Anda di halaman 1dari 16

Bahan Bakar Solar

4
Properties Thermal Biosolar
Putu Winda Aryantini 4213100108
Jurusan Teknik Sistem Perkapalan
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kampus ITS Keputih, Sukolilo,
Surabaya 60111

Pendahuluan
Berkembangnya teknologi otomotif dewasa ini yang tumbuh dengan pesat
membuat jumlah kendaraan juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
Hal ini juga mempengaruhi pada konsumsi bahan bakar minyak yang sangat
banyak, namun hal ini tidak didukung oleh ketersediaan dari bahan bakar
minyak itu sendiri. Sehingga hal itu mendorong manusia untuk menciptakan
kendaraan dengan mesin yang memiliki tingkat efisiensi yang tinggi. Dengan
kondisi perekonomian Indonesia pada saat ini, pemakai BBM khususnya di
Indonesia berusaha menekan konsumsi BBM mereka secara ekonomis dengan
cara menggunakan jenis BBM dengan kualitas lebih rendah dan lebih murah.
Salah satunya adalah dengan memilih kendaraan berbahan bakar biosolar.
Biosolar merupakan salah satu jenis bahan bakar cair yang digunakan dalam
proses pembakaran pada motor bakar. Biosolar yang dijual di pasaran
merupakan campuran sejumlah produk yang dihasilkan dari berbagai proses.
Melalui proses pencampuran (blending) tersebut maka sifat dari bahan bakar
dapat diatur untuk memberikan karakteristik operasi seperti yang diinginkan.
Salah satu sifat yang harus dipunyai dari biosolar adalah Cetane Number dari
bahan bakar tersebut. Angka setana adalah angka yang menunjukkan berapa
besar tekanan maksimum yang bisa diberikan di dalam mesin sebelum biosolar
terbakar secara spontan. Jadi, semakin tinggi angka setananya, semakin cepat
biosolar itu terbakar spontan.
Salah satu cara alternatif yang dapat dipakai untuk memperoleh bahan bakar
dengan angka setana yang tinggi adalah dengan menggunakan Zat aditif yang
merupakan zat yang dapat meningkatkan Cetane number dari suatu bahan
bakar. Oleh karena itu dilakukan studi untuk mengetahui pengaruh perubahan
konsentrasi Zat aditif untuk mengetahui peningkatan unjuk kerja motor diesel
yang optimum. Sehingga dari percobaan yang dilakukan dapat diperoleh datadata yang dapat memberikan kesimpulan mengenai kelebihan dan kekurangan
dari setiap konsentrasi campuran biosolar dengan zat aditif.

Bahan Bakar Solar

Kebutuhan masyarakat akan energi khususnya yang berasal dari fosil yakni BBM
( Bahan Bakar Minyak ) semakin meningkat, sementara persediaan bahan bakar
yang berasal dari fosil ini semakin menipis. Dengan demikian pemerintah
mencari sumber energi alternatif pengganti BBM, salah satunya ialah Biosolar
yang merupakan hasil olahan dari bahan nabati. Keberlanjutan cadangan energi
merupakan salah satu alasan memilih energi terbarukan, dalam hal ini Biosolar.
Tingginya kebutuhan masyarakat akan energi khususnya bahan bakar minyak
yang berasal dari fosil (bahan tambang) memunculkan masalah tersendiri.
Energi ini kini semakin terbatas jumlahnya kerena sifatnya yang tidak dapat
diperbaharui, serta tingkat polusi yang dihasilkan relatif tinggi. Masalah ini
memicu lahirnya gagasan untuk mengembangkan bahan bakar yang berasal dari
non-fosil yakni bahan bakar nabati (BBN) yang berasal dari tumbuhan atau pun
hewan yang diambil minyaknya. BBN nantinya diharapkan dapat menggantikan
peran bahan bakar yang berasal dari fosil tersebut.
Menurut Kepala Balai Rekayasa Desain dan Sistem Teknologi BPPT Dr Adiarso,
wilayah Indonesia sebenarnya sangat luas dan potensial dikembangkan menjadi
area industri biodiesel yang berkelanjutan dan terintegrasi dari industri hulu
sampai ke hilir. Adapun untuk saat ini lahan sawit sudah mencapai 8,4 juta Ha
dari keseluruhan potensi seluas 45 juta ha, padahal produksi CPO dalam negeri
saat ini sudah berlebih yaitu sekitar 25 juta ton per ha. Seandainya 0,5 % atau
sekitar sejuta ha saja dijadikan perkebunan energi dengan menanam kelapa
sawit, maka bisa diproduksi biodiesel sebanyak 75 ribu barrel per hari, suatu
jumlah yang sangat besar, termasuk untuk kebutuhan B10 (campuran 10%
biodiesel dan 90% solar) atau bahkan B20 sekalipun. (Anonimuos, 2012)
Biosolar mulai diluncurkan di Indonesia sejak tahun 2006 dan pemasaran
Biosolar di SPBU wilayah Medan dan sekitarnya dimulai pada 28 Juni 2010
dilakukan secara bertahap untuk mengantikan bahan bakar Solar.
Sejak awal peluncuran Biosolar di kota Medan yakni pada tanggal 28 Juni 2010,
jumlah SPBU yang mendistribusikan Biosolar ada 4 unit dengan volume Biosolar
yang didistribusikan sebanyak 144.000 liter. Pada bulan Mei 2011 jumlah SPBU
yang mendistribusikan Biosolar meningkat menjadi 85 unit dengan volume
Biosolar yang didistribusikan sebanyak 15.987.000 liter.
Namun pada awal peluncurannya dipasar, masih banyak masyarakat yang ragu
mengganti bahan bakar Solarnya menjadi Biosolar dikarenakan kurang
mengertinya masyarakat tentang Biosolar, ditambah lagi dengan kondisi masih
terbatasnya volume Biosolar yang tersedia di SPBU.
Transesterifikasi minyak nabati pertama kali dilakukan pada tahun 1853 oleh 2
orang ilmuwan, yaitu E. Duffy dan J. Patrick. Hal ini terjadi sebelum mesin diesel
pertama ditemukan. Baru pada tanggal 10 Agustus 1893 di Augsburg, Jerman,
Rudolf Diesel mempertunjukan model mesin diesel penemuannya pada world fair
tahun 1898 di Paris, Prancis. Rudolph Diesel memamerkan mesin dieselnya yang
menggunakan bahan bakar kacang tanah. Dia mengira bahwa penggunaan
bahan bakar biomassa memang masa depan bagi mesin ciptaannya. Namun
pada tahun 1920, mesin diesel diubah supaya dapat menggunakan bahan bakar
fosil (Petro Diesel) dengan viskositas yang lebih rendah dari biodiesel.
Penyebabnya karena pada waktu mesin itu petro diesel relatif lebih murah dari
pada biodiesel. Biodiesel (fatty acid methyl ester) adalah clear burner diesel
replacement fuel yang terbuat dari bahan-bahan alami dari sumber terbarukan
seperti minyak makan dan lemak hewan. Penggunaan biodiesel pada mesin

Properties Thermal Biosolar

diesel dapat mengurangi emisi hidrokarbon tak terbakar, karbon monoksida


(CO), sulfat, hidrokarbon polsiklis, aromatik, nitrat hidro karbon polsiklis
aromatik, dan partikel partikel padatan reduksi ini akan semakin tinggi dengan
presentase biodiesel yang semakin tinggi. Reduksi terbaik adalah penggunaan
biodiesel murni atau B100. Produksi biodiesel (metil ester) harus memenuhi
persyaratan atau spesifikasi yang sudah ditetapkan oleh suatu negara untuk
daat dipakai sebagai bahan bakar standar ASTM D 6751-02, dan Eropa
berdasarkan EDIN 51606 dan juga Indonesia SNI (Surendro, 2010) untuk
menjamin konsistensi kualitas biodiesel yang memenuhi spesifikasi pada kondisi
proses pengolahan dan pemurnian produk setelah produksi.
Nama biodiesel telah disetujui oleh Department of Energi (DOE), Environmental
Protection Agency (EPA) dan American Society of Testing Material (ASTM),
biodiesel merupakan bahan bakar alternatif yang menjanjikan yang dapat
diperoleh dari minyak tumbuhan, lemak binatang atau minyak bekas melalui
esterifikasi dengan alkohol. Biodiesel dapat digunakan tanpa modifikasi ulang
mesin diesel. Biodiesel juga dapat ditulis dengan B100, yang menunjukkan
bahwa biodiesel tersebut murni 100 % monoalkil ester. Biodiesel campuran
ditandai dengan BXX, yang mana XX menyatakan persentase komposisi
biodiesel yang terdapat dalam campuran. B20 berarti terdapat biodiesel 20%
dan minyak solar 80 %.
Biodiesel merupakan bahan bakar alternative yang menjanjikan yang dapat
diperoleh dari minyak tumbuhan, lemak binatang atau minyak bekas melalui
esterifikasi dengan alcohol. biodiesel dapat digunakan tanpa modifikasi ulang
mesin diesel. Karena bahan bakunya berasal dari minyak tumbuhan atau lemak
hewan, biodiesel digolongkan sebagai bahan bakar yang dapat diperbarui.
Komponen karbon dalam minyak atau lemak berasa dari karon dioksida diudara,
sehingga biodiesel dianggap tidak menyumbang pemanasan global sebanyak
bahan bakar fosil.
Mesin diesel yang beroperasi dengan menggunakan biodiesel menghasilkan
emisi karbon monoksida, hidrokarbon yang tidak terbakar, partikulat, dan udara
beracun yang lebih rendah dibandingkan dengan mesin diesel yang
menggunakan bahan bakar petroleum.
Biodiesel dihasilkan dari minyak nabati, seperti kelapa sawit, jarak pagar, kacang
tanah, kelapa, dan lain sebagainya. Indonesia, sebagai negara agraria,
mempunyai peluang sangat besar untuk mengembangkan biofuel sebagai energi
alternatif pengganti minyak diesel (solar), minyak bakar, bahkan minyak tanah
(kerosin). Dikarenakan bau yang dihasilkan minyak jelantah kurang sedap maka
dalam penelitian ini minyak jelantah terlebih dahulu diolah dengan
menggunakan arang aktif dan untuk mengurangi warna gelap dari minyak
jelantah digunakanlah bentonit sebagai pemucat warna (bleaching agent).
Minyak jelantah tidak dapat digunakan langsung sebagai bahan bakar pengganti
diesel atau minyak tanah dikarenakan tingginya titik nyala dan kekentalan.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka asam lemak yang terkandung
dalam minyak nabati harus dikonversi menjadi suatu alkil ester (metil ester atau
etil ester) yang memiliki rantai karbon pendek. Beberapa metode telah
digunakan untuk memperoleh fatty acid methyl ester (FAME) dari trigliserida
diantaranya transesterifikasi berkatalis basa atau asam. Pada prinsipnya, proses
transesterifikasi adalah mengeluarkan gliserin dari minyak jelantah pada
suasana asam atau basa dan mereaksikan asam lemak bebasnya dengan alkohol

Bahan Bakar Solar

(misalnya metanol) menjadi alkohol ester (Fatty Acid Methyl Ester/FAME) atau
biodiesel (Suess, 1999).
Alkohol yang digunakan dalam reaksi alkoholisis pada umumnya adalah metanol
atau etanol. Pada umumnya alkohol dengan atom C lebih sedikit mempunyai
kereaktifan yang lebih tinggi daripada alkohol dengan atom C lebih banyak.
Untuk meningkatkan hasil reaksi, perlu diperhatikan beberapa faktor yang
mempengaruhi reaksi alkoholisis yaitu: Suhu, Katalisator, Waktu reaksi,
Konsentrasi zat pereaksi, Kecepatan pengadukan, dan Rasio molar reaktan
(Hendratomo, 2005). Kajian kinetika transesterifikasi minyak sawit dengan
metanol menggunakan katalis KOH dengan rasio molar metanol terhadap
minyak sawit 6:1, kecepatan pengadukan 2140 rpm, variasi temperatur: 30, 40,
dan 50C dan variasi konsentrasi katalis: 0,5 dan 1% b/b KOH/minyak sawit
menunjukkan kesesuaian dengan kinetika reaksi order satu-semu (pseudo-first
order reaction) Laju reaksi meningkat seiring dengan peningkatan temperatur
dan konsentrasi KOH. Energi aktivasi (Ea ) transesterifikasi minyak sawit dengan
konsentrasi katalis 1% b/b KOH/minyak sawit lebih rendah dibandingkan dengan
konsentrasi katalis 0,5% b/b KOH/minyak sawit (Yoeswono, 2008). Kondisi
optimum studi kinetika transesterifikasi berkatalis basa dalam reaktor batch
pada tekanan atmosfer dengan kisaran temperatur 55 65C, konstanta laju
reaksi 0,018 - 0,191 (berat %. Mnt -1 ) adalah pada temperatur 60C dan
konsentrasi katalis 1% berat minyak dengan ratio molar : minyak = 6 : 1,
(Darnoko dan Cheryan. 2000) serta dengan temperatur 30 70C dan
konsentrasi katalis 0,2% berat minyak (Noureddini dan Zhu. 1997). Biasanya
minyak dan lemak bekas memiliki tingkat keasaman yang sangat tinggi (lebih
dari 2%) dan ini tidak dapat langsung digunakan untuk memproduksi biodisel.
Sehingga untuk dapat memanfaatkannya, maka sebelum tahap transesterifikasi,
harus diawali dengan melakukan tahap esterifikasi asam lemak bebas (ALB)
dengan bantuan katalis asam. Oleh karenanya, kinetika katalis-asam tidak dapat
diteliti dengan baik (Prutenis dkk. 2005). Untuk transesterifikasi berkatalis-alkali
bahan baku harus dipanaskan dan menurunkan asam lemak bebas (ALB)nya
dahulu (dibawah 0,5%) (Rachmaniah dkk, 2006). Pre-treatment yang biasa
dilakukan pada bahan baku yang memiliki kadar asam lemak bebas (ALB/FFA),
gums, waxes dan lain-lain yang tinggi; adalah: degumming, deasidification,
bleaching, deodoration, hydrogenation (Laura, 2006), esterifikasi asam
(Schuchardt, dkk. 1998; Canakci dan Van Gerpen. 2001) dan Enzymatic
glycerolysis (Fadiloglu, dkk. 2003). Proses katalis basa dapat meningkatkan
kemurnian dan hasil dapat diperoleh dalam waktu singkat (30 60 menit), hanya
saja proses ini sangat sensitif terhadap kemurnian reaktan karena hanya minyak
yang memiliki kadar asam lemak bebas (ALB) kurang dari 0,5% yang dapat
diproses dengan katalis ini (Wang dkk. 2006). Mengingat tingginya kandungan
asam Lemay babas (ALB) yang terdapat dalam minyak jelantah, maka katalis
basa tidak dapat langsung digunakan dalam trasesterifikasinya dengan metanol.
Beberapa aspek yang berpengaruh pada proses transesterifikasi adalah jenis
katalis (asam atau basa) yang digunakan, ratio molar minyak/alkohol (metanol
atau etanol), temperatur, kemurnian reaktan (minyak atau lemak) terutama
kandungan air, dan kadar asam lemak bebas (Schuchardt, dkk. 1998). Canakci
dan Gerpen (2005) menemukan bahwa transesterifikasi tidak dapat terjadi jika
asam lemak bebas (ALB) dalam minyak sekitar 3% (Leung dkk. 2006).
Keuntungan reaksi transesterifikasi pada skala industri (menggunakan katalis

Properties Thermal Biosolar

basa) disamping perolehan ester tinggi (rendemen 99%), juga gliserol yang
dihasilkan memiliki kadar sekitar 85% (Surbakti,1995). Berdasarkan latar
belakang di atas, biodiesl dari minyak jelantah seperti halnya FAME sebagai
biodiesel dapat dimanfaatkan langsung sebagai pengganti minyak diesel.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perberdaan sifat kimia fisika biodiesel
dari minyak jelantah dengan menggunakan katalis asam (H2SO4) atau basa
(NaOH). Selanjutnya uji sifat kimi fisik dilakukan dengan metode standar ASTM
terhadap minyak jelantah, dan metil ester dari minyak jelantah dengan katalis
asam dan basa, yatiu: analisa titik nyala, titik tuang, kekentalan, kerapatan
relatif (SG pada 60 o F/60 o F), kadar air, dan densitas.

Tinjauan Pustaka
Pemanasan global (global warming) telah menjadi masalah yang sangat
mengancam bagi kehidupan manusia di muka bumi yang salah satunya
disebabkan emisi gas efek rumah kaca akibat pemakaian bahan bakar fosil
sepertiminyak bumi, batu bara dan gas alam yang juga merupakan sumber daya
yangterbatas. Oleh karena itu, telah menyebabkan tuntutan ke pencarian
sumberenergi yang lebih ramah lingkungan dan bersifat dapat diperbaharui
(renewableenergy).Menurut Departemen energi dan sumber daya mineral
menyebutkan bahwacadangan minyak bumi Indonesia hanya cukup untuk 18
tahun ke depan,sementara cadangan gas bumi masih mencukupi untuk 61 tahun
ke depan,sedangkan cadangan batubara habis dalam jangka waktu 147 tahun
lagi. Beranjakdari asumsi di atas banyak kalangan yang memastikan bahwa
Indonesia akanmengalami krisis energi apabila tidak ditemukannya sumber
energi alternatif.Apabila kita lihat, kebutuhan BBM dari tahun ke tahun semakin
meningkat,sementara cadangan minyak kita semakin menipis. Menurut Hikman
Manaf (Staf ahli Mentri ESDM) cadangan minyak bumi Indonesia saat ini
diperkirakan sekitar 9miliar barel dengan tingkat produksi mencapai 500 juta
barel per tahun. Jika tidakditemukan cadangan baru, maka minyak bumi akan
habis 18 tahun lagi (Atmojo,2005). Krisis energi ini akan berdampak buruk bagi
kelangsungan hidup rakyat Indonesia, yang kita ketahui bahwa warga Indonesia
bergantung hidup dengan menggunakan sumber daya alam tersebut, terutama
di daerah pedesaan, selain harga minyak tanah yang terus meningkat, yang
membuat para warga desa yang membutuhkannya akan mengalami kesulitan
untuk mendapatkan minyak, karena kemampuan daya beli mereka yang
termasuk dalam ekonomi kelas bawah. Untuk mengatasi masalah BBM dengan
semakin menipisnya cadangan minyak nasional tersebut, perlu dilakukan
langlah-langkah upaya-upaya diversifikasi energi. Khususnya, upaya untuk
memproduksikan jenis energi terbarukan (renewable) yang berasal dari tumbuhtumbuhan, seperti bioetanol dan biodiesel. Jenis energi ini diketahui sangat
ramah lingkungan dan sekaligus akan dapat menciptakan lapangan kerja di
pedesaan dalam jumlah yang besar karena bahan bakunya dapat berasal dari
singkong, tebu, jagung, kelapa, biji jarak, kelapa sawit, bunga matahari, dan
sebagainya. Kedua jenis bioenergi ini tepat dikembangkan karena disamping
mampu menggerakan sektor agribisnis, juga mampu mempekerjakan petani di
pedesaan (Atmojo, 2005). Selain dari bahan bakar minyak yang mulai langka,
warga pedesaan memiliki alternatif lain sebagai pengganti bahan bakar rumah
tangga mereka adalah kayu bakar yang notabenenya diambil dari hutan yang
ada di sekitar mereka, walaupun kayu bakar yang mereka ambil banyak yang

Bahan Bakar Solar

berasal dari pohon-pohon yang telah mati tapi tidak jarang mereka juga
mengambil dari pohon-pohon yang masih dalam kategori pohon yang mampu
berproduksi. Hal ini lama-kelamaan dapat menyebabkan terjadinya degradasi
vegetasi jenis tertentu dalam hutan, dan jika mereka mengambil kayu dari
pohon-pohon yang telah mati, itu juga menyebabkan hilangnya tempat tinggal
bagi beberapa jenis serangga yang memanfaatkan pohon mati sebagai
sarangnya dan ini dapat mengganggu populasi beberapa serangga untuk
bertahan hidup di alam bebas. Sumber energi alternatif yang sangat
menguntungkan bagi kita adalah sumber energi yang dapat diperbaharui
(renewable energy) yang bukan berasal dari fosil, karena dapat digunakan
secara berulang-ulang dan dapat di produksi dalam skala rumah tangga maupun
industri, jadi dapat membantu kalangan masyarakat tingkat dasar (ground level),
dalam mensejahterakan kehidupan mereka.

1. Properties Thermal
Sebelum melakukan sintesis metil ester/FAME (Fatty Acid Metil Ester) atau
biodiesel, dilakukan pengujian mutu dari minyak jelantah, dan sebagai bahan
pembanding dilakukan juga uji mutu dari minyak curah dan minyak sawit
kualitas bagus yang merupakan bahan baku sintesis biodiesel. Hasil analisa
kualitas bahan baku untuk sintesis Biodiesel disajikan pada tabel berikut ini :
Tabel 1. Hasil Analisa Kualitas Bahan Baku Sintesis FAME
Sampel
Parameter
Titik
Kekentala Kerapata
Titik
Kadar Air Densitas
Nyala
n (cSt)
n
Tuang
(mg/Kg)
(Kg/dm3)
(0C)
Gravitas
(0C)
(600F/600
F)
M.Jelanta 298
44,91
0,9280
17
1264,7
0,9227
h
Minyak
300
42,07
0,9159
17
1027
0,9060
Curah
Minyak
308
42,68
0,9120
5
1080
0,9110
Sawit

1.1 Sintesis Biodiesel dari Minyak Jelantah

Minyak jelantah yang akan dimanfaatkan sebagai pengganti minyak tanah harus
diubah strukturnya sehingga menjadi senyawa yang memiliki titik nyala dan
kekentalan yang lebih rendah yaitu senyawa metil ester dari asam lemak
campuran (FAME). Sintesis ini dilakukan melalui reaksi transesterifikasi dengan
dua cara yaitu menggunakan katalis asam dan katalis basa. Tabel 2 berikut ini
menunjukan rata-rata hasil analisa kualitas FAME yang dihasilkan dibandingkan
dengan minyak tanah dan bahan baku minyak jelantah.
Tabel 2. Hasil Analisa Kualitas Minyak Jelantah dan Biodiesel
Parameter
Minyak
FAME (Asam)
FAME (basa)
Speks. FAME
Jelantah
(SNI 04-71822006)

Properties Thermal Biosolar

Titik Nyala
298
29,7
171,9
Min 100
(0C)
Kekentalan
44,91
3,3
4,6
2,3-6,0
(cSt)
Kerapatan
0,9280
0,8814
0,8767
Gravitas
(600F/600F)
Titik Tuang
17
8
8
Max. 18*
(0C)
Kadar Air
1264,7
967,3
1026,3
Max. 500
(mg/Kg)
Densitas
0,9227
0,8764
0,8714
0,850-0,890
(Kg/dm3)
Spesifikasi Biodiesel untuk parameter titik tuang berdasarkan spesifikasi dari
penelitian BPPT (Balai Penelitian dan Pengembangan Tekhnologi).
Dari hasil analisa terhadap kualitas minyak jelantah didapat beberapa parameter
telah berubah, dengan melihat penurunan titik nyala dan naiknya titik tuang
maka sebagian minyak jelantah telah mengalami degradasi struktur
trigliseridanya menjadi asam lemak bebas berantai pendek. Keberadaan air yang
lebih tinggi akan menyebabkan naiknya densitas dan kerapatan relatif dari
minyak jelantah, sedangkan terdapatnya partikel-partikel kecil dari sisa
penggorengan akan menaikan kekentalan, densitas dan juga kerapatan relatif.
Dari hasil analisa terhadap minyak jelantah, diperoleh kadar asam lemak bebas
yang cukup besar yaitu 0,79 % sebagai asam palmitat. Sintesis pembuatan metil
ester dari minyak yang memiliki kandungan asam lemak bebas tinggi, lebih
tepat menggunakan katalis asam dikarenakan jumlah metil ester yang dihasilkan
lebih besar yaitu 95 % dibanding dengan menggunakan katalis basa yang hanya
76,71 %. Penggunaan katalis basa pada waktu pembuatan metil ester dapat
menyebabkan terjadinya reaksi penyabunan antara basa digunakan dengan
asam lemak bebas minyak jelantah, sedangkan bila menggunakan katalis asam
maka asam lemak bebas tersebut akan tetap teresterkan.

1.2 Penggunaan Katalis Asam

Dari hasil analisis terhadap minyak jelantah, diperoleh kadar asam lemak bebas
yang cukup besar yaitu 3,2% sebagai asam palmitat. Pre-treatment pembuatan
metil ester dari minyak jelantah yang memiliki kandungan asam lemak bebas
tinggi, lebih tepat menggunakan katalis asam dikarenakan jumlah metil ester
yang dihasilkan akan menjadi lebih besar karena kandungan asam lemak
bebasnya akan bereaksi embentuk metil ester, kemudian pada tahap sintesis
digunakan katalis basa. Hal ini dilakukan, karena penggunaan katalis basa pada
minyak jelantah yang memiliki kadar asam lemak bebas (ALB) tinggi waktu
pembuatan metil ester dapat menyebabkan terjadinya reaksi penyabunan
antara basa digunakan dengan asam lemak bebas dari minyak jelantah,
sedangkan bila menggunakan katalis asam maka asam lemak bebas tersebut
akan tetap teresterkan. Di bawah ini adalah mekanisme reaksi asam lemak
bebas dari minyak jelantah pada pembuatan biodiesel dengan menggunakan
katalis asam dan basa:

Bahan Bakar Solar

a) Katalis asam
Reaksi esterifikasi berkatalis asam, dapat ditulis dengan persamaan reaksi
umum sebagai berikut:

b) Katalis basa

Dari mekanisme reaksi pembuatan biodiesel menggunakan katalis basa dapat


dilihat bahwa asam lemak bebas (ALB) akan bereaksi dengan katalis
menghasilkan sabun. Dimana keberadaan sabun ini menjadi faktor yang
berpengaruh terhadap turunnya persen rekoveri biodiesel yang dihasilkan,
karena pada saat pemurnian biodiesel dari kelebihan katalis basa dengan sistem
pencucian menggunakan air akan terbentuk emulsi yang dapat mengikat
sebagian biodiesel. Biodiesel yang teremulsikan oleh sabun tidak dapat
dipisahkan lagi sehingga hilangnya biodiesel oleh emulsi tersebut kira-kira
sebesar 23,29 %. Sangat berbeda sekali dengan hilangnya biodiesel dari sintesis
menggunakan katalis asam yang hanya sebesar 5 %, dimana nilai tersebut
merupakan garam-garam, air beserta pengotor lain yang terdapat pada bahan
baku minyak jelantahnya (Kusnandar, 2007).

1.3 Katalis
Titik nyala adalah suhu dimana bahan bakar terbakar dengan sendirinya oleh
udara sekelilingnya disertai kilatan cahaya. Titik nyala berhubungan langsung
dengan mudah atau tidaknya suatu bahan bakar dapat terbakar. Titik nyala yang
rendah menyebabkan zat tersebut mudah dibakar, sehingga sifat fisis ini sangat
penting sekali sebagai syarat suatu zat dapat dikatakan sebagai bahan bakar.
Titik nyala berhubungan langsung dengan mudah atau tidaknya suatu bahan
bakar dapat terbakar. Titik nyala yang rendah menyebabkan zat tersebut mudah
dibakar, sehingga sifat fisis ini sangat penting sekali sebagai syarat suatu zat
dapat dikatakan sebagai bahan bakar. Pada gambar 4.6 di atas dapat dilihat
bahwa titik nyala metil ester yang dihasilkan melalui reaksi transesterifikasi
katalis asam jauh lebih kecil (29,70 oC) dibandingkan dengan standar titik nyala
minyak tanah yaitu minimal 38 oC. Titik nyala yang mendekati dengan
temperatur ruang tersebut sangat tidak aman apabila zat ini digunakan sebagai
bahan bakar, dikarenakan dapat menimbulakn kebakaran apabila terjadi
percikan api di sekitar zat tersebut. Rendahnya titik nyala metil ester disebabkan

Properties Thermal Biosolar

karena masih terdapatnya pelarut organik (benzen) yang digunakan dalam


pembuatan. Adapun tehnik pemurnian biodiesel dari pelarut organik benzen
menggunakan destilasi vakum yang dilengkapi dengan penangas air dimana
suhunya diatur pada 65 oC. Tujuan pengaturan temperatur pada 65 oC tersebut
untuk menghindari terjadinya penguraian metil ester menjadi metanol dan asam
lemak maka suhu penangas air dijaga jangan melebihi 65 oC. Akan tetapi dengan
suhu tersebut, benzen tidak dapat dipisahkan sempurna dari biodiesel
dikarenakan titik didih dari benzen lebih tinggi yaitu 80 oC. Sehingga masalah
utama dari metil ester yang dihasilkan menggunakan katalis asam adalah masih
terkontaminasinya biodiesel oleh pelarut organik.

Gambar 1. Perbandingan a. Titik nyala dan b. kekentalan m.jelantah dan


biodiesel

1.4 Kekentalan
Kekentalan merupakan parameter penting dalam menentukan metil ester dapat
digunakan atau tidak sebagai bahan bakar alternatif, semakin tinggi kekentalan
maka semakin sukar biodiesel mengalir. Kekentalan adalah tahanan yang dimiliki
fluida yang dialirkan dalam pipa kapiler terhadap gaya gravitasi, biasanya
dinyatakan dalam waktu yang diperlukan untuk mengalir pada jarak tertentu.
Jika kekentalan semakin tinggi, maka tahanan untuk mengalir akan semakin
tinggi. Kekentalan yang lebih tingi akan membuat bahan bakar sulit untuk
mengalir dalam pipa kapiler yang berdiameter kecil. Hal ini menyebabkan
pemadaman flame dan peningkatan deposit dan emisi mesin. Bahan bakar
dengan kekentalan lebih rendah memproduksi spray yang terlalu halus dan tidak
dapat masuk lebih jauh ke dalam silinder pembakaran, sehingga terbentuk
daerah fuel rich zone yang menyebabkan pembentukan jelaga. Kekentalan juga
menunjukkan sifat pelumasan atau lubrikasi dari bahan bakar. Kekentalan yang
relatif tinggi mempunyai sifat pelumasan yang lebih baik. Pada umumnya, bahan

Bahan Bakar Solar

bakar harus mempunyai kekentalan yang relatif rendah agar dapat mudah
mengalir dan teratomisasi.

Gambar 2. Perbandingan a. kerapatan gravitasi b. titik tuang m.jelantah dan


biodiesel
Dari Tabel diatas, terlihat bahwa kekentalan minyak jelantah setelah metanolisis
katalis asam mengalami penurunan, hal ini disebabkan karena masih
terdapatnya pelarut organik/benzen dalam minyak jelantah tersebut. Dimana
minyak jelantah sebelum metanolisis memiliki kekentalan 44, 91 cSt, setelah
reaksi metanolisis turun menjadi 3,3 4,6 cSt.

1.5 Titik Tuang

Titik tuang adalah titik temperatur terendah dimana bahan bakar masih dapat
mengalir. Titik tuang ini dipengaruhi oleh derajat ketidakjenuhan (angka iodium),
semakin tinggi ketidakjenuhan maka titik tuang semakin rendah. Titik tuang juga
dipengaruhi oleh panjang rantai karbon, semakin panjang rantai karbon maka
semakin tinggi titik tuang. Dari tabel 7, terlihat bahwa titik tuang minyak
jelantah sebelum metanolisis turun dari 17C menjadi 7 8C setelah reaksi
metanolisis berkatalis asam.

Properties Thermal Biosolar

10

Gambar 3. Grafik perbandingan a. Kadar air b. Densitas m.jelatah dan biodiesel

1.6 Kadar air

Air yang terkandung dalam bahan bakar padat terdiri dari kandungan air internal
atau air kristal, yaitu air yang terikat secara kimiawi dan kandungan air eksternal
atau air mekanikal, yaitu air yang menempel pada permukaan bahan dan terikat
secara fisis atau mekanis. Air dalam bahan bakar cair merupakan air eksternal,
berperan sebagai pengganggu. Air yang terkandung dalam bahan bakar
menyebabkan penurunan mutu bahan bakar karena:
a) Menurunkan nilai kalor dan memerlukan sejumlah kalor untuk
penguapan.
b) Menaikan titik nyala dan memperlambat proses pembakaran.
c) Dapat menyebabkan kerusakan pada alat atau mesin yang
menggunakan bahan bakar tersebut.

1.7 Densitas

Dari tabel 7, terlihat densitas juga menurun, yang semula 0,9227 kg/dm 3
menjadi 0,8714 0,8764 kg/dm 3 . Berat jenis merupakan salah satu kriteria
penting dalam menentukan mutu dan kemurnian minyak atsiri. Berat jenis
adalah perbandingan berat dari suatu volume sample pada suhu 25C dengan
berat air pada suhu dan volume yang sama. Berat jenis sering dihubungkan
dengan fraksi berat komponen-komponen yang terkandung didalamnya.
Semakin besar fraksi berat yang terkandung dalam minyak, maka semakin besar
pula nilai densitasnya (Feryanto, 2007). Parameter densitas dan kerapatan
gravitas sangat penting bagi pendistribusian metil ester kepada konsumenkonsumen dimana bobot metil ester yang dikirim dapat dihitung dengan tepat,
sehingga dapat menghindari kecurangan-kecurangan pihak tertentu apabila
tangki yang berisi metil ester ditambahkan dengan zat lain, misalnya air.

1.8 Sifat Fisik dan Kimia Biosolar

Tabel 3. Sifat Fisik/Kimia biosolar


Sifat Fisik/Kimia
Biodiesel
Komposisi
Ester Akil
Densitas, g/ml
0,8624
Viskosias, cSt
5,55
Titik Kilat, 0C
172
Angka Setana
62,4
Energi yang dihasilkan
40,1 MJ/kg
(sumber : Internasional Biosolar,2001)

Solar
Hidrokarbon
0,8750
4,6
98
53
45,3 Mj/kg

Bahan Bakar Solar

11

1.9 Standar mutu Biosolar


Parameter
Densitas (400C)
Viskositas (400C)
Cetane Number
Flash Point (close
up)
Cloud Point
Copper strip
corrosion (3 jam,
500C)
Carbon residu
Sample
10% dist. Residu
Air dan Sedimen

Unit
Kg/m3
Mm2/s (cSt)

Nilai
850-890
2,3-6,0
Min. 51

Metoda
ASTM D 1298
ASTM D 445
ASTM D 613

Max. no 3

ASTM D 130

% mass

Max. 0,05 (max.


0,3)

ASTM D 4530

% vol

Max. 0,05

Tmperature
Destilasi, 90%
recovered
Sulfated Ash
Sulphur

0C

Max. 360

ASTM D 2709 atau


ASTM D 1160
ASTM D 1160

% mass
ppm (mg/kg)

Max. 0,02
Max. 100

Phosphorous
content
Bilangan Asam
(Na)
Free Gliserin

ppm (mg/kg)

Max. 10

Mg-KOH/g

Max. 0,8

% mass

Max. 0,02

Total Gliserin (Gtt)

% mass

Max. 0,24

Kandungan Ester
Bilangan iod

% mass
% mass
(gI2/100g)

Min. 96,5
Max. 115

AOCS Cd 3-36
atau ASTM D 664
AOCS Ca 14-56
atau ASTM D6584
AOCS Ca 14-56
atau ASTM D6584
Dihitung
AOCS Cd 1-25

Negative

AOCS Cd 1/25

0C
0C

Halphen Test
(sumber : Dekindo.com)

ASTM
ASTM
ASTM
AOCS

D 874
D 5453 atau
D 1266
Ca 12-55

1.10 Faktor-faktor yang berpengaruh Biosolar


Faktor utama yang mempengaruhi rendemen metil ester yang dihasilkan pada
reaksi transesterifikasi adalah rasio molar antara trigliserida dan alkohol, jenis
katalis yang digunakan, suhu reaksi, waktu reaksi, kandungan air, dan
kandungan asam lemak bebas.

1.11 Skema Transesterifikasi Biosolar

Properties Thermal Biosolar

12

Adapun secara teknis tahapan dan langkah-langkah produksi (resep) pembuatan


biodiesel minyak jelantah adalah sebagai berikut :Langkah-langkah yang harus
dilakukan :
1. Bahan pelarut (metoxida) dibuat dengan mencampurkan 900 ml methanol
dan 21 gram NaOH hingga larut selama 15 menit
2. Campurkan metoxida ke dalam ember berisi 3 liter minyak jelantah dan aduk
memakai sendok plastik selama 30 menit atau campuran sudah rata.
3. Biarkan 4-12 jam sampai terjadi pengendapan

4.

Pengendapan ditandai dengan dua lapisan berbeda warna dengan lapisan


gelap berada di bawah yang disebut crude gliserin, sedangkan lapisan atas
berwarna bening, crude BD
5. Pisahkan crude biodiesel dari crude gliserin lalu masukkan ke ember untuk
dicuci dengan cara mencampurkan air bersih sebanyak dua liter.
6. Pompakan udara melalui pompa udara akuarium dan biarkan beberapa saat
sehingga muncul warna putih susu
7. Pisahkan crude biodiesel yang berwarna kuning dengan air warna putih
melalui selang
8. Biodiesel yang telah bening dimasukkan ke panci lalu panaskan hingga 100
derajat beberapa menit agar air dan sisa methanol menguap.
9. Biodiesel yang telah dipanaskan dan didinginkan dapat langsung
dipergunakan untuk mobil maupun mesin diesel industri.
Biodiesel minyak jelantah ini telah digunakan di bogor oleh angkutan umum
trans pakuan, biodiesel minyak jelantah ini hasil dari uji coba yang dilakukan
oleh Dr. Erliza Hambali beserta rekannya dalam organisasi Surfactant &
Bioenergy Research Center (SRBC), dan masih kurang sosialiasai kepada
masyarakat luas tentang ini, jadi perlu peran pihak ketiga sebagai sarana untuk
mensosialisaikan biodiesel ini, agar pemakaian BBM fosil dapat diatasi, dan
menjaga ketersedian SDA di Indonesia.
Energi alternatif yang bersal dari minyak jelantah ini, cocok sekali digunakan
sebagai pengganti bahan bakar minyak, dan murah harganya, sehingga bisa
membantu masyarakat pedesaan yang mengalami kesulitan ekonomi dalam
mendapatkan bahan bakar minyak.Minyak jelantah (biodiesel) ini jika
dibandingkan dengan solar memiliki perbedaan antara lain:
1. Biodiesel memiliki bilangan kualitas pembakaran yang lebih tinggi daripada
solar yang ada di pasaran.
2. Biodiesel adalah bahan bakar beroksigen. Karenanya, penggunaannya akan
mengurangi emisi CO dan jelaga hitam pada gas buang atau lebih ramah
lingkungan.
3. Titik kilat tinggi, yakni temperatur tertinggi yang dapat menyebabkan uap
biodiesel dapat menyala. Sehingga, biodiesel lebih aman dari bahaya
kebakaran.
4. Tidak mengandung belerang dan benzena yang mempunyai sifat karsinogen,
serta dapat diuraikan secara alami. Sehingga ramah lingkungan.
5. Dilihat dari segi pelumasan mesin, biodiesel lebih baik daripada solar
sehingga pemakaian biodiesel dapat memperpanjang umur pakai mesin.
6. Dapat dengan mudah dicampur dengan solar biasa dalam berbagai
komposisi dan tidak memerlukan modifikasi mesin apapun.

13

Bahan Bakar Solar

Karena mudah dan murahnya biaya proses pembuatan biodiesel ini, maka dapat
dilakukan sosialisasi pembuatan biodiesel kepada semua kalangan masyarakat
tanpa terkecuali, sehingga dapat menciptakan sumber daya baru, dan dapat
pula dilakukan oleh kalangan wirausahawan sebagai salah satu proyek mereka,
yang memiliki prospek yang cerah kedepannya untuk menghadapi krisis global,
terutama krisis bahan bakar yang sedang melanda dunia dan dapat juga
menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat tingkat dasar. Faktorfaktor yang mempengaruhi usaha pengolahan biodiesel ini berjalan baik adalah
sebagai berikut:
1. Tersedianya minyak jelantah yang begitu melimpah dari sisa hasil rumah
tangga, dan tempat makan.
2. Murahnya harga beli minyak jelantah, dari para penadah, sehingga
memungkinkan untuk kalangan bawah (ground level) untuk menjalankan
usaha ini
3. Mudah didapatnya bahan-bahan pendukung pengolahan, dan hanya
memerlukan peralatan yang sederhana.
4. Harga jual yang menguntungkan, sehingga dapat meningkatkan hasil
produksi, dan pendapatan pengelola.
5. Dalam skala besar dapat meningkatkan devisa negara, jika dijual kepasaran
internasional.
6. Hasil olahan dan hasil pembakaran dari biodiesel ini ramah lingkungan,
sehingga mengurangi dampak pemanasan global (global warming).
Program pengolahan biodiesel minyak jelantah ini diharapkan mendapatkan
perhatian lebih serius dari pemerintah, agar usaha ini juga dapat membantu
meringankan beban negara untuk mengatasi permasalahn krisis minyak di
dunia, sebagai salah satu bioenergi yang dapat diperbaharu diharapkan adanya
kerjasama dari perusahaan energi yang ada di Indonesia, misalkan PT. Pertamina
yang notabenenya adalah sebagai perusahaan energi terbesar di Indonesia.
Diharapkan dengan adanya kerjasama dari pihak yang terkait dapat
menciptakan suatu peluang bisnis yang saling menguntungkan, baik untuk
negara maupun kesejahteraan rakyat Indonesia, dan menghasilkan produk BBM
yang ramah lingkungan, dan murah harganya. Peluang bisnis biodiesel ini juga
sangat prosfektif digalakan di Indonesia terutama pada masyarakat kalangan
bawah (ground level), jadi dapat mengurangi angka pengangguran, dan jika
mereka dapat mengelola dengan baik maka kemungkinan mereka untuk
mendapatakan pengahsilan dari hasil produksi biodiesel ini dapat
mensejahterakan hidup mereka, dan bagi Indonesia sendiri adalah menurunnya
angka kemiskinan.

Properties Thermal Biosolar

14

Kesimpulan
1.

2.

3.
4.
5.

6.

7.
8.
9.

Bioenergi yang baik sebagai pengganti bahan bakar minyak (BBM) fosil,
adalah minyak jelantah yang dapat dijadikan biodiesel sebagai pengganti
solar dalam kehidupan sehari-hari maupun industri dan biodiesel minyak
jelantah ini juga ramah lingkungan karena hasil emisi yang dikeluarkan jauh
lebih rendah daripada solar.
Bioenergi adalah bahan bakar alternatif terbarukan yang prosfektif untuk
dikembangkan, tidak hanya karena harga minyak bumi dunia yang semakin
melonjak naik seperti sekarang ini, tetapi juga karena terbatasnya produksi
minyak bumi Indonesia.
Biodiesel adalah bioenergi atau bahan bakar nabati yang dibuat dari minyak
nabati, baik minyak baru maupun bekas penggorengan dan melalui proses
transesterifikasi, esterifikasi, atau proses esterifikasi-transesterifikasi.
Biodiesel sebagi bahan bakar alternatif pengganti BBM untuk motor diesel.
Biodiesel dapat diaplikasikan baik dalam bentuk 100% (B100) atau
campuran dengan minyak solar pada tingkat konsentrasi tertentu (BXX),
seperti 10% biodiesel dicampur dengan 90% solar yang dikenal dengan
nama B10 (Hambali, 2007).
Sifat - sifat Biodiesel dari Minyak Jelantah Sifat fisik Unit Hasil ASTM Standar
(Solar) C 170 Min.100Flash point C) cSt. 4,9 1,9- 6,5Viskositas (40 Bilangan
setana - 57 Min.40 C 3,3 -Cloud point Sulfur content % m/m << 0.01 0.05
max Calorific value kJ/kg 38.542 45.343 Density (15C) Kg/l 0,93 0,84
Gliserin bebas Wt.% 0,00 Maks.0,02 Sumber: www.migasindonesia.com
Biodiesel memiliki bilangan kualitas pembakaran yang lebih tinggi daripada
solar yang ada di pasaran.
Titik kilat tinggi, yakni temperatur tertinggi yang dapat menyebabkan uap
biodiesel dapat menyala. Sehingga, biodiesel lebih aman dari bahaya
kebakaran.
Tidak mengandung belerang dan benzena yang mempunyai sifat karsinogen,
serta dapat diuraikan secara alami. Sehingga ramah lingkungan.

15

Bahan Bakar Solar

Daftar Pustaka
Darnoko, D, dan Cheryan, M. 2000. Kinetics of Palm Oil Transesterification in a
Batch Reactor. JAOCS, Vol. 77, No. 12, December 2000, hal. 1263 1267
Fadiloglu., S., Cifci., O.N., dan Gogus., F. 2003. Reduction of Free Fatty Acid
Content of Olve-pomace Oil by Enzymatic Glycerolysis. J. Food Sci. Tech Int.
2003; 9(1); hal. 11 15.
Leung, D.Y.C., B.C.P. Koo, dan Y. Guo. 2005. Degradation of Biodiesel under
different Storage Conditions. J. Bioresource Technology 97 (2005), hal. 250 256.
Rachmaniah., O., Ju. Y.H, Vali. S.R, Tjondronegoro. I, dan Musfil A.S. 2006. A Study
on Acid-Catalyzed Transesterification of Crude Rice Bran Oil for Biodiesel
Production. Dept. of Chemical Engineering, National Univesity of Science and
Technology. Taipei.
Yoeswono, Triyono, dan Tahir. I. 2008. Kinetics of Palm Oil Transesterification in
Methanol with Potassium Hydroxide as a Catalyst. Indo. J. Chem., 2008, 8 (2),
219 225
Firdaus, I.U. 2010. Usulan Teknis Pembuatan Biodiesel Dari Minyak Jelantah. PT.
Nawapanca Engineering: Bandung.
Hambali, E, dkk. 2005. Teknologi Bioenergi. Agro Media: Jakarta.
Wawicaksono. 2007. Bahan Bakar Minyak Jelantah, Kabar Gembira Buat
Lingkungan Hidup. www.beritahabitat.net. Diakses tanggal 5 Oktober 2010:
Samarinda.

Anda mungkin juga menyukai