Anda di halaman 1dari 35

1

BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Infeksi oleh virus penyebab defisiensi imun merupakan masalah yang
relative baru, terutama pada anak. Masalah ini pertama kali dilaporkan di Amerika
pada tahun 1982 sebagai suatu sindrom defisiensi imun tanpa diketahui
penyebabnya. Oleh karena jumlah kasus defisiensi imun makin meningkat secara
relative cepat disertai angka kematian yang mencemaskan, maka dilakukan
pengamatan dan penelitian yang intensif sehingga akhirnya penyebab defisiensi
imun ini ditemukan. Penyebab defisiensi imun ini adalah suatu virus yang
kemudian dikenal dengan nama human immunodeficiency vitus tipe-1 (HIV-1),
pada tahun 1985. Pada pengamatan selanjutnya, ternyata bahwa infeksi HIV-1 ini
dapat menimbulkan rentangan gejala yang sangat luas, yaitu dari tanpa gejala
hingga gejala yang sangat berat dan progresif, dan umumnya berakhir dengan
kematian. Dengan meningkat dan menyebarnya kasus defisiensi imun oleh virus
ini pada orang dewasa secara cepat di seluruh dunia, apabila kasus tersebut tidak
mendapat perhatian dan penanganan yang memadai, dalam waktu dekat
diperkirakan jumlah kasus defisiensi imun pada anak juga akan meningkat.1

I.2. BATASAN
Sampai saat ini belum dijumpai adanya batasan yang memuaskan untuk
sindrom yang disebabkan oleh infeksi HIV-1 ini oleh karena rentangan gejalanya
yang sangat luas. Batasan yang ada adalah batasan yang diberikan untuk bentuk
klinis yang paling berat, yang dikenal dengan nama sindrom defisiensi imun yang
didapat atau acquired immunodeficiency syndrome (AIDS), yang diberikan oleh
CDC (Centers for disease control) di Amerika Serikat, yang terbatas hanya untuk
anak dibawah usia 13 tahun dan untuk kepentingan survai epidemiologis semata.
Batasan ini pun telah mengalami beberapa kali perubahan.1

Pada awalnya, sebelum virus penyebab AIDS ini ditemukan, batasan yang
diberikan adalah suatu sindrom defisiensi imun yang ditandai oleh adanya infeksi
opurtunistik dan atau keganasan yang tidak disebabkan oleh defisiensi imun
primer atau sekunder atau infeksi kengenital. Pada tahun 1985, ditambahkan
pneumonitis intertisial limfositik atau lymphocytic interstitial pneumonitis (LIP)
sebagai tanda tambahan dari AIDS. Akibat batasan yang diberikan CDC tersebut,
dikenal adanya istilah AIDS-related clomplex (ARC), yaitu sindrom defisiensi
imun yang tidak dapat memenuhi seluruh criteria yang diberikan oleh CDC. Pada
tahun 1987, dilakukan perubahan lagi dengan dimasukannya uji diagnostic ke
dalam batasan. Dengan cara ini, sindrom yang termasuk ke dalam ARC dapat
tercakup sehingga istilah ARC tidak diperlukan lagi.1

BAB II
PEMBAHASAN
II.1. EPIDEMIOLOGI
Infeksi virus penyebab defisiensi imun (HIV-1) pada anak dapat terjadi
melalui transfuse darah atau komponennya yang tercemar. Makin sering transfuse
dilakukan makin besar kemungkinan terjadinya infeksi. Menurut CDC Amerika,
13% kasus AIDS pada anak adalah penerima transfuse darah atau komponennya,
5% di antaranya ternyata terinfeksi dalam pengobatan hemophilia atau gangguan
pembekuan darah yang lain. Dengan diterapkan system uji tapis yang lebih ketat
terhadap donor darah, penularan melalui transfuse ini telah berkurang, sehingga
penularan pada umumnya lebih sering terjadi akibat infeksi perinatal (vertical),
yaitu sekitar 50-80% baik intrauterine, melalui plasenta, selama persalinan melalui
pemaparan dengan darah atau secret jalan lahir, maupun yang terjadi setelah lahir
(pasca natal) yaitu melalui air susu ibu (ASI). Penularan pasca natal terjadi
melalui pemaparan yang erat dengan darah, ekskret atau secret, masih belum
dapat dipastikan oleh karena angka kejadiannya terlampau kecil. Penularan
melalui plasenata (intra natal), diduga dapat terjadi pada periode kehamilan yang
sangat dini, oleh karena pernah ditemukan adanya antigen terhadap virus pada
janin yang berusia 13-20 minggu, disamping ditemukannya dismorfisme seperti
kelainan kraniofasial, mikrosephali, dahi yang menonjol dan berbentuk kotak,
hipertelorisme okuler, jembatan hidung yang datar, mata yang miring, fisura
palpebralis yang panjang dan lain-lainnya.1
Saying

sekali

tidak

diketahui

adanya

factor

predisposisi

yang

mempermudah terjadinya penularan infeksi pada janin. Penularan melalui air susu
ibu diduga dapatterjadi oleh karena pernah ditemukan adanya virus di dalam ASI.
Pada anak yang lebih besar, terutama remaja, penularan dapat terjadi dengan cara
yang sama seperti pada orang dewasa, yaitu sebagai akibat perilaku seksual yang

menyimpang (terlampau aktif, homoseksual atau biseksual), penyalahgunaan obat


dengan suntikan dan lain-lainnya.1

II.2. DEFINISI
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS
(Acquired Immunodeficiency Syndrome). Artinya bahwa HIV berbeda dengan
AIDS tetapi HIV memungkinkan untuk menjadi pencetus terjadinya AIDS.
Sampai saat ini masih ditemukan beberapa kontraversi tentang ketepatan
mekanisme perusakan sistem imun oleh HIV.2
Human Immunodeficiency Virus merupakan virus yang termasuk dalam
familia retrovirus yaitu kelompok virus berselubung (envelope virus) yang
mempunyai enzim reverse transcriptase, enzim yang dapat mensintesis kopi
DNA dari genon RNA. Virus ini masuk dalam sub familia lentivirus
berdasarkan kesamaan segmen genon, morfologi dan siklus hidupnya. Sub
familia

lentivirus

mempunyai sifat dapat menyebabkan

infeksi laten,

mempunyai efek sitopatik yang cepat, perkembangan penyakit lama dan dapat
fatal.2

II.3. ETIOLOGI
Virus penyebab defisiensi imun yang dikenal dengan nama Human
Immunodeficiency Virus (HIV) adalah suatu virus RNA dari famili Retrovirus dan
subfamili Lentiviridae. Sampai sekarang baru dikenal dua serotype HIV yaitu
HIV-1 dan HIV-2 yang juga disebut lymphadenopathy associated virus type2 (LAV-2) yang hingga kini hanya dijumpai pada kasus AIDS atau orang sehat di
Afrika,dan spektrum penyakit yang ditimbulkannya belum banyak diketahui. HIV1, sebagai penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) tersering, dahulu dikenal
juga

sebagai human

cell-lymphotropic

virus

type

III (HTLV-

III), lymphadenipathy-associated virus (LAV) dan AIDS-associated virus.1

Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam


bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau
melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T,
karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel
Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap
hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam
tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan
dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut.1

II.4. PATOFISIOLOGI
Ketika mukosa menjadi pintu masuk HIV, sel yang pertama terinfeksi
adalah sel dendritik. Sel ini merupakan sel yang bertanggungjawab dalam
mengumpulkan dan mengolah antigen dari luar dan mengirimnya ke jaringan
lymphoid. Sebenarnya HIV tidak menginfeksi sel dendritik, tetapi hanya mengikat
molekul permukan DC-SIGN, yang memungkikan virus bertahan sampai jaringan
lymphatic. Dalam lymph node, HIV selektif hanya berikatan dengan sel-sel yang
mengekspesikan molekul CD4 pada permukaannya. Terutama T helper
lymphocytes (CD4 cells) dan sel turunan monocyte-macrophage. Sel-sel dengan
CD4 lainnya seperti microglia, astrocytes, oligodendroglia dan jaringan plasenta
yang mengandung sel vili Hofbauer bisa terkena infeksi HIV. Biasanya CD4
lymphocytes dikerahkan dalam merespon antigen virus, kemudian berpindah ke
nodes lymph dimana mereka manjadi aktif dan berproliferasi, menjadikannya
sangat rentan terhadap infeksi HIV. Migrasi HIV pada jaringan lymphoid dimana
terdapat akumulasi sel dengan CD4 menyebabkan lemfadenopati generalisata
yang merupakan karakteristik dari sindrom retroviral akut pada dewasa maupun
remaja. HIV menginfeksi sel khusus yang meresponnya (HIV-specific memory
CD4 cells), yang menyebabkan hilangnya progresifitas dalam pengendalian
replikasi HIV. Ketika replikasi HIV mencapai puncaknya (3-6 minggu dari waktu
infeksi), maka akan terjadi viremia. Viremia yang intens menimbulkan gejala
seperti flu (demam, ruam, limfadenopati dan arthralgia) pada 50-70% orang

dewasa yang terinfeksi. Dengan respon imun selular dan humoral dalam waktu 24 bulan, akumulasi virus dalam darah akan berkurang dan pasien memasuki
karakteristik dimana berkurangnya symptoms dan sel CD4 hanya sedikit
mengalami penurunan.3
Awal replikasi HIV-1 pada anak tidak memiliki manifestasi klinis
yang jelas. Jika dilakukan uji isolasi virus atau dengan PCR untuk melihat rantai
nucleic acid, kurang dari 50% dari bayi yang menunjukan terinfeksi saat lahir,
namun hampir semua bayi yang terinfeksi HIV akan terdeteksi HIV-1 pada darah
perifer dalam usia 4 bulan.3
Pada orang dewasa, masa laten klinis yang panjang (8-12 tahun)
tidak menunjukan latensi virus. Faktanya ada peningkatan jumlah virus dan CD4
lymphocytes (> 1*109/hari), yang secara perlahan menyebabkan kerusakan pada
system imunitas tubuh, dibuktikan dengan semakin menurunnya sel CD4. Sel-sel
ini dapat dihancurkan dengan beberapa mekanisme : membunuh sel tunggal HIVmediated, membentuk giant cells multinucleat yang terinfeksi dan tidak terinfeksi
(syncytia formation), respon imun virus spesifik, aktivasi superantigen-mediated
sel T(beresiko lebih rentan terhadap infeksi HIV) dan kematian sel terprogram
(apoptosis). Beban virus pada organ lymphoid lebih besar daripada dalam darah
perifer selama periode asymptimatic. Virion HIV dan kompleks imun bermigrasi
melalui lymph nodes, mereka terjebak dalam folikel dendritik. Replikasi HIV
dalam sel T bergantung pada aktivasi sel, maka aktivasi dalam lingkup mikro dari
lymph nodes itu berfungsi untuk menginfeksi sel CD4 yang baru dan kemudian
terjadilah replikasi pada sel tersebut. Replikasi virus pada monosit, dimana masih
produktif sulit dibunuh, menunjukan perannya sebagai reservoir HIV dan sebagai
efektor kerusakan jaringan pada organ seperti otak.3
Respon cell-mediated dan humoral terjadi pada awal infeksi. Sel-sel CD8
T memainkan peran penting dalam mengendalikan infeksi. Limfosit T sitotoksik
(CTLs) HIV-Specific berkembang terhadap kedua struktur (missal; ENV, POL,

GAG) dan regulasi (missal; tat) protein virus. Sel-sel CTL muncul pada akhir
infeksi retrovital akut dimana replikasi virus telah dikendalikan. Sel-sel CTL
mengontrol infeksi dengan membunuh sel yang terinfeksi HIV sebelum virus baru
diproduksi dan dengan sekresi faktor antivirus potent yang bersaing dengan virus
pada reseptornya (misalnya, CCR5). Kemudian antibody muncul pada masa
infeksi untuk menekan replikasi virus selama masa latensi klinis. Setidaknya ada
dua kemungkinan mekanisme untuk mengontrol akumulasi virus yang banyak
selama masa laten klinis yang kronis. Mekanisme yang pertama dengan
membatasi jumlah CD4 yang aktif untuk mencegah replikasi. Mekanisme lainnya
dengan mengontrol imun, peningkatan respon imun yang aktif (jumlahnya
tergantung antigennya sendiri) membatasi replikasi virus pada jumlah yang
banyak. Tidak ada consensus tentang yang mana dari kedua mekanisme ini yang
lebih penting. Mekanisme pembatasan sel CD4 sebagai terapi antiretroviral,
sedangkan mekanisme mengontrol imun menekankan pada modulasi imun (misal;
cytokines, vaccines) untuk meningkatkan efisiensi respon kekebalan tubuh, pada
akhirnya memperlambat perkembangan penyakit.3
Grup sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF), TNF, interleukin 1
(IL-1), IL-3, IL-6, interferon-, granulocyte-macrophage colony-stimulating factor
(GM-CSF), dan macrophage colony-stimulating factor, memainkan peran integral
dalam pengaturan ekspresi HIV dari keadaan infeksi inaktif menjadi replikasi
virus aktif. Sitokin lain seperti interferon (INF), INF-, dan transforming
growth factor D melakukan efek suppressive pada replikasi HIV. Interaksi antara
sitokin ini mempengaruhi konsentrasi partikel virus dalam jaringan. Jumlah
sitokin plasma tidak perlu ditingkatkan untuk meningkatkan efeknya, kareka
mereka diproduksi dan berefek local. Jadi meskipun dalam keadaan imunitas yang
tenang, interaksi kompleks sitokin menunjang tingkat ekspresi virus dalam
keadaan konstan, terutama pada lymph nodes.3
Umumnya HIV fenotipik terisolasi selama periode laten klinis, tumbuh
lambat dalam kultur dan menghasilkan titer reverse transcriptase rendah. Keadaan

ini disebut non-syncytium-inducing (NSI) virus, yang menggunakan CCR5


sebagai co-reseptor. Pada tahap akhir laten klinis, fenotip virus yang terisolasi
berbeda. Tumbuh dengan cepat dalam kultur dan titernya tinggi, dimana
menggunakan CXCR4 sebagai co-reseptor. Peralihan dari NSI ke SI
meningkatkan kapasitas virus untuk mereplikasi, menginfeksi lebih luas sel target
(CXCR4 lebih banyak diekspresikan pada sel-sel kekebalan tubuh inaktif dan
aktif), dan untuk membunuh sel-sel T lebih cepat dan efisien. Akibatnya, tahap
latency klinis berakhir dan berkembang menjadi AIDS. Perkembangan penyakit
berlajut secara fisik, bertahap dari struktur lymph node dan degenerasi folikel
dendritik, dimana sel nya kehilangan kemampuan untuk menangkap partikel HIV.
Keadaan ini membuat virus bebas terus beredar, meningkatkan viremia dan
penurunan derastis sel T CD4 pada tahap akhir dari penyakit.3
Sebelum HAART ada, ada tiga pola penyakit yang berbeda pada anakanak. Sekitar 15-25% bayi baru lahir terinfeksi HIV di negara maju hadir dengan
perjalanan penyakit yang cepat, dengan terjadinya AIDS dan gejala pada beberapa
bulan pertama kehidupan, dan jika tidak segera diobati waktu kelangsungan hidup
rata-rata 6-9 bulan. Di negara-negara miskin >85% bayi baru lahir yang terinfeksi
HIV, perkembangan penyakitnya lebih cepat. Jika infeksi intrauterine bertepatan
dengan periode ekspansi yang cepat dari sel CD4 pada janin, secara efektif dapat
menginfeksi sebagian besar sel imunokompeten tubuh. Migrasi sel-sel ini ke
sumsum tulang, limpa dan timus akan menyebarkan HIV secara sistemik, system
kekebalan tubuh janin yang belum matang akan tak terkendali. Jadi infeksi terjadi
sebelum pertumbuhan ontogenic normal dari system kekebalan tubuh,
menyebabkan penurunan system imunitas yang lebih parah. Kebanyakan anakanak dalam kelompok ini positif pada kultur HIV-1 dan atau virus plasma (median
11.000 /mL) dalam 48 jam pertama kehidupan. Ini menunjukan bahwa bayi baru
lahir telah terinfeksi virus dari dalam kandungan. Pertumbuhan virus dengan cepat
meningkat dan mencapai puncaknya pada umur 2-3 bulan (median 750.000 /mL)

Dan secara perlahan akan menurun. Berbeda dengan pertumbuhan virus pada
orang dewasa, pada bayi pertumbuhan virusnya tetap tinggi setidaknya dalam 2
tahun pertama kehidupan.3
Kebanyakan bayi yang terinfeksi dalam kandungan (60-80%) mengikuti
pola yang kedua, dimana perkembangan penyakitnya lambat, dengan waktu
kelangsungan hidup rata-rata 6 tahun. Kebanyakan pasien ini jika dikultur atau
PCR pada satu minggu pertama kehidupan hasilnya negative, karna itu pola
seperti ini dianggap infeksi intrapartum. Pada pasien yang khas, pertumbuhan
virus cepat meningkat pada umur 2-3 minggu (median 100.000 /mL) dan secara
perlahan menurun sampai umur 24 bulan. Penurunan yang lambat dari viral load
ini berlawanan dengan penurunan yang cepat setelah infeksi primer pada orang
dewasa. Keadaan ini hanya sebagian yang dapat dijelaskan berdasarkan
ketidakmatangan system imunitas tubuh pada bayi baru lahir dan bayi.3
Pola ketiga penyakit (bertahan lama) terjadi pada sebagian kecil (<5%)
dari anak yang terinfeksi dalam kandungan dengan perkembangan minimal
dengan jumlah CD4 yang relative normal dan viral load yang sangat rendah
selama lebih dari 8 tahun.3
Anak yang terinfeksi HIV memiliki perubahan dalam system imunitas
tubuhnya seperti halnya pada orang dewasa yang terinfeksi HIV. Penurunan sel
CD4 mungkin tidak terlalu drastic karena biasanya bayi memiliki limfositosis
relative. Oleh karena itu, jika pada anak < 1th nilai CD4 1.500 /mm 3 merupakan
indikasi penurunan CD4 yang parah, sebanding dengan < 200 /mm 3 pada orang
dewasa. Limfopenia relative jarang terjadi pada anak yang terinfeksi dalam
kandungan dan biasanya hanya terlihat pada usia yang lebih tua atau pada stadium
akhir penyakit. Meskipun anergi kulit merupakan hal umum selama infeksi HIV,
tapi terjadi juga pada bayi sehat < 1th, maka interpretasinya sulit pada bayi yang
terinfeksi.3

10

Aktivasi sel-B terjadi pada sebagian besar anak di awal infeksi, dibuktikan
dengan hipergammaglobulinemia (> 1.750 g/L) dengan tingkatan anti-HIV-1 yang
tinggi. Ini mungkin menggambarkan disregulasi penekanan sintesis sel-T dari
sisntesis sel-B dan peningkatan CD4 aktif dari respon humoral limfosit-B. pada
beberapa anak tidak ditemukan pembentukan antibody spesifik dan pada orang
dengan antibody yang adekuat tetap tidak memberikan perlindungan. Karena
hipergammaglobulinemia sering terjadi pada anak yang terinfeksi HIV, bisa
berfungsi sebagai penanda infeksi pada anak daripada PCR atau kultur yang
mungkin tidak tersedia atau harganya lebih mahal. Hypogammaglobulinemia
sangat jarang (< 1%). Keterlibatan sistem saraf pusat umumnya terjadi pada
pasien anak daripada orang dewasa. Makrofag dan microglia memainkan peran
penting dalam neuropathogenesis HIV, dan ada data juga menunjukan bahwa
astrosit juga mungkin terlibat. Meskipun mekanisme khusus ensefalopati pada
anak belum jelas, perkembangan otak pada bayi, dengan myelinization tertunda,
akan lebih rentan terhadap infeksi HIV.3
Memahami hubungan kompleks antara respon imun spesifik dan
mekanisme virus untuk bertahan hidup, sangat penting untuk strategi terapi.
Meskipun replikasi virus dapat ditekan dengan antiretroviral, penting untuk
mengembangkan strategi dengan modulasi respon imun.3

II.5. TRANSMISI
Transmisi HIV secara umum dapat terjadi melalui empat jalur, yaitu :
1.

Kontak seksual: HIV terdapat pada cairan mani dan sekret vagina yang
akan ditularkan virus ke sel, baik pada pasangan homoseksual atau
heteroseksual.

2.

Tranfusi: HIV ditularkan melalui tranfusi darah balk itu tranfusi whole
blood, plasma, trombosit, atau fraksi sel darah Iainnya.

11

3.

Jarum yang terkontaminasi: transmisi dapat terjadi karena tusukan jarum


yang terinfeksi atau bertukar pakai jarum di antara sesama pengguna
obat-obatan psikotropika.

4.

Transmisi vertikal (perinatal): wanita yang teinfeksi HIV sebanyak 1540% berkemungkinan akan menularkan infeksi kepada bayi yang baru
dilahirkannya melalui plasenta atau saat proses persalinan atau melalui
air susu ibu.4

Masih belum diketahui secara pasti bagaimana HIV menular dari ibu-ke-bayi.
Namun, kebanyakan penularan terjadi saat persalinan (waktu bayinya lahir).
Selain itu, bayi yang disusui oleh ibu terinfeksi HIV dapat juga tertular HIV.4

II.6. FAKTOR RISIKO PENULARAN


Ada dua faktor utama untuk menjelaskan faktor risiko penularan HIV dari ibu
ke bayi :
1. Faktor ibu dan bayi
a.

Faktor ibu

Faktor yang paling utama mempengaruhi risiko penularan HIV dari ibu ke
bayi adalah kadar HIV (viral load) di darah ibu pada menjelang ataupun
saat persalinan dan kadar HIV di air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya.
Umumnya, satu atau dua minggu setelah seseorang terinfeksi HIV, kadar
HIV akan cepat sekali bertambah di tubuh seseorang.
b.

Faktor bayi

1) Bayi yang lahir prematur dan memiliki berat badan lahir rendah,
2) Melalui ASI yang diberikan pada usia enam bulan pertama bayi, Bayi
yang meminum ASI dan memiliki luka di mulutnya

12

2. Faktor cara penularan


a.

Menular saat persalinan melalui percampuran darah ibu dan darah


bayi,

b.

Bayi menelan darah ataupun lendir ibu,

c.

Persalinan yang berlangsung lama,

d.

Ketuban pecah lebih dari 4 jam

e.

Penggunaan elektrode pada kepala janin, penggunaan vakum atau


forceps, dan tindakan episiotomi

f.

Bayi yang lebih banyak mengonsumsi makanan campuran daripada


ASI4

II.7. MANIFESTASI KLINIS


Manifestasi klinis infeksi bervariasi antara bayi, anak-anak dan remaja.
Pada kebanyakan bayi pemeriksaan fisik biasanya normal. Gejala inisial dapat
sangat sedikit, seperti limfadenopati, hepatosplenomegali, atau yang tidak spesifik
seperti kegagalan untuk tumbuh diare rekuren atau kronis, pneumonia interstitial.
Di Amerika dan Eropa sering terjadi gangguan paru-paru dan sistemik, sedangkan
di Afrika lebih sering terjadi diare dan malnutrisi.5
Terdapat berbagai klasifikasi klinis HIV/AIDS 2 diantaranya menurut
enter for Disease Control and Prevention (CDC) dan World Health Organization
(WHO).5

13

Klasifikasi HIV menurut CDC pada anak menggunakan 2 parameter yaitu


status klinis dan derajat gangguan imunologis, lihat tabel

DEFINISI

STATUS

KATEGORI IMUNOLOGIS
JUMLAH CD4+ DAN PERSENTASI TOTAL LIMFOSIT

TERHADAP USIA
0 1 tahun
1-5 tahun
6-12 tahun
L
%
L
%
L
%
1. Nonsuppressed
1500
25
1000
25
500
25
2. Moderate suppression 750-1499
15-24
500-999 15-24
200-499 15-24
3. Severe suppression
<>
<15
<>
<15
<>
<15
Tabel . Klasifikasi HIV pada Anak Kurang dari 13 Tahun Berdasarkan
IMUNOLOGIS

Jumlah CD4 dan Persentasi Total Limfosit Terhadap Usia

Klasifikasi Secara Klinis


DEFINISI
STATUS N : Tanpa A : GejalaB : GejalaC : Gejala
Gejala dan dan
Tandadan Tandadan
Tanda
IMUNOLOGIS
Tanda
Ringan
Sedang
Berat
1. Nonsuppressed
N1
A1
B1
C1
2. Moderate suppression A2
C2
B2
C2
3. Severe suppression
A3
C3
B3
C3
Tabel . Klasifikasi HIV menurut CDC pada Anak Kurang dari 13 Tahun
Secara Klinis

Kriteria klinis untuk infeksi HIV pada anak-anak kurang dari 13 tahun.

14

Kategori N : pasien-pasien asimptomatik. Tidak ditemukan tanda maupun


gejala yang menunjukkan adanya infeksi HIV, atau pasien hanya dapat ditemukan
satu bentuk kelainan berdasarkan kategori A.
Kategori A : pada pasien dapat ditemukan dua atau lebih kelainan, tetapi tidak
termasuk kategori B atau C :

Lymphadenopathy ( 0.5 cm pada dua tempat atau lebih, dua KGB yang
bilateral dianggap sebagai satu kesatuan).

Hepatomegali

Splenomegali

Dermatitis

Parotitis

URTI berulang atau persisten

Kategori B: moderately symptomatic. Pasien menunjukkan gejala-gejala yang


tidak termasuk ke dalam keadaan-keadaan pada kategori A maupun C, dan gejalagejala yang terjadi merupakan akibat dari terjadinya infeksi HIV

Anemia

(<8g/dl)

neutropenia (<

1000/ul),

trombositopenia

(<100.000/ul)menetap > 30 hari

Meningitis bakterial, pneumonia, atau sepsis (terjadi dalam satu episode).

Candidiasis orofaring yang terjadi lebih dari dua bulan pada anak-anak
berusia enam bulan atau kurang.

Kardiomiopati.

15

Infeksi CMV yang terjadi lebih dari satu bulan.

Diare

Hepatitis

Stomatitis yang disebabkan oleh HSV (rekuren, minimal terjadi 2 kali


dalam satu tahun).

Bronkitis yang disebabkan oleh HSV, pneumonitis, atau esofagitis yang


terjadi sebelum usia satu bulan.

Herpes zoster yang terjadi dalam dua episode berbeda pada satu
dermatom.

Leiomyosarcoma

Pneumonia limfoid interstitiel, atau hiperplasia kelenjar limfoid pulmonal


kompleks.

Nefropati.

Nocardiosis.

Demam yang berlangsung selama satu bulan atau lebih.

Toksoplasmosis yang timbul sebelum usia satu bulan.

Varicella diseminata atau dengan komplikasi.

Kategori C: pasien-pasien dengan gejala-gejala penyakit yang parah dan


ditemukan pada pasien AIDS.

16

Kandidiasis bronki, trakea, dan paru

Kandidiasis esofagus

Kanker leher rahim invasif

Coccidiomycosis menyebar atau di paru

Kriptokokus di luar paru

Retinitis virus sitomegalo

Ensefalopati yang berhubungan dengan HIV

Herpes simpleks dan ulkus kronis > 1 bulan

Bronkhitis, esofagitis dan pneumonia

Histoplasmosis menyebar atau di luar paru

Isosporiasi intestinal kronis > 1 bulan

Sarkoma Kaposi

Limfoma Burkitt

Limfoma imunoblastik

Limfoma primer di otak

Mycobacterium Avium Complex (MAC) atau M. Kansasii tersebar di luar


paru

M. Tuberculosis dimana saja

17

Ikobacterium jenis lain atau jenis yang tidak dikenal tersebar atau di luar
paru

Pneumonia Pneumoncystitis carinii

Pneumonia berulang

Leukoensefalopati multifokal progresif

Septikemia salmonella yang berulang

Toksoplasmosis di otak

Sedangkan klasifikasi WHO pada anak ialah :


Stadium Klinis 1

Tanpa gejala (asimtomatis)

Limfadenopati generalisata persisten

Stadium Klinis 2

Hepatosplenomegaly persisten tanpa alasani

Erupsi papular pruritis

Infeksi virus kutil yang luas

Moluskum kontagiosum yang luas

Infeksi jamur di kuku

18

Ulkus mulut yang berulang

Pembesaran parotid persisten tanpa alasan

Eritema lineal gingival (LGE)

Herpes zoster

Infeksi saluran napas bagian atas yang berulang atau kronis (ototis media,
otore, sinusitis, atau tonsilitis)

Stadium Klinis 3

Malanutrisi sedang tanpa alasan jelas tidak membaik dengan terapi baku

Diare terus-menerus tanpa alasan (14 hari atau lebih)

Demam terus-menerus tanpa alasan (di atas 37,5C, sementara atau terusmenerus, lebih dari 1 bulan)

Kandidiasis oral terus-menerus (setelah usia 6-8 minggu)

Oral hairy leukoplakia (OHL)

Gingivitis atau periodonitis nekrotising berulkus yang akut

Tuberkulosis pada kelenjar getah bening

Tuberkulosis paru

Pneumonia bakteri yang parah dan berulang

Pneumonitis limfoid interstitialis bergejala

19

Penyakit paru kronis terkait HIV termasuk brokiektasis

Anemia (<8g/dl),>

Stadium Klinis 4ii

Wasting yang parah, tidak bertumbuh atau malanutrisi yang parah tanpa
alasan dan tidak menanggapi terapi yang baku

Pneumonia Pneumosistis (PCP)

Infeksi bakteri yang parah dan berulang (mis. empiema, piomisotis, infeksi
tulang atau sendi, atau meningitis, tetapi tidak termasuk pneumonia)

Infeksi herpes simpleks kronis (orolabial atau kutaneous lebih dari 1 bulan
atau viskeral pada tempat apa pun)

Tuberkulosis di luar paru

Sarkoma Kaposi

Kandidiasis esofagus (atau kandidiasis pada trakea, bronkus atau paru)

Toksoplasmosis sistem saraf pusat (setelah usia 1 bulan)

Ensefalopati HIV

Infeksi sitomegalovirus: retinitis atau infeksi CMV yang mempengaruhi


organ lain, yang mulai pada usia lebih dari 1 bulan)

Kriptokokosis di luar paru (termasuk meningitis)

20

Mikosis diseminata endemis (histoplasmosis luar paru, kokidiomikosis)

Kriptosporidiosis kronis

Isosporiasis kronis

Infeksi mikobakteri non-TB diseminata

Limfoma serebral atau non-Hodgkin sel-B

Progressive multifocal leucoencephalopathy (PML)

Nefropati bergejala terkait HIV atau kardiomiopati bergejala terkait HIV

Catatan:
i Tanpa alasan berarti keadaan tidak dapat diakibatkan oleh alasan lain.
ii Beberapa penyakit khusus yang juga dapat dimasukkan pada klasifikasi wilayah
(misalnya penisiliosis di Asia)5

II.8. DIAGNOSIS
Seperti penyakit lain, diagnosis HIV lain juga ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium.3
Anamnesis yang mendukung kemungkinan adanya infeksi HIV ialah :
1.

Lahir dari ibu resiko tinggi atau terinfeksi HIV


Bayi-bayi yang terlahir dari ibu-ibu yang terinfeksi HIV akan tetap
mempertahankan status seropositif hingga usia 18 bulan oleh karena
adanya respon antibodi ibu yang ditransfer secara transplacental. Selama
priode ini, hanya anak-anak yang terinfeksi HIV saja yang akan
mengalami respon serokonversi positif pada pemeriksaan dengan enzyme

21

immunoassays (EIA),immunofluorescent

assays (IFA)

atau

HIV-

1 antibody western blots (WB).


2.

Lahir dari ibu pasangan resiko tinggi atau terinfeksi HIV

3.

Penerima transfusi darah atau komponennya dan tanpa uji tapis HIV

4.

Penggunaan obat parenteral atau intravena secara keliru (biasanya pecandu


narkotika)

5.

Kebiasaan seksual yang keliru, homoseksual atau biseksual.3

Gejala klinis yang sesuai dengan penjelasan sebelumnya, pada bagian


manifestasi klinis. Sedangkan untuk diagnostik pasti dikerjakan pemeriksaan
laboratorium.3
Tes untuk mendiagnosis virus harus dilakukan dalam 48 jam kehidupan
pertama. Hampir 40% bayi dapat didiagnosis pada masa ini. Disebabkan karena
banyak bayi yang terinfeksi HIV mempunyai perkembangan penyakit yang cepat
sehingga memerlukan terapi yang progresif pula. Pada anak yang terpapar HIV
dengan tes virologis yang negatif pada 2 hari pertama, beberapa pendapat
mengusulkan perlu untuk dilakukan pemeriksaan kembali pada hari ke-14 untuk
memaksimalkan deteksi dari virus ini.3
Terdapat beberapa tes HIV yang cepat dengan sensitivitas dan spesifisitas
yang baik. Kebanyakan dari tes-tes ini hanya membutuhkan satu step pengambilan
sampel dan hasilnya didapat lebih cepat (< style=""> pada 2 hari pertama
kehidupan, dan > 90% pada usia > 2 minggu kehidupan. Uji RNA HIV plasma,
yang mendeteksi replikasi virus lebih sensitif daripada PCR DNA untuk diagnosis
awal, namun data yang menyatakan seperti itu masih terbatas. Kultur HIV
mempunyai sensitivitas yang hampir sama dengan PCR HIV DNA, namun
tekniknya lebih sulit dan mahal, dan hasilnya sulit didapat pada beberapa minggu,

22

dibandingkan dengan PCR yang membutuhkan hanya 2-3 hari. Uji antigen p24
bersifat lebih spesifik dan mudah untuk dilakukan namun kurang sensitif
dibandingkan dengan uji virologis lainnya. 3
Seorang bayi yang terpapar oleh virus HIV dapat dinyatakan positif terinfeksi
HIV jika pada pemeriksaan serologis dari 2 (dua) sampel darah yang berbeda pada
bayi (tidak termasuk darah yang berasal dari pusat, karena adanya risiko
terkontaminasi oleh darah ibu); baik dua kali hasil positif pada pemeriksaan kultur
HIV darah perifer untuk sel-sel mononuklear (peripheral blood mononuclear
cell (PMBC)), dan/atau satu hasil positif untuk DNA atau RNA polymerase chain
reaction (PCR) assay dan satu hasil postif pada kultur PMBC HIV. Pemeriksaanpemeriksaan terebut harus dilakukan pada dua waktu yang berlainan pada bayibayi yang belum pernah diberi ASI sebelumnya.3
Seorang bayi yang terlahir dari seorang ibu pengidap infeksi HIV dapat
dinyatakan tidak terinfeksi HIV jika tes-tes di atas tetap memberikan hasil negatif
sampai usia bayi lebih dari empat bulan dan bayi tidak mendapat ASI.3

DIAGNOSIS LABORATORIUM INFEKSI HIV


TES

KETERANGAN

23

HIV DNA PCR

Uji disukai untuk mendiagnosis infeksi HIV 1


subtipe B pada bayi dan anak-anak muda dari 18
bulan usia, sangat sensitif dan spesifik dengan 2
minggu usia dan TERSEDIA, dilakukan pada sel
mononuklear darah perifer. Negatif palsu dapat
terjadi pada non-B subtipe HIV-1 infeksi

HIV culture

Mahal, tidak mudah tersedia, membutuhkan


hingga 4 minggu untuk melakukan tes, tidak
dianjurkan

HIV RNA PCR

Kurang sensitif dibandingkan PCR DNA untuk


pengujian rutin bayi, karena hasil negatif tidak
dapat digunakan untuk mengecualikan infeksi
HIV definitif. Beberapa tes disukai untuk
mengidentifikasi infeksi HIV-1 non-B subtipe.

II.9. PENATALAKSANAAN
Tata laksana awal adalah memberi konseling pada orangtua kondisi infeksi
HIV dan resiko infeksi oporunistik, pemberian nutrisi yang cukup, pengawasan
tumbuh kembang, imunisasi, dan pemberian awal obat anti retroviral (ARV).5
Pencegahan infeksi oportunistik
1. Pneumonia Pneumocystis carinii
Digunakan kotrimoksasol 4-5 mg/kg/hari dibagi 2, pemberian sebanyak 3
kali seminggu. Yang terindikasi untuk mendapatkan kontrimoksasol
profilaksis adalah bayi terpapar umur <12 bulan yang statusnya belum
diketahui, umur 1-5 tahun bila CD4 kurang dari 500 (<15%), umur 6-11
bila CD4 <200 (<15%), dan yang pernah didiagnosis terkena pneumonia
ini.
2. Tuberculosis

24

Secara aktif mencari kemungkinan kontak erat dengan penderita TB aktif,


dan melakukan uji tuberkulin bila terdapat kemungkinan, pemberian
profilaksis INH masih diperdebatkan untuk negara endemis TB.
3. Infeksi yang bisa dicegah dengan imunisasi
Bila kemungkinan (setelah pengobatan ARV mencapai 6 bulan, klinis baik
dan hitung CD4 >15%) dilakukan imunisasi untuk melengkapi jadwal
yang belum terpenuhi. Tidak dengan vaksin hidup, kecuali campak.5
Pemenuhan nutrisi dan pemantauan tumbuh kembang
Infeksi HIV meningkatkan enteropati, karenanya asupan makro dan
mikronutrien perlu diperhatikan. Tumbuh kembang pada anak terinfeksi HIV
stadium lanjut juga memerlukan stimulasi setelah penyakit primer dan infeksi
oportunistik diatasi.5
Menilai kemungkinan pemberian ARV
1.

Menilai kesiapan pasien dan orangtua/wali

2.

Menghindari resiko resistensi obat

3.

Memperhitungkan kemungkinan resiko interaksi obat-obat

4.

Memperhitungkan kemungkinan resiko obat-makanan

5.

Posolosi dan formulasi untuk obat anak

6.

Memperhitungkan resiko pemberian obat pada koinfeksi TB, hepatitis5

Rekomendasi WHO untuk memulai pemberian ARV pada bayi dan anak
Bayi dan anak yang diagnosis infeksi HIV sudah tegak harus segera diberi ARV
bila:

Bila dalam stadium 4 WHO atau kategori C CDC (tidak memperhatikan


nilai CD4)

Stadium 3 WHO atau kategori B CDC (tanpa memperhatikan nilai CD4


meskipun dapat membantu

Untuk anak >12 tahun dengan infeksi TB paru dan lymphocytic intertitial
pneumonia atau oral hairy leukoplakia atau trombositopenia, bila

25

pemeriksaan CD4 memungkinkan, pemberian ARV dapat ditunda bila nilai


CD4 di atas ambang indikasi ARV (>15%)

Stadium 2 WHO tau kategori A CDC dan CD4 15%

Satdium 1 WHO atau N/A CDC dan nilai CD4 pada ambang batas atau
dibawahnya

Bayi dan anak umur <18 bulan dengan hasil tes antibodi positif dan mungkin
dilakukan uji virologik dan konfirmasi, harus diberi ARV bila secara klinis
didiagnosis HIV yang berat.5
Rekomendasi rejimen Inisiasi (first time)
Anak usia 3 tahun:

Zidovudine (AZT) + Lamivudine (3TC) + Nevirapine (NVP)

Stavudin (D4T) + Lamivudine (3TC) + Nevirapine (NVP)

Anak usia 3 tahun dan berat 10 kg

Zidovudine (AZT) + Lamivudine (3TC) + Efavirenz (EFV)

Stavudin (D4T) + Lamivudine (3TC) + Efavirenz (EFV)

Pemantauan
Setelah pemberian ARV, pasien diharapkan datang setiap 1-2 minggu
untuk pemantauan gejala klinis, penyesuaian dosis, pemantauan efek samping,
kepatuhan minum obat, dan kondisi lain. Setelah 8 minggu, dilakukan
pemantauan yang sama tetapi dilakukan 1 bulan sekali
Pemeriksaan laboratorium yang diulang adalah darah tepi, SGOT/SGPT,
CD4 setiap 3 bulan, dapat lebih cepat bila dijumpai dengan kondisi yang
mengindikasikan untuk dilakukan.5

ZDV (AZT)

Pediatrik

(rentang

dosis

90

mg-

26

(Zidovudine, Retrovir*)

180mg/m2 LPB)
Oral 160 mg/m2 LPB tiap 12 jam 6-7
mg/kg/1xl
Adolesen 3x200 mg/200mg/ hari, atau

3TC

2x300 mg/hari
Pediatrik 4 mg/kg, 2x sehari dosis

(Lamivudine, Viracept*)

terapi
Adolesen BB <50 kg: 2 mg/kg, 2x
sehari

NFV

BB 50 kg: 2x150 mg/hari


Pediatrik 20-30 mg/kg, dapat sampai

(Nevirapine, Viramune*)

45 mg/kg, 3x sehari
Aldolesen

2x1250

mg/hari,

3x750

NVP

mg/hari
Pediatrik

(Nevirapine, Viramune*)

-14 hari pertama: inisial 5 mg/kg sekali


sehari (max.200 mg)
-14 hari kedua dosis 5 mg/kg/dosis 2
kali sehari
-selanjutnya dosis 7 mg/kg/dosis 2 kali
sehari untuk anak <8 tahun >8 tahunaldolesen
-dosis inisial 1x200 mg sehari selama
14 hari kemudian naikkan menjadi
2x200 mg bila tidak terdapat rash atau

Stavudin (d4T/Stavir*)
Efavirenz (Sustiva*)

reaksi simpang obat lain.


1 mg/kg/dosis diberikan 2 kali sehari
Anak 3 tahun : 10-<15 kg:200mg;
15-,20 kg:250mg; 20-<25kg: 300mg;
25-32,5 kg:350mg, 32,5-<40kg:400 mg
Profilaksis: 2,5 mg TMP/kg, 2x sehari,

TMP/SMX
(Kotrimoksasol)
carinii

untuk

pneumocytis 3 kali seminggu


Pengobatan (setelah 5 mg zidovudin);

27

8-10mg

mg/kg/hari

dalam

kali

pemberian setiap hari

II.10. PROGNOSIS
Infeksi HIV pada umumnya berjalan progresif akibat belum ditemukannya
cara yang efektif untuk menangulanginya, maka pada umumnya penyakit berjalan
progresif hingga prognosisnya umumnya buruk.1

II.11. PENCEGAHAN
1.

Dapatkah perempuan terinfeksi HIV hamil/memiliki anak


Cara terbaik untuk memastikan bahwa bayi kita tidak terinfeksi dan kita
tetap sehat adalah dengan memakai terapi antiretroviral (ART).
Perempuan terinfeksi HIV di seluruh dunia sudah memakai obat
antiretroviral (ARV) secara aman waktu hamil lebih dari sepuluh tahun.
ART sudah berdampak besar pada kesehatan perempuan terinfeksi HIV
dan anaknya. Oleh karena ini, banyak dari mereka yang diberi semangat
untuk mempertimbangkan mendapatkan anak.

2.

Penatalaksanaan selama kehamilan


Center for Disease Control and Prevention (1998) menganjurkan untuk
menawarkan terapi antiretrovirus (ARV) kombinasi pada wanita hamil.
Petunjuk ini diperbarui oleh Perinatal HIV Guidelines Working Group
(2000,2001). Working Group merekomendasikan pemeriksaan hitung
CD4+ limfosit T dan kadar RNA HIV kurang lebih tiap trimester, atau
sekitar setiap 3 sampai 4 bulan. Hasil pemeriksaan ini dipakai untuk
mengambil keputusan untuk memulai terapi ARV, mengubah terapi,

28

menentukan rute pelahiran, atau memulai profilaksis untuk pneumonia


Pneumocystis carinii.
3.

Penatalaksanaan Persalinan
Seksio Sesarea
American

College

of

Obstetricians

and

Gynecologists (2000)

menyimpulkan bahwa seksio sesarea terencana harus dianjurkan bagi


wanita terinfeksi HIV dengan jumlah RNA HIV-1 lebih dari 1000
salinan/ml. Hal ini dilakukan tanpa memandang apakah pasien sedang
atau belum mendapat terapi ARV. Persalinan terencana dapat dilakukan
sebelum 38 minggu untuk mengurangi kemungkinan pecahnya selaput
ketuban.7

PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE BAYI


Program untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi,
dilaksanakan secara komprehensif dengan menggunakan empat prong, yaitu:
a)

Prong 1

Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan

usia reproduktif;
b)

Prong 2

Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu

Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV

HIV positif;
c)

Prong 3

positif ke bayi yang dikandungnya;


d)

Prong 4

Memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan

kepada ibu HIV positif beserta bayi dan keluarganya.

29

Pada daerah dengan prevalensi HIV yang rendah, diimplementasikan Prong 1


dan Prong 2. Pada daerah dengan prevalensi HIV yang terkonsentrasi,
diimplementasikan semua prong. Ke-empat prong secara nasional dikoordinir dan
dijalankan oleh pemerintah, serta dapat dilaksanakan institusi kesehatan swasta
dan lembaga swadaya masyarakat.6
Pedoman baru dari WHO mengenai pencegahan penularan dari ibu-kebayi(preventing mother-to-child transmission/PMTCT) berpotensi meningkatkan
ketahanan hidup anak dan kesehatan ibu, mengurangi risiko (mother-to-child
transmission/MTCT) hingga 5% atau lebih rendah serta secara jelas memberantas
infeksi HIV pediatrik.7
Pedoman itu memberikan perubahan yang bermakna pada beberapa tindakan di
berbagai bidang. Anjuran kunci adalah:

ART untuk semua ibu hamil yang HIV-positif dengan jumlah CD4 di
bawah 350 atau penyakit WHO stadium 3 atau penyakit HIV stadium 4,
tidak menunda mulai pengobatan dengan tulang punggung AZT dan 3TC
atau tenofovir dan dengan 3TC atau FTC.

Penyediaan antiretroviral profilaksis yang lebih lama untuk ibu hamil yang
HIV-positif yang membutuhkan ART untuk kesehatan ibu.

Apabila ibu menerima ART untuk kesehatan ibu, bayi harus menerima
profilaksis nevirapine selama enam minggu setelah lahir apabila ibunya
menyusui, dan profilaksis dengan nevirapine atau AZT selama enam
minggu apabila ibu tidak menyusui.

Untuk pertama kalinya ada cukup bukti bagi WHO untuk mendukung
pemberian ART kepada ibu atau bayi selama masa menyusui, dengan
anjuran bahwa menyusui dan profilaksis harus dilanjutkan hingga bayi
berusia 12 bulan apabila status bayi adalah HIV-negatif atau tidak
diketahui.

30

Apabila ibu dan bayi adalah HIV-positif, menyusui harus didorong untuk
paling sedikit dua tahun hidup, sesuai dengan anjuran bagi populasi
umum.7

Untuk mencegah penularan pada bayi, yang paling penting adalah mencegah
penularan pada ibunya dulu. Harus ditekankan bahwa bayi hanya dapat tertular
oleh ibunya. Jadi bila ibunya HIV-negatif, maka bayi juga tidak terinfeksi HIV.
Status HIV ayah tidak mempengaruhi status HIV bayi.7
Tetapi untuk ibu yang sudah terinfeksi, kehamilan yang tidak diinginkan harus
dicegah. Bila kehamilan terjadi, harus ada usaha mengurangi viral load ibu di
bawah 1.000 agar bayi tidak tertular dalam kandungan, mengurangi risiko kontak
cairan ibunya dengan bayi waktu lahir agar penularan tidak terjadi waktu itu, dan
hindari menyusui untuk mencegah penularan melalui ASI. Dengan semua upaya
ini, kemungkinan si bayi terinfeksi dapat dikurangi jauh di bawah 8%.7
1. PMTCT dengan antiretroviral penuh
Untuk mengurangi viral load ibu, cara terbaik adalah dengan memakai
terapi antiretroviral penuh sebelum menjadi hamil. Ini akan mencegah penularan
pada janin. Terapi antiretroviral dapat diberikan walaupun tidak memenuhi kriteria
untuk mulai terapi antiretroviral; setelah melahirkan bisa berhenti lagi bila masih
tidak dibutuhkan.
2. PMTCT mulai dini
Namun sering kali si ibu baru tahu dirinya terinfeksi setelah dia hamil.
Mungkin ARV tidak terjangkau. Seperti dibahas, ibu hamil tidak boleh memakai
efavirenz pada triwulan pertama, tetapi mungkin nevirapine menimbulkan efek
samping. Bila dia pakai terapi TB (tuberculosis), diusulkan dihindari nevirapine,
walaupun boleh tetap dipakai NNRTI (non nucleoside reverse transcriptase
inhibitor) ini bila tidak ada pilihan lain.

31

Tabel . Rezimen PMTC Dini


AZT dan 3TC diteruskan setelah melahirkan untuk mencegah timbulnya
resistansi pada nevirapine, karena walaupun hanya satu pil diberikan waktu
persalinan, tingkat nevirapine dapat tetap tinggi dalam darah untuk beberapa hari,
jadi serupa dengan monoterapi dengan nevirapine. Hal yang serupa pada bayi
dicegah

dengan

pemberian

AZT

setelah

dosis

tunggal

nevirapine.

3. PMTCT mulai lambat


Bila baru dapat mulai pengobatan waktu persalinan yang dapat dipaka
sebagai berikut

Tabel . Rezimen PMTC Lambat


4. Makanan bayi
Sampai 10% bayi dari ibu HIV-positif tertular melalui menyusui, tetapi
jauh lebih sedikit bila disusui secara eksklusif. Sebaliknya lebih dari 3% bayi di
Indonesia meninggal akibat infeksi bakteri, yang sering disebabkan oleh makanan
atau botol yang tidak bersih. Ada juga yang diberi pengganti ASI (PASI) dengan
jumlah yang kurang sehingga bayi meninggal karena malnutrisi.

32

Affordable (terjangkau)

Feasible (praktis)

Acceptable (diterima oleh lingkungan)

Safe (aman)

Sustainable (kesinambungan)
Itu berarti tidak boleh disusui sama sekali. Ada banyak masalah: mahalnya

harga susu formula, sehingga sering bayi tidak diberi cukup; kalau bayi menangis,
ibu didesak untuk menyusuinya; ibu yang tidak menyusui dianggap kurang
memperhatikan bayi, atau melawan dengan asas; air yang dipakai tidak bersih,
atau campuran tidak disimpan secara aman; dan apakah PASI dapat diberi terusmenerus.
ASI eksklusif berarti bayi hanya diberi ASI dari saat lahir tanpa makanan
atau minuman lain, termasuk air. ASI adalah sangat halus, mudah diserap oleh
perut/usus. Makanan lain lebih keras sehingga lapisan perut/usus membuka agar
diserap, membiarkan HIV dalam ASI menembus dan masuk darah bayi. Jadi
risiko penularan tertinggi bila bayi diberi ASI yang mengandung HIV, bersamaan
dengan makanan lain. Harus ada kesepakatan sebelum melahirkan antara ibu,
ayah dan petugas medis agar bayi langsung disusui setelah lahir, sebelum diberi
makanan/minuman lain. Setelah enam bulan, sebaiknya disapih secara mendadak
(berhenti total menyusui).7

33

BAB III
KESIMPULAN
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang
sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome). Artinya bahwa HIV berbeda dengan AIDS tetapi
HIV memungkinkan untuk menjadi pencetus terjadinya AIDS.
Sistem imun manusia sangat kompleks, kerusakan pada salah satu komponen
sistem imun akan mempengaruhi sistem imun secara keseluruhan. HIV
menginfeksi sel T helper yang memiliki reseptor CD4 di permukaannya,
makrofag, sel dendritik, organ limfoid.
Transmisi HIV secara umum dapat terjadi melalui empat jalur, yaitu :
1. Kontak seksual
2. Tranfusi
3. Jarum yang terkontaminasi
4. Transmisi vertikal (perinatal)
Gejala klinis dari asimptomatik sampai sangat berat. Sedangkan untuk
diagnostik pasti dikerjakan pemeriksaan laboratorium HIV DNA PCR, HIV
culture, dan HIV RNA PCR.
Tata laksana awal adalah membri konseling pada orangtua kondisi infeksi
HIV dan resiko infeksi oporunistik, pemberian nutrisi yang cukup, pengawasan
tumbuh kembang, imunisasi, dan pemberian awal obat anti retroviral (ARV).

34

Infeksi HIV pada umumnya berjalan progresif akibat belum ditemukannya


cara yang efektif untuk menangulanginya, maka pada umumnya penyakit berjalan
progresif hingga prognosisnya umumnya buruk.

35

DAFTAR PUSTAKA

1.

Soedarmo S S, Garna H, Hadinegoro S R, Satari H I. Human


Imunodeficiency Virus. Dalam: Soedarmo S S, Garna H, Hadinegoro S R,
Satari H I. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi ke-2. Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2008. 243 247.

2.

Prof. Subowo, dr. Msc.Phd. 2010.Imunologi Klinik.CV. SAGUNG SETO.


P.177.Jakarta

3.

Ram Yogev, Ellen Gould Chadwick. Acquired Immunodeficiency


Syndrome : Behrman RE, Kliegman RM Jenson HB (editor). Nelson test
book of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelpia: Saunders; 2004: 1109-1121

4.

Departemen

Kesehatan

RI

Direktorat

Jenderal

Bina

Kesehatan

Masyarakat. Faktor risiko penularan HIV dari ibu ke bayi. Dalam:


Pratomo H. et al. (eds). Pedoman pencegahan penularan HIV dari ibu dan
bayi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2006; 13-16.
5.

Panitia penyusun panduan pelayanan medis RSCM: panduan pelayanan


medis deparetemen ilmu penyakit anak RSCM. Jakarta: RSUP Nasional
DR Ciptomangunkusumo; 2007

6.

Kemenkes RI.2011.Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari


Ibu Ke Bayi.Jakarta

7.

Jaringan pencegahan HIV dari ibu ke anak. Kebijakan PMTCT Indonesia:


PMTCT.net; 2008. h.1.

Anda mungkin juga menyukai