HIV Pada Anak
HIV Pada Anak
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Infeksi oleh virus penyebab defisiensi imun merupakan masalah yang
relative baru, terutama pada anak. Masalah ini pertama kali dilaporkan di Amerika
pada tahun 1982 sebagai suatu sindrom defisiensi imun tanpa diketahui
penyebabnya. Oleh karena jumlah kasus defisiensi imun makin meningkat secara
relative cepat disertai angka kematian yang mencemaskan, maka dilakukan
pengamatan dan penelitian yang intensif sehingga akhirnya penyebab defisiensi
imun ini ditemukan. Penyebab defisiensi imun ini adalah suatu virus yang
kemudian dikenal dengan nama human immunodeficiency vitus tipe-1 (HIV-1),
pada tahun 1985. Pada pengamatan selanjutnya, ternyata bahwa infeksi HIV-1 ini
dapat menimbulkan rentangan gejala yang sangat luas, yaitu dari tanpa gejala
hingga gejala yang sangat berat dan progresif, dan umumnya berakhir dengan
kematian. Dengan meningkat dan menyebarnya kasus defisiensi imun oleh virus
ini pada orang dewasa secara cepat di seluruh dunia, apabila kasus tersebut tidak
mendapat perhatian dan penanganan yang memadai, dalam waktu dekat
diperkirakan jumlah kasus defisiensi imun pada anak juga akan meningkat.1
I.2. BATASAN
Sampai saat ini belum dijumpai adanya batasan yang memuaskan untuk
sindrom yang disebabkan oleh infeksi HIV-1 ini oleh karena rentangan gejalanya
yang sangat luas. Batasan yang ada adalah batasan yang diberikan untuk bentuk
klinis yang paling berat, yang dikenal dengan nama sindrom defisiensi imun yang
didapat atau acquired immunodeficiency syndrome (AIDS), yang diberikan oleh
CDC (Centers for disease control) di Amerika Serikat, yang terbatas hanya untuk
anak dibawah usia 13 tahun dan untuk kepentingan survai epidemiologis semata.
Batasan ini pun telah mengalami beberapa kali perubahan.1
Pada awalnya, sebelum virus penyebab AIDS ini ditemukan, batasan yang
diberikan adalah suatu sindrom defisiensi imun yang ditandai oleh adanya infeksi
opurtunistik dan atau keganasan yang tidak disebabkan oleh defisiensi imun
primer atau sekunder atau infeksi kengenital. Pada tahun 1985, ditambahkan
pneumonitis intertisial limfositik atau lymphocytic interstitial pneumonitis (LIP)
sebagai tanda tambahan dari AIDS. Akibat batasan yang diberikan CDC tersebut,
dikenal adanya istilah AIDS-related clomplex (ARC), yaitu sindrom defisiensi
imun yang tidak dapat memenuhi seluruh criteria yang diberikan oleh CDC. Pada
tahun 1987, dilakukan perubahan lagi dengan dimasukannya uji diagnostic ke
dalam batasan. Dengan cara ini, sindrom yang termasuk ke dalam ARC dapat
tercakup sehingga istilah ARC tidak diperlukan lagi.1
BAB II
PEMBAHASAN
II.1. EPIDEMIOLOGI
Infeksi virus penyebab defisiensi imun (HIV-1) pada anak dapat terjadi
melalui transfuse darah atau komponennya yang tercemar. Makin sering transfuse
dilakukan makin besar kemungkinan terjadinya infeksi. Menurut CDC Amerika,
13% kasus AIDS pada anak adalah penerima transfuse darah atau komponennya,
5% di antaranya ternyata terinfeksi dalam pengobatan hemophilia atau gangguan
pembekuan darah yang lain. Dengan diterapkan system uji tapis yang lebih ketat
terhadap donor darah, penularan melalui transfuse ini telah berkurang, sehingga
penularan pada umumnya lebih sering terjadi akibat infeksi perinatal (vertical),
yaitu sekitar 50-80% baik intrauterine, melalui plasenta, selama persalinan melalui
pemaparan dengan darah atau secret jalan lahir, maupun yang terjadi setelah lahir
(pasca natal) yaitu melalui air susu ibu (ASI). Penularan pasca natal terjadi
melalui pemaparan yang erat dengan darah, ekskret atau secret, masih belum
dapat dipastikan oleh karena angka kejadiannya terlampau kecil. Penularan
melalui plasenata (intra natal), diduga dapat terjadi pada periode kehamilan yang
sangat dini, oleh karena pernah ditemukan adanya antigen terhadap virus pada
janin yang berusia 13-20 minggu, disamping ditemukannya dismorfisme seperti
kelainan kraniofasial, mikrosephali, dahi yang menonjol dan berbentuk kotak,
hipertelorisme okuler, jembatan hidung yang datar, mata yang miring, fisura
palpebralis yang panjang dan lain-lainnya.1
Saying
sekali
tidak
diketahui
adanya
factor
predisposisi
yang
mempermudah terjadinya penularan infeksi pada janin. Penularan melalui air susu
ibu diduga dapatterjadi oleh karena pernah ditemukan adanya virus di dalam ASI.
Pada anak yang lebih besar, terutama remaja, penularan dapat terjadi dengan cara
yang sama seperti pada orang dewasa, yaitu sebagai akibat perilaku seksual yang
II.2. DEFINISI
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS
(Acquired Immunodeficiency Syndrome). Artinya bahwa HIV berbeda dengan
AIDS tetapi HIV memungkinkan untuk menjadi pencetus terjadinya AIDS.
Sampai saat ini masih ditemukan beberapa kontraversi tentang ketepatan
mekanisme perusakan sistem imun oleh HIV.2
Human Immunodeficiency Virus merupakan virus yang termasuk dalam
familia retrovirus yaitu kelompok virus berselubung (envelope virus) yang
mempunyai enzim reverse transcriptase, enzim yang dapat mensintesis kopi
DNA dari genon RNA. Virus ini masuk dalam sub familia lentivirus
berdasarkan kesamaan segmen genon, morfologi dan siklus hidupnya. Sub
familia
lentivirus
infeksi laten,
mempunyai efek sitopatik yang cepat, perkembangan penyakit lama dan dapat
fatal.2
II.3. ETIOLOGI
Virus penyebab defisiensi imun yang dikenal dengan nama Human
Immunodeficiency Virus (HIV) adalah suatu virus RNA dari famili Retrovirus dan
subfamili Lentiviridae. Sampai sekarang baru dikenal dua serotype HIV yaitu
HIV-1 dan HIV-2 yang juga disebut lymphadenopathy associated virus type2 (LAV-2) yang hingga kini hanya dijumpai pada kasus AIDS atau orang sehat di
Afrika,dan spektrum penyakit yang ditimbulkannya belum banyak diketahui. HIV1, sebagai penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) tersering, dahulu dikenal
juga
sebagai human
cell-lymphotropic
virus
type
III (HTLV-
II.4. PATOFISIOLOGI
Ketika mukosa menjadi pintu masuk HIV, sel yang pertama terinfeksi
adalah sel dendritik. Sel ini merupakan sel yang bertanggungjawab dalam
mengumpulkan dan mengolah antigen dari luar dan mengirimnya ke jaringan
lymphoid. Sebenarnya HIV tidak menginfeksi sel dendritik, tetapi hanya mengikat
molekul permukan DC-SIGN, yang memungkikan virus bertahan sampai jaringan
lymphatic. Dalam lymph node, HIV selektif hanya berikatan dengan sel-sel yang
mengekspesikan molekul CD4 pada permukaannya. Terutama T helper
lymphocytes (CD4 cells) dan sel turunan monocyte-macrophage. Sel-sel dengan
CD4 lainnya seperti microglia, astrocytes, oligodendroglia dan jaringan plasenta
yang mengandung sel vili Hofbauer bisa terkena infeksi HIV. Biasanya CD4
lymphocytes dikerahkan dalam merespon antigen virus, kemudian berpindah ke
nodes lymph dimana mereka manjadi aktif dan berproliferasi, menjadikannya
sangat rentan terhadap infeksi HIV. Migrasi HIV pada jaringan lymphoid dimana
terdapat akumulasi sel dengan CD4 menyebabkan lemfadenopati generalisata
yang merupakan karakteristik dari sindrom retroviral akut pada dewasa maupun
remaja. HIV menginfeksi sel khusus yang meresponnya (HIV-specific memory
CD4 cells), yang menyebabkan hilangnya progresifitas dalam pengendalian
replikasi HIV. Ketika replikasi HIV mencapai puncaknya (3-6 minggu dari waktu
infeksi), maka akan terjadi viremia. Viremia yang intens menimbulkan gejala
seperti flu (demam, ruam, limfadenopati dan arthralgia) pada 50-70% orang
dewasa yang terinfeksi. Dengan respon imun selular dan humoral dalam waktu 24 bulan, akumulasi virus dalam darah akan berkurang dan pasien memasuki
karakteristik dimana berkurangnya symptoms dan sel CD4 hanya sedikit
mengalami penurunan.3
Awal replikasi HIV-1 pada anak tidak memiliki manifestasi klinis
yang jelas. Jika dilakukan uji isolasi virus atau dengan PCR untuk melihat rantai
nucleic acid, kurang dari 50% dari bayi yang menunjukan terinfeksi saat lahir,
namun hampir semua bayi yang terinfeksi HIV akan terdeteksi HIV-1 pada darah
perifer dalam usia 4 bulan.3
Pada orang dewasa, masa laten klinis yang panjang (8-12 tahun)
tidak menunjukan latensi virus. Faktanya ada peningkatan jumlah virus dan CD4
lymphocytes (> 1*109/hari), yang secara perlahan menyebabkan kerusakan pada
system imunitas tubuh, dibuktikan dengan semakin menurunnya sel CD4. Sel-sel
ini dapat dihancurkan dengan beberapa mekanisme : membunuh sel tunggal HIVmediated, membentuk giant cells multinucleat yang terinfeksi dan tidak terinfeksi
(syncytia formation), respon imun virus spesifik, aktivasi superantigen-mediated
sel T(beresiko lebih rentan terhadap infeksi HIV) dan kematian sel terprogram
(apoptosis). Beban virus pada organ lymphoid lebih besar daripada dalam darah
perifer selama periode asymptimatic. Virion HIV dan kompleks imun bermigrasi
melalui lymph nodes, mereka terjebak dalam folikel dendritik. Replikasi HIV
dalam sel T bergantung pada aktivasi sel, maka aktivasi dalam lingkup mikro dari
lymph nodes itu berfungsi untuk menginfeksi sel CD4 yang baru dan kemudian
terjadilah replikasi pada sel tersebut. Replikasi virus pada monosit, dimana masih
produktif sulit dibunuh, menunjukan perannya sebagai reservoir HIV dan sebagai
efektor kerusakan jaringan pada organ seperti otak.3
Respon cell-mediated dan humoral terjadi pada awal infeksi. Sel-sel CD8
T memainkan peran penting dalam mengendalikan infeksi. Limfosit T sitotoksik
(CTLs) HIV-Specific berkembang terhadap kedua struktur (missal; ENV, POL,
GAG) dan regulasi (missal; tat) protein virus. Sel-sel CTL muncul pada akhir
infeksi retrovital akut dimana replikasi virus telah dikendalikan. Sel-sel CTL
mengontrol infeksi dengan membunuh sel yang terinfeksi HIV sebelum virus baru
diproduksi dan dengan sekresi faktor antivirus potent yang bersaing dengan virus
pada reseptornya (misalnya, CCR5). Kemudian antibody muncul pada masa
infeksi untuk menekan replikasi virus selama masa latensi klinis. Setidaknya ada
dua kemungkinan mekanisme untuk mengontrol akumulasi virus yang banyak
selama masa laten klinis yang kronis. Mekanisme yang pertama dengan
membatasi jumlah CD4 yang aktif untuk mencegah replikasi. Mekanisme lainnya
dengan mengontrol imun, peningkatan respon imun yang aktif (jumlahnya
tergantung antigennya sendiri) membatasi replikasi virus pada jumlah yang
banyak. Tidak ada consensus tentang yang mana dari kedua mekanisme ini yang
lebih penting. Mekanisme pembatasan sel CD4 sebagai terapi antiretroviral,
sedangkan mekanisme mengontrol imun menekankan pada modulasi imun (misal;
cytokines, vaccines) untuk meningkatkan efisiensi respon kekebalan tubuh, pada
akhirnya memperlambat perkembangan penyakit.3
Grup sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF), TNF, interleukin 1
(IL-1), IL-3, IL-6, interferon-, granulocyte-macrophage colony-stimulating factor
(GM-CSF), dan macrophage colony-stimulating factor, memainkan peran integral
dalam pengaturan ekspresi HIV dari keadaan infeksi inaktif menjadi replikasi
virus aktif. Sitokin lain seperti interferon (INF), INF-, dan transforming
growth factor D melakukan efek suppressive pada replikasi HIV. Interaksi antara
sitokin ini mempengaruhi konsentrasi partikel virus dalam jaringan. Jumlah
sitokin plasma tidak perlu ditingkatkan untuk meningkatkan efeknya, kareka
mereka diproduksi dan berefek local. Jadi meskipun dalam keadaan imunitas yang
tenang, interaksi kompleks sitokin menunjang tingkat ekspresi virus dalam
keadaan konstan, terutama pada lymph nodes.3
Umumnya HIV fenotipik terisolasi selama periode laten klinis, tumbuh
lambat dalam kultur dan menghasilkan titer reverse transcriptase rendah. Keadaan
Dan secara perlahan akan menurun. Berbeda dengan pertumbuhan virus pada
orang dewasa, pada bayi pertumbuhan virusnya tetap tinggi setidaknya dalam 2
tahun pertama kehidupan.3
Kebanyakan bayi yang terinfeksi dalam kandungan (60-80%) mengikuti
pola yang kedua, dimana perkembangan penyakitnya lambat, dengan waktu
kelangsungan hidup rata-rata 6 tahun. Kebanyakan pasien ini jika dikultur atau
PCR pada satu minggu pertama kehidupan hasilnya negative, karna itu pola
seperti ini dianggap infeksi intrapartum. Pada pasien yang khas, pertumbuhan
virus cepat meningkat pada umur 2-3 minggu (median 100.000 /mL) dan secara
perlahan menurun sampai umur 24 bulan. Penurunan yang lambat dari viral load
ini berlawanan dengan penurunan yang cepat setelah infeksi primer pada orang
dewasa. Keadaan ini hanya sebagian yang dapat dijelaskan berdasarkan
ketidakmatangan system imunitas tubuh pada bayi baru lahir dan bayi.3
Pola ketiga penyakit (bertahan lama) terjadi pada sebagian kecil (<5%)
dari anak yang terinfeksi dalam kandungan dengan perkembangan minimal
dengan jumlah CD4 yang relative normal dan viral load yang sangat rendah
selama lebih dari 8 tahun.3
Anak yang terinfeksi HIV memiliki perubahan dalam system imunitas
tubuhnya seperti halnya pada orang dewasa yang terinfeksi HIV. Penurunan sel
CD4 mungkin tidak terlalu drastic karena biasanya bayi memiliki limfositosis
relative. Oleh karena itu, jika pada anak < 1th nilai CD4 1.500 /mm 3 merupakan
indikasi penurunan CD4 yang parah, sebanding dengan < 200 /mm 3 pada orang
dewasa. Limfopenia relative jarang terjadi pada anak yang terinfeksi dalam
kandungan dan biasanya hanya terlihat pada usia yang lebih tua atau pada stadium
akhir penyakit. Meskipun anergi kulit merupakan hal umum selama infeksi HIV,
tapi terjadi juga pada bayi sehat < 1th, maka interpretasinya sulit pada bayi yang
terinfeksi.3
10
Aktivasi sel-B terjadi pada sebagian besar anak di awal infeksi, dibuktikan
dengan hipergammaglobulinemia (> 1.750 g/L) dengan tingkatan anti-HIV-1 yang
tinggi. Ini mungkin menggambarkan disregulasi penekanan sintesis sel-T dari
sisntesis sel-B dan peningkatan CD4 aktif dari respon humoral limfosit-B. pada
beberapa anak tidak ditemukan pembentukan antibody spesifik dan pada orang
dengan antibody yang adekuat tetap tidak memberikan perlindungan. Karena
hipergammaglobulinemia sering terjadi pada anak yang terinfeksi HIV, bisa
berfungsi sebagai penanda infeksi pada anak daripada PCR atau kultur yang
mungkin tidak tersedia atau harganya lebih mahal. Hypogammaglobulinemia
sangat jarang (< 1%). Keterlibatan sistem saraf pusat umumnya terjadi pada
pasien anak daripada orang dewasa. Makrofag dan microglia memainkan peran
penting dalam neuropathogenesis HIV, dan ada data juga menunjukan bahwa
astrosit juga mungkin terlibat. Meskipun mekanisme khusus ensefalopati pada
anak belum jelas, perkembangan otak pada bayi, dengan myelinization tertunda,
akan lebih rentan terhadap infeksi HIV.3
Memahami hubungan kompleks antara respon imun spesifik dan
mekanisme virus untuk bertahan hidup, sangat penting untuk strategi terapi.
Meskipun replikasi virus dapat ditekan dengan antiretroviral, penting untuk
mengembangkan strategi dengan modulasi respon imun.3
II.5. TRANSMISI
Transmisi HIV secara umum dapat terjadi melalui empat jalur, yaitu :
1.
Kontak seksual: HIV terdapat pada cairan mani dan sekret vagina yang
akan ditularkan virus ke sel, baik pada pasangan homoseksual atau
heteroseksual.
2.
Tranfusi: HIV ditularkan melalui tranfusi darah balk itu tranfusi whole
blood, plasma, trombosit, atau fraksi sel darah Iainnya.
11
3.
4.
Transmisi vertikal (perinatal): wanita yang teinfeksi HIV sebanyak 1540% berkemungkinan akan menularkan infeksi kepada bayi yang baru
dilahirkannya melalui plasenta atau saat proses persalinan atau melalui
air susu ibu.4
Masih belum diketahui secara pasti bagaimana HIV menular dari ibu-ke-bayi.
Namun, kebanyakan penularan terjadi saat persalinan (waktu bayinya lahir).
Selain itu, bayi yang disusui oleh ibu terinfeksi HIV dapat juga tertular HIV.4
Faktor ibu
Faktor yang paling utama mempengaruhi risiko penularan HIV dari ibu ke
bayi adalah kadar HIV (viral load) di darah ibu pada menjelang ataupun
saat persalinan dan kadar HIV di air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya.
Umumnya, satu atau dua minggu setelah seseorang terinfeksi HIV, kadar
HIV akan cepat sekali bertambah di tubuh seseorang.
b.
Faktor bayi
1) Bayi yang lahir prematur dan memiliki berat badan lahir rendah,
2) Melalui ASI yang diberikan pada usia enam bulan pertama bayi, Bayi
yang meminum ASI dan memiliki luka di mulutnya
12
b.
c.
d.
e.
f.
13
DEFINISI
STATUS
KATEGORI IMUNOLOGIS
JUMLAH CD4+ DAN PERSENTASI TOTAL LIMFOSIT
TERHADAP USIA
0 1 tahun
1-5 tahun
6-12 tahun
L
%
L
%
L
%
1. Nonsuppressed
1500
25
1000
25
500
25
2. Moderate suppression 750-1499
15-24
500-999 15-24
200-499 15-24
3. Severe suppression
<>
<15
<>
<15
<>
<15
Tabel . Klasifikasi HIV pada Anak Kurang dari 13 Tahun Berdasarkan
IMUNOLOGIS
Kriteria klinis untuk infeksi HIV pada anak-anak kurang dari 13 tahun.
14
Lymphadenopathy ( 0.5 cm pada dua tempat atau lebih, dua KGB yang
bilateral dianggap sebagai satu kesatuan).
Hepatomegali
Splenomegali
Dermatitis
Parotitis
Anemia
(<8g/dl)
neutropenia (<
1000/ul),
trombositopenia
Candidiasis orofaring yang terjadi lebih dari dua bulan pada anak-anak
berusia enam bulan atau kurang.
Kardiomiopati.
15
Diare
Hepatitis
Herpes zoster yang terjadi dalam dua episode berbeda pada satu
dermatom.
Leiomyosarcoma
Nefropati.
Nocardiosis.
16
Kandidiasis esofagus
Sarkoma Kaposi
Limfoma Burkitt
Limfoma imunoblastik
17
Ikobacterium jenis lain atau jenis yang tidak dikenal tersebar atau di luar
paru
Pneumonia berulang
Toksoplasmosis di otak
Stadium Klinis 2
18
Herpes zoster
Infeksi saluran napas bagian atas yang berulang atau kronis (ototis media,
otore, sinusitis, atau tonsilitis)
Stadium Klinis 3
Malanutrisi sedang tanpa alasan jelas tidak membaik dengan terapi baku
Demam terus-menerus tanpa alasan (di atas 37,5C, sementara atau terusmenerus, lebih dari 1 bulan)
Tuberkulosis paru
19
Anemia (<8g/dl),>
Wasting yang parah, tidak bertumbuh atau malanutrisi yang parah tanpa
alasan dan tidak menanggapi terapi yang baku
Infeksi bakteri yang parah dan berulang (mis. empiema, piomisotis, infeksi
tulang atau sendi, atau meningitis, tetapi tidak termasuk pneumonia)
Infeksi herpes simpleks kronis (orolabial atau kutaneous lebih dari 1 bulan
atau viskeral pada tempat apa pun)
Sarkoma Kaposi
Ensefalopati HIV
20
Kriptosporidiosis kronis
Isosporiasis kronis
Catatan:
i Tanpa alasan berarti keadaan tidak dapat diakibatkan oleh alasan lain.
ii Beberapa penyakit khusus yang juga dapat dimasukkan pada klasifikasi wilayah
(misalnya penisiliosis di Asia)5
II.8. DIAGNOSIS
Seperti penyakit lain, diagnosis HIV lain juga ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium.3
Anamnesis yang mendukung kemungkinan adanya infeksi HIV ialah :
1.
21
immunoassays (EIA),immunofluorescent
assays (IFA)
atau
HIV-
3.
Penerima transfusi darah atau komponennya dan tanpa uji tapis HIV
4.
5.
22
dibandingkan dengan PCR yang membutuhkan hanya 2-3 hari. Uji antigen p24
bersifat lebih spesifik dan mudah untuk dilakukan namun kurang sensitif
dibandingkan dengan uji virologis lainnya. 3
Seorang bayi yang terpapar oleh virus HIV dapat dinyatakan positif terinfeksi
HIV jika pada pemeriksaan serologis dari 2 (dua) sampel darah yang berbeda pada
bayi (tidak termasuk darah yang berasal dari pusat, karena adanya risiko
terkontaminasi oleh darah ibu); baik dua kali hasil positif pada pemeriksaan kultur
HIV darah perifer untuk sel-sel mononuklear (peripheral blood mononuclear
cell (PMBC)), dan/atau satu hasil positif untuk DNA atau RNA polymerase chain
reaction (PCR) assay dan satu hasil postif pada kultur PMBC HIV. Pemeriksaanpemeriksaan terebut harus dilakukan pada dua waktu yang berlainan pada bayibayi yang belum pernah diberi ASI sebelumnya.3
Seorang bayi yang terlahir dari seorang ibu pengidap infeksi HIV dapat
dinyatakan tidak terinfeksi HIV jika tes-tes di atas tetap memberikan hasil negatif
sampai usia bayi lebih dari empat bulan dan bayi tidak mendapat ASI.3
KETERANGAN
23
HIV culture
II.9. PENATALAKSANAAN
Tata laksana awal adalah memberi konseling pada orangtua kondisi infeksi
HIV dan resiko infeksi oporunistik, pemberian nutrisi yang cukup, pengawasan
tumbuh kembang, imunisasi, dan pemberian awal obat anti retroviral (ARV).5
Pencegahan infeksi oportunistik
1. Pneumonia Pneumocystis carinii
Digunakan kotrimoksasol 4-5 mg/kg/hari dibagi 2, pemberian sebanyak 3
kali seminggu. Yang terindikasi untuk mendapatkan kontrimoksasol
profilaksis adalah bayi terpapar umur <12 bulan yang statusnya belum
diketahui, umur 1-5 tahun bila CD4 kurang dari 500 (<15%), umur 6-11
bila CD4 <200 (<15%), dan yang pernah didiagnosis terkena pneumonia
ini.
2. Tuberculosis
24
2.
3.
4.
5.
6.
Rekomendasi WHO untuk memulai pemberian ARV pada bayi dan anak
Bayi dan anak yang diagnosis infeksi HIV sudah tegak harus segera diberi ARV
bila:
Untuk anak >12 tahun dengan infeksi TB paru dan lymphocytic intertitial
pneumonia atau oral hairy leukoplakia atau trombositopenia, bila
25
Satdium 1 WHO atau N/A CDC dan nilai CD4 pada ambang batas atau
dibawahnya
Bayi dan anak umur <18 bulan dengan hasil tes antibodi positif dan mungkin
dilakukan uji virologik dan konfirmasi, harus diberi ARV bila secara klinis
didiagnosis HIV yang berat.5
Rekomendasi rejimen Inisiasi (first time)
Anak usia 3 tahun:
Pemantauan
Setelah pemberian ARV, pasien diharapkan datang setiap 1-2 minggu
untuk pemantauan gejala klinis, penyesuaian dosis, pemantauan efek samping,
kepatuhan minum obat, dan kondisi lain. Setelah 8 minggu, dilakukan
pemantauan yang sama tetapi dilakukan 1 bulan sekali
Pemeriksaan laboratorium yang diulang adalah darah tepi, SGOT/SGPT,
CD4 setiap 3 bulan, dapat lebih cepat bila dijumpai dengan kondisi yang
mengindikasikan untuk dilakukan.5
ZDV (AZT)
Pediatrik
(rentang
dosis
90
mg-
26
(Zidovudine, Retrovir*)
180mg/m2 LPB)
Oral 160 mg/m2 LPB tiap 12 jam 6-7
mg/kg/1xl
Adolesen 3x200 mg/200mg/ hari, atau
3TC
2x300 mg/hari
Pediatrik 4 mg/kg, 2x sehari dosis
(Lamivudine, Viracept*)
terapi
Adolesen BB <50 kg: 2 mg/kg, 2x
sehari
NFV
(Nevirapine, Viramune*)
45 mg/kg, 3x sehari
Aldolesen
2x1250
mg/hari,
3x750
NVP
mg/hari
Pediatrik
(Nevirapine, Viramune*)
Stavudin (d4T/Stavir*)
Efavirenz (Sustiva*)
TMP/SMX
(Kotrimoksasol)
carinii
untuk
27
8-10mg
mg/kg/hari
dalam
kali
II.10. PROGNOSIS
Infeksi HIV pada umumnya berjalan progresif akibat belum ditemukannya
cara yang efektif untuk menangulanginya, maka pada umumnya penyakit berjalan
progresif hingga prognosisnya umumnya buruk.1
II.11. PENCEGAHAN
1.
2.
28
Penatalaksanaan Persalinan
Seksio Sesarea
American
College
of
Obstetricians
and
Gynecologists (2000)
Prong 1
usia reproduktif;
b)
Prong 2
HIV positif;
c)
Prong 3
Prong 4
29
ART untuk semua ibu hamil yang HIV-positif dengan jumlah CD4 di
bawah 350 atau penyakit WHO stadium 3 atau penyakit HIV stadium 4,
tidak menunda mulai pengobatan dengan tulang punggung AZT dan 3TC
atau tenofovir dan dengan 3TC atau FTC.
Penyediaan antiretroviral profilaksis yang lebih lama untuk ibu hamil yang
HIV-positif yang membutuhkan ART untuk kesehatan ibu.
Apabila ibu menerima ART untuk kesehatan ibu, bayi harus menerima
profilaksis nevirapine selama enam minggu setelah lahir apabila ibunya
menyusui, dan profilaksis dengan nevirapine atau AZT selama enam
minggu apabila ibu tidak menyusui.
Untuk pertama kalinya ada cukup bukti bagi WHO untuk mendukung
pemberian ART kepada ibu atau bayi selama masa menyusui, dengan
anjuran bahwa menyusui dan profilaksis harus dilanjutkan hingga bayi
berusia 12 bulan apabila status bayi adalah HIV-negatif atau tidak
diketahui.
30
Apabila ibu dan bayi adalah HIV-positif, menyusui harus didorong untuk
paling sedikit dua tahun hidup, sesuai dengan anjuran bagi populasi
umum.7
Untuk mencegah penularan pada bayi, yang paling penting adalah mencegah
penularan pada ibunya dulu. Harus ditekankan bahwa bayi hanya dapat tertular
oleh ibunya. Jadi bila ibunya HIV-negatif, maka bayi juga tidak terinfeksi HIV.
Status HIV ayah tidak mempengaruhi status HIV bayi.7
Tetapi untuk ibu yang sudah terinfeksi, kehamilan yang tidak diinginkan harus
dicegah. Bila kehamilan terjadi, harus ada usaha mengurangi viral load ibu di
bawah 1.000 agar bayi tidak tertular dalam kandungan, mengurangi risiko kontak
cairan ibunya dengan bayi waktu lahir agar penularan tidak terjadi waktu itu, dan
hindari menyusui untuk mencegah penularan melalui ASI. Dengan semua upaya
ini, kemungkinan si bayi terinfeksi dapat dikurangi jauh di bawah 8%.7
1. PMTCT dengan antiretroviral penuh
Untuk mengurangi viral load ibu, cara terbaik adalah dengan memakai
terapi antiretroviral penuh sebelum menjadi hamil. Ini akan mencegah penularan
pada janin. Terapi antiretroviral dapat diberikan walaupun tidak memenuhi kriteria
untuk mulai terapi antiretroviral; setelah melahirkan bisa berhenti lagi bila masih
tidak dibutuhkan.
2. PMTCT mulai dini
Namun sering kali si ibu baru tahu dirinya terinfeksi setelah dia hamil.
Mungkin ARV tidak terjangkau. Seperti dibahas, ibu hamil tidak boleh memakai
efavirenz pada triwulan pertama, tetapi mungkin nevirapine menimbulkan efek
samping. Bila dia pakai terapi TB (tuberculosis), diusulkan dihindari nevirapine,
walaupun boleh tetap dipakai NNRTI (non nucleoside reverse transcriptase
inhibitor) ini bila tidak ada pilihan lain.
31
dengan
pemberian
AZT
setelah
dosis
tunggal
nevirapine.
32
Affordable (terjangkau)
Feasible (praktis)
Safe (aman)
Sustainable (kesinambungan)
Itu berarti tidak boleh disusui sama sekali. Ada banyak masalah: mahalnya
harga susu formula, sehingga sering bayi tidak diberi cukup; kalau bayi menangis,
ibu didesak untuk menyusuinya; ibu yang tidak menyusui dianggap kurang
memperhatikan bayi, atau melawan dengan asas; air yang dipakai tidak bersih,
atau campuran tidak disimpan secara aman; dan apakah PASI dapat diberi terusmenerus.
ASI eksklusif berarti bayi hanya diberi ASI dari saat lahir tanpa makanan
atau minuman lain, termasuk air. ASI adalah sangat halus, mudah diserap oleh
perut/usus. Makanan lain lebih keras sehingga lapisan perut/usus membuka agar
diserap, membiarkan HIV dalam ASI menembus dan masuk darah bayi. Jadi
risiko penularan tertinggi bila bayi diberi ASI yang mengandung HIV, bersamaan
dengan makanan lain. Harus ada kesepakatan sebelum melahirkan antara ibu,
ayah dan petugas medis agar bayi langsung disusui setelah lahir, sebelum diberi
makanan/minuman lain. Setelah enam bulan, sebaiknya disapih secara mendadak
(berhenti total menyusui).7
33
BAB III
KESIMPULAN
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang
sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome). Artinya bahwa HIV berbeda dengan AIDS tetapi
HIV memungkinkan untuk menjadi pencetus terjadinya AIDS.
Sistem imun manusia sangat kompleks, kerusakan pada salah satu komponen
sistem imun akan mempengaruhi sistem imun secara keseluruhan. HIV
menginfeksi sel T helper yang memiliki reseptor CD4 di permukaannya,
makrofag, sel dendritik, organ limfoid.
Transmisi HIV secara umum dapat terjadi melalui empat jalur, yaitu :
1. Kontak seksual
2. Tranfusi
3. Jarum yang terkontaminasi
4. Transmisi vertikal (perinatal)
Gejala klinis dari asimptomatik sampai sangat berat. Sedangkan untuk
diagnostik pasti dikerjakan pemeriksaan laboratorium HIV DNA PCR, HIV
culture, dan HIV RNA PCR.
Tata laksana awal adalah membri konseling pada orangtua kondisi infeksi
HIV dan resiko infeksi oporunistik, pemberian nutrisi yang cukup, pengawasan
tumbuh kembang, imunisasi, dan pemberian awal obat anti retroviral (ARV).
34
35
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
Departemen
Kesehatan
RI
Direktorat
Jenderal
Bina
Kesehatan
6.
7.