Anda di halaman 1dari 199

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

Jurnal RechtsVinding merupakan majalah ilmiah hukum yang memuat naskah-naskah di bidang hukum.
Jurnal RechtsVinding terbit secara berkala tiga nomor dalam setahun di bulan April, Agustus, dan Desember.
Pembina
Adviser

Dr. Wicipto Setiadi, S.H., M.H.


Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI

Pemimpin Umum
Chief Executive Officer

Yunan Hilmy, S.H., M.H.


Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional BPHN

Wakil Pemimpin Umum


Vice Chief Executive Officer

Widya Oesman, S.H., M.H.

Pemimpin Redaksi
Editor in Chief

Arfan Faiz Muhlizi, S.H., M.H. (Hukum Tata Negara, BPHN, Jakarta)

Anggota Dewan Redaksi


Editorial Board

Marulak Pardede, S.H., M.H. (Hukum Bisnis, BPHN, Jakarta)


Mosgan Situmorang, S.H., M.H. (Hukum Bisnis, BPHN, Jakarta)
Ahyar Ari Gayo, S.H., M.H. (Hukum Islam, BPHN, Jakarta)

Mitra Bestari
Peer Reviewer

Prof. Dr. IBR Supancana, S.H., M.H. (Hukum Perdata Internasional, Universitas Atma
Jaya, Jakarta)
Prof. Dr. Sulistyawati Irianto, S.H., LL.M. (Antropologi Hukum, Universitas Indonesia,
Jakarta)
Dr. Hadi Subhan, S.H., M.Hum. (Hukum Perdata, Universitas Airlangga Surabaya)
Prof. Dr. Rianto Adi, S.H., M.A. (Sosiologi Hukum, Universitas Atma Jaya, Jakarta)
Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., (Hukum Tata Negara, Universitas Indonesia, Jakarta)
Dr. Taufiqurrohman Syahuri, S.H., M.H. (Hukum Tata Negara, Komisi Yudisial, Jakarta)

Redaktur Pelaksana
Managing Editor

Nunuk Febriananingsih, S.H., M.H.

Sekretaris
Secretaries

Tyas Dian Anggraeni, S.H.,M.H.


Apri Listiyanto, S.H.

Tata Usaha
Administration

Ade Irawan Taufik, S.H.


Masnur Monika Malau, S.H., M.H.
Endang Wahyuni Setyawati, S.E.
Eko Noer Kristiyanto, S.H., M.H.
Dwi Agustine, S.H., M.H.

Desain Layout
Layout and cover

Iis Trisnawati, A.Md.

Alamat:
Redaksi Jurnal RechtsVinding
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI
Jl. Mayjen Sutoyo Cililitan Jakarta, Telp.: 021-8091908 ext.105, Fax.: 021-8002265
e-mail: jurnal_rechtsvinding@bphn.go.id; jurnalrechtsvinding@yahoo.co.id; jurnalrechtsvinding@gmail.com
website: www.rechtsvinding.bphn.go.id

Isi Jurnal RechtsVinding dapat dikutip dengan menyebutkan sumbernya


(Citation is permitted with acknowledgement of the source)

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

PENGANTAR REDAKSI

BP
HN

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas perkenan-Nya, Jurnal Rechtsvinding (JRV) Volume 3 Nomor 2
Tahun 2014 ini bisa diterbitkan dengan menyajikan artikel-artikel bertema Kesiapan Hukum Nasional
Dalam Menghadapi ASEAN Community 2015. Tema ini dipilih mengingat semakin mendekatnya
pelaksanaan ASEAN Community 2015, tetapi masih banyak persoalan yang belum diselesaikan, baik
secara yuridis maupun struktural.

lR
ec
hts
V

ind

ing

Terdapat optimisme sekaligus pesimisme yang tergambar dalam beberapa artikel edisi kali ini.
Optimisme terlihat dalam tulisan Syprianus Ariesteus yang berharap bahwa dengan adanya perdagangan
bebas, interaksi antarnegara dalam perdagangan menjadi lebih intensif tanpa harus dibatasi oleh
peraturan yang membelenggu di dalam negeri negara tujuan. Untuk itu harus segera dijalankan
sebuah transformasi industrialisasi berdasarkan sebuah kebijakan yang selektif untuk menjalankannya.
Syprianus Aristeus menawarkan peleburan Kementerian Perindustrian dan Perdagangan menjadi
satu agar ada satu kebijakan industri yang kuat dan bahwa kebijakan perdagangan dan investasi harus
menginduk kepada kebijakan industri. Senada dengan ini, Masnur Tiurmaida Malau yang melihat
pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN di 2015 menuntut upaya-upaya persiapan yang maksimal
dari negara-negara anggotanya terutama dari sisi perangkat hukum di berbagai sektor seperti lalu
lintas barang dan modal, tenaga kerja terampil dan penurunan bea masuk (tariff barrier). Begitu juga
dengan Subianta Mandala memandang pendekatan konsensus atau musyawarah untuk mufakat
perlu diubah model pendekatan yang berlandaskan aturan hukum (rules-based) dalam menghadapi
MEA ini, termasuk kerangka hukum penyelesaian sengketa. Salah satu mekanisme penyelesaian
sengketa yang menarik dibahas adalah mekanisme penyelesaian sengketa utang piutang pajak yang
memposisikan negara sebagai Kreditor. Hal ini lebih jauh dibahas oleh B.G.M. Widipradnyana Arjaya
yang menawarkan penyelesaian sengketa melalui prosedur kepailitan dengan mengoptimalkan peran
Kejaksaan.

Pendekatan yang berlandaskan aturan hukum sebagaimana ditawarkan Subianta Mandala juga
didukung oleh Muhammad Sapta Murti yang memandang perlunya penataan regulasi akibat tumpang
tindih regulasi di Pulau Batam. Tumpang tindih regulasi tersebut melahirkan dua otoritas yang justru
menghambat pembangunan. Dengan memberikan perhatian pada hal ini maka diharapkan cita-cita
menjadikan Batam sebagai jalur perdagangan internasional dapat berhasil.

Jur

na

Di sisi lain pesimisme pelaksanaan MEA 2015 juga tergambar dalam beberapa artikel seperti Harison
Citrawan dan Ade Irawan Taufik. Harison Citrawan menunjukkan bahwa interaksi perlindungan HAM
di tingkat regional dengan nasional akan sia-sia apabila tidak diikuti dengan tingkat kepatuhan hukum
(legal compliance) negara-negara anggota ASEAN terhadap norma dan prinsip HAM di tingkat domestik.
Terdapat kebutuhan akan harmoni dalam reposisi politik hukum HAM baik di tingkat nasional dan
regional, agar dapat diimplementasikan. Sementara Ade Irawan Taufik menyoroti isu ketenagakerjaan,
khususnya masih menonjolnya perlakuan yang tidak manusiawi terhadap pekerja migran. Untuk itu
Piagam ASEAN perlu dielaborasi lebih jauh agar terwujud konsensus dalam penyusunan instrumen
perlindungan hak pekerja migran, meski terdapat pesimisme bahwa dukungan dan komitmen negara
anggota ASEAN masih relatif rendah. Pesimisme terkait isu ketenagakerjaan ini kemudian dibahas
lebih jauh oleh Muhammad Fadli dengan meningatkan perlunya menjalankan amanat Undang-

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan untuk memberikan pelatihan kerja serta
pembentukan Badan Nasional Sertifikasi Profesi yang bertugas mempersiapkan tenaga kerja terampil,
berkualitas dan berdaya saing serta diakui oleh negara ASEAN lainnya dalam menghadapi Masyarakat
Ekonomi ASEAN 2015. Mekanisme perlindungan ketenagakerjaan lainnya ditawarkan oleh Budi S.P.
Nababan dengan mengatur Tenaga Kerja Asing (TKA) melalui Peraturan Daerah (Perda). Menurutnya
perlu Perda tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan TKA agar daerah bisa memungut
retribusi terhadap perpanjangan izin bekerja para TKA, sebab tanpa adanya pengaturan maka tidak
ada dasar yuridis bagi Pemerintah Daerah untuk memungutnya. Hal ini juga merupakan salah satu
bentuk pengawasan TKA di Indonesia.

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

ing

Semoga gagasan-gagasan yang dituangkan melalui berbagai judul artikel di Volume 3 Nomor 2
Tahun 2014 ini dapat memperkaya khasanah pemikiran hukum dan sekaligus bermanfaat bagi langkahlangkah antisipatif menghadapi pelaksanaan ASEAN Community 2015.

ii

Redaksi

DAFTAR ISI

BP
HN

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

Pengantar Redaksi...............
Daftar Abstrak

i-ii

145-162

Aspek Hukum Peraturan dan Kebijakan Pemerintah Indonesia menghadapi Liberalisasi Ekonomi
Regional: Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015
Masnur Tiurmaida Malau ......................

163-182

Pengaturan Kerangka Hukum ASEAN Untuk Mewujudkan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015
Subianta Mandala ..................................................

183-196

Wewenang Kejaksaan Sebagai Pemohon Pailit Untuk Kepentingan Negara Terhadap Utang Pajak
Subyek Hukum dari Negara Anggota ASEAN Non-Indonesia Pasca Berlakunya AEC
B.G.M. Widipradnyana Arjaya .....................................

197-214

Urgensi Otonomi Khusus Batam Dikaitkan Dengan Pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015
Muhammad Sapta Murti ....................

215-235

Menuju ASEAN Political and Security Community: Kritik dan Tantangan Politik Hukum HAM
Indonesia dalam Regionalisme HAM ASEAN
Harison Citrawan ........................

237-254

Peran ASEAN Dan Negara Anggota ASEAN Terhadap Perlindungan Pekerja Migran
Ade Irawan Taufik ........................................................

255-280

Optimalisasi Kebijakan Ketenagakerjaan Dalam Mempersiapkan Tenaga Kerja Terampil


Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015
Muhammad Fadli .............................

281-296

Pembentukan Peraturan Daerah Tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga


Kerja Asing Sebagai Persiapan Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015
Budi S.P. Nababan ..................................................

297-309

lR
ec
hts
V

ind

ing

Peluang Industri Dan Perdagangan Indonesia Dalam Pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN
Syprianus Aristeus .........................

Jur

na

Biodata Penulis
Pedoman Penulisan Jurnal RechtsVinding

iii

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

UDC: 341.176
Syprianus Aristeus

BP
HN

Kata Kunci Bersumber dari artikel.


Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya.

Peluang Industri Dan Perdagangan Indonesia Dalam Pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN
Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 145-162

lR
ec
hts
V

ind

ing

Kebijakan perdagangan bebas, dan pasar tunggal ASEAN pada tahun 2015 harus dapat dilaksanakan sesuai dengan
kesepakatan yang telah dibuat. Sebagai pasar tunggal baik di perdagangan bebas maupun ASEAN semua hambatan
perdagangan khususnya seperti tarif akan dihapuskan, antisipasi terutama harus kita lakukan adalah terkait dengan
liberalisasi sektor jasa sebagai sektor sensitif, adapun lima sektor tersebut adalah jasa kesehatan, pariwisata, e-commerce,
transportasi udara dan logistik. Kelimanya akan efektif pada tahun 2015 mendatang. Untuk itu akan dibahas bagaimana
pelaksanaan pasar bebas MEA di Indonesia dan bagaimana antisipasi pemerintah Indonesia dengan diberlakukan WTO
serta Kehadiran Undang-undang Perindustrian dan Perdagangan. Dengan menggunakan metode penelitian hukum
normatif, hasil penelitian menunjukkan bahwa negara-negara di dunia yang terlibat langsung dalam perdagangan
bebas mempunyai hak untuk menjual produk baik barang ataupun jasa terhadap negara lain tanpa harus dibebani
oleh batasan-batasan pajak atau bea masuk, serta peraturan yang membelenggu. Untuk itu harus segera dijalankan
sebuah transformasi industrialisasi berdasarkan sebuah kebijakan industrial yang selektif. Hal ini perlu dilakukan salah
satunya dengan cara penguatan peran Kementerian Perindustrian dan Perdagangan menjadi satu kementerian agar ada
satu kebijakan industri yang kuat dan bahwa kebijakan perdagangan dan investasi harus menginduk kepada kebijakan
industri.
Kata Kunci: globalisasi, industri, investasi

UDC: 341.236

Masnur Tiurmaida Malau

Aspek Hukum Peraturan dan Kebijakan Pemerintah Indonesia menghadapi Liberalisasi Ekonomi Regional:
Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015
Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 163-182

Jur

na

Akselerasi penerapan Masyarakat Ekonomi ASEAN di 2015 menuntut upaya-upaya persiapan yang maksimal dari
negara-negara anggotanya termasuk Indonesia. Salah satu sendi kehidupan yang penting dipersiapkan yaitu sendi
hukum dalam sektor tertentu seperti persaingan usaha dan liberalisasi jasa. Hal ini penting karena dapat menciptakan
alur serta panduan bagi suatu negara untuk mencapai tujuan yang diharapkan dan juga dapat mengarahkan masyarakat
serta perangkat negara lainnya menuju tahap yang ingin dicapai, sehingga pengaturan melalui kebijakan (policy) ini
merupakan langkah pertama sebagai upaya mempersiapkan Indonesia menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN yang
akan datang. Kajian ini dilakukan dengan tujuan untuk memberikan pandangan bagaimana kesiapan Indonesia dalam hal
peraturan untuk menghadapi liberalisasi jasa dan persaingan usaha. Metode pendekatan yang digunakan dalam kajian
ini adalah deskriptif analitis yang menjelaskan dan menganalisis dari sisi hukum berbagai peraturan yang dilakukan oleh
pemerintah Indonesia dalam persiapan menuju ASEAN Economic Community 2015. Hasil dari kajian ini menunjukkan
bahwa pemerintah Indonesia berusaha mempersiapkan diri melalui berbagai peraturan guna menyongsong ASEAN
Economic Community 2015 walaupun dari segi pelaksanaan belum optimal dan belum menyentuh seluruh segi kehidupan
bernegara, pemerintah Indonesia harus segera mengoptimalkan usaha guna memperkuat kesiapan Indonesia bersaing
dalam ASEAN Economic Community 2015.
Kata Kunci: kebijakan, perangkat negara, persaingan usaha

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

UDC: 341.176
Subianta Mandala

BP
HN

Kata Kunci Bersumber dari artikel.


Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya.

Penguatan Kerangka Hukum ASEAN Untuk Mewujudkan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015
Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 183-196

lR
ec
hts
V

ind

ing

Negara negara anggota ASEAN pada umumnya kurang menyukai pendekatan yang terlalu legalistik dalam hubungan
diantara mereka, dan cenderung memilih pendekatan ASEAN Way yaitu melalui konsensus atau musyawarah untuk
mufakat. Namun demikian, menjelang terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN pada tahunn 2015, ASEAN perlu
mengembangkan model pendekatan yang berlandaskan aturan hukum (rules-based). Pendekatan hukum tersebut
diharapkan dapat digunakan tidak saja dalam kerangka merumuskan kesepakatan-kesepakatan yang dibuat oleh ASEAN
yang umumnya dibuat dalam perjanjian atau persetujuan ASEAN, namun juga untuk menyelesaikan sengketa-sengketa
yang timbul diantara anggota negara negara ASEAN dalam mengimplementasikan kewajiban-kewajiban yang lahir dari
kesepakatan atau perjanjian yang dibuat diantara mereka. ASEAN secara bertahap mulai mengembangkan kerangka
hukum dalam melakukan kerjasama ekonomi yang berlangsung diantara anggota negara-negara ASEAN. Tulisan ini
mencoba mengkaji lebih dalam langkah-langkah yang telah diambil oleh ASEAN dalam upaya mereka mempererat
kerjasama ekonominya, dan kajian tersebut dilakukan dalam perspektif pengembangan kerangka hukum sebagai
landasan bagi kerjasama ekonomi di ASEAN. Mengingat bahwa kerangka hukum yang dimasudkan disini bukan saja
menyangkut pembentukan substansi hukum, tetapi juga meliputi penyelesaian sengketa, tulisan ini juga membahas
mekanisme penyelesaian sengketa yang tersedia di internal ASEAN.
Kata Kunci: kerangka hukum, kerjasama ekonomi, kesepakatan

UDC: 347.427

B.G.M. Widipradnyana Arjaya

Wewenang Kejaksaan Sebagai Pemohon Pailit Untuk Kepentingan Negara Terhadap Utang Pajak Subyek
Hukum Dari Negara Anggota Asean Non-Indonesia Pasca Berlakunya AEC
Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 197-214

Jur

na

Mulai berlaku efektifnya Masyarakat Ekonomi ASEAN atau ASEAN Economic Community diharapkan membawa dampak
positif terhadap perekonomian Indonesia, khususnya bidang perpajakan sebagai sumber utama pendapatan negara.
Pemerintah berkewajiban untuk mengelola secara maksimal pendapatan pajak yang diperoleh pemerintah Indonesia
dari kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh subyek hukum negara ASEAN non-Indonesia, salah satunya pengelolaan
pendapatan pajak adalah dengan menyelesaikan sengketa utang piutang pajak yang memposisikan negara sebagai
Kreditor. Salah satu pilihan penyelesaian sengketa yang dapat digunakan adalah melalui prosedur kepailitan dengan
pengajuan permohonan pailit demi kepentingan umum oleh Kejaksaan pada sistem peradilan Indonesia serta
melaksanakan pengurusan harta Debitur pailit yang berada di luar Indonesia untuk membayar utang pajak terhadap
Kreditor melalui kepailitan lintas batas (cross border insolvency).
Kata kunci: utang pajak, kepailitan lintas batas, kejaksaan

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

UDC: 342.847.1
Muhammad Sapta Murti

BP
HN

Kata Kunci Bersumber dari artikel.


Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya.

Urgensi Otonomi Khusus Batam Dikaitkan Dengan Pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015
Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 215-235

lR
ec
hts
V

ind

ing

Batam saat ini merupakan daerah industri dan juga sebagai kawasan perdagangan bebas serta kawasan pelabuhan bebas.
Peraturan perundang-undangan tersebut melahirkan 2 (dua) otoritas yang berwenang mengatur dan mengelola Batam,
yaitu Badan Pengusahaan Batam dan Pemerintah Kota Batam. Keduanya memiliki wewenang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang dalam pelaksanaannya sering tumpang tindih sehingga menghambat pembangunan di Pulau
Batam. Di sisi lain, terdapat tantangan besar pada tahun 2015 dengan pelaksanaan ASEAN Economic Community (AEC
2015) sebagai realisasi integrasi ekonomi sesuai dengan Visi ASEAN 2020. Tulisan ini menganalisis mengenai urgensi
otonomi khusus Batam dalam rangka penyelesaian persoalan tumpang tindih kewenangan terkait penyelenggaraan
Batam serta dikaitkan dengan tantangan AEC 2015. Dengan menggunakan metode hukum normatif disimpulkan bahwa
urgensi kekhususan Batam didasari oleh adanya alasan kekhususan Batam yang meliputi alasan filosofis, kesejarahanpolitis, yuridis, dan teoritis akademis. Kekhususan Batam meliputi substansi bidang politik dan pemerintahan, serta
bidang perekonomian, pertanahan, dan penataan ruang. Melalui kekhususan Batam sebagai Pemerintah Provinsi
Otonomi Khusus Batam, dualisme kelembagaan dan peraturan perundang-undangan di Batam akan menjadi kesatuan
otoritas dan pengaturannya. Dengan demikian, cita-cita Batam menjadi daerah di Indonesia yang berada di jalur
perdagangan internasional yang maju dapat tercapai serta menjadi bagian dari AEC 2015 yang berhasil.
Kata Kunci: kewenangan, asimetri, otonomi khusus

UDC: 341.176

Harison Citrawan

Menuju ASEAN Political And Security Community: Kritik Dan Tantangan Politik Hukum HAM Indonesia Dalam
Regionalisme HAM ASEAN
Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 237-254

Jur

na

Tulisan ini mencoba menganalisis regionalisme hak asasi manusia (HAM) di kawasan Asia Tenggara dari sudut pandang
politik hukum HAM Indonesia. Secara khusus, analisis akan dilakukan pada bagaimana peluang dan tantangan politik
hukum HAM nasional dalam mewujudkan mekanisme perlindungan HAM regional, serta bagaimana gambaran interaksi
ideal antara mekanisme perlindungan HAM di tingkat regional dengan nasional. Menggunakan pendekatan analisis
rezim dan dipadukan dengan konsep kepatuhan hukum, tulisan ini mengajukan proposisi bahwa regionalisme HAM
dalam kerangka kerja ASEAN akan sia-sia apabila tidak diikuti dengan tingkat kepatuhan hukum (legal compliance)
negara-negara anggota ASEAN terhadap norma dan prinsip HAM di tingkat domestik. Dalam konteks politik hukum HAM
nasional, terdapat setidaknya tiga dimensi tantangan yang perlu diperhatikan dalam masa mendatang yang meliputi:
desentralisasi, diskursus militer-HAM, dan skeptisisme terhadap hukum HAM internasional. Tulisan ini menyimpulkan
bahwa terdapat kebutuhan akan harmoni dalam reposisi politik hukum HAM baik di tingkat nasional dan regional, agar
norma yang telah disepakati pada tingkat internasional dapat diimplementasikan dan diterjemahkan di tingkat regional,
dan yang lebih penting lagi ialah agar regionalisme HAM ASEAN dapat memberi pengaruh terhadap domestikasi nilai
dan prinsip HAM di Indonesia.
Kata Kunci: regionalisme, politik hukum, hak asasi manusia

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

UDC: 341.176
Ade Irawan Taufik

BP
HN

Kata Kunci Bersumber dari artikel.


Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya.

Peran ASEAN Dan Negara Anggota ASEAN Terhadap Perlindungan Pekerja Migran
Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 255-280

lR
ec
hts
V

ind

ing

Isu pekerja migran bukan hal baru, namun masih isu yang aktual, karena masih banyak terjadinya sisi negatif berupa
perlakuan yang tidak manusiawi terhadap pekerja migran. Dalam lingkup ASEAN, Indonesia bukan satu-satunya negara
pengirim pekerja migran, namun terdapat negara lain dengan negara tujuan yang hampir sama. Permasalahan yang dialami
oleh pekerja migran dari negara-negara tersebut pada dasarnya hampir sama dengan yang dialami oleh pekerja migran dari
Indonesia. Penelitian ini mengangkat permasalahan, yakni bagaimana peran ASEAN dalam melindungi pekerja migran dan
bagaimana kesiapan instrumen hukum Indonesia dan negara-negara anggota ASEAN lainnya dalam melindungi pekerja
migran. Dengan menggunakan metode studi tekstual, didapatkan kesimpulan bahwa peran ASEAN dalam melindungi
pekerja migran telah tertuang di Piagam ASEAN yang dielaborasikan ke dalam 3 (tiga) pilar Komunitas ASEAN, namun
peran tersebut tidak dapat maksimal karena tidak terciptanya konsesus dalam penyusunan instrumen perlindungan
hak pekerja migran. Rekomendasi terhadap kebuntuan tersebut adalah dengan membawa dan membahasnya
ke dalam pertemuan Dewan Komunitas ASEAN, karena isu tersebut merupakan isu lintas komunitas. Peran ASEAN
sangat tergantung kepada upaya masing-masing negara anggota ASEAN dalam merumuskan regulasi dalam hukum
nasionalnya masing-masing untuk mengimplemantasikan instrumen ASEAN terkait perlindungan pekerja migran,
namun hal ini belum didukung dengan peran negara anggota ASEAN yang relatif rendah dalam komitmen perlindungan
pekerja migran.
Kata Kunci: pekerja migran, komitmen, perlindungan

UDC: 349.26

Muhammad Fadli

Optimalisasi Kebijakan Ketenagakerjaan Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015


Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 281-296

Jur

na

Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah salah satu pilar pembentukan Komunitas ASEAN dan merupakan bentuk integrasi
ekonomi regional yang mulai di berlakukan pada tahun 2015. Pemberlakuan tersebut akan menjadikan ASEAN sebagai
pasar tunggal dan basis produksi dimana terjadi arus barang, jasa, investasi dan tenaga terampil yang bebas serta aliran
modal yang bebas antar-negara di kawasan ASEAN. Arus bebas tenaga kerja terampil tersebut harus dimanfaatkan
oleh Indonesia sebagai peluang dalam menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran. Hal yang menjadi
permasalahan adalah bagaimanakah kebijakan pemerintah dalam bidang ketenagakerjaan dalam mempersiapkan
tenaga kerja terampil menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis
normatif dapat disimpulkan bahwa terdapat berbagai kebijakan dalam bidang ketenagakerjaan yang mendukung
terciptanya Sumber Daya Manusia yang berkualitas atau tenaga kerja terampil. Maka dari itu, Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan berbagai kebijakan lain yang mengamanatkan pemberian pelatihan kerja
serta pembentukan Badan Nasional Sertifikasi Profesi yang bertugas memberikan sertifikasi kompetensi kerja harus
dioptimalkan, guna mempersiapkan tenaga kerja terampil, berkualitas dan berdaya saing serta diakui oleh negara
ASEAN lainnya dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.
Kata Kunci: optimalisasi, kebijakan, tenaga kerja

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

UDC: 34.03
Budi S.P. Nababan

BP
HN

Kata Kunci Bersumber dari artikel.


Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya.

Perlunya Perda tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing Di Tengah Liberalisasi
Tenaga Kerja Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015

ing

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 297-309

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

Salah satu pilar utama ASEAN Vision 2020 adalah ASEAN Economic Community yang akan dipercepat di tahun 2015
sehingga akan menyebabkan terjadinya liberalisasi tenaga kerja di kawasan Asia Tenggara. Adapun yang menjadi
permasalahan dalam tulisan ini adalah mengapa diperlukan Perda tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan
Tenaga Kerja Asing di tengah liberalisasi tenaga kerja ASEAN Community 2015. Dengan menggunakan penelitian yuridis
normatif diketahui bahwa Perda tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing diperlukan
agar daerah bisa memungut retribusi terhadap perpanjangan izin bekerja para TKA (kecuali Instansi Pemerintah, BadanBadan Internasional dan Perwakilan Negara Asing), sebab tanpa adanya pengaturan (regeling) tidak ada dasar yuridis
bagi Pemerintah Daerah untuk memungutnya. Mengingat tingginya potensi kehadiran TKA, penulis menyarankan agar
segera dibentuk Ranperda tentang Retribusi Perpanjang Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing bagi daerah yang
belum memiliki Perda tersebut dan menjadikannya skala prioritas untuk dibahas dan ditetapkan menjadi perda.
Kata Kunci: retribusi, tenaga kerja asing, peraturan daerah

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

UDC: 341.176
Syprianus Aristeus

BP
HN

The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing.
This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.

Industry and Trade Opportunity of Indonesia on ASEAN Economic Community


RechtsVinding Journal, Vol. 3 No. 2, August 2014, page 145-162

lR
ec
hts
V

ind

ing

Free trade policy and the ASEAN single market in 2015 must be implemented in accordance with the agreements that
have been made. Either as a single market in free trade and ASEAN all trade barriers such as tariffs will be abolished in
particular, the main anticipation to do is related to the liberalization of the service sectors as a sensitive sectors, thre
are five service sectors such as health services, tourism, e-commerce, air transportation and logistics. Those sectors will
be effective soon in 2015. In accordance to discuss how the implementation of ASEAN Economic Community free trade
in Indonesia; and how Indonesian government anticipate the implementation of WTO regulation and the absence of
Law regarding Industry and Trade. Using normative legal method, this research shows that countries which directly
involved in free trade has the right to sell their products either goods or services to another country without having
to be burdened by tax restrictions or customs duties and also without restricted by regulations. There should be an
industrialized transformation immediately based on selective industrial policy. This thing needs to be done by merging
the role of the Ministry of Industry and Ministry of Trade into one ministry, so there will be a strong industrial policy
which can be a basic for policies in trade and investment too.
Keywords: globalization, industry, investment

UDC: 341.236

Masnur Tiurmaida Malau

Legal Aspect of Indonesian Government Regulation against Regional Economic Liberalization:


ASEAN Economic Community 2015
RechtsVinding Journal, Vol. 3 No. 2, August 2014, page 163-182

Jur

na

Towards ASEAN Economic Community 2015 ASEAN member countries including Indonesia need to maximize efforts
in preparing. One of the important parts of life which need to prepare is law aspect by some legal instruments in
specific aspect such as competition and service liberalization. This is important because legal instruments can create
pattern and guidelines for a country to achieve aims and to guide their society and government to achieve path of
life that they want, so policy recognize as starting step for countries among ASEAN to move forward towards ASEAN
Economic Community. This research doing to give perspective of how Indonesia governments preparation in regulation
towards service liberalization and competition. Approaching methods that using in this research is analyzing descriptive
that describe and analyzing what policies that government had taken and how to implement that policies to meet
ASEAN Economic Community. Result of this research shows that Indonesian government has done many efforts through
some policies towards ASEAN Economic Community 2015 eventough from implementation perspective cannot reach
all societys aspect of life in order to reach that goal Indonesian government should optimize policies to strengthening
Indonesias competitiveness towards ASEAN Economic Community 2015.
Keywords: policy, legal instrument, competition

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

UDC: 341.176
Subianta Mandala

BP
HN

The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing.
This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.

Strengthening the Legal Framework to Realizing ASEAN Economic Community 2015


RechtsVinding Journal, Vol. 3 No. 2, August 2014, page 183-196

lR
ec
hts
V

UDC: 347.427

ind

ing

The members of ASEAN have been reluctant to be too legalistic in their relations with each other, preferring to conduct
their relationships in ASEAN Way or by consensus. Given that ASEAN would become the ASEAN Economic Community
in 2015, it is very important that appropriate legal-based mechanism should be developed to establish laws and resolve
disputes relating to trade and investment in the region. ASEAN have been moving slowly towards developing legal
framework for economic cooperation among the member state of ASEAN. This paper examines the various steps which
have been taken towards economic cooperation in the region and, examines them in the context of the evolving legal
framework for economic cooperation in ASEAN. As dispute will inevitably arise in any relationship, one of the elements
of any any legal system is to provide a means for settling these disputes. This paper, therefore, also examines the various
mechanisms for dispute resolution available in intra-ASEAN.
Keywords: legal framework, economic cooperation, consensus

B.G.M. Widipradnyana Arjaya

The Authority of Prosecutors as Bankruptcy Applicant on Behalf of State Interest towards Tax Debt of Foreign
ASEAN Non-Indonesian Legal Subjects after AEC Entered Into Force
RechtsVinding Journal, Vol. 3 No. 2, August 2014, page 197-214

Jur

na

ASEAN Economic Community (AEC) will enter into force in 2015 and expected to bring positive impact on the Indonesian
economy, especially in the field of taxation as the main source of state revenue. Government is obliged to manage taxes
that earned by Indonesian government from economic activities undertaken by foreign legal in ASEAN area subjects
which done in Indonesia maximally, as an example is to resolve tax disputes that positioning Indonesia as a creditor. One
of dispute settlement method which could be used through bankruptcy petition filled by prosecutors for the reason of
public interest and also conducts management of bankrupt debtor assets which located outside of Indonesia to pay tax
debts to creditors through cross-border insolvency.
Keywords: tax debt, cross border insolvency, prosecutor

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

UDC: 342.847.1
Muhammad Sapta Murti

BP
HN

The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing.
This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.

The Importance of Special Autonomy of Batam According to Implementation of ASEAN Economic Community
2015
RechtsVinding Journal, Vol. 3 No. 2, August 2014, page 215-235

lR
ec
hts
V

ind

ing

Batam as an Industrial Zone, was also known as a free trade zone and free harbour zone. Based on enacted law there
are 2 (two) agencies who has the authority to manage and administer Batam, which are Batam Indonesia Free Zone
Authority (BIPZA) and The Local Government of Batam. In the implementation, both agencies has overlapping authority
thereby sometimes the development of Batam are obstructed by this. On the other side there are big challenges in
the year 2015, it is ASEAN Economic Community (AEC 2015) as an achievement of economic integration in line with
the ASEAN Vision of 2020. This research tries to analize the critical issues about Batam Autonomy in order to solve the
overlapping authority problems in Batam along with the AEC Challenges in 2015. Using normative legal method, it is
concluded that special autonomy for Batam is urgent based on philosophical, historical, political, jurist and theoritical
reasons. Special autonomy for Batam consist of politics and goverment field, economics, and land and space planning.
Through the autonomy of Batam, its expected that the dualism of institution and/or regulation will unite in one
authority and regulation as well. Therefore, Batams goal to be an advanced district in Indonesia which will be part of
the international trade lines can be accomplished and Batam can be part of AEC 2015.
Keywords: asymmetry, authority, special autonomy

UDC: 341.176

Harison Citrawan

Towards ASEAN Political and Security Community: Critics and Challenges on Indonesias Human Rights Law
Politics Under Asean Human Rights Regionalism
RechtsVinding Journal, Vol. 3 No. 2, August 2014, page 237-254

Jur

na

This paper attempts to analyze human rights regionalism in ASEAN from Indonesias national human rights politics
perspective. In particular, an analysis will be taken on challenges and opportunities of the national human rights
politics in establishing a stronger regional human rights mechanism, and how an ideal interaction between regional
and national human rights mechanisms should be drawn. Using regime analysis approach and combined with legal
compliance concept, this paper proposes that ASEAN human rights regime would be superfluous if it is not followed by
member states legal compliance upon human rights norms and principle in domestic level. In the context of national
human rights politics, there are at least three challenging dimensions that ought to be considered in the future, namely:
decentralization, human rights-military discourse, and international human rights law skepticism. This paper thus
concludes that there is a need to harmonize the human rights politics in both national and regional level, so that any
internationally accepted norms will be implemented and applied into ASEAN human rights regionalism, and equally
important is to ensure that such a regionalism is capable in influencing human rights values and principles domestication
in Indonesia.
Keywords: regionalism, legal politics, human rights

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing.
This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.
UDC: 341.176
Ade Irawan Taufik

The Role of ASEAN and Its Member Countries in the Protection of Migrant Workers

RechtsVinding Journal, Vol. 3 No. 2, August 2014, page 255-280

lR
ec
hts
V

ind

ing

The issue of migrant workers is not new, but still the current issue, because there were lots of negative sides in the form
of inhumane treatment of migrant workers. Within the scope of ASEAN, Indonesia is not the only sending countries
of migrant workers. There were other countries whose sending its migrant workers with similar destinations with
Indonesia. Problems faced by migrant workers from those countries are basically the same as experienced by Indonesian
migrant workers. This research discusses the problem, namely how ASEANs role in protecting migrant workers and
hows Indonesia and other ASEAN member countries legal instrument readiness to protect migrant workers. By using
the method of textual study, it was concluded that the role of ASEAN in the protection of migrant workers has been
stated in the ASEAN Charter elaborated into three (3) pillars of the ASEAN Community, nevertheless that roles cannot
be maximized for there were no consensus in creating the protection of the rights of migrant workers instruments.
Recommendation to the impasse is to bring and discuss it in the ASEAN Community Council meeting, because the issue
is a cross-community issue. ASEANs role in implementing ASEAN instrument on the protection of migrant worker is
dependent upon the efforts of each ASEAN member countries in formulating regulations in their respective domestic
laws. Nevertheless, their commitments to the protection of migrant workers are relatively poor.
Keywords: migran workers, commitment, protection

UDC: 349.26

Muhammad Fadli

The Optimization of Employment Policies in facing The ASEAN Economic Community 2015
RechtsVinding Journal, Vol. 3 No. 2, August 2014, page 281-296

Jur

na

ASEAN Economic Community is one of the pillars of the establishment of the ASEAN Community which formally as a
form of regional economic integration that will enter into force by 2015. This enforcement will make ASEAN as a single
market and production based where there are flow of goods, services, investment and skilled labor that is free and free
capital flows among ASEAN member countries. Free flow of skilled labor should be used by Indonesia as an opportunity
to absorb employment and reducing unemployment. The issue of this subject is how the government policy in the field
of labor in preparing skilled labour in facing the ASEAN Economic Community 2015. By using the method of juridical
normative research can be concluded that there are a variety of employment policies supporting the creation of high
quality human resources or skilled labor.Thus, Law of Republic of Indonesia Number 13 year 2003 on Employment and
another regulations that mandate the provision of vocational training and the establishment of the National Professional
Certification which in charge of certifying the competence of work must be optimized in order to prepare skilled labour,
high quality and having competitiveness and recognized by the other ASEAN countries in facing the ASEAN Economic
Community 2015.
Keywords: optimization, policy, labor

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

UDC: 34.03
Budi S.P. Nababan

BP
HN

The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing.
This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.

The Importance of Local Regulation Regarding Retribution Fees on Renewal License for Hiring Foreign Workers
in The Liberalization of Foreign Workers among ASEAN Community 2015
RechtsVinding Journal, Vol. 3 No. 2, August 2014, page 297-309

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

ing

One of main pillars of the ASEAN Vision 2020 is the ASEAN Economic Community that will be accelerated in 2015
that will lead to the liberalization of foreign workers in Southeast Asia. The main problem in this paper is why is Local
Regulation on Retribution Fees Renewal License for Hiring Foreign important in the liberalization of foreign workers
ASEAN Community 2015. By using normative research method acknowledge that The Local Regulation on Retribution
Fees Renewal License For Hiring Foreign needed to be so the local government can collect fees on extension of work
permit of foreign workers (except Government employees, International Agencies and Foreign Representative), because
without regulation (regelling) there is no legal basis for local governments to collect it. Regarding on high potential for
the presence of foreign workers, as authors suggest to boost formation of Local Regulation on Retribution Fees Renewal
License For Hiring Foreign workers Draft immediately for local government who has not have these regulations yet and
make this as priority to discuss and enact into regulation.
Keywords: retribution, foreign workers, local regulation

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

PELUANG INDUSTRI DAN PERDAGANGAN INDONESIA DALAM


PELAKSANAAN MASYARAKAT EKONOMI ASEAN
(Industry and Trade Opportunity of Indonesia on Asean Economic Community)
Syprianus Aristeus

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional


Badan Pembinaan Hukum Nasional
Email: siprianus@bphn.go.id

ing

Naskah diterima: 21 Mei 2014; revisi: 25 Agustus 2014; disetujui: 27 Agustus 2014

lR
ec
hts
V

ind

Abstrak
Kebijakan perdagangan bebas, dan pasar tunggal ASEAN pada tahun 2015 harus dapat dilaksanakan sesuai dengan
kesepakatan yang telah dibuat. Sebagai pasar tunggal baik di perdagangan bebas maupun ASEAN semua hambatan
perdagangan khususnya seperti tarif akan dihapuskan, antisipasi terutama harus kita lakukan adalah terkait dengan
liberalisasi sektor jasa sebagai sektor sensitif, adapun lima sektor tersebut adalah jasa kesehatan, pariwisata, e-commerce,
transportasi udara dan logistik. Kelimanya akan efektif pada tahun 2015 mendatang. Untuk itu akan dibahas bagaimana
pelaksanaan pasar bebas MEA di Indonesia dan bagaimana antisipasi pemerintah Indonesia dengan diberlakukan WTO
serta Kehadiran Undang-undang Perindustrian dan Perdagangan. Dengan menggunakan metode penelitian hukum
normatif, hasil penelitian menunjukkan bahwa negara-negara di dunia yang terlibat langsung dalam perdagangan bebas
mempunyai hak untuk menjual produk baik barang ataupun jasa terhadap negara lain tanpa harus dibebani oleh batasanbatasan pajak atau bea masuk, serta peraturan yang membelenggu. Untuk itu harus segera dijalankan sebuah transformasi
industrialisasi berdasarkan sebuah kebijakan industrial yang selektif. Hal ini perlu dilakukan salah satunya dengan cara
penguatan peran Kementerian Perindustrian dan Perdagangan menjadi satu kementerian agar ada satu kebijakan industri
yang kuat dan bahwa kebijakan perdagangan dan investasi harus menginduk kepada kebijakan industri.
Kata Kunci: globalisasi, industri, investasi

Jur

na

Abstract
Free trade policy and the ASEAN single market in 2015 must be implemented in accordance with the agreements that have
been made. Either as a single market in free trade and ASEAN all trade barriers such as tariffs will be abolished in particular,
the main anticipation to do is related to the liberalization of the service sectors as a sensitive sectors, thre are five service
sectors such as health services, tourism, e-commerce, air transportation and logistics. Those sectors will be effective soon
in 2015. In accordance to discuss how the implementation of ASEAN Economic Community free trade in Indonesia; and
how Indonesian government anticipate the implementation of WTO regulation and the absence of Law regarding Industry
and Trade. Using normative legal method, this research shows that countries which directly involved in free trade has the
right to sell their products either goods or services to another country without having to be burdened by tax restrictions or
customs duties and also without restricted by regulations. There should be an industrialized transformation immediately
based on selective industrial policy. This thing needs to be done by merging the role of the Ministry of Industry and Ministry
of Trade into one ministry, so there will be a strong industrial policy which can be a basic for policies in trade and investment
too.
Keywords: globalization, industry, investment

Peluang Industri Dan Perdagangan Indonesia ... (Syprianus Aristeus)

145

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

Pada abad ke-21 internasionalisasi dari


kegiatan masyarakat dunia dalam hampir
semua bidang akan semakin meningkat dan
membawa kita pada perkembangan dalam
gejala saling berkaitan di antara negara-negara
di dunia. Perkembangan dalam teknologi dan
pola kegiatan ekonomi membuat masyarakat
di dunia semakin saling bersentuhan, saling
membutuhkan, saling menentukan nasib satu
sama lain, tetapi juga saling bersaing.
Hal ini terutama terlihat dalam kegiatan
perdagangan dunia sebagai salah satu bidang
utama dalam kegiatan eknomi masyarakat
di dunia, baik dalam bidang perdagangan
barang (trade in goods) maupun dalam bidang
perdagangan jasa (trade in services). Karena
dalam berinteraksi secara internasional satu
lama lain dalam perdagangan dunia akan
mengalami konflik dan perselisihan-perselisihan,
maka negara-negara di dunia memerlukan suatu
kesepakatan terhadap aturan main tertentu
dalam suatu sistem perdagangan global.
Globalisasi yang terjadi saat ini di mana
mengarah kepada suatu dunia seolah
menjadi tidak terbatas (bordeless world) telah
menempatkan semua penduduk dunia dalam
suatu perkampungan global, dimana menurut
Kinichi Ohmae dunia terintegrasi tanpa batas
-batas fisik. Perkembangan dunia di era
millenium III ditanda dengan semakin pesatnya
loncatan kemajuan bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi (IPTEK). Perkembangan ini terasa
semakin multi dimensi ketika dihadapkan
pada tuntutan dan kebutuhan manusia yang
beragam.

Kompleksitas ini semakin bertambah


manakala dihubungkan dengan pola interaksi
bisnis yang terjalin di masyarakat modern.
Implikasi ini telah mengubah wajah perdagangan
dan perekonomian dunia menjadi bentuk bisnis
dalam perkampungan global (business in globall
village). Kondisi ini dengan tepat digambarkan
Daniel Davidson: We are so economicially
interdependent on one another that We so live
in global village.1 Riuh rendah aktivitas tersebut
pada akhirnya juga merambah bidang hukum
yang notabene diharapkan senantiasa adaptif
dan reaktif dalam merespon segala bentuk
perubahan dan tantangan perkembangan
zaman.
Globalisasi ekonomi berarti terintegrasinya
ekonomi berbagai negara menjadi satu seolaholah tanpa dibatasi oleh kedaulatan negara.
Salah satu ciri bisnis yang paling dominan pada
globalisasi ekonomi adalah sifatnya bergerak
cepat, baik dalam transaksi maupun pergerakan
arus barang dan modal. Hal ini mempengaruhi
pula terhadap berbagai peraturan di bidang
bisnis yang dengan cepat pula mengalami
perubahan.
Menurut William Irwin Thomson2, bahwa,
dengan dukungan teknologi dan informasi
kecepatan perubahan tidak lagi menghitung
abad, tahun, atau bulan, tetapi bisa terjadi
setiap hari. Di berbagai pelosok, berlangsung
transaksi bisnis tanpa mengenal penghentian,
mulai dari penyiapan pertanahan Real Setate
dan Industrial Estate seperti halnya investasi di
bidang penanaman modal, pembentukan alat
produksi, penyediaan bahan baku, perlengkapan
dan perangkat kerja, pendistribusian produk

ing

A. Pendahuluan

146

CFG Sunaryati Hartono, Globalisasi dan Perdagangan Bebas, (Jakarta: BPHN Departemen Kehakiman, 1996), hlm.
12.
Ibid.

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 145-162

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

yang lebih baik yang lebih adil, dan yang lebih


makmur.
Ada 4 (empat) asumsi yang melandasi
terciptanya suatu persaingan yang sempurna
pada suatu pasar tertentu, yaitu: pelaku
usaha tidak dapat menentukan secara sepihak
harga atas produk dan jasa. Adapun yang
menentukan harga adalah pasar berdasarkan
equilibrium permintaan dan penawaran (supply
and demand). Dengan demikian, pelaku usaha
tidak bertindak sebagai price maker melainkan
hanya sebagai price taker. Barang atau jasa
yang dihasilkan oleh pelaku usaha adalah betulbetul sama (product homogeneity). Pelaku
usaha memiliki kebebasan untuk masuk atau
keluar dari pasar (perfect mobility of resources).
Konsumen dan pelaku usaha memiliki informasi
yang sempurna (perfect information) tentang
berbagai hal, seperti: kesukaan (preferences),
tingkat pendapatan (income levels), biaya
(cost) serta teknologi yang digunakan untuk
menghasilkan barang dan jasa.
Dari sudut pandang ekonomi, invisible hand
adalah mekanisme alam yang memungkinkan
kepentingan ekonomi seluruh masyarakat
dapat dicapai dalam pasar bebas. Invisble hand
adalah mekanisme tersembunyi yang akan
mengubah kegiatan manusia untuk mengejar
kepentingannya menjadi kegiatan yang
membawa kesejahteraan seluruh masyarakat.
Kesejahteraan masyarakat ini tercapai berkat
penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan
ekonomi, peningkatan pendapatan nasional,
perbaikan prasarana ekonomi, dan sebagainya.
Yang semuanya merupakan konsekuensi logis
dari kegiatan individual para pelaku ekonomi
dalam mengejar kepentingannya.
Di era globalisasi ekonomi setiap negara
menghadapi persaingan yang semakin ketat di

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

dan transportasi darat, laut dan udara yang


dibarengi dengan persetujuan asuransi,
perdagangan, komunikasi, pembiayaaan dan
sebagainya.
Dalam dekade terakhir ini atau sering
juga disebut sebagai era globalisasi, batas
nonfisik antarnegara semakin sulit untuk
membedakannya dan bahkan cenderung
batas (borderless state). Dampak yang sangat
terasa dengan terjadinya globalisasi yakni arus
informasi begitu cepat sampai ke masyarakat.
Globalisasi
ekonomi
yang
ditandai
dengan adanya keterbukaan perekonomian
dialami hampir semua negara di dunia saat
ini, telah membuat sistem perekonomian
menjadi terbuka bebas. Kondisi tersebut telah
diprediksi sebelumnya oleh Francis Fukuyama,
dimana menurutnya prinsip-prinsip liberal
dalam ekonomi telah menyebar dan berhasil
memproduksi kesejahteraan material yang
belum pernah dicapai sebelumnya.
Kalau perekonomian didasarkan pada
mekanisme pasar, maka akan tercipta suatu
keseimbangan (equilibrium). Dalam model pasar
persaingan sempurna (perfect competition),
pasar bersifat self regulating dan self correcting
karena ada tangan tak terlihat (invisible hand)
yang selalu dapat mengarahkan perekonomian
pada keseimbangan pemanfaatan sumber daya
penuh (full equilibrium) yang menguntungkan
semua pihak dalam masyarakat. Salah satu
asumsi penting dalam sistem ekonomi pasar
bebas yang dikembangkan oleh Adam Smith
lewat teori klasik laissez fairenya adalah bahwa
setiap orang dibebaskan melakukan yang
terbaik bagi dirinya masing-masing (individual
freedom of action). Dalam sistem ini, keputusan
tadi pada akhirnya akan menyumbang sebisa
mungkin bagi terwujudnya suatu masyarakat

Peluang Industri Dan Perdagangan Indonesia ... (Syprianus Aristeus)

147

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

Hal ini semua tentu berkat dukungan teknologi


yang terus digunakan dan dikembangkan oleh
para ahlinya. Dengan semakin dekatnya batas
antara satu negara dengan negara lain peluang
untuk berinvestasi, terlebih lagi hampir semua
negara dewasa ini sudah membuka diri bagi
investor asing sangat terbuka luas. Oleh karena
itu tidaklah berlebihan, jika pakar ekonomi
Dorodjatun Kuntjoro-Jakti mengemukakan:

ing

Meningkatnya perekonomian di banyak


negara ini, sebagai akibatnya adalah
interdepedensi pada akhirnya menciptakan
derajat keterbukaan ekonomi yang semakin
tinggi di dunia, yang terlihat bukan hanya
pada arus peningkatan barang tapi juga pada
arus jasa serta arus uang dan modal. Pada
gilirannya arus investasi di dunia semakin
mengikuti perkembangan keterbukaan
ini, sehingga dewasa ini peningkatan
arus investasi itulah yang memacu arus
perdagangan di dunia3.

ind

dua medan perang, yakni perdagangan bebas


serta foreign direct invesment/FDI (selanjutnya
disebut investasi). Hal ini kemudian ditandai
dengan
diimplementasikannya
perjanjian
perdagangan bebas (Free Trade Agreement/FTA)
dan perjanjian investasi (investment agreement)
serta kemajuan teknologi informasi, yang
menjadikan semakin terkikisnya hambatanhambatan perdagangan, lalu lintas keuangan
internasional yang semakin bebas, dan keluar
masuknya arus modal dan investasi di tiap-tiap
negara. Dampak dari bergulirnya era globalisasi
ini akan menimbulkan persaingan yang semakin
ketat di antara negara-negara, sehingga hanya
negara yang memiliki kemampuan bersaing saja
yang akan mampu bertahan.
Implementasi dari globalisai ekonomi
ditandai dengan terciptanya hubungan
perdagangan secara internasional yang dilakukan
secara bebas diantara individu-individu atau
negara-negara. Pada dasarnya, esensi dari
pelaksanaan perdagangan bebas tersebut
mengacu pada 2 (dua) prinsip kebebasan, yaitu:
pertama, adalah prinsip kebebasan berdagang
(freedom of trade) di mana berdasarkan
prinsip ini setiap negara atau individu memiliki
kebebasan untuk berdagang dengan pihak
manapun (negara maupun individu) di dunia
ini. Kedua, adalah prinsip kebebasan untuk
berkomunikasi (freedom of communication)
di mana berdasarkan prinsip ini setiap negara
memiliki kebebasan untuk memasuki wilayah
dari negara lain untuk melakukan transaksitransaksi perdagangan secara internasional.
Demikian juga halnya arus transportasi
dari satu negara ke negara lain dapat begitu
cepat dan mudah diakses oleh masyarakat.

Jur

na

lR
ec
hts
V

Untuk itu, cukup beralasan jika setiap negara


saling bersaing untuk menarik calon investor
khususnya investor asing (Foreign Direct
Investment, FDI) untuk menanamkan modal di
negaranya. Dalam suasana seperti ini peluang
yang begitu terbuka di era globalisasi agaknya
perlu disikapi secara positif.
Kehadiran investor asing dalam suatu negara
yang berdaulat memang dapat menimbulkan
berbagai pendapat dengan argumentasi masingmasing. Pendapat tersebut antara lain ada yang
mengekemukakan, kehadiran investor asing
dapat mengancam industri dalam negeri sendiri
dan bahkan mungkin mengancam kedaulatan
negara. Permasalahan semacam ini, bukannya
tidak disadari oleh negara penerima modal
(host country). Perhatikan misalnya apa yang
dikemukakan oleh B. Napitupulu:

Yanto Bashri (ed), Mau Ke Mana Pembangunan Ekonomi Indonesia. Prisma Pemikiran Prof. Dr. Dorodjatun
Kuntjoro-Jakti, (Jakarta: Predna Media, 2003), hlm. 12-13.

148

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 145-162

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

Most developing countries today believe


that it is not possible for them to achieve
their development aspiration entirely on their
own and therefore, need the cooperation of
other relatively more developed countries.
This cooperation may take the form direct
investment or sharing of technical knowhow, skilled personal and management
expertise6.

Pendapat di atas menguatkan dalil, bahwa


modal dibutuhkan untuk mengelola sumber
daya alam (natural resource) dan potensi
ekonomi (economic potential) yang berada di
bawah otoritas negara. Adanya pengelolaan
secara optimal terhadap sumber daya alam dan
potensi ekonomi yang ada, diharapkan ada nilai
tambah tidak saja bagi negara akan tetapi juga
bagi masyarakat pada umumnya, khususnya
pada masyarakat dimana potensi batubara
tersebut berada. Adapun wujud pengelolaan
sumber daya alam dan potensi ekonomi yang
ada tersebut antara lain dapat dilakukan
oleh investor baik lokal maupun asing. Untuk
investor asing pada umumnya merupakan
Perusahaan Multi Nasional, PMN (Multi
National Corporation, MNC). Jenis perusahaan
ini hampir dapat dipastikan telah mempunyai
jaringan bisnis yang cukup kuat di berbagai
negara. Sebagaimana yang diungkapkan oleh J.
Panglaykim:

lR
ec
hts
V

ind

Salah satu kritik terhadap globalisasi


adalah
meningkat
nya
ketergantungan
antara ekonomi global, kekuatan ekonomi
yang menggantikan dominasi pemerintah
dan memfokuskan kearah organisasi
perdagangan bebas (WTO). Ketika dunia
ini menjadi satu pasar berakibat pada
semakin kuatnya interpedensi atau saling
ketergantungan antara satu negara dengan
negara lainnya yang sama-sama mempunyai
kedaulatan nasional. Jadi yang sebenarnya
terjadi bukanlah satu negara tergantung
pada negara lainnya, melainkan suatu
situasi dan kondisi di mana semuanya
saling memerlukan untuk mempertahankan
keseimbangan politis, ekonomis dan tentu
pula dalam rangka pemenuhan kepentingan
masingmasing negara5.

BP
HN

Pendapat senada diungkapkan oleh Rusdin:

(fresh money), akan tetapi meliputi teknologi


(technology), keterampilan (skill) serta sumber
daya manusia (human resource). Hal ini dengan
cermat dikemukakan oleh Usha Dar dan Pratap
K Dar:

ing

kebijakan
Pemerintah
RI
dalam
menghadapi modal asing menunjukkan suatu
keinginan untuk memberikan proporsi yang
wajar sebagai potensi ekonomi negara-negara
asing melalui sistem seleksi dan pengarahan
yang adequate dengan kedaulatan tunggal
yang dimiliki4.

Beberapa alasan terjadinya investasi


langsung luar negeri yang dilakukan lewat

Jur

na

Oleh karena itu, terbukanya hubungan antara


satu negara dengan negara lainnya, terlebih lagi
bagi negara-negara yang selama ini menutup diri
dengan dunia luar, mulai membuka diri. Hal ini
berarti peluang untuk berinvestasi cukup luas.
Negara penerima modal pun menyadari bahwa
implikasi yang akan muncul dengan kehadiran
investor asing di negaranya suatu hal yang sulit
untuk dihindari. Dalam hal inilah dibutuhkan
leadership yang kuat dari penyelenggara negara,
sebab negara membutuhkan modal dalam mem
bangun berbagai sektor. Modal yang dimaksud
di sini, tidak semata-mata berupa dana segar

B. Napitupulu, Joint Ventures di Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 1975), hlm. 30.


Rusdin, Bisnis lnternasional dalam Pendekatan Praktik, Jilid 1, (Bandung: Alfabeta, 2002), hlm. 34.
6
Usha Dar dan Pratap K Dar. Investment Opportunities in ASEAN Countries. (New Delhi: Sterling Published Pvt, ltd,
1970), hlm. 1.
4
5

Peluang Industri Dan Perdagangan Indonesia ... (Syprianus Aristeus)

149

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

Ada sejumlah pakar ekonomi yang


mengaitkan ekspansi PMN ke negara
berkembang dengan dampak positif yang
ditimbulkan oleh aktivitas PMN sehingga
mendorong pemerintah negara berkembang
untuk lebih membuka diri bagi investasi asing.
Mereka pada umumnya bersepakat bahwa
negara berkembang menginginkan investasi
asing karena manfaat langsung yang dapat
dirasakan dari kehadiran PMN. Selanjutnya
dikemukakan: Dampak positif dari kehadiran
PMN yakni pertama memberikan kontribusi
pertumbuhan ekonomi suatu negara; kedua
menciptakan lapangan kerja baru dan
ketiga modal yang dibawa oleh PMN dapat
memperbaiki neraca pembayaran negara
berkembang9.

Terlepas dari pendapat pro dan kontra


terhadap kehadiran investasi asing, namun
secara teoritis kiranya dapat dikemukakan,
bahwa kehadiran investor asing di suatu negara
mempunyai manfaat yang cukup luas (multiplier
effect). Manfaat yang dimaksud yakni kehadiran
investor asing dapat menyerap tenaga kerja di
negara penerima modal; dapat menciptakan
demand bagi produk dalam negeri sebagai
bahan baku; menambah devisa apalagi in
vestor asing yang berorientasi ekspor; dapat
menambah penghasilan negara dari sektor
pajak; adanya alih teknologi (transfer of
technology) maupun alih pengetahuan (transfer
ofknow how). Dilihat dari sudut pandang ini
terlihat bahwa, kehadiran investor cukup
berperan dalam pembangunan ekonomi suatu
negara, khususnya pembangunan ekonomi di
daerah di mana FDI menjalankan aktivitasnya.

ind

MNC yakni: pertama, MNC memiliki


keunggulan
komparatif
(comparative
advantage) dan keunggulan khas yang
dimiliki oleh suatu perusahaan (firms specific
advantage); kedua, keunggulan lokasi
(location advantage); ketiga, internalisasi,
termasuk pemilikan modal yang tidak terlihat
dengan kasat mata (intangible assets) seperti
keahlian di bidang pemasaran, manajemen
dan teknologi. Selain keunggulan yang
telah dikemukakan di atas, pada umumnya
perusahaan yang berstatus MNC juga
mempunyai: jaringan kantor cabang dan
informasi di tingkat internasional; dukungan
pemerintah; serta konglomerat yang
terintergrasi secara vertikal dan horizontal
dalam bisnis dan kelompok-kelompok
industri. Berkat keunggulan inilah, pada
umumnya MNC siap melakukan investasi
langsung ke luar negeri7.

lR
ec
hts
V

Berkaitan dengan kehadiran investor asing


di suatu negara, menarik menyimak pendapat
yang dikemukakan oleh Robert Gilpin dan Jean
Milles Gilpin:
Para penerima investasi langsung (Foreign
Direct Investment, FDI) bersikap mendua
menyangkut kegiatan MNC. Di satu sisi,
mereka menyadari bahwa FDI membawa
modal dan teknologi berharga ke dalam
negara. Di sisi lain, mereka takut didominasi
dan dieksploitasi perusahaan-perusahaan
yang kuat ini8.

Jur

na

Barangkali disinilah letak problematikanya,


yakni di satu sisi kehadiran FDI sangat dibutuhkan,
terlebih lagi bagi negara-negara yang sedang
berkembang. Di sisi lain, ada kekhawatiran
berbagai pihak investor hanya berpikiran bisnis.
Oleh karena itu tidaklah.berlebihan jika Bob
Sugeng Hadiwinata mengemukakan:

J. Panglaykim, Era Pasca Minyak Identik dengan Strategi Eskpor Nasional. Analisa, Tahun XIV, No.1, (Januari,
1985). hlm. 8.
8
Robert Gilpin dan Jean Mules Gilpin, The Challenge of Global Capitalism (Tantangan Kapitalisme Global)
Penerjemah: Haris Munadar, Dudy Priatna. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Ed. 1, Cet. 1, 2002), hlm. 173.
9
Bob Sugeng Hadiwinata. Politik Bisnis Internasional, (Yogyakarta: Kanisius, Cet. 1, 2002), hlm. 146

150

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 145-162

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

1. Tipe Penelitian

Penelitian tentang globalisasi, masyarakat


ekonomi ASEAN, Indonesia dan investasi
merupakan penelitian hukum normatif.
Penelitian hukum normatif yang difokuskan
dalam penelitian ini, antara lain meliputi
penelitian terhadap asas-asas hukum.12
Penelitian hukum normatif yang berupa
penelitian mengenai asas-asas hukum,
dilakukan terhadap kaedah-kaedah hukum
yang merupakan patokan-patokan berperilaku
atau bersikap tindak. Penelitian tersebut
dapat dilakukan terutama terhadap bahan
hukum primer dan sekunder, sepanjang bahan-
bahan tersebut mengandung kaedah-kaedah
hukum, karena tidak setiap pasal dalam suatu
perundang-undangan mengandung kaedah
hukum, seperti: pasal-pasal yang hanya memuat
batasan-batasan atau definisi-definisi dari suatu
istilah sebagaimana lazimnya ditemukan pada
bab mengenai ketentuan-ketentuan umum dan
perundang-undangan tersebut.

ind

Investasi langsung lebih baik jika


dibandingkan dengan investasi portofolio,
karena investasi langsung lebih permanen.
Selain itu investasi langsung juga memberikan
kesempatan kerja bagi penduduk; mempunyai
kekuatan penggandaan dalam ekonomi local;
memberikan risidu baik berupa peralatan
maupun alih teknologi; bila produksi diekspor
memberikan jalan atau jalur pemasaran
yang dapat dirunut oleh pengusaha lokal di
samping seketika memberikan tambahan
devisa dan pajak bagi Negara; lebih tahan
terhadap fluktuasi bunga dan valuta asing;
serta memberikan perlindungan politik
dan keamanan wilayah karena bila investor
berasal dari negara kuat niscaya bantuan
keamanan juga akan diberikan10.

hukum dalam arti law as it is written in the books


and statutes (dalam literatur dan peraturanperundang-undangan).11 Titik berat analisis
adalah norma hukum yang terdapat dalam
literatur dan peraturan perundang-undangan.

ing

Arti pentingnya kehadiran investor asing


dikemukakan oleh Gunarto Suhardi:

lR
ec
hts
V

Sekalipun kehadiran investor membawa


manfaat bagi negara penerima modal, di sisi lain
investor yang hendak menanamkan modalnya
juga tidak lepas dari orientasi bisnis (business
oriented), apakah modal yang diinvestasikan
aman dan bisa menghasilkan keuntungan.
Dengan demikian menjadi sangat penting
untuk dibahas bagaimana pelaksanaan pasar
bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA);
serta bagaimana antisipasi pemerintah
Indonesia dengan diberlakukan WTO serta
Kehadiran Undang-undang Perindustrian dan
Perdagangan?

2. Metode Pendekatan

B. Metode Penelitian

Metode
yang
dipergunakan
dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif analitis
dengan pendekatan utamanya yuridis normatif.
Deskriptif analitis berarti menggambarkan
dan melukiskan sesuatu yang menjadi obyek

Jur

na

Penelitian ini merupakan suatu penelitian


yuridis normatif. Sebagai suatu penelitian
yuridis normatif, maka penelitian ini berbasis
pada analisis terhadap norma hukum, baik

Gunarto Suhardi. Beberapa Elemen Penting dalam Hukum Perdagangan Internasional. (Yogyakarta: Universitas
Atmajaya, 2004), hlm. 45.
11
Ronald Dworkin, Legal Research, (Daedalus: Spring,1973), hlm. 250.
12
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta PT.Raja Grafindo Persada, 1985), hlm. 28.
10

Peluang Industri Dan Perdagangan Indonesia ... (Syprianus Aristeus)

151

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

sehingga kita tidak hanya sekedar menjadi


pelengkap di rumah sendiri.
Demikian halnya dengan adanya kesepakatan
perdagangan di negara-negara ASEAN yang
akan diterapkan pada tahun 2015, sebagaimana
dalam pertemuan tingkat tinggi Kerja Sama
Ekonomi Asia Pasifik 2013 di Bali. Kesepakatan
dalam forum 21 pemimpin ekonomi ini semakin
mengukuhkan kerja sama ekonomi berbasis
neoliberal. Setelah perdagangan dan investasi,
kini bertambah lagi liberalisasi sektor jasa.
Liberalisasi menjadi keniscayaan ketika suatu
negara terikat perjanjian perdagangan bebas
(FTA). Indonesia termasuk di dalam perjanjian
kerja sama ASEAN FTA (AFTA), kerja sama AFTAJepang, AFTA Indiea, AFTA China, AFTA Korea,
dan AFTA Australia-Selandia Baru.
Indonesia
tidak
sendiri
dalam
mengintegrasikan perekonomiannya pada pasar
dunia. Dalam lingkup anggota APEC, penurunan
tajam rata-rata bea masuk barang impor juga
dialami China, Peru, Filipina, Thailand, dan
Vietnam.
Namun, liberalisasi yang berjalan sejauh ini
lebih banyak menempatkan Indonesia sebagai
pasar ketimbang sebaliknya. Liberalisasi tidak
diikuti peningkatan kemampuan produksi
pangan, energi, dan industri manufaktur
dalam negeri menyebabkan banjir barang
impor. Kebijakan impor yang mulanya bersifat

lR
ec
hts
V

ind

penelitian secara kritis melalui analisis yang


bersifat kualitatif. Oleh karena yang ingin dikaji
berada dalam ruang lingkup ilmu hukum, maka
pendekatan normatif tersebut, meliputi: asasasas hukum, sinkronisasi peraturan perundangundangan, baik secara vertikal maupun
horizontal, sistematika hukum, inventarisasi
hukum positif, termasuk usaha penemuan
hukum inconcreto.13
Di dalam suatu penelitian yuridis normatif,
maka penggunaan pendekatan perundangundangan (statute approach) adalah suatu hal
yang pasti. Dikatakan pasti, karena secara logika
hukum, penelitian hukum normatif didasarkan
pada penelitian yang dilakukan terhadap bahan
hukum yang ada. Meskipun misalnya penelitian
dilakukan karena melihat adanya kekosongan
hukum, namun kekosongan hukum tersebut
dapat diketahui, karena sudah adanya normanorma hukum yang mensyaratkan pengaturan
lebih lanjut dalam hukum positif.14

C. Pembahasan

1. Pasar Bebas Masyarakat Ekonomi


ASEAN (MEA)

na

Bagi Indonesia, globalisasi tidak dapat


dihindari, untuk mengatasi hal tersebut maka
yang harus diperhatikan adalah kebijakan ke
depan untuk menghadapi globalisasi tersebut

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Rajawali,1985), hlm.4-15. Lihat juga
Roni Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 11-12.
14
Johnny Ibrahim, op.cit., hlm 301. Menurut Johnny Ibrahim, dalam kaitannya dengan penelitian normatif, dapat
digunakan 7 (tujuh) pendekatan, yaitu: Pendekatan Perundang-undangan (statute approach); Perdekatan
Konsep (conseptual approach); Pendekatan Analitis (analythical approach); Pendekatan Historis (historical
approach); Pendekatan Filsafat (philosophical approach), Pendekatan Kasus (case approach). Bandingkan dengan
pendapat Peter Mahmud Mamiki yang hanya mengaktegorikan 6 (enam) metode pendekatan yang digunakan
didalam penelitian hukum, yaitu: Pendekatan Perundang-undangan (statute approach); Perdekatan Konsep
(conseptual approach); Pendekatan Analitis (analythical approach); Pendekatan Historis (historical approach):
dan Pendekatan Kasus (case approach). Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cetakan Kedua, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, Mei 2006), hlm. 93.

Jur

13

152

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 145-162

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

yang akan menjadikan ASAN pasar tunggal dan


basis produksi kompetitif di kawasan, juga
bentuk dari respons ASEAN terhadap bangkitnya
ekonomi China dan India.
Sebagai pasar tunggal, semua hambatan
perdagangan, baik tarif maupun tarif, akan
dihapuskan. Antisipasi terutama harus
kita lakukan terkait liberalisasi sektor jasa
sebagai sektor sensitif. Lima sektor jasa yang
disepakati diliberalisasi adalah jasa kesehatan,
pariwisata, e-commerce, transportasi udara,
dan logistik. Kelimanya pada 2015 akan bebas
diperdagangkan lintas negara. Perdagangan jasa
mengatur liberalisasi tenaga kerja profesional
dan buruh manufaktur. Untuk profesional ada
lima kategori yang disepakati mulai beroperasi
bebas 2015, yaitu perawat, dokter, dokter gigi,
akuntan, dan insinyur. Tenaga profesional dan
buruh yang melintas batas negara ini harus
memenuhi standar yang sudah ditetapkan di
ASEAN.
Bentuk lahirnya ASEAN Charter yang
ditandatangani oleh 10 negara ASEAN pada 20
November 2007, yang dapat menjadi landasan
hukum bagi kerja sama ASEAN. Salah satu
tujuan lahirnya ASEAN Charter adalah:

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

sesekali ketika dibutuhkan berubah menjadi


impor struktural karena ketergantungan yang
tinggi. Perlindungan terhadap produsen lokal
terabaikan. Tahun depan, persoalan pangan
tetap akan diselesaikan secara instan, melalui
impor.
Liberalisasi tidak selamanya berdampak
negatif. Hanya saja, Indonesia belum bisa
mengambil
manfaat
sebesar-besarnya.
Liberalisasi keuangan dinilai punya dampak
positif terhadap pertumbuhan ekonomi internal
negara berkembang secara bertahap dan dalam
kondisi fundamental baik. Namun perlu kehatihatian terhadap dana panas (hot money) yang
gampang ditarik investor asing.
Pemerintah harus mampu memanfaatkan
liberalisasi untuk kemajuan lebih baik dengan
meningkatkan daya saing produsen domestik.
Diperlukan
kebijakan
yang
melindungi
masyarakat kelas bawah dan meningkatkan
kapasitas pelaku ekonomi skala kecil.
Keberanian
pemerintah
melakukan
transformasi dan dukungan kelembagaan
untuk memperbaiki infrastruktur, industri, dan
pertanian merupakan keharusan. Jika tidak,
liberalisasi tidak akan memberi manfaat bagi
Indonesia.
Tahun 2015 akan menjadi tahun penentuan
bagi perekonomian Indonesia, terutama dengan
mulai berlaku efektifnya Masyarakat Ekonomi
Asia: Indonesia akan menjadi pemenang, atau
sebaliknya pecundang di kawasan.
Salah satu yang paling ekstensif, ambisius,
dan di depan mata adalah Masyarakat Ekonomi
ASEAN, yang salah satu pilarnya adalah
pembentukan pasar tunggal ASEAN pada 2015
atau dua tahun dari sekarang. Di ASEAN sendiri
kesepakatan perdagangan bebas bilateral (BTA)
ditempuh karena kemajuan AFTA dianggap
terlalu lamban. Masyarakat Ekonomi Asia (MEA)

committed to intensfiying community


building through enhanced regional
cooperation and integration, in particular by
establishing an ASEAN community comprising
The ASEAN Security Community, The ASEAN
Economic Community, and The ASEAN Sociocultural Community.

Khusus tujuan ASEAN Charter dalam aspek


sosial-ekonomi, antara lain menyangkut poinpoin nomor 5, 6, 9, 10 dan 11 sebagai berikut:
To create a single market and production
base which is stable, prospereous, highly
competitive and economically integrated with
effective facilitation for trade and investment
in which there is free flow of goods, services
and investment; facilitated movement of
business persons, professionals, talents and

Peluang Industri Dan Perdagangan Indonesia ... (Syprianus Aristeus)

153

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

UUD NRI 1945). Maka dari itu, dalam mencapai


tujuan ASEAN Charter pun akan tergantung
paradigma/platform, kebijakan dan strategi
operasional yang tepat untuk mencapai tujuan
kolektif kesepuluh negara ASEAN.
Dengan demikian, kiranya solusi ekonomi
kerakyatan berbasiskan UUD 45 dapat menjadi
pioner untuk mengisi paradigma, kebijakan
dan strategi yang tepat dalam mencapai tujuan
sosial-ekonomi ASEAN yang intinya baik dalam
bidang kesejahteraan, keamanan maupun
perdamaian, di masing-masing negara ASEAN,
regional ASEAN secara kolektif serta dunia pada
umumnya.
ASEAN Investment Area mempunyai tiga
komponen, yaitu fasilitasi investasi, promosi
investasi, serta liberalisasi investasi. Kegiatan
yang sedang berjalan di bidang fasilitasi investasi
dan promosi investasi harus didukung dengan
kuat melalui pembentukan ASEAN Regional
Unit sebagai suatu lembaga baru. Lembaga ini
bisa dimulai dengan menjadikannya bagian dari
ASEAN Secretariat.15
Melihat perkembangan global maupun
di wilayah ASEAN, komponen liberalisasi
investasi tidak lagi memberikan perlakuan
preferensial bagi investor ASEAN. Dalam banyak
hal tidaklah tepat bagi negara-negara ASEAN
bahwa dalam rangka liberalisasi rejim investasi
mereka negara-negara ASEAN harus mendapat
preferensi terlebih dahulu sebelum preferensi
yang sama diberikan kepada investor-investor
non-ASEAN.16
Sebagaimana dikatakan selain pasar tunggal
ASEAN yang berlaku tahun 2015, sebelumnya
telah ada 19 (sembilan belas) kesepakatan sejak

ind

labor; and free flow of capital (poin 5); To


aleviate proverty and narrow the development
gap within ASEAN through mutual assistance
and cooperation (poin 6); To promote
sustainable development so as to ensure
the protection of the regions environment,
the sustainability of its natural resources,
the preservation of its cultural heritage and
the high quality of life of its peoples (poin
9); To develop human resources through
closer cooperation in education and longlife learning, and in science and technology,
for enpowerment of the peoples of ASEAN
and for the strengthening of the ASEAN
Community (poin 10); To enhance the wellbeing and livelihood of the peoples ASEAN
by providing them with equitable access to
opportunity for human development, social
welfare and justice (poin 11).

Jur

na

lR
ec
hts
V

Jika melihat ke-5 (lima) point yang terdapat


dalam deklarasi ASEAN menyangkut sosialekonomi dari ASEAN Charter tersebut,
menyangkut tujuan komunitas ekonomi
ASEAN, yaitu: pembentukan pasar tunggal,
pemberantasan
kemiskinan,
proteksi
lingkungan, pengembangan SDM dan Iptek
untuk pemberdayaan rakyat, dan jaminan akses
bagi rakyat menggapai pembangunan manusia,
kesejahteraan dan keadilan sosial.
Seperti juga dalam menerjemahkan
Pancasila dan UUD NRI 1945, khususnya untuk
menyangkut tujuan sosial-ekonomi, akan
membutuhkan penjabaran dalam peraturan
perundang-undangan,
paradigma/platform,
kebijakan dan dan strategi yang tepat untuk
mencapai tujuan nasional, yakni: melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia (Pembukaan

C.P.F. Luhulima, Dinamika Asia Tenggara Menuju 2015, (Jakarta: Pustaka Pelajar & LIPI, 2011), hlm. 42.
Ibid.

15
16

154

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 145-162

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

investasi asing. Hal ini tentu berarti bahwa tidak


perlu lagi ada temporary exclusion list (TEL) dan
sensitive list dalam sektor manufaktur, dengan
menggunakan ASEAN-X formula. Kedua, ASEAN
harus membuka diri bagi semua investor, jadi
tidak lagi ada perbedaan antara invetasi dari
ASEAN dan non-ASEAN.
Apabila melihat kesepakatan dalam Bali
Concord II khususnya dalam hal penerbangan
maka yang terjadi adalah pihak Indonesia
mengalami kerugian dengan pembagian wilayah
penerbangan khususnya perjanjian dengan
pihak Malaysia.18
Untuk membangun suatu landasan
produksi tunggal, ASEAN harus mendorong
pembentukan jejaring produksi regional di
Asia Tenggara. Kecenderungan global dalam
manufaktur menunjukkan suatu pergeseran
ke adopsi teknik-teknik produksi yang fleksibel
dan pembangunan jejaring produksi yang
terintegrasi. Kompetisi yang keras berarti bahwa
tidaklah lagi cost effective apabila seluruh
rangkaian manufaktur dilakukan di dalam
satu perusahaan (in-house) atau di dalam satu
negara. Untuk mempersingkat rangkaian dan
waktu produksi dan pengantaran ke pasar yang
cepat, perusahaan-perusahaan multinasional
mengintegrasikan kegiatan manufaktur mereka
di berbagai lokasi dan memperkenalkan teknik
manajemen Just-In-Time dan seringkali melalui
subkontrak internasional. Kecenderungan
produksi global ini berarti bahwa tidak hanya
mencari pasar yang lebih besar, melainkan
juga tempat-tempat di mana mereka dapat
membangun jejaring produksi yang efisien.

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

tahun 2011 mengenai perdagangan bebas (FTA)


dimana 7 (tujuh) diantaranya telah berjalan, 1
(satu) belum mulai berlaku, 3 (tiga) masih dalam
status negosiasi, 2 (dua) dalam status negosiasi,
tetapi kerangka kesepakatannya sudah ditanda
tangani, serta 6 (enam) masih berstatus usulan.
Dari 7 (tujuh) yang telah berjalan hanya satu
yang FTA bilateral, yakni kesepakatan kemitraan
ekonomi (EPA) Indonesia-Jepang, sedangkan
6 (enam) sisanya FTA yang ditandatangani
Indonesia sebagai bagian dari ASEAN, termasuk
AFTA.17
Untuk membuat ASEAN menjadi landasan
produksi tunggal yang kompetitif sangatlah
penting untuk menarik FDI yang berkualitas
paling baik dalam kuantitas yang sebesar
mungkin terlepas dari country of origin. Harus
kita ingat bahwa arus masuk investasi langsung
tidak digerakkan oleh negara-negara anggota
ASEAN, melainkan oleh perusahaan-perusahaan
multinasional Amerika Serikat, Uni Eropa dan
Jepang.
Masuknya perusahaan multinasional ASEropa dan Jepang harus dapat dipahami oleh
ASEAN bahwa kesepakatan yang telah dibuat
harus dapat diimplementasikan, tidak seperti
halnya yang terjadi di Indoensia, begitu investor
mulai melakukan aktivitasnya selalu terhambat
dengan kepentingan daerah tertentu, hal ini
bertentangan dengan kesepakatan dalam WTO
maupun ASEAN saat ini.
Di dalam rangka ini ASEAN memang harus
membuat dua keputusan penting, pertama,
Melangkah lebih jauh dari rekomendasi HLTF
yang tercantum di dalam Bali Concord II dan
membuka semua sektor manufaktur bagi

Sri Hartati, Perdagangan Internasional Indonesia dan Globalisasi, dalam Tinjauan Kompas, Menatap Indonesia
2014, Tantangan, Prospek Politik dan Ekonomi Indonesia, (Jakarta: Kompas, 2014), hlm. 67-68.
18
Rusli, M, Opensky Bali Concord II ASEAN, (Padang: (tanpa penerbit), 2012), hlm. 120.
17

Peluang Industri Dan Perdagangan Indonesia ... (Syprianus Aristeus)

155

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

merupakan bagian yang besar bagi pemasukan


negara. Hal ini memang harus dihadapi dan
mekanisme harus dicari untuk mengatasinya.
Suatu analisa dari perdagangan infra-ASEAN
memperlihatkan adanya landasan produksi
regional di ASEAN. Suatu penurunan dalam
saham produk yang berlandaskan sumber
daya alam (resource-based products) dalam
perdagangan intra-ASEAN selama 20 tahun
disertai dengan peningkatan ekspor produk
listrik dan elektronik, yang kini hampir mencapai
separoh dari arus dagang ASEAN, sebagian
besar daripadanya suku cadang dan komponen.
Kecenderungan ini menunjukkan suatu potensi
yang jelas bagi production sharing sebagai
bagian dari jejaring produksi regional.
Akses yang meningkat sebagai akibat
dari penurunan rintangan tarif dan non-tarif
tidaklah cukup untuk menjamin arus barang
yang bebas di ASEAN. Biaya transaksi yang
tinggi bagi perdagangan internasional yang
disertai antara lain bea-cukai yang tidak efisien
dan standar yang tidak jelas dapat menurunkan
nilai perdagangan secara signifikan.
ASEAN perlu segera mengupayakan
penurunan biaya transaksi ini dengan cepat
dan drastis. Upaya untuk menurunkan biaya
transaksi ini memerlukan suatu komitmen yang
jauh lebih besar daripada upaya yang diperlukan
untuk menyelesaikan masalah akses pasar.
Inisiatif fasilitasi ini sering memerlukan
pembentukan
badan-badan
baru
atau
perombakan total lembaga-lembaga yang
sudah ada. Lagi pula, usaha ini hams
dilakukan semua negara ASEAN secara
bersama-sama, semua negara anggota harus
mengimplementasikan paling sedikit suatu
rangkaian minimal dari inisiatif-inisiatif utama,
khususnya yang berkaitan dengan upaya untuk

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

Strategi perusahaan multinasional yang kini


muncul menunjukkan bahwa mereka sudah
rencanakan untuk memanfaatkan wilayah
Asia Tenggara sebagai landasan produksi
untuk dapat memperbesar volume penjualan
mereka di pasar ASEAN dengan sekaligus
mengembangkan sarana perolehan komponen
di wilayah ASEAN, peningkatan spesialisasi
produk untuk mencapai economies of scale, dan
pementingan keuntungan atas dasar operasi di
wilayah ASEAN.
HLTF on ASEAN Economic Integration juga
menyarankan pembentukan jejaring ASEAN
Free Trade Zones, sehingga perusahaanperusahaan dapat menstrukturkan proses
manufaktur mereka melintasi berbagai negara
ASEAN to take advantage of their cooperative
strengths dan di dalam proses itu meningkatkan
perdagangan dan investasi intra-ASEAN.
Kemudian, ASEAN harus pula undertake more
effective joint ASEAN facilitation and promotion
measures and develop new sources of inward
FDI, seperti dari China, India dan Republik
Korea, untuk melengkapi FDI dari AS, UE dan
Jepang.
Arus bebas barang manufaktur sangat
penting untuk mempromosikan ASEAN
sebagai landasan produksi tunggal. ASEAN
sudah melaksanakan liberalisasi perdagangan
melalui AFTA. Dalam rangka penurunan tarif
suatu kemajuan yang besar sudah dicapai
dengan AFTA. Arus bebas tidak hanya berarti
penghapusan tarif, melainkan harus sekaligus
pula berarti penghapusan rintangan non-tarif.
ASEAN harus mengusahakan penghapusan
rintangan tarif dalam perdagangan intraASEAN, khususnya barang-barang manufaktur.
Bagi beberapa negara, termasuk negara-negara
CMLV, hal ini merupakan suatu tantangan
karena tarif atas perdagangan internasional

156

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 145-162

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

liberalisasi investasi di bawah ASEAN Investment


Area (AIA), yang dipertimbangkan ASEAN.
Liberalisasi sektor jasa ini harus pula dilakukan
ke luar ASEAN. Hal ini berarti bahwa ASEAN
Framework Agreement on Services (AFAS)
harus ditinggalkan untuk suatu jalur alternatif
yang lebih cepat. Salah satu jalur di sini ialah
mengadopsi suatu kebijakan ASEAN bagi
pembukaan sektor-sektor jasa prioritas secara
global. Kebijakan ini dengan sendirinya berarti
pula kebijakan imigrasi yang terbuka bagi tenaga
kerja profesional dan trampil.

2. Antisipasi Pemerintah Indonesia


Dengan Diberlakukan WTO Serta
Kehadiran Undang-Undang Perindus
trian Dan Perdagangan

ind

mengharmonisasikan prosedur perbatasan dan


standarisasi.
Pemerintah-pemerintah
ASEAN
harus
memusatkan sumber dayanya, baik ekonomi,
maupun politik, untuk menjamin bahwa fasilitasi
ini tidak hanya akan mengurangi biaya transaksi,
melainkan pada akhirnya juga mendukung
perwujudan Masyarakat Ekonomi ASEAN.
HLTF merekomendasikan integrasi jalur
cepat dari 4 sektor jasa yang diprioritaskan,
yaitu e-ASEAN, jasa kesehatan, perjalanan udara
dan pariwisata. HLTF juga merekomendasikan
bahwa integrasi sektor jasa diimplementasikan
melalui liberalisasi yang dipercepat sektorsektor prioritas ini, pengembangan MRA yang
dipercepat, dan pendorong joint ventures dan
kerjasama, termasuk pasar negara ketiga.
Integrasi sektor jasa harus memfasilitasi
proses pembangunan landasan produksi tunggal
ASEAN. Inisiatifinisiatif regional harus pula
ditujukan untuk mempromosikan low cost high
quality service industries yang memungkinkan
ASEAN mengembangkan diri sebagai suatu
outsourcing hubungan global.
Di samping keempat sektor prioritas di
atas, ASEAN harus pula mempertimbangkan
untuk mempercepat sektor-sektor jasa: Jasa
keuangan (seperti banking and capital markets);
telekomunikasi; jasa bisnis profesional (seperti
akuntansi dan hukum); logistik dan transportasi;
pendidikan; serta energi.
Integrasi sektor jasa dapat pula dipercepat
dengan memasukkan industri jasa ke dalam

na

lR
ec
hts
V

Memperhatikan ketentuan pada saat


Ministreal Meeting to the APEC Summit 2004
bahwa tanpa melihat sistem ekonomi yang
bagaimanapun yang diterapkan oleh suatu
negara maka setiap negara bergerak ke arah yang
sama yaitu persaingan global dan perdagangan
bebas.19 Perdagangan bebas merupakan media
yang efektif dan damai dalam peningkatan
kekayaan masing-masing negara. Karena
negara-negara diuntungkan dengan kerjasama
perdagangan yang akan meningkatkan
kesejahteraan masyarakatnya.20 Lebih dari itu,
agar terciptanya a peaceful global order, sistem
dunia harus diarahkan menuju sebuah pasar
global, di mana barang dan jasa dapat bergerak
bebas melintasi batasan-batasan negara.21

Harian Kompas, ASEAN Berencana Menjadi Pasar Tunggal. 7 Oktober 2003, Rizal Malaranggeng, Mendobrak
Sentralisme Ekonomi, Indonesia 1986-1992, (Kepustakaan Popular Gramedia bekerja sama dengan Freedom
Institute, 2004), hlm. 19-33.
20
Scott Burchill & Andrew Linklater, Theories of International Relation, (The United States of America: St. Martins
Press. Inch., 1996), hlm. 32.
21
Handy Hady, Ekonomi Internasional, Teori dan Kebijakan Perdagangan Internasional, Indonesia: Ghalia, 2001),
hlm. 65.

Jur

19

Peluang Industri Dan Perdagangan Indonesia ... (Syprianus Aristeus)

157

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

ind

Opening up to international trade has helped


many countries grow far more quickly than
they would otherwise have done. International
trade helps economic development when a
countrys exports drive its economic growth.
Export led growth was the centerpiece of
industrial policy that enriched much of Asia
and left millions of people in the world now
live longer than before and their standard of
living is far better off. Because of globalization
many people in the world now live longer
than before and their standard of living is far
betterGlobalization has reduced the sense
of isolation felt in much of the developing
world and has given many people in the
developing countries acces to knowledge
well beyond the reach of even the wealthiest
in any country a century a go.22

perdagangan global. Mengangkat Indonesia


menjadi negara maju dan merupakan kekuatan
10 besar dunia di tahun 2030 dan 6 besar
dunia pada tahun 2050 melalui pertumbuhan
ekonomi tinggi yang inklusif dan berkelanjutan
adalah rencana ambisius yang hendak dikejar
Indonesia dengan meluncurkan sebuah program
baru bernama Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI). Sebagaimana namanya, maka MP3EI
merupakan strategi pembangunan Indonesia
yang baru, yang diadakan karena berubahnya
lingkungan geoekonomi global, khususnya
dinamika yang terjadi di Asia Timur yang sekarang
menjadi center of economic gravity. MP3Ei
disebut sebagai upaya transformasi ekonomi
oleh negara yang bersifat not business as
usual, dan merupakan sebuah terobosan yang
bersifat percepatan dan perluasan. M enurut
pemerintah, IMF telah memproyeksikan bahwa
Indonesia ada di antara 18 ekonomi terbesar
dunia pada tahun 2009-2015 yang akan menjadi
ekonomi dengan pertumbuhan tercepat yaitu
12,8%. Ini lebih tinggi dari Rusia yang 12,5%,
Tiongkok yang 12,3% serta India yang 11,8%.
Visi 2025 dari MP3EI adalah sebagai berikut:
a. Pada tahun 2014, PDB Indonesia akan
menjadi US$ 1,2 triliun, dengan pendapatan
perkapita US$ 4.800, dan menjadi kekuatan
ekonomi dunia ranking ke-14 terbesar;
b. Pada tahun 2025, PDB Indonesia akan
menjadi US$ 3,8-4,5 triliun, dengan
pendapatan per-kapita US$ 13.000-16.100,
dan menjadi kekuatan ekonomi dunia
ranking ke-12 terbesar; dan

ing

Josep E. Stiglitz menjelaskan capaiancapaian positif dari perdagangan bebas sebagai


akibat dari proses globalisasi ekonomi yang
melanda dunia, yaitu:

Jur

na

lR
ec
hts
V

Beberapa kalangan berpendapat bahwa


globalisasi ekonomi merupakan kekuatan positif
bagi pembangunan Negara-negara sedang
berkembang yang telah lebih dulu membuka diri
terhadap perdagangan bebas (free trade) dan
penanaman modal asing (foreign investment)
seperti China, India, Malaysia, Thailand,
Vietnam dan Indonesia untuk negara-negara
di kawasan Asia, Argentina dan Mexico untuk
negara di Amerika Latin, Hunggaria dan Polandia
di Eropa Timur, serta Ghana dan Uganda di
Afrika, ternyata telah mencapai pertumbuhan
ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan denga
periode sebelumnya.23
Untuk dapat mengatasi ini maka ke depannya
Pemerintah Indonesia telah membuat MP3EI,
Integrasi ke dalam rezim rantai industri dan

Josepf E. Stiglitz, Globalization and Its Dsicontent, (Australia: Penguin Books, 2002), hlm. 4.
Nicholas Stern, Globalization and Property, makalah dalam seminar LPEM Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, (2000).

22
23

158

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 145-162

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

Percepatan dan Perluasan Pembangunan


Ekonomi
Indonesia
diselenggarakan
berdasarkan pendekatan pengembangan
pusat-pusat
pertumbuhan
ekonomi,
baik yang telah ada maupun yang baru.
Pendekatan ini pada intinya merupakan
integrasi dari pendekatan sektoral dan
regional. Setiap wilayah mengembangkan
produk yang menjadi keunggulannya.

ind

Visi 2025 diwujudkan melalui 3 misi yang


menjadi fokus utama, yaitu:
a. Peningkatan nilai tambah dan perluasan
rantai nilai proses produksi serta distribusi
dari pengelolaan aset dan akses (potensi)
DSA, geografis wilayah, dan SDM, mealui
penciptaan kegiatan ekonomi yang
terintegrasi dan sinergis di dalam maupun
antar-kawasan pusat-pusat pertumbuhan
ekonomi;
b. Mendorong terwujudnya peningkatan
efisiensi produksi dan pemasaran serta
integrasi pasar domestik dalam rangka
penguatan daya saing dan daya tahan
perekonomian nasional;
c. Mendorong penguatan sistem inovasi
nasional di sisi produksi, proses, maupun
pemasaran
untuk
penguatan
daya
saing global yang berkelanjutan menuju
innovation-driven economy.25

dengan: (1) mendorong realisasi investasi


skala besar di 22 kegiatan ekonomi utama
tersebut; (2) Sinkronisasi rencana aksi nasional
untuk merevitalisasi kinerja sektor riil; dan (3)
Pengembangan center of excellence di setiap
koridor ekonomi. Sementara strategi utama
MP3EI adalah: (1) Pengembangan potensi
ekonomi melalui Koridor Ekonomi; (2) Penguatan
konektivitas; dan (3) Penguatan kemampuan
SDM dan Iptek nasional.26 Dalam hal koridor
ekonomi ini, maka dinyatakan bahwa:

ing

c. Pada tahun 2045, PDB Indonesia akan


menjadi US$ 16,6 triliun, dengan pendapatan
perkapita US$ 46.900, dan menjadi kekuatan
ekonomi dunia ranking ke-7/8 terbesar
dunia.24

lR
ec
hts
V

Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan


ekonomi dilakukan dengan mengembangkan
klaster industri dan Kawasan Ekonomi
Khusus (KEK). Pengembangan pusat-pusat
pertumbuhan ter
sebut disertai dengan
penguatan konektivitas antar-pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi dan antara pusat
pertumbuhan ekonomi dengan lokasi
kegiatan ekonomi serta infrastruktur
pendukungnya.
Secara
keseluruhan,
pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan
konektivitas tersebut menciptakan Koridor
Ekonomi Indonesia (KEI).27

UU Perindustrian No. 3 Tahun 2014 ini


dengan mudah bisa dilihat merupakan alat neoliberal untuk menghapus substansi pasal 33 UUD

na

Fokus dari pengembangan MP3EI ini


diletakkan pada 8 program utama, yaitu
pertanian, pertambangan, energi, industri,
kelautan, pariwisata, dan telematika, serta
pengembangan kawasan strategis. Kedelapan
program utama tersebut terdiri dari 22 kegiatan
ekonomi utama. Inisiatif strategis MP3EI adalah

Lihat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia 2011-2025, Istana Bogor, 11 Februari 2011. Juga lihat Pengembangan Koridor Ekonomi
Indonesia: Kick-off Meeting Penyusunan MP3EI, Hotel Borobudur, Jakarta, 7 Februari 2011.
25
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia 2011-2025, (MP3EI), Jakarta, cetakan I, Mei 2011 (versi final).
26
Ibid, MP3EI Mei 2011, hlm. 24.
27
Ibid, MP3EI Mei 2011, hlm. 31.

Jur

24

Peluang Industri Dan Perdagangan Indonesia ... (Syprianus Aristeus)

159

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

FTA. Bahkan sebenarnya alotnya penyelesaian


RUU Perdagangan sebenarnya juga hendak
menyambut rezim pasar bebas yang lebih
baru lagi, yang dikenal sebagai rezim rantai
pasokan. Karena itu tidak heran bahwa isi-isi
yang terkandung di dalam UU Perdagangan
pada akhirnya memuat semua pengaturan
kearah tersebut. Hal ini bisa dilihat dalam
penerapan asas equal-treatment (kesamaan
perlakuan) antara pemain asing dengan pemain
nasional, yang sudah ditetapkan juga di dalam
UU Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007.
Sebenarnya baik UU Perindustrian dan UU
Perdagangan ini mengacu kepada UU Nomor
25 Tahun 2007. Induk dan benteng dari aturan
liberalisme yang paling kuat adalah di UU
tersebut. Keduanya mengacu penuh kepada UU
Nomor 25 Tahun 2007.
UU Perdagangan juga secara jelas hanya
merujuk pada ayat 4 pasal 33 UUD 45, dan bukan
pada ayat 1-3 pasal 33 UUD 45 (lihat bagian
Penjelasan UMUM). Ini adalah penjelasan
eksplisit yang menyatakan bahwa sebenarnya
UU Perdagangan ini memilih pada versi liberal
dari pasal 33 UUD 45, yang memang menjadi
jalan bagi liberalisasi atas berbagai sektor
ekonomi sebagaimana yang dikehendaki ayat
5 pasal 33 UUD 45 (amandemen). Karenanya
jelas harus diadakan revisi atas UU Perdagangan
yang baru ini.

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

45 yang masih dianut dalam UU no. 5/1984.


Tidak ada lagi ketentuan atau kalimat mengenai
cabang-cabang industri yang penting dan
strategis bagi negara dan menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh Negara. Kalimatkalimat tersebut sudah dihapus di dalam UU
baru ini. Sebaliknya UU Perindustrian yang baru
adalah untuk menciptakan iklim usaha yang
menunjang terbentuknya peningkatan daya
saing sektor industri. Oleh karena itu pengaturan
yang kurang menunjang upaya pembentukan
daya-saing perlu dihilangkan, dengan mengganti
pengaturan yang mendorong kemudahan dalam
usaha. Kalimat dalam penjelasan UU baru
ini jelas menunjuk pada ideologi persaingan
(pasar bebas) yang berkehendak menghapus
aturan-aturan yang membatasi persaingan dan
kebebasan berusaha, khususnya oleh pihak
swasta maupun swasta asing.
UU baru ini juga mengarah pada penyambutan
atas dinamika globalisasi ekonomi, yaitu
sebagai bagian dari rezim rantai nilai/pasokan
global yang sekarang sedang berkembang luas
di dunia. lni Nampak dari definisi industri itu
sendiri yang bunyinya Industri adalah kegiatan
ekonomi yang mengolah bahan baku dan/atau
memanfaatkan sumber daya industri sehingga
menghasilkan barang yang mempunyai nilai
tambah atau manfaat lebih tinggi, termasuk
jasa industri.
Pada tanggal 13 Februari 2014 DPR juga
telah menyetujui UU Perdagangan yang baru,
setelah cukup lama dibahas di DPR. RUU
Perdagangan ini pu
nya semangat yang sama
dengan UU Perindustrian baru tersebut, yaitu
semangat liberalisme perdagangan ala WTO.
Terkesan bahwa, UU Perdagangan ini disiapkan
untuk menyambut rezim perdagangan bebas
yang semakin marak dewasa ini, lewat paket
Bali WTO dan berbagai kesepakatan bilateral

160

D. Penutup
Dengan adanya perdagangan bebas, tidak
ada lagi hambatan yang dibuat oleh suatu negara
dalam melakukan suatu transaksi perdagangan
dengan negara lainnya. Negara-negara di dunia
atau yang terlibat langsung dalam perdagangan
bebas mempunyai hak untuk menjual produk
baik barang ataupun jasa terhadap negara lain
tanpa harus dibebani oleh batasan-batasan pajak

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 145-162

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

dilakukan Negara-negara maju lainnya, agar ada


satu kebijakan industri yang kuat dan bahwa
kebijakan perdagangan dan investasi harus
menginduk kepada kebijakan industri.

DAFTAR PUSTAKA
Buku

ing

Abdurrachman, A, Ensiklopedia Ekonomi Keuangan


Perdagangan, (Jakarta: Pradnya Paramita, Cet.
ke 6, 1991).
Adelman, Irma and Cynthia Taft Maorris, Comparative
Patterns Of Economis Development, 1850-1914
(Baltimore, MD : Johns Hopkins University Press.
1988).
Budiman, Arief, Teori Negara, Negara, Kekuasaan,
dan Ideologi, (Jakarta: Gramedia, 2002)
Dar, Usha dan Pratap K Dar. Investment Opportunities
in ASEAN Countries. (New Delhi: Sterling
Published Pvt, ltd, 1970).
Departemen Kehakiman RI, Badan Pembinaan
Hukum Nasional, Laporan Akhir: Penelitian
Tentang Aspek Hukum Perdagangan Dikaitkan
dengan Penanaman Modal Asing. (Jakarta,
1996).
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI). (Jakarta: Balai
Pustaka, Edisi keempat, 1995).
Elliot Goodman, Jordan dan John Downes, Kamus
Istilah Keuangan & Investasi. Alih bahasa oleh
Soesanto Budhidarmo (Jakarta : Elex Media
Komputendo, 1994).
Erawaty, A.F Elly dan J.S.Badudu. Kamus Hukum
Ekonomi Indonesia Inggris. (Jakarta: ELIPS, edisi
pendahuluan, 1996).
Gilpin, Robert dan Jean Mules Gilpin, The Challenge
of Global Capitalism (Tantangan Kapitalisme
Global) Penerjemah: Haris Munadar, Dudy
Priatna. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Ed. 1,
Cet 1, 2002).
Hartati, Sri, Perdagangan Internasional Indonesia
dan Globalisasi, dalam Tinjauan Kompas,
Menatap Indonesia 2014, Tantangan, Prospek
Politik dan Ekonomi Indonesia, (Jakarta: Kompas,
2014).
Hartono, CFG Sunaryati, Globalisasi dan Perdagangan
Bebas, (Jakarta: BPHN Departemen Kehakiman,
1998).

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

atau bea masuk. Dengan adanya perdagangan


bebas, diharapkan interaksi antarnegara dalam
perdagangan menjadi lebih intensif tanpa harus
dibatasi oleh peraturan yang membelenggu di
dalam negeri negara tujuan. Dengan demikian
kalangan industri dapat mengimpor barang yang
dibutuhkan untuk memacu kegiatan produksi
dan mengekspor produk jadi ke pasar regional
demi memperbaiki volume perdagangan dalam
negeri.
Kehadiran
hambatan
perdagangan
internasional berupa faktor budaya, sosial dan
hukum terus menyajikan tantangan bagi para
pelaku usaha yang memutuskan untuk bergerak
melalui forum organisasi internasional seperti
World Trade Organization (WTO) dan Masyarakat
Ekonomi Asean demi menggulirkan inisiatif
liberalisasi perdagangan kepada pemerintah
baik di tingkat regional maupun multilateral.
Globalisasi dan pasar bebas diharapkan dapat
membawa kesejahteraan dan pertumbuhan,
namun hanya bagi segelintir orang karena
sebagian besar dunia ini tetap menderita. Ketika
budaya lokal makin hilang akibat gaya hidup
global, tiga perempat penghuni bumi ini harus
hidup dengan kurang dari dua dolar sehari. Satu
miliar orang harus tidur dengan kelaparan setiap
malam. Satu setengah miliar penduduk bola
dunia ini tidak bisa mendapatkan segelas air
bersih setiap hari. Satu ibu mati saat melahirkan
setiap menit.
Untuk itu harus segera dijalankan sebuah
transformasi
industrialisasi
berdasarkan
sebuah kebijakan industrial (industrial policy)
yang selektif, sehingga dengan potensi dan
kekayaan sumber daya alamnya tidak lama
lagi akan menjadi Negara industri maju. Hal ini
perlu dilakukan dengan cara penguatan peran
Kementerian Perindustrian dan Perdagangan
menjadi satu kementerian, sebagaimana yang

Peluang Industri Dan Perdagangan Indonesia ... (Syprianus Aristeus)

161

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

Suparno, Penegakan Hukum Penanaman Modal di


Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010).
Winardi, Kamus Ekonomi (Inggris-Indonesia)
(Bandung: Alumni, Cet. 8, 1982).
Yanto Bashri (ed), Mau Ke Mana Pembangunan
Ekonomi Indonesia. Prisma Pemikiran Prof. Dr.
Dorodjatun Kuntjoro-Jakti. (Jakarta: Predna
Media, 2003).

Makalah/ Artikel/ Prosiding/ Hasil Penelitian

ing

A Coss, Ronald, The Rule of Law In America, 1-22


(2001), dalam Rohit Sachdev, Comparing The
Legal Fondations of Foreign Direct Investment
in India and China: Law and Rule Of Law In
The Indian Foreign Direct Investment Context
Columbia Journal of Law & the Arts, Vol.25
(2001).
M. Friedman, Lawrence, On Legal Development,
Rutgers Law Review, (Vol.23, 1969).
Panglaykim, J. Era Pasca Minyak Identik dengan
Strategi Eskpor Nasional. Dalam Analisa, Tahun
XIV, No.1, (Januari, 1985).

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

J.Theberge, Leonard, Law and Economic


Development,Journal of International Law and
Policy, Vol. 9, (1980).
Luhulima, C.P.F., Dinamika Asia Tenggara Menuju
2015, (Jakarta: Pustaka Pelajar & LIPI, 2011).
M. Friedman, Lawrence, American Law, (New York:
W.W. Norton and Company, 1984).
Napitupulu, B, Joint Ventures di Indonesia. (Jakarta:
Erlangga, 1975).
Rusdin, Bisnis lnternasional dalam Pendekatan
Praktik. Jilid 1. (Bandung: Alfabeta, 2002).
Rusli, M, Opensky Bali Concord II ASEAN, (Padang:
(tanpa penerbit), 2012).
Sugeng Hadiwinata, Bob, Politik Bisnis Internasional
(Yogyakarta: Kanisius, Cet. 1, 2002).
Suhardi, Gunarto, Beberapa Elemen Penting dalam
Hukum Perdagangan Internasional. (Yogyakarta:
Universitas Atmajaya, 2004).
Sumantoro,
Bunga
Rampai
Permasalahan
Penanaman Modal/ Problems of Investment in
Equities and in Securities. (Bandung: Binacipta,
1990).

162

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 145-162

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

ASPEK HUKUM PERATURAN DAN KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA


MENGHADAPI LIBERALISASI EKONOMI REGIONAL:
MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015
(Legal aspect of Indonesian Government Regulation against Regional Economic Liberalization:
ASEAN Economic Community 2015)
Masnur Tiurmaida Malau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional BPHN


Email: moniquest_7th@yahoo.com/moniq.malau@gmail.com

ing

Naskah diterima: 17 Juli 2014; revisi: 12 September 2014; disetujui: 15 September 2014

lR
ec
hts
V

ind

Abstrak
Akselerasi penerapan Masyarakat Ekonomi ASEAN di 2015 menuntut upaya-upaya persiapan yang maksimal dari negaranegara anggotanya termasuk Indonesia. Salah satu sendi kehidupan yang penting dipersiapkan yaitu sendi hukum dalam
sektor tertentu seperti persaingan usaha dan liberalisasi jasa. Hal ini penting karena dapat menciptakan alur serta panduan
bagi suatu negara untuk mencapai tujuan yang diharapkan dan juga dapat mengarahkan masyarakat serta perangkat negara
lainnya menuju tahap yang ingin dicapai, sehingga pengaturan melalui kebijakan (policy) ini merupakan langkah pertama
sebagai upaya mempersiapkan Indonesia menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan datang. Kajian ini dilakukan
dengan tujuan untuk memberikan pandangan bagaimana kesiapan Indonesia dalam hal peraturan untuk menghadapi
liberalisasi jasa dan persaingan usaha. Metode pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah deskriptif analitis
yang menjelaskan dan menganalisis dari sisi hukum berbagai peraturan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam
persiapan menuju ASEAN Economic Community 2015. Hasil dari kajian ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia
berusaha mempersiapkan diri melalui berbagai peraturan guna menyongsong ASEAN Economic Community 2015 walaupun
dari segi pelaksanaan belum optimal dan belum menyentuh seluruh segi kehidupan bernegara, pemerintah Indonesia
harus segera mengoptimalkan usaha guna memperkuat kesiapan Indonesia bersaing dalam ASEAN Economic Community
2015.
Kata Kunci: kebijakan, perangkat negara, persaingan usaha

Jur

na

Abstract:
Towards ASEAN Economic Community 2015 ASEAN member countries including Indonesia need to maximize efforts in
preparing. One of the important parts of life which need to prepare is law aspect by some legal instruments in specific
aspect such as competition and service liberalization. This is important because legal instruments can create pattern and
guidelines for a country to achieve aims and to guide their society and government to achieve path of life that they want, so
policy recognize as starting step for countries among ASEAN to move forward towards ASEAN Economic Community. This
research doing to give perspective of how Indonesia governments preparation in regulation towards service liberalization
and competition. Approaching methods that using in this research is analyzing descriptive that describe and analyzing
what policies that government had taken and how to implement that policies to meet ASEAN Economic Community. Result
of this research shows that Indonesian government has done many efforts through some policies towards ASEAN Economic
Community 2015 eventough from implementation perspective cannot reach all societys aspect of life in order to reach
that goal Indonesian government should optimize policies to strengthening Indonesias competitiveness towards ASEAN
Economic Community 2015.
Keywords: policy, legal instrument, competition

Aspek Hukum Peraturan Dan Kebijakan Pemerintah Indonesia ... (Masnur Tiurmaida Malau)

163

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

Disepakatinya Visi ASEAN 2020 pada bulan


Desember 1997 di Kuala Lumpur menandai
sebuah babak baru dalam sejarah integrasi
ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Dalam
deklarasi tersebut, pemimpin negara-negara
ASEAN sepakat untuk mentransformasikan
kawasan Asia Tenggara menjadi sebuah
kawasan yang stabil, sejahtera dan kompetitif,
didukung oleh pembangunan ekonomi yang
seimbang, pengurangan angka kemiskinan
dan kesenjangan sosio-ekonomi di antara
negara-negara anggotanya.1 Komitmen untuk
menciptakan suatu Masyarakat ASEAN (ASEAN
Community) sebagaimana dideklarasikan dalam
visi tersebut, kemudian semakin dikukuhkan
melalui ASEAN Concord II pada Pertemuan
Puncak di Bali Oktober 2003, atau yang
lebih dikenal sebagai Bali Concord II, dimana
para pemimpin ASEAN mendeklarasikan
pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN
(ASEAN Economic Community) sebagai tujuan
dari integrasi ekonomi kawasan pada 2020.2
Dalam Pertemuan Tingkat Menteri ASEAN
(ASEAN Economic Ministers MeetingAEM)
yang diselenggarakan pada bulan Agustus
2006 di Kuala Lumpur, komitmen yang kuat
menuju terbentuknya integrasi ekonomi
kawasan ini diejawantahkan ke dalam gagasan
pengembangan sebuah cetak biru menuju
Masyarakat Ekonomi ASEAN yang kemudian
secara terperinci disahkan dan diadopsi oleh
seluruh negara anggota ASEAN pada November
2007. Bahkan, sebelumnya dalam Pertemuan
Puncak ASEAN ke-12 pada Januari 2007,

komitmen yang kuat para pemimpin negaranegara ASEAN terhadap pembentukan MEA
ini, semakin tercermin dari disepakatinya
upaya percepatan terwujudnya komunitas
tersebut pada tahun 2015. Pada pertemuan
tersebut, para pemimpin ASEAN sepakat untuk
mempercepat pembentukan MEA pada tahun
2015 dan mentransformasikan ASEAN menjadi
sebuah kawasan dimana barang, jasa, investasi,
pekerja terampil, dan arus modal dapat bergerak
dengan bebas.
AEC tahun 2015 merupakan suatu program
bagi negara-negara ASEAN untuk lebih
meningkatkan kualitas ekonomi khususnya
perdagangan sebagaimana terdapat dalam
ASEAN Economic Community (AEC) Blueprint.3
AEC Blueprint sebagai arahan atau acuan
perwujudan AEC 2015 yang akan datang. Dalam
AEC Blueprint terdapat beberapa pilar, namun
dalam kajian ini fokus penulis terletak pada
pilar Association of South East Asia Nations
(ASEAN) sebagai pasar tunggal dan berbasis
produksi tunggal yang didukung dengan unsur
aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja
terdidik, dan aliran modal yang lebih bebas dan
terintegrasi dalam satu kawasan di regional Asia
Tenggara.ASEAN Community dibentuk dengan
tujuan untuk lebih mempererat integrasi ASEAN
dalam menghadapi perkembangan konstelasi
internasional baik dalam bidang ideologi, politik,
ekonomi, sosial budaya, maupun keamanan dan
pertahanan.
AEC yang telah disepakati pada Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-19 yang
diselenggarakan di Bali, 17 November 2011

ing

A. Pendahuluan

ASEAN Vision 2020, http://www.aseansec.org/1814. htm, (diakses 8 September 2014).


ASEAN Concord II/Bali Concord II, http://www.aseansec.org/15159.htm, (diakses 8 September 2014).
3
ASEAN Economic Community Blueprint,http://www.aseansec.org/21083.pdf, (diakses 8 September 2014).
1
2

164

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 163-182

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

menghilangkan tariff (hingga nol persen) dan


non tariff barrier dalam kegiatan perdagangan
intrakawasan.5 Pasar Tunggal ASEAN tidak hanya
mengacu pada konsep ASEAN sebagai single
market, tetapi juga sebagai single production
base yang akan membutuhkan liberalisasi
capital dan tenaga kerja terampil.6
Dampak lain pemberlakuan MEA yakni
MEA menjadi lisensi persaingan (license to
competition) antara mereka di dalam kawasan.
Kebijakan ini diambil dalam rangka terjadinya
persaingan di tingkat global. Dalam rangka
mendorong lahirnya kawasan yang memiliki
daya saing, ASEAN sudah menyiapkan kerangka
bagaimana mekanisme pasar bebas ASEAN
dirancang. Rumusan kebijakan persaingan
menjadi isu yang sangat strategis. Salah satu
karakteristik kunci MEA adalah tercapainya
Competitive Economic Region. Namun apakah
semua
negara-negara
ASEAN
memiliki
kemampuan yang sama untuk bersaing meski
dengan tetangga sendiri, melalui implementasi
kebijakan dan hukum persaingan usaha.
Dalam konteks pasar bebas ASEAN, Kebijakan
dan Hukum Persaingan Usaha ini akan sangat
dibutuhkan karena pada tahun 2015 nanti pasar
dimana transaksi perdagangan barang dan atau
jasa sudah terbuka.

Jur

Mohamed Jahwar Hassan, The Resurgence of China and India, major Power Rivalry and The Response of ASEAN,
dalam Hadi Soesastro dan Clara Joewono (eds.), The Inklusif Regionalist, , (Jakarta: Centre For Strategic And
International Studies Indonesia, 2007), hlm. 139.
Hambatan non tarif terdiri dari hambatan kebijakan impor, persyaratan standarisasi, pengujian, labeling dan
sertifikasi, tindakan anti dumping dan pencegahan, subsidi ekspor dan dukungan domestik, pengadaan oleh
pemerintah, hambatan jasa, kurangnya perlindungan hukum terhadap Hak Kekayaan Intelektual dan hambatanhambatan lainnya. Hambatan kebijakan impor, sebagai contoh disesuaikan dengan pasal XX dari GATT yang
memperbolehkan larangan impor atas dasar kesehatan moral publik, keselamatan manusia, binatang atau
tanaman setempat, atau jika menyangkut harta nasional yang bersifat artistik, histori ataupun arkeologis dalam
Ariawan Gunadi dan Serian Wijatno, Perdagangan Bebas dalam Perspektif Hukum Perdagangan Internasional
(Jakarta: PT. Grasindo, 2014), hlm. 39.
Zainuddin Djafar, Moon Young Ju dan Anissa Farha Mariana, Peran Strategis Indonesia dalam Pembentukan ASEAN
dan Dinamikanya, Kajian Kebijakan Polugri RI, UKM Regional, Implikasi Liberalisasi Perdagangan, Realitas Piagam
ASEAN dan Esensi Kompetisi Regional, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), 2012), hlm. 132.

na

lR
ec
hts
V

ind

ini telah merumuskan kesepakatan bersama


para pemimpin negara-negara ASEAN berupa
pencapaian ASEAN Community yang dimulai
dengan penerapan AEC pada 2015. Pada 2015
nanti, ASEAN akan terintegrasi menjadi satu
masyarakat ekonomi yang tergabung dalam
ASEAN Economic Community (AEC) atau disebut
juga Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Area kerjasama AEC meliputi pengembangan
sumber daya manusia dan peningkatan
kapasitas, pengakuan kualifikasi profesional,
konsultasi lebih dekat pada kebijakan makro
ekonomi dan keuangan, langkah-langkah
pembiayaan
perdagangan,
peningkatan
infrastruktur dan konektivitas komunikasi,
pengembangan transaksi elektronik melalui
e-ASEAN, mengintegrasikan industri di seluruh
wilayah untuk mempromosikan sumber daya
daerah, dan meningkatkan keterlibatan sektor
swasta untuk membangun AEC.4
Dalam rangka mendukung pembentukan
MEA negara-negara anggota telah menyepakati
pembentukan ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang
dimulai dengan komitmen untuk menurunkan
tariff barrier hingga mencapai kisaran 0 (nol)
hingga 5 persen. Untuk mencapai komitmen
Pasar Tunggal ASEAN 2015, kondisi tersebut
akan ditingkatkan lagi dengan upaya untuk

Aspek Hukum Peraturan Dan Kebijakan Pemerintah Indonesia ... (Masnur Tiurmaida Malau)

165

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

Tren pengembangan UKM di ASEAN, seperti


halnya integrasi ekonomi ASEAN tidak terlepas
dari pengaruh China Factor yang kemudian
diadopsi juga oleh Korea Selatan.8
Pentingnya pertumbuhan dan pengem
bangan sektor UKM skala regional juga perlu
diperhitungkan, terutama dalam rangka
integrasi ekonomi ASEAN. Wacana peningkatan
daya saing UKM regional ini juga dipicu oleh
gelombang krisis Asia 1997 yang membuktikan
bahwa sektor UKM lebih stabil dibandingkan
dengan kalangan korporasi. Peran UKM regional
dalam pertumbuhan ekonomi ASEAN baru mulai
marak dibicarakan setelah tahun 2003 sejak
dicetuskannya rencana penerapan AEC. Peran
sektor UKM sebagai backbone perekonomian
negara-negara anggota ASEAN semakin diakui.
Disamping sebagai penyedia lapangan kerja
domestik terbesar, sektor UKM juga dipandang
sebagai kontributor utama bagi pertumbuhan
ekonomi. Sektor UKM yang lebih kompetitif
dan inovatif akan membantu terlaksananya
pembangunan yang berkelanjutan di kawasan
ASEAN, terutama sebagai pendorong kesuksesan
AEC.
Berdasarkan data dari Divisi Populasi
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) jumlah
populasi penduduk di negara ASEAN mencapai
633,1 juta jiwa di tahun 2015 nanti dengan
populasi Indonesia mencapai 237,641,326 jiwa9
hingga tahun 2010 saja sehingga Indonesia
menjadi negara dengan jumlah penduduk
terbanyak di kawasan regional ASEAN, hal

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

Di tahun 2015, transaksi perdagangan dan


jasa akan menyatu dan berintegrasi dalam satu
pasar bersama. Hal ini berarti bahwa pelaku
usaha di Indonesia khususnya pelaku usaha
yang berkeinginan untuk melakukan ekspansi
usaha di ASEAN atau berhubungan dengan
pelaku usaha di negara-negara ASEAN lainnya
harus memahami hukum usaha yang berlaku
di negara-negara anggota termasuk hukum
persaingan usaha. Usaha untuk menciptakan
daya saing melalui hukum dan kebijakan
persaingan, ASEAN melalui Sekretariat ASEAN
telah melakukan sejumlah aksi. Melalui
ASEAN Expert Group on Competition (AEGC)
sebagai lembaga struktural di ASEAN yang
menangani implementasi hukum persaingan
telah menginisiasi dan mempromosikan hal
ini. Tercatat hingga saat ini, lima negara ASEAN
yang telah memberlakukan hukum persaingan
yaitu Indonesia dan Thailand (1999), Singapore
dan Vietnam (2004) serta Malaysia (2012),
sementara 5 negara lainnya masih dalam tahap
legislasi.7
Setelah gelombang krisis ekonomi melanda
sebagian Asia Timur dan Tenggara pada akhir
1990-an, muncul perhitungan dan analisis
yang lebih responsif terhadap kemungkinan
dampak negatif liberalisasi ekonomi. Kejadian
tersebut telah memperkuat legitimasi aktoraktor ekonomi alternatif yang lebih stabil
dan tahan banting yang selama ini belum
diperhitungkan secara teoritis dalam paradigma
ilmu hubungan internasional, yaitu sektor UKM.

166

Nawir Messi, Kompetisi menuju pasar bebas ASEAN, Kompetisi Edisi 42 (2013): 5.
Michael G.Plummer, Creating an ASEAN Economic Community: Lesson from the EU and Reflections on the Roadmap
dalam Denis Hew, Roadmap to an ASEAN Economic Community (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies,
2005), hlm 42.
Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, Indikator Sosial Budaya 2003, 2006, 2009, dan 2012 Badan Pusat
Statistik Republik Indonesia www.bps.go.id/tab_sub/view.php/tabel (diakses 9 September 2014).
Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 163-182

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

tidak terpisahkan dari koperasi. Pemerintah


membentuk Kementerian Negara Koperasi
dan UKM untuk membantu Presiden dalam
merumuskan kebijakan di bidang koperasi
dan UKM. Dalam melaksanakan tugasnya,
Kementerian Negara KUKM memiliki fungsifungsi berikut: (1) perumusan kebijakan nasional
di bidang UKM; (2) koordinasi pelaksanaan
kebijakan;(3) pengelolaan kekayaan negara
yang menjadi tanggung jawab Kementerian
Koperasi;(4) pengawasan atas pelaksanaan
tugas; dan (5) penyampaian laporan, saran, dan
pertimbangan kepada Presiden.
Dalam menghadapi MEA banyak tantangan
yang dihadapi sektor UKM Indonesia. Mitsuhiro
Hayashi dalam hasil penelitiannya telah
menyatakan bahwa permasalahan dalam
pengembangan UKM di Indonesia adalah belum
adanya proses implementasi yang selaras
dengan kebijakan pemerintah. Hampir senada
dengan pendapat tersebut, Thomas A.Timberg
menyatakan bahwa hambatan pengembangan
UKM di Indonesia justru disebabkan oleh sistem
birokrasi dan situasi ekonomi-politik dalam
negeri yang kurang kondusif.12
Beberapa Kementerian telah melakukan
persiapan melalui kebijakan-kebijakannya an
tara lain empat prioritas kebijakan Kementerian
Perdagangan khususnya Direktorat Kerjasama
ASEAN yang menekankan UKM sebagai salah
satu sektor yang dianggap dapat menjadi
penggerak perekonomian yang setara di
kawasan ASEAN. Empat kebijakan prioritas
yang terkait UKM yaitu mempercepat

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

ini dapat menjadi peluang sekaligus menjadi


tantangan bagi Indonesia dalam menghadapi
pasar tunggal ASEAN 2015, maka Pemerintah
Indonesia dituntut menghasilkan berbagai
Peraturan dan Kebijakan yang tepat agar tujuan
ASEAN dan Tujuan Nasional dapat tercapai
secara beriringan.
Sebagai salah satu pendiri ASEAN sudah
seharusnya pemerintah Indonesia melakukan
berbagai upaya guna meningkatkan kinerja
lembaga-lembaga pemerintahan dan non
pemerintahan yang sudah ada dalam
menghadapi integrasi perekonomian melalui
MEA.10 Sektor Usaha Kecil Menengah (UKM)
mendapat perhatian dalam upaya meningkatkan
daya saing ekonomi Indonesia dalam MEA
mengingat bahwa krisis moneter yang pernah
terjadi di dunia telah membuktikan bahwa krisis
keuangan tidak berimbas besar pada sektor
UKM Indonesia sehingga sudah sepantasnya
UKM mendapat porsi yang lebih besar untuk
ditingkatkan dan dikembangkan sehingga layak
bersaing dalam kompetisi ekonomi Internasional
pada umumnya dan regional khususnya.
Dari tahun ke tahun peran UKM Indonesia
terhadap perolehan PDB Nasional cenderung
stagnan, dalam perolehan PDB Nasional
kelompok usaha kecil memberikan kontribusi
yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok
usaha menengah. Institusi pemerintahan yang
berwenang dalam perumusan kebijakan UKM
di Indonesia adalah Kementerian Koperasi dan
Usaha Kecil dan Menengah.11 Secara umum
pengembangan sektor UKM di Indonesia

Dodi Mantra, Hegemoni dan diskursus Neoliberalisme: Menelusuri Langkah Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi
ASEAN 2015 (Bekasi: Mantra Press, 2011) hlm. 97.
11
M. Kuncoro, Analisis Spasial dan Regional: Studi Aglomerasi dan Kluster Industri Indonesia. (Yogyakarta: UPP AMP
YKPN, 2002) hlm. 51.
12
Hayashi, Mitsuhiro, Development of SMEs in the Indonesian Economy, Journal of Asian Economics (2002) : 9.
10

Aspek Hukum Peraturan Dan Kebijakan Pemerintah Indonesia ... (Masnur Tiurmaida Malau)

167

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

Tenggara ini akan benar-benar memperluas


potensi masing-masing negara.14 Model ini
berhasil diterapkan sebelumnya di Eropa
melalui Uni Eropa. Akankah Indonesia berhasil
mencapai tujuan AEC sekaligus meningkatkan
pertahanan
nasional
dan
melindungi
kepentingan Nasional atau AEC justru menjadi
ancaman bagi Indonesia.
Berbagai pendapat atau kritikan terkait
ketidaksiapan Indonesia dalam menghadapi
AEC patut dipertimbangkan. Kondisi ini tentu
bukanlah hal yang baik bagi Indonesia karena
hal ini dapat mempengaruhi pandangan negaranegara lain terhadap Indonesia.15 Kekhawatiran
serta stigma yang terdapat di masyarakat baik
nasional maupun internasional harus disikapi
dan ditangani dengan hati-hati oleh pemerintah
karena seluruh upaya yang ditempuh maupun
yang akan ditempuh harus sesuai tujuan agar
menghilangkan atau meminimalisir anggapan
pesimis tersebut, karena sedikit kekeliruan dapat
menjadi ancaman bagi Indonesia dipenghujung
tahun 2015 nanti.
Dari uraian latar belakang diatas dan dalam
rangka menjawab pertanyaan atau keraguan
yang diuraikan tersebut, penulis memfokuskan
untuk menjawab Bagaimana aspek hukum
Persaingan Usaha menghadapi MEA 2015?,
dan Bagaimana peluang dan tantangan bagi
Indonesia dalam menyongsong ASEAN Economic
Community (AEC) 2015?, serta Peraturan dan
kebijakan apa saja yang diambil Pemerintah

na

lR
ec
hts
V

ind

pengembangan UKM, memperkuat daya saing


dan dinamika UKM ASEAN dengan memfasilitasi
akses terhadap informasi, pasar, sumber daya
manusia dan keahlian, keuangan dan teknologi,
memperkuat UKM ASEAN untuk membantu
masalah-masalah makro ekonomi, kesulitan
keuangan maupun tantangan dalam liberalisasi
perdagangan serta meningkatkan kontribusi
UKM bagi pertumbuhan ekonomi menyeluruh
dan pengembangan ASEAN sebagai kawasan.13
Upaya penguatan kinerja bukan hanya tugas
dari Kementerian terkait seperti Kementerian
Perdagangan serta Kementerian lainnya di
bidang perekonomian saja, melainkan seluruh
Kementerian atau lembaga selaku perangkat
negara pun harus turut serta meningkatkan
kinerja sebagai upaya meningkatkan daya saing
untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN
2015 yang akan datang, karena pemberlakuan
AEC 2015 akan berdampak sangat luas terhadap
segi kehidupan bernegara. Pemerintah selaku
perangkat negara yang diberikan kewenangan
untuk melakukan pengaturan melalui kebijakan
harus dapat mengoptimalkan peran dan
fungsinya, karena peluang besar yang terdapat
dalam pemberlakuan AEC 2015 dapat menjadi
pedang bermata dua jika tidak dipersiapkan
dengan baik.
Pemberlakuan AEC 2015 akan berdampak
luas terhadap sendi-sendi kehidupan berbang
sa sehingga sudah seharusnya membuat peme
rintah Indonesia berpikir lebih keras karena
terintegrasinya perekonomian seantero Asia

Djatmiko Bris Witjaksono, Bertahan dan Menang menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015
(makalah disampaikan dalam pembukaan Seminar setengah hari, Jakarta, Indonesia, Rabu, 11 Desember 2013
dalam www.kemendag.go.id/id/news/2013/12/12 (diakses 8 September 2014).
14
C.P.F.Luhulima, Dinamika Asia Tenggara menuju 2015, (Jakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Pusat
Penelitian Politik (P2P) LIPI,2010) hlm. 40.
15
Hendra Halwani, M.A dan Prijono Tjiptoherijanto, Perdagangan Internasional: Pendekatan Ekonomi Mikro dan
Makro, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1993), hlm. 37.

Jur

13

168

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 163-182

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

Economic

B. Metode Penelitian

lR
ec
hts
V

ind

Penelitian ini menggunakan metode


penelitian hukum yuridis normatif16. Data
yang ada dihubungkan satu sama lain melalui
studi kepustakaan (library research), dikaji dan
diinterpretasi dan dianalisa untuk selanjutnya
ditarik kesimpulannya. Metode penelitian
yuridis normatif adalah penelitian yang mengacu
kepada norma-norma hukum yang terdapat
dalam
peraturan
perundang-undangan,
konvensi internasional, perjanjian internasional
dan putusan-putusan pengadilan17. Dimana
sumber datanya diperoleh dari bahan
kepustakaan atau data sekunder,18 yang terdiri
dari dari bahan hukum primer, antara lain
norma atau kaidah dasar, yaitu pembukaan UUD
NRI Tahun 1945, Batang Tubuh UUD NRI 1945,
dan peraturan perundang-undangan sedangkan
bahan hukum sekunder, antara lain buku-buku,
hasil penelitian, serta pendapat pakar hukum.
Data yang diperoleh akan dianalisis dengan
metode deskriptif kualitatif.

lah berperan secara aktif menjadi centre of


excellence dalam pengembangan hukum
persaingan ini di ASEAN melalui pembagian
pengalaman (sharing experience), pengiriman
tenaga ahli ke negara anggota, tujuan studi
banding dan tempat magang serta berkontribusi
penting dalam penyusunan beberapa produk
AEGC yaitu sebagai ketua dalam penyusunan
Guidelines on Developing Core Competencies in
Competition Policy and Law for ASEAN (2013)
dan berkontribusi aktif dalam penyusunan
ASEAN Regional Guidelines on Competition
Policy (2010) dan Handbook on Competition
Policy and Law in ASEAN for Business (2011)19.
Implementasi ASEAN Economic Blueprint dalam
mewujudkan MEA akan membawa konsekuensi
baru bagi dunia usaha di Indonesia. Dalam per
spektif kompetisi, konsekuensi dari terbukanya
pasar akibat kebebasan peredaran barang dan
jasa (free flow of goods and services) adalah
munculnya persaingan baru, pasar bersangkutan
baru dan potensi ketersentuhan pelaku usa
ha Indonesia dengan hukum persaingan nega
ra-negara tetangga seperti Malaysia dan
Singapura.20
Lalu bagaimana kesiapan Indonesia
menghadapi MEA? Banyak kalangan yang
khawatir kalau Indonesia malah jadi pecundang
di era ini. MEA 2015 bisa saja menjadi berkah
bagi Indonesia namun sekaligus menjadi
petaka. MEA bisa menjadi petaka apabila
produk pertanian kita tidak mampu bersaing

BP
HN

ASEAN

ing

Indonesia menyongsong
Community 2015?

C. Pembahasan

1. Aspek Hukum Persaingan Usaha


Indonesia Menghadapi MEA 2015

na

Indonesia sebagai salah satu negara pertama


yang memberlakukan hukum persaingan te

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: CV Rajawali,
1990), hlm. 15.
C.F.G Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20 (Bandung: Alumni, 1994), hlm.
143.
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 118.
J. Bhagwati, The World Trading System at Risk, (Hertfordshire: Harvester Wheatsheaf, 1991) hlm. 77.
Shoffwan Al Banna Choiruzzad, Sedia Payung Sebelum Hujan: Perdagangan Bebas dampak bagi Para Pekerja dan
Bagaimana Menghadapinya dalam Ariawan, Op cit., hlm. 175.

Jur

16

17



20

18
19

Aspek Hukum Peraturan Dan Kebijakan Pemerintah Indonesia ... (Masnur Tiurmaida Malau)

169

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

pengambilan keputusan oleh negara. Indonesia


diminta agar lebih sigap dalam melihat
peluang dan tantangan menghadapi liberalisasi
ekonomi Asia Tenggara. Pemerintah juga harus
mendorong penciptaan pasar-pasar baru bagi
berbagai produk Indonesia. Apabila Indonesia
tidak siap, maka bisa dipastikan Indonesia hanya
akan menjadi pasar berbagai produk impor.
Semakin banyak kalangan yang menyangsikan
kalau ekonomi Indonesia akan mampu
menghadapi pasar bebas untuk kawasan
ASEAN. Dasarnya, daya saing produk dalam
negeri Indonesia masih lemah.23 Indikasinya
dilihat dari banyaknya produk impor di pasar
domestik. Ketahanan ekonomi menjelang pasar
bebas ASEAN cukup mengkhawatirkan karena
dengan daya saing kita yang terus merosot,
yang dibuktikan dengan membanjirnya produkproduk impor, membanjirnya produk impor di
pasar domestik menunjukkan daya saing produk
domestik lemah, daya saing yang melemah
harus dicermati, kalau tidak Indonesia akan
menjadi bangsa yang kalah di Asia Tenggara.

2.
Peluang dan Tantangan Menuju
Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.

Indonesia merupakan negara yang terbesar


populasinya di kawasan ASEAN. Masyarakat
Indonesia juga merupakan negara heterogen
dengan berbagai jenis suku, bahasa dan adat
istiadat yang terhampar dari Sabang sampai
Merauke. Indonesia mempunyai kekuatan
ekonomi yang cukup bagus, pertumbuhan

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

dengan produk pertanian dari negara ASEAN


yang lain. Aliran modal dan investasi dari luar
hanya mengeruk hasil bumi dan tenaga kerja
terdidik menjadi penonton di negaranya sendiri.
Untuk itu perlunya upaya mengoptimalisasi
sektor pertanian Indonesia di MEA 2015
dengan cara memperkokoh konektivitas antar
wilayah untuk menjadi bagian di tingkat ASEAN,
dan selanjutnya di tingkat global. Memberi
ruang bagi setiap daerah untuk berkembang
sesuai dengan keunikan dan comparative
advantage yang dimilikinya, pengembangan
inovasi teknologi dan penyiapan infrastruktur
pendukung dalam rangka meningkatkan daya
saing, harmonisasi prosedur, peraturan, dan
standar yang menuju pada peningkatan kualitas
dan keamanan pangan (mengacu pada AEC
Blueprint), memasyarakatkan MEA sampai ke
tingkat grass-root society.21
Kekhawatiran tidak hanya datang dari
kalangan akademisi. Kalangan pelaku bisnis
juga memiliki kekhawatiran yang sama
tentang kesiapan Indonesia menghadapi pasar
bebas ASEAN. Pemerintah maupun dunia
usaha dianggap belum terlihat berupaya
mengintegrasikan program untuk persiapan ke
arah MEA. Padahal dalam menghadapi MEA,
ada keterlibatan integratif dalam pembuatan
kebijakan. Langkah ini sudah dilakukan negaranegara ASEAN lain seperti Singapura, Malaysia,
dan Thailand.22 Sementara Indonesia masih
harus berbenah. Mengapa? karena sektor
swasta masih jauh berada di luar lingkaran

Agus Brotosusilo, Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan Internasional: Studi tentang Kesiapan Hukum Indonesia
melindungi Produksi Dalam Negeri melalui Undang-Undang Anti Dumping dan Safeguard, (Disertasi Universitas
Indonesia, 2006), hlm. 95.
22
Komunitas ASEAN 2015, www.setneg.go.id/index.php/option (diakses 10 September 2014).
23
James Luhulima, Kebijakan Luar Negeri RI, Berpolitik secara Cerdas, (Tinjauan Kompas Menatap Indonesia
2014 Tantangan, Prospek Politik dan Ekonomi Indonesia), 2014:40.
21

170

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 163-182

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

Dengan hal tersebut banyak sekali yang bisa kita


wujudkan terutama dengan merealisasikan AEC
2015 nanti.
Stabilitas ekonomi Indonesia yang kondusif
ini merupakan sebuah peluang dimana Indonesia
akan menjadi sebuah kekuatan tersendiri,
apalagi dengan sumber daya alam yang begitu
besar, maka akan sangat tidak masuk akal
apabila kita tidak bisa berbuat sesuatu dengan
hal tersebut. Peluang yang sudah terbuka ini,
kalau tidak segera dimanfaatkan, kita akan
tertinggal, karena proses ini juga diikuti gerak
negara lain dan hal itu terus bergulir.
Secara garis besar peluang Indonesia me
nyongsong MEA seperti dibawah ini

ind

ekonomi tertinggi di dunia (4,5%) setelah


Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan India.
Ini akan menjadi modal yang penting untuk
mempersiapkan masyarakat Indonesia menuju
AEC tahun 2015.24
Sebagai salah satu dari tiga pilar utama
ASEAN Community 2015, AEC yang dibentuk
dengan misi menjadikan perekonomian di
ASEAN menjadi lebih baik serta mampu bersaing
dengan Negara-negara yang perekonomiannya
lebih maju dibandingkan dengan kondisi
Negara-negara anggota ASEAN saat ini.25
Selain itu juga dengan terwujudnya ASEAN
Community yang dimana didalamnya terdapat
AEC, dapat menjadikan posisi ASEAN menjadi
lebih strategis di kancah Internasional, bangsa
Indonesia mengharapkan dengan terwujudnya
komunitas masyarakat ekonomi ASEAN ini
dapat membuka mata semua pihak, sehingga
terjadi suatu dialog antar sektor yang dimana
nantinya juga saling melengkapi diantara para
stakeholder sektor ekonomi di Negara-negara
anggota ASEAN ini sangat penting.26 Untuk itu
kita harus mampu meningkatkan kepercayaan
diri bahwa sebetulnya apabila kita memiliki
kekuatan untuk bisa bangkit dan terus menjaga
kesinambungan stabilitas ekonomi kita yang
sejak awal pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono ini terus meningkat, angka
kemiskinan dapat ditekan seminim mungkin,
dan progres dalam bidang ekonomi lainnya pun
mengalami kemajuan yang cukup signifikan.

lR
ec
hts
V

a. Pasar Potensial Dunia.


Indonesia penduduk yang terbesar di ka
wasan (40% dari total penduduk ASEAN).
Hal ini dapat menjadikan Indonesia sebagai
Negara ekonomi yang produktif dan dinamis
yang dapat memimpin pasar ASEAN di masa
depan dengan kesempatan penguasaan pa
sar dan investasi. Merupakan pasar potensial
yang memiliki luas wilayah dan jumlah.

na

b. Negara tujuan investasi.


Indonesia merupakan Negara tujuan
investor ASEAN. Proporsi investasi Negara
ASEAN di Indonesia mencapai 43% atau
hamper tiga kali lebih tinggi dari rata-rata
proporsi investasi negara-negara ASEAN di
ASEAN yang hanya sebesar 15%.27

Sjamsul Arifin, Dian Ediana Rae, Charles P.R. Joseph, Kerjasama Perdagangan Internasional: Peluang dan
tantangan bagi Indonesia, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2007) hlm. 73.
25
The ASEAN Economic Community (AEC) shall be the goal of regional economic integration by 2015, AEC envisages
the following key characteristics: (a) a single market and production base (b) a highly economic competitive
region, (c) a region of equitable economic development, integrated into the global economy (http://www.aseansec.
org/18757.htm diakses tanggal 10 September 2014).
26
Hendra Halwani, Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 246.
27
Berry, A, E. Rodriguez and H. Sandee, Small and Medium Enterprise Dynamics in Indonesia, (Bulletin of
Indonesian Economic Studies, Vol. 37 No. 2, 2001):19.

Jur

24

Aspek Hukum Peraturan Dan Kebijakan Pemerintah Indonesia ... (Masnur Tiurmaida Malau)

171

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

e. Bonus demografi
Indonesia sebagai negara dengan jumlah
populasi terbesar akan memperoleh
keunggulan tersendiri, yang disebut dengan
bonus demografi. Perbandingan jumlah
penduduk produktif Indonesia dengan
Negara-negara ASEAN lain adalah 38:100
yang artinya bahwa setiap 100 penduduk
ASEAN, 38 adalah warga Negara Indonesia.
Bonus ini diperkirakan masih bisa dinikmati
setidaknya sampai dengan 2035, yang
diharapkan dengan jumlah penduduk yang
produktif akan mampu menopang pertum
buhan ekonomi dan peningkatan pendapatan
per kapita penduduk Indonesia.30

lR
ec
hts
V

ind

d. Liberalisasi Perdagangan barang ASEAN29


Liberalisasi perdagangan barang ASEAN
akan menjamin kelancaran arus barang
untuk pasokan bahan baku maupun bahan
jadi di kawasan ASEAN karena hambatan
tarif dan non tarif sudah tidak ada lagi.
Kondisi pasar yang sudah bebas di kawasan
dengan sendirinya akan mendorong pihak
produsen dan pelaku usaha lainnya untuk
memproduksi dan mendistribusikan barang
yang berkualitas secara efisien sehingga
mampu bersaing dengan produk-produk dari
negara lain. Di sisi lain, para konsumen juga
mepunyai alternatif pilihan yang beragam
yang dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan
dan kemampuan, dari yang paling murah
sampai yang paling mahal. Indonesia sebagai
salah satu negara besar yang juga memiliki
tingkat integrasi di sektor elektronik dan

keunggulan komparatif pada sektor berbasis


sumber daya alam, berpeluang besar untuk
mengembangkan industri di sektor-sektor
tersebut di dalam negeri.

ing

c. Peluang sebagai Negara pengekspor.


Indonesia berpeluang sebagai negara
pengekspor, dimana nilai ekspor Indonesia
ke intra-ASEAN hanya 18-19% sedangkan
ke luar ASEAN berkisar 80-82% dari total
ekspornya. Hal ini berarti peluang untuk
meningkatkan ekspor ke intra-ASEAN masih
harus ditingkatkan agar laju peningkatan
ekspor ke intra-ASEAN berimbang dengan
laju peningkatan dari intra-ASEAN.28

f. Sektor Jasa yang Terbuka.


Sektor-sektor jasa yang telah ditetapkan
yaitu pariwisata, kesehatan, penerbangan,
dan e-ASEAN dan kemudian akan disusul
dengan logistik.
g. Aliran Modal.31
Dari sisi penarikan aliran modal asing, ASEAN
sebagai kawasan dikenal sebagai tujuan
penanaman modal global.

Erman Rajagukguk, ASEAN-China Free Trade Agreement dan implikasinya bagi Indonesia dalam Peranan
Hukum di Indonesia: Menjaga Persatuan, Memulihkan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, Pidato
Dies Natalis dan Peringatan Tahun Emas Universitas Indonesia (1950-2000) disampaikan di Depok Universitas
Indonesia, 2000) hlm. 11 dalam www.ui.ac.id/lib.ui.ac.id/file diakses tanggal 13 September 2014.
29
Yulianto Syahyu, Hukum Antidumping di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2008) hlm. 30..
30
Komunitas ASEAN 2015, www.setneg.go.id/index.php/option (diakses 10 September 2014).
31
ASEAN memang menjadi kawasan yang terintegrasi oleh aktor-aktor investasi dari luar, karena arus investasi
berteknologi tinggi itu. Kecenderungan ini justru menjadikan ASEAN sebagai suatu mata rantai yang menonjol
dalam rangkaian produksi perusahaan multinasional, menuju tercapainya suatu pasar dan basis produksi tunggal
yang justru dicanangkan ASEAN untuk diraih lebih atas kekuatan ekonomi negara-negara anggotanya..dalam
Martin Khor, Globalisasi Perangkap Negara Negara Selatan, (Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas,
2001), hlm. 67.

Jur

na

28

172

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 163-182

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

lR
ec
hts
V

ind

Pembagian tugas pemerintahan di Indonesia


terbagi menjadi dua yaitu pemerintahan
Pusat dan Pemerintahan Daerah, dan dalam
menjalankan kehidupan bernegara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah bersama-sama
melakukan pengaturan sebagaimana tugas dan
wewenang yang telah diberikan pada masingmasing. Dalam kehidupan bernegara, untuk
melaksanakan tugas dan wewenang serta
melaksanakan amanat Undang-Undang Peme
rintah diberikan kewenangan untuk menetapkan
atau mengeluarkan suatu pengaturan baik
berupa undang-undang, peraturan hingga
kebijakan sesuai dengan porsi kewenangannya.32
Dalam rangka pengaturan negara, untuk
menghadapi AEC 2015 dibutuhkan kebijakan-

BP
HN

3. Kebijakan Pemerintah Menyongsong


Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.

kebijakan yang terdiseminasi penuh antara


pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan
masyarakat secara keseluruhan walaupun saat
ini masih terdapat ketidak-harmonisan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta
masyarakat sehingga muncul isu adanya egosektoral kelembagaan dalam upaya persiapan
menuju AEC 2015.
Kekompakan antara pemerintah pusat,
pemerintah daerah, dan seluruh masyarakat
sangat dibutuhkan guna menghadapi AEC
2015 nanti, karena berdampak besar dan akan
dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Dengan
pengetahuan dan kesadaran dari seluruh lapisan
masyarakat serta didukung kebijakan yang tepat
sasaran akan semakin menguatkan Indonesia
menghadapi tantangan besar di depan, dan
akan tercipta sinkronisasi antara kebijakan
sebagai pengaturan dan sumber daya manusia
yang berpengetahuan dan berkesadaran akan
persiapan yang harus dilakukan.33
Belum lama ini Indonesia memperingati 69
Tahun kemerdekaannya, dan di usia yang 69
tahun sudah seharusnya Indonesia siap mene

ing

Bangsa Indonesia harus segera berbenah


diri untuk menyiapkan sumber daya manusia
Indonesia yang kompetitif dan berkualitas
global. Menuju tahun 2015 yang tinggal
sebentar lagi.

Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah yang setengah hati dan berada dipersimpangan jalan tentu saja
harus dikembalikan ke koridor yang sesungguhnya. Untuk inilah, peran lembaga mediasi seperti Partnership
for Governance Reform (PGR) dapat memfasilitasi NGO dan CSO yang dibutuhkan untuk membangun kapasitas
masyarakat agar dapat berpartisipasi secara nyata dalam pembangunan. Selain itu, Partnership di samping
sebagai mitra pemerintah juga dapat sekaligus memberi tekanan agar agenda desentralisasi dan otonomi
daerah tetap berjalan sesuai dengan yang diamanatkan. Intervensi yang bertujuan memperkuat masyarakat sipil
dilakukan melalui program yang berkesinambungan dan terukur serta bukan berorientasi pada proyek yang
bersifat jangka pendek. Untuk itu, Partnerhip for Governance Reform in Indonesia menjalin kerjasama dengan
berbagai pihak yang berkomitmen untuk memperkuat partisipasi untuk mewujudkan terbentuknya masyarakat
yang mempromosikan pembaruan tata pemerintahan menuju Indonesia yang adil, demokratis dan sejahtera
dalam Rowland B.F. Pasaribu, Dampak Globalisasi dalam kehidupan bermasyarakat, https://rowlandpasaribu.
files.wordpress.com (diakses tanggal 13 September 2014).
33
Masalah benturan horizontal antara produk perundang-undangan nasional misalnya saja saat terjadi ekses
penerapan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang semakin meningkatkan akselerasi ekonomi
biaya tinggi, karena melahirkan Perda-Perda mengenai berbagai pungutan di daerah yang menambah trade
barriers...dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World
Trade Organization (Perjanjian Pembentukan organisasi Perdagangan Dunia), mewajibkan negara anggotanya
melakukan liberalisasi perdagangan, berarti menurunkan trade barriers...dalam Ariawan Gunadi dan Serian
Wijatno, Op.Cit. hlm.26.

Jur

na

32

Aspek Hukum Peraturan Dan Kebijakan Pemerintah Indonesia ... (Masnur Tiurmaida Malau)

173

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

justru semakin terpuruk dengan persaingan


dengan sumber daya manusia dari negara lain.
Kesiapan menghadapi AEC juga harus
dipahami bukan hanya oleh pemerintah
selaku perangkat negara melainkan oleh
masyarakat secara keseluruhan, karena dengan
pemberlakuan AEC pada tahun 2015 kelak
masyarakat Indonesia akan merasakan atau
terkena dampak sehingga dibutuhkan sosialisasi
dan edukasi terkait ASEAN Economic Community
kepada masyarakat dan dibutuhkan kebijakan
menyikapi hal ini, karena bukan rahasia bahwa
negara-negara anggota ASEAN lainnya juga turut
mempersiapkan diri menghadapi AEC 2015.36
Tagline ASEAN Community yang terdapat
dalam Roadmap for ASEAN Community yakni
One Vision, One Identity, One Community
merupakan tantangan bagi seluruh anggota
ASEAN, tak terkecuali Indonesia. Satu tujuan,
satu identitas, dan satu komunitas merupakan
standar yang harus bisa dicapai oleh Indonesia
untuk dapat sejajar dan sama dihadapan
negara-negara sahabat lainnya.37
Ubi societas ibi ius, yang artinya dimana ada
masyarakat disitu ada hukum. Pendapat tersebut
mendasari pemahaman penulis bahwasanya
regulasi pemerintah memiliki peran sebagai
pedoman atau arahan pada masyarakat untuk
mencapai suatu keadaan yang ingin dicapai,
begitu pula halnya dengan kebijakan pemerintah
dalam persiapan diri menyongsong AEC 2015.
Pemerintah harus segera menetapkan regulasi
agar masyarakat dapat turut serta dalam upaya
negara mencapai tujuan yang diharapkan.

lR
ec
hts
V

ind

rima tantangan AEC 2015 sebagai peluang dan


melakukan tindakan-tindakan yang dapat me
ningkatkan daya saing Indonesia dimata negara
lainnya. Untuk meningkatkan peranan Indone
sia dalam AEC dibutuhkan langkah kebijakan
strategis yang dapat diambil oleh pemerintah.
Langkah strategis yang dapat dilaksanakan
dalam jangka waktu menengah antara lain:34
a. Pemerintah mengoptimalkan penyusunan
Roadmap kebijakan nasional yang terpadu
dan terkoordinir serta disusun berdasarkan
keadaan dan kebutuhan masyarakat melalui
kementerian terkait selaku wakil dari negara
untuk menghadapi AEC 2015.
b. Pemerintah harus melakukan penyusunan
kebijakan untuk edukasi serta sosialisasi
terkait
ASEAN
Community
kepada
masyarakat secara keseluruhan, sehingga
tercipta masyarakat yang berpengetahuan
dan berkesadaran.

Jur

na

Arah regulasi seharusnya bukan hanya


terkonsentrasi pada sektor perekonomian saja
karena dengan terintegrasinya perekonomian
dan pemberlakuan pasar tunggal dikawasan
regional ASEAN akan membuat batas antar
negara memudar, sehingga dibutuhkan kesiapan
dari seluruh sektor kehidupan bernegara.35 Salah
satu tantangannya adalah kualitas sumber daya
manusia yang handal dan memiliki kompetensi
yang relevan dengan dunia kerja serta sumber
daya manusia yang memiliki karakter serta
bertanggung jawab sehingga sumber daya
manusia Indonesia dapat bersaing dengan
sumber daya manusia dari negara lain, bukan

Dodi Mantra, Hegemoni dan diskursus Neoliberalisme: Op.Cit. hlm. 99.


Komunitas ASEAN 2015, www.setneg.go.id/index.php/option (diakses 10 September 2014).
36
Ariawan, Perjanjian Perdagangan Bebas dalam era Liberalisasi Perdagangan: Studi mengenai ASEAN-China Free
Trade Agreement (ACFTA) yang diikuti oleh Indonesia, (Jakarta, Disertasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
2012) hlm. 315.
37
C.P.F.Luhulima, Op.Cit., hlm. 40.
34
35

174

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 163-182

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

pendidikan karena melalui sektor pendidikan


ini merupakan variabel penentu keberhasilan
kreatifitas serta inovasi generasi muda suatu
negara dan universitas sebagai salah satu
fondasi usaha pembangunan negara sebagai
tempat pembelajaran serta penyedia individuindividu yang mempelopori peningkatan sosial
dan kejayaan dengan penerapan usaha yang
terintegrasi dikalangan multi etnik mengingat
kondisi geografis dan sosiologis Indonesia yang
terdiri dari berbagai macam budaya dan adat
istiadat yang memiliki persepsi dan pemahaman
yang berbeda-beda terhadap AEC ini juga.
Upaya-upaya tersebut antara lain dilakukan
dengan diterbitkannya Instruksi Presiden No.
5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi
2008-200940 yang intinya menginstruksikan
agar dilakukan upaya sungguh-sungguh dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi Nasional,
kelestarian sumber daya alam, peningkatan ke
tahanan energi dan kualitas lingkungan. Ada ju
ga Inpres Nomor 11 Tahun 2011 tentang Peme
nuhan Komitmen Cetak Biru AEC Tahun 2015.41

lR
ec
hts
V

ind

Komitmen yang tinggi dari pemerintah


Indonesia melalui Presiden RI dalam menyong
song AEC 2015 dapat dicermati dari telah
dikeluarkannya serangkaian instrumen kebijak
an sebagai acuan para Kementerian dan
Lembaga, Pemerintah Daerah serta pemangku
kepentingan lainnya untuk mendorong sinergi
tas dalam meningkatkan kesiapan Indonesia
menghadapi AEC 2015.38
Suatu kebijakan dapat menjadi arahan
atau pedoman untuk mencapai suatu tujuan
dan sudah seharusnya pula kebijakan tersebut
dapat mengakomodir kebutuhan dan sesuai
dengan keadaan masyarakat. Kebijakan sebagai
salah satu bentuk persiapan Indonesia untuk
menghadapi AEC 2015, juga harus dapat
menyentuh seluruh segi kehidupan bernegara
secara merata, bukan hanya sosialisasi
dan edukasi semata, melainkan juga dapat
memberikan ruang bagi sektor-sektor strategis
untuk dapat bekerja lebih lagi, misalnya sektor
pendidikan.39 Kebijakan yang dibuat sepantasnya
memberikan terobosan terhadap sektor

Komunitas ASEAN 2015, www.setneg.go.id/index.php/option (diakses 10 September 2014).


Zainuddin Djafar,Moon Young Ju, Op.Cit.,hlm. 215.
40
Inpres Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pemenuhan Komitmen Cetak Biru AEC Tahun 2015 ini dikeluarkan sebagai
upaya pelaksanaan program ekonomi Tahun 2008-2009 Kabinet Indonesia Bersatu yang bersifat prioritas dan
memerlukan koordinasi serta sebagai kelanjutan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2007 tentang Kebijakan
Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam www.
kemendag.ac.id/news (diakses tanggal 13 September 2014).
41
Fokus Program Ekonomi Tahun 2008-2009, dan Inpres No 11/2011 tentang Pelaksanaan Komitmen Cetak
Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN. Dan untuk lebih memastikan pelaksanaannya, Unit Kerja Presiden Bidang
Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) diamanahkan secara khusus untuk melakukan
pemantauan dan menyampaikan laporan hasil pemantauannya secara berkala kepada Presiden. Berbagai langkah
yang ditempuh Pemerintah Indonesia dalam rangka meningkatkan kesiapan Indonesia untuk memfasilitasi
perdagangan barang dan mendorong peningkatan ekspor antara lain melalui peningkatan pengawasan barang
beredar khususnya barang-barang impor (pemberdayaan konsumen nasional menjadi konsumen cerdas,
peningkatan standardisasi produk melalui penerapan SNI dan labeling, pemenuhan aspek K3L atau Kesehatan,
Keamanan, Keselamatan, dan Lingkungan, pengaturan pintu masuk impor, pelaksanaan peraturan dan ketentuan
serta prinsip SPS), peningkatan pengawasan penggunaan Surat Keterangan Asal (SKA) barang dari Negara Mitra
dagang seperti negara ASEAN, China, Korea, Jepang, India, Australia dan New Zealand, peningkatan pelayanan
kepada dunia usaha nasional melalui Indonesia National Single Window (INSW), pengembangan konektifitas
nasional termasuk didalanya konektifitas fisik seperti pembangunan infrastruktur di 6 koridor pembangunan
ekonomi dalam kerangka MP3EI dan lain sebagainya diakses dari www.kemendag.go.id/news (diakses tanggal 9
September 2014).
38

Jur

na

39

Aspek Hukum Peraturan Dan Kebijakan Pemerintah Indonesia ... (Masnur Tiurmaida Malau)

175

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

dan bekerja di Indonesia untuk tingkat ASEAN


sendiripun hal ini masih dalam pembahasan
dalam forum-forum Senior Official Meeting
belum sampai pada tahap Konferensi Tingkat
Tinggi ASEAN atau pertemuan para pemimpinpemimpin Negara-negara anggota ASEAN.43
Tampaknya bukan hanya pemerintah Indonesia
yang terus mempersiapkan diri menghadapi
AEC 2015 ini ASEAN sendiripun sebagai wadah
regional Negara-negara di Asia Tenggara terus
mempersiapkan semua perangkat hukum
maupun non hukum untuk menghadapi AEC
ini.44 Sehingga apa yang akan dihadapi pada
pemberlakuan AEC pada Desember 2015 nanti
masih menjadi pertanyaan besar bagi ASEAN
secara luas dan Indonesia secara sempit namun
memang tak bisa dihindari arus globalisasi
terus meminta Negara-negara untuk membuka
diri satu sama lain semakin menipisnya batas
antar Negara semakin tak terbendung karena
kemajuan teknologi dan kebutuhan masyarakat
Internasional semakin mengglobal maka mau
tak mau siap atau tidak siap seluruh elemen
bangsa harus bersiap dan mempersiapkan diri
sedini mungkin sambil belajar dari pengalaman
komunitas Eropa yang telah terlebih dahulu
sukses di Eropa, ASEAN khususnya Indonesia
bisa belajar dari pengalaman Uni Eropa dalam
memberlakukan European Union dengan
segala perangkat hukum dan non hukum untuk
mempermudah kerjasama diantara Negaranegara anggotanya.45

na

lR
ec
hts
V

ind

Bentuk konkrit komitmen Pemerintah ini


juga akan ditopang secara kelembagaan dengan
akan dibentuknya Komite Nasional yang terdiri
dari perwakilan pemerintah pusat dan daerah,
Menteri, Gubernur, dunia usaha, pengamat
dan masyarakat untuk mempersiapkan seluruh
elemen bangsa dalam menyambut Komunitas
Ekonomi ASEAN 2015.
Rekomendasi strategis untuk menyiapkan
Indonesia menghadapi AEC 2015 dalam upaya
meningkatkan kualitas sumber daya manusia
perlu mendapat dukungan dari berbagai pe
mangku kepentingan melalui upaya komprehen
sif ekstensifikasi dan intensifikasi Balai Latihan
Kerja (BLK) untuk menutupi masih rendahnya
daya saing tenaga kerja, Lembaga Standarisasi
Profesi di Indonesia yang mencapai 78 perlu
lebih dioptimalkan melalui adopsi standarisasi
Internasional (ASEAN) yang berlaku.42 Gerakan
kewirausahaan Nasional juga perlu ditingkatkan
gaungnya dan diikuti dengan program intensif
khususnya bagi gerakan kewirausahaan di sek
tor pendidikan (Perguruan Tinggi-Akademisi),
Usaha Kecil Menengah (UKM) dan kelompok
industri lainnya untuk memperbaiki standar,
kualitas, dan desain produk, serta kreatifitas
dan inovasi dalam mengembangkan produk.
Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah
dalam hal ini Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi belum maksimal mengingat
belum ada antisipasi terhadap pekerja-pekerja
asing diwilayah ASEAN yang akan bebas masuk

Maman Setiawan, Strategi Pengembangan UKM Berdasarkan Sektor Ekonomi dalam Rangka Peningkatan
Penyerapan Tenaga Kerja di Indonesia Makalah disampaikan pada Seminar Internasional Simposium
Kebudayaan IndonesiaMalaysia ke X yang diselenggarakan di Universitas Padjadjaran, Bandung, 29-31 Mei
2007.
43
ASEAN Economic Community Blueprint,http://www.aseansec.org/21083.pdf, (diakses 8 September 2014).
44
R. Dwisaputra, Kerjasama Perdagangan Regional dalam Kerjasama Perdagangan Internasional: Peluang dan
tantangan bagi Indonesia, (Jakarta, PT. Elex Media Komputindo, 2007), hlm. 28.
45
C.P.F.Luhulima, Op.Cit., hlm. 41.

Jur

42

176

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 163-182

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

bangsa Indonesia bukannya hanya harus hidup


berdampingan dengan bangsa-bangsa anggota
ASEAN lainnya yang memiliki perbedaan
etnik, ras, agama dan bahasa48 lalu harus
berkompetisi dengan pekerja-pekerja asing ini
juga tanpa perbedaan perlakuan mengingat
secara demografi populasi Indonesia besar, luas
wilayah Indonesia sangat besar dan kekayaan
alam Indonesia melimpah, hal-hal ini menjadi
daya tarik tersendiri bagi pekerja-pekerja asing
untuk masuk ke Indonesia tak terkecuali negaranegara anggota ASEAN.49
Secara garis besar pemerintah telah
menyiapkan langkah-langkah yang dianggap
penting dan strategis dalam menghadapi
Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 yang sudah
didepan mata, ada 12 langkah strategis yang
menjadi sektor prioritas yang dianggap mampu
bersaing dan dijadikan tumpuan perekonomian
Indonesia menghadapi MEA 2015. Semua
langkah-langkah strategis ini bermuara pada
peningkatan daya saing yang mau tidak mau
harus ditingkatkan terus bila Indonesia mau
menjawab tantangan MEA 2015 ini mengingat
besarnya peluang Indonesia menjadi leading
country di ASEAN.50
Peningkatan daya saing ini juga telah
disadari
sepenuhnya
oleh
pemerintah
Indonesia salah satunya di sektor perikanan.

lR
ec
hts
V

ind

Di samping itu pemerintah Indonesia harus


optimis diantara banyaknya pesimisme disana
sini terkait kesiapan Indonesia menghadapi AEC
2015 bentuk optimisme ini diwujudkan dalam
berbagai upaya baik secara substantif maupun
moril dengan mengajak seluruh elemen bangsa
untuk bersiap, membuka diri, belajar dan
bersaing dengan Negara-negara ASEAN lainnya
tanpa berupaya mengesampingkan angkaangka statistik tentang ketidak-siapan Indonesia
dalam menyongsong AEC 2015 namun
keputusan telah diambil dan bangsa ini sudah
menyatakan diri siap membuka diri dan bersaing
sehingga angka-angka yang menunjukkan
kualitas bangsa Indonesia secara kompetensi46
harus dijadikan acuan untuk mengembangkan
diri dan membuka diri terhadap kritikan dengan
menjadikan kritikan itu sebagai motivasi
meningkatkan kualitas individu-individu bangsa
Indonesia untuk menjadi sebuah bangsa
pemenang yang telah teruji secara kompetensi
melalui kompetisi terbuka oleh sebab itu
pemerintah Indonesia pun harus semakin
meningkatkan kinerjanya melalui transparansi,
akuntabilitas, kemudahan dan kecepatan
layanan, online system,47 persempit birokrasi,
penghapusan pungli-pungli, koordinasi yang
integral baik secara horizontal maupun vertikal
dan yang terpenting kesiapan mental ketika

Sjamsul, Arifin, dkk, Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015: Memperkuat Sinergi ASEAN di Tengah Kompetisi Global,
(Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2008), hlm. 78.
47
Berry, A, E. Rodriguez and H. Sandee, Op.Cit. :17.
48
Komunitas ASEAN 2015, www.setneg.go.id/index.php/option (diakses 10 September 2014).
49
Kendala investasi di Indonesia yang umum terjadi misalnya seperti: pengurusan izin yang terlalu bertele-tele,
perilaku negatif birokrasi, pembatasan bidang usaha, kelemahan infrastruktur yang mendukung investasi, serta
belum terciptanyakepastian hukum dan penegakan hukum, disamping juga fasilitas perpajakan. ASEAN Free
Trade Area yang menjadi sarana bagi peningkatan investasi di Indonesia memberikan dorongan agar di Indonesia
dilakukan pembaharauan hukum investasi, atau bilamana dimungkinkan dilakukan perubahan-perubahan
seperlunya yang daapt mengakomodir kepentingan investasi di Indonesia dalam Zainuddin Djafar,Moon Young
Ju, Anissa Farha Mariana, Op.Cit., hlm. 49.
50
Raisa Samantha Sudana, Peranan Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam Persiapan Menyongsong ASEAN
Economic Community 2015 e-journal dalam https://www.conftool.com/sudana (diakses 13 September 2014).

Jur

na

46

Aspek Hukum Peraturan Dan Kebijakan Pemerintah Indonesia ... (Masnur Tiurmaida Malau)

177

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

Perdagangan dengan misi meningkatkan daya


saing ekspor, meningkatkan pengawasan dan
perlindungan konsumen, serta berperan sebagai
pengelola kebijakan maupun pelaksanaan atas
program pengembangan sekaligus pengamanan
perdagangan dalam negeri. Dengan demikian
dapat dikatakan Kementerian-kementerian
dibawah koordinasi Kemenko Perekonomian
dipaksa terlebih dahulu siap menghadapi MEA
2015 karena dari tiga pilar visi ASEAN 2020 yang
dikedepankan terlebih dahulu pilar MEA ini
dan sudah didepan mata sehingga pemerintah
berupaya mengamankan sektor perekonomian
terlebih dahulu agar tidak gagap dan kaget
menghadapi perubahan dan semoga perubahan
ini nantinya akan membawa Indonesia
bersama-sama dengan ASEAN menjadi Negara
yang sejahtera dan mampu bersaing dengan
komunitas Internasional, bukan berarti
sendi kehidupan lainnya boleh santai dalam
menghadapi MEA ini tetapi justru lebih terpacu
untuk mempersiapkan diri karena setelah MEA
maka dua pilar visi ASEAN 2020 akan dimajukan
juga oleh karena itu sangat dibutuhkan
koordinasi antar lembaga-lembaga Negara
karena untuk mencapai suatu tujuan koordinasi
dan kerjasama sangatlah penting bukan hanya
untuk melindungi kepentingan Nasional saja
tetapi untuk mencapai tujuan bernegara yang
diwujudkan dalam konstitusi Undang-Undang
Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu
mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
Kebijakan yang telah dikeluarkan atau
ditetapkan belum terlalu berdampak pada
kehidupan bermasyarakat, selain itu masih

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

Kementerian Kelautan dan Perikanan telah


mempersiapkan Rancangan Instruksi Presiden
(Inpres) Peningkatan Daya Saing Nasional Sektor
Kelautan dan Perikanan yang disusun dibawah
koordinasi Kemenko Perekonomian yang saat
ini dalam proses penandatanganan Presiden.51
Diharapkan melalui Inpres ini tantangan seperti
kurangnya dukungan infrastruktur, transportasi
atau logistik, perangkat hukum, penyediaan
energi, pengembangan industri terpadu, serta
terbatasnya jumlah sumber daya manusia yang
kompeten untuk mendukung produktivitas
nasional dapat teratasi. Memang tujuan yang
ingin dicapai MEA ASEAN dalam Visi ASEAN
2020 merupakan visi jangka panjang yang ingin
mengembangkan kawasan regional di Asia
Tenggara mampu bersaing dengan kawasan lain
di belahan dunia maka Indonesia sebagai salah
satu Negara pendiri ASEAN dan merupakan
Negara dengan sejarah yang sudah lama di
ASEAN sejogianya mampu memimpin Negaranegara anggota ASEAN lainnya bersaing dengan
kawasan regional di dunia.
Di Kementerian Perdagangan sendiri
upaya untuk menjawab tantangan globalisasi
bukan hanya MEA 201552 secara sempit telah
mempersiapkan diri demi upaya pencapaian
perlindungan konsumen dan pengamanan
pasar dalam negeri dengan membentuk
Direktorat
Jenderal
Standardisasi
dan
Perlindungan Konsumen melalui Peraturan
Menteri Perdagangan No. 31 Tahun 2010
yang telah disempurnakan dengan Peraturan
Menteri Perdagangan No. 57 Tahun 2012
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian

Sholeh, Persiapan Indonesia dalam menghadapi Asean Economic Community 2015, ejournal.hi.fisip-unpad.org
(diakses 13 September 2014).
52
Departemen Perdagangan Republik Indonesia, Menuju Asean Economic Community 2015 (Jakarta:Dir.Jen.
Kerjasama Perdagangan Internasional Departemen Perdagangan,2010). Hlm. 49.
51

178

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 163-182

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

sehat supaya KPPU lebih bertaring dalam


menjalankan tugas menangani perkara terkait
persaingan usaha sehat.
Secara garis besar peluang Indonesia
menyongsong MEA antara lain mendapatkan
pangsa pasar potensial dunia, sebagai negara
tujuan investasi, peluang sebagai negara
pengekspor, adanya liberalisasi perdagangan
barang ASEAN, bonus demografi yang besar,
sektor jasa yang terbuka, dan aliran modal yang
lebih lancar dan kontinyu. Sedangkan tantangan
yang akan dihadapi antara lain laju peningkatan
ekspor dan impor yang lebih kompetitif,
peningkatan laju inflasi, dampak negatif arus
modal yang lebih luas, adanya kesamaan
produk ekspor unggulan sehingga harus lebih
kreatif mencari dan mengelola produk unggulan
dan tingkat perkembangan ekonomi yang masih
beragam yang harus dicarikan solusinya.
Berbagai upaya pemerintah dalam meng
hadapi MEA antara lain dengan penerbitan
Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2008 tentang
Fokus Program Ekonomi 2008-2009 yang
intinya menginstruksikan agar dilakukan
upaya sungguh-sungguh dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi Nasional, kelestarian
sumber daya alam, peningkatan ketahanan
energi dan kualitas lingkungan. Lalu Inpres
Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pemenuhan
Komitmen Cetak Biru AEC Tahun 2015. Bentuk
konkrit komitmen Pemerintah ini juga akan
ditopang secara kelembagaan dengan akan
dibentuknya Komite Nasional yang terdiri dari
perwakilan pemerintah pusat dan daerah,
Menteri, Gubernur, dunia usaha, pengamat
dan masyarakat untuk mempersiapkan seluruh
elemen bangsa dalam menyambut Komunitas
Ekonomi ASEAN 2015. Peningkatan daya
saing ini juga telah disadari sepenuhnya oleh
pemerintah salah satunya di sektor perikanan.

lR
ec
hts
V

ind

ditemukan kendala kurang kompaknya peme


rintah di tingkat pusat dan daerah dalam meng
antisipasi hal ini, padahal AEC merupakan
momentum yang akan menentukan masa depan
Indonesia dan ASEAN secara keseluruhan.
Kebijakan yang telah ada dan yang akan
ada akan terlihat dampak atau keberlakuannya
ketika kebijakan tersebut berisi pengaturan yang
bersinggungan langsung dengan kehidupan
masyarakat. Hingga saat ini kebijakan-kebijakan
yang telah ditetapkan oleh pemerintah terkait
persiapan menghadapi AEC 2015 belum
dirasakan berdampak pada masyarakat
Indonesia secara keseluruhan, artinya dampak
kebijakan tersebut masih berdampak pada
minoritas masyarakat Indonesia. Hal tersebut
sangat disayangkan mengingat kesiapan seluruh
lapisan masyarakat sangat dibutuhkan dalam
rangka persiapan menghadapi AEC 2015.

D. Penutup

Jur

na

Indonesia sebagai salah satu negara pertama


yang memberlakukan hukum persaingan telah
berperan secara aktif menjadi centre of excellence
dalam pengembangan hukum persaingan ini di
ASEAN melalui pembagian pengalaman (sharing
experience). Dalam perspektif kompetisi,
konsekuensi dari terbukanya pasar akibat
kebebasan peredaran barang dan jasa (free
flow of goods and services) adalah munculnya
persaingan baru, pasar bersangkutan baru dan
potensi ketersentuhan pelaku usaha Indonesia
dengan hukum persaingan negara-negara
tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Oleh karena itu Komisi Pengawas Persaingan
Usaha yaitu Komisi yang bertugas mengawasi
Persaingan Usaha dengan Komisi VI DPR RI
memiliki komitmen untuk mengamandemen
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Aspek Hukum Peraturan Dan Kebijakan Pemerintah Indonesia ... (Masnur Tiurmaida Malau)

179

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

dan tantangan bagi Indonesia, (Jakarta: Elex


Media Komputindo, 2007).
Arifin, Sjamsul, dkk, Masyarakat Ekonomi ASEAN
2015: Memperkuat Sinergi ASEAN di Tengah
Kompetisi Global, (Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo, 2008).
Bhagwati, J, The World Trading System at Risk,
(Hertfordshire: Harvester Wheatsheaf, 1991).
Brotosusilo, Agus, Globalisasi Ekonomi dan
Perdagangan Internasional: Studi tentang
Kesiapan Hukum Indonesia melindungi Produksi
Dalam Negeri melalui Undang-Undang Anti
Dumping dan Safeguard (Disertasi Universitas
Indonesia, 2006).
Departemen Perdagangan Republik Indonesia,
Menuju Asean Economic Community 2015
(Jakarta:Dir.Jen.Kerjasama
Perdagangan
Internasional Departemen Perdagangan,2010).
Dwisaputra, R, Kerjasama Perdagangan Regional
dalam Kerjasama Perdagangan Internasional:
Peluang dan tantangan bagi Indonesia, (Jakarta,
PT. Elex Media Komputindo, 2007).
Gunadi, Ariawan dan Serian Wijatno, Perdagangan
Bebas dalam Perspektif Hukum Perdagangan
Internasional (Jakarta: Grasindo, 2014).
Hartono, C.F.G Sunaryati, Penelitian Hukum di
Indonesia Pada Akhir Abad ke-20 (Bandung:
Alumni, 1994).
Hassan, Mohamed Jahwar, The Resurgence of
China and India, major Power Rivalry and The
Response of ASEAN, dalam Hadi Soesastro dan
Clara Joewono (eds.), The Inklusif Regionalist
(Jakarta: Centre For Strategic And International
Studies Indonesia, 2007).
Halwani, Hendra, Ekonomi Internasional dan
Globalisasi Ekonomi, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
2002).
Hendra Halwani, M.A dan Prijono Tjiptoherijanto,
Perdagangan
Internasional:
Pendekatan
Ekonomi Mikro dan Makro, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1993).
Khor, Martin, Globalisasi Perangkap Negara Negara
Selatan, (Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat
Cerdas, 2001).
Luhulima, C.P.F, Dinamika Asia Tenggara menuju
2015 (Jakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama
dengan Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI, 2010).
M. Kuncoro, Analisis Spasial dan Regional:Studi
Aglomerasi dan Kluster Industri Indonesia,
(Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002).
Mantra,
Dodi,
Hegemoni
dan
diskursus
Neoliberalisme: Menelusuri Langkah Indonesia

lR
ec
hts
V

ind

Kementerian Kelautan dan Perikanan telah


mempersiapkan Rancangan Instruksi Presiden
(Inpres) Peningkatan Daya Saing Nasional
Sektor Kelautan dan Perikanan yang disusun
dibawah koordinasi Kemenko Perekonomian
yang saat ini dalam proses penandatanganan
Presiden. Di Kementerian Perdagangan sendiri
upaya untuk menjawab tantangan globalisasi
bukan hanya MEA 2015 secara sempit dengan
membentuk Direktorat Jenderal Standardisasi
dan Perlindungan Konsumen melalui Peraturan
Menteri Perdagangan No. 31 Tahun 2010
yang telah disempurnakan dengan Peraturan
Menteri Perdagangan No. 57 Tahun 2012
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Perdagangan dengan misi meningkatkan daya
saing ekspor, meningkatkan pengawasan dan
perlindungan konsumen, serta berperan sebagai
pengelola kebijakan maupun pelaksanaan atas
program pengembangan sekaligus pengamanan
perdagangan dalam negeri.
Hal yang perlu mendapat prioritas untuk
segera direalisasikan yaitu agar pemerintah
dan DPR segera mengamandemen UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Anti
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat
untuk memberikan amunisi bagi KPPU dalam
menjalankan tugas menangani perkara terkait
persaingan usaha sehat dengan melibatkan
berbagai stakeholder.

DAFTAR PUSTAKA

na

Buku

Jur

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode


Penelitian Hukum (Jakarta: Rajawali Pers, 2012).
Ariawan, Perjanjian Perdagangan Bebas dalam
era Liberalisasi Perdagangan: Studi mengenai
ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA)
yang diikuti oleh Indonesia, (Jakarta, Disertasi
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012).
Arifin, Sjamsul, Dian Ediana Rae, Charles P.R. Joseph,
Kerjasama Perdagangan Internasional: Peluang

180

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 163-182

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

Internet

ing

ASEAN Vision 2020, dalam www.asean.org/news/


item/asean-vision-2020 (diakses 8 September
2014).
ASEAN Concord II/Bali Concord II, http://www.
aseansec.org/15159.htm (diakses 8 September
2014).
ASEAN Economic Community Blueprint, http://www.
aseansec.org/21083.pdf, (diakses 8 September
2014).
Badan Pusat Statistik Republik Indonesia,Indikator
Sosial Budaya 2003, 2006, 2009, dan 2012
Badan Pusat Statistik Republik Indonesia www.
bps.go.id/tab_sub/view.php/tabel (diakses 9
September 2014).
Biro Riset Ekonomi Direktorat Riset Ekonomi dan
Kebijakan Moneter Bank Indonesia, Outlook
Ekonomi Indonesia 2008-2012 Integrasi Ekonomi
ASEAN dan Prospek Perekonomian Nasional,
http://www.bi.go.id/id/publikasi/kebijakanmoneter/outlookekonomi/Documents/1f4a5d
59ed7841bd95ebde10dd652589OEI_0108.zip
(diakses 13 September 2014)
Bris Witjaksono, Djatmiko, Bertahan dan Menang
menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA) 2015 (makalah disampaikan dalam
pembukaan Seminar setengah hari oleh
Kementerian Perdagangan, di Smesco Jakarta, 11
Desember 2013 dalam www.kemendag.go.id/
id/news/2013/12/12 (diakses 8 September
2014).
Komunitas ASEAN 2015,www.setneg.go.id/index.
php/option (diakses 10 September 2014).
Rajagukguk, Erman, ASEAN-China Free Trade
Agreement dan implikasinya bagi Indonesia
dalam Peranan Hukum di Indonesia: Menjaga
Persatuan,
Memulihkan
Ekonomi
dan
Memperluas Kesejahteraan Sosial, Pidato Dies
Natalis dan Peringatan Tahun Emas Universitas
Indonesia (1950-2000) disampaikan di Depok
Universitas Indonesia, 2000) www.ui.ac.id/
lib.ui.ac.id/file (diakses tanggal 13 September
2014).
Rowland B.F. Pasaribu, Dampak Globalisasi
dalam kehidupan bermasyarakat, https://
rowlandpasaribu.files.wordpress.com (diakses
tanggal 13 September 2014).
Raisa Samantha Sudana, Peranan Kebijakan
Pemerintah Indonesia dalam Persiapan
Menyongsong ASEAN Economic Community

lR
ec
hts
V

ind

Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015


(Bekasi: Mantra Press, 2011).
Plummer G, Michael, Creating an ASEAN Economic
Community: Lesson from the EU and Reflections
on the Roadmap dalam Denis Hew, Roadmap
to an ASEAN Economic Community (Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies, 2005).
Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, Hubungan Indonesia-Cina dalam
Dinamika Politik, Pertahanan-Keamanan, dan
Ekonomi di Asia Tenggara/Lidya Christin Sinaga
(ed.) (Jakarta: LIPI Press, 2013).
Soekanto,Soerjono dan Sri Mamuji, Penelitian
Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat
(Jakarta: CV Rajawali, 1990).
Syahyu, Yulianto, Hukum Antidumping di Indonesia,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 2008).
Tinjauan Kompas, Menatap Indonesia 2014
Tantangan, Prospek Politik dan Ekonomi
Indonesia (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara,
2014).
Zainuddin Djafar,Moon Young Ju,Anissa Farha
Mariana, Peran Strategis Indonesia dalam
Pembentukan ASEAN dan Dinamikanya, Kajian
Kebijakan Polugri RI, UKM Regional, Implikasi
Liberalisasi Perdagangan, Realitas Piagam
ASEAN dan Esensi Kompetisi Regional (Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), 2012).

Makalah / Artikel / Prosiding / Hasil Penelitian

Jur

na

Rodriguez, Berry, A, E. and H. Sandee,Small and


Medium Enterprise Dynamics in Indonesia,
(Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol.
37 No. 2, 2001).
Messi, Nawir, Kompetisi menuju pasar bebas
ASEAN, (Majalah Kompetisi edisi 42 2013).
Mitsuhiro, Hayashi, Development of SMEs in
the Indonesian Economy, Journal of Asian
Economics (2002).
Setiawan, Maman, Strategi Pengembangan
UKM Berdasarkan Sektor Ekonomi dalam
Rangka Peningkatan Penyerapan Tenaga Kerja
di Indonesia Makalah disampaikan pada
Seminar Internasional Simposium Kebudayaan
IndonesiaMalaysia ke X yang diselenggarakan
di Universitas Padjadjaran, Bandung, 29-31 Mei
2007.

Aspek Hukum Peraturan Dan Kebijakan Pemerintah Indonesia ... (Masnur Tiurmaida Malau)

181

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang


Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3817).
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Tata Kerja, dan
Susunan Organisasi Kementerian Negara
Koperasi dan UKM yang telah diubah dengan
Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2005
tentang Perubahan atas Peraturan Presiden
Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Tata Kerja, dan Susunan Organisasi
Kementerian Negara Koperasi dan UKM.

BP
HN

Peraturan-Peraturan

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor


228/M Tahun 2001 tentang Pembentukan
kabinet Gotong Royong.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 101
Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Lembaga Pemerintah Non Departemen.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103
Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja
Lembaga Pemerintah Non Departemen.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108
Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas
Eselon I Menteri Negara.
Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2008 tentang
Fokus Program Ekonomi 2008-2009.
Inpres Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pemenuhan
Komitmen Cetak Biru AEC Tahun 2015.
Peraturan Menteri Perdagangan No. 31 Tahun 2010
yang telah disempurnakan dengan Peraturan
Menteri Perdagangan No. 57 Tahun 2012
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Perdagangan.

ing

2015 e-journal dalam https://www.conftool.


com/sudana (diakses 13 September 2014).
Sholeh Persiapan Indonesia dalam menghadapi
Asean Economic Community 2015, ejournal.
hi.fisip-unpad.org (diakses 13 September 2014).

182

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 163-182

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

PENGUATAN KERANGKA HUKUM ASEAN UNTUK MEWUJUDKAN


MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015
(Strengthening the Legal Framework to Realizing ASEAN Economic Community 2015)
Subianta Mandala

Pusat Dokumentasi, Jaringan, dan Informasi Hukum Nasional


Badan Pembinaan Hukum Nasional
Email: subianta@hotmail.com

ing

Naskah diterima: 27 Juni 2014; revisi: 21 Agustus 2014; disetujui: 25 Agustus 2014

lR
ec
hts
V

ind

Abstrak
Negara negara anggota ASEAN pada umumnya kurang menyukai pendekatan yang terlalu legalistik dalam hubungan diantara
mereka, dan cenderung memilih pendekatan ASEAN Way yaitu melalui konsensus atau musyawarah untuk mufakat.
Namun demikian, menjelang terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN pada tahunn 2015, ASEAN perlu mengembangkan
model pendekatan yang berlandaskan aturan hukum (rules-based). Pendekatan hukum tersebut diharapkan dapat
digunakan tidak saja dalam kerangka merumuskan kesepakatan-kesepakatan yang dibuat oleh ASEAN yang umumnya
dibuat dalam perjanjian atau persetujuan ASEAN, namun juga untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang timbul
diantara anggota negara negara ASEAN dalam mengimplementasikan kewajiban-kewajiban yang lahir dari kesepakatan
atau perjanjian yang dibuat diantara mereka. ASEAN secara bertahap mulai mengembangkan kerangka hukum dalam
melakukan kerjasama ekonomi yang berlangsung diantara anggota negara-negara ASEAN. Tulisan ini mencoba mengkaji
lebih dalam langkah-langkah yang telah diambil oleh ASEAN dalam upaya mereka mempererat kerjasama ekonominya,
dan kajian tersebut dilakukan dalam perspektif pengembangan kerangka hukum sebagai landasan bagi kerjasama ekonomi
di ASEAN. Mengingat bahwa kerangka hukum yang dimasudkan disini bukan saja menyangkut pembentukan substansi
hukum, tetapi juga meliputi penyelesaian sengketa, tulisan ini juga membahas mekanisme penyelesaian sengketa yang
tersedia di internal ASEAN.
Kata Kunci: kerangka hukum, kerjasama ekonomi, kesepakatan

Jur

na

Abstract
The members of ASEAN have been reluctant to be too legalistic in their relations with each other, preferring to conduct
their relationships in ASEAN Way or by consensus. Given that ASEAN would become the ASEAN Economic Community
in 2015, it is very important that appropriate legal-based mechanism should be developed to establish laws and resolve
disputes relating to trade and investment in the region. ASEAN have been moving slowly towards developing legal
framework for economic cooperation among the member state of ASEAN. This paper examines the various steps which
have been taken towards economic cooperation in the region and, examines them in the context of the evolving legal
framework for economic cooperation in ASEAN. As dispute will inevitably arise in any relationship, one of the elements
of any any legal system is to provide a means for settling these disputes. This paper, therefore, also examines the various
mechanisms for dispute resolution available in intra-ASEAN.
Keywords: legal framework, economic cooperation, consensus

Penguatan Kerangka Hukum Asean untuk Mewujudkan Masyarakat Ekonomi Asean 2015 (Subianta Mandala)

183

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

na

lR
ec
hts
V

ind

ASEAN adalah sebuah organisasi regional


yang beranggotakan negara-negara yang terletak
di kawasan Asia tenggara dengan cakupan
wilayah sekitar 4.46 juta kilometer persegi,
dan dengan jumlah penduduk kurang lebih
sekitar 600 juta.1 ASEAN didirikan berdasarkan
Deklarasi Bangkok pada tanggal 8 Agustus 1967
oleh 5 (lima) negara, yaitu: Indonesia, Malaysia,
Philipina, Singapura dan Thailand. Selanjutnya
keanggotaannya diperluas menjadi 10 negara
dengan masuknya Brunei Darussalam (1984),
Vietnam (1995), Laos, Myanmar (1997) dan
Kamboja (1999).
Usaha pembentukan organisasi regional di
Asia tenggara, sebelum terbentuknya ASEAN,
selalu mengalami kegagalan. Sejak berakhirnya
Perang Dunia ke-2, terdapat beberapa usaha
pembentukan organisasi regional, yang dimulai
dengan usulan pembentukan Pan Southeast
Asian Union oleh Perancis, namun gagal setelah
adanya kudeta di Thailand pada tahun 1948.
Selanjutnya, pada tahun 1950 ada upaya
pembentukan Asian Union, yang ditujukan untuk
kerjasama non-militer, dan dalam Konferensi
di Bandung tahun 1955 ditegaskan perlunya
kerjasama ekonomi regional. Namun keinginan
ini tidak dapat terealisir. Kerjasama di bidang
pertahanan, dan dengan tambahan kerjasama
peningkatan ekonomi dan kesejateraan sosial,
pernah diusahakan di kawasan Asia tenggara

dengan dibentuknya Southeast Asia Treaty


Organization (SEATO) pada tahun 1954. Namun
kerjasama inipun gagal. Pada tahun 1962,
Maphilindo, yang terdiri dari Malaysia, Philipina,
dan Indonesia dibentuk. Organisasi ini yang
didasarkan pada solidaritas etnis inipun akhirnya
menemui kegagalan ketika dilancarkannya
Konfrontasi oleh Indonesia terhadap Malaysia.
Pada tahun yang sama juga dibentuk Association
of Southeast Asia (ASA) yang beranggotakan
Philipina, Malaysia dan Thailand, yang kemudian
juga gagal berkembang karena memburuknya
hubungan diplomatik antara Malaysia dan
Philipina menyangkut isu Sabah pada tahun
1963. Kegagalan demi kegagalan tersebut tidak
lepas dari tidak stabilnya hubungan diplomatik
antar negara di kawasan dan pertikaian
menyangkut teritorial setelah ditinggalkan oleh
kekuatan penguasa Barat. Sekalipun semua
upaya pembentukan organisasi atau kerjasama
regional sebagaimana digambarkan di atas
mengalami kegagalan, namun upaya tersebut
mempunyai kontribusi bagi pembentukan
ASEAN.2 Belajar dari pengalaman sebelumnya,
negara-negara di kawasan Asia tenggara
semakin memahami perbedaan kepentingan
dan masalah masalah yang dihadapi negaranegara lain.3 Membaiknya hubungan antara
Malaysia dengan Indonesia, menyusul per
gantian pemerintahan dari Soekarno kepada
Soeharto, memberikan jalan bagi pembentukan
organisasi ASEAN pada tahun 1967.

ing

A. Pendahuluan

ASEAN:
http://www.asean.org/resources/publications/item/association-of-southeast-asian-nations-aseanintegration-monitoring-report-a-joint-report-by-the-asean-secretariat-and-the-world-bank-english?category_
id=382, (diakses 2 Maret 2014).
2
William Bucklin, Regional Economic Cooperation in Southeast Asia: 1945-1969, (Ann Arbor: University Microfilms
International, 1975), hlm. 35.
3
ASA bahkan menjadi model pembentukan ASEAN terutama dalam mekanisme administrasi organisasi dan
beberapa konsep kerjasama teknis dan kebijakan di bidang ekonomi, sosial dan budaya..

Jur

184

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 183-196

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

pembangunan industri, perdagangan dan


investasi. Perkembangan kerjasama ekonomi
ASEAN, yang dewasa ini diarahkan kepada
pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN,
berjalan relatif lebih cepat dibandingkan
dengan kerjasama di bidang politik-keamanan
dan sosial budaya.
Perkembangan penting yang terjadi di dalam
ASEAN saat ini adalah ditanda-tanganinya
Piagam ASEAN pada bulan Nopember 2007
yang mengindikasikan komitmen negara-negara
ASEAN untuk memperkuat kerjasama regional
melalui pembentukan Masyarakat ASEAN
(ASEAN Community) yang lebih terintegrasi
yang diharapkan terwujud pada tahun 2015.
Dalam Mukadimah Piagam ASEAN6 disebutkan
bahwa Masyarakat ASEAN akan ditopang oleh 3
pilar yaitu Masyarakat Politik-Keamanan ASEAN,
Masyarakat Ekonomi ASEAN, dan Masyarakat
Sosial Budaya ASEAN.
Selama ini ASEAN sebagai perhimpunan
regional, ikatannya terlalu longgar, pengambilan
keputusan dilakukan secara konsensus dan
pelaksanaannya
diserahkan
sepenuhnya
kepada masing-masing negara anggota. ASEAN
menyadari bahwa berbagai perjanjian ASEAN
telah dihasilkan, akan tetapi tidak ada sanksi
bagi mereka yang tidak mematuhinya. Sebagai
sebuah asosiasi yang relatif longgar, proses
pengambilan keputusan berdasarkan konsensus
kerap dirasakan menghambat gerak ASEAN
untuk maju lebih cepat. Akibatnya, berbagai

na

lR
ec
hts
V

ind

Tujuan dibentuknya ASEAN, sebagaimana


disebutkan dalam Deklarasi Bangkok, diantaranya
adalah (1) untuk mempercepat pertumbuhan
ekonomi, kemajuan sosial dan pengembangan
budaya di kawasan melalui upaya bersama
dengan didasari oleh semangat kesetaraan dan
kebersamaan untuk memperkuat fondasi bagi
sebuah masyarakat ASEAN yang makmur dan
damai, (2) mempromosikan kerjasama yang
erat dan saling membantu mengenai masalahmasalah yang menjadi kepentingan bersama
di bidang ekonomi, sosial, budaya, teknis,
ilmu pengetahuan dan administrasi, dan (3)
untuk mengefektifkan kerjasama pemanfaatan
pertanian dan industri, dan perluasan
perdagangan, termasuk mengkaji perdagangan
komoditas internasional.4
Berdasarkan uraian di atas, kerjasama
ekonomi merupakan salah satu bidang yang
menjadi tujuan pembentukan ASEAN. Dengan
demikian, kerjasama ekonomi bukan satu
satunya dan juga bukan tujuan utama dari
pembentukan ASEAN. Bahkan pada periode awal
pembentukannya, ASEAN lebih banyak fokus
pada hal hal yang bersifat non ekonomi.5 Dalam
perkembangannya, ASEAN banyak memberikan
perhatian pada kerjasama ekonomi. Hal ini
dapat dilihat dari langkah langkah yang telah
diambil oleh ASEAN dalam mewujudkan
kerjasama ekonomi, termasuk pembuatan
perjanjian internasional yang menjadi landasan
hukum bagi berbagai kegiatan kerjasama dalam

The Asean Declaration (Bangkok Declaration) Bangkok, 8 August 1967, diakses melalui http://www.asean.org/
news/item/the-asean-declaration-bangkok-declaration, (diakses 3 April 2014).
5
Lihat Paul J. Davidson, ASEAN-The Evolving Legal Framework fo Economic Cooperation, (Singapore: Times
Academic Press, 2002), hlm. 1.
6
Piagam ASEAN ditanda-tangani oleh 10 Kepala Negara/Pemerintahan ASEAN tanggal 20 Nopember 2007 pada
KTT ke-13 di Singapore dan mulai berlaku efektif tanggal 15 Desember 2008 setelah kesepuluh Negara anggota
ASEAN menyampaikan instrument ratifikasi.

Jur

Penguatan Kerangka Hukum Asean untuk Mewujudkan Masyarakat Ekonomi Asean 2015 (Subianta Mandala)

185

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

hukum akan mencakup 2 (dua) aspek yaitu


pembentukan kerangka substansi hukum
dan mekanisme penyelesaian sengketa yang
tersedia di ASEAN.

B. Metode Penelitian

ing

Untuk mengkaji permasalahan di atas,


penulis menggunakan metode penelitian
hukum normatif (yuridis normatif). Penelitian
ini menitikberatkan pada studi literatur.
Keseluruhan data yang diperoleh dianalisa
secara kualitatif dan diberikan penggambaran
(deskripsi) secara mendalam mengenai
perubahan pendekatan yang diambil oleh
ASEAN, dari pendekatan soft law ke hard law.

ind

permasalahan di kawasan ASEAN sering


diselesaikan dengan the ASEAN Way (cara
ASEAN), satu putusan kompromistis yang paling
bisa diterima seluruh negara anggota ASEAN,
akan tetapi banyak mengandung kelemahan.
Tantangan yang dihadapi oleh ASEAN
sekarang ini adalah meningkatnya persaingan
global dan proteksionisme. Integrasi regional
yang lebih kuat dan efektif akan meningkatkan
daya tarik bagi penanaman modal asing dan
juga meningkatkan daya saing dalam kancah
ekonomi dan perdagangan global. Salah satu
tantangan penting dewasa ini yang dihadapi
oleh ASEAN adalahmelakukan penguatan
kerangka hukum untuk menun jang terwujudnya
integrasi regional. Penggunaan kerangka hukum
dalam melaksanakan kerjasama ekonomi baik
yang bersifat regional maupun internasional
sudah menjadi kecendurang global dewasa ini,
misalnya dikeluarkannnya berbagai instrumen
hukum yang bersifat mengikat dalam konteks
Uni Eropa (EU) dan Organisasi Perdagangan
Dunia (WTO). Kerangka hukum memberikan
aturan dalam hubungan atau interaksi antar
anggota dalam satu komunitas dan mekanisme
untuk menyelesaikan sengketa diantara para
anggota dalam melaksanakan aturan yang ada
tersebut. Dengan demikian, ada dua aspek
ketika kita berbicara mengenai kerangka hukum,
yaitu (1) menyangkut pembuatan substansi
hukum, dan (2) penyelesaian sengketa atau
mekanisme penegakan hukum. Tulisan ini
akan mencoba mengeksplor berbagai macam
langkah yang telah diambil untuk meningkatkan
kerjasama ekonomi di ASEAN dan mengkajinya
dalam konteks pengembangan kerangka hukum
sebagai landasan bagi kerjasama ekonomi
di ASEAN. Bahasan menyangkut kerangka

C. Pembahasan

Jur

na

lR
ec
hts
V

1. Kerangka Hukum dalam Mewujudkan


Masyarakat Ekonomi ASEAN

186

Langkah penting pertama menuju kerjasama


ekonomi ASEAN adalah penandatangan Deklarasi
ASEAN Concord pada saat dilaksanakannya
Pertemuan Puncak Pertama ASEAN (The First
ASEAN Summit) di Bali pada tahun 1976.
Perjanjian tersebut, yang menjadi dasar bagi
kerjasama ASEAN di bidang perdagangan dan
industri, kemudian diikuti oleh perjanjian
perjanjian lainnya yang mengatur lebih rinci
berbagai kegiatan kerjasama pembangunan
industri dan perdagangan, salah satunya adalah
Persetujuan ASEAN mengenai Pengaturan
Perdagangan Preferensial (Agreement on ASEAN
Preferential Trading Arrangements atau PTA)
yang dibuat pada tahun 1977. Persetujuan ini
memberikan kesempatan kepada negara-negara
anggota ASEAN untuk memperluas preferensi
perdagangan diantara mereka berdasarkan
ketentuan dan aturan yang tercakup dalam

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 183-196

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

Preferential Tariff) atau disingkat CEPT. Skema


ini mengatur rincian tentang cakupan dan
mekanisme pelaksanaan AFTA. Semua Negara
anggota berpartisipasi dalam skema CEPT
yang berlaku mulai 1 Januari 1993. Sasarannya
adalah penurunan tarif efektif hingga menjadi
0,5% dalam kurun waktu 15 tahun (1993-2008),
namun kemudian dipercepat menjadi tahun
2003, dan terakhir dipercepat lagi menjadi
tahun 2002. Selain penurunan tarif hingga 0,5%,
skema CEPT-AFTA juga bertujuan melakukan
penghapusan pembatasan kuantitatif dan
hambatan-hambatan non tarif lainnya.
Skema CEPT-AFTA kemudian dalam rangka
pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA) tahun 2015 dijadikan ASEAN Trade in
Goods Agreement (ATIGA).
Pada tahun 2003, integrasi ekonomi ASEAN
semakin kokoh ketika negara-negara anggota
ASEAN bertekad mewujudkan sebuah misi yang
lebih ambisius yaitu membentuk Masyarakat
Ekonomi ASEAN pada tahun 2015. Pertemuan
Puncak ASEAN ke-9 di Bali tahun 2003
menghasilkan Bali Concord II yang menegaskan
bahwa Masyarakat Ekonomi ASEAN akan
diarahkan kepada pembentukan sebuah
integrasi ekonomi kawasan. Pembentukan MEA
ini diarahkan untuk menjadikan ASEAN sebagai
sebuah pasar tunggal (single market) dan yang
berbasis produksi (production base), dimana
aliran barang, jasa, modal dan tenaga kerja
terampil dapat bergerak secara bebas sesuai
dengan kesepakatan ASEAN.9

na

lR
ec
hts
V

ind

persetujuan.7 Preferensi perdagangan ini


diberikan diantaranya kepada proyek proyek
industri ASEAN yang berskala besar yang
tercakup dalam Proyek Industri ASEAN (ASEAN
Industrial Project atau disingkat AIP). AIP ini
adalah persetujuan menyangkut pengalokasian
kegiatan industri tertentu kepada satu negara
anggota ASEAN dalam jangka waktu yang
disepakati. Preferensial tarif diberikan terhadap
produk produk dari kegiatan proyek tersebut.
Langkah penting berikutnya dalam kerangka
kerjasama ekonomi ASEAN adalah keputusan
yang diambil dalam Pertemuan Puncak ASEAN
ke-4 pada tahun 1992 di Singapura, yaitu
kesepakatan untuk membentuk Kawasan
Perdagangan Bebas ASEAN (ASEAN Free Trade
Area) atau AFTA. Gagasan pembentukan wilayah
perdagangan bebas di ASEAN adalah sebuah
langkah besar yang mengubah ASEAN dari yang
fokus utamanya pada perdamaian dan stabilitas
menuju kepada perluasan dan peningkatan
kerjasama ekonomi.8 AFTA merupakan wujud
dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN
untuk membentuk suatu kawasan bebas
perdagangan dalam rangka meningkatkan daya
saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan
menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia
serta menciptakan pasar regional bagi 600 juta
penduduknya.
Instrumen penting dan utama dalam
mengimplementasikan AFTA adalah Perse
tujuan Skema Tarif Preferensial Efektif
Bersama (Agreement on the Common Effective

Perdagangan preferensial adalah akses khusus yang diberikan oleh satu negara kepada negara lain terhadap
suatu produk tertentu. Hal ini dilakukan biasanya melalui pengurangan tarif, namun tidak menghilangkan tarif
sama sekali. Pemberian preferensial dalam perdagangan ini dibentuk biasanya melalui perjanjian perdagangan
atau blok perdagangan.
8
Paul J. Davidson, Op. Cit. (Note 5), hlm. 74.
9
Lihat ASEAN Economic Community < http://www.asean.org/communities/asean-economic-community>
[diakses 7/4/2014].

Jur

Penguatan Kerangka Hukum Asean untuk Mewujudkan Masyarakat Ekonomi Asean 2015 (Subianta Mandala)

187

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

lR
ec
hts
V

ind

Pada
tahun
yang
sama
dengan
penandatangan Piagam ASEAN, sebuah cetak
biru MEA telah ditandatangani oleh semua
kepala pemerintahan ASEAN yang berisi
tentang langkah-langkah konkrit yang harus
dilaksanakan oleh semua negara-negara anggota
ASEAN dalam mewujudkan MEA beserta Jadwal
(timeframe) pelaksanaannya.
Lahirnya Piagam ASEAN telah merubah
ASEAN dari suatu asosiasi yang longgar
menjadi suatu organisasi yang berdasarkan
hukum (rules-based) dan berorientasi kepada
kepentingan rakyat (people oriented). Pada
tahun tahun awal kelahirannya, ASEAN
tidak pernah dimaksudkan sebagai sebuah

BP
HN

Commited to intensifying community


through enhanced regional cooperation and
integration, in particular by establishing an
ASEAN Comminity comprising the ASEAN
Security Community, the ASEAN Economic
Community and the ASEAN Socio-Cultural
Community, as provided for in the Bali
Declaration of ASEAN Concord II.

organisasi formal yang operasionalnya terikat


dengan ketentuan ketentuan hukum, dan tidak
dipandang dalam bingkai aturan dalam konteks
kewajiban-kewajiban hukum atau norma yang
harus ditaati oleh anggotanya10. ASEAN tidak
terbiasa berbicara mengani hak dan kewajiban,
karena ASEAN tidak pernah dikaitkan dengan
hukum internasional dan perjanjian-perjanjian
internasional. ASEAN selalu dipandang sebagai
sebuah kelompok yang terdiri dari negara
negara yang berdaulat yang bekerja berdasarkan
prosedur informal dan konsensus yang bersifat
ad-hoc dan tidak dalam bingkai aturan-aturan
hukum yang mengikat.11
Dalam perkembangannya, dan puncaknya
ditandai dengan lahirnya Piagam ASEAN,
ASEAN tidak lagi sekedar organisasi informal
yang pengambilan keputusannya didasarkan
pada konsensus, namun secara perlahan sudah
didasarkan pada mekanisme formal. Beberapa
perjanjian yang bersifat mengikat negara-negara
ASEAN telah dibuat dan menjadi landasan
hukum bagi operasional kerjasama ekonomi
ASEAN. Persetujuan Kawasan Perdagangan
Bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Agreement)
adalah suatu contoh perjanjian yang bersifat
mengikat yang ditanda-tangani pada tahun
1992. Dalam pelaksanaan AFTA tersebut
beberapa persetujuan telah juga dibuat.12

ing

Komitmen untuk mewujudkan MEA,


termasuk juga Masyarakat Keamanan ASEAN
dan Masyarakat Sosial Budaya ASEAN,
ditegaskan juga dalam Piagam ASEAN yang
ditandangani oleh semua kepala pemerintahan
ASEAN pada tahun 2007 di Singapore. Dalam
Preambul Piagam ASEAN disebutkan bahwa:

Deklarasi Bangkok yang merupakan dokumen lahirnya ASEAN pada tahun 1967 hanya merupakan pernyataan
yang terdiri dari 2 halaman dan tidak memerlukan ratifikasi, dan cukup ditandatangani oleh 5 (lima) Menteri
Luar Negeri dari negara negara anggota ASEAN.
11
Perjanjian yang bersifat mengikat (legally binding treaty) pertama yang dibuat oleh ASEAN adalah pada saat
ASEAN Summit I di Bali pada tahun 1976, sembilan tahun setelah lahirnya ASEAN, yaitu the Treaty of Amity and
Cooperation in Southeast Asia.
12
Teks lengkap mengenai beberapa persetujuan dalam rangka AFTA dapat diakses melalui http://.aseansec.org/
economic/afta/afta_agr.htmn, Perkembangan lain yang terjadi dalam ASEAN adalah bahwa ASEAN tidak lagi
hanya membicarakan masalah-masalah ekonomi, tapi juga bidang-bidang lain seperti keamanan, sosial budaya
dan lain-lain. Kerjasama penegakan hukum, seperti penanggulangan kejahatan lintas batas Negara telah berjalan
di ASEAN. Bahkan kerjasama tersebut telah dikemas dalam bingkai hukum yaitu berupa perjanjian internasional
yang meletakkan hak dan kewajiban kepada Negara-negara anggota ASEAN.

Jur

na

10

188

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 183-196

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

bertindak atau dalam menyelesaikan masalah.


Beberapa karakteristik dari konsep ASEAN Way
antara lain adalah penghormatan terhadap
kedaulatan masing-masing negara anggotanya
dengan tidak melakukan intervensi terhadap
masalah internal negara lain, mengusahakan
resolusi konflik dengan cara-cara damai serta
tidak menggunakan ancaman kekerasan.
Metode yang digunakan dalam manajemen
konflik melalui konsep ASEAN Way umumnya
didasarkan pada musyawarah atau konsensus.
Hal ini untuk mencegah pihak-pihak yang
memiliki pengaruh besar untuk bertindak
sewenang-wenang.
ASEAN Way mendorong negara-negara di
kawasan Asia Tenggara untuk mencari cara untuk
bekerja sama secara maksimal dengan cara
dialog serta konsultasi. Proposal dari Thailand
untuk flexible engagement di tahun 1998
merupakan terobosan baru untuk perubahan
cara diplomasi di ASEAN. Flexible engagement
yang dimaksud di atas adalah perbincangan
yang dilakukan oleh negara-negara anggota
ASEAN untuk membicarakan tentang masalahmasalah domestik serta kebijakan didalam
negeri negara anggota ASEAN tanpa ada maksud
untuk mengintervensi negara satu sama lain.
Proposal dari Thailand tersebut awalnya tidak
diterima oleh negara-negara anggota ASEAN,
kecuali Filipina, karena menganggap proposal
tersebut sebagai pelanggaran intervensi isu
domestik suatu negara.
Selain itu, mekanisme yang digunakan adalah
pendekatan secara informal. Pendekatan secara

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

Perubahan dalam pengambilan keputusan di


ASEAN yang dulunya didasarkan pada konsensus
atau musyawarah semata menjadi atas dasar
aturan hukum terlihat secara menonjol dalam
kerjasama dibidang ekonomi dan perdagangan.
Pengaturan kerjasama ekonomi yang didasarkan
pada kerangka hukum yang mengikat akan
semakin berkembang di masa mendatang
sejalan dengan semakin terintegrasinya ASEAN
sebagai sebuah komunitas tunggal, terutama
menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN.13
Berbeda dengan konsep negara barat (Uni
Eropa) yang lebih mengedepankan legalistik
formal dalam proses pengambilan keputusan
dan menentukan hak dan kewajiban masing
masing pihak, maka ASEAN menggunakan
pendekatan dengan cara musyawarah (untuk
mencapai) mufakat. Pendekatan yang bersifat
informal dan soft ini dikenal sebagai The ASEAN
Way.14 Pendekatan yang bersifat soft law telah
lama dianggap sebagai karakteristik dari ASEAN
dan Asia Timur pada umumnya. Pendekatan
musyawarah dan mufakat tercermin dari cara
pengambilan keputusan di ASEAN dan struktur
organisasi ASEAN.
ASEAN Way dapat dikatakan sebagai
cara-cara ASEAN dalam menanggapi dan
menanggulangi permasalahan yang ada. Secara
sederhana ASEAN Way juga merupakan suatu
pembentukan identitas bagi negara-negara
Asia Tenggara di tengah maraknya dominasi
negara-negara Barat dan juga negara maju.
ASEAN Way dapat menjadi suatu pedoman
bagi negara Asia Tenggara khususnya untuk

Paul J. Davidson, The ASEAN Way and the Role of Law in ASEAN Economic Cooperation, 8 Singapore Year Book
of International Law, 2004. hlm. 165.
14
Rodolfo C. Severino, Sekretaris Jenderal ASEAN, the ASEAN Way and the Rule of Law, makalah lepas yang
disampaikan pada International Law Conference on ASEAN Legal Systems and Regional Integrationyang
diselenggarakan oleh Universitas Malaya, Kuala Lumpur, 3 September 2001.
13

Penguatan Kerangka Hukum Asean untuk Mewujudkan Masyarakat Ekonomi Asean 2015 (Subianta Mandala)

189

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

hak, kewajiban, dan tanggung jawab para pihak


dalam bisnis, (2) para pelaku bisnis akan mampu
menjalankan transaksi bisnisnya dengan tingkat
kepastian dan prediktibilitas yang masuk akal,
(3) hukum memberikan sarana atau jalan
memperoleh hak-hak secara sah, dan (4) yang
terpenting adalah menumbuhkan raya percaya
dalam bisnis. Sebailkya, sistem hukum yang tidak
efektif akan meningkatkan biaya transaksi.16
Dengan perkembangan dan perluasan
kerjasama ekonomi yang semakin meningkat
di ASEAN dan juga mengingat perkembangan
perdagangan internasional dan investasi di
tingkat global yang semakin banyak diatur oleh
peraturan dan sistem hukum internasional,
maka mendorong ASEAN untuk merubah cara
pendekatannya. Perubahan ASEAN menjadi
lebih legalistik bukan saja didorong oleh
keinginan mewujudkan organisasi yang lebih
terintegrasi, tetapi juga dikarenakan adanya
keinginan untuk menjadikan ASEAN sebagai
sebuah pasar regional yang lebih menarik bagi
investasi asing. Agar dapat menarik investor
asing maka negara-negara ASEAN perlu
menyediakan kerangka hukum yang memadai
untuk menjamin hak-hak para investor.
Oleh karena itu, dalam perjalanannya, ASEAN
secara perlahan-lahan mulai menggunakan
pendekatan hukum dalam mengatur hubungan
kerjasama diantara anggotanya. Perjanjian
pertama yang dilahirkan oleh ASEAN adalah
Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama di
Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and
Cooperation in Southeast Asia) pada tahun
1976, hampir sembilan tahun sejak berdirinya

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

informal ini dimaksudkan agar mencairkan


ketegangan yang umum terjadi pada pihak-pihak
yang berselisih. Dengan memanfaatkan nilai
positif dari mekanisme ini, maka penyelesaian
konflik dengan cara-cara yang damai dapat
dicapai.
Namun demikian, dalam konteks kerjasama
ekonomi internasional, pendekatan ASEAN
way mulai dikaji kembali efektifitasnya. Dalam
praktek dewasa ini, model pendekatan yang
dilakukan dalam menata hubungan ekonomi
dan perdagangan internasional umumnya
menggunakan kerangka hukum (rules-based).
Dalam banyak isu menyangkut ekonomi
dan perdagangan, terdapat kecenderungan
pengaturannya melalui pembuatan perjanjian
perjanjian
internasional
yang
bersifat
mengikat secara hukum (legally binding),
sebagaimana direfleksikan oleh WTO. Kerangka
hukum WTO tidak saja menyangkut isi atau
substansi pengaturan perdagangan, tetapi
juga menyediakan mekanisme penyelesaian
sengketa melalui Badan Penyelesaian Sengketa
(DSB), lembaga panel dan banding.
Hukum dan sistem hukum adalah faktor
penting bagi kemajuan ekonomi. Hukum
dan kelembagaan hukum dapat mendorong
kegiatan ekonomi. Rodolfo C Severino,
mantan Sekjen ASEAN mengatakan bahwa jika
kerjasama ekonomi ingin lebih substansial dan
berdampak nyata, maka perjanjian-perjanjian
yang dibuat haruslah mempunyai kekuatan
mengikat.15 Hukum mempunyai 4 tujuan dalam
konteks pembangunan ekonomi, yaitu (1)
hukum memberikan argumen dan menopang

Ibid.
Arumugam Rajenthran, Indpnesia, an Overview of the Legal Framework for Foreign Direct Investment,
Economics and Finance, No. 2, (2002).

15
16

190

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 183-196

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

dapat juga berfungsi sebagai: (1) konstitusi


ASEAN, (2) identitas hukum ASEAN, (3) kerangka
kelembagaan ASEAN, (4) kodifikasi norma,
aturan dan nilai nilai ASEAN, (5) landasan bagi
pembentukan Masyarakat ASEAN, (6) kerangka
kerja organisasi/institusi agar lebih efektif dan
efisient, (7) pendorong peningkatan peran dan
fungsi Ketua ASEAN, Sekjen dan Sekretariat
ASEAN, (8) upaya meningkatkan identitas dan
menciptakan solidaritas warga ASEAN, (9)
penguatan hubungan eksternal ASEAN dan
peningkatan posisi yang sama diantara anggota
ASEAN, dan (10)pendorong terwujudnya
mekanisme penyelesaian sengketa yang tepat
dan efektif di ASEAN.19

ind

ASEAN. Sepuluh tahun kemudian (1977) baru


dihasilkan satu perjanjian lagi yaitu Persetujuan
Pengaturan Perdagangan Preferensial (PTA).
Sepuluh tahun berikutnya, yaitu pada tahun
1987, disepakati Persetujuan Promosi dan
Perlindungan Investasi.17 Tentu saja perjanjian
penting yang harus disebutkan disini adalah
Perjanjian CFPT-AFTA (1992), yang menjadi
kerangka hukum yang kokoh bagi terwujudnya
integrasi ekonomi ASEAN.
Perubahan ke arah pendekatan yang lebih
formal legalistik tidak berhenti sampai dengan
lahirnya perjanjian CEPT-AFTA, namun ASEAN
melangkah lebih jauh lagi dengan menyepakati
sebuah Piagam ASEAN yang secara ekplisit
menyatakan bahwa Hereby decide to establish,
through this Charter, the legal and institutional
framework for ASEAN.18 Dengan demikian,
Piagam ASEAN ini bukan saja menjadi kerangka
hukum dan kelembagaan ASEAN dalam
operasionalnya, tetapi juga secara implisit
mengakui dan mengarahkan ASEAN sebagai
sebuah organisasi yang berdasarkan hukum
(rules based).
Lahirnya Piagam ASEAN adalah merupakan
sejarah penting yang akan mewarnai
perkembangan ASEAN ke depan. Selain
mengubah organisasi ASEAN yang sebelumnya
bersifat longgar dan informal menjadi organisasi
yang berlandaskan hukum, Piagam ASEAN

2. Mekanisme Penyelesaian Sengketa

na

lR
ec
hts
V

Salah satu hal penting yang diatur dalam


Piagam ASEAN adalah memberikan aturan
mengenai kerangka hukum bagi penyelesaian
sengketa diantara negara-negara anggota
ASEAN. Pada bagian pembukaan dari Piagam
ASEAN dinyatakan bahwa dengan menghormati
persahabatan dan kerjasama serta prinsipprinsip yang terdapat dalam TAC dengan
beberapa prinsip-prinsip tambahan yaitu
bersatu dalam perbedaan serta konsensus.
Dalam konteks regional ASEAN, ada beberapa
prinsip penyelesaian sengketa yang dituangkan
dalam beberapa instrumen hukum dan Piagam

Dari tahun 1977 sampai tahun 1987, telah lahir juga beberapa perjanjian, diantanya ASEAN Industrial Projects
(1980), the ASEAN Industrial Complementation (1981), the ASEAN Industrial Joint Ventures (1983), the Brandto-Brand Complementation Scheme (1988), ASEAN Currency Swap Arrangement (1977), Agreement on the Food
Security Reserve (1979), Agreement on the Mutual Recognition of Drivers Licenses (1985), dan Establishment
of the Petroleum Security Reserve (1986).
18
Lihat di bagian Pembukaan Piagam ASEAN.
19
Rosario Gonzalez-Manalo, Drafting ASEANsTomorrow: The Eminent Persons Group and the ASEAN Charter,
dalam Tommy Koh, (eds.), The Making of The ASEAN Charter, (Singapore: World Scientific Publishing Co.Pte.Ltd.,
2009), hlm. 3.

Jur

17

Penguatan Kerangka Hukum Asean untuk Mewujudkan Masyarakat Ekonomi Asean 2015 (Subianta Mandala)

191

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

upaya penyelesaian yang lain. Kemudian apabila


konsultasi atau negosiasi tidak berhasil, para
pihak dapat membawa sengketanya kepada
mekanisme penyelesaian sengketa lainnya
lainnya seperti mediasi, konsialiasi, arbitrase
dan bahkan ke pengadilan.
Sangatlah tidak realistis apabila kita
membayangkan bahwa sengketa-sengketa
yang timbul diantara negara-negara anggota
ASEAN akan semuanya dapat diselesaikan
secara damai atau melalui musyawarah untuk
mencapai mufakat, yang bersifat informal.
Pengalaman organisasi internasional lain atau
ASEAN sendiri tidaklah mendukung thesis
tersebut. Tidak ada jaminan bahwa semua
sengketa akan dapat diselesaikan secara
efektif melalui cara konsultasi atau negosiasi.
Mekanisme penyelesaian sengketa yang lebih
diperlukan. Oleh karena itulah maka Pasal
22 Ayat 2 Piagam ASEAN menyatakan bahwa
ASEAN perlu membuat dan mempertahankan
mekanisme penyelesaian sengketa bagi semua
sengketa yang timbul dari kerjasama ASEAN
di semua bidang. Apabila ada instrumen
ASEAN tertentu memuat suatu mekanisme
penyelesaian sengketa maka hal yang wajar
apabila sengketa yang masih dalam cakupan
instrumen bersangkutan diselesaikan menurut
cara yang disebutkan dalam instrumen tersebut.
Hal ini diatur dalam Pasal 24 Ayat 1 Piagam
ASEAN. Sebagai contoh Perjanjian Kerangka
Peningkatan Kerjasama Ekonomi ASEAN (the
Framework Agreement on Enhanching ASEAN
Economic Cooperation) 1992 menyebutkan
dalam Pasal 9 bahwa:

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

ASEAN. Dalam konteks tersebut, mekanisme


penyelesaian sengketa yang ditekankan di
ASEAN lebih memilih cara-cara damai, sebab
selain hal itu menguntungkan para pihak yang
bersengketa, juga berimplikasi positif terhadap
stabilitas keamanan di wilayah kawasan. Selain
itu, faktor sejarah ASEAN yang lahir karena
keprihatinan yang timbul kala itu, dimana
negara-negara di kawasan ini sangat rentan
konflik yang melibatkan kepentingan negaranegara besar pasca Perang Dunia II. Atas dasar
itulah berbagai perjanjian kerjasama dalam
bingkai ASEAN selalu dilakukan dengan cara
penekanan pada penggunaan cara-cara damai
dalam penyelesaiannya, ketika terjadi sengketa.
Hal ini tercemin juga dalam Piagam ASEAN yang
sudah ditandatangani dan diberlakukan bagi
negara anggota-anggota ASEAN.
ASEAN didirikan dengan tujuan untuk
maintain and enhance peace, security and
stability and further strengthen peace-oriented
values in the region. Hal ini dinyatakan dalam
Pasal 1 Ayat 1 Piagam ASEAN. ASEAN adalah
sebuah komunitas, bukan sekedar sebuah
kelompok negara-negara yang disatukan karena
kedekatan geografis. Tujuan utamanya adalah
untuk menciptakan rasa kebersamaan dimana
masing masing anggota merasa menjadi bagian
dari sebuah keluarga negara negara di belahan
Asia Tenggara yang dihubungkan secara budaya,
politik dan ekonomi. Untuk mencapai tujuan
tersebut maka perlu ada sebuah mekanisme
penyelesaian sengketa secara damai. Namun
ada kalanya setelah berbagai upaya damai
dijalankan, penyelesaian sengketa secara
damai tersebut tidak tercapai. Dalam konteks
hukum nasional, terdapat berbagai metode
penyelesaian sengketa. Penyelesaian sengketa
melalui konsultasi atau negosiasi adalah metode
yang umum dilakukan sebelum dilakukannya

192

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 183-196

any differences between Member States


concerning the interpretation or application
of this Agreement ... shall, as far as possible,
be settled amicably between the parties.
Where necessary, an appropriate body shall
be designated for thesettlement of disputes.

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

menegaskan bahwa sengketa yang mengancan


perdamaian harus diajukan ke Dewan Tinggi
(High Council) yang beranggotakan perwakilan
dari semua pihak dalam sengketa. Namun ini
hanya dapat dilaksanakan kalau para pihak
menyetujuinya. Alternatif lain adalah para pihak
dapat mengajukan sengketanya menurut cara
penyelesaian damai sebagaimana diatur dalam
Pasal 33 Ayat 1 Piagam PBB.
Dalam ketentuan pada Pasal 28 Piagam
ASEAN ditegaskan, kecuali yang diatur
sebaliknya di dalam Piagam ini, negara-negara
anggota berhak untuk beralih ke cara-cara
penyelesaian sengketa secara damai seperti
tercantum dalam Pasal 33 ayat 1 dari Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa atau instrumen
hukum internasional yang lain yang ada
didalamnya negara-negara anggota yang
bersengketa merupakan para pihak. Dalam
pasal tersebut ditegaskan ada tiga pilihan model
penyelesaian sengketa yang bisa dilakukan
oleh para anggota ASEAN. Pertama, para pihak
terlebih dulu harus mengupayakan mekanisme
penyelesaian sengketa melalui prosedur yang
disediakan dalam Piagam ASEAN, sebagaimana
telah diuraikan dalam ketentuan Pasal 22
sampai dengan Pasal 28. Kedua, para pihak yang
notabenenya juga merupakan anggota PBB
dapat menggunakan ketentuan dalam Pasal 33
ayat 1 Piagam PBB dalam penyelesaian sengketa
secara damai di antara mereka. Ketiga, selain itu
melalui kedua mekanisme tersebut para pihak
dapat menggunakan cara-cara penyelesaian
sengketa yang diatur dalam ketentuan hukum
internasional lainnya.

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

Pasal ini diperluas secara signifikan oleh


Protokol tentang Mekanisme Penyelesaian
Sengketa 1996, yang kemudian digantikan
oleh Protokol ASEAN tentang Mekanisme
Penyelesaian sengketa yang Ditingkatkan
Tahun 2004 atau yang dikenal sebagai Protokol
Protokol
Vientiane
adalah
Vientiane.20
mekanisme penyelesaian sengketa yang paling
penting karena mencakup semua perjanjianperjanjian ekonomi ASEAN. Selanjutnya Pasal
22 Ayat 3 mengatur kembali bahwa apabila
tidak diatur sebaliknya, sengketa menyangkut
interpretasi atau penerapan dari perjanjianperjanjian ekonomi ASEAN harus diselesaikan
menurut ketentuan dalam Protokol ASEAN
mengenai Mekanisme Penyelesaian Sengketa
yang Ditingkatkan. Inti dari Protokol Vientiane
adalah
memberikan
aturan
mengenai
pembentukan Panel untuk memeriksa sengketa
dan mencari fakta-fakta untuk membantu
Ekonomi Senior. Pertemuan Pejabat Ekonomi
Senior akan memberikan putusan. Panel
pada dasarnya akan mempertimbangkan sifat
dari sengketa dan memutuskan bagaimana
sengketa tersebut sebaiknya diselesaikan.
Hal yang penting dicacat disini adalah bahwa
dalam sengketa menyangkut perjanjian atau
persetujuan ekonomi terdapat suatu mekanisme
penyelesaian sengketa yang bersifat formal.
Dalam hal dimana sengketa tidak terkait
dengan persetujuan ASEAN, Pasal 24 Ayat 2
menyatakan bahwa cara penyelesaian sengketa
yang diatur dalam Perjanjian Persahabatan
dan Kerjasama di Asia Tenggara (TAC) beserta
hukum acaranya akan diberlakukan. TAC

Lihat the ASEAN Protokol on Enhanced Dispute Settlement Mechanism, diakses melalui <http://www.asean.org/
news/item/asean-protocol-on-enhanced-dispute-settlement-mechanism>, (diakses 10 Juni 2014).

20

Penguatan Kerangka Hukum Asean untuk Mewujudkan Masyarakat Ekonomi Asean 2015 (Subianta Mandala)

193

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

mekanisme pengadilan. Pada saat itu disepakati


bahwa mekanisme yang mungkin lebih pas
adalah dengan mengikut model Protokol
Vientiane. Namun demikian, Pasal 25 Piagam
ASEAN memberikan peluang kepada ASEAN
untuk menggunakan pengadilan di kemudian
hari apabila dapat dibuktikan bahwa memang
diperlukan sebuah mekanisme pengadilan.

ing

D. Penutup

Sejak periode awal kelahirannya, ASEAN


tidak terbiasa mengatur hubungan diantara
anggota-anggotanya dalam sebuah kerangka
hukum yang bersifat mengikat, namun lebih
mengedepankan pelaksanannya atas dasar
saling pengertian dan kesepakatan kesepakatan
yang bersifat informal. Sejak awal negara negara
pendiri ASEAN memang tidak ingin membuat
sebuah organisasi regional yang kuat dengan
menyerahkan kekuasaannya kepada organisasi
baru ASEAN. Negara-negara anggota masih
ingin tetap mempertahankan secara ketat
masing masing kedaulatannya.
Pendekatan yang bersifat soft law telah
lama dianggap sebagai karakteristik dari ASEAN.
Pendekatan musyawarah dan mufakat tercermin
dari cara pengambilan keputusan di ASEAN dan
struktur organisasi ASEAN. Pendekatan ASEAN
way ini berbeda dengan model pendekatan
yang dilakukan dalam menata hubungan
ekonomi dan perdagangan internasional yang
umumnya menggunakan kerangka hukum
(rules-based). Dengan perkembangan dan
perluasan kerjasama ekonomi yang semakin
meningkat di ASEAN dan juga mengingat
perkembangan perdagangan internasional
dan investasi di tingkat global yang semakin
banyak diatur oleh peraturan dan sistem hukum
internasional, maka mendorong ASEAN untuk
merubah cara pendekatannya.

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

Dengan cara ini memungkinkan sengketa


tersebut dibawa ke pada Mahkamah
Internasional (International Court of Justice) di
Den Hague. Mekanisme inilah yang dipergunakan
oleh Malaysia dan Indonesia ketika kedua
negara tersebut bersengketa menyangkut
Pulau Sipadan dan Ligitan. Demikian pula,
sengketa Malaysia dan Singapore menyangkut
Pedra Branca diselesaikan oleh Mahkamah
Internasional.
Dari uraian di atas, dapatlah dikatakan
bahwa ketentuan pada Pasal 22 sampai
dengan Pasal 28 dalam Piagam ASEAN yang
mengatur mengenai mekanisme penyelesaian
sengketa di ASEAN adalah merupakan repetisi
dari Pasal 13 sampai dengan Pasal 17 TAC dan
merupakan salinan dari Pasal 33 Piagam PBB.
Hal ini dijelaskan dan ditegaskan dalam Pasal 38
Piagam ASEAN yang merujuk Piagam PBB dalam
mekanisme penyelesaian sengketa.
Tidak semua instrumen ASEAN mengatur
tentang penyelesaian sengketa, oleh karena itu
diperlukan pengaturan yang dapat mencakup
semua hal. Maka dari itu Pasal 25 Piagam
ASEAN memberikan jalan keluar yaitu bahwa
mekanisme penyelesaian sengketa yang pantas,
termasuk arbitrase, harus dibentuk untuk
menyelesaikan sengketa-sengketa mengenai
interpretasi atau penerapan Piagam ASEAN
dan instrumen ASEAN lainnya. Bentuk yang
pasti dari mekanisme penyelsaian sengketa
sebagaimana diatur dalam Pasal tersebut
belum dapat ditentukan. Berdasarkan laporan
dari Eminent Persons Group Pembentukan
Piagam ASEAN dinyatakan bahwa terdapat
rekomendasi agar mekanismenya mengikuti
Protokol Vientiane. Terdapat diskusi yang
panjang mengenai kemungkinan menggunakan
ajudikasi dan arbitrase, namun diputuskan
bahwa ASEAN belum siap untuk menggunakan

194

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 183-196

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

dalam penyelesaian sengketa, dan tidak lagi


mengandalkan dengan apa yang disebut the
ASEAN Way.
Ketika ASEAN dewasa ini mengembangkan
aturan hukum untuk mengatur hubungan
dan kerjasama (ekonomi) diantara mereka,
pekerjaaan rumah yang harus dilakukan
negara-negara Anggota ASEAN saat ini adalah
mengimplementasikan kesepatan-kesepakatan
yang telah dituangkan dalam berbagai perjanjian
ASEAN ke dalam hukum nasional masing masing
negara ASEAN. Perlu ada mekanisme kontrol
oleh sebuah badan ASEAN untuk memastikan
bahwa negara-negara anggota ASEAN dalam
mengeluarkan aturan dan kebijakan ekonominya
telah sesuai dengan perjanjian ASEAN.
Pendekatan legal formalistik yng sedang
dijalankan oleh ASEAN saat ini akan jauh lebih
efektif apabila secara gradual dilakukan pula
harmonisasi hukum untuk bidang-bidang hukum
tertentu. Implementasi sebuah perjanjian
(ekonomi) ASEAN, baik dalam kerangka
penyusunan regulasi nasional maupun dalam
konteks pelaksanaan aturan di lapangan, akan
lebih mudah apabila hukum hukum negaranegara ASEAN telah harmonis.

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

ASEAN secara perlahan lahan tapi


pasti sudah mulai menata hubungan dan
kerjasama ekonominya diantara negaranegara anggotanya melalui kesepakatankesepakatan yang dirumuskan dalam suatu
aturan hukum (persetujuan/agreement) yang
bersifat mengikat (legally binding). Pendekatan
formal legalistik initidak saja dalam konteks
menciptakan aturan hukum untuk mengatur
hak dan kewajiban para pihak (negara negara
anggota ASEAN), namun juga digunakan dalam
konteks menegakkan kesepakatan-kesepakatan
(aturan-aturan hukum) yang telah dibuat oleh
ASEAN. Mekanisme penyelesaian sengketa
di ASEAN saat ini, walaupun masih tetap
mengutamakan proses penyelesaian sengketa
secara damai, telah memberikan ruang kepada
negara negara anggota ASEAN untuk menempuh
proses yang lebih formal dan legalistik.
Sebelum lahirnya Piagam ASEAN, terdapat
beberapa mekanisme penyelesaian sengketa.
Selain TAC, terdapat Protokol ASEAN mengenai
Penyelesaian Sengketa tahun 2004dan Protokol
dari Piagam ASEAN tentang Mekanisme
Penyelesaian Sengketa tahun 2010. Protokol
ini memberikan mekanisme untuk membantu
anggota negara ASEAN dalam menyelesaikan
sengketannya menyangkut interpretasi dan
pelaksanaan Piagam ASEAN. Penyelesaian
yang diatur dalam protokol dapat berupa
penyelesaian non ajudikasi sampai dengan kuasi
judisial, seperti konsultasi, good offices, mediasi,
konsiliasi, dan arbitrase. Namun belum diatur
mengenai penyelesaian melalui pengadilan.
Di tengah kompetisi global yang semakin
ketat dan dalam rangka mewujudkan integrasi
ekonomi ASEAN, sudah waktunya ASEAN
memiliki mekanisme yang jelas baik dalam
proses pengambilan keputusan maupun

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Bucklin, William, Regional Economic Cooperation in
Southeast Asia (Ann Arbor: University Microfilms
International, 1975)
Davidson, Paul J., ASEAN-The Evolving Legal
Framework
fo
Economic
Cooperation,
(Singapore: Times Academic Press, 2002)
Davidson, Paul J., The Legal Framework for
International Economic Relations, (Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies, 1997)
Koh, Tommy (eds.), The Making of The ASEAN
Charter, (Singapore: World Scientific Publishing
Co.Pte.Ltd., 2009)

Penguatan Kerangka Hukum Asean untuk Mewujudkan Masyarakat Ekonomi Asean 2015 (Subianta Mandala)

195

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

Website

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

ASEAN Economic Community < http://www.asean.


org/communities/asean-economic-community>
[diakses 7/42014].

BP
HN

Rajenthran, Arumugam, An Overview of the Legal


Framework for Foreign Direct Investment,
(Economics and Finance, No. 2, 2002)
Severino, Rodolfo C., Sekretaris Jenderal ASEAN,
the ASEAN Way and the Rule of Law, (Makalah
lepas yang disampaikan pada International
Law Conference on ASEAN Legal Systems and
Regional Integrationyang diselenggarakan oleh
Universitas Malaya, Kuala Lumpur, 3 September
2001)

ASEAN Protokol on Enhanced Dispute Settlement


Mechanism, diakses melalui <http://www.
asean.org /news/item/asean-protocol-onenhanced-dispute-settlement-mechanism>,
[10/06/2014].
ASEAN:
http://www.asean.org/resources/
publications/item/association-of-southeastasian-nations-asean-integration-monitoringreport-a-joint-report-by-the-asean-secretariatand-the-world-bank-english?category_id=382,
[diakses 2/3/2014].
The Asean Declaration (Bangkok Declaration)
Bangkok, 8 August 1967, diakses melalui
http://www.asean.org/news/item/the-aseandeclaration-bangkok-declaration, [diakses 3/4/
2014].

ing

Makalah/Artikel

196

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 183-196

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

WEWENANG KEJAKSAAN SEBAGAI PEMOHON PAILIT UNTUK


KEPENTINGAN NEGARA TERHADAP UTANG PAJAK SUBYEK HUKUM DARI
NEGARA ANGGOTA ASEAN NON-INDONESIA PASCA BERLAKUNYA AEC
(The Authority of Prosecutors as Bankruptcy Applicant on Behalf of State Interest towards Tax
Debt of Foreign ASEAN Non-Indonesian Legal Subjects after AEC Entered Into Force)
B.G.M. Widipradnyana Arjaya

Kejaksaan Agung Republik Indonesia


Email: arjayawidipradnyana@yahoo.co.id

ing

Naskah diterima: 11 Juni 2014; revisi: 19 Agustus 2014; disetujui: 22 Agustus 2014

lR
ec
hts
V

ind

Abstrak
Mulai berlaku efektifnya Masyarakat Ekonomi ASEAN atau ASEAN Economic Community diharapkan membawa dampak
positif terhadap perekonomian Indonesia, khususnya bidang perpajakan sebagai sumber utama pendapatan negara.
Pemerintah berkewajiban untuk mengelola secara maksimal pendapatan pajak yang diperoleh pemerintah Indonesia dari
kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh subyek hukum negara ASEAN non-Indonesia, salah satunya pengelolaan pendapatan
pajak adalah dengan menyelesaikan sengketa utang piutang pajak yang memposisikan negara sebagai Kreditor. Salah satu
pilihan penyelesaian sengketa yang dapat digunakan adalah melalui prosedur kepailitan dengan pengajuan permohonan
pailit demi kepentingan umum oleh Kejaksaan pada sistem peradilan Indonesia serta melaksanakan pengurusan harta
Debitur pailit yang berada di luar Indonesia untuk membayar utang pajak terhadap Kreditor melalui kepailitan lintas batas
(cross border insolvency).
Kata Kunci: utang pajak, kepailitan lintas batas, kejaksaan

Jur

na

Abstract
ASEAN Economic Community (AEC) will enter into force in 2015 and expected to bring positive impact on the Indonesian
economy, especially in the field of taxation as the main source of state revenue. Government is obliged to manage taxes
that earned by Indonesian government from economic activities undertaken by foreign legal in ASEAN area subjects which
done in Indonesia maximally, as an example is to resolve tax disputes that positioning Indonesia as a creditor. One of
dispute settlement method which could be used through bankruptcy petition filled by prosecutors for the reason of public
interest and also conducts management of bankrupt debtor assets which located outside of Indonesia to pay tax debts to
creditors through cross-border insolvency.
Keywords: tax debt, cross border insolvency, prosecutor

Wewenang Kejaksaan sebagai Pemohon Pailit ... (B.G.M. Widipradnyana Arjaya)

197

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

Cita-cita menjadikan ASEAN sebagai suatu


area ekonomi tunggal dalam ASEAN Economic
Community (selanjutnya disebut AEC) bukanlah
hal yang mudah, negara-negara anggota
ASEAN tentu memiliki kepentingan ekonomi
yang berbeda-beda. Kepentingan negaranegara ini harus diakomodasikan dalam AEC
karena tujuan akhir dari pemerintah negaranegara ASEAN sepakat untuk mengintegrasikan
perekonomiannya adalah untuk kesejahteraan
masyarakat masing-masing negara. Begitu pula
dengan ikut sertanya Indonesia sebagai anggota
ASEAN dalam AEC sedikit banyaknya tentu
bermuatan kepentingan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat Indonesia. Jangan sampai
Indonesia hanya menjadi pasar yang rakyatnya
hanya berperan sebagai konsumen belaka tanpa
mampu ikut menikmati perputaran mata uang
dalam area AEC.
Salah satu sumber pendapatan terbesar
Indonesia yang juga terdapat pengaturannya
dalam AEC blueprint sebagai pedoman
mewujudkan integrasi ekonomi ASEAN adalah
dalam hal perpajakan. APBD Indonesia dari
tahun ke tahun menempatkan pajak sebagai
sumber pendapatan utama untuk menjalankan
roda perekonomian nasional Indonesia. AEC
blueprint hanya memuat ketentuan mengenai
perpajakan dalam satu bagian singkat saja,
yaitu untuk menyelesaikan jaringan perjanjian
bilateral dalam hal pencegahan pengenaan
pajak berganda antara seluruh negara anggota
ASEAN pada tahun 2010.
Sebagai sumber utama pendapatan
negara1 pemerintah Indonesia dengan segenap

aparaturnya harus memastikan bahwa


pemberlakuan AEC tidak akan berpengaruh
negatif terhadap pendapatan Indonesia dari
sektor perpajakan, malah dengan berlakunya
AEC justru Indonesia harus dapat menggali
potensi pajak dari sektor-sektor perekonomian
lain seperti penanaman modal asing,
perdagangan, maupun jasa dari pihak asing
yang melakukan kegiatan ekonomi di dalam
yurisdiksi pemerintah Indonesia.
Salah satu upaya untuk melindungi
pendapatan negara dalam bidang perpajakan
adalah dengan cara menyelesaikan sengketa
yang menempatkan negara sebagai pihak
yang memiliki piutang pajak yang tidak
dibayarkan oleh Debitur subyek hukum asing.
Penindakan terhadap sengketa perpajakan yang
menempatkan negara sebagai pihak Kreditor
biasanya dilakukan menurut prosedur hukum
administrasi dengan menerapkan denda. Sanksi
administrasi ini sebagaimana kita ketahui
bersama kurang diindahkan oleh pihak-pihak
yang berkewajiban untuk membayar pajak
sehingga negara berpotensi menanggung
kerugian yang jumlahnya tak sedikit.
Selain sanksi administrasi regulasi perpajakan
Indonesia juga telah mengatur mengenai
pidana perpajakan terhadap pihak-pihak yang
dengan sengaja melakukan penggelapan pajak,
namun penerapan sanksi pidana dalam lingkup
bisnis antar negara tentu beresiko terhadap
kesinambungan kegiatan ekonomi asing di
Indonesia. Sanksi pidana adalah hal yang sangat
tidak popular dan sangat dihindari oleh pelaku
bisnis asing, pengenaan sanksi pidana terhadap
pihak asing akan menyebabkan pelaku bisnis

ing

A. Pendahuluan

198

Pasal 4 ayat (1) jo Pasal 3, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2013 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara Tahun Anggaran 2014.

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 197-214

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban


Pembayaran Utang dalam Pasal 2 ayat (2) dimana
Kejaksaan berwenang untuk memohon pailit
demi kepentingan umum. Salah satu definisi
dari kepentingan umum menurut penjelasan
Pasal ini adalah kepentingan bangsa dan negara.
Dengan mulai efektif diberlakukannya AEC
pada tahun 2015, Kejaksaan sebagai lembaga
yang diberi kewenangan untuk mengajukan
permohonan pailit untuk kepentingan negara
diharapkan untuk dapat melindungi kepentingan
piutang pajak negara melalui kepailitan, dan
kepentingan negara lain yang menempatkan
negara sebagai Kreditor yang memiliki piutang
dalam kepailitan.
Berdasarkan latar belakang tersebut di
atas, maka penulis mengangkat permasalahan
apakah utang pajak subyek hukum asing
dapat dikategorikan sebagai utang dalam
hukum kepailitan Indonesia?, dan apakah
Kejaksaan berwenang memohonkan pailit
untuk kepentingan umum terhadap utang pajak
subyek hukum negara ASEAN non-Indonesia?

B. Metode penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam
penulisan ini adalah metode penelitian normatif
dengan pendekatan perundang-undangan
(statute approach) dan pendekatan konsep
(conceptual approach). Bahan hukum yang
digunakan adalah bahan hukum yang diperoleh
melalui buku kepustakaan, artikel, peraturan
perundang-undangan, jurnal ilmiah serta situs
internet.

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

akan menarik diri dari kegiatan ekonomi yang


sebelumnya dilakukan di Indonesia.
Di luar proses penyelesaian sengketa
perpajakan yang diatur dalam regulasi pajak
dalam hukum positif Indonesia terdapat satu
opsi yang berlaku terhadap penyelesaian
utang secara umum, yaitu melalui prosedur
acara kepailitan. Pengajuan permohonan pailit
terhadap utang pajak dapat ditempuh dua
opsi, kantor pajak dapat memberikan kuasa
kepada suatu kantor hukum tertentu atau dapat
menyerahkan kasus tersebut kepada Kejaksaan
Agung agar Kejaksaan Agung dapat bertindak
sebagai pemohon pailit untuk kepentingan
umum.
Di bidang perdata dan tata usaha negara
Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak
di dalam dan luar persidangan mewakili
negara2, kewenangan ini kemudian melahirkan
istilah Jaksa Pengacara Negara. Di era reformasi
nama jaksa pengacara Negara mulai terdengar
gaungnya saat era Jaksa Agung Abdul Rahman
Saleh. Kala itu Kejaksaan agung setelah
menghentikan penuntutan perkara pidana
mantan presiden Soeharto yang ditandai dengan
dikeluarkannya Surat Ketetapan Penghentian
Penuntuan Perkara (SKPPP) memutuskan untuk
mengejar kerugian Negara yang ditimbulkan
Soeharto melalui Yayasan Supersemar pada era
orde baru dengan gugat keperdataan, dalam hal
ini adalah gugatan perbuatan melanggar hukum
(onrechtmatigedaad)3.
Wewenang Kejaksaan yang lebih khusus di
bidang perdata, yaitu dalam kepailitan diatur
dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

2
3

Pasal 30 ayat (2), Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Abdul Rahman Saleh, Bukan Kampung Maling, Bukan Desa Ustadz, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2008),
hlm. 213-214.
Wewenang Kejaksaan sebagai Pemohon Pailit ... (B.G.M. Widipradnyana Arjaya)

199

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

a. Keberadaan Utang Pajak dalam Domain


AEC

Integrasi ekonomi dalam Lingkup AEC


berefek terjadinya liberalisasi perdagangan
barang, jasa, investasi, perpindahan tenaga
kerja terampil dan arus modal yang lebih
bebas. Liberalisasi ekonomi ini tentu akan
bersinggungan dengan kepentingan nasional
para Negara anggota sebagai Negara yang
berdaulat. Untuk itu AEC juga harus diimbangi
dengan perjanjian bilateral lain antar Negara
anggota untuk mengkompromikan kepentingan
ASEAN sebagai suatu perhimpunan regional

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

ASEAN Economy Community (selanjutnya


disebut AEC) adalah pelaksanaan dari tujuan
akhir integrasi ekonomi sebagaimana dianut
dalam Vision 2020 yang berdasarkan kepada
kesamaan kepentingan Negara-negara anggota
ASEAN yang ingin memperdalam dan juga
memperlebar integrasi ekonomi melalui
inisiatif-inisiatif baru maupun yang telah ada
dalam suatu kalender kegiatan yang jelas.
Para pemimpin Negara-negara ASEAN guna
mewujudkan cita-cita integrasi ekonomi dalam
lingkup ASEAN melalui AEC memformulasikan
suatu kesepakatan multilateral yang memuat
tujuan dari AEC serta langkah-langkah yang harus
dilakukan guna merealisasikan tujuan-tujuan
tersebut. Kesepakatan yang merupakan hasil
perundingan dari pemimpin-pemimpin Negara
ASEAN tersebut dinamakan ASEAN Economic
Community Blueprint4 (selanjutnya disebut AEC
Blueprint). AEC Blueprint merupakan pedoman
bagi Negara-negara anggota ASEAN untuk
mencapai AEC 2015, dimana masing-masing
Negara berkewajiban untuk melaksanakan
komitmen dalam blueprint tersebut. AEC
Blueprint memuat empat kerangka utama5,
yaitu :

BP
HN

1.
Kepailitan
sebagai
penyelesaian
sengketa utang pajak oleh subyek
hukum dari negara ASEAN nonIndonesia pasca berlakunya AEC

1) ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis


produksi internasional dengan elemen aliran
bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja
terdidik dan aliran modal yang lebih bebas;
2) ASEAN sebagai kawasan dengan daya
saing ekonomi yang tinggi, dengan elemen
peraturan
kompetisi,
perlindungan
konsumen, hak atas kekayaan intelektual,
pengembangan infrastruktur, perpajakan,
dan e-commerce;
3) ASEAN
sebagai
kawasan
dengan
pengembangan ekonomi yang merata
dengan elemen pengembangan usaha kecil
dan menengah dan prakarsa integrasi ASEAN
untuk Negara-negara CMLV (Cambodia,
Myanmar, Laos, dan Vietnam); dan
4) ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi
secara penuh dengan perekonomian global
dengan elemen pendekatan yang koheren
dalam hubungan ekonomi di luar kawasan,
dan meningkatkan peran serta dalam
jejaring produksi global.

ing

C. Pembahasan

ASEAN Secretariat, ASEAN Economic Community Blueprint, (Jakarta, 2008), www.asean.org/archive/5187-10.


pdf (diakses 9 Mei 2014).
5
Departemen Perdagangan Republik Indonesia, Menuju ASEAN Economic Community 2015, http://
ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/Umum/Setditjen/Buku%20Menuju%20ASEAN%20ECONOMIC%20
COMMUNITY%202015.pdf (diakses 9 Mei 2014)

200

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 197-214

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

usaha maupun yang tidak melakukan usaha


yang meliputi perseroan terbatas, perseroan
komanditer, perseroan lainnya, badan usaha
milik negara atau badan usaha milik daerah
dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma,
kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya,
lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk
kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha
tetap. Penggolongan wajib pajak berdasarkan
orang pribadi dan badan menyimpulkan bahwa
subyek hukum asing baik perseorangan maupun
badan hukum menurut ketentuan perpajakan
Indonesia dapat dikenakan kewajiban untuk
membayar pajak apabila melakukan kegiatan
usahanya di Indonesia.
Secara khusus AEC Blueprint membahas
mengenai pajak dalam bagian B5 pada poin ke
58 I. yang menyatakan Complete the network
of bilateral agreements on avoidance of double
taxation among all Member Countries by 2010,
to the extent possible. Selain pengaturan
secara khusus AEC Blueprint juga menyinggung
beberapa hal tentang perpajakan, antara lain
membangun jaringan efektif perjanjian bilateral
untuk pencegahan pengenaan pajak ganda
antar Negara-negara ASEAN sebagai tindakan
untuk mempromosikan ASEAN sebagai area
investasi dan jaringan produksi terintegrasi,
untuk memperkuat pengembangan dan
pengintegrasian pasar modal ASEAN dengan
cara menambah struktur pengurangan pajak
jika dimungkinkan untuk mempromosikan
perluasan basis investor dalam pemberian
utang di ASEAN.
Meski dalam AEC Blueprint porsi pembahasan
mengenai perpajakan sangat singkat tetapi
hampir segala kegiatan usaha dalam zona AEC
yang dilakukan pada teritorial Indonesia dapat

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

dengan kepentingan nasional Negara yang


menyangkut harkat hidup warga dari negara
tersebut.
Salah satu kepentingan Negara yang
sepatutnya didahulukan dalam era liberalisasi
ekonomi yang timbul dengan berlakunya
AEC adalah pajak. Hukum positif Indonesia
yaitu Undang Undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana perubahan terakhir
dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
(selanjutnya disebut UUKUP) mendefinisikan
pajak sebagai kontribusi wajib kepada Negara
yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan undangundang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan
Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Keberadaan pajak sebagai elemen
penting dalam penyelenggaraan negara dapat
dilihat dari Undang-undang APBN Indonesia
yang dari tahun ke tahun memperlihatkan
keberadaan pajak sebagai sumber pendapatan
negara yang utama.Sebagai sumber utama
pendapatan negara tentu Indonesia harus
memberikan perhatian serius terhadap
pengenaan pajak yang dapat diberlakukan
dalam lingkup AEC terhadap subyek hukum
negara-negara ASEAN yang melakukan kegiatan
ekonomi dalam yurisdiksi Indonesia.
Pengenaan pajak di Indonesia tidak
terbatas hanya kepada orang perseorangan
(persoon) tetapi juga terhadap badan hukum
(rechtpersoon), dapat dilihat dari ketentuan
dalam Pasal 1 angka 2 UUKUP yang menyatakan
bahwa wajib pajak adalah orang pribadi atau
badan, dilanjutkan dengan Pasal 1 angka
3 UUKUP mengenai definisi badan sebagai
sekumpulan orang dan/atau modal yang
merupakan kesatuan baik yang melakukan

Wewenang Kejaksaan sebagai Pemohon Pailit ... (B.G.M. Widipradnyana Arjaya)

201

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

kepada pejabat yang berwenang. UndangUndang Pengadilan Pajak merupakan satusatunya legislasi perpajakan yang berada dalam
domain hukum perdata, namun sayangnya
ketentuan acara undang-undang tersebut hanya
berlaku searah. Selain undang-undang tersebut
penyelesaian sengketa pajak yang terjadi masuk
ke dalam ranah hukum pidana dan hukum
administrasi.
Secara pidana Penyelesaian sengketa pajak
yang timbul akibat tidak dibayarkannya utang
pajak dari wajib pajak kepada pejabat yang
berwenang diatur dalam undang-undang
ketentuan umum dan tata cara perpajakan
dalam Pasal 39 ayat (1) huruf I UUKUP yang
menyatakan bahwa Wajib pajak yang tidak
menyetorkan pajak yang telah dipotong
atau dipungut, sehingga dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan Negara dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam)
bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan
denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang dibayar dan
paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Pemrosesan tindak pidana perpajakan dapat
dihentikan dengan ketentuan yang diatur dalam
ketentuan Pasal-Pasaldalam UUKUP berikut :
- Pasal 44B ayat (1), untuk kepentingan
penerimaan Negara, atas permintaan
menteri keuangan, jaksa agung dapat
menghentikan penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan paling lama dalam jangka
waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat
permintaan.

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia.


Mulai dari kegiatan jual beli sederhana, investasi,
perdagangan jasa dan profesi, sampai hak
kekayaan intelektual, selama kegiatan-kegiatan
tersebut berlansung dalam yurisdiksi Indonesia
pemerintah Indonesia berhak untuk memungut
pajak. Terkecuali kegiatan-kegiatan yang telah
disepakati pajaknya dipungut oleh negara asal
dalam suatu perjanjian bilateral antar negara
dalam hal pencegahan pajak berganda (double
taxation avoidance agreement).
Sampai
saat
ini
Indonesia
telah
menandatangani
perjanjian
pencegahan
pengenaan pajak berganda dengan 59 Negara
di dunia. Di tingkat ASEAN Indonesia telah
menyepakati perjanjian pencegahan pengenaan
pajak ganda (double taxation avoidance
agreement) dengan beberapa negara anggota
ASEAN lainnya. Sampai saat ini perjanjian
bilateral yang telah disepakati antara Republik
Indonesia dengan anggota ASEAN lainnya
berjumlah enam perjanjian6 yang sudah berlaku
efektif antara lain dengan negara Malaysia,
Brunei Darussalam, Singapura, Thailand,
Filipina, dan Vietnam.
Dalam lingkup penyelesaian sengketa pajak
Indonesia memiliki regulasi dalam hal peradilan
pajak yaitu UU Pengadilan Pajak, Nomor 14
Tahun 2002, akan tetapi substansi dari undangundang ini lebih condong kepada penyelesaian
sengketa perpajakan dalam hal timbulnya
sengketa yang diakibatkan pelaksanaan
penagihan pajak dan keputusan yang dapat
diajukan banding atau gugatan, dengan kata lain
gugatan pada pengadilan pajak hanya berlaku
searah dari wajib pajak atau penanggung pajak

202

Badan Koordinasi Penanaman Modal, Avoidance of Double Taxation Agreement, http://www3.bkpm.go.id/


contents/p14/taxation/14#.U5fE9Pl_tQF (diakses 10 Juni 2014).

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 197-214

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

ind

Selain dengan pengenaan ketentuan pidana


perpajakan masih ada satu opsi penyelesaian
sengketa perpajakan yang dapat diambil,
penyelesaian ini berada di luar peraturan
perundang-undangan perpajakan Indonesia,
yaitu dengan prosedur kepailitan.

Indonesia yang lebih kondusif dibanding dengan


menerapkan aturan pidana dalam regulasi
perpajakan Indonesia. Pengertian kepailitan
menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(selanjutnya disebut UUKPKPU) adalah sita
umum atas semua kekayaan Debitur pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh
Kurator di bawah pengawasan Hakim pengawas.
Untuk dapat memohon pailit dalam sistem
acara peradilan di Indonesia diperlukan tiga
faktor yaitu adanya Debitur, minimal dua orang
Kreditor, adanya utang dari Debitur terhadap
Kreditor tersebut dengan ketentuan sedikitnya
satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih belum dibayar lunas. Adapun orang
dalam hukum kepailitan tak terbatas hanya pada
orang perseorangan tetapi juga korporasi yang
berbentuk badan hukum maupun yang bukan
badan hukum dalam likuidasi, maka subyek
hukum baik orang perseorangan maupun
badan hukum asing yang memiliki utang pajak
termasuk sebagai pengertian orang dalam
hukum kepailitan Indonesia.
Utang adalah titik permulaan dari
serangkaian prosedur acara kepailitan.
Permohonan pailit beranjak dari sengketa yang
timbul akibat Debitur yang tidak membayar
utangnya. Sebagaimana pendapat Hadi
Shubhan, Utang merupakan raison detre dari
kepailitan.7 Dalam UUKPKPU definisi utang
diatur dalam Pasal 1 angka 6 UUKPKPU yaitu
suatu kewajiban yang dinyatakan atau dapat
dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata
uang Indonesia maupun mata uang asing, baik
secara langsung maupun yang akan timbul

ing

- Pasal 44B ayat (2), penghentian penyidikan


tindak pidana di bidang perpajakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dilakukan setelah wajib pajak melunasi
utang pajak yang tidak atau kurang dibayar
atau yang tidak seharusnya dikembalikan
dan ditambah dengan sanksi administrasi
berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah
pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau
yang tidak seharusnya dikembalikan.

lR
ec
hts
V

b. Kedudukan Utang Pajak Menurut Utang


Dalam Kepailitan

Jur

na

Pengenaan sanksi pidana terhadap wajib


pajak perorangan maupun badan hukum
asing akan berimbas terhadap kegiatan usaha
dari pihak asing tersebut di Indonesia, hal
ini akan ikut memberi efek negatif terhadap
perekonomian Indonesia sebagai lokasi subyek
hukum asing tersebut melakukan kegiatan
ekonomi, selain itu juga akan menimbulkan
keraguan warga negara atau badan hukum
asing lainnya yang berminat untuk melakukan
kegiatan usaha di Indonesia untuk menghindari
kemungkinan dikenakannya sanksi pidana pada
saat melakukan kegiatan usaha.
Penggunaan prosedur kepailitan sebagai
penyelesaian sengketa utang piutang pajak
yang tak dibayarkan oleh wajib pajak kepada
negara lebih ramah terhadap Debitur dan
dapat menjaga stabilitas iklim investasi di

Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Pengadilan (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 92.
Wewenang Kejaksaan sebagai Pemohon Pailit ... (B.G.M. Widipradnyana Arjaya)

203

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

Nomor 19 Tahun 1997 dan perubahannya


dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2000 dikenal adanya penjualan secara
lelang apabila utang pajak dan/ atau biaya
penagihan pajak tidak dilunasi setelah
dilaksanakan penyitaan.

ing

Keberadaan utang sangatlah fundamental


untuk dapat mengajukan permohonan pailit,
hal ini dapat dilihat dari rumusan Pasal 8 ayat
4 UUKPKPU yang menyatakan permohonan
pernyataan pailit harus dikabulkan apabila
terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara
sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan
pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) telah terbukti.. Adapun persyaratan yang
dimaksud untuk mengabulkan permohonan
pernyataan pailit terhadap Debituradalah
dibutuhkan dua utang dari Debitur kepada
Kreditor dimana salah satu dari utang tersebut
belum dibayar lunas saat telah jatuh waktu dan
dapat ditagih.
Untuk dapat dinyatakan pailit diperlukan
minimal satu utang yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih yang tidak dibayar lunas dari dua
Kreditor, maksud dari ditegaskannya bahwa
utang dalam kepailitan merupakan utang yang
tidak dibayar lunas adalah untuk memastikan
bahwa utang yang telah dibayar akan tetapi
belum melunasi kewajiban maka utang
tersebut bisa dijadikan dasar untuk mengajukan
kepailitan. Penegasan ini karena sering terjadi
akal-akalan dari Debitur, yakni, Debitur tetap
melakukan pembayaran akan tetapi besarnya
angsuran pembayaran tersebut masih jauh dari
yang seharusnya.8

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul


karena perjanjian atau undang-undang dan yang
wajib dipenuhi Debitur dan bila tidak dipenuhi
memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat
pemenuhannya dari harta kekayaan Debitur.
Jika menguraikan unsur-unsur dalam definisi
utang pada redaksi Pasal 1 angka 6 UUKPKPU
maka kesesuaian utang pajak sebagai utang
dalam kepailitan adalah sebagai berikut:
- kewajiban yang dinyatakan atau dapat
dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam
mata uang Indonesia maupun mata uang
asing: kewajiban pajak dinyatakan dalam
jumlah mata uang rupiah yang harus
dibayarkan yang dicantumkan dalam suatu
surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya;
- baik secara langsung maupun yang akan
timbul dikemudian hari atau kontinjen:
utang pajak terjadi secara terus menerus
(kontinjen) setiap tahun dengan ketentuan
bahwa tahun pajak mengikuti tahun kalender
kecuali apabila wajib pajak menggunakan
tahun buku yang tidak sama dengan tahun
kalender;
- yang timbul karena perjanjian atau undangundang dan yang wajib dipenuhi Debitur:
pajak timbul karena diatur oleh pemerintah
dalam
kumpulan
perundang-undang
perpajakan dan pajak wajib dipenuhi oleh
Debitur sebagaimana sifat memaksa dari
pajak sebagai kontribusi wajib kepada
negara;
- dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada
Kreditor untuk mendapat pemenuhannya
dari harta kekayaan Debitur: dalam UndangUndang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa

204

Ibid.

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 197-214

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

umum guna menutupi atau melunasi utang


pajak.

c.
Keberlakuan
Hukum
Kepailitan
Indonesia terhadap Debitur Asing

ing

Mengenai kedudukan Debitur subyek


hukum asing yang berdomisili di luar yurisdiksi
Indonesia tetap dapat dimohonkan pailit dalam
peradilan Indonesia karena kedudukan Debitur
yang menjalan usaha dalam teritorial Indonesia
menyebabkan berlakunya ketentuan Pasal 3 ayat
(4) UUKPKPU yang menyatakan bahwa dalam
hal Debitur tidak berkedudukan di wilayah
Negara republik Indonesia tetapi menjalankan
profesi atau usahanya di wilayah Negara
republik Indonesia, pengadilan yang berwenang
memutuskan adalah pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kedudukan atau
kantor pusat Debitur menjalankan profesi atau
usahanya di wilayah Negara republik Indonesia.
Dikarenakan Debitur menjalankan usahanya
di wilayah Negara Republik Indonesia, maka
secara otomatis UUKPKPU berlaku apabila
terjadi sengketa kepailitan, meski salah satu
pihak baik Kreditor dan Debitur bukanlah warga
Negara Indonesia. Konsep kedaulatanteritorial
berlaku dalam hal ini, konsep kedaulata
teritorial10 menandakan bahwa di dalam wilayah
kekuasaan negara yurisdiksi dilaksanakan oleh
negara terhadap orang-orang dan harta benda
yang menyampingkan negara-negara lain.

lR
ec
hts
V

ind

Utang pajak timbul karena adanya hubungan


hukum Utang pajak terhadap negara yang
timbul dari undang-undang mengakibatkan
kantor pajak berada dalam posisi sebagai
Kreditor, dalam kepailitan Indonesia dikenal tiga
Kreditor9 yaitu:
1) Kreditor konkuren;
2) Kreditor separatis, yaitu Kreditor dengan
jaminan kebendaan, berupa gadai, hipotek,
hak atas panenan, hak tanggungan, dan
jaminan fidusia (tanpa kehilangan hak
untuk menjual dan memperoleh pelunasan
terlebih dahulu dari harta kebendaan
Debitur, yang dijaminkan secara kebendaan
dan dijual tersebut);
3) Kreditor preferen dengan hak istimewa
menurut Pasal 1139 dan Pasal 1149
KUHPERDATA (tanpa kehilangan hak yang
diberikan kepada mereka untuk menahan
kebendaan milik Debitur yang diberikan
oleh undang-undang).

Jur

na

Utang pajak termasuk dalam golongan


Kreditor preferen, Pasal 1134 KUHPERDATA
memberikan pengecualian untuk hak istimewa
yang oleh undang-undang harus didahulukan
daripada hak Gadai dan Hipotek, dalam
peraturan perpajakan Indonesia hak istimewa
ini diatur dalam Pasal 21 UU KUP ditetapkan
bahwa kedudukan negara sebagai Kreditor
preferen yang mempunyai hak mendahului atas
barang-barang milik penanggung pajak di muka

Lihat Ibid, hlm. 77, dikutip dari Kartini Muljadi, Kreditor Preferen dan Kreditor Separatis dalam Kepailitan
(2004), hlm. 174-175.
10
J.G. Starke (diterjemahkan oleh Bambang Iriana Djajaatmaja), Pengantar Hukum Internasional 1, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2010), hlm. 210
9

Wewenang Kejaksaan sebagai Pemohon Pailit ... (B.G.M. Widipradnyana Arjaya)

205

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ind

UUKPKPU mengamanatkan bahwa seorang


Kreditor dalam melakukan perbuatan hukum di
bidang kepailitan harus diwakili oleh advokat,
kecuali terhadap permohonan yang diajukan
oleh Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan
Pengawas Pasar Modal, Menteri Keuangan.
Berikut tabel pihak yang berhak memohon
pailit terhadap Debitur tertentu beserta dasar
hukumnya.

BP
HN

a. Wewenang Kejaksaan untuk Memohon


Pailit

di bidang perdata sejatinya bukanlah hal yang


baru, wewenang ini sudah dimiliki oleh lembaga
Kejaksaan pada masa Hindia Belanda11. Secara
formil dan materiil wewenang lembaga
Kejaksaan tersebut telah ada sejak masa
kolonialisme kerajaan belanda dimana saat
itu Kejaksaan dikenal dengan nama Openbaar
Ministrerie (O.M.). pada saat itu selain memiliki
wewenang di bidang pidana O.M. juga memiliki
sejumlah kekuasaan dalam bidang hukum
perdata antara lain :
1) O.M. dapat mewakili Negara dalam perkara
perdata, baik selaku penggugat maupun
tergugat berdasarkan s.1922/522 tentang

ing

2. Permohonan Pailit oleh Kejaksaan


Terhadap Debitur Subyek Hukum dari
Negara Anggota ASEAN Non-Indonesia
yang Memiliki Utang Pajak

Tabel 1. Para Pihak dalam Permohonan Pailit


Pemohon

Debitur

Dasar Hukum

lR
ec
hts
V

Debitur atau Kreditor dengan Perorangan atau badan hukum


Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU,
memberi kuasa kepada Advokat
Pasal 7 ayat (1) UUKPKPU
Kejaksaan
Perorangan atau badan hukum, untuk Pasal 2 ayat (2) UUKPKPU jo
kepentingan umum
Pasal 2 ayat (1), Pasal 7 ayat 2
UUKPKPU
Bank Indonesia
Bank
Pasal 2 ayat (3) UUKPKPU jo
Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU,
Pasal 7 ayat 2 UUKPKPU
Badan Pengawas Pasar Modal
Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Pasal 2 ayat (4) UUKPKPU jo
Miring dan Penjaminan, Lembaga Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU Pasal
Penyimpanan dan Penyelesaian
7 ayat (2) UUKPKPU
Menteri Keuangan
Perusahaan
Asuransi,
Perusahaan Pasal 2 ayat (5) UUKPKPU jo
Reasuransi, Dana Pensiun, Badan Usaha Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU,
Milik Negara yang bergerak di bidang Pasal 7 ayat (2) UUKPKPU
kepentingan publik

Jur

na

Kejaksaan sebagai salah satu unsur catur


wangsa penegak hukum di Indonesia selain
memiliki wewenang di bidang pidana juga
memilik wewenang di bidang perdata dan
juga tata usaha negara. Wewenang Kejaksaan

Vertegenwoordiging van den laande in


Rechten ( wakil Negara dalam hukum);
2) Karena jabatannya, O.M. berwenang
meminta kepada Hakim untuk menempatkan
seseorang di suatu tempat tertentu, rumah

Evy Lusia Ekawati, Peranan Jaksa Pengacara Negara dalam Penanganan Perkara Perdata (Yogyakarta: Genta
Press, 2013), hlm. 53-55.

11

206

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 197-214

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

11) O.M. berwenang mengajukan kasasi demi


kepentingan hukum dalam hukum perdata
(Pasal 170 butir 1 R.O).

ing

Sejak Indonesia menyatakan merdeka


dari kolonialisme belanda telah dirumuskan
Undang-Undang dan peraturan perundangundangan lain yang khusus mengatur tentang
Kejaksaan yang terus mengalami perubahan
mengikuti
perkembangan
jaman.Regulasi
yang saat ini berlaku dan mengatur tentang
Kejaksaan adalah Undang-Undang Kejaksaan
Nomor 16 Tahun 2004 (selanjutnya disebut UU
Kejaksaan). Wewenang jaksa di bidang perdata
dan tata usaha Negara dapat ditemukan pada
rumusan Pasal 30 ayat (2) UU Kejaksaan yang
menyatakan bahwa Kejaksaan dengan suatu
kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam
maupun di luar pengadilan untuk dan atas
nama Negara dan atau pemerintah dalam suatu
perkara perdata atau tata usaha negara.
Secara lebih terperinci Tugas dan wewenang
Kejaksaan di bidang perdata dan tata usaha
negara ini diatur dalam Pasal 24 Peraturan
Presiden Nomor 38 Tahun 2010 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan, dimana
wewenang Kejaksaan dalam hal perdata dan
tata usaha Negara dilaksanakan oleh Jaksa
Agung Muda bidang Perdata dan Tata Usaha
Negara. Lingkup bidang perdata dan tata usaha
Negara yang menjadi wewenang Kejaksaan
tersebut meliputi penegakan hukum, bantuan
hukum, pertimbangan hukum dan tindakan
hukum lain kepada Negara atau pemerintah,
meliputi lembaga/badan Negara, lembaga/
instansi pemerintah pusat dan daerah, Badan
Usaha Milik Negara/Daerah di bidang perdata
dan tata usaha Negara untuk menyelamatkan,
memulihkan kekayaan Negara, menegakkan
kewibawaan pemerintah dan Negara serta

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

sakit atau sesuatu tempat lain yang layak,


karena secara terus menerus berkelakuan
buruk, yang tidak mampu untuk mengurus
dirinya sendiri atau membahayakan orang
lain (Pasal 134, 135, 137 dan 137 a R.O.);
3) O.M. berwenang untuk meminta kepada
Hakim agar suatu badan hukum dibubarkan
karena melakukan penyimpangan dari
anggaran dasarnya yang sah (Pasal 1 butir 6
R.O.);
4) Demi kepentingan umum berwenang untuk
mengajukan permintaan kepada Hakim
supaya seseorang atau badan hukum
dinyatakan pailit (Pasal 1 (2) Undang-Undang
Failisemen);
5) O.M. didengar pendapatnya dalam hal
seseorang akan merubah atau menambah
nama depannya (Pasal 13 dan 14 B.W.);
6) O.M wajib menuntut pembatalan kepada
Hakim atas suatu perkawinan sebagaimana
termaksud dalam Pasal 27 hingga 34 B.W.
(lihat juga Pasal 86 B.W.);
7) O.M. dapat menuntut kepada Hakim agar
seseorang bapak atau ibu dibebaskan
dari kekuasaannya sebagai orang tua atau
ouderlijkkemachtnya (Pasal 319 B.W.);
8) O.M. berwenang untuk melakukan
penuntutan kepada pengadilan supaya
seseorang dipecat sebagai wali dari anak
yang belum dewasa (Pasal 381 B.W.);
9) O.M. dapat memerintahkan Balai Harta
Peninggalan untuk mengurus harta benda
seseorang (Pasal 468 B.W.);
10) O.M. berwenang untuk mengajukan usul
bagi pengangkatan pengurus warisan
bilamana pengurus yang telah diangkat
meninggal dunia, dan sebagainya (Pasal 983,
985 B.W.);

Wewenang Kejaksaan sebagai Pemohon Pailit ... (B.G.M. Widipradnyana Arjaya)

207

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

dimohonkan pailit demi kepentingan umum.


Keuntungan dari menyerahkan permohonan
tersebut untuk diajukan oleh Kejaksaan
adalah dari sisi biaya tidak akan memberatkan
anggaran lembaga karena Kejaksaan tidak
mengenakan biaya kepengacaraan (lawyer fee)
hanya memerlukan biaya operasional dalam
pengurusan perkara, biasanya advokat akan
mengenakan biaya kepengacaraan tinggi karena
walaupun prosedur beracara kepailitan singkat
akan tetapi kepailitan adalah suatu perkara
hukum yang mendetail serta memerlukan
pemahaman teori dan praktik memadai yang
tak semua advokat kuasai.
Akan tetapi dalam beracara secara formil
Kejaksaan tidak dapat bertindak sebagai
penerima kuasa yang bertindak untuk dan atas
nama kantor pajak selaku Kreditor pemohon.
UU Kepailitan dalam penjelasan Pasal 2 ayat
2 menjelaskan bahwa permohonan pailit
dengan alasan untuk kepentingan umum baru
dapat diajukan apabila ketentuan dalam Pasal
2 ayat (2) UUKPKPU telah terpenuhi dan tidak
ada pihak yang mengajukan pailit. Unsur tidak
adanya pihak yang mengajukan pailit tersebut
tentu mengalami pertentangan dengan kuasa
dari Negara yang diberikan kepada Kejaksaan
untuk pengurusan perkara perdata dalam Pasal
30 ayat 2 UU Kejaksaan.
Di luar pertentangan redaksi Pasal-Pasal
tersebut, wewenang jaksa untuk mewakili
Negara dalam bidang perdata menemui titik
temu dengan wewenang Kejaksaan untuk
memohon pailit demi kepentingan umum.Titik
temu tersebut adalah adanya kepentingan
Negara yang harus diperjuangkan. Meski
terdapat perbedaan bahwa untuk mewakili
kepentingan Negara untuk memohon pailit
Kejaksaan tidak diperlukan suatu kuasa khusus
untuk mewakili Negara sebagaimana dapat

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

memberikan pelayanan hukum kepada


masyarakat.
Di bidang keperdataan yang lebih khusus,
dalam hal ini kepailitan, Kejaksaan memiliki
kewenangan untuk mengajukan permohonan
pailit terhadap Debitur yang tidak membayar
utangnya kepada pengadilan. Kewenangan
untuk mengajukan permohonan pailit ini sudah
dimiliki Kejaksaan sejak era kolonial, dibuktikan
dengan Wewenang O.M. untuk mengajukan
permintaan kepada Hakim Demi kepentingan
umum supaya seseorang atau badan hukum
dinyatakan pailit dalam Pasal 1 ayat (2) UndangUndang Failisemen. Dalam regulasi Kepailitan
yang saat ini berlaku yaitu Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang (UUKPKPU) peranan Kejaksaan sebagai
pemohon pailit diatur dalam ketentuan Pasal
2 ayat (2) yang menyatakan bahwa Kejaksaan
dalam hukum kepailitan Indonesia demi
kepentingan umum memiliki wewenang untuk
mengajukan permohonan pailit terhadap
Debitur yang memiliki utang terhadap dua
orang Kreditor yang telah jatuh tempo dan
dapat ditagih.
Tidak ada keharusan dari kantor pajak untuk
memberikan wewenang kepada Kejaksaan
sebagai pemohon pailit, karena pihak Debitur
yang akan dimohonkan pailit bukanlah Debitur
yang menurut regulasi kepailitan Indonesia
merupakan Debitur yang permohonannya
diwajibkan untuk dilakukan oleh lembaga
tertentu sebagaimana diatur Pasal 2 ayat (3)
UUKPKPU sampai dengan Pasal 2 ayat (5)
UUKPKPU. Kantor pajak sebagai Kreditor dari
Debitur yang memiliki utang pajak memiliki
pilihan untuk memohon pailit dengan
menggunakan jasa advokat atau menyerahkan
kasus tersebut kepada Kejaksaan untuk

208

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 197-214

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

dengan pemilihan frasa misalnya, dibanding


menggunakan frasa antara lain yang bersifat
lebih mengikat. Beberapa contoh tersebut
adalah:
1) Debitur melarikan diri;
2) Debitur menggelapkan bagian dari harta
kekayaannya;
3) Debitur mempunyai utang kepada Badan
Usaha Milik Negara atau badan usaha lain
yang menghimpun dana dari masyarakat;
4) Debitur mempunyai utang yang berasal dari
penghimpunan dana dari masyarakat luas;
5) Debitur tidak beritikad baik atau tidak
kooperatif dalam menyelesaikan masalah
utang piutang yang telah jatuh waktu; atau
6) Dalam hal lainnya menurut Kejaksaan
merupakan kepentingan umum.

ind

ditafsirkan dari penjelasan Pasal 2 ayat (2)


UUKPKPU, Kejaksaan tak sepenuhnya bergerak
sendiri dalam kepailitan, kontribusi lembaga
negara lain sebagai pihak yang langsung memiliki
hubungan utang piutang dengan debitur juga
diperlukan demi kelancaran permohonan pailit
terhadap Debitur.
Adapun yang dimaksud dengan kepentingan
umum menurut penjelasan Pasal 2 ayat (2)
adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/
atau kepentingan masyarakat luas. Menurut
Peter Mahmud Marzuki12 kepentingan umum
dapat diartikan sebagai kepentingan yang bukan
merupakan kepentingan Kreditor ataupun
pemegang saham. Kepentingan umum itu
dapat saja masyarakat umum dalam pengguna
jasa. Dalam hal yang sedang diajukan pailit itu
adalah suatu perusahaan transportasi atau
mungkin perusahaan yang mengolah bahanbahan perusahaan yang sedang dalam proses
kepailitan lebih-lebih bila permohonan pailit itu
diajukan oleh pihak Debitur. Sekalipun prosedur
semuanya telah dilalui lengkap, hendaklah
masalah kepentingan umum perlu menjadi
pertimbangan.
Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UUKPKPU tidak
memberikan klasifikasi khusus mengenai apa
yang dimaksud dengan kepentingan bangsa
dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat
luas. Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UUKPKPU
memberikan contoh apa saja yang dapat
dikategorikan sebagai kepentingan bangsa
dan Negara dan/atau masyarakat luas, tetapi
tidak bersifat terbatas terhadap contoh-contoh
tersebut saja. Sifat tidak terbatas ini dilihat

Jur

na

lR
ec
hts
V

Mengajukan permohonan pailit terhadap


Debitur WNA dengan adanya utang pajak yang
belum terbayarkan dapat dikategorikan sebagai
suatu permohonan pailit demi kepentingan
umum, karena pajak merupakan salah satu dari
sumber pendapatan negara dan juga mengingat
penggunaan pajak untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat, hal ini telah memenuhi
unsur kepentingan bangsa dan Negara dalam
kepentingan umum menurut penjelasan Pasal 2
ayat (2) UUKPKPU.
Selain terpenuhnya unsur kepentingan
umum, hal lain yang perlu diperhatikan
oleh Kejaksaan untuk dapat mengajukan
permohonan pailit adalah ketentuan Pasal 2
ayat (1) UUKPKPU mengenai adanya dua orang
Kreditor yang memiliki piutang terhadap Debitur
yang belum dibayarkan serta telah jatuh waktu

Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 82, dikutip dari
Peter Mahmud Marzuki, Hukum kepailitan Menyongsong Era Global (makalah disampaikan pada semiloka
Restrukturisasi Organisasi Bisnis melalui Hukum Kepailitan, FH. UNDIP-ELIPS, 1997).

12

Wewenang Kejaksaan sebagai Pemohon Pailit ... (B.G.M. Widipradnyana Arjaya)

209

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

Hakim melalui suatu putusan pernyataan


pailit yang diucapkan oleh majelis Hakim
dalam persidangan di Pengadilan Niaga maka
selanjutnya pengurusan dan pemberesan harta
Debitur pailit dilakukan oleh Kurator untuk
selanjutnya dipergunakan membayar piutangpiutang yang dimiliki oleh Kreditor-Kreditor
yang berhak. Timbulnya wewenang pengurusan
oleh Kurator menimbulkan Debitur demi hukum
kehilangan haknya untuk menguasai dan
mengurus harta kekayaannya yang dimasukkan
dalam kepailitan.
b. Pengurusan Harta Debitur Pailit di Luar
Indonesia

ind

dan dapat ditagih. Sebagai pemohon pailit


dengan dasar utang pajak Debitur terhadap
negara maka tugas Kejaksaan harus menemukan
paling sedikit satu utang yang belum dibayarkan
Debitur terhadap seorang Kreditor lain untuk
dapat memailitkan Debitur subyek hukum asing
tersebut. Untuk memperoleh seorang Kreditor
lain sebagai penyempurna syarat dua Kreditor
maka Kejaksaan dapat menggunakan fungsi
intelijen yang dimiliki oleh jaksa agung muda
intelijen sebagaimana rumusan Pasal 16 huruf
d Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan yang
menyatakan bahwa dalam menyelenggarakan
tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15, Jaksa Agung Muda Bidang
Intelijen menyelenggarakan fungsi d.
memberikan dukungan teknis secara intelijen
kepada bidang-bidang lain di lingkungan
Kejaksaan. Dukungan teknis dari Jaksa Agung
Muda Intelijen tentu sangat membantu Jaksa
Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara
untuk mengungkap utang-piutang yang dimiliki
Debitur terhadap Kreditor lain di samping
Negara guna memenuhi syarat adanya dua
orang Kreditor.
Ketentuan utang dan jumlah minimum
Kreditor merupakan aspek penting dalam hal
melakukan permohonan kepailitan pada sistem
peradilan Indonesia, dengan dipenuhinya utang
yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih dari
Debitur serta jumlah minimal Kreditor telah
tercapai maka pembuktian sederhana dalam
persidangan pada pengadilan niaga akan
lebih mudah, sehingga pengadilan memiliki
kewajiban untuk mengabulkan permohonan
pailit terhadap Debitur sebagaimana Pasal 8
ayat (4) UUKPKPU.
Apabila permohonan pernyataan pailit demi
kepentingan umum dikabulkan oleh majelis

Jur

na

lR
ec
hts
V

Redaksi Pasal 21 UUKPKPU menyatakan


bahwa Kepailitan meliputi seluruh kekayaan
Debitur pada saat putusan pernyataan pailit
diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh
selama kepailitan.Kedudukan Debitur sebagai
subyek hukum yang berasal dari negara ASEAN
non-Indonesia berimplikasi bahwa terdapat
kemungkinan sebagian harta pailit berada di luar
teritorial Indonesia. Setelah putusan dinyatakan
pailitnya Debitur diucapkan oleh majelis Hakim,
harta Debitur yang berada di luar Indonesia juga
termasuk sebagai harta pailit, dan terhadap
harta tersebut wajib diperhitungkan untuk
melunasi utang yang dimiliki oleh Debitur
terhadap Kreditor-Kreditornya. Dalam hal
pengurusan harta pailit yang berada di luar
yurisdiksi negara pemutus pailit dalam praktik
peradilan kepailitan di negara-negara maju
dikenal teori yang bernama cross border
insolvency atau kepailitan lintas batas, suatu
teori mengenai penyelesaian perkara kepailitan
antara pihak Debitur dan Kreditor yang tunduk
pada hukum nasional yang berbeda.
Kepailitan lintas batas tidak diatur secara
komprehensif dalam UUKPKPU yang merupakan

210

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 197-214

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

dan juga belum membuat suatu kesepakatan


bilateral dengan negara manapun dalam hal
tersebut. Indonesia bukan pihak penandatangan
atas traktat internasional sehubungan hal-hal
kepailitan internasional seperti halnya traktat
mengenai UNCITRAL Model Law on Cross
Border Insolvency. Untuk itu proses pengurusan
harta pailit oleh Kurator hanya mengandalkan
pandangan hukum nasional dari negara tempat
harta tersebut berada terhadap pelaksanaan
putusan pailit negara asing.
Praktik pengakuan putusan pengadilan asing
termasuk putusan tentang kepailitan berbedabeda di masing-masing Negara ASEAN16. Sistem
hukum Filipina mengatur bahwa pengadilan
Filipina tidak mengakui sama sekali putusan
pengadilan kepailitan asing. Vietnam mengatur
ketentuan yang lebih fleksibel dimana pada
dasarnya pengadilan Vietnam tidak mengakui
putusan pengadilan asing namun putusan
pengadilan asing dapat diakui di Vietnam dalam
hal Negara asing tersebut menandatangani
perjanjian bilateral dengan Vietnam terkait
dengan pengakuan dan pelaksanaan putusan
pengadilan asing atau Negara asing tersebut
merupakan co-signatory sebuah international
treaty terkait dengan pengakuan dan
pelaksanaan putusan pengadilan pengadilan
asing dimana Vietnam juga terikat dengan
perjanjian internasional tersebut. Sistem
hukum Indonesia mengatur bahwa hukum
Indonesia tidak mengakui proses kepailitan yang

na

lR
ec
hts
V

ind

hukum positif Indonesia di bidang kepailitan


yang saat ini berlaku.Ketidakkomprehensifan
undang-undang kepailitan mengatur mengenai
prinsip-prinsip kepailitan lintas batas (cross
border insolvency) juga diakui oleh Jerry Hoff.
Hoff mengatakan bahwa unfortunately, the
Bankruptcy Law does not deal with all of these
matters. The bankruptcy law only deals with
some issues of private international law. The
other issues of cross border insolvency must be
solved by the application of the rules of private
international law or conflict law.13 Selanjutnya
Hoff menyatakan bahwa sumber hukum
utama untuk masalah-masalah hukum perdata
internasional adalah perjanjian-perjanjian
internasional (treaties), case law dan legal
literature. Akan tetapi pada saat ini Republik
Indonesia belum mengadakan perjanjian antar
bangsa apa pun mengenai hukum perdata
internasional berkaitan dengan cross border
insolvency tersebut.14
Dalam hal penerapan kepailitan lintas batas
Hadi Subhan15 berpendapat bahwa harus ada
suatu traktat yang ditandatangani oleh Indonesia
dan negara lain dan penandatanganan ini harus
diratifikasi oleh DPR dalam rangka memberikan
beban kewajiban pelaksanaan eksekusi putusan
satu sama lain secara timbal balik (reciprocality)
sebagaimana layaknya bila putusan dijatuhkan
oleh pengadilan setempat. Indonesia sampai
saat ini belum meratifikasi suatu perjanjian
internasional di bidang kepailitan lintas batas,

Hadi Shubhan, Op. cit., hlm. 98, dikutip dari Jerry hoff, Indonesian Bankruptcy Law, (Jakarta: Tatanusa, 1999),
hlm. 193.
14
Ibid, dikutip dari Jerry Hoff, Op. cit., hlm. 194.
15
Ibid, hlm. 98-99.
16
Rosalia Suci et al., Aspek Hukum Kepailitan dan Insolvensi Bank di Negara-Negara ASEAN, Buletin Hukum
Perbankan dan Kebanksentralan Bank Indonesia Volume 9, Nomor 3 (2011), http://www.bi.go.id/id/publikasi/
lain/hukum-perbankan/Documents/306fa54942ca4b44a469346e28f16294BuletinHukum09091211.pdf
(diakses 17 Mei 2014).

Jur

13

Wewenang Kejaksaan sebagai Pemohon Pailit ... (B.G.M. Widipradnyana Arjaya)

211

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

keberadaan putusan asing dan pelaksanaan


putusan tersebut di negaranya, negara lain
seperti Thailand dan Filipina secara tegas
menyatakan tidak mengakui putusan kepailitan
asing atau dapat disimpulkan menerapkan
prinsip teritorial dalam hukum kepailitan
nasionalnya. Apabila terdapat perbenturan
antara prinsip universal dengan prinsip teritorial,
maka yang akan dipakai adalah prinsip teritorial.
Hal ini karena kedaulatan suatu Negara akan
berada di atas kekuatan hukum mana pun
dan pendekatan asli dari suatu cross border
insolvency adalah prinsip teritorial. Prinsip
teritorial akan dikesampingkan apabila terdapat
kesepakatan-kesepakatan
internasional
(treaties) atau suatu Negara tersebut samasama menganut prinsip universal. Pada dimensi
lain, bisa diupayakan dengan jalan mengajukan
permohonan pailit ke beberapa Negara yang
terdapat harta Debitur tersebut.17
Selama belum disepakatinya perjanjian
bilateral antar negara-negara ASEAN atau
perjanjian Multilateral yang menaungi seluruh
negara ASEAN dalam hal kepailitan maka
proses pengurusan harta Debitur pailit akan
tetap menemui kendala, terutama pada
negara-negara yang tak mengakui putusan
pailit negara asing terhadap aset yang berada
dalam wilayah negaranya. Kasus seperti tidak
diakuinya wewenang Kurator asing untuk
melakukan pengurusan harta Debitur pailit di
negara tempat aset berada serta tidak diakuinya
putusan pailit pengadilan Indonesia oleh pihak
yang berwenang di negara ASEAN lainnya
tempat harta Debitur tersebut berada masih
akan jamak terjadi.

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

dilakukan di Negara asing kecuali apabila Negara


asing tersebut menandatangani perjanjian
bilateral dengan Indonesia atau Negara asing
tersebut dan Indonesia terikat dalam suatu
perjanjian internasional mengenai pengakuan
dan pelaksanaan putusan pengadilan asing.
Singapura memiliki sitem hukum yang berbeda
dimana pengadilan singapura mengakui putusan
pengadilan asing terkait dengan kepailitan suatu
institusi yang didirikan di Negara asing tersebut.
Demikian pula Malaysia mengakui proses
kepailitan dan putusan pengadilan asing yang
dilakukan di luar wilayah yurisdiksi Malaysia
walaupun dalam prakteknya pelaksanaan
putusan pengadilan asing tersebut tidak mudah
karena biasanya the High Court Malaysia akan
menunjuk likuidator lokal untuk menjual asetaset Debitur yang berada di Malaysia dan
kemudian membayarkan hasil penjualan asetaset tersebut kepada likuidator asing setelah
dikurangi dengan kewajiban-kewajiban Debitur
kepada Kreditor lokal Malaysia. Hukum Thailand
tidak mengakui proses peradilan insolvensi
yang dilakukan di luar wilayah kerajaan
Thailand termasuk juga tidak memberikan
akses kepada Kurator asing untuk turut serta
dalam proses kepailitan di Thailand. Kurator
asing harus terlebih dahulu melakukan gugatan
ke pengadilan untuk meminta pembayaran atas
utang-utang tersebut.
Dari data pelaksanaan putusan asing pada
beberapa negara ASEAN di atas dapat kita lihat
bahwa beberapa negara seperti Singapura,
Malaysia dan Vietnam (dengan catatan telah
ditandatanganinya perjanjian dengan Vietnam)
menerapkan prinsip universal untuk mengakui

Hadi Shubhan, Op.cit., hlm. 49.

17

212

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 197-214

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

Jur

na

BP
HN

lR
ec
hts
V

ind

Utang pajak dapat dikategorikan sebagai


utang dalam kepailitan, karena memenuhi
unsur-unsur utang yang dimaksud dalam
hukum kepailitan Indonesia, dan sengketa utang
piutang dalam perpajakan yang memposisikan
negara sebagai Kreditor dan subyek hukum dari
negara ASEAN non-Indonesia sebagai Debitur
dapat diselesaikan melalui prosedur kepailitan
Indonesia dengan menerapkan konsep
kedaulatan teritorial karena utang piutang pajak
terjadi dalam yurisdiksi Indonesia.
Kejaksaan dengan alasan untuk kepentingan
umum dapat mengajukan permohonan pailit
terhadap Debitur subyek hukum dari negara
ASEAN non-Indonesia pada Pengadilan Niaga
karena kepentingan negara merupakan salah
satu penjabaran dari kepentingan umum yang
dapat dimohonkan pailit, dengan catatan
bahwa kejaksaan dalam proses beracara dalam
hal permohonan pailit tidak mewakili lembaga
yang berwenang di bidang perpajakan karena
UUK mengamanatkan bahwa permohonan pailit
demi kepentingan umum baru dapat dilakukan
apabila tidak ada pihak yang mengajukan
permohonan pailit. Walaupun tidak mewakili
lembaga yang berwenang di bidang perpajakan
tetapi kejaksaan tetap dapat berkoordinasi
dengan lembaga tersebut mengingat tujuan
yang sama untuk mengembalikan piutang pajak
negara.
Ketentuan yang menyatakan permohonan
pailit untuk kepentingan umum hanya dapat
dilakukan apabila tidak ada pihak yang
mengajukan permohonan pailit sebaiknya
diberikan pengecualian oleh pembuat undangundang, dalam hal kejaksaan memohon pailit
untuk kepentingan umum yang menyangkut
kepentingan negara kejaksaan sebaiknya
diberi wewenang untuk bertindak mewakili

atau sebagai kuasa dari lembaga negara


yang secara langsung memiliki utang piutang
terhadap Debitur, agar lembaga yang secara
langsung memiliki hubungan utang piutang
terhadap Debitur tidak menganggap kejaksaan
bekerja secara mandiri tanpa mengindahkan
kepentingan dari lembaga tersebut.
Pemerintah Indonesia diharapkan untuk
segera menyepakati perjanjian internasional
yang ada dalam hal kepailitan lintas batas (cross
border insolvency) atau menyepakati perjanjian
bilateral maupun multilateral mengenai
kepailitan lintas batas di regional ASEAN karena
integrasi ekonomi dalam AEC juga sebaiknya
diikuti dengan integrasi instrument hukum
kepailitan antar negara anggota agar prosedur
peradilan kepailitan antara negara-negara
anggota ASEAN lebih efektif dan efisien serta
mendapat pengakuan dan sifat mengikat pada
seluruh hukum nasional negara anggota ASEAN.

ing

D. Penutup

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ekawati, Evy Lusia, Peranan Jaksa Pengacara
Negara dalam Penanganan Perkara Perdata,
(Yogyakarta: Genta Press, 2013).
Hartini,Rahayu, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009).
Saleh, Abdul Rahman, Bukan Kampung Maling,
Bukan Desa Ustadz, (Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2008).
Shubhan, Hadi, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma,
dan Praktik di Pengadilan, (Jakarta: Kencana,
2009).
Starke, J.G, Pengantar Hukum Internasional 1,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2010).

Internet
ASEAN Secretariat, ASEAN Economic Community
Blueprint, (Jakarta, 2008), www.asean.org/
archive/5187-10.pdf (diakses 9 Mei 2014).
Badan Koordinasi Penanaman Modal, Avoidance of
Double Taxation Agreement, Badan Koordinasi
Penanaman Modal, http://www3.bkpm.go.id/

Wewenang Kejaksaan sebagai Pemohon Pailit ... (B.G.M. Widipradnyana Arjaya)

213

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

Peraturan perundang-undangan :

BP
HN

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Staatsblad


1847 Nomor 23.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang


Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana perubahan terakhir dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.
Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa Nomor 19 Tahun 1997 dan perubahannya
dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan
dan
Penundaan
Kewajiban
Pembayaran Utang.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2013 tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun
Anggaran 2014.
Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan.

ing

contents/p14/taxation/14#.U5fE9Pl_tQF
(diakses 10 Juni 2014).
Departemen
Perdagangan
Republik
Indonesia,Menuju
ASEAN
Economic
Community 2015,http://ditjenkpi.kemendag.
go.id/website_kpi/Umum/Setditjen/Buku%20
Menuju%20ASEAN%20ECONOMIC%20
COMMUNITY%202015.pdf (diakses 9 Mei 2014).
Rosalia Suci et al., Aspek Hukum Kepailitan dan
Insolvensi Bank di Negara-Negara ASEAN,
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan
Bank Indonesia Volume 9, Nomor 3 (2011),
http://www.bi.go.id/id/publikasi/lain/hukumperbankan/Documents/44a469346e28f1629
4BuletinHukum09091211.pdf (diakses 17 Mei
2014).

214

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 197-214

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

URGENSI OTONOMI KHUSUS BATAM DIKAITKAN DENGAN PELAKSANAAN


MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015
(The Importance of Special Autonomy of Batam According to Implementation
of ASEAN Economic Community 2015)
Muhammad Sapta Murti

Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas Padjajaran


Email: saptamurti@yahoo.com

ing

Naskah diterima: 25 Agustus 2014; revisi: 8 September 2014; disetujui: 9 September 2014

lR
ec
hts
V

ind

Abstrak
Batam saat ini merupakan daerah industri dan juga sebagai kawasan perdagangan bebas serta kawasan pelabuhan bebas.
Peraturan perundang-undangan tersebut melahirkan 2 (dua) otoritas yang berwenang mengatur dan mengelola Batam,
yaitu Badan Pengusahaan Batam dan Pemerintah Kota Batam. Keduanya memiliki wewenang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang dalam pelaksanaannya sering tumpang tindih sehingga menghambat pembangunan di Pulau
Batam. Di sisi lain, terdapat tantangan besar pada tahun 2015 dengan pelaksanaan ASEAN Economic Community (AEC
2015) sebagai realisasi integrasi ekonomi sesuai dengan Visi ASEAN 2020. Tulisan ini menganalisis mengenai urgensi
otonomi khusus Batam dalam rangka penyelesaian persoalan tumpang tindih kewenangan terkait penyelenggaraan
Batam serta dikaitkan dengan tantangan AEC 2015. Dengan menggunakan metode hukum normatif disimpulkan bahwa
urgensi kekhususan Batam didasari oleh adanya alasan kekhususan Batam yang meliputi alasan filosofis, kesejarahanpolitis, yuridis, dan teoritis akademis. Kekhususan Batam meliputi substansi bidang politik dan pemerintahan, serta bidang
perekonomian, pertanahan, dan penataan ruang. Melalui kekhususan Batam sebagai Pemerintah Provinsi Otonomi
Khusus Batam, dualisme kelembagaan dan peraturan perundang-undangan di Batam akan menjadi kesatuan otoritas
dan pengaturannya. Dengan demikian, cita-cita Batam menjadi daerah di Indonesia yang berada di jalur perdagangan
internasional yang maju dapat tercapai serta menjadi bagian dari AEC 2015 yang berhasil.
Kata Kunci: kewenangan, asimetri, otonomi khusus

Jur

na

Abstract
Batam as an Industrial Zone, was also known as a free trade zone and free harbour zone. Based on enacted law there are
2 (two) agencies who has the authority to manage and administer Batam, which are Batam Indonesia Free Zone Authority
(BIPZA) and The Local Government of Batam. In the implementation, both agencies has overlapping authority thereby
sometimes the development of Batam are obstructed by this. On the other side there are big challenges in the year 2015,
it is ASEAN Economic Community (AEC 2015) as an achievement of economic integration in line with the ASEAN Vision of
2020. This research tries to analize the critical issues about Batam Autonomy in order to solve the overlapping authority
problems in Batam along with the AEC Challenges in 2015. Using normative legal method, it is concluded that special
autonomy for Batam is urgent based on philosophical, historical, political, jurist and theoritical reasons. Special autonomy
for Batam consist of politics and goverment field, economics, and land and space planning. Through the autonomy of
Batam, its expected that the dualism of institution and/or regulation will unite in one authority and regulation as well.
Therefore, Batams goal to be an advanced district in Indonesia which will be part of the international trade lines can be
accomplished and Batam can be part of AEC 2015.
Keywords: asymmetry, authority, special autonomy

Urgensi Otonomi Khusus Batam ... (Muhammad Sapta Murti)

215

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

Otorita Batam. Hak pengelolaan atas tanah


yang menjadi kewenangan Pemkot Batam
yang berada di Kawasan Perdagangan Bebas
dan Pelabuhan Bebas Batam beralih kepada
Badan Pengusahaan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Lebih lanjut dalam
Penjelasan Pasal 4 Peraturan Pemerintah
Nomor 46 Tahun 2007 dinyatakan bahwa hak
pengelolaan yang menjadi wewenang Pemkot
Batam beralih kepada Badan Pengusahaan
setelah terjadi pelepasan hak pengelolaannya
dari Pemkot Batam.
Dalam implementasi pengelolaan Pulau
Batam sebagai kawasan Perdagangan Bebas
dan Pelabuhan Bebas terjadi ketidakharmonisan
antara pengaturan pemerintahan daerah dan
penataan ruang.6 Dengan lahirnya UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah, wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibagi dalam daerah provinsi,
daerah kabupaten, dan daerah kota yang bersifat
otonom. Berdasarkan undang-undang tersebut
maka seluruh wilayah Indonesia sudah terbagi
habis ke dalam wilayah-wilayah yang memiliki

lR
ec
hts
V

ind

A. Pendahuluan
Dalam konteks masa kini, pengelolaan dan
pemanfaatan pulau-pulau di Indonesia menjadi
suatu tantangan tersendiri bagi Pemerintah
Indonesia. Karakteristik wilayah yang terpisahpisah berpengaruh pada koordinasi dan
konektivitas antar pulau di Indonesia.1 Salah satu
pulau yang memiliki peran strategis tersebut
yaitu Pulau Batam. Pulau Batam merupakan
salah satu pulau yang berada di Provinsi
Kepulauan Riau.2 Secara historis pengelolaan
Pulau Batam dilakukan oleh Perusahaan Negara
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Nasional
(PN Pertamina)3 (1970-1971); Badan Pimpinan4
(1971-1973); Otorita Batam5 (1973-2007); serta
terakhir Badan Pengusahaan (2007-sekarang).
Berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007, semua
aset Otorita Batam dialihkan menjadi aset
Badan Pengusahaan, kecuali aset yang telah
diserahkan kepada Pemkot Batam. Pegawai
pada Otorita Batam dialihkan menjadi pegawai
pada Badan Pengusahaan. Selain itu, hak
pengelolaan atas tanah menjadi kewenangan

Deloitte Access Economic, The Connected Archipelago: The Role of the Internet in Indonesias Economic
Development, (Desember 2011), hlm. 3.
2
Berdasarkan hasil verifikasi Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi yang terdiri atas Kementerian
Dalam Negeri, Kementerian Keluatan dan Perikanan, Badan Koordinasi Survey dan Pemetanaan Nasional
(Bakorsurtanal), Dinas Hidro Oseanografi TNI Angkatan Laut, dan Dinas Topografi TNI Angkatan Darat diperoleh
data bahwa Kepulauan Riau terdiri atas 2408 pulau.
3
Lihat KePeraturan Pemerintahres Nomor 65 Tahun 1970.
4
Lihat Pasal 5 KePeraturan Pemerintahres Nomor 74 Tahun 1971.
5
Lihat Pasal 4 ayat (1) KePeraturan Pemerintahres Nomor 41 Tahun 1973.
6
Bentuk ketidakharmonisan tersebut secara faktual dapat dilihat dengan adanya permohonan gugatan uji
materil atas Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 ke Mahkamah Konstitusi. Pemohon menganggap bahwa
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 memiliki persoalan yuridis penetapan kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas Kota Batam karena akan mempengaruhi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di
Kota Batam sebagai daerah otonom. Payung hukum penetapan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
adalah dengan Perpu Nomor 1 Tahun 2007 yang ditetapkan sebagai Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007,
berlaku umum secara nasional, sementara payung hukum penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di
Kota Batam adalah Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 yang berlaku khusus (lex specialis) bagi Kota Batam.
Namun, dalam Putusan Nomor 29/PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Pemohon.

Jur

na

216

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 215-235

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

pantai di Pulau Batam. Hak atas tanah


tersebut terkait dengan hak pengelolaan atas
tanah yang dimiliki oleh Badan Pengusahaan.
Sebagaimana
diatur
dalam
Keputusan
Presiden Nomor 41 Tahun 1973, Otorita Batam
(sekarang Badan Pengusahaan) mempunyai
hak pengelolaan tanah Pulau Batam. Sesuai
dengan Bab Ketentuan Peralihan Pasal 4
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007,
hak pengelolaan atas tanah yang menjadi
kewenangan Otorita Batam dan hak pengelolaan
atas tanah yang menjadi kewenangan Pemkot
Batam yang berada di Kawasan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam beralih
kepada Badan Pengusahaan. Berdasarkan
pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun
2007 yang berada dalam ketentuan peralihan
maka semua hak pengelolaan atas tanah yang
ada sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 46
tahun 2007 beralih dari Pemkot Batam ke Badan
Pengusahaan melalui mekanisme pelepasan
hak. Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah
Nomor 46 Tahun 2007, tidak ada lagi hak
pengelolaan atas tanah yang diberikan kepada
selain Badan Pengusahaan.
Hak pengelolaan atas tanah tersebut menjadi
persoalan baru di wilayah pantai atau pesisir
Pulau Batam yang mengalami reklamasi pantai9.
Reklamasi menimbulkan sengketa kewenangan
antara Badan Pengusahaan dengan Pemkot
Batam, khususnya mengenai penagihan atas
Uang Wajib Tahun Otorita (selanjutnya disingkat
UWTO) oleh Badan Pengusahaan atas lahan

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

kewenangan-kewenangan tertentu. Sebagai


pelaksanaan otonomi daerah tersebut, Pulau
Batam pun ditetapkan menjadi Kota Batam sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999
tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan,
Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir,
Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten
Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota
Batam.
Lahirnya Kota Batam menimbulkan tumpang
tindih kewenangan antara Pemkot Batam dengan
Badan Pengusahaan. Eksistensi kedua lembaga
yang didukung oleh struktur7 dan substansi
hukum8 yang berbeda menyebabkan kebijakan
pengelolaan Pulau Batam tidak harmonis.
Keberadaan Badan Pengusahaan yang didahului
oleh Otorita Batam berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 41 Tahun 1973 dan memiliki
kewenangan untuk melakukan pengelolaan
Pulau Batam dan semakin diperkuat dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000
sebagaimana telah diubdah dengan Keputusan
Presiden Nomor 44 Tahun 2007, serta Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomorr 5 Tahun 2011 secara vis a vis dengan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 serta UndangUndang Nomor 53 Tahun 1999.
Salah satu masalah yang sampai saat ini
belum terselesaikan yaitu kepastian hukum
tentang status hak atas tanah hasil reklamasi

Struktur hukum ialah perangkat (organ, misalnya legislator dan penegak hukum) yang membentuk dan
menjalankan (menegakkan) peraturan perundang-undangan.
8
Subtansi hukum ialah produk peraturan perundang-undangan.
9
Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan
ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.
Lihat Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007.
7

Urgensi Otonomi Khusus Batam ... (Muhammad Sapta Murti)

217

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

fiskal hanya dapat dilakukan di dalam kawasan


perdagangan bebas dan pelabuhan bebas yang
hanya dapat dilakukan oleh Badan Pengusahaan.
Dengan demikian, untuk mendapatkan hakhak tersebut maka tanah hasil relamasi pantai
di Pulau Batam merupakan hak pengelolaan
atas tanah Badan Pengusahaan yang termasuk
wilayah kerja Badan Pengusahaan.
Sementara itu, menurut Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004, Pemkot Batam memiliki
kewenangan bidang pemerintahan, termasuk
kewenangan wajib kecuali bidang politik, luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan,
moneter dan fiskal, agama serta kewenangan
bidang lain. Kewenangan wajib terdiri atas
pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan
dan kebudayaan, pertanian, perhubungan,
industri dan perdagangan, penanaman modal,
lingkungan hidup, pertanahan11, koperasi, dan
tenaga kerja yang mengakibatkan bahwa bidang
pertanahan merupakan kewenangan Pemkot
Batam. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 mengatur bahwa urusan wajib yang
menjadi kewenangan pemerintahan daerah
untuk kabupaten/kota merupakan urusan
yang berskala kabupaten/kota meliputi antara
lain pelayanan pertanahan. Selain itu, Pemkot

lR
ec
hts
V

ind

hasil reklamasi pantai,10 batas-batas wilayah


perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, serta
pengaruhnya terhadap insentif fiskal. Insentif
yang dimaksud, diberikan kepada pihak lain
oleh Badan Pengusahaan yang berada dalam
kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan
bebas.
Sengketa timbul karena dualisme kewe
nangan serta perbedaan persepsi terhadap
peraturan. Badan Pengusahaan berpendapat
bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 46 Tahun 2007, Keputusan Presiden
Nomor 41 Tahun 1973, dan Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun
1977 tentang Pengelolaan dan Penggunaan
Tanah di Daerah Industri Pulau Batam, serta
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Keuangan Pada Badan
Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas
dan Pelabuhan Bebas Batam, memberikan
kewenangan (hak) kepada Otorita Batam
(sekarang Badan Pengusahaan) termasuk
untuk memungut UWTO terhadap lahan yang
dimohonkan oleh pemohon atas pemanfaatan
lahan hasil reklamasi di Pulau Batam. Begitu
pula di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2000 diatur bahwa dalam pemberian insentif

Perencanaan dari Reklamasi pantai menurut Undang-Undang Nomor Tahun 27 tahun 2007 tentang wilayah
pesisir pulau-pulau kecil harus memperhatikan: Keberlanjutan dari kehidupan dan penghidupan masyarakat;
Keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan pulau-pulau
kecil; Persyaratan teknis, pengambilan, pengerukan dan penimbunan material. Perencanaan dari reklamasi
diatur dengan Peraturan Pemerintah dalam Pasal 11 disebutkan bahwa penyusunan rencana induk dari
reklamasi harus memperhatikan kepemilikan dan penguasaan lahan. Salah satunya adalah tentang status tanah
hasil reklamasi tersebut.
11
Kewenangan urusan pemerintahan bidang pertanahan dalam lampiran PERATURAN PEMERINTAH Nomor 38
Tahun2007, ada 9 (sembilan) Subbidang kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota di bidang pertanahan, yaitu:
Sub Bidang Izin Lokasi; Sub Bidang Pengadaan tanah untuk kepentingan umum; Penyelesaian Sengketa Tanah
Garapan; Penyelesaian Masalah Ganti Kerugian dan Santunan Tanah untuk Pembangunan; Penetapan Subyek
dan obyek Redistribusi Tanah serta ganti Kerugian Tanah Kelebihan Maksimum dan Tanah Absentee; Penetapan
tanah Ulayat; Pemanfaatan dan Penyelesaian Masalah Tanah Kosong; Izin Membuka Tanah; serta Perencanaan
Penggunaan Tanah wilayah Kabupaten/Kota.

Jur

na

10

218

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 215-235

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

upaya pengembangan perekonomian daerah,


nasional, bahkan kawasan ASEAN mengingat
posisi strategis Batam dalam jalur ekonomi
ASEAN.
Dengan berbagai persoalan sebagaimana
diuraikan di atas, terlihat tumpang-tindihnya
kewenangan antara Badan Pengusahaan
dan Pemkot Batam serta akan berpengaruh
terhadap pelaksanaan AEC 2015 bagi Batam.
Secara substansi hukum antara Pemkot Batam
dan Badan Pengusahaan terjadi benturan,
baik pengaturan Pulau Batam dalam kerangka
daerah industri dan kemudian berkembang
menjadi kawasan perdagangan bebas dan
pelabuhan bebas, maupun dalam kerangka
pengaturan otonomi daerah. Kewenangan
tersebut berimplikasi pada tidak harmonisnya
penyelenggaraan Pulau Batam karena terjadinya
dualisme kelembagaan yang mengelolanya
sehingga hal tersebut akan berdampak pada
masyarakat secara umum.
Berdasarkan latar belakang masalah
tersebut maka penulis akan melakukan
analisis mengenai Urgensi Otonomi Khusus
Batam Dikaitkan Dengan Pelaksanaan ASEAN
Economic Community 2015 sebagai salah
satu solusi dalam penyelesaian tumpang
tindih kewenangan dan peraturan perundangundangan di Pulau Batam dan pengaruh positif
atas pelaksanaan AEC 2015 bagi Batam. Tulisan
ini akan menganalisis mengenai bagaimanakah
gambaran otonomi asimetri Batam, alasan
Kekhususan Batam, serta urgensi otonomi
khusus di Batam dikaitkan dengan AEC 2015.

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

Batam berpedoman pada Pasal 16 ayat (4)


Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012
tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil yang mengatur bahwa gubernur
dan bupati/walikota memberikan izin lokasi
dan izin pelaksanaan reklamasi dalam wilayah
sesuai dengan kewenangannya. Pemkot Batam
berpendapat bahwa wilayah Pulau Batam
merupakan wilayah kewenangannya, sehingga
reklamasi pantai yang dilakukan oleh Pemkot
Batam telah sesuai dengan Peraturan Presiden
Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, sehingga
hasil reklamasi pantai tersebut yang berupa
tanah dapat dimohonkan hanya dengan hak
pengelolaan atas tanah oleh Pemkot Batam.
Di sisi lain permasalahan dalam negeri
tersebut sepatutnya sudah tidak menjadi
persoalan lagi dalam konteks AEC 2015. AEC
2015 yang ditujukan untuk mendorong efisiensi
dan daya saing ekonomi kawasan ASEAN yang
tercermin dalam 4 (empat) hal, yaitu:12 (1)
ASEAN sebagai aliran bebas barang, bebas jasa,
bebas investasi, bebas tenaga kerja terdidik,
dan bebas modal; (2) ASEAN sebagai kawasan
dengan daya saing tinggi; (3) ASEAN sebagai
kawasan dengan pengembangan ekonomi
yang merata dengan elemen pengembangan
usaha kecil menengah, dan (4) ASEAN sebagai
kawasan terintegrasi. Dalam konteks Batam, 4
(empat) hal tersebut harus mau tidak mau, suka
ataupun tidak suka, harus diterapkan dengan
segala persoalan tumpang tindih kewenangan
dan regulasi yang ada di Batam. Padahal
Batam merupakan asset yang luar biasa dalam

Kementerian Perdagangan RI, Menuju ASEAN Economic Community 2015, hlm. 51-71.

12

Urgensi Otonomi Khusus Batam ... (Muhammad Sapta Murti)

219

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

lR
ec
hts
V

C. Pembahasan

ind

Berdasarkan permasalahan diatas, peneli


tian ini merupakan suatu penelitian yuridis
normatif13. Data yang ada dihubungkan satu
sama lain melalui studi kepustakaan (library
research), dikaji dan diinterpretasi dan dianalisa
untuk selanjutnya ditarik kesimpulannya.
Metode penelitian yuridis normatif adalah
penelitian yang mengacu kepada normanorma hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan, konvensi internasional,
perjanjian internasional dan putusan-putusan
pengadilan14. Data melalui internet berupa
artikel dan penelitian terdahulu juga studi
kepustakaan dianalisa melalui studi dokumen
yang berkaitan dengan permasalahan yang
diteliti.

daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau


antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur
dengan undang-undang dengan memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah. UUD NRI
Tahun 1945 telah mengatur pula mengenai
kekhususan dan keistimewaan daerah-daerah di
Indonesia. Hal tersebut sebagaimana tertuang
dalam Pasal 18B UUD NRI 1945 yaitu bahwa
negara mengakui dan menghormati satuansatuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus atau bersifat istimewa yang diatur
dengan undang-undang. Dasar konstitusional
tersebut menjadi landasan yuridis pelaksanaan
otonomi daerah di Indonesia. Bahkan mengenai
kekhususan dan keistimewaan, UUD NRI 1945
pun menjamin pengakuan dan penghormatan
atas satuan-satuan pemerintah daerah yang
bersifat khusus atau istimewa. Otonomi bersifat
seragam (simetri) maupun tidak seragam karena
kekhususan atau keistimewaan (asimetri).15
Otonomi kepada daerah otonom16 pun tidak
serta merta dilaksanakan secara simetri. Dalam
pengertian otonomi daerah terkandung unsur
kemampuan untuk mewujudkan apa-apa
yang menjadi tugas, hak dan wewenang serta
tanggungjawabnya memperhatikan, mengurus,
dan mengatur rumah tangga sendiri.17

ing

B. Metode Penelitian

1. Otonomi Asimetri Batam

Secara konstitusional, acuan penyeleng


garaan pemerintahan daerah terdapat dalam
Pasal 18 UUD NRI 1945. Pengaturan wewenang
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
diperjelas dalam Pasal 18A UUD NRI 1945. Pasal
ini mengatur bahwa hubungan wewenang
antara pemerintah pusat dan pemerintahan

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: CV Rajawali,
1990), hlm. 15.
14
C.F.G Sunariyati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Alumni, 1994), hlm.
143.
15
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lihat Pasal 1
angka 7 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1999.
16
Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas
wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(Lihat Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004).
17
Ateng Syafrudin, Titik Berat Otonomi Daerah Pada Daerah Tingkat II dan Perkembangannya, (Bandung: Mandar
Maju, 1992), hlm. 61.

Jur

na

13

220

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 215-235

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

bagi masyarakat lokal karena mereka dilibatkan


dalam
proses
pengambilan
keputusan
pembangunan.22 Pertumbuhan daerah yang
lebih cepat dan efisiensi dalam memenuhi
kebutuhan masyarakatlah yang menjadi hal
terpenting dari sebuah desentralisasi.23 Politik
hukum tersebut yang menjadi urgensi dari
pengaturan otonomi daerah dalam UUD NRI
1945 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004. Politik hukum UUD NRI 1945 tidak hanya
berupaya menyeragamkan daerah di Indonesia
ke dalam suatu kerangka yang sama. Pengaturan
dalam Pasal 18B memberikan peluang bagi
kekhususan dan keistimewaan satuan-satuan
pemerintahan daerah. Pasal 18B memberikan
kesempatan dilaksanakan otonomi asimetri.
Pembahasan mengenai otonomi asimetri
pertama kali dibahas oleh Charles Tarlton (1965)
dari University of California. Menurut ilmuwan
ini, pembeda utama antara desentralisasi biasa
(simetri) dengan otonomi asimetri terletak pada
tingkat kesesuaian (conformity) dan keumuman
(commonality) dalam hubungan suatu level
pemerintahan (negara bagian/daerah) dengan
sistem politik dengan sistem pemerintah pusat
maupun antar negara bagian/daerah.24 Pola
simetris ditandai oleh the level of conformity
and commonality in the relations of each
separate political unit of the system to both the

lR
ec
hts
V

ind

Secara yuridis, pelaksanaan otonomi


daerah tertuang secara organik dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004. Undang-udang
ini mengartikan otonomi daerah sebagai hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.18 Otonomi daerah akan
menghasilkan daerah otonom berupa sebuah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas
wilayah,
serta
berwenang
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.19
Otonomi daerah dalam aspek desentralisasi
dengan tujuan ekonomi maupun politik20
menjadi wacana dan praktik kenegaraan yang
pada 2 (dua) dekade terakhir menjadi topik
sangat penting dalam perdebatan teori dan
pengembangan kebijakan.21 Berdasarkan kajian
Bank Dunia, desentralisasi sebagai bagian
dari otonomi daerah merupakan peralihan
kekuasaan politik, fiskal, dan administratif
dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah. Namun, implikasi utama dari transfer
kekuasaan tersebut pada akhirnya bermanfaat

Lihat Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.


Lihat Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
20
Lihat Thahya Supriatna dalam Utang Rosidin, Otonomi Daerah Desentralisasi, (Bandung: CV Pustaka Setia
Bandung, 2010), hlm. 88.
21
Lihat World Bank, Decentralization Home Page di http://www1.worldbank.org/wbiep/ decentralization/about.html
(diakses 15 Agustus 2012).
22
Lihat World Bank, How We Work with Civil Society, online document available at: http://lnweb18.worldbank.org/
ECA/eca.nsf/Initiatives/A98CDE16184FEDFC85256BD6004F486F?OpenDcument (diakses 30 Januari 2014).
23
Lihat Iwan J Azis, Institutional Constraints And Multiple Equilibria In Decentralization, Jurnal RURDS Cornell
University, (Vol. 20, Nomor 1, March 2008): 13.
24
Robert Endi Jawang, Kritik Terhadap Desentralisasi Asimetri di Indonesia, Jurnal Analisis CSIS, Center For
Strategic And International Studies, (Vol. 40, Nomor 2, Juni 2011): 162.

na

18

Jur

19

Urgensi Otonomi Khusus Batam ... (Muhammad Sapta Murti)

221

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

Secara teoritis, penyelenggaraan otonomi


daerah
pada
hakikatnya
menekankan
pentingnya
prinisp-prinsip
demokrasi,
kemandirian daerah, peningkatan peran
masyarakat,
pemerataan
keadilan
dan
kesejahteraan
dengan
memperhitungkan
bebagai aspek yang berkenaan dengan potensi
daerah.27 Keadilan dalam konteks ini tercapai
apabila dilakukan pencarian hakikat umum
di dalam konsep-konsep yang ada selama ini
mengenai apa yang adil dan tidak adil.28 Hal ini
sejalan dengan pemikiran kebangkitan bangsa
dalam mencari pola keadilan setelah runtuhnya
rezim otoritarianisme dan lahirnya fase otonomi
daerah yang merasa telah terjadi ketidakadilan
antara perlakuan daerah-daerah di Indonesia
pada masa Orde Baru yang sentralistik.29 Model
otonomi asimetri ini terbagi atas beberapa
model, yaitu sebagai berikut:30
a. Model Otonomi Asimetris Penuh.
Setiap daerah diperlakukan secara berbedabeda karena mengasumsikan adanya
pluralisme yang sangat ekstrem yang harus
direspons pemerintah nasional. Level daerah
yang didefinisikan sebagai asimetris juga
tidak sama, sangat ditentukan entitas daerah
seperti apa asimetris diberikan. Model ini
memang bisa menjawab keragaman daerah,
namun juga berpotensi menghasilkan
anarkisme dalam hubungan pusat daerah.
Prasyarat pengembangan model ini adalah

na

lR
ec
hts
V

ind

system as a whole and to the other component


units, di sisi lain pola asimetris merupakan satu
atau lebih unit politik atau pemerintah lokal
possessed of varying degrees of autonomy and
power.25
Kerangka pemikiran Tarlton tersebut diadopsi
dan diperbarui oleh John McGarry (2007) dari
Queens University. McGarry mengembangkan
otonomi asimetri Tarlton tidak hanya terkait
substansi asimetri tetapi juga bentuk dasar
pengaturan hukumnya. Menurut McGarry,
model asimetri akan terjadi apabila otonomi
semua unit pemerintahan substansional dijamin
Konstitusi dan terdapat sekurang-kurangnya
satu unit lokal yang menikmati level otonomi
yang berbeda (umumnya otonomi yang lebih
luas).26
Di Indonesia, konsep otonomi asimetri
McGarry secara teori dan praktik telah
diterapkan. Pertama, negara telah mengatur
perlakuan khusus atau istimewa terhadap
satuan-satuan pemerintahan daerah yang
secara konstitusional diatur dalam Pasal 18B
UUD NRI 1945. Kedua, Indonesia telah memiliki
4 (empat) daerah di level pemerintahan
provinsi yang menikmati otonomi asimetri,
yaitu DKI Jakarta, Nanggroe Aceh Darusalam,
Papua dan Papua Barat, dan Daerah Istimewa
Yogyakarta. Ketiga daerah tersebut memiliki
dasar pembentukan kekhususan/keistimewaan
dengan undang-undang.

Robert Endi Jawang, ibid.


Robert Endi Jawang, ibid, hlm. 163.
27
Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, Optik Hukum Pengawasan Pemerintah Daerah, dalam Negara Hukum Yang
Berkeadilan, Kumpulan Pemikiran Dalam Rangka Purnabakti Prof. Dr. H. Bagir Manan, S.H.,M.CL, (Bandung:
PSKN-HTN FH Unpad, 2011), hlm. 505.
28
Karen Leback, Teori-teori Keadilan, terjemahan, (Bandung: Nusa Media, 2012), hlm. 237.
29
J Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, (Bandung: Rineka Cipta, 2002), hlm. 17.
30
Pratikno, dkk, Desentralisasi Asimetri di Indonesia: Praktik dan Proyeksi, hasil penelitian Jurusan Politik dan
Pemerintahan, (Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, 2010), hlm. 139.
25

Jur

26

222

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 215-235

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

Berdasarkan pendapat Pratikno dan teori


yang dikemukakan oleh McGarry tersebut di
atas maka dapat dianalisis bahwa Pulau Batam
sebagai daerah yang secara historis telah memiliki
kekhususan dalam pengelolaannya memenuhi
kriteria sebagai daerah otonomi asimetri. Pulau
Batam yang ditetapkan sebagai daerah industri,
daerah industri yang memiliki status entrepot
partikelir, daerah dengan wilayah usaha Bonded
Warehouse, daerah industri yang dikelola oleh
Otorita Batam, dan terakhir sebagai Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang
dikelola oleh Badan Pengusahaan, menjadikan
Pulau Batam sebagai level pemerintahan yang
khusus (asimetri). Bahkan sebelum lahirnya
Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 yang
membentuk Pemkot Batam dengan segala
peraturan perundang-undangan mengenai
otonomi daerah, kekhususan Pulau Batam yang
dikelola oleh otoritas khusus yang terbentuk
terlebih dahulu sebelum terbentuknya Pemkot
Batam.

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

kapasitas nasional yang sangat kuat dalam


supervisi desentralisasi.
b. Model Asimetris Berbasis Kategori Kemajuan
Sosial Ekonomi.
Kawasan-kawasan yang ada dijustifikasi
secara berbeda dengan mempertimbangkan
beberapa ukuran, misalnya ukuranukuran yang bersifat teknokratis, dengan
memperhatikan aspek-aspek sosial dan
ekonomi tertentu. Secara lebih umum,
pendefinisian model ini bisa berangkat
dari ukuran-ukuran pembangunan dengan
membedakan antara kawasan yang tertinggal.
Dalam konteks Indonesia, perbedaan
perlakuan atas kawasan perbatasan dan
kepulauan misalnya, akan bisa menjadi
pertimbangan atas bentuk asmetris yang
akan dikembangkan. Contoh lain dalam
kategori ini adalah derajat kemajuan sosialekonomi, yang menghasilkan kategori
rural-urban. Pengembangan model ini akan
menjadi jawaban untuk pengembangan
kawasan dengan kemajuan ekonomi dan
persoalan urbanisasi yang sangat advanced.
c. Model Kombinasian Antara Otonomi Khusus
dan Otonomi Reguler
Model yang sangat jamak ditemui
adalah otonomi khusus sebagai solusi
untuk menyelesaikan ketegangan antara
pemerintah nasional dengan sub nasional
yang mengarah ke gerakan-gerakan
pemisahan diri (secession) atau dikarenakan
karakter daerah yang sangat spesifik.
Model ini selanjutnya menghasilkan bentuk
desentralisasi yg bersifat reguler bagi
mayoritas daerah, dan bentuk khusus untuk
daerah-daerah tertentu. Dalam desain
desentralisasi dan otonomi Indonesia,
pilihan terhadap model ini sudah dilakukan
dalam kasus 4 daerah khusus/istimewa.

2. Alasan Kekhususan Batam

Sebagai bagian dari pemerintahan daerah


sekaligus sebagai daerah industri, serta
kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan
bebas Batam, menempatkan Batam sebagai
objek tunggal yang dikelola oleh 2 (dua) otoritas
yang berbeda, yaitu Badan Pengusahaan dan
Pemkot Batam. Padahal, Batam merupakan
suatu wilayah strategis yang sejak lama
didesain untuk menjadi daerah industri, serta
kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan
bebas sebagaimana Singapura. Kekhususan
Batam melalui pembentukan otonomi khusus
Batam menjadi hal yang urgen agar Batam
dapat berkembang jauh dibandingkan kondisi
saat ini. Tentunya perkembangan Batam akan
sangat mempengaruhi perekonomian bangsa

Urgensi Otonomi Khusus Batam ... (Muhammad Sapta Murti)

223

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

Hakikat
otonomi
daerah
adalah
desentralisasi atau proses pendemokrasian
pemerintahan dengan keterlibatan langsung
warga
masyarakat
sehingga
meskipun
menggunakan pendekatan lembaga perwakilan.
Hal demikian membuat pemerintah pusat harus
memperhatikan mengenai suasana lingkungan
suatu pemerintahan daerah yang berada dalam
sistem negara kesatuan Republik Indonesia.
Sebagai negara kesatuan yang memiliki dinamika
sosial, budaya, ekonomi, dan politik di tingkat
lokal menjadi suatu pertimbangan penting
dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
di tataran pemerintahan lokal. Perkembangan
masyarakat yang dinamis, khususnya di
daerah-daerah
tertentu
yang
berbeda
dengan perkembangan masyarakat di daerah
lain harus dipertimbangkan dalam rangka
pengambilan kebijakan dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Bentuk kebijakan yang
afirmatif merupakan hal yang pasti akan
memberikan kesejahteraan masyarakat daerah
namun tetap dalam konteks negara kesatuan
Republik Indonesia. Keberhasilan di suatu
daerah akan menciptakan keberhasilan pula di
daerah sekitarnya, misalnya Pulau Bintan dan
Pulau Karimun.
Orientasi daerah-daerah yang menjadi
pusat industri dan perekonomian akan sangat

BP
HN

a. Alasan Filosofis

meningkat dalam kaitannya dengan globalisasi.


Daerah-daerah yang menjadi basis industri
seperti Pulau Batam yang bahkan secara
geografis berada pada jalur perdagangan
internasional,
melumpuhkan
garis-garis
teritotorial secara mutlak. Dunia menjadi saling
terhubung dan terbuka dan perekonomiannya
semakin tergantung satu dengan lainnya.
Filosofi globalisasi di Pulau Batam yang ditandai
dengan pembentukan Batam sebagai kawasan
perdagangan bebas dan pelabuhan bebas
menjadi suatu kekhususan bagi Pulau Batam
dibandingkan dengan daerah lainnya.
Pola hubungan tersebut dilaksanakan
secara umum maupun secara khusus.
Pola hubungan yang khusus dilandasi oleh
adanya ketidakpuasan daerah akan kebijakan
pemerintah pusat.31 Pola hubungan khusus
tersebut dapat saja dimaknai sebagai bentuk
adanya diskriminasi antar daerah. Namun,
secara internasional pengkhususan suatu
daerah tertentu dalam suatu negara merupakan
hal yang biasa dalam konteks negara kesatuan
ketika di daerah tersebut memiliki kekhasan
tertentu.
Pola hubungan antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah tersebut dapat
mengalami gradasi yang disebabkan oleh 3 (tiga)
aspek, yaitu (1) pola tata kelola internal, (2) besar
kewenangan, (3) besar sumber keuangan.32 Hal
inilah yang dalam konteks kekhususan Batam
dapat dijadikan alat ukur dalam menganalisis
hubungan pusat dan daerah. Di Pulau Batam
secara internal memiliki suatu tata kelola yang
berbeda dengan daerah lain.

ing

Indonesia secara umum. Terdapat beberapa


alasan alasan kekhususan antara lain alasan
Filosofis, Kesejarahan-Politis, Yuridis, serta
Teoritis-Akademik yang akan diuraikan sebagai
berikut:

Irfan Ridwan Maksun, Spektrum Otonomi Kekhususan, Kompas 28 Januari 2014.


Irfan Ridwan Maksun, ibid.

31
32

224

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 215-235

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

Dalam lintasan sejarah perkembangan


Pulau Batam dan politik hukum pengelolaan
Pulau Batam telah dimulai sejak tahun 1970
dengan diterbitkannya Keputusan Presiden
Nomor 65 Tahun 1970 tentang Pelaksanaan
Proyek Pembangunan Pulau Batam. Pada saat
itu, Pulau Batam ditetapkan sebagai basis
logistik dan operasional bagi usaha-usaha yang
berhubungan dengan eksplorasi dan eksploitasi
minyak dan gas bumi yang dilaksanakan oleh
Perusahaan Negara Pertambangan Minyak dan
Gas Bumi Nasional (PN Pertamina). Pulau Batam
pada saat itu telah menjadi daerah industri yang
sejak itu pula Pulau Batam mulai terkoneksi
dengan wilayah-wilayah lain di sekitar Pulau
Batam baik dalam negeri maupun luar negeri.
Pembangunan Pulau Batam tersebut merupakan
konsekuensi dari mulai adanya koneksi antara
negara-negara yang saling terhubung dan saling
mempengaruhi dalam bidang industrialisasi.33
Sejak tahun 1970-an Batam sudah diposisikan
sebagai daerah industri khususnya industri yang
terkait dengan bidang usaha Pertamina. Hal ini
didasari oleh letak strategis Pulau Batam yaitu
terletak Batam yang terletak di jalur lalu lintas
Asia Barat-Asia Timur yang berada di lintas
perdagangan internasional, sehingga potensi
strategis tersebut dapat dimanfaatkan oleh
Pertamina dalam usaha minyak dan gas bumi.
Pada Tahun 1971, pengembangan Pulau
Batam diperluas tidak hanya pada pembangunan

industri eksplorasi dan eksploitasi minyak


dan gas bumi dengan penetapan Pulau Batam
sebagai daerah Industri berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 74 Tahun 1971 tentang
Pengembangan Pembangunan Pulau Batam.
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 74
Tahun 1971 tersebut, sebagian dari Pulau Batam
ditetapkan sebagai daerah industri yang diberi
status sebagai entrepot partikelir34 berdasarkan
ketentuan dalam Reglemen A dari Ordonansi
Bea.35
Dalam perkembangannya, sebagai upaya
untuk meningkatkan dan memperlancar
pengembangan daerah industri Pulau Batam
maka Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 1971
disempurnakan dengan diterbitkan Keputusan
Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah
Industri Batam. Keputusan Presiden Nomor 41
Tahun 1973 mengubah kelembagaan tunggal
Badan Pimpinan menjadi kelembagaan yang
terdiri atas: Badan Pembina Daerah Industri
Pulau Batam, Otorita Pengembangan Daerah
Industri Pulau Batam, dan Perusahaan Perseroan
Pengusahaan Daerah Industri Pulau Batam.
Hal penting dalam Keppres Nomor 41 Tahun
1973 yaitu mengenai pengaturan peruntukan
dan penggunaan tanah di daerah industri Pulau
Batam, yaitu peruntukan dan penggunaan
tanah di daerah industri Pulau Batam untuk
keperluan bangunan-bangunan, usaha-usaha,
dan fasilitas-fasilitas lainnya yang bersangkutan
dengan pelaksanaan pembangunan Pulau

ing

a. Alasan Kesejarahan-Politis

N. A. Phelps, Archetype for an Archipelago? Batam as Anti-model and Model of Industrialization in Reformasi
Indonesia, School of Geography, University of Southampton, UK, Progress in Development StudiesJuly (2004,Vol.
4Nomor 3):206-229.
34
Entrepot partikelir adalah ruangan-ruangan yang berkenaan dengan letak dan susunan yang memenuhi syaratsyarat yang ditetapkannya sebagai entrepot partikelir untuk menimbun (menyimpan) barang yang impor.
35
Lihat Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 1971 tentang Pengembangan Pembangunan Pulau Batam.
33

Urgensi Otonomi Khusus Batam ... (Muhammad Sapta Murti)

225

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan


Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
Menjadi Undang-Undang.
Pembentukan
Kawasan
Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas berdasarkan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007
tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas Batam ditetapkan Batam
sebagai kawasan perdagangan bebas dan
pelabuhan bebas. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007, dibentuk
juga Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Sebelum
Badan Pengusahaan belum terbentuk maka
tugas dan wewenangnya dilaksanakan secara
bersama antara Pemerintah Kota Batam
(selanjutnya disebut Pemkot Batam) dengan
Badan Pengusahaan sesuai dengan tugas pokok
dan fungsi masing-masing. Adapun tugas dan
wewenang dari Badan Pengusahaan adalah
melaksanakan pengelolaan, pengelolaan, dan
pembangunan kawasan perdagangan bebas
dan pelabuhan bebas sesuai dengan fungsi
kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan
bebas termasuk untuk membuat ketentuanketentuan supaya tidak bertentangan dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007
dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Berbagai pengaturan yang menjadi politik
hukum pemerintah dari masa ke masa menjadi
bukti bahwa sejak tahun 1970-an Pulau Batam
diperlakukan khusus sebagai oleh pemerintah
pusat. Faktor kesejarahan-politis inilah yang
tidak dapat dipisahkan dari alasan kekhususan
Batam.

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

Batam dengan didasarkan atas suatu rencana


tata-guna tanah dalam rangka pengembangan
Pulau Batam menjadi daerah industri. Melalui
norma tersebut, Otorita Batam menjadi
penguasa atas lahan di Pulau Batam sehingga
memiliki kewenangan besar dan tunggal untuk
mengadakan peruntukan dan penggunaan
tanah di Pulau Batam. Lebih lanjut, hal-hal
yang bersangkutan dengan pengurusan tanah
di dalam wilayah daerah industri Pulau Batam
diatur lebih lanjut oleh Menteri Dalam Negeri36
sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di bidang agraria.
Sementara itu sebagai daerah industri, Pulau
Batam statusnya diperkuat dengan menetapkan
seluruh Pulau Batam sebagai wilayah usaha
Bonded Warehouse melalui Keputusan Presiden
Nomor 41 Tahun 1978 tentang Penetapan
Seluruh Pulau Batam Sebagai Wilayah Usaha
Bonded Warehouse. Berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 41 Tahun 1978 status Pulau
Batam diperluas tidak hanya menjadi daerah
industri tetapi juga wilayah pabean atas barang
impor, ekspor, dan re-ekspor ke dan dari Pulau
Batam mendapatkan kebebasan bea, cukai,
atau pungutan Negara lainnya.
Penetapan Pulau Batam sebagai daerah
industri mengalami perkembangan pada
tahun 2000-an dengan penerbitan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas. Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini
kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Sebagai pengaturan lebih lanjut mengenai hal tersebut diterbitkanlah Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor
43 Tahun 1977.

36

226

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 215-235

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

Jur

na

BP
HN

lR
ec
hts
V

ind

Wacana pembentukan Pulau Batam sebagai


daerah otonomi khusus secara Konstitusional
didasari oleh ketentuan Pasal 18B ayat (1)
UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa negara
mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintah daerah yang bersifat khusus atau
istimewa yang diatur dengan undang-undang.
Berbagai produk hukum yang mengatur tentang
pemerintahan daerah di Indonesia yang menjadi
landasan hukum pembentukan otonomi khusus
Batam, antara lain Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 serta Peraturan Pemerintah Nomor
78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan,
Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.
Dalam Pasal 2 ayat (8) Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 juga memberi ruang afirmasi
bagi predikat kekhususan atau keistimewaan
sejumlah daerah. Hal ini dituangkan dalam Pasal
2 ayat (8), Negara mengakui dan menghormati
satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang
diatur dengan undang-undang.
Dalam UUD NRI 1945 dan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tidak diatur
bahwa otonomi khusus hanya diberlakukan
pada pemerintah provinsi, sehingga apabila
kekhususan/keistimewaan hanya pada tataran
pemerintah kabupaten/kota maka otonomi
khusus tersebut dapat diberlakukan pada
pemerintah kota/kabupaten saja. Selain,
pengaturan kekhususan dalam UUD NRI
1945 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004, untuk Pulau Batam kekhususannya pun
telah pula diatur dalam Keputusan Presiden
Nomor 41 Tahun 1973. Walau berdasar hukum
Keputusan Presiden, politik hukum penetapan
khusus Pulau Batam sebagai Daerah Industri
merupakan bentuk pengakuan dan sekaligus

cita-cita pemerintah saat itu agar Pulau


Batam dengan kekhususannya tersebut dapat
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
bagi masyarakat.
Hingga saat ini, Keputusan Presiden
tersebut terus berlaku. Terakhir diterbitkan
Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2000
tentang Perubahan Kelima Keputusan Presiden
Nomor 41 Tahun 1973. Berdasarkan hal
tersebut, disimpulkan bahwa: pertama, adanya
konsistensi yuridis mengenai kekhususan
Pulau Batam sebagai kawasan khusus
industri bahkan diperkuat dengan penetapan
Pulau Batam sebagai kawasan perdagangan
bebas dan pelabuhan bebas. Kedua,
pengakuan kekhususan Pulau Batam dalam
penyelenggaraan memiliki perbedaan dengan
daerah-daerah lain di Indonesia secara umum.
Artinya eksistensi kelembagaan dengan segala
tugas pokok dan fungsinya di Pulau Batam, tidak
ditemukan di daerah lain sehingga memberikan
penafsiran bahwa secara empiris bahwa Pulau
Batam memiliki suatu perlakukan afirmatif dari
pemerintah pusat.

ing

b. Alasan Yuridis

c. Alasan Teoritis-Akademik

Dalam khasanah perkembangan ilmu


politik dan ilmu pemerintahan, telah banyak
pembahasan mengenai praktik penyelenggaraan
pemerintahan baik secara umum maupun
secara khusus/istimewa. Bahkan di berbagai
dunia praktik penyelenggaraan pemerintah
daerah yang bersifat khusus umum terjadi, baik
dalam konteks negara kesatuan maupun dalam
konteks negara federatif. Dalam khasanah ilmu
politik dan pemerintahan, pola pengaturan
yang tidak sebanding ini disebut sebagai
assymetrical decentralization, asymetrical
devolution atau assymetrical federalis, atau

Urgensi Otonomi Khusus Batam ... (Muhammad Sapta Murti)

227

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

penyelenggaraan
pemerintahan
daerah.
Dalam posisi khusus sebagai daerah industri,
pelabuhan dan perdagangan bebas, Batam
mempunyai
fungsi
sebagai
lokomotif
pertumbuhan dan perkembangan industri,
perdagangan, dan pelabuhan bebas. Sebagai
konsekuensinya Batam memiliki tugas dan
wewenang melakukan pengelolaan dan
pengembangan kawasan perdagangan bebas
dan pelabuhan bebas ini dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dengan didasari
hal tersebut maka Batam harus memiliki bentuk
dan susunan pemerintahan yang berbeda
dengan provinsi lainnya di Indonesia. Hal ini
didasarkan pada dua pertimbangan pokok:
pertama, kekhususan yang dimiliki Batam
membutuhkan adanya kelembagaan yang dapat
mengelolanya dengan sebaik-baiknya agar
dapat mencapai tujuan kekhususan itu sendiri;
kedua, Batam, sebagaimana diindikasikan pada
bagian sebelumnya, telah memiliki 2 (dua)
kelembagaan pemerintahan sehingga menjadi
tidak efektif untuk jangka waktu yang sangat
lama. Substansi kekhususan dalam bidang ini
perlu direvitalisasi kelembagaannya yang telah
ada guna berjalannya kegiatan pemerintahan
daerah di Pulau Batam. Perbedaan pokok dalam
aspek kelembagaan Batam dengan daerah
lainnya, yaitu adanya 2 (dua) otoritas yang
memiliki kewenangan yang saling berbenturan
dalam penyelenggaraan Pulau Batam, yaitu
Pemerintah Kota Batam dan Badan Pengusahaan
Batam. Revitalisasi atas kelembagaan tersebut
dilakukan dengan melakukan reorganisasi
baru di Batam dengan membentuk Kota

lR
ec
hts
V

ind

secara umum assymetrical intergovernmental


arrangements.37 Secara prinsipil, berbagai
bentuk penyebaran kekuasaan yang bercorak
asimetris di atas merupakan salah satu
instrumen kebijakan yang dimaksudkan untuk
mengatasi dua hal fundamental yang dihadapi
suatu negara, yakni persoalan bercorak politik,
termasuk yang bersumber pada keunikan dan
perbedaan budaya; dan persoalan yang bersorak
teknokratik-manajerial, yakni keterbatasan
kapasitas suatu daerah atau suatu wilayah dalam
menjalankan fungsi dasar pemerintahan.38
Pengaturan asimetris yang terkait dengan
politik ditempuh sebagai strategi kebijakan
untuk mempertahankan basic boundaries
unit politik suatu negara dan atau sebagai
aspresiasi atas keunikan budaya tertentu.
Dengan tingkat keberhasilan yang berbedabeda, representasi minoritas pada level subnasional serta pemberian status keistimewaan/
khusus bagi satu daerah atau kawasan daerah
dapat mendorong kelompok/daerah yang
menuntut status keistimewaan/kekhususan,
meniadakan/meminimalkan kekerasan dan
mempertahankan keutuhan wilayah. Konstitusi
Spanyol tahun 1978 setelah jatuhnya Franco
misalnya, menetapkan adanya historical
rights serta memberikan otonomi khusus dan
dipercepat pada beberapa daerah, diantaranya
Castile-Leon, Catalonia, Valencia.39

3. Substansi Kekhususan Batam

na

a. Bidang Politik dan Pemerintahan

Jur

Substansi
dari
kekhususan
Batam
terletak pada kekhususan Batam dalam

Joachim Wehner, Asymmetrical Devolution, Development Southern Africa (Vol 17, Nomor 2 Juni, 2000): 2.
Kementerian Dalam Negeri, Naskah Akademik RUU tentang Keistimewaan Yogyakarta, (Jakarta: Kementerian
Dalam Negeri, 2010).
39
Ibid.
37
38

228

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 215-235

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

berupa pemerintah provinsi untuk Batam yang


merupakan lex specialis dari ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004, sehingga syarat-syarat administrasi,
teknis, dan fisik kewilayahan dapat dikecualikan
dari syarat-syarat yang diatur dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004. Misalnya syarat
fisik kewilayahan yang meliputi paling sedikit
5 (lima) kabupaten/kota dalam pembentukan
daerah otonomi baru yang berupa Provinsi
Pulau Batam tidak mengikuti syarat paling
sedikit 5 (lima) kabupaten/kota tersebut. Hal
tersebut dimungkinkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18B UUD NRI 1945.
Kedua, selain penerapan asas lex specialis
dalam pembentukan daerah otonomi baru
yang berupa pemerintah provinsi untuk Batam,
kerangka sistem pemerintahan di Batam pun
merupakan lex specialis dari ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004. Ketentuan mengenai sistem pemerintahan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004, misalnya mengenai
ketentuan bahwa dalam suatu pemerintah
provinsi harus terdapat DPRD Provinsi dan
di tiap kabupaten/kota di wilayah provinsi
harus terdapat DPRD Kabupaten/Kota, maka
sistem pemerintahan provinsi untuk Batam
kelembagaan DPRD hanya terdapat di tingkat
provinsi, sedangkan di tingkat kabupaten/kota
tidak perlu dibentuk DPRD Kabupaten/Kota,
seperti Pemerintah Daerah Khusus Ibukota

lR
ec
hts
V

ind

Batam menjadi Provinsi baru yang memiliki


kekhususan dengan menjadi gubernur sebagai
kepala daerah sekaligus sebagai Kepala Badan
Pengusahaan.
Dalam ranah politik, kekhususan Batam
terletak pada sumber dan proses rekruitmen
gubernur dan kedudukan Gubenur Batam40
sekaligus sebagai Kepala Badan Pengusahaan
Batam. Rekruitmen Gubernur Batam/Kepala
Pengusahaan Batam dapat dilakukan melalui
skema Gubernur Batam/Kepala Pengusahaan
Batam dipilih oleh DPRD. Skema ini juga
khusus, artinya tidak mengikuti mekanisme
pemilihan gubernur yang diatur dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 yang mengatur
gubenur dipilih langsung oleh rakyat.41 Melalui
pembentukan provinsi otonomi khusus Batam
dengan undang-undang yang baru maka Pemkot
Batam dan Badan Pengusahaan Batam saat ini
dibubarkan dan berubah menjadi Pemerintah
Provinsi Otonomi Khusus Batam yang dipimpin
oleh gubenur merangkap sebagai Kepala Badan
Pengusahaan Batam.

b. Struktur Pembentukan dan Sistem


Pemerintahan Provinsi Otonomi Khusus
Batam

na

Terkait
struktur
pembentukan
dan
sistem Pemerintah Provinsi Otonomi Khusus
Batam, terdapat beberapa hal yang menjadi
kekhususan Batam. Pertama, dalam kerangka
pembentukan daerah otonomi baru yang

Kedudukan gubernur terkait dengan kekuasaan kepala daearah sebagai lembaga eksekutif yang memegang
kekuasaan dalam bentuk berbagai fungsi dan wewenang yang berhubungan dengan bidang pemerintahan daerah
(Lihat Sayuti una, Pergeseran Kekuasaan Pemerintahan Daerah Menurut Konstitusi Indonesia, (Yogyakarta: UII
Press, 2004), hlm. 107.
41
Pemilihan langsung oleh rakyat terkait dengan kedaulatan rakyat dengan sistem perwakilan atau demokrasi biasa
juga disebut sistem demokrasi perwakilan atau demokrasi tidak langsung. Di dalam praktik yang menjalankan
kedaulatan rakyat adalah wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat. (Lihat Jimly Asshiddiqie,
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajagrafindo, 2013), hlm. , (Jakarta: Rajagrafindo, 2013), hlm. 328

Jur

40

Urgensi Otonomi Khusus Batam ... (Muhammad Sapta Murti)

229

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

kewenangan sebagaimana diatur dalam


peraturan perundang-undangan; (b) Kepala
daerah dengan kewenangan sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan;
dan (c) Kepala Badan Pengusahaan Batam
dengan kewenangan yang diatur dalam
peraturan
perundang-undangan.
DPRD
berkedudukan sebagai representasi rakyat
dengan kewenangan sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Sedangkan
Walikota-Walikota di Pulau Batam. WalikotaWalikota di Pulau Batam bekedudukan di bawah
gubenur dan bertanggung jawab langsung
kepada gubenur.

ind

Jakarta yang menjadikan Kabupaten/kota di


wilayah sebagai daerah administratif.
Ketiga, Gubernur Provinsi Otonomi Khusus
Batam dalam penyelenggaraan pemerintahan
bertindak sebagai kepala wilayah, Kepala
daerah otonomi khusus Batam, dan Kepala
Badan Pengusahaan Batam. Peran dan fungsi
Gubernur sesuai yang diatur dalam UndangUndang tentang Pembentukan Provinsi Otonomi
Khusus Batam. Keempat, DPRD provinsi daerah
khusus Batam merupakan unsur legislatif dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang peran dan
fungsi DPRD diatur sesuai yang diatur dalam
Undang-Undang tentang Pembentukan Provinsi
Otonomi Khusus Batam. Kelima, Pemerintah
Kabupaten/Kota di Wilayah Pemerintah Provinsi
Otonomi Khusus Batam berbentuk kabupatan/
kota administratif yang jabatan walikotanya
ditunjuk oleh gubenur. Hal yang dilakukan pula
di DKI Jakarta.

e. Hubungan Antar Lembaga

lR
ec
hts
V

Kedudukan dan kewenangan masingmasing lembaga dalam struktur pemerintah


daerah Provinsi Daerah Khusus Batam tersebut
di atas melahirkan hubungan kewenangan.
Pertama, hubungan pemerintah pusat dan
pemerintah khusus Batam. Wakil pemerintah
pusat di pemerintah provinsi Batam adalah
Gubernur dalam posisinya sebagai Kepala
Wilayah Administratif, merujuk pada Integrated
Prefectoral System sebagaimana diatur dalam
peraturan
perundang-undangan.
Dalam
kedudukan demikian, terdapat hubungan
kewenangan yang besifat hierarkis antara
Presiden dengan Gubernur. Presiden berwenang
memberikan instruksi kepada Gubernur,
termasuk untuk menjalankan fungsi pengawasan
terhadap institusi-institusi pemerintahan yang
ada di daerah, serta menjalankan kewajibankewajiban lainnya yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Kedua,
hubungan
Pemerintah Provinsi Batam dan Pemerintah
Provinsi lainnya. Pada prinsipnya di Provinsi
Khusus Batam hubungan antara Pemerintah
Provinsi Batam dengan pemerintah provinsi

c. Pengisian Jabatan

Jur

na

Proses rekruitmen dan pengisian jabatan


unsur penyelenggara pemerintahan Gubernur
dilaksanakan secara khusus. Gubernur
Pemerintah Otonomi Khusus Batam/Kepala
Badan Pengusahaan. Pengisian jabatan
Gubernur Provinsi Daerah Khusus Batam
dilakukan melalui mekanisme dipilih oleh
DPRD Khusus yang dipilih melalui mekanisme
pemilihan langsung sesuai dengan prinsip
demokrasi sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Selanjutnya Walikota
akan ditunjuk dan ditetapkan oleh Gubenur
Batam.
d. Kedudukan dan Kewenangan

Gubernur Pemerintah Provinsi Khusus


Batam/Kepala Badan Pengusahaan memiliki
kedudukan sebagai (a) kepala wilayah dengan

230

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 215-235

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

nasional. Pengaturan yang saat itu masih


bersifat top-down menjadi persoalan lain ketika
dinamika perkambangan Batam tidak dapat
direspon secara cepat, sehingga pengaturan
sendiri oleh Pemerintah Daerah Khusus Batam
mengenai bidang-bidang perekonomian, akan
membuat Batam akan secara cepat merespon
perkembangan perekonomian global.
Di bidang pertanahan, di Batam melalui
Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 telah
memiliki kekhususan pengelolaan pertanahan
dengan pemberian hak pengalolaan atas tanah
di seluruh wilayah Pulau Batam kepada Badan
Pengusahaan Batam. Selanjutnya, dalam
pengaturan mengenai kekhususan Batam
sebagai Pemerintah Daerah Khusus Batam
maka kewenangan pertanahan dalam hal ini
hak pengelolaan atas tanah termasuk tanah
hasil reklamasi pantai, diintegrasikan menjadi
kewenangan Gubenur Batam. Dengan demikian
perencanaan, pelaksanaan reklamasi, dan
pengelolaan hasil reklamasi dapat dilaksanakan
dengan baik dan tidak terjadi tumpang tindih
kewenangan. Meskipun Gubernur Batam
merupakan penguasa di Batam, namun
pertanggungjawaban tetap kepada Presiden
sehingga tetap ada pengawasan dari pemerintah
pusat. Alasan pengawasan oleh Pemerintah
Pusat tersebut antara lain karena perlunya
Pemerintah Pusat untuk menetapkan serta
mempertahankan standard minimun dalam
pemberian pelayanan kepada masyarakat oleh
pemerintah daerah.1
Di bidang penataan ruang, ruang bagi Batam
memiliki fungsi industri, perdagangan bebas,

ind

ing

lainnya adalah sebagaimana diatur dalam


Undang-undang tentang pemerintah daerah,
kecuali yang menyangkut urusan-urusan yang
dinyatakan sebagai substansi khusus Provinsi
Batam.
Secara skematik, hubungan kewenangan
di antara lembaga-lembaga di tingkat
pemerintahan Batam adalah sebagai berikut:

lR
ec
hts
V

Gambar 1. Skema Pola Organisasi Pemerintah Daerah


Provinsi Otonomi Khusus Batam

f. Bidang Perekonomian, Pertanahan, dan


Penataan Ruang

Jur

na

Penyelenggaraan
pemerintah
daerah
khusus Batam dilakukan dengan pengaturan
terhadap
kewenangan
perekonomian,
pertanahan, dan penataan ruang. Kewenangan
khusus dalam ketiga urusan ini diwujudkan
melalui kewenangan penuh dalam menetapkan
kebijakan-kebijakan dan dalam merumuskan
Peraturan Daerah Khusus tentang ketiga urusan
pemerintahan itu.
Di bidang perekonomian, Pemerintah
Daerah Khusus Batam memiliki kewenangan
untuk mengatur secara luas bidang-bidang
perekonomian, misalnya mengenai pabean,
cukai, pajak daerah dan retribusi daerah.
Bidang-bidang tersebut tidak terikat dengan
ketentuan-ketentuan yang berlaku secara

1 Josef Riwu Kaho, Analisis Hubungan


Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia,
(Yogyakarta: L Polgov Fisipol UGM, 2012), hlm.
304.

Urgensi Otonomi Khusus Batam ... (Muhammad Sapta Murti)

231

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

tata ruang, dan perekonomian. Melalui


pembentukan otonomi khusus Batam ini
Gubernur Batam merupakan kepala daerah
yang juga merangkap sebagai Kepala Badan
Pengusahaan. Hal ini sebagai solusi benturan
kewenangan antara Walikota Batam dengan
Kepala Pengusahaan Batam dapat terselesaikan,
sekaligus menghilangkan benturan pengaturanpengaturan terkait Batam karena dalam undangundang mengenai kekhususan Batam peraturan
perundang-undangan yang saling bertentangan
terkait Batam akan dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Melalui pembentukan Pemerintah Provinsi
Otonomi Khusus Batam, tidak hanya persoalan
tumpang tindih kewenangan dan pengaturan
di Batam yang terselesaikan, namun secara
luas pembentukan provinsi khusus Batam
menjadi suatu solusi pembangunan dan
pengembangan Batam agar mampu tumbuh
dan berkembang seperti Singapura serta
menjadi pemerintah daerah di Indonesia yang
mampu mewujudkan 1) ASEAN sebagai aliran
bebas barang, bebas jasa, bebas investasi,
bebas tenaga kerja terdidik, dan bebas modal;
(2) ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing
tinggi; (3) ASEAN sebagai kawasan dengan
pengembangan ekonomi yang merata dengan
elemen pengembangan usaha kecil menengah,
dan (4) ASEAN sebagai kawasan terintegrasi.
Tentunya tujuan tersebut memberikan manfaat
yang besar bagi kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat Indonesia.
Sebagai saran, Pemerintah atau DPR RI
sebaiknya segara melakukan perencanaan
mengenai penetapan kekhususan Batam yang
dilakukan dengan mengkaji dan melakukan
pemenuhan syarat-syarat administratif, teknis,
dan fisik kewilayahan untuk menjadikan Batam
sebagai pemerintah propinsi otonomi khusus

lR
ec
hts
V

ind

dan pelabuhan bebas. Sebagai kawasan yang


memiliki fungsi tersebut, maka penataan ruang
di Pulau Batam harus berbeda pengaturannya
dengan penataan ruang di daerah lainnya.
Perbedaan tersebut misalnya mengenai
penetapan ruang kawasan hutan di Pulau
Batam yang selama ini penetapan kawasan
hutan di Pulau Batam melalui Keputusan
menteri Kehutanan. Melalui kekhususan
Batam maka penetapan ruang baik kawasan
hutan maupun bukan kawasan hutan tidak
lagi tergantung dengan pola penetapan sesuai
dengan ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan. Dengan demikian, seluruh
lahan di Pulau Batam baik di dalam maupun luar
kawasan hutan menjadi hak pengelolaan atas
tanah Gubernur Provinsi Otonomi Khusus Batam
yang penetapan tata ruangnya dilaksanakan
untuk sepenuhnya menunjang Batam sebagai
daerah industri dan perdagangan bebas serta
pelabuhan bebas.

D. Penutup

Jur

na

Akhirnya, gagasan pembentukan pemerintah


provinsi khusus Batam menjadi salah satu
gagasan yang progresif dalam menyelesaikan
berbagai persoalan di Batam dan pengaruh
positifnya bagi pelaksanaan AEC 2015 agar AEC
2015 memberikan manfaat yang besar bagi
Batam. Berdasarkan kajian politis-kesejarahan,
filosofis, yuridis, dan teoritik-adakemik,
Batam telah lama berlaku khusus (asimetri)
yang berbeda dengan daerah-daerah lain di
Indonesia. Kekhususan Batam dilaksanakan
melalui pembentukan Batam sebagai provinsi
otonomi
khusus
dengan
kewenangankewenangan eksklusif dalam bidang politik dan
pemerintahan, serta pertanahan, kehutanan,

232

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 215-235

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

Kaloh, J., Mencari Bentuk Otonomi Daerah,


(Bandung: Rineka Cipta, 2002).
Kartosapoetra, Masalah Pertanahan di Indonesia.
Rineka Suatu Sistem, (Bandung: RinekaCipta,
Cet. II, 1992).
Kusuma, R.M, A.B, Lahirnya Undang-Undang Dasar
1945, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2004).
Leback, Karen, Teori-teori Keadilan, terjemahan,
(Bandung: Nusa Media, 2012).
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum: Suatu
Pengantar, (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1999).
Riwu kaho, Josep, Analisis Hubungan Pemerintah
Pusat dan Daerah di Indonesia, (Yogyakarta:
Polgov Fisipol UGM, 2012).
Rosidin, Itang, Otonomi Daerah dan Desentralisasi,
(Bandung: Pustaka Setia, 2010).
Sarundajang, S.J., Arus Balik Kekuasaan Pusat ke
Daerah, (Jakarta: Pustka Sinar Harapan, 2002).
Soehino, Bunga Rampai Hukum Tata Negara,
(Yogyakarta: Fakultas Ekonomika dan Bisnis
UGM, 2010).
Sujamto, et.al., Proses Pembuatan Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah (ed. Revisi), (Jakarta:
Bina Aksara, 1985).
Sujamto, et.al., Undang-Undang Nomor 5 tahun
1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
Daerah dan Proses Kelahirannya, (Jakarta: Biro
Hukum dan Humas Sekjen Depdagri, 1977).
Syarifusin, Ateng, Titik Berat Otonomi Daerah
Pada Daerah Tingkat II dan Perkembangannya,
(Bandung: CV Masdar Maju, 1981).
Una, Sayuti, Pergeseran Kekuasaan Pemerintah
Daerah
Menurut
Konstitusi
Indonesia,
(Yogyakarta: UII Press, 2004).

lR
ec
hts
V

ind

yang keluar dari wilayah Propinsi Kepulauan


Riau. Hal ini mengingat pelaksanaan AEC 2015
sudah sangat dekat. Melalui inisiatif Pemerintah
atau DPR RI segara menyusun naskah akademik
dan naskah rancangan Undang-Undang tentang
Pembentukan Pemerintah Propinsi Otonomi
Khusus untuk segera dibahas dan disetujui
menjadi daerah otonomi baru yaitu Pemerintah
Propinsi Otonomi Khusus.
Perencanaan tersebut dilakukan mulai dari
pembahasan tingkat internal Kementerian
Dalam Negeri dengan melibatkan para ahli di
bidang pemerintahan daerah mengenai gagasan
pembentukan provinsi otonomi khusus Batam.
Pembahasan di tingkatan interen Kementerian
Dalam Negeri menghasilkan produk naskah
akademik dan naskah RUU tentang Pembentukan
Provinsi Otonomi Khusus Batam. Setelah
pembahasan di tingkat interen Kementerian
Dalam Negeri tuntas, maka dilanjutkan
dengan pembahasan antar kementerian,
pengharmonisasian di Kementerian Hukum dan
HAM, dan penyampaikan kepada Presiden/DPR
untuk disampaikan kepada DPR/Presiden.

DAFTAR PUSTAKA
Buku

Jur

na

Alexander and Glower, R, W, International


Investment, (London: Penguin Books, 1972).
Assidiqie, Jimly, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam
Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia,
(Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1994).
Assidiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara,
(Jakarta: raja grafindo, 2013).
Harris, Myra, Legal Research, (Jersey: PrenticeHallInc New, 1997).
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Naa, Ilmu Negara
dan Teori Negara, (Bandung: Refika Aditama,
2009).
J. Kartini, Soedjendro, Perjanjian Peralihan Hak
Atas Tanah yang Berpotensi Konflik, (Jakarta:
Kanisius, 2001).

Makalah/Artikel/Hasil penelitian
Atmadja, I Gede, Penafsiran Konstitusi Dalam
Rangka Sosialisasi Hukum: Sisi Pelaksana UUD
1945 secara murni dan konsekuen, Pidato guru
besar dalam bidang Ilmu Hukum Tata Negara
pada Fakultas Hukum Universitas Udayana, (10
April 1996).
Brown, Archie, Asymetrical Devolution: The Scottish
Case, Political Quarterly, (Juli-September 1998,
Vol. 69, Issue 3).
Deloitte Access Economic, The Connected
Archipelago: The role of the Internet in
Indonesias economic development, (Desember
2011).

Urgensi Otonomi Khusus Batam ... (Muhammad Sapta Murti)

233

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

Internet

BP
HN

Thaib, Dahlan, Keistimewaan DIY Perspektif Hukum


Tata Negara, Sarasehan: Format Keistimewaan
Yogyakarta untuk Kesejahteraan Rakyat dan
Kebhinekaan Republik Indonesia kerjasama
UGM dengan Pengurus Daerah KAGAMA
DIY, Yogyakarta, (9-10 Mei 2007), (Tidak
dipublikasikan).

ing

Decentralization Home Page di http://www1.


worldbank.org/wbiep/ decentralization/about.
html (diakses 30 Januari 2014).
How We Work with Civil Society, online document:
http://lnweb18.worldbank.org/ECA/eca.nsf/
Initiatives/A98CDE16184FEDFC85256BD6004F
486F?OpenDcument. (diakses 30 januari 2014).
http://gulfnews.com/ (diakses 24 Januari 2014).
http://megayachts.ru/en/news/view/id/652
(diakses 2 Januari 2014).
http://plato.stanford.edu/entries/sovereignty
(diakses 12 Nopember 2013).
http://www.jimly.com/pemikiran/view/17 (diakses
30 januari 2014).
http://www.ura.gov.sg (diakses 24 Januari 2014).

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

Endi Jawang, Robert, Kritik Terhadap Desentralisasi


Asimetri di Indonesia, Jurnal Analisis CSIS,
Center For Strategic And International Studies,
(Vol. 40, Nomor 2, Juni, 2011).
Ismail,
Nurhasan,
Menempatkan
realitas
Pertanahan Lokal dalam Rancangan UndangUndang Keistimewaan DIY, Makalah Seminar
tentang Sistem Pertanahan di DIY dalam
Kerangka Keistimewaan, diselenggarakan Parwi
Foundation, Yogyakarta, (26 April 2003).
J. Azis, Iwan, Institutional Constraints and Multiple
Equilibria In Decentralization, Jurnal RURDS
Cornell University, (Vol. 20, Nomor 1, March
2008).
Joachim, Wehner, H-G, Asymmetrical Devolution,
Development Southern Africa, (Vol 17, Nomor 2
Juni, 2000).
Joachim, Wehner, H-G, Unsur Keistimewaan
Bidang Pertanahan dan Alternatif Materi dan
Muatannya, disampaikan dalam Diskusi Panel
Ahli I Penyusunan Rancangan Undang-Undang
Keistimewaan Yogyakarta yang diselenggarakan
oleh Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM,
Yogyakarta, (11 Mei 2007), (Tidak dipublikasikan).
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kelautan dan
Perikanan Dalam Angka Tahun 2012, (Jakarta,
2011).
Maria
Sumardjono,
Pokok-Pokok
Pikiran
tentang Keistimewaan Yogyakarta di Bidang
Pertanahan, makalah Sarasehan: Format
Keistimewaan Yogyakarta untuk Kesejahteraan
Rakyat dan Kebhinekaan Republik Indonesia
kerjasama UGM dengan Pengurus Daerah
KAGAMA DIY, Yogyakarta, (9-10 Mei 2007),
(Tidak dipublikasikan).
Meredith, Weiss, The Basque Nationalist
Movement, Paper, (1 November 2002).
Minde, Henry, Sami Land Right In Norway: A Test Case
for Indigenous Peoples, International Journal on
Minority and Group Rights, Netherland, (2001).
Phelps, N. A., Archetype for an archipelago? Batam
as anti-model and model of industrialization
in reformasi Indonesia, School of Geography,
University of Southampton, UK, Progress in
Development Studies (Vol. 4, Nomor 3, July,
2004).
Pratikno, dkk, Desentralisasi Asimetri di Indonesia:
Praktek dan Proyeksi, hasil penelitian Jurusan
Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, (2010).

234

Peraturan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang
tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan,
Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir,
Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten
Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota
Batam.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2000 tentang Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas.
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 tentang
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas Batam.

Keputusan Presiden Nomor 65 Tahun 1970


tentang Pelaksanaan Proyek Pembangunan
Pulau Batam.

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 215-235

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor


43 Tahun 1977 tentang Pengelolaan dan
Penggunaan Tanah di Daerah Industri Pulau
Batam.

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

ing

Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 1971


tentang Pengembangan Pembangunan
PulauBatam.
Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973
tentang Daerah Industri Batam.

Urgensi Otonomi Khusus Batam ... (Muhammad Sapta Murti)

235

lR
ec
hts
V

ind

ing

BP
HN

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

Jur

na

Halaman ini dikosongkan

236

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 215-235

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

MENUJU ASEAN POLITICAL AND SECURITY COMMUNITY:


KRITIK DAN TANTANGAN POLITIK HUKUM HAM INDONESIA
DALAM REGIONALISME HAM ASEAN

(Towards ASEAN Political and Security Community: Critics and Challenges on Indonesias Human
Rights Law Politics Under Asean Human Rights Regionalism)
Harison Citrawan

Badan Penelitian dan Pengembangan HAM, Kementerian Hukum dan HAM


Email: h.citrawan@hotmail.com

ing

Naskah diterima: 4 Juli 2014; revisi: 29 Agustus 2014; disetujui: 29 Agustus 2014

lR
ec
hts
V

ind

Abstrak
Tulisan ini mencoba menganalisis regionalisme hak asasi manusia (HAM) di kawasan Asia Tenggara dari sudut pandang
politik hukum HAM Indonesia. Secara khusus, analisis akan dilakukan pada bagaimana peluang dan tantangan politik
hukum HAM nasional dalam mewujudkan mekanisme perlindungan HAM regional, serta bagaimana gambaran interaksi
ideal antara mekanisme perlindungan HAM di tingkat regional dengan nasional. Menggunakan pendekatan analisis rezim
dan dipadukan dengan konsep kepatuhan hukum, tulisan ini mengajukan proposisi bahwa regionalisme HAM dalam
kerangka kerja ASEAN akan sia-sia apabila tidak diikuti dengan tingkat kepatuhan hukum (legal compliance) negara-negara
anggota ASEAN terhadap norma dan prinsip HAM di tingkat domestik. Dalam konteks politik hukum HAM nasional, terdapat
setidaknya tiga dimensi tantangan yang perlu diperhatikan dalam masa mendatang yang meliputi: desentralisasi, diskursus
militer-HAM, dan skeptisisme terhadap hukum HAM internasional. Tulisan ini menyimpulkan bahwa terdapat kebutuhan
akan harmoni dalam reposisi politik hukum HAM baik di tingkat nasional dan regional, agar norma yang telah disepakati
pada tingkat internasional dapat diimplementasikan dan diterjemahkan di tingkat regional, dan yang lebih penting lagi
ialah agar regionalisme HAM ASEAN dapat memberi pengaruh terhadap domestikasi nilai dan prinsip HAM di Indonesia.
Kata Kunci: regionalisme, politik hukum, hak asasi manusia

Jur

na

Abstract
This paper attempts to analyze human rights regionalism in ASEAN from Indonesias national human rights politics
perspective. In particular, an analysis will be taken on challenges and opportunities of the national human rights politics
in establishing a stronger regional human rights mechanism, and how an ideal interaction between regional and national
human rights mechanisms should be drawn. Using regime analysis approach and combined with legal compliance concept,
this paper proposes that ASEAN human rights regime would be superfluous if it is not followed by member states legal
compliance upon human rights norms and principle in domestic level. In the context of national human rights politics,
there are at least three challenging dimensions that ought to be considered in the future, namely: decentralization, human
rights-military discourse, and international human rights law skepticism. This paper thus concludes that there is a need to
harmonize the human rights politics in both national and regional level, so that any internationally accepted norms will be
implemented and applied into ASEAN human rights regionalism, and equally important is to ensure that such a regionalism
is capable in influencing human rights values and principles domestication in Indonesia.
Keywords: regionalism, legal politics, human rights

Menuju Asean Political and Security Community ... (Harison Citrawan)

237

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

lR
ec
hts
V

ind

Salah satu pokok tema dalam gagasan


pembentukan ASEAN Political and Security
Community (APSC) pada tahun 2015 adalah
memastikan bekerjanya sebuah rezim hak asasi
manusia dalam kerangka kerja ASEAN.1 Secara
eksplisit, disebutkan dalam APSC blueprint
bahwa negara-negara ASEAN sepakat untuk:
promote political development in adherence
to the principle of democracy, the rule of
law and good governance, respect for and
promotion and protection of human rights and
fundamental freedoms as inscribe in the ASEAN
Charter. Komitmen tersebut secara eksplisit
mengasumsikan bahwa prinsip demokrasi,
supremasi hukum dan HAM menjadi landasan
dan prioritas ASEAN sebagai sebuah organisasi
regional.2 Lebih lanjut, perlu dipahami bahwa
komitmen terkait tersebut perlu diposisikan
sebagai bagian dari kerangka besar APSC yang
memiliki tiga karakteristik kunci, meliputi:3
Pertama, A Rules-based Community of shared
values and norms; Kedua, A Cohesive, Peaceful,
Stable and Resilient Region with shared
responsibility for comprehensive security;
ketiga, A Dynamic and Outward-looking Region
in an increasingly integrated and nterdependent
world.

ASEAN dari sudut pandang politik hukum HAM


Indonesia. Secara khusus, analisis akan dilakukan
pada bagaimana peluang dan tantangan politik
hukum HAM nasional dalam mewujudkan
mekanisme perlindungan ham regional, serta
bagaimana interaksi ideal antara mekanisme
perlindungan ham di tingkat regional dengan
nasional. Menggunakan regime analysis dan
dipadukan dengan konsep kepatuhan hukum
(legal compliance), tulisan ini mengajukan
proposisi bahwa rezim regionalisme HAM di
ASEAN akan sia-sia apabila tidak diikuti dengan
tingkat kepatuhan hukum (legal compliance)
negara-negara anggota ASEAN terhadap norma
dan prinsip HAM pada tingkat domestik. Kesiasiaan tersebut dapat diidentifikasi sebagai
tantangan pada masa mendatang, secara
khusus tentang apakah regionalisme HAM
dalam kerangka APSC dapat memengaruhi
(dan pada derajat tertentu menekan) tingkat
domestifikasi nilai-nilai HAM yang disepakati
pada tingkat regional.
Adapun tulisan ini pertama-tama akan
mendeskripsikan regionalisme perlindungan
HAM sebagai sebuah tren komunitas
internasional, dimana tujuan dan efektivitas kerja
regionalisme tersebut, yang selalu didasarkan
pada sebuah landasan hukum (misalnya dalam
bentuk perjanjian internasional), selalu dapat
diperdebatkan pada tataran praksis hubungan
internasional. Perhatian khusus pada deskripsi

ing

A. Pendahuluan

na

Dalam konteks tersebut, tulisan ini mencoba


menganalisis regionalisme HAM di dalam

Rezim dalam hal ini didefinisikan sebagai networks of rules, norms, and procedures that regularize behavior and
control its effects. Lihat Keohane, R. and Joseph S. Nye. Power and Interdependence: World Politics in Transition
(Boston: Little, Brown, 1977), hlm. 19.
2
Lihat Robin Ramcharan, ASEANs Human Rights Commission: Policy Considerations for Enhancing Its Capacity to
Protect Human Rights, UCL Human Rights Review (Vol.3, 2010 ): 199-235. Secara khusus, Ramcharan berpendapat
bahwa perhatian terhadap isu hak asasi manusia dan kemanusiaan lebih bersifat indirect ketimbang direct
dari kerangka besar ASEAN yang memiliki sudut pandang pada keamanan dan perdamaian regional (hlm. 199).
3
ASEAN Secretariat, ASEAN Political-Security Community Blueprint, (Jakarta: ASEAN Secretariat, June 2009),
paragraf 10.

Jur

238

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 237-254

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

regionalisme HAM ASEAN dapat memengaruhi


domestikasi dan kepatuhan (compliance) HAM
di Indonesia, dan di sisi lain, bagaimana politik
hukum HAM Indonesia perlu disiapkan dalam
menghadapi dan mewarnai mekanisme HAM
dalam kerangka kerja ASEAN.

C. Pembahasan

HAM

Asia

ing

1. Menuju Regionalisme
Tenggara

Paska Perang Dunia Kedua, perkembangan


normativitas HAM bergerak dalam tiga
lapisan, yakni pada tingkat internasional,
regional, maupun nasional. Pada tingkat
internasional,
proliferasi
pembentukan
perjanjian HAM internasional serta organ-organ
untuk memastikan pelaksanaan perjanjian
tersebut nampak menjadi tren yang dominan
dalam hubungan internasional, secara khusus
dalam ruang lingkup Perserikatan BangsaBangsa. Pada tingkatan regional, proliferasi di
atas juga ditemukan dalam praktik berbagai
region negara-negara di beberapa belahan
dunia, misalnya negara-negara Eropa di bawah
wewenang Council of Europe membentuk
European Convention of Human Rights
pada tahun 1953, atau negara-negara yang
tergabung dalam Organization of African Unity
menyepakati diterbitkannya African Charter on
Human dan Peoples Rights pada tahun 1987.
Sedangkan pada tingkat nasional, negara-negara
mulai memasukkan HAM dalam konstitusi
maupun peraturan-peraturan lainnya, serta
membentuk beragam organ untuk menjamin
dan mempromosikan perlindungan dan
pemenuhan HAM pada tingkat domestik.
Secara khusus pada tingkat regional,
mekanisme perlindungan HAM di tingkat
kawasan tersebut pada prinsipnya bersifat
independen dari mekanisme internasional

lR
ec
hts
V

ind

tersebut akan difokuskan pada problematika


panjang pembentukan mekanisme regional
HAM ASEAN. Selanjutnya, penulis akan
mencoba
menggambarkan
bagaimana
kesiapan politik hukum HAM Indonesia dalam
menghadapi regionalisme HAM dalam konteks
APSC. Terakhir, tulisan ini mencoba untuk
menerapkan analisis rezim agar memperoleh
gambaran tentang peluang Negara Indonesia
dalam upaya memastikan perlindungan HAM
dalam regionalisme HAM di ASEAN.
Berangkat dari deskripsi pendahuluan
tersebut, tulisan ini merumuskan pertanyaan
utama yakni: Bagaimana kesiapan politik hukum
HAM Indonesia terhadap regionalisasi HAM
di kawasan Asia Tenggara, serta bagaimana
kritik mekanisme regional HAM dalam ASEAN
Intergovernmental Commission on Human
Rights (AICHR) agar dapat berfungsi secara
efektif dalam melindungi HAM di kawasan Asia
Tenggara?

B. Metode Penelitian

Jur

na

Tulisan ini merupakan studi kualitatif dengan


pengumpulan data melalui studi literatur,
meliputi: sumber-sumber hukum baik nasional
dan internasional, serta berbagai tulisan yang
mendiskusikan tentang tiga hal pokok, yakni:
ASEAN, regionalisme HAM, serta politik HAM
Indonesia. Ketiga isu tersebut dipadukan
untuk kemudian dianalisis dengan dua jalur
(tracks) pemikiran yaitu: pertama, analisis
deskriptif mekanisme HAM regional ASEAN
dan kritik terhadap efektivitas mekanisme
regional tersebut melalui analisis rezim secara
institusional; dan kedua, analisis deskriptif
politik hukum HAM Indonesia dan tantangan
terhadap regionalisme HAM ASEAN. Kedua
jalur pemikiran tersebut kemudian dihimpun ke
dalam sebuah formula bagaimana di satu sisi,

Menuju Asean Political and Security Community ... (Harison Citrawan)

239

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

of establishing regional and sub-regional


arrangements for the promotion and
protection of human rights where they do not
already exist.5

ing

Dari Deklarasi tersebut, telah tersurat


bahwa regional arrangements perlu diposisikan
sebagai bentuk reinforcement atau penguatan
standar HAM universal yang tertuang dalam
berbagai instrumen HAM internasional.6
Pada tataran praktis, regionalisme HAM
nampaknya menjadi pilihan negara-negara
dengan dasar kesamaan kultur, ekonomi,
politik, serta yang paling nyata kedekatan
geografis. Dasar kesamaan tersebut dapat
diasumsikan akan memudahkan negara-negara
dalam sebuah kawasan untuk sepakat dalam
pembentukan regionalisme HAM, serta secara
politis, akan lebih mudah dalam melakukan
koordinasi kebijakan terkait perlindungan dan
promosi HAM.7 Selain itu, faktor kedekatan
antar negara akan membuat akses penegakan
HAM seyogyanya menjadi lebih mudah. Secara
umum, gambaran tentang alasan negara-negara
dalam membentuk mekanisme regional HAM
dapat dirumuskan sebagai berikut:

ind

yang berlaku di PBB.4 Hal ini sangat beralasan


mengingat Piagam PBB tidak secara eksplisit
menyebutkan adanya kemungkinan pem
bentukan mekanisme perlindungan HAM
regional. Namun demikian, seluruh mekanisme
perlindungan HAM regional yang ada selalu
mengacu pada norma yang telah disepakati pada
tingkat internasional dan diinisasi oleh kerangka
kerja PBB, terutama Universal Declaration of
Human Rights. Dengan demikian, regionalisme
HAM, untuk menyebut upaya perlindungan
HAM pada tingkat regional, dapat diasumsikan
bersifat independen namun secara metodologis
tidak dapat terlepas dari keberlakuan norma
pada tingkat internasional (khususnya yang
diterbitkan oleh PBB). Secara lebih spesifik,
dorongan untuk regionalisme HAM juga tersurat
dalam Vienna Declaration and Programme of
Action 1993 yang menyatakan bahwa:

lR
ec
hts
V

Regional arrangements play a fundamental


role in promoting and protecting human
rights. They should reinforce universal
human rights standards, as contained in
international human rights instruments,
and their protection. The World Conference
on Human Rights endorses efforts under
way to strengthen these arrangements
and to increase their effectiveness, while at
the same time stressing the importance of
cooperation with the United Nations human
rights activities.

na

The World Conference on Human Rights


reiterates the need to consider the possibility

(i) the existence of geographic, historical, and


cultural bonds among States of a particular
region; (ii) the fact that recommendations of
a regional organization may meet with less
resistance than those of a global body; (iii)
the likelihood that publicity about human
rights will be wider and more effective;

Pammela Quinn Saunders, The Integrated Enforcement of Human Rights, International Law and Politics,
(Vol.45:97, 2012): 109-113.
5
Paragraf 37, Vienna Declaration and Programme of Action (diadopsi dalam the World Conference on Human
Rights, Vienna 25 Juni 1993).
6
Sebagai tambahan, Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1977 juga sebenarnya sudah
mendorong bahwa, States in areas where regional arrangements in the field of human rights do not yet exist to
consider agreements with machinery for the promotion and protection of human rights. (GA Res. 32/127, 1977).
7
Fekadeselassie F. Kidanemariam, Enforcement of Human Rights under Regional Mechanisms: a Comparative
Analysis, LLM Theses and Essays. Paper 80. (2006), hlm.6, http://digitalcommons.law.uga.edu/stu_llm/80
(diakses pada 27 Agustus 2014). LLM Theses and Essays. Paper 80.

Jur

240

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 237-254

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

Berangkat dari observasi tersebut, dapat


dipahami bahwa pada masa awal pembentukan
mekanisme HAM regional Asia Tenggara, politik
hukum HAM Indonesia pada prinsipnya sudah
mengarah pada model perlindungan HAM
yang maju secara institusional dalam konteks
kawasan.
Upaya regionalisme HAM di bawah kerangka
kerja ASEAN mencapai hasil yang signifikan
ketika ASEAN Intergovernmental Commission
on Human Rights (AICHR) terbentuk pada
tahun 2009, yang kemudian Komisi ini berhasil
merampungkan Deklarasi Hak Asasi Manusia
ASEAN pada pertengahan tahun 2012.12 Adapun
Deklarasi tersebut diadopsi oleh para kepala
negara-negara ASEAN di Phnom Penh, Kamboja,
pada 18 November 2012. Upaya regionalisme
HAM tersebut merupakan salah satu langkah
aksi bidang promosi dan perlindungan HAM
yang tersurat dalam APSC blueprint, yang
meliputi:
a. Establish an ASEAN human rights body
through the completion of its Terms of

lR
ec
hts
V

ind

Secara khusus di kawasan Asia Tenggara, tren


upaya pembentukan mekanisme perlindungan
HAM di tingkat regional juga dapat ditemukan
setidaknya dalam lebih dari dua dekade
terakhir. Konsultasi antar negara-negara
ASEAN tentang isu HAM dimulai sejak bulan
Juli 1993 dalam sebuah Joint Communiqu,
yang menyepakati bahwa ASEAN should
consider the establishment of an appropriate
regional mechanism on human rights.9 Adapun
perjalanan panjang pembentukan mekanisme
regional HAM di kawasan Asia Tenggara dapat
diasumsikan karena tingginya keragaman antar
negara-negara di kawasan, baik secara politis,
kultur, maupun ekonomi. Keragaman ini secara
langsung mengakibatkan perbedaan cara
pandang antar negara terhadap kewajiban untuk
melindungi HAM, dimana pada derajat tertentu,
perbedaan ini menimbulkan resistensi negaranegara tertentu terhadap ancaman intervensi
mekanisme regional dalam isu HAM.10 Dalam
kaitannya dengan fenomena tersebut, Tommy
Koh mengobservasi bahwa:

and Thailand have national Human Rights


Institutions and champion human rights;
Cambodia, Lao Peoples Democratic Republic
(Lao), Myanmar and Vietnam are not
enthusiastic; and Brunei and Singapore are
not in either camp but try to bridge the gap
between the two.11

ing

(iv) the fact that there is less possibility of


general, compromise formulae, which in
global bodies are more likely to be based on
considerations of a political nature.8

na

The ASEAN member states are divided


into three groups on the issue of human
rights: Indonesia, Malaysia, the Philippines

Jur

10

Commission to Study the Organization of Peace. 1980. Regional Promotion and Protection of Human Rights.
Twety-Eighth Report of the Commission to Study the Organization of Peace, hlm. 15.
Joint Communique of the 26th ASEAN Ministerial Meeting, Singapura, 23-24 Juli 1993, paragraf 16-18.
Sebagai contoh: Lihat Suzannah Linton, ASEAN States, Their Reservations to Human Rights Treaties and the
Proposed ASEAN Commission on Women and Children, Human Rights Quarterly 30 (2008): 436493, The Johns
Hopkins University Press.
S. Petcharamesree, The Human Rights Body: A Test for Democracy Building in ASEAN (Stockholm: International
Institute for Democracy and Electoral Assistance, 2009): 4.
Pasal 4.2 Terms of Reference the ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights menyebutkan bahwa,
mandat Komisi untuk membentuk Deklarasi HAM ASEAN dengan pandangan untuk membangun kerangka kerja
untuk kerjasama hak asasi manusia melalui berbagai konvensi ASEAN dan instrumen terkait hak asasi manusia.

11
12

Menuju Asean Political and Security Community ... (Harison Citrawan)

241

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

e.

f.
g.

BP
HN

Berdasarkan paparan historis regionalisme


HAM di Asia Tenggara di atas, dapat diasumsikan
bahwa secara ideal, harus terdapat harmoni dan
kesinkronan antara mekanisme perlindungan
HAM di tingkat internasional, regional, dan
nasional. Penulis bahkan berpendapat bahwa
norma dan nilai HAM yang disepakati di tingkat
internasional (dalam hal ini baik mekanisme
berbasis treaty maupun charter) perlu
diimplementasikan ke dalam norma dan standar
di tingkat domestik, sehingga tercipta kerangka
perlindungan HAM yang linier dan bersifat
universal.13 Walaupun patut dipahami pula
bahwa, dalam temuan kuantitatif Neumayer,
perjanjian HAM pada tingkat internasional tidak
dapat serta-merta dapat dikatakan memperbaiki
penghormatan terhadap HAM suatu negara.14
Lebih lanjut, Neumayer berpendapat bahwa:

ing

d.

2. Politik Hukum HAM Nasional dalam


Rezim HAM Regional

ind

c.

commission on the promotion and protection


of the rights of women and children.

lR
ec
hts
V

b.

Reference (ToR) by 2009 and encourage


cooperation between it and existing human
rights mechanisms, as well as with other
relevant international organizations;
Complete a stock-take of existing human
rights mechanisms and equivalent bodies,
including sectoral bodies promoting the
rights of women and children by 2009;
Cooperate closely with efforts of the sectoral
bodies in the development of an ASEAN
instrument on the protection and promotion
of the rights of migrant workers;
Strengthen interaction between the network
of existing human rights mechanisms as well
as other civil society organisations, with
relevant ASEAN sectoral bodies;
Enhance/conduct exchange of information
in the field of human rights among ASEAN
countries in order to promote and protect
human rights and fundamental freedoms
of peoples in accordance with the ASEAN
Charter and the Charter of the United
Nations, and the Universal Declaration of
Human Rights and the Vienna Declaration
and Programme of Action;
Promote education and public awareness on
human rights; and
Cooperate closely with efforts of the sectoral
bodies in the establishment of an ASEAN

On the one hand, in the absence of civil society


and/or in pure autocracies, human rights
treaty ratification often makes no difference
and can even make things worse. .. [t]reaty
ratification often becomes more beneficial
to human rights the more democratic the
country is. In addition, we also find evidence

Terkait dengan argumen tersebut, pada tataran teoretis Moravcsik menulis Establishing an international human
rights regime is an act of political delegation akin to establishing a domestic court or administrativeagency. From
a republican liberal perspective one related to institutional variants of democratic peace theory as well
as to the analysis of two-level games and public-choice theories of delegationcreating a quasi-independent
judicial body is a tactic used by governments to lock in and consolidate democratic institutions, thereby enhancing
their credibility and stability vis-a`-vis nondemocratic political threats. In sum, governments turn to international
enforcement when an international commitment effectively enforces the policy preferences of a particular
government at a particular point in time against future domestic political alternatives. Andrew Moravcsik, The
Origins of Human Rights Regimes: Democratic Delegation in Postwar Europe, International Organization (54, 2,
2000): 220..
14
Lihat Eric Neumayer, Do International Human Rights Treaties Improve Respect for Human Rights? London: LSE
Research Online, http://eprints.lse.ac.uk/archive/00000612, (diakses 24 Juni 2014).

Jur

na

13

242

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 237-254

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

na

lR
ec
hts
V

ind

Mengingat terdapat berbagai faktor


yang memengaruhi relasi antara mekanisme
perlidungan HAM internasional dan regional
terhadap tingkat perlindungan HAM domestik,
pada bagian ini penulis mencoba menerangkan
bagaimana politik hukum HAM Indonesia
seyogyanya berinter-relasi dengan regionalisme
HAM ASEAN. Berangkat dari logika demikian,
maka politik hukum HAM di Indonesia
patut disiapkan dalam rangka memastikan
berfungsinya rezim HAM regional ASEAN.
Secara normatif, politik HAM Pemerintah
Indonesia telah digariskan dalam Rencana Aksi
Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) yang
telah berjalan selama tiga fase lima tahunan
sejak tahun 1998.16 Secara umum, terdapat
beberapa program umum yang terdapat
dalam tiap fase RANHAM, yang meliputi: (i)
pembentukan panitia daerah dan pusat sebagai
pelaksana rencana aksi, (ii) pendidikan HAM,
(iii) ratifikasi perjanjian internasional, dan (iv)
penerapan norma dan standar HAM. Pada
tiap fase, perjalanan politik HAM nasional
tersebut tidak selalu berjalan dengan mulus
mengingat berbagai faktor yang memengaruhi
pelaksanannya. Adapun persoalan utama yang
kerap menjadi kendala dalam pelaksanaan

program lima tahunan ini ialah pemahaman


aparatur negara terkait tugas negara dalam
melindungi dan memenuhi HAM.17 Fenomena
tersebut menggambarkan pada kita bahwa
trek birokratisasi RANHAM, dalam pengertian
bahwa pelaksanaan rencana aksi dititikberatkan
oleh aparatur negara, belum berjalan dengan
maksimal.18
Dalam
konteks
tersebut,
terdapat
setidaknya tiga dimensi tantangan politik
hukum HAM nasional Indonesia, yang meliputi:
desentralisasi, militer, dan kerancuan penerapan
hukum internasional.
Pada
dimensi
pertama,
kebijakan
desentralisasi yang berlaku saat ini belum
menemukan formasi yang ideal, khususnya
dalam rangka perlindungan HAM. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, jalur penghubung
antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah diletakkan dalam bagian kewenangan
Kementerian Dalam Negeri. Adapun Menteri
Dalam Negeri dalam hal ini memiliki peran
dalam pembinaan dan pengawasan pelaksanaan
pemerintahan daerah, serta mengemban
berbagai kewenangan terkait pengangkatan dan
pemberhentian kepala daerah, pengawasan
rancangan peraturan daerah dan peraturan
daerah, dan lain sebagainya.19 Namun dalam

ing

that ratification is more beneficial the


stronger a countrys civil society.15

Ibid, hlm. 33.


Adapun dasar hukum pelaksanaan rencana aksi di tiga fase tersebut meliputi: Keputusan Presiden Nomor 129
Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia yang kemudian diubah ke dalam Keputusan
Presiden Nomor 61 Tahun 2003, Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak
Asasi Manusia Tahun 2004-2009, Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Hak
Asasi Manusia Tahun 2011-2014.
17
Lihat Penjelasan Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia.
18
Evaluasi Bersama Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia tahun 2011-2014 oleh Badan Litbang
HAM dan Direktorat Jenderal HAM tahun 2013 (tidak dipublikasikan).
19
Lihat Pasal 222 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
15

Jur

16

Menuju Asean Political and Security Community ... (Harison Citrawan)

243

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

universal, keadilan, dan kesetaraan dalam HAM.


Fenomena tersebut tentu dapat mengancam
perlindungan HAM yang universal, selain juga
memberikan potensi bagi terbitnya peraturan
dan kebijakan masing-masing daerah yang
diskriminatif. Sifat diskriminatif dalam hal ini
mengacu pada semangat memunculkan nilai
kedaerahan tertentu yang berpotensi bertolakbelakang dengan nilai masyarakat di daerah
lainnya.21
Pada prinsipnya, mekanisme RANHAM
merupakan sebuah forum yang dapat
menjembatani antara amanat Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dengan amanat perlindungan HAM
dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia. Secara lebih
spesifik, mekanisme RANHAM seyogyanya dapat
mengatasi kemunculan partikularisme yang
dapat mengancam mekanisme perlindungan
HAM yang universal di seluruh Indonesia.
Sejalan dengan Deklarasi Wina 1993, maka
while the significance of national and regional
particularities and various historical, cultural and
religious backgrounds must be borne in mind,
negara tetap dalam posisi pengemban kewajiban
untuk mempromosikan dan melindungi HAM
dan kebebasan fundamental terlepas dari
sistem politik, ekonomi, dan kulturalnya. Apabila
diterapkan dalam mekanisme RANHAM saat ini,
maka norma universalitas HAM tersebut harus

na

lR
ec
hts
V

ind

mekanisme pelaksanaan RANHAM, Kementerian


Dalam Negeri tidak berada pada posisi strategis
yang dapat membuat (to impose) kebijakan agar
lebih dapat secara efektif dilaksanakan oleh
pemerintah daerah.20 Data kualitatif evaluasi
yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa
tingkat kepatuhan Panitia RANHAM Daerah
akan lebih berpengaruh apabila perintah atau
direktif tentang RANHAM (dalam bentuk
pedoman, petunjuk, permohonan, atau saran)
diterbitkan oleh Kementerian Dalam Negeri
ketimbang Kementerian Hukum dan HAM.
Adapun dalam tataran praktik, direktif tentang
pelaksanaan RANHAM dari Kementerian Hukum
dan HAM, dalam hal ini Direktorat Jenderal Hak
Asasi Manusia, pada umumnya hanya berlaku
secara efektif terhadap kegiatan Kantor Wilayah
Kementerian Hukum dan HAM, sebagai instansi
vertikal Kementerian Hukum dan HAM yang ada
di masing-masing provinsi.
Mekanisme RANHAM yang sejalan dengan
politik desentralisasi memberi dampak pula
terhadap kemunculan tuntutan perlindungan
nilai-nilai lokal pada masing-masing daerah.
Tuntutan perlindungan nilai tersebut juga
pada derajat tertentu menghendaki adanya
pengesampingan terhadap hukum yang berlaku
nasional oleh hukum adat setempat. Selain itu,
dalam bungkus perlindungan nilai-nilai lokal,
eksklusivitas antar daerah menjadi muncul
ke permukaan sehingga menafikkan prinsip

Dalam kerangka kerja RANHAM, Peraturan Bersama Menkumham dan Mendagri Nomor 20/77 Tahun 2012
tentang Parameter Hak Asasi Manusia dalam Pembentukan Produk Hukum Daerah pada prinsipnya merupakan
landasan hukum yang kuat dalam menciptakan peraturan daerah yang sesuai dengan norma dan prinsip HAM.
Namun demikian, dalam beberapa kesempatan wawancara penulis dengan aparatur pemerintahan daerah,
Peraturan Bersama tersebut belum tersosialisasikan dengan baik. Selain itu, penulis berpendapat bahwa belum
terdapat mekanisme memaksa dari keberlakuan Peraturan Bersama tersebut, yang membuat koordinasi antar
para pembuat kebijakan menjadi lemah.
21
Fenomena tersebut paling mencolok dapat ditemukan dalam berbagai peraturan daerah yang bernuansa agama.

Jur

20

244

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 237-254

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

cerminan perlindungan dan penegakan hukum


HAM yang efektif, mengingat salah satu pihak
yang menjadi sorotan utama sebagai aktor
dalam pelanggaran HAM di Indonesia ialah
aparat militer. Laporan yang diterbitkan oleh
Komisi Nasional HAM misalnya, menyatakan
bahwa pihak militer bertanggungjawab
terhadap peristiwa penculikan aktivis Mei
tahun 1998.22 Bahkan pada tahun 2013,
peristiwa penembakan tahanan di Lapas Kelas
IIA Yogyakarta oleh para anggota Koppasus
mengisyaratkan terdapat personel militer
yang belum sepenuhnya tanggap terhadap
HAM.23 Perlu diakui bahwa pembenahan secara
institusional di tubuh militer belum sepenuhnya
dapat mengubah citra dan relasi politik militer
dengan sipil. Studi yang dilakukan oleh Marcus
Mietzner mengungkapkan gambaran reformasi
sektor keamanan pada generasi kedua sebagai
berikut:

lR
ec
hts
V

ind

mengalir dari Panitia RANHAM nasional ke


tingkat daerah. Dengan demikian, kemunculan
partikularitas dalam kerangka desentralisasi
dapat diatasi melalui norma panduan (guiding
norms) yang diterbitkan oleh pemerintah pusat
untuk kemudian diikuti oleh pemerintah daerah.
Berangkat dari argumentasi tersebut, tulisan
ini menyimpulkan bahwa pada dimensi pertama
ini terdapat sebuah missing link mekanisme
kerja Panitia RANHAM baik dari tingkat nasional
sampai pada tingkat provinsi dan kabupaten/
kota. Dengan demikian, upaya penyesuaian
mekanisme kerja Panitia RANHAM dengan
mekanisme
desentralisasi
pemerintahan
daerah justru menjadi salah satu kendala dalam
pelaksanaan program yang tertera dalam
kebijakan hukum tentang RANHAM.
Pada dimensi kedua, upaya reformasi sektor
keamanan (RSK) yang belum menghasilkan

Tabel 1. Second-Generation Reforms and Their Status in Indonesia24

Jur

na

Reform
Status
Full government and parliamentary control over
Practice of partial military self-financing continues
military budget
State auditors authority to scrutinize military
Effective auditing of military expenditure
budgets still very limited
Regular, interagency reassessment of threat situation Threat assessment and force structure
and military structure
determined by military elite
Public perception of impunity for military
Transparent, credible military court system
personnel persists
Professional, multi-layered procurement
Network of military-connected agents still dominant;
process of military equipment
corruption rampant
Gradually improving, but remains dependant on the
Full adherence of the military bureaucracy
loyalty of individual officers
to executive decisions
to the president
Existence of vibrant civilian defense community
Expanding, but often lacking resources

Lihat Wacana HAM Edisi II/Tahun XI/2013, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Rilis liputan terkait berita ini dapat dilihat pada lama resmi Kompas http://lipsus.kompas.com/
topikpilihanlist/2410 (diakses 28 Agustus 2014).
24
Marcus Mietzner, The Politics of Military Reform in Post-Suharto Indonesia: Elite Conflict, Nationalism, and
Institutional Resistance, (Washington: East-West Center, 2006), hlm. 63.
22
23

Menuju Asean Political and Security Community ... (Harison Citrawan)

245

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

lR
ec
hts
V

ind

[...] mindsets for civilian control are still not


deeply rooted in Indonesias democratic
institutions, especially the parliament
(DPR). The foremost obstacle in this regard
is apathy, the unwillingness to develop
expertise on defense matters, and the
hesitation of many parliament members to
carry out their constitutional resposibilites
(Anggoro, 2002, pp. 1-22). The disregard of
defense and military affairs by legislators
is apparent in many cases, including their
reluctance to participate in public discussions
on defense and military issues coupled with
a presumption that military expertise is
the precondition to participate in defense
policymaking.25

manusia Negara Indonesia mencerminkan


sebuah gambaran tentang pilihan politik
Pemerintah Indonesia yang cenderung
masih sangat berhati-hati dalam mengadopsi
mekanisme intervensi HAM internasional
(Tabel 2). Fenomena tersebut dapat dilihat dari
absennya Negara Indonesia dalam perjanjian
internasional yang memberikan otorisasi
penegakan oleh lembaga judisial dan semijudisial, seperti: Protokol Pertama Opsional untuk
Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang
mengoperasionalkan Komite Hak Asasi Manusia,
Protokol Opsional untuk Kovenan Internasional
Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang memberi
kewenangan pada Komite Hak Ekonomi, Sosial,
dan Budaya, Protokol Opsional untuk Konvensi
Anti Penyiksaan yang melandasi beroperasinya
Sub-Komite pemantau penyiksaan, dan Statuta
Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional
(lihat Tabel 3).
Daftar instrumen yang secara substansial
mengoperasionalkan mekanisme intervensi
semi-judisial di atas sesungguhnya sudah
masuk ke dalam politik HAM pemerintah
melalui program utama RANHAM. Namun,
fakta bahwa sampai pada saat sekarang Negara
Indonesia belum menjadi negara peserta
mengisyaratkan bahwa secara politis, resistensi
terhadap intervensi asing terkait pelaksanaan
perindungan HAM domestik masih tinggi.
Ketiga dimensi tersebut merupakan
sekelumit tantangan bagi politik HAM Indonesia
tentang kesiapannya dalam kerangka kerja
regionalisme HAM ASEAN. Ketiga dimensi
tersebut perlu menjadi sorotan Indonesia

ing

Selain reformasi sektor keamanan pada


struktur dan personel militer yang belum
menunjukkan hasil yang maksimal, perspektif
institusi politik terhadap kekuatan militer
masih belum banyak bergerak dari perspektif
terdahulu yang sudah lama tertanam dalam
infrasturktur politik negara. Leonard Sebastian
dan Iisgindarsah menjelaskan bahwa:

Jur

na

Dari kondisi demikian, maka politik hukum


HAM Indonesia dapat dikatakan masih berada
dalam bayang-bayang hegemoni militer, yang
oleh sebab itu mengakibatkan beberapa hal,
meliputi: pertama, pertanggungjawaban pidana
pelanggaran berat HAM pada masa lalu masih
akan menemukan jalan buntu; kedua, resistensi
politik hukum HAM nasional terhadap intervensi
mekanisme pemantauan internasional masih
bertahan; dan ketiga, hambatan terhadap
integrasi nilai dan prinsip HAM ke dalam praksis
militer.
Selanjutnya pada dimensi ketiga, daftar
ratifikasi instrumen internasional hak asasi

Leonard C. Sebastian dan Iisgindarsah, Taking Stock of Military Reform in Indonesia, dalam J. Rland et al. (eds.),
The Politics of Military Reform, Global Power Shift, (Heidelberg: Springer-Verlag Berlin Heidelberg, 2013).

25

246

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 237-254

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

Treaty Description

BP
HN

Tabel 2. Status Ratifikasi Instrumen Hak Asasi Manusia Republik Indonesia26


Signature
Date

Treaty Name
CAT

CAT-OP
CCPR

23 Oct
1985

CED

23 Feb 2006 (a)

27 Sep
2010

CEDAW

29 Jul 1980 13 Sep 1984

CERD

25 Jun 1999 (a)

CESCR

22 Sep
2004
26 Jan 1990
24 Sep
2001
24 Sep
2001
30 Mar
2007

23 Feb 2006 (a)

CMW

ind

lR
ec
hts
V

Convention on the Rights of Persons with Disabilities

28 Oct 1998

CCPR-OP2-DP

ing

Convention against Torture and Other Cruel Inhuman or Degrading


Treatment or Punishment
Optional Protocol of the Convention against Torture
International Covenant on Civil and Political Rights
Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and
Political Rights aiming to the abolition of the death penalty
Convention for the Protection of All Persons from Enforced
Disappearance
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against
Women
International Convention on the Elimination of All Forms of Racial
Discrimination
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant
Workers and Members of Their Families
Convention on the Rights of the Child
Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the
involvement of children in armed conflict
Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the
sale of children child prostitution and child pornography

Ratification Date,
Accession(a),
Succession(d)
Date

CRC

CRC-OP-AC
CRC-OP-SC
CRPD

31 May 2012
05 Sep 1990
24 Sep 2012
24 Sep 2012
30 Nov 2011

Tabel 3. Status penerimaan Republik Indonesia terhadap prosedur individual complaints27


Treaty Description

Jur

na

Individual complaints procedure under the Convention against Torture


Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights
Individual complaints procedure under the International Convention for the
Protection of All Persons from Enforced Disappearance
Optional Protocol to the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination
against Women
Individual complaints procedure under the International Convention on the
Elimination of All Forms of Racial Discrimination
Optional protocol to the International Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights
Individual complaints procedure under the International Convention on the
Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families
Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child
Optional protocol to the Convention on the Rights of Persons with Disabilities

Acceptance
of individual
complaints
procedures

Treaty
Name
CAT, Art.22
CCPR-OP1

N/A
NO

CED, Art.31

CEDAW-OP

NO

CERD,
Art.14

N/A

CESCR-OP

NO

CMW,
Art.77
CRC-OP-IC
CRPD-OP

N/A
NO
NO

Data diolah dari laman resmi Kantor Komisioner Tinggi HAM PBB, dapat diakses pada: http://tbinternet.ohchr.
org/SitePages/Home.aspx
27
Ibid.
26

Menuju Asean Political and Security Community ... (Harison Citrawan)

247

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

3. Memastikan Perlindungan HAM


dalam Regionalisme HAM ASEAN

ing

Setelah menganalisis deskripsi serta


tantangan politik HAM Indonesia, pada bagian
ini penulis mencoba menjabarkan interaksi
antara mekanisme perlindungan HAM regional
di bawah rezim AICHR dengan perlindungan
HAM domestik. Secara khusus, perhatian
akan diarahkan terutama pada bagaimana
regionalisme HAM ASEAN melalui institusi
AICHR seyogyanya dapat mendorong kepatuhan
HAM internasional (international human
rights compliance) Negara Indonesia, serta
bagaimana pada sisi yang lain, mekanisme kerja
perlindungan HAM Indonesia dapat mewarnai
perlindungan HAM di tingkat regional. Terhadap
pertanyaan tersebut, analisis pertama-tama
perlu ditujukan pada alas normatif kerja AICHR,
mengingat efektivitas perlindungan HAM secara
institusional tidak dapat terlepas dari kerangka
hukum yang mendasari tugas AICHR.
Pasal 4 ToR menyebutkan mandat dan fungsi
AICHR meliputi:
a. To develop strategies for the promotion and
protection of human rights and fundamental
freedoms to complement the building of the
ASEAN Community;
b. To develop an ASEAN Human Rights
Declaration with a view to establishing a
framework for human rights cooperation
through various ASEAN conventions and
other instruments dealing with human
rights;
c. To enhance public awareness of human
rights among the peoples of ASEAN through
education, research and dissemination of
information;

ind

pada masa sekarang guna memastikan


kompatibilitas atau kesesuaian serta kepatuhan
politik hukum HAM domestik terhadap norma
HAM internasional, serta guna mempertegas
universalitas perlindungan HAM di tingkat
regional. Terkait hal tersebut, secara lebih
spesifik dari sudut pandang republikan-liberal,
yang memandang komitmen negara untuk
turut serta dalam sebuah rezim HAM sebagai
sebuah hasil kalkulasi politik dalam negeri,
penulis beranggapan bahwa politik hukum
HAM domestik Indonesia perlu mendudukkan
regionalisme HAM ASEAN sebagai cerminan
kepentingan nasional untuk mengurangi
ketidakpastian politik domestik. Moravcsik
menjelaskan lebih lanjut pandangan ini:

lR
ec
hts
V

From this perspective, human rights norms are


expressions of the self-interest of democratic
governments in locking in democratic rule
through the enforcement of human rights.
By placing interpretation in the hands of
independent authorities managed in part
by foreign governmentsin other words, by
alienating sovereignty to an international
bodygovernments seek to establish reliable
judicial constraints on future nondemocratic
governments or on democratically elected
governments that may seek (as in interwar
Italy and Germany) to subvert democracy
from within.28

Jur

na

Dari logika tersebut, sesungguhnya dalam


regionalisme HAM ASEAN yang ada, terdapat
kepentingan nasional Bangsa Indonesia yang
perlu diperjuangkan, yakni: tidak hanya untuk
memastikan dan mengembangkan perlindungan
HAM domestik, namun juga untuk menjamin
keberlanjutan kehidupan demokrasi Indonesia
melalui pemantauan otoritas independen HAM
di tingkat regional Asia Tenggara.

Moravscik, Ibid, hlm 228.

28

248

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 237-254

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

Pembacaan terhadap pasal tersebut


mengindikasikan bahwa negara-negara pihak
ASEAN telah membentuk sebuah rezim HAM
regional yang cenderung bersifat promosional.
Adapun berdasarkan teoresasi Jack Donelly
tentang rezim perlindungan HAM internasional,
sifat promosional kemudian dibagi kembali
ke dalam dua sifat, yakni promosional kuat
(strong promotional) dan promosional lemah
(weak promotional).29 Berdasarkan mandat
dan fungsi AICHR yang ada, maka posisi AICHR
sebagai mekanisme regional berada dalam
sifat promosional lemah, dimana kekuatan
implementasi atau domestikasi norma HAM
dari tingkat AICHR ke negara-negara pihak
masih dalam posisi lemah.
Dengan kondisi demikian, maka regionalisme
HAM promosional lemah (weak promotional)
yang coba dibentuk oleh negara-negara
ASEAN perlu mendapatkan formulasi ulang
utamanya untuk memastikan efektivitas fungsi
mekanisme perlindungan HAM regional. Pada
titik ini, secara praktis politik HAM Indonesia
perlu memerhatikan beberapa pertimbangan
strategis sebagai berikut:
a. The most effective institutions for
international human rights enforcement
rely on prior sociological, ideological and
institutional convergence toward common
norms;
b. The lack of international consensus,
rather than the weakness of international
institutions, generally imposes the binding
constraint on international human rights
enforcement;

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

d. To promote capacity building for the


effective implementation of international
human rights treaty obligations undertaken
by ASEAN Member States;
e. To encourage ASEAN Member States
to consider acceding to and ratifying
international human rights instruments;
f. To promote the full implementation of
ASEAN instruments related to human rights;
g. To provide advisory services and technical
assistance on human rights matters to
ASEAN sectoral bodies upon request;
h. To engage in dialogue and consultation with
other ASEAN bodies and entities associated
with ASEAN, including civil society
organizations and other stakeholders, as
provided for in Chapter V of the ASEAN
Charter;
i. To consult, as may be appropriate, with
other national, regional and international
institutions and entities concerned with the
promotion and protection of human rights;
i. To obtain information from ASEAN Member
States on the promotion and protection of
human rights;
k. To develop common approaches and
positions on human rights matters of interest
to ASEAN;
l. To prepare studies on thematic issues of
human rights in ASEAN;
m. To submit an annual report on its activities,
or other reports if deemed necessary, to the
ASEAN Foreign Ministers Meeting; and
n. To perform any other tasks as may be
assigned to it by the ASEAN Foreign Ministers
Meeting.

Lihat Jack Donelly, International Human Rights: A Regime Analysis. International Organization 40, 3, Summer,
(1986): 599-642.

29

Menuju Asean Political and Security Community ... (Harison Citrawan)

249

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

na

lR
ec
hts
V

ind

Berdasarkan strategi tersebut, maka


penguatan civil society dan lembaga politik pada
tingkat domestik merupakan keharusan, sebagai
prakondisi bagi terbentuknya mekanisme
ajudikasi supranasional pada tingkat regional
Asia Tenggara. Indonesia dengan demikian perlu
mempertimbangkan penguatan partisipasi
civil society dalam pelaksanaan politik HAM
nasional, terlepas bagaimanapun format politik
HAM domestik Indonesia pada waktu yang
akan datang. Dengan penguatan partisipasi
civil society dan lembaga politik pada tingkat
domestik, regionalisme HAM ASEAN diharapkan
dapat terdorong untuk bergerak dari rezim
promosional lemah menuju ke kuadran rezim
implementasional, untuk kemudian secara
bertahap menjadi rezim penegakan HAM
regional.
Kekurangan utama dari rezim promosional
lemah AICHR ialah kapasitas institusional yang
tidak lagi relevan untuk menjawab tantangan
perkembangan perlindungan HAM masa kini.
Walaupun pembentukan AICHR, sebagai ujung
tombak perlindungan HAM dalam kerangka

kerja ASEAN, merupakan langkah yang signifikan


dalam hubungan regional negara-negara
ASEAN, namun dari sisi institusional Komisi ini
tidak mencerminkan sebuah keorganisasian
HAM (human rights organizationhood) yang
efektif. Pemberian mandat promosional yang
ada tersebut dapat pula diasumsikan sebagai
cerminan politik domestik di masing-masing
negara anggota ASEAN yang cenderung
mempertahankan
kedaulatan
teritorial
masing-masing negara, sehingga pada banyak
kesempatan, negara-negara anggota berlaku
enggan dan curiga terhadap setiap mekanisme
pemantauan (maupun penegakan) HAM pada
level regional dan internasional.31
Dari
perspektif
hukum
organisasi
internasional, agar dapat bekerja secara
efektif, maka setidaknya keorganisasian HAM
harus memiliki kewenangan dalam hal policy
coordination dan legal enforcement terhadap
negara-negara pihak.32 Kedua hal tersebut
dapat dianggap sebagai distinct will dari sebuah
organisasi HAM internasional, dalam arti bahwa
sebuah organisasi HAM yang dibentuk antar
negara wajib memiliki keinginan atau tujuan
yang berbeda dengan yang dimiliki oleh negaranegara anggota yang bersangkutan.33 Dalam
hal ini, maka pembentukan rezim HAM AICHR
seharusnya sejalan dengan mandat Pasal 14 (1)
ASEAN Charter yang mengatur, In conformity
with the purposes and principles of the ASEAN

ing

c. While awaiting the development of a


system of supranational adjudication, more
promising strategies may be to strengthen
domestic civil society and political
institutions, and to strengthen traditional
international organizations that gather
information and arrange consultations.30

Moravcsik, A. Explaining International Human Rights Regimes: Liberal Theory and Western Europe, European
Journal of International Relation. SAGE London, Thousand Oaks, CA and New Delhi, Vol 1 (2), (1995): 157-189.
31
Lihat Bhakti Eko Nugroho, After Three Years of the AICHR: What is Next?, (makalah disampaikan pada Konferensi
the ICIRID, 2013).
32
Tan Hsien-Li, The ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights: Institutionalizing Human Rights in
Southeast Asia (New York: Cambridge University Press, 2011), hlm 89-90.
33
Harison Citrawan, ASEAN Human Rights Regime: Reciprocity or Common Interest?, The Jakarta Post, 8 Agustus
2012.

Jur

30

250

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 237-254

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

akan melakukan intervensi terhadap kedaulatan


masing-masing negara pihak. Adapun bentukbentuk dari intervensi tersebut pada prinsipnya
memiliki keragaman yang dapat dinilai sebagai
soft power intervention maupun hard power
intervention. Soft power intervention yang
mungkin dilakukan oleh rezim HAM ASEAN
meliputi: pemantauan dan koordinasi kebijakan.
Sedangkan hard power intervention dapat
diterjemahkan ke dalam kewenangan seperti
pemberian sanksi secara hukum.
Penulis beranggapan bahwa pilihan
rasional bagi negara-negara ASEAN terkait
dengan pergeseran sifat rezim AICHR ialah
dengan memberi kewenangan menuju ke
rezim implementasi dengan mandat soft
intervention.34 Menurut hemat penulis,
kewenangan rezim penegakan HAM dengan
hard power intervention secara politis belum
mendapat tempat yang strategis di kawasan
ASEAN, mengingat pola interaksi antar negara
yang cenderung menutup tirai kedaulatan
ketika isu HAM sedang mengemuka. Secara
lebih praktis, soft intervention dalam ASEAN
perlu diarahkan ke dalam bentuk pemantauan
internasional dan koordinasi kebijakan, yang
dapat diartikan sebagai berikut:
a. International
monitoring:
formal
international review of state practice but
no authoritative enforcement procedures.
Monitoring activities can be further
categorized in terms of the powers allowed
to monitors to carry out independent
investigations and make judgments of
compliance with international norms.

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

Charter relating to the promotion and protection


of human rights and fundamental freedoms,
ASEAN shall establish an ASEAN human rights
body. Secara eksplisit dalam pasal tersebut
disebutkan bahwa pembentukan badan HAM
ASEAN perlu didasarkan pada prinsip ASEAN
yang memiliki kaitan dengan promosi dan
perlindungan HAM. Adapun melalui ToR AICHR,
dapat diasumsikan bahwa penerjemahan
terhadap prinsip ASEAN yang dimaksud
meliputi: a) respect for the independence,
sovereignty, equality, territorial integrity and
national identity of all ASEAN Member States; b)
non-interference in the internal affairs of ASEAN
Member States; c) respect for the right of every
Member State to lead its national existence
free from external interference, subversion
and coercion; d) adherence to the rule of law,
good governance, the principles of democracy
and constitutional government; e) respect for
fundamental freedoms, the promotion and
protection of human rights, and the promotion
of social justice; f) upholding the Charter of the
United Nations and international law, including
international humanitarian law, subscribed to
by ASEAN Member States; dan g) respect for
different cultures, languages and religions of
the peoples of ASEAN, while emphasising their
common values in the spirit of unity in diversity.
Namun demikian, apabila dikaitkan dengan
human rights organizationhood yang telah
disebutkan sebelumnya, maka sebenarnya
pencantuman prinsip non-interference in the
internal affairs of ASEAN Member States menjadi
sia-sia, karena sebuah rezim HAM yang efektif

Lihat. Jack Donnelly, Ibid. Donnelly lebih lanjut menjelaskan bahwa: International implementation activities
include weaker monitoring procedures, policy coordination, and some forms of information exchange. hlm. 604.

34

Menuju Asean Political and Security Community ... (Harison Citrawan)

251

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

..involves conformity with different sets of


norms made by and directed to different
sets of actors, rather than the traditional
model of inter-state rules implemented by
national measures. Appropriate levels of
compliance, and perhaps even the meaning
of compliance, are outcomes of the political
interaction of aggregated preferences or,
in discursive accounts, the weighted claims
and responses of the relevant actors in the
discursive community.37

ind

Secara legal, pergeseran sifat rezim AICHR


menuju rezim implementasi tidak melanggar
dasar-dasar normatif yang tertera dalam ASEAN
Charter. Rezim yang demikian justru dapat
memperkuat dan mempertegas posisi AICHR
dalam memastikan kepatuhan hukum negaranegara anggota ASEAN terhadap komitmen
dalam perlindungan HAM di regional. Melalui
fungsi pemantauan dan koordinasi kebijakan,
dengan demikian AICHR akan memiliki memiliki
kewenangan untuk dapat memengaruhi serta
membentuk prilaku HAM negara-negara ASEAN.
Lebih lanjut, pergeseran sifat rezim tersebut
juga dapat mendorong terciptanya komunitas
keamanan dan politik yang kuat di kawasan Asia
Tenggara, sebagaimana dicita-citakan dalam
naskah blueprint APSC. Selain itu, argumentasi
tersebut
secara
teoretis
mendapatkan
justifikasi bahwa negara-negara dengan tingkat
perlindungan HAM yang tinggi, serta menjujung
the rule of law, akan cenderung menahan diri
untuk berkonflik satu dengan yang lain.36
Sejalan dengan logika usulan pergeseran
sifat rezim di atas, pada level domestik, politik
HAM nasional Indonesia juga perlu direposisikan
agar sejalan dengan proposal paradigma

regionalisme HAM ASEAN tersebut. Kepatuhan


(compliance) Negara Indonesia terhadap norma
internasional melalui politik HAM nasional
tentu memiliki kaitan dengan berbagai aspek
di tingkat domestik. Dari perspektif teori new
liberal, Kingsbury melihat kepatuhan:

ing

b. International policy coordination: regular


and expected use of an international forum
to achieve greater coordination of national
policies but no significant international
review of state practice.35

na

lR
ec
hts
V

Beranjak dari dimensi tantangan yang


telah disebutkan pada sub-bagian (2) di atas,
maka politik hukum HAM Indonesia perlu
memperhatikan tantangan-tantangan tersebut
guna menghadapi rezim implementasional
ASEAN. Pada aspek politik desentralisasi, peran
gubernur perlu diperkuat dalam memastikan
kebijakan dan arah politik HAM nasional
sehingga diterjemahkan secara utuh di tingkat
provinsi, kabupaten, dan kota. Apabila mengacu
pada format kepanitiaan RANHAM yang
sudah ada, maka pemangkasan birokratisasi
pelaksanaan program RANHAM merupakan
langkah yang mutlak diperlukan. Seiring dengan
pemangkasan birokratisasi kepanitiaan tersebut,
maka tiap gubernur perlu mendapatkan peran

Ibid.
Salah satu teori yang mendukung argumentasi ini ialah Teori Perdamaian Demokratis (The Democratic Peace
Theory). Secara normatif dan institusional, logika teori ini menyimpulkan bahwa dengan diadposinya prinsipprinsip demokrasi secara global maka akan menciptakan perdamaian internasional secara luas. Adapun
teoresasi ini dapat dilacak dari tulisan terkemuka dari Immanuel Kant, Perpetual Peace (1795). Lihat Hvard
Hegre, Democracy and Armed Conflict, Journal of Peace Research 2014 Vol. 51(2), Sage Publication (2014): 159172.
37
Benedict Kingsbury, The Concept of Compliance as A Function of Competing Conceptions of International Law,
Michigan Journal of International Law (Vol.19:345, 1998), hlm. 357.
35

Jur

36

252

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 237-254

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

telah disepakati pada tingkat internasional


dapat diimplementasikan dan diterjemahkan
ke dalam regionalisme HAM, dan yang lebih
penting lagi ialah, agar regionalisme HAM
ASEAN dapat memberi pengaruh terhadap
tingkat domestikasi nilai dan prinsip HAM secara
nasional di Indonesia.
Berdasarkan analisis pada rezim AICHR
yang ada, maka Indonesia perlu mendorong
adanya pegeseran sifat rezim dari promosional
menuju ke implementatif, dimana perlu
dilakukan penambahan mandat AICHR
berupa pemantauan regional dan koordinasi
kebijakan antar negara-negara anggota. Dengan
pergeseran sifat rezim tersebut, diharapkan
tingkat kepatuhan negara-negara anggota
terhadap kewajiban dalam hukum HAM
internasional akan menjadi lebih maksimal. Oleh
sebab itu, sejalan dengan pembaruan tersebut
pula, pada tingkat domestik politik hukum
HAM Indonesia perlu memperhatikan tiga isu
penting yang meliputi: perbaikan kebijakan
desentralisasi, perwujudan militer nasional
yang profesional, dan memastikan pelaksanaan
kewajiban dalam hukum HAM internasional.

lR
ec
hts
V

ind

lebih dalam mengimplementasikan politik


hukum HAM nasional di masa mendatang pada
tingkat daerah. Idealnya, politik hukum HAM
nasional merupakan pengejawantahan dari
norma dan prinsip HAM yang telah disepakati
pada tingkat internasional dan regional.
Dalam rangka penyelarasan norma dan prinsip
tersebut, maka gubernur perlu mengambil
peran yang signifikan dalam pelaksanaan politik
hukum HAM nasional. Kerancuan yang selama
ini terjadi ialah fenomena banyaknya jumlah
pembentukan panitia RANHAM pada tingkat
provinsi dan kabupaten/kota, yang justru
memperumit mekanisme kerja pelaksanaan
program RANHAM.
Selain dari aspek institusional, secara
substansial politik hukum HAM nasional perlu
diarahkan pada mendorong terwujudnya
good governance dalam pemerintahan serta
memaksimalkan partisipasi publik. Penguatan
dimensi HAM pada dua substansi tersebut
merupakan prasyarat mutlak bagi Indonesia
dalam menyongsong APSC di tahun 2015,
sekaligus secara luas menjadi prasyarat di tingkat
domestik bagi berfungsinya rezim mekanisme
HAM regional yang bersifat implementasional.

D. Penutup

Buku

na

Deskripsi tentang kritik dan tantangan


terhadap politik hukum HAM nasional dan
rezim mekanisme HAM regional ASEAN melalui
kerangka kerja AICHR di atas merupakan
salah satu aspek legal yang perlu diperhatikan
dalam rangka mendorong perlindungan dan
promosi HAM yang lebih maju, baik pada
tingkat nasional maupun regional. Oleh sebab
itu, harmoni dalam reposisi politik hukum
HAM baik di tingkat nasional dan regional
tentunya sangat diperlukan, agar norma yang

Jur

DAFTAR PUSTAKA
ASEAN Political-Security Community Blueprint,
(Jakarta: ASEAN Secretariat, June 2009).
Keohane, R. and Joseph S. Nye. Power and
Interdependence: World Politics in Transition.
(Boston: Little, Brown, 1977).
Mietzner, Marcus., The Politics of Military Reform
in Post-Suharto Indonesia: Elite Conflict,
Nationalism, and Institutional Resistance,
(Washington: East-West Center, 2006).
Petcharamesree, S. The Human Rights Body: A Test
for Democracy Building in ASEAN. (Stockholm:
International Institute for Democracy and
Electoral Assistance, 2009).
Makalah/Artikel/Prosiding/Hasil Penelitian

Menuju Asean Political and Security Community ... (Harison Citrawan)

253

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

Saunders, Pammela Q. The Integrated Enforcement


of Human Rights, International Law and Politics
Vol.45:97 (2012).
Sebastian, Leonard C. dan Iisgindarsah. Taking
Stock of Military Reform in Indonesia, dalam
J. Rland et al. (eds.), The Politics of Military
Reform, Global Power Shift, Springer-Verlag
Berlin Heidelberg (2013).
Tan, Hsien-Li. The ASEAN Intergovernmental
Commission on Human Rights: Institutionalizing
Human Rights in Southeast Asia. Cambridge
University Press. New York (2011).

ing

Internet

Kidanemariam, Fekadeselassie F. 2006. Enforcement


of Human Rights under Regional Mechanisms: a
Comparative Analysis, LLM Theses and Essays.
Paper 80. http://digitalcommons.law.uga.edu/
stu_llm/80
Neumayer, Eric. Do International Human Rights
Treaties Improve Respect for Human Rights?
[online] London: LSE Research Online; http://
eprints.lse.ac.uk/archive/00000612,
diakses
pada 24 Juni 2014.

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

Citrawan, Harison. ASEAN Human Rights Regime:


Reciprocity or Common Interest? (Jakarta: The
Jakarta Post, 8 Agustus 2012).
Donelly, J. International Human Rights: A Regime
Analysis, International Organization 40, 3,
Summer, (1986).
Hegre, Hvard. Democracy and Armed Conflict,
Journal of Peace Research Vol. 51(2), Sage
Publication (2014).
Kingsbury, Benedict. The Concept of Compliance
as A Function of Competing Conceptions
of International Law, Michigan Journal of
International Law Vol.19:345, (1998)
Moravcsik, A. Explaining International Human
Rights Regimes: Liberal Theory and Western
Europe, European Journal of International
Relation. SAGE London, Thousand Oaks, CA and
New Delhi, Vol 1 (2), (1995).
Moravcsik, Andrew. The Origins of Human Rights
Regimes: Democratic Delegation in Postwar
Europe, International Organization 54, 2 (2000).
Nugroho, Bhakti Eko. After Three Years of the AICHR:
What is Next?, dipresentasikan pada Konferensi
the ICIRID (2013).

254

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 237-254

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

PERAN ASEAN DAN NEGARA ANGGOTA ASEAN


TERHADAP PERLINDUNGAN PEKERJA MIGRAN

(The Role of ASEAN and Its Member Countries in the Protection of Migrant Workers)
Ade Irawan Taufik

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional BPHN


Email: adetaufik@bphn.go.id/adeirawantaufik@gmail.com

ing

Naskah diterima: 21 Mei 2014; revisi: 20 Agustus 2014; disetujui: 22 Agustus 2014

lR
ec
hts
V

ind

Abstrak
Isu pekerja migran bukan hal baru, namun masih isu yang aktual, karena masih banyak terjadinya sisi negatif berupa
perlakuan yang tidak manusiawi terhadap pekerja migran. Dalam lingkup ASEAN, Indonesia bukan satu-satunya negara
pengirim pekerja migran, namun terdapat negara lain dengan negara tujuan yang hampir sama. Permasalahan yang dialami
oleh pekerja migran dari negara-negara tersebut pada dasarnya hampir sama dengan yang dialami oleh pekerja migran dari
Indonesia. Penelitian ini mengangkat permasalahan, yakni bagaimana peran ASEAN dalam melindungi pekerja migran dan
bagaimana kesiapan instrumen hukum Indonesia dan negara-negara anggota ASEAN lainnya dalam melindungi pekerja
migran. Dengan menggunakan metode studi tekstual, didapatkan kesimpulan bahwa peran ASEAN dalam melindungi
pekerja migran telah tertuang di Piagam ASEAN yang dielaborasikan ke dalam 3 (tiga) pilar Komunitas ASEAN, namun peran
tersebut tidak dapat maksimal karena tidak terciptanya konsesus dalam penyusunan instrumen perlindungan hak pekerja
migran. Rekomendasi terhadap kebuntuan tersebut adalah dengan membawa dan membahasnya ke dalam pertemuan
Dewan Komunitas ASEAN, karena isu tersebut merupakan isu lintas komunitas. Peran ASEAN sangat tergantung kepada
upaya masing-masing negara anggota ASEAN dalam merumuskan regulasi dalam hukum nasionalnya masing-masing untuk
mengimplemantasikan instrumen ASEAN terkait perlindungan pekerja migran, namun hal ini belum didukung dengan
peran negara anggota ASEAN yang relatif rendah dalam komitmen perlindungan pekerja migran.
Kata Kunci: pekerja migran, komitmen, perlindungan

Jur

na

Abstract
The issue of migrant workers is not new, but still the current issue, because there were lots of negative sides in the form
of inhumane treatment of migrant workers. Within the scope of ASEAN, Indonesia is not the only sending countries of
migrant workers. There were other countries whose sending its migrant workers with similar destinations with Indonesia.
Problems faced by migrant workers from those countries are basically the same as experienced by Indonesian migrant
workers. This research discusses the problem, namely how ASEANs role in protecting migrant workers and hows Indonesia
and other ASEAN member countries legal instrument readiness to protect migrant workers. By using the method of textual
study, it was concluded that the role of ASEAN in the protection of migrant workers has been stated in the ASEAN Charter
elaborated into three (3) pillars of the ASEAN Community, nevertheless that roles cannot be maximized for there were no
consensus in creating the protection of the rights of migrant workers instruments. Recommendation to the impasse is to
bring and discuss it in the ASEAN Community Council meeting, because the issue is a cross-community issue. ASEANs role in
implementing ASEAN instrument on the protection of migrant worker is dependent upon the efforts of each ASEAN member
countries in formulating regulations in their respective domestic laws. Nevertheless, their commitments to the protection
of migrant workers are relatively poor.
Keywords: migran workers, commitment, protection

Peran Asean dan Negara Anggota Asean terhadap Perlindungan Pekerja Migran (Ade Irawan Taufik)

255

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

Sejalan
dengan
proses
globalisasi,
perpindahan manusia dari satu negara ke
negara lainnya pun semakin meningkat. Di
Asia Tenggara sendiri, migrasi lintas batas
negara bukanlah gejala yang baru ada, karena
secara historis dan tradisional penduduk yang
tinggal di perbatasan antara dua negara sering
melakukannya khususnya untuk kegiatan
ekonomi. Migrasi ke kota untuk mencari
kerja, ke pasar-pasar untuk menjual komoditi,
ke daerah pedesaan untuk kerja musiman
pertanian, ke wilayah pertambangan dan lainlain, merupakan karakteristik perekonomian
dan sejarah Asia Tenggara. Lebih jauh lagi, pada
masa kolonialisme telah ada kebijakan untuk
memindahkan penduduk dari Jawa ke luar Jawa
untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan
dan pertambangan.1
Deskripsi tersebut di atas menggambarkan
bahwa isu pekerja migran dalam lingkup
Indonesia maupun lingkup regional Asia
Tenggara bukan sesuatu yang baru, namun juga
merupakan isu yang masih aktual. Hal ini karena
pekerjaan mempunyai makna yang sangat
penting dalam kehidupan manusia sehingga
setiap orang membutuhkan pekerjaan. Pekerjaan
dapat dimaknai sebagai sumber penghasilan
seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup
bagi dirinya dan keluarganya. Oleh karena itu
hak atas pekerjaan merupakan hak asasi yang
melekat pada diri seseorang yang wajib dijunjung
tinggi dan dihormati. Makna dan arti pentingnya

pekerjaan bagi setiap orang tercermin dalam


Pasal 27 ayat (2) UndangUndang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI
1945), yang menyatakan bahwa setiap Warga
Negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.2
Namun pada kenyataannya, keterbatasan
kesempatan kerja di dalam negeri menyebabkan
banyaknya warga negara Indonesia atau Tenaga
Kerja Indonesia (TKI) yang mencari pekerjaan
ke luar negeri. Dari tahun ke tahun jumlah
yang bekerja di luar negeri semakin meningkat.
Besarnya animo tersebut, disatu sisi mempunyai
dampak positif, yaitu mengatasi sebagian
masalah pengangguran di dalam negeri, namun
mempunyai pula sisi negatif berupa resiko
kemungkinan terjadinya perlakuan yang tidak
manusiawi terhadap TKI.
Upaya Indonesia untuk melindungi warga
negaranya dari resiko perlakuan yang tidak
manusiawi adalah dengan melakukan pengaturan
dalam berbagai peraturan perundang-undangan
dan juga berbagai kebijakan, seperti moratorium
pengiriman TKI ke luar negeri.
Namun demikian, praktek penyelenggaraan
penempatan TKI ke luar negeri, menyangkut
juga hubungan antar negara, khususnya negara
tujuan penempatan TKI, sehingga kebijakan
dan pengaturan yang ditetapkan oleh Indonesia
hanya dapat menjangkau yuridiksi wilayah
negara Indonesia, oleh karena itu Pemerintah
Indonesia tidak dapat bertindak sendiri, sehingga
perlu melibatkan peran serta negara tujuan

ing

A. Pendahuluan

256

Kilas Balik Migrasi Lintas Batas Di Asia Tenggara, http://www.gugustugastrafficking.org/index.php?option=com_


content&view=article&id=1632:kilas-balik-migrasi-lintas-batas-di-asia-tenggara&catid=42:info&Itemid=66,
(diakses 3 Juni 2014).
Lihat bagian Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 133. Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4445).

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 255-280

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

tidak mampu bekerja; komunikasi tidak lancar


dan lain-lain. Meskipun jumlah permasalahan
dari tahun 2010-2013 menurun, namun
dilihat dari jumlah permasalahan yang besar,
yakni 19.741 permasalahan pada tahun 2013,
maka hal ini menjadi persoalan serius, karena
dari permasalahan-permasalahan tersebut,
permasalahan yang paling banyak dialami
oleh TKI adalah permasalahan yang timbul
karena faktor eksternal diri TKI, yakni PHK
sepihak; majikan bermasalah; gaji tidak dibayar;
penganiayaan; pelecehan seksual; dan pekerjaan
tidak sesuai Perjanjian Kerja.4 Namun demikian,
jenis pekerjaan dari TKI sendiri juga menjadi
faktor atau rentan terjadinya permasalahan, dari
tahun ke tahun jumlah TKI yang bekerja di luar
negeri didominasi oleh pekerja rumah tangga
(domestic worker). Pada tahun 2011 dari total
TKI yang ditempatkan sebanyak 45% adalah
domestic worker, dan pada tahun 2012 dan 2013
jumlahnya menurun, namun masih dalam jumlah
yang lebih dari angka 30%.5
Permasalahan-permasalahan TKI tersebut,
berdasarkan data dari BNP2TKI banyak terjadi di
negara-negara dan kota antara lain: Arab Saudi;
Uni Emirat Arab; Taiwan; Qatar; Singapura; Oman;
Kuwait; Hongkong; Malaysia; Syria; Bahrain;
Brunei Darussalam; dan Korea Selatan. Pada
tahun 2013, negara Syria merupakan negara yang
paling banyak terjadi permasalahan TKI, dengan
jumlah 5.054 permasalahan, kemudian negara

na

lR
ec
hts
V

ind

dalam lingkup hubungan bilateral dan juga


dalam lingkup regional maupun multilateral,
sehingga tercipta kesepahaman bersama yang
didasarkan pada prinsip saling membutuhkan
secara profesionalisme dan ekonomis dalam hal
perlindungan TKI dan juga dalam tataran jaminan
perlindungan hakhak asasi warga negara yang
bekerja di luar negeri.
Berdasarkan data dari Badan Nasional
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia (BNP2TKI), tecatat pada periode 20112013 terdapat sebanyak 586.802 (2011); 494.609
(2012); dan 512.618 (2013) TKI yang bekerja di
luar negeri, dan dari jumlah tersebut, negara
Malaysia menempati urutan pertama sebagai
negara tujuan penempatan TKI, dengan jumlah
134.120 (2011), 134.023 (2012) dan 150.236
(2013). Negara-negara atau kota lainnya yang
menjadi tujuan penempatan TKI berdasarkan
urutan terbesar penerima TKI, yaitu Taiwan, Saudi
Arabia, Uni Emirat Arab, Hongkong, Singapura,
Qatar, Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Brunei
Darussalam.3
Data dari BNP2TKI menyebutkan bahwa
permasalahan yang sering dialami oleh TKI antara
lain: Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak,
majikan bermasalah, sakit akibat kerja, gaji
tidak dibayar; penganiayaan; pelecehan seksual;
pekerjaan tidak sesuai Perjanjian Kerja; dokumen
tidak lengkap; sakit bawaan; majikan meninggal;
kecelakaan kerja; TKI hamil; membawa anak;

Sumber data dari Pusat Penelitian dan Pengembangan dan Informasi BNP2TKI dalam Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Tahun 2013 (www.bnp2tki.go.id, diakses 2 Juni 2014).
4
Angka TKI bermasalah tersebut berdasarkan data Pelayanan TKI Bermasalah di BPK-TKI Selapajang Tangerang.
Sumber data dari Pusat Penelitian dan Pengembangan dan Informasi BNP2TKI dalam Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Tahun 2013 (www.bnp2tki.go.id, diakses 2 Juni 2014).
5
Total jenis jabatan TKI yang bekerja di luar negeri kurang lebih terdapat 600 jenis jabatan. Sumber data dari
Pusat Penelitian dan Pengembangan dan Informasi BNP2TKI dalam Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia Tahun 2013 (www.bnp2tki.go.id, diakses 2 Juni 2014).

Jur

Peran Asean dan Negara Anggota Asean terhadap Perlindungan Pekerja Migran (Ade Irawan Taufik)

257

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

gaji dibayarkan lebih rendah dari yang disepakati;


paspor ditahan oleh pemberi kerja; jam kerja
yang panjang; pelecehan seksual dan fisik; dan
lain-lain.9
Berdasarkan hal yang telah disebutkan
di atas, bahwa permasalahan pekerja
migran bukan hanya masalah yang menjadi
beban negara pengirim semata, namun juga
menjadi beban masalah bagi negara tujuan.
Permasalahan dapat saja diselesaikan dalam
lingkup bilateral (antara negara pengirim dan
negara tujuan), namun akan lebih efektif dan
mempunyai kekuatan mengikat yang lebih
tinggi bila diselesaikan dalam lingkup regional
ASEAN, hal ini karena semua negara anggota
ASEAN adalah sebagai negara pengirim maupun
negara tujuan pekerja migran, sehingga hal ini
mendesak untuk diselesaikan secara bersama
oleh semua negara anggota ASEAN.
Oleh karena itu, melihat perkembangan
peranan ASEAN dan juga momentum
pembentukan Komunitas ASEAN 2015, maka
adalah hal yang sangat menarik untuk diteliti
bagaimana peranan ASEAN untuk menyepakati
bersama dalam menyelesaikan permasalahan
pekerja migran dan perlindungan hak pekerja
migran. Selain itu perlu diteliti pula bagaimana
instrumen hukum Indonesia dan negara-negara
anggota ASEAN lainnya dalam melindungi
pekerja migran.

na

lR
ec
hts
V

ind

Arab Saudi dan Uni Emirat Arab dengan jumlah


permasalahan sebanyak 3.769 dan 3.737.6
Berdasarkan data tersebut di atas, dalam
lingkup regional negara-negara di Asia Tenggara,
yakni negara Malaysia, Singapura dan Brunei
Darussalam termasuk dalam sepuluh besar
negara tujuan penempatan TKI dan juga
permasalahan-permasalahan TKI yang terjadi
di negara-negara tersebut terbilang relatif
banyak, yaitu pada tahun 2013, permasalahan
TKI di Singapura sebanyak 478 permasalahan;
Malaysia sebanyak 374 permasalahan dan Brunei
Darussalam sebanyak 61 permasalahan.7
Dalam lingkup regional negara-negara
Asia Tenggara, Indonesia bukan merupakan
satu-satunya negara pengirim pekerja migran,
namun terdapat negara-negara di Asia Tenggara
yang juga menjadi negara pengirim pekerja
migran, yaitu antara lain Philipina, Thailand,
Vietnam, Myanmar, Laos dan Kamboja. Negaranegara pengirim pekerja migran tersebut juga
menempatkan sebagian besar pekerja migran ke
negara Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam
dan Thailand.8
Permasalahan yang dialami oleh pekerja
migran dari negara-negara tersebut pada
dasarnya hampir sama dengan yang dialami oleh
TKI. Contoh permasalahan yang paling banyak
dialami untuk pekerja migran dari Philipina antara
lain, gaji yang tidak atau terlambat dibayarkan;



8

6

Ibid.
Ibid.
Thailand selain menjadi negara pengirim pekerja migran juga menjadi negara tujuan pekerja migran. Lebih
lanjut lihat: Bruno Maloni, Migrant Workers in ASEAN (makalah disampaikan pada ASEAN Inter-Parliamentary
Assembly, Seminar: The Role of Parliamentarians in The Protection and Promotion of the Rights of Migrant
Workers in ASEAN, di Phnom Penh Kamboja, tanggal 3-6 April 2011).
International Human Right Clinic, The Protection of the Rights of Migrant Domestic Worker in a Country of Origin
and a Country of Destination: Case Studies of The Philippines and Kuwait (Washington: International Law and
Organizations Program and The Protection Project of The Johns Hopkins University Paul H. Nitze School of
Advanced International Studies (SAIS), 2013), hlm. 31.

Jur

258

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 255-280

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

C. Pembahasan

1. Peran ASEAN
Pekerja Migran

Dalam

Melindungi

Merujuk kepada negara pengirim (country of


origin) dan negara tujuan (country of destination)
pekerja migran serta permasalahan yang
dialami oleh pekerja migran, maka terdapat satu
persamaan, yaitu bahwa negara-negara tersebut
masuk dalam lingkup regional negara-negara
Asia Tenggara dan semua negara tersebut adalah
anggota Association of South East Asian Nations
(ASEAN) atau Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia
Tenggara.
Tujuan didirikan ASEAN pada awalnya
bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan
ekonomi, mendorong perdamaian dan
stabilitas wilayah, dan membentuk kerja sama
di berbagai bidang. Pembentukan ASEAN
diawali oleh kesadaran para pemimpin negara
di kawasan Asia Tenggara untuk membentuk
suatu organisasi kerja sama di kawasan Asia
Tenggara yang dilandasi oleh kesadaran
perlunya meningkatkan saling pengertian untuk
hidup bertetangga secara baik dan membina
kerja sama yang bermanfaat di antara negaranegara di kawasan yang terikat oleh pertalian
sejarah dan budaya. Atas dasar itu, Menteri
Luar Negeri Indonesia, Malaysia, Filipina,
Singapura, dan Thailand melakukan berbagai
pertemuan konsultatif sehingga disepakati

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

Metode penelitian yang digunakan dalam


penelitian ini adalah studi tekstual untuk
menganalisis peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan juga kebijakan-kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia,
sehingga dari hasil studi tekstual ini didapatkan
jawaban terhadap bagaimana kesiapan hukum
Indonesia dalam melindungi TKI, selain itu
diharapkan juga dapat memberikan jawaban
terhadap hal-hal apa saja yang perlu diatur
dalam peraturan perundang-undangan. Untuk
menjawab permasalahan terkait dengan peran
ASEAN dalam melindungi pekerja migran, maka
yang dilakukan adalah dengan melakukan studi
tekstual terhadap dokumen-dokumen berupa
perjanjian-perjanjian internasional dalam
lingkup kerjasama regional ASEAN.
Kemudian dalam menjawab hal-hal apa saja
yang menjadi permasalahan untuk disepakati
bersama dalam forum ASEAN, maka penelitian
ini dilakukan dengan mendeskripsikan etnografi
persidangan forum-forum ASEAN, yakni terkait
pembahasan berbagai traktat, dokumen
kebijakan dan deklarasi, yang menghasilkan
apa yang disebutnya sebagai transnational
consensus building.10 Dari studi etnografi
tersebut didapati jawaban terhadap hal-hal
apa saja yang menjadi permasalahan dan sulit
disepakati dalam forum-forum persidangan
ASEAN. Permasalahan-permasalahan yang sulit
disepakati juga dapat diketahui dari sejauhmana
instrumen-instrumen hukum yang dimiliki oleh

negara-negara anggota ASEAN dalam mengatur


pekerja migran.

ing

B. Metode Penelitian

Merry, Sally Engle (2005), Human Rights and Global Legal Pluralism: Reciprocity and Disjuncture dalam BendaBeckmann, Franz , Keebet von Benda-Beckmann, Anne Griffits, Mobile People Mobile Law. Expanding Legal
Relations in a Contracting World. USA: Ashgate., dalam Sulistyowati & Shidarta (eds), Metode Penelitian Hukum:
Konstelasi dan Refleksi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011)

10

Peran Asean dan Negara Anggota Asean terhadap Perlindungan Pekerja Migran (Ade Irawan Taufik)

259

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

yang dinamis di tahun 2020, yaitu dengan


disepakatinya pembentukan Komunitas ASEAN
(ASEAN Community).16
Perkembangan ASEAN yang signifikan dan
telah memasuki tahap penting, yang ditandai
dengan disepakatinya pembentukan Komunitas
ASEAN (ASEAN Community), yang memiliki
konsekuensi adanya komitmen diantara negara
anggota ASEAN dalam mempererat integrasi
masyarakat ASEAN yang lebih terbuka, damai,
stabil dan sejahtera, saling peduli, selain itu
berakibat juga terhadap penyesuaian cara
pandang keterbukaan dalam menyikapi
perkembangan dunia.17 Cara pandang ini dapat
diartikan sebagai bagaimana negara anggota
ASEAN dalam menyikapi dan menyelesaikan isu
atau permasalahan yang terjadi antara sesama
anggota ASEAN. Sehingga pembentukan
Komunitas ASEAN dapat dijadikan momentum
dalam menyelesaikan permasalahan- pekerja
migran.

lR
ec
hts
V

ind

suatu rancangan Deklarasi Bersama (Joint


Declaration), yang kemudian deklarasi tersebut
ditindaklanjuti dengan melakukan pertemuan
dan penandatanganan Deklarasi ASEAN (The
ASEAN Declaration) atau Deklarasi Bangkok
(Bangkok Declaration) pada tanggal 8 Agustus
1967, bertempat di Bangkok, Thailand.11
Perkembangan organisasi ASEAN yang
menunjukan kemajuan yang cukup signifikan di
bidang politik dan ekonomi, mendorong negaranegara di Asia Tenggara lainnya bergabung
menjadi anggota ASEAN, yakni Brunei
Darussalam,12 Vietnam,13 Laos, Myanmar14
dan Kamboja,15 sehingga anggotanya menjadi
10 (sepuluh) negara. Perkembangan ASEAN
tersebut juga memasuki tahap penting,
yaitu menjelang abad ke-21, ASEAN sepakat
untuk mengembangkan suatu kawasan
yang terintegrasi dengan membentuk suatu
komunitas negara-negara Asia Tenggara yang
terbuka, damai, stabil dan sejahtera, saling
peduli, dan diikat bersama dalam kemitraan

Kementerian Luar Negeri, ASEAN Selayang Pandang, Edisi ke-19 (Jakarta: Kementerian Luar Negeri, 2010), hlm.
2-3.
12
Brunei Darussalam resmi menjadi anggota ke-6 ASEAN pada tanggal 7 Januari 1984, dalam Sidang Khusus
Menteri-Menteri Luar Negeri ASEAN (ASEAN Ministerial Meeting/AMM) di Jakarta, Indonesia.
13
Vietnam resmi menjadi anggota ke-7 ASEAN pada tanggal 29-30 Juli 1995, dalam Pertemuan para Menteri Luar
Negeri ASEAN ke-28 di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam.
14
Laos dan Myanmar resmi menjadi anggota ke-8 dan ke-9 ASEAN tanggal 23-28 Juli 1997, dalam pada Pertemuan
para Menteri Luar Negeri ASEAN ke-30 di Subang Jaya, Malaysia.
15
Kamboja resmi menjadi anggota ke-10 ASEAN dalam Upacara Khusus Penerimaan pada tanggal 30 April 1999 di
Hanoi, Vietnam.
16
Kesepakatan tersebut dituangkan dalam Visi ASEAN 2020 yang ditetapkan oleh para Kepala Negara/
Pemerintahan ASEAN pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Kuala Lumpur tanggal 15 Desember
1997. Selanjutnya, untuk merealisasikan harapan tersebut, ASEAN mengesahkan Bali Concord II pada KTT
ASEAN ke-9 di Bali tahun 2003 yang menyepakati pembentukan Komunitas ASEAN pada tahun 2020. Namun
upaya kesepakatan pembentukan Komunitas ASEAN semakin kuat dengan ditandatanganinya Deklarasi Cebu
mengenai Percepatan Pembentukan Komunitas ASEAN pada tahun 2015 (Cebu Declaration on the Acceleration
of the Establishment of an ASEAN Community by 2015) oleh para Pemimpin ASEAN pada KTT ke-12 ASEAN di
Cebu, Filipina, tanggal 13 Januari 2007. Dengan ditandatanganinya Deklarasi tersebut, para Pemimpin ASEAN
menyepakati percepatan pembentukan Komunitas ASEAN dari tahun 2020 menjadi tahun 2015. Lebih lanjut
lihat ASEAN Selayang Pandang, Op.Cit., hlm. 4-5.
17
Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri, Ayo Kita Kenali ASEAN (Jakarta: Kementerian
Luar Negeri, 2011), hlm. 22.

Jur

na

11

260

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 255-280

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

mechanism/organs and procedures di dalam


ASEAN; 4) Pembentukan sebuah mekanisme
eksekutif atau organ yang bertugas untuk
melaksanakan serta memonitoring pelaksanaan
peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan
organisasi; 5) Pembentukan mekanisme
judicial dan quasi judicial yang berfungsi untuk
menginterpretasikan dan melaksanakan setiap
peraturan dan keputusan yang dikeluarkan oleh
ASEAN; 6) Secara langsung Piagam ASEAN akan
membantu untuk mendorong dan memperkuat
penataan
terhadap
perjanjian-perjanjian
ASEAN oleh negara anggotanya dan secara tidak
langsung dapat meningkatkan sense of region di
antara pemerintah ASEAN.19
Perkembangan-perkembangan ASEAN yang
signifikan tersebut seharusnya berkorelasi
positif terhadap upaya dan peran ASEAN dalam
mengatur dan menyelesaikan permasalahanpermasalahan yang timbul di antara negara
anggota ASEAN. Sehingga hal dasar yang perlu
dikritisi adalah apakah Piagam ASEAN memiliki
peran dalam mengakomodir kepentingan buruh
migran?
Migrant Care berpendapat bahwa di dalam
Piagam ASEAN ternyata memperkecualikan
pekerja upah murah (mayoritas buruh migran)
dalam kebebasan mobilitas tenaga kerja di
ASEAN dan memperkecualikan aspek-aspek
perlindungannya. Namun apa yang menjadi
dasar pengecualian yang disampaikan oleh

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

Perkembangan ASEAN yang signifikan juga


terwujud dengan ditandatanganinya Piagam
ASEAN (ASEAN Charter) pada KTT ke-13 ASEAN
di Singapura bulan November 2007.18 Piagam
ASEAN mengubah ASEAN dari organisasi yang
longgar (loose association) menjadi organisasi
yang berdasarkan hukum (rules based
organization) dan menjadi subjek hukum (legal
personality).
Piagam
ASEAN
sebagai
dokumen
konstitusional,
memuat
norma-norma,
penegasan tentang kedaulatan, hak-hak
dan kewajiban-kewajiban dan sejumlah
kekuasaan-kekuasaan dalam proses legislatif,
eksekutif dan yudisial. Piagam ASEAN
menegaskan bahwa negara-negara anggota
mampu mengadopsi nilai-nilai demokrasi
dan penghormatan akan HAM termasuk hakhak sipil dan politik. Piagam ASEAN sebagai
dokumen konstitusional memuat beberapa
elemen penting antara lain: 1) Pernyataan
secara tegas bahwa ASEAN adalah organisasi
internasional yang memiliki kepribadian
hukum internasional, dengan demikian ASEAN
mampu melaksanakan hak dan kewajiban di
tingkat internasional; 2) Pernyataan secara
tegas bahwa ASEAN memiliki tujuan-tujuan,
fungsi-fungsi dan kewenangan-kewenangan
seperti organisasi internasional lainnya, artinya,
Piagam ini akan mengubah ASEAN menjadi into
a rules based organization; 3) Pembentukan
mekanisme
legislatif,
the
rule-making

Piagam ASEAN mulai berlaku pada tanggal 15 Desember 2008 setelah semua negara anggota ASEAN
menyampaikan ratifikasi. Indonesia telah meratifikasi Piagam ASEAN melalui Undang-Undang Nomor 38 Tahun
2008 tentang Pengesahan Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Charter of The Association of
Southeast Asian Nations). Lebih lanjut lihat Kementerian Luar Negeri, ASEAN Selayang Pandang, Op.Cit., hlm. 5
19
Liona Nanang Supriatna, Piagam ASEAN : Menuju Pemajuan Dan Perlindungan HAM di Asia Tenggara Jurnal
Hukum Internasional, Vol. 5, No. 3 (April 2008): 557-558.
18

Peran Asean dan Negara Anggota Asean terhadap Perlindungan Pekerja Migran (Ade Irawan Taufik)

261

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

dimaknai sebagai salah satu subjek dalam lalu


lintas jasa.
Pasal 1 angka (5) Piagam ASEAN ini bertujuan
untuk memfasilitasi pergerakan pekerja migran.
Pekerja migran yang difasilitasi dalam konteks
pasal ini tidak hanya para pelaku usaha atau
pekerja profesional yang terdidik dan terlatih,
namun juga dapat dimaknai pekerja migran
dalam arti buruh migran atau pekerja informal.
Merujuk pada teks Pasal 1 angka (5) ini, maka
ada beberapa subjek yang difasilitasi dalam
lalu lintas jasa, yakni: a) pelaku usaha (business
persons) ; b) pekerja profesional (professionals)
; dan c) pekerja berbakat dan buruh (talents
and labour). Pengakuan dan fasilitasi juga
harus diberikan kepada pekerja migran dalam
hal ini buruh migran, karena sejalan dengan
tujuan ASEAN lainnya sebagaimana tersebut
dalam Pasal 1 angka (13) Piagam ASEAN, yakni
berorientasi kepada rakyat dan yang didalamnya
seluruh lapisan masyarakat didorong untuk
berpartisipasi dalam, dan memperoleh manfaat
dari, proses integrasi dan pembangunan
Komunitas ASEAN.
Senada
dengan
pendapat
penulis,
Pemerintah berpendapat bahwa Pasal 1 Piagam
ASEAN menyebutkan secara tegas bahwa
pencapaian single market (pasar tunggal)
dilakukan melalui kebebasan pelaku usaha,

na

lR
ec
hts
V

ind

Migrant Care tidak jelas disebutkan.20 Pendapat


serupa juga disampaikan oleh Wahyu Susilo,
yang menilai Piagam ASEAN tidak dapat
memberikan perlindungan terhadap buruh
migran, karena tidak ada satupun pernyataan
eksplisit dalam piagam tersebut yang mengakui
peran dan hak buruh migran sebagai penggerak
ekonomi di ASEAN, hal ini berarti ASEAN tidak
memiliki komitmen politik untuk memberikan
perlindungan pada hak buruh migran. Selain
itu, isi Piagam ASEAN bersifat diskriminatif
terhadap hak buruh migran di sektor informal
seperti pembantu rumah tangga. Piagam ini
hanya memuat perlindungan pada pekerja
kerah putih yang terlatih, sehingga merugikan
buruh migran, terutama TKI yang sebagian
besar bergerak disektor informal.21
Penulis memiliki pendapat yang berbeda
dengan Migrant Care tersebut, karena apabila
merujuk pada tujuan ASEAN sebagaimana
tersebut dalam Pasal 1 Piagam ASEAN, maka
pengakuan terhadap eksistensi pekerja migran
telah diakomodir di dalam Pasal 1 angka (5)
Piagam ASEAN,22 meskipun pasal ini sebenarnya
dalam konteks terkait dengan penciptaan
ekonomi yang berdasarkan pasar tunggal
dan basis produksi yang dilakukan melalui
perdagangan dan investasi. Oleh karena itu,
faktor pekerja migran dalam konteks ini dapat

Lebih lanjut lihat salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011, perkara Permohonan
Pengujian Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of the Association of Southeast
Asian Nations (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945).
21
Migrant Care Anggap ASEAN Charter Tak Akui Hak Buruh Migran http://www.tempo.co/read/
news/2007/11/20/059111962/Migrant-Care-Anggap-ASEAN-Charter-Tak-Akui-Hak-Buruh-Migran, (diakses 1
Juni 2014).
22
Pasal 1 angka (5) Piagam ASEAN: Menciptakan pasar tunggal dan basis produksi yang stabil, makmur, sangat
kompetitif, dan terintegrasi secara ekonomis melalui fasilitasi yang efektif untuk perdagangan dan investasi,
yang di dalamnya terdapat arus lalu lintas barang, jasa-jasa dan investasi yang bebas; terfasilitasinya pergerakan
pelaku usaha, pekerja profesional, pekerja berbakat dan buruh; dan arus modal yang lebih bebas.

Jur

20

262

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 255-280

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

dan kemakmuran di kawasan;25 prinsip


ditingkatkannya konsultasi mengenai hal-hal
yang secara serius memengaruhi kepentingan
bersama ASEAN;26 dan menghormati kebebasan
fundamental, pemajuan dan perlindungan hak
asasi manusia, dan pemajuan keadilan sosial.27
Terkait dengan implementasi tujuan ASEAN
dalam perlindungan buruh migran ke dalam
ranah yang lebih konkrit tersebut, maka hal yang
dikaji adalah apakah pembentukan Komunitas
ASEAN, serta deklarasi-deklarasi, persetujuanpersetujuan, concords, traktat-traktat dan
instrumen ASEAN lainnya memiliki peran dalam
mengatur dan menyelesaikan permasalahan
pekerja migran?
Komunitas ASEAN terdiri dari 3 (tiga) pilar,
yakni Komunitas Politik-Keamanan ASEAN
(ASEAN Political-Security Community/APSC),
Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic
Community/AEC), dan Komunitas Sosial Budaya
ASEAN (ASEAN Socio-Cultural Community/
ASCC). Isu atau permasalahan pekerja migran
merupakan isu multi dimensi, karena terdapat
unsur perlindungan dan bantuan hukum, unsur
ekonomi dan sosial budaya, oleh karena itu di
dalam pembentukan Komunitas ASEAN, isu
pekerja migran melibatkan ketiga pilar tersebut,
karena ketiga pilar tersebut membahas isu
pekerja migran berdasarkan perspektif masingmasing pilar.

na

lR
ec
hts
V

ind

pekerja profesional, pekerja berbakat, dan


buruh. Dengan demikian Pasal 1 Piagam ASEAN
juga memberikan kesempatan yang sama bagi
pekerja profesional dan buruh. Berdasarkan
Pasal 1 ayat (5) Piagam ASEAN bahwa
pembentukan single market dimaksudkan
untuk memajukan perdagangan, investasi dan
mendorong lalu-Iintas pelaku usaha, pekerja
profesional, pekerja berbakat serta buruh.
Pembentukan single market juga diabdikan
kepada upaya mengurangi kemiskinan dan
mempersempit kesenjangan pembangunan
(Pasal 1 ayat (6) Piagam ASEAN).23
Namun demikian, oleh karena Piagam
ASEAN merupakan norma dasar, maka hal
yang terpenting adalah mengimplementasikan
tujuan-tujuan ASEAN sebagaimana tersebut
dalam Pasal 1 Piagam ASEAN, termasuk
perlindungan buruh migran ke dalam ranah
yang lebih konkrit. Pengimplementasian tujuantujuan tersebut harus sejalan dengan prinsip
ASEAN, sebagaimana tersebut dalam Pasal
2 Piagam ASEAN, yakni antara lain: ASEAN
dan negara-negara anggotanya menegaskan
kembali dan memegang teguh prinsip-prinsip
dasar yang tertuang dalam deklarasi-deklarasi,
persetujuan-persetujuan, konvensi-konvensi,
concords, traktat-traktat, dan instrumen
ASEAN lainnya;24 prinsip adannya komitmen
bersama dan tanggung jawab kolektif dalam
meningkatkan
perdamaian,
keamanan

Lebih lanjut lihat salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011, perkara Permohonan
Pengujian Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of the Association of Southeast
Asian Nations (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945).
24
Pasal 2 ayat (1) Piagam ASEAN.
25
Pasal 2 ayat (2) huruf (b) Piagam ASEAN.
26
Pasal 2 ayat (2) huruf (g) Piagam ASEAN.
27
Pasal 2 ayat (2) huruf (i) Piagam ASEAN.

Jur

23

Peran Asean dan Negara Anggota Asean terhadap Perlindungan Pekerja Migran (Ade Irawan Taufik)

263

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

Komunitas Politik Keamanan ASEAN diben


tuk dengan tujuan mempercepat kerja sama
politik keamanan di ASEAN untuk mewujudkan
perdamaian di kawasan, termasuk dengan
masyarakat internasional. Sebagai pedoman
dalam mencapai tujuan dari Komunitas PolitikKeamanan ASEAN tersebut maka disusun
Cetak Biru Komunitas Politik-Keamanan ASEAN
(ASEAN Political-Security Community Blueprint).
Cetak Biru Komunitas Politik-Keamanan ASEAN
terdiri atas 3 (tiga) karakteristik, 11 (sebelas)
elemen, dan 137 tindakan. Tiga karakteristik
tersebut adalah: i) Komunitas Berbasis Aturan
dengan Nilai dan Norma Bersama (A Rulesbased Community of Shared Values and Norms),
terdiri dari 2 (dua) elemen dan dijabarkan dalam
58 tindakan; ii) Sebuah Wilayah Terpadu, Damai
dan Tangguh dengan Tanggung Jawab Bersama
untuk Keamanan Menyeluruh (A Cohesive,
Peaceful, Stable and Resilient Region with
Shared Responsibility for Comprehensive
Security), terbagi dalam 6 (enam) elemen dan
71 tindakan; dan iii) Kawasan yang Dinamis
dan Berpandangan Keluar dalam Dunia yang
Semakin Terintegrasi dan Saling Bergantung
(A Dynamic and Outward Looking Region in
an Increasingly Integrated and Interdependent
World) yang dijabarkan dalam 3 (tiga) elemen
dan 8 tindakan.28
Ketiga karakteristik serta elemen dan
tindakan tersebut kemudian diimplementasikan
oleh Badan-Badan Sektoral di ASEAN dan

kerjasama-kerjasama
dalam
kerangka
Komunitas Politik-Kemanan ASEAN.
Dalam karakteristik Komunitas Berbasis
Aturan dengan Nilai dan Norma Bersama, di
dalam bentuk elemen Promosi dan Perlindungan
Hak Asasi manusia disepakati suatu tindakan
(action) untuk melakukan kerjasama secara
erat dalam badan-badan sektoral untuk
pengembangan instrumen ASEAN tentang
perlindungan dan promosi hak-hak pekerja
migran.29
Proses mengimplementasikan terhadap
perlindungan dan promosi hak-hak pekerja
migran ke dalam instrumen ASEAN dalam
konteks Komunitas Politik Keamanan ASEAN
salah satunya melalui Deklarasi Hak Asasi
Manusia ASEAN yang telah disahkan berdasarkan
Pernyataan Phnom Penh mengenai Pengesahan
Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN (Phnom
Penh Statement on the Adoption of The ASEAN
Human Rights Declaration/AHRD).30 Di dalam
bagian prinsip umum Deklarasi HAM ASEAN
dinyatakan bahwa Hak-hak perempuan, anakanak, orang lanjut usia, penyandang disabilitas,
pekerja migran, serta kelompok rentan dan
terpinggirkan merupakan bagian dari hak asasi
manusia dan kebebasan dasar yang melekat,
menyatu, dan tidak terpisahkan.
Deklarasi HAM ASEAN tersebut merupakan
hasil penyusunan dari Komisi Antar Pemerintah
ASEAN tentang HAM (ASEAN Inter-Governmental
Commission on Human Rights/AICHR).
Keberadaan AICHR diakui mempunyai peran
penting sebagai institusi penanggung jawab

BP
HN

Politik-Keamanan

ing

a. Pilar Komunitas
ASEAN

Kementerian Luar Negeri, ASEAN Selayang Pandang, Op.Cit., hlm. 21.


Section A.1.5. ASEAN Political-Security Community Blueprint. Lebih lanjut lihat ASEAN Secretariat, ASEAN PoliticalSecurity Community Blueprint (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2009), hlm. 5.
30
Dibuat di Phnom Penh, Kamboja, pada tanggal 18 November 2012.
28
29

264

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 255-280

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

deklarasi-deklarasi tersebut dan memasukan


nilai-nilai yang terkadung dalam deklarasideklarasi tersebut ke dalam mekanisme nasional
di setiap negara anggota ASEAN.32
Finalisasi negosiasi isu-isu perlindungan hak
asasi manusia, seperti promosi dan perlindungan
hak-hak pekerja migran, tetap menjadi salah
satu tantangan penting yang memerlukan
upaya lanjutan dan kolektif oleh negara-negara
anggota ASEAN untuk mempercepat proses.
Kemajuan untuk mengembangkan instrumen
hukum ASEAN untuk mempromosikan dan
melindungi hak-hak pekerja migran harus
diselesaikan sebelum pembentukan Komunitas
ASEAN pada akhir 2015.
Memasukan nilai-nilai yang terkandung
dalam deklarasi-deklarasi tersebut ke dalam
mekanisme nasional di setiap negara anggota
ASEAN merupakan keniscayaan demi efektifnya
pelaksanaan dari deklarasi tersebut, namun
dalam konteks perlindungan bagi pekerja
migran belum banyak yang dilakukan oleh
negara-negara anggota ASEAN untuk melakukan
tindakan dalam mekanisme hukum nasional
negara anggota ASEAN berupa melakukan
ratifikasi terhadap perjanjian internasional yang
terkait dengan pekerja migran.
b. Pilar Komunitas Ekonomi ASEAN

Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN


(ASEAN Economic Community Blueprint/AEC
Blueprint) yang ditandatangani bersamaan
dengan penandatangan Piagam ASEAN,
dimaksudkan untuk mencapai Visi ASEAN

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

utama bagi pemajuan dan pelindungan hak


asasi manusia di ASEAN, yang berkontribusi
bagi terbentuknya Komunitas ASEAN yang
berorientasi kepada masyarakat dan sebagai
sarana untuk pembangunan sosial dan keadilan
yang progresif, pemenuhan martabat manusia
dan pencapaian kualitas kehidupan yang lebih
baik untuk masyarakat ASEAN.31
Selain itu, dalam upaya untuk menegaskan
kembali terhadap pengakuan perlindungan
terhadap buruh migran terutama perempuan
dan anak-anak, maka telah diadopsi The
Declaration on the Elimination of Violence
against Women and Elimination of Violence
against Children in ASEAN, pada 9 Oktober
2013 di Brunei Darussalam. Kemudian pada
tanggal dan tempat yang sama telah pula
diadopsi ASEAN Declaration on Strengthening
Social Protection, yang memuat prinsip bahwa
semua orang, terutama mereka yang miskin,
berisiko, penyandang cacat, orang tua, putus
usia sekolah, anak-anak, pekerja migran,
dan kelompok rentan lainnya, berhak untuk
memiliki akses yang adil terhadap perlindungan
sosial yang merupakan hak dasar manusia dan
didasarkan pada kebutuhan dasar, pendekatan
siklus hidup dan mencakup layanan penting
yang diperlukan.
Namun, upaya ASEAN dalam mempromosikan
dan melindungi pekerja migran melalui
pengadopsian deklarasi-deklarasi tersebut
bukan merupakan suatu upaya dan peran yang
optimal dan final. Tantangan kemudian adalah
memastikan pelaksanaan yang efektif dari

Lebih lanjut lihat konsideran Pernyataan Phnom Penh mengenai Pengesahan Deklarasi Hak Asasi Manusia
ASEAN.
32
Lebih lanjut lihat konsideran Pernyataan Phnom Penh mengenai Pengesahan Deklarasi Hak Asasi Manusia
ASEAN.
31

Peran Asean dan Negara Anggota Asean terhadap Perlindungan Pekerja Migran (Ade Irawan Taufik)

265

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

Merujuk pada karakteristik AEC Blueprint


tersebut di atas, maka salah satu langkah
yang dilakukan untuk membentuk ASEAN
sebagai suatu pasar tunggal dan basis produksi
serta menjadikan ASEAN lebih dinamis dan
kompetitif adalah dengan mempermudah
pergerakan para pelaku usaha tenaga kerja
terampil dan berbakat.35Di dalam karakteristik
Pasar Tunggal dan Basis Produksi terdapat
elemen Aliran bebas tenaga kerja terampil,
yaitu dalam rangka mobilisasi yang terkelola
serta memfasilitasi masuknya tenaga kerja
yang terlibat dalam perdagangan barang, jasa
dan investasi sesuai dengan peraturan yang
berlaku di negara penerimaan, ASEAN tengah
mengupayakan tindakan: i) memfasilitasi
penerbitan visa dan employment pass bagi
tenaga kerja terampil ASEAN yang bekerja
di sektor-sektor yang berhubungan dengan
perdagangan dan investasi antar-negara
ASEAN; ii) mengupayakan harmonisasi dan
standardisasi, untuk memfasilitasi pergerakan
tenaga kerja di kawasan; iii) mempererat kerja
sama di antara anggota ASEAN University
Network (AUN) untuk meningkatkan mobilitas
mahasiswa dan staf pengajar di kawasan; dan
juga mengembangkan kompetensi dasar dan
kualifikasi untuk pekerjaan dan keterampilan
pelatihan yang dibutuhkan dalam sektor jasa
prioritas; dan iv) memperkuat kemampuan riset
setiap negara anggota ASEAN dalam rangka
meningkatkan keterampilan, penempatan kerja
dan pengembangan jejaring informasi pasar
tenaga kerja di antara negara-negara ASEAN.

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

2020, yaitu menjadikan kawasan ASEAN yang


stabil, makmur, dan sangat kompetitif dengan
pembangunan ekonomi yang merata, dan
mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosialekonomi.33
Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN
memiliki 4 (empat) karakteristik utama, yakni
untuk mewujudkan ASEAN sebagai: 1) Pasar
tunggal dan basis produksi, dengan 5 (lima)
elemen utama yaitu: (i) aliran bebas barang;
(ii) aliran bebas jasa; (iii) aliran bebas investasi;
(iv) aliran bebas tenaga kerja terampil; dan
(iv) aliran modal yang lebih bebas. Di samping
kelima elemen tersebut, pasar tunggal dan basis
produksi juga mencakup 2 (dua) komponen
penting lainnya, yaitu Sektor Integrasi Prioritas
(Sectors Integration Priority/PIS) dan kerjasama
di bidang pangan, pertanian, dan kehutanan;
2) Kawasan ekonomi yang berdaya saing tinggi,
dengan 6 (enam) elemen utama yaitu: (i)
kebijakan persaingan usaha; (ii) perlindungan
konsumen; (iii) hak atas kekayaan intelektual
(HKI); (iv) pembangunan infrastruktur; (v)
perpajakan; dan (vi) e-commerce; 3) Kawasan
dengan pembangunan ekonomi yang setara,
dengan 2 (dua) elemen utama yaitu: (i)
pengembangan usaha kecil dan menengah
(UKM); dan (ii) inisiatif integrasi ASEAN (Inisiative
for ASEAN Integration/IAI); 4) Kawasan yang
terintegrasi ke dalam ekonomi global, dengan
2 (dua) elemen utama yaitu: (i) pendekatan
terpadu terhadap ekonomi di luar kawasan,
dan (ii) peningkatan partisipasi dalam jaringan
pasokan global.34

ASEAN, ASEAN Economic Community Blueprint (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2008), hlm. 5.
Kementerian Luar Negeri, ASEAN Selayang Pandang, Op.Cit, hlm. 54. Lihat juga ASEAN, ASEAN Economic
Community Blueprint (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2008), hlm. 6.
35
ASEAN, ASEAN Economic Community Blueprint (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2008), hlm. 5.
33
34

266

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 255-280

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

subjek dalam konteks komunitas ekonomi


ASEAN, padahal telah diakui secara umum
kontribusi pekerja buruh migran terhadap
aspek ekonomi ditempat negara tujuan maupun
negara asal sangat signifikan. Untuk itu perlu
direformulasikan kembali eksistensi pekerja
buruh migran dalam konteks pilar komunitas
ekonomi ASEAN, sehingga dapat disejajarkan
dengan tenaga kerja terampil atau pekerja
migran terampil dan juga bertujuan untuk
memfasilitasi dan mengembangkan kompetensi
dasar dari pekerja buruh migran.
c. Komunitas Sosial Budaya ASEAN

Tujuan utama dari Komunitas Sosial Budaya


ASEAN (ASEAN Socio-Cultural Community/ASCC)
adalah untuk memberikan kontribusi untuk
mewujudkan Komunitas ASEAN yang berdasar
pada pendekatan kemasyarakatan (peoplecentered approach) dan tanggung jawab sosial
untuk mencapai solidaritas dan persatuan abadi
di antara bangsa-bangsa dan rakyat ASEAN
dengan membangun masyarakat yang saling
peduli dan berbagi.36 Kerja sama di bidang sosialbudaya menjadi salah satu titik tolak utama
untuk meningkatkan integrasi ASEAN melalui
terciptanya a caring and sharing community,
yaitu sebuah masyarakat ASEAN yang saling
peduli dan berbagi. Kerja sama sosial budaya
mencakup kerja sama di bidang kepemudaan,
perempuan, perlindungan anak, kepegawaian,
penerangan, kebudayaan, pendidikan, ilmu
pengetahuan dan teknologi, lingkungan hidup,
penanggulangan bencana alam, kesehatan,
pembangunan sosial, pengentasan kemiskinan,
ketenagakerjaan, dan Yayasan ASEAN.37

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

Merujuk pada karakteristik Pasar tunggal dan


basis produksi yang di dalamnya hanya terdapat
elemen aliran bebas tenaga kerja terampil,
maka terdapat inkonsistensi pengakuan
terhadap pekerja buruh migran, hal ini terlihat
dengan tidak ditemukannya pengakuan
eksistensi pekerja migran dari sektor buruh dan
informal dalam karakteristik tersebut maupun
karakteristik lainnya dalam ASEAN Economic
Community Blueprint.
Tidak adanya pengakuan eksistensi
pekerja migran tersebut juga menciptakan
ketidakkonsistenan terhadap tujuan ASEAN
sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 angka (5)
Piagam ASEAN yang memfasilitasi pergerakan
pekerja migran, yang tidak hanya pekerja
profesional yang terdidik dan terlatih, namun
juga pekerja migran dalam arti buruh migran
atau pekerja informal, sehingga hal ini juga
tidak sejalan dengan Pasal 1 angka (13) Piagam
ASEAN, yakni berorientasi kepada rakyat dan
yang didalamnya seluruh lapisan masyarakat
didorong untuk berpartisipasi dalam, dan
memperoleh manfaat dari, proses integrasi dan
pembangunan Komunitas ASEAN. Begitu juga
dengan pendapat Pemerintah yang menyatakan
bahwa dalam konteks pencapaian single market
(pasar tunggal) dilakukan melalui kebebasan
pelaku usaha, pekerja profesional, pekerja
berbakat, dan buruh, yang dimaksudkan
untuk memajukan perdagangan, investasi dan
mendorong lalu-Iintas pelaku usaha, pekerja
profesional, pekerja berbakat serta buruh.
Tidak diakuinya eksistensi pekerja buruh
migran, menunjukan bahwa pekerja buruh
migran baru dianggap sebagai objek dan bukan

ASEAN, ASEAN Socio-Cultural Community Blueprint (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2009), hlm. 1.
Kementerian Luar Negeri, ASEAN Selayang Pandang, Op.Cit, hlm. 122.

36
37

Peran Asean dan Negara Anggota Asean terhadap Perlindungan Pekerja Migran (Ade Irawan Taufik)

267

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

Di dalam karakteristik Keadilan Sosial dan


Hak-hak, ASEAN berkomitmen mempromosikan
keadilan sosial dan pengarusutamaan hak-hak
rakyat ke dalam kebijakan dan semua bidang
kehidupan, termasuk hak-hak dan kesejahteraan
kelompok yang kurang beruntung, rentan dan
marjinal seperti perempuan, anak-anak, orang
tua, penyandang cacat dan pekerja migran.
Sehingga dalam konteks karakteristik tersebut
tindakan yang dilakukan melalui program
Perlindungan dan Promosi Hak Pekerja Migran.
Tujuan dari program tersebut yaitu memastikan
kebijakan migrasi yang adil dan komprehensif
dan perlindungan yang memadai bagi semua
pekerja migran sesuai dengan hukum, peraturan
dan kebijakan masing-masing negara anggota
ASEAN serta melaksanakan Deklarasi ASEAN
tentang Perlindungan dan Promosi Hak-Hak
Pekerja Migran.39
Untuk memastikan tujuan dari program
tersebut terwujud, maka tindakan-tindakan
yang dilakukan, yaitu:40 Pertama, Membentuk
Komite ASEAN tentang Pelaksanaan Deklarasi
ASEAN tentang Perlindungan dan Promosi HakHak Pekerja Migran di bawah naungan SLOM41
untuk melaksanakan ketentuan Deklarasi dan
bekerja menuju pengembangan instrumen
ASEAN tentang perlindungan dan promosi hakhak pekerja migran; Kedua, Institusionalisasi dan
mengadakan secara teratur Forum ASEAN pada
Buruh Migran sebagai platform untuk diskusi
berbasis luas tentang isu-isu perburuhan migran
di bawah naungan Komite, yang bertanggung
jawab kepada SLOM; Ketiga, Mempromosikan
perlindungan gaji yang adil dan tepat upah

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

Kerja sama di bidang ketenagakerjaan ASEAN


diarahkan pada upaya untuk menggalang sikap
bersama (common position) ASEAN dalam
menanggulangi isu-isu ketenagakerjaan, antara
lain perbaikan lingkungan kerja dan upaya
perlindungan dan pemajuan (protection and
promotion) hak tenaga kerja migran (migrant
worker). Kerjasama dalam ketenagakerjaan
merupakan bagian dari kerjasama sosial budaya
dalam pilar Komunitas Sosial Budaya ASEAN,
sehingga yang perlu dikritisi adalah apakah
kerjasama ketenagakerjaan dalam pilar ini
berperan dalam menanggulangi permasalahan
pekerja migran?
Untuk mewujudkan terbentuknya Komunitas
Sosial Budaya ASEAN, ASEAN telah menyusun
Cetak Biru Komunitas Sosial Budaya ASEAN
(ASEAN Socio Cultural Community Blueprint)
yang disahkan pada KTT ASEAN ke-14 di Cha-am
Hua Hin, Thailand tanggal 1 Maret 2009. Di dalam
blueprint tersebut, ASCC memiliki karakteristik
ketahanan budaya regional, kepatuhan
terhadap prinsip-prinsip yang disepakati,
semangat kerja sama, tanggung jawab kolektif,
untuk mempromosikan pembangunan manusia
dan sosial, menghormati kebebasan dasar,
kesetaraan gender, promosi dan perlindungan
hak asasi manusia dan promosi sosial keadilan.
Berdasarkan hal tersebut terdapat 6 (enam)
karakteristik utama dalam ASCC, yaitu: (a)
Pembangunan Manusia; (b) Perlindungan dan
Kesejahteraan Sosial; (c) Keadilan Sosial dan
Hak-hak; (d) Memastikan Kelestarian Lingkungan
Hidup (e) Membangun Identitas ASEAN; dan (f)
Mempersempit kesenjangan Pembangunan.38

ASEAN, ASEAN Socio-Cultural Community Blueprint (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2009), hlm. 1.
ASEAN, ASEAN Socio-Cultural Community Blueprint (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2009), hlm. 12.
40
Ibid., hlm. 13.
41
Pertemuan tingkat Pejabat Senior Ketenagakerjaan (Senior Labour Officials Meeting/SLOM).
38
39

268

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 255-280

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

migran dan mengadopsi mekanisme untuk


menghilangkan malpraktek perekrutan melalui
kontrak legal dan valid, regulasi, dan akreditasi
agen perekrutan dan pengusaha, dan daftar
hitam dari lalai / lembaga yang melanggar
hukum; dan Kesembilan, Mempromosikan
pembangunan kapasitas dengan berbagi
informasi, praktek-praktek terbaik serta
peluang dan tantangan dalam kaitannya dengan
perlindungan dan promosi hak-hak pekerja
migran dan kesejahteraan.
Mencermati
tindakan-tindakan
yang
gariskan dalam konteks program Perlindungan
dan Promosi Hak Pekerja Migran dalam Cetak
Biru Komunitas Sosial Budaya tersebut, maka
sebenarnya
tindakan-tindakan
tersebut
sebagian besar mengadopsi substansi dari
Deklarasi ASEAN mengenai Perlindungan dan
Pemajuan Hak Pekerja Migran (Declaration on
the Protection and Promotion of the Rights of
Migrant Workers).
Dalam bidang pekerja migran, KTT ASEAN
Ke-12 di Cebu, tanggal 13 Januari 2007, telah
menghasilkan Deklarasi ASEAN mengenai
Perlindungan dan Pemajuan Hak Pekerja Migran
(Declaration on the Protection and Promotion
of the Rights of Migrant Workers) yang
memuat kewajiban negara pengirim, negara
penerima maupun ASEAN dalam memberikan
perlindungan dan pemajuan hak pekerja
migran. Sebagai tindak lanjut, pada Pertemuan
ke-40 AMM di Manila, tanggal 30 Juli 2007, telah
dibentuk Komite ASEAN mengenai Implementasi
Deklarasi ASEAN mengenai Perlindungan dan
Pemajuan Hak-Hak Tenaga Migran (ASEAN
Committee on the Implementation of the
Declaration on the Protection and Promotion of
the Rights of Migrant Workers/ACMW), sebagai
penanggung jawab pelaksana ASEAN dalam
mengkoordinasikan implementasi Deklarasi

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

dan akses yang memadai terhadap kerja dan


kondisi kehidupan yang layak bagi pekerja
migran dan menyediakan akses yang memadai
terhadap sistem hukum dan peradilan negara
penerima pekerja migran, bagi pekerja migran
yang mungkin menjadi korban diskriminasi,
pelecehan, eksploitasi, kekerasan; Keempat,
Mengintensifkan upaya untuk melindungi
hak asasi manusia, memajukan kesejahteraan
dan menjunjung tinggi martabat manusia
pekerja migran oleh, antara lain, memfasilitasi
pelaksanaan fungsi konsuler kepada pihak
berwenang, konsuler atau diplomatik dari
negara asal pekerja migran ketika ditangkap
atau dimasukkan ke penjara atau tahanan atau
ditahan dengan cara lain, berdasarkan hukum
dan peraturan negara menerima dan sesuai
dengan konvensi Wina dan Hubungan Konsuler;
Kelima, Memfasilitasi berbagi data mengenai
hal-hal yang berkaitan dengan pekerja migran
untuk tujuan meningkatkan kebijakan dan
program tentang pekerja migran di kedua
negara pengirim dan penerima; Keenam,
Memperkuat kebijakan dan prosedur di negara
pengirim untuk memfasilitasi aspek pekerja
migrasi, termasuk rekrutmen, persiapan untuk
penyebaran luar negeri dan perlindungan TKI di
luar negeri serta pemulangan dan reintegrasi ke
negara-negara asal; Ketujuh, Memfasilitasi akses
ke sumber daya dan obat melalui informasi,
pelatihan dan pendidikan, akses terhadap
keadilan, dan pelayanan kesejahteraan sosial
yang sesuai dan sesuai dengan undangundang dan negara penerima, asalkan mereka
memenuhi persyaratan berdasarkan hukum
yang berlaku, peraturan, dan kebijakan negara
mengatakan, perjanjian bilateral dan perjanjian
multilateral; Kedelapan, Membangun dan
mempromosikan praktek hukum dari negara
pengirim untuk mengatur perekrutan buruh

Peran Asean dan Negara Anggota Asean terhadap Perlindungan Pekerja Migran (Ade Irawan Taufik)

269

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

dan ketiga, masih berpolemik mengenai


perlindungan pekerja migran yang tak terdo
kumentasi.44 Selain itu terdapat permasalahan
yang sulit untuk disepakati, yaitu terkait definisi
dan ruang lingkup dari pekerja migran.45
Bahwa dasar pembentukan instrumen
perlindungan dan pemajuan hak-hak pekerja
migran merupakan amanat dari Deklarasi
ASEAN mengenai Perlindungan dan Pemajuan
Hak Pekerja Migran. Pada hakekatnya deklarasi
merupakan suatu pernyataan politik (political
statement) yang tidak mengikat hak dan
kewajiban negara anggota maupun organisasi
atas dasar hukum/konstitusi, sehingga deklarasi
dapat dikatakan hanya mengikat secara moral
atau sebagai bentuk soft law dari perjanjian
internasional. Hal ini lah juga mendasari ASEAN
dari yang didirikan berdasarkan deklarasi
sehingga ASEAN pada saat itu adalah organisasi
yang longgar (loose association) menjadi
terbentuknya Piagam ASEAN, yang menjadikan
ASEAN sebagai organisasi yang berdasarkan
hukum (rules based organization) dan menjadi
subjek hukum (legal personality). Namun
demikian deklarasi yang merupakan perjanjian
internasional, mempunyai kekuatan mengikat
seperti halnya treaty atau convention, tetapi
karena bentuk dan strukturnya, tidak praktis
dan belum memadai dan tidak komprehensif,
maka perlu suatu kerangka kerja hukum melalui
pembuatan perjanjian-perjanjian internasional
dalam kerangka dan sistem ASEAN.46

na

lR
ec
hts
V

ind

serta memfasilitasi pengembangan instrumen


perlindungan dan pemajuan hak-hak pekerja
migran, yang saat ini sedang disusun oleh Tim
Penyusun ACMW (ACMW-Drafting Team).
Sementara pada pertemuan SLOM Ke-5, tanggal
15-16 Mei 2007, telah dibentuk Forum Tenaga
Migran (Forum on Migrant Workers) sebagai
forum pertemuan seluruh pemilik kepentingan
di bidang tenaga migran.42
Salah satu agenda utama ACMW adalah
menyusun ASEAN Instrument on the Protection
and Promotion of the Rights of Migrant Workers.
Instrumen tersebut dimaksudkan agar ASEAN
akan memiliki landasan hukum yang kuat dalam
menangani isu-isu perlindungan dan pemajuan
hak-hak pekerja migran, yang sesuai dengan
visi ASEAN: a caring and sharing community.
Namun pembahasan instrumen tersebut belum
dapat diselesaikan karena terdapat pandangan
yang berbeda antara negara penerima dan
negara pengirim tenaga migran.43
Semenjak dibentuknya ACMW pada tahun
2007 sampai dengan saat ini, keberadaan
instrumen perlindungan dan pemajuan hak-hak
pekerja migran belum dapat disepakati oleh
negara anggota ASEAN. Belum disepakatinya
instrumen tersebut disebabkan antara lain:
pertama, masih diperdebatkannya mengenai
status instrumen perlindungan itu, apakah
nantinya mengikat (legally binding) atau tidak
untuk negara ASEAN; kedua, pembahasan
cakupan anggota keluarga pekerja migran;

Kementerian Luar Negeri, ASEAN Selayang Pandang, Op.Cit, hlm. 141.


Ibid., hlm. 227.
44
Komitmen Negara ASEAN Lindungi Pekerja Migran Diragukan (http://www.hukumonline.com/berita/baca/
lt517fba0e98dfd/komitmen-negara-asean-lindungi-pekerja-migran-diragukan, diakses 2 Juni 2014).
45
Sinapan Samydorai, Is ASEAN Closer to Legal Protection of the Rights of Migrant Workers?, (http://aseanpeople.
org/is-asean-closer-to-legal-protection-of-the-rights-of-migrant-workers/, diakses 2 Juni 2014).
46
Mohd. Burhan Tsani, Arti Piagam Bagi ASEAN (makalah disampaikan pada Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, tanggal 7 Mei 2008 di Yogyakarta).
42

Jur

43

270

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 255-280

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

terhadap anggota keluarga akan mengalami


kesulitan untuk disepakati, hal ini dikarenakan
perlindungan hak dan martabat pekerja migran
dan keluarganya tergantung kepada regulasi dan
kebijakan dari masing-masing negara penerima,
ketentuan ini ditemukan di dalam bagian butir
ke-3 Prinsip-Prinsip Umum Deklarasi ASEAN
mengenai Perlindungan dan Pemajuan Hak
Pekerja Migran menyatakan bahwa: The
receiving states and the sending states shall take
into account the fundamental rights and dignity
of migrant workers and family members already
residing with them without undermining the
application by the receiving states of their laws,
regulations and policies.
Bahwa sebenarnya cakupan perlindungan
bagi anggota keluarga pekerja migran dan
juga pekerja migran yang tak terdokumentasi
merupakan hal-hal dasar yang mendapatkan
perlindungan sebagaimana yang telah diatur
di dalam Konvensi Internasional tentang
Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan
Anggota Keluarganya (International Convention
on the Protection of the Rights of All Migrant
Workers and Member of Their Families).47
Namun permasalahannya, belum semua
negara-negara anggota ASEAN telah meratifikasi
konvensi tersebut. Negara anggota ASEAN yang
sudah meratifikasi baru Indonesia dan Philipina,
sedangkan Kamboja baru menandatangani dan
belum meratifikasi.48 Sangat sedikitnya negara
anggota ASEAN yang telah meratifikasi konvensi
tersebut, menjadi salah satu sebab sulitnya

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

Atas dasar tersebut, maka Instrumen


perlindungan dan pemajuan hak-hak pekerja
migran sebagai amanat deklarasi Deklarasi
ASEAN mengenai Perlindungan dan Pemajuan
Hak Pekerja Migran seharusnya merupakan
suatu kerangka hukum yang seharusnya
memiliki kekuatan mengikat terhadap negara
anggota ASEAN.
Permasalahan terkait cakupan perlindungan
terhadap anggota keluarga pekerja migran
dan juga perlindungan pekerja migran yang
tidak terdokumentasi yang sampai saat ini
belum mencapai kesepakatan, menurut Penulis,
permasalahan tersebut akan mengalami
kesulitan untuk disepakati, hal ini karena
Deklarasi ASEAN mengenai Perlindungan
dan Pemajuan Hak Pekerja Migran yang
mengamanatkan untuk disusunnya instrumen
perlindungan dan pemajuan hak-hak pekerja
migran, di butir ke-4 bagian Prinsip-Prinsip
Umum-nya (General Principles) secara tegas
menyatakan bahwa Nothing in the present
Declaration shall be interpreted as implying
the regularisation of the situation of migrant
workers who are undocumented. Prinsip
tersebut jelas telah menegaskan bahwa maksud
dari deklarasi tersebut tidak dimaksudkan
untuk mengatur pekerja migran yang tidak
berdokumen, sehingga instrumen yang akan
disusun tidak boleh mengatur terkait dengan
undocumented workers, kecuali terjadi
konsesus untuk mengaturnya. Begitu pula
dengan permasalahan cakupan perlindungan

Disahkan melalui Resolusi Majelis Umum PBB 45/158 tanggal 18 Desember 1990.
Indonesia telah menandatangani United Nations on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Member
of Their Families pada tanggal 22 September 2004 dan telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2012. Philipina telah menandatangani konvensi tersebut pada tanggal 15 November 1993 dan telah diratifikasi
pada tanggal 5 Juli 1995, sedangkan Kamboja hanya baru menandatangi konvensi tersebut pada tanggal 27
September 2004, lihat United Nations Treaty Collection, https:/

47
48

Peran Asean dan Negara Anggota Asean terhadap Perlindungan Pekerja Migran (Ade Irawan Taufik)

271

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

ind

2. Kesiapan Instrumen Hukum Indonesia


dan Negara-Negara Anggota ASEAN
Lainnya Dalam Melindungi Pekerja
Migran

migran diindikasikan dari jumlah negara


anggota ASEAN yang meratifikasi Konvensi
Internasional tentang Perlindungan Hak Semua
Buruh Migran dan Anggota Keluarganya dan
juga konvensi-konvensi lainnya yang secara tidak
langsung terkait dengan pekerja migran, maka
dapat dinilai bahwa negara-negara anggota
ASEAN memiliki komitmen yang rendah dalam
perlindungan pekerja migran. Hal ini dapat
terlihat dari tidak adanya negara angggota
ASEAN yang merupakan negara penerima
pekerja migran yang meratifikasi konvensi
tersebut, begitu pula negara anggota ASEAN
yang menjadi negara pengirim pekerja migran,
hanya baru Philipina dan Indonesia yang telah
meratifikasinya.
Rendahnya komitmen negara anggota
ASEAN terhadap perlindungan pekerja migran
juga dapat diindikasikan dari rendahnya ratifikasi
terhadap perjanjian internasional yang secara
tidak langsung terkait dengan perlindungan
pekerja migran. Mengingat tingginya angka
pekerja migran Indonesia yang menjadi pekerja
rumah tangga (domestic workers) sudah saatnya
seharusnya Indonesia meratifikasi Konvensi
International Labour Organization (ILO) No.
189 tentang Kerja Layak Pekerja Rumah
Tangga (Convention concerning Decent Work
for Domestic Worker, 2011). Konvensi Pekerja
Rumah Tangga tersebut hanya baru diratifikasi
oleh negara Philipina, sedangkan negara anggota
ASEAN lainya belum meratifikasi. Konvensi ILO
No. 189 merupakan instrumen penting untuk
standar perlindungan pekerja rumah tangga di
dalam dan luar negeri.49

ing

tercipta konsensus di dalam penyusunan


intrumen perlindungan dan pemajuan hak-hak
pekerja migran. Namun demikian, terdapat
alternatif terhadap kebuntuan konsensus
penyusunan instrumen perlindungan HAM,
yakni Indonesia dapat secara paralel dapat
melakukan pendekatan secara bilateral dengan
masing-masing negara penerima, sehingga akan
lebih efektif dalam menyepakati penyelesaian
permasalahan pekerja migran.

Jur

na

lR
ec
hts
V

Sebagaimana telah dideskripsikan di


atas, bahwa finalisasi negosiasi isu-isu
promosi dan perlindungan hak-hak pekerja
migran, tetap menjadi salah satu tantangan
penting yang memerlukan upaya lanjutan
dan kolektif oleh negara-negara anggota
ASEAN untuk mempercepat proses, selain itu
memasukan prinsip-prinsip yang terkandung
dalam deklarasi-deklarasi tersebut ke dalam
mekanisme nasional di setiap negara anggota
ASEAN juga merupakan keniscayaan demi
efektifnya pelaksanaan dari deklarasi tersebut.
Sehingga yang perlu dikritisi adalah sejauhmana
komitmen dari negara-negara anggota ASEAN
untuk melakukan tindakan ke dalam mekanisme
hukum nasional masing-masing negara anggota
ASEAN dalam mengatur pekerja migran dalam
regulasi dan kebijakan dari negara anggota
ASEAN tersebut.
Apabila indikator komitmen negara anggota
ASEAN dalam upaya untuk melindungi pekerja

Dirjen Binapenta Ungkapkan Komitmen Ratifikasi Konvensi ILO No. 18, (http://www.solidaritasperempuan.
org/dirjen-binapenta-ungkapkan-komitmen-ratifikasi-konvensi-ilo-no-189/, diakses 2 Juni 2014).

49

272

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 255-280

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

instrumen internasional lainnya dalam konteks


hak asasi manusia. Konvensi-konvensi dan
instrumen internasional dalam bidang hak asasi
manusia yang secara tidak langsung mengatur
perlindungan pekerja migran, dapat dilihat
dalam tabel di bawah ini:

Tabel 1: Instrumen Internasional Terkait Perlindungan Buruh

Negara Anggota ASEAN Yang Telah Meratifikasi

Brunei Kamboja Indonesia Laos Malaysia Myanmar Philipina Singapura Thailand Vietnam

ing

Instrumen Internasional

BP
HN

Mengingat konsep perlindungan pekerja


migran tidak terlepas dari konteks perlindungan
hak asasi manusia, maka indikator komitmen
peran negara anggota ASEAN terhadap
perlindungan pekerja migran juga tidak
terlepas ratifikasi konvensi-konvensi dan

Kovenan Internasional tentang Hakhak Sipil dan Politik (ICCPR)

Protokol Opsional pada Kovenan


Internasional tentang Hak-hak Sipil
dan Politik (ICCPR)

Kovenan Internasional tentang


Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
(ICESCR)

ind

Konvensi Internasional tentang


Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Rasial (CERD)

lR
ec
hts
V

Protokol Opsional pada Kovenan


Internasional tentang Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya (ICESCR)
Konvensi tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan (CEDAW)

Protokol Opsional pada Konvensi


tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan (CEDAW)

Konvensi Menentang Penyiksaan


dan Perlakuan atau Penghukuman
Lain yang Kejam, Tidak manusiawi
atau Merendahkan Martabat
Manusia (CAT)

Protokol untuk Mencegah,


Menghapus dan Menghukum
Perdagangan Orang, Khususnya
Perempuan dan Anak-Anak

Protokol Melawan Penyelundupan


Buruh Migran melalui Darat, Laut
dan Udara

Jur

na

Konvensi tentang Hak Anak

Sumber: diolah oleh Penulis dari Human Rights Resource Centre, Rule of Law untuk Hak Asasi Manusia di Kawasan
ASEAN: Studi Data Awal (Jakarta: HRRC, 2011).

Peran Asean dan Negara Anggota Asean terhadap Perlindungan Pekerja Migran (Ade Irawan Taufik)

273

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

tersebut mengandung ketidakpastian hukum,


pembagian tugas dan wewenang yang tidak
proporsional antara pemerintah dan swasta
sehingga menimbulkan ketidakefektifan hukum,
dan sistem perlindungan dan pengelolaan yang
kurang berpihak kepada Pekerja Indonesia di
Luar Negeri.51
Selain itu, Indonesia saat ini juga sedang
menyusun Rancangan Undang-Undang tentang
Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.52 RUU
ini dimaksudkan untuk menjamin pemenuhan
hak-hak dasar dan kesejahteraan pekerja
rumah tangga beserta keluarganya.53 Namun
sebaiknya proses penyusunan RUU ini didahului
terlebih dahulu dengan meratifikasi Konvensi
International Labour Organization (ILO) No.
189 tentang Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga,
sehingga konvensi tersebut menjadi landasan
dalam proses penyusunan RUU Perlindungan
Pekerja Rumah Tangga dan juga penyusunan
Rancangan
Undang-Undang
tentang
Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri,
mengingat tingginya angka pekerja buruh
migran yang bekerja di sektor domestic workers.
Merujuk regulasi dan kebijakan yang berlaku
dari masing-masing negara anggota ASEAN
terkait dengan perlindungan pekerja migran,
dan apabila diklasifikasikan berdasarkan negara
penerima dan negara pengirim pekerja migran,
maka terlihat minimya pengaturan terkait
perlindungan pekerja migran. Regulasi-regulasi

na

lR
ec
hts
V

ind

Merujuk pada Tabel 1 di atas, apabila


diklasifikasikan berdasarkan negara penerima
dan negara pengirim pekerja migran, maka
komitmen peran negara penerima terhadap
perlindung hak asasi manusi sangat rendah,
hal ini dapat terlihat dari instrumen-instrumen
internasional yang telah diratifikasi oleh negara
penerima pekerja migran.
Deskripsi di atas juga mengindikasikan
bahwa upaya negara anggota ASEAN dalam
perlindungan pekerja migran masih jauh dari
yang diharapkan, karena ratifikasi baru dianggap
sebagai upaya awal untuk melindungi pekerja
migran, karena selanjutnya masih ada tindakan
lanjutan yang harus dilakukan, yaitu menyusun
instrumen regulasi dan mengharmonisasikan
regulasi untuk mengimplemetasikan dari
ratifikasi tersebut.
Dalam lingkup Indonesia, telah banyak
peran yang dilakukan oleh Indonesia dalam
melindungi TKI. Selain telah meratifikasi
Konvensi Internasional tentang Perlindungan
Hak Semua Buruh Migran dan Anggota
Keluarganya, saat ini telah dibahas Rancangan
Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan
Pekerja Indonesia di Luar Negeri sebagai
pengganti dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2004 tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.50 RUU ini
dimaksudkan untuk mengganti Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2004, karena undang-undang

Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga sebagai RUU prioritas nomor 38 dalam
Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2014 (Keputusan DPR RI Nomor 03A/
DPR RI/II/2013-2014.
51
Lihat bagian Penjelasan Umum Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar
Negeri.
52
Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri sebagai RUU prioritas
nomor 22 dalam Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2014 (Keputusan DPR
RI Nomor 03A/DPR RI/II/2013-2014.
53
Lihat konsideran bagian menimbang dari Rancangan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja
Rumah Tangga.

Jur

50

274

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 255-280

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

Act), yang bertujuan untuk meningkatkan


peraturan pemerintah mengenai agen-agen
ketenagakerjaan. Denda yang dikenakan atas
bekerjanya agen-agen tenaga kerja ilegal telah
meningkat secara tajam.54 Perhatian yang
serius terhadap domestic workers (pekerja
rumah tangga) telah diperlihatkan oleh
Brunei Darussalam dengan memberlakukan
Employment (Domestic Workers) Regulations.

ing

yang diberlakukan di negara penerima baru


sebatas mengatur bagaimana pekerja migran
tersebut adalah pekerja migran yang resmi dan
melalui agen atau jalur yang resmi.
Tabel 2 di bawah ini menunjukkan bahwa
Singapura dan Thailand telah secara khusus
mengatur pekerja migran adalah. Singapura,
misalnya pada tahun 2011, telah meng
amandemen Undang-Undang tentang AgenAgen Ketenagakerjaan (Employment Agencies

Tabel 2: Regulasi dan Kebijakan Di Negara Penerima Pekerja Migran


Negara

Peraturan dan Kebijakan


-
-
-
-

Workmens Compensation Act, (Cap. 74) (Law)


Trafficking and Smuggling of Persons Order, 2004 (government order)
Employment (Domestic Workers) Regulations, 2009
Employment Order 2009 (law)

Malaysia

-
-
-
-
-
-
-
-
-

Industrial Relations Act of 1967 (Act 177)


Immigration Act 1959/63 (Act 155) & Regulations and Orders & Passports Act 1966 (Act 150)
Immigration Act 1959/63 (Act 155) & Regulations and Orders & Passports Act 1966 (Act 150)
Occupational Safety and Health Act 1994 (Act 514), Regulations & Orders
Employment Act 1955 (Act 265)
Anti-Trafficking in Persons Act 2007
Employment Information Act 1953
Private Employment Agencies Act 1981 (Act 246
Wages Councils Act 1947 (Act 195)

Singapura

-
-
-
-

Employment Agencies Act


Employment of Foreign Manpower Act (Chapter 91A)
Employment Act (Chapter 91)
Passport Act

Thailand

- Working of Alien Act, B.E.2551 (2008)1


- Ministry of Labour Regulation on the Exemption of a Work Permit Fee for Myanmar Workers
who complete and pass the Nationality Verification Process and are permitted to Stay Legally
in Thailand B.E.2552 (2009)
- Ministry of Labour Regulation on the Exemption of a Work Permit Fee for Laotian and
Cambodian Workers who complete and pass the nationality Verification Process and are
permitted to Stay Legally in Thailand, B.E.2550 (2007)
- Ministerial Regulation concerning application for and issuing of work permits and declaring
employment of foreign workers B.E. 2554 (2011)

na

lR
ec
hts
V

ind

Brunei
Darussalam

Jur

Sumber: diolah kembali oleh Penulis dari ASEAN, Repository Matrix of Legislations and Policies on Migrant Workers of
ASEAN Member State (Jakarta, ASEAN Secretariat, 2012).

Human Rights Resource Centre, Rule of Law untuk Hak Asasi Manusia di Kawasan ASEAN: Studi Data Awal (Jakarta:
HRRC, 2011), hlm. 264.

54

Peran Asean dan Negara Anggota Asean terhadap Perlindungan Pekerja Migran (Ade Irawan Taufik)

275

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

komprehensif dalam melindungi pekerja migran


mereka baik dalam tahap sebelum penempatan
dan pada masa penempatan di luar negeri.

BP
HN

Apabila merujuk pada Tabel 3 di bawah


ini, maka Indonesia dan Philipina sebagai
negara pengirim pekerja migran relatif telah

Tabel 3: Regulasi dan Kebijakan Di Negara Pengirim Pekerja Migran


Negara

Peraturan dan Kebijakan

- Cambodian National Consultation on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant
Workers
- Labor Law of Cambodia (law)
- Prakas (Ministerial Regulation) on Education of HIV/AIDS, Safe Migration and Labor Rights for
Cambodian Migrant Workers Abroad
- Prakas on the creation of a labour migratin taskforce (Ministerial regulation)
- Policy on Labour Migration for Cambodia

Laos

- Labor Law (Amended)


- Law on the Protection of the Rights and Interests of Children
- Law on Development and Protection of Women

Myanmar

-
-
-
-

Philipina

- Executive Order No. 392: Amending Executive Order No. 182 dated February 14, 2003 entitled
Transferring the Medicare Functions of the Overseas Workers Welfare Administration to the
Philippine Health Insurance Corporation
- Migrant Workers and Overseas Filipinos Act of 1995
- Executive Order No. 220: Creating An Executive Council to Suppress Trafficking in Persons,
Particularly Women and Children
- Memorandum Circular No. 14: Requirements for the Verification, Registration, and Documentation
of Overseas Household Service Workers and Selected Skills
- Memorandum Circular No. 10: Pre-Qualification of Filipino Household Service Worker
- Memorandum Circular No. 11: Transition Period to Implement the Governing Board Resolution
Affecting Household Service Workers, Low/semiskilled Female Workers and Applicants for New
License using HSWs as their New Market
- Special Protection of Children Against Child Abuse, Exploitation and Discrimination Act (Republic
Act)
- Inter-Country Adoption Act of 1995Overseas WorkersInvestment (OWI) Fund Act
- An Act to Strengthen the Regulatory Functions of the Philippine Overseas Employment
Administration (POEA), Amending for this Purpose Republic Act No. 8042, otherwise known as
the Migrant Workers and Overseas Filipinos Act of 1995 (republic Act)
- Executive Order No. 759: Creating a Task Force Against Illegal Recruitment
- Executive Order No. 446: Tasking the Secretary of Labor and Employment to Oversee and
Coordinate the Implementation of Various Initiatives for Overseas Filipino Workers (OFWs)
- Executive Order No. 195: Providing a Medical Care Program to Filipino Overseas Contract Workers
and Their Dependents and Prescribing the Mechanism Therefor
- Presidential DecreeNo. 1694: Organization and Administration of the Welfare Fund for Overseas
Workers
- Recruitment for Overseas Work Law (Republic Act)

ind

ing

Kamboja

Jur

na

lR
ec
hts
V

Law Relating to Overseas Employment


Law Amending the Myanmar Immigration (Emergency Provisions) Act, 1947
The Anti Trafficking in Persons Law
The Burma Immigration (Emergency Provisions) Act, 1947

276

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 255-280

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

- Official Dispatch No.129/TBCP dated 17 April 2009 of the Office of Government informing
conclusion of the Prime Minister on Foreign Workers in Viet Nam
- Official Dispatch No.129/TBCP dated 17 April 2009 of the Office of Government informing
conclusion of the Prime Minister on Foreign Workers in Viet Nam
- Decision No. 18/2007/QDBLDTBXH of July 18, 2007, promulgating the Program on providing
laborers with necessary knowledge before they go to work abroad
- Decision No. 19/2007/QDBLDTBXH of July 18, 2007, promulgating the Regulation on organizational
structures of sections sending laborers to work abroad and sections specialized in providing;
laborers with necessary knowledge before they go to work abroad
- Decision No. 20/2007/QDBLDTBXH of August 2, 2007, promulgating certificate of necessary
knowledge provided to laborers before they go to work abroad
- Joint Circular No. 08/2007/TTLT-BLDTBXH-BTP of July 11, 2007, guiding in detail a number of
matters regarding the contents of guarantee contracts for laborers going abroad to work under
contracts and liquidation of guarantee contracts
- Joint Circular of Ministry of Labour-War Invalids and Social Welfare and the Ministry of Finance
No.10/2004/TTLTBLDTBXH-BTC dated 16 December 2004 providing the implementation of
medical check-up and medical report for Vietnamese workers seeking for oversea employment
- Joint Circular of Ministry of Labour-War Invalids and Social Welfare and Ministry of Finance
No.16/2007/TTLT-BLDTBXHBTC dated 04 September 2007 providing instructions regarding agency
and service fees in sending Vietnamese workers for oversea employment
- Joint Circular of Ministry of Labour-War Invalids and Social Welfare and the State Bank of Viet
Nam No.17/2007/TTLTBLDTBXH-NHNNVN dated 04 September 2007 providing the management
and use of deposit of recruitment agencies and deposit of guest workers
- Law on Vietnamese Guest Workers

ind

ing

Vietnam

lR
ec
hts
V

Sumber: diolah kembali oleh Penulis dari ASEAN, Repository Matrix of Legislations and Policies on Migrant Workers of
ASEAN Member State (Jakarta, ASEAN Secretariat, 2012).

Jur

na

Merujuk deskripsi tersebut di atas, maka baik


negara penerima dan negara pengirim pekerja
migran telah terdapat instrumen regulasi
dari negara masing dalam mengatur pekerja
migran, namun pengaturan tersebut tetap pada
perspektif kepentingan masing-masing negara,
yang seharusnya adalah dalam regulasi tersebut,
baik negara penerima maupun negara pengirim
terdapat suatu kesamaan prinsip-prinsip
universal dalam perlindungan pekerja migran.
Penyebab perbedaan prinsip tersebut salah
satunya adalah tidak diratifikasinya Konvensi
Internasional tentang Perlindungan Hak Semua
Buruh Migran dan Anggota Keluarganya dan
instrumen internasional lainnya oleh semua
negara anggota ASEAN.

D. Penutup
Bahwa peran ASEAN dalam melindungi
pekerja migran tertuang di Piagam ASEAN yang
dielaborasikan ke dalam 3 (tiga) pilar Komunitas
ASEAN. Piagam ASEAN dalam konteks
pembentukan single market memberikan
kesempatan yang sama bagi pekerja profesional
dan buruh untuk memajukan perdagangan,
investasi dan mendorong lalu-Iintas pelaku
usaha, pekerja profesional, pekerja berbakat
serta buruh. Namun demikian, dalam konteks
pilar Komunitas ASEAN terjadi inkonsistensi
terhadap pengakuan eksistensi pekerja buruh
migran, karena dalam Pilar Komunitas Ekonomi
ASEAN hanya memfasilitasi pergerakan pekerja
profesional yang terdidik dan terlatih saja. Tidak
diakuinya eksistensi pekerja buruh migran,
menunjukan bahwa pekerja buruh migran baru

Peran Asean dan Negara Anggota Asean terhadap Perlindungan Pekerja Migran (Ade Irawan Taufik)

277

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

nilai-nilai yang terkandung dalam deklarasideklarasi tersebut ke dalam mekanisme nasional


di setiap negara anggota ASEAN merupakan
keniscayaan demi efektifnya pelaksanaan dari
deklarasi tersebut, namun dalam konteks
perlindungan bagi pekerja migran, belum
banyak yang dilakukan oleh negara-negara
anggota ASEAN untuk melakukan tindakan
dalam mekanisme hukum nasional negara
anggota ASEAN berupa melakukan ratifikasi
terhadap perjanjian internasional yang terkait
dengan pekerja migran.
Sangat sedikitnya negara anggota ASEAN
yang telah meratifikasi konvensi tersebut,
menjadi salah satu sebab sulitnya tercipta
konsensus di dalam penyusunan intrumen
perlindungan dan pemajuan hak-hak pekerja
migran. Namun demikian, terdapat alternatif
terhadap kebuntuan konsensus penyusunan
instrumen perlindungan HAM, yakni Indonesia
dapat secara paralel dapat melakukan
pendekatan secara bilateral dengan masingmasing negara penerima, sehingga akan lebih
efektif dalam menyepakati penyelesaian
permasalahan pekerja migran.
Selain itu, rekomendasi yang dapat
dijalankan terhadap kebuntuan konsesus
dalam penyusunan instrumen perlindungan
dan pemajuan hak-hak pekerja migran adalah
dengan membawa dan membahas isu tersebut
ke dalam pertemuan Dewan Komunitas ASEAN,
karena isu atau permasalahan pekerja migran
merupakan isu lintas komunitas, karena
terdapat unsur perlindungan dan bantuan
hukum, unsur ekonomi dan sosial budaya, dan
ketiga pilar komunitas tersebut membahas isu
pekerja migran berdasarkan perspektif masingmasing pilar.

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

dianggap sebagai objek dan bukan subjek dalam


konteks komunitas ekonomi ASEAN, padahal
telah diakui secara umum kontribusi pekerja
buruh migran terhadap aspek ekonomi ditempat
negara tujuan maupun negara asal sangat
signifikan. Untuk itu perlu direformulasikan
kembali eksistensi pekerja buruh migran dalam
konteks pilar komunitas ekonomi ASEAN,
sehingga dapat disejajarkan dengan tenaga
kerja terampil atau pekerja migran terampil
dan juga bertujuan untuk memfasilitasi dan
mengembangkan kompetensi dasar dari pekerja
buruh migran.
Namun demikian, peran ASEAN dalam
perlindungan pekerja migran telah ditunjukan di
dalam pilar Komunitas Politik-Keamanan ASEAN
dan pilar Komunitas Sosial Budaya ASEAN. Dalam
lingkup Komunitas Politik-Keamanan ASEAN,
proses implementasi terhadap perlindungan
dan promosi hak-hak pekerja migran ke dalam
instrumen ASEAN salah satunya melalui
Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN. Sedangkan
dalam pilar Komunitas Sosial-Budaya ASEAN
telah disepakati Deklarasi ASEAN tentang
Perlindungan dan Promosi Hak-Hak Pekerja
Migran, namun upaya perumusan instrumen
dari deklarasi tersebut mengalami kebuntuan
karena adanya perbendaan kepentingan antara
anggota ASEAN yang menjadi negara pengirim
dan negara penerima pekerja migran.
Peran ASEAN dalam mempromosikan
dan melindungi pekerja migran melalui
pengadopsian deklarasi-deklarasi tersebut
bukan merupakan suatu upaya dan peran yang
optimal dan final. Tantangan kemudian adalah
memastikan pelaksanaan yang efektif dari
deklarasi-deklarasi tersebut dan memasukan
nilai-nilai yang terkadung dalam deklarasideklarasi tersebut ke dalam mekanisme nasional
di setiap negara anggota ASEAN. Memasukan

278

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 255-280

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

Internet
Komitmen Negara ASEAN Lindungi Pekerja Migran
Diragukan
(http://www.hukumonline.com/
berita/baca/lt517fba0e98dfd/komitmenn e ga ra - a s e a n - l i n d u n g i - p e ke r j a - m i g ra n diragukan, diakses 2 Juni 2014).
Dirjen
Binapenta
Ungkapkan
Komitmen
Ratifikasi Konvensi ILO No. 18, (http://www.
solidaritasperempuan.org/dirjen-binapentaungkapkan-komitmen-ratifikasi-konvensi-ilono-189/, diakses 2 Juni 2014).
Kilas Balik Migrasi Lintas Batas Di Asia Tenggara,
http://www.gugustugastrafficking.org/index.
php?option=com_content&view=article&id=16
32:kilas-balik-migrasi-lintas-batas-di-asia-tengg
ara&catid=42:info&Itemid=66, diakses tanggal 3
Juni 2014
Migrant Care Anggap ASEAN Charter Tak Akui Hak
Buruh Migran http://www.tempo.co/read/
news/2007/11/20/059111962/Migrant-CareAnggap-ASEAN-Charter-Tak-Akui-Hak-BuruhMigran.
Sinapan Samydorai, Is ASEAN Closer to Legal
Protection of the Rights of Migrant Workers?,
(http://aseanpeople.org/is-asean-closer-tolegal-protection-of-the-rights-of-migrantworkers/, diakses 2 Juni 2014).
United Nations Treaty Collection, https://treaties.
un.org/, diakses tanggal 28 Juni 2014.
www.bnp2tki.go.id

lR
ec
hts
V

ind

ASEAN, ASEAN Economic Community Blueprint


(Jakarta: ASEAN Secretariat, 2008).
ASEAN, ASEAN Political-Security Community
Blueprint (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2009).
ASEAN, ASEAN Socio-Cultural Community Blueprint
(Jakarta: ASEAN Secretariat, 2009).
ASEAN, Repository Matrix of Legislations and
Policies on Migrant Workers of ASEAN Member
State (Jakarta, ASEAN Secretariat, 2012).
Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian
Luar Negeri, Ayo Kita Kenali ASEAN (Jakarta:
Kementerian Luar Negeri, 2011).
Human Rights Resource Centre, Rule of Law untuk
Hak Asasi Manusia di Kawasan ASEAN: Studi
Data Awal (Jakarta: HRRC, 2011).
International Human Right Clinic, The Protection
of the Rights of Migrant Domestic Worker
in a Country of Origin and a Country of
Destination: Case Studies of The Philippines
and Kuwait (Washington: International Law
and Organizations Program and The Protection
Project of The Johns Hopkins University Paul H.
Nitze School of Advanced International Studies
(SAIS), 2013).
Kementerian Luar Negeri, ASEAN Selayang Pandang,
Edisi ke-19 (Jakarta: Kementerian Luar Negeri,
2010).
Luhulima, C.P.F., ASEAN Menuju Postur Baru (Jakarta:
CSIS, 1997).
Sulistyowati & Shidarta (eds), Metode Penelitian
Hukum: Konstelasi dan Refleksi (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2011).

BP
HN

Buku

pada Panel Discussion on the ASEAN Community


Building through the AHRD and the Phnom
Penh Statement on the adoption of AHRD, as
a joint event of the ASEAN CPR and AICHR, di
Sekretariat ASEAN Jakarta, 23 Agustus 2013).
Tsani, Mohd. Burhan, Arti Piagam Bagi ASEAN
(makalah disampaikan pada Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, tanggal 7 Mei 2008 di
Yogyakarta).

ing

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal / Prosiding / Hasil Penelitian

Jur

na

Maloni, Bruno, Migrant Workers in ASEAN


(makalah disampaikan pada ASEAN InterParliamentary Assembly, Seminar: The Role
of Parliamentarians in The Protection and
Promotion of the Rights of Migrant Workers in
ASEAN, di Phnom Penh Kamboja, tanggal 3-6
April 2011).
Supriatna, Liona Nanang, Piagam ASEAN : Menuju
Pemajuan Dan Perlindungan HAM di Asia
Tenggara Jurnal Hukum Internasional, Vol. 5,
No. 3 (April 2008).
Swajaya, Ngurah, Promotion and Protection of
Human Rights in the ASEAN Community Building
: An Evolution Proces (makalah disampaikan

Peraturan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri. (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 133.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4445).
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang
Pengesahan Piagam Perhimpunan Bangsa-

Peran Asean dan Negara Anggota Asean terhadap Perlindungan Pekerja Migran (Ade Irawan Taufik)

279

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

and Member of Their Families (Konvensi


Internasional mengenai Perlindungan HakHak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota
Keluarganya).

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

ing

BP
HN

Bangsa Asia Tenggara (Charter of The Association


of Southeast Asian Nations).
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012 tentang
Pengesahan International Convention on the
Protection of the Rights of All Migrant Workers

280

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 255-280

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

OPTIMALISASI KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN DALAM MENGHADAPI


MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015
(The Optimization of Employment Policies in Facing The ASEAN Economic Community 2015)
Muhammad Fadli

Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sulawesi Selatan


Email: fadlilaw@gmail.com

ing

Naskah diterima: 21 Mei 2014; revisi: 20 Agustus 2014; disetujui: 22 Agustus 2014

lR
ec
hts
V

ind

Abstrak
Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah salah satu pilar pembentukan Komunitas ASEAN dan merupakan bentuk integrasi
ekonomi regional yang mulai di berlakukan pada tahun 2015. Pemberlakuan tersebut akan menjadikan ASEAN sebagai
pasar tunggal dan basis produksi dimana terjadi arus barang, jasa, investasi dan tenaga terampil yang bebas serta aliran
modal yang bebas antar-negara di kawasan ASEAN. Arus bebas tenaga kerja terampil tersebut harus dimanfaatkan oleh
Indonesia sebagai peluang dalam menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran. Hal yang menjadi permasalahan
adalah bagaimanakah kebijakan pemerintah dalam bidang ketenagakerjaan dalam mempersiapkan tenaga kerja terampil
menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dapat
disimpulkan bahwa terdapat berbagai kebijakan dalam bidang ketenagakerjaan yang mendukung terciptanya Sumber
Daya Manusia yang berkualitas atau tenaga kerja terampil. Maka dari itu, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dan berbagai kebijakan lain yang mengamanatkan pemberian pelatihan kerja serta pembentukan
Badan Nasional Sertifikasi Profesi yang bertugas memberikan sertifikasi kompetensi kerja harus dioptimalkan, guna
mempersiapkan tenaga kerja terampil, berkualitas dan berdaya saing serta diakui oleh negara ASEAN lainnya dalam
menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.
Kata Kunci: optimalisasi, kebijakan, tenaga kerja

Jur

na

Abstract
ASEAN Economic Community is one of the pillars of the establishment of the ASEAN Community which formally as a form
of regional economic integration that will enter into force by 2015. This enforcement will make ASEAN as a single market
and production based where there are flow of goods, services, investment and skilled labor that is free and free capital
flows among ASEAN member countries. Free flow of skilled labor should be used by Indonesia as an opportunity to absorb
employment and reducing unemployment. The issue of this subject is how the government policy in the field of labor
in preparing skilled labour in facing the ASEAN Economic Community 2015. By using the method of juridical normative
research can be concluded that there are a variety of employment policies supporting the creation of high quality human
resources or skilled labor.Thus, Law of Republic of Indonesia Number 13 year 2003 on Employment and another regulations
that mandate the provision of vocational training and the establishment of the National Professional Certification which in
charge of certifying the competence of work must be optimized in order to prepare skilled labour, high quality and having
competitiveness and recognized by the other ASEAN countries in facing the ASEAN Economic Community 2015.
Keywords: optimization, policy, labor

Optimalisasi Kebijakan Ketenagakerjaan dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 2015 (Muhammad Fadli)

281

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

ind

ASEAN
Economic
Community
atau
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan
bentuk integrasi ekonomi regional yang mulai
diberlakukan dan ditargetkan pencapaiannya
pada tahun 2015. Dengan pencapaian tersebut,
ASEAN akan menjadi pasar tunggal dan basis
produksi dimana terjadi arus barang, jasa,
investasi dan tenaga terampil yang bebas serta
aliran modal yang bebas. Adanya aliran komoditi
dan faktor produksi tersebut diharapkan
membawa ASEAN menjadi kawasan yang
makmur dan kompetitif dengan perkembangan
ekonomi yang merata, serta menurunnya tingkat
kemiskinan dan perbedaan sosial-ekonomi di
kawasan ASEAN. Peluang integrasi ekonomi
regional tersebut harus dapat dimanfaatkan
dengan semaksimal mungkin oleh Indonesia.
Hal tersebut mengingat jumlah populasi, luas
dan letak geografi, dan nilai Produk Domestik
Bruto (PDB) terbesar di ASEAN harus menjadi
aset agar Indonesia bisa menjadi pemain besar
dalam ASEAN Economic Community.
Krisis ekonomi yang melanda kusususnya
kawasan Asia Tenggara mendorong Kepala
Negara
anggota
ASEAN
menyepakati
pembentukan Komunitas ASEAN (ASEAN
Community) dalam bidang Keamanan Politik
(ASEAN Political-Security Community), Ekonomi
(ASEAN Economic Community), dan Sosial Budaya
ASEAN (ASEAN Socio-Culture Community) yang
dikenal dengan Bali Concord II dideklarasikan di
Bali pada Oktober 2003. Selanjutnya Peringatan
40 tahun berdirinya ASEAN, bentuk kerja sama
regional semakin diperkuat dan bertransformasi
dengan ditandatanganinya Piagam ASEAN
(ASEAN Charter) pada KTT ASEAN ke-13 pada
tanggal 20 November 2007 di Singapura.
Para Kepala Negara atau Pemerintahan NegaraNegara Anggota ASEAN yang berkumpul di

Singapura dalam rangka memperingati 40


tahun pendirian ASEAN menyepakati Piagam
ASEAN atau ASEAN Charter. Kesepakatan dan
penandatanganan Piagam ASEAN tersebut
bertujuan untuk mengintensifkan pembentukan
komunitas melalui peningkatan kerja sama
dan integrasi kawasan melalui pembentukan
Komunitas ASEAN. Adapun salah satu pilar
Komunitas ASEAN yaitu, pembentukan
Komunitas Ekonomi ASEAN sebagaimana
Deklarasi Bali Concord II, dimana salah satu
tujuan kerjasama dan integrasi kawasan
tersebut dalam bidang ekonomi diatur dalam
Bab I, Pasal 1 angka 5 dan 6 Piagam ASEAN,
sebagai berikut:

ing

A. Pendahuluan

Jur

na

lR
ec
hts
V

To create a single market and production


base wich is stable, prosperous, highly
competitive and economically integrated with
effective facilitation for trade and investment
in wich there is free flow of goods, services
and investment; facilitated movement of
business persons, professionals, talents and
labor; and freer of capital, and to alleviate
poverty and narrow the development gap
within ASEAN trough mutual assistance and
cooperation.

282

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut,


diketahui bahwa negara-negara anggota ASEAN
bertekad untuk menciptakan pasar tunggal
dan basis produksi yang stabil, makmur, sangat
kompetitif, dan terintegrasi secara ekonomis
melalui fasilitasi yang efektif untuk perdagangan
dan investasi yang di dalamnya terdapat arus
lalu lintas barang, jasa-jasa dan investasi yang
bebas; terfasilitasinya pergerakan pelaku
usaha, pekerja profesional, pekerja berbakat
dan buruh; dan arus modal yang lebih bebas;
mengurangi kemiskinan dan mempersempit
kesenjangan pembangunan di ASEAN melalui
bantuan dan kerja sama timbal balik. Bersamaan
dengan penandatanganan Piagam ASEAN, cetak
biru yang merupakan arah panduan Masyarakat

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 281296

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

ekonomi di luar kawasan, dan meningkatkan


peran serta dalam jejaring produksi global.
Integrasi ekonomi tersebut memberi
berbagai peluang dan tantangan yang akan
dihadapi oleh Indonesia. Salah satu diantaranya
adalah arus bebas tenaga kerja terampil atau
terdidik. Hal ini membutuhkan perhatian
yang serius bagi pemerintah Indonesia.
Mengingat Indonesia memiliki aset Sumber
Daya Manusia (SDM) yang begitu melimpah.
Berdasarkan hasil proyeksi Badan Pusat
Statisitik (BPS), jumlah penduduk Indonesia
pada Tahun 2013 sebanyak 248,8 juta orang
dengan jumlah angkatan kerja di Indonesia
pada Februari 2014 mencapai 125,3 juta orang.
Hal tersebut merupakan peluang sekaligus
tantangan berat bagi Indonesia. Pemerintah
maupun
seluruh
stakeholder
harus
mempersiapkan diri dalam menghadapi
pengaruh arus bebas tenaga kerja tersebut,
agar momentum ini dapat dimanfaatkan oleh
pemerintah maupun masyarakat sebagai
peluang dalam mengurangi pengangguran dan
memanfaatkan berbagai lapangan kerja baik di
dalam maupun di luar negeri bukan menjadi
penonton di negeri sendiri dan menjadi pihak
yang dirugikan jika lapangan kerja dalam negeri
lebih banyak menyerap tenaga kerja terampil
dari luar negeri.
Peran pemerintah sebagai regulator menjadi
sangat penting guna melindungi tenaga kerja
yang ada di dalam negeri. Bidang ketenagakerjaan
merupakan bagian dari tugas dan fungsi
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
terbagi menjadi empat besaran, yakni: (a)
Pelatihan keterampilan kerja, (2) Penempatan
tenaga kerja, (3) Hubungan industrial dan
jaminan sosial tenaga kerja, dan (4) Pengawasan
ketenagakerjaan. Sebagai sebuah program yang
berkaitan langsung dengan pengembangan

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

Ekonomi ASEAN (MEA) dan jadwal strategis


tentang waktu dan tahapan pencapaian
dari masing-masing pilar juga disepakati.
Pemberlakuan
cetak
biru
tersebut
ditindaklanjuti Pemerintah Indoesia dengan
dikeluarkannya Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2011 tentang
Pelaksanaan Komitmen Cetak Biru Masyarakat
Ekonomi Association of Southeast Asian Nations
Tahun 2011. Hal tersebut merupakan bukti dari
keseriusan Pemerintah Indonesia dalam rangka
pelaksanaan Komitmen Cetak Biru Masyarakat
Ekonomi Association of Southeast Asian Nations
(ASEAN Economic Community-AEC) Tahun 2011
untuk mendukung peningkatan iklim investasi
dan perdagangan serta meningkatkan daya
saing nasional.
Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN
atau AEC Blueprint merupakan pedoman
bagi negara-negara Anggota ASEAN dalam
mewujudkan AEC 2015. AEC memuat empat
pilar utama yaitu: 1) ASEAN sebagai pasar
tunggal dan berbasis produksi tunggal yang
didukung dengan elemen aliran bebas
barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik
dan aliran modal yang lebih bebas, 2) ASEAN
sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi
tinggi dengan elemen peraturan kompetisi,
perlindungan konsumen, hak atas kekayaan
intelektual,
pengembangan
infrastruktur,
perpajakan, dan e-commerce, 3) ASEAN sebagai
kawasan dengan pengembangan ekonomi yang
merata dengan elemen pengembangan usaha
kecil dan menengah dan prakarsa integrasi
ASEAN untuk negara-negara CMLV (Cambodia,
Myanmar, Laos, dan Vietnam), dan 4) ASEAN
sebagai kawasan yang terintegrasi secara penuh
dengan perekonomian global dengan elemen
pendekatan yang koheren dalam hubungan

Optimalisasi Kebijakan Ketenagakerjaan dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 2015 (Muhammad Fadli)

283

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

sangat dibutuhkan. Sebagai negara hukum


yang bercirikan negara hukum kesejahteraan
(welfare state) pemerintah memegang peran
penting dalam melindungi dan menjamin
kesejahteraan rakyatnya melalui kebijakan
yang mengakomodasi kepentingan rakyat demi
tercapainya kesejahteraan rakyat yang dicitacitakan. Dengan berlakunya MEA di Tahun 2015
Indonesia harus siap menghadapi berbagai
tantangan, kesiapan baik dari aspek kualitas
SDM maupun kesiapan dari aspek hukum
nasional untuk menghadapi persaingan global
khususnya arus bebas tenaga kerja terampil.
Kualitas SDM merupakan hal yang sangat
perlu untuk dikembangkan untuk meningkatkan
daya saing bangsa menghadapi persaingan
global khususnya MEA 2015. Menurut Robert
J. Eaton, CEO Chrysler Corporation, Amerika
Serikat: The only we can beat the competition
is with people, Eaton menegaskan bahwa di
tengah-tengah pesatnya kecanggihan teknologi,
peran SDM dalam menentukan keberhasilan
perusahaan tidak bisa diabaikan, ibarat pepatah
SDM merupakan sumber keunggulan kompetitif
yang tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh
hujan. Hal ini berbeda dengan teknologi produk
dan proses produksi yang dinilai semakin
berkurang keampuhannya sebagai sumber
keunggulan kompetitif. Kesuksesan pemasaran
jasa sangat tergantung pada SDM yang dimiliki.
Peningkatan kualitas SDM baik angkatan
kerja maupun pekerja dalam negeri harus
dapat mendapatkan perhatian yang serius
oleh pemerintah maupun pihak swasta agar
dapat bersaing dengan tenaga kerja terampil
(skilled labor) yang masuk dari luar negeri yang
merupakan dampak diberlakukannya MEA
2015. Salah satu upaya yang perlu dilakukan
yaitu, dengan menyiapkan kebijakan nasional
yang mengarah kepada pengembangan dan

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

Sumber Daya Manusia (SDM), lebih-lebih


dalam situasi dimana SDM Indonesia belum
menjadi modal sumber daya yang kompeten,
kondisi yang dialami oleh program pelatihan
keterampilan kerja justru memprihatinkan.
Pelatihan belum mendapat posisi penting
dalam
pembangunan
ketenagakerjaan
nasional dan belum menjadi gawe nasional.
Hal ini perlu menjadi perhatian utama
pemerintah dalam hal ini Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi, mengingat tujuan
Pemerintah Negara Republik Indonesia, yaitu
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan
ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial sebagaimana tertuang
dalam pembukaan UUD NRI 1945. Negara
bertujuan melindungi rakyat dan memajukan
kesejahteraan umum serta keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Momentum MEA 2015 yang telah disepakati
oleh Pemerintah Indonesia memberikan
konsekuensi kepada bangsa Indonesia sebagai
bagian dari ASEAN untuk menyesuaikan diri dan
tanggap dalam menghadapi berbagai bentuk
ancaman, tantangan, dan peluang baru melalui
transformasi ASEAN dari suatu Asosiasi menjadi
Komunitas ASEAN berdasarkan Piagam ASEAN.
Jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar
dibanding negara ASEAN lainnya harus dijadikan
sebagai peluang bukan malah menimbulkan
kerugian bagi tenaga kerja domestik, menjadi
penonton masuknya tenaga kerja asing dan
menambah jumlah pengangguran angkatan
kerja. Maka dari itu, Indonesia harus siap dalam
menghadapi MEA 2015 atau pasar tunggal
ASEAN. Kesiapan tersebut baik dari segi kualitas
SDM maupun dari segi kesiapan hukum nasional

284

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 281296

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

global khususnya dalam menghadapi MEA 2015.


Maka dari itu pelaksanaan UU Tenaga Kerja
maupun Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun
2004 harus dioptimalkan guna meningkatkan
pelatihan kerja membentuk tenaga kerja
terampil dan percepatan pembentukan
lembaga sertifikasi profesi terutama di daerah
agar tenaga kerja kita dapat siap dan mampu
bersaing mebghadapi arus bebas tenaga kerja
terampil menghadapi Masyarakat Ekonomi
ASEAN 2015.
Berdasarkan latar belakang diatas menjadi
penting untuk dibahas lebih jauh bagaimana
kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia
serta bagaimanakah optimalisasi kebijakan
ketenagakerjaan dalam mempersiapkan tenaga
kerja terampil menghadapi menghadapi
Masyarakat Ekonomi Asean 2015?

ind

peningkatan kualitas SDM tenaga kerja dalam


mempersiapkan tenaga kerja terampil yang
mampu bersaing dengan tenaga kerja terampil
negara anggota ASEAN lainnya.
Peningkatan kualitas SDM tersebut harus
didukung dengan kebijakan atau regulasi dari
pemerintah. Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Tenaga
Kerja) telah mengamanatkan peningkatan dan
pengembangan kualitas sumber daya manusia
melalui pelatihan kerja. Pemerintah dan swasta
memegang peranan penting dalam menjalankan
amanat dari UU Tenaga Kerja tersebut, dalam
memberikan pelatihan kerja baik kepada calon
tenaga kerja maupun pekerja/tenaga kerja yang
telah bekerja sehingga dapat meningkatkan
keterampilannya dan mampu bersaing
menghadapi arus bebas tenaga kerja terampil
di kawasan ASEAN. Selain itu pemerintah telah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi
Profesi. Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP)
mempunyai tugas melaksanakan sertifikasi
kompetensi kerja. Dalam menjalankan tugasnya
BNSP dapat memberikan lisensi kepada Lembaga
Sertifikasi Profesi (LSP). Pemberian pelatihan
dan sertifikasi profesi kepada tenaga kerja, baik
pekerja maupun yang sedang mencari kerja
merupakan hal yang sangat penting dilakukan
oleh pemerintah maupun pihak swasta. Hal
ini dalam rangka menghasilkan tenaga kerja
yang terampil dan berkualitas serta memiliki
kompetensi yang diakui baik nasional maupun
internasional.
Pelaksanaan berbagai kebijakan yang
telah ada di bidang ketenagakerjaan harus
dioptimalisasi guna meningkatkan kualitas dan
atau pengembangan SDM agar Indonesia mampu
mempersiapkan tenaga kerja yang terampil dan
berkompetensi yang mampu bersaing di tingkat

Jur

na

lR
ec
hts
V

B. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode
penelitian
hukum
normatif,
dimana
sumber datanya diperoleh dari bahan
kepustakaan
atau
data
sekunder,
yang terdiri dari dari bahan hukum primer,
antara lain norma atau kaidah dasar, yaitu
pembukaan UUD NRI Tahun 1945, Batang Tubuh
UUD NRI 1945, dan peraturan perundangundangan sedangkan bahan hukum sekunder,
antara lain buku-buku, hasil penelitian, serta
pendapat pakar hukum. Data yang diperoleh
akan dianalisis dengan metode deskriptif
kualitatif.

C. Pembahasan
1.
Kebijakan
Indonesia

Ketenagakerjaan

di

Indonesia merupakan Negara hukum


pancasila yang bercirikan Negara kesejahteraan

Optimalisasi Kebijakan Ketenagakerjaan dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 2015 (Muhammad Fadli)

285

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

Sehubungan dengan tujuan bernegara


bangsa Indonesia, sebagaimana tercantum
pada pembukaan UUD NRI 1945 tersebut,
para pakar menyebutkan bahwa tujuan negara
seperti itu mencerminkan tipe negara hukum
kesejahteraan (welfare state). Teori negara
hukum kesejahteraan merupakan perpaduan
antara konsep negara hukum dan negara
kesejahteraan. Negara hukum (rechstaat) ialah
negara yang menempatkan hukum sebagai dasar
kekuasaannya dan penyelenggaraan kekuasaan
tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di
bawah kekuasaan hukum. Sedangkap konsep
negara kesejahteraan adalah negara atau
pemerintah tidak semata-mata sebagai penjaga
keamanan atau ketertiban masyarakat, tetapi
pemikul utama tanggung jawab mewujudkan
keadilan sosial, kesejahteraan umum dan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kesiapan Indonesia menghadapi tantangan
globalisasi
harus
dipersiapkan
dengan
penguatan internal, kualitas sumber daya
manusia yang mempunyai daya saing global
harus ditingkatkan. Peran pemerintah dalam
mempersiapkan hal tersebut sangatlah penting
khususnya menghadapi pasar tunggal ASEAN
2015, sebagai kesepakatan untuk menjamin
pembangunan berkelanjutan yang bermanfaat

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

Alinea ke-4 Pembukaan UUD NRI 1945 di


atas mengartikan bahwa, dengan diembannya
tugas negara dalam menyelenggarakan
kesejahteraan umum maka pembentukan
berbagai peraturan di Negara Republik
Indonesia menjadi sangat penting, peran negara
dalam mengurusi kesejahteraan rakyat dalam
bidang hukum, sosial, politik, ekonomi, budaya,
lingkungan hidup, pertahanan keamanan serta
mewujudkan keadilan sosial diselenggarakan
melalui pembentukan peraturan-peraturan
negara. Dalam negara kesejahteraan (welfare
state/ verzorgingsstaat), tugas pemerintah
tidak hanya terbatas untuk melaksanakan
undang-undang yang telah dibuat oleh legislatif.
Dalam persfektif welfare state, pemerintah
dibebani kewajiban untuk menyelenggarakan
kepentingan umum (bestuurszorg) atau
mengupayakan kesejahteraan sosial, yang
dalam menyelenggarakan kewajiban itu
pemerintah
diberi
kewenangan
untuk
campur tangan (staatsbemoeienis) dalam
kehidupan
masyarakat,
dalam
batasbatas yang diperkenankan oleh hukum.
Sehingga campur tangan pemerintah tersebut
dapat dilaksanakan melalui kewenangan
yang diberikan oleh undang-undang dalam
mewujudkan kesejahteraan rakyat dalam
bidang hukum, sosial, politik, ekonomi, budaya,
lingkungan hidup, pertahanan keamanan serta
mewujudkan keadilan sosial.

BP
HN

Kemudian daripada itu untuk membentuk


suatu Pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial.

Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat


diketahui ada empat tujuan bernegara, yakni;
a. Protection function, negara melindungi
seluruh tumpah darah Indonesia
b. Welfare function, negara wajib mewujudkan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat;
c. Educational function, negara memiliki
kewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa;
d. Peacefulness function, wajib menciptakan
perdamaian dalam kehidupan bernegara
dan bermasyarakat, baik ke dalam maupun
ke luar.

ing

sebagaimana dalam Alinea ke-4 Pembukaan


UUD NRI 1945 menyatakan sebagai berikut:

286

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 281296

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

dengan MRA yang telah disetujui. Sehingga


dapat memenuhi kebutuhan lapangan kerja
dan dapat terserap di lapangan kerja digunakan
baik di dalam negeri maupun di negara-negara
ASEAN lainnya. Serta mengantisipasi lonjakan
tenaga kerja terampil dari luar ke Indonesia.
MRAs merupakan kesepakatan diantara
dua pihak atau lebih untuk saling mengakui
atau menerima beberapa atau keseluruhan.
Adapun tujuan dari MRA adalah memfasilitasi
perdagangan dan menstimulir aktifitas ekonomi
antar berbagai pihak melalui keberterimaan
kompetensi SDM dalam hal satu standar, satu
pengujian, satu sertifikasi, dan apabila sesuai,
satu penandaan.
Menurut Yusuf Suit-Almasdi, SDM adalah
kekuatan daya fikir dan berkarya manusia yang
masih tersimpan dalam dirinya yang perlu digali,
dibina serta dikembangkan untuk dimanfaatkan
sebaik-sebaiknya bagi kesejahteraan kehidupan
manusia. SDM adalah kemampuan potensial
yang dimiliki oleh manusia yang terdiri
dari kemampuan berfikir, berkomunikasi,
bertindak, dan bermoral untuk melaksanakan
suatu kegiatan baik bersifat teknis maupun
manajerial. Kemampuan yang dimiliki tersebut
akan dapat mempengaruhi sikap dan perilaku
manusia dalam mencapai tujuan hidup baik
individual maupun bersama. SDM adalah
semua potensi yang dimiliki oleh manusia yang
dapat disumbangkan atau diberikan kepada
masyarakat untuk menghasilkan barang atau
jasa.
Unsur-unsur (variables) sumber daya
manusia meliputi kemampuan-kemampuan
(capabilities), sikap (attitudes), nilai-nilai
(values), kebutuhan-kebutuhan (needs), dan
karakteristik-karakteristik
demografisnya
(penduduk). Unsur-unsur SDM tersebut sangat
dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya seperti

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

bagi
generasi-generasi
sekarang
dan
mendatang dan menempatkan kesejahteraan
dan penghidupan yang layak serta kemakmuran
rakyat sebagai pusat proses pembentukan
komunitas ASEAN. Kerjasama regional tersebut
memberikan peluang bagi Indonesia. Akan
tetapi peluang tersebut dapat dimanfaatkan
apabila Indonesia dapat memenuhi berbagai
persyaratan-persyaratan termasuk kemampuan
negara dalam mempersiapkan diri menghadapi
persaingan pasar tunggal ASEAN. Bila Indonesia
tidak siap menghadapi pasar tunggal tersebut,
maka Indonesia dapat menjadi negara tujuan
pemasaran bagi Negara ASEAN lainnya.
Kemampuan untuk bersaing akan memburuk
dan peluang pelaku usaha dalam negeri untuk
bersaing ditingkat kawasan akan sangat kecil,
seperti pelaku usaha kecil dan menengah.
Robert J. Eaton, CEO Chrysler Corporation,
Amerika Serikat, mengemukakan: The only
we can beat the competition is with people,
pernyataan Eaton menegaskan bahwa ditengahtengah pesatnya kecanggihan teknologi, ternyata
peran SDM dalam menentukan keberhasilan
perusahaan tidak bisa diabaikan, ibarat pepatah
SDM merupakan sumber keunggulan kompetitif
yang tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan.
Hal ini berbeda dengan teknologi produk dan
proses produksi yang dinilai semakin berkurang
keampuhannya sebagai sumber keunggulan
kompetitif. Kesuksesan pemasaran jasa sangat
tergantung pada SDM yang dimiliki.
Peningkatan kualitas atau daya saing
SDM merupakan langkah penting yang harus
dilakukan oleh pemerintah terhadap tenaga
kerja. Hal ini untuk dapat memanfaatkan peluang
yang sebesar-besarnya dan dapat mengimbangi
persaingan arus tenaga kerja terampil dari luar
negeri. Maka dari itu, tenaga kerja Indonesia
harus meningkatkan keterampilannya sesuai

Optimalisasi Kebijakan Ketenagakerjaan dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 2015 (Muhammad Fadli)

287

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

menghadapi MEA. Peningkatan kualitas tenaga


kerja ini merupakan tanggung jawab semua
pihak. Tidak hanya pemerintah, dunia usaha
juga wajib meningkatkan kualitas pekerjanya
ke depannya. Lebih lanjut menurut Armida
Alisjahbana: .tingkat pendidikan rata-ratanya
karyawan itu lebih rendah ketimbang negaranegara ASEAN, Pelatihan dunia usaha harus
ditingkatkan, hanya 5 (lima) persen karyawan di
Indonesia yang mendapat pelatihan di kantor.
Hal tersebut menunjukkan minimnya
pelatihan yang diberikan kepada tenaga kerja
dalam negeri. Hal tersebut tentunya akan
mempengaruhi tingkat keterampilan dan daya
saing tenaga kerja dalam negeri dengan dari
tenaga kerja terampil yang masuk ke Indonesia.
Tenaga kerja dalam Pasal 1 angka 2 UU
Tenaga Kerja yaitu, Tenaga kerja adalah setiap
orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk
memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk
masyarakat. Sedangkan pekerja/buruh dalam
Pasal 1 angka 3 diartikan bahwa setiap orang yang
bekerja dengan menerima upah atau imbalan
dalam bentuk lain. Jadi dapatdisimpulkan
bahwa pekerja merupakan tenaga kerja yang
sudah bekerja yang dapat disebut pekerja atau
buruh. Pengertian tenaga kerja menurut UU
Tenaga Kerja sejalan dengan pengertian tenaga
kerja menurut konsep ketenagakerjaan pada
umumnya sebagaimana ditulis Payaman J.
Simanjuntak bahwa tenaga kerja atau manpower
adalah mencakup penduduk yang sudah atau
sedang bekerja, yang sedang mencari kerja
dan yang melakukan pekerjaan lain seperti
sekolah dan mengurus rumah tangga. Jadi
semata-mata dilihat dari batas umur untuk
kepentingan sensus di Indonesia menggunakan
batas umur minimum 15 tahun dan batas umur
maksimum 55 tahun. Tenaga kerja kerja terdiri

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

norma-norma dan nilai-nilai masyarakat, tingkat


pendidikan dan peluang-peluang yang tersedia.
Setiap tenaga kerja untuk memperoleh,
meningkatkan
atau
mengembangkan
kompetensi kerja sesuai dengan bakat,
minat dan kemampuan melalui pelatihan
kerja. Pengembangan adalah suatu usaha
untuk meningkatkan kemampuan teknis,
teoritis, konseptual, dan moral karyawan
sesuai dengan kebutuhan pekerjaan/jabatan
melalui pendidikan dan latihan. pendidikan
meningkatkan keahlian teoritis, konseptual dan
moral karyawan, sedangkan latihan bertujuan
untuk meningkatkan keterampilan teknis
pelaksanaan pekerjaan karyawan.
Latihan adalah bagian pendidikan yang
menyangkut proses belajar untuk memperoleh
dan meningkatkan keterampilan di luar sistem
pendidikan yang berlaku dalam waktu yang
relatif singkat dan dengan metode yang
lebih mengutamakan praktik daripada teori.
Jadi, pengembangan meliputi pendidikan dan
latihan untuk meningkatkan keterampilan kerja
baik teknis maupun managerial.
Pengusaha bertanggung jawab atas
peningkatan dan pengembangan kompetensi
pekerjanya melalui pelatihan kerja. Peningkatan
dan pengembangan kompetensi diwajibkan
bagi pengusaha, karena perusahaan yang akan
memperoleh manfaat dari hasil kompetensi
pekerja/buruh. Pasal 12 ayat (3) UU Tenaga
Kerja, menjamin setiap pekerja/buruh untuk
memiliki kesempatan yang sama untuk
mengikuti pelatihan kerja sesuai dengan bidang
tugasnya.
Menteri
Perencanaan
Pembangunan
Nasional/Kepala Bappenas, Armida Alisjahbana
mengungkapkan, peningkatan kualitas tenaga
kerja di Indonesia merupakan salah satu
tantangan utama dalam mempersiapkan diri

288

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 281296

bekerja pada sektor informal, misalnya


wiraswasta/pedagang yang bekerja untuk
dirinya sendiri maupun orang lain.
b. Pekerja adalah mengarah pada bekerja
untuk orang lain yang mendapatkan upah
atau imbalan lain.

Gambar 1 : Subjek dan Objek Ketenagakerjaan

Bukan Angkatan
Kerja

Mengurus
Rumah tangga
Penerima
Pendapatan

Menganggur
Angkatan Kerja

Bekerja

lR
ec
hts
V

K
E
R
J
A

Sekolah

Menghadapi dampak yang akan ditimbulkan


dari berlakunya MEA 2015 maka tenaga kerja
baik yang meliputi angkatan kerja dan tenaga
kerja atau yang sedang bekerja, perlu untuk
meningkatkan keterampilan atau keunggulan
kompetitif mereka agar tetap dapat bersaig
dan diterima di dunia kerja. Peningkatan
keterampilan (skills upgrading) merupakan
tanggungjawab bersama baik pemeritah
maupun pengusaha.
Dampak yang akan terjadi dalam berlakunya
MEA 2015 adalah arus bebas tenaga kerja
terampil antar negara, hal ini dalam rangka
menciptakan
liberalisasi
jasa
melalui
pengurangan atau hambatan khususnya
dalam mode 4 (movement of individual service
providers) yaitu, tenaga kerja asing yang
menyediakan keahlian tertentu dan datang
ke negara konsumen. Pengertian tenaga kerja
asing menurut Budiono yaitu, tenaga kerja
asing adalah tiap orang bukan warga negara
Indonesia yang mampu melakukan pekerjaan,
baik di dalam maupun di luar hubungan
kerja, guna menghasilkan jasa atau barang
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Berdasarkan pengertian tersebut kendatipun
orang tersebut bukan orang warga negara
Indonesia dan berada di Indonesia, tetapi tidak
bermaksud bekerja di wilayah Indonesia, maka

ind

T
E
N
A
G
A

BP
HN

dari angkatan kerja dan bukan angkatan kerja.


Kelompok bukan angkatan kerja adalah:
a. Mereka yang dalam studi;
b. Golongan yang mengurus rumah tangga;
c. Golongan penerima pendapatan yakni,
mereka yang tidak melakukan aktivitas
ekonomi tapi memperoleh pendapatan
misalnya pensiun, penerima bunga deposito
dan sejenisnya

ing

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

Sumber: Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja: Hukum


Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2007).

Jur

na

Bagan di atas mengelompokkan tenaga


kerja yang terdiri atas angkatan kerja dan
bukan angkatan kerja. Angkatan kerja terdiri
dari menganggur atau yang sedang mencari
kerja dan yang sedang bekerja. Sedangkan yang
bukan angkatan kerja merupakan penduduk
yang sedang melakukan pekerjaan lain dan
tidak seperti, sekolah, mengurus rumah tangga,
penerima pendapatan. Sedangkan Whimbo
Pitoyo mengemukakan perbedaan tenaga kerja
dan pekerja dikemukakan oleh sebagai berikut:1
a. Tenaga kerja adalah setiap orang yang
melakukan pekerjaan, termasuk di dalamnya

Whimbo Pitoyo, Panduan Praktis Hukum Ketenagakerjaan, (Jakarta: Visimedia, 2010), hlm. 4.

Optimalisasi Kebijakan Ketenagakerjaan dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 2015 (Muhammad Fadli)

289

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

pendidikan demi meningkatkan kualitas dan


kesejahteraan hidup. Hal ini sejalan dengan
tujuan negara dalam mensejahterahkan
rakyatnya. Termasuk di dalamnya tenaga kerja
yang kita miliki, tenaga kerja lokal/domestik
berhak untuk meningkatkan keterampilan
atau kualitas hidupnya untuk mencapai
kesejahteraan. Sehingga dapat bersaing dengan
tenaga kerja terampil yang masuk ke Indonesia
tanpa harus menjadi penonton atau pihak
yang dirugikan di negeri sendiri. Sedangkan
dalam UU Tenaga Kerja mengamanatkan untuk
diberikannya pelatihan kerja kepada tenaga
kerja. Pelatihan kerja diselenggarakan dan
diarahkan untuk membekali, meningkatkan,
dan mengembangkan kompetensi kerja guna
meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan
kesejahteraan. Pelatihan kerja dilaksanakan
dengan memperhatikan kebutuhan pasar kerja
dan dunia usaha, baik di dalam maupun di luar
hubungan kerja.
Tenaga
kerja
berhak
memperoleh
pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti
pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga
pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan
kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja.
Pengakuan kompetensi kerja dilakukan
melalui sertifikasi kompetensi kerja. Sertifikasi
kompetensi kerja sebagaimana dapat pula diikuti
oleh tenaga kerja yang telah berpengalaman.
Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi
kerja dibentuk badan nasional sertifikasi profesi
yang independen. Hal ini diatur dalam Pasal
18 UU Tenaga Kerja yang mengatur mengenai
pemberian sertifikasi kompetensi kerja serta
pembentukan BNSP. Ketentuan Pasal 20 ayat

lR
ec
hts
V

ind

dia bukanlah tenaga asing.2 Tenaga kerja asing


dalam hal ini merupakan tenaga kerja terampil
yang akan memberikan jasanya kepada negara
konsumen sebagaimana standar yang telah
disepakati dalam bentuk MRAs untuk berbagai
bidang prioritas. Penggunaaan tenaga kerja
asing tersebut harus menyesuaikan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia.
Adapun berbagai peraturan perundangundangan yang mendukung peningkatan
kualitas SDM/ tenaga kerja di Indonesia, sebagai
berikut:
a. UUD NRI 1945.
b. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan.
c. Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004
tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Badan
Nasional Sertifikasi Profesi.
e. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 31 Tahun 2006 Tentang Sistem
Pelatihan Kerja Nasional.

Jur

na

Pasal 28C ayat (1) UUD NRI 1945 menegaskan


bahwa setiap orang berhak mengembangkan
diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya,
berhak mendapat pendidikan dan memperoleh
manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi,
seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat
manusia. Dapat diketahui bahwa, UUD
NRI 1945 menegaskan setiap orang berhak
dalam mengembangkan diri, mendapatkan

290

Abdul Khakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2009), hlm. 27.

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 281296

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

meningkatkan kompetensi atau keterampilan


yang dimiliki sesuai dengan standar kompetensi
atau MRAs yang telah disetujui. Perundingan
liberalisasi sektor jasa menghasilkan empat cara
penghilangan hambatan ketersediaan jasa dari
penyedia jasa kepada pengguna jasa. Salah satu
caranya adalah melalui mode ke-4 (keempat)
berupa perpindahan fisik tenaga kerja
(movement of natural persons) antar negara
ASEAN yang akan diberlakukan untuk sektor
prioritas. Indonesia harus dapat mempersiapkan
sebaik mungkin dan meningkatkan kualitas
tenaga kerjanya sehingga bisa digunakan baik di
dalam negeri maupun di negara-negara kawasan
ASEAN, untuk mencegah banjirnya tenaga kerja
terampil dari luar.3
Berdasarkan hasil proyeksi Badan Pusat
Statisitik Jumlah penduduk Indonesia pada
Tahun 2013 sebanyak 248,8 juta orang.4 Jumlah
angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2014
mencapai 125,3 juta orang, bertambah sebanyak
5,2 juta orang dibanding angkatan kerja
Agustus 2013 sebanyak 120,2 juta orang atau
bertambah sebanyak 1,7 juta orang dibanding
Februari 2013. Jumlah penduduk yang bekerja
di Indonesia pada Februari 2014 mencapai
118,2 juta orang, bertambah sebanyak 5,4 juta
orang dibanding keadaan pada Agustus 2013
sebanyak 112,8 juta orang atau bertambah
1,7 juta orang dibanding keadaan Februari
2013.5 Sedangkan jumlah pengangguran
pada Februari 2014 mencapai 7,2 juta orang.6
Berdasarkan data BPS tersebut jumlah angkatan
kerja di Indonesia yang mencapai 125,3 juta
orang pada Februari 2014, Berdasarkan data

lR
ec
hts
V

ind

(1) dan (2) UU Tenaga Kerja mengamanatkan


dikembangkannya satu sistem pelatihan kerja
nasional yang merupakan acuan pelaksanaan
pelatihan kerja di semua bidang dan/atau sektor
untuk mendukung peningkatan pelatihan kerja
dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan.
Ketentuan mengenai bentuk, mekanisme, dan
kelembagaan sistem pelatihan kerja nasional
tersebut ditindaklanjuti dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang
Sistem Pelatihan Kerja Nasional. Selain itu UU
Tenaga Kerja mengamanatkan pembentukan
BNSP dalam rangka memberikan sertifikasi
kompetensi kerja bagi tenaga kerja. Sertifikasi
kompetensi kerja merupakan proses pemberian
sertifikat kompetensi yang dilakukan secara
sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi
yang mengacu kepada standar kompetensi kerja
nasional Indonesia dan/atau internasional.

2. Optimalisasi Kebijakan Ketenaga


kerjaan
Dalam
Mempersiapkan
Tenaga Kerja Terampil Menghadapi
MEA 2015

Jur

na

Pembentukan pasar tunggal ASEAN


memiliki potensi untuk membuka peluang yang
seluas-luasnya bagi Indonesia, apabila dapat
mempersiapkan dengan sebaik-baiknya segala
potensi yang ada seperti, luas wilayah, populasi
dan SDM yang begitu besar, serta Sumber Daya
Alam yang begitu melimpah dibandingkan
negara lain yang ada di kawasan. Akan tetapi
yang tidak kalah pentingnya dipersiapkan oleh
Indonesia adalah mempersiapkan kualitas
SDM. Tenaga kerja Indonesia harus dapat



5

6

3
4

Op.Cit., R. Winantyo et al., 2008, hlm. 289.


Op.Cit., Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi 2014, hlm. 38.
Ibid., hlm. 45.
Ibid, hlm.48.

Optimalisasi Kebijakan Ketenagakerjaan dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 2015 (Muhammad Fadli)

291

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

seseorang dari yang belum mampu menjadi


mampu untuk melaksanakan suatu pekerjaan
sesuai persyaratan pekerjaan yang ditetapkan
sehingga meningkat produktivitasnya yang pada
akhirnya akan berdampak kepada penerimaan
penghasilan untuk meningkatkan kesejahteraan
dirinya maupun keluarganya.7
UU Tenaga kerja mengamanatkan pula
dibentuknya BNSP melalui Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Badan Nasional
Sertifikasi Profesi. BNSP bersifat independen
dan bertanggung jawab kepada presiden
untuk melakukan sertifikasi kompetensi kerja.
Berdasakan Pasal 4 Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 2004, guna terlaksananya
tugas sertifikasi kompetensi kerja, BNSP dapat
memberikan lisensi kepada Lembaga Sertifikasi
Profesi (LSP) yang memenuhi persyaratan yang
ditetapkan untuk melaksanakan sertifikasi
kompetensi kerja. Sertifikasi kompetensi adalah
proses pemberian sertifikasi kompetensi yang
dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui
uji kompetensi yang mengacu pada standar
kompetensi kerja baik yang bersifat nasional
maupun internasional.8 Tujuan dari pemberian
sertifikasi kompetensi kerja adalah untuk
membantu secara formal para profesi, industri/
organisasi untuk memastikan dan memelihara
kompetensi para tenaga kerja yang kompeten,
serta membantu meyakinkan kliennya bahwa
industri menggunakan tenaga yang kompeten.9

na

lR
ec
hts
V

ind

tersebut diketahui bahwa jumlah penduduk


dan angkatan kerja yang tinggi menjadikan
arus bebas tenaga kerja merupakan peluang
sekaligus tantangan bagi Indonesia dalam
menghadapi MEA 2015. Peluang tersebut dapat
digunakan oleh pemerintah dalam mengurangi
pengangguran jika tenaga kerja lokal kita dapat
bersaing dengan tenaga kerja terampil yang ada
di kawasan ASEAN, Bahkan tenaga kerja kita
dapat mencari peluang kerja di negara lain yang
ada di kawasan ASEAN. Akan tetapi hal tersebut
sekaligus menjadi tantangan bagi pemerintah
maupun swasta apabila tenaga kerja kita tidak
mampu bersaing dengan tenaga kerja asing atau
tenaga kerja terampil yang masuk ke Indonesia
dari negara ASEAN lainnya.
Peningkatkan pemberian pelatihan bagi
tenaga kerja baik bagi pemerintah maupun
pihak
swasta/perusahaan
baik
dalam
peningkatan keterampilan harus disesuaikan
dengan standar kualifikasi atau MRAs yang telah
disepakati oleh negara-negara anggota ASEAN.
Salah satu bentuk nyata adalah optimalisasi
kegiatan pelatihan kerja sebagaimana yang
diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU
Tenaga Kerja) untuk pengadaan pelatihan kerja
guna meningkatkan kualitas SDM tenaga kerja
Indonesia, hal tersebut diatur dalam Bab Kelima
UU Tenaga Kerja terkait pemberian pelatihan
kerja. Pentingnya pelatihan kerja adalah
membekali, meningkatkan, mengembangkan

Pemahaman Pasal-Pasal Utama Undang-Undang Ketenagakerjaan (Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003),


http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo
jakarta/documents/publication/
wcms_120006.pdf, (diakses 4 Juni 2014).
8
Sertifikasi Kompetensi dan Manfaatnya, http://www.iccosh-lskk3.or.id/index.php/tentang-sertifikasikompetensi, (diakses 11 Juni 2014).
9
BNSP Menuju Indonesia yang Kompeten, http://ekbis.sindonews.com/read/2013/12/19/77/818761/bnspmenuju-indonesia-yang-kompeten, (diakses 11 Juni 2014).

Jur

292

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 281296

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

dari tenaga kerja nasional. Selain itu UU Tenaga


Kerja telah mengamanatkan pembentukan BNSP
yang dapat memberikan lisensi kepada Lembaga
Sertifikasi Profesi (LSP) guna mempercepat
pelaksanaan tugas BNSP dalam memberikan
sertifikasi kompetensi di berbagai sektor. Hal ini
harus mendapatkan perhatian yang serius bagi
pemerintah maupun swasta. Hal ini merupakan
tanggungjawab bersama pemerintah maupun
swasta. Pengusaha memiliki kepentingan
dalam meingkatkan keterampilan karyawannya
sehingga kinerja karyawan dapat lebih terampil
dan profesinal dalam menghasilkan barang dan
jasa.
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
merupakan Kementerian yang bertugas
mewakili pemerintah dalam mewujudkan
tenaga kerja dan masyarakat transmigrasi
yang produktif, kompetitif dan sejahtera.
Pelatihan Keterampilan Kerja merupakan
program dari Badan Penelitian, Pengembangan
dan
Informasi
Permasalahan
Bidang
Ketenagakerjaan Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi. Program tersebut berkaitan
langsung dengan pengembangan sumber
daya manusia (SDM), akan tetapi program
tersebut belum mendapat posisi penting dalam
pembangunan ketenagakerjaan nasional karena
terdapat berbagai kendala. Adapun berbagai
kendala dalam pemberian pelatihan maupun
keterampilan kerja di Indonesia, sebagai
berikut:10
a. Adanya duplikasi pelaksanaan pelatihan
keterampilan kerja antara Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, dengan yang

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

BNSP dan LSP pada dasarnya membantu


industri/ pemakai jasa untuk meyakinkan
bahwa mereka menggunakan tenaga kompeten
serta penyiapan tenaga kerja Indonesia yang
kompetitif menghadapi persaingan di pasar
kerja global.
Maka dari itu, berbagai kebijakan dalam
bidang ketenagakerjaan yang mendukung
peningkatan kualitas SDM perlu dioptimalkan
dalam
pelaksanaannya.
Mengingat
pemberlakuan arus bebas tenaga kerja di tahun
2015 tidak akan lama lagi. Adapun berbagai
kebijakan tersebut, diantaranya:
a. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan;
b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Badan
Nasional Sertifikasi Profesi;
c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem
Pelatihan Kerja Nasional;
d. Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka
Kualifikasi Nasional Indonesia
e. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2012 tentang Sistem Standardisasi
Kompetensi Kerja Nasional
Berbagai kebijakan tesebut harus dapat
dioptimalkan dalam pelaksanaannya seperti
pemberian latihan kerja, sebaimana keterangan,
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/
Kepala Bappenas, hanya 5 (lima) persen
karyawan di Indonesia yang mendapatkan
pelatihan kerja. Hal ini tentunya turut
mempengaruhi kualitas SDM dan keterampilan

Op.Cit., Badan Penelitian, Pengembangan dan Informasi Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, hlm. 3941.

10

Optimalisasi Kebijakan Ketenagakerjaan dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 2015 (Muhammad Fadli)

293

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

j. Belum jelasnya konsep pelaksanaan


pemagangan;
k. Terjadinya pelemahan fungsi lembaga
pengembangan
produktifitas
daerah.
Kebutuhan pelayanan pengembangan
produktifitas di daerah masih relatif besar,
namun tidak diikuti dengan peningkatan
kapasitas pelayanan (lembaga, instruktur,
metodologi);
l. Lumpuhnya sebagian besar BLK UPTD;
m. Masih banyaknya perusahaan yang belum
menganggap pelatihan keterampilan kerja
bagi pekerja sebagai bagian dari investasi;
n. Masih banyaknya angkatan kerja yang belum
memandang pelatihan keterampilan kerja
sebagai kebutuhan;
o. Belum diakuinya secara internasional
sertifikat kompetensi nasional;

ind

dilaksanakan oleh Kementerian Tenaga Kerja


dan Transmigrasi;
b. Belum adanya koordinasi yang integratif
antara Kementerian/ Lembaga dan swasta
yang melaksanakan pelatihan dengan
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
c. Belum kuatnya peraturan perundangundangan
tentang
pelatihan
yang
dilaksanakan oleh Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi karena hanya setingkat
Peraturan Pemerintah (PP);
d. Belum memadainya anggaran pelatihan
keterampilan kerja pada Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
e. Belum dijadikannya spesifikasi potensi
wilayah sebagai dasar pelaksanaan pelatihan
keterampilan kerja pada Balai Latihan Kerja
Unit Pleksana Teknis Pusat (BLK UPTP)
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
yang menyangkut kejuruan, peralatan dan
bahan, instruktur, dan proporsi anggaran;
f. Sangat sedikitnya jumlah lulusan pelatihan
keterampilan kerja yang dilaksanakan oleh
BLK UPTP Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi bila dibandingkan dengan
pencari kerja baru yang perlu dilatih;
g.
Belum
dapat
diketahuinya
dengan
pasti berapa persen lulusan pelatihan
keterampilan kerja BLK UPTP Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang dapat
bekerja dan/atau berusaha mandiri;
h. Kurangnya skill dan attitude kebanyakan
lulusan BLK UPTP Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi, sehingga belum
profesional dan belum dapat menjadi
human capital;
i. Belum adanya keselarasan antara program
pelatihan keterampilan kerja dengan
program peningkatan produktivitas;

Jur

na

lR
ec
hts
V

Maka dari itu peran pemerintah maupun


swasta sangat dibutuhkan dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan tersebut, seperti sinergi
antar-lembaga, minimnya anggaran, kurangnya
kesadaran angkatan kerja mengenai pentingnya
keterampilan kerja, dan infrastruktur yang
kurang memadai. Hal tersebut merupakan
tanggung jawab bersama pemerintah dan
swasta sehingga permasalahan tersebut dapat
diselesaikan terutama pelatihan keterampilan
kerja harus dapat dimaksimalkan dan menjadi
harmonis antara sektor dan lembaga agar
berbagai kendala dan hambatan tersebut dapat
teratasi dalam mempersiapkan tenaga kerja
terampil menghadapi berlakunya arus bebas
tenaga kerja terampil 2015.

294

D. PENUTUP
Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 (MEA)
atau ASEAN Economic Community 2015
merupakan integrasi ekonomi regional ASEAN

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 281296

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

hidupnya agar dapat mencapai kesejahteraan


sebagaimana tujuan negara dalam Pembukaan
UUD NRI 1945. Selain itu, UU Tenaga Kerja juga
mengamanatkan pembentukan BNSP yang
bertugas melakukan sertifikasi kompetensi
profesi kepada tenaga kerja di berbagai sektor
melalui LSP yang telah diberikan lisensi, agar
tenaga kerja mendapat pengakuan kompetensi
baik dalam lingkup nasional maupun
internasional. Tahun 2015 merupakan tahun
mulai diberlakukannya MEA, sudah sepatutnya
pemerintah maupun pihak swasta intensif
melakukan peningkatan keterampilan kepada
para tenaga kerja serta mendorong peningkatan
jumlah LSP guna melakukan percepatan
sertifikasi kompetensi para tenaga kerja dan
calon tenaga kerja dalam negeri.

ind

dan salah satu pilar Komunitas ASEAN yang


ditargetkan pencapaiannya pada Tahun 2015.
Salah satu konsekuensi diberlakukannya MEA
2015 adanya arus bebas tenaga kerja terampil
sebagaimana yang ditentukan dalam ASEAN
Economic Blueprint atau Cetak Biru Masyarakat
Ekonomi ASEAN. Cetak Biru Komunitas Ekonomi
ASEAN tersebut ditindaklanjuti dengan Instruksi
Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2011 tentang Pelaksanaan Komitmen Cetak Biru
Masyarakat Ekonomi Association Of Southeast
Asian Nations Tahun 2011. Konsekuensi dari
arus bebas tenaga kerja terampil tersebut
yaitu, tenaga kerja terampil di luar negeri dapat
memberikan jasanya di Indonesia begitupula
dengan tenaga kerja Indonesia dapat mencari
pekerjaan di negara-negara ASEAN berdasarkan
Mutual Recognition Arrangements (MRAs) yang
merupakan kesepakatan mengenai standar
kompetensi yang diakui oleh negara-negara
anggota ASEAN.
Optimalisasi pelaksanaan kebijakan yang
mendukung peningkatan kualitas tenaga kerja
harus terus dilakukan baik pemerintah maupun
swasta. Peningkatan kualitas tenaga kerja seperti
pelatihan kerja di berbagai sektor baik oleh
pemerintah maupun swasta, akan membantu
Indonesia dalam mempersiapkan tenaga kerja
terampil menghadapi MEA 2015. Sehingga
pemerintah dapat memanfaatkan momentum
tersebut dalam mengurangi pengangguran
dengan ketersedian lapangan kerja di
kawasan ASEAN. Kebijakan pemerintah yang
mengamanatkan pengembangan SDM dalam
mempersiapkan dan menghasilkan tenaga
kerja terampil dan berkualitas menghadapi
MEA 2015 sebenarnya telah ada, seperti di
dalam UU Tenaga Kerja yang mengamanatkan
diberikannya pelatihan kerja bagi tenaga kerja
guna meningkatkan keterampilan dan kualitas

Jur

na

lR
ec
hts
V

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ardana, I Komang et al., Manajemen Sumber Daya
Manusia (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012).
Asyhadie,
Zaeni,
Hukum
Kerja:
Hukum
Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja,
(Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2007).
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode
Penelitian Hukum (Jakarta: Rajawali Pers, 2012).
Badan Penelitian, Pengembangan Dan Informasi
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
Naskah
Akademik
Arah
Kebijakan
Ketenagakerjaan 2014-2019 (Jakarta: Puslibang
Ketenagakerjaan, 2013).
Badan Pusat Statistik, Laporan Bulanan Data Sosial
Ekonomi, (2014).
Cardoso Gomes, Faustino, Manajemen Sumber Daya
Manusia, (Yogyakarta: Andi, 2003).
Husni, Lalu, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan
Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,
2009).
HR, Ridwan, Hukum Administrasi Negara (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2007).
Khakim, Abdul, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan
Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2009).

Optimalisasi Kebijakan Ketenagakerjaan dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 2015 (Muhammad Fadli)

295

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

Sertifikasi Kompetensi dan manfaatnya, http://www.


iccosh-lskk3.or.id/index.php/tentang-sertifikasikompetensi, (diakses 11 Juni 2014).
Sofie
Widyana
P.,
2014
http://www.
hukumtenagakerja.com/fungsi-pelatihan-kerja/,
(diakses 5 Juni 2015).
Siti Nuraisyah Dewi dan R. Jihad Akbar, 2014, Hadapi
MEA, Dunia Usaha Minim Tingkatkan Kualitas
Pekerja,
http://idsaham.com/news-sahamHadapi-MEA-Dunia-Usaha-Minim-TingkatkanKualitas-Pekerja-409377.html, (diakses 2 Juni
2014).

Makalah/Artikel/Hasil penelitian

Peraturan

Asean Economic Community Blueprint (Cetak Biru


Masyarakat Ekonomi ASEAN)
BNSP menuju Indonesia yang Kompeten, http://ekbis.
sindonews.com/read/2013/12/19/77/818761/
bnsp-menuju-indonesia-yang-kompeten,
(diakses 11 Juni 2014).
Departemen Perdagangan Republik Indonesia,
Menuju
ASEAN
Economic
Community
2015,http://ditjenkpi.kemendag. go.id/
website_kpi/Umum/Setditjen/Buku%20
Menuju%20ASEAN%20ECONOMIC%20
COMMUNITY%202015.pdf, (diakses 10 Mei
2014).
Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Departemen
Luar Negeri RI, 2009, Cetak Biru Komunitas
Ekonomi Asean (Asean Economic Community
Blueprint),
http://www.smecda.com/Files/
Asean/ Cetak%20Biru%20Komunitas %20
Ekonomi%20ASEAN.pdf. (diakses 9 Juni 2014).
Pemahaman Pasal-Pasal Utama Undang-Undang
Ketenagakerjaan (UU NO. 13/2003), http://www.
ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---robangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/
wcms_120006.pdf, (diakses 4 Juni 2014).

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri.
Undang-Undang No. 38 Tahun 2008 tentang
Pengesahan Charter Of The Association Of
Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan
Bangsa-Bangsa Asia Tenggara)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi
Profesi
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
31 Tahun 2006 Tentang Sistem Pelatihan Kerja
Nasional
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Komitmen
Cetak Biru Masyarakat Ekonomi Association Of
Southeast Asian Nations Tahun 2011
Charter Of The Association Of Southeast Asian
Nation (Piagam ASEAN)

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

ing

BP
HN

Lupiyoadi, Rambat dan A. Hamdani, Manajemen


Pemasaran Jasa Edisi 2 (Jakarta: Salemba Empat,
2011).
Pitoyo, Whimbo, Panduan Praktis Hukum
Ketenagakerjaan, (Jakarta: Visimedia, 2010)
Winantyo, R., et al., Masyarakat Ekonomi Asean
(MEA) 2015: Memperkuat Sinergi ASEAN di
Tengah Kompetisi Global (Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo, 2008).
Mulyanto, Djoko, Materi Presentasi Kompetensi
Kerja Nasional Di Era Globalisasi, (Jakarta: Badan
Nasional Sertifikasi Profesi).

296

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 281296

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

PERLUNYA PERDA TENTANG RETRIBUSI PERPANJANGAN IZIN


MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING DI TENGAH LIBERALISASI
TENAGA KERJA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015

(The Importance of Local Regulation Regarding Retribution Fees on Renewal License


for Hiring Foreign Workers in The Liberalization of Foreign Workers among ASEAN Community 2015)
Budi S.P. Nababan

Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara


Email: budinababan.bn@gmail.com

ing

Naskah diterima: 21 Mei 2014; revisi: 25 Agustus 2014; disetujui: 27 Agustus 2014

lR
ec
hts
V

ind

Abstrak
Salah satu pilar utama ASEAN Vision 2020 adalah ASEAN Economic Community yang akan dipercepat di tahun 2015
sehingga akan menyebabkan terjadinya liberalisasi tenaga kerja di kawasan Asia Tenggara. Adapun yang menjadi
permasalahan dalam tulisan ini adalah mengapa diperlukan Perda tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan
Tenaga Kerja Asing di tengah liberalisasi tenaga kerja ASEAN Community 2015. Dengan menggunakan penelitian yuridis
normatif diketahui bahwa Perda tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing diperlukan
agar daerah bisa memungut retribusi terhadap perpanjangan izin bekerja para TKA (kecuali Instansi Pemerintah, BadanBadan Internasional dan Perwakilan Negara Asing), sebab tanpa adanya pengaturan (regeling) tidak ada dasar yuridis bagi
Pemerintah Daerah untuk memungutnya. Mengingat tingginya potensi kehadiran TKA, penulis menyarankan agar segera
dibentuk Ranperda tentang Retribusi Perpanjang Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing bagi daerah yang belum memiliki
Perda tersebut dan menjadikannya skala prioritas untuk dibahas dan ditetapkan menjadi perda.
Kata Kunci: retribusi, tenaga kerja asing, peraturan daerah

Jur

na

Abstract
One of main pillars of the ASEAN Vision 2020 is the ASEAN Economic Community that will be accelerated in 2015 that will
lead to the liberalization of foreign workers in Southeast Asia. The main problem in this paper is why is Local Regulation on
Retribution Fees Renewal License for Hiring Foreign important in the liberalization of foreign workers ASEAN Community
2015. By using normative research method acknowledge that The Local Regulation on Retribution Fees Renewal License
For Hiring Foreign needed to be so the local government can collect fees on extension of work permit of foreign workers
(except Government employees, International Agencies and Foreign Representative), because without regulation (regelling)
there is no legal basis for local governments to collect it. Regarding on high potential for the presence of foreign workers,
as authors suggest to boost formation of Local Regulation on Retribution Fees Renewal License For Hiring Foreign workers
Draft immediately for local government who has not have these regulations yet and make this as priority to discuss and
enact into regulation.
Keywords: retribution, foreign workers, local regulation

Perlunya Perda tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing ... (Budi S.P. Nababan)

297

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

Liberalisasi dalam perekonomian ASEAN


sesungguhnya tidak terlepas dari perkembangan
globalisasi
internasional.
Perkembangan
globalisasi internasional menuntut negaranegara ASEAN untuk lebih kompetitif lagi1.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
disebutkan globalisasi adalah proses masuknya
ke ruang lingkup dunia.
Globalisasi secara luas telah membuka
perekonomian dunia dalam skala yang hampir
tidak terbatas. Globalisasi juga menuntut
ASEAN menciptakan integrasi regional di Asia
Tenggara. Integrasi regional di Asia Tenggara
ini dikenal dengan ASEAN Vision 2020. Salah
satu pilar utama ASEAN Vision 2020 adalah
Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 (ASEAN
Economic Community 2015). ASEAN Economic
Community 2015 merupakan ide integrasi
ekonomi negara-negara anggota ASEAN, yang
menjadi komitmen bersama untuk dipercepat
pada tahun 2015 untuk enam negara terkaya
ASEAN salah satunya Indonesia dan kemudian
dilanjutkan pada tahun 2020 oleh negara
Kamboja, Myanmar, Laos dan Vietnam.
Kemudian pada tanggal 20 November
2007 dalam deklarasi ASEAN di Singapura
sepuluh negara anggota ASEAN sepakat untuk
menandatangani kesepakatan yang berisi cetak
biru (blueprint) ASEAN Economic Community
2015. Dalam blueprint ASEAN Economic
Community 2015 disepakati lima elemen

penting dalam integrasi perekonomian ASEAN


salah satunya adalah liberalisasi arus tenaga
kerja. Pada liberalisasi arus tenaga kerja terjadi
pembebasan arus tenaga kerja ahli terbatas
sampai tahun 2020, selebihnya keseluruhan
tenaga kerja (baik yang ahli maupun kurang
ahli) bisa melakukan migrasi dengan bebas,
tanpa memerlukan visa kerja khusus dan
perizinan yang menyulitkan banyak tenaga kerja
dari negara berkembang di ASEAN, misalnya
Indonesia untuk mendokumentasikan data
dirinya secara legal.
Di Indonesia kehadiran tenaga kerja asing
(selanjutnya disingkat dengan TKA) sebagai
suatu kebutuhan sekaligus tantangan yang
tidak dapat dihindari lagi, karena negara kita
membutuhkan TKA pada berbagai sektor.
Pergerakan tenaga kerja antar negara ini
akan mempengaruhi situasi keterampilan
dan pengetahuan tenaga kerja di Indonesia.
Kehadiran TKA dalam perekonomian nasional
suatu negara mampu menciptakan kompetisi
yang bermuara pada efisiensi dan meningkatkan
daya saing perekonomian. Sedangkan secara
filosofis dan spirit globalisasi, penggunaan TKA
pada negara berkembang dimaksudkan untuk
alih pengetahuan (transfer of knowledge) dan
alih teknologi (transfer of technology)2.
Menurut Staf Ahli Menteri Bidang Hubungan
Antar Lembaga Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, saat ini komposisi yang telah
ditetapkan oleh Pemerintah adalah sebanyak

ing

A. Pendahuluan

Triansyah Djani D, ASEAN Selayang Pandang, (Jakarta: Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Departemen Luar
Negeri Republik Indonesia, 2007), hlm. 32.
2
Tim Perbankan dan Enquiry Point, Tenaga Kerja Asing Pada Perbankan Nasional, Buletin Hukum Perbankan dan
Kebanksentralan, (Vol. 5, Nomor 3, Desember 2007), hlm. 1.
3
Pemerintah Akan Atur Tenaga Kerja Asing, http://www.m.tempo.co/read/news/2013/11/06/090527514/,
diakses 27 Januari 2014.

298

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 297-309

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

tersebut terlebih dahulu harus ada Perda


sebagai conditio sine quanonbagi pemungutan
retribusi perpanjangan IMTA.
Berkaitan dengan uraian diatas menjadi
penting untuk dibahas bagaimana situasi TKA di
Indonesia? Mengapa diperlukan Perda tentang
Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan
Tenaga Kerja Asing penting di tengah liberalisasi
tenaga kerja ASEAN Community 2015?

ing

B. Metode Penelitian

Dilihat dari tipologi penelitian, maka tulisan


ini merupakan penelitian yuridis normatif
(yuridis normative research). Penelitian yuridis
normatif disebut juga dengan penelitian
perpustakaan atau studi dokumen6 karena itu
penulis lebih banyak melakukan penelitian
terhadap data yang telah ada yang diperoleh
dari perpustakaan maupun internet.
Adapun
spesifikasi
penelitian
yang
digunakan dalam tulisan ini adalah deskriptif.
Soerjono Soekanto menyatakan bahwa
penelitian berbentuk deskriptif bertujuan
menggambarkan realitas obyek yang diteliti,
dalam rangka menemukan hubungan diantara
dua gejala, dengan memberikan gambaran
secara sistematis, mengenai peraturan hukum
dan fakta-fakta sebagai pelaksanaan peraturan
perundang-undangan tersebut di lapangan7.

HR Abdussalam, Hukum Ketenagakerjaan, (Jakarta: Restu Agung, 2008), hlm. 322.


Pendapatan Asli Daerah merupakan pendapatan Daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi
daerah, hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah,
yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada Daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan
otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi. Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm. 13-14.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1984), hlm. 96.

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

49% maksimal diisi oleh TKA, sisanya 51% diisi


oleh TKI3. Tujuan pengkomposisian tersebut
adalah untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja
terampil dan professional dibidang tertentu yang
belum dapat diisi oleh TKI serta mempercepat
proses pembangunan nasional dengan jalan
mempercepat alih ilmu pengetahuan dan
tekonologi dan meningkatkan investasi asing
sebagai penunjang pembangunan di Indonesia4.
Hadirnya TKA di negara kita akan
berdampak bagi pendapatan asli daerah5.
Namun sayangnya, belum banyak daerah
yang menyadarinya. Hal ini terbukti dengan
belum banyak daerah yang memiliki Peraturan
Daerah tentang Retribusi Perpanjangan
Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing
(selanjutnya disebut dengan Perda Retribusi
Perpanjangan IMTA) sebagai dasar hukum
dalam pemungutan retribusi perpanjangan
IMTA. Sesungguhnya pemberi kerja yang akan
memperpanjang izin mempekerjakan tenaga
kerja asing (kecuali Instansi Pemerintah, BadanBadan Internasional dan Perwakilan Negara
Asing) akan dikenai retribusi perpanjangan
IMTA yang ditetapkan berdasarkan tingkat
penggunaan jasa yang tidak akan melebihi tarif
PNBP perpanjangan IMTA yang berlaku pada
kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
Namun untuk dapat memungut retribusi

6
7

Perlunya Perda tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing ... (Budi S.P. Nababan)

299

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

1. Situasi TKA Di Tanah Air

BP
HN

ing

C. Pembahasan

berbeda secara sosial ekonomi diserahkan


sepenuhnya pada para pihak, maka tujuan
untuk menciptakan keadilan dalam hubungan
ketenagakerjaan akan sulit tercapai, karena
pihak yang kuat akan selalu ingin menguasai
yang lemah9.
Berkaitan dengan campur tangan dibidang
ketenagakerjaan, dalam mempekerjakan TKA
Pemerintah telah memberi sejumlah ramburambu yang harus diperhatikan oleh pemberi
kerja antara lain:
a. Pemberi kerja yang mempekerjakan TKA
wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau
pejabat yang ditunjuk, kecuali bagi perwakilan
negara asing yang mempergunakan TKA
sebagai pegawai diplomatik dan konsuler
tidak wajib memiliki izin;
b. Pemberi kerja orang perseorangan dilarang
mempekerjakan TKA;
c. Pemberi kerja yang menggunakan tenaga
kerja asing harus memiliki rencana
penggunaan TKA yang disahkan oleh
Menteri; dan
d. TKA dapat dipekerjakan di Indonesia hanya
dalam hubungan kerja untuk jabatan
tertentu dan waktu tertentu.

ind

Berkaitan dengan sumber penelitian8,


sumber penelitian dalam tulisan ini berasal
dari publikasi tentang hukum yang merupakan
dokumen-dokumen resmi yang berupa
peraturan perundang-undangan serta dokumen
yang tidak resmi yang berupa buku-buku teks
hukum dan jurnal hukum. Di samping itu,
tulisan ini juga menggunakan bahan-bahan non
hukum yang dipandang mempunyai relevansi
berupa hasil penelitian tentang ekonomi yang
termuat dalam skripsi dan jurnal serta berita
tentang ekonomi yang termuat dalam surat
kabar elektronik.

lR
ec
hts
V

Sebagaimana yang telah penulis kemukakan


sebelumnya bahwa komposisi penggunaan TKA
di tanah air telah ditetapkan oleh Pemerintah
adalah sebanyak 49% maksimal diisi oleh
TKA, sisanya 51% diisi oleh TKI, hal ini untuk
menjamin dan memberi kesempatan kerja yang
layak bagi warga negara Indonesia diberbagai
lapangan dan level pekerjaan. Pengkomposisian
tenaga kerja di tanah air merupakan salah
satu bentuk campur tangan Pemerintah dalam
bidang ketenagakerjaan. Campur tangan ini
dimaksudkan untuk terciptanya hubungan
ketenagakerjaan yang adil, karena jika hubungan
antara pekerja dan pemberi kerja sangat

na

Sumber-sumber penelitian hukum menurut Peter Mahmud Marzuki dibedakan atas sumber-sumber penelitian
yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan
bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas yang terdiri dari perundang-undangan,
catatan-catatan resmi atau risalah bahan pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.
Sedangkan bahan-bahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumendokumen resmi, meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar
atas putusan pengadilan. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 141.
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, Kompendium Hukum
Bidang Ketenagakerjaan, (Jakarta: 2012), hlm. 51.

Jur

Oleh karena itu TKA yang bekerja di


Indonesia harus mematuhi segala ketentuan
hukum ketenagakerjaan Indonesia. Sampai
dengan sekarang pengaturan hukum tentang

300

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 297-309

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

j. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan


Transmigrasi
Nomor
02/Men/III/2008
tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja
Asing.
k. Selain diatur dalam peraturan perundangundangan di bidang ketenagakerjaan,
penggunaan TKA juga harus memperhatikan
peraturan lain seperti Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian,
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009
tentang Kawasan Ekonomi Khusus, dan
bahkan peraturan daerah dimana TKA akan
bekerja.

Jika diperhatikan berbagai peraturan


perundang-undangan yang ada tersebut akan
terlihat mekanisme dan prosedur yang ketat
dalam mempekerjakan TKA yang dimulai
dengan seleksi dan prosedur perizinan hingga
pengawasan. Karena itu diperlukan peraturan
perundang-undangan
yang
mendukung
terhadap kebutuhan TKA dalam kaitannya
mendukung pelaksanaan ASEAN Economic
Community. Hal ini dirasa penting karena jika
peraturan perundang-undangan kita belum
sejalan, bukan tidak mungkin nantinya TKA yang
sudah ada di dalam negeri akan angkat kaki.
Dalam kapasitas untuk dapat mewujudkan
keikutsertaan Indonesia dalam kancah
ASEAN Economic Community, tentunya hal
ini bukanlah hal yang mudah. Perlu persiapan
dan kematangan baik dari segi peraturan
perundang-undangan, sumber daya manusia
yang berkecimpung, serta infrastruktur yang
mendukung.
Dalam hal pembentukan peraturan
perundang-undangan di Indonesia yang
mendukung terhadap terlaksananya ASEAN
Economic Community, pembentukan produk
hukum tersebut harus sejalan dengan arah
pembangunan hukum nasional sebagaimana

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

TKA masih tersebar dalam berbagai peraturan


perundang-undangan. Beberapa peraturan
perundang-undangan tersebut yang masih
relevan antara lain:
a. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, khususnya Bab
VIII menyangkut Penggunaan TKA;
b. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2012
tentang Jenis dan Tarif Atas Penerimaan
Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
c. Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995
tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga
Negara Asing Pendatang;
d. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 223/Men/2003 tentang
Jabatan-Jabatan Di Lembaga Pendidikan
Yang Dikecualikan Dari Kewajiban Membayar
Kompensasi;
e. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 228/Men/2003 tentang
Tata Cara Pengesahan Rencana Penggunaan
Tenaga Kerja Asing;
f. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi
Nomor
20/Men/III/2004
tentang Tata Cara Memperoleh Izin
Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing;
g. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi
Nomor
21/Men/IV/2004
tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Sebagai Pemandu Nyanyi;
h. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi
Nomor
07/Men/III/2006
jo
Nomor
15/Men/2006
tentang
Penyederhanaan Prosedur Penerbitan Izin
Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing;
i. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Trans
migrasi Nomor 02/Men/XII/2004 tentang
Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Tenaga
Kerja Bagi Tenaga Kerja Asing; dan

Perlunya Perda tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing ... (Budi S.P. Nababan)

301

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

mengenai situasi TKA di tanah air diketahui


bahwa:14
a. Pada akhir tahun 2005 sebanyak 50.903 TKA
bekerja di Indonesia, jumlah ini meningkat
dibandingkan pada tahun 2004 yang
berjumlah 43.091 orang. Sebagian besar
TKA tersebut bekerja di sektor industri yaitu
13.212 orang (25,95%), sektor perdagangan
sebanyak 9.817 orang (19,28%) dan paling
sedikit di sektor pertanian sebanyak 1.103
orang (2,17%).
b. Selama tahun 2013, tercatat sebanyak
68.957 orang TKAyang bekerja di Indonesia
didominasi sektor perdagangan dan jasa
sebanyak 36.913 orang, sektor industri 24.029
dan sektor pertanian sebanyak 8.015 orang.
Dari level jabatan, TKA tetap didominasi
level
profesional,
advisor/consultant,
manager, direksi, supervisor, teknisi dan
komisaris. Namun jumlah ini menurun bila
dibandingkan dengan jumlah TKA yang
masuk dan bekerja di Indonesia pada tahun
2012 yang mencapai 72.427 orang dan
tahun 2011 sebanyak 77.307 orang.
c. Seperti
tahun-tahun
sebelumnya
para TKA yang berasal Tiongkok, Jepang
dan Korea Selatan, India dan Malaysia
masih
tetap
mendominasi
jumlah
total TKA yang bekerja di Indonesia.
Kehadiran TKA dari 5 negara tersebut

na

lR
ec
hts
V

ind

tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17


Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional10. Untuk itu harus
diwaspadai berbagai modus tekanan ataupun
godaan dari pihak asing dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan11 dalam rangka
mendukung ASEAN Economic Community atau
mengandung prinsip-prinsip yang sama, atau
paling tidak memiliki dasar nilai filosofis dan
sosiologis yang mendukung dengan prinsipprinsip dalam ASEAN Economic Community.
Jangan sampai pembentukan peraturan
perundang-undangan untuk mendukung ASEAN
Economic Community melenceng dari arah
pembangunan hukum nasional seperti yang
telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2007 tersebut.
Menurut ketentuan peraturan perundangundangan, TKA adalah warga negara asing
pemegang visa dengan maksud bekerja di
wilayah Indonesia12. Defenisi dalam tersebut
sedikit berbeda dengan apa yang disampaikan
oleh Budiono, yang mengatakan TKA adalah
tiap orang bukan warga negara Indonesia
yang mampu melakukan pekerjaan, baik di
dalam maupun di luar hubungan kerja, guna
menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat13.
TKA telah menjadi bagian dari tenaga kerja
yang ada di Indonesia. Sebagai gambaran

Akhmad Aulawi, Arah Pembangunan Hukum Dalam Menghadapi ASEAN Economic Community 2015, Jurnal
RechtsVinding Online, hlm. 2.
11
Reza Fikri Febriansyah, Pengaruh Internasional Dalam Proses Pembentukan Undang-Undang Di Indonesia,
Jurnal Legislasi Indonesia, (Vol. 10 Nomor 03, September 2013), hlm. 241.
12
Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
13
Abdul Khakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009), hlm. 27.
14
Tenaga Kerja Asing Harus Patuhi Norma Dan Budaya Kerja Indonesia, http://www.jpnn.com/
read/2014/05/12/233983/Tenaga-Kerja-Asing-Harus-Patuhi-Norma-dan-Budaya-Kerja-Indonesia.
Pekerja
Asing Serbu Indonesia, http://disnakertransduk.jatimprov.go.id/ketenagakerjaan/223-pekerja-asing-serbuindonesia. Tahun 2013 Jumlah Pekerja Asing Di Indonesia Menurun, http://www.m.tribunnews.com, (diakses
19 Juli 2014).

Jur

10

302

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 297-309

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

2. Perlunya Perda Tentang Retribusi


Perpanjangan IMTA Di Tengah
Liberalisasi Tenaga Kerja ASEAN
Community 2015
Pada prinsipnya berbagai peraturan
perundang-undangan telah menyatakan bahwa
Retribusi Perpanjangan IMTA merupakan
kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah
Daerah, meskipun masih secara sumir. Hal ini
dapat ditelusuri dalam:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, telah menegaskan
bahwa daerah berhak untuk menetapkan
perda16;
b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, telah
menegaskan bahwa salah satu tugas
dan wewenang kepala daerah adalah
mengajukan Ranperda kemudian Ranperda
tersebut dibahas dengan DPRD sebagai salah
satu bentuk tugas dan wewenang DPRD,
setelah itu akan ditetapkan oleh kepala
daerah setelah mendapat persetujuan
bersama DPRD17;

lR
ec
hts
V

ind

Berdasarkan gambaran tersebut, kita bisa


melihat sebelum berlakunya ASEAN Economic
Community 2015 saja sudah cukup banyak
TKA di negara kita, apalagi dengan berlakunya
ASEAN Economic Community 2015. Sebab
adanya ASEAN Community 2015 maka TKA bisa
bermigrasi dengan bebas tanpa memerlukan visa
kerja khusus dan perizinan yang menyulitkan15.
Migrasi ini tentunya akan meningkatkan jumlah
TKA di tanah air. Banyaknya TKA di tanah air
sebenarnya merupakan salah satu pembawa
devisa bagi negara sebab berdasarkan
ketentuan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan, TKA yang bekerja di Indonesia juga
termasuk subjek pajak karena TKA mendapatkan
suatu penghasilan atas apa yang telah dia
kerjakan selama di Indonesia, sehingga sudah
sewajarnya juga dikenakan pajak penghasilan
yang dibebankan kepada perusahaan/badan

tempat TKA tersebut bekerja dan mendapatkan


penghasilan. Selain itu bagi Pemerintah Daerah
kehadiran TKA merupakan tambang emas sebab
terhadap perpanjangan izin bekerja TKA dapat
dikenakan retribusi.

ing

memang terus mendonimasi TKA dari


tahun ke tahun. Bahkan pada tahun 2013
jumlah TKA dari Tiongkok jumlahnya
mencapai 14.371 orang, Jepang 11.081
orang, dan Korea Selatan 9.075 orang,
sedangkan TKAdari India 6.047 orang, dan
Malaysia 4.962 orang. Adapun pekerja asing
dari Eropa berasal dari Inggris (36%), Prancis
(20%), Belanda (16%) dan Jerman (10%).

na

Masalah perizinan merupakan salah satu yang krusial menyangkut dua sisi kepentingan yaitu, kepentingan
pemerintah untuk melakukan regulasi terhadap kegiatan tertentu yang dilakukan oleh masyarakat agar sesuai
dengan perencanaan, kondisi dan kebutuhan pemerintah daerah, di sisi lain adalah kepentingan kebutuhan
masyarakat untuk memperoleh kepastian hukum dalam melakukan usaha dan kegiatan yang mempunyai efek
di bidang sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. Penulis melihat yang menjadi penyebab sulitnya perizinan di
Indonesia antara lain: prosedur pengurusan izin yang berbelit-belit dan terlalu banyak instansi yang terlibat;
biaya yang terlalu tinggi; persyaratan yang tidak relevan; waktu penyelesaian izin yang terlalu lama; dan kinerja
pelayanan yang sangat rendah.
Lihat Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Lihat Pasal 25 huruf c, Pasal 42 ayat (1) huruf a, dan Pasal 136 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah.

Jur

15

16
17

Perlunya Perda tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing ... (Budi S.P. Nababan)

303

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

retribusi20, dimana subjek retribusinya adalah


pemberi kerja tenaga kerja asing21 dengan
besaran tarif retribusi yang ditetapkan dengan
Perda22. Kewenangan ini mulai diberlakukan
sejak tanggal 1 Januari 201323, hal ini untuk
memberikan kesempatan kepada daerah
mempersiapkan kebijakan daerah dan hal-hal
lain yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan
pemungutan retribusi perpanjangan IMTA.
Maka berdasarkan sejumlah ketentuan tersebut
jelas bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 97
Tahun 2012 telah mendelegasikan kewenangan
retribusi perpanjangan IMTA kepada daerah.
ASEAN Economic Community 2015 akan
diarahkan kepada pembentukan sebuah
integrasi ekonomi kawasan dengan mengurangi
biaya transaksi perdagangan, memperbaiki
fasilitas perdagangan dan bisnis, serta
meningkatkan daya saing sektor usaha mikro,
kecil dan menengah. Pemberlakuan ASEAN
Economic Community 2015 bertujuan untuk
menciptakan pasar tunggal dan basis produksi
yang stabil, makmur, berdaya saing tinggi, dan
secara ekonomi terintegrasi dengan regulasi
efektif untuk perdagangan dan investasi, yang di
dalamnya terdapat arus bebas lalu lintas barang,
jasa, investasi, dan modal serta difasilitasinya
kebebasan pergerakan pelaku usaha dan tenaga
kerja.
Implementasi ASEAN Economic Community
2015 akan berfokus pada dua belas sektor

lR
ec
hts
V

ind

c. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009


tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, telah menegaskan bahwa jenis
retribusi daerah dapat ditambah sepanjang
memenuhi kriteria yang telah ditetapkan
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah18;
d. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota, menyebutkan jika salah
satu urusan wajib pemerintahan daerah
adalah bidang ketenagakerjaan19. Kemudian
dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini
bidang ketenagakerjaan dibagi atas sub
bidang, dan setiap sub bidang dibagi lagi
dalam sub-sub bidang, salah satu subsub bidang tersebut adalah penerbitan
perpanjangan IMTA.

na

Kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah


Daerah baru secara tegas dinyatakan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2012
tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan
Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan
Tenaga Kerja Asing yang telah diundangkan
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 216, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5358 pada
tanggal 30 Oktober 2012. Dalam peraturan
pemerintah ini, pemberian perpanjangan izin
mempekerjakan tenaga kerja asing dikenakan

Lihat Pasal 150 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Lihat Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota beserta lampirannya.
20
Lihat Pasal 13 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas
dan Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing.
21
Lihat Pasal 14 ayat (1), Ibid.
22
Lihat Pasal 15 ayat (2), Ibid.
23
Lihat Pasal 18, Ibid.
18

Jur

19

304

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 297-309

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

dengan berlakunya ASEAN Economic Community


2015. TKA tersebut akan tersebar di daerahdaerah terutama di daerah yang memiliki daya
saing tinggi seperti di DKI Jakarta, Jawa Timur,
Jawa Barat, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau,
Jawa Tengah dan Banten.
Semakin banyaknya TKA yang akan masuk
ke daerah, Pemerintah Daerah harus berani
mengambil langkah pengaturannya, dimana
upaya ini dilakukan untuk mengantisipasi
berbagai hal yang mungkin saja bisa terjadi
seperti opini negatif yang timbul di masyarakat
bahwa TKA hanya mengeruk keuntungan bagi
mereka sendiri, TKA tidak akan berpengaruh
pada pendapatan daerah. Hal ini merupakan
suatu kekeliruan sebab para TKA yang izinnya
diperpanjang akan dikenakan retribusi, namun
karena banyaknya daerah yang belum memiliki
perda maka pembayaran izinnya langsung
kepada Pemerintah Pusat25 sehingga terkesan
TKA tidak memberikan kontribusi sama sekali.
Berlakunya ASEAN Economic Community
2015 bukan berarti terhadap TKA tidak dapat
dipungut retribusi perpanjangan IMTA, sebab
yang menjadi agenda dalam ASEAN Economic
Community 2015 adalah TKA tidak lagi
memerlukan visa kerja khusus dan perizinan
yang menyulitkan seperti yang berlaku selama
ini, sehingga Pemerintah Daerah masih bisa
memungut retribusi yang memang benar-benar

na

lR
ec
hts
V

ind

prioritas, yang terdiri atas tujuh sektor barang


(industri pertanian, peralatan elektonik,
otomotif, perikanan, industri berbasis karet,
industri berbasis kayu, dan tekstil) dan lima
sektor jasa (transportasi udara, pelayanan
kesehatan, pariwisata, logistik, dan industri
teknologi informasi atau e-ASEAN). Apabila
peluang ini dioptimalkan, maka Indonesia akan
mendapatkan keuntungan ekonomi yang lebih
besar dibandingkan negara-negara lainnya.
Tidak tertutup kemungkinan para investor
(dalam dan/atau luar negeri) akan menanamkan
modalnya di negara kita, sehingga TKA akan
bermigrasi dengan bebas akibat kebutuhan TKA
di berbagai sektor24. Migrasi TKA tersebut sesuai
dengan blueprint ASEAN Economic Community
2015 yang sudah ditandatangani tahun 2009,
yang berisi kesepakatan pembebasan arus
tenaga kerja ahli terbatas sampai tahun 2020.
Selebihnya keseluruhan tenaga kerja (baik
yang ahli maupun kurang ahli) bisa melakukan
migrasi dengan bebas, tanpa memerlukan visa
kerja khusus dan perizinan yang menyulitkan
banyak tenaga kerja dari negara berkembang di
ASEAN.
Meskipun di tahun 2013 jumlah TKA
menurun dibandingkan di tahun 2012 bahkan di
tahun 2011 sebagaimana yang telah diuraikan
sebelumnya, namun penulis meyakini bahwa
jumlah TKA akan lebih meningkat lagi seiring

Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan Badan Penelitian Pengembangan dan Informasi Departemen Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, Situasi Tenaga Kerja Dan Kesempatan Tenaga Kerja Di Indonesia,
Jakarta: 2006.
25
Berkaitan dengan hal ini, Kepala Seksi Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
Kota Medan pernah mengatakan kebanyakan TKA membayar biaya perpanjangan izin dana pengembangan
keterampilan dan keahlian (DPKK) langsung kepada Pemerintah Pusat, sedangkan ke kas Pemerintah Kota
tidak ada. Berdasarkan DPKK, biaya perpanjangan izin TKA sebesar USD 1.200 per tahun. Seharusnya ketika
masa izin habis maka TKA tersebut memperpanjang izin ke dinas tenaga kerja di tempatnya bekerja. Tenaga
Kerja Asing Tak Punya Kontribusi. Budi S.P. Nababan, Mendorong Lahirnya Peraturan Daerah Tentang Retribusi
Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing Di Kota Medan, Jurnal Legislasi Indonesia, (Vol. 11 Nomor
01, Maret 2014), hlm. 51-52.

Jur

24

Perlunya Perda tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing ... (Budi S.P. Nababan)

305

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

retribusi perpanjangan IMTA merupakan salah


satu kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah
Daerah. Dalam menyusun Perda tentang
Retribusi Perpanjangan IMTA, harus harus
diingat bahwa: dasar hukumnya adalah Pasal 18
ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang
tentang Pembentukan Daerah, Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah diubah beberapa
kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 200827, serta peraturan perundang
undangan di bawah Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
memerintahkan secara langsung pembentukan
yaitu
peraturan
perundangundangan28,
Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2012
tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan
Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan
Tenaga Kerja Asing.
Retribusi perpanjangan IMTA adalah
pungutan atas pemberian perpanjangan izin
mempekerjakan tenaga kerja asing kepada
pemberi kerja tenaga kerja asing29, sedangkan
perpanjangan IMTA adalah izin yang diberikan
oleh gubernur atau bupati/walikota atau
pejabat yang ditunjuk kepada pemberi kerja
tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan30. Retribusi
perpanjangan IMTA sebenarnya merupakan
pengalihan kewenangan dari PNBP Pemerintah
Pusat menjadi retribusi Pemerintah Daerah.

na

lR
ec
hts
V

ind

ada dan diakui peraturan perundang-undangan


yang masih berlaku. Oleh karenanya Pemerintah
Daerah perlu memiliki pemahaman yang baik26
atas situasi yang dihadapi di daerahberkaitan
dengan retribusi daerah.
Sebagai bagian dari negara hukum, tentunya
segala kebijakan dan tindakan Pemerintah
Daerah harus berlandaskan pada aturan hukum.
Hal ini menjadi syarat mutlak untuk memungut
pajak maupun retribusi, karena pemungutan
pajak dan retribusi tanpa aturan hukum sama saja
dengan perampokan. Di Amerika Serikat dikenal
dengan Taxation Without Representation Is
Robbery sedangkan di Inggris dikenal dengan
No Taxation Without Representation. Kedua
dalil tersebut memiliki esensi yang sama
dengan Pasal 23A Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyebutkan bahwa Pajak dan pungutan lain
yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara
harus diatur dengan undang-undang. Sehingga
berdasarkan ketentuan Pasal 23A Konstitusi ini
tanpa adanya pengaturan (regeling) tidak ada
dasar yuridis bagi Pemerintah Daerah untuk
melakukan pungutan pajak atau retribusi apa
pun.
Karena itu Pemerintah Daerah perlu
menetapkan
Perda
tentang
Retribusi
Perpanjangan IMTA sebagai instrumen
hukum dalam melakukan pungutan retribusi
perpanjangan IMTA, selain itu sebagaimana
yang telah diuraikan sebelumnya bahwa

Lihat lebih lanjut David Kairupan, Aspek Hukum Penanaman Modal Asing Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2013), hlm. 7.
27
Lihat butir 39 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan.
28
Lihat butir 40 Lampiran II, Ibid.
29
Lihat Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas
dan Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing.
30
Lihat Pasal 1 angka 4, Ibid.

Jur

26

306

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 297-309

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ing

BP
HN

retribusi ini digunakan untuk mendanai


penerbitan dokumen izin, pengawasan di
lapangan, penegakan hukum, penatausahaan,
biaya dampak negatif dari perpanjangan IMTA,
dan kegiatan pengembangan keahlian dan
keterampilan tenaga kerja lokal33.
Beberapa Pemerintah Daerah telah
menyadari potensi kehadiran TKA di wilayahnya
dengan membentuk Perda tentang Retribusi
Perpanjangan IMTA, seperti Kabupaten
Purwakarta (Perda Nomor 12 Tahun 2013 yang
mulai dilaksanakan pada tanggal 1 Juni 2013),
Provinsi Kalimantan Selatan (Perda Nomor 10
Tahun 2013 yang mulai berlaku sejak tanggal
28 Oktober 2013), Kota Batam (Perda Nomor
4 Tahun 2013 yang mulai diberlakukan sejak
tanggal 11 April 2013), Kabupaten Badung
(Nomor 20 Tahun 2013 yang mulai berlaku
sejak tanggal 1 Januari 2014), Kota Depok
(Perda Nomor 2 Tahun 2013 yang mulai berlaku
sejak tanggal 14 Mei 2013), dan Provinsi Nusa
Tenggara Barat (Perda Nomor 10 Tahun 2013
yang mulai berlaku sejak tanggal 13 Desember
2013).
Adapun bagi daerah-daerah yang belum
memiliki Perda tentang Retribusi Perpanjangan
IMTA, Pemerintah Daerahnya dituntut untuk
bergelut dengan waktu yang tersisa untuk
membentuk perda tersebut, sebab era
perdagangan bebas di negara-negara ASEAN
tinggal hitungan waktu. Tidak kurang dari 2
tahun pelaksanaan ASEAN Economic Community
akan segera dilaksanakan, tepatnya tanggal

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

Karena itu pembentukan Perda tentang retribusi


perpanjangan IMTA dapat dipastikan tidak akan
menghambat ASEAN Economic Community
2015, mengingat retribusi perpanjangan
IMTA sebelumnya merupakan PNBP yang
kemudian dilimpahkan kepada daerah untuk
dipungut sebagai retribusi. Pemungutan
retribusi perpanjangan IMTA dilaksanakan oleh
Pemerintah Provinsi untuk perpanjangan IMTA
yang lokasi kerjanya lintas kabupaten/kota dalam
provinsi yang bersangkutan dan Pemerintah
Kabupaten/Kota untuk perpanjangan IMTA
yang lokasi kerjanya dalam kabupaten/kota
yang bersangkutan. Selain itu Peraturan
Pemerintah Nomor 97 Tahun 2012 telah
menegaskan bahwa tarif retribusi perpanjangan
IMTA yang akan ditetapkan berdasarkan tingkat
penggunaan jasa tidak akan melebihi tarif
PNBP perpanjangan IMTA yang berlaku pada
Kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang ketenagakerjaan31.
Perda tentang Retribusi Perpanjangan
IMTA tidak sama dengan regulasi yang
akan diterapkan Negara Singapura32 sebab
perda tentang retribusi perpanjangan IMTA
bukanlah untuk merintangi pergerakan arus
TKA, sedangkan regulasi yang akan diterapkan
Negara Singapura untuk membatasi jumlah
tenaga kerja atau imigran asing yang kian
meningkat dalam beberapa tahun terakhir
melalui kenaikan retribusi yang tinggi. Bagi
negara kita retribusi perpanjangan IMTA
dapat meningkatkan PAD dimana penerimaan

Lihat Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan
Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing.
32
Singapura Akan Batasi Tenaga Kerja Asing, http://internasional.kompas.com/read/2013/02/26/05083392/
Singapura.Akan.Batasi.Tenaga.Kerja.Asing, (diakses 19 Mei 2014).
33
Lihat Pasal 16 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas
dan Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing.
31

Perlunya Perda tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing ... (Budi S.P. Nababan)

307

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

Berdasarkan pembahasan sebelumnya


disimpulkan bahwa, berlakunya ASEAN
Community 2015 akan menyebabkan TKA
semakin tinggi kehadirannya di negara kita sebab
TKA akan bermigrasi dengan bebas tanpa visa
kerja khusus dan perizinan yang menyulitkan.
Terhadap TKA tersebut masih bisa dikenakan
retribusi perpanjangkan IMTA (kecuali yang
bekerja di Instansi Pemerintah, Badan-Badan
Internasional dan Perwakilan Negara Asing)
sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor
97 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian
Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan Izin
Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing. Retribusi
perpanjangkan IMTA merupakan retribusi yang
baru ditetapkan oleh Pemerintah Pusat untuk
diberlakukan Pemerintah Daerah sejak tanggal
1 Januari 2013. Agar daerah bisa memungutnya
perlu adanya Perda tentang Retribusi
Perpanjangan IMTA sesuai dengan amanat Pasal
23A Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, tanpa adanya perda
tersebut tidak ada dasar yuridis bagi Pemerintah
Daerah untuk memungut retribusi tersebut.
Oleh karena itu sangat diperlukan Perda
tentang Retribusi Perpanjangan IMTA di tengah
liberalisasi tenaga kerja ASEAN Community
2015, namun sayangnya hanya beberapa
Pemerintah Daerah saja yang telah membentuk
Perda tentang Retribusi Perpanjangan IMTA.

BP
HN

D. Penutup

Mengingat tingginya kehadiran TKA di


tanah air sejalan pula dengan pelaksanaan
ASEAN Economic Community 2015 yang tinggal
hitungan waktu, penulis menyarankan bagi
daerah yang belum memiliki Perda tentang
Retribusi Perpanjangan IMTA agar segera
menyusun draftnya dan mencantumkan
Ranperda tentang Retribusi Perpanjangan
IMTA dalam Program Legislasi Daerah sehingga
menjadi skala prioritas untuk dibahas dan
ditetapkan menjadi perda. Karena itu sangat
dibutuhkan keseriusan Pemerintah Daerah
dan DPRD dalam mewujudkan kehadiran
Perda tentang Retribusi Perpanjangan IMTA,
sebab pada akhirnya Perda tentang Retribusi
Perpanjangan IMTA ini nantinya akan digunakan
Pemerintah Daerah sebagai instrumen hukum
di daerah dalam melakukan pungutan retribusi
perpanjangan IMTA. Retribusi perpanjangan
IMTA ini nantinya untuk mendanai penerbitan
dokumen izin, pengawasan di lapangan,
penegakan hukum, penatausahaan, biaya
dampak negatif dari perpanjangan IMTA,
dan kegiatan pengembangan keahlian dan
keterampilan tenaga kerja lokal.

ing

31 Desember 2015. Jangan sampai di tengah


berlangsungnya ASEAN Economic Community,
Pemerintah Daerah tidak bisa memungut
retribusi perpanjangan IMTA. Hal ini sangat
disayangkan mengingat saat ini saja kehadiran
TKA di tanah air sudah cukup tinggi apalagi
dengan diberlakukannya ASEAN Economic
Community 2015.

308

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdussalam, HR, Hukum Ketenagakerjaan, (Jakarta:
Restu Agung, 2008).
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian
Hukum dan HAM Republik Indonesia,
Kompendium Hukum Bidang Ketenagakerjaan,
(Jakarta: 2012).
Departemen Perdagangan Republik Indonesia,
Menuju ASEAN Economic Community 2015,
(Jakarta: 2010).
Djani D, Triansyah, ASEAN Selayang Pandang,
(Jakarta: Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN
Departemen Luar Negeri Republik Indonesia,
2007).
Khakim, Abdul, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan
Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009).

Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm. 297-309

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

Tahun 2013 Jumlah Pekerja Asing Di Indonesia


Menurun. http://www.m.tribunnews.com (diak
ses 20 Januari 2014).
Tenaga Kerja Asing Harus Patuhi Norma Dan
Budaya Kerja Indonesia, http://www.jpnn.
com/read/2014/05/12/233983/Tenaga-KerjaAsing-Harus-Patuhi-Norma-dan-Budaya-KerjaIndonesia (diakses 19 Mei 2014).
Pekerja Asing Serbu Indonesia, http://disnakertrans
duk.jatimprov.go.id/ketenagakerjaan/223pekerja-asing-serbu-indonesia (diakses 19 Mei
2014).
Singapura Akan Batasi Tenaga Kerja Asing, http://
internasional.kompas.com/read/2013/02/26
/05083392/Singapura.Akan.Batasi.Tenaga.Kerja.
Asing (diakses 19 Mei 2014).
Menakar Kesiapan Indonesia Hadapi AEC 2015,
http://news.liputan6.com/read/566007/
menakar-kesiapan-indonesia-hadapi-aec-2015
(diakses 19 Juli 2014).

Makalah/ Artikel/ Prosiding/ Hasil Penelitian

Peraturan Perundang-undangan

Aulawi, Akhmad, Arah Pembangunan Hukum Dalam


Menghadapi ASEAN Economic Community
2015, Jurnal RechtsVinding Online.
Febriansyah, Reza Fikri, Pengaruh Internasional
Dalam Proses Pembentukan Undang-Undang Di
Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia, (Vol. 10,
Nomor 03, September 2013).
Nababan, Budi S.P, Mendorong Lahirnya Peraturan
Daerah Tentang Retribusi Perpanjangan Izin
Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing Di Kota
Medan, Jurnal Legislasi Indonesia, (Vol. 11
Nomor 01, Maret 2014).
Tim Perbankan dan Enquiry Point, Tenaga Kerja
Asing Pada Perbankan Nasional, Buletin Hukum
Perbankan dan Kebanksentralan, (Vol. 5 Nomor
3, Desember 2007).

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2012
tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan
Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan
Tenaga Kerja Asing.

Internet

lR
ec
hts
V

ind

ing

BP
HN

Kairupan, David, Aspek Hukum Penanaman Modal


Asing Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2013).
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, (Jakarta:
Kencana, 2010).
Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan, Badan
Penelitian Pengembangan dan Informasi,
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia, Situasi Tenaga Kerja Dan
Kesempatan Tenaga Kerja Di Indonesia, (Jakarta:
2006).
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum,
(Jakarta: UI-Press, 1984).
Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek,
(Jakarta: Sinar Grafika, 1996).
Wijoyo, Wisnu Harto Adi, Determinan Migrasi
Internasional: Migrasi Netto Studi Kasus ASEAN
Dan Gravitasi Migrasi Keluar Dari Indonesia,
(Depok: Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, 2011).

Jur

na

Pemerintah Akan Atur Tenaga Kerja Asing, http://


www.m.tempo.co/read/news/2013/11/06
/090527514/ (diakses 27 Januari 2014).

Perlunya Perda tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing ... (Budi S.P. Nababan)

309

lR
ec
hts
V

ind

ing

BP
HN

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

Jur

na

Halaman ini dikosongkan

ing

BP
HN

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

ind

UCAPAN TERIMA KASIH KEPADA MITRA BESTARI

lR
ec
hts
V

Segenap pengelola Jurnal RechtsVinding


menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya
atas sumbangsih :
Prof. Dr. IBR Supancana, S.H., M.H.

Prof. Dr. Sulistyawati Irianto, S.H., LL.M.


Dr. Hadi Subhan, S.H., M.Hum.

Jur

na

sebagai Mitra Bestari yang telah melakukan peer review


terhadap naskah Jurnal RechtsVinding Volume 3 Nomor 2, Agustus2014.

lR
ec
hts
V

ind

ing

BP
HN

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

Jur

na

Halaman ini dikosongkan

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

BIODATA PENULIS
Syprianus Aristeus, lahir di Kupang, 03 September 1958. Meraih gelar Sarjana Hukum dari Fakultas
Hukum Universitas Hasanudin Makassar pada 1985. Selanjutnya Studi Program Notariat Fakultas
Hukum Universitas Gajah Mada hingga 1989. Sedangkan gelar Magister Hukum diperoleh dari STIH
IBLAM pada 2002. Saat ini sedang menyelesaikan S3 di Program Pasca Sarjana Universitas Jayabaya
Jakarta. Memulai karier di BPHN pada tahun 1991 dan memutuskan menjadi Peneliti Hukum pada
1997 hingga saat ini. Dapat dihubungi melalui: syprianus@bphn.go.id

lR
ec
hts
V

ind

ing

Masnur Tiurmaida Malau, lahir di Sidikalang, Sumatera Utara, 7 Mei 1980. Meraih gelar Sarjana
Hukum dari Universitas Diponegoro, Semarang, tahun 2002. Memperoleh gelar Magister Hukum
dari Universitas Padjadjaran, Bandung tahun 2009. Saat ini menjabat sebagai Kepala Subbidang
Pertemuan Ilmiah dan Kerjasama Penelitian Bidang Pengembangan Hukum dan Fasilitasi Penelitian
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Beberapa pelatihan dan training yang pernah diikuti
antara lain Fighting Crime Through International Legal Cooperation Consolidation Workshop di Jakarta
Centre For Law Enforcement Cooperation (JCLEC) Semarang 25-27 Agustus 2009, Diklat Penyusunan
dan Perancangan Peraturan Perundang-undangan di BPSDM Kemenkumham Oktober-Desember
2009, Pelatihan Teknik Perundang-undangan (Training on Legislative Drafting) di Direktorat Jenderal
Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham bekerjasama dengan Center for International
Legislative Cooperation (CILC) Netherland 25-29 Januari 2010. Mengikuti Workshop on Strengthening
Members Participation in Legal Information Networks 11-14 Juni 2012 di Phnom Penh, Cambodia
dan menghadiri The 2nd International Conference on Enforcing Contracts in Thailand, Philippines and
Indonesia 5-10 November 2012 di Seoul, Korea Selatan. Dapat dihubungi melalui: moniquest_7th@
yahoo.com dan moniq.malau@gmail.com.

na

Subianta Mandala, lahir di Singaraja Bali pada tahun 1963, adalah pegawai negeri sipil pada Badan
Pembinaan Hukum Nasional. Karir di pemerintahan dimulai pada tahun 1990 sebagai staf pada
Direktorat Penyuluhan Hukum Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan, Kementerian
Kehakiman. Jabatan struktural yang pernah dipegang oleh penulis adalah Kepala Seksi Kerjasama
Bilateral, Kepala Seksi Kelembagaan Ekonomi Internasional (pada Ditjen Hukum dan Perundangundangan), Kepala Bidang Kerjasama Hukum, Kepala Bidang Rencana dan Fasilitasi Pembangunan
Hukum, dan saat ini menjabat sebagai Kepala Bidang Otomasi Dokumentasi Hukum pada Badan
Pembinaan Hukum Nasional. Selain itu, penulis adalah pengajar tidak tetap pada Fakultas Hukum
Universitas Nasional, Jakarta untuk mata kuliah hukum internasional, hukum arbitrase, dan transaksi
bisnis internasional (2012 s/d sekarang). Penulis menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum
Universitas Atmajaya Yogyakarta (hukum dagang, 1989), pendidikan S2 di Law School, Melbourne
University (international trade law, 2001), dan saat ini sedang menyelesaikan Program S3 Hukum
di Universitas Padjadjaran, Bandung (hukum kontrak di ASEAN, 2011 s/d sekarang). Penulis dapat
dihubungi melalui email subianta_mandala@yahoo.com.

Jur

Bagus Gede Mas Widipradnyana Arjaya, lahir di Denpasar, 14 Oktober 1991, menyelesaikan S1 dari
Fakultas Hukum Universitas Airlangga dengan penjurusan Hukum Bisnis pada tahun 2013 dengan
predikat cumlaude. Saat ini berkerja pada Kejaksaan Negeri Sintang Kalimantan Barat sebagai CPNS
Calon Jaksa. Saat di bangku kuliah Pernah melaksanakan magang pada sebuah firma hukum serta kantor
Kurator dan Pengurus di pulau Bali. Penulis dapat dihubungi melalui emaiL: arjayawidipradnyana@
yahoo.co.id atau bagus.widipradnyana.arjaya@gmail.com.

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

Muhammad Sapta Murti, lahir di Jakrta 28 Maret 1058. Meraih gelar Sarjana Hukum pada Tahun 1983
Jurusan Perdata pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta. Kemudian mendapat gelar Master
of Arts (MA) jurusan Rural Development pada Tahun 1993 di Reading University United Kingdom. Gelar
CN jurusan Spesialis Dalam Bidang Hukum Program Studi Kenotariatan diperoleh pada Tahun 1999 dari
Universitas Indonesia dan gelar M.Kn Magister Kenotariatan diperoleh pada Tahun 2003 di Universitas
Indonesia. Gelar Doktor Bidang Ilmu Hukum diperoleh pada Tahun 2014 dari Universitas Padjajaran
Bandung. Saat ini menjabat sebagai Deputi Bidang Perundang-undangan Sekretariat Negara RI, dan
juga menjabat di beberapa posisi antara lainsebagai Komisaris Perseroan PT Asuransi Jiwasraya, Dewan
Pembina Yayasan Bahasa Indonesia-Australia, Anggota Tim Pengkaji Peran Perusahaan Umum Bulog
Dalam Stabilisasi Harga Pangan, Advisory Bord Telkom University Bandung, Anggota Tim Pelaksana
Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus. Penulis dapat dihubungi di saptamurti@yahoo.com.

ind

ing

Harison Citrawan, lahir di Balikpapan, 10 November 1986. Menyelesaikan studi jenjang strata satu
ilmu hukum dengan konsentrasi hukum internasional di Universitas Gadjah Mada pada tahun 2008;
dan jenjang strata dua hukum internasional dan hukum organisasi internasional dengan spesialisasi
hak asasi manusia di Rijksuniversiteit Groningen pada tahun 2010. Saat ini bekerja sebagai peneliti
pada Badan Penelitian dan Pengembangan HAM, Kementerian Hukum dan HAM. Dapat dihubungi
melalui email: h.citrawan@hotmail.com.

lR
ec
hts
V

Ade Irawan Taufik, lahir di Jakarta, tanggal 26 Mei 1980. Lulus S1 Ilmu Hukum dari Universitas
Padjadjaran, Bandung. Saat ini bekerja sebagai fungsional peneliti hukum di Badan Pembinaan Hukum
Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, sebelumnya pernah bekerja sebagai Legal Officer di salah
satu kontraktor BUMN dan juga kontraktor perusahaan Penanaman Modal Asing. Penulis aktif terlibat
dalam berbagai kegiatan penelitian dan pengkajian hukum baik yang dilaksanakan oleh BPHN maupun
di luar BPHN. Selain itu penulis aktif pula menulis untuk jurnal ilmiah. Penulis dapat dihubungi melalui:
adeirawantaufik@gmail.com.

Jur

na

Muhammad Fadli, lahir di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. 11 Juli 1989. Menyelesaikan studi pada
Program S1 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dengan konsentrasi hukum pidana kemudian
melanjutkan S2 pada Prodi Ilmu Hukum Konsentrasi Kepidanaan Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin, saat ini bekerja di Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Kanwil Kementerian
Hukum dan HAM Sulawesi Selatan. Semasa kuliah aktif di Lembaga Penalaran Dan Penulisan Karya
Ilmiah Fakultas Hukum UNHAS dan aktif mengikuti berbagai kegiatan, seperti Debat Konstitusi di
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia 2008, ILSA Double Workshop (Lawyering and Legal Drafting)
International Law Students Association Capter UNHAS 2009, ALSA National Moot Court Competition
Universitas Airlangga 2009, Pelatihan HKI dan Kepengacaraan yang dilaksanakan Lembaga Pendidikan
dan Pengkajian Hukum Nasional (LPPHN) dan Sentra HKI Makassar 2010, Karya Tulis Ilmiah yang telah
dipublikasikan antara lain, Dibalik Tirai Penegakan Hukum Indonesia dimuat dalam Buku Menantikan
Kebangkitan Hukum Indonesia (pemikiran dan rekomendasi mahasiswa hukum se-Indonesia) mengenai
agenda pembaharuan hukum di era pasca reformasi yang diterbitkan BEM FH-UI dan Pusat Penelitian
& Pengkajian Mahkamah Konstitusi, 2008, Artikel Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dalam Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang dimuat di Jurnal Legislasi Indonesia, Jakarta Vol.11
No.1 2014. Penulis dapat dihubungi melalui email: fadlilaw@gmail.com.

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

Jur

na

lR
ec
hts
V

ind

ing

BP
HN

Budi S.P Nababan lahir di Medan, 1 Mei 1984 Sumatera Utara. Menyelesaikan S1 Ilmu Hukum di
Universitas Sumatera Utara tahun 2008. Pada tahun 2009 diterima sebagai CPNS pada Kantor Wilayah
Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara dan diangkat sebagai PNS tahun 2011. Kemudian pada
tahun 2012 mengikuti Diklat Suncang dan diangkat sebagai Perancang Peraturan Perundang-undangan
sejak 30 November 2012. Tahun 2012 sampai dengan tahun 2013 aktif menulis opini di surat kabar
lokal sedangkan karya tulis ilmiah yang telah dipublikasi berjudul Mendorong Lahirnya Peraturan
Daerah Tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing Di Kota Medan
dimuat dalam Jurnal Legislasi Indonesia Vol. Vol. 11 Nomor 01, Maret 2014; serta Pengawasan
Hakim Konstitusi Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014 dimuat dalam Jurnal
Legislasi Indonesia Vol. Vol. 11 Nomor 02, Juni 2014. Dapat dihubungi di email: budinababan.bn@
gmail.com.

lR
ec
hts
V

ind

ing

BP
HN

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

Jur

na

Halaman ini dikosongkan

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

PETUNJUK PENULISAN NASKAH


JURNAL RECHTSVINDING

Jurnal RechtsVinding merupakan media caturwulanan di bidang hukum, terbit sebanyak 3 (tiga) nomor
dalam setahun (April; Agustus; dan Desember). Jurnal RechtsVinding diisi oleh para pakar hukum, akademisi,
penyelenggara negara, praktisi serta pemerhati dan penggiat hukum. Redaksi Jurnal RechtsVinding menerima
naskah karya tulis ilmiah di bidang hukum yang belum pernah dipublikasikan di media lain dengan ketentuan
sebagai berikut:

ing

1. Redaksi menerima naskah karya tulis ilmiah bidang Hukum dari dalam dan luar lingkungan Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia.

2. Jurnal RechtsVinding menggunakan sistem seleksi peer-review dan redaksi. Dewan Redaksi dan Mitra
Bestari akan memeriksa naskah yang akan masuk dan berhak menolak naskah yang dianggap tidak
memenuhi ketentuan.

Hasil Penelitian;
Kajian Teori;
Studi Kepustakaan; dan
Analisa / tinjauan putusan lembaga peradilan.

lR
ec
hts
V

a.
b.
c.
d.

ind

3. Naskah dikirim berbentuk Karya Tulis Ilmiah berupa:

4. Judul naskah harus singkat dan mencerminkan isi tulisan serta tidak memberikan peluang penafsiran yang
beraneka ragam, ditulis dengan huruf kapital dengan posisi tengah (centre) dan huruf tebal (bold). Judul
ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Apabila naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia maka
judul dalam Bahasa Indonesia ditulis di atas Bahasa Inggris, begitu juga sebaliknya. Judul kedua ditulis
miring (italic) dan di dalam kurung.
5. Abstrak memuat latar belakang, permasalahan, metode penelitian, kesimpulan dan saran. Abstrak ditulis
dalam Bahasa Indonesia (maksimal 200 kata) dan Bahasa Inggris (maksimal 150 kata). Abstrak ditulis
dalam 1 (satu) alinea dengan spasi 1 (satu) dan bentuk lurus margin kanan dan kiri / justify. Abstrak dalam
Bahasa Inggris ditulis dengan huruf cetak miring (italic). Di bawah abstrak dicantumkan minimal 3 (tiga) dan
maksimal 5 (lima) kata kunci. Abstract dalam Bahasa Inggris diikuti kata kunci (Keywords) dalam Bahasa
Inggris. Abstrak dalam Bahasa Indonesia diikuti kata kunci dalam Bahasa Indonesia. Hindari pengunaan
singkatan dalam abstrak.

Jur

na

6. Urutan dan Sistematika Penulisan:


Penulisan harus memenuhi secara berurutan hal-hal sebagai berikut:
- Judul;
- Nama Penulis (diketik di bawah judul ditulis lengkap tanpa menyebutkan gelar. Jika penulis terdiri
lebih dari satu orang maka harus ditambahkan kata penghubung dan (bukan lambang &);
- Nama Instansi Penulis (tanpa menyebutkan jabatan atau pekerjaan di instansi yang ditulis;
- Abstrak;
- Kata Kunci;
- Pendahuluan (berisi latar belakang dan permasalahan);

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

-
-

Metode Penelitian (berisi cara pengumpulan data, metode analisis data, serta waktu dan tempat
jika diperlukan);
Pembahasan;
Penutup (berisi diskripsi kesimpulan dan saran).

Sistematika penulisan artikel adalah sebagai berikut:


A. Pendahuluan

BP
HN

Pendahuluan berisi diskripsi latar belakang dan permasalahan.


B. Metode Penelitian

C. Pembahasan

ing

Metode Penelitian berisi cara pengumpulan data, metode analisis data, serta waktu dan tempat
jika diperlukan);

D. Penutup

ind

Pembahasan berisi analisa atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian sebagaimana
tertuang dalam pendahuluan. Jumlah pokok-pokok bahasan disesuaikan dengan jumlah
permasalahan yang diangkat.
Penutup berisi diskripsi kesimpulan dan saran atau rekomendasi.
7. Aturan Teknis Penulisan:

lR
ec
hts
V

a. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris, diserahkan dalam bentuk naskah elektronik
(soft copy) dalam program MS Office Word serta 2 (dua) rangkap dalam bentuk cetakan (print out).
b. Jumlah halaman naskah 20 s.d. 25 halaman, termasuk abstrak, gambar, tabel dan daftar pustaka.
Bila lebih dari 25 halaman, redaksi berhak untuk menyunting ulang, dan apabila dianggap perlu akan
berkonsultasi dengan penulis.
c. Ditulis dengan menggunakan MS Office Word pada kertas ukuran A4 (210 mm x 297 mm), font Calibri
ukuran 12, spasi 1,5 (satu koma lima), kecuali tabel (spasi 1,0). Batas / margin atas, batas bawah, tepi
kiri dan tepi kanan 3 cm.
d. Penyebutan istilah di luar Bahasa Indonesia (bagi naskah yang menggunakan Bahasa Indonesia) atau
Bahasa Inggris (bagi naskah yang menggunakan Bahasa Inggris) harus ditulis dengan huruf cetak miring
(italic).
e. Penyajian Tabel dan Gambar:

- Judul tabel ditampilkan di bagian atas tabel, rata kiri (bukan center), ditulis menggunakan font Calibri
ukuran 12;

na

- Judul gambar ditampilkan di bagian bagian bawah gambar, rata kiri (bukan center), ditulis
menggunakan font Calibri ukuran 12;
- Tulisan Tabel / Gambar dan nomor ditulis tebal (bold), sedangkan judul tabel ditulis normal;
- Gunakan angka Arab (1, 2, 3, dst.) untuk penomoran judul tabel / gambar;

Jur

- Tabel ditampilkan rata kiri halaman (bukan center);


- Jenis dan ukuran font untuk isi tabel bisa disesuaikan menurut kebutuhan (Times New Roman atau
Arial Narrow ukuran 811) dengan jarak spasi tunggal);
- Pencantuman sumber atau keterangan diletakkan di bawah tabel atau gambar, rata kiri, menggunakan
font Calibri ukuran 10.

Volume 3 Nomor 2, Agustus 2014

BP
HN

f. Penulisan kutipan menggunakan model catatan kaki (foot note). Penulisan model catatan kaki
menggunakan font Cambria 10. Penulisan model catatan kaki dengan tata cara penulisan sebagai
berikut:

- Buku (1 orang penulis): Wendy Doniger, Splitting the Difference (Chicago: University of Chicago
Press, 1999), hlm. 65.

- Buku (2 orang penulis): Guy Cowlishaw and Robin Dunbar, Primate Conservation Biology (Chicago:
University of Chicago Press, 2000), hlm. 1047.
- Buku (4 orang atau lebih penulis): Edward O. Laumann et al., The Social Organization of Sexuality:
Sexual Practices in the United States (Chicago: University of Chicago Press, 1994), hlm. 262.
- Artikel dalam Jurnal: John Maynard Smith, The Origin of Altruism, Nature 393 (1998): 639.

ing

- Artikel dalam jurnal on-line: Mark A. Hlatky et al., Quality-of-Life and Depressive Symptoms in
Postmenopausal Women after Receiving Hormone Therapy: Results from the Heart and Estrogen/
Progestin Replacement Study (HERS) Trial, Journal of the American Medical Association 287, no.
5 (2002), http://jama.ama-ssn.org/issues/v287n5/rfull/joc10108.html#aainfo (diakses 7 Januari
2004).

ind

- Tulisan dalam seminar : Brian Doyle, Howling Like Dogs: Metaphorical Language in Psalm 59
(makalah disampaikan pada the Annual International Meeting for the Society of Biblical Literature,
Berlin, Germany, 19-22 Juni 2002).

lR
ec
hts
V

- Website / internet : Evanston Public Library Board of Trustees, Evanston Public Library Strategic
Plan, 20002010: A Decade of Outreach, Evanston Public Library,
http://www.epl.org/library/
strategic-plan-00.html (diakses 1 Juni 2005).
g. Penulisan Daftar Pustaka:

- Bahan referensi yang dijadikan bahan rujukan hendaknya menggunakan edisi paling muktahir;
- Penulisan daftar pustaka diklasifikasikan berdasarkan jenis acuan yang digunakan, misal Buku;
Makalah / Artikel / Prosiding / Hasil Penelitian; Internet dan Peraturan;
- Penulisan daftar pustaka disusun berdasarkan alphabet;
- Penggunaan referensi dari internet hendaknya menggunakan situs resmi yang dapat
dipertanggungjawabkan validitasnya.
- Penulisan model Daftar Pustaka dengan tata cara penulisan sebagai berikut:
Buku (1 orang penulis): Doniger, Wendy, Splitting the Difference (Chicago: University of Chicago
Press, 1999).
Buku (2 orang penulis): Cowlishaw, Guy and Robin Dunbar, Primate Conservation Biology
(Chicago: University of Chicago Press, 2000).

na

Buku (4 orang atau lebih penulis): Laumann, Edward O. et al., The Social Organization of Sexuality:
Sexual Practices in the United States (Chicago: University of Chicago Press, 1994).

Artikel dalam Jurnal: Smith, John Maynard, The Origin of Altruism, Nature 393 (1998).

Jur

Artikel dalam jurnal on-line: Hlatky, Mark A. et al., Quality-of-Life and Depressive Symptoms in
Postmenopausal Women after Receiving Hormone Therapy: Results from the Heart and Estrogen/
Progestin Replacement Study (HERS) Trial, Journal of the American Medical Association 287, no.
5 (2002), http://jama.ama-ssn.org/issues/v287n5/rfull/joc10108.html#aainfo (diakses 7 Januari
2004).
Tulisan dalam seminar : Brian Doyle, Howling Like Dogs: Metaphorical Language in Psalm 59
(makalah disampaikan pada the annual international meeting for the Society of Biblical Literature,

Berlin, Germany, 19-22 Juni 2002).


Website / internet : Evanston Public Library Board of Trustees, Evanston Public Library Strategic
Plan, 20002010: A Decade of Outreach, Evanston Public Library, http://www.epl.org/library/
strategic-plan-00.html (diakses 1 Juni 2005).
8. Naskah dikirimkan dalam bentuk elektronik (softcopy) dan cetakan (hardcopy) yang dilampiri dengan biodata
lengkap (CV) penulis, copy KTP/identitas yang berlaku, alamat e-mail, nomor telepon, naskah dapat dikirim
melalui: jurnal_rechtsvinding@bphn.go.id; jurnalrechtsvinding@yahoo.co.id dan jurnalrechtsvinding@
gmail.com (harus dikirim ketiga alamat email tersebut).
9. Naskah dapat dikirimkan atau diserahkan secara langsung kepada:
Redaksi Jurnal RechtsVinding
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI
Jl. Mayjen Sutoyo No. 10 Cililitan Jakarta,
Telp.: 021-8091908 ext.105; Fax.: 021-8011754.
10. Naskah yang belum memenuhi format dan ketentuan di atas tidak akan diseleksi. Dewan Redaksi berhak
menyeleksi dan mengedit artikel yang masuk tanpa mengubah substansi. Kepastian atau penolakan naskah
akan diberitahukan kepada penulis. Prioritas pemuatan artikel didasarkan pada penilaian substansi dan
urutan naskah yang masuk ke Dewan Redaksi Jurnal RechtsVinding.

Anda mungkin juga menyukai