Introduction: Identity & Foreign Policy In The Middle East
Identitas merupakan bagian terpenting dari sebuah subjek yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Hal ini menunjukkan ciri khas dari subjek tersebut untuk membedakannya dengan subjek lainnya. Begitupun juga dengan negara, memiliki identitas yang berbeda-beda pula. Identitas negara terbentuk dari budaya, agama, bahasa, serta suku/kelompok tertentu yang mendiami negara tersebut. Timur Tengah merupakan wilayah yang terkenal dengan konflik antar negaranya. Terciptanya konflik tersebut tidak lain dilatar belakangi oleh faktor-faktor sejarah serta identitas yang menjadi pemicu utama dalam menciptakan konflik tersebut. Untuk mempelajari lebih lanjut mengenai kondisi perpolitikan di wilayah Timur Tengah berdasarkan judul di atas yang ditulis oleh Shibley Telhami dan Michael Barnett, menjelaskan bahwa buku ini ditulis dalam rangka untuk memahami peran yang dimainkan oleh aktor-aktor di Timur Tengah berdasarkan identitas yang dimilikinya dalam menentukan kebijakan luar negeri negara-negara tersebut. Menurut mereka dalam mengkaji wilayah ini, banyak sarjana HI yang cenderung lebih suka untuk menggunakan teori neorealis yang dicetuskan oleh Kenneth Waltz. Dilihat dari permukaan, memang situasi dan kondisi di wilayah tersebut sangat sesuai dengan asumsi-asumsi yang dimiliki teori tersebut. Akan tetapi, menurut mereka ada faktor lain yang lebih penting dan harus diperhatikan dalam mengkaji wilayah ini, yaitu faktor lokal, regional, dan agama. Sejak terjadinya PD II sampai dengan tahun 1970 an, perdebatan mengenai kondisi perpolitikan di wlayah Timur Tengah terfokus pada kebangkitan dan kemunduran gerakan persatuan Arab. Selanjutnya perdebatan berfokus pada bagaimana Islam mempengaruhi kondisi perpolitikan di wilayah Timur Tengah dan menjadi tantangan terhadap legitimasi domestik serta stabilitas politik negara-negara tersebut. Pertanyaan utama yang dilontarkan mereka adalah apakah transisi rezim yang dimulai dengan kejatuhan rezim lama akibat dari penyimpangan yang mereka lakukan akan menyebabkan terjadinya bentrokan antar etnis, sektarian, dan kelompok agama dalam memperebutkan kekuasaan tersebut. Mereka juga menegaskan bahwa dalam memahami kawasan ini perlu mempertimbangkan pasang surut dari identitas politik yang ada. Sehingga untuk mencapai pemahaman yang benar mengenai kondisi perpolitikan di kawasan ini perlu mempelajari identitas-identitas yang dimiliki oleh negara-negara tersebut. Menurut mereka banyak sekali para sarjana HI yang terpaku pada pemikiran Waltz. Mereka menjadikan kepentingan nasional dan motivasi negara sebagai dasar pijakan asumsi mereka. Padahal seharusnya hal tersebut dijadikan sebagai bagian dari objek penelitian. Untuk meneliti peran identitas dalam mempengaruhi kebijakan luar negeri di kawasan Timur Tengah, Telhami dan Barnett menggunakan teori konstruktivis sebagai alat analisa mereka. Asumsi dasar konstruktivis
adalah struktur sosial merupakan perpaduan dari unsur normatif dan
materi, di mana struktur sosial memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk perilaku aktor, identitas dan kepentingannya. Sehingga tingkah laku aktor terikat dengan struktur sosial, yang tidak hanya menghasilkan struktur akan tetapi juga mengubahnya. Munculnya pengertian Arabisme di kawasan tersebut yang merujuk pada negara arab dengan kepentingan nasional arab, menurut mereka memberikan lahan yang luas bagi konstruktivis untuk mengeksplorasi dampak dari identitas terhadap kebijakan luar negeri, serta untuk menguji asumsi realis yang menyatakan bahwa dalam semua konteks kepentingan itu sama karena pada dasarnya kepentingan itu berasal dari kondisi politik internasional yang bersifat anarki. Untuk mengkaji lebih dalam mengenai kawasan ini, konstruktivis memiliki beberapa pertimbangan/ kalkulasi yaitu: 1. Konstruksi sosial kepentingan nasional negara-negara Arab. 2. Munculnya kedaulatan sebagai prinsip yang mengatur politik antar negara. 3. Pengaruh dari norma Arab dan kedaulatan dalam interaksi antara pemimpin Arab untuk mempertahankan kekuasaannya. 4. Pergeseran kepentingan negara Arab yang disebabkan oleh transformasi identitas nasional. 5. Persamaan identitas dapat menjadi pintu konflik atau kerja sama. Dalam mengkaji perkembangan politik di Timur Tengah Telhami mengembangkan teori sistemik hubungan internasional sedangkan Barnett mengembangkan model yang terinspirasi dari konstruktivis untuk menjelaskan ciri khas dari politik antar negara Arab. Untuk membedakan antara ideologi dan identitas yakni dengan cara mencari asal-usul dan fungsi dari keduanya. Konsep ideologi diperkenalkan oleh para sarjana Marxis yang menjelaskan bagaimana hubungan yang dibangun dari sebuah dominasi dihasilkan dengan cara meminimalisir penggunaan kekuatan langsung. Berdasarkan pandangan tersebut, individu memiliki kepentingan obyektif yang umumnya berasal dari posisi mereka dalam struktur sosial, hal ini menyebabkan mereka bertindak dengan cara yang bertentangan dengan kepentingan-kepentingan tersebut. Hal di atas mengacu pada konsep kesadaran palsu yang menurut kajian ideologi mengartikan bahwa ide-ide yang diartikulasikan oleh kelas bawahan bukan untuk kepentingan tujuan mereka. Akan tetapi sebaliknya, malah menguntungkan kelas yang lebih dominan. Dalam konteks negara-negara Arab, mereka biasanya menggambarkan ideologi sebagai sebuah alat yang dimiliki oleh pemimpin mereka demi kepentingan dirinya sendiri. Pemerintah dan segala fungsinya digunakan untuk memajukan kepentingan-kepentingan (kelompok tertentu) serta mempertahankan dominasi mereka agar dapat terus diterima oleh kekuatan yang lebih rendah.
Sejak tahun 1970-an diskusi mengenai identitas telah berkembang
sangat pesat. Upaya dalam memahami bagaimana individu mengisi lingkungan sosial yang tidak dapat direduksi menjadi struktur materi, bagaimana lingkungan sosial menghasilkan tindakan, dan bagaimana lingkungan sosial tersebut dapat diubah menjadi awal perkembangan dari makna identitas itu sendiri. Kajian mengenai identitas bersusah payah untuk menunjukkan bahwa kepentingan secara objektif bukanlah sesuatu yang diperoleh melainkan dibangun secara sosial dan bergantung secara historis pada peran sosial yang dibatasi oleh aktor yang memiliki kekuasaan dan pengetahuan yang luas. Sebuah kekuatan sosial yang membentuk identitas dan konsep tentang batas-batas kelompok lebih rentan terhadap perubahan pada saat-saat tertentu. Lebih lanjut kekuatan tersebut dapat menyebabkan perbedaan interpretasi mengenai kepentingan yang mendefinisikan bangsa atau negara, dan perubahan bentuk dalam struktur normatif yang mendasari tindakan negara dengan cara tertentu.