Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PRODUKSI ANEKA TERNAK


SISTEM PERKEMBANGBIAKAN DAN PERTUMBUHAN
TERNAK KELINCI

Oleh :

Indra Prana
E1E112209

PROGRAM STUDI PETERNAKAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2016

PENDAHULUAN
a. Ternak Keilinci
Kelinci (Oriyctolagus cuniculus) adalah fauna yang tergolong dalam kelas
mamalia yang bersifat mudah dipelihara, cepat berkembang biak, tidak
memerlukan biaya besar dalam pemeliharaannya, mampu menghasilkan anak 46
kali setiap tahun, dengan jumlah anak 412 ekor anak per kelahiran
(Sumoprastowo, 1993; Sarwono, 2002).
Berdasarkan bobotnya, kelinci dibedakan atas tiga tipe, yaitu kecil, sedang
dan tipe berat. Tipe kecil berbobot antara 0,92,0 kg, tipe sedang antara 2,04,0
kg dan tipe berat 5,08,0 kg. Kelinci lokal tipe sedang berbobot 23 kg warnanya
ada yang putih, hitam, coklat muda, belang atau warna campuran yang awalnya
datang dari luar negeri sebagai ternak hias, lama tinggal di Indonesia yang
akhirnya disebut kelinci lokal. Sedangkan menurut manfaatnya, ternak kelinci
terbagi atas dua kelompok yaitu kelompok pedaging seperti kelinci New zhealand
White yang memiliki ciri-ciri bulu putih mulus, padat, tebal dan agak kasar kalau
diraba, mata merah dan kelompok dwiguna seperti Chinchilla yaitu produksi bulu
(fur) dan daging yang memiliki ciri-ciri warna bulu abu-abu (Sarwono, 2002).
Dalam peternakan kelinci intensif, pakan yang diberikan tak hanya hijauan
tetapi juga ditambahkan konsentrat, hay (rumput kering), biji-bijan dan umbiumbian. Pemberian pakan yang bermutu rendah dalam waktu lama dapat
menyebabkan pertumbuhan terhambat, sedangkan pada induk bunting dapat
menyebabkan abortus atau anak yang dilahirkan mati. Ransum induk bunting dan
induk menyusui kebutuhan akan zat makanan terdiri dari : protein 16-20 %, dan

energi 2600-2900 kkal/kg sedangkan untuk hidup pokok 2000-2200 kkal/kg


(AAK, 1982; Aritonang, 1995).
Walaupun kelinci disebut sebagai ternak herbivora, kelinci tidak dapat
mencerna serat kasar dengan baik. Belakangan ini kelinci yang diternakkan sudah
diberi pakan konsentrat yang disesuaikan dengan tingkat produksinya (seperti
untuk kelinci remaja, induk bunting dan induk menyusui). Pada ternak jantan,
kekurangan zat makanan akan mempengaruhi kualitas sperma (Whendrato dan
Madyana, 1999).
b. Tujuan
Sebagai bahan informasi bagi peternak khususnya peternak kelinci ,
Sebagai bahan informasi bagi peneliti dan kalangan akademisi atau instansi yang
berhubungan dengan peternakan kelinci, dan sebgai tugas mata kuliah Produksi
Aneka Ternak Fakultas Pertanian Jurusan Peternakan Universitas Lambung
Mangkurat.

PEMBAHASAN
Sistem Perkembangbiakan dan pertumbuhn ternak kelinci
Pada pengaturan perkawinan jangan mengawinkan kelinci lebih dari 3 kali
seminggu. Tetapi dalam keadaan darurat kelinci bisa dikawinkan tiap hari dalam
beberapa hari untuk mengejar kebuntingan dan kelahiran yang hampir bersamaan,
tetapi setelah itu kelinci harus beristirahat lama. Perkembangbiakan kelinci dapat
diatur dengan kelahiran terencana (Sumoprastowo, 1993).
a. Dewasa Kelamin/Pubertas
Pada umumnya setiap strain bahkan setiap individu kelinci mencapai
dewasa kelamin pada umur yang berbeda; betina mencapai dewasa kelamin
lebih cepat daripada jantan. Jantan mencapai dewasa kelamin pada umur 6
bulan, sedangkan betina pada umur 45 bulan. Kelinci tipe kecil dewasa
kelamin antara 34 bulan, tipe sedang 56 bulan dan tipe besar 78 bulan.
Cepat lambatnya dewasa kelamin pada ternak kelinci dipengaruhi oleh faktor
individu, lokasi peternakan, pakan yang diberikan dan sistem perkandangan
(Whendrato dan Madyana, 1999).
bSistem Perkawinan Betina
Kelinci dara sebaiknya dikawinkan setelah mencapai umur 6 bulan atau
mencapai berat 2 kg, disamping itu harus dalam kondisi sehat. Jantan yang
akan dipakai sebagai pejantan juga harus pertama kali digunakan pada umur 7
bulan (Hustamin, 2006). Bagi peternak yang sudah mahir dan berpengalaman,
jarak perkawinan kelinci dapat dilaksanakan dengan tepat dengan makanan dan
perawatan yang baik (Subroto, 1998).
4

Menurut Sumoprastowo (1993), bahwa ovulasi terjadi karena rangsangan


pejantan pada waktu kawin dan ovum akan turun 8 jam kemudian kesaluran
betina (oviduc) sesudah kawin, sehingga setelah 810 jam ovum akan bertemu
dengan sperma yang menyebabkan kebuntingan. Sedangkan menurut
Rismunandar (1990), pengulangan perkawinan sekitar delapan (8) jam
kemudian baik sekali hasilnya, karena pembuahan sel telur berlangsung sekitar
12 jam setelah ovulasi.
c. Kemampuan Kawin Pejantan
Menurut Sumoprastowo, (1993). Seekor pejantan yang telah dewasa
dapat melayani betina 10 ekor, tetapi pada umumnya 5 ekor betina dikawinkan
dengan satu pejantan dalam satu kandang koloni. Jika jumlah betina lebih
banyak sedang pejantan tetap maka persentase kebuntingan akan menurun.
Sebaliknya jika jumlah betina telalu sedikit maka tidak ekonomis. Penggunaan
pejantan dalam perkawinan tidak boleh lebih tiga kali dalam satu minggu.
Pejantan yang digunakan dua kali dalam satu minggu dengan mengawini dua
ekor betina menunjukkan hasil yang cukup memuaskan. Sedangkan menurut
Hardjopranjoto (1995), pemakaian pejantan yang berlebihan untuk mengawini
betina dapat mengakibatkan penurunan kemampuan pejantan, dimana libido
pejantan dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti; faktor genetik, umur dan
faktor lingkungan.
Pejantan dalam proses perkawinan dapat memancarkan beribu-ribu
sperma. Rendahnya kualitas makanan pada pejantan mengakibatkan turunnya
konsentrasi sperma dalam semen. Pada suhu yang tinggi biasanya kualitas
semen rendah. Frekuensi ejakulasi terlalu sering akan menyebabkan;
5

menurunnya libido, menurunnya volume dan menurunnya konsentrasi sperma


(Partodihardjo, 1980).
d. Kegagalan Perkawinan
Pada kelinci induk kegagalan perkawinan dapat ditunjukkan dengan ada
tanda-tanda seperti kebuntingan, dengan membuat sarang dan memproduksi
susu tetapi kenyataannya tidak melahirkan anak (kebuntingan semu).
Kebuntingan semu diakibatkan oleh terlalu lama induk betina tidak dikawinkan
lagi setelah beranak dan gagalnya proses pembuahan. Gagalnya proses
pembuahan disebabkan oleh pejantan memiliki kualitas sperma yang jelek,
luka pada uterus dan infeksi pada betina (Rismunandar, 1975; Subroto, 1998).
Ada beberapa faktor penyebab terjadinya kegagalan perkawinan yaitu
betina belum siap dikawinkan, betina mengeluarkan urine setelah dikawinkan,
suhu udara terlalu panas, pejantan terlalu sering dikawinkan, betina mandul,
gizi makanan kelinci tidak memenuhi syarat, kelinci terlalu gemuk (sel telur
terbungkus lemak), penyakit kelamin dan keracunan. kegagalan bunting juga
bisa disebabkan oleh kondisi pejantan lemah (Whendrato dan Madyana, 1999).
e. Kebuntingan
Setelah kelinci dikawinkan, peternak perlu memeriksa kondisi ternaknya,
apakah perkawinan tersebut menghasilkan kebuntingan atau mengalami
kegagalan. Pemeriksaan dilakukan dengan cara menguji kembali, meneliti
perkembangan perut kelinci betina dan memperhatikan nafsu makannya.
Pengujian kembali dilakukan satu minggu setelah perkawinan, dengan cara
memasukkan kembali kelinci betina kedalam kandang pejantan, jika betina

menolak atau tidak mau dikawini pejantan, berarti kemungkinan besar betina
bunting (Hustamin, 2006).
Lama kebuntingan pada ternak kelinci berkisar antara 2835 hari.
Dengan rata-rata kebuntingan selama 31 hari. Lama kebuntingan dipengaruhi
oleh beberapa faktor seperti; bangsa/strain, umur induk, sifat-sifat khusus
pewarisan, jenis kelamin anak yang dikandung, dimana jika anak yang
dikandung jantan maka lama kebuntingan lebih lama satu hari dari anak betina
(Partodihardjo 1980); Sedangkan menurut Rismunandar (1975), jika induk
muda yang pertama kali bunting biasanya lama kebuntingan lebih pendek,
begitu juga dengan jumlah anak, jika jumlah anak yang dikandung banyak
biasanya lama kebuntingannya lebih pendek.
f. Litter Size

Seekor induk kelinci dapat melahirkan anak 412 ekor, dengan ratarata
6 ekor anak sekelahiran. Jumlah anak yang dilahirkan oleh induk bervariasi
jumlahnya, tergantung dari jenis, kemampuan pejantan dan waktu penyapihan
anak. Jumlah anak yang lahir dipengaruhi oleh umur induk, bangsa/strain,
keadaan badan induk dan juga pejantan yang dipakai (Kartadisastra, 1994).
Banyak anak kelinci yang dihasilkan dari perkawinan tidak terlepas dari
dari faktor kesuburan karena ada jenis kelinci yang bisa melahirkan anak dalam
jumlah yang banyak yaitu 10 ekor dan ada jenis kelinci yang hanya dapat
beranak 4 ekor, dimana umur yang baik untuk perkawinan ternak kelinci
adalah umur 2-3 tahun (Rismunandar, 1990).
Agar dicapai pembuahan ovum secara maksimal, perkawinan biasanya
dilakukan dengan dua kali perkawinan sehingga dihasilkan angka kebuntingan
7

(konsepsi) yang tinggi, karena banyak ovum yang dibuahi dan dengan
demikian jumlah anak yang dilahirkan per litter juga lebih banyak (Blakely dan
Bade,1998).
g. Pakan Induk
Induk kelinci yang menyusui memerlukan makanan yang lebih banyak
dan lebih baik karena diperlukan untuk memproduksi susu, memulihkan
kondisi induk setelah melahirkan, mengasuh anak, dan persiapan untuk
kebuntingan berikutnya. Pakan yang baik akan menghasilkan kualitas susu
yang baik pula dan sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak sewaktu
menyusui Menurut ransum induk bunting dan induk menyusui kebutuhan akan
zat makanan terdiri dari : protein 16-20 %, dan energi 2300-2500 kkal/kg
sedangkan untuk hidup pokok 2000- 2200 kkal / kg. (Aritonang, 1995;
Sumoprastowo, 1993)
Jika pakan jelek dalam waktu lama, hal ini bisa menyebabkan abortus
atau anak yang dilahirkan mati karena kekurangan akan makanan secara terus
menerus. Dan pergantian ransum harus dilakukan sedikit demi sedikit. Dalam
peternakan kelinci intensif, pakan yang diberikan tak hanya hijauan sebagai
pakan pokok, konsentrat, hay (rumput kering) biji-bijan, dan umbi-umbian juga
perlu diberikan (AAK, 1982; Sarwono, 2002).
Makanan yang tidak cukup dapat mengakibatkan laju konsepsi
(kebuntingan) menurun, banyak anak perkelahiran menurun, bobot badan dan
kemampuan hidup anak yang lahir menurun. Sperma yang abnormal biasanya
muncul pada pejantan yang terlalu sering dikawinkan (Sihombing, 1997).

h. Bobot Lahir
Bobot lahir penting karena sangat berkorelasi dengan pertumbuhan,
dengan demikian bobot lahir merupakan faktor penting yang mempengaruhi
produktivitas. Keragaman dalam bobot lahir termasuk didalamnya jumlah anak
dari tiap induk disebabkan oleh faktor genetik, strain atau spesies dan
lingkungan. Pada saat kelahiran bobot lahir dipengaruhi oleh ransum pada
waktu induk bunting tua. Pada umumnya induk muda melahirkan anak yang
lebih ringan dari pada induk yang lebih tua (Sumoprastowo,1993).
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi bobot lahir adalah jumlah
anak yang lahir, jenis atau strain, dan juga pakan waktu bunting. Rata-rata
bobot lahir kelinci di Ciawi Bogor adalah 50-70 gram (Brahmantiyo, 2007).
Bobot lahir dari anak juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, jumlah anak yang
lahir mempengaruhi berat anak, pengaruh jenis kelamin umumnya jenis
kelamin jantan lebih berat daripada betina, breed induk dan pejantan, makanan
dan umur induk (Cahyono, 1998). Bobot lahir ternak kelinci 45,4 gram, pada
umur 3 minggu 362,2 gram dengan pertambahan berat badan kelinci
perharinya adalah 15,1 gram (Reksohadiprojdo, 1984)
i. Mortalitas Selama Menyusui
Dua hari sesudah induk melahirkan, harus diadakan pemeriksaan, sebab
ada kemungkinan anak-anaknya yang baru dilahirkan itu terlampau kecil, cacat
(tubuh tak sempurna) atau mati. Anak kelinci yang mati harus segera diambil
dan yang kecil atau cacat harus diafkir, anak kelinci yang baru lahir dan tidak
mendapat air susu sampai 2 atau 3 hari, maka anaknya bisa mati oleh karena itu
anak kelinci yang baru lahir perlu diperhatikan. Produksi air susu ada yang
9

keluar terlampau banyak, tetapi ada pula yang sangat kurang, sehingga hal ini
memberi pengaruh terhadap mortalitas anak selama menyusui (AAK, 1982;
Sumoprastowo, 1993)
Air susu induk adalah makanan alami yang paling lengkap, paling cocok
dan tepat untuk anak kelinci yang masih menyusui (Sumoprastowo, 1993).
Hal-hal yang menyebabkan berkurang air susu atau gagal sama sekali
penyebabnya adalah pergantian cuaca secara tiba-tiba, ransum yang tidak
sempurna, diare secara terus menerus, pergantian tempat yang mendadak,
adanya penyakit mastitis dan berasal dari keturunan induk yang hanya sedikit
menghasilkan air susu (Brahmantiyo, 2007).
Menurut Sumoprastowo (1993), sebab-sebab kematian anak selama
menyusui antara lain karena pengolahan kotak beranak tidak baik, makanan
yang tidak memenuhi gizi, induk tidak cukup menghasilkan susu, adanya
gangguan binatang asing seperti kucing, ular, dan anjing yang bisa
mengejutkan kelinci sehingga meloncat-loncat mengakibatkan anak terinjakinjak sampai mati. Rianggoro (1995), menyatakan ada juga sifat keibuan induk
yang jelek, meskipun menghasilkan air susu tetapi ia tidak rajin mengasuh
anak-anaknya, acuh tak acuh terhadap anaknya, sehingga anak kelinci menjadi
kurus dan mati kelaparan.
Kematian anak bisa mencapai 30-40% selama anak disusui, oleh karena
itu perawatan sarang sangat menentukan keberhasilan anak. Induk yang
melahirkan anak banyak dan semuanya hidup, apalagi kalau anak itu
jumlahnya masih utuh sampai umur disapih, maka induk itu baik sekali untuk
dipertahankan hidup sebagai penghasil bibit untuk generasi yang akan datang

10

(Sumoprastowo, 1993). Angka kematian anak kelinci tinggi, dapat mencapai


20-25%, hal ini menyebabkan hanya 5-6 ekor anak kelinci yang hidup waktu
disapih (Sarwono, 2002).

11

KESIMPULAN
Ternak kelinci mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan
ternak lainnya, yakni dapat menghasilkan anak yang banyak, tidak membutuhkan
areal yang luas, pemeliharaannya mudah, dan hasil sampingannya seperti bulu
dibutuhkan untuk bahan dasar pembuatan tas dan berbagai aksesoris lainnya.
Dalam upaya mengembangkan peternakan kelinci maka kita perlu
menerapkan sistem peternakan intensif seperti perbaikan nutrisi, pengaturan
perkawinan yang tepat. Pengaturan sistem perkawinan diupayakan untuk
meningkatkan keunggulan ternak dalam menghasilkan keturunan yang baik dan
layak.

12

DAFTAR PUSTAKA
AAK, 1982. pemeliharaan kelinci. Kanisius, Yogyakarta.
Aritonang, D., 1995. Perencanaan dan Pengelolaan Usaha Babi. Penebar Swadaya,
Jakarta
Blakely and Bade, 1998. Ilmu Peternakan. Terjemahan Bambang Srigandono, Gajah
Mada University Press, Yogyakarta.
Brahmantiyo, B., 2007. Budi Daya Kelinci. Balai Penelitian Ternak. Ciawi, Bogor.
Cahyono, B.,1998. Beternak Domba dan kambing. Kanisius, Yogyakarta.
Hustamin R., 2006. Panduan Memelihara Kelinci Hias. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Kartadisastra, 1994. Kelinci Unggul. Kanisius, Yogyakarta.
Partodihardjo. S, 1980, Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara, Jakarta
Reksohadiprodjo,S.,1984. Pengantar Ilmu Peternakan Tropik. UGM BPFE.Yogyakarta.
Rismunandar., 1975. Beternak Kelinci. Masa Baru, Bandung, Jakarta.
Sihombing, 1997. Ilmu Ternak Babi. UGM. Press, Yogyakarta.
Sumoprastowo, 1993. Beternak Kelinci Idaman. Bhratara, Jakarta.
Subroto S., 1998. Ayo Beternak Kelinci. Cv Aneka Ilmu, Semarang.
Sarwono. B, 2002. Kelinci Potong Dan Hias. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Whendrato dan Madyana, 1999. Beternak Kelinci Secara Populer. Eka offset, Semarang.

13

Anda mungkin juga menyukai