Anda di halaman 1dari 3

Muhammad Darmawan

Ardiansyah/1112113000007

Introduction: Identity & Foreign Policy In The Middle East


Identitas merupakan bagian terpenting dari sebuah subjek yang tidak
dapat dipisahkan satu sama lainnya. Hal ini menunjukkan ciri khas dari
subjek tersebut untuk membedakannya dengan subjek lainnya. Begitupun
juga dengan negara, memiliki identitas yang berbeda-beda pula. Identitas
negara terbentuk dari budaya, agama, bahasa, serta suku/kelompok
tertentu yang mendiami negara tersebut. Timur Tengah merupakan
wilayah yang terkenal dengan konflik antar negaranya. Terciptanya konflik
tersebut tidak lain dilatar belakangi oleh faktor-faktor sejarah serta
identitas yang menjadi pemicu utama dalam menciptakan konflik
tersebut.
Untuk mempelajari lebih lanjut mengenai kondisi perpolitikan di
wilayah Timur Tengah berdasarkan judul di atas yang ditulis oleh Shibley
Telhami dan Michael Barnett, menjelaskan bahwa buku ini ditulis dalam
rangka untuk memahami peran yang dimainkan oleh aktor-aktor di Timur
Tengah berdasarkan identitas yang dimilikinya dalam menentukan
kebijakan luar negeri negara-negara tersebut. Menurut mereka dalam
mengkaji wilayah ini, banyak sarjana HI yang cenderung lebih suka untuk
menggunakan teori neorealis yang dicetuskan oleh Kenneth Waltz. Dilihat
dari permukaan, memang situasi dan kondisi di wilayah tersebut sangat
sesuai dengan asumsi-asumsi yang dimiliki teori tersebut. Akan tetapi,
menurut mereka ada faktor lain yang lebih penting dan harus diperhatikan
dalam mengkaji wilayah ini, yaitu faktor lokal, regional, dan agama.
Sejak terjadinya PD II sampai dengan tahun 1970 an, perdebatan
mengenai kondisi perpolitikan di wlayah Timur Tengah terfokus pada
kebangkitan dan kemunduran gerakan persatuan Arab. Selanjutnya
perdebatan berfokus pada bagaimana Islam mempengaruhi kondisi
perpolitikan di wilayah Timur Tengah dan menjadi tantangan terhadap
legitimasi domestik serta stabilitas politik negara-negara tersebut.
Pertanyaan utama yang dilontarkan mereka adalah apakah transisi rezim
yang dimulai dengan kejatuhan rezim lama akibat dari penyimpangan
yang mereka lakukan akan menyebabkan terjadinya bentrokan antar
etnis, sektarian, dan kelompok agama dalam memperebutkan kekuasaan
tersebut.
Mereka juga menegaskan bahwa dalam memahami kawasan ini perlu
mempertimbangkan pasang surut dari identitas politik yang ada.
Sehingga untuk mencapai pemahaman yang benar mengenai kondisi
perpolitikan di kawasan ini perlu mempelajari identitas-identitas yang
dimiliki oleh negara-negara tersebut. Menurut mereka banyak sekali para
sarjana HI yang terpaku pada pemikiran Waltz. Mereka menjadikan
kepentingan nasional dan motivasi negara sebagai dasar pijakan asumsi
mereka. Padahal seharusnya hal tersebut dijadikan sebagai bagian dari
objek penelitian.
Untuk meneliti peran identitas dalam mempengaruhi kebijakan luar
negeri di kawasan Timur Tengah, Telhami dan Barnett menggunakan teori
konstruktivis sebagai alat analisa mereka. Asumsi dasar konstruktivis

adalah struktur sosial merupakan perpaduan dari unsur normatif dan


materi, di mana struktur sosial memiliki peran yang sangat besar dalam
membentuk perilaku aktor, identitas dan kepentingannya. Sehingga
tingkah laku aktor terikat dengan struktur sosial, yang tidak hanya
menghasilkan struktur akan tetapi juga mengubahnya.
Munculnya pengertian Arabisme di kawasan tersebut yang merujuk
pada negara arab dengan kepentingan nasional arab, menurut mereka
memberikan lahan yang luas bagi konstruktivis untuk mengeksplorasi
dampak dari identitas terhadap kebijakan luar negeri, serta untuk menguji
asumsi realis yang menyatakan bahwa dalam semua konteks kepentingan
itu sama karena pada dasarnya kepentingan itu berasal dari kondisi politik
internasional yang bersifat anarki.
Untuk mengkaji lebih dalam mengenai kawasan ini, konstruktivis
memiliki beberapa pertimbangan/ kalkulasi yaitu:
1. Konstruksi sosial kepentingan nasional negara-negara Arab.
2. Munculnya kedaulatan sebagai prinsip yang mengatur politik antar
negara.
3. Pengaruh dari norma Arab dan kedaulatan dalam interaksi antara
pemimpin Arab untuk mempertahankan kekuasaannya.
4. Pergeseran kepentingan negara Arab yang disebabkan oleh
transformasi identitas nasional.
5. Persamaan identitas dapat menjadi pintu konflik atau kerja sama.
Dalam mengkaji perkembangan politik di Timur Tengah Telhami
mengembangkan teori sistemik hubungan internasional sedangkan
Barnett mengembangkan model yang terinspirasi dari konstruktivis untuk
menjelaskan ciri khas dari politik antar negara Arab. Untuk membedakan
antara ideologi dan identitas yakni dengan cara mencari asal-usul dan
fungsi dari keduanya.
Konsep ideologi diperkenalkan oleh para sarjana Marxis yang
menjelaskan bagaimana hubungan yang dibangun dari sebuah dominasi
dihasilkan dengan cara meminimalisir penggunaan kekuatan langsung.
Berdasarkan pandangan tersebut, individu memiliki kepentingan obyektif
yang umumnya berasal dari posisi mereka dalam struktur sosial, hal ini
menyebabkan mereka bertindak dengan cara yang bertentangan dengan
kepentingan-kepentingan tersebut.
Hal di atas mengacu pada konsep kesadaran palsu yang menurut
kajian ideologi mengartikan bahwa ide-ide yang diartikulasikan oleh kelas
bawahan bukan untuk kepentingan tujuan mereka. Akan tetapi
sebaliknya, malah menguntungkan kelas yang lebih dominan. Dalam
konteks negara-negara Arab, mereka biasanya menggambarkan ideologi
sebagai sebuah alat yang dimiliki oleh pemimpin mereka demi
kepentingan dirinya sendiri. Pemerintah dan segala fungsinya digunakan
untuk memajukan kepentingan-kepentingan (kelompok tertentu) serta
mempertahankan dominasi mereka agar dapat terus diterima oleh
kekuatan yang lebih rendah.

Sejak tahun 1970-an diskusi mengenai identitas telah berkembang


sangat pesat. Upaya dalam memahami bagaimana individu mengisi
lingkungan sosial yang tidak dapat direduksi menjadi struktur materi,
bagaimana lingkungan sosial menghasilkan tindakan, dan bagaimana
lingkungan sosial tersebut dapat diubah menjadi awal perkembangan dari
makna identitas itu sendiri. Kajian mengenai identitas bersusah payah
untuk menunjukkan bahwa kepentingan secara objektif bukanlah sesuatu
yang diperoleh melainkan dibangun secara sosial dan bergantung secara
historis pada peran sosial yang dibatasi oleh aktor yang memiliki
kekuasaan dan pengetahuan yang luas.
Sebuah kekuatan sosial yang membentuk identitas dan konsep
tentang batas-batas kelompok lebih rentan terhadap perubahan pada
saat-saat tertentu. Lebih lanjut kekuatan tersebut dapat menyebabkan
perbedaan interpretasi mengenai kepentingan yang mendefinisikan
bangsa atau negara, dan perubahan bentuk dalam struktur normatif yang
mendasari tindakan negara dengan cara tertentu.

Anda mungkin juga menyukai