Anda di halaman 1dari 52

MODUL I SISTEM TERAPEUTIK

TATALAKSANA DIABETES
Skenario 2

Kelompok 4
Tutor

: Dr. dr. Sitti Airiza Jenie, Sp.S(K)

Ketua

: Virni Tiana Aprielis

(2013730186)

Sekretaris

: Sally Novrani Puteri

(2013730174)

Anggota

: Badai Ardyana Arimbi P.

(2013730129)

Carissa Gayatri Putri

(2013730131)

Dias Rahmawati Wijaya

(2013730134)

Dyoza Ashara Cinnamon

(2013730139)

Fikri Akbar Alfarizi

(2013730143)

Lisa Nopiyanti

(2013730149)

Nina Amelinda

(2013730162)

Shandy Seta Dwi Tama

(2013730177)

Tasya Sabrina Chairunnisa

(2013730183)

Program Studi Pendidikan Dokter


Fakultas Kedokteran dan Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Mei 2016

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb
Puji syukur Alhamdulillah, atas berkah Rahmah Hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan laporan modul ini. Laporan ini dibuat untuk memenuhi tugas PBL Modul I
Terapeutik kami yaitu Tatalaksana Diabetes. Tugas ini ialah hasil diskusi dari semua
anggota kelompok 4.
Terimakasih kami ucapkan kepada tutor kami yaitu Dr. dr. Sitti Airiza Jenie, Sp.S(K)
yang telah membimbing kelompok kami sehingga dapat melakukan diskusi dengan baik. Juga
untuk penulis dan penerbit dari buku yang kami jadikan referensi.
Kami menyadari dalam pembuatan laporan ini masih banyak kekurangannya, oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan dan
penyempurnaan tugas ini kedepannya.
Semoga hasil analisis di laporan ini dapat berguna dan dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Wassalamualaikum wr.wb

Jakarta, 17 Mei 2016

Kelompok 4

DAFTAR ISI
Kata pengantar..............................................................................................................................
i
Daftar Isi.......................................................................................................................................
ii
BAB I (Pendahuluan)....................................................................................................................
1
Latar Belakang..............................................................................................................................
1
Sasaran Pembelajaran...................................................................................................................
1
Proses Pemecahan Masalah..........................................................................................................
2
Skenario
...........................................................................................................................................
2
Data
Tambahan
...........................................................................................................................................
2
Kata/Kalimat
Sulit
...........................................................................................................................................
2
Kata/Kalimat
Kunci
...........................................................................................................................................
2
Mind
Map
...........................................................................................................................................
3

Pertanyaan
...........................................................................................................................................
4
BAB II (Pembahasan)...................................................................................................................
5
BAB III (Kesimpulan)..................................................................................................................
Daftar Pustaka...............................................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar belakang
Tujuan utama terapi diabetes mellitus tipe II adalah mencoba menormalkan aktivitas
insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi terjadinya komplikasi
vaskuler neuropatik. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes mellitus adalah mencapai
kadar glukosa darah normal tanpa terjadinya hipoglikemia dan gangguan serius pada pola
aktivitas pasien.
Ada lima komponen dalam penatalaksanaan diabetes mellitus, yaitu yang pertama diet
dan pengendalian berat badan yang merupakan dasar dari penatalaksanaan diabetes,
kedua latihan, latihan ini sangat penting dalam penatalaksanaan diabetes karena efeknya
dapat menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi faktor risiko kardiovaskular,
latihan ini akan menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan pengambilan
glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin. Ketiga terapi farmakologi yaitu
dengan obat hipoglikemik oral (OHO), pada diabetes tipe II insulin mungkin diperlukan
sebagai terapi jangka panjang untuk mengendalikan kadar glukosa darah jika diet dan
obat hipoglikemik oral tidak berhasil mengontrolnya. Dan yang kelima adalah pendidikan
kesehatan, karena diabtes mellitus merupakan sakit kronis yang memerlukan perilaku
penanganan mandiri seumur hidup, pasien bukan hanya belajar keterampilan untuk
merawat diri sendiri guna menghindari penurunan atau kenaikan kadar glukosa darah
yang mendadak, tetapi juga harus memiliki perilaku preventif dalam gaya hidup untuk
menghindari komplikasi jangka panjang yang dapat ditimbulkan dari penyakit diabetes
mellitus.

1.2.

Sasaran Belajar
Setelah selesai mengikuti modul ini diharapkan mahasiswa dapat mengetahui terapi
terkini dalam mengontrol hiperglikemia dan memantau A1c yang penting untuk
tatalaksana diabetes tipe 2 dan meningkatkan kondisi kesehatan pasien sesuai dengan
langkah-langkah sebagai berikut :
1. Menjelaskan patofisiologi gejala-gejala dan atau penyakit yang dialami pasien
2. Menentukan diagnosis
3. Menentukan tujuan yang ingin dicapai dari terapi berdasarkan patofisiologi penyakit
4. Menentukan kesesuaian terapi dengan kondisi pasien
a. membuat daftar golongan obat sesuai dengan tujuan terapi
b. memilih golongan obat dari daftar tersebut sesuai dengan tujuan terapi dan
kondisi pasien (efikasi, keamanan, kecocokan dan biaya)
c. mahasiswa mampu memilih preferred drug
d. memilih bahan aktif, dosis, bentuk sediaan obat, dan lama pengobatan

e. pendekatan terapi: informasi atau saran, terapi tanpa obat, terapi dengan obat,
rujukan atau kombinasi
5. Mahasiswa mampu memilih terapi
a. mampu memberikan saran dan penjelasan tentang terapi yang diberikan kepada
pasien
b. mahasiswa mampu menulis resep dengan jelas
6. Mahasiswa mampu memberikan informasi, instruksi, dan peringatan kepasa pasien
7. Menetapkan, monitor efek terapi dan mengantisipasi efek samping obat
8. Mengevaluasi hasil pengobatan

1.3.

Skenario
Seorang perempuan berusia 58 tahun, menderita diabetes tipe 2 sejak 2 tahun yang
lalu. Pada saat diagnosis, glukosa plasma puasa 118 mg/dL dan HbA1c 6,9%. Pasien
menolak terapi dengan obat dan memilih olahraga dan diet. Ia mulai berolahraga di gym
3x seminggu selama 1 jam. Dalam 4 bulan, turun berat badan 9 lbs, dan HbA1c 6,8%.
Tetapi 8 minggu terakhir ia kesulitan dengan restriksi kalori dan kesibukan di rumah dan
kantor tidak memungkinkannya untuk berolahraga. Pasien kembali 10 bulan setelah
kunjungan sebelumnya.

1.4.
-

1.5.

Data Tambahan
Riwayat Penyakit Keluarga : bapak dan 2 paman menderita diabetes, pemeriksaan
fisik : tinggi 5 4, berat 182 lbs (BMI 34), TD 138/80 mmHg, denyut jantung
82x/menit regular, lingkar pinggang 37, tidak ada retinopati tetapi terdapat
penurunan sensasi getar pada kedua ekstremitas bawah.
Pemeriksaan Penunjang : kolesterol total 202 mg/dL, trigliserida 227 mg/dL,
kolesterol HDL 38 mg/dL, kolesterol LDL 119 mg/dL, AST dan ALT sedikit
meningkat, lain-lain dalam batas normal. Follow up 10 bulan setelah kunjungan
sebelumnya berat badan kembali ke berat awal, HbA1c 7,8% dan glukosa plasma
puasa 156 mg/dL. Dislipidemia dan tekanan darah tidak berubah secara bermakna.
Kata/ Kalimat Kunci

1.6.
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Kata/ Kalimat Kunci


Perempuan, 58 tahun
Menderita DM tipe 2, sejak 2 tahun yang lalu
Glukosa darah puasa 118 mg/dL, HbA1c 6,9%
Pasien menolak terapi dengan obat
Berolahraga di gym 3x seminggu selama 1 jam. Dalam 4 bulan BB turun 9 lbs dan
HbA1c 6,8%
8 minggu terakhir kesulitan dengan restriksi kalori dan kesibukannya tidak
memungkinkan dia berolahraga
2

7. Pasien kembali 10 bulan setelah kunjungan sebelumnya


1.7.
Mind Map

Perempuan 58thn
DM Tipe II

1.8.Pertanyaan
1.
2.
3.
4.

Bagaimana patofisiologi pada penyakit di skenario (DM Tipe II)?


Monitoring dan
Jelaskan obat antidiabetik secaraKunjungan
umum! I
Bagaimana algoritma pada
skenario: Olahraga
dan obat yang
tepat untuk pasien! Evaluasi Terapi
Tatalaksana
dan Diet
Jelaskan interaksi obat pada DM tipe II! Beserta farmakokinetik, farmakodinamik dan
side effectnya!
5. Jelaskan faktor risiko DM pada skenario!
6. Jelaskan monitoring pada pasien DM!
Kunjungan
II (Follow
10 bulan penunjang pada skenario!
7. Jelaskan alur diagnosis
dan interpretasi
hasilUp
pemeriksaan
8. Jelaskan terapi non-farmakologikemudian)
pada DM Tipe II! Edukasi, lifestyle, cara motivasi
pasien, olahraga dan diet!
BB kembali
9. Jelaskan tatalaksana dan komplikasi
yang timbul
HbA1C
7,8% pada skenario!
10. Jelaskan kesesuaian terapi dengan
kondisi
GDP
156pasien!
mg/dL
11. Jelaskan cara mengevaluasi hasil
pengobatan
pada pasien!
TD : tak berubah

Tatalaksana

Farmakologi

NonFarmakologi

BAB II
PEMBAHASAN

1. Bagaimana patofisiologi pada penyakit di skenario (DM Tipe II)?


Jawab :
Insulin dihasilkan oleh pankreas dan di dalarnnya terdapat kumpulan sel yang
berbentuk seperti pulau pada peta, karena itu disebut pulau-pulau Langerhans yang berisi sel
beta yang mengeluarkan hormon insulin yang sangat berperan dalam mengatur kadar glukosa
darah.
Insulin yang dikeluarkan oleh sel beta tadi dapat diibaratkan sebagai anak kunci yang
dapat membuka pintu masuknya glukosa ke dalam sel, untuk kemudian di dalam sel glukosa
tersebut dimetabolisasikan menjadi tenaga. Bila insulin tidak ada, maka glukosa dalam darah
tidak dapat masuk ke dalam sel dengan akibat kadar glukosa dalam darah meningkat.
Keadaan inilah yang terjadi pada diabetes melitus tipe 1.
Pada diabetes melitus tipe 2 jumlah insulin normal, malah mungkin lebih banyak
tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang. Reseptor
insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada keadaan
tadi jumlah lubang kuncinya yang kurang, hingga meskipun anak kuncinya (insulin) banyak,
tetapi karena lubang kuncinya (reseptor) kurang, maka glukosa yang masuk sel akan sedikit,
sehingga sel akan kekurangan bahan bakar (glukosa) dan glukosa di dalam pembuluh darah
meningkat. Dengan demikian keadaan ini sama dengan pada diabetes melitus tipe 1, bedanya
adalah pada diabetes melitus tipe 2 di samping kadar glukosa tinggi, kadar insulin juga tinggi
atau normal. Pada diabetes melitus tipe 2 juga bisa ditemukan jumlah insulin cukup atau lebih
tetapi kualitasnya kurang baik, sehingga gagal membawa glukosa masuk ke dalam sel. Di
samping penyebab di atas, diabetes melitus juga bisa terjadi akibat gangguan transport
glukosa di dalam sel sehingga gagal digunakan sebagai bahan bakar untuk metabolisme
energi.
Baik pada diabetes melitus tipe 1 maupun pada diabetes melitus tipe 2 kadar glukosa
darah jelas meningkat dan bila kadar itu melewati batas ambang ginjal, maka glukosa itu
akan keluar melalui urin. Mungkin inilah sebabnya penyakit ini juga disebut penyakit
kencing manis (Suyono, 2005).
5

2. Jelaskan obat antidiabetik secara umum!


Jawab :
Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya
hidup sehat).Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.
1. Obat hipoglikemik oral
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilu rea dan glinid
B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion
C. Penghambat glukoneogenesis (metformin)
D. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.
E. DPPIV inhibitor
A. Pemicu Sekresi Insulin
1. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang.
Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih.Untuk menghindari
hipoglikemia berkepanjangan pada ber bagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal
dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan
sulfonilurea kerja panjang.
2. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada
peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (de- rivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi
dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini
dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin

Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Pro- liferator Activated
Receptor Gamma (PPARg), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak.Golongan ini
7

mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein


pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer.
Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan ga gal jantung kelas IIV
karena dapat memperberat edema/re tensi cairan dan juga pada gangguan faal hati.
Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan peman tauan faal hati
secara berkala.
*golongan rosiglitazon sudah ditarik dari peredaran karena efek sampingnya
C. Penghambat glukoneogenesis

Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glu kosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama
dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta
pasienpasien dengan kecenderungan hipok semia (misalnya penyakit serebrovaskular,
sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual.
Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan.
Selain itu harus diperha tikan bahwa pemberian metformin secara titrasi pada awal
penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping obat tersebut.

D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)


Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbosetidak
menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan ialah kembung dan latulens.
E. DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP1) merupakan suatu hormon peptida yang dihasilkan
oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada
makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP1 merupakan perangsang
kuat penglepasan insulin dan sekaligus seba gai penghambat sekresi glukagon.
Namun demikian, se cara cepat GLP1 diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase4 (DPP4), menjadi metabolit GLP1(9,36)amide yang tidak aktif.
Sekresi GLP1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk
meningkatkan GLP1 bentuk aktif merupa kan hal rasional dalam pengobatan DM tipe
2. Pening katan konsentrasi GLP1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang
menghambat kinerja enzim DPP4 (penghambat DPP4), atau memberikan hormon asli
atau analognya (analog incretin=GLP1 agonis).
Berbagai obat yang masuk golongan DPP4 inhibitor, mampu menghambat kerja DPP4
sehingga GLP1 tetap dalam kon sentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu
8

merang sang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan glukagon.


Mekanisme kerja OHO, efek samping utama, serta pengaruh obat terhadap penurunan A1C
dapat dilihat pada tabel 5, sedangkan nama obat, berat bahan aktif (mg) per tablet, dosis
harian, lama kerja, dan waktu pemberian dapat dilihat pada lampiran 2.
Cara Pemberian OHO, terdiri dari:
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara ber tahap sesuai
respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal

Sulfonilurea: 15 30 menit sebelum makan


Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan
Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama
Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
DPPIV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.

2. Suntikan
1. Insulin
2. Agonis GLP1/incretin mimetic

1. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Ketoasidosis diabetik
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikemia dengan asidosis laktat
Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
Stresberat(infeksisistemik,operasibesar,IMA,stroke)
Kehamilan dengan DM/diabetes mellitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
o Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
o Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
o
o
o
o
o
o
o
o

Jenis dan lama kerja insulinBerdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:

o
o
o
o
o

Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)


Insulin kerja pendek (short acting insulin)
Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)
Insulin kerja panjang (long acting insulin)
Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin).

Jenis dan lama kerja insulin dapat dilihat pada lampiran 3.


Efek samping terapi insulin

Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.


Penatalaksanaan hipoglikemia dapat dilihat dalam bab komplikasi akut DM.
Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi ter hadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.

Dasar pemikiran terapi insulin:

Sekresi insulin isiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi insulin
diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang isiologis.
Deisiensi insulin mungkin berupa deisiensi insulin basal, insulin prandial atau
keduanya. Deisiensi in sulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada
keadaan puasa, sedangkan deisiensi insulin prandial akan menimbulkan hiperglikemia
setelah makan.
Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap deisiensi
yang terjadi.
Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa darah basal
(puasa, sebe lum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral maupun insulin.
Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah basal adalah insu
lin basal (insulin kerja sedang atau panjang).
Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan dengan
menambah 24 unit setiap 34 hari bila sasaran terapi belum tercapai.
Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan A1C belum
mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa darah pran dial (mealrelated).
Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah prandial adalah in
sulin kerja cepat (rapid acting) atau insulin kerja pendek (short acting). Kombinasi
insulin basal dengan insulin prandial dapat diberikan subkutan dalam bentuk 1 kali
insulin basal + 1 kali insulin prandial (basal plus), atau 1 kali basal + 2 kali prandial
(basal 2 plus), atau 1 kali basal + 3 kali prandial (basal bolus).
Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan OHO untuk menurunkan glukosa
darah prandial seperti golongan obat peningkat sekresi insulin kerja pendek (golongan
glinid), atau penghambat penye- rapan karbohidrat dari lumen usus (acarbose).
Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan
respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian.

2. Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP1 merupa kan pendekatan baru untuk pengobatan
10

DM. Agonis GLP1 dapat bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin yang tidak
menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada
pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP1 bahkan mungkin menurunkan
berat badan. Efek agonis GLP1 yang lain adalah menghambat peng lepasan glukagon yang
diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti
memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini
antara lain rasa sebah dan muntah.

11

3. Bagaimana algoritma pada skenario dan obat yang tepat untuk pasien!
Jawab :
PERKENI (PERKUMPULAN ENDOKRINOLOGI INDONESIA)
Langkah-langkah penatalaksanaan:
- Begitu terdiagnosis Diabetes, pasien disarankan untuk memperbaiki pola hidupnya
menjadi lebih sehat. Diantaranya mengurangi konsumsi gula, meningkatkan konsumsi
serat serta rutin olahraga
- Berikutnya, perubahan pola hidup atau life style dievaluasi 2-3 bulan ke depan. Bila
terapi diberikan tambahan 1 macam obat anti diabetes (OAD).
- Dua sampai 3 bulan berikutnya dievaluasi lagi, bisa terapi gagal dibrikan 2 macam
OAD atau bisa diberikan 3 macam OAD disamping tetap menjaga pola hidup sehat.
- \\\Pemberian 3 macam OAD adalah berdasarkan pertimbangan:
Tidak tersedia insulin, Pasien menolak diberikan terapi insulin, Glukosa darah belum
terkontrol
-

Evaluasi dilakukan 2-3 bulan berikutnya, bila dengan 2 OAD gagal, terapi tetap
dilanjutkan dengan menambah suntikan insulin 1x sehari (insulin basal)
Bila dengan 3 macam OAD gagal, OAD tidak diberikan lagi. Pasien diterapi dengan 2
macam insulin, yaitu insulin basal (1x sehari) dan insulin prandial (3x sehari).

TERAPI DIKATAKAN GAGAL BILA: HbA1c belum mencapai Bila tidak dapat
dilakukan pemeriksaan HbA1c, hasil pemeriksaan kadar gula darah juga bisa
12

dipergunakan. Rata2 hasil beberapa pemeriksaan kadar gula darah dalam sehari bisa
dikonversi menjadi HbA1c. 6

13

4. Jelaskan interaksi obat pada DM tipe II! Beserta farmakokinetik, farmakodinamik dan
side effectnya!
Jawab :
INTERAKSI OBAT PADA DIABETES MELITUS TIPE 2
a. Insulin
Insulin kerja singkat dan kerja cepat merupakan larutan insulin zink Kristal yang regular
(injeksi insulin) yang biasanya dilarutkan dalam buffer pada pH netral. Sediaan ini
memilki onset kerja paling cepat tetapi durasinya paling singkat. Insulin kerja singkat
(yakni, regular atau mudah larut) biasanya harus diinjeksikan 30-45 menit sebelum
makan. Insulin regular juga dapat diberikan secara intravena atau intramuscular. Setelah
injeksi intravena, konsentrasi glukosa darah menurun dengan cepat, yang biasanya
mencapai titik terendah dalam waktu 20-30 menit. Tanpa adanya pemberian infus insulin
yang terus menurus, hormone akan segera menghilang, dan hormone regulasi yang
sifatnya berlawanan (glucagon, epinefrin, norepinefrin, kortisol, dan hormon
pertumbuhan) mengembalikan glukosa plasma ke konsentrasi awal dalam waktu 2-3 jam.
Tanpa adanya respon regulasi berlawanan yang normal (misalnya, pada pasien diabetes
neuropati autonom), glukosa plasma akan tetap tersupresi selama beberapa jam setelah
pemberian bolus insulin 0,15 U/kg, karena kerja insulin di sel lebih diperpanjang
melebihi bersihannya dari plasma. Infus insulin intravena bermanfaat untuk pasien
ketoasidosis atau jika kebutuhan insulin berubah secara cepat, seperti selama periode
perioperatif, selama proses persalinan dan pelahiran, dan situasi rawat intensif.
Ketika kondisi metabolic stabil, insulin regular biasanya diberikan secara subkutan
dalam kombinasi dengan sediaan kerja sedang atau kerja lama. Insulin kerja singkat
adalah satu-satunya bentuk horman yang dapat digunakan dalam pompa infus subkutan.
Formulasi buffer insulin regular yang khusus sudah dibuat untuk tujuan pompa infus
subkutan; sangat kecil kemungkinan formulasi ini untuk mengkristal di dalam tabung
selama dilakukan infus lambat pada jenis terapi ini.
Monomer-monomer insulin asli digabung sebagai heksamer pada sediaan insulin yang
ada sekarang. Heksamer ini memperlambat absorpsi dan mengurangi puncak injeksi
subkutan insulin setelah makan. Keadaan yang mengecewakan ini menstimulasi
perkembangan sejumlah analog insulin kerja singkat yang tetap memakai konfigurasi
monomer atau dimer. Sejumlah besar senyawa telah diteliti selama dasawarsa terakhir.
Di antara analog-analog yang diuji, insulin lispro (HUMALOG) dan insulin aspart
(NOVOLOG) menunjukkan keefektifan klinis. Analog insulin ini diabsorpsi 3 kali lebih
cepat dari tempat injeksi subkutan dibandingkan insulin manusia. Dengan demikian,
terjadi peningkatan konsentrasi insulin plasma yang lebih cepat dan respon hipoglikemia
yang lebih dini. Injeksi analog tersebut 15 menit sebelum makan memberikan kontrol
glikemik yang serupa dengan kontrol glikemik dari injeksi insulin manusia yang
diberikan 30 menit sebelum makan. Analog kerja singkat pertama yang tersedia secara
komersial adalah lispro, insulin manusia. Analog ini identik dengan insulin manusia
14

kecuali pada posisi B28 dan B29, yang urutan dua residunya dibalik agar sesuai urutan
IGF-1, yakni polipeptida yang tidak bergabung sendiri. Seperti insulin regular, lispro
terdapat dalam bentuk heksamer dalam sediaan di pasaran. Tidak seperti insulin regular,
lispro hampir terurai menjadi monomer setelah diinjeksi. Sifat ini menghasilkan absorpsi
khas yang cepat dan durasi kerja yang lebih singkat dibandingkan dengan insulin regular.
Suatu tinjauan terhadap pengamatan klinis dengan insulin lispro telah dipublikasikan.
Telah diketahui adanya dua keuntungan terapeutik lispro dibandingkan dengan insulin
regular. Pertama, prevalensi hipoglikemia diturunkan hingga 20%-30% dengan
penggunaan lispro; kedua, kontrol glukosa, seperti yang dinilai dari haemoglobin A1c
dengan penggunaan lispro membaik secara signifikan walaupun sedikit demi sedikit
(0.3-0.5%) dibandingkan dengan insulin regular. Insulin aspart dibuat dengan mengganti
prolin pada posisi B28 dengan asam aspartate. Penggantian ini menyebabkan
menurunnya self-association dibandingkan yang diamati denga lispro. Seperti halnya
lispro, insulin aspart segera terurai menjadi monomernya setelah diinjeksi.
b. Sulfonylurea
Sulfonylurea menyebabkan hipoglikemia dengan cara menstimulasi pelepasan insulin
dari sel pancreas. Namun, efeknya untuk pengobatan diabetes lebih kompleks.
Pemberian akut sulfonylurea ke pasien DM tipe 2 meningkatkan pelepasan insulin dari
pancreas. Sulfonilurea juga selanjutnya dapat meningkatkan kadar insulin dengan cara
mengurangi bersihan hormone di hati. Pada bulan-bulan awal pada pengobatan
sulfonylurea, kadar insulin plasma saat puasa dan respons insulin terhadap glukosa oral
meningkat. Pada pemberian kronis, kadar insulin dalam sirkulasi menurun dibandingkan
sebelum pengobatan, tetapi meskipun kadar insulin ini berkurang, penurunan kadar
glukosa plasma tetap dapat dipertahankan.
Hal ini belum dapat dijelaskan secara pasti, tetapi mungkin berkaitan dengan
menurunnya glukosa plasma yang menyebabkan insulin dalam sirkulasi memberikan
efek lebih nyata pada jaringan target, dan juga berdasarkan fakta bahwa hiperglikemia
kronis sendiri mengganggu sekresi insulin.
Harus dicatat bahwa tidak ada efek penstimulasi akut sulfonilurea yang terukur pada
sekresi insulin selama pengobatan klinis. Hal ini diduga karena berkurangnya afinitias
reseptor sulfonylurea di permukaan sel pada sel pancreas. Jika terapi sulfonylurea
kronis dihentikan, keresponsifan sel pancreas terhadap pemberian obat akut akan
kembali lagi. Sulfonylurea juga menstimulasi pelepasan somatostatin, dan senyawa ini
dapat sedikit mensupresi sekresi glucagon.
Efek sulfonylurea di awali dengan mengikat dan memblok saluran K + sensitive ATP,
yang telah diklon. Dengan demikian, obat ini menyerupai perangsang sekresi fisiologis
yang juga menurunkan kemampuan konduksi saluran ini. Berkurangnya konduksi K + ini
menyebabkan depolarisasi membrane dan influx Ca + melalui saluran Ca+ sensitive
tegangan.
Absorpsi, Nasib, dan Ekskresi
15

Senyawa-senyawa sulfonylurea memilki spectrum kerja yang mirip. Oleh karena itu,
sifat farmakokinetiknya merupakan karakteristiknya yang paling jelas. Walaupun
terdapat perbedaan dalam laju absorpsi sulfoniurea yang berbeda, semuanya diabsorpsi
secara efektif dari saluran gastrointestinal. Namun, makanan dan hiperglikemia dapat
mengurangi absorpsi sulfonylurea. Mengingat waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
konsetrasi optimal dalam plasma, sulfonylurea yang memilki waktu paruh singkat
mungkin lebih efektif jika diberikan 30 menit sebelum makan. Sulfonylurea sebagian
besar berikatan dengan protein, terutama albumin; ikatan protein plasma paling kecil
terhadap klorpropamida dan paling besar terhadap gliburida. Volume distribusi sebagian
besar sulfonylurea adalah sekitar 0.2 liter/kg.
Senyawa sulfonylurea generasi paruh dan tingkat metabolisme yang berbeda. Waktu
paruh asetoheksamida singkat, tetapi obat ini direduksi menjadi senyawa aktif dengan
waktu paruh yang serupa dengan waktu tolbutamida dan tolazamida. Obat-obat ini harus
diminum dalam dosis terbagi setiap hari. Klorpropamida memiliki waktu paruh yang
lama. Senyawa generasi kedua sekitar 100 kali lebih kuat daripada generasi pertama.
Walaupun waktu paruhnya singkat, efek hipoglikemianya terlihat selama 12 sampai 24
jam, dan hal ini memungkinkan untuk memberikan obat sekali sehari. Alasan
ketidaksesuaian antara waktu paruh dan durasi kerja obat-obat ini belum jelas.
Semua senyawa sulfonylurea dimetabolisme oleh hati, dan metabolitnya diekskresikan di
dalam urin. Metabolisme klorpropamida tidak sempurna, dan sekitar 20% obat ini
diekskresikan tanpa diubah. Oleh karena itu, sulfonylurea harus diberikan secara hati-hati
pada pasien insufisiensi ginjal atau hati.
c. Repaglinida
Repaglinida (Prandin) adalah perangsangan sekresi insulin oral dari golongan
meglitinida. Senyawa ini merupakan turunan asam benzoate, dan strukturnya tidak
berkaitan dengan senyawa sulfonylurea. Namun, seperti halnya sulfonylurea, repaglinida
menstimulasi pelepasan insulin dengan cara menutup saluran kalium bergantung ATP
pada sel pancreas. Obat ini diabsorpsi secara cepat dari saluran gastrointestinal; kadar
puncak dalam darah dicapai dalam waktu satu jam. Waktu paruh obat ini sekitar satu jam.
Sifat obat ini memungkinkan penggunaan multiple sebelum makan, seperti pendosisan
sulfonylurea klasik yakni sekali atau dua kali sehari. Repaglinida terutama
dimetabolisme oleh hati. Metabolit obat ini tidak memilki kerja hipoglikemia.
Repaglinida harus digunakan secara hati-hati pada pasien insufisiensi hati. Karena
sebagian kecil repaglinida dimetabolisme oleh ginjal, peningkatan dosis obat pada pasien
insufisiensi ginjal juga harus dilakukan secara hati-hati. Sama seperti sulfonylurea, efek
samping utama repaglinida adalah hipoglikemia.
d. Nateglinida
Nateglinida (Starlix) merupakan perangsang sekresi insulin turunan D-fenialanin yang
efektif secara oral. Seperti sulfonylurea dan repaglinida, nateglinida menstimulasi sekresi
insulin dengan cara memblok saluran kalium sensitif ATP pada pancreas. Nateglinida
mendorong sekresi insulin lebih cepat tapi kurang mempertahankannya dibandingkan
16

senyawa antidiabetes oral lainnya yang tersedia. Efek terapeutik utama obat ini adalah
mengurangi peningkatan glikemik setelah makan pada pasien DM tipe 2. Baru-baru ini
nateglinida telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) USA untuk
digunakan pada pasien DM tipe 2 dan paling efektif jika diberikan antara 1 sampai 10
menit sebelum makan dengan dosis 120 mg. Nateglinida terutama dimetabolisme oleh
hati, sehingga harus digunakan secara hati-hati pada pasien insufisiensi hati. Sekitar 16%
dosis yang diberikan diekskresi oleh ginjal sebagai obat yang tidak diubah. Penyesuaian
dosis tidak diperlukan pada pasien gagal ginjal. Penelitian awal menunjukkan bahwa
terapi nateglinida dapat menurunkan episode hipoglikemia dibandingkan dengan
perangsangan sekresi insulin oral lainnya yang tersedia.
e. Biguanida
Metformin (Glukophage) dan fenformin diperkenalkan pada tahun 1957 dan buformin
diperkenalkan pada tahun 1958. Buformin terbatas penggunaannya, tetapi metformin dan
fenformin digunakan secara luas. Fenformin ditarik di berbagai negara sekitar tahun
1970an karena menyebabkan asidosis laktat. Metformin jarang menyebabkan komplikasi
tersebut dan telah banyak digunakan di Eropa dan Kanada. Obat ini tersedia di Amerika
pada tahun 1995. Metformin yang diberikan tunggal atau kombinasi dengan sulfonylurea
memperbaiki kontrol glikemia dan konsentrasi lipid pada pasien yang merespons kurang
baik terhadap diet atau sulfonylurea saja.
Metformin terutama diabsorpsi dari usus kecil. Obat ini stabil, tidak berikatan dengan
protein plasma, dan diekskresi dalam bentuk tidak berubah di dalam urin. Waktu
paruhnya sekitar 2 jam. Dosis maksimal harian metformin yang dianjurkan di USA
adalah 2.5 g, diminum dalam tiga dosis bersama makanan.
Metformin bersifat antihiperglikemia, bukan hipoglikemia. Obat ini tidak menyebabkan
pelepasan insulin dari pancreas dan tidak menyebabkan hipoglikemia, bahkan dalam
dosis yang besar. Metformin tidak memiliki efek yang signifikan pada sekresi glucagon,
kortisol, hormon pertumbuhan, atau somatostatin. Metformin menurunkan kadar glukosa
terutama dengan cara mengurangi produksi glukosa di hati dan meningkatkan kerja
insulin di otot dan lemak. Mekanisme penurunan produksi glukosa di hati oleh
metformin masih kontroversial, tetapi banyak data menunjukkan efek penurunan glukosa
plasma dengan cara mengurangi reabsorpsi glukosa dari usus, tetapi kerja ini belum
terbukti memiliki relevansi klinis.
Pasien gangguan ginjal tidak boleh menerima metformin. Penggunaan obat ini
kontraindikasi pada pasien penyakit hati, riwayat asidosis laktat, gagal jantung yang
memerlukan terapi farmakologis, atau penyakit paru hipoksia kronis. Obat ini juga harus
dipertahankan selama 48 jam setelah pemberian medium kontras secara intravena. Obat
ini tidak boleh diberikan kembali hingga fungsi ginjal kembali normal. Semua kondisi ini
cenderung meningkatkan produksi laktat., sehingga dapat menyebabkan komplikasi
asidosis laktat fatal. Insiden asidosis laktat selama pengobatan metformin dilaporkan di
bawah 0.1 kasus per 10000 pasien per tahun, bahkan risiko motalitasnya lebih rendah.

17

Efek samping akut metformin, yang muncul hingga pada 20% pasien, meliputi diare rasa
tidak enak di perut, mual, rasa logam, dan anoreksia. Hal ini biasanya diminimalkan
dengan dengan cara meningkatkan dosis obat secara perlahan dan dimakan bersama
makanan. Absorpsi B12 dan folat dalam usus sering menurun selama terapi metformin
jangka panjang. Suplemen kalsium membalikan efek metformin terhadap absorpsi
vitamin B12.
f. Tiazolidinedion
Tiga senyawa tiazolidinedion telah digunakan dalam praktik klinis (troglitazon,
rosiglitazone, dan pioglitazone). Namun, senyawa pertama yang diperkenalkan
(troglitazon) ditarik dari penggunaannya karena menyebabkan toksisitas hati yang parah.
Tiadzolidinedion merupakan agonis selektif terhadap reseptor gamma yang diaktivasi
proliferator peroksisoma inti (nuclear peroxisome proliferator-activated receptor
gamma, PPAR). Obat ini berikatan dengan PPAR kemudian mengaktivasi gen
responsive-insulin yang mengatur metabolisme karbohidrat dan lipid. Tiazolidinedion
membutuhkan insulin untuk melakukan kerjanya. Tiazolidinedion menggunakan efek
utamanya dengan cara mengurangi resistensi insulin di jaringan perifer, tetapi juga
dilaporkan efeknya untuk menurunkan produksi glukosa hati. Tiazolidinedion
meningkatkan transport glukosa ke dalam otot dan jaringan adiposa dengan cara
meningkatkan sintesis dan translokasi bentuk protein transporter glukosa spesifik.
Tiazolidimedion juga dapat mengaktivasi gen yang mengatur metabolisme asam lemak
bebas di jaringan perifer. Kini sedang dilakukan penelitian untuk mengetahui jika
senyawa ini mengurangi resistensi insulin terutama melalui kerjanya terhadap
metabolisme asam lemak bebas.
g. Inhibitor Glukosidase
Inhibitor Glukosidase menurunkan absorpsi pati, dekstrin, dan sakarida di usus dengan
cara menghambat kerja -glukosidase pada mikrovili usus. Penghambatan enzim ini
memperlambat absorpsi karbohidrat; peningkatan glukosa plasmasetelah makan tidak
terjadi pada subjek normal dan diabetes.
Akarbosa (Precose), suatu oligosakarida yang berasal dari mikroba, dan miglitol
(Glyset), suatu turunan glukoamilase dan sukrase tetapi memilki efek yang lemah
terhadap -amilase pancreas. Kedua senyawa ini menurunkan kadar glukosa plasma
setelah makan pada subjek DM tipe I dan DM tipe II. Inhibitor -glukosidase dapat
memiliki efek yang besar terhadap kadar haemoglobin A1c pada pasien DM tipe 2
hiperglikemia yang parah. Namun, pada pasien dengan hiperglikemia yang ringan hingga
sedang, potensi penurun glukosa oleh inhibitor Glukosidase tidak menstimulasi
pelepasan insulin, sehingga tidak menyebabkan hipoglikemia. Senyawa ini dapat
dipertimbangkan sebagai terapi tunggal untuk pasien lanjut usia atau terutama pasien
hiperglikemia setelah makan. Inhibitor Glukosidase biasanya dikombinasikan dengan
senyawa antidiabetes oral lain dan/atau insulin. Obat ini harus diberikan saat mulai
makan. Obat ini diabsorpsi kurang baik.

18

Inhibitor Glukosidase menyebabkan malabsorpsi, flatulen, diare, dan perut kembung


terkait dosis. Pentitrasian dosis obat secara perlahan (25 mg saat mulai makan selam 4
sampai 8 minggu diikuti dengan peningkatan pada minggu ke-4 sampai ke-8 hingga 75
mg tiap sebelum makan) akan menurunkan efek samping gastrointestinal. Dosis yang
lebih kecil diberikan bersama kudapan. Akarbosa paling efektif jika diberikan dengan
makanan berpati, berserat tinggi dengan kandungan glukosa dan sukrosa yang terbatas.
Jika hipoglikemia terjadi saat Inhibitor Glukosidase digunakan bersama insulin atau
perangsang sekresi insulin, lebih baik diberikan glukosa daripada sukrosa, pati atau
maltose.
h. Glukagon
Glucagon berinteraksi dengan reseptor glikoprotein bermasa 60.000 dalton pada
membrane plasma sel target. Walaupun struktur pasti reseptor ini belum diketahui,
senyawa ini berinteraksi dengan protein pengatur pengikatan nukleotida guanine
stimulatori, G8, yang mengaktivasi adenil siklase. Efek utama glucagon pada hati
diperantarai oleh AMP siklik. Secara umum, modifikasi daerah amino-terminal glucagon
dan des-His1 menghasilkan molekul parsial yakni menjaga afinitas terhadap reseptor
glucagon tetapi kemampuannya untuk menstimulasi adenilil siklase sangat berkurang.
Fosforilase, yaitu enzim pembatas laju pada glikogenolisis, diaktivasi oleh glucagon
sebagai hasil fosforilasi distimulasi AMP siklik, sementara fosforilasi glikogen sintase
secara bersamaan akan menginaktivasi enzim tersebut; sehingga glikogenolisis
meningkat dan sintesis glikogen dihambat. AMP siklik juga menstimulasi transkripsi gen
untuk fosfoenolpiruvat karboksikinase, yang merupakan enzim pembatas laju pada
gluconeogenesis. Efek ini biasanya dilawan oleh insulin, dan jika kedua hormone ini
terdapat dalam konsentrasi maksimumnya, insulin lebih dominan.
AMP siklik juga menstimulasi fosforilasi enzim 6 fosfofrukto 2 kinase/fruktosa-2,6bifosfatase yang memilki dua fungsi. Enzim ini menentukan konsentrasi fruktosa 2, 6
bifosfat dalam sel, yang bekerja sebagai pengatur gluconeogenesis dan glikogenesis yang
kuat. Jika konsetrasi glucagon relative tinggi terhadap konsentrasi insulin, enzim ini
difosforilasi dan bekerja sebagai fosfatase, sehingga menurunkan konsentrasi fruktase,
sehingga menurunkan konsentrasi fruktosa-2,6-bifosfat di hati. Jika konsentrasi insulin
relative tinggi terhadap konsentrasi glucagon, enzim ini didefosforilasi dan bekerja
sebagai suatu kinase, sehingga menaikkan konsentrasi fruktosasa-2,6-bifosfat.
Fruktosasa-2,6-bifosfat berinteraksi secara alosterik dengan fosfofruktokinase-1, yaitu
enzim pembatas laju dalam glikolisis, sehingga meningkatkan aktivitasnya. Dengan
demikian, jika konsetrasi glukagon tinggi, glikolisis dihambat dan gluconeogenesis
distimulasi. Hal ini juga menyebabkan penurunan konsentrasi malonil CoA, stimulasi
oksidasi asam lemak, dan produksi badan keton. Sebaliknya, jika konsentrasi insulin
tinggi, glikolisis distimulasi serta glukoneogensis dan ketogenesis dihambat.
Selain efeknya pada hati, glucagon juga menggunakan efeknya ke jaringan, terutama
pada konsentrasi yang lebih tinggi. Pada jaringan adiposa, glucagon menstimulasi
adenilil siklase dan meningkatkan lipolysis. Pada jantung, glucagon meningkatkan daya
19

kontrasi. Glucagon memilki efek relaksan pada saluran gastrointestinal; hal ini teramati
dengan analog yang ternyata tidak menstimulasi adenilil siklase. Beberapa jaringan
memilki jenis reseptor glucagon kedua untuk pembentukan inositol trifosfat,
diasigliserol, dan Ca2+. Peran reseptor ini dalam pengaturan metabolisme masih belum
jelas.
i. Somatostatin
Somatostatin, yakni nama yang awalnya diberikan untuk peptide siklik yang
mengandung 14 asam amino, kini diketahui merupakan salah satu golongan peptide
sejenis. Senyawa-senyawa ini meliputi somatostatin asli (S-14), molekul peptide 28asam amino yang diperpanjang (S-28), dan fragmen yang mengandung 12 asam amino
awal pada somatostatin-28 [S-28 (1-12)]. Somatostatin-14 merupakan bentuk yang
dominonan di dalam otak, sedangkan somatostatin-28 adalh bentuk terbanyak di usus.
Somatostatin menghambat pelepasan hormone penstimulasi tiroid dan hormone
pertumbuhan dari kelenjar hipofisis, menghambat pelepasan gastrin, motilin, peptide
vasoaktif usus (vasoactive intestinal peptide, VIP), glisentin dan polipeptida
gastrointestinal dari usus serta menghambat pelepasan insulin, glucagon, polipeptida
pancreas, dan somatostatin dari pancreas.
Somatostatin yang disekresikan dari pancreas dapat mengatur fungsi hipofisis, sehingga
bekerja sebagai neurohormon sejati. Namun, di dalam usus, somatostatin bekerja sebagai
senyawa parakrin dengan cara memengaruhi fungsi sel-sel di dekatnya. Somatostatin
juga bekerja sebagai senyawa autokrin dengan cara menghambat pelepasannya sendriri
dari pancreas. Sel-sel D merupakan sel terakhir yang menerima aliran darah di pulau
pancreas; hal ini dikarenakan sel Dterletak di bagian hilir dari sel dan . Dengan
demikian, somatostatin hanya dapat mengukur sekresi insulin dan glucagon melalui
sirkulasi sistemik.
Somatostatin dilepaskan sebagai respons terhadap berbagai nutrient dan hormone yang
menstimulasi sekresi insulin, termasuk glukosa, arginine, leusin, glucagon, VIP,
kolesistokinin, dan bahkan tolbutamida. Peran fisiologis somatostatin belum diketahui
secara pasti. Jika diberikan dalam jumlah yang memberikan efek farmakologis,
somatostatin menghambat hampir semua sekresi endokrin dan eksokrin pancreas, usus
dan kandung empedu. Somatostatin juga dapat menghambat sekresi kelenjar saliva dan
pada kondisi tertentu, dapat menghambat sekresi paratiroid, kalsitonin, prolactin dan
ACTH. Sel lebih sensitive sekitar 50 kali terhadap somatostatin daripada sel , tetapi
penghambatan sekresi glucagon lebih bersifat sementara. Somatostatin juga menghambat
absorpsi nutrient dari usus, menurunkan motilitas usus, dan mengurangi aliran darah
visera.
j. Diazoksida
Diazoksida merupakan senyawa antihipertensi dan antidiuretic turunan benzotiadiazin
yang memiliki kerja hiperglikemia kuat jika diberikan secara oral. Hiperglikemia
terutama diakibatkan oleh penghambatan sekresi insulin. Diazoksida berinteraksi dengan
saluran K+ sensitive ATP, yakni mencegah penutupannya atau memperpanjang waktu
20

pembukaannya; efek ini berlawanan dengan efek sulfonylurea. Obat ini tidak
menghambat sintesis insulin, sehingga terjadi akumulasi insulin di dalam sel .
Diazoksida juga memilki kemampuan yang sedang untuk menghambat pemakaian
glukosa perifer oleh otot dan untuk menstimulasi gluconeogenesis di hati.
k. Prospektus
Peningkatan tajam pada DM tipe 2 mengharuskan pemfokusan kembali strategi klinis
untuk mengendalikan kadar glukosa plasma dan mencegah komplikasi penyakit ini. Uji
DPP merupakan penelitian klinis multisenter yang besar di USA yang ditujukan untuk
menentukan perubahan gaya hidup atau intervensi terapeutik (metformin) pada tahap
terganggunya toleransi glukosa (impaired glucose tolerance, IGT) dapat atau tidak dapat
mencegah onset diabetes. Uji besar lainnya (BARI 2, VA Cooperative Study) terfokus
pada penentuan kontrol metabolisme yang ketat dan golongan obat dapat atau tidak dapat
menurunkan penyakit makrovaskuler pada diabetes tipe 2. Kini tidak ada obat yang
diizinkan di USA untuk mengobati IGT. Jumlah penderita IGT di seluruh dunia sangat
banyak. Sekitar 5% penderita IGT menderita diabetes setiap tahunnya. Dengan demikian,
pilihan terapeutik apapun yang dapat mencegah transformasi IGT menjadi diabetes
sangat dinantikan.

21

5. Jelaskan faktor risiko DM pada skenario!


Jawab :
1) Faktor risiko yang berhubungan dengan penyakit DM tipe 2 yaitu memiliki riwayat
keluarga menderita DM, berusia 45, dan kurang berolahraga secara teratur.
2) Faktor risiko yang tidak berhubungan terhadap kejadian DM tipe 2 adalah jenis
kelamin, status gizi, riwayat hipertensi, riwayat dislipidemia, kebiasaan merokok, dan
kebiasaan mengonsumsi makanan dan minuman manis.
3) Faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian DM tipe 2 yaitu memiliki riwayat
keluarga menderita DM dan kebiasaan merokok.
4) Riwayat keluarga menderita DM dan kebiasaan merokok mempengaruhi kejadian DM
tipe 2 sebesar 75%.

22

6. Jelaskan monitoring pada pasien DM!


Jawab :
Monitoring adalah pemantauan yang dapat dijelaskan sebagai kesadaran (awareness) tentang
apa yang ingin diketahui, pemantauan berkadar tingkat tinggi dilakukan agar dapat membuat
pengukuran melalui waktu yang menunjukkan pergerakan ke arah tujuan atau menjauh dari
itu. Monitoring akan memberikan informasi tentang status dan kecenderungan bahwa
pengukuran dan evaluasi yang diselesaikan berulang dari waktu ke waktu, pemantauan
umumnya dilakukan untuk tujuan tertentu, untuk memeriksa terhadap proses berikut objek
atau untuk mengevaluasi kondisi atau kemajuan menuju tujuan hasil manajemen atas efek
tindakan dari beberapa jenis antara lain tindakan untuk mempertahankan manajemen yang
sedang berjalan.
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk
dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien,
keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan
perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang
komprehensif dan upaya peningkatan motivasi.

Evaluasi:

Anamnesis Gejala yang timbul,


Pola makan, status nutrisi, dan riwayat perubahan berat badan
Riwayat komplikasi akut
Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner, obesitas, dan

riwayat penyakit keluarga


Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi
Kehidupan seksual, penggunaan kontrasepsi, dan kehamilan.

Pemeriksaan Fisik

Pengukuran tinggi badan, berat badan, dan lingkar pinggang,


Pengukuran tekanan darah tidak lebih dari 130/80 mm Hg,
Evaluasi nadi,
23

Pemeriksaan funduskopi,
Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari.

Evaluasi Laboratoris / penunjang lain

Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial


HbA1C
Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, dan trigliserida)
Kreatinin serum
Albuminuria
Keton, sedimen, dan protein dalam urin
Elektrokardiogram
Elektromyelografi (EMG)

PEMANTAUAN GLUKOSA DARAH MANDIRI (PGDM)


Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah kapiler. Saat ini banyak dipasarkan
alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen kering yang umumnya sederhana dan mudah
dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai alat-alat tersebut dapat dipercaya
sejauh kaliberasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan dilakukan sesuai dengan cara
standar yang dianjurkan. Secara berkala, hasil pemantauan dengan cara reagen kering perlu
dibandingkan dengan cara konvensional. PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan
insulin atau pemicu sekresi insulin. Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada
tujuan pemeriksaan yang pada umumnya terkait dengan terapi yang diberikan. Waktu yang
dianjurkan adalah pada saat sebelum makan, 2 jam setelah makan (menilai ekskursi maksimal
glukosa), menjelang waktu tidur (untuk menilai risiko hipoglikemia), dan di antara siklus
tidur (untuk menilai adanya hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa gejala), atau ketika
mengalami gejala seperti hypoglycemic spells.

24

PENILAIAN PENGONTROLAN GLUKOSA (HbA1C)


Metode yang digunakan untuk menentukan pengontrolan glukosa pada semua tipe diabetes
adalah pengukuran glikat hemoglobin. Hemoglobin pada keadaan normal tidak mengandung
glukosa ketika pertama kali keluar dari sumsum tulang. Selama 120 hari masa hidup
hemoglobin dalam eritrosit, normalnya hemoglobin sudah mengandung glukosa. Bila kadar
glukosa meningkat diatas normal, maka jumlah glikat hemoglobin juga akan meningkat.
Karena pergantian hemoglobin yang lambat, nilai hemoglobin yang tingg menunjukkan
bahwa kadar glukosa darah tinggi selama 4 8 minggu. Nilai normal glikat hemoglobin
bergantung pada metode pengukuran yang dipakai, namun berkisat antara 3,5% hingga 5,5%.
Disarankan untuk menentukan referensi nilai untuk setiap laboratorium.

25

7. Jelaskan alur diagnosis dan interpretasi hasil pemeriksaan penunjang pada skenario!
Jawab :
Alur Diagnosis Diabetes Melitus
Anamnesis
Hal pertama yang perlu ditanyakan pada pasien curiga Diabetes Mellitus adalah gejala
yang timbul dalam perjalanan penyakit. Trias Diabetes Melitus (banyak minum, banyak
kencing dan penurunan berat badan) harus ditanyakan untuk mengarahkan diagnosis. Gejala
banyak minum dan banyak kencing sering didapatkan pada pasien Diabetes Mellitus, namun
penurunan berat badan baru akan dijumpai bila telah terjadi kegagalan pankreas mensekresi
insulin.
Pola makan, status nutrisi, dan riwayat perubahan berat badan penting untuk
ditanyakan. Pasien dengan Diabetes Mellitus tipe 2, sering dijumpai dalam kondisi berat
badan yang overweight hingga obesitas. Dalam patogenesisnya, resistensi insulin pada
Diabetes Mellitus tipe 2 memang diinduksi oleh lemak di adiposit yang mengalami hipertrofi.
Salah satu strategi kendali gula darah pada pasien Diabetes Mellitus tipe 2 adalah dengan
penurunan berat badan.
Data tentang hasil pemeriksaan laboratorium terdahulu meliputi: glukosa darah,
HbA1C, dan hasil pemeriksaan khusus yang terkait Diabetes Mellitus. Hasil laboratorium di
atas yang abnormal akan mengarahkan pada kecurigaan Diabetes Mellitus.
Riwayat pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya perlu digali secara lengkap,
termasuk gizi medis dan penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan Diabetes
Mellitus secara mandiri, serta kepercayaan yang diikuti dalam bidang terapi kesehatan.
Pasien sering mengaku mengkonsumsi obat-obat alternatif yang teradang berpengaruh pada
gula darah yang tidak terkontrol.
Jika pasien sudah mendapat pengobatan sebelumnya, sebaiknya ditanyakan
pengobatan apa saja yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan, perencanaan
makan dan program latihan jasmani.
Perlu ditanyakan riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar
hiperglikemia, dan hipoglikemia). Riwayat komplikasi akut perlu ditanyakan untuk
mengetahui kerentanan pasien menderita komplikasi akut di masa yang akan datang. Riwayat
komplikasi tertentu juga dapat memberikan informasi potensi adanya komplikasi kronik (eg.
gagal ginjal kronik).
Perlu ditanyakan riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus
urogenitalis serta kaki. Infeksi adalah komplikasi yang sering muncul pada pasien Diabetes
26

Mellitus. Kadar gula darah yang tinggi dan penurunan sistem imunitas pasien menjadi
keuntungan tersendiri bagi kuman.
Terkadang pasien datang sudah dalam kondisi Diabetes Mellitus dengan komplikasi
kronik. Penting untuk digali gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronis (komplikasi
pada ginjal, jantung, susunan syaraf, mata, saluran pencernaan, dll). Manajemen pasien
Diabetes Mellitus harus dilakukan secara komprehensif. Selain mengendalikan gula darah,
manajemen komplikasi kronik juga harus dikelola dengan baik.
Faktor risiko yang perlu ditanyakan diantaranya adalah merokok, hipertensi, riwayat
penyakit jantung koroner, obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit
Diabetes Mellitus dan endokrin lain).
Kehidupan seksual, penggunaan kontrasepsi, dan kehamilan adalah hal-hal spesifik
yang perlu digali dari anamnesis pasien Diabetes Melitus. Disfungsi ereksi adalah komplikasi
kronik yang sering muncul pada pasien Diabetes Melitus. Riwayat penggunaan kontrasepsi
juga perlu ditanyakan karena kontrasepsi hormonal terkadang dapat menyebabkan gangguan
kerja hormon insulin. Riwayat kehamilan juga perlu ditanyakan untuk mendeteksi Diabetes
Gestational.
Pemeriksaan Fisik
Komponen pemeriksaan fisik pada pasien Diabetes Mellitus meliputi:
1. Pengukuran tinggi badan, berat badan, dan linggar pinggang
2. Pemeriksaan ektremitas atas dan bawah, termasuk jari
3. Pemeriksaan funduskopi
4. Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid
5. Pemeriksaan jantung
6. Evaluasi nadi, baik secara palpasi maupun dengan stetoskop
7. Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan insulin) dan
pemeriksaan neurologis
8. Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi berdiri
untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik, serta ankle brachial index
(ABI), untuk mencari kemungkinan penyakit pembuluh darah arteri tepi
9. Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe lain

27

Pemeriksaan Penunjang
Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial
A1C
Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, dan trigliserida)
Kreatinin serum
Albuminuria
Keton, sedimen, dan protein dalam urin
Elektrokardiogram
Foto sinar-x dada
Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus

1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa
plasma 2 jam setelah beban antara 140 199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).
2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa
didapatkan antara 100 125 mg/dL (5,6 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula
darah 2 jam < 140 mg/dL.

28

Interpretasi Hasil Pemeriksaan Penunjang


Skenario
GDP
(mg/dL)

GD2PP
(mg/dL)
A1C (%)

Kolesterol
total
Kolesterol
LDL
Kolesterol
HDL
Trigliserida
(mg/dL)
IMT
(kg/m2)
Tekanan
darah
(mmHg)

Baik

Sedang

Buruk

Kunjungan I : 80 <100
118
Kunjungan II
10
bulan
kemudian :
156
110 114

100 - 125

>126

145 - 179

>180

Kunjungan I : <6,5
6,9
Kunjungan II
10
bulan
kemudian :
7,8
202
<200

6,5 8

>8

200 - 239

>240

119

<100

100 - 129

>130

38

>45

227

<150

150 - 199

>200

34

18,5 22,9

23 - 25

>25

138/80

<130/80

130-140/ 80-90

>140/90

29

30

8. Jelaskan terapi non-farmakologi pada DM Tipe II! Edukasi, lifestyle, cara motivasi
pasien, olahraga dan diet!
Jawab :
Terapi nonfarmakologi pada dasarnya adalah perubahan gaya hidup yang mencakup
pengaturan pola makan yang sering disebut sebagai edukasi, terapi gizi, latihan jasmani dan
berbagai masalah yang terkait tentang penyakit diabetes melitus. Terapi nonfarmakologi ini
sebagai dasar, dilakukan terus menerus mendampingi terapi farmakologi.
EDUKASI
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk
dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien,
keluarga dan masyarakat (PERKENI, 2006).
Tujuan dari edukasi pada pasien diabetes adalah mendukung usaha pasien penyandang
diabetes untuk mengerti perjalanan penyakitnya dan pengelolaannya, mengenali masalah
kesehatan / komplikasi yang mungkin timbul secara dini, pengelolaan penyakit secara
mandiri, dan perubahan perilaku / kebiasaan kesehatan yang diperlukan.
Edukasi pada penyandang diabetes meliputi pemantauan glukosa mandiri, perawatan
kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan, berhenti merokok, meningkatkan aktifitas fisik, dan
mengurangi asupan kalori dan diet tinggi lemak.
TERAPI GIZI
Terapi gizi merupakan bagian penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan
terapi gizi adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota Tim (dokter, ahli gizi, petugas
kesehatan yang lain serta diabetisi dan keluarganya). Setiap diabetisi sebaiknya mendapatkan
terapi nutrisi medis sesuai dengan kebutuhan guna mencapai sasaran terapi.
Terapi gizi ini pada dasarnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan
pada status gizi, kebiasaan makan, dan kondisi atau komplikasi yang telah ada.
Terapi gizi ini dapat dipakai sebagai pencegahan timbulnya diabetes bagi penderita yang
mempunyai risiko diabetes, terapi pada penderita yang sudah terdiagnosa diabetes (diabetisi)
serta mencegah atau memperlambat laju berkembangnya komplikasi diabetes.
Tujuan diet pada diabetes adalah:
a. Mencapai dan kemudian mempertahankan kadar glukosa darah mendekati kadar
normal.
b. Mencapai dan mempertahankan lipid mendekati kadar yang optimal.
c. Mencegah komplikasi akut dan kronik.
d. Meningkatkan kualitas hidup.
31

Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan yang seimbang,
sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing individu, dengan memperhatikan keteraturan
jadwal makan, jenis dan jumlah makanan. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
Karbohidrat
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.
Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari. Kalau
diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan lain sebagai bagian dari
kebutuhan kalori sehari.
Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan
melebihi 30% total asupan energi.
Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan
lemak trans antara lain : daging berlemak dan susu penuh (whole milk).
Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari.
Protein
Dibutuhkan sebesar 10 20% total asupan energi.
Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging tanpa lemak,
ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, tempe.
Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg BB
perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik tinggi.
Natrium
Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk
masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 g (1 sendok teh)
garam dapur.
Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg garam dapur.
Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet seperti
natrium benzoat dan natrium nitrit.
Serat
Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan mengonsumsi cukup
serat dari kacang-kacangan, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat,
karena mengandung vitamin, mineral, serat dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.
Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/1000 kkal/hari.

32

Prinsip Pembagian Porsi Makanan Pada Pasien DM


Disarankan porsi terbagi menjadi 3 porsi besar dan 3 porsi kecil.
3 porsi besar yang dimaksud adalah: makan pagi, makan siang, makan malam.
3 porsi kecil yang dimaksud adalah: makan selingan pagi, makan selingan siang, makan
selingan malam.

Bahan makanan yang dianjurkan


(1)

Sumber karbohidrat kompleks : nasi, roti, mie, kentang, singkong, ubi dan sagu.

(2)

Sumber protein rendah lemak : ikan, ayam tanpa kulit, susu skim, tempe, tahu, dan

kacang-kacangan
(3)

Sumber lemak dalam jumlah terbatas yaitu makanan yang mudah dicerna. Makanan

terutama diolah dengan cara dipanggang , dikukus, disetup, direbus, dibakar.


(4)

Buah, contoh: apel, pisang, pir, jeruk, buah naga.

(5)

Sayuran dibagi 2 golongan : sayur golongan A dan golongan B


(a) Sayur golongan A bebas dikonsumsi, sangat sedikit mengandung energy, protein,
karbohidrat. Jenis sayuran gol A: oyong, lobak, selada, jamur segar, mentimun,
tomat, sawi, tauge, kangkung, kembang kol, kol, lobak, labu air
(b)Sayur golongan B boleh dikonsumsi, tapi hanya 100 gram/hari. Jenis sayuran gol
B diantaranya: buncis, labu siam, nangka muda, jagung muda, kacang kapri,
daun beluntas, bayam, kacang panjang, wortel.

Bahan makanan yang tidak diaanjurkan (dibatasi/dihindari)


(1)

Mengandung banyak gula sederhana seperti :


33

(a) Gula pasir, gula jawa


(b)

Sirup, jelly, buahn-buahan yang diawetkan dengan gula , susu kental manis,
minuman botol ringan dan es cream

(c) Kue-kue
(2)

Mengandung banyak lemak : cake, makanan siap saji, goreng-gorengan.

LATIHAN JASMANI
Latihan Jasmani Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu. Olahraga yang
disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval, Progressive,
Endurance Training). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi
maksimal (220-umur), disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita. Beberapa
contoh olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan
lain sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan selama total 30-40 menit per hari
didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan antara 5-10 menit. Olah
raga akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh
dan juga meningkatkan penggunaan glukosa.
CARA MEMOTIVASI PASIEN AGAR PATUH DALAM TATALAKSANA DM
Untuk memotivasi pasien agar pasien patuh untuk mengatasi penyakitnya sendiri yaitu
dengan dorongan dari internal dan juga external.
Segi penderita (internal)
Usaha yang dapat dilakukan penderita DM untuk meningkatkan kepatuhan dalam menjalani
terapi diet, olahraga dan pengobatan yaitu :
1)

Meningkatkan kontrol diri.


Penderita DM harus meningkatkan kontrol dirinya untuk meningkatkan ketaatannya

dalam menjalani pengobatan, karena dengan adanya kontrol diri yang baik dari penderita DM
34

akan semakin meningkatkan kepatuhannya dalam menjalani pengobatan. Kontrol diri yang
dilakukan meliputi kontrol berat badan, kontrol makan dan emosi.

2)

Meningkatkan efikasi diri.


Efikasi diri dipercaya muncul sebagai prediktor yang penting dari kepatuhan. Seseorang

yang mempercayai diri mereka sendiri untuk dapat mematuhi pengobatan yang kompleks
akan lebih mudah melakukannya.
3)

Mencari informasi tentang pengobatan DM


Kurangnya pengetahuan atau informasi berkaitan dengan kepatuhan serta keinginan dari

penderita untuk mencari informasi mengenai DM dan terapi medisnya, informasi tersebut
biasanya didapat dari berbagai sumber seperti media cetak, elektronik atau melalui program
pendidikan di rumah sakit. Penderita DM hendaknya benar-benar memahami tentang
penyakitnya dengan cara mencari informasi mengenai tatalaksana penyakitnya tersebut.
4) Meningkatkan monitoring diri
Penderita DM harus melakukan monitoring diri, karena dengan monitoring diri,
penderita dapat lebih mengetahui tentang keadaan dirinya seperti keadaan gula dalam
darahya, berat badan, dan apapun yang dirasakanya.
Segi tenaga medis (external)
Usaha-usaha yang dilakukan oleh orang-orang di sekitar penderita DM untuk
meningkatkan kepatuhan dalam menjalani pengobatan antara lain :
1) Meningkatkan keterampilan komunikasi para dokter
Salah satu strategi untuk meningkatkan kepatuhan adalah memperbaiki komunikasi
antara dokter dengan pasien. Ada banyak cara dari dokter untuk menanamkan kepatuhan
dengan dasar komunikasi yang efektif dengan pasien.
35

2) Memberikan informasi yang jelas kepada pasien tentang penyakitnya dan cara
pengobatanya. Tenaga kesehatan, khususnya dokter adalah orang yang
berstatus

tinggi

3) Bagi kebanyakan pasien dan apa yang ia katakan secara umum diterima sebagai
sesuatu yang sah atau benar.
3)

Memberikan dukungan sosial


Tenaga kesehatan harus mampu mempertinggi dukungan sosial. Selain itu keluarga dan

orang terdekat pasien juga ikut dilibatkan dalam memberikan dukungan kepada pasien,
karena hal tersebut juga akan menigkatkan kepatuhan, bahwa dukungan tersebut bisa
diberikan dengan bentuk perhatian dan memberikan nasehatnya yang bermanfaat bagi
kesehatannya.

PENGARUH OLAHRAGA DAN DIET


MANFAAT OLAHRAGA PADA PASIEN DM TIPE II
Mengontrol kadar gula darah, terutama pada DM tipe II yang melakukakn olahraga
secara teratur maka monitoring kada gula darah HbA1C mengalami perbaikan. Glukosa
darah dibakar menjadi energi sehingga sel-sel menjadi lebih sensitif terhadap insulin.
Menghambat dan memperbaiki faktor risiko penyakit kardiovaskular yang banyak terjadi
pada penderita DM, olahraga dapat membantu memperbaiki profil lemak darah,
menurunkan kolestrol total.
Menurunkan berat badan sehingga dapat memperbaiki resistensi insulin, mengontrol
kadar gula darah dan menghambat risiko dari terjadinya penyakit PJK.
Mengurangi rasa cemas terhadap penyakitnya sehingga kualitas hidupnya mengingkat
meskipun ia penderita DM menahun.

36

MANFAAT DIET TERHADAP PASIEN DM TIPE II


Mengendalikan kadar glukosa darah dan lemak darah agar komplikasi diabetes dapat
dicegah atau ditunda
Mendapatkan dan mempertahankan BB normal atau ideal
Menghasilkan status gizi yang adekuat
Menghasilkan kebugaran dan membuat tubuh merasa lebih nyaman karena pengendalian
gula darah dapat menghilangkan keluhan mudah lelah, sering pusing atau sakit kepala,
kram, kesemutan, gatal-gatal dan sebagainya.

37

9. Jelaskan tatalaksana dan komplikasi yang timbul pada skenario!


Jawab :
Hipoglikemia
Adalah suatu keadaan klinik gangguan sarafyang disebabkan penurunan glukosa
darah. Gejala dapat ringan berupa gelisah sampai berat berupa koma disertai kejang.
Penyebab tersering hipglikemia adalah akibat obat hipoglikemik oral golongan
sulfonilurea, khususnya klorpopamida dan glibenklamida.
Penyebab hipoglikemia :
- Makan kurang dari aturan yang ditentukan
- Berat badan turun
- Sesudah olahraga
- Sesudah melahirkan
- Sembuh dari sakit
- Makan obat yang mempunyai sifat serupa
- Pemberian suntikan insulin yang tidak tepat
Pengobatan hipoglikemia
Pada keadaan apapun pengobatan yang paling baik adalah pencegahan. Bila
hypokalemia telah terjadi maka pengobatan harus segera dilaksanankan terutama
gangguan terhadap otak yang paling sensitive terhadap penurunan glukosa darah :
a) Stadium permulaan (sadar)
Pemberian gula murni 30 g (2 sendok makan) atau sirup, permen dan makanan
yang mengandung hidrat arang.
Stop obat hipoglikemik, periksa glukosa darah sewaktu dan pemulihan ulang
setiap 4 jam setelah 24 jam penderita OADperlu dikaji ulang.
b) Stadium lanjut (koma hipoglikemi)
Penanganan keadaan darurat ini harus cepat dan tepat. Berikan larutan glukosa
40% sebanyak 2 flakon, intravena setiap 10-20 menit hingga pasien sadar
disertai pemberian cairan dextrose 10% per infus 6 jam per kolf, untuk
mempertahankan glukosa darah dalam nilai normal atau diatas normal. Bila
belum teratasi dapat diberikan antagonis insulin seperti : adrenalin, kortison
dosis tinggi atau glucagon 1 mg intravena tetapi sebaiknya penggunaan
adrenalin perlu dibatasi mengingat efek sampingnya.
1. Hipergilkemia
a. Ketoasidosis Diabetik (KAD)
Adalah defisiensi insulin berat dan akut dari suatu perjalanan penyakit dm.
timbulnya KAD merupakan ancaman kematian bagi penyandang DM.
Pengobatan :
- Rehidrasi
Rehidrasi cepat merpakan tindakan awak yang harus segera dilakukan.
Cairan yang dipilih adalah NaCl 0,9%, meskipun ada pendapat lebih baik
digunakan 0,45%. Pemberian cairan sebanyak 1 liter pada 30 menit pertama
kemudian 0,5 liter pada 30 menit kedua, jadi berjumlah 3 liter pada jam
38

pertama. Setelah itu cairan diberikan sesuai tingkat dehidrasi. Pada


permulaan diagnosis,plasma expander sangat berguna pada keadaan syok.
Bila kadar glukosa darah <200 mg/dl, NaCl 0,9% segera diganti dengan
dextrose 5%.
- Insulin
Insulin mulai diberikan pada jam ke-2, dalam bentuk bolus (IV) dosis 180
mU/Kg BB, dilanjutkan dengan drip insulin 90 mU/jam/kgBB dalam NaCl
0,9%. Bila glukosa darah <200 mg/dl, kecepatan dikurangi menjadi 45
mU/KgBB. Bial glukos darah stabil sekitar 200-300 mg/dl selama 12 jam,
dilanjutkan dengan drip insulin 1-2 unit/jam dan dilakukan penyesuaian
kebutuhan insulin setiap 6 jam.
- Bikarbonas
Koreksi natrium bikarbonat dilakukan bila pH <7,1. Pemberian bikarbonas
berlebihan dan tidak tepat akan menimbulkan asidosis serbral.
- Kalium
Pemberiaan kalium agak penting terutama pada pasien yang tidak
mengalami syok. Cara pemberian tergantung skema pengobatan yang
dipergunakan. Sumplementasi kalium dapat dilakukan perinfus atau bila
pasien sadar dapat diberikan peroral. Bila pH naik, kalium akan turun oleh
karena itu pemberian Natrium Bikarbonat disertai dengan pemberian kalium.
- Antibiotika
Untuk mencegah infeksi atau meluasnya infeksi maka sebaiknya antibiotika
adekuat diberikan pada waktu permulaan. Bila keadaan tidak
mememungkinkan dapat diberikan sefalosporin 2-3 g IV per hari atau
floxacine sambil emnungu hasil mikroba dan resistensinya.
- Pengobatan KAD dengan infuse insulin dosis rendah
b. Hiperglikemik Non-Ketotik (HNK)
HNK ditandai dengan hiperglikemia berat non ketotik atau ketotik atau asidosis
sedang.pada keadaan lanjut dapat mengalami koma. Koma hyperosmolar
hiperglikemia nonketotik ialah sindrom yang ditandai hiperglikemia berat,
hyperosmolar, dehidrasi berat tanpa ketoasidosisdisertai menurunnya kesadaran.
Pengobatan :
- Cairan
1) NaCl
Bisa diberikan cairan isotonic atau hipotonik normal, diguyur
1000ml/jam sampai keadaan dimana cairan intravaskular dan perfusi
jarinagn mulai membaik, baru diperhitungkan kekuranganya dan
diberikan dalam 12-48 jam. Pemberian cairan isotonic harus mendapat
pertimbangan untuk pasien dengan kegagalan jantung, penyakit ginjal
atau hypernatremia. Untuk memonitor rehidrasi dengan baik sebaiknya
dipasang CVP monitoring.
2) Glukosa 5% diberikan pada waktu kadar gula drah sekitar 200-250mg%
- Insulin
Pada saat ini para ahli menganggap hyperosmolar hiperglikemik non ketotik
sensitive terhadap insulin dan diketahui pula bahwa terapi dengan insulin
dosis rendah pada ketoasidosis diabetic sangat bemanfaat, maka
39

penatalaksanaan terapi bisa menggunakan skema mirip protocol terapi


ketoasidosis diabetic dapat digunakan tanpa menggunakan bolus insulin.
Pembelian insulin drip sangat dianjurkan dengan monitoring yang tepat.
Kalium
Kalium darah harus dimonitor dengan baik, segera tampak fungsi membaik
maka perhitungan kekurangan harus segera diberikan.
Hindari infeksi sekunder
Hati-hati dengan suntikan, pemasangan infus set, kateter dan lain-lain.

Komplikasi akut DM berupa hipoglikemia dan hiperglikemia asidosis maupun non-ketotik


mempunyai angka kematian yang tinggi disebabkan karena ketidaktahuan pasien faktor
keterlambatan datang ke rumah sakit. Angka kematian yang sangat tinggi dapat dicegah
dengan informasi penyakit DM secar umum, melakukan edukasi dan self monitoring gula
darah yang tepat bagi pasien-pasien. Didalam mengobati komplikasi akut ini perlu mencari
factor penyebabnya agar dapat memberikan pengobatan yang tepat untuk penyakit penyerta
serta mencegah terulangnya episode komplikasi akut ini pada masa yang akan datang.

40

10. Jelaskan kesesuaian terapi dengan kondisi pasien!


Jawab :

Metformin
(500-850 mg)
(Gol.Biguanid)

Acarbose
(50-30 mg)
(Gol.Penghamba
t alfa glukosidse)

EFIKASI
Menurunkan
produksi
glukosa di hepar

KEAMANAN
Aman
bagi
penderita DM
tanpa gangguan
fungsi ginjal dan
hati.

KESESUAIAN BIAYA
Dapat
Terjangkau
menurunkan
berat
badan
meskipun belum
diketahui
mekanisme yang
jelas
Menurunkan
Aman
karena Efektif
bagi Mahal
glukosa plasma walaupun terjadi pasien dengan
post
prandial, efek samping, diet tinggi kH
pada DM tipe 2 akan
dan kadar GDP
dapat
menghilang
<180 mg/dL
menurunkan
setelah
HbA1c secara pengobatan
bermakna
lebih lama

1. Biguanid
Nama obat: Metformin
Merk dagang: Glucophage, Diabex, Neodipar.
Dosis harian: 250-3000 mg
Lama Kerja: 6-8 jam
Frekuensi pemberian: 1-3
Efek samping: nausea, muntah-muntah, kadang diare.

Kontra indikasi :

Gangg. Fungsi ginjal (kreainin: >1,5 mg/dL bagi laki2 dan >1,4 mg/dL bagi
perempuan)

Dehidrasi
41

Gangg. Fungsi hati

Asidosis metabolik

Usia Lanjut

Gagal jantung

Edukasi: Obat ini sebaiknya diberikan bersama makanan.

2. Penghambat alfa glukosidase


Nama obat: Acarbose
Merk dagang: Glucobay
Dosis harian: 50-300 mg
Lama kerja: 1-3 jam
Frekuensi pemberian: Efek samping: perut kurang enak, lebih banyak flatus, kadang diare.
Edukasi: Obat ini sebaiknya diberikan dengan dosis awal 50 mg dan dinaikan secara
bertahap, serta dianjurkan untuk memberikannya bersama suap pertama setiap kali
makan.

42

11. Jelaskan cara mengevaluasi hasil pengobatan pada pasien!


Jawab :
Evaluasi medis secara berkala
Jasmani lengkap
Mikroalbuminuria
Kreatinin
Albumin / globulin dan ALT
Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, dan trigliserida
EKG
Foto sinar-X dada
Funduskopi
Penilaian hasil terapi
Dalam praktek sehari-hari, hasil pengobatan DM tipe 2 harus dipantau secara terencana
dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah:
Pemeriksaan kadar glukosa darah
Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi. Guna
mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa, glukosa 2
jam post prandial, atau glukosa darah pada waktu yang lain secara berkala sesuai dengan
kebutuhan.
Pemeriksaan A1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin, atau hemoglobin
glikosilasi (disingkat sebagai A1C), merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek
perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat digunakan untuk menilai hasil
pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan, minimal 2
kali dalam setahun.
Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)
Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah kapiler. Saat ini banyak dipasarkan
alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen kering yang umumnya sederhana dan mudah
dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai alat-alat tersebut dapat dipercaya
sejauh kaliberasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan dilakukan sesuai dengan cara
standar yang dianjurkan. Secara berkala, hasil pemantauan dengan cara reagen kering perlu
dibandingkan dengan cara konvensional. PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan
insulin atau pemicu sekresi insulin. Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada
tujuan pemeriksaan yang pada umumnya terkait dengan terapi yang diberikan. Waktu yang
dianjurkan adalah pada saat sebelum makan, 2 jam setelah makan (menilai ekskursi maksimal
glukosa), menjelang waktu tidur (untuk menilai risiko hipoglikemia), dan di antara siklus
tidur (untuk menilai adanya hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa gejala), atau ketika
mengalami gejala seperti hypoglycemic spells. Prosedur PGDM dapat dilihat pada tabel 5.
PDGM terutama dianjurkan pada:
- Penyandang DM yang direncanakan mendapat terapi
insulin
- Penyandang DM dengan terapi insulin berikut
o Pasien dengan A1C yang tidak mencapai
target setelah terapi
43

o Wanita yang merencanakan hamil


o Wanita hamil dengan hiperglikemia
o Kejadian hipoglikemia berulang
32 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2
Table 5. Prosedur pemantauan

*ADA menganjurkan pemeriksaan kadar glukosa darah malam hari (bedtime)


dilakukan pada jam 22.00
Pemeriksaan Glukosa Urin
Pengukuran glukosa urin memberikan penilaian yang tidak langsung. Hanya digunakan pada
pasien yang tidak dapat atau tidak mau memeriksa kadar glukosa darah. Batas ekskresi
glukosa renal rata-rata sekitar 180 mg/dL, dapat bervariasi pada beberapa pasien, bahkan
pada pasien yang sama dalam jangka waktu lama. Hasil pemeriksaan sangat bergantung pada
fungsi ginjal dan tidak dapat dipergunakan untuk menilai keberhasilan terapi.
Pemantauan Benda Keton
Pemantauan benda keton dalam darah maupun dalam urin cukup penting terutama pada
penyandang DM tipe 2 yang terkendali buruk (kadar glukosa darah >300 mg/dL).
Pemeriksaan benda keton juga diperlukan pada penyandang diabetes yang sedang hamil. Tes
benda keton urin mengukur kadar asetoasetat, sementara benda keton yang penting adalah
asam beta hidroksibutirat. Saat ini telah dapat dilakukan pemeriksaan kadar asam beta
Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2
hidroksibutirat dalam darah secara langsung dengan menggunakan strip khusus. Kadar asam
beta
hidroksibutirat darah <0,6 mmol/L dianggap normal, di atas 1,0 mmol/L disebut ketosis dan
melebihi 3,0 mmol/L indikasi adanya KAD. Pengukuran kadar glukosa darah dan benda
keton secara mandiri, dapat mencegah terjadinya penyulit akut diabetes, khususnya KAD.
Pemantauan Berat Badan
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang
dimodifikasi adalah sbb:
Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di
bawah 150 cm, rumus dimodifikasi menjadi :
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
44

BB Normal : BB ideal 10 %
Kurus : < BBI - 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).
Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus:
IMT = BB(kg)/ TB(m2)
Klasifikasi IMT*
BB Kurang < 18,5
BB Normal 18,5-22,9
BB Lebih 23,0
o Dengan risiko 23,0-24,9
o Obes I 25,0-29,9

45

BAB III
Kesimpulan

46

DAFTAR PUSTAKA
Goodman, Gilman.2015.Dasar Famakologi Terapi.Jakarta:EGC
Michele Woodley, Alison Whelan. 1995. Pedoman Pengobatan. Yogyakarta : Yayasan
Essentia Medica.
PERKENI. Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia; 2011.
PERKENI. Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia; 2006.
Soewondo Pradana, Soegondo Sidartawan, dan Subekti Imam. 2013. Penatalaksanaan
Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta: FKUI.
Sudoyo, Aru W. 2009. BUKU AJAR ILMU PENYAKIT DALAM jilid 3. Jakarta : InternaPublishing

Sylvia A Price, Lorraine M Wilson. 2003. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
edisi 6 Volume 2. Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC.

47

Anda mungkin juga menyukai