Phytoplankton :
Phytoplankton berupa jazad renik yang melayang bebas dipermukaan atau melayang dan
hanyut terbawa aliran arus serta mampu berphotosynthesis. Phytoplankton merupakan
dasar dari rantai makanan di laut sebagai produsen primer. Dengan demikian,
phytoplankton mampu mengubah zat hara menjadi senyawa organik yang kaya akan
energi melalui photosynthesis. Oleh karena itu, phytoplankton memegang peranan
penting dalam kehidupan organisme aquatik lainnya yang berada pada jenjang trofik di
atasnya.
IV - 16
No
Kode
Sample
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
BT- 01
BT- 02
BT- 03
BT- 04
BT- 05
BT- 06
BT- 07
BT- 08
BT- 09
BT- 10
BT- 11
MT- 01
MT- 02
MT- 03
MT- 04
No
Kode
Sample
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
BT- 01
BT- 02
BT- 03
BT- 04
BT- 05
BT- 06
BT- 07
BT- 08
BT- 09
BT- 10
BT- 11
MT- 01
MT- 02
MT- 03
MT- 04
Koordinat
456621
459454
449646
459479
470193
477029
461769
457824
457178
462444
461961
443820
445906
448047
449706
108962
109695
133191
109708
102942
110365
100625
99350
87089
101193
105474
14214
12102
10814
9122
Koordinat
456621
459454
449646
459479
470193
477029
461769
457824
457178
462444
461961
443820
445906
448047
449706
108962
109695
133191
109708
102942
110365
100625
99350
87089
101193
105474
14214
12102
10814
9122
Fragitari
a Sp
33
33
33
33
66
99
33
Gymno
zyga
monoliti
formis
264
99
66
132
66
198
198
33
Tidak dilakukan sampling
33
363
33
231
Tidak dilakukan sampling
198
660
1.419
99
792
Jenis Organisma Phytoplankton
Hemidisc
Hyalothec Lauderia Phormidium
us Sp
a dissilien
Sp
Sp
Rhizosol
enia
clevel
33
33
66
330
99
66
132
66
66
10.263
66
198
1.089
Tidak dilakukan sampling
462
132
Tidak dilakukan sampling
297
165
66
429
132
165
66
IV - 17
No
Kode
Sample
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
BT- 01
BT- 02
BT- 03
BT- 04
BT- 05
BT- 06
BT- 07
BT- 08
BT- 09
BT- 10
BT- 11
MT- 01
MT- 02
MT- 03
MT- 04
Koordinat
456621
459454
449646
459479
470193
477029
461769
457824
457178
462444
461961
443820
445906
448047
449706
Uithona
Sp
2.409
Zooplankton :
Zooplankton menempati tingkat tropik kedua setelah phytoplankton dan merupakan pakan
utama bagi beberapa jenis ikan. Keberadaan zooplankton dalam ekosistem perairan
banyak ditentukan oleh ketersediaan phytoplankton. Hasil pencacahan kandungan
zooplankton di sekitar perairan timur Pulau Bintan dan perairan utara Kepulauan Lingga
disajikan pada Tabel 4.9 Kandungan zooplankton berkisar antara 33 1.320 individu/
liter.
Tabel 4.9 Hasil pencacahan zooplankton / liter
No
Kode
Sample
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
BT- 01
BT- 02
BT- 03
BT- 04
BT- 05
BT- 06
BT- 07
BT- 08
BT- 09
BT- 10
BT- 11
MT- 01
MT- 02
MT- 03
MT- 04
Koordinat
456621
459454
449646
459479
470193
477029
461769
457824
457178
462444
461961
443820
445906
448047
449706
108962
109695
133191
109708
102942
110365
100625
99350
87089
101193
105474
14214
12102
10814
9122
Calanus
Sp
33
66
33
33
33
33
33
66
33
198
Oithona
Sp
33
132
33
33
99
231
66
Tidak dilakukan sampling
66
132
33
33
33
594
33
99
Tidak dilakukan sampling
66
66
264
IV - 18
Kode
Sample
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
BT- 01
BT- 02
BT- 03
BT- 04
BT- 05
BT- 06
BT- 07
BT- 08
BT- 09
BT- 10
BT- 11
MT- 01
MT- 02
MT- 03
MT- 04
Koordinat
456621
459454
449646
459479
470193
477029
461769
457824
457178
462444
461961
443820
445906
448047
449706
108962
109695
133191
109708
102942
110365
100625
99350
87089
101193
105474
14214
12102
10814
9122
ID
Simpson
Total
0.68
0.78
0.53
0.71
0.79
0.81
0.86
0.49
0.76
0.59
0.76
0.42
0.80
Pengamatan terumbu karang dilakukan secara sepintas, yakni hanya ketika dilakukan
pada titik lokasi pengambilan sample parameter perairan. Walaupun demikian, nampak
bahwa terumbu karang di daerah perlindungan lingkungan (DPL) perairan pesisir timur
Pulau Bintan masih dalam kondisi baik. Namun pada bagian selatan dari perairan timur
IV - 19
Pulau Bintan relatif rusak (mati). Kondisi tersebut dapat dipahami, mengingat
keberadaannya relatif dekat dengan aktivitas pengapalan bahan tambang (jeti) dan
merupakan peruntukan kawasan industri. Sedangkan terumbu karang di sekitar perairan
Pulau Tangkil terlihat mulai tumbuh kembali, terutama semenjak diberhentikannya
aktivitas penambangan pasir darat di pulau tersebut. Hasil pengamatan sepintas terhadap
terumbu karang di bagian barat Pulau Mapur yang relatif lebih lebar dibandingkan di
bagian timur Pulau Mapur, kondisinya tidak banyak mengalami perubahan yang cukup
berarti. Walaupun demikian, tingkat ancaman terhadap kerusakan terumbu karang akibat
gangguan manusia relatif tinggi mengingat kawasan tersebut dekat dengan wilayah
permukiman.
Sementara terumbu karang di sekitar perairan pesisir Pulau Mamot masih dalam
kondisi lebih baik, bahkan menurut salah satu petugas PKL kini terumbu karang tumbuh
dengan baik. Kondisi tersebut terlihat ketika air laut sedang surut, permukaan terumbu
karang terlihat berwarna putih. Sebagai gambaran kondisi terumbu karang di sekitar
perairan pesisir Pulau Mamot diperlihatkan pada foto Gambar 4.12. Walaupun demikian,
kondisi perairan ini tidak jauh berbeda seperti kondisi di perairan barat Pulau Mapor yang
rentan terhadap gangguan manusia karena lokasi tersebut juga tidak jauh dengan wilayah
permukiman.
Gambar 4.12 Foto terumbu karang di sekitar perairan pesisir Pulau Mamot
IV - 20
4.2.5
Hasil pengamatan padang lamun secara sepintas, menunjukkan bahwa hampir semua
kondisi padang lamun identik dengan kondisi terumbu karang untuk setiap lokasi titik
sampling. Sebagai gambaran tentang kondisi padanglamun tersebut diperlihatkan pada
foto Gambar 4.13 yang diambil di dekat lokasi bekas jeti (dermaga pengapalan pasir
darat) di bagian barat Pulau Pangkil.
Gambar 4.13 Foto padang lamun di perairan pesisir barat Pulau Pangkil.
4.2.6
Berbagai jenis vegetasi mangrove yang dijumpai selama penelitian lapangan baik di
perairan sekitar Pulau Bintan hingga Pulau Mapor maupun di sekitar Pulau Mamot
(Kepulauan Lingga), namun pada umumnya didominasi oleh jenis bakau (Rhizopora
stylosa, Rhizopora alba) dan jenis bakau lainnya. Kondisi vegetasi mangrove di Pulau
Bintan kini mengalami berbagai tekanan akibat aktivitas pembangunan, seperti adanya
konversi hutan bakau menjadi lokasi pertambakan, pelabuhan, dermaga (jeti),
permukiman dan industri pertambangan maupun industri lainnya yang merupakan faktor
menurunnya jumlah hutan bakau. Salah satu gambaran tentang ancaman terhadap fungsi
hutan mangrove akibat aktivitas penambangan di Pulau Bintan seperti diperlihatkan pada
Gambar 4.14.
Sementara kondisi vegetasi mangrove di perairan sekitar Pulau Mamot relatif lebih
sedikit mengalami tekanan dibandingkan di perairan sekitar Pulau Bintan. Walaupun
IV - 21
kondisi lingkungan relatif cukup baik (Gambar 4.15), namun kekhawatiran terhadap
ancaman kerusakan masih tetap ada, seperti pemanfaatan sebagai bahan baku
pembuatan arang, bahan kayu dan keperluan rumah serta bangunan lainnya. Peluang
ancaman tersebut akan menjadi semakin besar, mengingat semakin meningkatnya
permintaan negara tetangga akan kayu bakau kecil dan kayu chip, sehingga
dikhawatirkan akan terjadi eksploitasi hutan bakau yang terus meningkat (Bappeda
Kabupaten Bintan, 2007).
IV - 22
BAB - V
ANALISIS DAN DISKUSI
Sebagai
Sumber
Dampak
Seperti telah dijelaskan pada Bab III, bahwa jumlah ijin usaha industri pertambangan di
Kabupaten Bintan kini tercatat sekitar 20 perusahaan pertambangan, yang terdiri dari 9
pertambangan bijih bauksit, 6 pertambangan pasir darat (kuarsa) dan 5 pertambangan
batuan granit (andesit). Berdasarkan SIUP tercatat 3 perusahaan berstatus tahap
ekplorasi dan 17 perusahaan berstatus tahap eksploitasi. Sementara jumlah ijin usaha
pertambangan di Kabupaten Lingga tercatat sebanyak 29 perusahaan pertambangan,
yang terdiri dari 20 pertambangan bijih bauksit dan 9 pertambangan bijih timah putih.
Berdasarkan SIUP tersebut tercatat
perusahaan berstatus tahap eksploitasi. Sebagai gambaran tentang jumlah SIUP dan
korelasinya terhadap distribusi lokasi aktivitas penambangan di Kabupaten Bintan dan
Kabupaten
Lingga
diperlihatkan
pada
Gambar
5.1
Maraknya
jumlah
aktivitas
V-1
maupun
faktor
Gambar 5.1
5.1.1
1.
eksternal
penambangan
yang
ikut
berperan
sebagai
pemicu.
Secara umum bijih bauksit berwarna coklat kemerahan yang terdiri dari fragmen dan
matriks yang telah mengalami pelapukan secara intensif dan terubah menjadi mineral
lempung dan oksida besi. Komposisi mineral utama berupa gibsite sebagai sumber
alumina dan goethite maupun hematite sebagai sumber oksida besi, sedangkan mineral
lainnya berupa kuarsa, silika halus, serisit dan limonit serta mineral lempung berupa
nacrite. Mineral yang berukuran halus (lempung) tersebut, jika terbawa air hujan
berpotensi meningkatkan tingkat kekeruhan perairan, sehingga dapat menimbulkan
terjadinya degradasi lingkungan perairan.
V-2
2.
Sejak sepuluh tahun terakhir pada abad ke-20 ini, kondisi kawasan kepulauan Bintan dan
Lingga telah mengalami gejala alam amat penting terutama yang berkaitan dengan
peristiwa anomali ekstrem cuaca dan iklim yang berdampak terhadap perubahan
lingkungan sebagai akibat adanya percepatan proses pelapukan, erosi dan sedimentasi
baik di darat maupun perairan laut. Proses tersebut akan semakin berpeluang besar
dampaknya, ketika permukaan lahan yang terbuka menjadi semakin luas. Dampak negatif
dari perubahan luas bukaan lahan ini akan menjadi lebih nyata ketika aktivitas manusia
mulai merambah hutan, peladangan yang dimulai sejak dekade tahun 1980 hingga
sekarang. Seperti aktivitas penambangan bauksit maupun bahan tambang lainnya,
pemanfaatan lahan untuk perkebunan, pemukiman, perindustrian, pelabuhan, merupakan
aktivitas manusia yang dapat menimbulkan terjadinya ancaman berupa degradasi lahan,
akibat pelapukan, erosi, sedimentasi yang mekanismenya disajikan pada (Gambar 5.2).
Sementara laju pelapukan dan sedimentasi tersebut merupakan fungsi dari waktu
perubahan luas bukaan lahan. Gambaran tentang perubahan luas bukaan lahan
sesungguhnya dapat dipantau melalui kenampakan dari citra satelit secara periodik
(Gambar 5.3 ).
V-3
Gambar 5.2
Gambar 5.3 Perubahan luas bukaan lahan dapat dipantau dari kenampakan citra satelit
3.
Berdasarkan catatan sejarah aktifitas pertambangan bouksit telah dilakukan sejak tahun
1923, dimana PT Aneka Tambang dimulai sejak tahun 1965 dan berakhir pada tahun
2008. Jumlah produksi bauksit sejak tahun 2004-2008 seperti disajikan pada Gambar 5.4.
Namum pada akhir-akhir ini, terdapat bahan tambang seperti timah, bijih besi, pasir darat,
granit, dan andesit. Besar dan kecilnya perubahan jumlah produksi bahan tambang akan
berpengaruh terhadap terjadinya perubahan tutupan lahan yang secara tidak langsung
merupakan fungsi dari terjadinya perubahan tingkat kekeruhan perairan.
V-4
Gambar 5.4
V-5
Gambar 5.5 Bagan alir tahapan penambangan bijih bauksit hingga pengapalan.
V-6
5.1.2
1.
Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab III, bahwa wilayah kajian termasuk iklim subtropis (humid tropics) dengan curah hujan cukup tinggi dan musim hujan bisa terjadi
selama 10 bulan dalam satu tahunnya dengan hari-hari hujan yang tidak menentu. Curah
hujan yang tinggi akan mengangkut material lepas hasil pembongkaran bijih mengalir
melalui sungai dan bermuara ke laut, sehingga memicu terjadinya perubahan tingkat
kekeruhan perairan.
V-7
Disamping itu, perubahan iklim seperti suhu udara, musim dan jumlah curah hujan
juga akan berpengaruh terhadap tingkat pelapukan batuan. Pada suhu udara sekitar
20oC, komponen oksida logam dari bauksit, yakni : Al2O3, Fe2O3, dan SiO2 akan mudah
terlarut. Cebakan bauksit residual, disamping terdiri dari Al2O3, Fe2O3, SiO2 dan TiO2 juga
mengandung unsur K, Na, Ca, Mg dan P dan S meskipun relatif kecil.
Pada musim hujan (basah) di daerah beriklim sub-tropis terjadi akumulasi CO2
bebas, larutan dalam tanah menjadi lebih bersifat asam sehingga terbentuk akumulasi
Al2O3 (Ph : 4-9, kelarutan alumina) dan terlepasnya unsur besi (Fe) Fe2O3 (Ph : < 3, Eh
rendah), sehingga terjadi pengkayaan alumina. Namun sebaliknya pada musim kemarau
(kering), unsur alkali dalam larutan terjadi substitusi dengan silika (Ph : <10, kelarutan
silika). Pada daerah sub-tropis, tambahan asam (humus) dan air hujan serta karbon
dioksida (CO2) merupakan reagen yang baik untuk mengubah batuan menjadi lempung
melalui pelapukan secara kimiawi. Karbon dan asam organik berkompeten melarutkan
silikat dan menghasilkan alkali karbonat yang mengandung silika. Karbon dioksida dalam
air hujan juga mampu melarutkan batugamping. Sementara terdapatnya bakteri dalam
larutan juga membantu proses pelapukan sehingga mengakibatkan terjadinya redeposisi
aluminium. Hal ini mengingat karena aluminium sulfat dalam larutan terhidrolisa dan
menghasilkan sulfat.
2.
Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab III, bahwa perubahan sifat fisik maupun kimia
perairan laut seperti penyebaran sedimen, perubahan salinitas, kandungan zat hara
maupun biota perairan sangat dipengaruhi oleh kondisi hidro-oceanografi lokal. Kondisi
hidro-oceanografi tersebut meliputi kedalaman air laut, pasang surut, gelombang dan
angin yang merupakan penyebab utama terjadinya arus atau gerakan massa air di
perairan tersebut. Sejauhmana pengaruh faktor tersebut terhadap pola dan sebaran
kekeruhan maupun perubahan kualitas perairan, faktor kondisi hidro-oceanografi mutlak
diperlukan.
3.
Telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa perubahan kualitas perairan disamping
karena pengaruh gejala alam juga disebabkan oleh aktivitas manusia. Sementara
perubahan kualitas perairan yang disebabkan oleh gejala alam seperti sejak sepuluh
tahun terakhir ini, kawasan kepulauan Bintan dan kepulauan Lingga, Provinsi Kepualauan
Riau, telah mengalami gejala alam yang berkaitan dengan peristiwa anomali ekstrem dari
cuaca dan iklim yang berdampak pada perubahan lingkungan baik di darat maupun di
V-8
perairan laut. Namun dampak negatif perubahan lingkungan ini cenderung lebih kuat
ketika aktifitas manusia mulai merambah hutan, peladangan yang dimulai sejak dekade
tahun 1980, dan bahkan kemungkinannya terjadi hingga sekarang. Disamping aktivitas
penambangan, aktivitas manusia lainnya seperti pembukaan lahan untuk keperluan
perkebunan, pembangunan resort di pantai, pariwisata juga dapat berpengaruh terhadap
perubahan ekosistem perairan sekitarnya. Termasuk dalam hal ini, adalah penangkapan
ikan dengan menggunakan bahan peledak dan racun juga dapat berpengaruh terhadap
perubahan kualitas perairan.
5.2
5.2.1
1.
Mengingat wilayah kajian merupakan daerah yang mempunyai musim basah lebih lama
(10 bulan/tahun) dibanding musim kering (2 bulan/tahun), sehingga wilayah kajian sering
tertutup oleh awan. Kondisi tersebut menjadikan kendala dalam memperoleh data citra
landsat yang cukup bersih secara periodik. Meskipun demikian, dalam kajian ini tetap
dilakukan analisis dari beberapa citra landsat yang dapat dihimpun. Berdasarkan hasil
penafsiran citra Landsat TM di daerah Bintan Timur (Gambar 5.7) memperlihatkan
adanya perubahan tutupan lahan akibat adanya aktifitas penambangan bouksit, granit,
andesit dan pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, sementara jejak-jejak
kolong bekas galian pasir nampak jelas di citra dan Alos seperti diperlihatkan pada
Gambar 5.8.
V-9
Gambar 5.7
Citra Landsat (2002) dan ALOS (2008) di daerah Pulau bintan dan
sekitarnya yang memperlihatkan jejak galian bauksit, granit, pasir
darat
V - 10
Lahan perkebunan
it
Kondisi P.Mapur
Gambar 5.8. Citra ALOS (2008) di daerah Pulau Bintan dan sekitarnya yang
memperlihatkan lahan perkebunan, permukiman
2.
Berdasarkan penafsiran citra Landsat di daerah Pulau Mamut, Kepulauan Lingga belum
nampak adanya perubahan lahan akibat adanya aktifitas penambangan baouksit, bijih
besi seperti diperlihatkan pada Gambar 5.9. Kondisi tersebut mencerminkan bahwa
kondisi perairan di wilayah pesisir Pulau Mamot belum terjadi perubahan tingkat
kekeruhan atau masih relatif lebih baik dibanding kondisi perairan di daerah Pulau Bintan.
V - 11
belum
nampak adanya aktifitas pertambangan
belum
nampak adanya aktifitas pertambangan
Gambar 5.9. Penafsiran citra landsat (541 dan 457, tahun 2002) di daerah sekitar
Pulau Mamut, Kepulauan Lingga
3.
Berdasarkan hasil penafsiran citra landsat (Gambar 5.10) dan ALOS band 123 (Gambar
5.11) di daerah perairan pesisir timur Pulau Bintan, dapat ditafsirkan bahwa pola tingkat
kekeruhan perairan pada bagian selatan berperingkat tinggi dan semakin ke utara tingkat
kekeruhan menjadi peringkat sedang dan peringkat rendah. Kondisi tersebut dapat
dipahami,
mengingat
bahwa
pada
bagian
selatan
terdapat
beberapa
aktivitas
pertambangan bauksit, sementara arah angin dan gelombang bergerak dari selatan
menuju ke utara (citra tahun 2002 dan 2008).
V - 12
Gambar 5.10 Peta analisis tingkat kekeruhan perairan pesisir timur Pulau Bintan
berdasarkan citra landsat
V - 13
Gambar 5.11 Peta analisis tingkat kekeruhan perairan pesisir timur Pulau Bintan
berdasarkan ALOS band (1,2,3)
5.2.2. Analisis pola sebaran tingkat kekeruhan berdasarkan indikator hasil
perhitungan dengan menggunakan hukum Stokes
Tingkat kekeruhan air laut merupakan salah satu komponen lingkungan perairan yang
harus dipertahankan kualitasnya, karena akan banyak berkaitan dengan berbagai aspek
lingkungan lainnya yang secara tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan para
nelayan. Meningkatnya kekeruhan air laut diakibatkan oleh meningkatnya kandungan zat
padat tersuspensi (TSS), kekeruhan air laut tersebut secara kasat mata dapat terlihat
ketika terjadi turun hujan lebat. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa
meningkatnya kekeruhan air laut sebagai akibat aktivitas penambangan, terutama akibat
pengelolaan pertambangan yang belum baik dan benar terutama karena kurang
kepeduliannya terhadap lingkungan.
Sebagai gambaran tentang besarnya sebaran padatan yang lebih jelas,
diasumsikan bahwa peningkatan kandungan TSS tetap terjadi dan kecepatan
V - 14
pengendapan lempung dan lanau dihitung dengan menggunakan hukum stokes (Rubey,
1933, dalam Koesoemadinata, 1982). Dengan diketahuinya data mengenai kecepatan
arus, maka dapat dihitung waktu atau lama butiran mengendap serta jarak butiran
tertrasportasi dengan menggunakan rumus :
2/3 g.d2 ( T-p)
Vg = -------------------- ...................................................................... (1)
S
S Vg . t
atau
Dimana :
Vg = kecepatan pengendapan, m/detik
g
= diameter butir, cm
= densitas butir,
= jarak pengendapan, m
kg/m3
Volume atau berat material yang tercecer pada saat pemuatan/pengapalan yang
berpotensi menjadi TSS.
Volume atau berat material yang terkandung dalam muara sungai ketika turun hujan
yang berpotensi menjadi TSS.
V - 15
dasar laut, dan jika radius sebaran diasumsikan sebagai jari-jari lingkaran yang terkena
dampak pada kedalaman tertentu, maka radius sebaran sedimen dapat dihitung dengan
menggunakan rumus tabung, yaitu :
Volume (V)
= R2. T .........................................................
(3)
Dimana :
V
: vulume , liter
: konstanta, (3,14)
Dengan demikian akan diketahui pola sebaran dan berapa besar peningkatan
kandungan TSS pada radius sebaran tersebut. Sebagai gambaran tentang contoh hasil
perhitungan untuk daerah kajian perairan pesisir timur Pulau Bintan adalah sebagai
berikut :
: 0.02 mm = 0.002 cm
: 15 m
Kecepatan arus
: 35 cm/detik
Densitas butir
: 1.544 kg/m3
Densitas medium
: 1.019,76 kg/m3
Viskositas medium
: 0.00138
Kecepatan pengendapan
Waktu mengendap
Berdasarkan
contoh
perhitungan
tersebut,
hasil
perhitungan
kecepatan
pengendapan dan jarak transport zat padat tersuspensi dan lamanya waktu pengendapan
sedimen (lempung, lanau dan pasir halus) dengan menggunakan persamaan tersebut,
secara keseluruhan disajikan pada Tabel 5.1.
V - 16
(m)
cm/detik
(m)
35
15
45
15
dasar
40
15
(cm)
T-p
Vg
Arah
(m/detik)
(detik)
(m)
(oNE )
397,73
0.002
0.697
0,0132
1136,36
0.001
0.524
0,0025
6040,35 2.114,12
0.002
0.697
0,0132
1136,36
0.001
0.524
0,0025
6040,35 2.718,16
0.002
0.697
0,0132
1136,36
0.001
0.524
0,0025
6040,35 2.416,14
511,36
454,54
Pada tabel tersebut nampak bahwa daerah yang terkena peningkatan TSS
khususnya yang berbutir lempung-lanau di dermaga (jeti) sebagai sumber dampak sekitar
2.114 m di permukaan dan akan semakin menjauh sampai 2.718 m pada kedalaman 5 m
sampai dasar permukaan 2.416 m yang berarah ... sampai .... oNE. Sementara
peningkatan TSS di perairan dipengaruhi oleh jumlah material yang masuk ke perairan,
densitas dan kandungan lempung yang berpotensi menjadi padatan tersuspensi (TSS).
Sebaran kandungan lempung-lanau tersebut mencapai luas 2.631.966,38 m2 untuk setiap
material liter dengan kandungan TSS 13,03 mg/l. Peta sebaran TSS disajikan pada
Gambar 5.12.
V - 17
Gambar 5.12. Peta pola sebaran tingkat kekeruhan di perairan timur P. Bintan
berdasarkan model perhitungan dengan menggunakan hukum stokes
5.2.3
Air merupakan komponen ekologis yang mutlak diperlukan bagi proses hidup dan
kehidupan biota perairan. Nilai daya guna air dan sumberdaya perairan ditentukan oleh
kualitasnya yang sangat berkaitan dengan semua aktifitas yang berada di sekitar perairan
tersebut. Kualitas perairan di muara sungai dan pantai ditentukan oleh limbah-limbah
yang terbuang baik secara langsung maupun tidak langsung, baik berupa bahan-bahan
organik maupun bahan-bahan anorganik yang mudah tersuspensi.
Parameter kualitas perairan yang diamati meliputi parameter fisik dan kimia air,
kandungan unsur logam berat serta biota perairan. Pengukuran kualitas perairan tersebut
dilakukan pada tanggal 23 30 September 2010 di 15 titik lokasi pengamatan. Lokasi
tersebut meliputi 3 conto pada muara sungai di daerah Bintan Timur, 8 conto di perairan
pesisir timur Pulau Bintan hingga Pulau Mapor, 3 conto di perairan pesisir Pulau Mamot
V - 18
dan 1 conto mata air di Pulau Mamot. Meskipun jumlah titik pengamatan dan sampling
parameter perairan tersebut relatif minim, namun diharapkan dapat memberikan
gambaran sejauhmana pengaruh aktivitas manusia terutama kegiatan penambangan
terhadap perubahan ekosistem perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir
Pulau Mamot.
1.
Parameter fisik seperti warna air, merupakan hasil refleksi kembali dari berbagai panjang
gelombang cahaya dari sejumlah material yang berada di dalam air yang tertangkap oleh
mata.
(TSS)
Material yang berada di dalam air dapat berupa jumlah zat padat tersuspensi
dan/atau
jumlah
zat
padat
(http://www.umaine.edu/water.research/field.guide/color.htm#blue).
terlarut
Sementara
(TDS)
partikel
dan larutan (solutes) yang terdapat di dalam air dapat menyerap cahaya, namun demikian
warna yang terlihat oleh mata juga akan dipengaruhi oleh sudut pandang ketika melihat,
kedalaman dan kuantitas air. Warna air terlihat jernih bila partikel dalam jumlah sedikit
(http:// webexhibits.org /causesofcolor /5B.html).
Hasil pengukuran parameter sifat fisik perairan pesisir Bintan Timur dan perairan
pesisir Pulau Mamut, Kepulauan Lingga menunjukkan nilai TSS masih dalam batas
normal < 40 NTU kecuali muara sungai dan perairan di kawasan industri di daerah Kijang
yang mencapai hingga 50 - 142 NTU. Sebaliknya dengan nilai TDS untuk perairan pada
umumnya > 40.000 mg/l kecuali sample pada mata air (104 mg/l). Demikian pula untuk
nilai daya hantar listrik (DHL) untuk perairan pada umumnya > 40.000 S/cm kecuali pada
mata air relatif kecil (48 S/cm). Nilai oksigen terlarut berkisar antara 3,04 mg/l hingga
6.54 mg/l. Kandungan oksigen terlarut dalam perairan ikut menentukan kualitas perairan,
karena oksigen sangat dibutuhkan untuk pernapasan (respirasi) mahkluk hidup dalam
perairan. Fungsi lain dari oksigen adalah sebagai oksidator senyawa-senyawa kimia di
perairan. Sedangkan faktor yang dapat mempengaruhi kemampun suatu perairan untuk
mengadopsi oksigen adalah salinitas, suhu, kekeruhan air dan pergerakan air dan udara
seperti arus, gelombang dan pasang surut. KLH telah merekomendasikan, baku mutu air
laut untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut, kadar oksigen terlarut > 5 mg/l.
Sementara temperatur permukaan yang terekam selama berlangsungnya
penelitian mempunyai kisaran 26,4o C hingga 29,5o C. Kondisi tersebut tidak jauh berbeda
dengan kondisi 4 (empat) tahun yang lalu ketika dilakukan penelitian base line ekologi
yang menunjukkan
V - 19
COREMAP II - LIPI, 2006). Kondisi salinitas di perairan juga menunjukkan nilai salinitas
yang tidak jauh berbeda, yakni : dengan variasi berkisar antara 27,5 o/oo hingga 31,4
o/oo, kecuali pada mata air dan muara sungan memperlihatkan nilai salinitas yang sangat
rendah (0.0 - 3,4 o/oo)
Parameter fisik lainnya seperti pH yang dapat digunakan sebagai salah satu
indikator kualitas perairan, suatu perairan laut yang baik bisanya bersifat basa dengan pH
> 7, sebagaimana direkomendasikan KLH. Hasil pengukuran derajat keasaman (pH) di
perairan pesisir Bintan Timur dan perairan pesisir Pulau Mamut, Kepulauan Lingga
menunjukkan variasi antara 8,26 hingga 8,53, kecuali pada mata air (6,89) dan muara
sungai (6,13 6,88). Secara umum tidak ada parameter yang ekstrim dan masih dapat
mendukung kehidupan organisme perairan, analisis selengkapnya disajikan pada
Gambar 5.13.
Gambar 5.13
2.
Peta kondisi perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir
Pulau Mamot berdasarkan indikator parameter fisik air
Beberapa parameter kimia seperti fosfat dan nitrat, merupakan nutrisi yang dibutuhkan
oleh mahkluk hidup yang ada di dalam perairan. Baik fosfat maupun nitrat sumbangan
terbesar berasal dari sedimentasi yang berada pada dasar perairan. Pada umumnya
V - 20
semakin dalam perairan, cenderung semakin besar kandungan fosfat dan nitratnya,
kecuali jika perairan tersebut banyak memperoleh sumbangan dari pengaruh dari darat
berupa limbah penduduk atau dari lahan perkebunan sehingga kandungan fosfat dan
nitrat pada permukaan perairan menjadi tinggi. Sementara nitrat dapat berfungsi dalam
membantu pembentukan asam amino sebagai komponen dasar protein (NITC COREMAP
II, 2006). Nilai baku mutu yang dikeluarkan KLH, kadar nitrat untuk kepentingan wisata
bahari dan biota laut kadarnya tidak melebihi 0,8 mg/l, sedangkan untuk fosfat tidak lebih
dari 1.5 mg/l.
Hasil pengukuran parameter kimia perairan pesisir Bintan Timur dan perairan
pesisir Pulau Mamut, Kepulauan Lingga menunjukkan bahwa kandungan nitrat (0.346
0.709) mg/l sedangkan fosfat berkisar antara 0.16 mg/l hingga 0.67 mg/l. Parameter kimia
lainnya adalah nitrit, merupakan senyawa kimia yang sangat reaktif karena struktur
molekulnya yang tidak stabil. Nitrit akan cepat bereaksi dengan logam berat dan
membentuk senyawa garam nitrat yang larut dalam air. Kandungan nitrit pada umumnya
lebih kecil dari kandungan nitratnya, dan semakin kecil kadar nitrit akan semakin baik
kualitas perairannya. Hasil pengukuran kadar nitrit yang dilakukan pada semua titik
sampling tidak menunjukkan adanya kandungan nitri (tidak terdeteksi).
Kandungan silikat merupakan salah satu indikator untuk mengetahui kesuburan
perairan, silikat dibutuhkan untuk perkembangan hidup phytoplankton untuk pembentukan
kerangka dinding sel jenis silicoflagellata. Kandungan silika berkisar antara 8,37 mg/l
hingga 16.03 mg/l, dan KLH tidak menentukan nilai ambang batas nilai bakunya.
Sebaliknya dengan amonia, Grashoff (1976) menyatakan bahwa amonia merupakan
senyawa beracun terhadap ikan maupun biota laut lainnya. Kandungan amonia berkisar
antara 0.016 mg/l - 0.45 mg/l, hasil analisis perubahan kualitas perairan diperlihatkan
pada Gambar 5.14.
V - 21
Gambar 5.14
3.
Peta kondisi perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir
Pulau Mamot berdasarkan indikator parameter kimia air
berdasarkan
indikator
parameter
Hasil pengukuran parameter kandungan unsur logam berat perairan pesisir Bintan Timur
dan perairan pesisir Pulau Mamut, Kepulauan Lingga menunjukkan kandungan logam
berat seperti Cr (0.030.055) mg/l dan Cd (0.021.002) mg/l, hampir semua lokasi
melebihi ambang batas yang diperkenankan KLH 0,01 mg/l (No.2/MEN.KLH/1988). Grafik
korelasi antara titik (BT.01) yang jauh dari sumber ke arah sumber dampak (BT.7) hingga
(BT.11) memperlihatkan kandungan Cd dan Cr cenderung meningkat (Gambar 5.15).
Sedangkan kandungan logam berat lainnya seperti Cu dan Zn masih dibawah ambang
batas 0.06 mg/l dan 0.1 mg/l, sementara kandungan Pb sebagian melebihi ambang batas
(0.01) mg/l.
V - 22
Semakin tingginya kandungan logam berat Cd dan Cr ke arah titik (BT-07) hingga
(BT-11) tersebut, diperkirakan berasal (bersumber) dari material aktifitas penambangan
bauksit, mengingat kondisi pada saat ini masih aktif melakukan penambangan dengan
sistem tambang terbuka yang kurang memperhatikan kondisi lingkungan setempat. Hal ini
nampak adanya jejak mengalirnya air bermuatan material yang langsung menuju perairan
laut di wilayah pantai Kijang timur dan ke pulau-pulau kecil seperti Pulau Kelong dan
Pulau Buton.
Sementara kandungan logam berat di perairan sekitar Pulau Mamot pada
umumnya relatif sedikit melebihi ambang batas yang diperkenankan KLH, walaupun
wilayah perairan tersebut relatif jauh dengan aktivitas penambangan. Sebagai indikator
adalah sample air yang diambil dari mata air (MT-1), juga memperlihatkan kandungan
logam berat yang sedikit dibawah kandungan logam berat sample yang diambil di lokasi
perairan. Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya perairan di sekitar Pulau Mamot
mempunyai kandungan unsur logam berat rata-rata lebih tinggi dari pada nilai ambang
batas yang diperkenankan KLH.
Secara umum kondisi peraian sekitar Pulau Bintan dan perairan sekitar Pulau
Mamot rata-rata sudah mempunyai kandungan unsur logam berat relatif sedikit lebih
tinggi dari nilai ambang batas KLH. Walaupun terdapat perubahan kualitas perairan akibat
aktivitas penambangan, namun tidak dijumpai parameter yang ekstrim dan masih dapat
mendukung kehidupan organisme perairan.
V - 23
Gambar 5.15
4.
Peta kondisi perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir
Pulau Mamot berdasarkan indikator kandungan unsur logam berat
Plankton merupakan sumber makanan bagi berbagai jenis ikan komersial penting yang
hidup dilautan, dengan kata lain kelangsungan hidup ikan sangat tergantung kepada
banyak sedikitnya jumlah plankton yang ada. Namun keberadaan plankton di lautan
sangat peka terhadap perubahan dan gangguan lingkungan, sehingga plankton
merupakan bioindicator yang baik untuk mengetahui kondisi lingkungan perairan.
Hasil pencacahan di laboratorium plankton di 10 titik lokasi pengambilan sekitar
perairan timur Pulau Bintan, P. Mapur dan 3 (tiga) titik di sekitar Pulau Mamut didapatkan
3 golongan Phytoplankton yaitu Class Cyanophyceae ditemukan 5 jenis, Class
Bacillariophycae sebanyak 28 jenis dan Class Dynophyceae sebanyak 3 jenis.
Berdasarkan hasil identifikasi jenis, maka kekayaan individu dari phytoplankton yang
V - 24
dijumpai di lokasi pengamatan relatif besar, hal ini dapat dimengerti bahwa perairan
memberikan naungan serta persediaan hara yang cukup untuk phytoplankton. Kemudian
jika dilihat dari nilai Indeks keanekaragamannya, dengan nilai rata-rata diatas 2.90
memberikan ciri bahwa perairan disini tergolong stabil.
Strata ke dua dari dasar hierarki kehidupan akuatik adalah zooplankton.
Kelompok ini dapat hidup selamanya sebagai plankton dan juga dapat
berkembang selanjutnya baik ukuran maupun perilakunya sebagai organisme non
planktonik. Seperti Pisces, Molusca, Crustacea dan sebagainya. Hasil pengamatan
komposisi jenis, keberadaan kelompok Crustacea, Pr oto zoa dan Chordata
(Ichtyoplankton) keberadaannya lebih dominan dibandingkan dengan kelompok lain.
Nilal indeks Keanekaragaman dan keseragaman menunjukkan nilai yang tinggi,
Indeks keanekaragaman berkisar antara 86 terendah sampai 2.78 tertinggi,
berdasarkan nilai Indeks Pencemaran perairan maka nilai Indeks ini dapat
dinyatakan ekosistem perairan ke dua pulau berada pada kondisi stabil belum
tercemar. Demikian pula angka yang ditunjukkan dengan nilai indeks keseragaman
cukup tinggi berkisar antara 0.89 sampai 0,93. Hasil analisis perubahan kualitas biota
perairan diperlihatkan pada Gambar 5.16.
Gambar 5.16
Peta kondisi perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir
Pulau Mamot berdasarkan indikator biota perairan
V - 25
5.3
5.3.1
Hasil Diskusi
Ditinjau dari peruntukan lahan menunjukkan bahwa lokasi aktivitas penambangan bauksit
pada umumnya menempati kawasan industri atau sesuai dengan peruntukan lahan pada
RTRW (bappeda Kabupaten Bintan, 2007). Persoalan muncul ketika pengelolaan
pertambangan bauksit pada umumnya belum dilaksanakan secara baik dan benar,
namun sejauhmana dampak aktivitas penambangan bauksit di daerah Kijang korelasinya
dengan kemungkinan terjadinya perubahan ekosistem perairan pesisir timur Pulau Bintan
akan dijelaskan sebagai berikut :
Berdasarkan baik hasil analisis citra landsat maupun dari hasil perhitungan
sebaran kekeruhan, menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan tingkat kekeruhan
perairan pesisir timur Pulau Bintan yang diakibatkan oleh aktivitas penambangan di
daerah Kijang. Perubahan tingkat kekeruhan secara signifikan berlangsung sesaat
(bersifat temporer), terutama ketika terjadi turun hujan dan dapat dilihat secara kasat
mata. Pola sebaran tingkat kekeruhan tersebut dipengaruhi oleh adanya arah dan
kecepatan arus, pasang surut serta tinggi rendahnya gelombang laut. Gambaran tentang
jarak sebaran kekeruhan rerata hasil perhitungan dapat mencapai radius sekitar 2 km dari
sumber dampak (dermaga pengapalan bauksit atau jeti). Walaupun perubahan tingkat
kekeruhan bersifat temporer (sementara), namun karena berlangsung secara terus
menerus terutama jika arah arus laut dari Selatan ke Utara dapat mengakibatkan
terjadinya perubahan ekosistem perairan. Perubahan ekosistem perairan mulai nampak
secara kasat mata di sekitar lokasi terumbu karang yang tidak jauh dan / atau kurang dari
1 km dari lokasi dermaga pengapalan (jeti). Seperti pada Gambar 5.17, memperlihatkan
dimana terumbu karang dan padang lamun menjadi rusak (mati) dan terancamnya
vegetasi mangrove yang cukup serius sebagai akibat peningkatan kekeruhan perairan
sebagai akibat aktivitas penambangan.
Sementara hasil analisis berdasarkan indikator parameter baik fisik, kimia dan
kandungan unsur logam berat maupun biota perairan menunjukkan bahwa perubahan
ekosistem perairan belum cukup signifikan. Kondisi tersebut mengingat bahwa perairan
pesisir timur Pulau Bintan mempunyai base line standard parameter perairan yang relatif
sudah mendekati ambang batas nilai baku yang ditetapkan oleh KLH. Meskipun
V - 26
perubahan parameter perairan tersebut tidak cukup signifikan, namun jika ditarik garis
korelasi menunjukkan bahwa titik sampling yang keberadaanya semakin mendekati lokasi
penambangan perubahan ekosistem perairan cenderung menjadi semakin tinggi.
Gambar 5.17 Terumbu karang dan padang lamun di sekitar lokasi dermaga (jeti) di
perairan pesisir timur Pulau Bintan.
Walaupun hasil analisis baik berdasarkan indikator fisik, kimia dan kandungan
unsur logam berat maupun biota perairan belum menunjukkan perubahan kondisi
perairan yang cukup signifikan, kecuali perubahan tingkat kekeruhan di sekitar lokasi
pengapalan (jeti) terutama pada saat turun hujan. Namun ancaman terhadap ekosistem
perairan tetap berlangsung secara terus menerus, seiring dengan meningkatnya
perubahan luas tutupan lahan sebagai akibat aktivitas manusia dalam meningkatkan
pembangunan fisik wilayah Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga. Sebagai gambaran
tentang korelasi ancaman tersebut terhadap konservasi daerah perlindungan laut seperti
disajikan pada Gambar 5.18.
V - 27
Gambar 5.18 Peta korelasi dampak aktivitas manusia korelasinya dengan ancaman
terhadap kemungkinan perubahan kondisi perairan pesisir timur Pulau
Bintan
V - 28
tersebut, maka kegiatan penambangan bauksit harus dilakukan secara ekstra hati-hati
dan bijaksana. Oleh karena itu, lokasi penambangan disekitar pulau-pulau dibuat buffer
dan daerah konservasi pulau untuk mengamankan keberadaan pulau-pulau tersebut.
Mengingat lokasi aktivitas penambangan terletak pada jalur pelayaran domestik
dan nasional dan merupakan urat nadi yang penting di dalam melayani kegiatan
masyarakat baik pelayanan jasa maupun barang antar pulau, maka perairan di sekitar
lokasi penambangan merupakan jalur transportasi laut yang ramai (padat). Pada siang
hari umumnya merupakan alur pelayaran perairan, yaitu dari jenis kapal ferry (speed
boat) dengan frekuensi hampir setiap 15 menit sekali. Sementara pada malam hari
aktivitas lalu lintas tersebut berhenti dan diganti oleh aktivitas nelayan penangkap ikan
yang mempunyai alur penangkapan disekitar lokasi tersebut.
Demikian pula pengoperasian tongkang yaitu ketika dilakukan pengisian dan
pengangkutan bauksit akan melewati jalur pelayaran laut, dan kegiatan ini diperkirakan
akan menambah kepadatan lalu lintas pelayaran. Meskipun pengaruh terhadap
kelancaran lalulintas pelayaran tidak cukup signifikan, namun mengingat jalur pelayaran
yang dilewati tersebut juga merupakan jalur pelayaran rakyat dan sebagai jalur mobilitas
nelayan dari fishing base ke fishing ground atau sebaliknya, diperkirakan kegiatan
tersebut akan mengganggu jalur pelayaran rakyat dan mobilitas nelayan. Terganggunya
lalu lintas pelayaran pelayaran tersebut, terutama ketika mobilitas pada saat kegiatan
penambangan dan pengangkutan bauksit serta pencucian ditengah laut menuju tempat
penimbunan di negara tujuan (Singapura). Kegiatan pencucian bauksit dengan lama
waktu sekitar 1 jam, diperkirakan juga akan memberikan dampak penting bagi aktivitas
pelayaran baik nasional (regional) maupun pelayaran rakyat (lokal) dan mobilitas nelayan.
Sebagai gambaran tentang peningkatan kepadatan lalulintas dengan adanya aktivitas
pengangkutan dapat dijelaskan sebagai berikut : Frekuensi kapal pelayaran luar negri
sebanyak 2 kapal/hari dan pelayaran luar negri sebanyak 8 kapal/hari, dan bila dikaitkan
dengan penambahan frekuensi angkutan sebanyak 1 unit (dua rit per hari) maka frekuensi
kapal sebanyak 2 kali/hari. Frekuensi ini tidak termasuk lalulintas pelayaran yang tidak
melakukan transit di Pelabuhan Tanjung Pinang Bintan. Dari uraian tersebut di atas,
dapat
dijelaskan
bahwa
aktivitas
penambangan
bauksit
dan
pengangkutannya
mempunyai peluang relatif kecil terhadap peningkatan kepadatan lalu lintas, tetapi
mempunyai tingkat resiko tinggi terjadinya kecelakaan, terutama pada saat cuaca kurang
baik dan pada saat malam hari.
V - 29
5.3.2
penambangan
bauksit
tanpa
memperhatikan
kepedulian
terhadap
sudah
menimbulkan
dan/atau
dampak
akan
dilaksanakan
gangguan,
penambangannya
khususnya
terhadap
diperkirakan
kegiatan
nelayan
akan
yang
2.
Terganggunya lalu lintas perahu nelayan untuk menuju lokasi penangkapan ikan dan
atau penangkapan hasil produksi ikan.
3.
karena
sekitar lokasi
penambangan. Dalam hal ini terutama produktivitas penangkapan ikan dari jenisjenis ikan demersal yaitu ikan-ikan kurau, kakap dan ikan kerapu.
4.
Kemungkinan
terutama nelayan
tradisional sebagai efek dari penurunan hasil tangkapannya khususnya nelayan yang
terdapat di desa-desa wilayah studi yang meliputi masyarakat nelayan dari
Kecamatan Bintan Timur. Kondisi awal nelayan tradisional yang terdapat di
Kecamatan Bintan Timur tersebut sebagian besar dikelompokkan sebagai nelayan
V - 30
sudah
tertanam dalam pikiran sebagian masyarakat khususnya nelayan. Hal yang perlu
diwaspadai dan menimbulkan persepsi negatif bagi masyarakat adalah penyelundupan
barang dari dan ke Singapura. Tindakan ini dapat mengakibatkan dampak yang lebih
luas, khususnya penerimaan negara dan pencemaran lingkungan apabila yang dibawa
adalah limbah berbahaya.
Persepsi masyarakat yang dimaksud di sini adalah daya tangkap (sikap) dari
informasi/pengetahuan yang diterima oleh masyarakat tentang kegiatan penambangan
bauksit (besi) yang akan dilaksanakannya, yaitu berupa:
V - 31
1.
Rusaknya wilayah perairan pantai dengan ekosistem dasar perairan sebagai tempat
pemijahan ikan dan biota laut lainnya.
oleh
memperhatikan
kegitan
dinamika
penambangan
masyarakat
diwilayah
dan
kepulauan
dinamika
ekologi
Riau
di
yang
wilayah
tidak
lokasi
5.3.3
Solusi alternatif yang ditawarkan guna menindak lanjuti terhadap ke-dua (2) isue penting
tersebut adalah sebagai berikut :
tetap
memperhatikan/kepedulian
terhadap
kondisi
lingkungannya.
Sebagaimana tertuang dalam Undang Undang No.4, tentang MINERBA, pasal 2.b
antara
lain
menyebutkan
bahwa
usaha
pertambangan
harus
mendukung
V - 32
dan
pembangunan
masyarakat
setempat
dengan
tetap
Alternatif solusi bahwa setiap usaha pertambangan tidak selalu harus membuat
masing-masing dermaga pengapalan (jeti), namun beberapa perusahaan
pertambangan bisa saling berkolaborasi untuk membuat satu dermaga
pengapalan (jeti) yang berkualitas sesuai dengan ketentuan standar yang
berlaku untuk digunakan secara bersama-sama. Solusi lainnya bisa juga
dilakukan pengapalan produk tambangnya dengan cara memanfaatkan dermaga
ex. PT. Aneka Tambang yang mempunyai standar internasional untuk digunakan
secara bersama-sama melalui sistem sewa atau ganti rugi.
Rencana penambangan bijih bauksit (besi) di Pulau Mamot yang hingga kini masih
dalam tahap eksplorasi, diusulkan untuk tidak ditindak lanjuti dengan tahap
eksploitasi mengingat berbagai aspek yang perlu dpertimbangkan, diantaranya
bahwa:
-
Undang Undang No.27 tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil. Salah satu pasal menyebutkan bahwa luas pulau-pulau kecil
V - 33
(< 2.000 Ha) perlu dilindungi, termasuk diantaranya Pulau Mamot yang hanya
dengan luas sekitar 778 Ha.
-
Perairan sekitar pesisir Pulau Mamot merupakan daerah perlindungan laut (DPL)
yang perlu dilestarikan, mengingat perairan tersebut kaya akan terumbu karang,
padang lamun dan vegetasi mangrove.
Perairan sekitar pesisir Pulau Mamot kaya kan jenis ikan, yang merupakan
sumber kehidupan bagi sebagian besar masyarakat yang tinggal di pulau
tersebut. Disamping itu juga terdapat beberapa sumber mata air, yang
merupakan penopang kehidupan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar Pulau
Mamot.
berpotensi
timbulnya
konflik,
mengingat
sebagian
besar
masyarakat menentang.
V - 34
BAB - VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian, baik dari pengamatan di lapangan maupun dari hasil analisis di
laboratorium dapat disimpulkan bahwa:
1.
Kijang, Pulau Bintan dengan perubahan tingkat kekeruhan perairan pesisir timur
Pulau Bintan. Namun sejauhmana perubahan tingkat kekeruhan tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
jauh dari
VI - 1
Pulau
Mapor dan perairan pesisir Pulau Pangkil) masih dalam kondisi normal.
Secara umum belum terjadi perubahan secara signifikan,
kecuali terumbu
karang dan padang lamun di sekitar lokasi dermaga (jeti) dengan tingkat
kekeruhan tinggi, pada umumnya sudah mulai rusak dan bahkan mati.
Demikian pula tentang kondisi vegetasi mangrove pada umumnya masih
dalam kondisi baik, kecuali vegetasi mangrove yang berada di sekitar aktivitas
penambangan bauksit di bagian selatan pesisir Pulau Bintan mengalami
ancaman kerusakan yang cukup serius.
3.
4.
VI - 2
Sementara tingkat kekeruhan yang terjadi akibat penambangan, bersamasama dengan gangguan eksositem pantai akan mengakibatkan terjadinya
perubahan terhadap kelimpahan dan keanekaragaman plankton, benthos, dan
nekton dan berdampak lebih lanjut terhadap penurunan produktifitas primer
serta pertumbuhan terumbu karang.
lokasi penambangan.
6.2 Saran
VI - 3
Beberapa
perusahaan
pertambangan bisa
dan daerah
konservasi tersebut.
2.
3.
Mengingat baik Undang Undang No.27 tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil maupun Undang Undang No. 4 tahun 2009, tentang
MINERBA, maka rencana penambangan bijih bauksit (besi) di Pulau Mamot yang
hingga kini masih dalam tahap eksplorasi, sebaiknya untuk tidak ditindak lanjuti
dengan ijin eksploitasi.
VI - 4
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, Undang-Undang No.27 Tahun 1999 tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil
Anonim, Undang-Undang No.32 Tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Anonim, Undang-Undang No.4 Tahun 2009, tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara
Anonim, Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayti
dan Ekosistemnya.
Anonim, Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Anonim, Undang-Undang No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Anonim, Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Anonimous,
field
guide
to
aquatic
phenomena,
http://www.umaine.edu/
Kabupaten Bintan,
Kabupaten Bintan,
VII - 1
VII - 2