Anda di halaman 1dari 167

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

Desain dan Simulasi Turbin Air Kontra-Rotasi


Untuk Aplikasi Head Sangat Rendah
Abdul Muis

Priyono Sutikno, Aryadi Suwono, Firman Hartono

Mechanical Engineering Dept.


ITB and UNTAD
Bandung and Palu, Indonesia
amuis19@gmail.com

Mechanical Engineering Dept.


Bandung Institute of Technology (ITB)
Bandung, Indonesia
priyonosutikno@yahoo.com

AbstractThis paper aims to study and demonstrate the design


and numerical simulations on the axial flow hydraulic turbine
with two rotors. Both of rotors as an energy generator from the
fluid that passes through and rotate in the opposite direction
(counter-rotation). The front rotor blade also serves as a guide
vane for the rear rotor during its operation. This turbine type is
designed for very low head sites and be able to be developed as an
environmentally friendly turbine and also as a compact turbine.
Both of turbine rotors are designed to be operated at rotating
velocity 90 rpm and flow rate 128 kg/s (liters/s). The results of
numerical studies show that rotors operate with excellent
efficiency, around 91% and 80% for front and rear rotor
respectively. The minimum pressure that occurs in the turbine is
moderate and this indicated that will be better in dealing with the
cavitation inception. Designed turbine may be used as reference
to the development of counter-rotation of water turbine for very
low head sites applications.

yang optimal. Hal ini menjadikan apliksinya menjadi relatif


mahal [3,4].
Turbin untuk head sangat rendah (very low head) dapat
menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan pemanfaatan
potensi tenaga hidro dengan kemampuannya dalam mengatasi
beberapa kendala yang dimiliki oleh desain turbin
konvensional. Turbin jenis ini bertujuan untuk mengeksplotasi
potesi energi aliran air dengan head sangat rendah (kurang dari
4 meter), instalasi turbinnya lebih sederhana karena tidak
memerlkan pengaturan aliran sebelum dan sesudah turbin,
dapat didesain sebagai compact turbin, investasi yang
dibutuhkan rendah serta dampak lingkungan yang juga relative
sangat rendah. Desain turbinnya relative sederhana dimana
blok turbin ditempatkan pada saluran atau kanal yang sudah
ada dengan posisi 30 hingga 50 derajat dari sumbu vertikal [3].

Index TermsCounter-rotation, hydraulic turbine, axial flow,


very low head sites.

I.

PENDAHULUAN

Sumber tenaga dengan memanfaatkan potensi energi yang


dimiliki oleh air yang mengalir telah sejak lama digunakan.
Salah satunya adalah pemanfaatannya untuk membangkitkan
energi listrik. Karenanya tenaga air adalah salah satu dari
sumber energi terbarukan yang menyumbangkan produksi
energi listrik terbesar di dunia dengan total kapasitas 1067 GW
pada tahun 2011 [1]. Di Indonesia dari data yang
dipublikasikan oleh kementrian ESDM tahun 2012, potensi
tenaga hidro yang tersedia 75.5 GW dengan kapasitas
terpasang hanya 4.7 GW atau kurang dari 7% dari potensi yang
ada [2]. Hal ini mengindakasikan rendahnya pemanfaatan
potensi energi hijau yang tersedia. Beberapa kendala yang
menyebabkannya diantaranya investasi yang besar, dampak
lingkungan serta kendala geografi dimana potensi tersebut
berada. Salah satu potensi aliran air yang belum banyak
terpakai saat ini adalah potensi dengan head yang tergolong
rendah. Potensi ini sangat besar dan banyak, hanya saja belum
tereksploitasi dengan baik karena keterbatasan turbin
konvensional yang ada saat ini. Turbin yang banyak
dimanfaatkan untuk potensi head yang rendah adalah turbin
Kaplan dan Bulb yang dapat beroperasi pada kisaran head 2
hingga 40 meter. Hanya saja jenis turbin ini membutuhkan
kanal atau saluran yang relatif kompleks untuk mengatur aliran
air sebelum dan sesudah turbin agar bisa memperoleh performa

Turbin Vertical Siphon Kaplan

Turbin Bulb

Turbin Very Low Head


Gambar 1. Perbedaan konstruksi dan struktur sipil turbin Very Low Head
dengan turbin Siphon Kaplan dan Bulb [4]

Berdasarkan jenis konstruksinya, turbin head sangat rendah


yang dikembangkan saat ini adalah yang terdiri dari satu baris
sudu pengarah dan satu baris sudu rotor. Meskipun hasil studi
numerik dan eksperimen telah menunjukkan bahwa turbin ini
dapat bekerja dengan performa yang sangat baik dalam
aplikasinya [3,4,5,6,7], penulis berharap dapat meningkatkan
aplikasi dan keunggulan turbin jenis ini dalam memanfaatkan
potensi energi yang ada. Untuk alasan tersebut, maka studi dan
desain turbin ini dikembangkan dengan menggunakan satu
baris sudu pengarah dengan dua baris sudu rotor yang berputar
secara berlawanan arah atau kontra-rotasi. Rotor depan FR
(front rotor) tidak hanya berfungsi sebagai pembangkit tenaga
dari fluida yang melewatinya, namun juga berfungsi sebagai
sudu pengarah untuk rotor yang berada di belakangnya RR

Energi III-1

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

(rear rotor). Untuk memperoleh performa dan karakteristik


turbin kontra-rotasi ini, maka studi numerik dilakukan dengan
memanfaatkan CFD komersial Ansys. Simulasi dilakukan
dengan Fluent dengan menggunakan analisis tiga dimensi 3D
dan model viskos
.
Untuk keperluan studi maka sudu rotor turbin di desain
untuk kondisi operasi dengan debit 128 kg/s atau 128 liter/s
dengan head 0.3 meter dan putaran 90 rpm. Diameter hub dan
tip adalah 0.36 meter dan 0.6 meter. Jumlah sudu pengarah 24
buah dengan sudu rotor depan dan belakang adalah 8 dan 7
buah. Jumlah sudu rotor yang berbeda untuk menghindari
resonansi antara keduanya saat beroperasi. Kondisi operasi ini
disesuaikan dengan kanal eksperimen yang ada di laboratorium
mekanika fluida ITB dengan lebar dan tinggi kanal 0.8 meter
dan 0.9 meter.
II.

TURBIN AIR KONTRA-ROTASI

Konsep turbin air kontra-rotasi telah diperkenalkan oleh


beberapa paper yang penulis jadikan sebagai referensi. Wei
Yang dkk [8] melakukan studi numerik pada turbin aksial
kontra-rotasi yang bertujuan untuk memanfaatkan potensi
energi pasang surut. Mereka menggunakan metode singularitas
untuk mendesain sudu rotor turbin berdasarkan segitiga
kecepatan dari sisi masuk dan sisi keluar dari kedua rotor. N J
Lee dkk [9] mempelajari turbin mikro tipe tubular dengan rotor
kontra-rotasi dimana rotor depan dihubungkan dengan stator
dari generator dan rotor belakang dengan rotor dari generator.
Turbin ini didesain untuk memanfaatkan perbedaan tekanan
yang terjadi di dalam saluran pipa air perkotaan sebagai
pengganti dari katup penurun tekanan yang biasa digunakan. R
Sonohata dkk [10] menghasilkan performa dan kondisi aliran
internal dari turbine air axial mini dengan analisis aliran
numerik.
Salah satu keunggulan penting dari pemanfaatan turbin
kontra-rotasi
adalah
tersedianya
kesempatan
untuk
memanfaatkan putaran yang tinggi dengan menerapkan konsep
yang diimplementasikan oleh N J Lee [9]. Dengan
menghubungkan stator dan rotor generator ke masing-masing
rotor turbin maka akan dapat dihasilkan kecepatan relatif yang
tinggi. Dengan cara ini, maka dimensi dari generator dapat
direduksi karena jumlah pole yang dibutuhkan oleh generator
akan jauh berkurang jika dibandingkan dengan turbin rotor
tunggal yang beroperasi pada putaran yang sama.
III.

DESAIN SUDU TURBIN

Sudu turbin untuk rotor depan FR dan rotor belakang RR


direncanakan dengan mengoptimasi airfoil dan cascade dari
sudu. Detailnya telah penulis kemukakan pada referensi nomor
10. Pengaturan segitiga kecepatan untuk sudu rotor depan dan
belakang didasarkan pada tiga asumsi berikut:
1. Rotor depan dan belakang memiliki kecepatan
tangensial yang sama.
2. Kecepatan aksial fluida pada sisi masuk dan
keluar kedua rotor adalah sama.
3. Kecepatan tangensial absolut
pada sisi keluar
rotor depan dan pada sisi masuk rotor belakang
adalah nol.
Dari optimasi cascade sudu yang dilakukan, diperoleh
bahwasanya sudu cascade dengan perbandingan pitch dan
chord (t/l) sama dengan 1 dan 0.9 akan dapat mengubah

potensi energi fluida yang melewati sudu dengan tingkat


efisiensi yang tinggi [7]. Desain sudu dilakukan dengan
menyusun airfoil dari hub ke tip dengan membaginya dalam 11
bagian radial station dengan jarak yang sama. Tabel 1, 2, 3 dan
4 memperlihatkan data cascade sudu untuk kombinasi sudu
yang menyusun turbin kontra-rotasi. Jarak antara rotor depan
dan belakang adalah 30% dari panjang chord dari sudu rotor
depan pada bagian hub.
TABLE 1. DESAIN CACSCADE UNTUK ROTOR DEPAN RR DENGAN RASIO
PITCH DAN CHORD (T/L) = 1

A
B
C
D
E

Radial station
Diameter (m)
Pitch and chord ratio, t/l
Stagger angle, (
Inlet angle (

1
0.360
1
50.00
49.51

2
0.384
1
56.15
54.61

F
G
H

Outlet angle (
Coefficient Lift
Number of blades

56.50
0.406
8

62.09
0.499
8
7
0.504
1
70.10
68.04
73.87
0.634
8

A
B
C
D
E
F
G
H

3
0.408
1
60.00
58.55
66.43
0.597
8

4
0.432
1
63.80
61.67
68.34
0.552
8

5
0.456
1
66.50
64.20
71.92
0.723
8

6
0.480
1
68.15
66.29
72.37
0.602
8

A
B
C
D
E
F
G
H

8
0.528
1
72.15
69.54
75.29
0.666
8

9
0.552
1
73.15
70.83
77.23
0.813
8

10
0.576
1
73.65
71.95
77.28
0.703
8

11
0.600
1
75.10
72.95
79.00
0.873
8

TABLE 2. DESAIN CACSCADE UNTUK ROTOR BELAKANG FR DENGAN RASIO


PITCH DAN CHORD (T/L) = 1

A
B
C
D
E

Radial station
Diameter (m)
Pitch and chord ratio, t/l
Stagger angle, (
Inlet angle (

1
0.360
1
67.20
67.36

2
0.384
1
69.38
68.64

F
G
H

Outlet angle (
Coefficient Lift
Number of blades

73.02
0.584
7

74.75
0.681
7

6
0.480
1
74.00
72.63
77.92
0.728
7

7
0.504
1
75.12
73.05
78.40
0.735
7

A
B
C
D
E
F
G
H

Energi III-2

3
0.408
1
70.70
69.79
76.37
0.790
7

4
0.432
1
72.40
70.83
76.56
0.714
7

5
0.456
1
73.42
71.75
78.25
0.877
7

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

A
B
C
D
E
F
G
H

8
0.528
1
76.25
74.11
79.2
0.770
7

9
0.552
1
76.65
74.78
80.46
0.926
7

10
0.576
1
76.65
75.39
80.14
0.784
7

G
H

11
0.600
1
77.73
75.94
81.4
0.971
7

A
B
C
D
E
F
G
H

0.836
7

0.761
7

0.947
7

0.793
7

10

11

0.528

0.552

0.576

0.600

0.9
76.35
74.12
80.26
0.872
7

0.9
76.85
74.78
81.58
1.046
7

0.9
76.85
75.39
81.13
0.888
7

0.9
77.93
75.95
82.48
1.098
7

0.852
7

TABLE 3. DESAIN CACSCADE UNTUK ROTOR DEPAN DENGAN FR RASIO


PITCH DAN CHORD (T/L) = 0.9

A
B
C
D
E

Radial station
Diameter (m)
Pitch and chord ratio, t/l
Stagger angle, (
Inlet angle (

1
0.360
0.9
50.00
49.51

2
0.384
0.9
56.00
54.56

F
G
H

Outlet angle (
Coefficient Lift
Number of blades

56.95
0.391
8

62.66
0.487
8

6
0.480
0.9
68.15

7
0.504
0.9
69.67
67.83
73.26
0.652
8

A
B
C
D
E
F
G
H

3
0.408
0.9
60.1
58.56
67.3
0.606
8

4
0.432
0.9
63.85
61.69
69.09
0.561
8

5
0.456
0.9
66.5
64.21
72.75
0.733
8

A
B
C
D
E
F
G
H

8
0.528
0.9
72.2
69.48
76.14
0.704
8

9
0.552
0.9
73.3
70.81
78.21
0.870
8

10
0.576
0.9
73.75
71.91
78.16
0.758
8

66.24
73.06
0.613
8

Contoh sudu rotor yang dikembangkan dapat dilihat pada


gambar 2. Ada tiga model turbin kontra-rotasi yang dihasilkan
dengan kombinasi desain sudu pada tabel di atas. Turbin
pertama adalah kombinasi desain sudu pada tabel 1 dan tabel 2,
dimana sudu tabel 1 sebagai rotor depan dan sudu tabel 2 untuk
rotor belakang. Turbin kedua adalah kombinasi dari sudu tabel
1 dan tabel 4, dimana sudu tabel 1 untuk rotor depan dan sudu
tabel 4 untuk rotor belakang. Turbin ketiga adalah kombinasi
dari desain sudu tabel 3 dan 4, dimana sudu tabel 3 untuk rotor
depan dan sudu tabel 4 untuk rotor belakang. Kombinasi sudu
turbin ini diharapkan juga dapat memberikan penomena
pengaruh rasio pitch dan chord (t/l) atau solidity
(l/t)
terhadap performa turbin kontra-rotasi. Kombinasi sudu turbin
yang digunakan mengindikasikan bahwa solidity turbin
meningkat dari turbin pertama hingga ke tiga. Turbin pertama
adalah gabungan sudu rotor depan dan belakang turbin dengan
solidity masing-masing sama dengan 1. Turbin kedua dimana
solidity rotor depan adalah 1 dan solidity rotor belakang adalah
1,11. Turbin ketiga adalah kombinasi rotor turbin dimana rotor
depan dan belakang memilki solidity sama dengan 1,11.
Gambar 3 memperlihatkan gabungan sudu pengarah dan rotor
untuk ketiga turbin yang dikembangkan.

11
0.600
0.9
75.3
72.91
79.98
0.946
8

TABLE 4. DESAIN CACSCADE UNTUK ROTOR BELAKANG RR DENGAN RASIO


PITCH DAN CHORD (T/L) = 0.9

A
B
C
D
E

Radial station
Diameter (m)
Pitch and chord ratio, t/l
Stagger angle, (
Inlet angle (

1
0.360
0.9
66.95
67.36

2
0.384
0.9
69.22
68.64

F
G
H

Outlet angle (
Coefficient Lift
Number of blades

73.74
0.603
7

75.59
0.712
7

6
0.480
0.9
74.05
72.63
78.84

7
0.504
0.9
75.10
73.41
79.02

A
B
C
D
E
F

3
0.408
0.9
70.65
69.79
77.31

4
0.432
0.9
72.35
70.83
77.44

5
0.456
0.9
73.46
71.77
79.29

Gambar 2. Contoh pengembangan stator dan rotor

a.Turbin Pertama

Energi III-3

b.Turbin kedua

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

(l/t) sudu memiliki pengaruh yang signifikan. Peningkatan


solidity dari turbin pertama ke turbin kedua yang tidak
signifikan menghasilkan peningkatan tekanan minimum dan
maksimum yang terjadi di dalam turbin akibat karena
kecepatan aliran fluidanya yang hampir sama seperti yang
terlihat dalam gambar 6. Peningkatan solidity yang signifikan
pada turbin ketiga menyebabkan kecepatan aliran fluidanya
juga meningkat drastis, sehingga tekanan minimum yang
terjadi di dalam turbin menurun dengan drastis pula.
c.Turbin ketiga
Gambar 3. Pengembangan turbin dengan gabungan stator dan rotor

IV.

MODEL TURBIN DAN HASIL CFD

Untuk studi CFD, blok turbin diposisikan dengan sudut 45


derajat terhadap sumbu vertikal. Gambar 4 memperlihatkan
salah satu model turbin dan hasil analisis CFD terhadap aliran
fluida di dalam turbin. Potensi energi aliran air
dapat
dituliskan sebagai:
(1)
Dimana adalah berat jenis air, adalah percepatan gravitasi,
adalah debit aliran air dan adalah potensi head.
Energi turbin yang dihasilkan dengan simulasi CFD dapat
dituliskan:

a.Turbin Pertama

b.Turbin kedua

(2)
Dan efisiensi turbin

:
(3)

Dimana
adalah total torsi yang dihasilkan oleh turbin dan
adalah kecepatan sudut dari turbin.

c.Turbin ketiga
Gambar 5. Distribusi tekanan dalam ketiga turbin

Distribusi tekanan di dalam turbin disamping berhubungan


erat dengan distribusi kecepatan aliran, juga berhubungan
dengan beban terhadap sudu turbin dan kemampuan turbin
untuk menghadapi kondisi kavitasi yang mungkin muncul
karena penurunan tekanan. Peningkatan distribusi tekanan akan
meningkatkan beban tekanan pada sudu dan juga
meningkatkan kemampuan turbin dalam mencegah timbulnya
kavitasi karena penurunan tekanan. Gambar 6a, 6b dan 6c
memperlihatkan kecepatan aliran fluida dan sudu untuk ketiga
turbin pada kondisi operasi yang sama dengan debit 128 liter/s
dan putarana 90 rpm. Kecepatan maksimum yang dialami
fluida di dalam turbin pertama dan kedua dan adalah 2,823
m/s dan pada turbin ketiga adalah 3.772 m/s.

Gambar 4. Model turbin dan analisis aliran fluida di dalam turbin

Distribusi tekanan statis dalam turbin diperlihatkan pada


gambar 5, dimana turbin bekerja dengan debit 128 liter/s dan
putaran 90 rpm. Tekanan minimum pada turbin pertama, kedua
dan ketiga secara berurutan adalah -2593 Pa, -1971Pa dan 6363 Pa. Tekanan maksimum pada turbin pertama, kedua dan
ketiga adalah 6984 Pa, 8042Pa dan 8906 Pa. Terjadi
peningkatan tekanan maksimum turbin dari turbin pertama
hingga ketiga. Namun tidak demikian halnya dengan tekanan
minimum, dimana tekanan minimum akan turun drastis pada
turbin ketiga. Pengaruh rasio pitch dan chord (t/l) atau solidity

1. Daerah hub
2. Daerah Tip
Gambar 6a. Kecepatan aliran fluida dan sudu rotor pada turbin
pertama

Energi III-4

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

adalah 0,49 m, 0,59 m dan 0,71 m. Peningkatan kebutuhan


head berbanding lurus dengan peningkatan solidity
dan
adalah hal yang telah dapat diprediksi dari awal desain.
Turbin I - FR
Turbin II - FR
Turbin III - FR
95

Turbin I - RR
Turbin II - RR
Turbin III - RR

90

90

85

85

Total Efficiency (%)

Efficiency (%)

Turbin II

Turbin III

95

80

1. Daerah hub
2. Daerah Tip
Gambar 6b. Kecepatan aliran fluida dan sudu rotor pada turbin
kedua

Turbin I

75
70
65
60

80
75
70
65
60

55

55

50

50

45

45
40

40

15 30 45 60 75 90 105120135

15 30 45 60 75 90 105120135

Rotation Speed (rpm)

Rotation Speed (rpm)

a.Efisiensi rotor turbin


b. Efisiensi total turbin
Gambar 7. Efisiensi turbin kontra-rotasi

1. Daerah hub
2. Daerah Tip
Gambar 6c. Kecepatan aliran fluida dan sudu rotor pada turbin
ketiga

1.20
1.10
1.00
0.90
Turbin I - FR

Effective Head (m)

Efisiensi ketiga turbin yang didesain diperlihatkan dalam


gambar 7. Gambar 7a adalah perbandingan efisiensi rotor
depan dan belakang dari ketiga turbin dan gambar 7b adalah
perbandingan efisiensi total dari ketiga turbin dengan variasi
putaran yang mungkin terjadi. Terlihat dalam gambar 7a,
bahwa ketiga rotor depan turbin dapat beroperasi dengan
efisiensi yang sangat baik, di atas 90%. Efisiensi rotor depan
untuk turbin pertama, kedua dan ketiga mengalami
peningkatan, yang mana peningkatan tertinggi dialami oleh
turbin ketiga dan disusul turbin kedua dan turbin pertama.
Kondisi yang mirip diperlihatkan pada rotor belakang,
meskipun jika dibandingkan dengan rotor depan, efisiensi yang
diperoleh pada rotor belakang lebih rendah. Efisiensi total
turbin diperlihatkan dalam gambar 7b, dimana efisiensi turbin
pertama, kedua dan ketiga secara berurutan pada kondisi
operasi dengan debit 128 liter/s (kg/s) dan putaran 90 rpm
adalah 84.61%, 85.63% dan 88.02%. Hal ini mengindikasikan
adanya peningkatan efisiensi seiring dengan peningkatan
solidity dari desain sudu.
Head efektif yang dibutuhkan oleh ketiga turbin untuk
kondisi operasi yang sama diperlihatkan dalam gambar 8,
dimana rotor belakang turbin membutuhkan head yang lebih
tinggi dibanding dengan rotor depan. Dari gambar 8 juga
terlihat bahwa head efektif yang dibutuhkan akan meningkat
dari turbin pertama hingga ketiga pada kedua rotornya.
Karenanya, total head ketiga turbin pun juga memilki
kecendrungan yang sama, dimana kebutuhan head total dari
turbin pertama, kedua dan ketiga pada kondisi operasi dengan
debit 128 liter/s (kg/s) dan putaran 90 rpm secara berurutan

0.80

Turbin I - RR

0.70

Turbin I - Total
Turbin II - FR

0.60

Turbin II - RR
Turbin II - Total

0.50

Turbin III - FR

0.40

Turbin III - RR
0.30

Turbin III - Total

0.20
0.10
0.00
15

30

45

60

75

90

105

120

135

Rotation Speed (rpm)


Gambar 8. Head efektif rotor dan total head efektif ketiga turbin

Power yang dihasilkan oleh ketiga turbin diperlihatkan


dalam gambar 9. Power yang dihasilkan oleh turbin depan dan
belakang dari setiap turbin mengalami peningkatan dari turbin
pertama hingga ketiga. Turbin belakang menghasilkan power
yang lebih besar dari turbin depan karena head efektif yang
dibutuhkan juga lebih tinggi walaupun efisiensinya lebih
rendah. Total power yang dihasilkan oleh ketiga turbin pada
kondisi operasi yang sama 128 liter/s dan putaran 90 rpm
secara berurutan dari turbin pertama, kedua dan ketiga adalah
618,34 Watt, 736,03 Watt dan 892 Watt.

Energi III-5

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

head efektif yang dibutuhkan dan power yang dihasilkan,


namun juga dapat meningkatkan efisiensi total dari turbin
kontra-rotasi.

1000
900
800

UCAPAN TERIMA KASIH


Turbin I - FR

700

Power (W)

Turbin I - RR
600

Turbin I - Total

Penulis berterima kasih secara khusus kapada BPPS Dikti


dan ITB atas bantuan finansial dan kesempatan untuk belajar
dan melakukan penelitian.

Turbin II - FR
500

DAFTAR PUSTAKA

Turbin II - RR
Turbin II - Total

400

Turbin III - FR
Turbin III - RR

300

Turbin III - Total


200
100
0
15

30

45

60

75

90

105

Rotation Speed (rpm)

120

135

Gambar 9. Power yang dihasilkan masing-masing rotor dan total power turbin

Hasil simulasi CFD memperlihatkan bahwa ketiga turbin


dapat bekerja dengan efisiensi yang baik. Hanya saja jika
dibandingkan dengan turbin dengan turbin dengan rotor
tunggal [7] dimana efisiensi yang dapat dicapai 91%, turbin
kontra-rotasi memiliki efisiensi yang lebih rendah dan juga
membutuhkan head yang lebih tinggi, untuk beroperasi pada
debit aliran dan putaran yang sama.
V.

KESIMPULAN

Studi CFD telah memperlihatkan bahwasanya turbin


kontra-rotasi dapat diterapkan dalam desain turbin untuk head
sangat rendah. Efisiensi total yang dihasilkan cukup tinggi
dalam interval 84% hingga 88%. Jika dibandingkan dengan
rotor tunggal efisiensi turbin kontra-rotasi lebih rendah namun
dalam pemanfaatannya
memilki keunggulan dalam
peningkatan kecepatan putaran yang dapat dimanfaatkan untuk
menekan dimensi generator. Peningkatan solidity sudu turbin
mempunyai pengaruh bukan hanya terhadap meningkatnya

[1] International Energy Agency, World energy outlook 2012,


2012, www.iea.org.
[2] BPPT, Outlook energy Indonesia, 2012, www.bppt.go.id.
[3] R. Frazer, and C. Deschenes, Development of a new turbine for
very low head sites, Waterpower XV, www.hcipub.com.
[4] M. Leclerc, The very low head turbo generator, MJ2
Technologies, www.vlh.com.
[5] Priyono S. and Ibrahim K.A., Design, simulation and
experimental of the very low head turbine with minimum
pressure and free vortex criterions, Internatonal Journal of
Mechanical & Mechatronics Engineering IJMME-IJENS, Vol.
11 No. 01. 2011.
[6] Abdul Muis, Priyono S., Ariyadi S. and Firman H., Design and
simulation of very low head axial hydraulic turbine with
variation of swirl velocity criterion, The 12th Asian
International Conference on Fluid Machinery (AICFM12), 2013.
[7] Abdul Muis, Priyono S., Ariyadi S. and Firman H, Design
optimization of axial hydraulic turbine for very low head
application, 2nd International Conference on Sustainable energy
Engineering and Application, 2014, in press.
[8] Wei Yang, Shuhong Liu, and Yulin Wu, Application of CFD in
the design of contra-rotating kaplan turbine, FEDSM 2006
ASME Joint U.S. European Fluids Engineering summer
meeting, 2006.
[9] N.J. Lee, J.W. Choi, Y.H. Hwang, Y.T. Kim and Y.H. Lee,
Performance analysis of a counter-rotating tubular type microturbine by experiment and CFD, 26th IAHR Symposium on
Hydraulic Machinery and Systems, 2012.
[10] R. Sonohata, J. Fukutomi, and T. Shigemitsu, Study on contrarotating small-sized axial flow hydro turbine, Open Journal of
Fluid Dynamics, 2012.

Energi III-6

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

Analisis Efisiensi Terbaik Pada Instalasi Panel Surya


Dengan Unit Motor-Pompa DC
Akbar naro Parawangsa

Syukri Himran

Jurusan Mesin, Fakultas Teknik


Universitas Hasanuddin
Makassar, Indonesia
akbar_narop@yahoo.com

Jurusan Mesin, Fakultas Teknik


Universitas Hasanuddin
Makassar, Indonesia
Email: -

Abstract The study aims to describe the best efficiency on


the solar panel installation to power DC Motor Pump through
varying the pump heads. The study was carried out in the
Renewable energy Laboratory of Mechanical Engineering
Department of the faculty of Engineering of Hasanuddin
University, Makassar. The method used is a solar panel
installation tool with a DC motor pump is established. The testing
process starts with the recording of solar intensity received by
the solar panel using piranometer, then the energy obtained is
recorded. In this study, the energy obtained from the solar panel
is directly utilised to power the DC motor pump. To search for
the best efficiency, the pump head height is varied from 1 to 7
meters and the data were taken and analysed for the most
efficient result. The study reveals that the efficiency will increase
so long as the global sun radiation intensity (Ig) also increases.
The study identifies that the best efficiency occurs in the use of 3
meter head, which is 1,525 %.
Keywords : Radiation, global intensity, solar panels, efficiency,
DC motor pump, discharge, head.

I. PENDAHULUAN
Energi mempunyai peranan penting dalam pencapaian tujuan
sosial, ekonomi dan lingkungan untuk pembangunan
berkelanjutan, serta merupakan pendukung bagi kegiatan
ekonomi sosial. Penggunaan energi di Indonesia meningkat
pesat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan pertambahan
penduduk. Sedangkan akses ke energi yang andal dan
terjangkau merupakan pra-syarat utama untuk meningkatkan
standar hidup masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan energi
yang terus meningkat, dikembangkan berbagai energi
alternatif, diantaranya energi terbarukan, misalnya :biomassa,
panas bumi, energi surya, energi air, energi angin, dan energi
samudera. Salah satu energi terbarukan yang sekarang ini
banyak dikembangkan adalah energi surya. Jika dieksploitasi
dengan cepat, energi ini berpotensi mampu menyediakan
kebutuhan konsumsi energi dunia saat ini dalam waktu lebih
lama. Matahari dapat digunakan langsung untuk mmproduksi
listrik atau untuk memanaskan bahkan untuk mendinginkan.
Untuk memanfaatkan potensi energi surya tersebut, ada 2
(dua) macam teknologi yang sudah diterapkan, yaitu teknologi
enrgi surya termal dan energi surya fotovoltaik. Energi surya
termal digunakan untuk memasak, dan mengeringkan hasil
pertanian. Energi surya fotovoltaik digunakan untuk
kebutuhan listrik, pompa air dan televisi [1].

Dalam memanfatkan energi surya sistem fotovoltaik


sangat cocok dikembangkan di kota Makassar karena memiliki
intensitas radiasi matahari rata-rata 600 W/m2 dengan rata-rata
waktu penyinaran 7-8 jam/hari dimusim kemarau. Oleh karena
itu penelitian ini memanfatkan energi surya dengan sistem
fotovoltaik untuk menggerakkan pompa dalam memenuhi
kebutuhan air yang merupakan keperluan dasar manusia, baik
dalam kebutuhan sehari-hari (minum, makan, masak, dan
mandi) maupun kebutuhan dalam proses produksi (irigasi) [2].
Pada pelaksanaannya sistem fotovoltaik ini memiliki
keterbatasan yaitu jumlah enrgi yang dihasilkan tergantung
pada keadaan cuaca, namun demikian pemanfaatan energi
surya sistem fotovoltaik ini memiliki beberapa keuntungan
antara lain : sebagai energi terbarukan (renewable energy)
berarti tidak pernah habis, bersih dan ramah lingkungan
artinya tanpa limbah, polusi dan tanpa emisi yang berbahaya
bagi kesehatan, dan cocok digunakan di daerah tropis, bahkan
di daerah terpencil sekalipun.
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat
menjawab hambatan pada daerah tertentu yang telah tersedia
peralatan pompanisasi, akan tetapi belum tersedianya tenaga
penggerak pompanisasi karena ketiadaan jaringan listrik PLN.
Sehingga pemanfaatan energi surya dengan sistem fotovoltaik
yang mudah dipindahkan dapat dipertimbangkan sebagai salah
satu energi alternatif.
II. LANDASAN TEORI
A.

Sinar Matahari Sumber Energi Tak Terbatas

Energi surya adalah energi yang didapat dengan


mengubah energi panas surya (matahari) melalu peralatan
tertentu menjadi sumber daya dalam bentuk lain. Teknik
pemanfaatan energi surya mulai muncul pada tahun 1839,
ditemukan oleh A.C. Becquerel. Ia menggunakan kristal
silikon untuk mengkonversi radiasi matahari, namun sampai
tahun 1955 metode itu belum banyak dikembangkan. Upaya
pengembangan kembali cara memanfaatkan energi surya baru
muncul lagi pada 1958. Sel silikon yang digunakan untuk
mengubah energi surya menjadi sumber daya mulai
diperhitungkan sebagai metode baru, karena dapat digunakan
sebagai sumber daya bagi satelit angkasa luar [3].
Energi surya ini merupakan potendi energi terbesar dan
yang tak terbatas dan terjamin keberadaannya dimuka bumi.
Berbeda dengan sumber energi lainnya energi matahari bisa

Energi III-7

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

dijumpai diseluruh permukaan bumi. Pemanfaatan radiasi


matahari sama sekali tidak menimbulan polusi ke atmosfer.
Perlu diketahui bahwa berbagai sumber energi seperti tenaga
angin, bio-fuel, tenaga air, sesungguhnya juga berasal dari
energi matahari. Pemanfaatan radiasi matahari umumnya
terbagi dalam dua jenis yakni termal dan fotovoltaik. Pada
sisitem termal radiasi matahari digunakan untuk memanaskan
fluida atau zat tertentu yang selanjutnya fluida atau zat
tersebut dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik.
Sedangkan pada sistem fotovoltaik, radiasi matahari yang
mengenai permukaan semi konduktor akan menyebabkan
loncatan elektron yang selanjutnya menimbulkan loncatan
listrik.
Berdasarkan hasil penelitian Dr. mulyo Widodo, Dosen
Teknik Mesin ITB, dalam kondisi peak atau posisi matahari
tegak lurus, sianr matahari yang jatuh dipermukaan panel
surya di Indonesia seluas 1 meter persegi setara dengan daya
1000 watt atau 900 watt. Dengan bahan panel surya yang
monokristal dan polikristal, sistem fotovoltaik bisa
mengkonversi daya 900-1000 watt menjadi energi listrik
sebesar 17 %. Jadi, dalam kondisi pancaran sinar yang peak
(cerah dan posisi matahari tegak lurus dengan permukaan
panel penerima), satu panel surya seluas 1 meter persegi akan
menghasilkan daya sebesar 170 watt [4].
B.

Prinsip Kerja Sel Surya

Tenaga listrik yang dihasilkan oleh suatu sel surya


disebabkan oleh efek fotovoltaik, yaitu suatu efek yang dapat
mengubah secara langsung cahaya matahari menjadi suatu
energi listrik pada semikonduktor. Suatu sel surya terdiri atas
2 lempeng semi konduktor yang sangat tipis (25 m) dan
digabung menjadi satu dan terdiri atas semikonduktor tipe-n
dan semikonduktor tipe-p. lempeng semikonduktor tipe-p
berada di atas semikonduktor tipe-n. semikonduktor tipe-n
terbuat dari silikon yang didoping dengan fosfor sehingga
memiliki elektron (muatan negatif) yang banyak sekali,
sedang semikonduktor tipe-p terbuat dari silikon yang
didoping dengan boron dan memiliki lubang (muatan positif)
yang banyak sekali. Bila sel surya dikenai sinar matahari maka
semikonduktor tipe-n menjadi elektrode bermuatan negatif
sedang semikonduktor tipe-p menjadi elektrode bermuatan
positif, sehingga terjadi perbedaan potensial antara kedua
elektrode. Bila kedua elektrode dihubungkan dengan kawat,
maka terjadi arus listrik dari elektode positif ke elektrode
negatif.
C.
1.

Motor Arus Searah (DC) dan Pompa Centrifugal

Motor arus searah (DC)


Motor arus searah (motor DC) adalah mesin yang
mengubah energi listrik arus searah menjadi energi mekanis
yang berupa putaran. Berdasarkan fisiknya motor arus searah
secara umum terdiri atas bagian yang diam (stator) dan bagian
yang berputar (rotor). Motor arus searah bekerja berdasarkan
prinsip interaksi antara dua fluks magnetik. Dimana kumparan
medan akan menghasilkan fluks magnet yang arahnya dari
kutub utara menuju kutub selatan dan kumparan jangkar akan
menghasilkan fluks magnet yang melingkar. Interaksi antara
kedua fluks magnet ini menimbulkan suatu gaya sehingga
akan menimbulkan momen puntir atau torsi [5].

2.

Pompa sentrifugal
Secara umum pengertian pompa adalah suatu alat yang
digunakan untuk memindahkan zat cair dari tempat yang
rendah ke tempat yang lebih tinggi dengan cara menaikkan
tekanan cairan tersebut. Kenaikan tekanan cairan digunakan
untuk mengatasi hambatan-hambatan pengaliran berupa
perbedaan tekanan, ketinggian atau hambatan gesek [6].
Sedangkan pompa sentrifugal yaitu suatu jenis pompa dimana
headnya dibentuk oleh gaya sentrifugal yang ditimbulkan oleh
sudu-sudu yang berputar. Gaya sentrifugal ini adalah sebuah
gaya yang mengakibatkan benda atau partikel terlempar keluar
dalam lintasan melengkung. Pompa sentrifugal merupakan
suatu pompa yang memiliki elemen utama sebuah motor
dengan sudu-sudu impeller berputar dengan kecepatan tinggi.
Fluida masuk dipercepat oleh impeller yang menaikkan
kecepatan fluida maupun tekanan dan melemparkan keluar
volute [7].
D.

Radiasi Matahari

Radiasi matahari pada bidang miring sangat dipengaruhi


oleh karakteristik dari permukaan disekitarnya dan sesuai
dengan kondisi yang ada, maka radiasi total pada permukaan
miring merupakan komponen dari radiasi langsung, radiasi
sebaran, dan radiasi pantulan. Ada beberapa faktor yang
berpengaruh terhadap radiasi pada bidang miring antara lain :
1.
Sudut jam (hour angle)
Ukuran sudut terhadap besaran waktu, yaitu 15 0/Jam
berdasarkan atas waktu nominal dalam sehari (24jam)
dibutuhkan oleh matahari sekali bergerak mengitari bumi
dengan sudut 3600. Persamaan untuk menghitung sudut jam
yaitu [8] :
(0) = (12-t) x 15
(1)
2.

Sudut deklinasi matahari


Merupakan sudut kemiringan bumi terhadap matahari
akibat rotasi bumi pada arah sumbu axis bumi-matahari, 23,450 23,450. Menurut Copper (1969), sudut deklinasi
matahari dinyatakan dengan persamaan yaitu [8] :
(0) = 23,45 sin
(2)
3.

Sudut latitude
Sudut latitude dari suatu tempat di bumi adalah sudut
yang dibentuk oleh garis yang menghubungkan pusat bumi
dengan lokasi dan proyeksi garis tersebut pada equator. Untuk
menghitungnya digunakan hokum cosines segitiga bola yaitu
[8] :
Sin = sin sin + cos cos cos
(3)
4.

Sudut azimuth (Y)


Sudut azimuth merupakan sudut bidang horizontal yang
dibentuk oleh proyeksi sinar matahari pada bidang datar dan
garis antara-selatan. Sudut tersebut bernilai positif bila diukur
dari selatan ke barat, dengan rumus :
Sin =
5.

Energi III-8

Sudut tiba (incidence angel)

(4)

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

Sudut tiba pada suatu bidang adalah sudut yang dibentuk oleh
sinar matahari dan garis normal pada permukaan bidang.
Untuk posisi horizontal = 00, dapat ditulis dengan rumus :
Cos = cos cos cos + sin sin
(5)
E.

Daya dan Efisiensi Sel Surya

1.

Daya sel surya


Sebelum mengetahui daya sel surya yang dihasilkan kita
harus mengetahui energi yang diterima yaitu perkalian
intensitas radiasi yang diterima dengan luasan, dengan
persamaan [9] :
Pin = IG x A
(6)
Untuk IG adalah intensitas radiasi global matahari (W/m2) dan
A adalah luas permukaan (m2)
Sedangkan untuk besarnya daya sel surya yaitu perkalian
tegangan dan arus yang dihasilkan oleh sel fotovoltaik dapat
dihitung dengan rumus sebagai berikut [9] :
P=VxI
(7)
Untuk P adalah daya (watt), V adalah beda potensial (volt) dan
A adalah arus (Ampere).
2.
Efisiensi sel surya
Efisiensi yang terjadi pada sel surya merupakan perbandingan
daya yang dapat dibandingkan oleh sel surya dengan energi
input yang diperoleh dari sinar matahari. Efisiensi yang
digunakan adalah efisiensi pada pengambilan data, rumus
yang digunakan yaitu [9] :
=
(8)

F.

Daya dan Efisiensi Pompa

1.

Daya Pompa
Daya pompa terbagi atas daya input dan daya output.
Daya input pompa dapat didefinisikan sebagai hasil kali antara
tegangan dan arus ke motor pompa, maka persamaannya
sebagai berikut [7] :
Pin M = V x I
(9)
Untuk Pin M adalah daya input pompa (watt), V adalah
tegangan (volt), dan I adalah arus (ampere).sedangkan daya
output pompa yaitu energi yang secara efektif diterima air dari
pompa persatuan waktu. Daya output pompa biasa juga
disebut sebagai daya hidrolik fluida. Persamaannya dapat
dituliskan sebagai berikut [7] :
Pf =
(10)
Untuk Pf adalah daya output pompa (watt), adalah massa
jenis air (kg/m3), g adalah percepatan gravitasi (m/s2), dan H
adalah head (m).

III. METODE PENELITIAN


A.

Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Laboratorium Energi


Terbarukan Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik
Universitas Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan.
B.

Peralatan dan Bahan yang Digunakan

Peralatan yang di gunakan dalam penelitian ini adalah


sebagai berikut :
- Pyranometer, untuk mengukur intensitas radiasi global dari
sinar matahari. Tipe alat yang digunakan adalah LI-18,
dengan nilai skala terkecil (NST) 1 W/m2
- Multimeter, alat yang digunakan untuk mengukur tegangan
dan arus.
- Gelas ukur, alat yang digunakan untuk mengukur debit air
yang dihasilkan.
- Termometer, alat yang digunakan untuk mengukur
temperatur air penampungan (reservoir).
- Stopwatch, alat yang digunakan untuk mengukur waktu.
C.

Alat Uji

1.
Panel surya
Merek/buatan : sharp, dengan spesifikasi sebagai berikut :
Maximum power
: 80 watt
Open-circuit voltage
: 21,6 volt
Short-circuit current
:5,15 ampere
Voltage at point of max. power
:17,3volt
Current at point of max, power
:4,63 A
2.
Alat uji
Merek/buatan pompa
: nasional 125 watt
Merek/buatan motor
: wiper kijang super
Pompa air DC rakitan dengan spesifikasi sebagai berikut :
- Daya motor : 12-24 volt, 50 Hz, 10 P
- Daya listrik : 0,5-5 ampere
D.

Efisiensi pompa
Dari definisi efisiensi pompa adalah perbandingan antara
daya output pompa dengan daya input pompa, maka
persamaannya dapat dituliskan sebagai berikut [7]:
p =
(11)
dan efisiensi sistem dapat diruliskan persamaannya sebagai
berikut :
sistem =
(12)

Instalasi Pengujian

2.

Energi III-9

Gambar 1. Rangkaian Panel Surya

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

1.

+
PANEL SURYA
1

+
PANEL SURYA
2

2.
3.

S1

+
PANEL SURYA
3

4.
5.

S3

A
+

+
V

+
S2

M
-

6.
Gambar 2. Rangkaian Kelistrikan Instalasi

E.

7.

Instalasi Pompa

Gambar 3. Rangkaian Instalasi Pompa

F.

Prosedur Pengujian

Prosedur pengujian yang akan dilakukan adalah sebagai


berikut :
- Memasang instalasi panel surya dan motor pompa di
bawah sinar matahari.
- Mengecek sistem instalasi panel surya dan motor-pompa
secara keseluruhan.
- Alat ukur yang digunakan dalam pengujian sebaiknya
dikalibrasi terlebih dahulu.
- Mengisi tangki dengan air setinggi saluran keluar pompa
air.
- Mengukur besarnya intensitas radiasi global matahari
setiap jam dengan menggunakan pyranometer.
- Mengukur besarnya tegangan dan kuat arus yang
dibangkitkan sel surya dengan menggunakan multimeter.
- Mengukur temperatur air dalam tangki dengan
menggunakan termometer.
- Menjalankan motor-pompa selama 10 detik, setelah 10
detik motor-pompa dimatikan.
- Mencatat besarnya debit air yang keluar dari reservoir atas
dengan ketinggian head 1 meter menggunakan gelas ukur.
- Ulangi prosedur 2 sampai 9 setiap jam, mulai dari pukul
08.00 sampai pukul 16.00 Wita.
- Ulangi prosedur 1 sampai 10 pada hari berikutnya dengan
variasi ketinggian head berikutnya.

Daya input sel surya berdasarkan persamaan (6), untuk Ig


= 1060 W/m2, A=1,98489 m2 adalah Pin = 2103,983 watt.
Daya output sel surya berdasarkan persamaan (7), untuk V
= 18,94 volt, I = 14,85 ampere, yaitu Pout = 281,259 watt.
Efisiensi sel surya berdasarkan persamaan (8), yaitu
13,367 %.
Daya input pompa berdasarkan persamaan (9), untuk V =
18,94 volt, I = 14,85 ampere, yaitu Pin P = 281,259 watt.
Daya output pompa atau daya hidrolik fluida berdasarkan
persamaan (10), untuk
kg/, g = 9,8a m/s2, Q
= 0,420 L/s, dan Htot = 2,784 m, diperoleh Pf = 11,417
watt.
Efisiensi pompa berdasarkan persamaan (11), untuk Pf =
11,417 watt, Pin P = 281,259 watt, diperoleh p = 4,059 %.
Efisiensi sistem berdasarkan persamaan (12), untuk P f =
11,417 watt, Pin SS = 2103,983 watt, diperoleh sistem =
0,542 %.

B. Pembahasan
1.Pengaruh waktu matahari terhadap daya sel surya.
Pengaruh waktu matahari terhadap daya sel surya dapat
dilihat pada gambar 4. Pada gambar tersebut terlihat bahwa
daya yang masuk ke sel surya (Pin ss) dari pukul 08.00 pagi
akan terus mengalami peningkatan hingga mencapai daya
maksimum pada pukul 12.00 siang hari. Setelah itu daya yang
masuk ke sel surya akan mengalami penurunan hingga pukul
16.00. Untuk head 1 meter pada pukul 08.00 dengan intensitas
matahari (Ig) 589 W/m2 energi yang diserap sel surya (Pin
ss)adalah sebesar 1169,100 Watt dan. Pada pukul 12.00
mengalami kenaikan dengan intensitas matahari (Ig) 1060
W/m2 energi yang diserap sel surya (Pin ss) adalah sebesar
2103,983 Watt. Selanjutnya akan turun kembali pada pukul
14.00 dengan intensitas matahari (Ig) 854 W/m2 diperoleh
energi yang diserap sel surya (Pin ss) adalah sebesar 1695,096
Watt. Selain dari pada itu, untuk head 2 m sampai head 7
menergi yang diserap sel surya (Pin ss) identik dengan head 1
m, yaitu Mula-mula pada pukul 08.00 (Pin ss) rendah hingga
terus meningkat
sampai pada pukul 12.00, kemudian
mangalami penurunan sampai pada pukul 16.00. Daya
maksimum energi yang diserap sel surya (Pin ss) adalah sebesar
2103,983 Watt pada pukul 12.00 dengan head 1 meter. Dan
daya minimum energi yang diserap sel surya (Pin ss) adalah
sebesar 972,596 Watt pada kukul 16.00 dengan head 4 meter.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Perhitungan Daya dan Efisiensi
Data yang di ambil pada jam 12.00 dengan head 1 meter.

Energi III-10

Gambar 4. Grafik Perbandingan Antara Daya yang Masuk ke


Sel surya (Pin ss) Karena Radiasi Matahari Terhadap
Waktu (t)

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

Dari grafik di atas dapat dijelaskan bahwa daya maksimum


energi yang diserap sel surya (Pin ss) di peroleh di siang hari
pada pukul 12.00.Hal ini disebabkan oleh sudut tiba ()
matahari yang jatuh .Bila sudut tiba matahari besar, maka
intensitas radiasi global matahari yang dihasilkan akan kecil,
hal ini terjadi pada waktu pagi dan sore hari. Begitupun
sebaliknya, semakin kecil sudut tiba matahari yang terbentuk
maka intensitas radiasi global matahari yang jatuh pada
permukaan sel surya dapat lebih banyak diserap dan
dikonversikan menjadi energi listrik dikarenakan sinar
matahari yang jatuh akan semakin tegak lurus terhadap
permukaan sel surya, hal ini terjadi pada siang hari.
Dengan demikian dapat dismpulkan bahwa waktu matahari
mempengarui sudut tiba () matahari yang jatuh ke bumi.
Semakin kecil sudutnya maka energi yang diserap sel surya
(Pin ss) akan semakin besar. Oleh karena itu, dengan
bertambahnya energi yang diserap menyebabkan daya sel
surya yang dihasilkan terutama pada siang hari akan lebih
besar pada kondisi cuaca cerah. Adapun daya yang masuk ke
sel surya rata-rata untuk setiap head dapat dilihat pada tabel 1
di bawah ini.

Dari data untuk head 1 meter ini sudah terlihat bahwa efisiensi
pompa akan terus meningkat hingga mencapai efisiensi
maksimum pada pukuk 12.00 selanjutnya akan menurun
hingga pukuk 16.00. Selain dari pada itu, untuk head 2 m
sampai head 7 mefisiensi pompa(p) dengan head 1 m. Mulamula pada pukul 08.00 efisiensi pompa(p)rendah hingga terus
meningkat sampai pada pukul 12.00, kemudian mangalami
penurunan sampai pada pukul 16.00. Dari grafik terlihat
Efisiensi pompa(p) maksimum diperoleh pada kukul 12.00
dengan head 3 meter yaitu sebesar 14,541 %. Dan Efisiensi
pompa(p) minimum diperoleh pada kukul 16.00 dengan head
6 meter yaitu sebesar 2,165 %.

Tabel 1. Daya yang masuk ke sel surya (


No.

Head

Pin ss (watt)

1 meter

15160,59

2 meter

13884,31

3 meter

12806,51

4 meter

13278,91

5 meter

12814,45

6 meter

13320,60

7 meter

15718,34

2
Gambar 5. GrafikPerbandingan Antara efisiensi pompa (p)
terhadap waktu (t)

Pada tabel 1 di atas terlihat bahwa daya yang masuk ke


sel surya rata-rata berbeda-beda setiap headnya. Daya yang
masuk ke sel surya rata-rata (Pin ss) yang maksimum
diperoleh pada head 1 meter, dan daya yang masuk ke sel
surya rata-rata (Pin ss) yang minimum diperoleh pada head 3
meter. Sebagaimana penjelasan di atas bahwa perbedaan ini
disebabkan oleh sudut tiba () dan juga disbeabkan oleh
kondisi cuaca pada saat melakukan penelitian.

Dari grafik di atas dapat dijelaskan bahwa Efisiensi


pompa(p) maksimum di peroleh di siang hari pada pukul
12.00. Hal ini disebabkan oleh daya yang dihasilkan sel surya
(Pout ss). Bila daya yang dihasilkan sel surya untuk
menggerakkan pompa besar, maka Efisiensi pompa(p)yang
dihasilkan akan besar pula. Begitupun sebaliknya, semakin
kecil daya yang dihasilkan sel surya (Pout ss) untuk
menggerakkan pompa
maka Efisiensi pompa(p) yang
dihasilkan akan kecil pula. Dimana secara umum daya yang
dihasilkan sel surya (Pout ss) dipegaruhi oleh intensitas radiasi
global matahari tiap jamnya. Untuk lebih jelasnya dapat di
lihat pada tabel 2 di bawah ini. Pada tabel tersebut terlihat
bahwa daya yang dihasilkan sel surya (Pout ss) dan daya output
atau daya hidrolik pompa (Pf) yang maksimum diperoleh pasa
head 3 meter.
Tabel 2. Daya Yang Dihasilkan Sel Surya (

2. Efisiensi pompa terhadap waktu


Efisiensi pompa terhadap waktu matahari dapat dilihat
pada gambar 5. Pada gambar tersebut terlihat bahwa efisiensi
pompa(p) dari pukul 08.00 pagi akan terus mengalami
peningkatan hingga mencapai daya maksimum pada pukul
12.00 siang hari. Setelah itu efisiensi pompa akan mengalami
penurunan hingga pukul 16.00 pada kondisi cuaca yang stabil
dan cerah . Untuk head 1 meter pada pukul 08.00 dengan
intensitas matahari (Ig) 589 W/m2 efisiensi pompa(p) adalah
sebesar 3,364 %. Dan pada pukul 12.00 mengalami kenaikan
dengan intensitas matahari (Ig) 1060 W/m2 efisiensi pompa
(p) adalah sebesar 4,061 %. Selanjutnya akan turun kembali
sampai pada pukul 16.00 dengan intensitas matahari (Ig) 697
W/m2 diperoleh efisiensi pompa(p)adalah sebesar 3,327 %.

Energi III-11

dan Daya Hidrolik

No.

Head

Pout ss
(watt)

Pf
(watt)

1 meter

2097,762

78,68

2 meter

1785,762

189,672

3 meter

1724,997

195,252

4 meter

1777,943

155,976

5 meter

1639,976

139,918

6 meter

1716,742

85,51

7 meter

1972,380

56,598

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

Dengan demikian dari gambar 5 dan tabel 2 dapat


dismpulkan bahwa waktu matahari mempengaruhi Efisiensi
pompa(p). Efisiensi pompa pada siang hari besar dari pada di
pagi dan sore hari, karena daya yang dihasilkan sel surya (Pout
ss) pada siang hari jauh lebih besar dibandingkan daya yang
dihasilkan sel surya (Pout ss) pada pagi dan sore hari. Selain itu,
semakin besar kecepatan aliran dan head total yang dihasilkan
oleh aliran fluida (air), debit aliran yang dihasilkan pompa pun
ikut meningkat sehingga daya hidrolik pompa (Pf) untuk
menggerakkan atau mengangkat fluida akan semakin besar,
begitupun sebaliknya apabila kecepatan aliran dan head total
menurun maka debitnyapin akan menurun sehingga daya
hidrolik pompa (Pf) akan menurun. Oleh karena itu, efisiensi
pompa yang dihasilkan akan semakin besar pula dan akan
menurun kembali setelah puncak siang hari.
3.Efisiensi sistem dan efisiensi terbaik
Berdasarkan Gambar 6. Grafik perbandingan sistem vs
Head dan Tabel 3 ,terlihat bahwa rata-rata efisiensi maksimum
terjadi antara pukul 12:0013:00. Hal ini dikarenakan
perbandingan antara daya hidrolik pompa (Pf) dengan Pin ss
yang semakin besar tiap jamnya dan akan menurun lagi
setelah siang hari.
Namun, dalam penelitian ini efisiensi rata-rata sistem terbaik
terjadi pada saat head 3 meter seperti yang terlihat pada
gambar 6. Efisiensi vs head dibawah ini, yakni 1,525 %. Dan
efisiensi rata-rata sistem yang minimum diperoleh pada head 7
meter yaitu 0,360 %. Dengan demikian efisiensi rata-rata
sistem terbaik yang diperoleh pada penelitan ini masih sangat
rendah.

Berdasarkan Tabel 3 terlihat perbedaan yaitu efisiensi


rata-rata sel surya (rata-rata ss) dan efisiensi rata-rata pompa
(rata-rata poompa) yang lebih tinggi di bandingkan dengan
efisiensi rata-rata sistem (rata-rata sistem), hal ini dapat dilihat
pada tabel 3 . Pada tabel tersebut terlihat bahwa efisiensi
rata-rata sel surya terbaik pada head 3 meter yaitu 13,470 %
dan efisiensi rata-rata pompa terbaik pada head 3 meter yaitu
11,319 %. Data yang diperoleh dari hasil perhitungan ini
masih berada dalam kategori baik, karena berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Mulyo Widodo dosen ITB
bahwa sistem photovoltaik bisa mengkonversi daya sebesar
900-1000 Watt itu menjadi energi listrik sebesar 17 %, dalam
arti bahwa efisiensi sel surya pada saat ini masih belum tinggi
karena kurang dari 20 % daya yang dapat dikonversikan
menjadi energi. Dengan menjadikan rujukan dari penelitian
Mulyo Widodo maka dapat dismpulkan bahwa penelitian ini
sudah cukup baik karena rata-rata ss yang dieroleh sebesar
13,470 % dari 17 % yang mampu dikonversikan menjadi
energi pada saat kondisi matahari cerah. Oleh karena energi
matahari yang mampu dikonversikan menjadi energi listrik
masih rendah, dan energi inilah yang digunakan untuk
menggerakkan pompa sehingga diperolehlah rata-rata sistem yang
rendah pula pada penelitian yang dilakukan ini.
4.Karakteristik arus ( I ) serta teganagn ( V ) sel surya dan
head pompa
Arus keluaran ( I ) serta tegangan ( V ) yang dihasilkan
ketika sel surya memperoleh penyinaran merupakan
karakteristik sel surya. Karakteristik ini disajikan dalam
bentuk kurva hubungan I dan V. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa karakteristik sel surya dipengaruhi oleh
intensitas cahaya matahari sebagaimana pada gambar 7 di
bawah ini.

1000
W/m2
800
W/m
2
600
W/m
2
400
W/m
2
200
W/m
2

Gambar 6. Grafik Perbandingan Antara Efisiensi Terhadap


Head pompa

Tabel 3. Efisiensi sel surya (ss), efisiensi pompa (p), dan efisiensi sistem
Sistem (sistem)

No.

Head

Rata-rata ss

Rata-rata

Rata-rata

pompa

sistem

1 meter

13,837

3,751

0,519

2 meter

12,862

10,621

1,366

3 meter

13,470

11,319

1,525

4 meter

13,389

8,773

1,175

5 meter

12,798

8,532

1,092

6 meter

12,888

4,981

0,642

7 meter

12,548

2,870

0,360

Gambar 7. GragikPerbandingan Intensitas Matahari Terhadap


Karakteristik Arus Tegangan Sel Surya untuk
Menggerakkan Pompa

Energi III-12

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

Pada gambar 7 terlihat bahwa tengangan (VOC) yang


dihasilkan dengan variasi Intensitas global (Ig) antara 200
W/m2 sampai 1000 W/m2 hampir sama besarnya yaitu antara
18 sampai 19 Volt. Akan tetapi Arus (ISC) untuk setiap
Intensitas global (Ig) berbeda-beda nilainya. Dimana ISC
maksimum diperoleh pada Ig 1000 W/m2 yaitu 16,0 Ampere
dan ISC minimum pada Ig 200 W/m2 yaitu 3,20 Ampere. Selain
itu dari gambar tersebut terlibat bahwa pengaruh intensitas
global cahaya matahari dengan intensitas global (Ig) 200
W/m2 pompa tidak dapat dioperasionalkan karena intensitas
yang ada tidak mampu memenuhi daya yang dibutuhkan untuk
menggerakkan pompa. Untuk (Ig) 400 W/m2 sampai intensitas
global (Ig) 1000 W/m2 pada head 1, 2 meter dan 3 meter
pompa dapat dioperasionalkan sedangkan pada head 4 meter
sampai 7 meter pompa tidak dapat dioperasionalkan, karena
intensitas pad head ini antara (Ig) 600 W/m2 sampai intensitas
global (Ig) 1000 W/m2
Pada head 1 meter kinerja operasional arus-tegangan dari
sel surya pada (Ig) 400 W/m2 sebesar 3,70 ampere dan 16,20
volt dan pada intensitas 1000 W/m2 sebesar 4 ampere dan 18,1
volt. Untuk head 4 meter kinerja operasional arus-tegangan
dari sel surya pada (Ig) 600 W/m2 sebesar 7,53 ampere dan
15,30 volt, sedangkan pada (Ig) 1000 W/m2 sebesar 7,8
ampere dan 17,2 volt. Pada head 4 meter ini dengan intensitas
200 W/m2 dan 400 W/m2 pompa tidak dapat diopersionalkan
karena daya sel surya yang dihasilkan tidak mencukupi untuk
menjalankan pompa. Pompa hanya dapat dioperasionalkan
pada (Ig) 600 W/m2 sampai 1000 W/m2. Untuk head 7 meter
kinerja operasional arus-tegangan dari sel surya pada (Ig) 800
W/m2 sebesar 11,80 ampere dan 13,00 volt, sedangkan pada
(Ig) 1000 W/m2 sebesar 12,2 ampere dan 15,7 volt. Pada head
7 meter ini pompa hanya dapat dioperasionalkan pada (Ig) 800
W/m2 sampai (Ig) 1000 W/m2. Akan tetapi pada (Ig) 200
W/m2 sampai (Ig) 600 W/m2 pompa tidak dapat
dioperasionalkan. Hal ini terjadi karena daya dari sel surya
yang masuk untuk menggerakkan pompa tidak mencukupi
untuk menggerakkan pompa. Dalam arti beban pompa jauh
lebih besar dari pada daya yang masuk untuk menggerakkan
pompa.

selsurya, Pin ssdan Pout ss yang dihasilkan akan kecil.


Begitupun sebaliknya, apabila sudut tiba () yang jatuh
dibumi kecil,maka intensitas radiasi global matahari (Ig)
akan besar sehingga daya sel surya, Pin ss dan Pout ssyang
dihasilkan akan ikut besar pula. Pada head 1 meter
diperoleh (Ig) sebesar 1060 W/m2 dengan sudut tiba ()
sebesar 11,697, maka dihasilkan Pin ssdan Pout sssebesar
2103,983 Watt dan 281,259 Watt. Dan untuk (Ig) sebesar
589 W/m2 dengan suduttiba () sebesar 58,583, maka
dihasilkan Pin ssdan Pout sssebesar 1169,100 Watt dan
155,952 Watt.
2. Intensitas radiasi global matahari (Ig) yang kecil, terjadi
pada saat pagi hari dan sore hari, akan menghasilkan debit
aliran yang kecil pula. Namun, apabila intensitas radiasi
global matahari (Ig) yang besar, terjadi pada saat puncak
siang hari, akan menghasilkan debit aliran yang besar pula.
Pada head 1 meter dengan (Ig) sebesar 589 W/m2 diperoleh
debit (Q) sebesar 0,290 L/detik. Dan untuk (Ig) sebesar
1060 W/m2 diperoleh debit (Q) sebesar 0,420 L/detik.
3. Efisiensisistem, sistem akan terus meningkat seiring dengan
bertambahnya intesitas radiasi global matahari (Ig) dan
akan ikut menurun apabila intensitas radiasi global
matahari (Ig) turun pula. Namun, pada penelitian ini
efisiensi rata-rata sistem terbaik terjadi pada saat head 3
meter, yakni 1,525 %.

DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]

[3]
[4]

[5] Zuhal, 1988. Dasar Teknik Listrik dan elektronika Daya. Gramedia,
[6]

V. KESIMPULAN

[7]

Berdasarkan hasil pengujian serta analisa yang telah


dilakukan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, yakni :
1. Intensitas radiasi global matahari (Ig) akankecil apabila
sudut tiba () yang jatuh di bumi besar sehingga daya

Kamase, 2008. BerbagaiAplikasiEnergimatahari. Kliping Cyber


Media, Jakarta.
Nurjannah, Syukri Himran, 2011. Analisis pengaru hIntensitas Cahaya
Matahari Terhadap Kinerja Pompa dengan Sistem Photovoltaic.Tesis.
Unhas, Makassar.
Alpen Steel, 2011. Pemanfaatan Radiasi Matahari Untuk Energi.
Kumpulan Artikel. Renewable Energi, Bandung.
Pikiran Rakyat, 2005. Sinar Matahari Sumber Energi Tak Terbatas.
Kumpulan artikel. Tabloid blogger, Jakarta.

Jakarta
John B. Manga, 1990. Dasar-DasarPompadanPerencanaan, Fakultas
Teknik Universitas Hasanuddin, Makassar.
Sularso, haruotahara, 2000, Pompa dan Kompresor.Cetakan ketujuh,
PT. Pertja, Jakarta.

[8] SyukriHimran, 2005. Energi Surya. CV. Bintang Lamumpatue,


[9]

Makassar
Sertu Alim Senina Sinamo, 2010. Mengenal Solar Sel Sebagai Energi
Alternatif. Kumpulan Artikel, Puslitbang Iptekhan Balitbang Dephan,
Jakarta.

Energi III-13

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

Uji Eksperimental Kinerja Termoelektrik pada


Pendingin Dispenser Air Minum
Amrullah

Wahyu H. Piarah dan Syukri Himran

Jurusan Mesin Fakultas Teknik


Universitas Hasanuddin
Makassar, Indonesia
amrullah.mansyur@yahoo.com

Jurusan Mesin Fakultas Teknik


Universitas Hasanuddin
Makassar, Indonesia
wahyupiarah@yahoo.com

AbstractThis study aims to find out of the cooling performance of


thermoelectric coolers with single, double series, and double parallel
circuit. The experiment was conducted in the Cooling and Heating
laboratory of Mechanical Engineering Department, Hasanuddin
University, Makassar. The data taken were hot side temperature, cold
side temperature, water temperature, and ambient temperature. Data
analysis was carried out on water temperature, temperature difference,
absorbed heat, and COP with some variations of thermoelectric circuit
and DC electric voltage in 360-minute period. The result reveal that the
best module was the double thermoelectric arranged with a series circuit
in the voltage of 10 V. This could be seen after 360 minutes with cold
water temperature of 12oC, temperature difference of 28oC, absorbed
heat of 19.52810 and COP of 1.25268.
Keywords: thermoelectric cooler , water temperature, DC electric voltage.

I. PENDAHULUAN

Kebutuhan energi nasional semakin meningkat seiring


dengan laju pertumbuhan ekonomi nasional, sehingga
diperlukan adanya upaya untuk menjamin ketersediaan energi
secara berkesinambungan dalam jumlah dan mutu yang cukup
dengan tingkat harga yang wajar.
Dengan semakin
berkurangnya energi yang berasal dari fosil, manusia berusaha
untuk menemukan sumber energi alternatif baru. Salah satu
solusi yang bisa digunakan untuk membangkitkan energi dan
ramah lingkungan adalah dengan menggunakan termoelektrik.
Pemilihan spesifikasi modul termoelektrik didasarkan pada
beban kalor, beda suhu dan parameter listrik yang digunakan.
Untuk pendingin termoelektrik memiliki beberapa kelebihan
diantaranya tidak berisik, mudah perawatan,ramah lingkungan
dan tidak memerlukan banyak komponen tambahan. Selain itu
manfaat lain dari termoelektrik sebagai mesin pendingin
adalah dapat mengurangi polusi udara dan Ozone Depleting
Substances (ODSs) karena tidak lagi menggunakan
Hydrochlorofluorocarbons (HCFCs) dan Chlorofluorocarbons
(CFC) yang dikenal sebagai Ozone Depleting Substances
(ODSs) [1].
Termoelektrik pertama kali ditemukan tahun 1821 oleh
ilmuwan
Jerman,
Thomas
Johann
Seebeck.
Ia
menghubungkan tembaga dan besi dalam sebuah rangkaian.
Di antara kedua logam tersebut lalu diletakkan jarum kompas.
Ketika sisi logam tersebut dipanaskan, jarum kompas ternyata
bergerak. Belakangan diketahui, hal ini terjadi karena aliran
listrik yang terjadi pada logam menimbulkan medan magnet.
Medan magnet inilah yang menggerakkan jarum kompas.

Fenomena tersebut kemudian dikenal dengan efek Seebeck


[2].
Penemuan Seebeck ini memberikan inspirasi pada Jean
Charles Athanase Peltier untuk melihat kebalikan dari
fenomena tersebut. Dia mengalirkan listrik pada dua buah
logam yang direkatkan dalam sebuah rangkaian. Ketika arus
listrik dialirkan, terjadi penyerapan panas pada sambungan
kedua logam tersebut dan pelepasan panas pada sambungan
yang lainnya. Pelepasan dan penyerapan panas ini saling
berbalik begitu arah arus dibalik. Penemuan yang terjadi pada
tahun 1934 ini kemudian dikenal dengan efek Peltier[3]. Efek
Seebeck dan Peltier inilah yang kemudian menjadi dasar
pengembangan teknologi termoelektrik.
Modus sederhana pendingin adalah dengan menggunakan
satu perangkat termoelektrik. Namun, karena batas-batas
kinerja bahan termoelektrik, satu tingkat termoelektrik pada
mesin pendingin hanya dapat dioperasikan dengan range suhu
yang kecil. Jika rasio suhu antara heatsink dan ruang
pendingin besar, maka mesin pendingin dengan satu tingkat
termoelektrik akan kehilangan efektivitasnya. Dengan
demikian, penerapan termoelektrik dengan dua tingkat atau
lebih yang dikombinasikan pada mesin pendingin merupakan
metode penting untuk meningkatkan kinerja termoelektrik[4].
II. LANDASAN TEORI
Termoelektrik merupakan alat yang bekerja dengan
mengkonversi energi panas menjadi listrik secara langsung
(generator termoelektrik),atau sebaliknya, dari listrik
menghasilkan dingin (pendingin termoelektrik).Modul
termoelektrik terdiri dari susunan material semikonduktor
(biasanya Bismuth Telluride) yang menggunakan tiga prinsip
termodinamika yang dikenal sebagai efek Seebeck, Peltier dan
Thomson. Konstruksinya terdiri dari pasangan material
semikonduktor tipe-P dan tipe-N yang membentuk termokopel
dengan bentuk seperti sandwich antara dua wafer keramik
tipis[5].
Thermoelectric cooler (TEC) yang merupakan suatu
rangkaian semikonduktor dengan memanfaatkan efek Peltier
telah digunakan sebagai perangkat pendingin mini pada
beberapa penerapan sistem pendingin. Dimana pendinginan
sudah menjadi kebutuhan dalam masyarakat modern yang
telah terbukti meningkatkan kualitas dari segi rasa dan
kebersihan makanan serta minuman[6].

Energi III-14

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

Umumnya
modul
termoelektrik
ini
berukuran
40mmx40mm atau lebih kecil dan memiliki tebal kurang lebih
4 mm. Umur dari sebuah modul termoelektrik yang sesuai
dengan standar industri adalah sekitar 100.000-200.000 jam
dan lebih dari 20 tahun jika digunakan sebagai pendingin dan
dengan jumlah serta tegangan yang sesuai karateristik dari
setiap modulnya[7].
Pengujian mengunakan modul termoelektrik pendingin
yang merupakan pengaplikasian dari efek Peltier untuk
memindahkan kalor. Termoelektrik pendingin yang digunakan
terdiri dari sejumlah pasangan semikonduktor tipe P dan tipe
N yang dihubungkan secara seri termal dan paralel listrik.
Kalor yang dipompakan secara langsung dapat diubah dengan
mengubah kutub yang dialairi arus DC. Material
semikonduktor pada termoelektrik tersusun dari tipe N yang
terbuat dari campuran bismuth-telluride-selenium (BiTeSe)
dan tipe P yang terbuat dari campuran bismuth-tellurideantimony (BiTeSb). Penggunaan bismuth telluride pada
termoelektrik pendingin didasarkan pada beberapa penelitian
yang menyimpulkan bahwa bismuth telluride merupakan
material yang memiliki performance terbaik meskipun
memiliki keterbatasan pada temperatur sisi panasnya[8].
Pada penelitian ini ingin diketahui
kinerja dari
pendinginan dengan menggunakan termoelektrik pendingin
yang dirangkai tunggal, ganda seri, dan ganda paralel.
Dalam menganalisa kinerja modul termoelektrik dapat
diamati pada gambar 1, perpindahan panas yang terjadi dari
beban kalor menuju sisi dingin modul termoelektrik dapat
diketahui dari jumlah kalor yang dipompa oleh efek Peltier,
panas yang berpindah dari sisi panas ke sisi dingin karena
konduktivitas termal material termoelektrik, dan sebagian dari
total efek Joule heating yang ditimbulkan oleh arus listrik
terhadap tahanan termal[9].

(2)
Efek Joule heating yang ditimbulkan oleh arus listrik
Efek Joule heating (qj)merupakan rugi kalor yang
terjadi akibat arus listrik yang dapat diketahui dari besarnya
nilai kuadrat arus listrik (I) dan tahanan elektrik (R) serta
diasumsi terbagi ke arah sisi dingin dan sisi panas.
(3)

Kalor yang diserap pada sisi dingin modul termoelektrik


(4)
Kalor yang dilepas pada sisi panas modul termoelektrik
(5)
Seperti telah diuraikan diatas, untuk mengetahui nilai kalor
yang diserap (qc) dan kalor yang dilepas (qh) pada
termoelektrik dapat dituliskan pada persamaan (4) dan (5),
dimana suku pertama adalah energi listrik yang diberikan,
suku kedua adalah energi panas yang diteruskan secara
konduksi, dan suku ketiga merupakan rugi-rugi panas akibat
arus listrik.
Berdasarkan
tipe
modul
termoelektrik
yang
digunakan,TEC1-12706, jumlah sambungan elemen (N)
adalah 127 sehingga jumlah elemen modul termoelektrik
adalah dua kali jumlah sambungan elemen (2N).
Nilai koefisien Seebeck elemen (m), konduktivitas termal
elemen (Km), dan tahanan termal elemen () biasanya dapat
diketahui dari data vendor atau dari bentuk persamaan sesuai
material termoelektrik, dalam hal ini material yang digunakan
adalah Bismuth Telluride.
Koefisien Seebeck
Nilai koefisien Seebeck () ditentukan oleh nilai koefisien
Seebeck elemen (m) dan banyaknya jumlah elemen pada
modul termoelektrik.
(6)
Koefisien Seebeck elemen

Gambar 1. Perpindahan kalor pada termoelektrik

(7)

Kalor yang dipompa oleh efek Peltier


Kalor yang dipompa oleh efek Peltier (qp) adalah energi
listrik yang diberikan dan dapat diketahui dengan menentukan
nilai koefisien Seebeck (), Temperatur sisi dingin (Tc), serta
arus listrik yang diberikan pada termoelektrik (I).

0 = 2.2224 x 10-5 ; 1 = 9.306 x 10-7; 2 = -9.905 x 10-10


Konduktivitas termal
Besarnya konduktivitas termal (K) ditentukan oleh
konduktivitas termal elemen (Km), faktor geometri (G), dan
banyaknya jumlah elemen pada modul termoelektrik.

(1)
Kalor yang berpindah karena konduktivitas termal
Besarnya kalor yang berpindah karena konduktivitas
termal (qk) dipengaruhi oleh besarnya konduktivitas termal
(K) dan nilai beda temperatur (T).

(8)
Konduktivitas termal elemen
(9)
K0 = 6.2605 x 10-2 ; K1 = -2.777 x 10-4 ; K2

Energi III-15

= 4.131 x 10-7

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

Tahanan elektrik
Besarnya tahanan elektrik (R) ditentukan oleh tahanan
elektrik elemen (),faktor geometri (G), dan banyaknya
jumlah elemen pada modul termoelektrik.
(10)

(17)
Kalor rata-rata yang diserap pada sisi dingin modul
termoelektrik hingga 360 menit
Kalor rata-rata dapat diketahui dengan menentukan
total kalor yang diserap pada sisi dingin (qc) terhadap
banyaknya penyerapan kalor yang terjadi (n).

Tahanan elektrik elemen


(18)
(11)
0 = 5.112 x 10-5 ; 1 = 1.634 x 10-6 ; 2 = 6.279 x 10-9
Dengan mensubtitusi persamaan (6), (8),(10) ke persamaan
(4) dapat diperoleh nilai kalor yang diserap pada sisi dingin
modul termoelektrik :

Kalor yang diserap dari air


Kalor yang diserap dari air dapat diketahui dengan
menentukan nilai massa air (m), kalor spesifik air (Cp), dan
selisih temperatur air (Tair) terhadap besarnya selisih waktu
(t).

(19)

(12)
Dengan mensubtitusi persamaan (6), (8),(10) ke persamaan
(5) dapat diperoleh nilai kalor yang dilepas pada sisi panas
modul termoelektrik :
(13)
Daya listrik yang diberikan pada modul termoelektrik
Besarnya daya listrik yang diberikan pada modul
termoelektrik dipengaruhi dari besarnya arus listrik (I) dan
besarnya tahanan elektrik (R).
(14)
Kesetimbangan energi
Sesuai dengan prinsip kerja termoelektrik berdasarkan efek
peltier, kalor diserap dari sisi dingin sebesar qc dan kalor
dilepas ke lingkungan sebesar qh. Selisih antara dua kalor
tersebut adalah besarnya daya listrik yang dibutuhkan atau
Pin=qh-qc [10] sehingga kesetimbangan energi pada
termoelektrik dapat dituliskan pada persamaan berikut :
(15)
Figure of merit
Figure of merit (Z) merupakan nilai standar untuk
menentukan efisiensi material dari termoelektrik. Jika nilai Z
meningkat berarti kemampuan material termoelektrik juga
meningkat. Nilai figure of merit bervariasi tergantung
kebutuhan material termoelektrik terhadap temperatur [8].

Kalor rata-rata yang diserap dari air hingga 360 menit


Kalor rata-rata dapat diketahui dengan menentukan total
kalor yang diserap dari air (qw) terhadap banyaknya
penyerapan kalor yang terjadi (n).
(13)
(20)
III. METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah metode
eksperimental. Pengujian prestasi termoelektrik dilakukan
dengan variasi pemberian tegangan listrik DC yaitu 8 V, 10 V,
12 V serta variasi rangkaian yaitu dengan menggunakan
modul tunggal, modul ganda seri, dan modul ganda paralel
dengan lama pengujian 360 menit seperti yang ditunjukkan
pada gambar 1 dan gambar 2.
Pengambilan data dilakukan dengan mengukur temperatur
sisi dingin, temperatur sisi panas, temperatur air, dan
temperatur ambient menggunakan termokopel dan temperature
controller. Penentuan nilai faktor geometri elemen (G) dengan
menggunakan AZTEC software; version 3.1[11]. Pengolahan
data dilakukan dengan menghitung nilai kalor yang diserap,
kalor yang dilepas, daya listrik yang digunakan, figure of
merit, dan COP.
Instalasi pengujian termoelektrik tunggal

(16)
Coefficient of Performance (COP)
COP merupakan ukuran efisiensi dari suatu termoelektrik
pendingin yang dapat diketahui dari perbandingan besarnya
kalor yang diserap pada sisi dingin (qc) terhadap besarnya
daya listrik yang masuk(Pin) [5].

Energi III-16

Gambar 2. Instalasi pengujian termoelektrik tunggal


Instalasi pengujian termoelektrik ganda

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

dibandingkan pemberian tegangan 12 V. Penambahan


tegangan pada termoelektrik ganda yang dirangkai seri dapat
mempercepat penurunan temperatur pada air. Pada rangkaian
ganda paralel dengan tegangan 12 V dapat dilihat bahwa
sangat sedikit kalor yang diserap dari air. Hal ini disebabkan
karena sisi panas mencapai temperatur 56oC dan kalor tidak
dapat dilepas dengan baik ke udara sehingga sisi dingin
termoelektrik hanya dapat mencapai temperatur 29oC dan air
hanya dapat mencapai temperatur 28oC.

Gambar 3. Instalasi pengujian termoelektrik ganda

IV. ANALISIS MODEL DAN PEMBAHASAN


Dari hasil pengambilan data dan hasil perhitungan pada
penelitian maka dapat dilihat kinerja termoelektrik yaitu :
Temperatur sisi panas modul termoelektrik
Pada kondisi awal sebelum pemberian tegangan,
temperatur sisi panas berada pada temperatur ruangan dan
setelah pemberian tegangan, temperatur sisi panas akan
meningkat hingga mencapai temperatur tertentu. Hal ini
menunjukkan bahwa pada termoelektrik, temperatur sisi panas
akan semakin meningkat dengan adanya penambahan
tegangan.
Temperatur sisi dingin modul termoelektrik
Pada mulanya temperatur sisi dingin berada pada
temperatur ruangan kemudian akan menurun hinga mencapai
temperatur tertentu.Temperatur sisi dingin akan terus menurun
hingga mendekati kondisi konstan. Pada termoelektrik
tunggal, pemberian tegangan 8 V dan 10 V dapat mencapai
temperatur yang lebih rendah dari pemberian tegangan 12 V.
Pada termoelektrik ganda yang dirangkai seri, tegangan 10 V
dapat mencapai temperatur sisi dingin yang paling rendah
diantara ketiga variasi tegangan.Pada termoelektrik ganda
yang dirangkai paralel, tegangan 8 V dapat mencapai
temperatur sisi dingin paling rendah diantara ketiga variasi
tegangan.
Beda temperatur modul termoelektrik
Pada kondisi awal, nilai beda temperatur adalah nol karena
temperatur sisi panas dan sisi dingin berada pada temperatur
yang sama. Pada termoelektrik tunggal, semakin besar
tegangan yang diberikan, nilai beda temperatur akan semakin
besar. Begitu pun pada termoelektrik ganda yang dirangkai
seri, semakin besar tegangan yang diberikan maka nilai beda
temperatur akan semakin meningkat. Akan tetapi untuk
termoelektrik ganda paralel, pada tegangan 12 V nilai selsih
temperatur paling rendah karena nilai Th dan Tc yang
cenderung konstan dan tidak mengalami peningkatan sejak
awal pendinginan.
Temperatur air yang didinginkan
Pada awal pendinginan, temperatur air sekitar 29oC
kemudian akan terus menurun hingga temperatur tertentu.
Pada termoelektrik tunggal, pemberian tegangan 8 V dan 10 V
dapat mencapai temperatur air yang lebih rendah

Kalor yang diserap pada sisi dingin modul termoelektrik


Perhitungan kalor yang diserap berhubungan dengan
besarnya arus listrik yang ditimbulkan dari tegangan DC yang
diberikan. Besarnya arus listrik dipengaruhi dari hambatan
atau modul termoelektrik. Semakin besar tegangan listrik
maka arus yang ditimbulkan juga semakin besar dan semakin
besar hambatan listrik maka arus yang ditiimbulkan akan
semakin kecil. Penentuan besarnya hambatan listrik
tergantung dari jumlah elemen penyusun modul termoelektrik
[4]. Untuk termoelektrik ganda, jumlah elemen modul adalah
dua kali dari jumlah elemen modul tunggal. Akan tetapi
besarnya hambatan juga dipengaruhi dari jenis rangkaian.
Untuk termoelektrik ganda seri, besarnya hambatan dan
variable yang dipengaruhi arus listrik adalah dua kali dari
termoelektrik tunggal. Sedangkan untuk termoelektrik ganda
paralel, beasarnya hambatan dan variable yang berhubungan
dengan arus listrik adalah setengah dari termoelektrik tunggal.
Hal ini dapat dibuktikan dengan perhitungan kesetimbangan
energi yang dapat dilihat pada lampiran tabel hasil
perhitungan, dimana besarnya kalor yang dilepas (qh) adalah
jumlah dari daya listrik yang dibutuhkan (Pin) dan besarnya
kalor yang diserap pada sisi dingin(qc) [10].
Dari gambar 3 dapat dilihat peningkatan nilai kalor yang
diserap dipengaruhi dari peningkatan tegangan listrik untuk
tiap rangkaian. Untuk tegangan 8V,nilai qc paling tinggi
ditunjukkan oleh rangkaian ganda paralel yaitu sebesar
17.44189 W. Untuk tegangan 10V, nilai qc paling tinggi
ditunjukkan oleh rangkaian tunggal yaitu sebesar 20.61895 W.
Untuk tegangan 12 V, nilai qc paling tinggi ditunjukan oleh
rangkaian tunggal yaitu sebesar 24.71738 W. Hal ini
menunjukkan bahwa peningkatan nilai kalor yang diserap
sebanding dengan peningkatan tegangan yang diberikan tetapi
tergantung dari variasi rangkaian termoelektrik.

Gambar 4. Grafik tegangan listrik terhadap kalor yang diserap sisi dingin pada
360 menit

Daya listrik yang diberikan pada modul termoelektrik


Gambar 4 adalah grafik hubungan antara tegangan listrik
terhadap daya listrik yang diberikan dengan variasi rangkaian
pada 360 menit. Dari grafik dapat diketahui bahwa semakin

Energi III-17

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

besar tegangan yang diberikan pada setiap rangkaian maka


daya listrik yang digunakan juga semakin besar. Jika
dibandingkan dari ketiga variasi rangkaian termoelektrik,
rangkaian ganda seri menunjukkan nilai daya listrik yang
paling rendah. Hal ini menunjukkan termoelektrik ganda seri
merupakan rangkaian yang mengkonsumsi daya listrik paling
sedikit diantara ketiga variasi rangkaian.

menunjukkan nilai COP yang paling tinggi dibandingkan


variasi rangkaian yang lain.
Dari ketiga variasi rangkaian termoelektrik, dapat
diketahui kinerja modul terbaik adalah termoelektrik ganda
yang dirangkai secara seri pada tegangan 10 V karena dapat
mencapai temperatur air yang paling rendah, konsumsi daya
listrik yang paling rendah, dan kecepatan pendinginan yang
paling baik.
V. KESIMPULAN

Gambar 5. Grafik tegangan listrik terhadap daya listrik yang diberikan dengan
variasi rangkaian pada 360 menit

Coefisien of Performance (COP)


Nilai COP merupakan ukuran efisiensi dari suatu
termoelektrik pendingin yang dapat diketahui dari
perbandingan besarnya kalor yang diserap pada sisi dingin (qc)
terhadap besarnya daya listrik yang masuk (Pin). Untuk saat ini
termoelektrik pendingin memiliki nilai COP yang masih
rendah sehingga belum bisa bersaing dengan sistem pendingin
kompresi uap [10].

Dari hasil perhitungan dan pembahasan dapat ditarik


kesimpulan sebagai berikut:
1. Setelah menganalisa kinerja termoelektrik tunggal, dapat
diketahui kinerja terbaik dihasilkan dengan pemberian
tegangan sebesar 8 V.
2. Setelah menganalisa kinerja termoelektrik ganda yang
dirangkai secara seri, kinerja terbaik dihasilkan dengan
pemberian tegangan sebesar 10 V.
3. Setelah menganalisa kinerja termoelektrik ganda yang
dirangkai secara paralel, kinerja terbaik dihasilkan dengan
pemberian tegangan sebesar 8 V.
4. Dari ketiga variasi rangkaian, kinerja modul terbaik adalah
termoelektrik ganda yang dirangkai secara seri pada
tegangan 10 V.

DAFTAR PUSTAKA
[1]

California
Institute
of
Technology.2013.Brief
History
of
Thermoelectrics.(Online).
(http://thermoelectrics.caltech.edu/thermoelectrics/history.html).
[2] Chakib Alaoui. 2011. Peltier Thermoelectric Modules Modeling and
Evaluation. International Journal of Engineering (IJE), Volume (5) :
Issue (1).

[3] Jincan Chen, Yinghui Zhou, Hongjie Wang, Jin T. Wang. 2002.
Comparison of the optimal performance of single- and two-stage
thermoelectric refrigeration systems

[4] Riffat, S.B; Ma X. 2003. Thermoelectrics: a review of present and


potential applications. Applied Thermal Engineering 23 913
935.Pergamon-Elsevier Science Ltd.

[5] Hendi Riyanto, Sigit Y. Martowibowo.2010. Modeling and Prototyping


Gambar 6. Grafik hubungan tegangan yang diberikan terhadap COP pada
360 menit

Gambar 5 adalah grafik hubungan antara COP terhadap


tegangan yang diberikan dengan variasi rangkaian pada waktu
360 menit. Besarnya COP dipengaruhi dari besarnya nilai
kalor yang diserap pada sisi dingin dan besarnya daya listrik
yang digunakan. Untuk tegangan 8V, nilai COP paling tinggi
ditunjukkan pada rangkaian ganda seri yaiu sebesar 1.55046.
Untuk tegangan 10V, nilai COP paling tinggi ditunjukkan
pada rangkaian ganda seri yaitu sebesar 1.25268. Untuk
tegangan 12V, nilai COP tertinggi ditunjukkan pada rangkaian
ganda seri yaitu sebesar 1.09192. Hal ini menunjukkan bahwa
untuk variasi tegangan yang diberikan, rangkaian ganda seri

a Mini Portable Thermoelectric Beverage Cooling Device. ICCHT2010


- 5th International Conference on Cooling and Heating Technologies
[6] Zuryati Djafar.2008. Pengantar Termoelektrik. Karya Tulis Ilmiah
Program Doktor Departemen Teknik Mesin Universitas Indonesia.
[7] Christopher M. Jaworski. 2007.Opportunites for Thermoelectric Energy
Conversion in Hybrid Vehicles. The Ohio State University. Department
of Mechanical Engineering.
[8] Rehab Noor Mohammed Al-Kaby. Study Of Thermal Performance of
Thermoelectric Cooling System. Mechanical department, Babylon
University-College of Engineering.

[9] Yunus A. engel and M. A. Boles. 2006. Thermodynamics: An


Engineering Approach, 5th ed, McGraw-Hill
[10] Laird
Technologies.
2010.Thermoelectric
Handbook.
(http://www.lairdtech.com, diakses pada 1 Agustus 2012).
[11] Tellurex. 2010. Introduction to Thermoelectric. 1462 International
Drive.Traverse Citi,MI. (http://www.tellurex.com).

Energi III-18

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

Pengaruh Penambahan Poly Ether Amine Pada


Bensin Terhadap Nilai Kalor, Konsumsi Bahan
Bakar, Laju Kecepatan Kendaraan, Dan Emisi Gas
Buang Sepeda Motor 4-Langkah
Barlin

Yureski Belly Saputra

Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik


Universitas Sriwijaya
Sumatera Selatan, Indonesia
E-mail: barlin_oemar@yahoo.com

Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik


Universitas Sriwijaya
Sumatera Selatan, Indonesia
E-mail: yuresqbellys@yahoo.co.id

Abstrak PEA (Poly Ether Amine) merupakan zat aditif yang


sedang banyak dikembangkan karena dapat meningkatkan
kualitas bahan bakar. Penelitian dilakukan dengan
menambahkan PEA 5 ml, 10 ml, 15 ml, 20 ml, dan 25 ml per liter
premium. Pengujian dilakukan pada sepeda motor Jupiter MX
135 cc dengan variabel penelitian adalah kecepatan dan putaran
mesin. Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa penambahan 15 ml
PEA menghasilkan nilai kalor, konsumsi bahan bakar, laju
kecepatan kendaraan dan emisi gas buang yang lebih baik. Nilai
Kalor yang didapatkan yakni sebesar 10415,405 cal/g, meningkat
479,4106 cal/g daripada premium murni. Pada konsumsi bahan
bakar menghasilkan penurunan konsumsi bahan bakar yang
paling besar dimana terjadi penghematan 8 km/l pada setiap
variasi kecepatan, daripada saat penggunaan premium murni.
Untuk hasil pengujian laju kecepatan kendaraan menghasilkan
laju kecepatan rata-rata 10,30 detik, lebih cepat 1,23 detik
dibandingkan saat penggunaan premium murni. Pada kadar CO
dan HC menghasilkan penurunan yang relatif stabil
dibandingkan pada penggunaan premium murni dimana terjadi
penurunan sebesar 0,025 % CO dan 1254 ppm HC pada putaran
mesin 1500 rpm, penurunan sebesar 0,728 % CO dan 662 ppm
HC pada putaran mesin 3000 rpm, serta penurunan sebesar
1,217 % CO dan 302 ppm HC pada putaran mesin 4500 rpm.
Kata kunci premium, zat aditif, emisi gas buang, poly ether
amine.

masalah pencemaran udara sehingga dikhawatirkan akan


membahayakan dan mempengaruhi kualitas lingkungan hidup.
Permasalahan emisi gas buang ini tidak bisa dianggap
enteng, karena dapat mengganggu keberlangsungan hidup.
Perlu dicarikan solusi untuk menekan laju emisi yang
dilepaskan kendaraan bermotor ke lingkungan. Salah satu cara
yang sedang gencar dilakukan adalah dengan menambahkan
zat aditif pada bahan bakar, yang diketahui dapat
meningkatkan kualitas bahan bakar terutama nilai oktan.
Karena nilai oktan dari bahan bakar merupakan salah satu
parameter untuk mengetahui kesempurnaan pembakaran di
dalam mesin. Konsumen sangat membutuhkan kendaraan
bermotor dengan kinerja mesin yang optimal dan irit bahan
bakar, sehingga penambahan zat aditif ini dianggap tepat
karena selain mampu mengurangi emisi gas buang juga mampu
meningkatkan kinerja mesin.
Oleh karena itu pada penelitian kali ini akan digunakan zat
aditif PEA yang akan dicampurkan kedalam bensin dengan
beberapa perbandingan campuran, untuk mengetahui
pengaruhnya terhadap nilai kalor, konsumsi bahan bakar, laju
kecepatan kendaraan, dan emisi gas buang.
II. TUJUAN PENELITIAN

I. LATAR BELAKANG
Perilaku masyarakat Indonesia yang konsumtif telah
mendorong banyak produsen otomotif untuk menawarkan
berbagai produk kendaraan dengan berbagai keunggulan,
sehingga volume kendaraan pun semakin meningkat sebagai
dampak dari kemajuan teknologi dan ekonomi.
Kemajuan teknologi dan kemajuan di bidang ekonomi ini
membawa pada konsekuensi peningkatan pendapatan
masyarakat menyebabkan kesempatan kepemilikan kendaraan
semakin meluas. Di samping sisi positif peningkatan
kepemilikan kendaraan bermotor yang berjalan begitu cepat,
ternyata muncul sisi negatif yang tidak dapat dielakkan. Sisi
negatif tersebut antara lain berupa kemacetan lalu lintas sampai

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh


penambahan zat aditif PEA dalam bensin terhadap nilai kalor,
konsumsi bahan bakar, laju kecepatan kendaraan dan emisi gas
buang pada motor bensin.
III. BATASAN PENELITIAN
Adapun batasan masalah pada penelitian ini, diantaranya :

1. Zat aditif yang digunakan adalah PEA (Poly Ether


2.
3.

Energi III-19

Amine)
Dalam penelitian ini digunakan variasi konsentrasi
campuran 5 ml, 10 ml, 15 ml, 20 ml dan 25 ml zat
aditif kedalam 1 liter bensin.
Melakukan pengujian nilai kalor untuk masing-masing
konsentrasi campuran zat aditif PEA dengan bensin.

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

4. Melakukan pengujian konsumsi bahan bakar dan laju


5.

kecepatan kendaraan.
Melakukan pengujian emisi gas buang yang meliputi:
kadar CO, dan HC
IV. DASAR TEORI

Motor bensin dapat dibedakan atas 2 jenis yaitu motor


bensin 2 langkah dan motor bensin 4 langkah. Pada motor
bensin 2 langkah, siklus terjadi dalam dua gerakan torak atau
dalam satu putaran poros engkol. Sedangkan motor bensin 4langkah, pada satu siklus terjadi dalam 4-langkah.
Langkah-langkah yang terjadi pada motor bensin 4 langkah
adalah:
1. Langkah Hisap
2. Langkah Kompresi
3. Langkah Usaha
4. Langkah Buang
Pada motor bensin 4 langkah, poros engkol berputar
sebanyak dua putaran penuh dalam satu siklus dan telah
menghasilkan satu tenaga. Cara kerja motor bensin 4 langkah
ini dapat dilihat pada gambar 1 berikut:

Gambar 1 Cara kerja motor bensin 4 langkah

Pada motor bensin 2 (dua) langkah, setiap siklus terdiri


dari 2 (dua) langkah piston atau 1 (satu) kali putaran poros
engkol. Langkah-langkah tersebut adalah:
1. Langkah Naik.
2. Langkah Turun

Gambar 2 Prinsip kerja motor 2 (dua) langkah

A. Zat Aditif
Zat Aditif merupakan bahan yang ditambahkan pada bahan
bakar kendaraan bermotor, baik mesin bensin maupun mesin
diesel. Zat Aditif digunakan untuk memberikan peningkatan
sifat dasar tertentu yang telah dimilikinya.
Kebutuhan Zat aditif pada masa sekarang telah meningkat
dengan pesat dikarenakan perubahan komposisi bensin yang
timbul oleh karena tiga alasan utama yaitu: Perubahan Harga
Minyak, Persyaratan Gas buang Kendaraan, Persyaratan
Konsumsi Bahan Bakar.

B. Manfaat Zat Aditif


Adapun manfaat dari Zat Aditif untuk meningkatkan
performansi mesin mulai dari durabilitas, akselerasi sampai
power mesin. Kegunaan lain dari Zat Aditif adalah sebagai
berikut:
1. Membersihkan Karburator/injektor pada saluran
bahan bakar
2. Mengurangi karbon/endapan senyawa organik pada
ruang bakar
3. Menambah tenaga mesin
4. Mencegah Korosi
C. Poly Ether Amine (PEA)
Penemuan PEA berawal pada tahun 1967, Charles Pedersen
yang bekerja sebagai kimiawan di Dupont menemukan metode
sederhana untuk mensintesis polyether ketika dia sedang
sedang membuat agen pengkompleks untuk kation divalen.
Pedersen mendapat nobel dibidang kimia pada tahun 1987 atas
penemuan lintasan sintesis dari sifat-sifat mengikat polyether.
Struktur utama dari zat aditif ini tersusun atas gugusan
fungsional amina yang berikatan dengan atom karbon.
PEA Merupakan dispersan polimer yang diperuntukan
sebagai formula antikerak PFI, disebut juga sebagai deterjen
karburator. PEA tersusun atas gugus fungsional polyether yang
mengikat amine terprotonasi dan membentuk kompleks yang
sangat stabil pada fase gas maupun larutan. Memiliki
kandungan air sekitar 0,1%, zat aditif ini juga sangat sering
digunakan sebagai pelapis permukaan logam untuk menambah
tingkat kekerasan dari logam. Rantai primer dari amine yang
mampu berikatan dengan logam inilah yang membuat PEA
bisa digunakan sebagai pembersih ruang pembakaran. PEA
tidak mengandung deposit di ruang bakar, mengurangi emisi
gas buang, dan tidak menimbulkan racun dioksin.
Menurut Wahyu Eko Saputra (2013) yang mengutip
penelitian yang dilakukan oleh Kirana (2005) terhadap
campuran bensin zat aditif (1:10) PEA (Polyether Amine)
dalam bentuk tablet pada pengujian TD 114 diketahui
penurunan konsumsi bahan bakar spesifik sebesar 23,93 %
dibandingkan dengan bahan bakar bensin tanpa zat aditif
tersebut
D. Bahan Bakar Bensin
Premium berasal dari bensin yang merupakan salah satu
fraksi dari penyulingan minyak bumi yang diberi zat tambahan
atau aditif, Premuim mempunyai rumus empiris
Ethyl
Benzena (C8H18). Premium adalah
Bahan bakar jenis disilat berwarna kuning akibat adanya zat
pewarna tambahan. Penggunaan premium pada umumnya
digunakan untuk bahan bakar kendaraan bermotor bermesin
bensin, seperti mobil, sepeda motor, dan lain lain. Bahan bakar
ini juga sering disebut motor gasoline atau petrol dengan angka
oktan adalah 88, dan mempunyai titik didih 300C-2000C.
E. Konsumsi Bahan Bakar
Karakteristik prestasi atau unjuk kerja suatu motor bakar
torak dinyatakan dalam beberapa parameter diantaranya
adalah konsumsi bahan bakar, konsumsi bahan bakar spesifik,

Energi III-20

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

perbandingan bahan bakarudara, laju kecepatan kendaraan,


dan daya keluaran.
Berikut ditampilkan rumus-rumus dari beberapa
parameter yang digunakan dalam menentukan unjuk kerja
motor bakar torak:
1. Konsumsi Bahan Bakar / Fuel Consumption (FC)

3.

Dengan mengambil data dari hasil pengujian yang


dilakukan di Lab. Grha Pertamina Universitas
Sriwijaya.
Diskusi
Berupa tanya jawab dengan dosen pembimbing yang
ditunjuk oleh Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik
Universitas Sriwijaya

(2.1)

VI. PEMBAHASAN

2.

Laju Aliran Massa Bahan Bakar


(2.2)

dimana :
BFC
f

= laju aliran bahan bakar (kg/jam)


= konsumsi bahan bakar ( l/jam )
= massa jenis bahan bakar (kg/m3)

F. Nilai Kalor Bahan Bakar


Nilai kalor adalah jumlah energi yang dilepaskan pada
proses pembakaran persatuan volume atau massa. Nilai kalor
bahan bakar menentukan jumlah konsumsi bahan bakar tiap
satuan waktu, nilai kalor ditentukan berdasarkan hasil
pengukuran dengan kalorimeter dilakukan dengan membakar
bahan bakar dan udara pada temperatur normal, sementara itu
dilakukan pengukuran jumlah kalor yang terjadi sampai
temperatur dari gas hasil pembakaran turun kembali ke
temperatur normal. Nilai kalor akan mempengaruhi proses
pembakaran, semakin tinggi nilai kalor, maka energi yang
mampu dikonversikan menjadi daya oleh mesin semakin tinggi
G. Emisi Gas Buang
Emisi gas buang atau umum disebut polutan yang berasal
dari kendaraan bermotor dibedakan menjadi polutan primer
dan sekunder. Polutan primer seperti karbon monoksida (CO),
sulfur oksida (SOx), nitrogen oksida (NOx), dan hidrokarbon
(HC) langsung dibuang ke udara babas dan mempertahankan
bentuknya seperti pada saat pembuangan. Polutan sekunder
seperti ozon (O2) adalah polutan yang terbentuk di atmosfer
melalui proses fotokimia, hidrolisis atau oksidasi. Komposisi
gas tersebut juga tergantung pada jenis bahan bakar kendaraan
(jenis mesin), dan alat pengendali emisi bahan bakar itu sendiri.
V. METODE PENELITIAN
Metode penulisan yang digunakan penulis adalah sebagai
berikut:
1. Metode studi literatur
Menggunakan referensi dari berbagai sumber yang
digunakan sebagai acuan dalam mengolah dan
menganalisa data.
2. Metode studi lapangan

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian nilai kalor,


konsumsi bahan bakar, laju kecepatan kendaraan, dan emisi gas
buang. Penelitian nilai kalor bertujuan untuk mengukur nilai
nilai kalor bahan bakar dari setiap sampel, alat yang digunakan
dalam penelitian ini adalah mesin PARR Bomb Calorimeter
6400 yang terdapat di Lab. Grha Pertamina Universitas
Sriwijaya. Kemudian untuk penelitian konsumsi bahan bakar
dan laju kecepatan kendaraan menggunakan sepeda motor
bensin 4 langkah dengan memodifikasi tangki bahan bakar
yang sudah dirancang sebelumnya, penelitian ini dilakukan di
jalan belakang Stadion Univesitas Sriwijaya, yang bertujuan
untuk mengetahui sampel yang mana yang paling hemat dan
paling cepat laju kecepatannya ketika digunakan pada
kendaraan bermotor. Dan yang terakhir adalah penelitian emisi
gas buang menggunakan mesin STARGAS 898 Global
Diagnostic System Certification OIML CLASS O yang
terdapat di Lab. Graha Pertamina Universitas Sriwijaya,
penelitian ini bertujuan untuk menemukan sampel yang mana
yang menghasilkan emisi gas buang yang paling baik. Hasil
dari keempat penelitian tersebut adalah sebagai berikut:
A. Hasil Pengujian Nilai Kalor

Penambahan PEA vs Nilai Kalor


Nilai Kalor ( Cal/g )

dimana :
BFC
= konsumsi bahan bakar (l/jam)
Vf
= konsumsi bahan bakar volumetrik( ml )
t
= waktu konsumsi bahan bakar ( detik)

10400
10200
10000
9800
9600
0

10

15

20

25

Penambahan PEA ( ml )
Gambar 3. Grafik Nilai Kalor

Nilai kalor yang tertinggi terjadi pada penambahan 15 ml


PEA yakni sebesar 10415,405 cal/g atau mengalami kenaikan
sebesar 480,5416 cal/g, namun nilai kalor akan turun kembali
pada penambahan konsentrasi PEA yang lebih banyak (20 ml
dan 25 ml) hal ini dipengaruhi oleh viskositas bahan bakar.
Penambahan PEA yang semakin banyak tidak berarti kualitas
bahan bakar akan semakin baik, dengan penambahan PEA
yang semakin banyak akan memunculkan sifat dari kedua
propertis, salah satunya adalah titik nyala dari PEA yang tinggi
sehingga campuran dari keduanya lebih sulit terbakar, hal
inilah yang menyebabkan penurunan nilai kalor. Selain itu
penambahan PEA diatas 15 ml kedalam 1 liter premium akan
membuat viskositas bahan bakar akan semakin tinggi yang
disebabkan karena densitas dari PEA yang lebih tinggi

Energi III-21

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

sehingga cenderung lebih kental daripada premium yang dapat


memperburuk proses pembakaran.

sebesar 0,1449 kg/jam daripada saat menggunakan premium


murni.

B. Hasil Pengujian Konsumsi Bahan Bakar

Laju aliran bahan bakar dipengaruhi oleh nilai kalor,


semakin tinggi nilai kalor, maka laju aliran bahan bakar
semakin lambat, karena dengan nilai kalor yang tinggi massa
yang dibutuhkan mesin untuk melakukan kerja semakin kecil.

Kecepatan vs Konsumsi Bahan Bakar


70

Premium+0ml PEA

D. Hasil Pengujian Laju Kecepatan Kendaraan

Konsumsi Bahan Bakar (km/l)

Premium+5ml PEA
Premium+10ml
PEA
Premium+15ml
PEA

14

Waktu Tempuh (detik)

60

12
10

50

40
20
40
Kecepatan (km/jam)

60

6
0

10

15

20

25

Gambar 6. Grafik Laju Kecepatan Kendaraan

Gambar 4. Konsumsi Bahan Bakar

Konsumsi bahan bakar dipengaruhi oleh nilai kalor bahan


bakar, semakin tinggi nilai kalor bahan bakar maka konsumsi
bahan bakar akan semakin menurun, karena dengan nilai kalor
yang tinggi massa bahan bakar yang dibutuhkan untuk
menghasilkan daya yang sama akan lebih sedikit.
C. Hasil Pengujian Laju Aliran Bahan Bakar

Laju Aliran Bahan Bakar (kg/jam)

Penambahan PEA (ml)

Dari hasil pengujian dapat ditarik kesimpulan bahwa


konsumsi bahan bakar paling hemat terjadi pada saat
penambahan 15 ml PEA kedalam 1 liter bensin, karena lebih
hemat 8 km/l pada kecepatan 20 km/jam dan 40 km/jam, dan
kecepatan 60 km/jam daripada saat menggunakan premium
murni.

Penambahan PEA vs Waktu Tempuh

Dari hasil pengujian dapat disimpulkan bahwa laju


kecepatan kendaraan yang paling cepat adalah pada saat
menggunakan premium yang ditambahkan 15 ml PEA dimana
terjadi peningkatan sebesar 1,23 detik dari premium murni.
Nilai kalor mempengaruhi tenaga mesin, semakin tinggi
nilai kalor maka laju kecepatan kendaraan akan semakin cepat,
hal ini disebabkan oleh daya yang dihasilkan untuk massa
bahan bakar yang sama akan lebih besar dibandingkan dengan
sampel campuran yang lain. Namun penambahan PEA yang
semakin banyak tidak berarti tenaga mesin lebih besar, hal ini
terlihat dari hasil pengujian bahwa laju kecepatan kendaraan
semakin lambat setelah penambahan diatas 15 ml PEA hal ini
disebabkan karena nilai kalor bahan bakar yang semakin
menurun dan viskositas bahan bakar yang ikut memperburuk
proses pembakaran.

Kecepatan vs Laju Aliran Bahan Bakar

E. Hasil Pengujian Emisi Gas CO

0,9

Premium+0ml
PEA
Premium+5ml
PEA
Premium+10ml
PEA
Premium+15ml
PEA
Premium+20ml
PEA

0,8
0,7
0,6
0,5
0,4
0,3
0,2
20
40
60
Kecepatan (km/jam)

Gambar 5. Grafik Laju Aliran Bahan Bakar

Dari hasil pengujian dapat diambil kesimpulan bahwa laju


aliran bahan bakar paling lambat terjadi pada penambahan 15
ml PEA kedalam 1 liter bensin karena pada kecepatan 20
km/jam terjadi penurunan sebesar 0,0319 kg/jam, pada
kecepatan 40 km/jam terjadi penurunan sebesar 0,0684 kg/jam,
sedangkan pada kecepatan 60 km/jam terjadi penurunan

Gambar 7. Grafik Emisi Gas CO

Dapat disimpulkan bahwa penambahan 15 ml PEA kedalam 1


liter bensin memiliki kadar emisi CO yang paling baik dari

Energi III-22

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

sampel lain karena terjadi penurunan yang relatif stabil pada


setiap putaran mesin. Dari hasil pengujian emisi gas CO dapat
dilihat bahwa PEA mampu menigkatkan kualitas bahan bakar,
karena penambahan PEA menghasilkan pembakaran yang lebih
baik sehingga menghasilkan emisi gas CO yang lebih rendah
dan berada dibawah batas minimum dari standar emisi gas
buang CO yang telah ditetapkan pemerintah sesuai dengan
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 05 Tahun
2006.

3.

4.

F. Hasil Pengujian Emisi Gas HC


PEA mampu meningkatakan kualitas bahan bakar sehingga
pembakaran menjadi lebih baik, hal ini dapat dilihat dari
menurunnya kadar emisi HC karena pembakaran yang baik
akan mengurangi jumlah bahan bakar yang tidak ikut terbakar
pada proses pembakaran.

terlalu lamban jika ditinjau dari segi efisiensi


berkendara.
Waktu tempuh yang paling cepat untuk mencapai laju
kecepatan 80 km/jam diperoleh pada penambahan 15
ml PEA yaitu dengan rata-rata waktu tempuh sebesar
10,30 detik, lebih cepat 1,23 detik dibandingkan pada
penggunaan premium murni.
Kadar emisi gas buang CO dan HC yang paling baik
dari sampel lain dan penurunannya relatif stabil
adalah pada penambahan 15 ml PEA kedalam 1 liter
premium, yaitu 0,249% kadar CO, dan 482 ppm
kadar HC pada putaran mesin 1500 rpm, 1,427 %
kadar CO, dan 95 ppm kadar HC pada putaran mesin
3000 rpm, serta 3,689 % kadar CO dan 109 ppm kadar
HC pada putaran mesin 4500 rpm.
VIII. SARAN

Dari hasil pengamatan selama pengujian penulis


menyampaikan saran sebagai berikut:
1. Apabila ingin menghemat konsumsi bahan bakar,
maka melajulah dengan kecepatan konstan.
2. Penulis merekomendasikan penambahan 15 ml PEA
kedalam 1 liter premium karena memiliki konsumsi
bahan bakar, laju kecepatan kendaraan dan emisi gas
buang yang paling baik dibandingkan dengan sampel
penambahan PEA yang lainnya pada pengujian yang
dilakukan penulis.
3. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut terhadap
dampak positif dan dampak negatif dari penambahan
PEA terhadap mesin kendaraan.
DAFTAR PUSTAKA

Gambar 8. Grafik Emisi Gas HC

Dapat disimpulkan bahwa penambahan 15 ml PEA


memiliki kadar emisi HC yang paling baik dari sampel lain
karena menunjukan penurunan yang relatif stabil daripada
premium murni dan berada dibawah batas minimum dari
standar emisi gas buang HC yang telah ditetapkan pemerintah
sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No 05 Tahun 2006.
VII. KESIMPULAN
Berdasarkan data-data yang diperoleh dari pengujian
penambahan PEA kedalam bahan bakar premium dan juga
telah dilakukan perhitungan dan analisa data didapatlah
kesimpulan sebagai berikut:
1. Nilai kalor yang tertinggi diperoleh pada penambahan
15 ml PEA kedalam 1 liter premium yaitu 10415,405
cal/g.
2. Konsumsi bahan bakar yang paling hemat dan laju
aliran bahan bakar yang paling lambat adalah pada
penambahan 15 ml PEA kedalam 1 liter premium pada
kecepatan 20 km/jam. Namun dari ketiga macam
variasi kecepatan, yang terbaik adalah pada
penambahan 15 ml PEA kedalam 1 liter premium pada
kecepatan 40 km/jam karena kecepatan 20 km/jam

[1] Arends, BPM dan Berenschot, H. 1980. Motor


bensin,
Erlangga, Jakarta.
[2] Arismunandar, Wiranto. 2008. PenggerakMula Motor Bakar
Torak : Penerbit ITB Bandung.
[3] Brady, James E. 1999. Kimia Universitas Asas dan Struktur,
Jilid satu, Jogjakarta: Binarupa Aksara
[4] Burton, Bruce dkk. 2010. Epoxy Formulations Using Jeffamine
Polyetheramines, Texas.
[5] Krisnanda, RB dan K, HDS. 2012.Pengaruh Penambahan Aditif
pada Premium dengan Variasi Konsentrasi terhadap Unjuk
Kerja Engine Putaran Variabel Karisma 125 CC, Jurnal Teknik
Pomits, Vol,1, No,1, Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh
Nopember.
[6] Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 05 Tahun 2006
[7] Pulkrabek, Willard W. Engineering Fundamentals of The
Internal Combustion Engine, Prentice Hall, New Jersey.
[8] Raharjo, Winarno Dwi dan Karnowo. 2008. Mesin Konversi
Energi. Semarang: Universitas Negeri Semarang Press.
[9] Saputra, WE, Burhanuddin, H dan ES, MDS.2013. Pengaruh
penambahan zat aditif alami pada motor bensin terhadap prestasi
motor
4
langkah,
Jurnal
FEMA,
Vol,1,No.1,Lampung:Universitas Lampung.
[10] Siadari, 2007. Evaluasi Kualitas Udara Perkotaan Tahun 2007
Program Langit Biru. Kementrian Lingkungan Hidup.
[11] Supraptono. 2004. Bahan Bakar dan Pelumas. Semarang:
Universitas Negeri Semarang Press.
[12] www.chemeng.ui.ac.id/`wulan/materi/port

Energi III-23

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

[13] www.Mencari Pengganti TEL untuk Meningkatkan


Oktan _ chemist is friendly.htm
[14] www.suarapembaharuan.com

Angka

[15] www.wikipedia.org
[16] www.yamaha-motor.co.id

Energi III-24

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

Model Teoritik Konduktivitas Termal Fluida Nano


Berdasarkan Konsep Nanoconvection
Diah Hidayanti, Nathanael P. Tandian, Aryadi
Suwono

Efrizon Umar
Pusat Sains dan Teknologi Nuklir Terapan BATAN
Bandung, Indonesia

Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara ITB


Bandung, Indonesia
diahhidayanti@yahoo.com

AbstractMeningkatnya tantangan di bidang teknologi,


khususnya teknologi perpindahan panas, telah mendorong
inovasi tentang penggunaan fluida nano (nanofluid) sebagai
fluida perpindahan panas (pendingin) alternatif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa konduktivitas termal fluida nano lebih
tinggi daripada konduktivitas termal fluida pendingin
konvensional (air, minyak, etilen glikol, dll.) Untuk kemudahan
dalam aplikasi fluida nano di lapangan, diperlukan suatu model
teoritik yang dapat memprediksi nilai konduktivitas termal
fluida nano. Dalam makalah ini, akan dikembangkan suatu
model teoritik konduktivitas termal fluida nano untuk studi
kasus fluida nano zirkonia (ZrO2)-air. Model teoritik
konduktivitas termal fluida nano ZrO2-air diperlukan karena
data eksperimental konduktivitas termal fluida nano tersebut
sangat jarang dijumpai di literatur. Model teoritik
dikembangkan dengan menggabungkan model statik yang
memperhitungkan pengaruh nanolayer dan model dinamik yang
memperhitungkan pengaruh konveksi nano (nanoconvection).
Konveksi nano merupakan mekanisme baru yang diusulkan
untuk dapat menjelaskan fenomena perpindahan panas pada
fluida nano. Koefisien perpindahan panas yang digunakan dalam
model diturunkan dari korelasi perpindahan panas konveksi
paksa. Model teoritik yang baru menunjukkan kesesuaian yang
baik dengan data eksperimental fluida nano ZrO2-air yang
tersedia di literatur pada rentang konsentrasi partikel nano 02,5% volume. Selain itu, model baru tersebut juga memberikan
hasil prediksi yang lebih baik dibandingkan dengan model-model
teoritik lainnya. Untuk meningkatkan akurasi model baru ini,
diperlukan data eksperimental yang lebih banyak lagi.
Keywords: Model teoritik, konduktivitas termal, fluida nano,
konveksi nano

I. PENDAHULUAN
Dalam dekade terakhir ini, ide tentang fluida nano
(nanofluid) sebagai suatu bentuk inovasi jenis fluida
perpindahan panas (coolant) mulai banyak diteliti. Fluida nano
adalah suspensi partikel padatan berukuran 1-100 nm
(nanoparticle) dalam fluida perpindahan panas konvensional
(misalnya air, minyak, atau etilen glikol) sebagai fluida dasar
(base fluid)-nya. Beberapa contoh partikel nano yang telah
menjadi subyek penelitian hingga saat ini, baik berupa logam
maupun oksida logam, yaitu Al2O3, Cu, CuO, TiO2, dan CNT.
Keberadaan partikel nano dapat meningkatkan konduktivitas
termal fluida nano sehingga turut meningkatkan kinerja
perpindahan panasnya. Terkait dengan jenis partikel nano,
fluida nano yang mengandung partikel nano zirkonia (ZrO2)
masih sangat jarang diteliti. Fluida nano jenis ini berpotensi

untuk diaplikasikan pada teknologi reaktor nuklir karena


unsur zirkonia memiliki tampang lintang serapan neutron yang
rendah. Keterbatasan data eksperimental fluida nano ZrO2air
mendorong dikembangkannya suatu model teoritik yang dapat
memprediksi nilai konduktivitas termal fluida nano tersebut.
Sejumlah penelitian telah membuktikan adanya
peningkatan sifat-sifat dan perilaku termofisik fluida nano
terkait dengan dengan proses perpindahan panas [1,2]. Meski
telah dibuktikan secara eksperimental, peningkatan sifat-sifat
termofisik fluida nano belum dapat dijelaskan secara teoritik.
Teori makroskopik klasik, seperti teori Maxwell [2]
memberikan hasil yang bersifat underpredictive terhadap hasil
pengukuran konduktivitas termal fluida nano. Oleh karena itu,
para peneliti terus mencoba mengembangkan suatu model
teoritik yang dapat memprediksi konduktivitas termal fluida
nano. Model-model teoritik tersebut dibangun berdasarkan
berbagai macam ide tentang mekanisme perpindahan panas
yang terjadi pada suatu sistem fluida nano dengan
menggunakan banyak asumsi dalam perumusannya.
Lapisan
molekul
cairan
(liquid)
pada
batas
antarmuka(interface) partikel padat-cairan merpakan salah
satu mekanisme yang diduga turut berkontribusi pada
tingginya konduktivitas termal fluida nano [3,4,5]. Lapisan
cairan tersebut dikenal sebagai nanolayer. Karena susunan
molekul pada nanolayer lebih teratur dibandingkan dengan
susunan molekul pada bulk liquid, konduktivitas termal
nanolayer menjadi lebih tinggi daripada konduktivitas termal
fluida dasarnya, namun masih lebih rendah daripada
konduktivitas termal partikel nano. Namun demikian,
ketidaktersediaan metode atau korelasi untuk menentukan
nilai ketebalan dan konduktivitas termal nanolayer secara
pasti
menjadi
suatu
kendala
tersendiri
dalam
memperhitungkan pengaruh nanolayer terhadap konduktivitas
termal fluida nano. Akibatnya, model yang dikembangkan
berdasarkan mekanisme nanolayer bersifat semi empiris
karena nilai ketebalan dan konduktivitas termal nanolayer
ditentukan sedemikian rupa hingga model tersebut
memberikan hasil yang sesuai dengan data pengukuran
konduktivitas termal fluida nano.
Selain
nanolayer,
para
peneliti
juga
banyak
mengembangkan model dinamik dalam perumusan
konduktivitas termal fluida nano. Model dinamik adalah
model yang memperhitungkan pengaruh dinamika partikel
atau molekul dalam fluida nano terhadap mekanisme
perpindahan panas di dalam sistem fluida nano tersebut.

Energi III-25

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

Lahirnya model dinamik disebabkan karena teori klasik pada


umumnya, seperti teori Maxwell, merupakan model statik
yang mengasumsikan bahwa partikel dalam suatu suspensi
berada dalam kondisi diam (statis). Mekanisme dinamika
partikel yang dipertimbangkan pada awalnya adalah
mekanisme tumbukan antara partikel nano dengan partikel
nano yang lain atau dengan molekul-molekul fluida dasar,
sebagai akibat dari gerak translasi Brownian partikel nano.
Menurut mekanisme tersebut, energi akan dipindahkan dari
partikel berenergi tinggi ke partikel berenergi lebih rendah
ketika kedua partikel tersebut bertumbukan satu sama lain.
Namun, perhitungan menunjukkan bahwa kontribusi
mekanisme ini terhadap konduktivitas termal fluida nano tidak
signifikan sehingga bisa diabaikan [6-9]. Selanjutnya, model
dinamik yang lain pun diusulkan, yaitu yang berbasis pada
mekanisme konveksi berskala nano akibat dari gerak
Brownian. Konveksi nano (nanoconvection) sebagai salah
satu mekanisme perpindahan panas yang terjadi dalam fluida
nano diusulkan pertama kali oleh Jang dan Choi [10].
Berdasarkan korelasi perpindahan panas untuk aliran seragam
yang melewati sebuah bola, koefisien perpindahan panas yang
digunakan pada model Jang-Choi [6,10] diasumsikan
sebanding dengan Re2Pr2. Hal ini dikarenakan karakteristik
aliran pada sistem fluida nano dianggap lebih cenderung
bersifat acak dan berfluktuasi secara cepat, dan bukan
merupakan jenis aliran yang seragam. Dengan menggunakan
dasar korelasi yang sama pada model Jang-Choi, Patel dkk.
[11] menggunakan koefisien perpindahan panas yang nilainya
sebanding dengan bilangan Peclet (RePr). Alasannya karena
kecepatan gerak Brownian partikel nano sangat rendah
sehingga nilai Pe2 dapat diabaikan jika dibandingkan dengan
nilai Pe. Bentuk formulasi konveksi nano yang lain juga
diberikan oleh Prasher dkk. [12], yaitu dengan didasarkan
pada pemikiran bahwa kondisi perpindahan panas dalam
fluida nano melibatkan aliran-aliran konveksi dari banyak
partikel berbentuk bola (multispheres) yang saling berinteraksi
satu sama lain. Situasi semacam ini mirip dengan situasi
perpindahan panas pada fluidized bed. Oleh karena itu,
koefisien perpindahan panas yang sesuai untuk konveksi nano
adalah yang diturunkan dari korelasi perpindahan panas
partikel-ke-fluida pada fluidized bed, dan bukan dari korelasi
untuk aliran Stokes yang melewati sebuah bola tunggal (single
sphere).
Dalam makalah ini, akan dikembangkan suatu model
teoritik konduktivitas termal fluida nano dalam rangka
memprediksi nilai konduktivitas termal fluida nano ZrO2-air.
Model teoritik tesebut menggabungkan model statik dan model
dinamik dengan memperhitungkan pengaruh nanolayer. Model
dinamik yang dikembangkan berdasarkan pada mekanisme
nanoconvection yang perumusannya menggunakan bentuk
formulasi yang berbeda dengan formulasi yang pernah
diusulkan sebelumnya.
II. MODEL-MODEL TEORITIK KONDUKTIVITAS TERMAL
FLUIDA NANO
A. Model Maxwell
Model Maxwell sebagaimana ditunjukkan pada Persamaan
1 sebenarnya hanya berlaku untuk suspensi dengan fraksi
volume yang rendah dan partikel padat yang berbentuk bola
dengan ukuran dalam orde mm atau m.

k eff

k p 2k f 2 (k p k f )
k p 2k f ( k p k f )

kf

dimana kf adalah konduktivitas termal fluida dasar, kp adalah


konduktivitas termal partikel nano, dan adalah fraksi volume
partikel nano. Model Maxwell mengasumsikan bahwa partikel
dalam kondisi stasioner dan fenomena perpindahan panas
berlangsung seara konduksi.
B. Model Xie dkk.
Model
yang
disulkan
oleh
Xie
dkk.
[13]
mempertimbangkan
pengaruh
nanolayer
terhadap
konduktivitas termal fluida nano sebagaimana dirumuskan
pada Persamaan 2

k eff k f
3 2T2
3T
kf
1 T

dengan lf 1
3

dan T

fl

pl
3
1 2 fl pl
fl

4
3
3
rp n 1
3

dimana lf

kl kf

2 fl pl

, pl

k p kl
k p 2k l

, dan

kf kl
.
k f 2k l

C. Model Leong dkk.


Model lain yang memasukkan pengaruh nanolayer adalah
model Leong dkk. [4] (lihat Persamaan 3)

keff

klr kp klr 213 3 1 13 kp 2klr 3 klr kf kf

13 kp 2klr kp klr 13 3 1

dimana = 1+ dan 1 = 1+/2. Jika tidak terdapat nanolayer,


Persamaan 3 berbentuk seperti model Maxwell (Persamaan 1).
D. Model Jang-Choi
Model Jang-Choi [6,11] didasarkan pada konsep konveksi
nano sebagai mekanisme perpindahan panas pada fluida nano.
Konduktivitas termal fluida nano yang dimodelkan oleh Jang
dan Choi [6] didefinisikan sebagai berikut

k eff k f 1 k p C1

df
k f Re 2p Pr
dp

dimana = 0,01 adalah konstanta yang terkait dengan


resistansi Kapitza per satuan luas, C1 = 18 x 106, dp adalah
diameter partikel nano, dan df adalah diameter molekul fluida

Energi III-26

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

dasar. Bilangan Reynolds Rep dan kecepatan random partikel

nano C RM ditentukan degan Persamaan 5 dan 6.

Re p CRM

CRM

dp

Do
lf

f adalah viskositas kinematik fluida dasar, lf adalah jarak


bebas rerata (mean free path) molekul fluida dasar, dan
Do
koefisien
difusi
didefinisikan
sebagai

dimana kB adalah konstanta Boltzman,


D o k BT 3 f d p
T adalah temperatur fluida nano, dan f adalah viskositas
dinamik fluida dasar. Mean free path dan diameter molekul air
sebagai fluida dasar yang digunakan dalam perhitungan model
adalah masing-masing 0,738 nm dan 0,384 nm.

k pe

2 (1 ) 1 1 2
3

(1 ) 1 1 2
3

kp

dimana = klr/kp adalah perbandingan antara konduktivitas


termal nanolayer (klr) dengan konduktivitas termal partikel
nano (kp).
Dua parameter penting nanolayer, yaitu ketebalan dan
konduktivitas termal, ditentukan masing-masing 1 mm and
2kf. Berdasarkan sejumah penelitian, tebal nanolayer berkisar
pada rentang jarak atomik yang kecil, yaitu 1-2 nm [12,13].
Konduktivitas termal partikel ZrO2 dan air, masing-masing
sekitar 2 W/mK dan 0,613 W/mK. Dalam makalah ini, nilai
konduktivitas termal nanolayer diasumsikan sebesar 2kf.
B. Model Dinamik
Mekanisme perpindahan panas yang diusulkan pada model
dinamik dalam makalah ini adalah konveksi nano sebagi efek
dari gerak Brownian partikel nano. Konveksi dianggap terjadi
di sekitar partikel nano yang bergerak dengan gerak Brownian.
Konveksi tersebut akan meningkatkan efektivitas transfer
energi antara partikel nano dan molekul fluida dasar. Fluks
"

E. Model Corcione
Corcione [14] mengusulkan suatu korelasi (Persamaan 7)
untuk memprediksi konduktivitas termal efektif fluida nano
berdasarkan sejumlah data eksperimen yang tersedia di
literatur. Korelasi ini berlaku untuk diameter partikel nano 10
150 nm, fraksi volume 0,0020,09, dan temperatur 294324
K. Data eksperimen fluida nano yang digunakan terdiri dari
partikel nano Al2O3, TiO2, Cu, dan CuO yang tersuspensi
dalam air atau etilen glikol.

T
k eff
1 4.4 Re 0.4 Pr 0.66
kf
Tfr

10

kp

kf

A. Model Statik
Model statik yang dikembangkan dalam makalah ini
direpresentasikan dengan model Maxwell yang dimodifikasi
oleh Yu dan Choi [3] untuk memasukkan pengaruh nanolayer
sebagaimana diberikan pada Persamaan 8

k eff

k pe 2 k f 2 k pe k f 1
k pe 2 k f

pe

kf

q " h Tp Tf

dimana h adalah koefisien perpindahan panas, Tp adalah


temperatur partikel nano, dan Tf adalah temperatur molekul
fluida dasar. Persamaan 10 dapat dinyatakan dalam bentuk
lain berikut ini

0.66

III. PEMODELAN TEORITIK KONDUKTIVITAS TERMAL FLUIDA


NANO

0.03

Tfr adalah titik beku fluida dasar dan bilangan Reynolds


didefinisikan sebagai Re 2 f k BT f2 d p

panas q yang ditimbulkan akibat dari konveksi skala nano


tersebut diformulasikan sebagai berikut

k f

dimana kpe adalah konduktivitas termal ekivalen partikel


nano dan = a/rp adalah perbandingan ketebalan
nanolayer a terhadap jari-jari partikel nano rp. Nilai kpe
ditentukan dengan Persamaan 9

q " h

dT
l
dx

dimana l adalah panjang karakteristik konveksi nano.


Dari persamaan 11, kontribusi proses konveksi nano
terhadap konduktivitas termal fluida nano dapat diturunkan
sebagai berikut

k nc hl

Panjang karakteristik konveksi nano didefinisikan sebagai


ketebalan lapisan batas termal yang nilainya juga proporsional
dengan ketebalan lapisan batas hidrodinamik H. Mengacu
pada asumsi Jang dan Choi [6], tebal lapisan batas
hidrodinamik pada partikel nano yang bergerak akan
proporsional dengan ketebalan nanolayer. Asumsi ini
didasarkan pada fakta bahwa molekul-molekul fluida dasar
pada struktur nanolayer melekat pada permukaan partikel
nano dan mempunyai kecepatan yang jauh lebih rendah
daripada molekul-molekul fluida dasar pada bulk liquid. Jadi,
tebal lapisan batas termal dapat didefinisikan sebagai berikut

Energi III-27

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

H
a

Pr Pr

Jika model teoritik konveksi nano yang sudah ada


menggunakan korelasi perpindahan panas konveksi untuk
aliran seragam pada sebuah bola dalam rezim Stokes atau
korelasi perpindahan panas partikel-ke-cairan pada fluidized
bed, bilangan Nusselt partikel nano yang digunakan dalam
model yang dirumuskan pada makalah ini menggunakan
korelasi perpindahan panas konveksi paksa berikut ini

hd p

Nu

kf

Re p Prf
m

dimana Prf adalah bilangan Prandtl fluida dasar dan bilangan


Reynolds partikel nano didefinisikan dengan

Re p

vdp
f

dengan v adalah kecepatan rerata partikel nano. Berdasarkan


Persamaan 14, koefisien perpindahan panas konveksi h
diperoleh sebagai berikut

kf
m
n
Re p Prf
dp

Dengan demikian, formula konduktivitas termal sebagai efek


dari konveksi nano dapat dinyatakan dengan

k nc C k f

a
m
n'
Re p Pr f
dp

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


Penerapan model teoritik terhadap data eksperimental
fluida nano ZrO2-air [15] memberikan nilai konstanta C, m,
and n , masing-masing sekitar 25, 0.04, dan 1. Model baru
menunjukkan kesesuaian yang baik dengan data eksperimen
hingga rentang konsentrasi 2,5 % volume (lihat Gambar 1).
Pada konsentrasi partikel yang lebih tinggi (> 2,5 % volume),
data eksperimen menunjukkan ketidaklinieran dengan data
eksperimen. Ketidaklinieran tersebut bisa disebabkan oleh dua
faktor, yaitu faktor karakteristik fluida nano ZrO2-air terkait
dengan sifat-sifat termofisiknya dan faktor aglomerasi yang
tidak teramati selama penelitian berlangsung.
Gambar 1 menunjukkan bahwa model Maxwell dan
model-model teoritik lain, kecuali model Corcione,
memberikan nilai konduktivitas termal yang lebih rendah
daripada data eksperimen. Model Corcione memberikan
prediksi yang jauh melampaui data eksperimen karena model
tersebut dikembangkan berdasarkan sejumlah data eksperimen
di literatur yang tidak mencakup data eksperimen fluida nano
ZrO2-air.
Gambar 1 juga menunjukkan bahwa konduktivitas termal
fluida nano meningkat ketika konsentrasi partikel nano
meningkat, kecuali pada model Jang-Choi. Karakteristik
hubungan antara konduktivitas termal fluida nano dan
konsentrasi patikel yang dihasilkan dari model Jang-Choi
berlawanan dengan hasil penelitian secara umum. Model ini
juga memberikan nilai konduktivitas termal fluida nano ZrO2air yang jauh lebih rendah daripada data eksperimen Rea dkk.
[15]. Model Jang-Choi mengandung konstanta empiris yang
nilainya ditentukan berdasarkan sejumlah data eksperimen
yang meliputi fluida nano Al2O3+air, Al2O3+EG, CuO+air,
CuO+EG, dan Cu+EG. Tidak ada satupun data eksperimen
fluida nano ZrO2-air yang terlibat dalam penentuan nilai
konstanta empiris pada model Jang-Choi. Selain itu, pada
model Jang-Choi terdapat konsep kecepatan gerak acak
(random motion velocity) yang masih memerlukan validasi
untuk kebenarannya.

dimana C, m, dan n adalah konstanta-konstanta empiris.


Akhirnya, konduktivitas termal efektif fluida nano dapat
dirumuskan dengan menjumlahkan Persamaan 8 dan 17.

eff

k static k nc

Model teoritik yang telah dikembangkan ini divalidasi


dengan data pengukuran konduktivitas termal fluida nano
ZrO2-air yang tersedia di literatur [15] berikut ini

eff

,T kf T 1 2.4505 29.867 2

Gambar 1. Komparasi data eksperimen konduktivitas termal fluida


nano ZrO2-air dengan model baru dan model-model teoritik yang
sudah ada

Persamaan 19 berlaku pada rentang temperatur 20C < T <


80C dengan konsentrasi volume hingga 3%. Ukuran partikel
zirkonia yang digunakan adalah sekitar 50 nm.

Penelitian ini membuktikan bahwa konveksi nano


memberikan kontribusi yang besar terhadap peningkatan
konduktivitas termal fluida nano. Meski demikian, fenomena
konveksi nano masih memerlukan investigasi lebih lanjut dan
validasi secara eksperimental untuk menghilangkan kontroversi

Energi III-28

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

atas kebenaran konsep tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan


lebih banyak lagi data eksperimen konduktivitas termal fluida
nano ZrO2-air dalam rangka meningkatkan akurasi model yang
dikembangkan. Selain itu, model baru juga memerlukan
pengembangan lebih lanjut untuk dapat mengakomodir
ketidaklinieran karakteristik hubungan antara konduktivitas
termal fluida nano dengan fraksi volume partikel.
V. KESIMPULAN
Model teoritik untuk memprediksi konduktivitas termal
fluida nano ZrO2-air telah dikembangkan dengan
menggabungkan model statik yang memperhitungkan pengaruh
nanolayer dan model dinamik yang memperhitungkan
pengaruh konveksi nano sebagai mekanisme perpindahan
panas penting yang terjadi dalam suatu sistem fluida nano.
Keterbatasan data eksperimen konduktivitas termal fluida
nano ZrO2-air yang tersedia mengurangi validitas model yang
dikembangkan. Model baru masih memerlukan pengembangan
lebih lanjut agar dapat memberikan prediksi nilai konduktivitas
termal yang sesuai dengan data eksperimen fluida nano ZrO2air pada tingkat konsentrasi yang lebih tinggi (> 2,5 %
volume).

[12] R. Prasher, P. Bhattacharya dan P.E. Phelan, Brownian-motionbased convective-conductive model for the effective thermal
conductivity of nanofluids, Journal of Heat Transfer, vol. 128,
pp. 588-595, 2006.
[13] H. Xie, M. Fujii dan X. Zhang, Effect of interfacial nanolayer
on the effective thermal conductivity of nanoparticle-fluid
mixture, International Journal of Heat and Mass Transfer, vol.
48, pp. 292632, 2005.
[14] M. Corcione, Empirical correlating equations for predicting the
effective thermal conductivity and dynamic viscosity of
nanofluids, Energy Conversion and Management, vol. 52, pp.
789-793, 2011.
[15] U. Rea, T. McKrell, L. Hu dan J. Buongiorno, Laminar
convective heat transfer and viscous pressure loss of aluminawater and zirconia-water nanofluids, International Journal of
Heat and Mass Transfer, vol. 52, pp. 2042-48, 2009.

DAFTAR PUSTAKA
[1] M. Chandrasekar, S. Suresh, dan T. Senthilkumar, Mechanisms
proposed through
experimental
investigations
on
thermophysical properties and forced convective heat transfer
characteristics of various nanofluids A review, Renewable
and Sustainable Energy Reviews, vol. 16, pp. 3917-38, 2012.
[2] S. Kakac dan A. Pramuanjaroenkij, Review of convective heat
transfer enhancement with nanofluids, International Journal of
Heat and Mass Transfer vol. 52, pp. 3187-96, 2009.
[3] W. Yu dan S.U.S. Choi, The role of interfacial layers in the
enhanced thermal
conductivity
of
nanofluids:
A
renovated maxwell model, J. Nanoparticle Research, vol. 5, pp.
167-171, 2003.
[4] K.C. Leong, C. Yang dan S.M.S. Murshed, A model for the
thermal conductivity of nanofluids the effect of interfacial
layer, J. Nanoparticle Research, vol. 8, pp. 245-254, 2006.
[5] Q. Xue dan W.M. Xu, A model of thermal conductivity of
nanofluids with interfacial shells, Materials Chemistry and
Physics, vol. 90, pp. 298301, 2005.
[6] S.P. Jang dan S.U.S. Choi, Effects of various parameter on
nanofluid thermal conductivity, Journal of Heat Transfer, vol.
129, pp. 617-623, 2007.
[7] J.J. Wang, R.T. Zheng, J.W. Gao dan G. Chen, Heat
conduction mechanisms in nanofluids and suspensions, Nano
Today, vol. 7, pp. 124-136, 2012.
[8] L. Wang dan J. Fan, Toward nanofluids of ultra-high thermal
conductivity, Nanoscale Research Letters, vol. 6, pp. 153,
2011.
[9] D. Hidayanti, N.P. Tandian, A. Suwono dan E. Umar,
Investigation on modelling of thermal
conductivity
of
zirconia-water based nanofluids, Proc. of the 3rd Int. Energy
Conf. of Applied Science for
Technology
Application
ASTECHNOVA 2014, Yogyakarta, Indonesia, 13-14 Agustus
2014.
[10] S.P. Jang dan S.U.S. Choi, Role of Brownian motion in the
enhanced thermal conductivity of nanofluids, Applied Physics
Letters, vol. 84, pp. 4316-18, 2004.
[11] H.E. Patel, T. Sundararajan, T. Pradeep, A. Dasgupta, N.
Dasgupta dan S.K. Das, A micro-convection model for thermal
conductivity of nanofluids, Pramana-Journal of Physics, vol. 65,
pp. 863-869, 2005.

Energi III-29

Proceeding of International Symposium on Smart Material and Mechatronics

Efisiensi Alat Pengering Gabah Dengan


Menggunakan Kolektor Sekunder
Doddy Suanggana
Teknik Mesin
Universitas Kristen Indonesia Paulus
Makassar, Indonesia
doddysuanggana@yahoo.co.id
AbstractPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui
efisiensi termal alat pengering gabah dengan penambahan
kolektor sekuder sesudah alat pengering. Penelitian ini
dilakukan di Laboratorium Energi Terbarukan Jurusan
Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin
Makassar. Metode yang digunakan adalah dengan
membuat sebuah kolektor sekunder sesudah alat
pengering dengan seng plat 0.2 mm sebagai penyerap
dengan menggunakan tenaga matahari untuk memanaskan
udara sebagai media pengering. Alat ini, diharapkan dapat
mengeringkan gabah lebih cepat dan tingkat kekeringan
(kandungan air) yang merata jika dibandingkan dengan
alat tanpa menggunakan kolektor sekunder. Pada
penelitian ini dilakukan 3 variasi ketebalan gabah yaitu 7
cm, 5 cm, dan 3 cm dengan berat masing-masing 7 kg, 4.5
kg dan 2.5 kg. Data-data yang diperoleh kemudian
dianalisis untuk mendapatkan efisiensi dari alat pengering.
Hasil penelitian menunjukan bahwa waktu yang
diperlukan untuk menurunkan kadar air gabah panen
dari 24,75% menjadi kadar air gabah kering giling
13.43% 13,82% adalah 3 jam 5.5 jam dengan efisiensi
9.88% - 44.96% untuk alat yang menggunakan kolektor
sekunder dan 4 jam 6.5 jam dengan efisiensi 8.65% 33.72% pada alat tanpa menggunakan kolektor sekunder.
Kata kunciGabah, efisiensi,
sekunder, pengeringan.

kadar

air,

kolektor

I. PENDAHULUAN
Pengolahan hasil pertanian padi (gabah) menggunakan
teknologi lama (teknologi turun temurun). Proses pengolahan
gabah menjadi beras diawali dari penjemuran dengan
menggunakan cahaya matahari. Proses ini membutuhkan
waktu tiga hari supaya dapat diolah menjadi beras. Pada
proses pengeringan gabah para petani sering mengalami
kesulitan karena cuaca tidak panas (musim hujan) dan dapat
memperlama proses produksi beras. Dalam hal ini proses
pengeringan gabah merupakan salah satu faktor penentu
kualitas beras. Hal ini dikarenakan gabah pada awalnya dalam
keadaan basah dan harus dikeringkan terlebih dahulu agar
kadar airnya sesuai dengan standar yang disesuaikan yakni (1)
gabah kering panen (GKP), gabah yang mengandung kadar air
lebih besar dari 18% tetapi lebih kecil atau sama dengan 25%
(18%<KA<25%), hampa/kotoran lebih besar dari 6% tetapi
lebih kecil atau sama dengan 10% (6%<HK<10%), butir
hijau/mengapur lebih besar dari 7% tetapi lebih kecil atau sama

dengan 10% (7%<HKp<10%), butir kuning/rusak maksimal 3%


dan butir merah maksimal 3%, (2) gabah kering simpan (GKS),
adalah gabah yang mengandung kadar air lebih besar dari 14%
tetapi lebih kecil atau sama dengan 18% (14%<KA<18%),
kotoran/hampa lebih besar dari 3% tetapi lebih kecil atau sama
dengan 6% (3%<HK<6%), butir hijau/mengapur lebih besar
dari 5% tetapi lebih kecil atau sama dengan 7%
(5%<HKp<7%), butir kuning/rusak maksimal 3% dan butir
merah maksimal 3%, (3) gabah kering giling (GKG), adalah
gabah yang mengandung kadar air maksimal 14%,
kotoran/hampa maksimal 3%, butir hijau/mengapur maksimal
5%, butir kuning/rusak maksimal 3% dan butir merah maksimal
3% [5].
Melihat kasus yang dialami oleh petani dalam
mengeringkan gabah, penulis akan membuat sebuah alat
pengering gabah yang nantinya akan meneliti proses
pengeringan gabah sampai dapat diolah menjadi beras dalam
waktu yang lebih cepat. Ada beberapa alat pengering gabah
yang sudah dibuat oleh peneliti sebelumnya, diantaranya Zuhri
Tamam (2005), melakukan penelitian perancangan mesin
pengering tipe aliran campur (mixed-flow dryer) kapasitas 10
ton/proses. Dia memperoleh hasil waktu pengeringan 6 jam 43
menit dengan laju aliran 40 menit dan temperatur udara panas
75 90 0C. Cleryel Cahyono (2007), merancang dan membuat
sebuah alat pengering gabah dengan tenaga matahari. Dari
hasil perencanaan alat pengering gabah, bahan yang digunakan
adalah plat aluminium 0,5 mm, dengan ukuran alat pengering
(700 500) mm, dengan kapasitas gabah yang dikeringkan 10
kg. Dari hasil perencanaan ini didapatkan gabah dengan
persentase kadar air 8-13.4% dalam waktu 5 jam dan massa
gabah setelah dikeringkan 8.6 kg. Rahmat Altin dan Syahrir
(2010), merancang dan membuat sebuah alat pengering gabah
dengan tungku sekam sebagai pemanas udara kamar pengering.
Dari hasil perencanaan alat pengering gabah, bahan yang
digunakan adalah plat seng 0.3 mm, dengan ukuran alat
pengering 1350 600 mm dan ukuran rak pengering 500 500
70 mm, dengan kapasitas gabah yang dikeringkan 7.5 kg.
Dari hasil perencanaan ini didapatkan gabah dengan persentase
kadar air 12-14 % dalam waktu 4.16 jam dan massa gabah
setelah dikeringkan 6.55 kg. Selyus Rantepulung (2012),
merancang dan membuat alat pengering gabah (tray dryer)
dengan pelat seng dengan tebal 0,2 mm sebagai kolektor
dengan menggunakan udara panas dan tenaga matahari sebagai
media pengering. Ukuran alat pengering yang digunakan yakni
500 500 mm. Alat ini dapat mengeringkan gabah dengan
cepat dan tingkat kekeringan (kandungan air) yang merata.

Energi III-30

Proceeding of International Symposium on Smart Material and Mechatronics

Pada penilitian ini dilakukan variasi ketebalan gabah yaitu : 7


cm, 5 cm, dan 3 cm dengan masing-masing berat 7 kg, 4.5 kg,
dan 2.5 kg. Dari hasil penilitian didapatkan waktu pengeringan
untuk menurunkan kadar air gabah dari 24.6% menjadi 13.5
13.8% dibutuhkan waktu 4 6.5 jam dengan efisiensi rata-rata
12.07 22.16% untuk alat yang menggunakan cerobong dan
3.5 6 jam dengan efisiensi rata-rata 11.18 21.49% untuk
alat yang menggunakan kipas [6].
II. LANDASAN TEORI
A. Pengeringan Gabah
Pengeringan gabah adalah suatu perlakuan yang bertujuan
menurunkan kadar air panen 22-26 % menjadi gabah kering
giling kadar air 12 - 14 % sehingga gabah dapat disimpan
lama, kemungkinan berkembang biaknya serangga dan
mikroorganisme seperti jamur dan bakteri, daya kecambah
dapat dipertahankan, mutu gabah dapat dijaga tetap baik (tidak
berkecambah dan tidak berjamur), memudahkan proses
penggilingan dan untuk meningkatkan randemen serta
menghasilkan beras gilingan yang baik. Selain itu pengeringan
juga dimaksudkan untuk menghindari aksi-aksi enzim yang
terdapat pada kulit atau biji-bijian gabah. Aksi enzim ini dapat
menyebabkan pembusukan dan penghancuran yang
menyebabkan penurunan kualitas hasil panen [5].
Gabah memiliki 2 (dua) komposisi utama yaitu air dan
gabah itu sendiri. Banyaknya air yang dikandung dalam gabah
disebut kadar air dan dinyatakan dengan persen (%).
Pengeringan dilakukan karena kadar air gabah panen
umumnya masih tinggi yaitu 22% - 26% tergantung cuaca
pada saat panen. Pengeringan harus sesegera mungkin dimulai
sejak saat dipanen. Apabila pengeringan tidak dapat
dilangsungkan, maka usahakan agar gabah yang masih basah
tidak ditumpuk tetapi ditebarkan untuk menghidarkan dari
kemungkinan terjadinya proses fermentasi. Pengeringan akan
semakin cepat apabila ada pemanasan, perluasan permukaan
gabah padi dan aliran udara. Adapun tujuan pengeringan
disamping untuk mengurangi biaya transportasi juga untuk
menurunkan kadar air dari 22 26% menjadi 14%, agar dapat
disimpan lebih lama serta menghasilkan beras yang
berkualitas baik [2]. Proses pengeringan gabah sebaiknya
dilakukan secara merata, perlahan-lahan dengan suhu yang
tidak terlalu tinggi. Pengeringan yang kurang merata, akan
menyebabkan timbulnya retak-retak pada gabah dan
sebaliknya gabah yang terlalu kering akan mudah pecah
tatkala digiling. Sedangkan dalam kondisi yang masih terlalu
basah disamping sulit untuk digiling juga kurang baik ditinjau
dan segi penyimpanannya karena akan gampang terserang
hama gudang, cendawan dan jamur.
Alat pengering gabah merupakan suatu alat yang terdiri
dari beberapa komponen yang dapat mengeringkan gabah
hasil panen tanpa menjemur secara langsung di bawah sinar
matahari. Alat pengering tersebut mempunyai beberapa
keuntungan diantaranya terjamin kebersihan dan kualitas
bahan yang dikeringkan.
B. Metode Pengeringan
1. Pengeringan alami
Pengeringan alami dengan menjemur atau menganginanginkan, yang dilakukan antara lain dengan :

a.
b.
c.
d.
e.

Pengeringan di atas lantai (lamporan)


Pengeringan di atas rak
Pengeringan dengan ikatan-ikatan ditumpuk
Pengeringan dengan ikatan-ikatan yang diberdirikan
Pengeringan dengan memakai tonggak.
Penjemuran gabah pada lantai jemur (lamporan) adalah
cara pengeringan gabah secara alami yang praktis, murah,
sederhana dan umum digunakan oleh para petani. Energi
untuk penguapan diperoleh dari angin dan sinar matahari.
Lamporan harus bersih agar gabah padi yang dikeringkan
tidak kotor. Lamporan haruslah memenuhi berbagai syarat
antara lain tidak menimbulkan panas yang terlalu tinggi,
mudah dibersihkan dan dikeringkan, tidak basah sewaktu
digunakan, dan tidak berlubang-lubang. Lamporan pada
umumnya dibuat dari semen, permukaannya agak miring dan
bergelombang dengan maksud agar air tidak menggenang,
mudah dikeringkan dan permukaannya menjadi lebih luas.
Cara penjemuran gabah dihamparkan di lamporan setipis
mungkin, namun untuk efisiensi dan mengurangi pengaruh
lantai semen yang terlalu panas maka tebal lapisan dianjurkan
sekitar 5 - 7 cm. Padi harus sering dibolak-balik secara merata
minimal 2 jam sekali. Pengeringan padi dapat dilakukan
selama 1 - 3 hari tergantung dari cuaca (mendung atau terik
matahari). Penjemuran sebaiknya dilakukan di tempat yang
bebas menerima sinar matahari, bebas banjir dan bebas dari
gangguan unggas dan binatang pengganggu lainnya,
penjemuran sebaiknya dilakukan dari pukul 07.00 - 16.00 atau
tergantung pada intensitas panas sinar matahari. Apabila
penjemuran selesai dan gabah tidak akan segera dikemas serta
disimpan dalam gudang, sebaiknya tumpukan gabah ditutup
dengan plastik atau zeng agar terhindar dari embun maupun
hujan. Pengeringan secara alami mempunyai kelemahan antara
lain :
a. Memerlukan banyak tenaga kerja untuk menebarkan,
membalik dan mengumpulkan kembali.
b. Sangat bergantung pada cuaca, sehingga padi tidak dapat
dikeringkan apabila cuaca buruk, terlebih apabila hujan
datang pada saat sedang menjemur.
c. Memerlukan lahan yang luas untuk jumlah gabah padi
yang banyak dan lahan yang dijadikan lamporan semen
tidak dapat lagi dipergunakan untuk beberapa keperluan
lain.
d. Sulit mengatur suhu dan laju pengeringan, sehingga
banyak butir retak apabila terlalu panas seperti
pengeringan di atas semen atau alas logam.
2. Pengeringan buatan
Pengeringan buatan mempunyai kelebihan dibanding
pengeringan alami yaitu waktu penjemuran yang lebih
singkat dan gabah yang dijemur lebih bersih dan terlindung
dari debu, hujan dan lain-lain. Pengering buatan bermacammacam, ada yang menggunakan listrik, matahari, bahan bakar
sekam dan lain-lain.
Pengeringan buatan dapat menggunakan udara
dipanaskan. Udara yang dipanaskan tersebut dialirkan ke bahan
yang akan dikeringkan dengan menggunakan alat penghembus
fan [8]
Pengeringan dengan menggunakan alat mekanis
(pengeringan buatan) yang menggunakan tambahan panas
memberikan beberapa keuntungan diantaranya tidak tergantung

Energi III-31

Proceeding of International Symposium on Smart Material and Mechatronics

cuaca, kapasitas pengeringan dapat dipilih sesuai dengan yang


diperlukan, tidak memerlukan tempat yang luas, serta kondisi
pengeringan dapat dikontrol.
Pengeringan mekanis ini memerlukan energi untuk
memanaskan alat pengering, mengimbangi radiasi panas yang
keluar dari alat, memanaskan bahan, menguapkan air bahan
serta menggerakkan udara [4]. Alat pengering buatan pada
umumnya terdiri dari tenaga penggerak dan kipas, unit
pemanas (heater) serta alat-alat kontrol. Sebagai sumber tenaga
untuk mengalirkan udara penggerak dapat digunakan motor
bakar atau motor listrik.

pengeringan dibagi dengan energi termal yang tersedia untuk


pengeringan [4] :
(%)
IV. ANALISIS MODEL DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Hasil Perhitungan Dan Pembahasan
TABEL 1. Waktu Yang Diperlukan Untuk Mengeringkan Gabah
Tebal Gabah

III. METODE PENELITIAN

(cm)

A. Tempat Penelitian
1. Bengkel Isjar, Manuruki, Makassar sebagai tempat
pembuatan alat pengering gabah.
2. Laboratorium Energi Terbarukan Jurusan Teknik Mesin
Fakultas Teknik Universitas Hasauddin, Makassar sebagai
tempat pengambilan keseluruhan data berupa kadar air
gabah, temperatur untuk setiap titik-titik pengukuran,
tekanan udara, intensitas matahari, massa gabah.
B. Rumus Yang Digunakan
1. Penurunan kadar air gabah
Kandungan air suatu bahan dapat dinyatakan dalam wet
basis (basis basah) atau dry basis (basis kering). Kandungan
kelembaban dalam wet basis menyatakan perbandingan
massa air dalam bahan dengan massa total bahan. Persentase
kadar air dari sampel bahan berdasarkan basis basah sesuai
dengan persamaan [8]:
wd
(1)
M
100%
w
2. Massa udara kering
Pengujian dilakukan untuk mengetahui berpa banyak
massa udara kering yang digunakan dalam proses pengeringan
[8]:
ma = a x t x 3.600 (kg)
(2)
3. Massa air yang diuapkan
Selama proses pengeringan, temperatur bola kering
berkurang sedangkan kelembaban absolut dan kelembaban
relatif bertambah, temperatur bola basah dan entalpi tetap, dari
diagram psikrometrik juga bisa didapatkan jumlah massa air
yang diuapkan dan dapat dihitung dengan persamaan berikut
[8]:
mw = ma (2 - 1) (kg)
(3)

4. Efisiensi alat pengering


Efisiensi sistem pengeringan matahari dapat dievaluasi
berdasarkan kinerja termal atau tingkat pengeringan produk.
Efisiensi termal dari pengering tenaga surya dapat
didefinisikan sebagai energi termal digunakan untuk

(4)

Waktu pengeringan (jam)


Tanpa kolektor

Dengan kolektor

sekunder

sekunder

4.0

5.5

4.5

6.5

5.5

Dari tabel 1 terlihat bahwa waktu pengeringan (t)


berbanding lurus dengan ketebahan gabah, dimana semakin
tebal gabah yang akan dikeringkan maka semakin lama pula
waktu yang digunakan untuk mengeringkan gabah sampai
kadar air gabah kering giling 12 14 %. Hal ini disebabkan
karena gabah yang tebal mengandung lebih banyak uap air
dibandingkan dengan gabah yang ketebalannya lebih kecil
sehingga dibutuhkan waktu lebih banyak untuk mengeringkan
gabah yang mempunyai ketebalan yang lebih besar.
TABEL 2. Kadar Air Gabah Sebelum Dan Sesudah Pengeringan
Tanpa kolektor sekunder
Tebal Gabah
(cm)

3
5
7

Dengan kolektor
sekunder

Kadar air
awal, Mi
(%)

Kadar air
akhir, Mf
(%)

Kadar air
awal, Mi
(%)

Kadar air
akhir, Mf
(%)

24.60
24.60
24.60

13.70
13.80
13.70

24.75
24.75
24.75

13.43
13.69
13.82

B. Analisis Hasil Perhitungan Dan Pembahasan


Dari gambar 1 hubungan antara prosentase kadar air (M)
dengan waktu pengeringan (t) dimana semakin besar waktu
yang digunakan dalam pengeringan maka prosentase kadar air
dari gabah semakin kecil baik untuk ketebalan 7 cm, 5 cm
maupun 3 cm. Hal ini disebabkan karena adanya penguapan
yang terjadi pada gabah. Pada saat t = 0 (jam 08.30), gabah
belum mengalami proses pengeringan, dimana kadar air gabah
masih tinggi (24.75%). Pengeringan gabah bertujuan untuk
menurunkan kadar air gabah dari 24.75 % menjadi 12-14%
(Standar Bulog). Dari grafik terlihat bahwa semakin lama
waktu yang digunakan maka proses pengeringan akan semakin
lama pula, dimana semakin lama proses pengeringan maka
prosentase kadar air dari gabah akan semakin kecil karena
semakin banyak uap air yang menguap dari gabah akibat
adanya aliran udara panas yang melewati gabah

Energi III-32

Proceeding of International Symposium on Smart Material and Mechatronics

oleh aliran udara yang melalui gabah. Pada awal pengeringan


terlihat grafik agak landai pada kondisi ini air yang diuapkan
dari gabah baru sedikit kemudian akan meningkat setelah 2
sampai 5 jam seiring dengan bertambahnya waktu dan
temperatur udara pengering sampai mencapai kadar air gabah
kering giling (12% - 14%). Pada proses pengeringan gabah
tanpa menggunakan kolektor sekunder untuk waktu
pengeringan 4 jam pada tebal gabah 3 cm massa air yang
diuapkan sebesar 0.3544 kg sedangkan proses pengeringan
gabah 5.5 jam untuk tebal 5 cm massa air yang diuapkan
sebesar 0.6985 kg dan proses pengeringan gabah 6.5 jam
untuk tebal 7 cm massa air yang diuapkan sebesar 0.8905 kg.

Gambar 1. hubungan antara kadar air gabah dengan waktu


pengeringan

Pada gambar 2. Hubungan antara massa udara pengering


dengan waktu pengeringan. Pada grafik terlihat bahwa
semakin lama waktu yang digunakan untuk menurunkan
prosentase kadar air dari gabah maka massa udara yang
digunakan juga semakin besar. Hal ini disebabkan karena
semakin lama waktu pengeringan yang dibutuhkan untuk
menurunkan persentase kadar air gabah dari 24.75 % menjadi
12-14% (Standar Bulog), maka akan semakin banyak air yang
diuapkan dari gabah sehingga semakin banyak pula massa
udara yang digunakan untuk menguapkan air tersebut. Pada
proses pengeringan gabah tanpa menggunakan kolektor
sekunder untuk waktu pengeringan 4 jam pada tebal gabah 3
cm dibutuhkan massa udara pengering sebesar 130.4046 kg
sedangkan proses pengeringan gabah 5.5 jam untuk tebal 5 cm
dibutuhkan massa udara pengering sebesar 168.82 kg dan
proses pengeringan gabah 6.5 jam untuk tebal 7 cm
dibutuhkan massa udara pengering sebesar 202.286 kg.

Gambar 2. hubungan antara massa udara pengering dengan


waktu pengeringan

Hal yang sama juga didapatkan pada proses pengeringan


dengan menggunakan kolektor sekunder di mana untuk
pengeringan 3 jam tebal gabah 3 cm dibutuhkan massa udara
sebesar 100.347 kg sedangkan proses pengeringan gabah 4.5
jam untuk tebal 5 cm dibutuhkan massa udara pengering
sebesar 159.586 kg dan proses pengeringan gabah 5.5 jam
untuk tebal 7 cm dibutuhkan massa udara pengering sebesar
196.2322 kg, jadi terjadi peningkatan massa udara pengering
Dari gambar 3. hubungan antara massa air yang diuapkan
terhadap waktu pengeringan. Terlihat bahwa semakin besar
waktu yang digunakan untuk menurunkan persentase kadar air
dari gabah maka massa air yang diuapkan juga semakin besar.
Hal ini disebabkan karena semakin lama waktu pengeringan
yang dibutuhkan untuk menurunkan persentase kadar air gabah
dari 24.75 % menjadi 12-14% (Standar Bulog), maka semakin
banyak pula massa air yang menguap dari gabah dalam proses
pengeringan karena adanya energi atau panas yang dibawah

Gambar 3. hubungan antara massa air yang diuapkan dengan


waktu pengeringan

Hal yang sama juga didapatkan pada proses pengeringan


yang menggunakan kolektor sekunder dimana untuk
pengeringan 3 jam pada tebal gabah 3 cm massa air yang
diuapkan sebesar 0.38025 kg sedangkan proses pengeringan
gabah 4.5 jam untuk tebal 5 cm massa air yang diuapkan
sebesar 0.76009 kg dan proses pengeringan gabah 5.5 jam
untuk tebal 7 cm massa air yang diuapkan sebesar 0.9552 kg,
jadi terjadi peningkatan massa air yang diuapkan seiring
dengan bertambahnya ketebalan gabah yang dikeringkan.
Dari gambar 4. Hubungan antara efisiensi termal alat
pengering terhadap waktu pengeringan. Terlihat bahwa
efisiensi alat pengering akan naik seiring dengan bertambahnya
waktu pengeringan hal ini disebabkan karena semakin
tingginya temperatur udara yang masuk ke ruang pengering
akibat bertambahnya intensitas cahaya matahari yang diterima
oleh kolektor sehingga akan meningkatkan laju aliran massa
udara yang masuk ke ruang pengering karena semakin
besarnya perbedaan densitas udara luar dengan udara dalam
ruang pengering. Pada kondisi ini energi panas yang dibawa
oleh udara akan semakin besar pula sehingga akan semakin
banyak air yang diuapkan dari gabah sampai dicapai efisiensi
tertinggi kemudian akan turun kembali seiring dengan
bertambahnya waktu pengeringan sampai dicapai kadar air
gabah kering giling yaitu 12% 14%. Pada kondisi ini energi
panas yang dibawa oleh udara tidak lagi dimanfaatkan secara
maksimal untuk menguapkan air dari gabah karena kandungan
kadar air gabah semakin kecil sehingga efisiensi akan turun.
Efisiensi terbaik pada pengujian tanpa menggunakan kolektor
sekunder untuk tebal gabah 7 cm dicapai setelah pengeringan
berlangsung selama 4 jam dengan efisiensi 33.72% dan untuk
tebal gabah 5 cm setelah 3.5 jam dengan efisiensi 22.06%
sedangkan tebal 3 cm setelah 3 jam dengan efisiensi 17.42%,
demikian juga pada pengujian yang menggunakan kolektor
sekunder untuk tebal gabah 7 cm dicapai setelah pengeringan
berlangsung selama 3.5 jam dengan efisiensi 44.96% dan untuk

Energi III-33

Proceeding of International Symposium on Smart Material and Mechatronics

tebal gabah 5 cm setelah 3.5 jam dengan efisiensi 32.36%


sedangkan tebal 3 cm setelah 2.5 jam dengan efisiensi 23.57%.
Hal ini disebabkan karena pada jam ini energi atau panas yang
dibawah oleh udara pengering dapat dimanfaatkan secara
maksimal untuk menguapkan air dari gabah dan pada jam ini
alat pengering gabah bekerja secara optimum. Untuk alat
pengering yang menggunakan kolektor sekunder memberikan
efisiensi yang lebih baik dari pada yang tanpa menggunakan
kolektor sekunder karena laju aliran udara panas yang dipakai
dalam proses pengeringan lebih cepat.

Gambar 4. hubungan antara efisiensi termal alat pengering


dengan waktu pengeringan.

V. KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan
1. Alat pengering gabah dengan menggunakan kolektor
sekunder ini mempunyai spesifikasi sebagai berikut :
bahan yang digunakan adalah pelat seng tebal 0,2 mm,
ukuran alat pengering 3100 500 x 1936 mm, ukuran plat
absorber 500 1000 x 0.2 mm, ukuran rak pengering 500
500 80 mm, tebal kaca penutup 20 mm, ukuran saluran
udara masuk masing-masing kolektor 20 x 500 mm,
diameter cerobong 87 mm dengan tinggi 500 mm.
2. Persentase kadar air gabah yang dikeringkan berbanding
terbalik dengan waktu pengering baik untuk alat pengering
yang menggunakan kolektor sekunder maupun yang tanpa
menggunakan kolektor sekunder. Kadar air sebelum
dikeringkan sebesar 24.75% dan sesudah dikeringkan
berkisar antara 13.4% sampai dengan 13.8%. Waktu yang
diperlukan untuk mencapai persentase kadar air gabah
kering giling berbanding lurus dengan ketebalan gabah
baik yang tanpa menggunakan kolektor sekunder yaitu
selama 6.5 jam untuk tebal gabah 7 cm, 5.5 jam untuk tebal
gabah 5 cm dan 4.0 jam untuk tebal gabah 3 cm sedangkan
pada alat yang menggunakan kolektor sekunder yaitu
selama 5.5 jam untuk tebal gabah 7 cm, 4.5 jam untuk tebal
gabah 5 cm dan 3 jam untuk tebal gabah 3 cm. Jadi
pengeringan gabah lebih cepat pada alat yang
menggunakan kolektor sekunder. Dari penelitian ini juga
didapatkan bahwa waktu yang diperlukan oleh alat
pengering yang mennggunakan kolektor sekunder untuk
mengeringkan gabah dari kadar air panen 24.75% sampai
kadar air gabah kering giling 13.4% -13.8 % dibutuhkan
waktu 3 5.5 jam jauh lebih cepat dibandingkan dengan
pengeringan secara alami yang bisa mencapai 2 3 hari.
3. Massa udara pengering yang dibutuhkan selama proses
pengeringan pada alat yang menggunakan kolektor
sekunder lebih sedikit jika dibandingkan dengan alat
pengering tanpa menggunakan kolektor sekunder. Pada

alat pengering yang menggunakan kolektor sekunder untuk


ketebalan 7 cm membutuhkan massa udara pengering
sebesar 196.2322 kg, 159.586 kg untuk ketebalan 5 cm,
dan 100.347 kg untuk ketebalan 3 cm. Sedangkan pada alat
pengering tanpa menggunakan kolektor sekunder untuk
ketebalan 7 cm membutuhkan 202.286 kg, 168.82 kg untuk
ketebalan 5 cm, dan 130.4046 kg untuk ketebalan 3 cm.
Hal ini disebabkan karena laju aliran massa udara
pengering untuk alat pengering yang menggunakan
kolektor sekunder lebih cepat dari alat pengering tanpa
menggunakan kolektor sekunder.
4. Efisiensi termal alat pengering gabah akan meningkat
seiring dengan bertambahnya tebal gabah dimana efisiensi
maksimum diperoleh pada ketebalan gabah 7 cm yaitu
sebesar 44.96% dengan alat yang menggunakan kolektor
sekunder. Sedangkan efisiensi alat pengering tanpa
menggunakan kolektor sekunder yaitu sebesar 33.72%.
Oleh karena itu alat yang menggunakan kolektor sekunder
lebih baik daripada alat tanpa menggunakan kolektor
sekunder. Ini hanya berlaku untuk kondisi pada alat
pengering dengan spesifikasi seperti di atas dan memiliki
kapasitas 8 kg.
B. Saran
1. Untuk aplikasi dapat digunakan alat yang menggunakan
kolektor sekunder dengan membuat kapasitas gabah yang
lebih besar.
2. Untuk pembuatan dan analisis alat berikutnya sebaiknya
dilakukan penambahan rak pengering dan penambahan
tinggi cerobong.
UCAPAN TERIMA KASIH
Kepada bengkel Isjar dalam membantu pembuatan alat
pengering gabah, teman-teman mahasiswa Universitas Kristen
Indonesia Paulus yang membantu dalam proses pengambilan
data penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Duffie, A. John, Beckman, A. William. 1980. Solar
Engineering Of Thermal Processes. Wiley and Sons, New
York, USA.
[2] Dirk E. Maier, Fred W. Bakker-Arkema. 2002. Grain Drying
Systems. St. Charles, Illinois, U.S.A
[3] Holman J.P. 1988. Perpindahan Kalor, 6th Ed, Erlangga,
Jakarta.
[4] M. Mohanraj, P. Chandrasekar. 2009. Performance of a Forced
Convection Solar Drier Integated With Gravel as Heat Storage
Material For Chili Drying, Journal of Engineering and
Technologi, Karunya University, Kucing Serawak.
[5] Noble & Andrizal. Kajian Praktis Penggilingan Padi. 2003.
Deptan. Jakarta.
[6] Selyus R. 2012. Analisa Efisiensi Pengering Gabah Dengan
Tenaga Surya. Makassar : Program Pascasarjana Unhas.
[7] Syukri Himran, 2005. Energi Surya. CV.Bintang
Lamumpatue, Makassar.
[8] Syukri Himran, 2011. Kajian Pada Alat Pengering Gabah
Dengan Tungku Sekam Sebagai Pemanas Udara Pengering.
Mekanika, Jurnal Teknik Mesin dan Industri, Makassar.
[9] Peraturan Menteri Pertanian Selaku Ketua Harian Dewan
Ketahanan Pangan No. 27/Permentan/PP.200/4/2012.

Energi III-34

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

Efektivitas Pembakaran Biopelet Kelapa Sebagai


Energi Bahan Bakar Alternatif Pengganti Minyak
Tanah Ramah Lingkungan
Subtitle as needed (paper subtitle)

Hasanuddin

Idham Halid Lahay

Universitas Negeri Gorontalo


Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik
Gorontalo, Indonesia
name@xyz.com

Universitas Negeri Gorontalo


Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik
Gorontalo, Indonesia
name@xyz.com

Abstract- The coconut pulp and oil-containing biomass can be


converted into an alternative energy fuel that has been having
trouble from the production process. The purpose of this study is
(1) Make a mixture formulations biopelet of coconut pulp and
coconut charcoal and knowing biopelet good combustion
efficiency. (2) Determine the amount of the composition of the best
biopelet derived from coconut pulp mixed formulations and
charcoal. This study, conducted in the laboratory industry
techniques. The method used in this study, using the method of
WBT and completely randomized design (CRD) to determine
efeketifitas biopelet burning and the best formulation. The data
obtained were analyzed in charts and tables, then interpreted
comprehensively. The results showed that formulation B (1: 2) has
a greater caloric value is 6207.50 kcal / kg and the effectiveness of
combustion is 83.37%, and a further 1: 3 efficiency of 77.81% and
a calorific value of 4704.50 kcal / kg, and 1: 1 efficiency 70.03%
and a calorific value of 4308 kcal / kg, whereas the untreated
biopelet have efiensi of 72.40% and a calorific value of 4630 kcal /
kg. The difference is due to differences in the efficiency of
combustion heating value (kcal / kg) contained in the biopelet,
higher heating value contained the higher combustion efficiency
biopeletnya.Biopelet, coconut pulp, alternative energy, calorific
value, burning effectiveness.

menjadi energi. Penggunaan biomassa sudah banyak dilakukan


penelitian seperti briket bungkil jarak pagar, briket sekam padi,
briket kelapa sawit dan sebagainya, tetapi briket tersebut
memilikii kelemahan atau permasalahan bahan diantaranya
bahan yang dibuat briket agak sulit contohnya bungkil jarak
pagar yang masih terbatas dan memiliki musim. Padahal untuk
memenuhi energi alternatif tersebut harus memiliki bahan yang
mudah

didapatkan,

berlimpah,

murah

dan

aman

penggunaannya.
Pemilihan jenis limbah biomassa sebagai sumber energi
alternatif karena ketersediaan bahan yang berlimpah, murah,
serta renewble. Seperti halnya hasil perkebunan kelapa, Kelapa
merupakan komoditas perkebunan yang sering ditemukan di
daerah subtropis dan tropis salah satu contoh di daerah
Gorontalo yang merupakan daerah penghasil kelapa. Menurut

I. PENDAHULUAN

data Badan Investasi Daerah (BID) provinsi Gorontalo tahun

Kebutuhan energi makin meningkat seiring dengan

2011, bahwa jumlah produksi buah kelapa 125,5 juta butir, dan

perkembangan zaman dan pertumbuhan jumlah penduduk,

pemanfaatannya

energi diperlukan untuk kegiatan industri, jasa, perhubungan

pembuatan minyak kelapa, kopra, padahal kelapa memiliki

dan rumah tangga. namun berkurangnya cadangan minyak,

potensi pemanfaatan yang sangat luas, mulai dari kulit, sabut,

penghapusan subsidi menyebabkan harga minyak naik dan

daun, air hingga buah kelapa. Berbagai pemanfaatan

kualitas lingkungan menurun akibat penggunaan bahan bakar

pengolahan kelapa seperti pembuatan santan, minyak kelapa,

fosil yang berlebihan. Seperti halnya yang terjadi saat ini,

yang menyisahkan ampasnya dan apabila dibiarkan begitu saja,

dimana bahan bakar minyak (BBM) makin langka dan

akan memberikan dampak negatif terhadap lingkungan

harganya makin mahal dan secara sosial ekonomi akan


berdampak pada masyarakat sebagai pengguna.

belum

maksimal

hanya

sebatas

pada

Ampas kelapa merupakan biomassa yang berasal dari


zat organik hasil perasan santan yang masih mengandung

Pemerintah mengharapkan adanya energi alternatif lain

lemak yang dapat dikonversi menjadi energi. Oleh karena itu,

yang dapat dimanfaatkan, seperti biomassa yang dikonversi

Energi III- 35

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

dalam penelitian ini, yang dilakukan adalah pemanfaatan

keras sekali, tebalnya 3 6 mm, bagian dalam melekat pada

ampas kelapa secara optimal dengan memfokuskan pada

kulit luar dari biji atau endosperm) ;

Membuat biopelet dari formulasi campuran ampas kelapa dan

endosperm yang tebalnya 8 10 mm (Setyamidjaja, 2008).

putik lembaga atau

arang kelapa dengan mengetahui efisiensi pembakaran

Buah kelapa terdiri dari 33 persen sabut kelapa, 15 persen

biopelet pembuatan biopelet ampas kelapa sebagai energi

tempurung, 30 persen daging buah dan 22 persen air buah

alternatif bahan bakar pengganti minyak tanah yang ramah

kelapa, 34 persen minyak, 3 persen protein, 1.5 persen zat gula

lingkungan.

dan 1 persen zat abu. Sedangkan air kelapa mengandung 2


persen gula, 4 persen zat kering dan zat abu (Setyamidjaja,
2008).

II. Tinjauan Pustaka

Buah kelapa tua yang berumur 11 bulan diperlukan untuk

a) Minyak Tanah
Indonesia merupakan negara penghasil minyak bumi,

membuat kopra dan kelapa parut kering, dan ampas kelapa

yang selama ini dieksplorasi, tetapi karena merupakan minyak

hasil dari perasan kelapa dibuang ke lingkungan

bumi yang nonrewnable. Sehingga cadangan minyak bumi


tersebut makin mahal. Naiknya harga minyak bumi dipasaran
membuat pemikiran untuk mencari alternatif bahan bakar

c) Manfaat Ampas Kelapa


Usaha budidaya tanamam kelapa melauli perkebunan
terutama dilakukan untuk memproduksi minyak kelapa yang

minyak yang rewnable.


Salah satu hasil minyak bumi dari fosil adalah minyak
tanah, merupakan produk minyak bumi yang berintikan
hidrokarbon (tersusun atas atom hydrogen dan karbon) serta

berasal dari daging buahnya dengan hasil samping berupa


ampas kelapa (Miskyah, et al. 2006).
Ampas industri pengolahan kelapa memiliki nilai gizi dan

sejumlah zat lain. Seperti nitrogen, oksigen dan sulfur serta

kandungan

sejumlah kecil unsur logam. Minyak tanah (light kerosene)

Selama ini ampas kelapa hanya dibuang atau dijadikan pakan

memiliki rentang rantai karbon dari C10-C5 dan memiliki titik

ternak tanpa mengalami perlakuan , dengan harga pasar yang

didih 150-300oC (Hardjono, 2001).

sangat rendah. Besarnya manfaat ampas kelapa dapat lebih

Penggunaan utama pada minyak tanah yaitu bahan

serat tinggi yang sangat baik bagi kesehatan.

dikembangkan atau diolah seperti

menjadi tepung kelapa

bakar kompor dalam rumah tangga. Ketergantungan minyak

yang kemudian dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku

tanah selama ini, sangat terasa saat peralihan (konversi) ke gas

dalam industri makanan. Tepung kelapa dapat digunakan

yang dirasakan oleh masyarakat. Dalam penelitian ini,

dalam produk-produk roti dan kue (bakev) serta permen

dilakukan pembuatan biopelet sebagai bahan bakar pengganti

(confectionery) sebagai pengisi,

minyak tanah dengan melihat kondisi sumberdaya alam yang

kacang, biskuit, pai, tekstur pada kue, dan lain- lain (Syah

ada di daerah. Dengan sumberdaya alam yang berlimpah dan

et.al., 2004).

misalnya dalam

permen

murah serta muda juga yang ramah lingkungan untuk

Ampas kelapa masih mempunyai nilai lemak dan protein,

dimanfaatkan. Selain pemanfaatan kembali zat organik

yang tinggi seperti pada Tabel 1. di bawah ini yaitu ampas

(biomassa) seperti ampas kelapa sebagai energi alternatif, juga

kelapa yang dihasilkan perasan santa rumah tangga.


Tabel 1. Komposisi perasan santan kelapa.

dapat mereduksi dan mengurangi pencemaran lingkungan.

Ampas
b) Buah Kelapa

Lemak

Protein

63,70

6,71

II

39,55

4,04

III

30,10

3,03

IV

28,24

2,94

yang diperas

Buah kelapa terdiri dari beberapa bagian yaitu, epicarp


(adalah kulit bagian luar yang permukaannya licin, agak keras
dan tebalnya kurang 1/7 mm) ; mecocarp, (kulit bagian tengah
yang disebut sabut, bagian ini terdiri dari serat-serat yang keras
tebalnya 3 5 cm); endocarp, (adalah bagian tempurung yang

Energi III- 36

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

(Suhardiyono, 1995, dalam Kailaku, S.I, et al. 2009)

dalam waktu lebih lama dan mencapai

Perasan buah kelapa yang menyisahkan ampas kelapa tetapi


masih

mengandung

minyak

atau

dimungkinkan untuk dikonversi


berbagai

proses

biomassa,

lemak

suhu yang lebih tinggi).

atau protein,

3. mengurangi jumlah abu pada bahan

menjadi energi dengan

untuk

menghasilkan

energi

dilakukan metode seperti densifikasi.


Bahan ampas kelapa dalam penelitian ini digunakan sebagai
bahan utama untuk dijadikan energi pengganti bahan bakar

bakar.
Pelet diproduksi oleh suatu alat dengan mekanisme
pemasukan bahan secara terus-menerus serta mendorong
bahan yang telah dikeringkan dan termampatkan melewati
lingkaran baja dengan beberapa lubang yang memiliki ukuran

minyak dalam bentuk biopelet.

tertentu. Proses pemampatan ini menghasilkan bahan yang


padat dan akan patah ketika mencapai panjang yang

d) Biopelet
Biomassa merupakan sumber energi yang bersih dan
dapat

diperbaharui

namun

biomassa

mempunyai

kekurangan yaitu tidak dapat langsung dibakar, karena


sifat fisiknya yang buruk, seperti kerapatan energi yang
rendah dan permasalahan penanganan, penyimpanan dan
transportasi (Saptoadi 2006).

diinginkan (Ramsay 1982 dalam Zamiraza, F. 2009). lebih


lanjut dikatakan bahwa proses pembuatan pelet menghasilkan
panas akibat

gesekan alat

yang

memudahkan proses

pengikatan bahan dan penurunan kadar air bahan hingga


mencapai 510%. Panas juga menyebabkan suhu pellet ketika
keluar mencapai 6065C sehingga dibutuhkan pendinginan.
Biopelet

memiliki karakteristik yang berbeda-beda

Menurut Yamada et.al. (2005), penggunaan bahan

tergantung pada bahan pembuatannya, kebanyakan pembuatan

bakar biomassa secara langsung dan tanpa pengolahan

biopelet untuk bahan bakar menggunakan zat organik atau

akan menyebabkan timbulnya penyakit pernafasan yang

biomassa seperti bungkil jarak, sekam, dan serbuk kayu.

disebabkan oleh karbon monooksida, sulfur dioksida


(SO2) dan bahan partikulat. Untuk memperbaiki
karakteristik biomassa dilakukan cara densifikasi dalam
bentuk briket atau biopelet.
Densifikasi

adalah

III. METODE PENELITIAN


a) Prosedur Kerja
Penelitian ini dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai
berikut yaitu:

adalah

suatu

metode

1. Pembuatan arang ampas kelapa

pengembangan fungsi suatu sumberdaya. Densifikasi


dapat meningkatkan kandungan energi tiap satuan
volume dan juga dapat mengurang biaya transportasi dan
penanganan. Densitas briket biomassa berada di atas
rentang densitas kayu yaitu antara 8001.100 kg/m3 dan

Pembuatan arang ampas kelapa dilakukan


dengan cara ampas kelapa disangrai sampai ampas
kelapa tersebut berwarna hitam (membentuk arang),
Tahapan pembuatan biopellet sebagai berikut
a. Penghancuran ukuran

densitas kamba (untuk pengemasan dan pemuatan ke


dalam alat transportasi) sekitar 600800 kg/m (Leach
dan Gowen 1987 diacu dalam Liliana, W, 2010).
Menurut

Saptoadi

(2006),

proses

bertujuan untuk mendapatkan ukuran partikel


bahan

1. Meningkatkan kerapatan energi bahan,


kapasitas

dihaluskan, baik ampas kelapa yang belum


diarangkan maupun yang sudah diarangkan,

pemampatan

biomassa menjadi briket atau pelet dilakukan untuk :

2. meningkatkan

Ampas kelapa yang sudah diperas dicacah atau

panas

(kemampuan untuk menghasilkan panas

Energi III- 37

baku

yang

seragam

sehingga

bisa

dipelletkan dengan baik. Partikel yang kurang


bagus dapat mengakibatkan biopellet tidak

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

terbentuk sempurna, setelah dihancurkan bahan

pembakaran. Dalam mengukur efisiensi pembakaran

tersebut

dihitung berdasarkan persamaan Belonio (2005)

diayak

dan

kemudian

dilakukan

penyaringan untuk mendapatkan partikel yang

diacu dalam Liliana, W. (2010) yaitu :

kecil dan seragam.

g =

b. Formulasi biopellet
Dalam

tahapan

penambahan

ini

arang

dilakukan
ampas

formulasi

kelapa

x 100%
t x FCR x HVF

dengan

prosentase 25%, 50%, dan 75%. Bahan perekat

Keterangan:

yang digunakan dalam penelitian ini adalah

= efisiensi pembakaran (%)

tapioka

= jumlah kalor yang dibutuhkan (kkal)

penambahan 2,5% (b/b) dari berat bahan. Sebagai

= waktu pemasakan (jam)

pembanding adalah biopelet 100% ampas kelapa

FCR

tergelatinasi

dengan

persentase

tanpa pengarangan.

bahan

bakar

yang

dibutuhkan

(kg/jam)

c. Pencetakan biopellet

HVF

Pencetakan biopellet dilakukan di laboratorium


Teknik Industri UNG dengan menggunakan
mesin pellet (pellet mill),

= nilai kalori bahan bakar (kkal/kg)


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Efisiensi Pembakaran Biopelet Berbahan Ampas Kelapa


Hasil pengujian yang dilakukan dari berbagai komposisi

d. Pengeringan

biopelet dapat dilihat pada Tabel 2. Dibawah ini:

Pengeringan bertujuan untuk menghilangkan uap


panas biopelet pada saat keluar dari mesin pellet.
Pengeringan

dilakukan

menggunakan

Tabel 2. Data hasil pengujian biopelet dengan berbagai formulasi


untuk efisiensi pembakaran

sinar

matahari. Setelah benar-benar kering biopellet

N kom
posi
o
si

ampas kelapa bisa dijadikan sebagai bahan bakar


1

untuk memasak (pengganti minyak tanah).


2. Efisiensi pembakaran biopelet
Karakteristik fisik biopelet akhir yang diukur adalah

t
(jam
)
0.17

1:1

karbon

terikat.

Analisis

1077.0

FCR
(kg/jam)

Efisiensi
pembakar
an(%)

2.10

70.03

2.01

83.37

4704.50

2.30

77.81

4630

3.35

72.40

1:2

0.17

1:3

0.17

1:0

nilai kalori, kadar abu, kadar air, kadar zat terbang,


kadar

HVF
(kkal/kg
)
4308

Q
(kkal)

0.17

karateristik

1724.
31
1306.
81
1852.
00

6207.50

pembakaran biopelet dilakukan dengan metode


Water Boiling test (WBT) dengan mendidihkan 3
liter air. WBT merupakan simulasi kasar dari proses

Efisiensi
komposisi

pembakaran

dimaksudkan

biopelet

untuk

dengan

mengetahui

berbagai
keefektifan

pembakaran dengan melihat parameter-parameter uji yang

pemasakan yang dapat membantu kita untuk

tergandung dalam biopelet tersebut. Pada pengujian ini, waktu

mengetahui seberapa baik energi panas dapat

yang digunakan dalam pegujian efektifitas pembakaran

ditransfer pada alat masak masak (Liliana, W. 2010).

berbagai komposisi adalah 0.17 jam atau + 10 menit.

Parameter yang diukur adalah waktu pendidihan air,

Sedangkan pengujian ini, menggunakan air sebanyak 3000 mL

laju

atau 3 Liter, maksud penggunaan air adalah untuk mengukur

komsumsi

bahan

bakar,

dan

efisiensi

Energi III- 38

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

waktu

dan

kebutuhan

kalor

yang

digunakan

dalam

efisien pembakarannya disebabkan dengan nilai kalornya lebih

mendidihkan air tersebut. Dari Tabel 2. Terlihat bahwa

besar dibandingkan dengan nilai kalor komposisi yang lain.

efektifitas pembakaran biopelet untuk berbagai komposisi

Sehingga hasil penelitian ini menunjukkan bahwa makin besar

menunjukkan 1:2 yang memiliki efisiensi sebesar 83.37%, dan

nilai kalor (kkal/Kg) suatu biopelet akan mempengaruhi

selanjutnya 1:3 dengan efisiensi 77.81%, serta komposisi 1:1

kebutuhan jumlah kalor pada efisiensi pembakaran biopelet

dengan efisiensi 70.03%, sedangkan biopelet tanpa mengalami

tersebut.

perbandingan atau perlakuan campuran memiliki efiensi


pembakaran sebesar 72.40%.

Efisiensi pembakaran biopelet sangat diharapkan untuk


menghasilkan biopelet yang terbaik, dalam kebutuhan proses

Perbedaan efisiensi pembakaran dari berbagai komposisi

pemasakan. Kebutuhan bahan bakar (kg/jam)

sangat

terlihat dengan adanya perbedaan nilai kalor (kkal/kg) yang

ditentukan untuk digunakan dalam proses pemasakan. Hasil

terkandung dalam biopelet tersebut, makin tinggi nilai kalor

penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan bahan bakar yang

yang terkandung maka makin tinggi efisiensi pembakaran

paling banyak adalah perameter kontrol sebesar 3.35 kg/jam,

biopeletnya. Sedangkan biopelet yang tidak mengalami

untuk 1:3 sebesar 2.30 kg/jam, 1:1 yaitu 2.10 serta 1:2 sebesar

perlakuan campuran memiliki efiensi pembakaran yang lebih

2.01, melihat data yang ada menunjukkan bahwa efisiensi

besar

mengalami

pembakaran yang terbaik dari sisi kebutuhan bahan bakar

perlakuan campuran yaitu 1:1, ini terlihat bahwa nilai kalor

adalah perbandingan 1:2, dimana pada perbandingan tersebut

dari campuran 1:1 memiliki nilai kalor yang rendah daripada

menghasilkan

biopelet yang tidak mengalami campuran (kontrol). Dengan

dibandingkan dengan komposisi lain. Hal ini keefektifan

demikian bahwa pada penelitian biopelet ampas kelapa dengan

dalam menggunakan bahan bakar perlu diperhatikan. Efisiensi

efisiensi pembakaran dengan kandungan nilai kalor, sangat

pembakaran pada biopelet yang dibutuhkan adalah kecepatan

berpengaruh terhadap efisiensi pembakaran. Makin tinggi nilai

pembakaran, waktu yang dibutuhkan lebih singkat dan

kalor biopelet ampas kelapa maka makin efisien pembakaran

kebutuhan penggunaan bahan bakar yang sedikit.

dibandingkan

dengan

biopelet

yang

juga makin tinggi.

Hasil

efisiensi

penelitian

pembakaran

menunjukkan

yang

lebih

bahwa

baik

efisiensi

Jumlah kebutuhan kalor (kkal) pada penelitian ini,

pembakaran pada biopelet ampas kelapa dilihat pada Tabel 2.

menunjukkan perbedaan dengan berbagai komposisi atau

Menunjukkan bahwa komposisi 1:2 merupakan parameter

perlakuan, untuk 1:2 dengan kebutuhan jumlah kalor (kkal)

yang lebih efisien dalam proses pembakaran. Efisiensi

yang terbanyak yaitu 1724.31 kkal, dan 1:3 jumlah kalor yang

pembakaran dapat dipengaruhi oleh besarnya nilai kalor dan

dibutuhkan yaitu 1306.81 kkal, dan untuk 1:1 kalor yang

bahan bakar yang dibutuhkan. Sesuai dengan pendapat

dibutuhkan 1077.00, sedangkan biopelet tanpa perlakuan

Djatmiko at.al (1981), mengatakan bahwa arang yang baik

memiliki kebutuhan jumlah kalor sebesar 1852.00. Adanya

bilamana memiliki nilai kalor yang tinggi.

perbedaan kebutuhan jumlah kalor (kkal) tersebut tidak


dipengaruhi oleh komposisi biopelet, dimana biopelet tanpa
adanya campuran perlakuan atau kontrol menghasilkan
efisiensi pembakaran lebih baik dan jumlah kebutuhan kalor
(kkal)

dibandingkan

mengalami

perlakuan

dengan
1:1,

komposisi
dan

1:3.

biopelet
Hasil

yang

penelitian

menunjukkan bahwa nilai kalor yang terkandung pada biopelet


tidak terlalu jauh berbeda yang mengalami perlakuan
perbandingan ampas kelapa murni dan ampas kelapa yang
sudah diarangkan. Tetapi hanya perbandingan 1:2 yang lebih

V. KESIMPULAN
Efisiensi

pembakaran

dengan

berbagai

komposisi

dimaksudkan untuk mengetahui keefektifan biopelet sebagai


bahan bakar alternatif, Dari berbagai komposisi tersebut,
dapat disimpulkan yaitu persentase efesiensi pembakaran
yang terbaik adalah perlakuan B (1:2), 83.37% dengan nilai
kalori 6207.50 kkal/kg, dan selanjutnya 1:3 efisiensi 77.81%
dan nilai kalori 4704.50 kkal/kg, serta 1:1 efisiensi 70.03%
dan nilai kalori 4308 kkal/kg, sedangkan biopelet tanpa
perlakuan memiliki efiensi sebesar 72.40% dan nilai kalor

Energi III- 39

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

4630 kkal/kg.

Perbedaan efisiensi pembakaran dengan

adanya perbedaan nilai kalor

(kkal/kg) yang terkandung

dalam biopelet tersebut, makin tinggi nilai kalor yang


terkandung

maka

makin

tinggi

efisiensi

pembakaran

biopeletnya.

DAFTAR PUSTAKA
[1] [BID] Badan Investasi Daerah. 2011. Produksi Kelapa di
Propinsi Gorontalo. http:/www.bidpropinsigorontalo.com.
diakses 23 januari 2012
[2] Belonio AT 2005. Rice Husk Gas Stove Handbook. Iloilo
City: Central Philippine
University
[3] Djatmiko, B.S., Ketaren, dan Setyahartini. 1981. Arang
Pengolahan dan
Kegunaannya.Jurusan Teknologi
Pertanian IPB. Bogor
[4] Hardjono, 2001. Teknologi Minyak Bumi, Gajah Mada
University press. Jogjakarta.
[5] Kailaku, SI., Mulyawanti, I., Dewandari, K.T., Syah,
A.N.A. (2009). Potensi Tepung
Kelapa
dan
Ampas Industrl Pengolahan Kelapa. Prosiding Seminar
Nasionl
Teknologi Inovatif untuk pengembangan
Industri Bebasis pertanian. Balai
Besar Penelitian
dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Bogor
[6] Liliana, W. 2010. Peningkatan Kualitas Biopelet Bungkil
Jarak Pagar Sebagai Bahan Bakar Melalui Teknik
karbonisasi. [Tesis] Fakultas Teknologi Pertanian IPB.
[7] Miskiyah., Mulyawati, I., Haliza, W. 2006. Pemanfaatan
Ampas Kelapa Limbah
Pengolahan
Minyak
Kelapa Murni Menjadi Pakan. Jurnal Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian.
Bogor.

[8] Saptoadi H. 2006. The Best Biobriquette Dimension and


its Particle Size. The 2nd Joint International Conference on
Sustainable Energy and Environment (SEE 2006)21-23
November 2006. Bangkok, Thailand.
[9] Setyamidjaja, D. 2008. Bertanam Kelapa. Penerbit
Kanisius, Yogyakarta
[10] Syah, A. N. A, R. Thahir, Risfaheri, Yulianingsih, D.
Sumangat, K. T. Dewmdari. 2004.
Penelitian
Pengembangan Pengolahan Minyak Kelapa Murni
Terpadu. Laporan Akhir Tahun Penelitian. Balai Besar
Pascapanen Pertanian. Bogor.
[11] Yamada K, M. Kanada, Q. Wang, K. Sakamoto, I.
Uchiyama, T. Mizoguchi dan Y. Zhou. 2005. Utility of
Coal-Biomass Briquette for Remediation of Indoor Air
Pollution Caused by Coal Burning in Rural Area, in
China. Proceedings: Indoor Air 2005-3671.
[12] Zamirza, F. 2011. Pembuatan Biopelet dari Bungkil Jarak
Pagar (Jathropa curcas L.) Dengan Penambahan Sludge
dan Perekat Tapioka,[Skripsi] Fakultas Pertanian
Teknologi Pertanian IPB. Bogor

Energi III- 40

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

Studi Analisis Hasil Pembakaran dan Prestasi Kerja


Ketel Uap Berbahan Bakar Batubara Lignite Pada
PLTU Merauke - Papua
Herman Dumatubun

Yusuf Siahaya

Jurusan Teknik Mesin


Politeknik Amamapare
Timika, Indonesia
herman.dumatubun@gmail.com

Jurusan Mesin, Fakultas Teknik


Universitas Hasanuddin
Makassar, Indonesia
Email: -

AbstractAn analysis study results of combustion and work


performance a steam boiler fuel cell coal lignite on coalfired power plant Merauke - Papua. ( supervised by Yusuf
Siahaya). This research was meant to find out the amount of
the need for air burning coal lignite in the stokers and
efficiency of a steam boiler and work performance of a
steam boiler on coal-fired power plant Merauke - Papua.The
research on doing in PT. PLN (Persero) branch of Merauke.
This type of research is to simply processing data obtained
from PT. PLN Center Jakarta. Data on the composition of
the data acquired is fuel, boiler specification, energy balance
and other supporting data. This experiment in start by
analyzing the process of combustion coal in the stokers to
acknowledge the number needs air combustion that in
supply right inside the stoker to burn coal and then in
continue by analyzing work performance work of any
components to a steam boiler. The research results showed
that the amount of air needed to burn 1 kg of coal is 4,676
kgair / kgcoal or 78482,47 kgair to burn fuel 16.784 kg/h with
a breakdown of the number of primary air 64599,34 kg/h
(82,32%) and the number of secondary of secondary air
13883,13 kg/h (17.68%). As for work performance a steam
boiler on coal-fired power plant Merauke - Papua, total
input heat in earn of 99,93 x 106 Btu / h. where furnace and
superheater absorb heat that larger. Furnace heat absorbing
of 43,634 x 106 Btu/h (50%) or 12,77 MW, superheter absorb
heat by 26,056 x 106 Btu/h (29,85 %) or 7,66 MW, while the
economizer and airheater each absorb heat of 8,290 x 106
Btu/h (9.49%) or 2.42 MW and 9,288 x 106 Btu/h (10.64%)
or 2,71 MW.
Keywords: Coal, Stokers, primary and secondary Air, Furnace,
Superheater, Economiser and Airheater.

I. PENDAHULUAN
Pertumbuhan beban pada sistem kelistrikan wilayah Papua
khususnya system kelistrikan Merauke mengalami peningkatan
yang besar, sehingga kebutuhan daya telah melampaui
kemampuan pembangkitan yang ada
Daya mampu pembangkit milik PLN di Merauke hanya
sebesar 10.8 MW, yang didapat dan Sistem Kelistrikan
Merauke ditambah pasokan dari PLTD sewa. Sedangkan

beban puncak telah mencapai 10.2 MW dan beban rata rata


5.6 MW, sehingga apabila PLTD sewa mengalami
gangguan atau pemeliharaan akan menyebabkan
pemadaman. Daftar tunggu pelanggan baru di Merauke
sampai saat ini adalah sebesar 7,5 MW . Dalam upaya
memenuhi kebutuhan tenaga listrik tersebut, telah
direncanakan penambahan infrastruktur ketenagalistrikan
yakni sebuah pembangkit listrik tenaga uap ( PLTU ) dengan
daya 2 x 7 MW sebagaimana dimuat dalam Perpres No. 71
tahun 2006 (lampiran tentang penugasan kepada PT. PLN
untuk melakukan percepatan pembangunan pembangkit tenaga
listrik yang menggunakan batubara), yang kini sedang dalam
tahap pembangunan.[1]
Untuk mengoptimalkan pemakaian bahan bakar dan
panas, maka proses pembakaran bahan bakar pada boiler
harus semaksimal mungkin agar dapat di ketahui jumlah
bahan bakar, jumlah panas yang di gunakan dan jumlah
panas yang hilang selama proses berlangsung serta daerah
mana yang mengalami kehilangan panas yang besar
sehingga dapat di atasi agar alokasi dana terhadap
pemakaian bahan bakar dapat di kurangi.

II. LANDASAN TEORI


A.

Letak Lokasi Pembangkit.


Pada gambar 1 menunjukan bahwa lokasi PLTU
Merauke berada di Desa Gudang Arang, kecamatan Merauke,
Kabupaten Merauke, Propinsi Papua. Jarak lurus antara lokasi
ini dan bandara Mopah, Merauke 8 km ke arah utara. Jarak
lokasi Gudang Arang ke ibu kota Propinsi Papua, Jayapura di
ukur dengan garis lurus berjarak 800 km. Gudang Arang
telah di tentukan dan di pilih menjadi tempat pembangkit
PLTU karena berada di tepi sungai Maro sehingga untuk
kebutuhan air pendingin dapat mengambil air dari sungai
tersebut. Karena air pendingin menggunakan air sungai di
mana sungai Maro memiliki debit air yang cukup besar maka
system pendingin bisa di usahakan menggunakan system once
thru yang lebih hemat. Akses jalan masuk ke lokasi dapat di
lalui menggunakan kapal melewati sungai Maro yang
memiliki lebar lebih dari 300 m. untuk pengangkutan
peralatan PLTU dan bahan bakar batubara dengan
menggunakan kapal dan membongkar muatannya pada jetty di

Energi III-41

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

pelabuhan atau dengan membuat temporary jetty. Sedangkan


untuk jalan darat, tersedia jalan darat selebar 8 m ke lokasi
PLTU yang sering di gunakan untuk transportasi
pengangkutan batuan dalam kondisi bagus. Berikut ini adalah
gambar lokasi PLTU Merauke [1] :

andal dan dapat bertukar satu sama lain dengan cepat,


maksimum pada pemeliharaan dalam keadaan berbeban
dalam hal darurat, potensi ledakan, api, kebocoran
material berbahaya dan panas dapat dikurangi menjadi
minimum serta ke s e d e r h a n a a n p o l a k er j a d a n s i s t e m
i n t e r l o k u n t u k memperkecil kesalahan.
Nilai ekonomis.
Dengan karakteristik sebagaimana diuraikan pada Sub ayat 1 s/d 4 diatas maka boiler Stoker adalah tipe yang secara
ekonomis paling murah menghasilkan tenaga listrik.[1]
Berikut ini adalah diagram alir ketel uap PLTU
Merauke Papua :

Gambar 1. Peta Lokasi PLTU Merauke

B. Karakteristik Boiler Stokers.


Boiler tipe stoker telah terpilih untuk digunakan di
PLTU Merauke sebagai hasil studi yang mempertimbangkan
kriteria sebagai berikut :
Perlindungan lingkungan
Fleksibilitas pembakaran
Operasi beban dasar
Keandalan dan keselamatan
Biaya.
Masing masing kriteria diterangkan sebagai berikut
:
Pertimbangan Perlindungan Lingkungan.
Operasi boiler stoker akan mematuhi kedua
duanya baik batas emisi maupun standar mutu udara
lingkungan oleh Pemerintah Indonesia dengan jenis
batubara yang dipakai. Emisi NOx retatif mudah dicapai
untuk dibandingkan dengan standar lingkungan karena
sistem stoker membutuhkan suhu diruang bakar lebih
rendah dibandingkan dengan boiler. Emisi SO x j ug a
r end ah kar ena me makai b atub ar a d engan kandungan
sulfurnya rendah.
Karakteristik Pola Operasi
Boiler stoker harus mampu untuk beroperasi memikul
beban dasar dengan karakteristik : stabil dan secara terusmenerus beroperasi walaupun jenis batubara diubah
kepada yang berbeda kuatitas, dapat terus-menerus
beroperasi tanpa unit berhenti operasi (shutdown)
terutama ketika ada peralatan yang trip atau pasokan
batubara tiba-tiba trip dan mampu menghasilkan uap
sebesar kira kira 70% dengan hanya satu draft fan
yang beroperasi.
Ketersediaan dan Keamanan Maksimum
Boiler stoker mempunyai kemampuan, keamanan
dan keluaran maksimum dengan karakteristik sebagai
berikut : Sistem sederhana dan mudah dioperasikan,
duplikasi peralatan penting atau membagi peralatan
bergerak yang penting ke dalam dua system, sistem yang

Gambar 2. Diagram Alir PLTU Merauke Papua.

Pada gambar 2 di atas di jelaskan bahwa ketel uap


PLTU Merauke Papua menggunakan ketel uap type stoker
jenis traveling grade, di mana mula mula batubara dari coal
house melalui belt conveyor, coal bunker dan corong,
kemudian batubara di umpankan ke ujung grade baja yg
bergerak, ketika grade bergerak di sepanjang tungku, batubara
akan akan terbakar sebelum jatuh pada ujung conveyor
sebagai abu. Ukuran batubara
harus seragam sebab
bongkahan yang besar tidak akan terbakar sempurna pada
waktu mencapai ujung grade. Pada saat yang bersamaan,
udara dari Force Draft Fan (FDF) yang sebelumnya
mendapatkan pemanasan awal dari Airheater akan di tiup
masuk ke dalam dapur shg memaksimalkan tenaga dorong
pada saluran masuk bahan bakar bersamaan juga dengan
terjadinya proses pembakaran pada stoker. FDF sangat di
butuhkan untuk mensuplai udara primer dan sekunder untuk
membakar batubara. Air dari daerator akan di pompa masuk
ketel ( drum ) melalui Economiser dengan tujuan agar
mendapat pemanasan awal. Pada proses pembakaran di dalam
dapur, air dari drum akan di alirkan dalam pipa pipa air
sepanjang ketel uap untuk pemanasan / perebusan dan akan
kembali lagi ke drum dalam bentuk uap jenuh. Uap pada drum
berada di atas dan air di bagian bawah, setelah itu uap tersebut
di alirkan lagi ke Superheater untuk pemanasan lanjut guna
mendapatkan uap kering. Uap yang di hasilkan akan di alirkan
ke turbin uap untuk keperluan pembangkit daya listrik. Setelah
di turbin, uap akan di ekstrasi dengan tujuan agar air pengisi
ketel uap mendapat pemanasan awal, meskipun pada
Economiser juga terjadi pemanasan awal. Ini semua bertujuan
agar proses pembentukan uap di ketel lebih efisien. Gas sisa
hasil pembakaran akan keluar melalui saluran buang, namun

Energi III-42

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

sebelumnya akan melewati dust collector agar debu debu


yang ikut terbawa bersama gas buang dapat di saring sehingga
dapat mengurangi polusi udara sebelum keluar ke atmosfir.[1]
C. Sistem Pembakaran Batubara Lignit.
Untuk mencapai efisiensi pembakaran yang bisa
diterima, bahan bakar stoker harus dihancurkan
ke
ukuran kecil di sekitar 20 mm sampai 40 mm,
tergantung pada kandungan zat yang mudah menguap
dan mudah terbakar atau volatile matter disingkat VM
pada batubara. Jika VM lebih tinggi, ukuran bahan bakar lebih besar
bisa diterima. Namun, ukuran kecil 6 mm, perlu dibatasi maksimum
50 persen. Alat penghancur batubara akan ditempatkan
pada menara perpindahan ( transfer tower) setelah
corong penuangan (underground reclaiming hopper).
Penghancur adalah dari jenis cincin. Batubara yang telah
dihancurkan akan dibawa dengan belt conveyor dan
disimpan pada dua ( 2 ) tangki baja yang memuat batubara
untuk masing masing boiler. Tangki ini biasa disebut
bunker atau silo boiler, volumenya sekitar 46 m3 untuk
masing masing bunker. Satu saluran akan disediakan
untuk masing masing bunker dengan suatu sudut jatuh
kira kira 70 diatas wahana yang horisontal. Kapasitas
penyimpanan batubara masing masing unit boiler
adalah untuk 12 jam operasi pada beban penuh. Suatu
katup buka tutup yang dioperasikan secara manual
disediakan untuk saluran bunker masing masing
untuk mengisolasi bunker dengan combustor. Batubara akan
mengalir dari masing masing bunker batubara ke
pemasok gravimetric yang dilengkapi dengan alat kendali
yang akan mengatur aliran batubara ke ruang
pembakaran (combustor). Penyesuaian jumlah aliran akan
dikendalikan baik dari kendali unit maupun oleh kendali
manual. Minimum ada dua ( 2 ) titik pemasukan batubara
ke combustor. Jika berat jenis batubara rendah, maka
titik pemasukan perlu lebih banyak untuk mengimbangi
volume fisik yang lebih besar.[1]
Di dalam stoker, udara primer dimasukkan ke dalam
bagian yang lebih rendah pada combustor, dimana material
bed diapungkan dan ditahan dalam bentuk cairan. Udara
sekunder dimasukkan pada tingkat yang lebih tinggi pada
tungku
perapian
untuk
memastikan
terjadinya
pembakaran sempurna. Gas asap pembakaran yang
dihasilkan diruang bakar mengalir naik dengan membawa
padatan yang akan diambil oleh Particle removal. Tiap
boiler akan diperlengkapi dengan brander minyak
untuk pemanasan ruang bakar saat boiler mulai
dinyalakan, dapat juga dipakai untuk operasi pada beban
rendah.
Ignitor atau pemantik brander disediakan untuk semua
brander dan kapasitasnya tidak kurang dan 10% kapasitas
brander. [2]
D. Kebutuhan Udara Pembakaran.
Untuk mengetahui kebutuhan udara pembakaran pada
stoker maka di pakai beberapa persamaan di bawah ini.
Langkah pertama adalah mencari perbandingan udara
dan bahan bakar stokiometris dengan persamaan berikut [3]
:

(1)
Kemudian mencari perbandingan udara dan bahan
bakar aktual dengan persamaan berikut :
(2)
Lalu mencari
persamaan berikut :

faktor

kelebihan

udara

dengan

(3)
Setelah itu kita mencari massa molar bahan bakar
dengan persamaan berikut [4] :
(4)
Dimana yi adalah komposisi kimia dari bahan bakar
dan Mi adalah massa molar dari unsur kimia.
Kemudian mencari berat gas hasil pembakaran dengan
persamaan berikut :
(5)
Lalu dilanjutkan dengan mencari jumlah kebutuhan
udara sekunder dengan persamaan berikut :
(Wa)sekunder = Wa x Tb
(6)
Dimana Tb adalah jumlah bahan bakar yang di bakar
per jam, (16.784 kg/jam).
Dan selanjutnya kita mencari berat gas asap spesifik
dengan persamaan berikut [5] :
(wg)sp = 1,25(N2)v + 1,43(O2)v + 1,96(CO2)v
+ 1,25(CO)v + 0,80(H2O)v
(7)
Setelah itu kita mencari berat gas asap total dengan
persamaan berikut :
(8)
Dan kemudian mencari berat nitrogen dalam dalam gas
asap dengan persamaan berikut :
(9)
Dimana (N2)W adalah kandungan N2 dalam bahan bakar.
Lalu selanjutnya mencari jumlah kebutuhan udara primer
dengan persamaan berikut :
(10)
Dan kita peroleh total kebutuhan udara primer dengan
persamaan berikut :
(Wa)primer total =( Wa )primer x Tb
(11)

E. Prestasi Kerja Ketel Uap.


Perhitungan kinerja dan penyerapan panas dari setiap
komponen komponen mulai dari Superheater,
Economizerdan Airheater adalah sebagai berikut [7].
Langkah pertama untuk menghitung besarnya
perpindahan panas pada permukaan dengan persamaan di
bawah ini :
(12)
Kemudian menghitung laju perpindahan panas konveksi
dan radiasi inter tube dengan persamaan di bawah ini :
(13)

Energi III-43

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

Dimana qci adalah laju perpindahan panas konveksi dan


qr adalah laju perpindahan panas radiasi.
Lalu menghitung gas yang meninggalkan komponen
ketel uap dengan persamaan berikut ini :

(23)

Dimana PSD adalah resistansi fan dan PSR adalah


resistansi cerobong.

(14)
Di mana
adalah temperatur gas meninggalkan
komponen ketel uap, (F),
adalah temperatur gas masuk
komponen ketel uap, (F),
adalah laju aliran massa gas,
(lb/h) dan
adalah panas spesifik gas rata rata , (btu/lb.F).
Setelah itu dilanjutkan dengan menghitung fluks massa
udara dengan persamaan berikut ini:
(15)
Dimana ma adalah laju aliran massa udara dan Aa adalah
luas penampang pipa.
Lalu kemudian menghitung bilangan Reynolds dengan
persamaan berikut ini:
(16)
Dimana De adalah diameter pipa,(ft) dan adalah
viskositas absolute uap.
Selanjutnya menghitung hambatan udara dari windbox
inlet ke air heater outlet dengan persamaan berikut ini :
(17)
Di mana fL adalah panjang pipa, (ft), N adalah factor
kerugian dan B adalah tekanan barometris.
Dan kemudian menghitung jumlah kerugian udara dari
air heater inlet ke forced draft fan transition outlet dengan
persamaan berikut ini:
(18)

III. BAHAN DAN METODOLOGI


A. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di PT. PLN (Persero)
Cabang Merauke, Kabupaten Merauke Propinsi Papua
yang di mulai dari bulan Februari Maret 2012 dengan
mencatat data data teknis ( Data perancangan ) PLTU
Merauke - Papua serta data data lain untuk keperluan
penelitian. Dan keseluruhan data menyangkut komposisi
bahan bakar, data kesetimbangan energy seperti temperature,
tekanan, enthalpy dan laju aliran massa yang masuk dan
keluar setiap komponen pada ketel uap serta data spesifikasi
dan dimensi dari ketel uap serta komponen komponen di
dalamnya yang di tampilkan pada penelitian ini bersumber
dari PT. PLN ( Persero ) Kantor Pusat Direktorat Perencanaan
dan Teknologi Jakarta.
B. Metode Penelitian.
Penelitian yang dilakukan hanya dengan mengolah
data yang di peroleh, di mulai dengan Menganalisa proses
pembakaran bahan bakar di ruang bakar untuk mengetahui
jumlah kebutuhan udara pembakaran pada stokers,
menganalisa prestasi kerja masing masing komponen boiler
dan proses perpindahan panas dengan menggunakan metode
BTU dan menganalisa kesetimbangan energy serta
menganalisa potensi terjadinya slagging dan fouling pada ketel
uap.

Lalu menghitung rata rata tekanan statis pada forced


draft (FD) fan outlet transition dengan persamaan berikut ini:

IV. ANALISI HASIL PEMBAHASAN


A. Data Statistik
Data pada tabel 1 dibawah ini digunakan untuk
menghitung total berat udara yang di butuhkan per kilogram
bahan bakar.

(19)
Selanjutnya menghitung jumlah kerugian udara dari air
heater inlet ke forced draft fan transition outlet dengan
persamaan berikut ini:
(20)
Kemudian dilanjutkan dengan menghitung rata rata
tekanan statis pada forced draft (FD) fan outlet transition
dengan persamaan berikut ini :

Chemical
CO2
H2O
O2
N2
Total :

Tabel 1. Hasil pembakaran batubara lignit


Mol / 100
Molar mass
Massa
lb
(mol/lb)
(kg/kg bb)
197,97
44
8710,68
61,69
18
1110,42
144,44
32
4622,08
679,80
28
19034,4
1083,9
33477,58

(21)
Setelah itu menghitung efek cerobong untuk furnace
dengan persamaan berikut ini :
(22)

Data pada tabel 2 dibawah ini di gunakan untuk


menghitung berat gas asap spesifik serta kebutuhan udara
pembakaran bahan bakar.

Dimana Z adalah garis tengah dari furnace exit, ( ft ) dan


SE adalah efek cerobong.
Sehingga kita peroleh nilai rata rata tekanan statis pada
induced draft fan outlet dengan persamaan berikut ini :

Tabel 2. Hasil presentasi pembakaran.


Chemical
Percent (%)
CO2
25,77
H2O
4,48

Energi III-44

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

N2
O2
CO

Air heater :
Temperatur udara masuk AH
Tekanan Barometric
Temperatur gas keluar AH

41,13
28,60
0,505

Sedangkan data pada tabel 3 dan 4 digunakan untuk


menghitung prestasi kerja masing masing komponen pada
ketel uap.
Tabel 3. Hasil presentasi pembakaran.
Desain Fisik Ruang Bakar
Konstruksi : 2 in. diameter luar pipa (OD)
Lebar : 12 ft
Volume
: 5810 ft3
Tinggi : 14 ft
Permukaan : 1800 ft. luas permukaan area
Desain Fisik Komponent.
Parameter
Units
SH
Eco
AH
Diamater pipa luar (OD)
in.
2
1,5
1,75
Jarak antar baris
in.
3
3
4
Jarak antar pipa dalam baris
in.
6
3
3
Jumlah baris pipa
12
12
35
Banyaknya pipa per baris
24
68
50
Panjang pipa
ft
18
10
19
Permukaan yang dipanaskan
ft2
2713
3203
15,226
2
Area aliran bebas
ft
Gas
98
52
43
udara Air
90

86 F
30 in. Hg
502 F

Sehingga dengan menggunakan persamaan (1) sampai (11)


serta data dari tabel 1 dan 2, maka dapat diperoleh jumlah
kebutuhan udara pembakaran untuk membakar 16.784 kgbahan
bakar/jam di dalam stoker seperti di perlihatkan pada tabel 5
berikut ini :
Tabel 5. Jumlah kebutuhan udara pembakaran.
Udara
Kebutuhan Udara
Pembakaran
(kg udara / jam )
Primer
64599,34
Sekunder
13883,13
Total :
78482,47

B. Kebutuhan Udara Pembakaran.


Adapun bahan bakar yang di gunakan adalah batubara
lignite (C100H85O28 N1,7) [3], maka reaksi pembakarannya
adalah :

Maka dari reaksi pembakaran diatas diperoleh massa bahan


bakar ( F ) sebesar 1758 kg dan massa udara ( A ) sebesar
3576,8 kg.
Tabel 4. Kondisi Pengoperasian.

Presentasi Udara
(%)
82,32
17,68
100

C. Prestasi Kerja Ketel Uap.


Dengan menggunakan persamaan (12) sampai (23) serta
data dari tabel 3 dan 4, maka dapat di peroleh prestasi kerja
setiap komponen pada ketel seperti di tunjukan pada tabel 6
berikut ini :
Tabel 6. Total penyerapan panas komponen ketel uap.
Komponen

Panas yang diserap

Ruang bakar
Super Heater
Economiser
Air Heater
Total :

43,634 x 106 Btu/h


26,056 x 106 Btu/h
8,290 x 106 Btu/h
9,288 x 106 Btu/h
86,559 x 106 Btu/h

Kondisi Pengoperasian
Bahan Bakar : Batubara Lignite Indonesia
Analisis Pembakaran.
Ultimasi, % by wt
Proximasi, % by wt
C
= 54,03
Moisture
= 18,40
H2
= 3,83
Volatiles
= 22,57
S
= 0,33
Fixed carbon = 54,03
O2
= 17,06
Ash
= 5
N2
= 1,35
100
H2O = 18,40
Ash = 5
100
Nilai Kalor Atas
15.080 Btu/lb
Kelebihan Udara
36 % by wt
Karbon yang tidak terbakar
0,42 % by wt
Kerugian yg tak di ketahui
1,5 % by wt
Kerugian akibat Radiasi
0,40 % by wt
Temperatur gas
1850 F
Keluar Superheater :
Aliran uap
81.570 lb / h
Temperatur uap
842 F
Tekanan uap
580 psig
Enthalpy uap
1432,09 Btu / lb
Masuk Economizer :
Aliran air
81.570 lb / h
Temperature air
396 F
Tekanan air
638 psig
Entalphy air
370,65 Btu / lb

Daya yang
dihasilkan
12,77 MW
7,66 MW
2,42 MW
2,71 MW
25,56 MW

Presentasi
50 %
29,85 %
9,49 %
10,64 %
100 %

Gambar 3. Grafik penyerapan panas pada ketel uap.

Energi III-45

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

Pada gambar 3 diatas menunjukan penyerapan panas


pada komponen ketel uap dan temperatur profilnya, dimana
furnace dan superheater menyerap panas yang lebih banyak.
Furnace memanfaatkan panas yang tersedia untuk
menghasilkan uap jenuh, Superheater menaikan temperatur
uap untuk kondisi outlet yang diinginkan, Economizer akan
mengendalikan temperatur gas, sedangkan Airheater
menyediakan udara panas untuk pembakaran dan bersama
sama dengan economizer meminimalkan temperatur gas
buang yang ke cerobong, mengurangi hilangnya kalor sensibel
dan meningkatkan efisiensi ketel uap.

99,93 x 106 Btu / h, telah berhasil di serap oleh masing


masing komponen pada ketel uap untuk menghasilkan
daya. Dimana furnace dan superheater menyerap panas
yang lebih besar. Furnace menyerap panas sebesar 43,634
x 106 Btu/h ( 50 % ) atau sebesar 12,77 MW, superheter
menyerap panas sebesar 26,056 x 106 Btu/h (29,85 %) atau
sebesar 7,66 MW, sedangkan economizer dan airheater
masing masing menyerap panas sebesar 8,290 x 106
Btu/h (9,49 %) atau sebesar 2,42 MW dan 9,288 x 106
Btu/h (10,64 %) atau sebesar 2,71 MW.
DAFTAR PUSTAKA

V. KESIMPULAN
Dari hasil analisis hasil pembakaran dan prestasi kerja
ketel uap berbahan bakar batubara lignite pada PLTU
Merauke Papua, maka dapat di ambil beberapa kesimpulan
di antaranya adalah :
1. Pada analisis hasil pembakaran batubara lignite di ketahui
bahwa jumlah rata rata udara yang di butuhkan untuk
membakar 1 kg bahan bakar pada stokers adalah sebesar
4,676 kgudara / kgbahan bakar, atau sebesar 78482,47 kgudara
untuk membakar 16.784 kgbahan bakar / jam dengan rincian
jumlah udara primer sebesar 64599,34 kg/jam ( 82,32 % )
dan jumlah udara sekunder sekunder sebesar 13883,13
kg/jam ( 17,68 % ).
2. Pada prestasi kerja ketel uap pada PLTU Merauke Papua,
di mana dari total input panas yang di hasilkan sebesar

[1] PT. Arkonin Engineering Manggala Pratama, (2010). Pekerjaan


jasa konsultasi Paket S-1 Studi Kelayakan PLTU Merauke
Papua. PT. PLN Pusat Jakarta
[2] www.energyefficiencyasia.org. Pedoman Efisiensi Energi untuk
Industri di Asia
[3] Taufiq, (2008). Proses dan Reaksi Pembakaran. FT UI.
[4] Suresh Bhakta Shrestha, (2003). Heat and Power Engineering
[5] Djokosetyardjo, Ketel Uap. (1999). Penerbit Pradnya Paramita
Jakarta.
[6] Syamsir A. Muin, (1988). Pesawat Pesawat Konversi Energi I.
CV. Rajawali Jakarta.
[7] John B. Kitto and Steven C. Stultz, (2005). Steam. The Babcock
and Wilcox Company Barbeton, Ohio USA. Edisi 41.

Energi III-46

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

Kajian Thermal Unjuk Kerja Alat Penukar Panas


Pengaruh Variasi Geometri Sirif Dengan Aliran
Fluida Alamiah
I Gusti Ketut Sukadana

I Gusti Ngurah PutuTenaya

Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik


Name of organization - acronyms acceptable
Universitas Udayana, Bali
sukadana@me.unud.ac.id. pengumpian_09@yahoo.com

Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik


Name of organization - acronyms acceptable
Universitas Udayana, Bali
putu.tenaya@me.unud.ac.id.

Abstract Wire and Tube heat exchanger consists of tube and


wire stacked on sides at normal direction. The ability of heat
exchanger to dissipate heat is shown by the overall surface
efficiency from array of tube and fins that called as heat
exchanger efficiency. Fin is the expansion of surface of heat
transfer area. The heat exchanger efficiency depends on
diameter, space and material of tube, geometry and material of
fin, fluid of used and mass flow rate. This research has been
examined experimentally the geometri of fins with variable space
of fins, form of fins and mass flow rate influence to the natural
convection of heat exchanger efficiency. Six designs of heat
exchangers with different space of fins are 0.01 m, 0.02 m, and
0.04 m, different form of fins is cylindris and rectangular and
research at thre different mass flow rate are 0.015 kg/s, 0.018 kg/s
and 0.021 kg/s. The results of experiment more space of fins and
more high mass flow rate the higher heat exchanger efficiency.
Stacked many fins at surface can not be lift the thermal
efficiency.
Key word Heat exchanger, efficiency, geometri of fins, Mass
flow rate.

I. PENDAHULUAN
Suatu peralatan yang digunakan untuk menukarkan energi
(panas) antara aliran fluida yang berbeda temperatur yang
dapat terjadi melalui kontak langsung maupun tidak langsung
(Pitts and Sissom, 1987). Salah satu aplikasi dari prinsip
pertukaran panas adalah pada penukar panas jenis pembuluh
dan kawat (wire and tube heat exchanger). Penukar panas ini
termasuk jenis penukar panas permukaan yang diperluas
(extended surface) dimana kawat yang berfungsi sebagai sirif
dipasang lekat pada pembuluh yang mengalirkan fluida
(Srinivasan and Shah, 1997). Secara mekanis kawat juga
berfungsi memperkuat konfigurasi pembuluh yang dibuat
berlekuk-lekuk (coil).
Penukar panas digunakan secara luas baik sebagai
kondensor pada sistem refrigerasi udara yang kecil maupun
yang lainnya dimana fluida yang mengalir dalam pembuluh
tanpa terjadi perubahan phase (Tanda and Tagliafico, 1997).
Salah satu karakteristik unjuk kerja dari penukar panas adalah
efisiensi penukar panas. Efisiensi penukar panas jenis
pembuluh dan kawat adalah efisiensi permukaan menyeluruh
(overall surface effisiensi) dari susunan pipa-pipa dan sirif-sirif
(array of fins). Efisiensi sirif didefinisikan sebagai

perbandingan antara laju perpindahan panas oleh sirif dengan


laju perpindahan panas maksimum yang terjadi. Laju
perpindahan panas oleh sirif akan mencapai maksimum apabila
temperatur permukaan sirif sama dengan temperatur dasar sirif,
tetapi karena adanya tahanan termal konduksi di dalam sirif
menyebabkan terjadinya gradien temperatur, sehingga
temperatur ujung sirif lebih kecil dari temperatur dasar sirif.
Hal ini menyebabkan pengurangan laju perpindahan panas
yang terjadi sehingga efisiensi sirif menurun dan efisiensi
penukar panas juga menurun (Cengel, 1998).
Untuk mengetahui pengaruh sirif terhadap efisiensi penukar
panas konveksi alamiah dilakukan dengan menvariasikan
geometri sirif. Dalam menvariasikan geometri sirif tentu harus
diperhatikan agar koefisien perpindahan panas konveksi tidak
sampai terganggu. Oleh karena itu penting kiranya studi ini
dilaksanakan guna mengetahui efisiensi alat penukar panas.
Salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya laju
perpindahan panas yang terjadi adalah luasan permukaan
perpindahan panasnya. Maka dalam penelitian ini akan dibuat
penukar panas jenis pembuluh dan kawat dengan
memvariasikan geometri sirif tersebut dan mengetahui
pengaruh variasi geometri dan laju aliran massa terhadap
efisiensi alat penukar kalor.
Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh geometri
sirif dan laju aliran massa terhadap efisiensi alat penukar panas
aliran alamiah. Penelitian ini bermanfaat Sebagai masukan
dalam perancangan penukar panas konveksi alamiah,
Menambah wacana keilmuan bidang perpindahan panas pada
umumnya, dan penukar panas khususnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Alat penukar panas (heat exchanger) merupakan alat yang
berfungsi untuk memindahkan energi panas dari suatu aliran
fluida ke aliran fluida yang lain. Jenis dari alat penukar panas
ini adalah jenis pembuluh dan kawat (tube and wire). Alat
penukar panas ini terdiri dari pembuluh horizontal sebagai
tempat mengalirnya fluida panas yang dibuat berlekuk-lekuk
yang disusun secara vertikal, dengan kawat yang dilekatkan
pada sisi depan tegak lurus terhadap pembuluh. Penelitian yang
pertama kali menyangkut penukar panas jenis pembuluh dan
kawat dilakukan oleh Witzel dan Fontaine tentang karakteristik
perpindahan panas pada kondensor jenis pembuluh dan kawat

Energi III-47

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

dan tentang desain kondensor pembuluh dan kawat yang


menghasilkan persamaan Nusselt empiris sebagai fungsi

bilangan Grashof yaitu Nu = 0,47. Gr


. Selanjutnya
Cyphers et.al melakukan penelitian tentang karakter
perpindahan panas pada penukar panas jenis pembuluh dan
kawat. Witzel et.al tentang evaluasi film konveksi pada
penukar panas pembuluh dan kawat. Tanda dan Tagliafico
tentang perpindahan panas konveksi bebas pada penukar panas
jenis pembuluh dan kawat dengan menggunakan air sebagai
fluida kerja dalam pembuluh. Studi eksperimen tersebut
bertujuan mempresentasikan korelasi perpindahan panas
konveksi bebas dari permukaan luar penukar panas ke udara
sekitar
Dari tinjauan pustaka diatas, secara umum mencari korelasi
perpindahan panas dalam bentuk persamaan Nusselt empiris
dengan tujuan untuk dapat mengevaluasi nilai koefisien
perpindahan panasnya. Karena ada sesuatu yang berbeda dari
para peneliti menyangkut tinjauan terhadap penukar panas dan
fluida kerja yang digunakan maka penelitian ini dilakukan
yaitu kajian thermal unjuk kerja alat penukar panas konveksi
alamiah dengan variasi geometri sirif.
Sirif atau kawat dipasang pada salah satu sisi dari
pembuluh yang mana tinggi dari sirif mengikuti tinggi dari
penukar panas. Sedangkan kondisi operasi dari penukar panas
ditunjukkan oleh variasi bilangan Rayleigh sebagai fungsi dari
beda temperatur permukaan dengan udara luar (Ts T ).
0.2215

Minyak panas mengalir dari bak termostatik dan


bersirkulasi secara tunak di dalam pembuluh penukar panas.
Dari kesetimbangan energi secara keseluruhan untuk penukar
panas, maka dapat dihitung panas yang dilepaskan oleh fluida
panas yaitu :

qmax m .Cp, f (T f ,in T f , out )

(1)

Di dalam pembuluh terjadi sirkulasi fluida panas sehingga


terjadi perpindahan panas antara fluida dan lingkungan luar.
Panas dipindahkan dari dinding pembuluh ke lingkungan
secara konveksi bebas, yang dinyatakan sebagai berikut :

q h Atot (Ts T )

(2)

Gambar 1. Permukaan pembuluh yang bersirif.

Dari persamaan (2) jelas bahwa untuk meningkatkan laju


perpindahan panas maka dapat dilakukan dengan (Incropera,
1996) :
1. Memperbesar koefisien konveksi (h), Koefisien
perpindahan panas konveksi tergantung pada beberapa
parameter yaitu : a. Geometri sistem, b. Kecepatan aliran,
c. Tipe aliran (turbulen atau laminar), d. Propertis aliran
fluida, e. Perbedaan temperatur
2. Memperbesar perbedaan temperatur (Ts T ) , Bila Ts
3.

tetap maka harga T harus diturunkan atau sebaliknya.


Menambah luas permukaan perpindahan panas (A),
Penambahan luas permukaan dapat dilakukan dengan
menambahkan sirif untuk mengimbangi koefisien
perpindahan panas konveksi yang kecil (Bejan, 1993).

Dari ketiga pilihan diatas maka pada penelitian ini yang


dilakukan adalah memperluas permukaan perpindahan panas
yaitu dengan menambah sirif. Ada berbagai konfigurasi sirif
yang dikenal saat ini yaitu : rectanguler, segitiga, cincin dan
kerucut.

Gambar 2. Konfigurasi sirif

Sirif yang digunakan pada penukar panas jenis pembuluh


dan kawat adalah kawat-kawat yang mempunyai penampang
seperti gambar 2 diatas dengan permukaan yang konstan.
Pemilihan bentuk ini dimaksudkan untuk menyesuaikan
dengan ruang yang tersedia pada tahap aplikasinya, dimana
penukar jenis pembuluh dan kawat secara umum digunakan
sebagai kondensor pada sistem refrigerasi kecil (refrigerator
domestic) yang dipasang pada bagian belakang kabinet
refrigerator dengan posisi vertikal.
Efisiensi Sirif

Sirif atau extended surface dalam penukar panas digunakan


untuk meningkatkan luas permukaan dan konsekuensinya
akan menambah laju perpindahan panas (Srinivasan and Shah,
1997). Laju perpindahan panas oleh sirif akan maksimum
apabila seluruh permukaan sirif berada pada temperatur dasar
(base temperature), tetapi karena adanya tahanan termal
konduksi di dalam sirif menyebabkan terjadinya gradien
temperatur sepanjang sirif sehingga temperatur ujung sirif
lebih kecil dari temperatur dasar sirif. Hal inilah yang
menyebabkan pengurangan laju perpindahan panas yang
terjadi (Cengel, 1998).
Efisiensi sirif dalam memindahkan panas didefinisikan
sebagai perbandingan antara laju perpindahan panas oleh sirif
dengan laju perpindahan panas maksimum yang terjadi jika
seluruh permukaan sirif berada pada temperatur dasar
(cengel,1998). Secara umum efisiensi sirif dirumuskan sebagai
berikut :

Energi III-48

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

qw
hw . Aw Tw T

q w qt hw . Aw Tw T ht . At Tt T

Efisiensi Penukar Panas

(3)

Karakteristik dari penukar panas jenis pembuluh dan kawat


adalah penggunaan susunan sirif untuk meningkatkan laju
perpindahan panas karena salah satu sisi fluida mempunyai
koefisien perpindahan panas yang kecil. Untuk melihat
kemampuan dari penukar panas maka yang dianalisa adalah
pengaruh geometri sirif terhadap performansi penukar panas.
Efisiensi penukar panas jenis pembuluh dan kawat adalah
efisiensi permukaan menyeluruh dari pembuluh dan sirif.
Menurut (Kreith, 1985). untuk memperoleh efisiensi total dari
permukaan yang bersirif (overall surface efficiency) yaitu
menggabungkan bagian permukaan yang tidak bersirif
(unfinned area) dengan luas permukaan sirif yang berefisiensi
w . Secara umum dirumuskan sebagai berikut :

qtot
h A (T T ) ht At (Tt T )
w w w
q max
M . Cp, f . (T f ,in T f ,out )

(4)

Perpindahan Panas Konveksi Bebas


Perpindahan panas konveksi adalah proses perpindahan
panas yang diakibatkan adanya perbedaan temperatur antara
permukaan suatu material dengan fluida yang bergerak.
Perpindahan panas yang terjadi bisa dari permukaan material
ke fluida yang bergerak atau dari fluida yang bergerak ke
permukaan material.
Perpindahan panas secara konveksi ada 2 yaitu : Konveksi
Paksa (Forced Convection),
Konveksi Alamiah (Natural
Convection) atau Konveksi Bebas (Free Convection).
Konveksi Paksa (Forced Convection) yaitu proses
perpindahan panas yang terjadi dimana pergerakan fluida
diakibatkan oleh gaya luar seperti blower, fan, kompressor dan
lain-lain. Sedangkan Konveksi Alamiah adalah proses
perpindahan panas dimana pergerakan fluida terjadi akibat
gaya apung (buoyancy force). Gerakan fluida (gas maupun zat
cair) dalam konveksi bebas terjadi karena gaya apung yang
dialaminya apabila densitas fluida di dekat permukaan
perpindahan panas berkurang sebagai akibat proses
pemanasan. Gaya apung yang menyebabkan arus konveksi
bebas disebut gaya badan (body forced).
Dalam suatu perencanaan atau unjuk kerja suatu sistem
biasanya konveksi bebas lebih sering dipakai dari pada
konveksi paksa dimana tujuannya adalah meminimal biaya
operasi. Sebagai contoh penerapan konveksi bebas adalah
pada penukar panas jenis pembuluh dan kawat. Pada penukar
panas tersebut ditambahkan sirif yaitu untuk memperluas
permukaan perpindahan panas konveksi bebas. Lapisan batas
termal yang terjadi terbentuk dari bagian bawah baik
pembuluh maupun sirif yang kemudian berkembang terus
sampai atas. Fenomena ini dapat dilihat pada gambar di bawah
:

Gambar 3. Fenomena terjadinya lapisan batas

III. METODE PENELITIAN


Penelitian ini dilakukan secara eksperimental menggunakan
enam buah rancangan penukar panas dengan jarak sirif yang
berbeda dan diameter sirif yang tetap dengan Thermia b-22
sebagai fluida kerja di dalam pembuluh. Penelitian ini
diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penukar panas. Pada
umumnya alat penukar panas jenis pembuluh dan kawat
digunakan bila koefisien perpindahan panas konveksi yang
berhubungan dengan salah satu fluida adalah jauh lebih kecil
bila dibandingkan dengan fluida kedua. Kawat yang berfungsi
sebagai sirif adalah perluasan dari permukaan luar pembuluh
yang dipasang pada sisi luar pembuluh. Kawat-kawat akan
membuat permukaan menjadi luas sehingga menambah laju
perpindahan panas dari dinding ke lingkungan luar
(Ananthanarayanan, 1982).

Gambar 4 Skema peralatan eksperimen.

Untuk mengukur temperatur pada sejumlah titik, digunakan


thermocouple type K (Copper Constanta) yang dihubungkan
dengan digital multimeter tipe DT-838. Besarnya perubahan
temperatur fluida panas setelah melewati penukar panas di ukur
dengan menempatkan thermocouple di dalam fluida pada input
dan output penukar panas.
Dalam aplikasinya posisi pemasangan dari alat penukar
panas ini adalah vertikal, seperti terlihat pada gambar 1.
Pemasangan kawat-kawat pada permukaan pembuluh
dilakukan dengan proses pemanasan tekan tanpa bahan
tambahan sehingga tidak ada tahanan termal dari material lain.
Pemeliharaan penukar panas jenis pembuluh dan kawat relatif
mudah karena konfigurasinya yang sederhana. Untuk menjaga
kapasitas optimal sirif harus dijaga bersih terutama space
antara sirif tidak boleh kotor (Ananthanarayanan,1982).

Energi III-49

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

Gambar 5. Penukar panas jenis pembuluh dan kawat.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


Analisa Pengaruh Jarak Sirif terhadap Efisiensi Penukar
Panas
Bahwa semakin besar jarak sirif berpengaruh terhadap
efisiensi penukar panas semakin besar. Atau semakin kecil
jarak sirif berpengaruh terhadap efisiensi thermis semakin
kecil, Hal ini menunjukkan bahwa semakin kecil jarak sirif
akan mengakibatkan terjadinya interaksi lapisan batas thermal
antara sirif satu dengan lainnya yang berdekatan semakin
besar, sehingga akan memperbesar tahanan thermal
perpindahan panas. Membesarnya tahanan thermal (Rkonv)
akan mengakibatkan menurunnya harga koefisien perpindahan
panas konveksi (hkonv) sehingga secara keseluruhan akan
menurunkan efisiensi penukar panas itu sendiri. Hal lain yang
menyebabkan menurunnya efisiensi penukar panas adalah
tidak terjadinya kondisi idealisasi pada sirif yaitu kondisi
dimana seluruh permukaan sirif tidak berada pada temperatur
dasar sehingga laju energi maksimum tidak terjadi.
Karena setiap sirif memiliki tahanan thermal konduksi
sehingga gradien temperatur akan terjadi sepanjang batang
sirif. Oleh karena itu apabila sirif tersebut semakin banyak atau
semakin rapat maka tahanan termal konduksi semakin besar
sehingga akan menurunkan efisiensi sirif yang berarti juga
menurunkan efisiensi penukar panas.
Sirif digunakan untuk menambah perpindahan panas dari
permukaan dengan cara menambah luas permukaan efektif
tetapi sirif itu sendiri memberikan tahanan pada perpindahan
panas konveksi bebas, dengan alasan tersebut tidak ada
jaminan bahwa laju perpindahan panas konveksi bebas akan
diperbesar melalui penggunaan sirif dan berarti pula tidak ada
jaminan bahwa penggunaan sirif memperbesar efisiensi
(Incropera, 1990).

Gambar 6. Pengaruh jarak sirif terhadap efisiensi penukar panas.

Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Cengel, 1997 yaitu


penambahan terlalu banyak sirif pada permukaan (surface)
secara aktual menurunkan perpindahan panas menyeluruh
(overall) ketika koefisien perpindahan panas (h) menurun
mengimbangi suatu keuntungan yang diperoleh dari
peningkatan dalam luas permukaan.
Analisa Pengaruh Laju Aliran Massa terhadap Efisiensi
Penukar Panas
Pada jarak sirif yang sama, semakin besar laju aliran massa
maka berpengaruh terhadap efisiensi penukar panas semakin
besar. Hal ini menunjukkan bahwa laju aliran massa sangat
berpengaruh terhadap efisiensi penukar panas dikarenakan
semakin besar laju aliran massa semakin besar induksi panas
yang diberikan ke sistem, artinya bahwa jumlah satuan massa
fluida panas yang melewati luas penampang tertentu persatuan
waktu semakin banyak. Sehingga rata-rata temperatur
permukaan semakin besar dan beda temperatur antara
permukaan dengan lingkungan semakin besar.
Perbedaan temperatur yang besar akan meningkatkan harga
bilangan Rayleigh sehingga harga koefisien konveksi juga
besar. Dengan demikian efisiensi penukar panas secara
keseluruhan akan meningkat. Peningkatan laju aliran masa
pada dasarnya akan memperbesar induksi energi panas yang
masuk, sehingga menyebabkan harga bilangan Rayleigh
membesar dan Nuselt juga meningkat (Incropera, 1983).

Gambar 7. Pengaruh laju aliran massa terhadap efisiensi penukar panas.

Hal tersebut juga diperkuat oleh pernyataan bahwa semakin


tinggi laju aliran massa maka semakin tinggi pula laju
perpindahan panasnya (Cengel, 1997).
Analisa Pengaruh Bentuk Sirif terhadap Efisiensi Thermis
Secara ratarata pada laju aliran massa yang sama bahwa
alat penukar panas tanpa sirif mempunyai efisiensi yang paling
tinggi, kemudian diikuti oleh kondensor dengan sirif
rektanguler dan yang terakhir adalah kondensor dengan sirif
silindris. Fenomena ini dapat dijelaskan berdasarkan analisis
lapisan batas thermal konveksi bebas ( free convection) yang
berkembang di sepanjang permukaan sirif. Menurut Watson
dkk. (1996), jarak sirif optimal terjadi bila lapisan batas
laminar berkembang sepanjang permukaan sirif (p) menjadi
cukup tebal menyentuh trailing edge dari tiap sirif.
Dari gambar dibawah terlihat, jarak sirif optimal terjadi bila
lapisan batas termal yang berkembang dari masingmasing
sirif bergabung menjadi satu tepat pada ujung atas (trailing
edge) dari sirifsirif tersebut. Pada kondensor dengan sirif
silindris dan kondensor dengan sirif rektanguler mempunyai

Energi III-50

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

jarak antar sirif 13 mm, namun pada kondensor sirif silindris


kebutuhan untuk menjamin lapisan batasnya bergabung tepat
pada triling edge dari sirip adalah 2t = 10,31 mm, sedangkan
pada kondensor sirip rektanguler adalah 2t = 9,5 mm.

dw

t
Dt

Gambar 10. Profil sirif yang menempel pada pembuluh.

Lain halnya pada kondensor tanpa sirif tahanan termal


hanya pada pembuluh dan koefisien konveksinya tidak
terganggu sehingga laju perpindahan panasnya lebih besar dan
efisiensi perpindahan panasnya pun paling besar diantara kedua
jenis kondensor tersebut, karena pada kondensor dengan sirif
silindris maupun sirif rektanguler dengan penambahan sirif
akan mengganggu koefisien perpindahan panas konveksi
bebas, sehingga tidak dapat menaikan laju perpindahan panas,
hal ini berarti efisiensinya menurun (Incropera, 1990). Hal ini
diperkuat oleh pernyataan Cengel, 1998 yaitu laju perpindahan
panas oleh sirif akan mencapai maksimum apabila seluruh
permukaan sirif berada pada temperatur dasar pembuluh.

Gambar 8. Pengaruh bentuk sirif terhadap efisiensi thermis.

Selain itu dapat dianalisa bahwa salah satu yang


menentukan perpindahan kalor pada sambungan adalah
konduksi melalui gas yang terkurung pada ruangruang
lowong memberikan tahanan utama terhadap aliran kalor,
karena konduktivitas panas gas sangat kecil dibanding dengan
zat padat (Holman, 1995). Pada gambar dibawah kondensor
dengan sirif silindris, dimana sirif yang menempel pada
pembuluh hanya sedikit sehingga terdapat daerah lowong
(blocked area), dimana daerah tersebut terdapat udara
terperangkap sehingga mempunyai koefisien konveksi yang
kecil dan perpindahan panas hanya terjadi pada bagian sirif
yang tidak menempel pada pembuluh, akibatnya laju
perpindahan panasnya rendah dan efisiensi perpindahan
panasnya pun rendah.
w
pw
2dt
dt

dt

Ts

T8
dw

Gambar 9. Sepasi optimal dari jarak antar sirif.

Sedangkan pada kondensor dengan sirif rektanguler terjadi


perpindahan panas yang lebih baik , karena sirif yang
menempel pada pembuluh lebih merata sehingga daerah
lowong (blocked area) lebih kecil dibanding tipe silindris
yang menghambat perpindahan panas sehingga efisiensi
perpindahan panasnya lebih baik dibandingkan tipe silindris.

V. KESIMPULAN
Semakin besar jarak antar sirif dan semakin besar laju
aliran massa berpengaruh terhadap efisiensi penukar panas
yang semakin besar. Kondensor dengan bentuk sirif
rektanguler memiliki efisiensi penukar panas yang lebih tinggi
dibandingkan kondensor dengan bentuk sirif silindris.
Pemasangan sirif pada permukaan kondensor tersebut tidak
menjamin meningkatkan efisiensi dari kondensor, karena
penambahan luas permukaan kondensor tesebut mengganggu
koefisien perpindahan panas pada sistem konveksi bebas.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Ananthanarayanan, P.A., (1982), Basic Refrigerant and Air
Conditioning, McGraw- Hill Publishing Company Limited, New
Delhi.
[2] Bejan, A., (1993), Heat Transfer, John Wiley & Sons, Inc, New
York.
[3] Cengel, Y.A., (1998), Heat Transfer a Practical Approach,
McGraw-Hill, New York
[4] Holman, J.P., (1993), Heat Transfer, 8th Edition, McGraw-Hill,
New York
[5] Incropera, F.P., (1996), Fundamentals of Heat and Mass
Transfer, 4rd Edition, John Wiley & Sons, New York
[6] Kundu, B. and Das, P.K., (1999), Performance Analysis and
Optimization of Eccentric Annular Disk Fins, Journal of Heat
Transfer, Vol. 121, pp 419-429.
[7] Marsters, G.F., (1971), Array of Heated Horizontal Cylinders in
Natural Convection, Journal of Heat Transfer, vol. 15, pp 921933.
[8] Srinivasan, V. and Shah, R.K., (1997), Fin Efficiency of
Extended Surface in Two Phase-flow, Journal of Heat and Fluid
Flow, vol. 18, pp 419-429.
[9] Tanda, G.,and Tagliafico, L., (1993), Free Convection Heat
Transfer From Wire and Tube Heat Exchangers, Journal of Heat
Transfer, vol. 199, pp 370-372.
[10] Witzell, O.W. and Fontaine, W.E., (1957), Design of Wire and
Tube Condenser, Journal of Refrigerating Engineering, vol. 65,
pp 41-44.

Energi III-51

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

Kinerja Sistem Refrigerasi dengan Variasi Panjang


Pipa Kapiler Menggunakan Refrigeran Hydrocarbon
(HC) 22
Khairil Anwar, Reyhan Kyai Demak, Mohammad Mufail
Jurusan Teknik Mesin
Universitas Tadulako
Palu, Indonesia
kh41ril@yahoo.com, reyhan_kade@yahoo.com

AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh


panjang pipa kapiler terhadap kinerja mesin pendingin yang
menggunakan refrigeran Hydrocarbon (HC) 22. Penelitian
dilakukan dengan variasi panjang pipa kapiler berturut turut
0.6 m, 0.9 m, 1.2 m, 1.5 m, 1.8 m, dan 2.1 m, kemudian
dibandingkan dengan pengujian lainnya yang menggunakan
refrigeran R22. Hasil yang diperoleh nilai efek refrigerasi
refrigeran HC 22 lebih tinggi daripada R22 untuk keseluruhan
panjang pipa kapiler. Selanjutnya, kerja kompresor refrigeran
MC 22 lebih tinggi 45.37% daripada refrigeran R22 dan COP
R22 lebih tinggi 9,16% daripada HC 22. Penurunan tekanan
pada pipa kapiler cenderung menurun untuk kedua jenis
refrigeran yang di uji dengan masing-masing nilai terbesar 14.6
bar untuk refrigeran R22 dan 12.04 bar untuk refrigeran HC 22.
Seluruh nilai tersebut terjadi pada pipa kapiler terpendek 0.6 m.
Temperatur evaporasi pun ikut menurun seiring bertambahnya
panjang pipa kapiler, temperatur ini terlihat dari temperatur
refrigeran yang masuk evaporator berturut - turut sebesar
8.1C, 7.0C, 5.3C, -0.8C, -2.4C, -5.4C untuk refrigeran HC
22 dan 6.6C, 3.7C, 2.4C, -1.4C, -4.8C, -7.5C untuk
refrigeran R22. Melihat dampak lingkungan yang dapat
ditimbulkannya, penggunaan refrigeran R22 perlu ditinjau
kembali dan dapat digantikan dengan HC 22 yang lebih ramah
lingkungan.
Kata Kunci Refrigerasi, Pipa Kapiler, Penurunan Tekanan,
COP, Hydrocarbon Refrigerant

I. PENDAHULUAN
Pipa kapiler merupakan salah satu komponen penting
dalam sistem refrigerasi yang berfungsi untuk menurunkan
tekanan dari kondenser ke evaporator, digunakan dalam mesin
refrigerasi dengan kapasitas pendingin yang rendah. Pipa
kapiler memiliki diameter yang sangat kecil, berkisar antara 0.5
mm sampai 2 mm, mempuyai bentuk yang sederhana, tidak ada
bagian yang bergerak dan tidak mahal. Selain itu,
memungkinkan tekanan dalam sistem merata selama sistem
tidak bekerja sehingga motor penggerak kompressor
mempunyai momen gaya awal yang kecil.
Performa kerja mesin refrigerasi yang maksimal,
dipengaruhi oleh banyak hal. Salah satunya terkait dengan
pemilihan dimensi dan geometri pipa kapiler yang digunakan.
Hasil studi menunjukkan bahwa COP dari pipa kapiler dengan

geometri lurus lebih tinggi daripada yang dibuat helical [1].


Selain itu, penggunaan pipa kapiler dengan diameter 0.031
inchi memiliki kapasitas refrigerasi yang lebih maksimal [2].
Sama halnya dengan penelitian sebelumnya, untuk
meningkatkan performa dari mesin pendingin dapat dilakukan
dengan memberikan perlakuan pada pipa kapiler yaitu
menurunkan temperatur pipa kapiler dengan mengubah posisi
penempatannya [3]. Hasilnya, terjadi pergeseran nilai entalpi
yang lebih kecil sehingga nantinya mendorong kenaikan efek
refrigerasi.
Salah satu indikator prestasi kerja yang ditunjukkan dari
pipa kapiler adalah kemampuan untuk menurunkan tekanan
refrigeran yang mengalir dari kondensor ke evaporator.
Dimana penurunan tekanan ini, harus disesuaikan dengan
karakteristik kompresor serta refrigeran yang digunakan. Saat
ini penggunaan refigeran masih didominasi oleh refrigeran
yang
berbasiskan
Chloroflourocarbon
(CFC)
dan
Hydrokloroflourocarbon (HCFC) yang memiliki sifat stabil,
tidak mudah terbakar, tidak beracun dan kompatibel terhadap
sebagian besar bahan komponen pada peralatan pendingin
konvensional. Akan tetapi, akhir-akhir ini diketahui bahwa
telah terjadi kerusakan lingkungan yaitu penipisan lapisan ozon
dan kenaikan suhu permukaan bumi yang salah satu
penyebabnya dikarenakan oleh penggunaan kedua jenis
refrigeran ini. Oleh karena itu, pada saat ini dikembangkan
jenis refrigeran dari bahan Hydrocarbon (HC) yang lebih
ramah lingkungan dan hemat energi. Diketahui, bahwa
refrigeran jenis ini dapat menghemat 25% energi pada
kompresor jika dibandingkan dengan menggunakan refrigeran
konvensional [4]. Namun, refrigeran jenis Hydrocarbon ini
memiliki kelemahan yaitu memiliki sifat dapat terbakar apabila
terpenuhinya seluruh unsur dalam segitiga api.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui kinerja mesin refrigerasi dengan variasi
panjang pipa kapiler dan kemampuan pipa kapiler dalam
menurunkan tekanan refrigeran jenis Hydrocarbon yang lebih
ramah lingkungan. Sehingga diharapkan akan diperoleh
kondisi optimal dari penggunaan pipa kapiler yang sesuai pada
mesin pendingin yang diuji dengan menggunakan refrigeran
yang lebih ramah lingkungan.

Energi III-52

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

II. TINJAUAN PUSTAKA


Pipa kapiler merupakan alat ekspansi yang umumya
digunakan dalam mesin pendingin ukuran kecil seperti pada air
conditioning, refrigerator dan cold storage, dengan kelebihan
berupa konstruksi yang lebih sederhana, murah, dan handal.
Saat mendisain pipa kapiler, dimensinya harus disesuaikan
dengan alat penukar kalor (kondenser dan evaporator) dan
kompresor yang digunakan, sehingga sesuai dengan kondisi
disain yang diinginkan.
Pipa kapiler adalah pipa berdiameter kecil menghubungkan
kondenser dengan evaporator pada sebuah sistem refrigerasi
berfungsi sebagai alat ekspansi. Cairan refrigeran dari
kondenser mengalir melalui pipa kapiler diturunkan
tekanannya hingga tekanan evaporasi yang diinginkan. Proses
penurunan tekanan refrigeran ini terjadi akibat terjadinya
gesekan dan percepatan dengan permukaan pipa kapiler.
Biasanya, pipa kapiler disusun dengan geometri lurus ataupun
dengan bentuk helical. Helical adalah bentuk geometri yang
menyerupai ulir sekrup. Keuntungan dari bentuk ini yaitu dapat
menghemat penggunaan tempat.
Perkembangan pipa kapiler dari waktu ke waktu semakin
bertambah. Banyak penelitian yang dikembangkan dengan
fokus kepada performa dari pipa kapiler. Karakteristik aliran
refrigeran di dalam pipa kapiler dijadikan topik utama dalam
penelitian tersebut. Untuk penentuan panjang yang diperlukan
dari pipa kapiler pada umumnya tergantung pada ukuran
sistem. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk sistem
refrigerasi kecil, interval dari 400 sampai 2500 mm. Jika pipa
sepanjang ini berbentuk lurus dalam aplikasinya (pada
instalasi), maka akan banyak tempat yang diperlukan. Sehingga
pipa kapiler itu dibentuk dalam berbagai konfigurasi, agar
mengurangi
tempat
yang
diperlukan.
Valladares
menginformasikan tentang pengaruh penambahan panjang pipa
kapiler terhadap laju aliran massa refrigeran. Dari hasil
penelitian tersebut menunjukan terjadi penurunan laju aliran
massa refrigeran seiring dengan pertambahan panjang pipa
kapiler yang digunakan [5].
Konfigurasi dari geometri pipa kapiler juga menjadi
perhatian dalam pengembangan performa pipa kapiler akhirakhir ini. Konfigurasi pipa kapiler yang dibentuk secara lurus
ataupun helical dapat memberikan pengaruh pada parameterparameter dalam analisa performa mesin pendingin secara
umum seperti laju aliran massa refrigeran, penurunan tekanan,
efek refrigerasi, COP dan kerja kompresi. Akintunde
menjelaskan bahwa terjadi peningkatan nilai COP untuk pipa
kapiler dengan geometri helical seiring kenaikan nilai diameter
coil dibandingkan dengan pipa kapiler dengan geometri
serpentin yang memiliki ukuran coil yang sama [6]. Sama
halnya dengan penelitian sebelumnya, perubahan laju aliran
massa pada pipa kapiler juga dipengaruhi dari diameter dari
pipa kapiler. Raharjo [4] memberikan hasil penelitian bahwa
peningkatan diameter dari pipa kapiler mengakibatkan laju
aliran massanya juga meningkat. Selain itu, dari penelitian
yang sama juga dijelaskan bahwa konsumsi energi listrik
kompresor untuk pipa kapiler yang memiliki geometri helical
lebih besar daripada pipa kapiler dengan bentuk lurus.
Hasil-hasil dari penelitian di atas memberikan gambaran
bahwa perlakuan terhadap pipa kapiler dapat mengakibatkan
pengaruh yang dapat memperbaiki performansi dari mesin
pendingin. Dimana dengan terjadinya peningkatan laju aliran

massa, maka terjadi pula peningkatan kapasitas refrigerasi.


Namun, perlu juga diperhatikan bahwa laju aliran massa
refrigeran yang mengalir pada pipa kapiler haruslah
disesuaikan dengan kondisi yang seimbang di kompresor untuk
menjaga kekosongan pada pada pipa-pipa evaporator.
Secara umum, untuk besarnya penurunan tekanan pada
pipa dipengaruhi oleh panjang dan diameter dalam pipa,
kecepatan aliran fluida, dan faktor gesekan yang terjadi
sepanjang pipa. Meskipun demikian, kenyataannya aliran
fluida dalam pipa kapiler sangat kompleks. Dimana di dalam
pipa kapiler terjadi aliran dua fase dengan laju aliran massa
tertentu yang sangat mempengaruhi mesin pendingin secara
keseluruhan. Aliran dua fasa merupakan aliran fluida yang
terdiri dari fasa cair dan fasa gas. Aliran dua fasa biasanya
terjadi pada proses pendidihan atau kondensasi. Basri
menjelaskan bahwa karakteristik hidraulik aliran dua fasa pada
pipa kapiler yaitu koefisien gesek sangat dipengaruhi oleh
bilangan reynold rata-rata yang terjadi. Dimana hasil
eksperimen menunjukkan jika terjadi peningkatan bilangan
reynold maka nilai koefisien gesek akan mengalami penurunan.
Hal ini disebabkan oleh peningkatan suhu refrigeran yang
masuk ke pipa kapiler sebagai akibat dari kenaikan kecepatan
aliran refrigeran itu sendiri [7].
Penentuan dimensi pipa kapiler yang digunakan selain
dapat ditentukan dengan menggunakan metode analisis melalui
persamaan [4], metode numerik juga dapat dijadikan salah satu
pilihan, walaupun dalam pemodelannya memiliki tingkat
kesulitan yang tinggi. Salah satu diantaranya adalah yang
dilakukan Zhang dan Ding [8], yang memberikan korelasi
untuk penetuan panjang pipa kapiler yang digunakan dengan
hasil yang cukup akurat. Walaupun demikian korelasi ini masih
cukup rumit untuk diaplikasikan untuk semua jenis refrigeran
karena adanya perbedaan sifat refrigeran itu sendiri.
Kompresor dan Pipa Kapiler, pada keadaan stedi harus
sampai pada tekanan isap dan buang tertentu, yang
menyebabkan laju aliran massa yang sama melalui kompresor
dan Pipa Kapiler. Keadaan ini disebut titik kesetimbangan.
Tekanan kondensor dan evaporator adalah tekanan jenuh pada
temperatur kondensor dan evaporator tersebut. Laju aliran
massa melalui kompresor berkurang jika rasio tekanan
meningkat karena efisiensi volumetrik dari kompresor
berkurang dengan peningkatan rasio tekanan. Rasio tekanan
meningkat ketika tekanan evaporator berkurang atau tekanan
kondensor meningkat. Karenanya, laju aliran massa melalui
kompresor berkurang dengan peningkatan pada tekanan
kondensor dan atau dengan penurunan tekanan evaporator [3].
Beda tekanan melewati pipa kapiler itu adalah gaya penggerak
bagi refrigeran untuk mengalir sepanjang sistem, karenanya
laju aliran massa melalui pipa kapiler meningkat seiring
peningkatan beda tekanan yang melintasinya. Dengan
demikian laju aliran massa melalui pipa kapiler meningkat
seiring peningkatan tekanan kondensor dan atau pengurangan
tekanan evaporator. Karenanya, untuk suatu nilai tekanan
kondensor tertentu, ada suatu nilai yang terbatas dari tekanan
evaporator di mana laju aliran massa melalui kompresor dan
evaporator adalah sama. Tekanan
ini
adalah
titik
kesetimbangan di mana sistem akan didapat dalam keadaan
stedi. Sehingga, untuk suatu temperatur kondensor, terdapat
nilai tertentu dari temperatur evaporator di mana titik
kesetimbangan akan terjadi [3].

Energi III-53

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

III. METODE PENELITIAN


A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Labolatorium Teknik Pendingin
Jurusan Mesin Fakultas Teknik Universitas Tadulako.
Penelitian ini berlangsung dari bulan Desember 2013 hingga
April 2014.
B. Alat Dan Bahan Yang Digunakan
Alat pengujian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
prototipe mesin pendingin refrigerasi sederhana seperti
ditunjukkan pada gambar di bawah ini.

C. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian diawali dengan perakitan mesin uji
dengan variasi panjang pipa kapiler, dan memastikan bahwa
seluruh sambungan pipa telah tersambung dengan kuat, melalui
tes kebocoran dengan menggunakan leak detector. Kemudian
melakukan vacum system, dan selanjutnya pengisian refrigeran
sesuai dengan jumlah yang dipersyaratkan. Pengambilan data
dilakukan dengan terlebih dahulu mencatat kondisi awal sistem
sebelum dijalankan. Waktu pengambilan data dilakukan tiap 3
menit untuk setiap variasi panjang pipa kapiler dengan
refrigeran R22 dan MC 22.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Efek Refrigerasi
Efek refrigerasi merupakan proses penyerapan kalor
lingkungan oleh refrigeran melalui permukaan pipa evaporator.
Pada mesin pendingin, tinggi rendahnya efek refrigerasi
dipengaruhi oleh banyak hal, salah satunya adalah geometri
evaporator [9]. Semakin tinggi penyerapan suhunya maka
semakin tinggi juga efek refrigerasi yang dihasilkan [10].

Gambar. 1 Mesin uji dengan variasi panjang pipa kapiler

Komponen mesin refrigerasi dengan kapasistas kompresor


yang digunakan adalah 1 HP, tipe rotary yang didisain untuk
jenis refrigerant R22. Kondensor dan evaporator yang
digunakan tipe shell and coil air cooled . Untuk peralatan
ekspansi, dalam hal ini adalah pipa kapiler dengan diameter
0.054 inchi. Adapun panjang pipa kapiler yang diujikan mulai
dari 0.6 m, 0.9 m, 1.2 m, 1.5 m, 1.8 m dan 2.1 m.
Instrumen penelitian berupa alat ukur, dengan menempatkan
termokopel dan pressure gauge pada discharge line, sunction
line dan liquid line. Untuk memudahkan variasi kapiler pada
alat uji digunakan shut off valve, bertujuan agar dalam proses
pengujian tidak bongkar pasang. Bongkar pasang pada sistem
mengakibatkan kehilangan banyak refrigeran. Selain itu
keuntungannya dalam menggunakan shut off valve adalah
selama pengujian variasi pipa kapiler dengan kandungan
refrigeran dalam sistem memiliki komposisi yang sama.
Sedangkan untuk bahan penelitian digunakan 2 macam
refrigeran yaitu R22 dan Hydrocarbon (HC) 22. Untuk
refrigerant jenis HC 22, digunakan refrigeran produksi
pertamina yaitu MUSIcool (MC) 22.

Gambar. 2 Refrigeran jenis Hydrocarbon (MUSIcool / MC 22)

Gambar 3. Hubungan Panjang Pipa Kapiler Dengan Efek Refrigerasi

Grafik di atas menunjukkan bahwa seiring dengan


pertambahan panjang pipa kapiler besar nilai efek refrigerasi
yang terjadi semakin besar pula. Hal itu terlihat untuk kedua
jenis refrigeran yang digunakan, baik untuk R22 ataupun MC
22. Kondisi ini dapat terjadi karena pengaruh dari tekanan dan
temperatur pada refrigeran yang masuk dan keluar dari
evaporator. Seiring dengan pertambahan panjang pipa kapiler,
suhu refrigeran yang masuk ke evaporator semakin menurun
sehingga mendorong nilai entalpinya pun ikut menurun.
Penurunan nilai entalpi ini menghasilkan nilai selisih entalpi
antara masuk dan keluar evaporator semakin besar sehingga
menaikkan nilai efek refrigerasi.
Pada grafik di atas juga terlihat bahwa refrigeran MC 22
memiliki nilai efek refrigerasi persatuan massa yang lebih
tinggi daripada refrigeran R22. Oleh karena itu untuk
mendapatkan kapasitas refrigeran yang sama diantara
keduanya, refrigeran MC 22 hanya memerlukan jumlah
refrigeran yang lebih sedikit untuk bersirkulasi di dalam sistem
dibandingkan dengan refrigeran R22. Untuk pengujian ini,
jumlah refrigeran R22 yang digunakan sebesar 530 gram. Nilai
ini merupakan jumlah refrigeran yang telah telah ditetapakan
oleh pabrikan pembuat alat. Sedangkan untuk refrigeran MC
22, jumlah refrigeran yang digunakan menurut rekomendasi
pabrik pembuat hanya berkisar 30% dari jumlah refrigeran
konvensional
yang digunakan sebelumnya.
Namun

Energi III-54

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

berdasarkan hasil pengujian, jumlah ini masih kurang. Hal ini


didasari oleh kondisi mesin yang masih under charge pada saat
beroperasi. Oleh karena itu, dilakukan penambahan jumlah
refrigeran hingga mencapai 240 gram. Dan setelah diamati,
nilai ini telah sesuai karena pada saat beroperasi tidak terjadi
lagi kondisi undercharge pada mesin. Adapun hal yang
menyebabkan nilai efek refrigerasi MC 22 untuk tiap satuan
massanya lebih tinggi daripada R22 adalah nilai panas jenis
MC 22 yang lebih tinggi daripada R22, sehingga
memungkinkan penyerapan kalor yang lebih efektif.
B. Kerja Kompresor
Kerja kompresor merupakan kerja yang setara dengan
perubahan entalphi selama proses kompresi. Pada proses
kompresi di kompresor, uap refrigeran dari sisi keluar
evaporator senantiasa dalam fase gas (uap). Di dalam
kompresor, uap refrigeran ditekan (dikompresi) sehingga
tekanan dan temperatur naik.

Gambar 4. Hubungan Panjang Pipa Kapiler Dengan Kerja Kompresor Kerja


kompresor merupakan kerja yang kerja yang setara

Berdasarkan grafik di atas, terlihat bahwa untuk


keseluruhan pengujian terjadi peningkatan kerja kompresi
untuk setiap penambahan panjang pipa kapiler. Hal ini berlaku
untuk kedua jenis refrigeran yang diujikan. Walaupun, pada
pengujian pipa kapiler 0,6 m 1,2 m untuk refrigeran R22
terjadi penurunan kerja kompresor namun hal ini tidak terlalu
signifikan. Kenaikkan nilai kerja kompresor untuk keseluruhan
variasi pengujian disebabkan oleh kondisi refrigeran masuk ke
kompresor terdorong jauh ke dalam daerah panas lanjut seiring
pertambahan panjang pipa kapiler. Refrigeran yang terlalu
terdorong masuk ke dalam daerah panas lanjut memiliki nilai
rapat massa yang lebih rendah daripada refrigeran yang berada
pada keadaan saturasi, sehingga volume refrigeran yang
memasuki kompresor semakin besar [10]. Hal inilah yang
mengakibatkan kerja kompresi menjadi lebih besar.
Hal lain yang dapat dilihat dari grafik di atas yakni kerja
kompresor persatuan massa yang dimiliki refrigeran MC 22
lebih tinggi 45,73% jika dibandingkan dengan refrigeran R22.
Kerja kompresor yang semakin tinggi mengakibatkan nilai
koefisien prestasi (COP) yang kecil.
C. Coefficient of Performance (COP)
Koefisien prestasi adalah perbandingan antara kalor yang
diperlukan untuk mempertahankan temperatur ruangan yang
diinginkan dengan kerja yang dilakukan oleh kompresor.

Gambar 5. Hubungan Panjang Pipa Kapiler Dengan COP

Pada grafik hubungan panjang pipa kapiler terhadap


koefisien prestasi mesin pendingin menunjukkan adanya
kecenderungan semakin panjang pipa kapiler yang digunakan
maka nilai koefisien prestasi mesin pendingin yang terjadi
semakin menurun. Hal ini menunjukan hubungan yang
berbanding terbalik antara kedua variabel tersebut.
Berdasarkan hasil perhitungan, nilai COP untuk penggunaan
refrigeran R22 sebesar 8,72 pada saat menggunakan pipa
kapiler yang terpendek. Nilai tersebut berangsur-ansur naik
hingga mencapai 9,94 untuk panjang pipa kapiler 1,2 m,
kemudian turun hingga mencapai nilai terendah 6,97 pada
penggunaan pipa kapiler terpanjang 2,1 m. Hal yang serupa
terjadi pada penggunaan refrigeran MC22 untuk massa
refrigeran 240 gram. Pada awal-awal penggunaan pipa kapiler
terpendek, nilai COP sebesar 9,81. Nilai ini merupakan nilai
yang tertinggi yang dicapai mesin pendingin dengan
menggunakan refrigeran MC 22. Kemudian nilai COP tersebut
menurun hingga 8,03 untuk pipa kapiler dengan panjang 1,2 m
dan seterusnya menurun sampai 6,79 untuk pipa kapiler yang
terpanjang. Penyebab terjadinya penurunan nilai COP mesin
pendingin yakni kenaikan kerja kompresor yang terjadi. Seperti
dijelaskan pada grafik sebelumnya, kerja kompresor semakin
tinggi akibat pertambahan panjang pipa kapiler karena
terjadinya kondisi dimana jumlah refrigeran yang berkurang.
Selanjutnya, seperti terlihat pada grafik nilai COP
refrigeran R22 relatif lebih tinggi daripada refrigeran MC22.
Hal ini terjadi pula pada hasil pengujian sebelumnya yang
menyatakan bahwa nilai COP R22 lebih tinggi 81,56 %
daripada refrigeran Hydrocarbon 22 [11]. Selain itu, pada
pengujian lainnya memberikan hasil bahwa COP ideal dan
aktual HCR-22 lebih kecil dari R-22 untuk setiap variasi laju
pendinginan di kondensor [12]. Sementara, pada pengujian
dengan variasi penjang pipa kapiler ini nilai COP refrigeran
R22 lebih tinggi 9,16% jika dibandingkan dengan refrigeran
MC22 dengan jumlah massa 240 gram. Hal ini menunjukkan
refrigeran R-22 lebih bagus daripada MC22 karena semakin
tinggi harga COP-nya maka semakin bagus performansi dari
mesin pendingin.
D. Penurunan Tekanan dan temperature Evaporasi
Kemampuan pipa kapiler dalam menurunkan tekanan
refrigeran merupakan sebuah keharusan agar terpenuhinya
sebuah keseimbangan laju aliran massa yang mengalir pada
sistem. Tekanan refrigeran yang masuk pada pipa kapiler
berada pada kondisi yang tinggi karena telah melewati proses
pelepasan kalor ke lingkungan di kondensor secara isobarik.
Biasanya, refrigeran memasuki pipa kapiler dengan fasa cairan
tertekan atau subcool.

Energi III-55

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

Gambar 5. Hubungan Panjang Pipa Kapiler Dengan Tekanan Pada Masuk dan
Keluar Pipa Kapiler

teoritis menjelaskan, penurunan tekanan akan bertambah jika


panjang pipa ikut bertambah pula. Perbedaan kedua kondisi ini
dapat terjadi disebabkan oleh penurunan nilai densitas
refrigeran. Peristiwa ini terjadi karena temperatur refrigeran
yang semakin rendah dan peningkatan kualitas uap yang
dikandung refrigeran.
Penambahan panjang pipa kapiler dapat menurunkan
temperatur refrigeran pada proses evaporasi. Proses evaporasi
merupakan proses perubahan fasa dari cair menjadi uap.
Refrigeran mengambil panas dari luar untuk menguapkan
semua refrigeran cair yang ada di dalam evaporator. Secara
ideal, proses ini berlangsung dalam keadaan tekanan dan
temperatur konstan. Namun secara aktual, hal ini tidaklah
terpenuhi karena kenyataannya terjadi penurunan tekanan
akibat gesekan antara antara aliran refrigeran dengan
permukaan pipa evaporator.

Berdasarkan grafik di atas, terlihat bahwa tekanan


refrigeran memasuki pipa kapiler dan keluar pipa kapiler
menurun seiring panjang pipa kapiler bertambah. Hal tersebut
terjadi untuk keseluruhan variasi pengujian. Akibatnya, nilai
beda tekanan yang terjadi pun ikut menurun. Keseluruhan nilai
beda tekanan yang terjadi pada pengujian dengan variasi
panjang pipa kapiler dapat dilihat pada grafik sebagai berikut.

Gambar 7. Hubungan Panjang Pipa Kapiler Dengan Temperatur Masuk


Evaporator

Gambar 6. Hubungan Panjang Pipa Kapiler Dengan Penurunan Tekanan

Pada hasil pengujian yang terlihat pada grafik, terlihat


bahwa panjang pipa kapiler sangat mempengaruhi beda
tekanan yang terjadi pada setiap pengujian. Dari enam variasi
panjang pipa kapiler yang di uji untuk dua jenis refrigeran
berbeda, menghasilkan kecenderungan penurunan beda
tekanan pipa kapiler bila terjadi penambahan panjang. Dalam
grafik terlihat bahwa pada refrigeran R22 besar penurunan
tekanan terbesar terjadi pada panjang pipa kapiler 0.6 m
dengan nilai 14.6 bar, sedangkan penurunan tekanan
terkecilnya sebesar 13,51 bar yang terjadi pada panjang pipa
kapiler terpanjang 2,1 m. Selanjutnya, untuk refrigeran MC22
dengan jumlah massa 240 gram terlihat memiliki
kecenderungan yang sama dengan dengan pengujian
sebelumnya yang menggunakan refrigeran R22. Pada
pengujian ini, refrigeran MC 22 memiliki penurunan tekanan
terbesar adalah 12,04 bar pada pipa kapiler 0,6 m dan terendah
sebesar 11.46 bar pada pipa kapiler terpanjang. Keadaan ini,
jika dibandingkan dengan kondisi teoritis aliran dalam pipa
sangatlah berbeda. Dimana, pertambahan panjang pipa sangat
berpengaruh dalam menurunkan tekanan refrigeran. Keadaan

Temperatur refrigeran yang masuk ke evaporator semakin


menurun akibat pertambahan panjang pipa kapiler. Hal tersebut
terlihat pada grafik di atas. Untuk refrigeran R22, temperatur
masuknya berkisar 6,6 C untuk panjang pipa kapiler yang
terpendek dan selanjutnya turun hingga -7,5C untuk
penggunaan pipa kapiler 2.1 m. Untuk refrigeran MC22
dengan jumlah massa 240 gram, untuk pipa kapiler dengan
panjang pipa kapiler 0.6 m suhu masuk evaporator yang terjadi
sebesar 8,1 C kemudian berangsur-angsur turun hingga -5,4
C pada pipa kapiler yang panjangnya 2.1 m. Kejadian pada
dua pengujian refrigeran di atas, memiliki kecenderungan yang
sama yaitu penurunan temperatur untuk setiap penambahan
panjang pipa kapiler. Kondisi ini terjadi akibat dari tahanan
gesek yang terjadi pada pipa kapiler semakin besar. Tahanan
gesek ini merupakan daya hambat yang terjadi antara aliran
refrigeran dengan permukaan pipa kapiler sebagai akibat dari
kecilnya penampang dari pipa kapiler itu sendiri. Kenaikan
tahanan gesek ini juga pada akhirnya akan mempengaruhi
mempengaruhi jumlah aliran refrigeran.
Secara keseluruhan, temperatur masuk evaporator antara
kedua jenis refrigeran yang diujikan tidaklah jauh berbeda.
Walau terlihat dari grafik, temperatur yang terjadi pada
refrigeran R22 lebih rendah dibanding MC22. Namun melihat
dampak lingkungan yang dapat ditimbulkannya, penggunaan
refrigeran R22 perlu ditinjau kembali dan dapat digantikan
dengan MC22 yang lebih ramah lingkungan.

Energi III-56

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

V. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisa data maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut.
Pertambahan panjang pipa kapiler mengakibatkan
penurunan nilai pressure drop yang terjadi
untuk
penggunaan kedua jenis refrigeran.
Pertambahan panjang pipa kapiler mengakibatkan
penurunan temperatur evaporasi yang terjadi. Hal ini
terlihat dari penurunan temperatur masuk evaporator yang
semakin rendah dengan nilai berturut-turut 8.1C, 7.0C,
5.3C, -0.8C, -2.4C, -5.4C untuk refrigeran MC 22 dan
6.6C, 3.7C, 2.4C, -1.4C, -4.8C, -7.5C untuk
refrigeran R22.
Pipa kapiler yang terlalu panjang mengakibatkan penurunan
performasi mesin pendingin untuk penggunaan kedua jenis
refrigeran. Hasil pengujian memperlihatkan efek refrigerasi
cenderung naik, namun kerja kompresor semakin besar
sehingga koefisien prestasinya semakin menurun.
REFERENSI
[1] S.S. Punia., J. Singh, Experimental Investigation On The
Performance Of Coiled Adiabatic Capillary Tube With LPG As
Refrigerant, International Journal of Mechanical and
Production
Engineering
Research
and
Development
(IJMPERD), Vol. 2 Issue 4 December 2012, pp: 73-82.
[2] H.Z. Satria, Studi Ekperimental Perbandingan Menggunakan
Refrigeran R-12 Dan Refrigeran Hidrokarbon (MC-12) Pada
Industrial And Commercial Refrigeration Training Unit Dengan
Inside Diameter Pipa Kapiler Berbeda , DTM FTI ITS, 2011.

[3] K. Anwar., Efek Temperatur Pipa Kapiler Terhadap Kinerja


Mesin Pendingin, Jurnal Mekanikal, Vol. 1 No. 1 Januari 2010
: 30 - 39.
[4] S. Raharjo, Efektifitas Penggunaan Musicool Pada Mestn Ac
(Studi Kasus: Ac Merk Tosiba Dan Panasonik Di Universitas
Negeri Semarang), Jurnal Traksi. Vol. 11 . No. 1. Juni 2011.
[5] O.G.Valladares, Numerical Simulation And Experimental
Validation Of Coiled Adiabatic Capillary Tubes, Applied
Thermal Engineering : 27 (2007), 10621071.
[6] M.A. Akintunde, Effect Of Coilled Capillary Tube Pitch On
Vapour Compression Refrigeration System Performance ,
AU.JT. 11 (1): 14- 22 (Jul.2007).
[7] Basri, Karakteristik Hidrolik Aliran Dua Fasa, JIMT, Vol. 6,
No. 2, November 2009 : 71 79.
[8] C. Zhang, G. Ding, Approximate analytic solutions of adiabatic
capillary Tube, International Journal of Refrigeration : 27, 17
24, 2004.
[9] K. Marsan, K. Anwar, A.Surianto, Pengaruh Geometri
Evaporator Terhadap Tekanan dan Temperatur pada siklus
Refrigerasi Uap Standar , Proceeding SNTTM XI UGM
Yogyakarta, 16-17 Oktober 2012.
[10] W.F. Stoecker, dan J.W. Jerold, Refrigerasi dan Pengkondisian
Udara edisi ke-2. Alih bahasa Ir. Supratman Hara, Erlangga,
Jakarta, 1996.
[11] K.O. Arijanto., Pengujian Refrigeran Hycool HCR-22 Pada Ac
Splite Sebagai Pengganti Freon R22 , Jurnal Rotasi, Vol. 9 No.
2 April 2007 : 42 - 46.
[12] H. Prasetya., Pengujian Unjuk Kerja Ac Domestik Dengan
Refrigeran R-22 Dan HCR-22 Pada Variasi Beban Pendinginan
Evaporator Dan Laju Pendinginan Kondensor, DTM FT UNS,
2009.

Energi III-57

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

Kinerja Yang Dihasilkan Oleh Kincir Air Arus


Bawah Dengan Sudu Berbentuk Mangkok
Luther Sule
Jurusan Mesin Fakultas Teknik
Universitas Hasanuddin
Makassar, Indonesia
Luther.sule@yahoo.co.id

AbstractTenaga air adalah tenaga yang diperoleh dari air


yang mengalir. Energi yang dimiliki air dapat dimanfaatkan dan
digunakan dalam bentuk energi mekanis maupun energi listrik.
Pemanfaatan energi air banyak dilakukan menggunakan kincir
air (roda air) atau turbin air yang memanfaatkan adanya suatu
air terjun atau aliran sungai. Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan kincir air dengan sudu berbentuk mangkok
dengan bahan besi dan acrilik, diameter kincir (Dk) 30 cm, dan
diameter sudu (Ds) 9 cm. Dengan variasi jumlah sudu yaitu 4, 6,
dan 8 sudu. Memberikan debit dan pembebanan tertentu
sehingga diperoleh daya. Dari hasil penelitian diketahui bahwa
efisiensi tertinggi () dari kincir berbagai sudu terdapat pada
kincir air dengan jumlah sudu 6, yaitu 57,8491% pada debit
0,01089 m3/s. Jadi dapat disimpulkan bahwa kincir air sudu
dengan bentuk mangkok layak dijadikan sebagai alternatif
bentuk sudu yang digunakan dalam pembuatan pembangkit
listrik skala kecil
Kata Kunci arus bawah , efisiensi, energi, kincir air, sudu

I. LATAR BELAKANG
Dengan perkembangangan zaman sekarang ini, kebutuhan
akan energi semakin meningkat, terutama bagi negara atau
daerah yang sedang berkembang. Oleh karenanya,
pemanfaatan energi secara tepat guna dapat menutupi
kebutuhan energi yang terus meningkat.
Di Indonesia, suplai energi masih mengandalkan
pembangkit berbahan bakar fosil seperti batu bara, minyak
bumi, dan gas alam yang tersedia dalam jumlah terbatas dan
suatu saat akan habis, sementara permintaan akan energi listrik
terus bertambah. Oleh karenanya pemanfaatan energi sekarang
ini sudah diarahkan pada penggunaan energi terbarukan yang
ada di alam. Misalnya energi air, energi angin, energi matahari
dan sebagainya. Hal ini dikarenakan energi terbarukan jenis di
atas mudah didapat dan dapat didaur ulang bila dibandingkan
dengan energi fosil seperti minyak bumi dan batu bara. Untuk
mendapatkan sumber energi fosil harus dilakukan proses yang
rumit dan membutuhkan waktu yang lama. Selain itu
sumber energi fosil sekarang ini jumlahnya sudah berkurang
dan tidak dapat diperbaharui.
Sumber-sumber energi terbarukan seperti energi matahari,
panas bumi, energi air, energi angin dan sebagainya memenuhi
kriteria sehingga dalam pemanfaatannya terbukti dapat
mengurangi penggunaan energi fosil yang kian terbatas
jumlahnya.

Salah satu sumber energi terbarukan yang sangat berpotensi


dalam penggunaannya adalah energi air. Mengingat negara kita
merupakan negara-negara beriklim tropis dan mempunyai
curah hujan yang tinggi ditambah dengan faktor pendukung
seperti keadaan topografi yang bergunung-gunung dengan
aliran sungai yang deras sehingga sangat berpotensi untuk
dijadikan sebagai pembangkit tenaga listrik.
Tenaga air adalah tenaga yang diperoleh dari air yang
mengalir. Energi yang dimiliki air dapat dimanfaatkan dan
digunakan dalam bentuk energi mekanis maupun energi listrik.
Pemanfaatan energi air banyak dilakukan dengan
menggunakan kincir air (roda air) atau turbin air yang
memanfaatkan adanya suatu air terjun atau aliran sungai.
Bentuk profil mangkok merupakan salah satu bentuk profil
yang memiliki nilai koefisien drag yang tinggi setelah plat
datar, yaitu dengan nilai 1,42. Semakin besar nilai koefisien
drag yang dimiliki oleh sebuah profil, maka semakin besar
kemampuannya untuk memanfaatkan tenaga air yang
menghantamnya
II. METODOLOGI DAN PERALATAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Maret - April
2012,bertempat di aboratorium Mesin-mesin Fluida,
Universitas Hasanuddin Makassar.
Instalasi Alat Pengujian

Energi III-58

Gambar 1. Tampakan instalasi alat uji.

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

sehingga terjadi momen puntir pada poros yang biasa dikenal


dengan Torsi,
sehingga torsi dapat disimpulan sebagai :
T = F * rk
= m * g * rk ,
Dimana :
T = besarnya torsi yang terjadi (N.m)
m = massa pembebanan (kg)
g = gravitasi = 9,81 m/s2
rk = jari-jari roda pembebanan
Hubungan antara torsi dan pembebanan cenderung berbanding
lurus, artinya semakin besar pembebanan, maka torsi yang
terjadi juga semakin besar dan begitu pula sebaliknya. Hal ini
diperlihatkan contoh tabel dari hasil perhitungan kinicr air
sudu 8 dan pada debit Q3 dibawah ini :
Tabel.1 Putaran dan torsi yang terjadi pada kincir air sudu 8 dengan debit

Gambar 2. Kincir air sudu 4

Q3

Gambar 3. Kincir air sudu 8

Gambar 4. Foto Instalasi Pengujian


III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dengan selesainya melakukan pengujian dan pengolahan
data pada kincir air dengan model sudu berbentuk mangkok,
maka diperoleh data-data antara lain,
debit air, daya ideal air, torsi, daya kincir, dan efisiensi atau
kinerja dari kincir.
Daya ideal air yang diperoleh berbeda-beda, hal ini
disebabkan berbedabedanya
debit air. Dimulai dari debit air 0,01089 m3/s (Q1), 0,01156
m3/s (Q2), hingga 0,01228 m3/s (Q3). Semakin besar debit
air, maka daya ideal air juga semakin besar. Hal ini sesuai
dengan rumus :
Pair = * * Q * V
= * * A * V3
Dimana :
Pair = daya yang dimiliki oleh air (watt)
= massa jenis air (kg/m3)
A2 = luas penampang sudu yang dihantam oleh air (m2)
Ketika kincir berputar, dan apabila digantungkan beban, maka
akan terjadi
pengereman berupa gesekan antara roda pembebanan dengan
tali pembebanan

Setiap pembebanan yang diberikan kepada kincir air akan


mengurangi putaran poros kincir. Hal ini terjadi disebabkan
adanya pengereman pada poros yang mengakibatkan putaran
poros berkurang sedikit demi sedikit hingga tidak terjadi
putaran lagi. Kincir air akan menghasilkan daya karena kincir
tersebut dapat megimbangi torsi yang diberikan. Bila torsi
yang di berikan sama dengan nol, maka kincir air tidak akan
menghasilkan daya karena kincir akan berputar sangat cepat
sebagai akibat tidak adanya pembebanan yang diberikan (tidak
terjadi pengeraman). Sebaliknya, jika diberikan torsi maksimal
maka kincir akan berhenti berputar sehingga tidak akan
menghasilkan daya. Diantara kedua nilai tersebut terdapat
nilai maksimum dimana terjadi daya maksimum dari sebuah
kincir air. Sehingga apabila dibuat dalam bentuk sebuah grafik
maka akan membentuk sebuah garis setengah parabola
(kecenderungan). Berikut adalah grafik 1, grafik 2 dan grafik 3
yang memperlihatkan perbandingan antara daya kincir (P
kincir) terhadap putaran (n) dari kincir air berbagai jumlah
sudu dan berbagai debit.

Energi III-59

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

Dari tabel 2 di atas dapat diketahui, untuk sudu 4 daya


maksimum untuk tiap pertambahan debit jika digambarkan
dalam sebuah grafik maka akan menunjukkan sebuah garis
setengah parabola dimana terdapat titik maksimum dan titik
minimum. Untuk sudu 6, daya maksimum berbanding terbalik
terhadap pertambahan debit. Dan untuk sudu 8, daya
maksimum berbanding terbalik terhadap pertambahan debit.
Dari tabel 7 di atas juga dapat diketahui, untuk jumlah sudu 4,
daya maksimum terjadi pada Q2, untuk jumlah sudu 6, daya
maksimum terjadi pada Q1, dan untuk jumlah sudu 8, daya
maksimum terjadi pada Q1. Berikut adalah grafik 4 yang
memperlihatkan perbandingan antara daya kincir maksimum
(Pkincir) terhadap putaran (n) pada berbagai jumlah sudu
kincir air

Tabel.2 Daya maksimum pada berbagai jumlah sudu dan berbagai debit.

Energi III-60

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

Dari hasil pengamatan diketahui bahwa fisiensi maksimum


() berbanding lurus terhadap daya kincir air maksimum
Pkincir). Dari tabel 8 diatas, dapat disimpulkan bahwa
efisiensi tertinggi dimiliki oleh kincir air dengan jumlah sudu
6, yaitu 57,8491 %. Berikut adalah grafik 8 yang
memperlihatkan hubungan antara efisiensi maksimum kincir
air () terhadap putaran (n) pada berbagai jumlah sudu.

Hubungan antara daya maskimum dan fisiensi maksimum


adalah daya maksimu terjadi dibawah efisiensi maksimum.
Berikut adalah grafik hubungan antara efisiensi maksimum
kincir air () dan daya maksimum kincir air (Pkincir) terhadap
putaran (n) untuk kincir air dengan jumlah sudu 6 (kincir air
yang memiliki efisiensi tertinggi dibandingkan kicir air
dengan jumlah sudu lainnya).

Tabel.3 Efisiensi maksimum pada berbagai jumlah sudu.

IV.
Dari hasil seluruh pengamatan dapat diketahui bahwa kincir
air dengan jumlah sudu lebih bagus dari pada kincir air dengan
jumlah sudu 4 ataupun 8. Hal ini disebabkan oleh beberapa
alas an, antara lain untuk jumlah sudu 8 tidak menghasilkan
efisiensi yang baik dikarenakan daya potensial air tidak dapat
dimanfaatkan sepenuhnya oleh tiap sudu, dimana ketika sudu
mulai memasuki air atau mendapat gaya dorong dari air,
sebelum sudu dapat memaksimalkan daya potensial dari air,
sudu berikutnya telah memasuki air yang kemudian

Energi III-61

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

menghalagi jalannya air menumbuk sudu pertama. Untuk


jumlah sudu 4, daya potensial air dapat dimaksimalkan, tetapi
sudu juga mendapatkan gaya tekanan balik yang maksimal
sebagai akibat dari bentuk profil mangkok sehingga tidak
dapat menghasilkan efisiensi yang tinggi. Sedangakan untuk
jumlah sudu 6 dapat menghasilkan efisiensi yang lebih baik
baik dari pada jumlah sudu yang lain, karena daya ptensial air
yang dimanfaatkan dapat dimaksimalkan sehingga tidak
menghasilkan tekanan balik yang begitu besar sebagai aikibat
dari jumlah sudu itu sendiri. Dimana ketika sudu pertama
memasuki air, daya potensial air yang diterima belum
maksimal karena sudu kedua telah memasuki air, tetapi daya
potensial air yang tidak dapat imanfaatkan dari sudu pertama
dapat digantikan oleh sudu kedua, dan begitu seterusnya.
V. KESIMPULAN
1.

2.

Dari hasil pengamatan diketahui bahwa efisiensi


tertinggi () dari kincir berbagai sudu terdapat pada
kincir air dengan jumlah sudu 6, yaitu 57,8491% pada
debit 0,01089 m3/s.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa efisiensi
maksimum () berbanding lurus dengan daya kincir
maksimum (Pkincir) atau daya maksimum (Pkincir)
terjadi dibawah efisiensi maksimum (). Dan adapun

Penyimpangan nilai-nilai hasil pengujian terhadap


garis ideal pada grafik adalah dikarenakan adanya
tekanan balik dari arus yang mengalir dan
menghantam sudu mangkok (terjadi aliran turbulensi).
.
REFERENSI
[1] Anonim. http://24volt.eu/poncelet.php.
Diakses pada
tanggal 15 Mei 2012
[2] Anonim. http://www.top-alternative-energy-sources.com/waterwheel-design.html. Diakses pada tanggal 15 Mei 2012
[3] Anonim. http://wikipedia.com/fisika. Diakses pada tanggal 15
Mei 2012
[4] Himran, Syukri. 2006. Dasar-dasar merencana Turbin Air. CV
Bintang Lamumpatue, Makassar
[5] Patty, O.F. 1995. Tenaga Air. Erlangga, Jakarta
[6] Prayatmo, Wibowo. 2007. Turbin Air. Graha Ilmu, Yogyakarta
[7] Suharsono. 2004. Kincir Air Pembangkit Listrik. PT Penebar
Swadaya, Jakarta
[8] White, Frank M, Hariandja, Manahan. 1986. Mekanika Fluida
(Terjemahan). Edisi I, Erlangga, Jakarta
[9] Yusri, Aidil Z, Asmed. 2004. Analisa Daya dan Putaran Kincir
Air Tradisional Sebagai Alternatif Sumber Daya Penggerak.
Jurnal Teknik Mesin, Politeknik Negeri Padang, Vol 1, No 2.
Padang

Energi III-62

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

Pengaruh Modifikasi Permukaan Bawah Panci


Terhadap Peningkatan Efisiensi Panci
Nurfuadah

Wahyu H. Piarah

Jurusan Mesin Fakultas Teknik


Universitas Hasanuddin
Makassar, Indonesia
fuada_98@yahoo.com

Jurusan Mesin Fakultas Teknik


Universitas Hasanuddin
Makassar, Indonesia
wahyupiarah@yahoo.com

AbstractSalah satu cara untuk meminimalkan konsumsi


energi adalah memodifikasi peralatan yang telah ada Penelitian
ini bertujuan untuk menentukan besarnya energi pancaran
radiasi nyala yang berasal dari api kompor gas, energi kalor
radiasi termal, konveksi dan efisiensi yang dihasilkan. Penelitian
ini menggunakan metode eksperimental yang dilakukan pada
panci yang kedalaman permukaan bawahnya (a) = 0 cm yang
disebut panci rata ; (a) = 1 cm yang disebut panci modifikasi I
dan (a) = 1 !4 cm yang disebut panci modifikasi II. Penelitian ini
dilakukan dengan mengukur suhu di permukaan bawah panci,
api kompor gas, air yang dipanaskan . Hasil penelitian
menunjukkan bahwa energi pancaran nyala api untuk panci
rata, modifikasi I dan modifikasi II sebesar 144 -180 W ke
permukaan bawah panci. Energi kalor panci radiasi termal dan
konveksi untuk panci rata pada katup 1, katup 2, katup 3 sebesar
97,7 - 120,8 W; untuk panci modifikasi I sebesar 97,3 - 134,8 W;
untuk panci modifikasi II sebesar 114,7 - 126,7 W dengan laju
bahan bakar 0,0028 kg/menit (katup 1), 0,0041 kg/menit (katup
2) dan 0,0046 kg/menit (katup 3). Peningkatan efisiensi terjadi
pada panci modifikasi I dari 71,80 % menjadi 82,71% untuk
katup 3 .Hal ini dipengaruhi oleh kedalaman permukaan bawah
panci modifikasi I lebih efisien dan optimal untuk dapat
menyerap panas dan mendidihkan air dengan cepat.
Kata kunci : Panci, Radiasi Termal, Konveksi, Laju Bahan
Bakar

I. PENDAHULUAN
Pada era Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
saat ini, merambah segala aspek kehidupan manusia. Aplikasi
ilmu pengetahuan termasuk rekayasa engineering, sangat
dibutuhkan dalam transformasi pemenuhan kebutuhan hidup
manusia yang disesuaikan dengan ketersediaan sumber daya
energi di alam. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk
menemukan alternatif baru, dalam menciptakan alat-alat yang
lebih efesien terhadap penggunaan energi.
Efisiensi energi telah banyak dikembangkan saat ini dengan
berbagai metode dan aplikasi. Dalam aplikasi, tentunya
dilakukan di segala jenis kegiatan hidup manusia antara lain
dalam dunia industri, perkebunan & pertanian . Efisiensi energi
yang dilakukan salah satunya adalah dengan memodifikasi
peralatan yang hemat energi.
Peralatan yang hemat energi merupakan suatu inovasi yang
patut di apresiasi dalam masyarakat. Dalam aplikasinya,
peralatan tersebut dapat meminimalkan pemakaian bahan
bakar. Salah satunya adalah meminimalkan konsumsi energi
dengan memodifikasi panci.

Panci merupakan salah satu peralatan dapur yang


digunakan untuk memenuhi kebutuhan primer setiap manusia,
yaitu memasak makanan yang akan dikonsumsi. Adapun
material panci, umumnya adalah aluminium, tembaga, stainless
steel, carbon steel, dan cast iron. Pada pemilihan panci
perpindahan panas yang baik, mempunyai estetika yang indah,
tahan terhadap goresan, tidak berpengaruh terhadap masakan
yang di masak (inert), serta harga yang terjangkau.
Penelitian pemanfaatan panci telah dilakukan melalui
modifikasi permukaan bawah panci. Salah satu diantaranya,
studi tentang dua macam panci (cooking vessel), yang pertama
adalah adalah cooking vessel konvensional dan yang kedua
merupakan cooking vessel yang telah dimodifikasi dengan
menambahkan sirip pada bagian selimutnya. Pada pengujian
tersebut digunakan double exposure solar cooker sebagai
sumber panas bagi cooking vessel dengan memfokuskan arah
pantulan sinar matahari tepat di bagian bawah panci (Harmim,
2007).
Penambahan sirip pada alat penukar kalor untuk
meningkatkan luasan perpindahan panas antara permukaan
utama dengan fluida di sekitarnya dapat diaplikasikan pada
permukaan bawah panci untuk kebutuhan yang sama. Material
sirip harus memiliki konduktivitas termal yang tinggi untuk
meminimalkan perbedaan suhu antara permukaan utama
(prime surface) dengan permukaan yang diperluas (extended
surface). Ada berbagai tipe sirip pada alat penukar kalor yang
telah digunakan diantaranya mulai dari bentuk yang relatif
sederhana seperti sirip segiempat (rectangular), silindris,
annular, tirus (tapered) atau pin sampai dengan kombinasi dari
berbagai geometri yang berbeda dengan jarak yang teratur
dalam susunan selang-seling (staggered) ataupun segaris (inline)(Krauss, 2006).
Peningkatan efisiensi juga tidak terlepas dari pengaruh
kompor atau tungku yang digunakan. Melihat kenyataan
tersebut, banyak peneliti melakukan riset untuk memperoleh
efisiensi yang lebih baik.
Dalam penelitian dianalisa perfomance tungku biomassa
dengan dan tanpa sirip sehingga efisiensi terbesar diperoleh
dengan panci yang bersirip dan diameter briket 1,5' yaitu
sebesar 27,43% dengan waktu pemanasan yang cepat sekitar
20 menit (Syamsuri ,2013).
Dalam penelitian menyangkut kompor gas dilakukan
variasi volume air untuk memperlihatkan besarnya efisiensi
kompor yang dihasilkan. Dalam hal ini, diperoleh adanya
peningkatan efisiensi kompor setelah volume air yang dimasak
di variasikan, yakni volume air 200 ml memiliki efisiensi

Energi III-63

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

sebesar 11,96%, volume air 400 ml memiliki efisiensi sebesar


26,59% , volume air 600 ml memiliki efisiensi sebesar 34,47
%, volume air 800 ml memiliki efisiensi sebesar 41,56%, dan
volume air 1000 ml memiliki efisiensi sebesar 41,19%
(Ernandi , 2010).
Konsumsi bahan bakar LPG dipengaruhi oleh jenis burner.
Efisiensi pembakaran LPG oleh berbagai jenis burner kompor
gas akan dinyatakan dengan besarnya temperatur yang
dihasilkan oleh burner serta konsumsi LPG yang diperlukan
oleh burner dalam penggunaanya.Pada penelitian ini burner
pertama menghasilkan efisiensi burner sebesar 0,41% dengan
laju pemanasan yang paling cepat dan burner ketiga
menghasilkan efisiensi burner sebesar 0,35% dengan laju
pemanasan yang paling lambat ( Dinaryanto , 2010).
Dengan adanya variasi sirip dengan ( model L dan U) pada
cooking vessel aluminium 3004 dapat diperoleh efisiensi termal
dan tingkat konsumsi bahan bakar LPG. Dari hasil penelitian
menunjukkan bahwa profil sirip U menghasilkan efisiensi
termal sebesar 22,67 % dan menghemat konsumsi bahan bakar
LPG hingga mencapai 0,057 L ( Andika , 2011).
Berdasarkan penelitian tersebut salah satu hal yang dapat
mempengaruhi efisiensi panci adalah dengan adanya
modifikasi di permukaan bawahnya. Penelitian ini bertujuan
untuk dapat menentukan besarnya energi pancaran radiasi
nyala yang berasal dari api kompor gas, energi kalor radiasi
termal, konveksi dan efisiensi yang dihasilkan.

Dimana:
Q = Energi panas konduksi (kW)
A = Luas permukaan hantaran (m2)
k = konduktivitas termal bahan (kW/m.K)
L = panjang perjalanan kalor (m)
T = Suhu yang lebih rendah (C)
T2= Suhu yang lebih tinggi (C)
q = flux panas (kW/m2)
B. Perpindahan Konveksi
Perpindahan panas konveksi adalah proses perpindahan
kalor dari daerah bersuhu tinggi ke daerah bersuhu rendah
dimana energi kalor dibawa oleh molekul yang bergerak dan
terjadi pada fluida yang berada di sekitar benda padat.
Perpindahan panas konveksi adalah proses transport energi
dengan cara gabungan dari konduksi panas, penyimpanan
energi dan gerakan mencampur (diffusion).
Energi sebenarnya disimpan dalam partikel-partikel fluida
dan diangkut sebagai akibat gerakan massa tersebut.
Mekanisme ini dalam operasinya tidak tergantung hanya pada
suhu dan tidak secara tepat memenuhi defenisi perpindahan
panas. Tetapi, hasil bersihnya adalah angkutan energi karena
terjadinya dalam gradien suhu, maka juga digolongkan sebagai
suatu cara perpindahan panas konveksi,atau dapat ditulis dalam
bentuk persamaan[1,3,4,6,7,91 :

II. LANDASAN TEORI


Panas adalah suatu bentuk energi yang dipindahkan melalui
batas sistem yang ada pada suhu yang lebih tinggi ke ^ sistem
lain atau lingkungan yang mempunyai suhu yang lebih ^
rendah1101. Suatu benda tidak dapat memiliki panas, akan
tetapi panas dapat dikenali pada saat melalui batas sistem.
Sedangkan p perpin-dahan panas adalah berlangsungnya
perpindahan energi t karena adanya perbedaan suhu antara dua
sistem yang bersinggungan, dimana arah perpindahannya dari
daerah yang bersuhu lebih rendah di dalam suatu medium baik
padat, cair maupun gas.
Pada prinsipnya perpindahan panas dapat dibagi dalam tiga
cara , yakni:
A. Perpindahan panas konduksi I
Perpindahan panas konduksi adalah proses perpindahan
kalor dari daerah bersuhu tinggi ke daerah bersuhu rendah
dimana energi kalor dioper oleh molekul yang saling
bersentuhan dan terjadi pada benda padat [13].
Untuk kondisi steady secara umum dirumuskan[3,6,713I:

Dimana:
Q = Energi panas konveksi (kW)
A = Luas permukaan hantaran (m2)
h = koofisien perpindahan panas konveksi (kW/m2K)
T1 = Suhu yang lebih rendah (C)
T2 = Suhu yang lebih tinggi (oC)
Bila aliran massa fluida melintasi suatu permukaan dengan
suhu yang tidak seragam, maka laju perpindahan kalornya
dapat ditulis dalam bentuk:
(5)
Dimana:
m = laju aliran massa (kg/s)
Cp = Panas spesifik (kj/kg.K)
Tin = Suhu masuk (oC)
Tout = Suhu keluar (oC)
Perpindahan panas dengan cara konveksi dapat di klarifika
sikan dalam dua cara yaitu konveksi paksa (force convection)
dan konveksi bebas atau konveksi alamiah (free convection)[6ll]

Dengan variabel terpisah, maka persamaan (1) dapat


disusun kembali dengan mengintegrasikan terhadap luas.

Apabila memasukkan syarat batas: x = 0 pada T = T1 dan x


= L pada T =T2 ,maka persamaan (2) dapat diubah dalam
bentuk:

C. Perpindahan panas radiasi


Perpindahan panas radiasi adalah proses dimana panas
mengalir dari benda yang bersuhu tinggi ke benda yang bersuhu lebih rendah bila benda-benda itu terpisah dalam ruang
bahkan terdapat ruang hampa diantara benda-benda tersebut.
1. Radiasi Termal
Energi radiasi dapat didefenisikan sebagai peristiwa dimana
terangkutnya gelombang-gelombang elektromagnetik atau
photon-photon berdasarkan gradien suhunya tanpa suatu
medium antara.Energi yang berkaitan dengan pergerakan
photon-photon tersebut dapat digambarkan dalam persamaan.

Energi III-64

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

Dimana:
v = frekuensi radiasi
h = suatu konstante plackdiasi
2. Radiasi benda hitam dan benda kelabu
Radiasi benda hitam sering juga disebut sebagai radiasi
ideal karena pada suhu berapapun dapat memancarkan atau
menyerap radiasi maksimum dengan panjang gelombang mana
pun [6] . Radiator ideal secara teoritis : Eb = aA(T 4 ) dengan
menentukan batas-batas pancaran radiasi sesuai dengan hukum
termodinamika.
Secara umum persamaan perpindahan panas radiasi benda
kelabu dapat ditulis dalam bentuk [1,3,4,6,9,10]
Dimana:
Q r = Energi panas radiasi (kW)
= konstante stefan boltzman = 5,669 x 10-8 [W/m2 K]
s = Emisivitas pancaran nyala
F1.2 = Faktor Bentuk (View factor) radiasi (1) ke radiasi (2)
Ap = luas pancaran nyala (m2)
Tapi = Suhu pancaran nyala api (oC)
Tbenda= Suhu benda (oC)
3. Pancaran radiasi nyala api dihitung berdasarkan
persamaan:
Dimana:
Q pancaran nyala api = Energi termal oleh radiasi bahan
bakar(kW)
A
p = Luas pancaran radiasi (m2)
= konstanta proporsionalitas (Konstanta StefanBoltzmann) = 5,669 x 10 8 W / m2 . K4
Tapi = Suhu pancaran nyala api (oC)
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat, Alat, dan Bahan Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Mesin
Pendingin dan Pemanas, Jurusan Teknik Mesin , Universitas
Hasanuddin.
Penelitian secara eksperimental dilakukan dengan
mengukur suhu di permukaan bawah panci untuk memperoleh
beberapa parameter seperti yang ditunjukkan pada gambar 1 di
bawah ini:

Gambar 1. Benda Uji

(oC), T6 = Suhu sekitar api (0C), T7 = Suhu api (0C) , dan T8 =


Suhu air (oC). Dalam hal ini, pada permukaan panci yang rata
memiliki kedalaman (a) = 0 cm disebut sebagai panci rata dan
panci yang permukaan bawahnya divariasikan masing-masing
akan memiliki kedalaman (a) = 1 cm dan 1 !/ cm disebut
sebagai panci modifikasi I dan modifikasi II.
Adapun beberapa bahan dan peralatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah:
1. 3 buah panci, yakni 1 buah panci yang permukaan
bawahnya rata, dan 2 buah panci yang telah dimodifi
kasi permukaan bawahnya dengan kedalaman masing
-masing, yaitu 1 cm dan 1,5 cm
2. Air
Air adalah media yang digunakan untuk dipanaskan
dengan kapasitas volume 2 liter dan 3 liter
3. Kompor Gas
Kompor Gas yang digunakan adalah Kompor Gas
umum sama seperti yang dijual dipasaran.
4. Tabung Elpiji 3 kg
5. Termokopel
Alat ini untuk mengukur suhu air dan permukaan
bawah panci berdasarkan waktu yang ditentukan.
6. Alat pembaca suhu
B. Prosedur Pengambilan data
Adapun langkah-langkah yang akan ditempuh dalam
penelitian ini meliputi :
1. Mengkalibrasi alat ukur suhu
2. Mempersiapkan 3 macam panci yaitu 1 buah panci
yang permukaannya rata, dan 2 buah panci yang permukaan bawahnya divariasikan dengan kedalaman
masing-masing: 1 cm dan 1,5 cm .
3. Menempatkan termokopel pada permukaan bawah
panci, masing-masing pada tengah panci, dan sekitar
nya sebanyak 4 titik.Kemudian masing-masing satu
termokoppel di bagian mata kompornya ,di sekitar api
dan di dalam air yang dipanaskan.
4. Menempatkan panci yang berisi air masing-masing
sebanyak 2 liter dan 3 liter di atas kompor gas secara
bergantian.
5. Dalam proses penyalaan api kompor masing-masing
divariasikan menjadi pembukaan katup 1, katup 2 dan
katup 3.
6. Setelah menyalakan kompor gas, dimulailah pengambilan data dengan masing-masing waktu yang telah
ditentukan, diawali dari 1 menit sampai mencapai
suhu konstan( steady).
7. Setelah pengambilan data selesai, maka akan dilaku
kan pengolahan data sampai pada perhitungan
efisiensi panci dan efisiensi kompor.
8. Penelitian untuk setiap panci dilakukan secara
bergantian mulai dari langkah 2 sampai dengan
langkah 5.
C. Teknik Analisis Data
Pada penelitian dilakukan pengukuran suhu pada
permukaan bawah panci, suhu api dan suhu air yang
dipanaskan pada setiap panci seperti yang ditunjukkan pada
gambar sebagai berikut:

Dimana : T1 = Suhu tengah panci (oC), T2 = Suhu sekitar


tengah panci 1 (oC) , T3 = Suhu sekitar tengah panci 2 (oC), T4
= Suhu sekitar tengah panci 3 (oC), T5 =Suhu pinggir panci

Energi III-65

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi


T = Suhu yang lebih rendah (oC)
T2 = Suhu yang lebih tinggi (oC)
IV. ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Dengan modifikasi panci yang dilakukan akan dapat
meningkatkan efisiensi panci. Hal ini dapat dilihat pada
gambar 5.
Gambar 2 . Grafik hubungan antara suhu api, suhu permukaan bawah
panci dan suhu air dengan waktu pendidihan pada panci rata

Gambar 3 . Grafik hubungan antara suhu api, suhu permukaan bawah


panci dan suhu air dengan waktu pendididhan pada panci modifikasi I

Gambar 4. Grafik hubungan antara suhu api, suhu permukaan bawah panci
dan suhu air dengan waktu pendididhan pada panci modifikasi II

Pengambilan data mulai dilakukan pada saat proses


pemanasan berlangsung hingga air mendidih sehingga akan
diperoleh data suhu air, suhu permukaan bawah panci dan suhu
api. Selain pen gukuran suhu juga dilakukan penimbangan
berat bahan bakar s ebelum dan setelah proses pemanasan air,
dan penimbangan air sebelum dan setelah proses pendidihan.
Beberapa perhitungan yang akan digunakan ,yakni:

Dimana:
Qr=Energ panas radiasi (W)
= konstanta proporsionalitas (Konstanta Stefan-Boltzmann)
= 5,669 x 10 8 W / m2 . K4
= Emisivitas pancaran nyala = 1
F1-2 = Faktor Bentuk (View factor) radiasi (1) ke radiasi (2)
Ap = luas pancaran nyala (m2)
Tapi = Suhu pancaran nyala api ( K )
T pbp = Suhu permukaan bawah panci yang mengalami radiasi (
K )
Energi kalor konveksi
Dimana:
Q = Energi panas konveksi (W)
A = Luas permukaan hantaran (m2)
h = koofisien perpindahan panas konveksi (W/m2K)

Gambar 5 .(a ) Grafik hubungan antara efisiensi dengan


panci rata, modif I dan modif II Katup 1, katup 2 dan katup 3
(b) Grafik hubungan antara efisiensi dengan katup 1, katup
2 dan katup 3
Pada gambar 5.a. terlihat bahwa efisiensi panci yang
dihasilkan oleh panci modifikasi I lebih besar dibandingkan
panci rata dan modifikasi II, yakni sebesar 82,71% dengan
kalor yang diserap oleh air sebesar 13.755,25 W . Sedangkan
efisiensi pada panci modifikasi II sebesar 76,38% dengan kalor
yang diserap oleh air sebesar 16.096,31 W dan pada panci rata
sebesar 71,64 % dengan kalor yang diserap air sebesar
13.047,78 W. Hal ini dipengaruhi karena kedalaman variasi
permukaan bawah pada modifikasi I lebih efisien dan optimal
untuk dapat menyerap panas dan mendidihkan air dengan cepat
sedangkan panci modifikasi II memiliki variasi kedalaman
yang lebih besar modifikasi I sehingga penyerapan panasnya
kurang efisien.
Pada gambar 5.b terlihat bahwa efisiensi yang dihasilkan
oleh pembukaan katup 3 lebih besar dibandingkan katup 1 dan
katup 2, yakni sebesar 82,71 % dengan kalor yang diserap oleh
air sebesar 13.755,25 W. Sedangkan efisiensi pada katup 1
sebesar 73,10 % dengan kalor yang diserap oleh air sebesar
9.151,3 W dan katup 2 sebesar 74,67 % dengan kalor yang
diserap air sebesar 14.147,39 W .
Selain modifikasi panci dan pembukaan katup, penambahan
volume juga mempengaruhi peningkatan efisiensi panci.
Efisiensi yang dihasilkan oleh volume 2 liter sebesar 82,71% %
dengan kalor yang diserap oleh air sebesar 13.755,25 W.
Setelah dilakukan penambahan volume menjadi 3 liter,
efisiensi yang dihasilkan sebesar 81,35 % dengan jumlah kalor
yang diserap air bertambah menjadi 14.100,42W.
B. Pembahasan
Penelitian ini memperlihatkan bahwa energi pancaran nyala
api kompor berdasarkan suhu api yang dihasilkan dari gas
LPG. Pada setiap katup memiliki energi pancaran nyala api
yang berbeda-beda tergantung pada bukaan katup yang
diberikan. Pada katup 1 memiliki energi pancaran nyala api
kompor sebesar 154,56 W dengan jumlah energi kalor radiasi
termal dan konveksi yang dihasilkan sebesar 116,14 W dan,
pada katup 2 memiliki energi pancaran nyala api kompor
sebesar 155,84 W dengan jumlah energi kalor radiasi dan
konveksi yang dihasilkan sebesar 119,95 W , pada katup 3
memiliki energi pancaran nyala api kompor sebesar 130,25 W

Energi III-66

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

dengan jumlah energi kalor radiasi termal dan konveksi yang


dihasilkan sebesar 106,33 W .
Energi Pancaran nyala api yang bersumber dari suhu api
mengalami proses perpindahan panas dimana sumber panas
(api kompor) ke permukaan bawah panci memperlihatkan
bahwa T1 (suhu tengah panci) dan T3 ( suhu sekitar tengah
panci) terpapar langsung nyala api kompor yang berada pada
lingkaran mata api dengan diameter = 5 cm dan T3 pada
diameter = 13 cm. Setelah itu, panas bergerak merambat secara
horisontal menuju T2 ,T4 dan T5. Untuk kondisi seperti ini,
semua panci baik rata, modifikasi I dan modifikasi II adalah
sama proses perpindahan panasnya, yakni T1, T3 secara radiasi
selanjutnya T2,T4 dan T5 secara konveksi. Pada panas merata
di semua titik permukaan bawah panci maka panas akan
berpindah lagi secara vertikal, masuk ke dalam air sehingga
pada waktu tertentu air akan mengalami proses pendidihan.
Untuk memanaskan air dibutuhkan waktu pendidihan.
Dalam penelitian yang dilakukan pada ketiga macam panci,
yakni panci rata, modifikasi I dan modifikasi II
memperlihatkan bahwa dari ketiga macam panci tersebut
memiliki waktu pendidihan yang berbeda-beda dengan laju
bahan bakar sebesar 0,0028 kg/menit(katup 1), 0,0041
kg/menit (katup 2) dan 0,0046 kg/menit (katup 3) .
Adapun nilai laju bahan bakar dapat diperoleh dengan
menimbang berat bahan bakar terlebih dahulu sebelum
digunakan, selanjutnya setelah proses pendidihan dilakukan
penimbangan bahan bakar lagi. Selisih dari sebelum dan
setelah pemakaian bahan bakar itulah yang merupakan laju
bahan bakar.
Berdasarkan variasi pembukaan katup , di antara ketiga
macam panci yang mampu mendidihkan air lebih cepat adalah
panci modifikasi II pada pembukaan katup 3. Panci ini
memiliki laju bahan bakar sebesar 0,0046 kg/menit dengan
waktu pendidihan selama 24 menit. Sedangkan panci yang
waktu pendidihannya agak lambat adalah panci rata pada
pembukaan katup 1 karena laju bahan bakarnya sebesar 0,0028
kg/menit dengan waktu pendidihan selama 63 menit. Hal ini
dipengaruhi karena semakin besar pembukaan katup, makin
besar pula laju bahan bakarnya, sehingga waktu pendidihan air
akan lebih cepat.
V. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat
ditarik kesimpulan, sebagai berikut :
1. Besarnya energi pancaran nyala api ditentukan oleh
besarnya suhu api kompor yang dipengaruhi oleh
variasi pembukaan katup yang terpancar pada permukaan bawah panci. Energi pancaran nyala api terpancar untuk panci rata, modifikasi I dan modifikasi II
kisaran 144-180 W ke permukaan bawah panci.
2. Energi kalor radiasi termal dan konveksi yang dihasilkan pada panci rata dan yang dimodifikasi bergantung

3.

4.

pada besarnya suhu api dan luas permukaan bawah


panci. Energi kalor radiasi termal dan konveksi untuk
panci rata pada katup 1, katup 2 dan katup 3 kisaran
97,7 - 120,8 W ,untuk panci modifikasi I kisaran 97,3
- 134,8 W dan untuk panci modifikasi II kisaran 114,7
- 126,7 W.
Peningkatan efisiensi terjadi pada panci modifikasi I
dari 71,8 % menjadi 82,71% untuk pembukaan katup
3 . Hal ini dipengaruhi karena kedalaman permukaan
bawah pada panci modifikasi I lebih efisien dan
optimal untuk dapat menyerap panas dan mendidihkan air dengan cepat sedangkan panci modifikasi II
memiliki kedalaman permukaan yang lebih besar
dibandingkan dengan panci modifikasi I sehingga pen
yerapan panasnya membutuhkan waktu yang lebih
lama untuk dapat merata kesemua permukaan bawah
panci .
Dari ketiga macam panci yang dibuat, panci yang
mem iliki banyak kelebihan dan keuntungan adalah
panci modifikasi I dengan bukaan katup 2. Karena
panci ini mampu menghemat pemakaian bahan bakar
sebesar 0,02 kg dan mampu menyerap panas yang
optimal dan efisien dibandingkan dengan panci rata
dan panci modifikasi II.
DAFTAR PUSTAKA

[1] Andika Fikri. (2011). Analisa Variasi Sirip Dengan (Model L


dan U) Pada Cooking Vessel Aluminium 3004 Terhadap
Efisiensi Termal Dan Tingkat Konsumsi Bahan Bakar LPG.
[2] Bejan. (1993). Heat Transfer. John Willy & Sons Inc Singapore
New York. Toronto.
[3] Cengel Y. A., Ghajar A. J., (2007). Heat Transfer and Mass
Transfer. Fundamentals And Applications. 4th Ed. McGraw
Hill. Singapore.
[4] Dinaryanto, Okto. (2010). Pengaruh Jenis Burner Terhadap
Konsumsi Bahan Bakar LPG. Volume 2. Nomor 1.
[5] Ernandi, Ridho (2010). Peningkatan Efisiensi Kompor Setelah
Volume Air Yang Dimasak Di Variasikan. Jakarta
[6] Harmim, A.,M.Boukar, M. Amar . (2007). Experimental Stu dy
of a Double Exposure Solar Cooker With Finned Cookin g
Vessel.Solar Energy 82: 287-289.
[7] Holman, J.P. (1997). Perpindahan Kalor. Terjemahan E.
Jasjfi,MSc. Edisi 6. Erlangga. Jakarta.
[8] Incropera,F.,Dewitt D.P.,Bergman,R.,T.L., and Lavine,A.S.
(2007). Fundamental of Heat and Mass Transfer. 6th edition.
College of Engineering. University of Notre Dame.
[9] Krauss. (2006). Prinsip-Prinsip Perpindahan Panas. Edisi ketiga.
Arko Prajono MSc. Penerbit Erlangga.
[10] Syamsuri. (2013). Analisa Performance Tungku Biomassa
Portable Dengan dan Tanpa Sirip Bahan Bakar Dari Kulit.
Penelitian Dosen Muda. Surabaya

Energi III-67

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

Reduksi Tahanan Aliran Fluida Melalui Silinder


Persegi Yang Dipasang Tandem Dengan Silinder
Segitiga
Nasaruddin Salam
Jurusan Mesin Fakultas Teknik
Universitas Hasanuddin
Makassar, Indonesia
nassalam.unhas@yahoo.co.id

Abstract Reduksi tahanan aliran fluida melalui silinder


persegi yang dipasang tandem dengan silinder segitiga, dianalisis
secara eksperimental pada 9 (Sembilan) tingkat bilangan
Reynolds yang dihitung berdasarkan diameter silinder persegi
dari ReD = 43.179 sampai dengan 124.637. Perbandingan
diameter silinder segitiga dengan diameter silinder persegi (d/D)
divariasikan 3 (tiga) tingkat yaitu, d/D = 0,1; 0,5 dan 1,0,
sedangkan perbandingan jarak antara kedua silinder dengan
diameter silinder persegi (L/D) divariasikan 17 (tujuh belas)
tingkat dari L/D = 0,0 sampai dengan 8,0. Hasil eksperimental
menunjukkan pola nilai koefisien tahanan (CD), menurun dengan
peningkatan L/D dan d/D, diperoleh nilai CD terendah pada L/D
= 1,0 dan d/D= 0,5 untuk semua tingkat bilangan Reynols, hal ini
disebabkan karena vorteks aliran teredam diantara silinder
segitiga dengan silinder persegi. Bila nilai L/D lebih besar atau
lebih kecil dari 1,0 dan nilai d/D lebih besar atau lebih kecil dari
0,5, maka nilai CD bertambah besar, hal ini disebabkan karena
vorteks aliran mendorong aliran ke atas, yang menyebabkan
terjadi pemisahan aliran lebih awal di sisi hulu silinder persegi.
Penempatan silinder segitiga yang dipasang tandem dengan
silinder persegi, mengakibatkan reduksi tahanan silinder persegi
sebesar 49 %.
Kata kunci perbandingan d/D, perban- dingan L/D, koefisien
tahanan, bilangan Reynolds.

I. PENDAHULUAN
Aliran melintasi silinder segitiga dan silinder persegi adalah
salah satu bentuk yang sering digunakan pada rekayasa struktur
dan transportasi. Penempatan silinder segitiga di depan silinder
persegi atau silinder utama dengan posisi tandem, adalah
salahsatu cara untuk menurungkan hambatan atau tahanan
aliran. Penempatan silinder di depan silinder utama sebagai
tandem, telah banyak diteliti, yaitu dilakukan oleh Lee, dkk [1],
Igarashi [2], serta Tsutsui dan Igarashi [3], dimana kedua
peneliti tersebut menggunakan silinder kecil sebagai silinder
pengganggu.
Hubungan tandem silinder sirkular dengan silinder persegi
dalam saluran wind tunel setinggi H diteliti oleh Daloglu [4],
dimana secara bergantian diletakkan pada sisi upstream dan
jarak antara kedua silinder divariasikan dengan perbandingan
S/d dari
0 sampai dengan 10. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa, karakteristik penurunan tekanan
dipengaruhi oleh perbandingan diameter kedua silinder dan
perbandingan jarak silinder dengan diameter silinder sirkular
(S/d). Hal menarik dari penelitian ini adalah pada S/d = 1,0

sampai dengan 1,5, diperoleh nilai penurunan tekanan terkecil


untuk semua perlakuan perubahan diameter, posisi dan
bilangan Reynolds.
Lankadasu dan Vengadesan [5], meneliti pengaruh
interferensi dua silinder persegi yang dipasang tandem.
Perlakuan yang diberikan adalah dengan merubah
perbandingan jarak kedua silinder (L) dengan lebar silinder (d),
atau merubah besarnya L/d dari 2 sampai dengan 7 dan
parameter geser tak-berdimensi (K) dari 0,0 sampai dengan
4,0, pada bilangan Reynolds (Re) yang tetap sebesar 100. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa parameter K dan L/d sangat
berpengaruh terhadap besarnya bilangan Strouhal (St). Begitu
pula nilai koefisien tahanannya terhadap L/d pada semua
variasi nilai K, baik pada silinder bagian depan maupun pada
silinder bagian belakang. Sedangkan kontur vorteks yang
terbentuk terhadap perbandingan L/d pada parameter geser K
= 0,0 dan K = 0,1 memperlihatkan pengaruh yang cukup besar,
baik karena perubahan besarnya L/d maupun besarnya nilai K.
Karakteristik aliran fluida melalui silinder segitiga dan
silinder persegi diteliti oleh Salam, dkk. [6], dimana analisis
menggunakan computational fluid dynamics (CFD) dengan
program FLUENT 6.3.26 dan kemudian divalidasi dengan foto
visualisasi aliran. Penelitian berlangsung dalam daerah aliran
laminar yaitu pada bilangan Reynolds ReD = 8,52x104 dengan
kecepatan aliran udara luar dalam seksi uji U = 8 m/s. Pada
penelitian ini, perbandingan jarak kedua silinder dengan
diameter silinder persegi (L/D) divariasikan, yaitu: 0,0; 1,0;
2,0; 3,0; 4,0 dan 5,0, sedangkan perbandingan diameter silinder
segitiga dengan diameter silinder persegi (d/D) konstan
sebesar 0,5. Hasil penelitian ini adalah penempatan silinder
segitiga di depan silinder persegi, mengakibatkan penurunan
hambatan pada silinder persegi dengan penurunan hambatan
terbesar atau koefisien tahanan terkecil terjadi pada L/D = 1,0.
Distribusi tekanan aliran fluida melalui silinder segitiga dan
persegi diteliti oleh Salam, dkk. [7], dimana dilakukan analisis
eksperimental dan simulasi numerik CFD aliran fluida melalui
tandem antara silinder segitiga dan silinder persegi pada d/D =
0,5 dan kecepatan aliran masuk wind tunnel atau aliran luar U
= (7,6216; 10,0824; 14,7591; 18,6689 dan 23,1801) m/s atau
pada bilangan Reynolds ReD = 48.708;64.435; 94.480;
119.509 dan 152.449 dengan variasi L/D = 0,5; 1,0; dan 1,5.
Hasil penelitian ini adalah semakin besar jarak antara kedua
silinder maka semakin besar pula koefisien tekanan, namun
pada jarak L/D = 1,0 diperoleh nilai koefisien tekanan terkecil.

Energi III-68

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

Hasil lainnya adalah pola distribusi tekanan atau koefisien


tekanan mendekati sama untuk setiap perubahan kecepatan
aliran atau bilangan Reynolds dan perbandingan L/D, namun
demikian nilai koefisien tekanan akan berubah bila bilangan
Reynolds dan perbandingan L/D berubah.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas, maka untuk
mereduksi perubahan tahanan dan koefisien tahanan suatu
benda atau silinder sirkular atau silinder pesegi, adalah dengan
mentandemkannya atau menempatkan silinder pengganggu di
depan silinder tersebut dengan silinder sirkular, silinder
persegi atau silinder segitiga, dan merubah jarak serta
diameternya (interaksi antara kedua silinder). Pertanyaan
selanjutnya, apakah nilai koefisien tahanan silinder persegi bila
ditandemkan atau diganggu dengan silinder segitiga,
mengalami penurunan yang cukup signifikan, sebagaimana
hasil penelitian sebelumnya terhadap silinder sirkular bila
ditandemkan dengan silinder lain-nya. Sehubungan dengan
pemikiran tersebut di atas, maka dilakukan analisis reduksi
tahanan atau koefisien tahanan aliran, melalui tandem antara
silinder segitiga dan persegi
.

(b)
Gambar 1. Benda Uji tandem antara silinder segitiga dan persegi, (a) Jarak
antara kedua silinder (L), (b) Dimensi silinder segitiga (d) dan silinder persegi
(D), [dimensi D konstan 10 cm, sedangkan d = (1; 5 dan 10) cm].

Instalasi Sub-Sonic Wind Tunnel buatan Plint & Partners LTD.


Engineers England yang digunakan, dan alat ukur gaya
tahanan aktual benda uji dengan prinsip keseimbangan gaya,
sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 2 berikut ini.

II. METODE PENELITIAN


Tahapan eksperimen dilaksanakan dengan mengunakan
Sub-Sonic Wind Tunnel buatan Plint & Partners LTD.
Engineers England. Ukuran atau volume seksi uji-nya
(500x310x310) mm terbuat dari acrylic warna bening dengan
ketebalan 10 mm, sehingga memudahkan melihat posisi benda
uji. Selanjutnya benda uji adalah tandem antara silinder
segitiga dengan silinder persegi, seperti pada gambar 1 di
bawah ini. Silinder persegi ukuran panjang, lebar dan
tingginya sama, dan dianggap sebagai diameter silinder
persegi (D), yaitu 100 mm. Silinder segitiga ukuran panjang
sisi-nya sama, dan dianggap sebagai diameter silinder segitiga
(d), yaitu 10 mm; 50 mm dan 100 mm atau d/D = 0,1; 0,5 dan
1,0. Material yang digunakan dalam pembuatan benda uji
adalah acrylic dengan ketebalan 2 mm. Jangkauan kecepatan
aliran udara masuk wind tunnel (U) sebanyak
9
(sembilan) tingkat dari U = (7,07; 8,16; 10,72; 12,57; 14,67;
16,52; 18,56; 20,41 dan 23,05) m/s. Perbandingan jarak kedua
silinder (L) dengan diameter silinder persegi (D) atau L/D
sebanyak 17 (tujuh belas) tingkat dari L/D = 0,0; 0,5; 1,0; 1,5;
2,0; 2,5; 3,0; 3,5; 4,0; 4,5; 5,0; 5,5; 6,0; 6,5; 7,0; 7,7; dan 8,0.
Kecepatan aliran udara yang masuk ke seksi uji (U) diukur
dengan menggunakan manometer tegak dan terbuka, dengan
cairan manometer minyak berwarnah merah yang sepesifik
gravitasinya 0,835.

(a)

(b)
Gambar 2. Instalasi wind Tunnel,
(a) secara keseluruhan, (b) Alat ukur
gaya tahanan benda uji, buatan Plint &
Partners LTD. Engineers England.

Menurut Munson [8], koefisien tahanan (CD) ditentukan


dengan menggunakan persamaan, berikut ini:
CD =
Dimana, F = gaya tahanan aktual (N),
2

penampang melintang benda uji (m ) dan


3

A = luas
= massa jenis

aliran udara masuk wind tunnel (m /s). Penelitian berlangsung


dalam daerah aliran laminar, yaitu pada bilangan Reynolds
yang dihitung berdasarkan diameter silinder persegi (ReD).
Kecepatan aliran dipertahankan dalam kondisi konstan

(a)

Energi III-69

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

(b)

9 (Sembilan) tingkat dan menghasilkan aliran laminar dengan


bilangan Reynolds, yaitu
ReD = 43.179; 49.860; 65.467;
76.761; 89.585; 100.882; 113.340; 124.637 dan 140.759.
III. HASIL DAN DISKUSI
Hasil eksperimen aliran udara melalui silinder persegi yang
terpasang tandem dengan silinder segitiga terhadap koefisien
tahanan aliran terhadap L/D pada sembilan tingkat ReD untuk
d/D = 0,1; 0,5 dan 1,0. Sebagai contoh ditunjukkan hasil
analisis data gaya tahanan pada d/D = 0,5 dan 5 (lima) tingkat
bilangan Reynolds, sebagaimana pada table 1 berikut ini:
Tabel 1. Koefisien tahanan aliran (CD) tandem silinder persegi, pada d/D =
0,5.
No.

L/D

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
4.00
4.50
5.00
5.50
6.00
6.50
7.00
7.50
8.00

43180
1.5372
1.2577
1.2577
1.5372
1.5372
1.5372
1.5372
1.5372
1.6769
1.6769
1.6769
1.6769
1.6769
1.6769
1.6769
1.6769
1.6769

(c)

KOEFISIEN TAHANAN (CD)


BILANGAN REYNOLD (ReD)
65467
89585
113340
140759
1.3982
1.4610
1.3387
1.3282
1.0943
1.1363
1.1358
1.0915
1.0943
1.0714
1.0141
1.0389
1.2766
1.2662
1.1764
1.2361
1.3374
1.3960
1.2778
1.3282
1.4590
1.4610
1.3792
1.3677
1.4590
1.4934
1.3792
1.3808
1.4590
1.4934
1.3792
1.3940
1.5198
1.4934
1.3995
1.3808
1.5198
1.5259
1.4198
1.4203
1.5198
1.5259
1.4401
1.4334
1.5198
1.5584
1.4604
1.4466
1.5198
1.5584
1.4198
1.3282
1.5806
1.5908
1.5009
1.4992
1.5806
1.5908
1.5009
1.4992
1.5198
1.5584
1.4806
1.4992
1.5806
1.6233
1.5415
1.5255

Gambar 3. Hubungan antara L/D dengan koefisien tahanan (CD) tandem


silinder segitiga dengan silinder persegi pada sembilan tingkat ReD yang
konstan, untuk (a) d/D = 0,1; (b) d/D = 0,5 dan (c) d/D = 1,0.

Sedangkan gambar karekteristik koefisien tahanan


ditunjukkan secara lengkap, sebagaimana ditunjukkan pada
gambar 3 dan gambar 4 berikut ini:

(a)

Hasil eksperimen menunjukkan pola perubahan sama


untuk setiap tingkat bilangan Reynolds dan d/D. Gambar 3,
menunjukkan koefisien tahanan akan menurun bila L/D
diperbesar, namun hal ini hanya sampai pada L/D = 1,0 karena
sesudah itu bila L/D diperbesar maka koefisien tahanan-nya
juga akan bertambah besar. Nilai CD terkecil yaitu 1,0681
terjadi pada L/D = 1,0 dan
ReD = 140.759, sedangkan nilai
CD terbesar yaitu 1,5372 terjadi pada
L/D = 5,0 dan ReD =
43.179. Hasil ini nilainya jauh lebih kecil dibandingkan nilai
silinder persegi tunggal, yaitu nilai
CD-nya = 2,10 pada Re
= 105 [8], sedangkan bila dibandingkan dengan nilai CD
terkecil yang diperoleh, yaitu sebesar CD = 1,0681 maka
reduksi tahanan sebesar 49 %. Perbandingan kedua data ini,
menunjukkan pengaruh penempatan silinder segitiga di depan
silinder persegi, dan jarak penempatan kedua silinder tersebut
terhadap diameter silinder persegi (L/D) terhadap CD.
Perubahan ini tentunya berpengaruh terhadap profil aliran
fluida yang melewati benda uji, yaitu bila koefisien tahanan
kecil maka tebal lapisan batas semakin tipis, pemisahan aliran
semakin ke hilir dan vorteks aliran setelah melewati benda uji
semakin tenang.
Nilai CD terkecil pada semua tingkatan d/D, adalah pada
L/D = 1,0, ini menunjukkan bahwa pengaruh tumbukan aliran,
terbesar bila perbandingan d/D kecil dan hal ini menimbulkan
golakan yang besar, sehingga terjadi pemisahan aliran lebih
awal dan lapisan batas lebih besar. Saat L/D diperbesar maka
secara perlahan golakan aliran teredam diantara kedua
silinder, dan efek redaman terbesar pada L/D=1,0. Kemudian
golakan aliran membesar bila L/D lebih besar dari 1,0, hal ini
disebabkan karena vorteks yang terjadi bergerak ke depan dan
mendorong aliran ke atas lebih awal, sehingga tebal lapisan
batas semakin besar. Kondisi ini sangat drastis terjadi sampai
pada L/D = 2,0, selanjutnya perubahan cenderung stabil
walaupun masih mengalami kenaikan. Hal ini memperjelas
mengapa nilai optimum interaksi silinder segitiga dan persegi,
berada pada kondisi L/D = 1,0 dan d/D = 0,5.
Selanjutnya dari gambar 4 di bawah menunjukkan,
bahwa semakin besar bilangan Reynolds maka koefisien
tahanan cendrung semakin kecil, dan pada bilangan Reynods
yang tinggi koefisien tahanan cendrung konstan, hal ini sesuai
dengan yang dikemukakan White [9], untuk aliran fluida
melalui silinder persegi. Bentuk kurva untuk setiap tingkat

Energi III-70

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

L/D polanya cendrung sama, dan kurva garis paling bawah


atau nilai CD terkecil adalah pada L/D = 1,0.
Gambar 4 juga memperlihatkan bahwa, perubahan d/D
tidak mempengaruhi pola karakteristik CD terhadap ReD, yaitu
bila ReD diperbesar, maka nilai CD semakin kecil. Bila
dibandingkan pada ReD yang sama, nilai CD untuk d/D = 1,0
lebih besar dibanding- kan dengan d/D = 0,5, begitupula
selanjutnya terhadap d/D = 0,1. Namun demikian nilai CD pada
d/D = 0,5 lebih kecil dari d/D = 0,1, sehingga nilai CD terkecil
pada ReD yang sama adalah pada d/D = 0,5.

(a)

IV. KESIMPULAN
Kajian eksperimental reduksi tahanan aliran fluida (udara)
melalui tandem antara silinder segitiga dan silinder persegi,
pada L/D = (0,0 - 8.0) dan kecepatan aliran masuk wind tunnel
atau aliran luar benda uji
U = (7,07 - 23,05) m/s atau
aliran laminar pada bilangan Reynolds ReD = (43.179 140.759), dengan variasi d/D = 0,1; 0,5; dan 1,0, disimpulkan :
a. Semakin besar perbandingan jarak kedua silinder
dengan diameter silinder persegi (L/D), maka semakin
besar pula koefisien tahanan, namun pada L/D = 1,0
dan d/D = 0,5 diperoleh nilai koefisien tahanan
terkecil.
b. Semakin besar nilai bilangan Reynolds (ReD), maka
nilai koefisien tahanan semakin kecil pada setiap
variasi L/D, namun demikian pada ReD yang sama,
nilai koefisien tahanan terkecil pada L/D = 1,0 dan
d/D = 0,5.
c. Pola reduksi tahanan atau koefisien tahanan,
mendekati sama untuk setiap perubahan kecepatan
aliran atau bilangan Reynolds dan perbandingan L/D
serta d/D, namun demikian nilai koefisien tahanan
akan berubah bila bilangan Reynolds dan
perbandingan L/D dan d/D berubah.
d. Penempatan silinder segitiga yang dipasang tandem
dengan silinder persegi, mengakibatkan reduksi
tahanan silinder persegi sebesar 49 %.
DAFTAR PUSTAKA
.

(b)

(c)
Gambar 4. Hubungan antara ReD dengan koefisien tahanan (CD) tandem
silinder segitiga dan persegi, pada tujuh belas tingkat L/D, untuk (a) d/D =
0,1; (b) d/D = 0,5 dan (c) d/D = 1,0.

[1] Lee, S., S. Lee, & C. Park, Reducing the Drag on a Circular
Cylinder by Upstream Installation of a Small Control Rod,
Fluid Dynamics Reseach, Vol.: 34, 2004, pp: 233-250.
[2] Igarashi, T., Drag Reduction of Square Prism by Flow Control
a Using Small Rod, Journal of Wind Engineering and Industrial
Aerodynamics, Vol.: 69-71, 1997, pp: 141-153.
[3] Tsutsui, T. & T. Igarashi, Drag Reduction of a Circular
Cylinder in an Air-Stream. Journal of Wind Engineering and
Industrial Aerodyna- mics, Vol.: 90, 2002, pp: 527-541.
[4] Daloglu, A., Pressure Drop in a Channel with Cylinder in
Tandem Arrangement, International Comunication in Heat and
Mass Tranfer, Vol.: 35, 2008, pp: 76-83
[5] Lankadasu A. & Vengadesan S., Interference Effect of Two
Equal-Sized Square Cylinders in Tandem Arrangement: with
Planar Shear Flow, International Journal For Numerical
Methodes in Fluids. 2007, DOI: 10.1002/fld.1670.
[6] Salam Nasaruddin, I.N.G. Wardana, Slamet Wahyudi & Denny
Widhiyanuri yawan, Fluid Flow Through Triangular and
Square Cylinders, Australian Journal of Basic And Applied
Sciences,8(2) February 2014, pp: 193-200 ISSN 1991-8178.
[7] Salam Nasaruddin, I.N.G. Wardana, Slamet Wahyudi & Denny
Widhiyanuriyawan, Pressure Distribu- tion of Fluid Flow
Through Triangular and Square Cylinders, Australian Journal
of Basic And Applied Sciences, 8(3) March 2014, pp: 263-267
ISSN 1991-8178
[8] Munson, Bruce R., Young Donald F., dan Okiishi Theodore H.,
Fundamental of Fluid Mechanics, Fourth Edition. John Wiley
& Sons, Inc. New York, 2002.
[9] White Frank M., Fluid Mechanics,
McGraw-Hill Book
Company, New York, 1994.

Energi III-71

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

Perbaikan Karakteristik Pembakaran Briket Arang


Ampas Tebu sebagai Bahan Bakar Alternatif

Nasrul Ilminnafik

Digdo Listyadi Setyawan / Hary Sutjahjono

Dept. Mechanical Engineering


University of Jember
Jl. Kalimantan 37 Jember 68121
nasrul.ilminnafik@gmail.com

Dept. Mechanical Engineering


University of Jember
Jl. Kalimantan 37 Jember 68121

Abstract Isu krisis energi mendorong dilakukannya


penelitian untuk mendapatkan karakteristik biomasa sebagai
energi alternative. Pada penelitian ini telah dilakukan perbaikan
karakteristik pembakaran briket ampas tebu sebagai bahan
bakar alternative pengganti bahan bakar berbasis fosil.
Penelitian
dilakukan
untuk
mengetahui
karakteristik
pembakaran briket ampas tebu, dengan dua tahap penelitian.
Tahap pertama dengan variasi temperatur pirolisis (210C,
300C, dan 390C) dan tahap kedua pirolisis dilakukan pada
temperatur 390C dengan variasi dimensi partikel (30 mesh, 50
mesh, dan 70 mesh). Bahan perekat yang digunakan adalah
tepung tapioka 40% dan tekanan briket 150 kg/cm2.
Karakteristik pembakaran yang diamati adalah nilai kalor,
ignition time, dan burning time. Nilai kalor diperoleh dari
pengujian dengan bom kalorimeter. Ignition time dan burning
time diperoleh dengan menguji briket 10 mm di atas heater
dengan temperatur 200 C dan masing-masing briket diuji tiga
kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik
pembakaran briket arang ampas tebu meningkat dengan
temperatur pirolisis yang tinggi. Semakin tinggi temperatur
pirolisis pada variasi temperatur yang dilakukan pada penelitian
ini, nilai kalor briket semakin tinggi, sedangkan ignition time
makin sulit tapi burning time semakin lambat. Hal ini disebabkan
pada temperatur pirolisis tinggi, kandungan karbon lebih
banyak dari pada volatile matter yang terkandung di dalam
bahan. Pada ukuran partikel kecil, briket arang ampas tebu sulit
terbakar tapi waktu pembakaran lebih lama, karena porositas
briket lebih kecil. Hal ini menyebabkan konduktivitas termal
briket rendah sehingga menghambat rambatan api pada briket.
Index Terms temperatur pirolisis, dimensi partikel arang,
briket ampas tebu, karakteristik pembakaran

I. PENDAHULUAN
Krisis energi sudah menjadi isu global untuk disikapi
dengan upaya penemuan energi alternative pengganti minyak
untuk berbagai kebutuhan energi. Kebutuhan energi khususnya
di dunia industri menjadi kebutuhan yang utama untuk
operasional produksi. Indonesia sebagai negara agraris
memiliki potensi limbah pertanian yang besar untuk
dimanfaatkan sebagai salah satu bentuk energi. Salah satu yang
cukup potensial adalah limbah ampas tebu (bagasse) dari
limbah pabrik gula yang bisa dijadikan sebagai briket. Ampas
tebu adalah limbah padat hasil ekstraksi penggilingan batang
tebu. Pada sebuah pabrik dihasilkan ampas tebu sekitar 35%40% dari berat tebu yang digiling. Potensi ampas tebu di

Indonesia cukup besar [1]. Menurut data statistik Indonesia


tahun 2002, luas tanaman tebu di Indonesia 395.399,44 ha. Jika
setiap ha tanaman tebu mampu menghasilkan sekitar 100 ton
ampas tebu, maka potensi ampas tebu nasional yang dapat
tersedia dari total luas tanaman tebu mencapai 39.539.944 ton
per tahun. (http://www.menlh.go.id).
Ampas tebu memiliki karakteristik pembakaran yang masih
rendah, misalnya nilai kalornya tidak lebih dari 4000 kal/gram
[2]. Ampas tebu selama ini banyak digunakan secara langsung
dalam pembakaran boiler di industry, misalnya di pabrik gula.
Karakteristik pembakaran dari ampas tebu bisa ditingkatkan
dengan proses pirolisis yaitu pemanasan tanpa udara sehingga
dihasilkan arang [2]. Arang aktif merupakan bahan padat
berpori yang merupakan hasil pembakaran bahan yang
mengandung karbon [3].
Hartanto dan Fathul melakukan pirolisis sekam padi dengan
variasi suhu 2100C, 2500C, 3000C, 3500C, dan 3900C dengan
waktu operasi 30, 60, dan 90 menit dengan hasil yang
diperoleh, nilai kalor optimal diperoleh pada variabel suhu
3900C selama 90 menit sebesar 5.609 cal/gram [4].
Upaya lain untuk meningkatkan karakteristik pembakaran
adalah dengan variasi ukuran partikel arang. Penelitian dengan
pirolisis kulit kakao dengan ukuran partikel 30 mesh, 50 mesh,
dan 70 mesh. Nilai kalor tertinggi diperoleh pada ukuran mesh
tertinggi [5].
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh
temperatur pirolisis dan ukuran arang ampas tebu terhadap
karakteristik pembakaran briket. Kendala pembakaran bahan
bakar briket adalah masih tinggi ignition time dan masih
singkatnya burning time [6 dan 7], sehingga pada penelitian ini
juga telah dihitung karakteristik keduanya pada briket ampas
tebu.
II. METODOLOGI
Penelitian dilakukan dengan bahan ampas tebu yang
diambil di sebuah Pabrik Gula di Kawasan Jember dalam dua
tahap. Pada tahap pertama, ampas tebu diarangkan dengan
proses pirolisis selama 90 menit dengan variasi temperatur 210
C, 300 C, dan 390 C. Arang yang dihasilkan ditambahkan
perekat tapioka 40% dan air kemudian dicetak menjadi briket
dengan tekanan 150 kg/cm2 pada cetakan silinder berdiameter
1,9 cm. Penelitian tahap kedua, ampas tebu diarangkan dengan

Energi III-72

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

proses pirolisis pada temperatur 390 C. Arang yang dihasilkan


dihaluskan dan diayak dengan ukuran 30 mesh, 50 mesh, dan
70 mesh, serta ditambah perekat serta dicetak seperti proses
pembuatan briket pada penelitian tahap pertama. Karakteristik
pembakaran yang dianalisa adalah nilai kalor, ignition time,
dan burning time.
Waktu penyalaan (ignition time) adalah waktu yang
dibutuhkan briket hingga muncul titik nyala api. Waktu
pembakaran (burning time) adalah waktu yang dibutuhkan
untuk membakar briket mulai nyala api pertama sampai
terbakar habis. Ignition time dan burning time dari briket diuji
dengan meletakkan briket 10 mm di atas pemanas pada
temperatur 200 C dan dialiri udara dengan kecepatan 0,6
m/detik. Nilai kalor briket diukur dengan menggunakan bom
kalorimeter.

Pengaruh variasi temperatur pirolisis ampas tebu terhadap


waktu pembakaran briket ditunjukkan pada Gambar 2. Pada
gambar tersebut terlihat bahwa pada variasi temperatur pirolisis
yang dilakukan pada penelitian ini, waktu pembakaran
meningkat dengan peningkatan temperatur pirolisis. Pada
pembakaran ampas tebu tanpa pirolisis (temperatur pirolisis
0C) waktu pembakaran adalah sekitar 19 menit. Waktu
pembakaran ini meningkat seiring peningkatan temperatur
pirolisis, hingga pada temperatur pirolisis tertinggi, yaitu 390
C, waktu pembakaran hampir mencapai 30 menit. Hal ini
disebabkan, pada briket tanpa pirolisis bentuk briket lebih
besar, pori-pori briket lebih besar sehingga pengeringan lebih
optimal yang menyebabkan kandungan airnya lebih kecil
sehingga waktu pembakaran juga lebih cepat.

III. HASIL DAN DISKUSI


Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh
variasi temperatur pirolisis ampas tebu dan dimensi ukuran
arang ampas tebu terhadap karakteristik pembakaran yang
meliputi waktu penyalaan, waktu pembakaran, dan nilai kalor.
Pengaruh variasi temperatur pirolisis ampas tebu terhadap
waktu penyalaan briket ditunjukkan pada Gambar 1. Pada
gambar tersebut terlihat bahwa pada variasi temperatur pirolisis
yang dilakukan pada penelitian ini, waktu penyalaan meningkat
dengan peningkatan temperatur pirolisis. Pada penyalaan
ampas tebu tanpa pirolisis (temperatur pirolisis 0C), waktu
penyalaan adalah cukup singkat yaitu 5,4 detik. Kemudian
pada temperatur pirolisis 210 C, waktu penyalaan 18,8 detik
dan seterusnya naik hingga pada briket dengan temperatur
pirolisis 390 C, waktu penyalaan adalah 35 detik.

Gambar 2. Pengaruh Temperatur Pirolisis pada Burning Time


Briket Ampas Tebu

Selain itu, briket dengan proses pirolisis memiliki kadar


volatile matter yang lebih rendah dibandingkan dengan briket
tanpa proses pirolisis. Briket tanpa proses pirolisis memiliki
kadar volatile matter yang lebih tinggi yang dibuktikan briket
lebih cepat terbakar habis dan adanya asap saat pengujan. Hal
ini sesuai dengan yang disampaikan Hendra dan Pari (2000)
bahwa kandungan volatile matter yang tinggi menyebabkan
asap yang lebih banyak pada saat briket arang dibakar karena
adanya reaksi antara karbon monoksida (CO) dengan turunan
alkohol yang ada pada arang. Syamsiro dan Saptoadi (2007)
juga menyatakan hal yang sama bahwa laju pembakaran
biobriket semakin tinggi dengan semakin tingginya kandungan
volatile matter.

Gambar 1. Pengaruh Temperatur Pirolisis pada Ignition Time


Briket Ampas Tebu

Proses pirolisis meningkatkan waktu penyalaan briket,


sehingga untuk menyalakan briket dibutuhkan waktu yang
lebih lama. Menurut Jamilatun (2008), mudahnya penyalaan
briket disebabkan oleh rendahnya kandungan air pada briket
dan lamanya penyalaan awal disebabkan bentuk briket yang
lebih padat, rapat, dan berat jenisnya yang lebih besar, serta
kandungan air yang masih cukup besar.

Pengaruh temperatur pirolisis terhadap nilai kalor


ditunjukkan pada Gambar 3. Pada gambar tersebut terlihat pada
variasi temperatur yang dilakukan, peningkatan temperatur
pirolisis mampu meningkatkan nilai kalor dari ampas tebu.
Pada briket tanpa pirolisis (temperatur pirolisis 0C)
mempunyai nilai kalor sekitar 3500 kal/gram. Pirolisis ampas
tebu mampu meningkatkan nilai kalornya hingga hampir
mencapai 6000 kal/gram. Nilai kalor yang dihasilkan briket
pada penelitian ini sudah mendekati nilai kalor standar
internasional (Hendra dan Winarni, 2003).

Energi III-73

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

singkat yaitu sekitar 16 menit. Penuruan ukuran partikel arang


pada briket meningkatkan waktu pembakaran, hingga pada
ukuran briket terkecil yaitu 70 mesh, waktu pembakaran adalah
sekitar 20 menit.

Gambar 3. Pengaruh Temperatur Pirolisis pada Nilai Kalor


Briket Ampas Tebu

Pengaruh dimensi partikel terhadap waktu penyalaan


ditunjukkan pada Gambar 4. Pada gambar tersebut terlihat,
bahwa pada briket dengan dimensi partikel yang besar (30
mesh) mempunyai waktu penyalaan paling kecil. Penurunan
dimensi partikel menyebabkan waktu penyalaan meningkat,
hinggap pada dimensi 70 mesh, waktu penyalaan briket adalah
di atas 40 detik.

Gambar 5. Pengaruh Ukuran Partikel Arang terhadap


Waktu Pembakaran Briket Ampas Tebu

Pada briket dengan ukuran partikel arang yang kecil, maka


kerapatan briket juga meningkat sehingga air yang terjebak di
dalam briket sulit keluar. Hal ini menyebabkan briket dengan
ukuran partikel kecil lebih sulit terbakar, sehingga waktu yang
diperlukan untuk membakar habis briket (waktu pembakaran)
juga relative lebih lama. Hasil ini juga sesuai dengan penelitian
yang dilakukan Jamilatun (2008), dimana cepatnya penyalaan
briket disebabkan rendahnya kandungan air dalam briket
tersebut dan lamanya penyalaan awal pada briket karena
bentuknya yang kompak, rapat, dan berat jenisnya besar,
sehingga kandungan airnya masih besar. [6]. Sulitnya
penyalaan awal briket karena kandungan air yang masih cukup
besar menyebabkan briket membutuhkan waktu lebih lama
untuk terbakar sampai habis. Syahrul (2002) juga menyatakan
bahwa kerapatan briket berpengaruh besar terhadap penyalaan
bunga api briket, dimana briket yang padat sulit terbakar [10].
IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Gambar 4. Pengaruh Ukuran Partikel Arang terhadap


Waktu Penyalaan Briket Ampas Tebu

Pada briket dengan ukuran partikel arang yang kecil, maka


kerapatan briket juga meningkat sehingga ketika proses
pengeringan, air yang terjebak di dalam briket sulit keluar. Hal
ini menyebabkan briket dengan ukuran partikel kecil lebih sulit
terbakar, sehingga waktu penyalaan lebih lama [9]. Hal ini juga
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Jamilatun (2007),
dimana cepatnya penyalaan briket disebabkan rendahnya
kandungan air dalam briket tersebut dan lamanya penyalaan
awal pada briket karena bentuknya yang kompak, rapat, dan
berat jenisnya besar, sehingga kandungan airnya masih besar.
[6].
Pengaruh dimensi partikel terhadap waktu pembakaran
ditunjukkan pada Gambar 5. Pada gambar tersebut terlihat pada
ukuran partikel besar (30 mesh) waktu pembakaran adalah

Dari pembahasan di atas bisa disimpulkan bahwa variasi


temperatur pirolisis yang dilakukan pada penelitian ini hingga
temperatur 390C, mampu meningkatkan nilai kalor briket
arang ampas tebu. Sedangkan proses pirolisis menyebabkan
dimensi arang lebih seragam sehingga briket yang terbentuk
lebih rapat dan kompak. Hal ini menyebabkan kandungan air
sulit keluar sehingga waktu penyalaan lama tapi waktu
pembakaran juga lebih lama.
Briket dengan ukuran partikel arang yang kecil,
menyebabkan briket lebih rapat sehingga air yang terjebak di
dalam briket sulit menguap saat pengeringan menyebabkan
briket lebih sulit terbakar dan waktu penyalaan lebih lama.
Peningkatan ukuran partikel bisa memperbaiki waktu
penyalaan tapi menurunkan waktu pembakaran.
Pada penelitian berikutnya perlu divariasikan alternative
bahan pengikat lain selain tapioka. Perhitungan ekonomi
tentang penggunaan briket sebagai bahan bakar alternative juga
perlu dilakukan.

Energi III-74

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

UCAPAN TERIMA KASIH


Kami mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah memberikan dukungan
dana penelitian pada Program Penelitian Hibah 2014.

DAFTAR PUSTAKA
[1] Winaya, N.I. 2010. Co-Firing Sistem Fluized Bed Berbahan
Bakar Batubara dan Ampas Tebu. Jurnal Ilmiah Teknik Mesin
Udayana Bali. Vol.4.No.2. hal. 180-188
[2] N. Ilminnafik, D. L. Setyawan, H. Sutjahjono. M. Darsin,
Karakteristik Termal Briket Ampas Tebu dan Serbuk Gergajian
Kayu, Prosiding Seminar Nasional XII Rekayasa dan
Aplikasi Teknik Mesin di Industri, ITENAS Bandung, 2013,
hal. 38-43
[3] Sudrajat,R. 2003. Petunjuk Teknik Pembuatan Arang Aktif.
Bogor. Institut Pertanian Bogor.

[4] Hartanto F. P. dan Alim Fathul. 2014. Optimasi Kondisi


Operasi Pirolisis Sekam Padi Untuk Menghasilkan Bahan Bakar
Briket Bioarang Sebagai Bahan Bakar Alternatif. Jurusan
Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.
Semarang.
[5] M.Natsir Usman. 2007. Mutu Briket Arang Kulit Buah Kakao
dengan Menggunakan Kanji sebagai Perekat. Jurnal Perennial
Makassar. Balai Besar Industri Hasil Perkebunan, Hal: 55-58.
[6] S. Jamilatun, Sifat-sifat Penyalaan dan Pembakaran Briket
Biomassa Briket Batubara, dan Arang Kayu, Jurnal Rekayasa
Proses, vol. II, no. 2, 2008, hal. 37-40.
[7] J. Chaney, Combustion Characteristic of Biomass Briquettes,
Thesis, The University of Nottingham, 2010.
[8] H. Saptoadi, The Best Biobriquette Dimension and its Particle
Size, Asian J. Energy Environ., Vol. 9, Issue 3 and 4, (2008),
hal. 161-175.
[9] R.M. Davies, D. S. Abolude, Ignition and Burning Rate of
Water Hyacinth Briquettes Journal of Scientific Research &
Reports: 2 (1) hal. 111-120, 2013.
[10] M. Syahrul, Pengaruh Bentuk, Kerapatan, dan Kadar Lempung
terhadap Produksi Kalor Briket Sekam Padi, Marina Chimica
Acta, April 2002, hal. 7-9.

Energi III-75

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

Penggunaan Batubara Lignit Mallawa Dan


Pencampuran Dengan Cangkang Biji Jambu Mete Di
PT. Indofood CBP, Tbk Cabang Makassar
Novarini

Yusuf Siahaya dan Johanes Leonard

Jurusan Mesin Fakultas Teknik


Universitas Hasanuddin
Makassar-Indonesia
novariniruli@yahoo.co.id

Jurusan Mesin Fakultas Teknik


Universitas Hasanuddin
Makassar-Indonesia
yusufsiahaya@yahoo.com
johannesleonard55@yahoo.com

AbstractUse the right fuel in the boiler influence on heat and


steam generated. This study aims to analyze the use of lignite coal
with sulfur content above 1,8% and when lignite coal mixed with
40% of cashew nut shells to the effect of slagging and fouling on
fire tube boiler at PT. Indofood CBP, Tbk Makassar Branch. The
research was conducted on fire tube boiler engineering
department at the utility PT. Indofood CBP, Tbk Makassar
Branch. The data is taken from results of proximate analysis,ash
content, the value of the fuel, temperature, pressure, flowrate of
feed water and steam are generated, pipe line fire exit
temperature, excess air, the amount of unburned carbon and
extensive combustion chamber. Data analysis was done on the
calculation of the index slagging and fouling as well as energy
balance combustion process. The result showed that by using
lignite coal fuel slagging index score is 1,42% and 0,34% Na2O
fouling index but when using a fuel mixture of 60% lignite coal
and 40% cashew nut shells slagging index value 0,86% and
0,05% Na2O fouling index. Caloric value generated steam, flue
gas calorific value and heat is lost to the condition before cleaning
boiler using fuel mixture of 60% lignite coal and 40% cashew nut
shells is almost the same as when using lignite coal fuel in after
cleaning condition boiler.Concluded that the fuel mix of 60%
lignite coal and 40% cashew nut shells. It is appropriate to
reduce the potential for formation of slagging and fouling as well
as reducing the value of the energy lost.
Keywords : lignite coal and cashew nut shells, fire tube boiler,
slagging and fouling

I. PENDAHULUAN
Dalam industri, utilitas merupakan bagian vital dari suatu
proses produksi. Air, listrik dan steam merupakan bagian
utama dari utilitas suatu industri harus terjamin
ketersediaannya dan dipastikan terpakai secara efektif dan
efisien. PT. Indofood CBP Sukses Makmur, Tbk Cabang
Makassar yang berdiri sejak bulan Maret tahun 1991
merupakan salah satu dari enambelas cabang yang ada di
Malaysia dan Indonesia yang memproduksi produk pangan mie
instant dengan merk dagang Indomie, Sarimi, Supermie,
Sakura, Vitami dan Intermie merupakan salah satu industri
yang menjamin ketersediaan dan memastikan terpakainya
steam secara efektif dan efisien untuk keberlangsungan proses
produksinya [1].

Steam di PT. Indoofood CBP Sukses Makmur Tbk, Cabang


Makassar dihasilkan dari 3 unit ketel pipa api batubara
berkapasitas 10,5 ton/jam. Batubara yang digunakan adalah
jenis batubara Lignite yang berasal dari Kabupaten Bone Kota
Makassar Propinsi Sulawesi Selatan, dengan pemakaian lebih
kurang 9.600 ton pertahun. Steam yang dihasilkan dari ketiga
boiler ini dipakai pada sembilan line produksi untuk proses
pengukusan mie instant pada steam box dan penggorengan mie
instant pada fryer serta dipakai sebagai pemanas untuk
mengubah fase salah satu bahan baku yaitu minyak goreng
yang kondisinya mengental akibat pengaruh temperatur saat
transportasi dan saat penyimpanan di tank yard [2].
Salah satu permasalahan dalam pemakaian batubara lignite
ini adalah tingginya kadar Sulfur yang melebihi standar yang
dipersyaratkan dari tipe boiler yang digunakan di PT.
Indoofood CBP Sukses Makmur Tbk, Cabang Makassar yaitu
maksimum 1,8% [3]. Tingginya kadar Sulfur ini dapat
menimbulkan slagging pada ruang bakar dan fouling pada pipa
api ketel uap yang dapat menghambat proses perpindahan
panas [4].
Dengan demikian untuk mengurangi dampak ini, PT.
Indoofood CBP Sukses Makmur Tbk, Cab Makassar mencoba
melakukan blending/pencampuran batubara lignite dengan
cangkang jambu mete, karena pada dasarnya cangkang biji
jambu mete merupakan salah satu potensi energi yang dapat
diperbaharui dan ketersediaannya di Propinsi Sulawesi Selatan
cukup besar. Proses pencampuran ini mengambil persentase
60% batubara lignit dan 40% cangkang biji jambu mete dengan
tujuan untuk memperoleh nilai kandungan sulfur pada bahan
bakar mencapai nilai maksimum dari yang dipersyaratkan oleh
spesifikasi bahan bakar yang diperbolehkan untuk dipakai pada
ketel di PT. Indoofood CBP Sukses Makmur Tbk, Cab
Makassar. Pada penelitian ini ingin dianalisa proses
penggunaan batubara lignit serta bila 60% batubara lignit
dicampur dengan 40% cangkang biji jambu mete terhadap efek
slagging dan fouling pada ketel uap pipa api PT. Indofood
CBP, Tbk Cabang Makassar serta menghitung kesetimbangan
energinya.
II. LANDASAN TEORI
Batubara telah memainkan peran yang sangat penting
selama berabad-abad tidak hanya membangkitkan listrik,

Energi III-76

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

namun juga merupakan bahan bakar utama untuk


menghasilkan steam pada kegiatan-kegiatan industri.
Pasar global batubara sangat besar dan beragam dengan
berbagai produsen dan konsumen disetiap benua. Pasokan
batubara tidak berasal dari satu daerah tertentu, yang dapat
membuat konsumen bergantung pada keamanan pasokan dan
stabilitas satu daerah saja. Batubara tersebar diseluruh dunia
dan diperdagangkan secara Internasional.
Banyak negara yang mengandalkan pasokan batubara
domestik untuk kebutuhan energi mereka seperti Cina, India,
Australia dan Afrika Selatan. Negara lain mengimpor batubara
dari berbagai negara. Oleh karena itu batubara memiliki peran
yang penting dalam memelihara keselamatan kombinasi energi
dunia. Peran tersebut adalah :
- Cadangan batubara sangat banyak dan akan tersedia untuk
masa depan yang sudah dapat diperkirakan tanpa menimbulkan
masalah geopolitik dan keamanan
- Batubara tersedia dari berbagai sumber yang banyak pada
pasar dunia yang terpasok dengan baik
- Batubara dapat dengan mudah disimpan di pembangkit
dan persediaannya dapat digunakan dalam keadaan darurat
- Pembangkit menggunakan batubara tidak tergantung pada
cuaca dan dapat digunakan sebagai pendukung pembangkit
listrik tenaga angin dan air
- Batubara tidak memerlukan jaringan pipa dengan tekanan
tinggi atau jalur pasokan khusus
- Jalur pasokan batubara tidak perlu penjagaan yang
membutuhkan biaya yang tinggi [4].
Penanganan batubara di PT. Indoofood CBP Sukses
Makmur, Tbk Cab. Makassar dapat terlihat pada gambar 1,
diawali dengan penerimaan batubara dari beberapa penyuplai
rekanan yang memiliki tambang di Kecamatan Malawa
Kabupaten Bone Sulawesi Selatan menggunakan transportasi
darat, sedangkan cangkang biji jambu mete diterima dari
Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan. Batubara dan cangkang
jambu mete yang telah disuplai selanjutnya disimpan di gudang
batubara yang terletak bersebelahan dengan ke tiga boiler tipe
fire tube berkapasitas 10 ton perjam menggunakan proses
pembakaran tipe chain grate.
Batubara ini selanjutnya diubah ukurannya agar sesuai
dengan standar kebutuhan boiler yaitu 2,5 - 5 cm menggunakan
crusher. Setelah ukurannya sesuai standar, batubara
diumpankan ke feed hopper pembagi melalui single bucket
elevator untuk dibagi ke hopper boiler 1, 2 dan 3. Klasifikasi
batubara yang digunakan PT.Indoofood Cabang Makassar
adalah batubara produksi rakyat dari Kecamatan Malawa
Kabupaten Bone Propensi Sulawesi Selatan, yang dibawah ke
Makassar dengan truk, jaraknya kurang lebih 100 km dari
Makassar. Batubara ini termasuk dalam klasifikasi batubara
lignit karena kandungan Fixed Karbon yang rendah sekitar
37.1 % wt, dan Nilai Kalor Atas (Gross Calorific Value) adalah
6.239 kcal/kg. Hasil pengujian Laboratorium Sucofindo
Cabang Makassar tanggal 4 Januari 2013, berdasarkan uji
Proksimasi didapatkan :
Parameter
Unit
Test Results
. Total Moiusture
% wt
12.5
. Ash Content
% wt
10.9
. Volatile Matter
% wt
42.8
. Fixed Carbon
% wt
37.1
. Total Sulfur
% wt
3.10

. Gross Calorific Value

kcal/kg

6.239

Gambar 1. Sistem penanganan batubara di PT. Indoofood CBP Sukses


Makmur, Tbk Cab. Makassar

Konversi analisa proksimate ke ultimate batubara dihitung


berdasarkan acuan dari http:/www. myvistasource. com/files
/tech papers/prox2utl.php [5].
Pada batubara lignite nilai yang tinggi adalah logam-logam
alkali yaitu Calsium, Magnesium dan Natrium/Sodium yang
terkandung di dalam ash content. Selama pembakaran, ash
content terkena temperatur tinggi hingga 1649oC sehingga
logam - logam alkali terdekomposisi dari senyawa ash content
serta mengalami proses pendinginan. Pada zona pembakaran
dengan temperatur tinggi terjadi oksidasi dan reduksi yang kuat
sehingga mineral-mineral yang terkadung di dalam ash
bereaksi satu sama lain serta bereaksi dengan kandungan
organik dan anorganik batubara serta dengan gas-gas hasil
pembakaran seperti SO2. Senyawa-senyawa yang terbentuk
oleh interaksi material-material inilah yang menyebabkan
permasalahan deposition/endapan.
Endapan yang terbentuk pada ruang bakar (slagging) akan
menyebabkan energi radiasi dari ruang bakar menuju pipa air
berkurang dan endapan yang terbentuk dalam pipa api (fouling)
mengakibatkan temperatur keluar pipa api masih cukup tinggi
akibat endapan yang menempel di pipa api yang menghambat
transfer temperatur dari pipa api ke pipa air. Fenomena
berkurangnya energi radiasi ke pipa air dan terhambatnya
transfer panas dari pipa api ke pipa air menurunkan kualitas
uap yang dihasilkan [6].
Klasifikasi batubara dibedakan terutama pada kandungan
carbon dan nilai kalor dari batubara. Klasifikasi ini yaitu
Antrasit, Bituminous, Subbituminous dan Lignit. Perbedaan
carbon dan nilai kalor dari klasifikasi batubara ini
menyebabkan fusibility ash temperature berbeda. Makin tinggi
kandungan karbon dan nilai kalor dari klasifikasi batubara
makin tinggi pula fusibility ash temperature batubara tersebut.
Yang tertinggi adalah batubara antrasit, kemudian bituminous,
subbituminous dan yang paling memiliki fusibility ash
temperature rendah adalah batubara lignit. Selama proses
pembakaran, partikel ash dihadapkan dengan ketinggian
temperatur sekitar 3000 F (1649 C). Di zona burner,
temperatur bervariasi dari highly oxidizing sampai highly
reducing. Ada empat temperatur deformasi yang terdapat pada
ash batubara :
1. Initial deformasion temperature ( IT or ID)
Dimana bentuk dari ash pada permukaan dinding
menyerupai bentu piramit. Untuk batubara lignit: IT =

Energi III-77

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

1.975 F (Reducing) dan 2.070 F (Oxidizing).


Temperatur deformasi awal.
2. Softening temperature (ST)
Dimana bentuk ash dari piramit menjadi spherical
shape. Dimana tinggi spherical (H) sama dengan
width (W), jadi H = W. Batubara lignit : ST=2.130 F
(Reducing) dan 2.190 F (Oxidizing). Ini adalah
temperature pelunakan
3. Hemispherical temperature (HT):
lignit : HT = 2.150 F (Reducing) dan 2.210 F
(Oxidizing). Ini adalah temperature pelunakan
4. Fluid temperature (FT) :
Temperatur ini menyebabkan ash yang berbentuk
hemispherical mencair dan membentuk lapisan yang
hampir rata, dengan ketinggian maksimum 1.59 mm.
Batubara lignit. FT = 2.240 F (Reducing) dan 2.290
F (Oxidizing).
Gambar.2 menunjukkan perubahan bentuk dari ash akibat
dari temperature pembakaran dalam ketel.

Gambar 2. Bentuk spesifik ash dan perubahan bentuk akibat dari


temperatur pembakaran'61

Biji jambu mete terdiri dari 70 % kulit biji dan 30% daging
biji, dalam kulit biji (shell) mengandung minyak sekitar 50%
yang terdiri dari 80,9% asam anakardat, dan 13,78% fenol yang
biasa disebut kardol, 1,59% kardanol dan 2,64% 2 metil kardol.
Dalam istilah perdagangan. Mimyak kulit biji mete dikenal
sebagai minyak laka atau Cashew nut shell liquid (CNSL).
Asam anakardat merupakan asam salisilat yang telah
mengalami subtitusi memiliki sifat termolabil, dan akan
terdekomposisi menjadi kardanol dan CO2 akibat pengaruh
pemanasan. Sifat-sifat asam anakardat antara lain :
- memiliki rumus molekul C18H23O3 ,
- nilai kalor 5856,13 kal/g,
- memiliki kandungan Carbon 21,45%
- memiliki kadar air 4,11%
- pH 4,3
- kadar abu 1,05%
- bilangan Iod 206
Struktur kimia komponen-komponen utama penyusun
CNSL adalah :
1. Asam anakardat (suatu asam salisilat yang telah
mengalami subtitusi)
2. Kardanol ( fenol yang telah mengalami subtitusi pada
posisi meta)
3. Kardol (Resolsinol yang telah mengalami subtitusi)
[7].
Hasil analisa proksimat, ultimate dan komposisi abu
cangkang
bji
jambu
mete
didapatkan
dari
http:/www.anupinindustries.net/cashew-net-shell-cake.html[8].
Kesetimbangan energi ketel uap pipa api digambarkan pada
gambar 3 :

Gambar 3. Kesetimbangan energi ketel uap'91

III. METODOLOGI PENELITIAN


Penelitian ini dilakukan di bagian utilitas Departemen
Teknik PT. Indofood CBP, Tbk Cabang Makassar. Jenis
penelitian yang digunakan adalah studi eksperimental dengan
variasi bahan bakar dan kondisi ketel uap pipa api.
Studi eksperimental ini dilakukan dengan variasi
penggunaan bahan bakar dan kondisi ketel uap pipa api yaitu
pencampuran 60% batubara lignit dengan 40% cangkang biji
jambu mete pada kondisi ketel uap pipa api sebelum
dibersihkan, batubara lignit pada kondisi ketel uap pipa api
sebelum dibersihkan dan batubara lignit pada kondisi ketel uap
pipa api setelah dibersihkan. Pada ketiga kondisi ini diambil
data analisa proximate, nilai bakar bahan bakar, temperatur,
tekanan, laju alir air umpan dan uap yang dihasilkan,
temperatur keluar pipa api, udara berlebih, jumlah karbon yang
tidak terbakar serta luas ruang bakar. Tahap selanjutnya adalah
melakukan perhitungan prestasi kerja menggunakan metode
BTU, menghitung kesetimbangan energi dan menghitung
indeks salgging dan fouling. Persamaan yang digunakan pada
penelitian ini adalah :
Kalor dari reaksi pembakaran
Kalor yang keluar ke cerobong

Kalor yang dimanfaatkan


Kalor uap yang dibangkitkan

Kalor air umpan ketel uap


Kalor yang hilang
Efisiensi ketel uap

Indeks slagging

Rs < 0,6
= rendah
0,6 < Rs<2,0 = sedang
2,0 < Rs<2,6 = tinggi

Energi III-78

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

2,6 < Rs = sangat tinggi


Indeks fouling
Bila CaO + MgO + Fe2O3 > 20% berdasarkan berat ash
Na2O < 3 = rendah sedang
3,0 < Na2O<6 = tinggi
Na2O > 6 = tinggi sekali
Bila CaO + MgO + Fe2O3 < 20% berdasarkan berat ash
Na2O < 1,2
= rendah - sedang
1,2 < Na2O <3 = tinggi
Na2O > 3 = tinggi
(9)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari tahapan pengambilan data dan hasil perhitungan
penggunaan batubara lignit Mallawa dan pencampuran dengan
cangkang biji jambu mete ini diperoleh hasil perhitungan yang
ditampilkan pada tabel 1.

Penelitian ini menunjukkan bahwa slagging dan fouling


menaikkan nilai kalor gas buang dan kalor yang hilang karena
slagging dan fouling ini menghambat proses perpindahan panas
radiasi dari ruang bakar ke sisi air dan perpindahan gas panas
dari pipa api ke sisi air. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
pernah dilakukan tentang unjuk kerja ketel uap terhadap
penurunan daya di PT. Indonesia Power UBP Perak [10].
Hubungan kondisi ketel uap dan temperatur gas keluar
ruang bakar serta temperatur pembakaran ditunjukkan pada
gambar 4.

Gambar 4. Hubungan kondisi ketel uap terhadap temperatur pembakaran


dan temperatur gas keluar ruang bakar

Dari gambar 4 terlihat bahwa pada kondisi slagging


sebelum dibersihkan, temperatur pembakaran di ruang bakar
bila mengunakan campuran 60% batubara lignit dan 40% lebih
tinggi dibanding dengan temperatur pembakaran bila hanya
menggunakan bahan bakar batubara lignit ( temperatur
pembakaran bila menggunakan bahan bakar campuran 60%
batubara lignit dan 40% cangkang biji jambu mete 1.543C dan
temperatur pembakaran bila menggunakan batubara lignit
sebelum dibersihkan adalah 1.427C dan bila menggunakan
batubara lignit setelah dibersihkan adalah 1.360C ). Hal ini

terjadi karena cangkang biji jambu mete memiliki komposisi


nilai volatiles matter/zat terbang lebih tinggi dan kandungan
abu lebih rendah dibanding batubara lignit [7]. Volatile matter
membantu perambatan api menuju batubara, dimana campuran
volatile matter dan udara pembakaran menambah keturbulenan
gas dan akan turun menuju batubara yang akan dibakar serta
menambah efek pembakaran di atas chain grate sehingga
menaikkan atau menambah temperatur pembakaran [11].
Tingginya nilai kadar abu menghambat udara pembakaran
untuk mencapai/membakar carbon sehingga tidak semua
carbon bisa diubah menjadi CO2, hal ini menurunkan nilai
kalor pembakaran sehingga menurunkan nilai temperatur
pembakaran.
Temperatur gas keluar ruang bakar bila mengunakan
campuran 60% batubara lignit dan 40% cangkang biji jambu
mete sebelum dibersihkan lebih rendah dibanding dengan
temperatur pembakaran bila hanya menggunakan bahan bakar
batubara lignit sebelum dibersihkan (temperatur gas keluar
ruang bakar bila menggunakan bahan bakar campuran 60%
batubara lignit dan 40% cangkang biji jambu mete sebelum
dibersihkan 838C dan temperatur pembakaran bila
menggunakan batubara lignit sebelum dibersihkan adalah
875C dan bila menggunakan batubara lignit setelah
dibersihkan adalah 846C ). Hal ini terjadi karena indeks
slagging pada ketel uap bila menggunakan bahan bakar
batubara lebih tinggi sehingga transfer panas radiasi dari ruang
bakar tidak begitu banyak yang tertransfer ke sisi air.
Dari kondisi yang telah dijelaskan, terlihat bahwa dengan
memakai bahan bakar campuran 60% batubara lignit dan 40%
cangkang biji jambu mete telah mendekati dengan kondisi
standar yang diberikan dari pihak pembuat ketel uap
(ALSTOM),
dimana
temperatur
pembakaran
yang
dipersyaratkan oleh ALSTOM adalah 1600C sedangkan
temperatur pembakaran campuran 60% batubara lignit dan
40% cangkang biji jambu mete adalah1543C sementara untuk
temperatur keluar ruang bakar yang dipersyaratkan oleh
ALSTOM adalah 800C [3], sedangkan temperatur
pembakaran campuran 60% batubara lignit dan 40% cangkang
biji jambu mete adalah 838C.
Hubungan kondisi ketel uap dan temperatur gas keluar
ruang bakar serta temperatur pembakaran ditunjukkan pada
gambar 5 . Gambar 5 memperlihatkan bahwa temperatur gas
keluar pipa api bila mengunakan campuran 60% batubara lignit
dan 40% cangkang biji jambu mete sebelum ketel uap
dibersihkan lebih rendah dibanding dengan temperatur gas
keluar pipa api bila hanya menggunakan bahan bakar batubara
lignit (temperatur gas keluar pipa api bila menggunakan bahan
bakar campuran 60% batubara lignit dan 40% cangkang biji
jambu mete sebelum dibersihkan 208C dan temperatur
pembakaran bila menggunakan batubara lignit sebelum
dibersihkan adalah 270C dan bila menggunakan batubara
lignit setelah dibersihkan adalah 171C ). Kondisi ini terjadi
karena indeks fouling pada ketel uap bila menggunakan bahan
bakar batubara lebih tinggi maka transfer panas dari gas
didalam pipa api ke sisi air terhambat karena adanya fouling.

Energi III-79

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

Hubungan kondisi ketel uap dan laju alir massa uap serta
efisiensi ketel uap ditunjukkan pada gambar 7.

Gambar 7. Hubungan kondisi ketel uap terhadap laju alir massa uap dan
efisiensi ketel uap
Gambar 5. Hubungan kondisi ketel uap terhadap temperatur gas keluar
pipa api

Hubungan kondisi ketel uap dengan kalor uap yang


dibangkitkan, kalor gas buang serta kalor yang hilang
ditunjukkan pada gambar 6.

Gambar 6. Hubungan kondisi ketel uap terhadap Quap yang dibangkitkan,


Q gas buang dan Qyang hilang

Dari gambar 6 terlihat bahwa nilai kalor steam yang


dibangkitkan untuk kondisi ketel uap menggunakan batubara
lignit sebelum dibersihkan (15,033 x 106 kJ/h) lebih kecil
dibanding nilai kalor steam yang dibangkitkan untuk kondisi
ketel uap menggunakan bahan bakar campuran 60% batubara
lignit dan 40% cangkang biji jambu mete sebelum dibersihkan
(15,870 x 106 kJ/h) serta dibandingkan dengan nilai kalor
steam yang dibangkitkan dengan kondisi ketel uap
menggunakan bahan bakar batubara lignit setelah dibersihkan
(15,938 x 106 kJ/h), ini menunjukkan bahwa slagging dan
fouling menghambat perpindahan kalor dari ruang bakar ke sisi
air dan perpindahan kalor gas dari pipa api ke sisi air untuk
menghasilkan steam. Nilai kalor gas buang untuk kondisi ketel
uap menggunakan 100% batubara lignit sebelum dibersihkan
(0,167 x 106 kJ/h) lebih besar dibanding nilai kalor gas buang
untuk kondisi ketel uap menggunakan bahan bakar campuran
60% batubara lignit dan 40% cangkang biji jambu mete
sebelum dibersihkan (0,128 x 106 kJ/h), namun nilai kalor gas
buang dengan kondisi ketel uap menggunakan bahan bakar
100% batubara lignit setelah dibersihkan sangat rendah (0,096
x 106 kJ/h), ini menunjukkan bahwa fouling menghambat
perpindahan kalor dari gas pada pipa api ke sisi air. Nilai kalor
gas buang untuk kondisi ketel uap menggunakan 100%
batubara lignit sebelum dibersihkan nilainya lebih tinggi
karena nilai temperatur gas keluar pipa api masih sangat tinggi
(270C) yang disebabkan karena gas didalam pipa api
terhambat transfer panasnya ke sisi air, sehingga temperatur
keluar pipa api masih tinggi nilainya dan kalor gas buang pun
juga besar nilainya.

Gambar 7 menunjukkan bahwa ketel uap menggunakan


bahan bakar campuran 60% batubara lignit dan 40% cangkang
biji jambu mete sebelum menghasilkan laju massa steam yang
lebih besar dibandingkan bila ketel uap menggunakan batubara
lignit sebelum dibersihkan (bila menggunakan bahan bakar
campuran 60% batubara lignit dan 40% cangkang biji jambu
mete 5.750 kg/h dan laju massa steam bila menggunakan bahan
bakar batubara 5.449 kg/h), ini terjadi karena transfer kalor
menggunakan campuran 60% batubara lignit dan 40%
cangkang biji jambu mete bisa tertransfer dengan baik
dibandingkan dengan bila ketel uap menggunakan batubara
lignit karena hambatan slangging dan fouling yang lebih tinggi.
Kecenderungan ini juga terbuktikan dengan tingginya nilai
efisiensi ketel bila menggunakan bahan bakar campuran 60%
batubara lignit dan 40% cangkang biji jambu mete sebelum
dibersihkan dibandingkan dengan efisiensi ketel bila
menggunakan bahan bakar batubara lignit sebelum
dibersihkan. Terlihat bahwa kondisi ketel uap setelah
dibersihkan
efisiensinya
mendekati
efisiensi
yang
dipersyaratkan dari ALSTOM yaitu untuk bahan bakar bernilai
6.692 kcal/kg untuk ukuran batubara peas adalah 97%,
sehingga bila dikonversi ke nilai kalor batubara yang dipakai
oleh ketel uap PT. Indofood CBP, Tbk Cabang Makassar
bernilai 6.200 kcal seharusnya efisiensi yang diperoleh adalah
89,86% [3].
V. KESIMPULAN
Dari perhitungan dan pembahasan maka disimpulkan :
1. Penggunaan campuran 60% batubara lignit dan 40%
cangkang biji jambu mete bisa menurunkan indeks
slagging dan fouling pada ketel uap pipa api.
2. Penggunaan campuran 60% batubara lignit dan 40%
cangkang biji jambu mete lebih baik dibanding
menggunakan batubara lignit tanpa dicampur dengan
cangkang biji jambu mete bila ditinjau dari sisi
penghematan energi.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Lesmana, Ridwan. 1993. Proses Pembuatan Mie Instant. HO
Manufacturing PT. Indoofood Sukses Makmur, Jakarta.
[2] Gondosari, Irwan. and Rumawan, Yoseph. 2009. Training Coal
Boiler, HO Manufacturing PT. Indoofood Sukses Makmur,
Jakarta.
[3] Nierop V.G. 2002. Thompson Afripac Coal Fired Boiler
Operating & Maintenance Manual. Alstom John Thompson
(Pty)nLimited, South Africa.

Energi III-80

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

[4] Belkin H.E; Tewalt S.J. 2010. Geochemistry of Selected Coal


Samples from Sumatera, Kalimantan,Sulawesi and Papua,
Indonesia, Science for a charging word, Balcanica.
[5] Fuel
Analysis
Conversion.
Available
from :
(http:/www.myvistasource.com/files/tech papers/prox2utl.php).
[6] Kitto J.B; C, Stevan; Stultz. 2005. Steam. The Babcock and
Wilcox Company Barbeton, Ohio USA. Edisi 41.
[7] Risfahri. 2004.Pemisahan Kardanol Dari Minyak Kulit Biji
Mete Dengan Metode Destilasi Vakum. Balai Besar Penelitian
dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Institut Pertanian
Bogor, Bogor

[8] Anup industries manufacturers of CNS Liquid. (2010). Cashew


Nut Shell Cake. (http:/www.anupinindustries.net/cashew-netshell-cake.html).
[9] JU R.S; Ahamed; Masjuki H.H. 2010.Energy, exergy and
economic analysis of industrial boilers. Department of
Mechanical Engineering, University of Malaya. Kuala Lumpur
Malaysia.
[10] Asmudi. 2010. Analisa Unjuk Kerja Boiler Terhadap Penurunan
Daya Pada PLTU PT. Indonesia Power UBP Perak. Fakultas
Teknologi Kelautan, Institut Teknologi Surabaya, Surabaya.
[11] Wiley, John. and Sons, 1993. Encyclopedia of Chemical
Technology. A Wileyilnterscience Publication, New York. Edisi
6.

Energi III-81

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

Pengaruh Perbandingan Jari-Jari Pipa dan


Kelengkungan Bend terhadap Distribusi Kecepatan
Aliran
Syahrizal

Syamsul Arifin P. Dan Duma Hasan

Jurusan Mesin Fakultas Teknik


Universitas Hasanuddin
Makassar, Indonesia
syahrisalzafran@yahoo.com

Jurusan Mesin Fakultas Teknik


Universitas Hasanuddin
Makassar, Indonesia
Email : -

AbstractThe aims of the research are toacknowledge the influence of


pipes radius ratio and the inlet bend area on the velocity of flow rate, the
influence of pipes radius ratio and the inlet bend area on the velocity of
flow rate, the influence of pipes radius ratio and the inlet bend area on
the velocity of flow rate. The research was conducted in Fluid Laboratory
of Mechanical Departement of Enginering of Hasanuddin University. The
research method was an experiment. The data obtained from testing
section 9 times by nothing the pressure rate of water fluid on board
manometer. The results of the measurement was then calculated with the
existing formula to indicate the velocity of flow and the speed of the water
fluid flow and Raynold number, then the data was tabulated and
presented in graph to observe the analyzed results. The results of the
research indicated that the use of the pipes radius comparison variation
use and the pipes bend cause a change on Reynold number and the water
speed. The higher the comparison of the pipes radius and the bend, the
smaller the value of Reynold number and water speed. The smallest
Reynold number and water speed and water speed on the comparison of
the pipes radius and bend (R/Rb=1/5) is 756728 and 0.91852 m/s (inlet
bend), 54025 and 0,87475 m/s (bend corner area), 49695 and 0.80465 m/s,
weanwhile the highest Reynold number value and water speed was
observed in the pipes radius comparison and the bend (R/Rb=1/3) i.e.
79287 and 1.28378 m/s, 78337 and 1.2684 m/s (bend corner).
Keywords : elbow 90o, speed, Reynold number, comparison

I. PENDAHULUAN

Pada saat ini teknologi semakin maju khususnya pada


pengembangan bentuk bodi, para ahli dan ilmuwan selalu
berusaha untuk mencari penemuan-penemuan baru pada
bentuk bodi yang lebih aerodinamis untuk mengurangi
separasi dan drag, misal pada industri-industri Otomotif,
Aeroplane dan perkapalan. Demikian juga pada industri yang
banyak menggunakan instalasi perpipaan yang berfungsi
untuk mengalirkan fluida ke tempat tujuan. Pada instalasi ini,
banyak dipakai sambungan yang berfungsi untuk membelokan
aliran.
Zat cair merupakan salah satu bentuk fluida yang berubah
bentuk secara kontinyu (terus menerus) bila mendapatkan
gaya geser. Tekanan pada fluida dapat berupa tekanan
hidrostatis, tekanan dinamis, dan tekanan statis. Zat cair yang
bergerak dapat menimbulkan gaya, seperti halnya zat cair
yang mengalir pada belokan pipa juga dapat menimbulkan
gaya tumbukan pada belokan tersebut. Belokan
pipa dibuat dengan ukuran yang lebih tebal dibandingkan
dengan ukuran pipa pada lintasan lurus. Hal ini bertujuan

untuk mengimbangi gaya tekan dari fluida. Gaya yang terjadi


dapat dijelaskan dan dianalisa dengan prinsip persamaan
momentum. Oleh karena aliran berubah dalam nilai maupun
arahnya, maka momentum partikel zat cair juga akan berubah.
Perubahan arah aliran dalam pipa dapat menyebabkan
terjadinya gaya yang bekerja pada belokan pipa, yaitu gaya
tekan pada belokan ini berupa tekanan hidrostatis dan tekanan
dinamis.
Penelitian ini dilakukan dengan mengembangkan teori
yang sudah ada tentang gaya tekan air pada pipa melengkung
dan faktor-faktor yang mempengaruhi. Pengembangan teori
yang diperoleh digunakan untuk menentukan gaya tekan air
pada pipa melengkung dengan batasan bahwa untuk
menentukan gaya tekan air pada pipa dengan diameter pipa
tetap digunakan sudut belokan. Sistem pemipaan untuk
distribusi fluida sangat lazim ditemukan adanya belokan
(elbow 90). Pemasangan elbow 90 tersebut menyebabkan
munculnya rugi-rugi tekanan (head loss) dan ini umumnya
sering disebut sebagai minor losses[1]. Adanya kerugian
tekanan akibat pemasangan elbow 90 menjadikan suatu
fenomena yang menarik untuk dikaji atau diteliti. Hasil
penelitian ini nantinya diharapkan dapat merumuskan suatu
teknik atau cara untuk mengamati fenomena distribusi
kecepatan aliran fluida pada suatu tempat. Salah satu hal yang
dicurigai berpengaruh terhadap rugi-rugi kecepatan aliran
pada elbow 90 adalah perbandingan nilai antara jari-jari
kelengkungan (R) terhadap diameter pipa[2]. Untuk
pemakaian variasi sudut belokan bahwa pemakaian sudut
belokan yang semakin besar menyebabkan hubungan
kecepatan air berbanding terbalik dengan head losses.
Semakin kecil kecepatan yang dihasilkan, nilai head losses
semakin besar[3]. Aliran turbulen mempunyai koefisien gesek
yang lebih tinggi dibandingkan dengan aliran laminar,
tingginya koefisien gesek berpengaruh secara langsung pada
besarnya penurunan tekanan dan besarnya energi yang
diperlukan untuk mengalirkan fluida[4].

II. LANDASAN TEORI


Fluida merupakan suatu bahan/zat yang dalam keadaan
setimbang tak dapat menahan gaya atau tegangan geser (shear

Energi III-82

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

force). Dapat pula didefinisikan sebagai zat yang dapat


mengalir bila ada perbedaan tekanan dan atau tinggi. Suatu
sifat dasat fluida nyata yaitu tahanan terhadap aliran yang
diukur sebagai tegangan geser yang terjadi pada bidang geser
yang dikenai tegangan tersebut adalah viskositas atau
kekentalan/kerapatan zat fluida tersebut[5]. Berdasarkan aliran
maka fluida dapat diklasifikasikan atas fluida sempurna
(ideal), fluida nyata (real), compressible dan incompressible.
Suatu fluida sempurna tidak memiliki sifat kekentalan dan
tidak dapat dimampatkan. Konsep fluida sempurna
memungkinkan untuk memecahkan perumusan matematik
yang lebih sederhana. Sedangkan berdasarkan wujudnya,
fluida dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu : Fluida gas
yang merupakan fluida dengan partikel yang renggang dimana
gaya tarik antara molekul sejenis relatif lemah dan sangat
ringan sehingga dapat melayang dengan bebas serta
volumenya tidak menentu. Sedangkan fluida cair merupakan
fluida dengan partikel yang rapat dimana gaya tarik antara
molekul sejenisnya sangat kuat dan mempunyai permukaan
bebas serta cenderung untuk mempertahankan volumenya.
Untuk fluida gas sifat aliran dianggap laminer, sedangkan
untuk fluida cair dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu :
1. Aliran laminer, merupakan aliran dimana fluida dianggap
mengalir pada lapisan masing-masing dengan kecepatan
konstan. Suatu aliran yang tetap dan tidak ada
pencampuran partikel-partikel antara lapisan. Terjadi
karena kecepatan aliran rendah, fluida cukup kental, aliran
pada lorong sempit dan Re < 2300.
2. Aliran turbulen, merupakan aliran dengan kecepatan
tinggi, fluida encer, aliran lorong besar, Re > 4000, aliran
bercampur dari lapisan ke lapisan, bahkan seperti
bergulung-gulung.
Penentuan aliran fluida cair laminer atau turbulen
ditentukan oleh Reynold Number (bilangan Reynolds) dengan
menentukan kecepatan aliran (V), diameter pipa serta
viskositas kinematis (v).

Hukum kedua Newton yang menyatakan perubahan


momentum suatu benda itu (), (Q), dan (V) sebanding
dengan gaya (F) yang bekerja pada benda tersebut. Dengan
kata lain momentum aliran fluida terjadi karena adanya
perubahan kecepatan aliran.
F = . Q. (V)
Persamaan Bernoulli
(4)
Aliran fluida dalam Belokan Pipa
Aliran fluida di sekitar belokan akan terjadi kenaikan
tekanan sepanjang jari-jari bagian luar dan terjadi penurunan
tekanan sepanjang jari-jari bagian dalam. Setelah keluar dari
belokan pipa daerah dinding dimana terjadi kenaikan
kecepatan akibat belokan akan turun sedangkan daerah
dinding yang mempunyai kecepatan rendah sebaliknya
kecepatan akan naik kembali. Kondisi ini akan terus berlanjut
hingga distribusi kecepatan dan tekanan akan normal kembali.
Kondisi yang tidak seimbang pada daerah belokan akan
menghasilkan dua aliran[7], seperti yang terlihat pada gambar
1 di bawah ini :

Gambar 1. Bentuk aliran dalam daerah belokan

(1)
Jenis aliran berdasarkan bilangan Reynolds untuk aliran
internal :
1.
Re < 2300, aliran adalah laminer
2.
Re > 4000, aliran adalah turbulen
3. 2300 < Re < 4000, aliran adalah transisi.
Persamaan Kontinuitas
Persamaan kontinuitas diperoleh dari hukum kekekalan
massa yang menyatakan bahwa untuk aliran yang stasioner
massa fluida yang melalui semua bagian dalam arus fluida tiap
satuan waktu adalah sama[6]. Untuk aliran yang tidak
termampatkan ( = konstan), maka laju aliran (Q) pada luas
suatu penampang (A1) adalah sama dengan aliran yang
melalui penampang lainnya (A2) dengan kecepatan aliran yang
sama (V).
Q = A1.V1 = A2.V2
Persamaan Momentum

(2)

(3)

Kombinasi kedua aliran dengan kecepatan aksial akan


membentuk sepasang aliran berputar (bentuk spiral) yang
berulang pada jarak tertentu. Hal ini tidak hanya
mengakibatkan kerugian energi pada belokan tersebut, akan
tetapi kondisi gangguan aliran berputar ini bertahan pada jarak
tertentu hingga tersebar kembali akibat gesekan kekentalan
dari fluida.
Kerugian pada belokan umumnya tergantung pada
perbandingan jari-jari kelengkungan terhadap diameter pipa.
Kerugian head paling besar terjadi pada belokan tajam, hal ini
dapat
dikurangi
dengan
memperpanjang
jari-jari
kelengkungan. Dengan penambahan jari-jari kelengkungan
akan mengakibatkan lemahnya daerah pemisahan.
Pengukuran Fluida
Dalam pengukuran fluida termasuk penentuan tekanan,
debit, gelombang kejut, gradien kerapatan turbulensi dan
viskositas[8].
Terdapat
banyak
cara
melaksanakan
pengukuran-pengukuran ini, misalnya : langsung, tak
langsung,
gravimetrik,
volumetrik,
elektronik,
elektromagnetik dan optik. Pengukuran debit secara langsung
terdiri atas penentuan volume atau berat fluida yang melalui

Energi III-83

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

suatu penampang dalam suatu selang waktu tertentu. Metode


tak langsung bagi pengukuran debit memerlukan penentuan
tinggi-tekan, perbedaan tekanan, atau kecepatan di beberapa
titik pada suatu penampang dan dengan besaran-besaran ini,
penghitungan debit. Metode-metode yang paling teliti adalah
penentuan gravimetrik atau penentuan volumetrik, dengan
berat atau volume diukur, atau penentuan dengan
mempergunakan tangki yang telah dikalibrasi untuk selang
waktu yang diukur.
Pengukuran Tekanan
Pengukuran tekanan diperlukan dalam banyak alat yang
digunakan untuk menentukan kecepatan arus fluida atau laju
alirannya, karena hubungan antara kecepatan dan tekanan
yang diberikan oleh persamaan energi. Tekanan statik suatu
fluida yang bergerak adalah tekanannya bila kecepatan tidak
terganggu oleh pengukuran. Gambar 2(a) menunjukkan satu
cara mengukur tekanan statik, yaitu dengan lubang pizometer.
Bila aliran sejajar, sebagaimana ditunjukkan, maka variasi
tekanan yang normal (tegak-lurus) terhadap garis-garis aliran
adalah hidrostatik. Oleh karena itu dengan mengukur tekanan
pada dinding maka di setiap titik lain pada penampang yang
bersangkutan dapat ditentukan. Lubang pizometer seyogyanya
kecil, dengan panjang lubang sekurang-kurangnya dua kali
garis tengahnya, dan hendaknya tegak lurus terhadap
permukaan, tanpa beram ditepi-tepinya karena akan
menyebabkan terbentuknya pusaran-pusaran kecil yang
membuat
hasil
pengukuran
menyimpang.
Dapat
diperkenankan membulatkan lubang tersebut sedikit. Karena
ketidaklurusan atau kekasaran sedikit saja pada lubang dapat
menyebabkan kesalahan pengukuran, maka seyogyanya
digunakan beberapa lubang pizometer yang dihubungkan
menjadi satu sebagai cincing pizometer. Bila permukaan di
dekat lubang tersebut kasar, maka pembacaannya tidak dapat
diandalkan. Untuk ketidakteraturan sedikit, masih mungkin
untuk menghaluskan permukaan di seputar lubang.

Gambar 2. Alat ukur tekanan statik : (a) tabung pizometer, (b) tabung statik

Untuk permukaan yang kasar, dapat digunakan tabung


statik gambar 2(b). Alat ini terdiri dari sebuah tabung yang
diarahkan ke hulu dengan ujungnya tertutup. Alat tersebut
mempunyai lubang-lubang radial dalam bagian yang
berbentuk silinder di sebelah hilir hidung. Aliran
diprasumsikan bergerak melewati lubang-lubang tersebut
seolah-olah tanpa terganggu. Namun terdapat gangguan yang
disebabkan baik oleh hidung maupun oleh kaki kanan yang
tegak-lurus terhadap aliran. Tabung statik seyogyanya
dikalibrasi, karena dapat menunjukkan pembacaan terlalu
tinggi atau terlalu rendah. Jika alat tersebut tidak menunjukkan
tekanan statik yang benar, kemelesetannya (h) biasanya

sebanding dengan kuadrat kecepatan aliran (v2) melewati


tabung, yakni :
(5)
Di sini C ditentukan dengan menghela tabung di dalam
fluida diam yang tekanan dan kecepatannya atau dengan
memasangnya di dalam pipa licin yang mempunyai cincing
pizometer. Tabung demikan relatif tidak peka terhadap
bilangan Reynolds dan terhadap bilangan Mach di bawah satu.
Pengukuran Kecepatan dan Volume
Penentuan kecepatan di sejumlah titik pada suatu
penampang memungkinkan penentuan besarnya debit, maka
pengukuran kecepatan merupakan suatu fase yang penting
dalam pengukuran aliran. Kecepatan dapat diperoleh dengan
mengukur waktu yang diperlukan suatu partikel yang dapat
dikenali untuk bergerak sepanjang suatu jarak yang diketahui.
Hal ini dilaksanakan bilamana saja mudah atau perlu. Teknik
ini telah dikembangkan guna mempelajari aliran di dalam
daerah yang begitu kecilnya sehingga aliran normalnya akan
sangat terganggu dan berangkali lenyap seandainya disisipkan
instrumen untuk mengukur kecepatan. Harus disediakan
daerah pengamatan yang tembus pandang dan dengan sarana
lampu yang terang serta mikroskop yang kuat maka
ketakmurnian yang sangat kecil-kecil di dalam fluida dapat
diambil gambarnya dengan kamera gambar hidup
berkecepatan tinggi.
Namun biasanya alat yang dipergunakan tidak mengukur
kecepatan secara langsung tetapi menghasilkan suatu besaran
yang dapat diukur dan yang dapat dihubungkan dengan
kecepatan. Tabung Pitot beroperasi berdasarkan asas demikian
dan merupakan salah satu metode pengukuran kecepatan yang
paling tepat. Dalam gambar 3 sebuah tabung kaca atau jarum
suntik dengan belokan siku-siku dipergunakan untuk
kecepatan v di dalam suatu saluran terbuka. Lubang tabung
diarahkan ke hulu sehingga fluida mengalir ke dalam lubang
tersebut sampai tekanan di dalam tabung meningkat
secukupnya untuk menahan dampak kecepatan terhadapnya.
Tepat di depan lubang tersebut fluida tidak bergerak. Garis
aliran yang melalui 1 melintas ke titik 2, yang disebut titik
stagnasi, tempat fluida tidak bergerak, dan disana bercabang
serta melintas di sekitar tabung. Tekanan di 2 diketahui dari
kolom aliran di dalam tabung.
Tabung pitot mengukur tekanan stagnasi yang juga disebut
tekanan total. Tekanan total terdiri dari dua bagian, yaitu
tekanan statik h0 dan tekanan dinamik h, yang dinyatakan
dalam panjang kolom fluida yang mengalir (gbr.3).
Dengan menggabungkan pengukuran tekanan statik dan
pengkuran tekanan total, yaitu dengan mengukur masingmasing tekanan dan menghubungkannya dengan kedua ujung
sebuah manometer diferensial, maka diperoleh tinggi tekanan
dinamik. Suatu susunan ditunjukkan dalam gbr 4.a.
Tabung pitot juga tidak peka kesebarisan aliran dan terjadi
kesalahan sebesar hanya beberapa persen jika tabung
Mempunyai ketidaksebarisan menyimpang kurang 15o .

Energi III-84

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

Gambar.1 Instalasi Penelitian (Tampal Depan)


Gambar 3. Tabung Pitot sederhana
3

Tabung statik dan tabung pitot dapat digabungkan menjadi


satu instrumen, yang disebut tabung pitot-statik (gambar 4.b).
4
P

Keterangan :
1 Tabung Penampungan
2 Katup
3 Flowmeter
4 Sambungan/socket
5 Tabung Pitot
6 Pompa

Gambar. 2 Instalasi Penelitian (Tampak Atas)


Gambar 4. Pengukuran kecepatan : (a) Tabung pitot dan tabung pizometer,
(b) tabung pitot-statik

Pitot pada daerah bend

Pitot pada daerah inlet


Arah Aliran

III. METODOLOGI PENELITIAN

Pitot pada daerah outlet


r

Metode penelitan yang digunakan adalah metode


eksperimental. Pengujian dilakukan dengan variasi
perbandingan jari-jari pipa dan kelengkungan bend (r/R = 1/3,
1/3, , 1/4, 1/5) seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.
Pengambilan data dilakukan dengan mengalirkan fluida
masuk melalui pipa hingga melewati flowmeter yang
kemudian dicatat berapa laju aliran yang masuk, setelah itu
aliran melewati daerah inlet sebelum masuk pada pipa seksi
uji bend 90 dan kemudian mencatat head (ketinggian air pada
papan manometer) yang mengalir melewati selang-tabung
pitot daerah inlet. Hal yang sama juga dilakukan pada daerah
bend dan daerah outlet dengan tetap mencatat head
(ketinggian air pada papan manometer) yang melewati selangtabung pitot. Head (ketinggian air pada manometer papan)
pada daerah aliran pipa bend 90 (inlet, bend dan outlet)
dicatat sampai 9 (sembilan) kali dengan perubahan posisi
tabung pitot (0 48) mm. Sedangkan tekanan statis pada
daerah outlet (setelah seksi uji) dilakukan hanya sekali atau
pada permukaan pipa saja dengan memasang taping.
Instalasi Penelitian
Instalasi penelitian ditampilkan pada gambar 1, 2 dan 3

Pitot di luar daerah outlet

Gambar. 3 Bagian Seksi Uji

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan hasil pengujian dan pengukuran variasi laju
aliran (Q1, Q2, Q3) yang diukur dengan menggunakan
flowmeter dan kecepatan fluida pada pipa pada perbandingan
jari-jari pipa dan kelengkungan bend (1/3, 1/3, 4, 4, 5),
maka dapat dilihat gambaran hasil pengujian masing-masing
variabel yaitu :
Hubungan antara Variasi Perbandingan Jari-Jari Pipa dan
Kelengkungan Bend (r/R) terhadap Kecepatan (Vmaks)
Berikut grafik hasil pengujian perbandingan jari-jari pipa
dan kelengkungan bend (r/R) terhadap kecepatan maksimum
(Vmaks). Pengambilan data dilakukan pada 3 (tiga) daerah
pengambilan, yaitu daerah inlet bend, sudut bend, dan outlet
bend.

Energi III-85

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

(1/5) yaitu 1.22912 m/s. Hal yang serupa juga terjadi pada
daerah outlet bend, kecepatan aliran yang paling tinggi
ditunjukkan pada perbandingan (1/3) yaitu 1.23708 m/s,
sedangkan kecepatan aliran yang paling kecil adalah pada
perbandingan (1/5) yaitu 1.20494 m/s.

Gambar 1 Grafik hubungan antara variasi perbandingan jari-jari pipa dan


kelengkungan bend (r/R) terhadap kecepatan maksimum (Vmaks) pada laju
aliran
Q1=0,00139 m3/s.

Pada gambar 1 di atas, menunjukkan bahwa pada


perbandingan jari-jari pipa dan kelengkungan bend (1/3)
dengan laju aliran Q1=0,00139 m3/s, pada daerah inlet bend
kecepatan aliran yang paling tinggi adalah 1.22912 m/s,
sedangkan kecepatan aliran yang paling rendah ditunjukkan
pada perbandingan jari-jari pipa dan kelengkungan bend (1/5)
dengan nilai 1.18855 m/s. Demikian juga pada daerah sudut
bend, kecepatan aliran yang paling tinggi ditunjukkan pada
perbandingan jari-jari pipa dan kelengkungan bend (1/3) yaitu
1.22912 m/s, sedangkan kecepatan aliran yang paling kecil
adalah pada perbandingan (1/5) yaitu 1.19677 m/s. Hal yang
serupa juga terjadi pada daerah outlet bend, kecepatan aliran
yang paling tinggi ditunjukkan pada perbandingan (1/3) yaitu
1.20494 m/s, sedangkan kecepatan aliran yang paling kecil
adalah pada perbandingan (1/5) yaitu 1.16352 m/s.

Gambar 2 Grafik hubungan antara variasi perbandingan jari-jari pipa dan


kelengkungan bend (r/R) terhadap kecepatan maksimum (Vmaks) pada laju
aliran Q2=0,00145 m3/s.

Pada gambar 2 di atas, menunjukkan bahwa pada


perbandingan jari-jari pipa dan kelengkungan bend (1/3)
dengan laju Q2=0,00145 m2/s, pada daerah inlet bend
kecepatan aliran yang paling tinggi adalah 1.26064 m/s,
sedangkan kecepatan aliran yang memiliki nilai paling kecil
ditunjukkan pada perbandingan jari-jari pipa dan
kelengkungan bend (1/5) dengan nilai 1.22912 m/s. Demikian
juga pada daerah sudut bend, kecepatan aliran yang paling
tinggi ditunjukkan pada perbandingan jari-jari pipa dan
kelengkungan bend (1/3) yaitu 1.24498 m/s, sedangkan
kecepatan aliran yang paling kecil adalah pada perbandingan

Gambar 3 Grafik hubungan antara variasi perbandingan jari-jari pipa dan


kelengkungan bend (r/R) terhadap kecepatan maksimum (Vmaks) pada laju
aliran Q3=0,00149 m3/s.

Pada gambar 3 di atas, menunjukkan bahwa pada


perbandingan jari-jari pipa dan kelengkungan bend (1/3)
dengan laju aliran sama, pada daerah inlet bend kecepatan
aliran yang paling tinggi adalah 1.28378 m/s, sedangkan
kecepatan aliran yang memiliki nilai paling kecil ditunjukkan
pada perbandingan jari-jari pipa dan kelengkungan bend (1/5)
dengan nilai 1.25284 m/s. Demikian juga pada daerah sudut
bend, kecepatan aliran yang paling tinggi ditunjukkan pada
perbandingan jari-jari pipa dan kelengkungan bend (1/3) yaitu
1.2684 m/s, sedangkan kecepatan aliran yang paling kecil
adalah pada perbandingan (1/5) yaitu 1.21305 m/s. Hal yang
serupa juga terjadi pada daerah outlet bend, kecepatan aliran
yang paling tinggi ditunjukkan pada perbandingan (1/3) yaitu
1.24498 m/s, sedangkan kecepatan aliran yang paling kecil
adalah pada perbandingan (1/5) yaitu 1.18855 m/s.
Hal ini menunjukkan bahwa pada variasi perbandingan
jari-jari pipa dan kelengkungan bend (r/R) pada daerah inlet
bend dengan laju aliran yang sama kecepatan aliran yang
terjadi lebih besar dari pada aliran di daerah sudut bend dan
outlet bend sebab pada daerah inlet bend hambatan yang
disebabkan oleh gesekan pipa dan belokan masih kecil
sehingga kecepatannya masih tinggi sedangkan pada daerah
sudut bend dan outlet bend hambatan yang terjadi akibat
gesekan pipa atau belokan pipa sudah semakin besar sehingga
kecepatannya juga semakin kecil. Sedangkan pada variasi
perbandingan jari-jari pipa dan kelengkungan bend (r/R)
dengan variasi laju aliran maka semakin besar laju aliran maka
semakin besar pula kecepatan aliran[9]. Hal ini disebabkan
karena kecepatan aliran bebanding lurus dengan laju aliran.
Hubungan antara Perbandingan Kelengkungan bend dan
Diameter Pipa (R/D) terhadap Kecepatan Aliran (V)

Energi III-86

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

laju aliran maka semakin kecil kecepatan aliran. Sedangkan


untuk laju aliran yang sama maka perbandingan jari-jari pipa
dan kelengkungan bend (r/R) memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap kecepatan aliran, semakin besar
perbandingannya maka kecepatan (V) aliran semakin kecil.
Pola aliran pada semua variasi perbandingan jari-jari pipa
dan
kelengkungan
bend
(1/3,1/3,,1/4,1/4,1/5)
menunjukkan pola aliran yang cenderung sama, dimana
kecepatan maksimum semuanya terjadi di atas atau setelah
sumbu pipa.

DAFTAR PUSTAKA

Pada gambar 4 di atas, menunjukkan bahwa kecepatan aliran maksimum


(Vmaks) terjadi pada posisi aliran di atas sumbu pipa dan kecepatan aliran
minimum terjadi pada dinding dasar pipa. Hal ini terjadi pada semua variasi
perbandingan jari-jari pipa dan kelengkungan bend (R/Rb) baik pada aliran
daerah inlet bend, sudut bend maupun outlet bend.

Hasil pengujian menunjukkan bahwa, kecepatan aliran


maksimum terjadi di atas sumbu pipa disebabkan karena
daerah-daerah aliran fluida baik aliran yang mendekati dinding
pipa dengan kelengkungan bend dengan radius yang kecil
maupun kelengkungan bend dengan radius yang besar
mengalami gesekan atau hambatan. Dan pada daerah
kelengkungan bend dengan radius kecil terjadi pemisahan
aliran (separasi), sehingga aliran pada daerah-daerah tersebut
mengalami perlambatan sedangkan pada daerah tengah atau di
atas sumbu pipa mengalami percepatan aliran.
V. KESIMPULAN
Dari hasil analisis penelitian yang telah dilakukan dapat
diambil beberapa kesimpulan yaitu perbandingan jari-jari pipa
dan kelengkungan bend (r/R) dengan laju aliran Q1 = 0,00139
m3/s, Q2 = 0,00145 m3/s dan Q3 = 0,00149 m3/s, memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap kecepatan aliran pada
daerah inlet bend, sudut bend dan outlet bend. Semakin besar

[1] Le Duc, (2007), Fachgebiet Hydromechanik, TU Munchen.


[2] Munson Young, Okiishi, (2005), Mekanika Fluida, Erlangga,
Jakarta
[3] Zainuddin, I Made Adi Sayoga, I Made Nuarsa (2012), Analia
Pengaruh variasi SudutSambungan Belokan Terhadap Heda
Loses Aliran Pipa
[4] Setyo Indartono, Y., (2006). Meredam Turbulensi Membuat Air
Mengalir
(jauh)
lebih
cepat,
Artikel
Iptek,
(Http://www.google.co.id)
[5] Raswari (1987), Teknologi dan Perencanaan Sistem Perpipaan,
Universitas Indonesia, Jakarta, 1987
[6] White Frank M (1994). Fluid Mechanics Third Edition, Mc
Graw-Hill Book Company, New York.
[7] Daugherty L. Robent, Franzini B. Josep and Finneurore, John.E,
(1965), Fluid Mechanics With Engineering Applications, Eighth
Edition, Mc Grow-Hill Book Company, New York
[8] Streeter, V.L., and Wylie, E. Benjamin (1987), Mekanika
Fluida, Erlangga Jakarta,1993
[9] Wendy Priana Negara (2002), Perbandingan Analisis Pressure
Drop pada Pipa Lengkung standar ANSI B36.10 dengan
COSMOSflo Work 2007, Jurnal (negara 007@yahoo.com)

Energi III-87

Proceeding of International Symposium on Smart Material and Mechatronics

Efektivitas Fresh Water Cooler Pada Mesin Diesel


Generator Di Engine Hall PIP Makassar
Paulus Pongkessu

Wahyu H. Piarah

Teknik Mesin
Politeknik Ilmu Pelayaran
Makassar, Indonesia
pauluspongkessu@yahoo.co.id

Teknik Mesin
Universitas Hasanuddin
Makassar, Indonesia
wahyu@eng.unhas.ac.id

AbstractPenelitian ini bertujan mengetahui pengaruh


perubahan temperatur air pendingin cooler terhadap air
pendingin mesin, laju perpindahan panas yang terjadi
pada cooler dan menentukan Efektivitas penukar kalor
akibat perubahan temperatur air pendingin cooler.
Penelitian ini dilaksanakan di Engine Hall Poloteknik
Ilmu Palayaran Makassar. Metode penelitian ini
dilakukan dalam bentuk ekperimen dengan beberapa
variabel penelitian yaitu terdiri atas variabel bebas
dimana besarnya ditentukan sebelum penelitia, dan
variabel terikat dimana besarnya tidak dapat ditentukan
sebelum penelitian, tetapi besarnya tergantung dari hasil
variabel
bebas. Hasil penelitian menunjukan bahwa
temperatur air pendingin masuk antara 150C sampai
340C dan keluar antara 160C sampai 370C dapat
menurunkan temperatur air pendingin mesin masuk
cooler antara 230C sampai 430C menjadi antara 210C
sampai 410C dengan laju penyerapan kalor rata-rata
antara 8,41 kW sampai 15,38 kW dan penyerapan kalor
rata-rata antara 9,257 kW sampai 11,53 kW dengan
Efektivitas Fresh Water Cooler rata-rata antara 25 %
sampai 28 %.

efisien. Pertukaran panas dapat terjadi karena adanya kontak,


baik antara fluida terdapat dinding yang memisahkannya
maupun keduanya bercampur langsung (directcontact). Salah
satu alat penukar panas yang dipergunakan pada sistem
pendinginan Fresh Water Cooler. Fresh Water Cooleradalah
penukar panas yang menggunkan cangkang dan buluh (shell
and tube heat exchanger), [5]. Alat penukar panas ini terdiri
atas suatu bundel pipa yang dihubungkan secara paralel dan
ditempatkan dalam sebuah pipa mantel (cangkang). Fluida
yang dingin mengalir di dalam bundel pipa, sedangkan fluida
yang panas mengalir diluar pipa pada arah yang sama,
berlawanan atau bersilangan. Kedua ujung pipa tersebut dilas
pada penunjang pipa yang menempel pada mantel.
Untuk meningkatkan effisiensi pertukaran panas,
biasanya pada alat penukar panas cangkang dan buluh
dipasang sekat (buffle). Ini bertujuan untuk membuat
turbulensi aliran fluida dan memperlambat aliran fluida
sehingga penyerahan panas lebih maksimal, namun
pemasangan sekat akan memperbesar rugi tekanan (pressure
drop) operasi dan menambah beban kerja pompa, sehingga
laju alir fluida yang dipertukarkan panasnya harus diatur [2].
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui koefisien
perpindahan panas yang terjadi pada cooler.

Kata kunciPerubahan temperatur, penyerapan kalor,

II. LANDASAN TEORI

efektivitas
I. PENDAHULUAN
Proses
pembakaran
dalam
selinder
akan
meningkatkan panas dan temperatur mesin. Bila pendinginan
tidak normal dapat mengakibatkan viskositas minyak pelumas
menurun atau berkurang, sehingga torak maupun selinder
dapat mengalami kerusakan akibat suhu yang tinggi dari
pembakaran. Dalam pengoperasian mesin kapal sering terjadi
gangguan pada sistem pendinginannya. Untuk itu semua awak
kapal bagian mesin dituntut agar tanggap dalam melakukan
perawatan dan menjaga kelancaran pengoperasiansistem,
sehingga gangguan terhadap sistem pendinginan dapat
diminimal.
Untuk menjaga agar sistem pendinginan tetap dalam
keadaan normal maka dapat digunakan alat penukar kalor
atau Heat Exchanger (HE) yang berfungsi untuk
memindahkan panas dari sistem ke sistem lain tanpa
perpindahan massa dan bisa berfungsi sebagai pemanas
maupun sebagai pendingin [1].
Penukar kalor dirancang sedemikian rupa agar
perpindahan panas antar fluida dapat berlangsung secara

A. Gambaran Umum Cooler


Cooler berfungsi untuk mendinginkan air pendingin mesin
motor diesel dengan menggunakan media pendingin yang
disuplai dari cooling tower. Proses pendinginan pada heat
changer ini berlangsung secara tertutup . Cooler pada instalasi
ini terdiri atas satu buah dan berdasarkan konstruksinya
Coolerr ini termasuk shell dan tube, dimana dalam operasinya
fluida pendingin mengalir di dalam tube dan fluida yang akan
didinginkan mengalir di luar tube dengan aliran fluida
berlawanan (counter flow).
B. Penukar Kalor Tipe Shell And Tube
Aliran fluida panas maupun fluida dingin dalam alat
penukar kalor ini ssaling melintasi satu sama lain, tidak hanya
satu kali saja, tetapi dapat beberapa kali.
Pada penukar kalor terdapat dua jenis lintasan aliran fluida
yaitu:
1. Shell pass yaitu lintasan yang dilakukan oleh fluida sejak
masuk inlet nozzle, melewati bagian dalam shell dan
mengelilingi tube, keluar dari outlet nozzle. Apabila
lintasan itu dilakukan satu kali maka disebut 1 pass shell.

Energi III-88

Proceeding of International Symposium on Smart Material and Mechatronics

2.

3.

Tube pass yaitu jika fluida masuk ke penukar kalor


melalui salah satu ujung (front head) lalu mengalir ke
dalam tube dan langsung keluar melalui ujung yang lain
(rear head), maka disebut dengan 1 pass tube.
Penukar kalor yang digunakan adalah tipe 1-2 pass.
Fluida yang mengalir di dalam shell dengan satu lintasan
(1 pass) sedangkan fluida mengalir di dalam tube dengan
dua lintasan (2 pass).
III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di an (PIP) Makassar, dengan
terlebih dahulu, mempersiapkan alat penelitian berikut
bahan yang akan digunakan.
B. Rumus Yang Digunakan
1. Penukar Kalor Aliran Sejajar
h

mh C h Th1 Th 2
mh C h Th1 Tc1

mc C c Tc 2 Tc1
mc C c Th1 Tc1

(1)

(2)

2. Penukar Kalor Aliran Berlwanan arah

mh C h Th1 Th 2
mh C h Th1 Tc 2

(3)

mc Cc Tc1 Tc 2
mc Cc Th1 Tc1

(4)

T( fluidaminimum)
Beda suhu maksimumdi dalam penukar kalor

(5)

IV. ANALISIS MODEL DAN PEMBAHASAN


A. Analisis Hasil Perhitungan Dan Pembahasan
Pada penelitian ini terlihat bahwa Untuk menghitung
perpindahan panas pada cooler, maka perlu menghitung
terlebih dahulu koefisien perpindahan panasnya. Koefisien
perpindahan panas yang dimaksud adalah perpindahan panas
konveksi paksa untuk sisi air pendingin cooler di dalam tube,
koefisien perpindahan panas konveksi paksa air pendingin
mesin melalui permukaan luar tube dan koefisien perpindahan
panas konveksi udara luar shell
Pada alat penukar kalor, panas yang dilepas oleh air
pendingin mesin sebagian diserap oleh air pendingin cooler
dan sebagian lagi berpindah ke udara sekeliling. Proses
perpindahan panas dari air pendingin mesin ke permukan
dinding luar tube terjadi secara konveksi, selanjutnya panas
berpindah dari dinding luar tube ke dinding dalam tube secara
konduksi, selanjutnya terjadi perpindahan panas konveksi dari

permukaan dinding dalam tube ke air pendingin cooler [3].


Bagian permukaan luar dinding shell dari fresh water cooler
(heat exchanger) berhubungan langsung dengan udara luar.
Pada permukaan luar dinding shell dari fresh water cooler
(heat exchanger) ini, panas berpindah ke udara sekeliling
secara konveksi, (Rames K. dan Dusan P. 2003).
Laju perpindahan panas dipengaruhi oleh perbedaan
temperatur, luas penampang, luas permukaan perpindahan
panas, konduktifitas termal material, serta jarak dan ketebalan
titik perpindahan panas.
Panas dari air pendingin mesin tidak semuanya diserap
oleh air pendingin cooler yang mengalir di dalam tube, namun
sebagian dari panas tersebut diserap oleh udara sekeliling yang
memiliki temperatur yang lebih rendah dari temperatur air
pendingin mesin melalui dinding shell yang dianggap sebagai
kehilangan [4].
Untuk koefisien perpindahan panas total antara air
pendingin mesin dan air pendingin cooler (Qapc) secara teoritis
harus sama dengan nilai kalor yang diserap oleh air pendingin
cooler (Qapm). Dari hasil perhitungan didapatkan nilai Qapc =
8,41kW sedangkan nilai Qapm = 9,38kW. Dari jumlah tersebut
terdapat selisih sebesar 0,87kW antara Qapm dan Qapc atau hasil
yang tidak sama persis dengan teori, (Sugiyanto. 2006). Hal
ini disebabkan oleh pengambilan asumsi pada sifat-sifat fisis
fluida untuk mempermudah perhitungan seperti Cp fluida yang
dianggap konstan yang diambil berdasarkan temperatur
borongan dan kekurangan telitian dalam pengambilan nilai
tersebut, (Zainuddin. 2005).
Dari perhitungan kesetimbangan energi yaitu dari air
pendingin mesin ke air pendingin cooler, secara teoritis
mengharuskan panas yang dilepas oleh air pendingin mesin
(Qapm) harus sama dengan panas yang diserap oleh air
pendingin cooler (Qapc) ditambah dengan panas yang hilang ke
udara sekeliling melalui dinding shell(Qloss).
hasil perhitungan tidak sesuai dengan teori karena nilai
Qloss yang lebih besar dari seharusnya. Hal ini disebabkan oleh
adanya faktor pengotoran yang melekat pada dinding dalam
tubesehingga tahanan termalnya semakin besar yang
mengakibatkan terhambatnya penyerapan panas dan
perpindahan panas secara radiasi yang diabaikan karena
melibatkan suhu yang mendekati suhu atmosfer,( Handayani,
dkk., 2012).
Sedangkan untuk efektifitas, dari hasil perhitungan
didapatkan efektifitas heat exchanger sebesar 0,25 (25 %) dan
efektifitas pendingin cooler sebesar 0,12 (12 %). Nilai
efektifitas heat exchanger dipengaruhi oleh temperatur
borongan rata-rata air pendingin mesin (Tb apm). Makin besar
nilai temperatur borongan maka semakin besar pula nilai
efektifitas heat exchanger. Nilai efektifitas heat exchanger
terbesar 0,45 (45 %) didapat pada pencampuran air dengan es
dengan putaran mesin 900 rpm sedangkan untuk nilai
efektifitas heat exchanger terkecil 25 % didapatkan pada
putaran mesin 900 rpm dengan temperatur air pendingin
cooler (Tapc in) 15 0C.

Energi III-89

Proceeding of International Symposium on Smart Material and Mechatronics

V. KESIMPULAN
A. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data dalam
penelitian pengaruh perubahan temperatur terhadap fresh
water cooler pada mesin Diesel generator dapat
disimpulkan bahwa Koefisien penyerapan air pendingin
mesin yang berpindah ke air pendingin cooler melintasi
dinding pipa (Qapc) rata-rata 8,41 kWatt sedangkan kalor
yang diserapoleh air pendingin cooler (Qapm) rata-rata9,257
kWatt.
2. Efektifitas () fresh watercooler pada temperatur air
pendingin mesin antara 21 0C sampai 41 0C dan pendingin
cooler antara 16 0C sampai 27 0C yang keluar cooler
adalah 19,4 % sampai 45 %.
B. Saran
1. Dalam penelitian efektifitas sebaiknya difariasikan laju
aliran air pendingin mesin
2. Untuk mengatur temperatur air pendingin cooler sebaiknya
ditambahkan alat pendingin berupa fan pada cooling tower.
UCAPAN TERIMA KASIH
Kepada teman-teman di workshop PIP yang telah
membantu dalam proses penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Adrian Bejan, 1993, Heat Transfer, By John Weley &, Sons
Inc.
[2] Adrian Bejan, 1984, Convective Heat Transfer, By John
Weley &, Sons Inc.
[3] Crawford, M.E danKays, W.M, 1993. Convective Heat and
Mass Transfer, Third Edition, Mc. Graw Hill Internasional
Edition.
[4] Frank Kreith,1986 Prinsip-prinsip Perpindahan Panas.
[5] Holman, J.P., 1991, Perpindahan Kalor, Penerbit Erlangga.
[6] MALEEV,1986 Operasidan Pemeliharaan Mesin Diesel,
Penerbit Erlangga, Jakarta.
[7] Raldi Artono Koestoer, Dr. Ir., 2002 Perpindahan Kalor
Penerbit Salemba Teknik.
[8] Rames K. Shad dan Dusan P. Sekulic, 2003, Fundamentals of
Heat Excahanger Design, John Willey & sons.

Energi III-90

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

Kajian Potensi Angin Di Kota Sorong


Papua Barat Untuk Dimanfaatkan
Sebagai Sumber Energi
Surianto Buyung

Syukri Himran dan Rustam Tarakka

Jurusan Mesin, Fakultas Teknik


Universitas Hasanuddin
Makassar, Indonesia
Email :-

Jurusan Mesin, Fakultas Teknik


Universitas Hasanuddin
Makassar, Indonesia
Email : -

Abstract This study aimed to investigate to what extent the wind


energy potentials could be utilized as the source of energy to operate a
pump. The study was conducted in the city of Sorong, West Papua
Province. The data about the wind speed were collected from the
Meteorology and Geophysics Agency for a year in 2012. Using Weibull
parameters, the data were analyzed in order to determine the quantity of
the wind energy was needed to operate a pump. The result of the study
indicated that in 2012 the average wind velocity was 3.699 knot. The
energy that could be generated from the data processing using the
numerical method of the trapezium rule was 77.44 kWh/m2 . Therefore,
the generated energy could be used to operate a pump which could
produce the rate of the water flow of 38,416 liters per day.
Keywords: wind energy, wind velocity, Weibull distribution.

I. PENDAHULUAN
Pemanfaatan energi angin sebenarnya bukan barang baru bagi
umat manusia. Sejak 2000 tahun lalu, teknologi pemanfaatan
sumber daya angin dan air sudah dikenal manusia dalam
bentuk kincir angin (wind mills). Selain ramah lingkungan,
sumber energi angin juga selalu tersedia setiap waktu dan
memiliki masa depan bisnis yang menguntungkan. manusia
membuat turbin angin untuk membangkitkan energi listrik
yang bersih, baik untuk penerangan, sumber panas atau tenaga
pembangkit untuk alat -alat rumah tangga.
Menurut data dari American Wind Energy Association
(AWEA), hingga saat ini telah ada sekitar 20.000 turbin angin
di seluruh dunia yang dimanfaatkan untuk menghasilkan
listrik. Kebanyakan turbin angin itu dioperasikan di lahan
khusus yang disebut ladang angin (wind farm). (Hofman,
harm. 1987)
Wilayah Indonesia yang berada di sekitar daerah ekuator
merupakan daerah pertemuan sirkulasi Hadley, Walker, dan
lokal. Kondisi ini ditengarai memiliki potensi angin yang
dapat dimanfaatkan untuk pengembangan energi terbarukan
sebagai alternatif pembangkit listrik yang selama ini lebih
banyak menggunakan bahan bakar minyak bumi.Wilayah
Papua Barat terletak di kawasan Indonesia Timur yang terdiri
dari banyak pulau kecil dan bergunung-gunung yang sebagian
besar berpenduduk.
Kota sorong merupakan salah satu
kota yang berada di provinsi Papua Barat yang daerahnya
banyak terdapat gunung dan bukit, sehingga dapat
menimbulkan potensi angin yang cukup besar untuk
dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif energi listrik.
Seiring perkembangan zaman, kebutuhan listrik di kota

Sorong semakin meningkat, untuk memenuhi kebutuhan listrik


dibangun pembangkit listrik tenaga diesel yang sangat
bergantung pada bahan bakar fosil dan berpotensi
menimbulkan polusi terhadap lingkungan. Terkait dengan
kebutuhan energi listrik nasional yang tidak sebanding dengan
ketersediaan energi yang ada dan pemenuhan kebutuhan listrik
di wilayah Papua Barat termasuk kota Sorong yang terkendala
oleh transportasi dan keadaan cuaca, upaya diversifikasi
pembangkit listrik dengan sumber energi alternatif ramah
lingkungan menjadi suatu hal yang mendesak. Mengingat
sumber energi fosil, khususnya minyak bumi yang tergolong
sumber energi yang tidak dapat terbarukan (non renewable
resources), dan tentunya ketersediaannya akan terus
berkurang, maka perlu dimanfaatkannya sumber energi
alternatif yang ketersediaannya di alam selalu terjamin dan
ramah lingkungan.
Untuk itu perlu untuk diadakan kajian lebih mendalam
untuk menentukan daerah-daerah yang memiliki potensi
sumber energi angin di wilayah Indonesia khususnya bagian
Timur yang mengalami kesulitan dalam sistem jaringan listrik.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis akan melakukan
penelitian dengan judul Kajian Potensi Angin di Kota
Sorong Papua Barat Untuk
Dimanfaatkan
Sebagai
sumber Energi
II. LANDASAN TEORI
Angin adalah udara yang bergerak karena adanya
perbedaan tekanan di permukaan bumi ini. Angin akan
bergerak dari suatu daerah yang memiliki tekanan tinggi ke
daerah yang memiliki tekanan yang lebih rendah. Angin yang
bertiup di permukaan bumi ini terjadi akibat adanya perbedaan
penerimaan radiasi surya, sehingga mengakibatkan perbedaan
suhu udara.Adanya perbedaaan suhu tersebut meyebabkan
perbedaan tekanan, akhirnya menimbulkan gerakan udara.
Perubahan panas antara siang dan malam merupakan gaya
gerak utama sistem angin harian, karena beda panas yang kuat
antara udara di atas darat dan laut atau antara udara diatas
tanah tinggi (pegunungan) dan tanah rendah (lembah) (Najib,
N.M. dkk., 2011).
Proses pemanfaatan energi angin dilakukan melalui dua
tahapan konversi energi, pertama aliran angin akan
menggerakkan rotor (baling-baling) yang menyebabkan rotor

Energi III-91

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

berputar selaras dengan angin yang bertiup, kemudian putaran


dari rotor dihubungkan dengan generator, dari generator inilah
dihasilkan arus listrik. Jadi proses tahapan konversi energi
bermula dari energi kinetik angin menjadi energi gerak rotor
kemudian menjadi energi listrik. Besarnya energi listrik yang
dihasilkan dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya
adalah sebagai berikut : (Habibie, N. M; dkk, 2011)
1. Rotor (kincir)
Rotor turbin sangat bervariasi jenisnya, diameter rotor
akan berbanding lurus dengan daya listrik. Semakin besar
diameter semakin besar pula listrik yang dihasilkan, dilihat
dari jumlah sudut rotor (baling-baling), sudut dengan
jumlah sedikit berkisar antara 3- 6 buah lebih banyak
digunakan.
2. Kecepatan angin
Kecepatan angin akan mempengaruhi kecepatan putaran
rotor yang akan menggerakkan generator.
3. Jenis generator
Generator terbagi dalam beberapa karakteristik yang
berbeda, generator yang cocok untuk sistem konversi
energi angin (SKEA) adalah generator yang dapat
menghasilkan arus listrik pada putaran rendah.
Pada dasarnya angin terjadi karena ada perbedaan suhu
antara udara panas dan udara dingin. Di daerah katulistiwa,
udaranya menjadi panas, mengembang dan menjadi ringan,
naik ke atas dan bergerak ke daerah yang lebih dingin.
Sebaliknya daerah kutub yang dingin, udaranya menjadi
dingin dan turun ke bawah.
Menurut Hubbert memperkirakan bahwa konveksi arus
yang ditimbulkan oleh lautan dan atmosfer bergabung
membentuk suatu energi yang besarnya 3,7.
Watt.
Menurut Willet, yang juga dikutip oleh Putman, energi angin
dapat memberikan daya sebesar 2,1.
Watt. Bila 1% dari
perkiraan daya menurut Willet dimanfaatkan, suatu daya
sebesar 2,1.
Watt akan diperoleh. Angka ini merupakan
3% dari kebutuhan energi dunia tahun 1972 (Nursuhud, 2008).
Output daya dari rotor kincir bertambah dengan pangkat tiga
kecepatan. Hal ini berarti bahwa penempatan kincir harus
berada di tempat yang memiliki kecepatan angin yang
tertinggi dalam daerah itu.
Untuk menganalisis keadaan angin, ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan antara lain :
a. Bagaimanakah pola angin perhari, perbulan ataupun
pertahun
b. Berapa lamakah kecepatan angin rendah dan kecepatan
angin tertinggi
c. Berapakah energi yang dapat dihasilkan perbulan,
pertahun.
Pada pengukuran kecepatan angin perlu diperhatikan :
Posisi sebenarnya anemometer
Jarak dan ketinggian dari bangunan yang terdekat
Tipe dan kualitas anemometer
Metode pembacaan dan pencatatan data
Sistem satuan yang digunakan, apakah m/s, knots, mil/hr
dan sebagainya. Biasanya kecepatan angin maksimum tidak
diperoleh dari pengukuran rata-rata per jam, dan dicatat secara
terpisah.Umumnya keadaan angin tahunan senantiasa
berulang. Dari beberapa peneliti seperti Corotis, Justus dan
Ramsdell dkk, menyatakan bahwa rata-rata kecepatan angin
tahunan yang diperoleh dari data 12 bulan memiliki 90%

tingkat kepercayaan. Selanjutnya akan dijelaskan pengolahan


data kecepatan angin yang meliputi :
Distribusi Waktu
Kecepatan angin rata-rata per bulan berdasarkan atas
fluktuasi kecepatan angin pada setiap waktu dari suatu hari
dan hasil rata-rata kecepatan pada setiap waktu yang berasal
dari data pengamatan kecepatan angin dan data didtribusi
waktu.
Distribusi Frekuensi
Bila jumlah jam pada setiap interval digambarkan terhadap
kecepatan angin, maka diperoleh distribusi frekuensi yang
disebut juga histogram. Kecepatan rata-rata dari suatu
frekuensi tertentu dapat dihitung dengan relasi sebagai berikut
(Himran, 2005) :
(1)
Dimana: ti = jumlah jam kecepatan angin dengan interval I, Vi
= pertengahan interval kecepatan angin ke-I,
= kecepatan
angin rata-rata .
Distribusi Durasi Dan Distribusi Kumulatif
Sebagai hasil ialah kurva durasi, dan diperoleh dengan
menjumlah jam dari setiap interval kecepatan ke jumlah jam
dari interval yang lebih tinggi. Jadi sebaiknya dimulai dengan
interval tertinggi, dengan jumlah jam = 0 dan selanjutnya
ditambah dengan jumlah jam dari interval lebih rendah
berikutnya dan seterusnya. Kurva durasi kecepatan umumnya
digambarkan dengan kecepatan pada sumbu tegak, sedang
jumlah jam pada sumbu mendatar.
Penentuan Luas Bidang Rotor
Penentuan luas bidang rotor didasarkan atas keadaan angin
dan energi yang dibutuhkan.Persoalan utama adalah pemilihan
tiga macam kecepatan perencanaan dan instalasi kincir-pompa
ataupun instalasi kincir-generator. Adapun ketiga macam
kecepatan, tersebut adalah :
Vcut-in (Vc.i) = kecepatan angin dimana instalasi mulai
menghasilkan listrik ataupun air.
Vc.i = 0,7

(2)

Vrate (Vr) = kecepatan angin di mana instalasi menghasilkan


listrik ataupun air maksimum.
Vr = (1,5 2,0)

(3)

Vcut-out(Vc.o) = kecepatan angin diatas mana instalasi harus


distop untuk mencegah kerusakan.
Vc.o = 3,0

(4)

Luas bidang kurva durasi daya (A) dan yang dibatasi oleh
ketiga kecepatan perencanaan adalah energi yang dapat
diekstraksi selama satu periode (setahun/sebulan) per m2 luas
bidang rotor, maka:

Energi III-92

(5)

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

Distribusi Weibull
Karena kecepatan angin berfluktuasi setiap saat, maka
pengambilan harga kecepatan rata-rata tidak cukup teliti untuk
menentukan daya yang dikandung oleh angin pada suatu
tempat. Sesuai pengalaman dan berdasarkan (El-Wakil 1985),
Lysen (1982), analisis statistik yang paling cocok dengan data
eksperimental untuk menentukan distribusi frekuensi dan
distribusi durasi adalah distribusi Weibull. Fungsi distribusi
dan distribusi Weibull dinyatakan dengan persamaan sebagai
berikut (J. Waewsak, dkk. 2011):
F(V) = 1 exp((V/C)k

(7)

Dimana adalah fungsi gamma.


Penentuan Parameter Weibull
Menurut
Lysen (1982) terdapat tiga metode untuk
menentukan parameter Weibull (k dan c) , salah satu
diantaranya adalah dengan metode momen. Metode momen
adalah metode yang menentukan nilai k dan c secara
matematik dan statistik. Nilai k ditentukan berdasarkan relasi
standar deviasi dan Vaktual dari data aktual. Dengan
penurunan secara matematis, Lysen, memberikan relasi yakni :

(8)
Nilai standar deviasi dapat dihitung melalui rumusan pada
statistik (sudjana,1996):
2=

(9)

Dimana n = jumlah observasi


Nilai c diperoleh dan di mana
. Oleh karena
metode ini berdasar pada data aktual dan analisis matematika
dan statistika maka metode ini akan memberikan nilai yang
lebih teliti terhadap parameter Weibull k dan c, dibandingkan
dengan metode grafis dan metode regresi.
Kurva Durasi Kecepatan Dan Duarasi Daya Weibull
Fungsi Weibull untuk kurva durasi kecepatan adalah:
t=

= exp.

1/k

(11)

Relasi pendekatan awal output kincir untuk pemompaan air


dari (dari "angin ke air") pada suatu tempat dengan kecepatan
angin rata-rata adalah : (Himran, S., 2005)
Phid = 0.1 A

(12)

Bila persamaan (11) disubtitusi pada persamaan (12), maka


diperoleh:

(6)

di mana: F(V) = distribusi kumulatif.


Faktor k dan c adalah parameter Weibull yang memberikan
kesesuaian pendekatan yang terbaik terhadap data kecepatan
angin aktual di lapangan.Parameter k adalah eksponen tak
berdimensi yang menyatakan bentuk distribusi.
Hubungan eksak antara parameter c dan kecepatan angin rata
adalah (J. Waewsak, dkk. 2011):
= c (1+1/k)

V=c

(13)
Bila V, P/A digambar pada sumbu tegak dan fraksi waktu t
pada sumbu mendatar maka diperoleh kurva durasi kecepatan
dan durasi daya. Dengan ketiga kecepatan pembatas: Vc.i, Vr,
Vc.o, diketahui, maka fraksi waktu tc.i, tr,tc.o akan diperoleh.
Luas bidang durasi daya yang dibatasi oleh ketiga waktu
tersebut (bagian yang diarsir) adalah jumlah energi yang
disediakan oleh kincir angin selama periode tT, dan kincir
akan memberi penghasilan selama periode: tc.i, - tc.o.
Analisis Pemanfaatan Energi Angin Sebagai Sumber Energi
Daya Pompa Yang Tersedia
Pendekatan diatas dapat digunakan untuk memperkirakan
output kincir tiap tahun atau tiap bulan, sesuai dengan harga
rata-rata kecepatan angin tiap tahun atau tiap bulan. Output
dapat diketahui sesuai dengan diameter rotor dan tinggi
kenaikan pemompaan. Daya neto untuk memindahkan
air, tinggi kenaikan H (m) adalah : (Himran,
2005)
(14)
Dimana: = 1000 kgm3 , g = 9,8 m/s2
Harga tersebut di atas adalah perkiraan awal dalam
perencanaan kincir. Bilamana lebih banyak data yang tersedia
tentang kincir dan data kecepatan angin maka sebaiknya
perhitungan dilaksanakan sebagaimana prosedur.
III. METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah Dengan
melakukan pencatatan data-data teknis (data angin) berupa
data kecepatan angin per jam, dimana data ini diambil dengan
menggunakan alat display anemometer yang berlokasi di
bandara Deo Sorong dengan koordinat stasiun 00 56 lintang
selatan dan 131 07 bujur timur. Pengambilan data ini
dilaksanakan pada bulan Februari 2013. Tempat pelaksanaan
pengambilan data adalah pada Badan Meteorologi dan
Geofisika kota dengan ketinggian alat anemometer 10 m
diatas permukaan tanah. Dimana data yang diambil adalah
data kecepatan angin tahun 2012 selama setahun.

(10)

t adalah fraksi waktu untuk kecepatan melebihi V, (T >V)


durasi kecepatan angin melebihi V, tT = waktu obsevasi total,
sehingga didapat nilai (Himran, 2005):

Energi III-93

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

Tabel 1 memperlihatkan kecepatan angin rata-rata per


bulan selama tahun 2012, dimana kecepatan angin terbesar
terjadi pada bulan September sebesar 4,135 knot dan
kecepatan angin terendah terjadi pada bulan November
sebesar 3,085 knot, dan kecepatan angin rata-rata dalam
setahun adalah 3,699 knot.
Tabel 1. Kecepatan angin rata-rata per bulan tahun 2012

Bulan
Gambar 1. Display alat anemometer, menunjukkan arah dan kecepatan angin
satuan knot (Sumber :BMKG kota Sorong)

Januari

Kecepatan rata-rata
knot
3,652

Februari

3,388

Maret

3,497

April

3,558

Mei

3,603

Juni

4,039

Juli

4,086

Agustus

4,079

September

4,135

Oktober

4,051

November

3,085

Desember

3,204

Gambar 1. Menara Stasiun Meteorologi klas II Sorong, lokasi bandara DEO


Sorong (Sumber : BMKG kota Sorong)

IV. ANALISIS MODEL DAN PEMBAHASAN


Analisis energi angin pada penelitian di dasarkan atas
pengambilan data kecepatan angin selama satu tahun yaitu
tahun 2012 yang di keluarkan oleh Stasiun Meteorologi
Maritim Sorong, stasiun tersebut terletak pada koordinat : 00
56 LS dan 131 07 BT,dengan ketinggian anemometer 10
m diatas permukaan tanah, (sesuai dengan standart WMO.
Gambar 2 memperlihatkan kurva diurnal kecepatan angin
dengan variasi kecepatan angin rata-rata dalam sehari selama
setahun, dimana terlihat bahwa kecepatan angin terbesar
terjadi pada pukul 05.00 yaitu 6,6721 knot dan kecepatan
angin terkecil pada pukul 20.00 yaitu 1,8443 knot.

3,699

Tabel 2 memperlihatkan data distribusi kumulatif Weibull


dan distribusi kumulatif observasi, dimana data distribusi
kumulatif Weibull diperoleh dari perhitungan frekuensi
Weibull, pada kecepatan angin 0 (knot) distribusi kumulatif
observasi sebesar 4,7017 % dan distribusi kumulatif Weibull
sebesar 0 %, untuk kecepatan angin 20 (knot) distribusi
observasi sebesar 100 % dan distribusi kumulatif Weibull
sebesar 99,954 %.
Tabel 2. Distribusi kumulatif tahun 2012
Kecepatan angin (V)

Kurva Diurnal Kecepatan Angin Tahun 2012


8

6.5546
6

6.6721

Kecepatan Angin Rata-Rata (Knot)

Distribusi kumulatif
observasi (%)

6.4262

Distribusi kumulatif
weibull (%)

4,701730419

0,514

22,39298725

14,99454659

1,028

44,33060109

33,15494574

1,542

56,62568306

49,59660242

2,056

66,65528233

63,16386302

2,57

76,09289617

73,75711632

3,084

84,03916211

81,70744892

3,598

89,49225865

87,49187051

4,112

93,64754098

91,59353764

6.1913
5.8251

5.6995
5

m/s

knot

5.3251
5.0792

4.3743

4.2377

3.2131

3.2104
2.6448 2.6803

2.2104 2.1339 2.1831


2.0656

2.3798
1.9863
1.9508 2.0273 1.8798
1.8443

0
1

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

24

Pukul

Gambar 2. Kurva diurnal kecepatan angin dengan variasi kecepatan angin


rata-rata dalam sehari selama tahun

Energi III-94

4,626

96,26593807

94,43839556

10

5,14

97,97358834

96,37349481

11

5,654

99,02094718

97,66696697

12

6,168

99,43078324

98,51792057

13

6,682

99,70400729

99,06962038

14

7,196

99,85200364

99,42248289

15

7,71

99,87477231

99,64532603

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

16

8,224

99,95446266

99,78438966

17

8,738

99,98861566

99,87019884

18

9,252

99,98861566

99,92258417

19

9,766

99,98861566

99,9542406

20

10,28

100

99,97318529

Gambar 3 memperlihatkan grafik hubungan antara


frekuensi jumlah (jam) dengan kecepatan angin (knot), dimana
pada frekuensi Weibull kecepatan angin 0 adalah 0 sedangkan
pada frekuensi observasi kecepatan angin 0 adalah 413,
sehingga terdapat beberapa perbedaan yang cukup besar, dan
pada kecepatan angin 20 (knot) terlihat frekuensi weibull dan
frekuensi observasi hampir sama.

Gambar 3. Frekuensi kecepatan angin observasi dan Weibull tahun 2012

Gambar 4. memperlihatkan grafik hubungan antara


kecepatan (knot), periode durasi total (jam) dan daya/luas
(Wm2 ) , dimana terlihat bahwa daerah yang diarsir adalah
energy angin yang dapat diekstraksi yang dibatasi oleh fraksi
waktu pada sumbu mendatar dan daya yang dihasilkan pada
sumbu tegak. Fraksi waktu dan daya yang dimaksud
berhubungan dengan kecepatan pembatasan. Kecepatan angin
pembatas
= 2,5893 knot ;
= 7,398 knot ;
= 11,097
knot dan fraksi waktu
= 0,568 (4989,31) jam ;
= 0,107
(939,89)jam ;
= 0,022 (193,25) jam.

Kurva Daya (W/m)


Kurva Kecepatan (m/s)

(P/A)r = 5.5 W/m

Vc.o = 5.7
Vr = 3.8
Vc.i = 1.33
tc.o = 2.2

tr = 10.7

tc.i = 56.8

Gambar 4. Kurva durasi kecepatan dan durasi daya

Analisis Pemanfaatan Energi Angin Sebagai Sumber Energi

Jika diketahui daya P = 202,781 Wh/hari (daya yang


tersedia) digunakan motor listrik untuk memompa air selama 8
jam/hari dengan efisiensi motor dan pompa () sebesar 0,7.
Maka jumlah air yang dapat dihasilkan dengan daya yang
tersedia selama 2 jam/hari adalah sebanyak 5214 Lhari.
Penelitian ini memperlihatkan bahwa kecepatan angin
memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap energi yang
dihasilkan, dimana kecepatan angin rata-rata yang diperoleh
selama tahun 2012 adalah sebesar 3,699 knot. Dimana
kecepatan angin sifatnya tidak ajek, disebabkan oleh
perbedaan pemanasan matahari pada permukaan bumi
(Soeripno,dkk., 2009).
Dari kurva durasi kecepatan dan daya per satuan luas dapat di
hitung energi listrik yang dapat dihasilkan, adalah sebesar
10,505 kWh/m2. Dari penelitian sebelumnya diperoleh daya
sebesar 3,5 kWh/m2/hari dengan kecepatan sebesar 4,5 knot
yang terjadi didaerah Nigeria (Adaramola dkk., 2011) Kurva
durasi kecepatan dan durasi daya dan energi yang disediakan
oleh kincir dalam satu periode yang dibatasi oleh (tc.i,Vc.i);
(tr,Vr); (tc.o,Vc.o). berdasarkan hubungan kecepatan, fraksi
waktu dan daya per satuan luas (Hangeveld,1978)
Dari perencanaan rotor dapat diketahui energi listrik yang
dapat dihasilkan adalah sebesar 202,781 Wh/hari dengan
diameter rotor sebesar 3 m.
Perhitungan untuk menghasilkan energi dilakukan dengan
menggunakan parameter Weibull sebagai pendekatan dengan
menggunakan metode momen (Himran,2005). Parameterparameter Weibull yang diperlukan sebelum menghitung luas
momen adalah parameter k dan c yang diperoleh dari
pengolahan data kecepatan angin selama setahun. Dimana
pengolahan data sebelum menghitung parameter weibull
adalah pengolahan data distribusi waktu, distribusi frekuensi,
distribusi kecepatan dan distribusi kumulatif. Dari hasil
pengolahan data diperoleh nilah c sebesar 4,004 knot dan k =
1,31 untuk kecepatan angin 1,9 m/s, dimana faktor c dan k
sangat di pengaruhi oleh kecepatan angin yang diperoleh. Dari
hasil penelitian sebelum nya untuk nilai c = 9,727 knot dan k
= 2,94 diperoleh kecepatan rata-rata sebesar 5,44 m/s (Cunha
dkk., 2011)
Kurva yang dibentuk oleh kecepatan pada sumbu tegak
dan jumlah jam dari suatu periode pada sumbu mendatar
dinamakan kurva durasi kecepatan. Durasi kecepatan ini bila
ditransformasi menjadi durasi daya, durasi daya akan
menyatakan jumlah waktu dalam suatu periode di mana daya
lebih besar dari daya tertentu (Himran, 2005). Dengan
mengambil nilai c = 4,004 knot dan k = 1,31, maka diperoleh
kurva durasi kecepatan dan daya per satuan luas untuk wilayah
Sorong seperti pada gambar 4, yang dibatasi oleh kecepatan
angin pembatas
= 2,5893 knot ; = 7,398 knot ;
=
11,097 knot dan fraksi waktu
= 0,568 (4989,31) jam;
=
0,107 (939,89)jam ;
= 0,022 (193,25) jam.
Penentuan diameter rotor sangat dipengaruhi oleh energy
yang dibutuhkan dalam satu periode dibagi dengan energi
yang tersedia persatuan luas rotor, dalam satu periode.
Berdasarkan hasil pengukuran didapat kecepatan angin ratarata sebesar 1,9 m/s dengan daya maksimum sebesar 547
kWh/m2/tahun digunakan kincir dengan jari-jari sebesar 1,5m,
dimana diameter rotor sangat mempengaruhi energi yang
dihasilkan. Dari penelitian sebelum nya diperoleh daya

Energi III-95

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi


sebesar 1000 kWh/m2/tahun dengan jari-jari rotor sebesar
3,54m yang berlokasi di Nusa Penida (budiastra,dkk., 2009).
Jika dari perhitungan potensi angin diperoleh daya (P) sebesar
202,781 Wh/hari (daya yang tersedia) digunakan motor listrik
untuk memompa air selama 2 jam/hari dengan efisiensi motor
dan pompa () sebesar 0,7, maka diperoleh daya pompa
sebesar 101,3905 Watt. dengan daya tersebut dapat dihasilkan
air sebanyak 5214 Lhari.
V. KESIMPULAN

untuk dipilih, karena persebaran anginnnya akan sangat


sulit untuk diprediksikan. Tempat yang baik dilihat dari
topografinya adalah tempat yang berupa dataran yang
cukup luas seperti daerah pantai, lautan atau padang
rumput dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA
[1]

Dari hasil perhitungan dan pembahasan dapat ditarik


kesimpulan sebgai berikut :
1. kecepatan rata-rata angin tahun 2012 di kota Sorong
adalah 3,699 knot dengan kecepatan angin per jam yang
paling besar terjadi pada pukul 05.00 WIT (6,6721 knot),
kecepatan angin terkecil terjadi pada pukul 20.00 WIT
(1,8443 knot). Energi listrik yang dapat dibangkitkan
selama tahun 2012 yang berlokasi di kota Sorong adalah
sebasar 202,781 Wh/hari dengan diameter rotor yang
direncanakan adalah 3 m.
2. Dari pemanfaatan daya listrik untuk menggerakkan
pompa air dapat melayani kebutuhan air sebanyak 17
kepala keluaga dengan 1 kepala keluarga terdiri dari 5
orang (kebutuhan air per orang sebesar 60 liter). Dari
energi yang dihasilkan tersebut sangat kecil untuk
dimanfaatkan sebagai sumber energi listrik dalam
pemenuhan kebutuhan listrik di kota Sorong.
3. Untuk menentukan lokasi pendirian kincir angin adalah
topografi dari lahan tersebut. Topografi lahan yang
bergelombang seperti perbukitan dan lembah kurang baik

Adaramola M. S.& Oyewola O. M. (2011). Wind Speed Distribution


And Characteristics In Nigeria. ARPN Journal of Engineering and
Applied Sciences :(82-86).

[2] Archer L. C. & Jacobson Z. M. (2005). Evaluation Of Global


Wind Power. Journal Of Geophysical Research, vol. 110 :(1-20)
[3]

[4]

[5]

[6]

[7]
[8]

Energi III-96

Budiastra I. N., dkk. (2009). Pemanfaatan Energi Angin Sebagai Energi


Alternatif Pembangkit Listrik Di Nusa Penida Dan Dampaknya
Terhadap Lingkungan. Jurnal Bumi Lestari, Volume 9 No. 2 :( 263
267).
Cunha B. A. C. Erick., dkk. (2011). Evaluation of the Wind Energy
Potential of a Mountainous Region in the Cear State, Brazil.
International Transaction Journal of Engineering, Management, &
Applied Sciences & Technologies Volume 3 No.1. eISSN: 1906-9642.
Habibie N. M., Sasmito A. & Kurniawan R. (2011). Kajian Potensi
Energi Angin di Wilayah Sulawesi dan Maluku. Jurnal Metrologi dan
Geofisika Volume 12 Nomor 2 :(181-187).
Himran, Syukri. (1995). Analisis Pemanfaatan Energi Angin, Hi-Tech.
Majalah Ilmiah Teknologi, Universitas Hasanuddin, Edisi 01/Tahun I
Ujung pandang :(47-53).
Himran, Syukri. (2005). Energi Angin. Makassar. CV. Bintang
Lamumpatue.
Hunt Gary L. (2009). Wind Resources, Technologies, And Energy
Production. Journal Maine Offshore Wind Energy :(1-30).

Prosiding Seminar Nassional Rekayasan Material, Sistem Manufaktur dan Energi

Kajian Diameter Pipa Hisap Sistem Pompa Paralel


Made Suarda

Anak Agung Adhi Suryawan

Jurusan Teknik Mesin


Universitas Udayana
Kampus Bukit Jimbaran, Badung-Bali, Indonesia
made.suarda@me.unud.ac.id

Jurusan Teknik Mesin


Universitas Udayana
Kampus Bukit Jimbaran, Badung-Bali, Indonesia
jaka_ngr@yahoo.co.id

AbstrakUnjuk kerja pompa sangat dipengaruhi oleh sistem


perpipaannya, karena perpipaan merupakan salah satu bagian
utama sistem pomp disamping pompa dan panel kontrol pompa.
Jika sistem perpipaannya kurang tepat, akan dapat
menyebabkan unjuk kerja pompa tidak sesuai dengan
performansi spesifikasi teknisnya. Terutama pada sistem pompa
tersusun paralel seringkali titik kerja pompa menyimpang jauh
dari best efficiency point-nya. Kehilangan energi atau head
lossess pada sistem perpipaan pompa merupakan fungsi kuadrat
dari kecepatan fluida yang mengalir. Sesuai dengan persamaan
Bernaulli kecepatan aliran dipengaruhi oleh luas penampang
pipa, dan luas penampang pipa merupakan fungsi dari kuadrat
diameter pipa. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk
menentukan diameter optimal pipa hisap pompa tersusun paralel
yang dapat memberikan unjuk kerja pompa pada efisiensi
terbaiknya. Pada penelitian ini dibuat sebuah model pompa
paralel yang terdiri dari tiga unit pompa yang diuji pada variasi
diameter pipa hisap mulai , dan 1 inchi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa diameter pipa hisap dengan kecepatan
aliran 0,6 sampai dengan 1 meter/detik merupakan diameter
yang optimal. Daria acuan kecepatan tersebut maka diameter
pipa hisap dapat ditentukan dengan suatu formula yang
merupakan fungsi dari akar kuadrat debit masing-masing unit
pompa pada sistem paralel tersebut.
Kata Kunci pompa paralel, pipa header, diameter pipa
hisap, unjuk kerja pompa

PENDAHULUAN
Sistem pompa terdiri dari unit pompa, sistem perpipaan dan
panel kontrol yang merupakan satu kesatuan dalam sistem.
Oleh karena itu unjuk kerja pompa merupakan titik kerja
pertemuan antara kurve performansi pompa dan kurve instalasi
sistem perpipaannya. Sehingga desain sistem perpipaan
mempunyai efek sangat penting dalam operasi pompa
sentrifugal. Sistem pompa tersebut akan beroperasi dengan
performansi yang optimal jika ketiga komponen sistem pompa
tersebut direncanakan dengan baik dan benar. Namun dalam
aplikasinya, sering kali sistem perpipaan pompa tidak
direncanakan dengan baik sehingga sistem pompa tersebut
tidak beroperasi pada titik kerja terbaiknya (best efficiency
point).
Pada umumnya, dalam aplikasinya seperti untuk industri,
hotel, dan yang lainnya,
dua atau lebih unit pompa
dioperasikan secara paralel untuk mendapatkan debit aliran
fluida yang lebih besar. Namun dalam kenyataannya sering kali
terjadi permasalahan dimana sejumlah pompa yang
dioperasikan paralel unjuk kerjanya jauh menyimpang dari
yang diharapkan.

Sebagai contoh, di sebuah bangunan, terdapat sistem


pompa yang terdiri dari tiga unit pompa yang dioperasikan
secara paralel yang digunakan untuk mendistribusikan air dari
reservoir menuju area pelayanannya. Kapasitas dari masingmasing pompa yang telah terpasang adalah sebesar 15 liter per
detik sehingga secara teoritis kapasitas dari tiga buah pompa
paralel tersebut adalah 45 liter per detik, namun dari data di
lapangan kapasitas air yang dihasilkan hanya 18 liter per detik.
Jadi terjadi penyimpangan unjuk kerja yang sangat besar. Jika
hal tersebut terjadi, sering kali yang dipermasalahkan adalah
unit pompanya, dan sistem perpipaannya kurang diperhatikan.
Dalam sistem perpipan pompa paralel diameter pipa
header, pipa hisap dan pipa tekan sangat mempengaruhi
karakteristik aliran, karena diameter pipa akan mempengaruhi
kecepatan aliran fluida di dalam pipa. Dimensi pipa yang
kurang tepat dapat menyebabkan head loss yang besar.
Mengingat pada pipa header terjadi pertemuan aliran sejumlah
pompa yang tersusun paralel, maka kecepatan aliran yang
tinggi akan dapat menimbulkan arus pusar dan shock losses
yang akhirnya menghalangi laju aliran fluida di dalam pompa.
Oleh sebab itu desain dan dimensi pipa hisap harus
direncanakan dengan baik.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan acuan
dalam menentukan diameter pipa hisap untuk pompa paralel
yang dapat memberikan unjuk kerja pompa yang baik dan tidak
menimbulkan penyimpangan yang besar.
KAJIAN PUSTAKA
Sistem Perpipaan Pada Pompa
Sistem perpipaan merupakan salah satu bagian yang tak
terpisahkan dari sistem pompa [1], seperti pada Gambar 1.
Perpipaan pada sistem pompa mempengaruhi unjuk kerja dan
life time pompa karena baik sistem pipa hisap dan tekan
terhubung langsung pada pompa tersebut.

Gambar 1. Sistem pompa

Kebanyakan permasalahan pada pompa adalah disebabkan


karena ketidak sesuaian pada pipa hisapnya [2]. Oleh sebab itu
desain sistem pipa hisap jauh lebih penting dari pipa tekan,
karena pemilihan pipa tekan utamanya lebih pada masalah

Energi III-97

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

ekonomi atau biaya [3]. Pompa haarus diletakkan sedekat


mungkin dari tangki atau pipa headernya. Namun, pompa harus
cukup jauh sehingga pipa hisap dapat mensuplai fluida dengan
baik ke pompa, yaitu paling sedikit sepuluh kali diameter
pipanya (10D).
Pipa hisap harus pendek dan selurus mungkin [4].
Kecepatan aliran pada pipa hisap harus diantara 1,5 sampai
dengan 2,5 meter/detik. Kecepatan yang lebih tinggi akan
meningkatkan kerugian energi dan dapat menimbulkan
gangguan udara atau separasi uap. Hal ini diperparah jika
belokan atau tee diletakkan langsung di mulut hisap pompa.
Idealnya pipa lurus dengan panjang lima kali diameternya (5D)
harus dipasang sebelum aksesories pipa seperti katup atau
belokan [2]. Pipa hisap harus dipasang benar-benar datar, atau
miring ke atas dari bak atau header ke pompa. Hindarkan
adanya titik tertinggi dimana udara terperangkap yang dapat
menimbulkan pompa kehilangan dayanya. Lebih tepat
memasang pengecilan (reducer) eksentrik dari pada konsentrik
pada pipa hisap pompa, dimana bagian datarnya menghadap ke
atas.
Tidak ada belokan (elbow) pada inlet hisap [5]. Tidak
pernah diterima meletakkan belokkan pada mulut hisap pompa,
karena akan mengakibatkan aliran yang tidak seragam masuk
ke impeller pompa. Hal ini akan menyebabkan aliran turbulen
dan udara masuk impeller yang mengakibatkan impeller rusak
dan menimbulkan getaran.
Ukuran minimum pipa hisap dapat ditentukan dengan
membandingkan TDSL (total dynamic suction lift) dari pompa
(dari kurve performansi pompa) dengan TDSL yang dihitung
pada sistem hisap pompa [6]. Terdapat tiga kriteria lain yang
dapat digunakan untuk menentukan ukuran pipa hisap pompa.
Pertama, kecepatan aliran fluida pada pipa hisap pompa harus
lebih rendah dari 7 ft/detik. Kedua, ukuran pipa hisap harus
minimal satu atau dua tingkat ukuran lebih besar dari ukuran
mulut hisap pompa. Ketiga, dalam prakteknya, ukuran pipa
hisap pompa harus cukup besar untuk meminimalkan
kehilangan energi gesekan.
Menurut Dornaus dan Heald [7] dalam pipa header hisap,
kecepatan aliran fluida antara 0,6 ~ 0,9 meter/detik, dan cabang
keluarannya lebih baik membentuk sudut 30 sampai 45
terhadap pipa utama header dari pada sudut 90, serta
kecepatan alirannya maksimum pada pipa hisap adalah 1,5
meter/detik. Setiap percabangan pada pipa header harus
diperkecil sampai ukuran tertentu sehingga kecepatannya
konstan.

Kapasitas Pompa
Kapasitas pompa dapat diukur dengan mengukur volume
fluida yang dialirkan oleh pompa dalam satu satuan waktu [9].

Kontinyuitas
Aliran dari kebanyakan fluida dapat dijelaskan secara
matematis dengan menggunakan persamaan kontinyuitas dan
momentum. Sesuai dengan persamaan kontinuitas, jumlah
fluida yang mengalir masuk ke dalam volume tertentu akan
keluar dengan jumlah yang sama atau konstan, dan debit aliran
pada suatu bidang merupakan hasil kali dari kecepatan fluida
dengan luas penampang bidang tersebut [8].

Minor Losses
Minor losses terjadi pada titik dimana terjadi perubahan
momentum [11], terutama terjadi pada belokan, pengecilan,
percabangan, katup, dan aksesories perpipaan lainnya. Minor
losses dapat dinyatakan secara umum dengan persamaan,
yaitu:

Q =V.A

Qp

(2)

Dimana Qp adalah kapasitas pompa (m3/det), V adalah volume


fluida (m3), t adalah waktu (detik).
Head Pompa
Head adalah energi spesifik yang dapat dinyatakan dalam
tinggi kolom fluida atau tekanan. Berdasarkan persamaan
energi per satuan berat fluida maka head pompa dapat ditulis:
H p ( zd z s ) (

pd ps
v2 v2
) ( d s ) H L (3)

2g

Dimana Hp adalah head pompa (m), zs adalah head statis


elevasi isap/suction pompa (m), zd adalah head statis elevasi
buang/discharge pompa (m), ps adalah head statis tekanan
isap/suction pompa (N/m2), pd adalah head statis tekanan
buang/discharge pompa (N/m2), vs adalah head dinamis
kecepatan fluida pada ujung isap/suction pompa (m/det), vd
adalah head dinamis kecepatan fluida pada ujung
buang/discharge pompa (m/det), HL adalah head losses total
instalasi perpipaan sistem pompa (m).
Head Losses
Kerugian energi atau head yang terjadi pada instalasi
pompa terdiri atas head kerugian gesek di dalam pipa dan head
kerugian di dalam asesories perpipaan seperti belokanbelokan, reducer/diffuser, katup-katup dan sebagainya [10].
Major Losses
Mayor losses adalah kerugian gesekan antara fluida dan
permukaan dalam pipa dapat dipakai persamaan berikut, yaitu:

H LMi f

L v2
D 2g

(4)

Dimana HLMa adalah head kerugian gesek dalam pipa (m),


adalah koefisien kerugian gesek, g adalah
percepatan
gravitasi (m/dt2), v adalah kecepatan aliran fluida (m/dt), L
adalah panjang pipa (m), D adalah diameter dalam pipa (m).

H LMi K

(1)

Dimana Q adalah debit fluida (m3/dt), V adalah kecepatan


fluida (m/dt), A adalah luas penampang bidang (m2).

V
t

v2
2g

(5)

Dimana HLMi adalah head kerugian gesek dalam pipa (m), K


adalah koefisien kerugian aksesories pipa (m) .

Energi III-98

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

Daya
Daya output pompa (Water Horse Power) adalah daya
efektif yang merupakan fungsi dari kapasitas dan head pompa,
yang dihitung berdasarkan persamaan:
=

(6)

Dimana WHP adalah daya air pompa (Watt), adalah berat


jenis air (N/m3).
Daya poros adalah daya yang masuk pada poros pompa
yang diberikan oleh mesin penggerak mula (prime-mover).
=

METODE PENELITIAN
Sebuah model tiga unit pompa sentrifugal (UPS 15-50
130), yang mempunyai mulut hisap dan tekan pompa
berdiameter inchi, disusun parallel dibuat yang dilengkapi
dengan sistem perpipaan termasuk pipa header dan panel,
seperti skema pada Gambar 4 dan 5. Pipa header
menggunakan percabangan Tee-45 (Tee-Y) dengan diameter
pipa header 2 inchi, seperti pada Gambar 6, kemudian pipa
hisap dan tekan pompa divariasikan dengan diameter , ,
dan 1 inchi.

(7)

Dimana op = Efisiensi total pompa (%).


Pompa membutuhkan daya listrik untuk menggerakkan
motor listrik pompa. Daya motor listrik satu fasa:
= . .

(8)

Dimana Pmot adalah daya motor listrik (Watt), V adalah


tegangan listrik (Volt), I adalah arus listrik (Amphere), cos
adalah sudut faktor daya, mot adalah efisiensi motor (%).
Sistem Pompa Paralel
Dua atau lebih pompa disusun paralel bertujuan untuk
mendapatkan kapasitas pompa yang lebih besar, dan untuk
mengatasi perubahan/fluktuasi kebutuhan debit aliran.

R1

R1
Gambar 2. Tiga unit pompa paralel

Pipa Header

K1

Gambar 4. Skema sistem tiga unit pompa tersusun paralel

K1

Dari tiga unit pompa yang sama dioperasikan secara paralel


diharapkan dapat memberikan debit aliran tiga kali debit
masing-masing pompanya. Namun kenyataannya terjadi
pergeseran titik kerja pompa karena pengaruh sistem instalasi
perpipaan pompa (R), seperti pada Gambar 3.
Titikkerja

Gambar 5. Rangkaian pompa paralel

Gambar 3. Titik kerja pompa paralel

Adapun prosedur pengujian adalah ketiga unit pompa


dioperasikan secara paralel, kemudian diukur dan dicatat datadata seperti waktu yang diperlukan untuk mengalirkan volume

Energi III-99

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

air 10 liter, tegangan dan arus listrik yang bekerja pada


pompa.
Selanjutnya data tersebut diolah guna mendapatkan
parameter pompa seperti debit pompa (Qp) dari Pers. (1), head
pompa (Hp) dari Pers. (3) dan kerugian energi dari Pers. (4)
dan (5), daya listrik (Pmot), daya air (WHP) dan efisiensi
overall pompa (oa) dari Pers. (8), (6) dan (7).

D=1/2"

Dh
op = (Dh
op_P1 - Dh
op_P123)

D=3/4"

D=1"

D=1/2"

D=3/4"

D=1"

0.94

9.59

10.36

10.34

3.74

8.65

8.91

1.497

14.65

15.37

15.75

6.72

13.48

11.36

2.052

17.84

20.21

19.19

8.78

15.42

15.72

2.598

20.50

22.88

22.14

8.55

17.06

16.90

6.95

13.65

13.22

Tabel 2. Kecepatan air pada pipa hisap

HASIL DAN PEMBAHASAN


Dari pengolahan data hasil pengujian yang telah dilakukan
maka dapat dipresentasikan dalam bentuk grafik seperti pada
Gambar 6 dan Gambar 7. Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa
semakin besar diameter pipa hisap semakin besar debit aliran
yang dihasilkan pompa. Hal ini disebabkan karena semakin
besar diameter pipa, sesuai dengan persamaan kontinyuitas,
maka semakin kecil kecepatan aliran yang terjadi. Ini berarti
head losses yang terjadi akan semakin kecil.
0.850
0.800
0.750
0.700

Qp (Ltr/dt)

hop (%)

Zd
(m)

0.650

v s (m/det)

Zd
(m)

D=1/2"

D=3/4"

D=1"

0.94

1.904

0.94

0.52

1.497

1.728

0.84

0.47

2.052

1.510

0.74

0.42

2.598

1.327

0.66

0.37

Dengan memperhatikan penyimpangan efisiensi pada


Tabel 1 dan kecepatan aliran pada Tabel 2, maka diameter
pipa hisap yang paling optimal adalah diameter pipa hisap
inchi dimana kecepatan alirannya sekitar 0,6 sampai dengan
0,9 meter/detik. Hasil ini sejalan dengan yang disarankan oleh
Dornaus dan Heald. Sehingga diameter pipa hisap dapat
ditentukan dengan formula:

0.600

= (0,87~1)

0.550
0.500

...

Dimana DH diameter pipa hisap (m), Dp debit


paralel (m3/det).

0.450
0.400
0.94

1.497

2.052
D=3/4"

pompa

2.598

KESIMPULAN

Zd (meter)
D=1/2"

total

(9)

D=1"

Dari hasil pengujian dan pembahasan yang telah dilakukan


dapat disimpulkan bahwa diameter pipa hisap yang optimal
adalah pada kecepatan aliran 0,6 sampai dengan 0,9
meter/detik, dan dapat ditentukan dengan suatu formula, yaitu
0,87 sampai dengan 1 dikalikan akar kuadrat debit aliran total
sistem pompa paralelnya.

Gambar 6. Debit pompa pada variasi diameter pipa hisap


24.00
22.00
20.00

p (%)

18.00

UCAPAN TERIMA KASIH

16.00
14.00

Paper ini diseminarkan dalam rangka Dies Natalis Universitas


Udayana yang ke-52.

12.00
10.00

REFERENSI

8.00
0.94

1.497

2.052

2.598

[1]

Z (meter)
D=1/2"

D=3/4"

D=1"

[2]

Gambar 7. Efisiensi pompa pada variasi diameter pipa hisap

Karena head loss yang terjadi semakin kecil maka daya


penggerak pompa yang dibutuhkan juga akan semakin kecil,
sehingga semakin besar diameter pipa hisap efisiensi pompa
semakin besar. Namun perlu dipertimbangkan bahwa jika
diameter pipa hisap semakin besar maka biaya yang
dibutuhkan juga semakin besar. Untuk itu perlu dipilih
diameter pipa header dimana efisiensinya tinggi namun tidak
mengakibatkan penyimpangan efisiensi yang besar antara
efisiensi pompa tunggalnya dan efisiensi pompa paralelnya,
seperti ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Penyimpangan efisiensi antara pompa tunggal dan paralel

[3]
[4]

[5]

[6]

Bacus L., and Custodio A., Know and Understand Centrifugal


Pumps,Elsivier Ltd., UK, 2003.
Evans F., Rules To Follow To Avoid Pump Problems, 2014.
Tersedia
pada:
http://www.kelairpumps.com.au/images/stories/PDF/PumpClin
ic/PumpClinic33.pdf
Kelair Pump, Suction System Design. Kelair Pump, 21 April
2009.
Randall, W.W., Practical Consideration in Pump Suction
Arrangements,
2008.
Tersedia
pada:
http://www.PDHcenter.com
Nelson, W.E., and Dufour, J.W., How to Avoid Building
Problems Into Pumping Systems, Proceeding of The Eleventh
International Pump Users Symposium, pp. 125-136.
Gulik, T.V.D., Centrifugal Pump Selection and Installation,
Irrigation Fact Sheet, September 2008.

Energi III-100

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

[7]

[8]
[9]

Dornaus, W.L., and Heald, C.C., Intakes, Suction Piping, and


Strainers, in:Karassik, at.all, Pump Handbook (3rd edition),
McGraw-Hill, New York, 2001, pp. 10.1-10.55
Streeter, V. L., Wylie, E. B., Fluids Mechanics, McGraw-Hill,
New York, 1981.
Sularso dan Tahara, H., Pompa Dan Kompresor, PT. Pradnya
Paramita, Jakarta, 1983.

[10] Costa, N.P., Maia, R., Proenca, M.F., and Pinho, F.T., Edge
Effect on the Flow Characteristics in a 90 degree Tee Junction,
Journal of Fluid Engineering, Transactions of ASME, Vol. 128,
Nopember 2006, pp. 1204-1217.
[11] Vasava, P.R., Fluid Flow in T-Junction of Pipes, Thesis:
Lappeenrata University of Techology, 2007.

Energi III-101

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

Pengaruh Variasi Temperatur Tuang Terhadap


Kekuatan Bending Pada Pengecoran Limbah
Aluminium
Bahtiar
Jurusan Teknik Mesin
Universitas Tadulako
Palu, Indonesia
bahtiruntad@yahoo.com

Muhammad Iqbal
Jurusan Teknik Mesin
Universitas Tadulako
Palu, Indonesia
iqbaluntad@yahoo.com

Abstrak : Penelitian terhadap pengecoran limbah aluminium


(aluminium sekrap) dilakukan dengan memvariasikan
temperatur tuang untuk mengetahui pengaruhnya terhadap
kekuatan bending. Aluminium sekrap yang digunakan adalah
velg kendaraan bermotor roda empat, roda dua dan limbah
profil aluminium. Variasi temperatur tuang yang digunakan
adalah 700C, 750C dan 800C. Produk pengecoran yang
dihasilkan dibagi menjadi beberapa bagian dan dibentuk
menjadi spesimen pengujian bending yang sesuai dengan
standar ASTM E 290-09. Hasil pengujian bending pada
spesimen temperatur tuang 700C yaitu 168,2 MPa.
Peningkatan temperatur tuang menjadi 750C dan 800C
menurunkan nilai kekuatan bending sebesar 8 % dan 10,8 %
dibandingkan dengan temperatur tuang 700C. Pengamatan
struktur mikro menunjukkan bahwa peningkatan temperatur
tuang menyebabkan struktur butir yang dihasilkan semakin
besar dan hal ini mempengaruhi menurunnya nilai kekuatan
bending.

yang tidak diharapkan misalnya material yang bertindak


sebagai impuritis.
Hasil pengecoran harus diuji kembali mengetahui
perubahan sifat fisis maupun mekanis yang terjadi.
Pengujian yang dilakukan dapat berupa pengujian tarik,
impak, kekerasan, bending dan pengamatan struktur mikro.
Hasil pengujian ini dijadikan acuan untuk menentukan
aplikasi yang dapat dibuat dari hasil pengecoran tersebut.
Penelitian ini dilakukan dengan pengecoran gravitasi
sebagai metode daur ulang dan memanfaatkan aluminium
sekrap velg kendaraan bermotor roda empat, roda dua dan
limbah profil aluminium. Variabel yang digunakan adalah
temperatur tuang
700C, 750C dan 800C. Produk
pengecoran yang dihasilkan dibagi menjadi beberapa bagian
dan dibentuk menjadi spesimen pengujian bending yang
sesuai dengan standar ASTM E 290-09.

I. PENDAHULUAN
Pemanfaatan material aluminium untuk keperluan
sehari-hari semakin meningkat baik dari segi otomotif
hingga peralatan rumah tangga. Efek negatif yang
ditimbulkan adalah meningkatnya limbah aluminium yang
harus ditangani dengan tepat agar tidak mencemari
lingkungan. Aluminium merupakan material nonferro yang
dapat didaur ulang agar dapat digunakan kembali.
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk
mendaur ulang aluminium sekrap adalah metode
pengecoran. Metode pengecoran merupakan proses
manufaktur yang dilakukan dengan cara mencairkan limbah
aluminium kemudian menuangkannya ke dalam cetakan
yang telah dibentuk sesuai bentuk yang diinginkan hingga
membeku.
Proses daur ulang limbah aluminium menyebabkan
perubahan sifat fisis dan sifat mekanis dari aluminium.
Perubahan ini diakibatkan oleh faktor metode yang
digunakan maupun faktor luar. Perubahan yang terjadi
akibat faktor metode yang digunakan misalnya peleburan
ulang, temperatur, waktu tahan aluminium cair, komposisi
kimia, bentuk dan material cetakan yang digunakan. Faktor
luar yang mempengaruhi adalah penambahan material lain

Ainun Najib
Jurusan Teknik Mesin
Universitas Tadulako
Palu, Indonesia
@yahoo.com

II. TINJAUAN PUSTAKA


Peleburan ulang (Remelting)
Penelitian tentang pengaruh peleburan ulang
aluminium telah dilakukan dengan memanfaatkan berbagai
jenis aluminium. Purwanto dan Mulyonorejo (2010)
melakukan penelitian terhadap aluminium dengan
melakukan proses pengecoran ulang sebanyak tiga kali dan
menyimpulkan bahwa peleburan ulang menurunkan
kekuatan tarik, regangan dan nilai kekerasan produk cor.
Purnomo (2004) meneliti aluminium 320 yang dilebur ulang
sebanyak tiga kali menyimpulkan bahwa peleburan ulang
menurunkan kekuaatan tarik dan impak produk cor.
Temperatur Tuang
Temperatur tuang merupakan salah satu variabel yang
mempengaruhi sifat fisis dan mekanis produk cor yang
dihasilkan. Peningkatan temperatur tuang pada pengecoran
Al-17%Mg akan meningkatkan kandungan komposisi kimia
Al dan menurunkan kandungan Mg (Siswanto, 2010).

Energi III-102

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi


Temperatur tuang yang rendah mengakibatkan waktu
pembekuan menjadi pendek sehingga dapat menimbulkan
cacat mikroporositas. Temperatur tuang yang tinggi
menyebabkan peningkatan jumlah pororsitas gas hidrogen
dalam produk cor.

empat, kendaraan bermotor roda dua dan aluminium profil


seperti pada gambar 3.

Pembekuan Logam
Pembekuan coran seperti ditunjukkan pada gambar 1,
dimulai dari bagian logam yang bersentuhan dengan cetakan
yaitu ketika panas dari logam cair diambil oleh cetakan
sehingga bagian logam yang bersentuhan dengan cetakan
mendingin sampai titik beku (chill or small equiaxed), di
mana kemudian inti-inti kristal tumbuh. Bagian dalam dari
coran mendingin lebih lambat daripada bagian luar,
sehingga kristal-kristal tumbuh dari inti asal mengarah ke
bagian dalam coran dan butir-butir kristal tersebut berbentuk
panjang-panjang seperti kolom, yang disebut struktur kolom
(Columnar). Bagian tengah produk cor adalah bagian yang
paling lambat membeku, sehingga terbentuk struktur butir
acak (equiaxed),(Surdia, 2000).
Gambar 3. Limbah Aluminium a) Velg kendaraan bermotor roda
empat b) Velg kendaraan bermotor roda dua c) aluminium profil

Peleburan material dilakukan dengan menggunakan


tungku peleburan fleksibel (bahtiar,2013). Temperatur tuang
logam cair divariasikan 700C, 750C dan 800C.
temperatur cetakan yang digunakan adalah 250C seperti
pada gambar 4.

Gambar 1. Struktur butir pembekuan logam (bower dan Flemings


(1967)

Kekuatan Bending
Pengujian bending dilakukan untuk mengetahui
kekuatan material tehadap pembebanan serta mampu bentuk
material tersebut. Standar pengujian
bending yang
digunakan adalah ASTM E 290-90 dengan bentuk dan
ukuran spesimen seperti gambar 2.

a)

Gambar 2. Spesimen pengujian bending (ASTM E 290-90.)

III. METODOLOGI PENELITIAN


Bahan dan Peralatan
Bahan penelitian yang digunakan adalah limbah
aluminium yang terdiri dari velg kendaraan bermotor roda

Energi III-103

b)
Gambar 4. a) Tungku peleburan Fleksibel b) Cetakan logam

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi


Produk hasil pengecoran dipotong dengan ukuran
panjang 126 mm, lebar 15 mm dan tebal 10 mm
menggunakan mesin gergaji, setelah proses selesai benda
yang sudah dibentuk tersebut diratakan dengan mesin frais.
Pembentukan spesimen pengujian bending disesuaikan
dengan standar ASTM E 290-09. Gambar 5.

a)

Perbandingan antara baris pertama hingga baris


ketujuh ketiga variasi temperatur penuangan menunjukan
tren parabolik, terlihat pada Gambar 6. dimana mengalami
peningkatan kekuatan bending di awali di daerah baris
pertama (Bagian atas), kemudian akan menurun kekuatan
bendingnya di daerah tengah, dan kembali mengalami
peningkatan nilai kekuatan bending maksimum berada di
daerah baris ketujuh (bagian bawah).
Nilai kekuatan bending pada segmen baris pertama
untuk setiap temperatur dipengaruhi oleh kondisi
pembekuan yang dipengaruhi oleh tiga sisi cetakan yaitu sisi
atas dan sisi samping kiri dan kanan. Kondisi ini akan
mempengaruhi struktur butir yang terbentuk menjadi lebih
halus. Penurunan nilai kekuatan bending dari segmen baris
kedua hingga keempat dipengaruhi oleh pembekuan yang
semakin lambat dibanding segmen baris pertama. Hal ini
menyebabkan struktur butir akan semakin membesar.
Peningkatan nilai kekuatan bending pada segmen baris
kelima hingga ketujuh disebabkan oleh tekanan gaya
grafitasi dari logam cair yang mengarah kebawah sehingga
struktur butir menjadi lebih padat.
Kekuatan Bending Rata-rata

b)
Gambar 4. a) Produk hasil Pengecoran b) Ilustrasi
pembagian segmen pada produk cor untuk pembuatan
spesimen pengujian bending.
Pembagian segmen pada produk cor dilakukan
dengan tujuan untuk mengetahui kekuatan bending setiap
segmen mulai dari atas (saluran 4) hingga (saluran 3).
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kekuatan Bending Setiap Segmen Baris

Gambar 6. Grafik nilai kekuatan bending setiap segmen baris spesimen

Energi III-104

Gambar 7. Grafik nilai kekuatan bending setiap temperatur

Gambar 7. menunjukkan bahwa temperatur 700C


memiliki kekuatan bending paling tinggi disusul pada
temperatur 750C dan pada temperatur 800C memiliki
kekuatan bending yang paling rendah. Hal ini disebabkan
pada temperatur 700C berdekatan dengan titik bekunya
aluminium yaitu di bawah temperatur 660C, sehingga
memiliki laju pembekuan yang paling cepat sedangkan
semakin meningkatnya temperatur penuangan maka nilai
kekuatan bendingnya akan mengalami penurunan,
disebabkan temperatur 800C memiliki laju pembekuan
yang paling lambat. Peningkatan temperatur tuang akan
memberikan rentang waktu pembekuan semakin besar
sehingga butir akan memiliki waktu yang cukup untuk
berkembang semakin besar. Struktur butir yang besar akan
menurunkan nilai kekuatan bending.
Nurhadi (2010), mengatakan Seiring dengan
meningkatnya temperatur
penuangan menyebabkan
porositas semakin meningkat, di mana pada temperatur
700C menghasilkan porositas yang paling rendah disetiap
kelompok paduan. Hakim (2011), mengatakan variasi

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi


temperatur penuangan akan mempengaruhi pembekuan
coran aluminium, cacat porositas akan meningkat seiring
dengan meningkatnya temperatur penuangan. Nilai
ketangguhan dan kekerasan akan mengalami penurunan,
karena banyaknya gas hidrogen yang terjebak di dalam
coran aluminium.
Struktur Mikro Produk Cor
Seiring meningkatnya temperatur penuangan
menyebabkan struktur butir yang dihasilkan semakin besar
dan jarak antara batas butir semakin renggang, maka
mempengaruhi kekuatan bending yang terjadi semakin
rendah. Terlihat bahwa temperatur 700oC terbentuk struktur
butir yang memanjang, halus dan ikatan batas antara
butirannya juga terlihat rapat. Untuk temperatur 750 oC,
struktur butir yang acak berbentuk memanjang dan bulat
serta ikatan batas butir yang agak renggang. Sedangkan
untuk temperatur 800oC terlihat struktur butir yang besar,
bentuknya yang bulat serta ikatan batas butir yang lebih
renggang.
a

mempunyai waktu yan cukup untuk tumbuh


semakin besar seperti yang terlihat pada gambar 7.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Bowers, T.F., Flemings, M.C. Formation of the chill zone
in ingot solidification, Trans. Metallurgical Society AIME
239. 1967.
[2] Purwanto dan Mulyonorejo, Pengaruh Pengecoran Ulang
Terhadap Kekuatan Tarik dan Kekerasan Pada Aluminium
Cor Dengan Cetakan Pasir, Proceeding Seminar Nasional
Unimus, Semarang. 2010.
[3] Purnomo, Pengaruh Pengecoran Ulang terhadap Sifat
Mekanis pada Paduan Aluminium, Jurnal Teknik Mesin
Universitas Gunadarma, Jakarta. 2004
[4] Siswanto, R., Pengaruh Temperatur dan Waktu Peleburan
Pengecoran Tuang Terhadap Struktur Mikro Paduan Al21%mg, Media Sains Volume 3, 2011).
[5] Bahtiar dan Iqbal, M., Rancang Bangun Tungku Peleburan
Fleksibel pada pengecoran Aluminium Sekrap untuk Industri
Kecil, Proeeding Seminar Nasional Teknologi Industri I,
Akademi Teknik Industri Makassar. 2013.
[6] Nurhadi, Studi Karakteristik Material Piston Dan
Pengembangan Prototipe Piston Berbasis Limbah Piston
Bekas, Tesis, Teknik Mesin Universitas Diponegoro,
Semarang. 2010.
[7] Hakim H.A., Pengaruh Temperatur Penuangan Terhadap
Sifat Ketangguhan Impak (Impact Toughness) Dan Kekerasan
(Hardness) Aluminium Sekrap Yang Ditambah Silikon 5%,
Skripsi, Departemen Teknik Mesin, USU Medan. 2011.

Gambar 8. Struktur mikro ketiga variasi temperatur tuang (a) Temperatur


700C pembesaran 50x,
(b) temperatur 750C pembesaran 50x dan
(c) temperatur 800C pembesaran 50x

Gambar 8. Menunjukkan perbedaan ukuran butir


yang diakibatkan oleh variasi temperatur tuang.
V. KESIMPULAN

1. Semakin
tinggi
temperatur
penuangannya
menyebabkan kekuatan bendingnya akan semakin
rendah. Terlihat bahwa temperatur 700C memiliki
nilai kekuatan bending paling tinggi sebesar 168,20
MPa, diikuti temperatur 750C dengan nilai
kekuatan bendingnya sebesar 154,74 MPa atau
mengalami penurunan sebesar 8 %, sedangkan
temperatur 800C memiliki nilai kekuatan bending
terendah yaitu 150,02 MPa atau mengalami
penurunan dari temperatur 700C sebesar 10,8 %.
2. Struktur mikro butir yang terbentuk pada hasil
pengecoran semakin besar seiring dengan
meningkatnya temperatur tuang. Hal ini disebabkan
temperatur tuang yang tinggi akan memperlebar
rentang waktu pembekuan sehingga butir

Energi III-105

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

Studi Pemanfaatan Cangkang Dan Serabut Kelapa


Sawit Sebagai Bahan Bakar Ketel Uap Di PT.
Kencana Group
Peter Sahupala

Yusuf Siahaya

Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik


Universitas Musamus
Merauke, Indonesia
louissahupala@gmail.com

Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik


Universitas Hasanuddin
Makassar, Indonesia
Email: -

Abstract The purpose of this study is to determine the


energy balance and the performance of boilers using oil
palm shell and fiber as fuel. The research was conducted at
PT. Kencana Group, which is located in Paser district, Tanah
Grogot East Kalimantan. The research used data of fuel
analysis, fuel combustion, and boiler specification
data. The preliminary analysis was conducted by
calculating the need of air combustion. The data were
then analysed by using the BTU method. The next step
was the analysis of the energy balance and boiler
performance. The results reveal that combustion process
with a stoker requires two sources of air intake: primary
air that is used at the beginning of the process (the
amount: 43594.91 kg/h or 69.95%) and secondary air
that helps in achieving perfect combustion (the amount:
18727.24 or 30.05%). The input power is 99.953 x 106
Btu/h (29.29 MW), and the output power is 83.038 x 106
Btu/h (24.33 MW). There is heat loss of 16.293% (4.96
MW). The amount of heat absorption is 3.5099 X 107
Btu/h (42%) or 17.951 MW in the evaporator, 1.296 x 10 7
Btu/h (16%) or 3.798 MW in the super heater, 8.824 x 106
Btu/h (11%) or 2.59 MW in the economizer, and 2.615 X
107 Btu/h (31%) or 7.67 MW in the air heater, which
results in boiler efficiency of 83.077%.
Keywords: oil palm shell and fiber, boilers, BTU method

I. PENDAHULUAN
Kelapa sawit (Elaeis Gueneensis Jacq) merupakan salah
satu komiditi terbesar di beberapa daerah indonesia, terutama
di pulau Kalimantan. Dengan adanya perkebunan kelapa sawit
ini, mengharuskan dibangunnya pabrik-pabrik kelapa sawit di
daerah yang berdekatan dengan perkebunan. Dengan adanya
pabrik-pabrik kelapa sawit tersebut akan menyebabkan limbah
yang dihasilkan dari proses produksi yang dijalankan, baik itu
limbah cair maupun limbah padat.
Pada dasarnya semua limbah pada pabrik kelapa sawit
(PKS) dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan energi
dalam PKS tersebut yaitu sebagai bahan bakar ketel uap untuk
memasok kebutuhan uap panas guna pembangkit listrik
disamping itu juga untuk proses perebusan kelapa sawit. Salah

satu potensi energi yang dapat diperbaharui adalah energi


biomassa limbah kelapa sawit, selain penghasil minyak nabati,
limbah kelapa sawit padat dapat dipergunakan sebagai energi
alternatif pengganti batubara dan minyak bumi yang biasanya
digunakan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Ketel Uap
merupakan peralatan utama pada industri pengolahan minyak
sawit dan turunannya. Pabrik-pabrik kelapa sawit memakai uap
dari ketel uap untuk merebus tandan buah segar (TBS) yang
baru saja dipanen. Tujuan dari perebusan ini adalah
memudahkan
pemipilan
brondolan
dari
tandannya,
menghentikan perkembangan asam lemak bebas (free fatty
acid), dan akan menyebabkan TBS melunak sehingga proses
ekstraksi minyak menjadi lebih mudah. Ketel uap merupakan
salah satu penentu kualitas minyak kelapa sawit [1]. Ia hampir
menjadi sentra dalam berbagai tingkatan proses ekstraksi buah
kelapa sawit (tandan buah segar) menjadi CPO dan produk
turunannya. Adapun komposisi bahan bakar cangkang dan
serabut yang digunakan adalah cangkang 30% dan serabut
70% dari total bahan bakar yang digunakan sebesar 8475,5
kg/jam. Dengan penggunaan cangkang 30% harus diperhatikan
agar tidak berlebihan karena nilai kalor cangkang yang relatif
tinggi dapat mengakibatkan kelebihan tekanan pada ketel [2].
Terdapat dua ketel uap di pabrik kelapa sawit milik PT.
Kencana Group yang berlokasi di Kabupaten Paser, Tanah
Grogot, Balikpapan Kalimantan Timur. Penggunaan kadar
bahan bakar disesuaikan dengan tekanan uap yang dibutuhkan.
Adapun tujuan yang dicapai pada penelitian ini yaitu
mengetahui keseimbangan energi dan prestasi kerja dari ketel
uap.
II. LANDASAN TEORI
A. Konstruksi Ketel Uap
Konstruksi ketel uap yang digunakan pada Pabrik
Kelapa Sawit PT. Kencana Group adalah jenis ketel uap pipapipa air dengan bahan bakar utama yaitu cangkang dan serabut
kelapa sawit. Proses pembentukan uap pada instalasi ketel uap
yaitu mula-mula air yang telah mengalami perlakuan di water
treatment plant dan memenuhi syarat untuk digunakan pada
ketel uap dipompa masuk ke deaerator, untuk memisahkan
oksigen dan gas-gas larutan lainnya untuk mengurangi efek

Energi III-106

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

korosif dari gas-gas larutan tersebut. Dari deaerator dengan


pompa air umpan (feed ketel uap pump), air dipompa ke drum
bagian atas kemudian dialirkan ke down corner tube dan
selanjutnya ke pipa-pipa penguap (Evaporator). Air yang
berubah dari fase cair menjadi
menjadi uap setelah
dipanaskan dialirkan kembali ke drum bagian atas [1]. Siklus
ini berlangsung secara alami (Natural Circulation). Uap dari
drum bagian atas ini selanjutnya dialirkan ke pipa-pipa
superheater untuk dipanaskan lanjut menjadi uap panas (uap
kering). Uap kering inilah yang kemudian digunakan untuk
menggerakkan Turbine dan sebagian uap lagi dialirkan untuk
proses perebusan kelapa sawit. Uap yang telah digunakan,
tekanan dan temperaturnya menjadi rendah dan terkondensasi
menjadi air selanjutnya dimanfaatkan kembali dengan
mengalirkan kembali ke tangki air.

dihindari, dengan meningkatkan efisiensi energi. Kehilangan


berikut dapat dihindari atau dikurangi antara lain meliputi
kehilangan gas cerobong, udara berlebih (diturunkan hingga
ke nilai minimum yang tergantung dari teknologi burner,
operasi (kontrol), dan pemeliharaan, suhu gas cerobong
(diturunkan
dengan
mengoptimalkan
perawatan
(pembersihan), beban; burner yang lebih baik dan teknologi
ketel uap, kehilangan karena bahan bakar yang tidak terbakar
dalam cerobong dan abu (mengoptimalkan operasi dan
pemeliharaan; teknologi burner yang lebih baik), kehilangan
dari blowdown (pengolahan air umpan segar, daur ulang
kondensat), kehilangan kondensat (manfaatkan sebanyak
mungkin kondensat), kehilangan konveksi dan radiasi
(dikurangi dengan isolasi ketel uap yang lebih baik).
Adapun diagram ketel uap yang terdapat pada
PT.Kencana Group adalah seperti gambar dibawah ini

B. Evaluasi Kinerja Ketel Uap


Parameter kinerja ketel uap, seperti efisiensi dan rasio
penguapan, berkurang terhadap waktu disebabkan buruknya
pembakaran, kotornya permukaan penukar panas dan
buruknya operasi dan pemeliharaan. Bahkan untuk ketel uap
yang baru sekalipun, alasan seperti buruknya kualitas bahan
bakar dan kualitas air dapat mengakibatkan buruknya kinerja
ketel uap. Neraca panas dapat membantu dalam
mengidentifikasi kehilangan panas yang dapat atau tidak dapat
dihindari. Uji efisiensi ketel uap dapat membantu dalam
menemukan penyimpangan efisiensi ketel uap dari efisiensi
terbaik dan target area permasalahan untuk tindakan
perbaikan.
Proses pembakaran dalam ketel uap dapat digambarkan
dalam bentuk diagram alir energi. Diagram ini
menggambarkan secara grafis tentang bagaimana energi
masuk dari bahan bakar diubah menjadi aliran energi dengan
berbagai kegunaan dan menjadi aliran kehilangan panas dan
energi. Arah panah tebal menunjukan jumlah energi yang
dikandung dalam aliran masing-masing. Neraca panas
merupakan keseimbangan energi total yang masuk ketel uap
terhadap yang meninggalkan ketel uap dalam bentuk yang
berbeda [3].
Gambar 1 berikut memberikan gambaran berbagai
kehilangan yang terjadi untuk pembangkitan uap.
Kehilangan panas karena gas buang kering
100%
Bahan
Bakar

Kehilangan panas dalam gas buang


BOILER

Kehilangan panas karena kandungan air dalam


bahan bakar
Kehilangan panas karena kandungan air dalam udara
Kehilangan panas karena pembakaran tidak
sempurna
Kehilangan panas karena rediasi dan kehilangan
yang tidak terhitung

Kandungan panas dalam


uap

Gambar 1. Kehilangan panas yang terjadi di boiler

Kehilangan energi dapat dibagi kedalam kehilangan yang


tidak dapat dihindarkan. Tujuan dari Produksi Bersih dan/atau
pengkajian energi harus mengurangi kehilangan yang dapat

Gambar 2. Diagram siklus boiler PT. Kencana Group

Dari Gambar 2 diagram proses ketel uap dapat


diterangkan sebagai berikut dari fiber conveyor bahan bakar
masuk ke rotary feeder yang berfungsi sebagai pemutar bahan
bakar, dari alat ini bahan bakar di lempar ke dapur ketel
dengan menggunakan spreader agar bahan bakar masuk
merata pada dapur ketel. Fan digunakan dalam peningkatan
efisiensi pembangkit karena fan dapat memaksimalkan tenaga
dorong pada saluran inlet bahan bakar, menghemat bahan
bakar dan membantu pembakaran agar prosesnya sempurna.
Karena tanpa adanya fan, akan sulit didapatkan efisiensi
thermal dalam ketel. Selain itu, setelah proses pencampuran
bahan bakar dalam hal ini serat dan cangkang kelapa sawit
yang telah dihancurkan dan udara yang dilakukan oleh fan dan
dibantu oleh Dumper tetap yaitu pengatur pengaduk udara,
akan dapat menimbulkan turbulensi yaitu gerakan yang dapat
menyempurnakan pencampuran serbuk bahan bakar
(cangkang dan serabut kelapa sawit yang telah halus) dan
udara. Kebutuhan turbulensi untuk melakukan pencampuran
bahan bakar secara sempurna atau memenuhi kebutuhan akan
oksigen untuk pembakaran sempurna tidak hanya di dapat dari
udara primer saja, melainkan juga di dapat dari udara
sekunder.
Udara primer saja tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan turbulensi untuk melakukan pencampuran bahan
bakar secara sempurna atau memenuhi kebutuhan akan
oksigen untuk pembakaran sempurna. Untuk itulah diperlukan
pasokan dari udara sekunder yang dihasilkan oleh FD Fan.

Energi III-107

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

Disamping itu juga terdapat rotari fuel feeder dan fuel feeder
fan (FF Fan), dimana bahan bakar yang telah halus akan
dimasukkan kedalam dapur bersamaan dengan itu juga udara
akan dimasukkan melalui FF Fan, hal ini bertujuan agar laju
pembakaran bahan bakar dan udara lebih tinggi.
Komponen ini merupakan ruangan pemanas yang
digunakan untuk memanaskan udara luar yang diserap
untuk meminimalisasi udara yang lembab yang akan
masuk ke dalam tungku pembakaran. Udara yang keluar
dari Air heater sebagian langsung disemprotkan kedalam
ketel uap sebagian lagi menuju Chain-grate atau
traveling-grate stoker. Bahan bakar diumpankan ke ujung
grate baja yang bergerak. Ketika grate bergerak sepanjang
tungku, bahan bakar terbakar sebelum jatuh pada ujung
sebagai abu. Diperlukan tingkat keterampilan tertentu,
terutama bila menyetel grate, damper udara dan baffles, untuk
menjamin pembakaran yang bersih serta menghasilkan
seminimal mungkin jumlah karbon yang tidak terbakar dalam
abu. Hopper mengumpan bahan bakar memanjang di
sepanjang seluruh ujung umpan bahan bakar pada tungku.
Sebuah grate bahan bakar dalam hal ini yaitu cangkang dan
serabut kelapa sawit digunakan untuk mengendalikan
kecepatan bahan bakar yang diumpankan ke tungku dengan
mengendalikan ketebalan bed bahan bakar. Ukuran bahan
bakar harus seragam sebab bongkahan yang besar tidak akan
terbakar sempurna pada waktu mencapai ujung grate.
Furnace atau dapur merupakan tempat
pembakaran bahan bakar. Beberapa bagian dari furnace
diantaranya: refractory, ruang perapian, burner, exhaust
for flue gas, charge and discharge door. Uap Drum
merupakan tempat penampungan air panas dan
pembangkitan uap. Uap masih bersifat jenuh (saturated
uap). Tangki atau drum sering disebut juga badan ketel
uap yaitu tempat beroperasinya ketel uap di dalamnya
terdapat instrument instrument yang menjalankan
proses pemindah panas seperti lorong api dan pipa api,
dalam badan ketel inilah sejumlah air ditampung untuk
dipanaskan.
Super heater merupakan tempat pengeringan uap
dan siap dikirim melalui main uap pipe dan siap untuk
menggerakkan turbin uap atau menjalankan proses
industri. Untuk industri kelapa sawit, uap dari
superheater akan di lanjutkan sebagian menuju turbin
dan sebagian lagi akan dialirkan untuk proses perebusan
kelapa sawit.
Daerator berfungsi untuk menyerap atau
menghilangkan gas-gas yang terkandung pada air
pengisi ketel,terutama gas O2, karena gas ini akan
menimbulkan korosi, gas-gas lain berbahaya adalah
carbon dioxida (CO2), setelah itu dialirkan ke
economiser melalui pompa. Economiser berfungsi untuk
meningkatkan temperatur air sebelum masuk ke ketel
uap untuk selanjutnya dialirkan ke uap drum. Sumber
panas yang diperlukan oleh alat ini berasal dari gas
buang dalam ketel uap. Gas sisa pembakaran dalam
dapur ketel uap akan dikeluarkan tetapi sebelumnya
debu yang terkandung dalam gas asap tersebut di
keluarkan melalui penangkap debu (dust collector).
Sesudah itu menuju ID Fan dan menuju cerobong untuk
dikeluarkan ke atmosfer.

C. Pembakaran Bahan Bakar Padat


Pembakaran ialah reaksi kimia (persenyawaan) antara
unsur-unsur bahan bakar dengan oksigen disertai dengan
pelepasan panas pada temperatur yang tinggi [4]. Pembakaran
sempurna terjadi bila semua unsur-unsur terbakar dan semua
panas dilepaskan. Ada dua hal mengapa pembakaran harus
berlangsung secara sempurna antara lain bahan bakar sangat
mahal sehingga pembakaran yang tidak efisien berarti terjadi
pemborosan, pembakaran yang tidak sempurna akan
menimbulkan polusi udara.
Pembakaran bahan bakar padat yang sebagian besar
terdiri dari Carbon, Hidrogen, adan Oksigen, proses
pembakaran berlangsung dengan membentuk gas-gas dimana
berlangsung destilasi kering dan gas-gas tersebut akan terurai
lebih lanjut menjadi CO (Carbon Monoxida) dan Hidrogen
dan akan terbakar, dan kemudian akan terbakar menjadi CO 2
(Carbon Dioxida) bila jumlah Oksigen yang tersedia cukup
besar [5].
Pembakaran sempurna Carbon ke dalam Carbon
dioxida adalah sebagai berikut
persamaan pembakaran
C + O2 CO2, dalam satuan massa : 12 + (2 x 16) 44,
dibagi
dengan
12,
didapat
,
.
membakar sempurna c kg Carbon diperlukan

Jadi

untuk

c kg O2 dan

dihasilkan
.
Pembakaran Hidrogen menjadi uap air adalah sebagai
berikut persamaan pembakaran : 2 H2 + O2 2 H2O,
dalam satuan massa : (2 x 2) + 32 (2 x 18),
4 + 32 36, dibagi dengan 4, didapat
: 1 + 8 9,
atau dapat di tulis sebagai berikut 1 kg H2 + 8 kg O2
9 kg H2O. Jadi untuk membakar h kg H2 menjadi uap air,
diperlukan 8 h kg O2.
Pembakaran Belerang menjadi Sulfur Dioxida adalah
sebagai berikut persamaan pembakaran : S + O2 SO2,
dalam satuan massa : 32 + 32 62, dibagi dengan 32,
didapat : 1 + 1 2, atau dapat di tulis sebagai berikut
s kg S + 1 kg O2 2 kg SO2. Jadi untuk membakar
sempurna s kg S diperlukan s kg O2 dan dihasilkan 2 s kg SO2.
D. Keperluan Udara Teoritis
Apabila diambil 1 kg bahan bakar yang terdiri dari c kg
Carbon, h kg Hidrogen, s kg Belerang dan o kg Oksigen
(sisanya bahan bahan yang tidak terbakar). Keperluan
Oksigen untuk pembakaran sempurna unsur-unsur diatas
adalah, Oksigen yang diperlukan untuk membakar c kg
Carbon c, Oksigen yang diperlukan untuk membakar h kg
Hidrogen 8 h, Oksigen yang diperlukan untuk membakar S kg
Belerang s kg, jadi total oksigen yang diperlukan adalah
. Bahan bakar itu sendiri mengandung o kg
Oksigen, yang dianggap dapat digunakan untuk pembakaran.
Oleh karena itu keperluan udara teoritis untuk pembakaran
sempurna
1
kg
bahan
bakar
akan
menjadi
. Oksigen yang dibutuhkan untuk
pembakaran diperoleh dari udara atmosfer yang diketahui
mengandung 23% massa Oksigen dan sisanya 77% dianggap

Energi III-108

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

sebagai Nitrogen karena mengabaikan kwantitas gas-gas lain


yang ada dalam udara.
Udara teoritis yang diperlukan tiap kg bahan bakar
dapat ditentukan dengan

temperatur dan sifat permukaan. Radiator yang sempurna


atau hitam menyerap semua radiasi thermal hingga
mencapai permukaan.Dan memancarkan energi radiasi
pada batas maksimum, berdasarkan hukum StefanBoltzmann :
(2)

Dengan persamaan pembakaran secara teoritis, ternyata bahwa


hasil pembakaran sempurna terutama terdiri dari gas Carbon
Dioxida, Sulfur Dioxida dan uap air [6].
E. Konsep Perpindahan Panas
Perpindahan panas berkaitan dengan transmisi
energi thermal dan sangat penting dalam proses konversi
energi. Dasar dari metode perpindahan panas antara lain
konduksi,konveksi dan radiasi. Temperatur konduksi
adalah sifat yang menunjukkan energi kinetik yang
dimiliki oleh molekul-molekul zat, semakin tinggi
temperatur, semakin besar energi kinetik dan pergerakan
molekul-molekul. Gradien temperatur yang terdapat dalam
suatu bahan homogen akan menyebabkan terjadinya
perpindahan energi di dalam medium tersebut yang lajunya
dapat dihitung dengan menggunakan hukum Fourier.
(1)

Dimana
ialah gradien temperatur dalam arah
normal (tegak lurus ) terhadap
bidang A. Konduktifitas
thermal ( k ) ialah suatu konstanta. Tanda minus (-) dalam
hukum Fourier diperlukan untuk memenuhi persyaratan
hukum II thermodinamika, perpindahan energi thermal
karena adanya gradien thermal hanya bisa berlangsung dari
daerah yang lebih panas ke yang lebih dingin.
Perpindahan panas konveksi dalam fluida terjadi
oleh molekul-molekul konduksi dan gerakan fluida secara
makroskopik. Konveksi terjadi berdekan dengan
permukaan yang panas sebagai akibat fluida bergerak
melalui permukaan [7].
Jika temperatur dibagian hulu fluida ialah T f dan
temperatur permukaan benda T s maka perpindahan kalor
persatuan waktu adalah
Radiasi merupakan perpindahan energi yang
berlangsung
melalui
perambatan
gelombang
elektromagnetik, yang dapat berlangsung baik dalam
medium maupun dalam ruang vakum/hampa. Perpindahan
kalor denga cara radiasi berbeda dengan perpindahan kalor
konduksi dan konveksi dalam dua aspek penting yaitu
radiasi tidak memerlukan medium atau zat antara dan
perpindahan energi sebanding dengan pangkat empat atau
pangkat lima temperatur berbeda
Permukaan dalam ketel uap biasanya buram yang
tidak mengizinkan transmisi dari setiap radiasi ( = 0).
Gas-gas seperti carbon dioksida, uap air, carbon
monoksida
yang
lebih
rendah
temperaturnya
mempengaruhi perpindahan panas radiasi. Gas-gas ini
lazim dicerobong asap gas ketel uap, mempengaruhi
perpindahan panas ke permukaan dan distribusi energi
yang diserap dalam ketel uap. Semua benda terus menerus
memancarkan energi radiasi dalam jumlah tertentu oleh

Dimana adalah
Konstanta Stefan-Boltsmann
dengan nilai 0.1713 x 10 -8 BTU/h ft 2 R4, T s adalah
Temperatur absolut permukaan dan A
adalah Luas
permukaan.
Keseimbangan
energi
pada
kontrol
volume
mencerminkan hukum I thermodinamika yaitu :
Energi masuk Energi keluar = Energi tersimpan
Aliran laminar yang mengalir di dalam tabung, baik untuk
pemanasan tau pendinginan dari fluida viskos dalam
tabung horizontal atau vertikal dengan temperatur konstan
(Re<2300), koefisien perpindahan panas atau konduktifitas
film ditentukan dengan persamaan :
(3)
Atau dapat di tulis sebagai berikut
(4)

Dimana G adalah dan didefenisikan sebagai fluks


massa atau aliran massa per satuan luas, D = diameter tabung,
panjang karakteristik yang digunakan dalam evaluasi bilangan
Reynolds. Rasio viskositas

adalah faktor koreksi yang

tergantung pada temperatur sifat fluida.


Aliran turbulen merupakan gerakan lokal tetapi
kacau, aliran fluida bergerak secara aksial dan radial seperti
ditunjukkan pada gambar berikut untuk aplikasi ketel uap
yang melibatkan aliran turbulen didalam tabung
dinyatakan dengan persamaan :
(5)
Semua sifat dievaluasi pada temperatur film (T f) yang
didefenisikan sebagai temperatur rata-rata antara temperatur
dinding (Tw) dan temperatur fluida (T b) dinyatakan dalam
temperatur absolut (R, K).
(6)
Sehingga diperoleh
(7)

Dan dapat dinyatakan dalam bentuk


(8)
Sedangkan untuk aliran turbulen
persamaan

Energi III-109

menyilang menggunakan
(9)

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

Dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan

(15)

(10)
F. Metode BTU
Temperatur film rata-rata pada sisi gas
Perhitungan kinerja biasanya digunakan untuk
menetapkan satu dari tiga parameter antara lain temperatur,
perpindahan panas dan kebersihan permukaan perpindahan
panas. Seperti dalam kebanyakan masalah analisis thermal,
evaluasi kinerja ketel uap merupakan proses iteratif. Abu dari
hasil pembakaran dalam ketel uap merupakan yang paling
mungkin merupakan dampak yang dapat mempengaruhi
kinerja ketel uap.
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat Penelitian
Penelitian/pengambilan data dilaksanakan pada pada
bulan Februari 2012 dan tempat penelitian pada PLTU
PT. Kencana Group berlokasi di Kabupaten Paser, Tanah
Grogot, Balikpapan Kalimantan Timur.

(16)

Laju aliran massa uap


(17)
Dimana As adalah Luas daerah aliran uap, ditentukan
dengan persamaan As = NRW x (OD), dan
ms adalah laju aliran massa uap.
Menghitung fluks massa udara dengan persamaan
berikut ini
(18)
Menghitung bilangan Reynolds dengan persamaan berikut
ini:
(19)

B. Rumus Yang Digunakan


Perhitungan kinerja setiap komponen-komponen ketel uap
adalah sebagai berikut :
Energi radiasi meninggalkan ruang bakar

Menghitung hambatan udara dari windbox inlet ke air


heater outlet dengan persamaan berikut ini :
(20)

(11)
Dimana Fe adalah effectivitness faktor, T1 adalah
Temperatur gas meninggalkan dari dapur dan T 2
adalahTemperatur saturasi.
Menghitung besarnya perpindahan panas pada permukaan
dengan persamaan di bawah ini :
(12)

Di mana N dapat ditentukan dengan Nbend ditambah


dengan Nexpansion.
Menghitung jumlah kerugian udara dari air heater inlet ke
forced draft fan transition outlet dengan persamaan berikut ini
:
(21)

Di mana q adalah laju perpindahan panas, ( btu / h ),


adalah laju aliran massa uap, ( lb / h ) dan
adalah
Perbedaan enthalpy uap, ( btu / h ).
Menghitung laju perpindahan panas konveksi dan radiasi
inter tube dengan persamaan di bawah ini :

Di mana N dapat ditentukan dengan Nbend ditambah


dengan Nexpansion.
kerugian gas dari furnace ke stack ( cerobong )

(13)

(22)

Menghitung gas yang meninggalkan superheater dengan


persamaan berikut ini :

Dimana Z adalah Garis tengah dari furnace exit ( ft ), dan


SE adalah Efek cerobong.
.

(14)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Di mana
adalah Temperatur gas meninggalkan
superheater, ( F ),
Temperatur gas masuk super heater,
( F ),
adalah laju aliran massa gas, ( lb / h ) dan
adalah
Panas spesifik gas rata rata, ( btu / lb.F ).
Superheater Log Mean Temperature Difference (LMTD)

A. Hasil Perhitungan
1. Kebutuhan Udara Pembakaran
Pembakaran merupakan reaksi kimia (persenyawaan)
antara unsur-unsur bahan bakar dengan oksigen disertai
dengan pelepasan panas dengan temperatur tinggi (Surbakty,
B.M, 1985). Bahan bakar yang digunakan adalah campuran
cangkang 30% dan serabut 70% dan mempunyai reaksi kimia
pembakaran adalah

Energi III-110

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

C6H10O5 + 6 O2 + N2 6 CO2 + N2 + 5 H2O


Dari reaksi pembakaran di atas di peroleh massa udara sebesar
220,02 kg dan massa bahan bakar sebesar 162,14 kg, dan dari
data diperoleh excess air 32,94% sehingga faktor kelebihan
udara () 132,94%. Sistim pembakaran di ketel uap dengan
menggunakan travelling grate stoker (The Babcock & Wilcox
C0, 2005). Berat gas hasil pembakaran (Wg) 2,762 kg
udara/kg bahan bakar, Untuk pembakaran bahan bakar 8475,4
kg/jam maka jumlah udara yang dibutuhkan untuk proses
pembakaran susulan atau sekunder (Wa-sekunder) sebesar
23409,05 kg udara/jam. Sedangkan untuk pembakaran 8475,4
kg bahan bakar/jam diperoleh berat udara adalah :
(Wa)akt (Primer) adalah 4,5913 di kali dengan 8475,4 sama
dengan 38913,10 kg udara/jam. Apabila diasumsikan

bahwa udara jumlah udara sekunder akan dialirkan


sebanyak 20% ke bagian bawah kisi-kisi stoker guna
membantu proses pembakaran dengan udara primer
maka diperoleh (Wa)akt (primer) sebesar 43594,91 kg
udara/jam, sehingga sisa udara sekunder yang masuk
untuk proses pembakaran lanjutan sebesar (Wa)(sekunder)
sebesar 18727,24 kg udara/jam.

Tabel 2. Operating Conditions


% by
Ultimate
weigth
C
44,6

Tabel 1. Physical Arrangement Furnace


Construction :
1.4
In
Outsides diameter ( OD ) tubes
16,5
ft
Width
10
ft
Depth
Volume to super heater entrance
3
5810
ft
plane
Survace flat projected area, not
2360,08
ft2
including super heater exit plane
Physical arrangement components
Parameter

Unit

Super Heater
(counter flow)

Tube OD
Backspacing
(centerline)
Sidespacing
(centerline)
Rows deep
(Nrd)
Rows wide
(Nrw)
Tube length
Heating
surface
Free flow
area
Gas
Air

in

1,5

1,4

1,5

in

3,3071

3,3071

in

3,3071

3,3071

10

10

10

40

60

60

12

12

13

1884

4019,2

6123

84

16

14,523
91

ft
ft

Economizer

% by weigth

Moisture

10

H2

5,32

Volatiles

36,64

0,28

Fixed Carbon

38,95

O2

32,52

Ash

14,41

N2

Total

100

H2O

10,8

Ash

2,48
HHV as fired

9660,6564

Btu/lb

Excess air

32,94

% by wt

Unburned carbon loss

0,4

% by wt

Unaccounted loss (tabel BTU, line 5)

1,5

% by wt

ABMA radiation loss

0,4

% by wt

Furnace Exit Gas Temperature

1742

Super Heater outlet


Uap flow

6,61 x 104

Lb/h

Uap temperatur

932

Uap pressure

298,6922

psig

Uap enthalpy

1490,474

Btu/lb

66150

Lb/h

2. Analisa Penyerapan Panas


Metode BTU [8] merupakan parameter untuk industri
ketel uap di Amerika Serikat dengan menggunakan unit massa
dari mol supaya dapat mengetahui kuantitas udara dan gas
buang.
Hal ini terutama berlaku untuk perhitungan
perpindahan panas, dimana kuantitas fluida kerja (biasanya
uap dan air) dinyatakan secara massa dan enthalpi dari fluida
panas dan dingin dinyatakan secara Btu/lb.
Tabel 1 merupakan data fisik ukuran ketel uap
meliputi ukuran ruang bakar serta ukuran pipa-pipa
penghantar panas serta luas permukaan hantar panas pada
masing-masing komponen ketel uap.

Proximate

Economizer inlet
Water flow
Water temperatur

257

Water pressure

403,943

psig

Water enthalpy

235,177

Btu/lb

Air Heater
Air temperatur entering

82,4

Barometric pressure

30

in.Hg

Gas temperature leaving

356

Tabel 2 merupakan data kondisi operasi ketel uap yang


meliputi data ultimasi bahan bakar dan data proximasi serta
data kondisi uap pada super heater, air pada economizer dan
udara pada air heater.
Tabel 3.

Air
Heater

ft2

Energi III-111

Perhitungan Proses Pembakaran Bahan Bakar Cangkang Dan


Serabut Kelapa sawit Dengan Metode BTU

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

Input Conditions
Excess air, % by wt
Entering air temperature, F
Reference temperatur, F
Air temp leaving air
heater,F
Flue gas temp leaving, F
Residue leaving
boiler/eco/entering AH, %
Total
Output, 1.000.000 Btu/h

32,94
82,4
82,4

Fuel Fiber and shell


Ultimate Analysis
Constituant
% weigth
Carbon
44,6

248

Sulfur

0,28

390

Hidrogen

5,32

85

Water

10,8

83,038

Nitrogen
Oksigen
Ash
Total
COMBUSTION GAS CALCULATED
Theoretical air (corrected), lb/10,000
7,158
Btu
Residue from fuel, lb/10,000 Btu
0,028

Parameter

4
32,52
2,48
100,00

Satuan

Hasil Perhitungan

Laju Energi Pembakaran


(Input)

Btu/h

99,953 x 106

Kalor yang di absorbs


(Output)

Btu/h

83,038 x 106

Laju Aliran Uap (ms)

lb/h

66150

Laju Aliran Gas (mg)

lb/h

100514,235

Laju Aliran Udara (mu)


Temperatur Gas Pembakaran
Keluar Ruang Bakar

lb/h

96352

3200

Efisiensi Ketel ()

83,077

Btu/h

3,5099 x 107

Btu/h

2,520 x 105

Btu/h

1,296 x 107

Btu/h

8,8242 x 106

Btu/h

2,6154 x 107

Beban Generator

MW

Komsumsi Bahan Bakar

Lb/h

18685,05857

Energi yang diserap


Evaporator (Qeva)
Energi Radiasi Ruang Bakar
(qrad)
Perpindahan Panas Total
Superheater (qSH)
Perpindahan Panas Total
Ekonomiser (qEco)
Perpindahan Panas Total
Airheater (qAH)

Total residue, lb/10,000 Btu


0,028
Dry air, lb/10,000 Btu
9,516
H2O from air, lb/10,000 Btu
0,095
H2O from fuel, lb/10,000 Btu
0,604
Wet gas from fuel, lb/10,000 Btu
1,007
Total wet gas, lb/10,000 Btu
10,618
Water in wet gas, lb/10,000 Btu
0,699
Dry gas, lb/10,000 Btu
9,919
H2O in gas, % by weight
6,586
Residue, % by weight (zero if < 0.15
0,288
lbm/10KB)
EFFICIENCY CALCULATIONS, % Input from fuel
Losses
Dry gas, %
7,323
Enthalpy of steam at 1 psi
1237,051
Enthalpy of water at T
50,4
Moisture in air, %
0,132
Unburned carbon, %
0,4
Radiation and convection, %
0,4
Unaccounted for and manufacturers
1,5
margin, %
Summation of losses, %
16,923
Efficiency, %
83,077
KEY PERFORMANCE PARAMETERS
Input from fuel, 1,000,000 Btu/h
99,95
Fuel rate, 1000 lb/hr
10,35
Wet gas weight, 1000 lb/hr
106,13
Air to burners (wet), lb/10,000 Btu
9,61
Air to burners (wet), 1000 lb/h
96,07
Heat available, 1,000,000 Btu/h
99,12
Heat available/lb wet gas, Btu/lb
933,98
Adiabatic flame temperature, F
3200

Apabila boiler bekerja pada kondisi operasional 100%


maka selisih dengan efisiensi yang diperoleh 83,079% di
peroleh kehilangan energi sebesar 16,923% sesuai dengan
hasil perhitungan metode BTU tabel 3 no. 47 (summation of
losses) sebesar 16,923 % atau 16,924 x 106 Btu/h
(4,96 MW).
Tabel 5. Prestasi Kerja Ketel Uap
q (Btu/h)
Furnace

Temperatur hasil pembakaran untuk kerja boiler


Adiabatic Flame Temperature adalah sebesar 3200oF
dengan temperatur udara masuk ke ruang bakar setelah
melalui Airheater sebesar 739,4 o F. Effisiensi yang diperoleh
dari perbandingan antara output dan input adalah 83,079 %.
Apabila di lihat pada tabel 6. Perhitungan dengan metode
BTU no. 53 di peroleh 83,077%, berarti terdapat kesesuaian
antara panas yang di hasilkan dengan panas yang di absorbs
atau terpakai
Tabel 4. Total Laju Perpindahan Panas dan Keseimbangan Energi

35,099 x 106

T1
(F)

0,83079

T1
(F)

T2

1307

572

932

1146

230

266,9

685

82,4

685

Ts
(F)

3200

Super
12,961 x 106
1742
Heater
Economiz
8,824 x 106
1223
er
Air
6
26,154 x 10
1146
Heater
6
Total
83,038 x 10
QFurnace = qoutput
(qSH+qECO+qAH)
qinput
99,953 x 106
qOutput
83,038 x 106
Efisiensi

T2
(F)

83,079

1212

qfurnace = 83,038 x 106

VS

Tabel
BTU,
no. 53

83,077

B. Pembahasan
Berdasarkan hasil perhitungan ketel uap dengan
kapasitas 30 ton/jam, untuk membangkitkan daya sebesar
3 MW dibutuhkan laju aliran bahan bakar sebesar 8475,4
kg/jam dengan kebutuhan udara pembakaran adalah sebesar
62322,15 kg udara/jam dimana untuk udara primer 43594,91
kg udara/jam dan udara sekunder 18727,24 kg udara/jam.
Dapat dilihat dari tabel 6 bahwa dengan menggunnakan bahan
bakar cangkang dan serabut kelapa sawit diperoleh laju energi
pembakaran adalah sebesar 95,588 x 106 Btu/h atau setara
dengan 28,1 MW dan sedangkan laju energi pembakaran

Energi III-112

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi


(input) adalah 99,953 x 106 Btu/h atau setara dengan 29,293
MW. Selisih antara laju pembakaran yang dihasilkan dengan
laju pembakaran yang terpakai adalah sebesar 4,365 x 10 6
Btu/h atau setara dengan 1,279 MW. Sedangkan kalor yang
diabsorbs sebesar 83,038 x 106 Btu/h atau setara dengan
24,33 MW, hasil ini sama dengan total jumlah energi
panas yang diabsorbs pada furnace, super heater,
economizer dan air heater sebesar 24,33 MW. Dari hasil
perhitungan analisis perpindahan panas pada tiap-tiap
komponen ketel uap diperoleh bahwa pada furnace, energi
yang dihasilkan adalah sebesar 71%, super heater sebesar
11%, economizer sebesar 10% dan air heater sebesar 8%.
Dapat di lihat pada gambar 3, grafik distribusi temperatur
dalam ketel uap. Kesetimbangan energi proses hasil
pembakaran pada Ketel uap adalah Energi masuk sama
dengan Energi berguna ditambah dengan kehilangan energi
atau dapat di tulis
29,29 MW = 24,33 MW +
4,96 MW.

16%

Gambar 3. Grafik total perpindahan panas dalam ketel uap

V. KESIMPULAN
Kesetimbangan energi proses hasil pembakaran pada
Ketel uap adalah 29,29 MW adalah 24,33 MW ditambah
4,96 MW, laju energi pembakaran sebesar 9,9953 x 107 Btu/h
dan kalor yang diabsorbs 8,3038 x 107 Btu/h, maka di peroleh
efisiensi 83,079 %, hasil ini sesuai dengan perhitungan metode
BTU no. 53 yaitu efisiensi 83,077 %, dari hasil perhitungan
analisis perpindahan panas pada tiap-tiap komponen ketel uap
diperoleh bahwa pada furnace , energi yang dihasilkan adalah
sebesar 71%, super heater sebesar 11%, economizer sebesar
10% dan air heater sebesar 8%
.
DAFTAR PUSTAKA
[1] (http://strategika.wordpress.com/2008/12/05/perkebunan-sawitindonesia.html)
[2] Data Boiler, PT. Kencana Group Kalimantan Timur
[3] Djokosetyardjo, Ketel Uap. (1999). Penerbit Pradnya Paramita
Jakarta.
[4] El Wakil, M. M, E. Jasjfi, (1992). Instalasi Pembangkit Daya
(terjemahan). Erlangga, Jakarta.
[5] Surbakty, B.M, (1985). Pesawat Tenaga Uap I (Ketel Uap).
Mutiarasolo, Surakarta
[6] Culp, J., Archie W. Jasjfi, (1989). Prinsip Prinsip Konversi
Energi (terjemahan). Erlangga, Jakarta.
[7] A Muin, Syamsir, (1986). Pesawat Pesawat Konversi Energi I
(Ketel Uap). Rajawali Press, Jakarta.
[8] Donald R. Pitts and Leigton E. Sissom (terjemahan oleh E.
Jasjfi), (1987). Perpindahan Panas.
[9] John B. Kitto and Steven C. Stultz, (2005). Steam. The Babcock
and Wilcox Company Barbeton, Ohio USA. Edisi 41.

Energi III-113

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

Studi Peluang Investasi Pengembangan Pembangkit


Listrik Tenaga Angin Di Sulawesi Selatan
Ane Prasetyowati R

Noor Suryaningsih

Teknik Elektro Fakultas Teknik


Universitas Pancasila
Jakarta Indonesia
ane_prast@yahoo. com

Teknik Elektro Fakultas Teknik


Universitas Pancasila
Jakarta Indonesia
nining_zaenoeri@yahoo.com

Abstract Pemenuhan kebutuhan akan energi listrik di


Indonesia saat ini sebagian besar dilakukan dengan
menggunakan minyak bumi, tenaga air, dan batubara. Semakin
terbatasnya persediaan bahan bakar fosil menyebabkan
ketergantungan terhadap energi fosil harus diturunkan.
Sementara kebutuhan energi listrik meningkat seiring
peningkatan ekonomi dan taraf hidup masyarakat. Sulawesi
Selatan memiliki Total konsumsi energi listrik pada tahun 2012
sebesar 4.041,35 GWh dan pada tahun 2013 mengalami
peningkatan menjadi 5,4206,42, dari data tersebut terjadi
kenaikan permintaan kebutuhan energi listrik sebesar 5,4%.
Adanya peluang diversifikasi kearah pembangkit tenaga bayu
yang disebabkan karena kebutuhan listrik di Propinsi Sulawesi
Selatan saat ini masih dipenuhi dari PLN dengan pembangkit
air,uap,gas dan batu bara dengan daya terpasang pada tahun
2012 sebesar 605 GWh, daya konsumsi energi listrik pada tahun
2012 per sektor pemakai masing-masing: Rumah Tangga 898
GWh; Komersial 297 GWh; Industri 886 mampu 510 MW,
beban puncak 446 MW, reserve margin hanya 14%. Kebutuhan
listrik dari PLTB di Sulawesi Selatan adalah sebesar 880 Kw.
Dengan kebutuhan sebesar itu maka komposisi investasi terkecil
yang memungkinkan untuk pembangunan dan pengelolaan
PLTB di Sulawesi Selatan. Berdasarkan hasil analisa dan
simulasi Investasi pembangunan PLTAngin di Propinsi Sulawesi
Selatan menguntungkan karena ada keuntungan pada akhir
umur ekonomis, untuk PLTAngin kapasitas 4 x 10 KW
menghasilkan keuntungan 115% pada akhir tahun ke 15, atau
sebesar 7,7% per tahun adalah lebih besar dibandingkan dengan
suku bunga deposito sebesar 5,5% per tahun, untuk PLTAngin
kapasitas 1 x 500 kW menghasilkan keuntungan 168% pada
akhir tahun ke 15, atau sebesar 11,2% per tahun adalah lebih
besar dibandingkan dengan suku bunga deposito sebesar 5,5%
per tahun dan pembangunan PLTAngin dengan kapasitas 1 x 1
MW menghasilkan keuntungan sebesar 273% pada akhir tahun
ke 15, atau sebesar 18,2% per tahun adalah lebih besar
dibandingkan dengan suku bunga deposito sebesar 5,5% per
tahun.
Keyword: Diversifikasi, pembangkit tenaga angin

I.PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan konsumsi listrik di Indonesia diperlihatkan
pada Tabel 1. Dalam 9 tahun terakhir konsumsi listrik
meningkat dengan laju pertumbuhan positif untuk tiap
kelompok pelanggan. Konsumsi listrik yang digunakan oleh

kelompok pelanggan rumah tangga, industri, dan bisnis selalu


bertambah sangat pesat tiap tahunnya.
Tabel 1. Konsumsi Listrik Di Indonesia Per Kelompok Pelanggan
(GWh)

Sumber : Statistik PLN, Statistik DJK dan Handbook of Energy and


Economic Statistics of Indonesia,Pusdatin KESDM, 2013

Pemenuhan kebutuhan akan energi listrik di Indonesia saat


ini sebagian besar dilakukan dengan menggunakan minyak
bumi, tenaga air, dan batubara. Semakin terbatasnya persediaan
bahan bakar fosil menyebabkan ketergantungan terhadap
energi fosil harus diturunkan. Sementara kebutuhan energi
meningkat seiring peningkatan ekonomi dan taraf hidup
masyarakat. Hal ini mendorong upaya diversifikasi dan
konservasi energi secara menyeluruh dengan beralih ke sumber
energi hijau yang bersih dan ramah lingkungan, yaitu energi
baru dan terbarukan (EBT).
Salah satu sumber energi baru dan terbarukan yang sedang
dikembangkan dan dimanfaatkan adalah energi angin. Supaya
layak secara komersil, kecepatan angin yang diperlukan untuk
pembangkit listrik tenaga angin berada dalam kisaran 5-6 m/
detik pada ketinggian pusat 10 m. oleh karena itu dalam
pengembangan pembangkit listrik tenaga angin aspek-aspek
yang perlu dipertimbangkan adalah lokasi, teknologi, dan
ekonomi.
B. Tujuan
Kegiatan studi peluang investasi PLTAngin bertujuan agar
mengetahui data detail mengenai investasi untuk pembangunan
pembangkit listrik tenaga angin khususnya di daerah Sulawesi
Selatan.
II.STUDI PUSTAKA
A. Energi Angin

Energi III-114

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

Angin terjadi karena adanya perbedaan tekanan udara atau


perbedaan suhu udara pada suatu daerah atau wilayah. Hal ini
berkaitan dengan besarnya energi panas matahari yang di
terima oleh permukaan bumi. Pada suatu wilayah, daerah yang
menerima energi panas matahari lebih besar akan mempunyai
suhu udara yang lebih panas dan tekanan udara yang cenderung
lebih rendah. Sehingga akan terjadi perbedaan suhu dan
tekanan udara antara daerah yang menerima energi panas lebih
besar dengan daerah lain yang lebih sedikit menerima energi
panas, akibatnya akan terjadi aliran udara pada wilayah
tersebut.
Tabel 2. Kecepatan Angin

Dimana :
d = density (kerapatan) udara [dudara = 1,225 kg/m3]
A = luas area putar baling-baling kincir angin = D2 [m2] 4
D = diameter swept area [m]
v = kecepatan angin [m/detik]
sehingga energi kinetik yang bisa didapati dari angin adalah

:
Daya yang didapat dari turbin angin pada suatu unit waktu
adalah energi kinetik (EK) dan jarak yang ditempuh oleh angin
pada waktu tersebut atau kecepatannya, sehingga daya yang
dihasilkan oleh angin adalah :

Angin kelas 3 adalah batas minimum dan angin kelas 8


adalah batas maksimum energi angin yang dapat dimanfaatkan
untuk menghasilkan energi listrik. Peluang Investasi
Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Angin Halaman 5
Hasil penelitian LAPAN ada beberapa daerah yang mempunyai
kecepatan angin ratarata >5m/d yang berpotensi untuk
pembangkit
listrik
tenaga
angin.
Berikut
ini
pengelompokannya:
Tabel 3. Potensi Angin untuk PLTAngin

Secara umum tempat yang cocok untuk pemasangan turbin


angin antara lain adalah: 1. Celah antara gunung, tempat
dijadikan nozzle yang mempercepat aliran angin 2. Dataran
terbuka. Karena tidak ada penghalang yang dapat
memperlambat angin. Daratan yang luas mempunyai potensi
energi angin yang besar. 3. Pesisir pantai. Perbedaan suhu darat
dan laut menyebabkan angin bertiup terus menerus.
B. Prinsip Kerja Pembangkit Listrik Tenaga Angin
Pembangkit Listrik Tenaga ingin mengkonversikan energi
angin menjadi energi listrik dengan menggunakan turbin angin
atau kincir angin. Cara kerjanya cukup sederhana, energi angin
yang memutar turbin angin, diteruskan untuk memutar rotor
pada generator di bagian belakang turbin angin, sehingga akan
menghasilkan energi listrik. Energi Listrik ini biasanya akan
disimpan ke dalam baterai sebelum dapat dimanfaatkan. Energi
kinetik dari angin ditangkap melalui turbin angin (kincir angin)
yang diubah menjadi energi mekanis dan selanjutnya
dikonversikan menjadi energi listrik melalui generator listrik.
Besarnya energi kinetik angin adalah :

Gambar 1. Sketsa Turbin Angin


sumber : http://www.kincirangin.info/plta-gbr.php
Dalam hal ini turbin angin berfungsi untuk menangkap
energi angin. Rancangan turbin angin meliputi perhitungan
tinggi menara dari permukaan tanah, jumlah blade/kincir angin,
dan diameter blade. Parameter tersebut sangat menentukan
berapa besarnya energi listrik yang akan dihasilkan, sesuai
dengan persamaan di atas.
C. Jenis-jenis Turbin Angin
Jenis turbin angin ada 2, yaitu turbin angin sumbu horizontal
dan turbin angin sumbu vertikal.
Turbin Angin Sumbu Horizontal
Turbin angin sumbu horizontal (TASH) memiliki poros rotor
utama dan generator listrik di puncak menara. Turbin
berukuran kecil diarahkan oleh sebuah baling-baling angin
(baling-baling cuaca) yang sederhana, sedangkan turbin
berukuran besar pada umumnya menggunakan sebuah sensor

Energi III-115

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

angin yang digandengkan ke sebuah servo motor. Sebagian


besar memiliki sebuah gearbox yang mengubah perputaran
kincir yang pelan menjadi lebih cepat berputar. Karena sebuah
menara menghasilkan turbulensi di belakangnya, turbin
biasanya diarahkan melawan arah anginnya menara. Bilahbilah turbin dibuat kaku agar mereka tidak terdorong menuju
menara oleh angin berkecepatan tinggi. Sebagai tambahan,
bilah-bilah itu diletakkan di depan menara pada jarak tertentu
dan sedikit dimiringkan. Karena turbulensi menyebabkan
kerusakan struktur menara, dan realibilitas begitu penting,
sebagian besar TASH merupakan mesin upwind (melawan
arah angin). Meski memiliki permasalahan turbulensi, mesin
downwind (menurut jurusan angin) dibuat karena tidak
memerlukan mekanisme tambahan agar mereka tetap sejalan
dengan angin, dan karena di saat angin berhembus sangat
kencang, bilah-bilahnya bisa ditekuk sehingga mengurangi
wilayah tiupan mereka dan dengan demikian juga mengurangi
resintensi angin dari bilah-bilah itu.
Kelebihan TASH
Dasar menara yang tinggi membolehkan akses ke angin yang
lebih kuat di tempat-tempat yang memiliki geseran angin
(perbedaan antara laju dan arah angin antara dua titik yang
jaraknya relatif dekat di dalam atmosfer bumi. Di sejumlah
lokasi geseran angin, setiap sepuluh meter ke atas, kecepatan
angin meningkat sebesar 20%.
Kelemahan TASH
1. Menara yang tinggi serta bilah yang panjangnya bisa
mencapai 90 meter sulit diangkut. Diperkirakan besar
biaya transportasi bisa mencapai 20% dari seluruh
biaya peralatan turbin angin.
2. TASH yang tinggi sulit dipasang, membutuhkan
derek yang yang sangat tinggi dan mahal serta para
operator yang tampil.
3. Konstruksi menara yang besar dibutuhkan untuk
menyangga bilah-bilah yang berat, gearbox, dan
generator.
4. TASH yang tinggi bisa memengaruhi radar airport.
5. Ukurannya yang tinggi merintangi jangkauan
pandangan dan mengganggu penampilan lansekap.
6. Berbagai varian downwind menderita kerusakan
struktur yang disebabkan oleh turbulensi.
7. TASH membutuhkan mekanisme kontrol yaw
tambahan untuk membelokkan kincir ke arah angin.
Turbin Angin Sumbu Vertikal
Turbin angin sumbu vertikal/tegak (atau TASV) memiliki
poros/sumbu rotor utama yang disusun tegak lurus. Kelebihan
utama susunan ini adalah turbin tidak harus diarahkan ke
angin agar menjadi efektif. Kelebihan ini sangat berguna di
tempat-tempat yang arah anginnya sangat bervariasi. VAWT
mampu mendayagunakan angin dari berbagai arah. Dengan
sumbu yang vertikal, generator serta gearbox bisa ditempatkan
di dekat tanah, jadi menara tidak perlu menyokongnya dan
lebih mudah diakses untuk keperluan perawatan. Tapi ini
menyebabkan sejumlah desain menghasilkan tenaga putaran
yang berdenyut. Drag (gaya yang menahan pergerakan sebuah
benda padat melalui fluida (zat cair atau gas) bisa saja tercipta
saat kincir berputar. Karena sulit dipasang di atas menara,
turbin sumbu tegak sering dipasang lebih dekat ke dasar
tempat ia diletakkan, seperti tanah atau puncak atap sebuah

bangunan. Kecepatan angin lebih pelan pada ketinggian yang


rendah, sehingga yang tersedia adalah energi angin yang
sedikit. Aliran udara di dekat tanah dan obyek yang lain
mampu menciptakan aliran yang bergolak, yang bisa
menyebabkan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan
getaran, diantaranya kebisingan dan bearing wear yang akan
meningkatkan biaya pemeliharaan atau mempersingkat umur
turbin angin. Jika tinggi puncak atap yang dipasangi menara
turbin kira-kira 50% dari tinggi bangunan, ini merupakan titik
optimal bagi energi angin yang maksimal dan turbulensi angin
yang minimal.
Kelebihan TASV
1. Tidak membutuhkan struktur menara yang besar.
Karena bilah-bilah rotornya vertikal, tidak
dibutuhkan mekanisme yaw
2. Sebuah TASV bisa diletakkan lebih dekat ke tanah,
membuat pemeliharaan bagian-bagiannya yang
bergerak jadi lebih mudah.
3. TASV memiliki sudut airfoil (bentuk bilah sebuah
baling-baling yang terlihat secara melintang) yang
lebih tinggi, memberikan keaerodinamisan yang
tinggi sembari mengurangi drag pada tekanan yang
rendah dan tinggi.
4. Desain TASV berbilah lurus dengan potongan
melintang berbentuk kotak atau empat persegi
panjang memiliki wilayah tiupan yang lebih besar
untuk diameter tertentu daripada wilayah tiupan
berbentuk lingkarannya TASH.
5. TASV memiliki kecepatan awal angin yang lebih
rendah daripada TASH. Biasanya TASV mulai
menghasilkan listrik pada 10km/jam (6 m.p.h.)
6. TASV biasanya memiliki tip speed ratio
(perbandingan antara kecepatan putaran dari ujung
sebuah bilah dengan laju sebenarnya angin) yang
lebih rendah sehingga lebih kecil kemungkinannya
rusak di saat angin berhembus sangat kencang.
7. TASV bisa didirikan pada lokasi-lokasi dimana
struktur yang lebih tinggi dilarang dibangun.
8. TASV yang ditempatkan di dekat tanah bisa
mengambil keuntungan dari berbagai lokasi yang
menyalurkan angin serta meningkatkan laju angin

(seperti gunung atau bukit yang puncaknya datar


dan puncak bukit).
9. TASV tidak harus diubah posisinya jika arah
angin berubah.
10. Kincir pada TASV mudah dilihat dan dihindari
burung.
Kekurangan TASV
1. Kebanyakan TASV memproduksi energi hanya 50%
dari efisiensi TASH karena drag tambahan yang
dimilikinya saat kincir berputar.
2. TASV tidak mengambil keuntungan dari angin yang
melaju lebih kencang di elevasi yang lebih tinggi.
3. Kebanyakan TASV mempunyai torsi awal yang
rendah, dan membutuhkan energi untuk mulai
berputar.
4. Sebuah TASV yang menggunakan kabel untuk
menyanggahnya memberi tekanan pada bantalan
dasar karena semua berat rotor dibebankan pada

Energi III-116

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

bantalan. Kabel yang dikaitkan ke puncak bantalan


meningkatkan daya dorong ke bawah saat angin
bertiup.
Spesifikasi Turbin Angin
Spesifikasi untuk Rangka dari Turbin Angin dapat
terlihat seperti tabel 4 seperti dibawah ini :

bunga. Jika NPV > 0 maka usaha tersebut


menguntungkan dan layak dijalankan, jika NPV = 0
maka
usaha
tersebut
layak
tetapi
tidak
menguntungkan dan tidak merugikan. Jika NPV < 0,
maka usaha tersebut tidak layak dijalankan.

Tabel 4. Spesifikasi Turbin Angin

Dimana
: Arus kas masuk dan arus kas keluar
K
: Biaya modal proyek
Return on Investment (ROI)
ROI (return on investment) dalam bahasa Indonesia
disebut laba atas investasi adalah rasio uang yang
diperoleh atau hilang pada suatu investasi, relatif
terhadap jumlah uang yang diinvestasikan. Jumlah
uang yang diperoleh atau hilang tersebut dapat
disebut bunga atau laba/rugi. Investasi uang dapat
dirujuk sebagai aset, modal, pokok, basis biaya
investasi. ROI biasanya dinyatakan dalam bentuk
persentase dan bukan dalam nilai desimal.
ROI tidak memberikan indikasi berapa lamanya suatu
investasi. Namun demikian, ROI sering dinyatakan
dalam satuan tahunan atau disetahunkan dan sering
juga dinyatakan untuk suatu tahun kalendar atau
fiskal.
CF

Tabel 5. Spesifikasi untuk pembangkitan (photovoltaic array)

Tabel 6. Spesifikasi untuk Baterei dan Inverter

D. Aspek Ekonomi
Aspek eknonomi yang perlu diperhitungkan dalam
pengembangan pembangkit listrik tenaga angin adalah biaya
pembangunan, biaya operasional dan pemeliharaan, serta
penilaian investasi.
1.
Biaya Pembangunan
Biaya pembangunan terdiri dari:
Pembebasan lahan
Biaya persiapan (survey, AMDAL, FS, dan izin)
Pekerjaan bangunan sipil
Komponen teknologi
2.
Biaya Operasional terdiri dari:
Tenaga kerja
Perawatan mesin
3.
Penilaian Investasi
Penilaian invetasi dilakukan melalui:
Net Present Value (NPV)
Metode nilai sekarang bersih (net present value
NPV) menggunakan pertimbangan bahwa nilai uang
sekarang lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai
uang pada waktu mendatang, karena adanya faktor

Break Even Point (BEP)


Break even point digunakan untuk mengetahui
batasan titik impas dari suatu usaha. Artinya,
BEPmerupakan titik dimana posisi usaha berada
dalam keadaan tidak untung dan tidak rugi.
Adapunperhitungan BEP tersebut dapat dilakukan
dengan dua pendekatan, yaitu BEP harga dan
BEPproduksi.

E. Studi Terdahulu
Studi terdahulu dilakukan untuk mengetahui potensi
energi Listrik alternatif di pedesaan sebagai upaya dalam
mendukung percepatan diversifikasi energi di provinsi NAD.
Dengan mengambil densitas udara 1,255 kg/m3, kecepatan
angin rata-rata 8,27 m/s dan efisiensi konversi 36 %, maka
diperoleh Daya/satuan luas = 0,17 kW/m2, dengan definisi
luas penampang A = /4 D2, dimana D adalah diameter rotor,
maka untuk memenuhi kebutuhan energi listrik sebesar 15,5
kW, dibutuhkan turbin angin dengan diameter rotor = 14,12
m. Berdasarkan hasil analisis literatur diperoleh spesifikasi
PLTB yang sesuai adalah :
Daya 20 kW
Putaran 90 rpm
Diameter Sudu 14 m
Battery DC input 360V

Energi III-117

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi


Inverter 220/380V 50/60Hz
Tinggi tower 22 m
Berat 5207 kg
Biaya pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu disusun
berdasarkan data harga turbin dan peralatan pendukung yang
ada dipasaran. Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu
diperkirakan akan memerlukan biaya sebesar Rp
1.128.589.175,00 hal ini berarti setiap kilo watt daya
terbangkit diperlukan sekitar Rp. 56.429.450,- rupiah.
Estimasi pembiayaan proyek dapat dilihat pada Tabel 7
berikut:
Tabel 7. Estimasi biaya untuk tenaga angin sebesar 20 kW
Gambar 2. Peta Sistem Kelistrikan Propinsi Sulsel
Sumber : Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN (Persero) 20112020

Berdasarkan realisasi penjualan listrik lima tahun terakhir


termasuk banyaknya daftar tunggu calon pelanggan potensial,
dan memperhatikan pertumbuhan ekonomi regional serta
penambahan jumlah penduduk, proyeksi kebutuhan listrik
Provinsi Sulawesi Selatan 2010 2020 diberikan pada Tabel
9.
Tabel 9. Proyeksi Kebutuhan Tenaga Listrik Di Provinsi Sulawesi
Selatan

Analisis kelayakan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu dapat


diketahui lewat perhitungan return of investment (ROI), break
even point (BEP), serta benefit cost ratio (BC ratio). Analisis
ekonomi dilakukan dengan masa konsesi atau operasional
selama 50 tahun. Parameter lainnya yang terkait dengan bunga
dan eskalasi kenaikan operasional, perawatan, perbaikan
kerusakan dan bunga yang berlaku adalah seperti pada Tabel
7 dan hasil analisis dapat terlihat dalam Tabel 8
Tabel 8. Hasil analisis output yang dihasilkan pada studi PLTAngin di
NAD

III.PARAMETER KECEPATAN ANGIN UNTUK PL T ANGIN DI


SULSEL
Sistem kelistrikan Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel)
saat ini dipasok oleh pembangkit-pembangkit yang terhubung
ke sistem interkoneksi 150 kV dan 70 kV Sulawesi Selatan
dan Sulawesi Barat (Sulselbar). Jumlah gardu induk eksisting
di Sulsel adalah 28 buah dengan kapasitas total 1.568 MVA
termasuk trafo interbus IBT 150/70kV. Daya mampu
pembangkit yang ada adalah 617 MW, sedangkan beban
puncak yang harus dilayani sebesar 601 MW. Dengan
demikian sistem kelistrikan Sulselbar beroperasi tanpa
cadangan. Kondisi tersebut membuat sistem Sulselbar kadangkadaang mengalami defisit daya pembangkit, sehingga terjadi
pemadaman bergilir terutama pada saat beban puncak selama
musim kering. Kekurangan pembangit juga menyebabkan
penyambungan pelanggan baru belum dapat dilayani secara
penuh. Peta sistem kelistrikan Propinsi Sulsel dipelihatkan
pada gambar 2.

Provinsi Sulawesi Selatan mempunyai banyak sumber energi,


terutama berupa tenaga air yang dapat dikembangkan menjadi
PLTA. Potensi tenaga air mencapai 1.836 MW untuk
dibangun PLTA dan 160 MW untuk menjadi PLTM. Selain
itu terdapat potensi gas alam di Kabupaten Wajo dengan
cadangan terukur sebesar 470 BSCF. Di beberapa kabupaten
di Sulawesi Selatan terdapat potensi batubara, namun jumlah
cadangan terukur hanya 37,3 juta ton.
Titik-titik Survey
Daerah yang disurvey meliputi daerah Kabupaten
Jeneponto dan kabupaten Bulukumba Pantai Bira, adapun
kedua kabupaten ini memiliki potensi untuk pengembangan
pembangkit listrik tenaga angin dengan karakteristik dan
kemampuan wilayah dengan memperhatikan rata-rata
kecepatan angin yang berbeda. Dari hasil survey sementara
menunjukkan adanya perbedaan yang sangat jauh disetiap
bulannya untuk kecepatan angin di kedua kabupaten tersebut.
Disebutkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah kedua
kabupaten tersebut rencana pengembangan pembangkit listrik
tenaga angin, berikut penjelasan dari keduakabupaten yang
disurvey dengan melihat kebutuhan untuk investasi
pembangkit listrik tenaga angin.

Kabupaten Jeneponto

Energi III-118

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

Kabupaten Jeneponto dikaruniai wilayah yang lengkap,


yakni memiliki daratan dengan bentangan yang sangat
bervariasi (daerah datar, bergelombang, hingga bergunung).
Selain itu wilayah Kabupaten Jeneponto memiliki laut dan
pesisir di bagian selatan, dengan garis pantainya yang cukup
panjang (114 km) dan laut yang sangat kaya akan sumberdaya
alam hayati dan non-hayati. Dengan topografinya yang begitu
beragam, maka disamping potensi ekonominya yang besar
juga ada ancaman kerusakan potensi sumberdaya tersebut jika
tidak dilakukan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian
pemanfaatan ruang secara hati-hati. Dari sudut pandang
perencanaan untuk menunjang pembangunan berkelanjutan,
maka penataan ruang wilayah perlu dilakukan untuk
mempertegas batas-batas aktivitas ekonomi dan batas-batas
wilayah/kawasan yang berfungsi lindung (ekologis). Data
Kecepatan angin di kecamatan binamu Jeneponto dalam 1
(satu) tahun pada setiap bulannya memiliki rata-rata kecepatan
angin berubah atau dapat dikatakan memiliki variasi yang
perbedaannya sangat signifikan seperti terlihat pada tabel
berikut :
Tabel 10. Kecepatan Angin Di Kabupaten Jeneponto (m/s)

ditargetkan. Selain dari hal di atas karena kondisi wilayah


sekitar Pantai Bira memiliki perencanaan menjadi daerah
wisata bahari, maka belum terencana dengan baik tata ruang
untuk pembangkit listrik dengan energi baru terbarukan
termasuk tenaga angin, cakupan area transmisi PLN dengan
lokasi di sekitar pantai bira juga sangat jauh, jadi
dimungkinkan akan terjadi biaya yang cukup mahal untuk
pembangunan pembangkit listrik tenaga angin di daerah Pantai
Bira.
Tabel 11. Kecepatan Angin Di Kabupaten Bulukumba (m/s)

Keterangan : 1) Sumber data Stasiun Klimatologi Maros Sulawesi


Selatan. 2) Ketinggian tempat pengukuran 500 mdpl. 3) Ketinggian alat
ukur 10 m dari permukaan tanah.

Pada Tabel 11. tercatat di Kabupaten Bulukumba kecepatan


angin rata-rata tertinggi adalah 5 m/s dan kecepatan angin
terendah 2 m/s.

Dari tabel 10. terlihat kecepatan angin rata-rata tertinggi di


Kabupaten Jeneponto adalah 8 m/s dan kecepatan angin
terendah 1 m/s.

Gambar 4. Lokasi Survey Di Pantai Bira Kabupaten Bulukumba

Dari area yang disurvey ternyata terdapat rencana dalam


RTRW Sulawesi Selatan yang menyebutkan daerah Bangkala
Jeneponto sebagai lokasi pengembangan Pembangkit Tenaga
Angin, namun belum adanya data dari dinas terkait.

Gambar 3. Lokasi Survey Di Kabupaten Jeneponto

Dari area yang berpotensi dibangun pembangkit listrik tenaga


angin di sekitar daerah bangkala barat menuju daerah area
pembangkit dan transmisi PLN di Kabupaten Binamu
memiliki jarak sekitar 25 km.

Kabupaten Bulukumba
Pada Kabupaten Bulukumba daerah survey yang dilihat
memiliki peluang investasi pembangkit tenaga angin terletak
di sekitar Pantai Bira. Pantai Bira berada di Kecamatan
Bontobahari Kabupaten Bulukumba. Hasil sementara dari data
survey menunjukkan di daerah sekitar Pantai Bira kecepatan
angin rata-rata kurang baik untuk dilakukan pembangunan
pembangkit listrik tenaga angin mengingat selain daerahnya
meliputi pantai terjal juga bila dihitung untuk nilai investasi
kurang baik dari segi ekonomi, kecepatan angin yang
dihasilkan pembangkit tidak dapat menghasilkan listrik yang

IV.ANALISSIS INVESTASI PLT ANGIN DI SULSEL


A. Analisis secara Ekonomi
Data Pembangkit Listrik Tenaga Angin
Dalam melakukan perhitungan keuangan perlu
ditetapkan asumsi-asumsi sebagai dasar perhitungan
yang dapat diperoleh dari hasil survei lapangan
maupun hal-hal yang berlaku di masyarakat. Data
untuk analisis ekonomi Pembangkit Listrik Tenaga
Angin didasarkan atas hasil survei lapangan.
Sulawesi Selatan terdapat peluang investasi sebesar
880 kw. Dalam studi, kapasitas Pembangkit dibagi
menjadi 6 macam, yaitu 50 KW, 20 KW, 250 KW,

Energi III-119

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

1.

500 KW, dan 1 MW. Berikut adalah data masingmasing kapasitas pembangkit:
Biaya Investasi untuk kapasitas 50 KW
Pada tabel 12. Terdapat biaya investasi untuk
pembangkit tenaga Angin di Sulsel
Tabel 12. Biaya Investasi untuk 50 KW
3.

Tabel 13. Biaya Operasional Tahunan untuk 50 KW

Tabel 19. Biaya Operasional Tahunan untuk 500 KW

Tabel 20. Hasil Analisa untuk 500 KW

Tabel 14. Hasil Analisa untuk 50 KW

4.
2.

Biaya Investasi untuk Kapasitas 500 kw.


Tabel 18. Biaya Investasi untuk 500 KW

Biaya Investasi untuk Kapasitas 1 MW.


Tabel 21. Biaya Investasi untuk 1 MW

Biaya Investasi untuk kapasitas 20 KW


Tabel 15. Biaya Investasi untuk 10 KW

Tabel 22. Biaya Operasional Tahunan untuk 1 MW

Tabel 16. Biaya Operasional Tahunan untuk 10 KW

Tabel 23. Hasil Analisis untuk 1 MW

Tabel 17. Hasil Analisa untuk 10 KW

V.

Anal

Energi III-120

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

B. Analisis Investasi
Analisis investasi dilakukan pada kapasitas yang
memungkinkan untuk pembangunan dan pengelolaan
Pembangkit Listrik Tenaga Angin di Daerah Istimewa
Yogyakarta, NTT dan Sulawesi Selatan. Dalam analisis
investasi ini digunakan metode Cost Benefit Analysis. Adapun
asumsi-asumsi yang digunakan adalah :
1. Biaya penjualan listrik didasarkan atas harga beli
listrik oleh PLN.
2. PLTB beroperasi selama 24 jam dengan kapasitas
produksi sebesar 50% dari kapasitas terpasang, hal
ini dikarenakan kecepatan angin yang tidak konstan,
sehingga produksi diperhitungkan dengan produksi
12 jam.
3. PLTB murni beroperasi dengan menggunakan tenaga
angin, sehingga backup genset tidak dimasukkan ke
dalam perhitungan.
4. Kapasitas yang digunakan dalam simulasi adalah 10
Kw, 20Kw dan 50Kw. Kapasitas diatas 50 Kw tidak
digunakan karena memerlukan biaya konstruksi yang
lebih mahal.
5. Operational Lifetime adalah 15 Tahun.
C. Investasi PLTB Di Sulawesi Selatan
Kebutuhan listrik dari PLTB di Sulawesi Selatan
adalah sebesar 880 Kw. Dengan kebutuhan sebesar itu maka
komposisi investasi terkecil yang memungkinkan untuk
pembangunan dan pengelolaan PLTB di Sulawesi Selatan,
seperti terlihat pada tabel 24. adalah
Tabel 24. Simulasi 4 x 10 Kw untuk Pembiayaan Sendiri

Hasil analisis :
B/C Ratio adalah 3,65 pada koneksi tegangan rendah.
Yang artinya pendapatan lebih besar daripada biaya
operasional.
Keuntungan operasional per tahun adalah 265% x
Rp.57.800.000 =Rp. 153.280.960.
Pengembalian modal akan didapat pada tahun ke-7.
Pada akhir tahun ke 15, keuntungan yang di dapat adalah
sebesar Rp. 1.238.614.400 atau 117%.
Tabel 25. Simulasi 1 x 250 Kw untuk Pembiayaan Sendiri

Hasil analisis :
B/C Ratio adalah 7,00 pada koneksi tegangan rendah.
Yang artinya pendapatan lebih besar daripada biaya
operasional.
Keuntungan operasional per tahun adalah 600% x
Rp.188.400.000 =Rp.1.130.856.000.
Pengembalian modal akan didapat pada tahun ke-7.
Pada akhir tahun ke 15, keuntungan yang di dapat
adalah sebesar Rp. 9.074.440.000 atau 115%.
Tabel 26. Simulasi 1 x 500 Kw untuk Pembiayaan Sendiri
dengan benefit cost ratio

Hasil analisis :
B/C Ratio adalah 10,30 pada koneksi tegangan
rendah. Yang artinya pendapatan lebih besar daripada
biaya operasional.
Keuntungan operasional per tahun adalah 930% x
Rp.256.200.000 =Rp.2.382.312.000.
Pengembalian modal akan didapat pada tahun ke-6.
Pada akhir tahun ke 15, keuntungan yang di dapat
adalah sebesar Rp. 22.388.480.000 atau 168%.
Tabel 27. Simulasi 1 x 1 MW untuk Pembiayaan Sendiri
dengan benefit cost ratio

Energi III-121

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

2.

3.

Hasil analisis :
B/C Ratio adalah 16,29 pada koneksi tegangan
rendah. Yang artinya pendapatan lebih besar daripada
biaya operasional.
Keuntungan operasional per tahun adalah 1529% x
Rp.324.000.000 = Rp. 4.953.024.000.
Pengembalian modal akan didapat pada tahun ke-4.
Pada akhir tahun ke 15, keuntungan yang di dapat
adalah sebesar Rp. 54.371.360.000 atau 273%.
V. KESIMPULAN
1.

Dari hasil analisa untuk pembangunan pembangkit


listrik tenaga angin di Sulawesi Selatan dengan
kapasitas 4 x 10 KW yaitu :
Investasi ini menguntungkan karena ada
keuntungan pada akhir umur ekonomis.
Keuntungan 115% pada akhir tahun ke 15, atau
sebesar 7,7% per tahun adalah lebih besar
dibandingkan dengan suku bunga deposito
sebesar 5,5% per tahun.

Dari hasil analisa untuk pembangunan pembangkit


listrik tenaga angin di Sulawesi Selatan dengan
kapasitas 1 x 500 KW yaitu :
Investasi ini menguntungkan karena ada
keuntungan pada akhir umur ekonomis.
Keuntungan 168% pada akhir tahun ke 15, atau
sebesar 11,2% per tahun adalah lebih besar
dibandingkan dengan suku bunga deposito
sebesar 5,5% per tahun
Dari hasil analisa untuk pembangunan pembangkit
listrik tenaga angin di Sulawesi Selatan dengan
kapasitas 1 x 1 MW yaitu :
Investasi ini menguntungkan karena ada
keuntungan pada akhir umur ekonomis.
Keuntungan 273% pada akhir tahun ke 15, atau
sebesar 18,2% per tahun adalah lebih besar
dibandingkan dengan suku bunga deposito
sebesar 5,5% per tahun.
REFERENCES

[1] http://www.kincirangin.info/plta-gbr.php.
[2] PT. PLN (Persero). 2011. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga
Listrik PT PLN (Persero) 2011-2020.
[3] PT. Cipta Multi Kreasi. 2008. Studi Potensi Energi Listrik
Alternatif Di Pedesaan Sebagai Upaya Dalam Mendukung
Percepatan Diversifikasi Energi Di Provinsi Naggroe Aceh
Darussalam. Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NADNias.
[4] Sekretariat Perusahaan PT. PLN (Persero). 2012. Statistik PLN
2011.
[5] RTRW/RUTR BAPEDA Sulawesi Selatan.
[6] LAPAN
[7] ASPEK EKONOMI dari RTRW Kabupaten Jeneponto dan
Bulukumba

Energi III-122

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

Fast Respon Three Phase Induction Motor Using


Indirect Field Oriented Control Based On Fuzzy_PI
Rizana Fauzi

Dedid Cahya Happiyanto

Departemen Pascasarjana Teknik Elektronika


Politeknik Elektronika Negeri Surabaya
Surabaya, Indonesia
n Rfauzi@student.pasca.eepis.ac.id
rfauzi86@gmail.com

Departemen Pascasarjana Teknik Elektronika


Politeknik Elektronika Negeri Surabaya
Surabaya, Indonesia
dedid@eepis.ac.id

Abstract Penelitian ini bertujuan untuk mengimplementasikan


metode IFOC dengan controller logika fuzzy P_I pada aplikasi
kendali kecepatan motor Induksi 3 phase. dalam memperbaiki
kecepatan respon pada motor induksi dalam hal penyesuaian
terhadap referensi kecepatan yang diberikan. Kendali logika fuzzy
P_I yang digunakan merupakan sistem kendali modern yang
mudah karena tidak perlu mencari model matematis dari sistem,
tetapi tetap efektif karena memiliki respon sistem yang tidak stabil.
Dalam penelitian ini dibuat alat pengatur kecepatan motor induksi
dengan metode IFOC berbasis kendali logika fuzzy P_I. Metode ini
diaplikasikan pada kendaraan hybrid, dimana diperlukan respon
cepat dari motor induksi untuk mengikuti kecepatan putar engine,
sehingga diperoleh hasil yang optimal ketika kendaraan sedang
berakselarasi (pergantian motor engine ke motor induksi).
Pengujian sistem dilakukan dengan variasi setting point kecepatan
referensi terhadap sistem kendali, pada hasil simulasi penelitian
didapatkan bahwa metode IFOC belum sempurna dalam hal
pengaturan kecepatan motor induksi, diperlukan kendali fuzzy P_I
yang dapat memperbaiki respon output, sehingga motor induksi
memiliki performa yang baik, kecil osilasi saat mulai bekerja
hingga ke kecepatan referensi.
Kata kunci : fuzzy_PI, IFOC, motor induksi

I. LATAR BELAKANG
Penelitian mengenai pengaturan kecepatan pada motor
induksi 3 fasa semakin lama semakin berkembang,
dikarenakan penggunaan pada industri dan khususnya pada
kendaraan hybrid semakin banyak dikembangkan.Namun ada
beberapa kelemahan motor induksi yang salah satunya adalah
karakteristik parameter yang tidak linier, terutama resistansi
rotor yang memiliki nilai yang bervariasi untuk kondisi
operasi yang berbeda, sehingga tidak dapat mempertahankan
kecepatannya secara konstan bila terjadi perubahan beban.
Oleh karena itu untuk mendapatkan kecepatan yang konstan
dan performa sistem yang lebih baik terhadap perubahan
beban dibutuhkan sebuah pengontrol.

Gambar 1. Karakteristik motor induksi


Sumber : (parekh, 2033)

Gambar di atas merupakan ilustrasi pada motor induksi


pada saat kecepatan rotor mulai nol hingga kecepatan
maksimalnya, untuk bergerak dengan kecepatan rendah, arus
yang dibutuhkan sangat tinggi hingga mencapai tujuh kali arus
kerjanya, sedangkan saat kecepatannya mulai tinggi, arus yang
dibutuhkan berkurang hingga arus kerja normalnya.
Seperti yang kita ketahui persamaan untuk permodelan
motor induksi, adalah sebagai berikut :

Jika
dipergunakan
pengamatan
konvensional,
diperkirakan fluks stator dihitung berdasarkan persamaan
motormenggunakan integrator murni sebagai berikut:

Diperkirakan fluks rotor dihitung dari perkiraan statorfluks


sebagai berikut:

Energi III-123

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

Pada gambar di atas,


(13) arus 3 phase memiliki perbedaan phase
60 derajat antar phasenya. Dengan perbedaan ini, maka
penambahan kapasitor tidak diperlukan.
(14)

Perkiraan Sudut untuk fluks rotors diperoleh sebagai berikut.


(15)
Sehingga untuk mendapatkan kecepatan yang konstan dan
peformansi motor yang lebih baik pada kecepatan rendah,
dibutuhkan suatu metode pengontrolan yangmampu mengatasi
setiap perubahan parameter pada motor induksi

Gambar 4.Bagian utama motor induksi 3 fasa

B. Konstruksi
II. PERMASALAH
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana memodelkan secara matematis setiap
perubahan resistansi rotor motor induksi 3 phase pada tiap
perubahan waktu.
2. Bagaimana
merancang
kontroler
yang
mampu
memperbaiki performa peningkatan kecepatan motor
induksi, sehingga memiliki respon yang cepat saat ada
perubahan parameter.
III. TUJUAN

Konstruksi motor induksi secara detail terdiri atas dua


bagian, yaitu : bagian stator dan bagian rotor. Stator adalah
bagian motor yang diam, terdiri dari : badan motor, inti stator,
belitan stator, bearing dan terminal box. Bagian rotor adalah
bagian motor yang berputar, terdiri atas rotor sangkar dan
poros rotor. Konstruksi motor induksi tidak memiliki
komutator dan sikat arang.
Ada dua jenis rotor pada motor induksi, yaitu jenis
rotor sangkar tupai (sequirrel-cage rotor) dan rotor belitan
(wound-rotor). Kedua rotor ini mempunyai konstruksi stator
dan prinsip kerja yang sama.
C. Aliran daya aktif motor induksi

Pada tesis ini akan didesain dan diimplementasikan suatu


kontroler untuk pengaturan kecepatan dengan high respon pada
motor induksi 3 fasa menggunakan teknik IFOC (Indirect Field
Oriented Control), IFOC digunakan sebab sistem pengontrolan
kecepatan yang akan diterapkan tidak menggunakan observer
(pemodelan), tetapi dengan membaca perubahan yang terjadi
pada sensor kecepatan. Dengan adanya metode dalam
pengaturan kecepatan ini diharapkan mampu memperbaiki
performa kecepatan motor induksi agar memiliki respon yang
cepat dalam setiap perubahan parameter
IV. DASAR TEORI
A. Motor Induksi 3 Phase
Motor Induksi 3 phase bekerja dengan memanfaatkan
perbedaan fasa sumber untuk menimbulkan gaya putar pada
rotornya. Jika pada motor Induksi 1 phase untuk menghasilkan
beda phase diperlukan penambahan komponen kapasitor, pada
motor 3 phase perbedaan phase sudah didapat langsung dari
sumber seperti terlihat pada gambar arus 3 phase berikut ini:

Gambar 5. Aliran daya pada motor induksi

Kita dapat mengidentifikasi dan menghitung tiga hal penting


dari motor induksi tiga fasa berdasarkan diagram aliran daya
pada gambar yaitu efisiensi, daya dan torsi dari motor induksi.
Efisiensi
Dari definisinya, efisiensi merupakan rasio dari daya output
dengan daya input, dirumuskan dengan persamaan sebagai
berikut :
Rugi-rugi
pada rotor
Seperti pada gambar, rugi-rugi
pada rotor berhubungan
dengan daya input rotor
, dan digambarkan melalui
persamaan berikut :
Daya mekanik
Daya mekanik
yang dihasilkan oleh motor sama dengan
daya yang dikirim pada rotor dikurangi rugi-rugi pada
rotornya.
Torsi motor
Torsi,
dihasilkan oleh motor pada semua atau berapapun
kecepatan motornya dengan persamaan :

Gambar 3. Grafik arus 3 fasa

Energi III-124

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

Besarnya arus direct-axis stator referensi


dari input fluks referensi yaitu,

D. Field Oriented Control (FOC)


Field Oriented Control (FOC) adalah suatu metode
pengaturan medan pada motor AC, di mana dari sistem
coupled diubah menjadi sistem decoupled. Dengan sistem ini
arus penguatan dan arus beban motor dapat dikontrol secara
terpisah, dengan demikian torsi dan fluksi juga dapat diatur
secara terpisah, seperti halnya motor DC. Pada Pengaturan ini,
kecepatan dari motor dimonitor oleh suatu sensor, bisa juga
menggunakan tachometer. Kecepatan motor diumpan balikkan
kemudian dibandingkan dengan kecepatan referensi oleh suatu
komparator.
Bila ada error, kemudian error tersebut menjadi input
dari kontroller. Selanjutnya kontroller memberikan sinyal
kepada sistem FOC, yang akan diteruskan ke rangkaian
penyalaan dari inverter untuk mengubah tegangan dan arus
motor, sehingga diperoleh suatu torsi yang diinginkan.
Perubahan torsi ini akan mengubah kecepatan motor sehingga
bisa mendekati kecepatan referensi.

adalah tergantung

Sudut flux rotor e untuk transformasi koordinat diperoleh


dari perhitungan antara kecepatan putaran rotor m dan
kecepatan slip sl, dengan persamaan,

kecepatan slip diperoleh dari perhitungan arus stator referensi


dengan parameter motor,

Arus referensi
dan
dikonversi ke dalam arus sefasa
referensi
, ,
yang akan menjadi input regulator arus.
Kemudian regulator arus akan memproses arus fasa referensi
menjadi sinyal pemicuan yang akan mengontrol inverter.
E. Fuzzy_PI

Gambar 6. diagram blok pengaturan kecepatan motor induksi dengan FOC


Sumber : Bagher Mohammad, Babaei Ebrahim, Tabriz University, 51665-317,
Iran

Dilihat dari skema atau diagram blok sistem


pengaturan kecepatan motor induksi dengan FOC (Field
Oriented Control), inverter beroperasi sebagai sumber arus
tiga fasa yang kemudian akan menjadi sumber yang akan
menggerakkan motor induksi tiga fasa.
Fluks rotor dan torsi dapat dikontrol secara terpisah
oleh arus stator direct-axis (ids) dan arus quadratur-axis (iqs)
secara berurutan. Besar arus quadratur-axis referensi (i*qs)
dapat dihitung dengan torsi referensi Te* menggunakan
persamaan berikut,

Sistem kendali logika adaptive fuzzy akan mengubah dan


menyesuaikan parameter kendali secara otomatis sesuai
dengan kelakuan sistem yang dikehendaki (Wang XinLi,1997). Sistem adaptive fuzzy dapat dipandang sebagai
sistem logika
fuzzy yang
memiliki
kemampuan
membangkitkan aturan-aturan (rule) secara otomatis melalui
pembelajaran.
Sistem kesimpulan fuzzy yang memanfaatkan aturan fuzzy
if-then dapat memodelkan aspek pengetahuan manusia yang
kwalitatif dan memberi reasoning processes tanpa
memanfaatkan analisa kwantitatif yang tepat. Ada beberapa
aspek dasar dalam pendekatan ini yang membutuhkan
pemahaman lebih baik, secara rinci:
1. Tidak ada metoda baku untuk men-transform
pengetahuan atau pengalaman manusia ke dalam
aturan dasar (rule base) dan database tentang fuzzy
inference system.
2. Ada suatu kebutuhan bagi metoda efektif untuk
mengatur (tuning) fungsi keanggotaan (membership
function/MF) untuk memperkecil ukuran kesalahan
keluaran atau memaksimalkan indeks pencapaian.
Adaptive Fuzzy dapat bertindak sebagai suatu dasar untuk
membangun satu kumpulan aturan fuzzy if-then dengan fungsi
keanggotaan yang tepat, yang berfungsi untuk menghasilkan
pasangan input-output yang tepat.

dengan Lr adalah induktansi rotor, Lm adalah induktansi


mutual, dan r adalah fluks linkage rotor estimasi, yang
diperoleh dari persamaan berikut,

V. DESAIN SISTEM

Fuzzy
_ PI

(20)

(21)
Dengan

adalah konstanta waktu rotor.


Gambar 18. Blok Desain Sistem

Energi III-125

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

Pada bagan di atas, dapat kita lihat bahwa arus stator


direct-axis
yang digunakan untuk penguatan flux dibuat
konstan yang kemudian dijadikan parameter untuk IFOC dan
pembanding konstan pada slip. Kecepatan putar rotor aktual
secara kontinu dibaca oleh sensor kecepatan yang kemudian
dibandingkan dengan kecepatan rotor referensi. Nilai selisih
antara kecepatan rotor aktual dan referensi kemudian dijadikan
sebagai nilai error yang akan diolah oleh adaptive fuzzy
backstepping yang keluarannya berupa nilai arus quadraturaxis
. Arus stator direct-axis
dan nilai arus
quadratur-axis
dengan metode IFOC ditransformasi
menjadi arus sefasastasioner referensi
yang
diolah oleh PWM inverter menjadi arus 3 phase untuk
menggerakkan motor induksi 3 phase.

Gambar 21. Pendekatan motor induksi 3 phase dengan IFOC

Kecepatan rotor dengan referensi = 150 rpm

Gambar 22. Kecepatan rotor dengan referensi = 150 rpm

Pada grafik di atas, dapat kita lihat terjadi osilasi saat start,
waktu dari start hingga mencapai nilai referensi membutuhkan
waktu sekitar 0,5s.
Gambar 19. parameter motor induksi

Kecepatan rotor dengan referensi = 200 rpm

Gambar 23. Kecepatan rotor dengan referensi = 200 rpm


Pada grafik di atas, dapat kita lihat terjadi osilasi saat start,
waktu dari start hingga mencapai nilai referensi membutuhkan
waktu sekitar 0,7s.
Kecepatan rotor dengan referensi = 250 rpm

Gambar 20. Blok proses IFOC

Gambar 24. Kecepatan rotor dengan referensi = 250 rpm

Energi III-126

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

Pada grafik di atas, dapat kita lihat terjadi osilasi saat start,
waktu dari start hingga mencapai nilai referensi membutuhkan
waktu sekitar 1s.
Kecepatan rotor dengan referensi = 300 rpm

Pada grafik di atas, dapat kita lihat terjadi osilasi saat start,
waktu dari start hingga mencapai nilai referensi membutuhkan
waktu sekitar 2,7s.
Speed control dengan Fuzzy_PI

Gambar 25. Kecepatan rotor dengan referensi = 300 rpm


Pada grafik di atas, dapat kita lihat terjadi osilasi saat start,
waktu dari start hingga mencapai nilai referensi membutuhkan
waktu sekitar 1,3s.
Kecepatan rotor dengan referensi = 350 rpm

Gambar 29. Speed control dengan Fuzzy_PI

Pada gambar 29, menunjukkan penggunaan speed controller


dengan kendali fuzzy, yang dikombinasikan dengan kendali
Proporsional-Integral (PI). Speed controller ini berfungsi
untuk mengatur nilai flux dan torsi yang ideal yang kemudian
akan dijadikan parameter input pada IFOC yang digunakan
untuk mengatur kecepatan motor sesuai dengan perubahan
nilai kecepatan referensi. Dengan penggunaan speed
controller, respon output akan semakin baik dengan nilai
osilasi yang semakin berkurang.

Gambar 26. Kecepatan rotor dengan referensi = 350 rpm

Pada grafik di atas, dapat kita lihat terjadi osilasi saat start,
waktu dari start hingga mencapai nilai referensi membutuhkan
waktu sekitar 1,7s.
Kecepatan rotor dengan referensi = 400 rpm

Gambar 30. Speed control dengan Fuzzy_PI bagan kendali

Gambar 27. Kecepatan rotor dengan referensi = 400 rpm

Pada grafik di atas, dapat kita lihat terjadi osilasi saat start,
waktu dari start hingga mencapai nilai referensi membutuhkan
waktu sekitar 2,2s.
Kecepatan rotor dengan referensi = 450 rpm

Pada gambar 30, menunjukkan bagian dalam dari speed


controller. Penggunaan kendali fuzzy, yang dikombinasikan
dengan kendali Proporsional-Integral (PI) dapat mengubah
respon output menjadi jauh lebih baik, dibandingkan jika tidak
menggunakan kontroller pada IFOC (lihat gambar 22-28).
Nilai kendali proporsional diatur pada nilai 10 dan nilai
kendali Integral diatur pada nilai 5. Untuk memperoleh nilai
ini dilakukan pengambilan data berkali-kali sehingga
diperoleh kombinasi yang ideal untuk memperbaiki nilai
transient dan osilasi saat sistem mulai bekerja.
Kecepatan rotor dengan referensi = 150 rpm

Gambar 28. Kecepatan rotor dengan referensi = 450 rpm

Energi III-127

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

Gambar 34. Kecepatan rotor dengan referensi = 300 rpm

Pada grafik di atas, dapat kita lihat terjadi osilasi saat start,
waktu dari start hingga mencapai nilai referensi membutuhkan
waktu sekitar 0,005s. Osilasai dengan nilai sangat kecil terjadi
saat kecepatan motor telah mendekati referensi.
Kecepatan rotor dengan referensi = 350 rpm

Gambar 31. Kecepatan rotor dengan referensi = 150)

Pada grafik di atas, dapat kita lihat terjadi osilasi saat start,
waktu dari start hingga mencapai nilai referensi membutuhkan
waktu sekitar 0,005s. Nilai osilasi pada sistem saat bekerja
sangat kecil
Kecepatan rotor dengan referensi = 200 rpm

Gambar 35. Kecepatan rotor dengan referensi = 350 rpm

Pada grafik di atas, dapat kita lihat terjadi osilasi saat start,
waktu dari start hingga mencapai nilai referensi membutuhkan
waktu sekitar 0,005s.
Kecepatan rotor dengan referensi = 400 rpm

Gambar 32. Kecepatan rotor dengan referensi = 200 rpm)

Pada grafik di atas, dapat kita lihat terjadi osilasi saat start,
waktu dari start hingga mencapai nilai referensi membutuhkan
waktu sekitar 0,005s. Osilasi pada sistem tidak terjadi saat
start.
Gambar 36. Kecepatan rotor dengan referensi = 400 rpm

Kecepatan rotor dengan referensi = 250 rpm


Pada grafik di atas, dapat kita lihat terjadi osilasi saat start,
waktu dari start hingga mencapai nilai referensi membutuhkan
waktu sekitar 0,005s. Terjadi osilasi dengan nilai yang sangat
kecil sesaat setelah kecepat motor memenuhi target referensi
Kecepatan rotor dengan referensi = 450 rpm

Gambar 33. Kecepatan rotor dengan referensi = 250 rpm)

Pada grafik di atas, dapat kita lihat terjadi osilasi saat start,
waktu dari start hingga mencapai nilai referensi membutuhkan
waktu sekitar 0,005s. Osilasi saat sistem mulai bekerja terjadi
dengan nilai yang sangat kecil setelah start.
Kecepatan rotor dengan referensi = 300 rpm

Gambar 37. Kecepatan rotor dengan referensi = 450 rpm

Pada grafik di atas, dapat kita lihat terjadi osilasi saat start,
waktu dari start hingga mencapai nilai referensi membutuhkan
waktu sekitar 0,005s. Nilai osilasi sangat kecil, terjadi setelah
kecepatan motor mendekati referensi
Simulasi dengan beban

Energi III-128

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

Dengan beban torsi 25 kg untuk kecepatan motor 250 rpm

Gambar 42. Hasil simulasi dengan beban torsi 20 kg


Gambar 38. Simulasi dengan menambahkan beban

Dengan beban torsi 5 kg untuk kecepatan motor 250 rpm

Gambar 39. Hasil simulasi dengan beban torsi 5 kg

Dengan beban torsi 10 kg untuk kecepatan motor 250 rpm

Gambar 39. Hasil simulasi dengan beban torsi 10 kg

Dengan beban torsi 15 kg untuk kecepatan motor 250 rpm

Analisa Hasil Simulasi


pada grafik hasil simulasi dapat dilihat bahwa :
1. Penggunaan IFOC dapat digunakan sebagai
pendekatan dalam hal pengaturan kecepatan motor
induksi. Dalam hal ini pendekatan yang dilakukan
oleh iFOC hanya berfungsi untuk mengubah
parameter nonlinier (parameter motor ac) ke
parameter linier (menyerupai motor dc), sehingga
jika parameter motor induksi yang tadinya non linier
dapat diubah menjadi parameter linier, maka
kecepatan motor induksi itu sendiri ikan lebih mudah
untuk dikendalikan sesuai dengan referensi yang
diinginkan. Pada simulasi dapat dilihat bahwa saat
starting motor hingga mendekati referensi
membutuhkan waktu yang cukup lama (0-2,7s) yang
mengakibatkan terjadinya osilasi saat akan mencapai
nilai referensi. Saat kecepatan rerefensi 150 dan 200
rpm, kecepatan aktual sedikit melebihi nilai referensi
dengan overshot yang cukup banyak.
2. Penggunaan Fuzzy_PI dapat membantu respon output
menjadi lebih baik dengan waktu respon yang sangat
singkat (<0,1s) untuk mencapai nilai referensi.
Osilasi saat start tidak terjadi sehingga saat akan
mencapai referensi tidak terjadi osilasi yang tinggi,
berbeda jika hanya menggunakan metode IFOC saja.
Respon sistem semakin baik, dibuktikan dengan
peningkatan kecepatan respon aktual mencapai niai
referensi. Nilai overshot tidak terjadi dengan nilai
steady state error yang sangat kecil.
3. Pada simulasi berbeban dengan kecepatan motor 250
rpm dan penambahan beban torsi dari 5-25 kg, dapat
dilihat bahwa sistem cukup stabil dengan tidak
adanya pengaruh yang signifikan saat kecepatan
motor mulai mengejar kecepatan referensi.

Gambar 40. Hasil simulasi dengan beban torsi 10 kg

Dengan beban torsi 20 kg untuk kecepatan motor 250 rpm

Gambar 41. Hasil simulasi dengan beban torsi 20 kg

VI. KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
1. Dalam kendali kecepatan motor induksi penggunaan
IFOC saja belum mampu manghasilkan performa
yang baik, sehingga diperlukan adanya controller
yang dapat memberikan tanggapan respon input yang
baik, sehingga menghasilkan keluaran yang baik
dengan nilai osilasi yang sangat kecil dan respon
yang cepat.
2. Penggunaan kendali fuzzy_PI sangat baik digunakan
dikarenakan dengan adanya kendali PI, nilai eror

Energi III-129

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

dapat diminimalisir dan fuzzy memperbaiki respon


input sehingga pencapaian referensi dapat dilakukan
dengan cepat dan dengan tingkat eror yang relatif
lebih kecil.
Saran
1. Penerapan fuzzy_PI dapat dikembangkan menjadi
adaptive fuzzy, sehingga sistem dapat mengatur
tingkat perbaikan pada eror secara mandiri
(adaptive).
2. Pada aplikasi pembebanan dapat ditambahkan fungsi
perubahan beban sehingga jelas dilihat apa yang
terjadi pada kecepatan motor saat bebannya tiba-tiba
berubah.
DAFTAR PUSTAKA
[1] C. C. Channand K. T. Chau, Member, IEEE,
An
Overview of Power Electronics in Electric Vehicles, IEEE
Transactions on Industrial Electronics, vol. 44, no. 1, February
1997
[2] Nobuyoshi Mutoh, Satoru Kaneko, Taizou Miyazaki, Ryosou
Masaki, and Sanshiro Obara, A Torque Controller Suitable
for Electric Vehicles, IEEE Transactions On Industrial
Electronics, vol. 44, no. 1, February 1997
[3] Mariam Khan, and Narayan C. Kar, Performance Analysis
of Fuzzy Based Indirect Field Oriented Control of Induction
Motor Drives for Hybrid Electric Vehicles, IEEE

[4] Martin T. Hagan and Mohamad B.Menhaj, Training


Feedforward with the Marquardt Algorithm, IEEE
Transaction on Neural Network, Vol. 5 No. 6 November 1994
[5] Manolis I. A. Lourakis, A Brief Description of the
Levenberg-Marquardt Algorithm Implemened by levmar,
Institute of Computer Science Foundation for Research and
Technology - Hellas (FORTH) Vassilika Vouton, P.O. Box
1385, GR 711 10 Heraklion, Crete, GREECE, February 11,
2005
[6] Jae-Sung Yu, Sang-Hoon Kim, Fuzzy logic based Vector
Control scheme for permanent magnet Synchronous motors
in elevator drive applicantion, IEEE Trans on Industrial
Electronics, Vol. 54 No. 4, Aug 2007
[7] Mohamed Rachid Chekkouri, Jordi Catal, Fuzzy Adaptive
Control of an Induction Motor Drive, ISSN 00051144
ATKAAF 44(34), 113122 (2003)
[8] M. Vasudevan, R. Arumugam, S.Paramasivam, High
Performance Adaptive
Intelligent Direct Torque Control
Schemes for Induction Motor Drives, Serbian Journal Of
Electrical Engineering, Vol. 2, No. 1, May 2005, 93 116
[9] Mamdani,E.H, Application Of Fuzzy Algoritms For Control
Of Simple Dynamic Plant, Proc.Of IEEE, 12,1974, h.1585
1588
[10] CC Lee, Fuzzy Logic In Control System : Fuzzy Logic
Controller Part I, IEEE Trans. On Systems, Man, And
Cybernetics,Vol 20 No 2, March April 1990 W,Li, A Method
for Design of a Hybrid Neuro-Fuzzy Control Systems Based
On Behavior Modeling, IEEE Trans. Fuzzy Systems, Vol
5,No1, February 1997, p. 128

Energi III-130

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem Manufaktur dan Energi

Co-gasifikasi fluidized bed berbahan


bakar sampah dan batubara
I Nyoman Suprapta Winaya1), I Waya Edy Mudita,
I Gusti Ngurah Putu Tenaya
1)

Rukmi Sari Hartati2)


2)

Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas


Udayana
ins.winaya@me.unud.ac.id

Abstrak

Proses co-gasifikasi fluidisasi adalah proses


pengkonversian dua bahan bakar padat atau lebih menjadi gas
mudah terbakar secara thermokimiawi dengan jumlah oksigen
yang terbatas pada unggun terfluidakan (fluidized bed). Pada
penelitian ini bahan bakar campuran yang digunakan adalah
sampah kota yang merupakan produk buangan masyarakat
setiap hari. Dalam penelitan ini dianalisis komposisi hasil gas
gasifikasi dengan variasi 3 komposisi bahan bakar sampah dan
batubara dalam persen massa. Reaktor gasifikasi fluidized bed
yang digunakan berdiameter 96 cm dengan tinggi 162 cm dan
tebal 3 mm menggunakan bahan plat stainless steel SC 304.
Temperatur dan kondisi operasi disesuaikan untuk proses
gasifikasi pada laju alir udara yang konstan. Hasil penelitian
menunjukkan terjadi peningkatan kandungan gas CO seiring
dengan prosentase peningkatan bahan bakar sampah yang
dimasukkan.
Kata kunci: Sampah, batubara, gasifikasi, fluidized bed

I. PENDAHULUAN
Gasifikasi merupakan suatu proses thermokimia yang
mengubah bahan bakar menjadi gas produser (mampu bakar)
dengan memakai jumlah udara yang terbatas. Gas produser
yang dihasilkan seperti (CO) karbon monoksida, (H2)
hydrogen, (CH4) metana yang mampu dimanfaatkan untuk
pembangkit energy termal. Pengkonversian dua jenis bahan
bakar padat (co-gasifikasi) pada sebuah unggun terfluidakan
(fluidized bed) dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas
(nilai kalor) dari biomassa sampah kota yang akan digunakan
dan mengurangi dampak negatif pencemaran lingkungan yang
ditimbulkan. Kandungan zat mudah terbakar (volatile matter)
yang tinggi pada bahan bakar sampah mempunyai keuntungan
yaitu sifatnya yang mudah terbakar, tetapi berpotensi
menghasilkan gas NOx akibat pembakaran berlangsung cepat.
Disisi lain penggunaan batubara sebagai bahan bakar padat
sudah banyak diaplikasikan karena mempunyai nilai kalor
tinggi dan kandungan sulfur, nitrogen serta abu dalam jumlah
besar menghasilkan gas asap yang mengandung polutan tinggi
[1].
Co-gasifikasi limbah sampah dan batubara
diharapkan mampu meningkatkan kualitas bahan bakar
terutama limbah sampah kota sehingga mencegah terjadinya
perbedaan temperatur disembarang titik. Komposisi bahan
bakar batubara dan sampah pada co-gasification fluidized bed
yang optimal sangat diperlukan sebagai parameter untuk

Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik Universitas


Udayana
rshartati@ee.unud.ac.id

mengembangkan sistem gasifikasi khususnya untuk bahan


bakar sampah, sehingga bisa menjadi teknologi terapan.
Penelitian ini mengacu pada pengaruh komposisi
(persen massa) campuran bahan bakar sampah kota dan
batubara pada sistem co-gasification fluidized bed terhadap
distribusi temperatur dan gas produser yang dihasilkan.
II. DASAR TEORI
A. Proses Gasifikasi
Gasifikasi adalah proses yang merubah biomassa menjadi
gas yang dapat dibakar secara umum, dimana udara yang
diperlukan lebih rendah dari udara yang digunakan untuk
proses pembakaran [2]. Proses gasifikasi melibatkan empat
tahapan proses berupa drying, pyrolisis, oksidasi parsial dan
reduksi.
Pengeringan (drying) pada kandungan air dalam
wujud cair berubah menjadi uap air yang berwujud
gas akibat proses pemanasan.

H2O(cair)H2O(gas)
Pirolisis/devolatisasi adalah terjadi pada suhu 150o
sampai dengan 800oC (Surjosatyo dan Vidian, 2004).
Untuk gasifikasi biomassa, pirolisis dapat di
reprentasikan sebagai:
Bahan bakar panasChar + Volatil

Oksidasi/pembakaran adalah
pembakaran arang
merupakan reaksi terpenting yang terjadi di gaterjadi
pada suhu 800oC sampai dengan 1400oC (Surjosatyo
dan Vidian, 2004). Reaksi yang terjadi pada proses
pembakaran adalah:
C + 1/2 O2 CO +110.7 KJ/mol
C + O2 CO2 + 393.77 KJ/mol
H2 + 1/2 O2 H2O + 742 KJ/mol
CO + 1/2 O2 CO2 + 283 KJ/mol

Reduksi/gasifikasi adalah terjadi pada suhu 600oC


sampai dengan 900oC [4]. Produk yang dihasilkan
pada proses ini adalah gas terbakar, seperti H2, CO
dan CH4.

B. Jenis Gasifikasi

Energi I-131

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem Manufaktur dan Energi

Saat ini terdapat 3 (tiga) jenis utama reaktor gasifikasi


yaitu reaktor unggun tetap (fixed bed), reaktor unggun
terfluidakan (fluidized bed) dan reaktor entrained flow. Ketiga
jenis reaktor tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan
masing-masing yang akan diuraikan pada sub bab berikutnya.
Updraft Gasifier
Pada gasifier jenis ini, udara masuk melalui bawah
gasifier melalui grate. Aliran udara ini berlawanan
arah (counter current) dengan aliran bahan bakar
yang masuk dari bagian atas gasifier. Gas produser
yang dihasilkan keluar melalui bagian atas gasifier
sedangkan abu diambil pada bagian bawah gasifier.
Reaksi pembakaran pada gasifier ini terjadi di dekat
grate kemudian diikuti reaksi kemudian diikuti reaksi
reduksi (proses gasifikasi).
Kekurangan updraft gasifier adalah tingginya jumlah
uap tar yang terkandung didalam gas keluaran dan
kemampuan gas produser membawa muatan rendah.
Sedangkan keuntungan pemakaian updraft gasifier
adalah mekanismenya sederhana, arang (charcoal)
habis terbakar, suhu keluaran rendah dan efisiensi
tinggi.

Gambar 2. Downdraft Gasifier [5]

Crossdraft Gasifier
Crossdraft gasifier merupakan jenis gasifier yang
khusus dirancang untuk arang (charcoal). Gasifier
jenis ini hanya ditujukan untuk arang kualitas tinggi,
temperatur gas keluaran gasifier tinggi, CO2 yang
tereduksi rendah dan kecepatan gas tinggi. Hal ini
disebabkan oleh design crossdraft gasifier
penyimpanan
abu,
zona
pembakaran
dan
reduksiannya terpisah. Desain
seperti ini
menyebabkan jenis bahan bakar yang dapat
digunakan terbatas hanya berkadar abu rendah.
Gasifier jenis ini beroperasi baik pada aliran udara
dan bahan bakar yang kering dan cocok dioperasikan
pada skala kecil.

Gambar 1. Updraft Gasifier

Downdraft Gasifier
Pada downdraft gasifier, udara dimasukkan ke dalam
aliran bahan bakar padat (packed bed) pada atau di
atas zona oksidasi. Aliran udara ini searah (cocurrent) dengan aliran bahan bakar yang masuk ke
dalam gasifier. Bahan bakar dimasukkan pada bagian
atas gasifier
Kekurangan yang dimiliki gasifier jenis ini adalah
rendahnya efisiensi keseluruhan akibat rendahnya
pertukaran panas dalam sistem dan kesulitan dalam
menangani kelembaban dan kadar abu yang tinggi.
Sedangkan
kelebihan
nya
kemungkinan
menghasilkan gas bebas tar sehingga masalah
lingkungan yang ditimbulkan lebih kecil, perolehan
tar dan minyak yang dihasilkan lebih sedikit sehingga
sangat sesuai untuk mesin pembakaran dalam, ketel
dan turbin.

Gambar 3. Crossdraft Gasifier[5]

C. Parameter Gasifikasi Fluidized bed


Menurut [3] parameter penting yang harus diperhatikan
dalam proses gasifikasi, yaitu :
Temperatur Gasifikasi
Temperatur tinggi pada proses memberikan
keuntungan untuk menguapkan kadungan air dalam
batubara dan sampah agar menghasilkan gas yang
bersih.
Fuel Consumtion Rate (FCR)
FCR adalah laju konsumsi bahan bakar, laju bahan
bakar biomassa yang dibutuhkan pada proses
gasifikasi dapat dihitung dengan menggunakan
rumus:
FCR =

Energi I-132

(kg/dt)

Menghitung air fuel rate (AFR)

(1)

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem Manufaktur dan Energi

AFR mengacu pada kapasitas aliran udara yang


dibutuhkan untuk proses gasifikasi.
.
.
AFR =
(2)
Dimana:
= Massa jenis udara (1,25 kg/m3)
= Rasio ekuivalensi (0,3-0,4)
SA = Udara stoikiometri dari bahan bakar
III. METODE PENELITIAN
Gambar 5. Bahan bakar sampah dan batubara

A. Deskripsi Alat
Sebuah reaktor dengan diameter 96 cm dan tinggi 162 cm
terbuat dari baja stainless steel SC304. Plat distributor berada
di bagian bawah dengan motor penggerak mekanis. Fuel
feeder type screw untuk memasukkan bahan bakar kedalam
reaktor. Media hamparan pasir silica dengan aliran udara
fluidisasi konstan menggunakan blower. Komposisi campuran
batubara dan sampah kota berdasarkan persentase massa
dengan berat bahan bakar 20 kg. Penelitian ini melibatkan 3
porsentase perbandingan komposisi massa sampah kotabatubara; 50-50 (I), 60-40(II), 70-30(III). Skema reaktor
fluidized bed gasification dapat dilihat seperti gambar berikut:

C. Tahapan Pengujian
Pemanasan reaktor pada temperatur operasi (600oC)
dengan sistem pemanasan eksternal menggunakan burner oil.
Temperatur dari setiap ketinggian pada dinding reaktor (T1,
T2, T3, T4) diamati melalui termokopel yang dihubungkan
dengan sebuah data logger untuk proses data secara digital.
Setelah mencapai temperatur operasi maka burner dimatikan
dan bahan bakar dimasukkan melalui fuel feeder. Laju udara
fluidisasi konstan dialirkan dari sebuah unit blower dan mulai
dilakukan pencatatan data serta pengambilan sampel gas.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kandungan dari gas proses gasifikasi dianalisa Gas
Chromatography. Sedangkan, hasil pengamatan berupa
pencatatan waktu penyalaan, waktu operasi, waktu mulai
nyala dapat dilihat seperti Tabel 1 di bawah ini:
Tabel1. Data hasil pengujian komposisi limbah sampah-batubara

Blower
Fuel feeder
Gear rasio
Dinamo motor
Burner
Material hamparan

Waktu
Mulai Nyala
(detik)

Waktu
Operasi
(detik)

Massa
Penelitian
(kg)

50- 50

900

2400

20

60-40

780

1800

20

70-30

600

1200

20

Dari Tabel 1 terlihat bahwa dengan bertambahnya


komposisi biomassa yang mempunyai zat volatile (mudah
terbakar) yang tinggi menyebabkan bahan bakar lebih reaktif
sehingga waktu penyalaan menjadi semakin singkat. Tetapi
waktu operasi juga mengalami penurunan yang berarti bahan
bakar semakin cepat habis terbakar dengan meningkatnya
konsentrasi biomassa didalam bahan bakar.

Gambar 4. Skema Reaktor Gasifikasi Fluidized Bed

Ket:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Limbah sampahbatubara
(% massa)

7. Plat distributor
8. Cyclone
9. Safety valve
10. Water tank
11. Gate valve

B. Bahan Penelitian
Sampel sampah kota diambil secara acak pada Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) Suwung. Batubara jenis bituminous
dibentuk dengan ukuran seragam untuk memudahkan proses
pencampuran.

Energi I-133

700

60.000

600

50.000

FCR (kg/jam)

Temperatur (0C)

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem Manufaktur dan Energi

500
400
300

T1

200

T2

100

T3

T4

51.515

40.000
31.037

30.000
22.388

20.000
0.000
I

Waktu (menit)

Gambar 6.

FCRa

10.000
II

III

komposisi campuran

Grafik distribusi temperatur untuk komposisi 50% sampah50% batubara;

Gambar 9. Grafik Hubungan Pengaruh Variasi Komposisi Terhadap Laju


Komsumsi Bahan Bakar (FCRa)

Kandungan Dalam % volume

Dari Gambar 6 dapat dilihat temperature untuk T1


adalah 600 C, T2 500 C, T3 470C dan T4 350 C. Dimana
untuk temperatur T1 berada paling bawah sehingga dekat
dengan area hamparan yang merupakan zona pembakaran
sehingga memiliki temperatur paling tinggi.
40
35
30
25
20
CO2

15

CO

10
5
0
I

II

III

komposisi campuran

Gambar 8.

Pada grafik di atas dapat dilihat bahwa untuk


campuran batubara dan sampah FCRa akan meningkat. Pada
komposisi campuran I FCRa sebesar 22,388 kg/jam, pada
komposisi campuran II FCRa meningkat menjadi 31,037
kg/jam, pada komposisi campuran III FCRa-nya meningkat
menjadi 51,515 kg/jam. FCRa tertinggi dihasilkan pada
komposisi campuran III. Bila diartikan semakin besar FCR
nya maka semakin banyak bahan bakar yang dikonsumsi
dalam waktu yang sama.
Dari perhitungan efisiensi () bahan bakar, maka
dapat dianalisis perbandingan variasi komposisi bahan bakar
terhadap efisiensi bahan bakar yang ditunjukkan pada Gambar
10.

Grafik hubungan komposisi campuran terhadap gas CO dan


CO2 pada gasifikasi fluidized bed.

Dengan meningkatnya komposisi biomassa pada


campuran bahan bakar maka gas mampu bakar (CO)
meningkat. Persentase tertinggi yaitu 17,15 % pada campuran
III. Sedangkan pada kadar CO2 campuran I dan II terjadi
sedikit peningkatan namun pada campuran III terjadi
penurunan. Ini disebabkan bahwa pada proses gasifikasi gas
CO2 pada suhu yang tinggi akan bereaksi dengan karbon (C)
dan menghasilka gas CO, sehingga dapat dilihat bahwa
kandungan CO2 dari komposisi campuran I ke komposisi
campuran III menurun.
Pada saat penelitian dengan variasi komposisi yang
beda didapat waktu operasi yang berbeda beda sehingga
berpengaruh terhadap laju konsumsi bahan bakar (FCR).
Gambar 9 di bawah ini menunjukkan hubungan antara
komposisi campuran terhadap laju konsumsi bahan bakar
aktual (FCRa).

86
84
82
80
78
76
74
72
70

77.5
75

variasi I
Gambar 10

85

efisiensi

variasi II

variasi III

Grafik perbandingan variasi komposisi bahan bakar


terhadap efisiensi () bahan bakar

Berdasarkan grafik di atas, dapat disimpulkan bahwa


variasi III dengan persentase komposisi sampah yang lebih
banyak menghasilkan efisiensi bahan bakar yang lebih baik,
hal ini dipengaruhi oleh kandungan volatile yang tinggi pada
bahan bakar sampah, sehingga menghasilkan berat arang yang
lebih sedikit dibandingkan variasi I dan II.

Energi I-134

V. KESIMPULAN

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem Manufaktur dan Energi

Dari penelitian yang telah dilakukan pada co-gasification


fluidized bed dengan perbandingan komposisi bahan bakar
maka dapat disimpulkan :
Waktu penyalaan menjadi lebih singkat dengan peningkatan persentase limbah sampah dalam campuran bahan
bakar. Waktu operasi juga mengalami penurunan yang berarti bahan bakar lebih cepat habis terbakar dengan
penambahan jumlah bahan bakar biomassa.
Peningkatan gas CO dihasilkan seiring dengan peningkatan persentase limbah sampah yang dimasukkan dimana
persentase tertinggi yaitu sebesar 17,15% didapat pada
campuran III.
Dengan persentase sampah yang lebih banyak dibanding
dengan batubara pada penelitian, maka performansi gasifier yang berupa Fuel Consumption Rate (FCR) dan
efisiensi bahan bakar gasifikasi akan semakin baik.
Variasi komposisi persentase sampah lebih banyak
dibanding dengan batubara juga memiliki pengaruh terhadap waktu operasi, waktu mulai nyala, dan waktu penyalaan. Waktu operasi dari komposisi campuran I,II dan
III menjadi lebih cepat. Begitu juga waktu mulai nyala
menjadi lebih cepat.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya para peneliti
ucapakan kepada Pejabat Pembuat Komitmen Deputi Bidang
Relevansi dan Produktivitas Iptek Kementerian Riset dan
Teknologi, atas dana hibah yang diberikan untuk
melaksanakan
penelitian
sesuai
No.
Kontrak:
47/SEK/INSINAS/PPK/I/2014.

DAFTAR PUSTAKA
[1] Mirmanto. 2008. Nilai Kalor Sampah Hasil Produksi
Masyarakat Kota Mataram. Mataram: Universitas Mataram
[2] Grabowski P. 2004. Biomass Thermochemical Conversion OBP
Efforts. Office of the Biomass Program. Washington D.C: US
Department of Energy. Energy Efficiency and Renewable
Energy.
[3] Belino, A.T., (2005), Rice Huck Stove, Department of
Agricultural Engineering and Environmental Management,
Central Philippine University: Iolio City
[4] Suryosatyo A. dan Vidian F. 2004 Studi Co-Gasifikasi Tandan
Kosong dan Tempurung kelapa sawit menggunakan Gasifier
Aliran ke bawah. Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Kimia
dan Proses, C-1-1 s/d C-1-6, ISSN: 1411-4216. Semarang.
[5] Robert manuriung, MS Roa (1981) Gasifier Unggun Tetap
Aliran Kebawah Lontar.Ui.ac.id/fire?=digital/125517-r020850Pengembangan % 20 dan % 20 Studi-literatur.pdf.

Energi I-135

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

Analisa Performansi Kolektor Surya Pelat Datar


Dengan Penempatan Sirip Berbentuk Segitiga Yang
Dipasang Secara Aligned
Nengah Suarnadwipa, Rangga Iswara
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik, Universitas
Udayana
Badung, Indonesia.
nengah.swarnadwipa@me.unud.ac.id

Ketut Astawa
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik, Universitas
Udayana
Badung, Indonesia.
awatsa@yahoo.com

Abstract Kolektor surya adalah sebuah alat yang berfungsi


untuk mengumpulkan radiasi matahari dan mengubahnya
menjadi energi kalor yang berguna. Kolektor surya pada
umumnya, menggunakan laju aliran massa udara yang secara
paralel melewati pelat penyerap. Udara yang masuk inlet akan
melewati pelat penyerap dan langsung keluar melalui outlet.
Dengan melakukan modifikasi yang diharapkan dapat
meningkatkan efisiensi dari kolektor surya ini yaitu dengan
menambahkan sirip berbentuk segitiga yang disusun secara
aligned yang ditempatkan pada bagian atas pelat penyerap,
sehingga akan terjadi aliran udara secara torbulen di dalam
kolektor. Penelitian ini dilakukan secara eksperimen dengan
variabel bebasnya adalah intensitas radiasi matahari dan
variabel terikatnya adalah energi berguna dan efisiensi kolektor
surya pelat datar. Data diukur dengan mengunakan analisa
matematis. Dengan penambahan sirip segitiga ini juga dapat
memperluas daerah penyerapan panas pada pelat penyerap
kolektor surya yang secara langsung memperluas permukaan
perpindahan panas dari pelat penyerap ke fluida kerja yang
nantinya diharapkan mampu menghasilkan temperatur keluar
kolektor yang lebih tinggi dan lebih efisien. Dari hasil
pembahasan penempatan sirip berbentuk segitiga pada kolektor
surya pelat datar yang dipasang secara aligned menghasilkan
energi berguna dan efisiensi yang lebih besar dibandingkan
dengan kolektor surya tanpa sirip. Dilihat dari rata-rata
hariannya energi berguna untuk kolektor bersirip aligned adalah
153.01 Watt dan untuk kolektor tanpa sirip 148.83 Watt,
sedangkan untuk efesiensinya pada kolektor surya bersirip
aligned adalah 37.94% dan untuk kolektor tanpa sirip 36.17 %.

Kata kunci : kolektor surya pelat data , sirip segitiga aligne ,


performansi kolektor

I. PENDAHULUAN
Energi matahari merupakan salah satu sumber energi
alternatif yang sangat mudah diperoleh di Indonesia bahkan
dianggap gratis, karena Indonesia merupakan negara yang
terletak di daerah khatulistiwa. Pemanfaatan energi surya
sudah lama dilakukan oleh masyarakat Indonesia baik untuk
pengeringan pakaian, kayu, dan hasil pertanian. Namun
pemanfaatan dari energi matahari ini tidak dilakukan secara
optimal. Sebagai contoh adalah pengeringan gabah yang mana

hanya diletakkan pada sebuah areal yang luas dan


membutuhkan
waktu
yang
cukup
lama
untuk
mengeringkannya. Oleh karena itu perlu dilakukan sebuah
penelitian agar energi matahari yang ada ini dapat
dimanfaatkan dengan semaksimal mungkin. Kolektor surya
adalah sebuah alat yang berfungsi untuk mengumpulkan
radiasi matahari dan mengubahnya menjadi energi kalor yang
berguna. Kolektor surya pada umumnya, menggunakan laju
aliran massa udara yang secara paralel melewati pelat
penyerap. Udara yang masuk inlet akan melewati pelat
penyerap dan langsung keluar melalui outlet. Ada beberapa
tipe kolektor surya, salah satu diantaranya yang sudah banyak
dikenal adalah kolektor surya pelat datar. Jenis kolektor ini
menggunakan pelat berupa lembaran, dimana untuk
mendapatkan hasil yang optimal permukaan kolektor dicat
dengan warna hitam doff yang berfungsi untuk menyerap
radiasi matahari yang datang dan mentransfer kalor yang
diterima tersebut ke fluida kerja. Untuk menjaga agar tidak
terjadi kerugian panas kelingkungan, maka digunakan penutup
transparan sehingga terjadi efek rumah kaca sedangkan pada
bagian bawah dan samping pelat kolektor diberikan isolasi.
Namun kolektor surya dengan menggunakan pelat datar ini
belum sempurna sehingga perlu dilakukan modifikasi untuk
mengoptimalkannya. Berdasarkan hal tersebut banyak peneliti
telah memodifikasi dan mengembangkan kolektor surya,
seperti yang sudah dilakukan oleh Dhanu Wijaya (2009) yang
meneliti kolektor surya pelat datar bersirip dengan aliran diatas
pelat penyerap, Adi Sucipta (2009) yang meneliti kolektor
surya pelat datar bersirip dengan aliran dibawah pelat
penyerap. Berbekal dari Journal of Food Engineering (A.
Abene 2004) dan penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya,
maka pada penelitian ini akan dilakukan modifikasi yang
diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dari kolektor surya ini
yaitu dengan menambahkan sirip berbentuk segitiga yang
disusun secara aligned yang mengarah keatas pada bagian atas
pelat penyerap, sehingga akan terjadi aliran udara secara
turbulen di dalam kolektor. Dengan penambahan sirip segitiga
ini juga dapat memperluas daerah penyerapan panas pada pelat
penyerap kolektor surya yang secara langsung memperluas
permukaan perpindahan panas (heat transfer) dari pelat
penyerap ke fluida kerja yang nantinya diharapkan mampu

Energi III-136

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

mengahsilkan termperatur keluar kolektor yang lebih tinggi


dan lebih efisien
II. LANDASAN TEORI
A. Pengertian Energi
Energi dalam pengetahuan teknologi dan fisika dapat
diartikan sebagai kemampuan melakukan kerja. Energi di
dalam alam adalah suatu besaran yang kekal (hukum
termodinamika I). Energi tidak dapat diciptakan dan tidak
dapat dimusnahkan, tetapi dapat dikonversikan/berubah dari
bentuk energi yang satu ke bentuk energi yang lain. Perubahan
bentuk energi ini disebut konversi. Sedangkan perpindahan
energi disebabkan adanya perbedaan temperatur yang disebut
kalor. Energi juga dapat dipindahkan dari suatu sistem ke
sistem yang lain melalui gaya yang mengakibatkan pergeseran
posisi benda. Transfer energi ini adalah kemampuan suatu
sistem untuk menghasilkan suatu kerja yang pengaruh/berguna
bagi kebutuhan manusia secara positif.
Perpindahan panas atau heat transfer adalah ilmu yang
meramalkan perpindahan energi yang terjdi karena adanya
perbedaan temperatur, dimana energi yang berpindah tersebut
dinamakan kalor atau panas (heat). Panas akan berpindah dari
medium yang bertemperatur lebih tinggi ke medium yang
temperaturnya lebih rendah. Perpindahan panas ini
berlangsung terus sampai ada kesetimbangan temperatur
diantara kedua medium tersebut. Mekanisme perpindahan
panas dapat terjadi melalui tiga mekanisme yaitu perindahan
panas terjadi secara konduksi, konveksi dan radiasi.
B. Radiasi Matahari
Bila energi radiasi menimpa permukaan suatu media, maka
sebagian energi radiasi tersebut akan di pantulkan
(reflections), sebagian akan diserap (absorptions), dan
sebagian lagi akan diteruskan (transmitions).
Radiasi

Gambar 2. Kolektor Surya Pelat Datar

1.

2.

3.

Penutup transparan
Penutup transparan di harapkan memiliki sifat
transmisivitas yang tinggi dan sifat absorsivitas serta
refleksivitas serendah mungkin.
Pelat penyerap
Pelat penyerap yang ideal memiliki permukaan
dengan tingkat absorsivitas yang tinggi guna
menyerap radiasi matahari sebanyak mungkin dan
tingkat emisivitas yang serendah mungkin agar
kerugian panas karena radiasi balik sekecil mungkin
disamping itu pelat penyerap diharapkan memiliki
konduktivitas thermal (K) yang tinggi.
Isolasi
Merupakan material dengan sifat konduktivitas
termal (K) rendah, dipergunakan untuk menghindari
terjadinya kehilangan panas kelingkungan.

D. Radiasi yang Diserap Kolektor Surya


Proses penyerapan radiasi matahari oleh kolektor
akan diperlihatkan pada Gambar 3.
Radiasi
matahari

Refleksi

Penutup
transparan
(kaca)

Refleksivitas

()
(1-)

Absorsivitas

()
Pelat
Penyerap

Transmisivitas

(1-)
d

(Sumber : Bejan 1993, halaman 507)


Gambar 1 Radiasi Matahari

Fraksi yang dipantulkan dinamakan refleksivitas (), fraksi


yang diserap dinamakan absorsivitas (), dan fraksi yang
diteruskan dinamakan transmisivitas ().
Pada media bening seperti kaca atau media transparan lainnya,
maka :
++=1
transmisivitas dianggap nol, sehingga:
+ =1
C. Kolektor Pelat Datar
Bagian-Bagian Penting Kolektor Surya Pelat Datar

Gambar 3 Penyerapan radiasi matahari kolektor surya

Dari energi yang menimpa masuk kolektor, maka ( )


adalah energi yang diserap oleh pelat penyerap, dan sebesar
(1-) dipantulkan menuju penutup. Pantulan yang mengenai
penutup tersebut merupakan radiasi hambur, sehingga energi
yang sebesar (1-) d kemudian dipantulkan kembali oleh
penutup menuju pelat penyerap. Proses pemantulan tersebut
akan berulang terus.
E. Efisiensi Kolektor Pemanas Udara Tenaga Matahari

Energi III-137

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

Pengukuran performansi kolektor adalah efisiensi


pengumpulannya (collection efficiency), yang didefinisikan
sebagai rasio penambahan energi berguna (Qu) selama periode
waktu tertentu terhadap energi matahari yang menimpanya
selama periode waktu yang sama. Untuk efisiensi aktual,
,
dapat dihitung dengan persamaan:

Qu, a
Ac.It

Untuk perhitungan efisiensi aktual didasarkan pada energi


berguna aktualnya, dapat dihitung dengan pendekatan
persamaan:

Dimana :
= energi berguna kolektor sebenarnya tiap
satuan luas (W/m2)

= laju aliran massa fluida (Kg/s)


= panas jenis fluida (J/Kg.K), nilai
dari
properties
berdasarkan temperatur ( T film

It

III. METODE PENELITIAN


A. Rancangan Penelitian
Kolektor surya pelat datar dengan pelat penyerap
berbentuk sirip segitiga ini hampir sama kontruksinya dengan
kolektor surya pelat datar, yaitu terdiri dari cover transparan,
pelat penyerap, isolasi. Hanya saja pada kolektor surya ini
ditambahkan sirip pada bagian bawah penyerap. Pada kolektor
ini juga terdapat dua saluran udara yaitu saluran untuk udara
mengalir (fluida kerja) dan saluran untuk udara yang
dikondisikan diam seperti Gambar 3.5
Kondisi udara mengalir berada di bawah pelat
penyerap,sedangkan untuk kondisi udara diam berada di atas
udara mengalir, yaitu di antara pelat penyerap dengan
permukaan pelat atas. Setelah ditentukan dimensi dari kedua
kolektor, maka selanjutnya dibuat sebuah rancangan kolektor,
yaitu kolektor dengan peletakan sirip yang berada dibawah
pelat penyerap.
Pada penelitian ini menggunakan pelat penyerap
bersirip,beberbentuk segitiga sama kaki dengan lebar W= 0.1
m, dan tinggi sirip t= 0.1 m. Pelat dan sirip ini terbuat dari
bahan yang sama sehingga memiliki sifat fisik yang sama.

didapat
fluida

To Ti
)
2

= Intensitas radiasi matahari yang menimpakolektor


(W/m2)
= temperatur fluida masuk (K).
= temperatur fluida keluar (K).

Gambar 4 Konstruksi Kolektor Surya

F. Sirip (Fin)
Istilah permukaan yang diperluas secara umum
digunakan pada benda padat yang mengalami transfer energi
melalui konduksi sesuai kondisi batasnya dan transfer energi
yang sama akan dilakukan kelingkungannya melalui konveksi
dan/atau radiasi.
Untuk meningkatkan laju perpindahan dapat
dilakukan dengan menambah luas penampang permukaan,
dimana konveksi terjadi. Cara ini dapat dilakukan dengan
menggunakan sirip yang meluas dari permukaan media padat
ke dalam fluida yang berada di sekelilingnya, salah satunya
adalah sirip berbentuk segitiga, seperti pda Gambar 2.5.

Gambar 3. Sirip berbentuk segitiga


(Sumber : A. Abene 2003)

B. Prosedur Pengujian
Prosedur yang dilakukan selama pengujian adalah :
1. Pengujian dilakukan pada Pk 9.00 Pk 18.00
2. Selang waktu pengambilan data dilakukan setiap
10 menit sekali
3. Blower dijalankan untuk mengalirkan udara
sebagai fluida kerja kedalam kolektor
4. Atur katup untuk memperoleh laju aliran massa
yang sama, dengan cara mengukur tekanan udara
masing-masing
kolektor.dimana
besarnya
tekanan akan ditunjukan oleh kenaikan fluida
pada manometer
5. Selanjutnya dilakukan pengukuran terhadap
parameter-parameter terukur, seperti temperatur

Gambar 5 Rancangan Pengujian

Gambar 5 menunjukan skematik dari alat uji ini,


dimana fluida masuk melalui blower menuju pipa bercabang

Energi III-138

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

yang menghubungkan kolektor pelat datar tanpa sirip dan


kolektor pelat datar dengan sirip, dimana sebelum masuk ke
kolektor, laju aliran massa fluida ditentukan menggunakan
manometer sebesar 0,012 kg/s, kemudian fluida akan masuk
ke dalam kolektor. Pada kolektor pelat datar tanpa sirip yang,
ketika radiasi matahari menimpa permukaan kolektor yang
kemudian ditransmisikan melalui penutup transparan dan
kemudian akan diubah menjadi energi panas oleh pelat
penyerap. Selanjutnya akan terjadi perpindahan panas dari
pelat penyerap menuju fluida yang mengalir di dalam kolektor
dan pada akhirnya temperatur fluida keluar menjadi
meningkat. Begitu juga pada kolektor pelat datar dengan sirip.
Bedanya, pada kolektor dengan sirip ini, fluida yang masuk
akan dipecah oleh susunan sirip-sirip segitiga sehingga aliran
yang terjadi di dalam kolektor adalah aliran turbulen.
Sehingga fluida keluar akan menghasilkan temperatur yang
lebih tinggi.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 7 Grafik Efisiensi kolektor surya

Dari hasil pengujian diperoleh data-data yang


digunakan untuk menentukan besarnya energi berguna dan
efisiensi kolektor. Untuk perhitungan besarnya energi berguna
baik pada kolektor tanpa sirip dan kolektor dengan sirip,
dihitung menggunakan persamaan 4 sedangkan besarnya
efisiensi kolektor dihitung menggunakan persamaan 3.
Hasil perhitungan menunjukan besarnya energi berguna
yaitu pada kolektor surya dengan sirip adalah sebesar 229,7 W
sedangkan energy berguna dari kolektor tanpa sirip besarnya
108,8 W. Efisiensi untuk kolektor surya dengan sirip sebesar
40,6 % sedangkan efisiensi untuk kolektor tanpa sirip sebesar
19,23 %
Hasil dari performansi kolektor yang diperoleh dapat
dilihat seperti pada grafik di bawah.

Gambar 7 diatas dapat dilihat bahwa efisiensi rata-rata pada


kolektor surya pelat datar bersirip memiliki efisiensi yang lebih
tinggi dibandingkan dengan kolektor tanpa sirip Hal ini
dikarenakan kolektor surya pelat datar bersirip berbentuk
segitiga mampu menyerap panas yang lebih banyak ketika
intensitas matahari tinggi.
V. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan dapat
disimpulkan bahwa secara kuantatif dengan penambahan pelat
berbentuk segitiga yang disusun secara aligned energi
bergunanya yang lebih tinggi yaitu sebesar 153.01 watt
daripada kolektor surya pelat datar tanpa sirip sebesar 148.83
watt, secara kualitatif penambahan sirip berbentuk segitiga
dapat memperluas penyerapan perpindahan panas ke fluida
kerja sehingga untuk efesiensinya pada kolektor surya bersirip
aligned adalah 37.94% lebih tinggi dibandingkan dengan
kolektor tanpa sirip sebesar 36.17% .
REFERENCES
[1]

[2]

[3]

[4]

Gambar 6 Grafik perolehan Energi berguna

Pada gambar 6 dapat dilihat bahwa energi berguna (Qu)


rata-rata kolektor surya pelat datar bersirip lebih tinggi di
bandingkan dengan energi berguna pada kolektor tanpa sirip
itu di karenakan luas bidang penyerapan panasnya lebih luas.

[5]

A. Abene *, V. Dubois, M. Le Ray, A. Ouagued, 2003,


Study of a solar air flat plate collector: use of obstacles
and application for the drying of grape
AgusWijayaPutra, I Made (2013), Analisa Performansi
Kolektor Surya Turbular Dengan Variasi Posisi Pipa
Penyerap yang Disusun Secara Seri dengan
Menggunakan Pasir sebagai Media Penyimpan Panas,
Teknik Mesin Udayana, Bali
Anthalano, Ali, (2008), Studi Eksperimen Unjuk Kerja
Kolektor Surya Dengan Penambahan Plat Square
honeycomb.
DhanuWijaya, I Made., (2009), Analisa Performa
Kolektor Surya Pelat Datar Bersirip dengan Aliran di
Atas dan di Bawah Pelat Penyerap, Teknik Mesin
Udayana, Bali
Duffie, J. A., and Backman, W. A., (1991), Solar
Engginering of Thermal Processes, 2nd ed. John Wiley &
Sons, Inc, New York

Energi III-139

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

[6] Incropera and Dewit, (1996), Fundamentals of Heat and


Mass transfer, Jhon Wiley & Sons, Inc, New York
[7] Ismantoalpha, 2009, Macam-macam Kolektor Surya,
Available
from:
http://ismantoalpha.blogspot.com/2009/12/macammacam-kolektor-surya.html, Accesed: 1 Desember 2013
[8] Jansen, Ted J. alih bahasa oleh Prof. Wiranto
Arismunandar, (1995), Teknologi Rekayasa Surya, PT.
Pradnya Paramita, Jakarta
[9] Strukmann, Fabio, (2008), Analysis of a Flat-plate Solar
Collector, Dept. Of Energy ciences, Faculty of

Engineering, Lund University, Box 118, 22100 Lund,


Sweden
[10] Suardamana, I Made (2009), Analisa Performa Kolektor
Surya Pelat Datar dengan Variasi Panjang Sirip Sebagai
Pelat Penyerap, Teknik Mesin Udayana, Bali
[11] WawanDarmawan,IPutu,(2006),VisualisasiAliranFluida
Melintasi Airfoil padaVariasiSudutSerangdanBilangan
Reynolds, Skripsi Program StudiTeknik Mesin Udayana,
Bali

Energi III-140

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

Variasi Konfigurasi Jarak dan Jumlah Sekat Heat


exchanger Terhadap Kinerja Pada Mesin Pendingin
Tipe Cascade
Reyhan Kiay Demak , Muhammad Hasan Basri , Muhammad Taqwa
Jurusan Teknik Mesin Universitas Tadulako,
Palu, Indonesia
Reyhan_kade@yahoo.com
Abstrak, Mesin pendingin tipe cascade adalah mesin
pendingin siklus kompresi uap tunggal yang disusun secara
seri menggunakan sebuah heat exchanger yang berfungsi
sebagai evaporator pada sisi high stage dan kondensor pada sisi
low stage, sebuah studi termodinamika menyatakan bahwa
COP maksimum akan diperoleh pada alat penukar kalor
dengan beda temperatur seminimal mungkin [1], oleh karena
itu pada penilitian ini akan dilakukan eksperimen dengan
memvariasikan jarak dan jumlah sekat pada heat exchanger
tipe shell and tube untuk mengetahui pengaruh variasi tersebut
terhadap kinerja mesin refrigerasi tipe cascade dengan
pasangan refrigeran R134A dan R410A.
Penelitian akan dilakukan di Laboratorium Teknik
Pendingin Jurusan
Mesin Fakultas Teknik Universitas
Tadulako. Metode eksperimen yang dilakukan adalah dengan
membandingkan 3 variasi jarak dan sekat (HE1: Jumlah sekat
7, jarak 4.5 cm; HE2: jumlah sekat 9, jarak 3.6 cm; HE3:
jumlah sekat 12, jarak 3 cm) pada heat exchanger dengan
jumlah tube dan luas permukaan tube yang sama.
Hasil penelitian menunjukan bahwa dari ketiga
variasi tersebut tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada
COP dari mesin refrigerasi system cascade baik pada sisi high
stage maupun low stage, akan tetapi variasi heat exchanger
berpengaruh terhadap temperatur keluar kondensor dan
temperatur evaporasi yang dapat dicapai pada sisi low stage
dimana rata-rata temperatur keluar kondensor untuk ketiga
HE adalah 7.6 oC (HE1), 3.6 oC (HE2) dan 2.4 oC (HE3),
sedangkan temperatur evaporasi rata-rata yang dapat dicapai
-45.9 oC (HE1), -50.3 oC (HE2) dan -51.4 oC (HE3).

Kata kunci : Mesin Pendingin, Cascade, Heat exchanger,


Jarak Sekat, Jumlah Sekat, COP.
I. PENDAHULUAN
Mesin refrigerasi khususnya siklus kompresi uap
merupakan perangkat refrigerasi yang paling umum
digunakan dalam kehidupan sehari-hari maupun kebutuhan
industri, mesin refrigerasi dengan temperatur evaporasi yang
rendah umumnya dimanfaatkan untuk proses pengawetan
makanan dan penyimpanan obat-obatan. Contohnya pada
temperatur storage -40 oC dapat digunakan untuk
menyimpan ikan cod dalam jangka waktu panjang dan pada
temperatur -30 oC cukup untuk digunakan menyimpan ikan
cod dibawah 12 bulan [2]. Untuk mencapai temperatur
evaporasi yang rendah dengan menggunakan siklus tunggal
dibutuhkan rasio kompresi yang cukup tinggi, kondisi ini
akan menurunkan efisiensi kerja dari kompresor, oleh
karena itu untuk mencapai perbedaan tekanan yang cukup

besar antara sisi kondensor dan sistem refrigerasi kompresi


uap dapat disusun 2 tingkat atau lebih atau biasa dsiebut
dengan cascade refrigeration system / multi-stage
refrigeration system. Untuk kapasitas pendingin yang sama,
sistem cascade menghasilkan temperatur evaporasi,
temperatur discharge kompresor dan rasio kompresi yang
lebih rendah, dan efisiensi volumetrik kompresor yang lebih
tinggi [3] Perbandingan kinerja dan biaya pada sistem
cascade R744 dibandingkan dengan sistem tunggal dengan
refrigeran R22 dan R404A menunjukkan bahwa sistem
cascade R744 dapat menurunkan konsumsi listrik 13%
24% dibandingkan R22 dan R404A sistem Tunggal, rasio
kompresi yang lebih rendah dapat memperpanjang umur
kompresor, menurunkan jumlah refrigeran yang digunakan
dalam sistem, dan menurunkan biaya instalasi dan
perawatan [4]
Pada cascade refrigeration system variasi temperatur
pada sisi kondensor dan evaporator pada cascade heat
exchanger akan mempengaruhi COP dari sistem, dimana
peningkatan temperatur kondensor dan perbedaan
temperatur cascade kondensor akan menurunkan COP dan
peningkatan temperatur pada cascade evaporator dapat
meningkatkan kinerja sistem [1]
Jarak sekat pada shell and tube heat exchanger akan
mempengaruhi koefisien perpindahan kalor menyeluruh (U)
dan pressure drop, peningkatan jarak sekat akan
menurunkan pressure drop dan juga menurunkan koefisien
perpindahan kalor menyeluruh (U), dan sebaliknya
penurunan jarak sekat akan menaikan pressure drop dan
koefisien perpindahan kalor menyeluruh (U) [5]
Pada penelitian ini akan dilakukan eksperimen dengan
memvariasikan konfigurasi (jarak dan jumlah sekat) pada
cascade heat exchanger tipe shell and tube untuk
mengetahui pengaruh variasi tersebut terhadap kinerja
mesin refrigerasi tipe cascade dengan pasangan refrigeran
R134A dan R410A.
II. MULTI STAGE REFRIGERATION SYSTEM/CASCADE
REFRIGERATION SYSTEM
Mesin refrigerasi sistem cascade adalah gabungan dari
dua atau lebih sistem refrigerasi tunggal siklus kompresi
uap. Sebuah sistem cascade dua tingkat beroperasi dengan
dua unit kompresi uap terpisah dengan refrigeran yang

Energi III-141

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi


berbeda dan saling berhubungan di mana evaporator dari
satu sistem yang digunakan untuk melayani kondensor pada
sistem temperatur yang lebih rendah (evaporator dari
unit pertama mendinginkan kondensor dari unit kedua).
Dalam prakteknya, susunan alternatif memanfaatkan
kondensor yang sama dengan rangkaian booster untuk
menghasilkan dua temperatur evaporator terpisah [6]
Prinsip kerja mesin refrigerasi sistem cascade secara umum
sama dengan sistem tunggal siklus kompresi uap, dimana
dalam satu sistem terdapat empat perangkat utama yaitu
kompresor, kondensor, katup ekspansi dan ecaporator.
Kompresor bertugas untuk mengkompresi refrigeran dalam
fase uap jenuh/ uap lanjut menjadi uap refrigerap
superheated bertekanan tinggi, selanjutnya uap refrigeran
akan dikondensasikan pada kondensor sehingga berubah
fasa menjadi cair jenuh pada kondisi tekanan konstan, cairan
refrigeran selanjutnya akan diekspansikan secara isentalpik
pada katup ekspansi sehingga tekanan dan temperaturnya
turun dan refrigeran masuk kedalam kondisi dua fasa,
selanjutnya refrigeran akan menyerap beban kalor pada
evaporator sehingga berubah fasa menjadi uap jenuh/ uap
lanjut dalam kondisi tekanan konstan dan selanjutnya sistem
berulang kembali.

Gambar 2. Diagram Temperatur-Entropi dan diagram Tekanan-Entalpi


pada sistem cascade R134A-R410A. [7]

Gambar 1. Skema sederhana mesin refrigerasi sistem cascade.

Pada mesin refrigerasi sistem cascade dengan dua


tingkat seperti yang terlihat dalam gambar 1, pada sisi high
stage beban pendingin pada sisi evaporator high stage
dimanfaatkan untuk membuang kalor pada kondensor sisi
low stage. Kedua komponen (evaporator high stage dan
kondensor low stage) terangkai dalam satu perangkat heat
exchanger yang dinamakan cascade heat exchanger.

Pada Gambar 2 ditampilkan diagram temperatur-entropi


dan diagram tekanan-entalpi pada sistem cascade R134AR410A berdasarkan data eksperimen, tidak seperti sistem
cascade lainnya, pasangan refrigeran pada sistem ini
mempunyai kurva saturasi yang mirip. Pada diagram
temperatur-entropi diagram R134A terletak diatas R410A,
dan bentuknya cukup serupa pada setiap variasi kondisi.
Pada diagram tekanan-entalpi bentuknya tidak biasa
disebabkan R410A mempunyai tekanan saturasi yang yang
lebih tinggi daripada R134A, dan tekanan evaporasi dari
R134A dapat lebih rendah daripada R410A. [7]
III. ANALISIS TERMODINAMIKA
Analisa kinerja mesin refrigerasi sistem cascade pada
penelitian ini dilakukan secara termodinamika dengan
mengambil beberapa asumsi dalam sistem, data hasil
pengukuran berupa tekanan dan temperatur pada setiap titik
pengamatan selanjutnya digunakan untuk mencari nilai
entalpi pada setiap titik operasi pada sistem. Selanjutnya
data-data tersebut digunakan untuk menghitung kinerja
sistem yaitu:
a. Kerja kompresor
W Comp_LS =m LS h2 -h1
(1)
W Comp_HS =m HS h6 -h5
(2)
W total =W Comp_LS +W Comp_HS
(3)

Energi III-142

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

b.
c.
d.

e.

Laju perpindahan kalor pada kondensor


QCond_ HS =m HS h6 - h7
(4)
Laju perpindahan kalor pada evaporator
QEvap_ LS = m LS h1 - h4
(5)
Laju perpindahan kalor pada cascade heat exchanger
Dengan mengambil asumsi bahwa tidak ada kalor
yang masuk dan keluar dari cascade heat exchanger,
dan efisiensi heat exchanger 100% maka persamaan
laju perpindahan kalor pada heat exchanger dapat
ditulis sebagai berikut:
QCas_Kond_ LS = QCas_Evap_ HS
(6)
atau
m LS h2 - h3 = m HS h5 -h8
(7)

dan 322,164 cm2 secara berurutan. perbedaan untuk setiap


variasi heta exchanger hanya terletak pada jarak dan jumlah
sekat, detail dari konfigurasi heat exchanger dapat dilihat
pada tabel 1. Dan detail desain heat exchanger dapat dilihat
pada gambar 4.
Tabel 1. Variasi Konfigurasi Cascade Heat exchanger
Heat exchanger

Jumlah sekat

Jarak sekat (cm)

HE 1
HE 2
HE 3

7
9
11

4,5
3,6
3

COP (coefficient of performance)


COP =
COP =

Q Evap_ HS
W HS
Q Evap_ LS
W LS
Q Evap_ LS

=
=

W total
m LS h1 -h4

m LS h2 -h1 +m HS h6 -h5

(8)
(9)
(10)

Gambar 4. Detail Cascade Heat exchanger dengan 7 Sekat.

(11)

Penelitian dilakukan dengan cara melakukan eksperimen


dengan menggunakan ketiga variasi heat exchanger, data
berupa temperatur dan tekanan yang terukur pada
termokopel dan pressure gauge direkam setiap interval 2
menit selama 40 menit pengujian, data pengujian
selanjutnya diolah dan dianalisis secara termodinamik.

IV. METODE EKSPERIMEN


Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknik
Pendingin Jurusan Teknik Mesin Universitas Tadulako, Alat
pengujian dalam eksperimen ini dirancang dan dibangun
khusus untuk melakukan berbagai pengujian pada sistem
cascade seperti yang terlihat pada gambar 3. Pasangan
refrigeran yang digunakan pada eksperimen ini adalah
R134A pada high stage dan R410A pada low stage.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN


Kinerja Heat exchanger
Pada penelitian ini kinerja heat exchanger diamati pada
perubahan temperatur masuk dan keluar sisi kondesnor dan
sisi evaporator pada cascade heat exchanger seperti pada
Gambar 5. Dengan mengasumsikan bahwa laju aliran
refrigeran pada sisi high stage dan low stage konstan untuk
setiap variasi heat exchanger (jumlah dan jarak sekat), maka
selisih dari temperatur masuk dan keluar sisi kondensor dan
evaporator dapat dijadikan rujukan seberapa besar laju
perpindahan kalor yang terjadi pada sisi kondensor dan
evaporator pada cascade heat exchanger.

T in Cond

T out Cond

Gambar 3. Rangkaian Alat Pengujian sistem cascade R134A-R410A

Pada penelitian ini dilakukan variasi pada konfigurasi


(jarak dan jumlah sekat) cascade heat exchanger, tipe heat
exchanger yang digunakan adalah shell and tube heat
exchanger, one way pass dengan 3 buah tube dan sebuah
shell, diameter, panjang dan luas permukaan tube sama
untuk setiap variasi heat exchanger yaitu 0,475 cm, 36 cm

T out evap
T in evap

Energi III-143

Gambar 5. Profil Temperatur pada cascade heat exchanger

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi


kondensor dapat terlihat cenderung konstan sejak menit ke
10, dimana temperatur keluar kondensor rata-rata untuk
HE1, HE2 dan HE3 adalah 7.6 oC, 3.6 oC dan 2.4 oC secara
berurutan, dari data tersebut terlihat adanya hubungan antara
variasi konfigurasi heat exchanger (jumlah dan jarak sekat)
terhadap temperatur keluar kondensor pada sisi low stage,
semakin banyak jumlah sekat dan semakin kecil jarak sekat
akan mendapatkan temperatur keluar kondensor yang
semakin rendah.
90

16
14
12
10
8
6
4
2
0

80
Temperatur (oC)

delta T evap HS ( C)

Pada Gambar 6 dapat diamati selisih temperatur masuk


dan keluar pada sisi evaporator, dari grafik tersebut dapat
diamati bahwa selisih temperatur terbesar terjadi pada HE 3,
diikuti dengan HE 2 dan HE 1 dengan selisih temperatur
terendah, dengan rata-rata selisih temperatur 13.6 oC, 8.9 oC
dan 6 oC secara berurutan. Dari data tersebut dapat diamati
bahwa laju perpindahan kalor (Efek refrigerasi) pada
evaporator meningkat seiring dengan berkurangnya jarak
sekat dan bertambahnya jumlah sekat.

10

20

30

40

60
50
40
30
20

waktu (menit)
HE 1 (4,5 cm)
HE 3 ( 3 cm)

70

10
0

HE 2 (3,6 cm)

2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40
Waktu (menit)

Gambar 6. Grafik Selisih Temperatur pada sisi Evaporator pada cascade


heat exchanger terhadap waktu

To Cond HE1

Ti Cond HE2

To Cond HE2

Ti Cond HE3
To Cond HE3
Gambar 8. Grafik hubungan temperatur keluar dan masuk kondensor pada
ketiga variasi HE.

70
60
50
40
30
20
10
0
0

10

HE 1 (4,5 cm)

20
waktu (menit)
HE 2 (3,6 cm)

30

40
HE 3 ( 3 cm)

Gambar 7. Grafik Selisih Temperatur pada sisi Kondensor pada cascade


heat exchanger terhadap waktu

Pada Gambar 7 terlihat grafik hubungan selisih


temperatur pada sisi kondensor terhadap waktu, pada grafik
ini dapat diamati bahwa selisih temperatur pada HE 2 dan
HE 3 cukup berdekatan, dimana rata-rata selisih temperatur
pada HE 2 dan HE3 adalah 57.2 oC dan 55.3 oC, selisih
temperatur terbesar justru didapat pada HE 1 dengan selisih
rata-rata 63.8 oC. pada kondensor terlihat bahwa laju
perpindahan panas pada kondensor terbesar justru terjadi
pada HE dengan jarak sekat terbesar.
Pada Gambar 8 dapat diamati temperatur masuk dan
keluar kondensor pada sisi low stage, dari grafik tersebut
terlihat adanya peningkatan temperatur masuk kondensor
terhadap waktu, temperatur tertinggi terjadi pada HE1
dengan temperatur maksimal pada menit ke 40 adalah
78.7oC disusul oleh HE2 dan HE3 dengan temperatur
65.1oC dan 63.7 oC, sedangkan untuk temperatur keluar

Kinerja Mesin refrigerasi sistem cascade


Pengaruh variasi Heat exchanger terhadap Temperatur
evaporasi pada sisi evaporator low stage terlihat pada
Gambar 9, Temperatur evaporasi pada HE2 dan 3 cukup
berdekatan, dimana rata-rata temperatur evaporasi pada HE2
dan HE 3 adalah -50.3 dan -51.4oC secara berurutan,
sedangkan pada HE 1 temperatur evaporasi yang dapat
dicapai rata-rata sekitar -45.9 oC, dari data ini dapat terlihat
adanya pegaruh variasi HE terhadap temperatur evaporasi,
kondisi ini dapat terjadi karena adanya pengaruh temperatur
keluar kondensor terhadap variasi HE, dimana rata-rata
temperatur keluar kondensor untuk HE1, HE2 dan HE3
adalah 7.6oC, 3,6oC dan 2.4oC. seperti yang tergambarkan
pada gambar 8.
0
-10
T emperatur Evaporasi (oC)

80
delta T cond LS (C)

Ti Cond HE1

Energi III-144

waktu (menit)
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40

-20
-30
-40
-50
-60
HE1 (4,5cm)

HE2(3,6cm)

HE3 (3cm)

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi


Gambar 9. Grafik temperatur evaporasi pada sisi Low stage
100
160

90

155

80
70

W LS (kj/kg)

qe HS (kj/kg)

150
145
140
135

60
50
40
30

130

20

125

10

120
0

10
20
waktu (menit)
HE 1 (4,5 cm)
HE 2 (3,6 cm)

30

40

20

30

40

waktu (menit)
HE 1 (4,5 cm)

HE 3 (3 cm)

HE 2 (3,6 cm)

HE 3 (3 cm)

Gambar 13. Grafik Kerja Kompresor sisi Low stage terhadap waktu

Gambar 10. Grafik Efek refrigerasi pada sisi high stage terhadap waktu

Pada Gambar 12 dan Gambar 13 dapat dilihat bahwa


kerja kompresor pada HE3 lebih rendah daripada HE 2 dan
HE1 baik pada sisi low stage maupun sisi highs stage,
sedangkan pada penggunan HE 2 kerja kompresor pada sisi
low stage lebih rendah daripada HE1 dan pada sisi high
stage kerja kompresor pada HE1 dan HE2 cukup
berdekatan. Dari gambaran diatas dapat terlihat bahwa kerja
kompresor pada heat exchanger dengan jarak sekat paling
kecil lebih kecil dibandingkan dengan kedua heat exchanger
lain dengan jarak sekat yang lebih besar.

230
qe LS (kj/kg)

10

220
210
200
190
180
0

10

HE 1(4,5 cm)

20
waktu (menit)

30

HE 2 (3,6 cm)

40

4.0

HE 3 (3 cm)

3.5

Gambar 11. Grafik Efek refrigerasi pada sisi low stage terhadap waktu

Pengaruh variasi HE terhadap efek refrigerasi pada sisi


Low satge dan high stage dapat diamati pada Gambar 10
dan Gambar 11. Pada sisi low high stage efek refrigerasi
terbesar diperoleh pada HE3 selanjutnya diikuti oleh 2 dan
HE1, hal yang berbeda justru terjadi pada sisi low stage
dimana efek refrigerasi terbesar justru didapat pada HE1,
diikuti HE 2 dan HE3.

COP HS

3.0
2.5
2.0
1.5
1.0
0

110

10

HE 1 (4,5 cm)

100

20
waktu (menit)
HE 2 (3,6 cm)

30

40
HE 3 (3 cm)

Gambar 14. Grafik COP sisi high stage terhadap waktu

90
W HS (kj/kg)

80

12

70
60

10

50

8
COP LS

40
30
20
0

10
HE 3 (4,5 cm)

20

waktu (menit)
HE 2 (3,6 cm)

30

40

6
4
2

HE 3 (3 cm)

Gambar 12. Grafik Kerja Kompresor sisi High stage terhadap waktu

10

20
waktu (menit)

HE 1 (4,5 cm)

HE 2 (3,6 cm)

30

40
HE 3 (3 cm)

Gambar 15. Grafik COP sisi low stage terhadap waktu

Energi III-145

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi


Koefisien prestasi (COP) baik pada sisi high stage
maupun low stage untuk setiap variasi Heat exchanger
mempunyai nilai yang saling mendekati, hal itu terlihat pada
Gambar 14 dan Gambar 15 dimana nilai COP pada ketiga
variasi Heat exchanger mempunya perbedaan yang sangat
kecil sehingga garis pada grafik tampak berhimpitan. Pada
sisi low stage walaupun kerja kompresor pada HE3 lebih
rendah dibandingkan dengan kedua heat exchanger lainnya
akan tetepi efek refrigerasi yang dihasilkan HE3 juga lebih
kecil diandingkan kedua heat exchanger tersebut, sehingga
nilai COP dari HE3 mendekati nilai COP dari HE2 dan HE1
dan Pada sisi high stage terlihat adanya perbedaan kecil
yang tidak signifikan dari nilai COP untuk ketiga heat
exchanger, sehingga dapat disimpulkan bahwa variasi
ketiga konfigurasi heat exchanger diatas tidak menghasilkan
perbedaan nilai COP yang signifikan.
VI. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat diambil beberapa
kesimpulan yaitu:
Variasi konfigurasi (jumlah dan jarak sekat) pada heat
exchanger tipe shell and tube untuk perangkat cascade heat
exchanger tidak menghasilkan perbedaan/ peningkatan
kinerja (COP) yang signifikan. Nilai COP untuk ketiga
variasi heat exchanger cenderung saling berdekatan.
Variai heat exchanger berpengaruh terhadap
temperatur keluar kondensor pada sisi low stage, dimana
semakin banyak jumlah sekat dan semakin dekat jarak sekat
akan menghasilkan temperatur keluar kondensor yang
semakin rendah, kondisi ini berpengaruh terhadap
temperatur evaporasi yang dapat dicapai oleh mesin
refrigerasi sistem cascade, hasil pengamatan menunjukan
temperatur keluar kondensor dan temperatur evaporasi yang
dapat dicapai pada sisi low stage dimana rata-rata
temperatur keluar kondensor untuk ketiga HE adalah 7.6 oC
(HE1), 3.6 oC (HE2) dan 2.4 oC (HE3), sedangkan
temperatur evaporasi rata-rata yang dapat dicapai -45.9 oC
(HE1), -50.3 oC (HE2) dan -51.4 oC (HE3).
Laju perpidahan kalor pada cascade heat exchanger di
sisi evaporator menunjukan adanya pengaruh terhadap jarak
dan jumlah sekat dimana laju perpindahan kalor pada HE3

lebih besar diabndingkan dengan HE 2 dan HE1, akan tetapi


pada sisi kondensor terjadi hal yang sebaliknya dimana
selisih temperatur masuk dan keluar kondensor yang
mewakili laju perpidahan kalor pada kondensor yang
mempunyai nilai terbesar justru terjadi pada HE1 diikuti
dengan HE2 dan HE3, oleh karena itu dibutuhkan studi
yang lebih mendalam lagi untuk mengetahui pengaruh
variasi dan jarak sekat terhadap kinerja cascade heat
exchanger.
DAFTAR PUSTAKA
[1] H.M. Getu, P.K. Bansal, Thermodynamic analysis of an
R744R717 cascade refrigeration system, international
journal of refrigeration 31 pp. 4554. 2008
[2] Bugaard, Maria Garver. Effect of frozen storage temperatur
on quality-related changes in fish muscle, Changes in
physical, chemical and biochemical quality indicators during
short- and long-term storage. PhD Thesis, Januari 2010,
National Food Institute, Technical University of Denmark.
2010.
[3] Hosoz, and Murat. Performance Comparison of SingleStage and Cascade Refrigeration Systems Using R134a as
the Working Fluid", Turkish J.Eng.Env.Sci.29, 285-296. 2005.
[4] Alessandro da Silva, Enio Pedone Bandarra Filho and Arthur
Heleno Pontes Antunes, Comparison of a R744 cascade
refrigeration system with R404A and R22 conventional
systems for supermarkets Applied Thermal Engineering 41
pp.30-35. 2012
[5] Ali Falavand Jozaei, Alireza Baheri, Mariam K. Hafshejani
and Armin Arad, Optimization of Baffle Spacingon Heat
Transfer, Pressure Drop and Estimated Price in a Shell-andTube Heat exchanger, World Applied Sciences Journal 18
(12): 1727-1736, 2012
[6] Dincer,Ibrahim., Kanoglu, Mehmet. Refrigeration System and
Application, 2nd edition, John Wiley and Sons ltd. 2010
[7] Hansaem Park, Dong Ho Kim and Min Soo Kim,
Thermodynamic analysis of optimal intermediate temperaturs
in R134aeR410A cascade refrigeration systems and its
experimental verication Applied Thermal Engineering 54
pp.319-327. 2013.
.

Energi III-146

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

Pengujian Prestasi Motor Bensin Berbahan Bakar


Campuran Premium Dan Etanol
Dari Nira Aren

Ahmad Thamrin

Yusuf Siahaya, dan Effendy Arif

Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik


Universitas Fajar
Makassar, Indonesia
tata_elmotz@yahoo.co.id

Jurusan Mesin Fakultas Teknik


Universitas Hasanuddin,
Makassar Indonesia
Yusufsiahaya @yahoo.com

Abstract Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses


pembuatan bioetanol (96,7%) dari nira aren, mengetahui
perbedaan prestasi motor bensin dengan menggunakan bahan
bakar Premium dan Biopremium (E-10 dan E-15) dari nira
aren, mengetahui pengaruh penggunaan Premium dan
Biopremium (E-10 dan E-15) terhadap emisi gas buang yang
dihasilkan (CO, CO2, O2 dan HC), mengetahui pengaruh
penggunaan Biopremium E-10 terhadap komponen - komponen
bagian dalam mesin (Silinder head, Katup dan Piston), dan
mengetahui besar selisih volume pelumas dengan menggunakan
bahan bakar Biopremium (E-10) dari aren dengan ubi kayu
sebelum dan setelah pengoperasian mesin selama 200 jam.
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Farmasi
Universitas Hasanuddin, Laboratorium PT. Pertamina
(Persero)Terminal BBM dan LPG Makassar Laboratorium
Motor Bakar Universitas Kristen Indonesia Paulus dan
Laboratorium instrument SMAK Makassar . Metode pengujian
yang digunakan adalah pengujian eksperimen. Pengambilan data
dilakukan dengan mengambil sejumlah data pengujian langsung
pada alat uji. Data dianalisis secara teorits berdasarkan data
pengujian eksperimen dengan membandingkan prestasi mesin
berbahan bakar premium, biopremium (E-10 dan E-15). Hasil
penelitian diperoleh Pembuatan bioetanol dilakukan dengan
menggunakan destilasi sederhana tanpa proses dehidrasi dan
Kadar alkohol dihasilkan sebesar 96 ,7%, energi hasil
pembakaran Biopremium E-10 dan E-15 lebih rendah daripada
Premium. E-10 masih layak untuk digunakan dalam
pengoperasian walaupun prestasi mesin kerja yang dihasilkan
masih kecil dan besar selisih volume pelumas sebesar 10 ml.
Kata-kata kunci-About prestasi mesin, biopremium, etanol,
emisi gas buang

Hal ini mengakibatkan pemakaian bahan bakar minyak


bumi terus meningkat. Keaadan ini tentu sangat
mengkhawatirkan, karena dengan peningkatan pemakaian
bahan bakar minyak bumi maka cadangan minyak bumi akan
semakin berkurang sedangkan kebutuhan akan minyak bumi
terus bertambah. Cadangan minyak di bumi Indonesia saat ini
adalah 4,8 miliar barel dan setiap tahun Indonesia
memproduksi 550 juta barel (Intisari, April 2006).
Diprediksikan pada 2010, jumlah impor BBM akan meningkat
menjadi sekitar 60%-70% dari kebutuhan dalam negeri. Fakta
itu akan menjadikan Indonesia pengimpor BBM terbesar di
Asia terdapat pada [14] .
Untuk menekan pertumbuhan konsumsi BBM domestik,
salah satu cara yang bisa ditempuh yaitu dengan
memperhatikan dan menerapkan
regulasi tentang
penghematan energi nasional dan pengembangan energi
alternatif. Di Indonesia, sumber utama energi masih bertumpu
kepada jenis bahan bakar minyak, padahal banyak sumber
energi alternatif lainnya yang dapat dimanfaatkan bahkan bisa
mampu menggantikan sebagian peran energi fosil tersebut
dengan memanfaatkan bahan bakar nabati diungkap oleh [10].
Hal tersebut sesuai program pemerintah tentang BBM
dan instruksi presiden (INPRES) no. 1 tahun 2006
tertanggal 25 januari 2006 tentang penyediaan dan
pemanfaatan bahan bakar nabati (Biofuel) sebagai bahan bakar
serta peraturan presiden (PERPRES) no. 5 tahun 2006
tentang kebijakan energi nasional untuk mengembangkan
sumber energi alternatif.

I. PENDAHULUAN
Seiring dengan meningkatnya pemakaian motor bensin dari
tahun ke tahun maka menurut data statistik polisi Indonesia,
tahun 2003 jumlah kendaraan bermotor di Indonesia berjumlah
26.706.705 kendaraan, tahun 2004 berjumlah 30.769.093
kendaraan dan 2006 berjumlah 38.156.278 kendaraan terdapat
dalam [5].

Energi III-147

Gambar 1. Target Pembauran Energi

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

Indonesia juga telah mengeluarkan regulasi tata-niaga


produksi dan pemanfaatan bioetanol (biofuel) melalui
KepMen no. 32 tertanggal 26 September tahun 2008 yang
memungkinkan dunia usaha mengembangkan produksi
bioetanol (biofuel) untuk kebutuhan dalam negeri maupun
ekspor. Disamping itu, Kementererian ESDM dan TIMNAS
BIOETANOL terus menggalakkan inovasi pengembangan
produksi bioetanol di Indonesia dikutip dari [11].
Aren (Arenga pinnata) merupakan salah satu tanaman
perkebunan yang serbaguna dan telah lama dimanfaatkan
secara tradisional. Tanaman aren memiliki daya adaptasi luas
pada berbagai agroklimat dari dataran rendah hingga 1.400 m
dpl. Tak heran jika tanaman ini tersebar di seluruh Indonesia.
Pada tahun 2002, luas areal tanaman aren di Indonesia adalah
47.730 hektar yang tersebar di berbagai provinsi. Tanaman
aren banyak terdapat di Sumatera Utara, Nanggroe Aceh
Darussalam, Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa Barat, Banten,
Jawa Tengah, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan.
Hampir semua bagian tanaman aren ini berguna, baik untuk
pangan, bahan baku industri maupun energi terbarukan yang
dikutip dari [6].
Dewasa ini pamor aren semakin meningkat bersamaan
dengan pemanfaatan niranya untuk bahan bioetanol. Nira
dapat diolah melalui proses fermentasi menjadi bioetanol. Dari
satu pohon dihasilkan 15 liter nira per hari. Apabila dalam satu
tahun aren disadap selama 200 hari, maka nira yang dihasilkan
3.000 liter per pohon, jadi setiap pohon dapat menghasilkan
200 liter bioetanol per tahun. Jika 10% saja dari luas areal
yang ada dengan 100 pohon dalam satu hektar dijadikan bahan
bioetanol, maka per tahun akan dihasilkan 1.431.900.000 Iiter
bioetanol atau 1,43 juta KL bioetanol per tahun atau 7,15 juta
KL dalam lima tahun yang dikutip dari [6].
Dalam roadmap biofuel, Indonesia pada tahun 2015
memerlukan bioetanol sebesar 2,78 juta KL. lni berarti
kontribusi dari aren saja terhadap pemanfaatan bioetanol
menjadi Gasohol E-10 adalah 257 %. Gasohol E-10 adalah
campuran dari 10% bioetanol dan 90% premium yang dikutip
dari [11]

Pengolahan bahan berpati (starchy biomass) atau berselulosa


(cellulosic biomass) dapat menggunakan cara enzimatis (tahap
liquefaction), tetapi untuk nira langsung digunakan cara
fermentasi. Diagram alir fermentasi nira menjadi etanol 99,5%
disajikan pada Gambar berikut ini yang dikutip dari [6].

Gambar 3. Diagram alir proses pembuatan bioetanol dari nira aren

C.

Bioetanol
Etanol disebut juga etil alkohol, alkohol murni, alkohol
absolut, atau alkohol saja, adalah sejenis cairan yang mudah
menguap, mudah terbakar, tak berwarna, dan merupakan
alkohol yang paling sering digunakan dalam kehidupan seharihari. Senyawa ini merupakan obat psikoaktif dan dapat
ditemukan pada minuman beralkohol dan termometer modern.
Etanol adalah salah satu obat rekreasi yang paling tua.
Etanol termasuk ke dalam alkohol rantai tunggal, dengan
rumus kimia C2H5OH dan rumus empiris C2H6O. Ia
merupakan isomer konstitusional dari dimetil eter. Etanol
sering disingkat menjadi EtOH, dengan "Et" merupakan
singkatan dari gugus etil (C2H5) yang dikutip dari [1].
Tabel 3. Karakteristik fisik dan kimia bahan bakar dan aditifnya terdapat
pada [8].

II. LANDASAN TEORI


A.

Aren (Arenga Pinnata)


Aren (Arenga pinnata) merupakan salah satu tanaman
perkebunan yang serbaguna dan telah lama dimanfaatkan
secara tradisional. Tanaman aren memiliki daya adaptasi luas
pada berbagai agroklimat dari dataran rendah hingga 1.400 m
dpl. Tak heran jika tanaman ini tersebar di seluruh Indonesia
yang dikutip dari [6].
Pada tahun 2002, luas areal tanaman aren di Indonesia
adalah 47.730 hektar yang tersebar di berbagai provinsi.
Tanaman aren banyak terdapat di Sumatera Utara, Nanggroe
Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa Barat,
Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan dan Sulawesi
Selatan. Hampir semua bagian tanaman aren ini berguna, baik
untuk pangan, bahan baku industri maupun energi terbarukan
yang dikutip dari [6].
B.

Proses pembuatan Bioetanol dari nira aren


Proses pembuatan pengolahan nira aren menjadi etanol
sama dengan pengelohan pati atau selulosa menjadi etanol.

D.

Bahan Bakar Bensin


Hampir semua jenis bahan bakar saat ini diturunkan dari
minyak bumi. Secara prinsip komponen minyak adalah
hidrokarbon. Antara lain jenis parafins/alkana dengan rumus
kimia CnH2n+ 2, napthenes/cyclanes dengan rumus kimia
CnH2n, hidrokarboaromatic CnH2n-6, dan olefins CnH2n, yang
dikutip dari [2].

Energi III-148

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

1.

Laboratorium Kimia Analisis Jurusan Farmasi Fakultas


Farmasi Universitas Hasanuddin Makassar sebagai
tempat pembuatan bioetanol melalui fermentasi dan
destilasi serta untuk mengetahui kadar alkoholnya.
Laboratorium PERTAMINA (PERSERO) Terminal
BBM dan LPG Makassar sebagai tempat pencampuran
bahan bakar Premium dengan bietanol dan pengujian
spesifikasi bahan bakar.
Laboratorium Instrumen SMAK Makassar sebagai
tempat pengujian kandungan LHV Bioetanol dari nira
aren.
Laboratorium Motor Bakar Jurusan Teknik Mesin UKIP
Makassar
Sebagai tempat pengujian prestasi motor bensin dengan
bahan bakar premium dan campuran premium +
bioetanol serta uji emisi gas buang.
Kompleks wesabbe blok C/11 sebagai tempat pengujian
pengaruh komponen bagian dalam mesin (silinder head,
torak dan katup) dengan menggunakan bahan bakar
Premium dan Biopremium (E-10) serta mengamati dan
menimbang besar selisih volume minyak peluma dengan
menggunakan bahan bakar Biopremium (E-10) sebelum
dan setelah pengeoperasian mesin selama 200 jam.

2.

3.

4.

5.

B. Rumus yang digunakan


E.

Campuran Bensin dan Bioetanol


Biopremium merupakan campuran bioetanol dengan
premium dengan kadar campuran tertentu. Biopremium E-10,
misalnya, mengandung etanol 10 % dan premium 90%.
Kualitas etanol yang digunakan tergolong fuel grade etanol
yang kadar etanolnya 99%.

1.

Terdapat beberapa cara penggunaan etanol untuk


campuran gasoline (Website Pertamina: Biogasoline) sebagai
berikut :
a. Hydrous etanol (96% volume), yaitu etanol yang masih
mengandung air sebesar 4%.
b. Anhydrous etanol (dehydrated etanol), yaitu etanol bebas
air dan paling tidak memiliki kemurnian 99%.
c. Etanol juga digunakan sebagai bahan baku ETBE (ethyltertiary-butyl-ether), aditif gasoline konvension.
F.

Motor Bensin
Motor bensin merupakan salah satu penggerak mula
yang berperan penting sebagai tenaga penggerak. Pada motor
bensin untuk mendapatkan energi thermal diperlukan proses
pembakaran dengan menggunakan campuran bahan bakar dan
udara di dalam mesin, sehingga motor bensin disebut juga
sebagai motor pembakar dalam (internal combustion engine).
Di dalam proses pembakaran ini gas hasil pembakaran yang
terjadi sekaligus berfungsi sebagai fluida kerja. Motor ini
merupakan pengembangan dari motor Otto, yang pertama kali
ditemukan oleh Nikolaus August Otto yang lahir pada tahun
1832 di kota Holzhausen, Jerman.
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat Penelitian

Daya Pengereman (BHP)


Daya pengereman (Brake Horsepower) adalah daya
yang dihasilkan mesin yang ditransmisikan melalui poros
mesin yang bergerak. Daya pengereman yang diukur
adalah putaran mesin dengan tachometer dan torsi
dengan torsimeter.
Salah satu cara untuk mengukur Brake horsepower
adalah dengan meletakkan suatu alat ukur pada poros
mesin. Dinamometer mengukur torsi (T), yang dihasilkan
oleh mesin pada putaran tertentu. Dinamometer yang
digunakan adalah dinamometer rem air ( water brake
dynamometer).
Prinsip kerja dari water brake dynamometer ini
adalah poros rotor dihubungkan dengan poros dari motor,
rotor dikopel dengan stator secara hidraulis dengan
memanfaatkan air.
Brake horse power dapat dihitung dengan rumus
yang terdapat pada [4] jika Torsi (T) (Nm), Putaran (n)
(rpm) dikalikan dengan Faktor konversi dari Watt ke kW
(10-3 ) dan dibagi Faktor konversi dari ment ke detik (60)
sebagai berikut :
BHP
BHP

2.

2 n T
60

(Watt)..(3-1a)

2 nT
10 3
60

(kW) ..(3-1b)

Konsumsi bahan bakar (FC)


Konsumsi bahan bakar (fuel consumption) adalah
banyaknya bahan bakar yang dikonsumsi atau digunakan
oleh mesin dalam satuan waktu. Fuel consumption
dapat dihitung dengan menggunakan rumus yang
terdapat pada [2] jika Volume bahan bakar (Vbb) (ml),
Specific Gravity bahan bakar (SG) (kg/m3) :

Energi III-149

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

3
FC = Vbb SG 3600 10 kg .........(3-2)
W
h

3.

Konsumsi bahan bakar spesifik (SFC)


Konsumsi bahan bakar spesifik dinyatakan sebagai
jumlah bahan bakar yang dibutuhkan mesin dalam waktu
tertentu untuk menghasilkan 1 kilowatt daya efektif. SFC
adalah ukuran nilai ekonomis suatu mesin dalam
penggunaan bahan bakar yang rumusnya terdapat pada
[2] jika Konsumsi bahan bakar (FC) (kg/h) dibagi dengan
daya efektif (BHP) (kW) maka Persamaannya adalah :
SFC =

4.

Laju aliran massa udara adalah perbadingan massa


udara yang masuk ke dalam ruang bakar terhadap waktu.
a. Laju aliran massa udara aktual (Mact) adalah jumlah
udara yang terisap oleh mesin selama langkah
pemasukan untuk bercampur dengan bahan bakar.
Hasilnya diambil dari pembacaan grafik viscometer
(Lampiran 1).
b. Laju aliran massa udara teoritis (Mai) adalah jumlah
udara teoritis yang dibutuhkan oleh mesin pada
langkah isap yang mana rumusnya terdapat pada [2].
Persamaannya adalah volulem silinder dikalikan putaran
(n) dikalikan faktor konversi dari menit ke jam (60)
dikalikan faktor konversi dm3 ke m3 (10-3) dikalikan
massa jenis udara (ud) dan kemudian dibagi dua
putaran/siklus; ( untuk motor 4 - langkah) (nR ) :

FC kg

............(3-3)
BHP kWh

Tekanan efektif rata-rata (MEP)


Tekanan efektif rata-rata menyatakan tekanan ratarata yang bekerja untuk menggerakkan torak dalam
menghasilkan daya efektif per satuan luas yang mana
rumusnya terdapat pada [2] dimana 2 putaran/siklus
(untuk motor 4 langkah) (nR) dikalikan daya efektif
(BHP) (kW) dan dibagi dengan Volume silinder (Vs)
(dm3)
Persamaannya adalah :
MEP

M ai
7.

60.10 3 nR BHP (kPa)................... (3-4)


n Vs

Untuk mendapatkan volume silinder berikut rumus


perhitungan dimana diameter silinder (d) dikali langkah
piston (s) dan jumlah silinder (z)
.d 2 s z
Vs
4.10 6
5.

ud =
a.

1 kg

........(3-5a)
v m3

Tekanan Uap Jenuh (f) dimana temperatur bola


basah (Twb) dan temperatur bola kering (Tdb)
218 , 7 7 , 9.Twb

273, 2 Tdb

f ' 10

b.

(mmHg).....................(3-5b)

Perbandingan udara bahan bakar actual (AFRact)


Perbandingan udara bahan bakar dinyatakan sebagai
perbandingan antara jumlah kompisisi udara yang terisap
sesungguhnya dengan jumlah bahan bakar yang terpakai,
yang dapat berpengaruh terhadap laju pembakaran serta
banyaknya energi yang dihasilkan yang mana rumusnya
terdapat pada [2].
Persamaannya adalah :
M
AFRact act ...............................................(3-7)
FC

Dimana :
Mact = Konsumsi udara actual, (kg/h)
FC = Konsumsi bahan bakar, (kg/h)
8.

Massa Jenis Udara (ud)

Faktor kelebihan udara ()


Faktor kelebihan udara menunjukkan besarnya faktor
pencampuran udara bahan bakar yang merupakan
perbandingan antara udara bahan bakar aktual dengan
perbandingan udara bahan bakar stoikiometri yang mana
rumusnya terdapat pada [2].
Persamaannya adalah Perbandingan udara bahan bakar
aktual (AFRact) dibagi dengan Perbandingan udara bahan
bakar stoikiometri (AFRstoi) :

Tekanan Parsial Uap Air (f) dimana tekanan


atmosfir (Patm).

Patm (mmHg)................(3-5c)
f f ' 0,5Tdb Twb

760

c.

Rasio Kelembaban (x)

f
x 0.622
Patm f

kg .udara .lembab ............(3-5d)


kg .udara . ker ing

d.

6.

Vs 10 3 n 60 ud (kg/h)...............(3-6)
nR

Volume spesifik Udara Lembab (v)


m 3 ....(3-5e)
Tdb 760

v ( 0 ,773 1, 224 . x ) 1

273 , 2 Patm kg

Laju Aliran Massa Udara (Ma)

Energi III-150

AFRact
............................(3-8)
AFRstoi

Rumus kimia dari bahan bakar premium/gasoline


menurut literatur yang ada yaitu C8H15 maka reaksi
pembakarannya adalah
Menurut J.B. Heywood, (1988) :
b

C a H b a O 2 3 ,773 N 2 aCO
4

Berdasarkan
diperoleh:

rumus

kimia

b
b

H 2 O 3 ,773 a N 2
2
4

pada

premium,

maka

15
15
15
C8 H15 8 O2 3,773 N 2 8CO2 H 2 O 3,773 8 N 2
4
2
4

y
1 32 3,773 28,16
b
4
AFRth
dim ana : y
12,011 1,008y
a

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

AFR

th

AFR

th

AFR

th

34 , 56 ( 4 y )
12 , 011 1 , 008 y
34 , 56 ( 4 1 , 875 )

12 , 011 1 , 008 . 1 , 875


14 , 60

IV. ANALISIS MODEL DAN PEMBAHASAN

A. Analisa Hasil Perhitungan dan Pengujian

Untuk etanol menurut literatur yang ada yaitu C2H6O


dengan komposisi berat karbon 52,2%, komposisi berat
hidrogen 13,1% dan komposisi oksigen 34,7 %, maka
perbandingan udara dan bahan bakar teoritis yang dikutip
dari [13] adalah :
Menurut [7] rumus yang digunakan adalah sebagai
berikut :
1 8

AFR th
C 8 H O kg
0 ,23 3

Hasil penelitian yang diuji pada Laboratorium Kimia


Farmasi Universitas Hasanuddin berupa pembuatan bioetanol
dari nira aren dapat dilihat pada bab III pada halaman 32
dengan hasil kandungan alkohol sebesar 96,7% (Lampiran 2),
hasil penelitian yang diuji pada Laboratorium Instrumen Smak
Makassar berupa kandungan LHV sebesar 9765,74 cal/g atau
40859,86 kJ/kg (Lampiran 3) dan hasil penelitian yang diuji
pada Laboratorium PERTAMINA (PERSERO) Terminal
BBM dan LPG Makassar berupa spesifikasi bahan bakar
Premium dan Biopremium (E-10 dan E-15). (Lampiran 4, 5
dan 6)
B. Analisa Hasil Perhitungan dan Pengujian

Berdasarkan berat komposisi etanol diatas, maka


diperoleh :
1 8

0,522 8 0,131 0,347


0,23 3

AFRth 9,09
AFRth

Mencari AFRstoi untuk campuran :


1. Nilai AFRstoi untuk 90 % premium + 10 % Etanol (E10) :
AFRstoi = (0,90 x 14,60)+(0,10 x 9,09)
AFRstoi = 14,05
2. Nilai AFRstoi untuk 85 % premium + 15 % Etanol (E15) :
AFRstoi = (0,85 x 14,60)+(0,15 x 9,09)
AFRstoi = 13,77
9.

Efisiensi Volumetris (vol)


Efisiensi volumetris adalah perbandingan antara
jumlah udara yang terisap dengan jumlah yang
diharapkan dapat mengisi silinder pada proses
pengisapan yang mana rumus tersebut terdapat [9]
berikut Persamaannya yaitu konsumsi udara aktual
(Mact) dibagi konsumsi udara teoritis (Mai) adalah :

vol

M act
100% (%)................................(3-9)
M ai

BHP
100% (%).............(3-10a)
Qtot

Dimana untuk mendapatkan kalor sebenarnya bahan


bakar (Qtot), Konsumsi bahan bakar (FC) dikali Low
heating value bahan bakar (LHV) kemudian dibagi
Faktor konversi dari jam ke detik (3600) :
Qtot

= FC LHVbb (kW)......................(3-10b)
3600

Tabel 11. Analisa biaya dalam menghasilkan satu liter bioetanol (skala
lab.)

No.
Bahan

Persatuan

Nira
Aren

15 liter

Ragi

33 gr

Harga
Satuan

Jumlah

Rp
1.500/liter

Rp 22.500

Rp
2.500/11gr

Rp 7.500

Total

Rp 30.000/liter

Catatan : Harga diluar modal dan ongkos kerja

10. Efisiensi thermis (th)


Efisiensi thermis (th) adalah daya pengereman (BHP)
dibagi kalor sebenarnya bahan bakar (Qtot) dikali seratus
persen.
th

1. Pembahasan pembuatan bioetanol


Pembuatan bioetanol dilakukan dengan menggunakan
destilasi sederhana tanpa proses dehidrasi dikarenakan
menggunakan peralatan yang canggih dan biaya besar. Kadar
alkohol dari bioetanol yang dihasilkan sebesar 96,7%
(Lampiran 2). Sedangkan untuk kandungan LHV dari
bioetanol yang dihasilkan sebesar 9765,74 cal/g atau 40859,86
kJ/kg (Lampiran 3) sedangkan kandungan LHV yang
dihasilkan untuk bioetanol dari ubi kayu sebesar 29700 kJ/kg
yang mana nilai LHV tersebut dikutip dari [3] .
Dalam 15 liter aren dapat menghasilkan 1 liter
bioetanol dimana berikui ini adalah Tabel analisa biaya
pembuatan satu liter bioetanol dari 15 liter aren :

2. Prestasi motor bensin


Dari hasil perhitungan, Tabel 19, 20 dan 21 pada
(Lampiran 10, 11 dan 12) dan Grafik 1-6 pada (Lampiran 1318) yaitu hubungan antara Torsi (T), Daya efektif (Ne) dengan
putaran. Dimana menunjukkan adanya kenaikan nilai torsi
setiap kenaikan putaran untuk setiap konsentrasi bahan bakar.
Nilai torsi untuk premium, rata-rata lebih tinggi dari
biopremium (E-10 dan E-15). Untuk bahan bakar premium
nilai torsi maksimum sebesar 6 Nm pada putaran 2800 rpm
sedangkan biopremium (E-10) sebesar 6 Nm / 2800 rpm dan
biopremium (E-15) sebesar 5 Nm/2800 rpm. Begitupula yang
terjadi pada daya efektif maksimum untuk ketiga jenis bahan
bakar (premium, E-10 dan E-15), daya efektif terjadi pada
putaran 3200 rpm dimana premium menghasilkan daya

Energi III-151

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

efektif sebesar 1,842 Nm sedangkan biopremium (E-10)


sebesar 1,601 Nm/3400 rpm dan biopremium (E-15) sebesar
1,352 Nm/3400 rpm. Hal ini disebabkan karena nilai kalor
(LHV) yang dimiliki Biopremium (E-10 dan E-15) lebih
rendah dari nilai kalor (LHV) yang dimiliki Premium. Selain
itu juga kandungan yang terdapat pada biopremium (E-10 dan
E-15) sebesar 4-5 % dapat menyebabkan kinerja mesin
menurun. Kandungan air yang diijinkan untuk pencampuran
minimal 2%, karena makin besar kandungan air yang terdapat
bahan bakar maka semakin besar pula pembakaran tidak
sempurna sehingga hal tersebut dapat menurunkan kinerja dari
mesin,sesuai referensi dari [16)].

Dari hasil perhitungan, Tabel 19, 20 dan 21 pada (Lampiran


10, 11 dan 12) dan Grafik 1-6 pada (Lampiran 13-18) yaitu
hubungan AFR dengan putaran menunjukkan bahwa nilai
AFR cenderung naik seiring dengan naiknya putaran untuk
setiap konsentrasi bahan bakar. Nilai AFRact pada putaran
1600 rpm, untuk premium sebesar 14,27 , sedangkan Nilai
AFRact untuk biopremium (E-10) sebesar 13,649 dan nilai
AFRact untuk biopremium (E-15) sebesar 11,940. Jadi tampak
bahwa semakin tinggi konsentrasi campuran bahan dengan
etanol maka semakin rendah perbandingan udara dengan
bahan bakar. Hal ini mengindikasikan pembakaran yang
terjadi kurang sempurna, karena kurangnya suply udara yang
masuk kedalam ruang bakar.Hal ini dikarenakan kandungan
3,3% air dalam etanol, sesuai referensi dari [16].
Dari hasil perhitungan, Tabel 19, 20 dan 21 pada (Lampiran
10, 11 dan 12) dan Grafik 1-6 pada (Lampiran 13-18) yaitu
hubungan antara efisiensi volumetrik dengan putaran
menunjukkan bahwa efisiensi volumetrik pada putaran 1600
rpm untuk setiap konsentrasi bahan bakar. Untuk Premium
sebesar 38,652 %, biopremium (E-10) sebesar 33,152 % dan
biopremium (E-15) sebesar 27,626 %. Jadi hal tersebut
menujukkan bahwa efisiensi volumetrik yang dihasilkan oleh
biopremium/campuran, rata-rata lebih rendah dari premium
murni, sesuai referensi dari [16].

Grafik 2. Hubungan antara BHP dengan Putaran

Dari hasil perhitungan, Tabel 19, 20 dan 21 pada (Lampiran


10, 11 dan 12) dan Grafik 1-6 pada (Lampiran 13-18) yaitu
hubungan putaran dengan SFC menunjukkan bahwa terjadi
penurunan konsumsi bahan bakar spesifik (SFC) seiring
dengan meningkatnya putaran 1600 hingga 1800 rpm untuk
setiap konsentrasi bahan bakar. Untuk konsumsi bahan bakar
spesifik yang terbesar terjadi pada putaran 3400 rpm, dimana
untuk biopremium (E-15) sebesar 0,282 kg/kW.hr sedangkan
pada putaran yang sama biopremium (E-10) sebesar 0,246
kg/kW.hr dan premium sebesar 0,279 kg/kW.hr. Hal ini
menunjukkan SFC cenderung terus meningkat setelah
mencapai torsi maksimum (2500 rpm) ini disebabkan
bertambah besar laju aliran massa bahan bakar, sedangkan
jumlah bahan bakar yang terbakar masih sedikit, jika
dibandingkan dengan premium. Besarnya kandungan air yang
terdapat pada etanol sebesar 3,3% yang digunakan untuk
pencampuran dengan premium dapat mempengaruhi waktu
pembakaran bahan bakar, sesuai referensi dari [16].

Grafik 5. Hubungan antara Effesiensi Thermal dengan Putaran

Dari hasil perhitungan, Tabel 19, 20 dan 21 pada (Lampiran


10, 11 dan 12) dan Grafik 1-6 pada (Lampiran 13-18) yaitu
hubungan antara efisiensi thermal dengan putaran
menunjukkan bahwa efisiensi thermal dari bahan bakar
premium lebih tinggi dari biopremium (E-10 dan E-15),
dimana efisiensi thermal tertinggi sebesar 38,08 % terjadi pada
premium pada putaran 2800 rpm. Sedangkan pada putaran
yang sama efisiensi thermal untuk biopremium (E-10) sebesar
36,503,3% dan biopremium (E-15) sebesar 33,3 %. Setelah itu
efisiensi thermal cenderung turun dengan bertambahnya
putaran mesin. Hal ini menunjukkan bahwa nilai kalor yang
dikandung oleh biopremium (E-10 dan E-15) lebih rendah
dari nilai kalor premium sehingga daya input dari bahan bakar
biopremium lebih kecil dibandingkan dengan premium, sesuai
referensi dari [16].

Grafik 3. Hubungan antara SFC dengan Putaran

Energi III-152

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

2. Emisi gas buang

ambang batas yang ditetapkan kecuali untuk putaran 1600


pada semua jenis konsentrasi bahan bakar.

a. Oksigen (O2)
Dari Tabel emisi gas buang 22-25 pada (Lampiran 19, 20
dan 21) dan Grafik 7-11 pada (Lampiran 23-28),
menunjukkan bahwa kadar emisi O2 pada putaran (1600 rpm)
untuk bahan bakar premium (E-0) sebesar 0,65 % dengan
koefisien kelebihan udara () = 0.977 %, biopremium (E-10)
sebesar 0,60 % dengan koefisien kelebihan udara () = 0,971
% dan biopremium (E-15) sebesar 0,57 % dengan koefisien
kelebihan udara () = 0,867 %. Standar yang ditentukan pada
[15] sebesar 0,5 - 2 %, sedangkan hasil pengujian kurang dari
batas yang ditentukan maka dari ketiga konsentrasi bahan
bakar yang diuji masih dalam keadaan normal. Perbandingan
oksigen antara ketiga konsentrasi bahan bakar tersebut yang
paling sempurna proses pembakarannya adalah biopremium
(E-15) sebesar 0,57 %, kondisi ini menunjukkan dekat pada
kondisi ideal. Semakin kecil nilai kadar oksigen semakin
sempurna proses pembakarannya. Hal ini juga membuktikan
bahwa kadar oksigen kurang mengindikasikan pembakaran
terjadi pada campuran kaya.

Grafik 11. Hubungan CO2, CO, O2 dan HC Vs (E- 10) (Swisscontact)

c. Karbon Dioksida (CO2)


Dari Tabel emisi gas buang 22-25 pada (Lampiran 19, 20
dan 21) dan Grafik 7-11 pada (Lampiran 23-28),
menunjukkan bahwa hubungan karbon dioksida dan koefisien
kelebihan udara () memperlihatkan kurva yang cenderung
naik dan berada didaerah pembakaran kaya. Semakin tinggi
kadar karbon dioksida mengindikasikan pembakaran lebih
baik. Hasil karbon dioksida (CO2) yang tertinggi diperoleh
pada bahan bakar premium (E-0) sebesar 18,25 % pada
putaran 2800 rpm. Sedangkan yang terendah terdapat pada
biopremium (E-15) sebesar 10,56 % pada putaran 3400 rpm.
Pembentukan Karbon dioksida (CO2) menandakan sebagai
hasil pembakaran yang sempurna sehingga campuran bahan
bakar dan udara yang sempurna akan menghasilkan senyawa
CO2 yang besar pula.

Grafik 10. . Hubungan CO2, CO, O2 dan HC Vs (E- 0) (Swisscontact)

b. Karbon Monoksida (CO)


Dari Tabel emisi gas buang 22-25 pada (Lampiran 19, 20
dan 21) dan Grafik 7-11 pada (Lampiran 23-28),
menunjukkan bahwa hubungan antara karbon monoksida (CO)
dan koefisien kelebihan udara () memperlihatkan kurva yang
cenderung menurun. Kadar CO yang dihasilkan cenderung
menurun seiring dengan kenaikan nilai koefisien kelebihan
udara () terdapat pada [7]. Hasil CO yang tertinggi diperoleh
pada premium sebesar 5.95 % pada putaran 1600 rpm.
Sedangkan yang terendah terdapat pada bahan bakar
biopremium (E-15) sebesar 1,40 % pada putaran 3400 rpm.
Emisi gas buang CO terbentuk akibat kurangnya oksigen
sehingga proses pembakaran berlangsung tidak sempurna
karena banyak atom C (karbon) yang tidak mendapatkan
cukup oksigen.
Menurut aturan pemerintah untuk motor 4 langkah tahun
pembuatan dibawah 2010, kadar CO 5,5 % sesuai dengan
[15]. Sementara data hasil emisi gas buang yang diperoleh
untuk setiap putaran pada konsentrasi bahan bakar (premium,
E-10 dan E-15), kadar CO yang dihasilkan semua memenuhi

Grafik 12. Hubungan CO2, CO, O2 dan HC Vs (E- 15) (Swisscontact)

V. KESIMPULAN
Dari hasil perhitungan dan pembahasan dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Pembuatan bioetanol dilakukan dengan menggunakan
destilasi sederhana tanpa proses dehidrasi. Kadar alkohol

Energi III-153

Prosiding Seminar Nasional Rekayasan Material, Sistem manufaktur dan Energi

2.

3.

4.

5.

bioetanol dari aren yang dihasilkan sebesar 96 ,7% dan air


sebesar 3,3%.
Prestasi motor bensin berbahan bakar campuran bioetanol
(E-10 dan E-15) lebih kecil dibanding prestasi motor
bensin berbahan bakar premium. Untuk perbandingan
biopremium (E-10) dengan premium diperoleh penurunan
kinerja mesin dengan perbedaan daya efektif maksimum
dan torsi maksimum yaitu 29,3% dan 10% sedangkan
untuk biopremium (E-15) sebesar 43,9% dan 15%. Hal
tersebut disebabkan kandungan nilai kalor biopremium (E10 dan E-15) yaitu 42910 kJ/kg dan 42899 kJ/kg lebih
kecil dibanding nilai kalor premium yaitu 43051 kJ/kg.
Hasil emisi gas buang bahan bakar Biopremium E-10 dan
E-15 lebih kecil daripada premium. Dimana kadar E-10
adalah CO2: 12,56% (idle), CO: 5,8% (idle), O2: 0,57%
dan HC: 190 ppm dan E-15 CO2: 12,53% (idle), CO: 5,7%
(idle), O2: 1% dan HC: 188 ppm. Jadi biopremium (E-10
dan E-15) cukup ramah terhadap lingkungan.
Komponen-komponen utama mesin yaitu slinder head,
torak dan katup yang menggunakan bahan bakar
Biopremium (E-10) pada pengujian ketahanan mesin
selama 200 jam operasi, hanya mendapatkan dampak
kerusakan yang sangat kecil. Oleh sebab itu, dari pengujian
tersebut, dapat dikatakan bahwa biopremium (E-10) masih
layak untuk digunakan dalam pengoperasian walaupun
prestasi kerja mesin yang dihasilkan masih kecil,
dibandingkan dengan prestasi kerja mesin yang
menggunakan bahan bakar premium.
Besar perbandingan selisih volume pelumas dengan
penggunaan bahan bakar Biopremium (E-10) dari aren
setelah uji ketahanan mesin dengan selisih volume

pelumas dari Biopremium (E-10) dari ubi kayu adalah 10


ml.
DAFTAR PUSTAKA
[1]

[2]
[3]

[4]
[5]
[6]
[7]
[8]

[9]

[10]
[11]
[12]
[13]

[14]
[15]
[16]

Amiruddin. A, Surasa. Tj, Harlim. Tj, Genisa. A, Amiruddin. K,


Pudjiatmaka. Hadyana, 1993. Kamus Kimia, Departemen Pendidikan &
Kebudayaan, Jakarta.
Domkundwar, V.M, 2001. Course of Internal Combusion Engine,
Dhanpat Raid & Company, New Delhi.
Edward Yustinus K, M. 2009. Penelitian Pengaruh Penggunaan
Campuran Bahan Bakar Ethanol dengan Premium Terhadap Prestasi
Motor Bensin. Tesis. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Heywood John B.1989. Internal Combustion Engine Fundamentals.
MC. Graw Hill Book co Singapore
Intisari,april 2006
Jurnal
Warta/vol.32.no.1/2009.Penelitian
dan
Pengembangan
Pertanian
Khovach. M, 1979. Motor Vehicle Engines MIR Publishers. Moscow
Nur, Arifin, dan S, Budi, Widodo, 2006. Karakteristik Performa Mesin
Berbahan-Bakar Bensin-Etanol. Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan
Mekatronik. Bandung.
Pulkrabek W. Willard, 1996. Engineering Fundamentals of the Internal
Combustion Engine. University of Wisconsin, Platteville, New Jersy,
USA.
[10]Rahayuningsih. 2005.Alternatif dan Kemauan Politik Pemerintah
www.pikiran rakyat.com/cetak/2005/1005/13/cakrawala/utama02.htm
www.esdm.go.id/KepMen.no.32.tanggal 28 septemper 2008.
www.Sinartani.com/edisi10 -16 september 2010.
Nur, Arifin, dan S, Budi, Widodo, 2006. Karakteristik Performa Mesin
Berbahan-Bakar Bensin-Etanol. Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan
Mekatronik. Bandung.
Suara merdeka, 23 oktober 2007
Swisscontact. 2001. Analisa Motor Bensin Berdasarkan Hasil Uji Emisi
Gas Buang, Swisscontact Jakarta.
Zuhdi Aguk , dkk, 2005, Ketahanan Motor Diesel dengan
menggunakan Jelantah Methyl Ester sebagai bahan bakar suplemen
Jurnal Ilmiah ITS Surabaya.

Energi III-154

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

Limbah Batang Jagung Sebagai Sumber Energi


Alternatif
Muhammad Syahrir

Effendy Arif

Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik


Universitas Muslim Indonesia
Makassar, Indonesia
m.Syahrir 65@yahoo.com

Jurusan Mesin Fakultas Teknik


Universitas Hasanuddin
Makassar, Indonesia
effar1@yahoo.com

Abstract The aim of the recearch was to manage corn


stalks waste into briquettes charcoal corn stalks. The
methode of researsh was a laboratory tes to determine is
chemical composition, thermal properties, the physical
properties, the efficiency of combustion, gas emissions of
burning results and
production cost / briquette . This
laboratory test pruduced briquette from powdered charcoal
waste the corn stalks sized 20-40 mesh, 40-60 mesh and 6080 mesh molded with 2.2 MPa pressure and produced a
form of honey comb. The results of chemical composition
test with proximity analysis : moisture 13.08%, 13.36% and
10.42%, volatile matters 26.86%, 23.52% and 20.97%,
32.86% ash, 33, 26% and 35.78; fixed carbon 27.88%,
29.86% and 32.83% and hight heating value was 3788 kcal /
kg, 3838kcal/kg and 3596 kcal / kg. Physical property test in
the form of briquettepressure strength were 4.80 kg/cm2,
3.80 kg/cm2 and 2.67 kg/cm2 and the density was 0.435
gr/cm3, 0441 gr/cm3 and 0.508 gr/cm3. The efficiency of
combustion
produces 12.57%, 19.56% and 12.41% .
Whereas the emission test resul to produces carbon
monoxide (CO) 1.11 % vol , carbon dioxide (CO2) 5.4% vol
and hidrokarboan (HC) 360 ppmH. and the production cost
as much as Rp.3770/kg.
Key words: Charcoal briquettes of corn stalk, chemical
composition, thermal properties, physical properties, thermal
efficiency, gas emision of burning output and production
cost .
I. PENDAHULUAN
Sumber energi tak terbarukan khususnya fosil (minyak
dan gas) mempunyai peran penting dalam kehidupan manusia
sehari-hari. Dengan semakin bertambahnya populasi penduduk
menyebabkan kebutuhan akan bahan bakar pun meningkat dan
terfokus pada penggunaan energi tak terbarukan (minyak dan
gas) yang jumlahnya terbatas dan harganya semakin
meningkat, maka dibutuhkan sumber energi alternatif yang
lain. Salah satunya adalah sumber energi terbarukan seperti
biomassa yang jumlahnya cukup memadai. Bahan bakar
biomassa berasal dari aktivitas pertanian dan perkebunan [1],
sepert batang jagung.
Data BRS pada bulan Juli tahun 2010 didapatkan produksi
jagung pipilan kering perkebunan rakyat Sulawesi selatan
sebanyak 1,34 juta ton [2], Jika diperkirakan 50% dari
tanaman jagung merupakan batang jagung maka ada sekitar

1,34 juta ton limbah batang jagung. Potensi ini cukup besar
untuk dijadikan bahan bakar biomassa sebagai salah satu
bahan bakar alternatif.
Tujuan dari penelitian ini adalah membuat briket arang
batang jagung berbentuk sarang tawon dengan ukuran butir
bervariasi, selanjutnya melakukan analisis proksimasi,
pengujian nilai kalor, pengujian sifat fisik,pengujian
pembakaran , pengujian emisi dan menghitung ongkos
produksi.
II. LANDASAN TEORI
A. Tanaman jagung
Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman
pangan dunia yang terpenting, selain gandum dan padi.
Selain sebagai sumber karbohidrat, jagung juga ditanam
sebagai pakan ternak, diambil minyaknya, dibuat tepung
jagung ( maizena), bahan baku industri. Jagung merupakan
tanaman semusim (annual). Satu siklus hidupnya diselesaikan
dalam 80-150 hari. Paruh pertama dari siklus merupakan tahap
pertumbuhan vegetatif dan paruh kedua untuk tahap
pertumbuhan generatif. Tinggi tanaman jagung sangat
bervariasi. Meskipun tanaman jagung umumnya berketinggian
antara 1m sampai 3m. Tinggi tanaman biasa diukur dari
permukaan tanah hingga ruas teratas sebelum bunga jantan.
Jagung tidak memiliki kemampuan menghasilkan anakan [3].
B. Energi terbarukan
Sumber daya energi terbarukan adalah sumber-sumber
energi yang hasilnya akan konstan dalam rentang waktu jutaan
tahun. Sumber-sumber energi yang termasuk terbarukan
adalah sinar matahari, aliran air sungai, angin, gelombang laut,
arus pasang surut, panas bumi dan bio massa. Energi
terbarukan mempunyai keunggulan yang menarik seperti
berikut:
Sumber energi terbarukan merupakan sumber daya
indigenous (asli Indonesia) yang tersedia dalam jumlah
banyak
Pemakaian
energi
terbarukan
akan
menghemat
pengeluaran impor bahan bakar fosil dan menciptakan
lapangan kerja jika teknologi- teknologi konveksinya
dikembangkan dengan memamfaatkan sumber daya yang
ada di dalam negeri.
Beberapa energi terbarukan telah mencapai tahap yang

Energi III-155

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

kompetitif, baik secara finansial maupun secara


ekonomi untuk aplikasi tertentu, seperti di lokasi-lokasi
terpencil yang biayatransmisi listrik ataupun transportasi
bahan bakar ke lokasi tersebut mahal.
Teknologi-teknologi energi terbarukan termasuk fleksibel
dan modular, sehingga dapat dipasang dan beroperasi
relatif lebih cepat dan mengurangi biaya transmisi ke
lokasi-lokasi yang tersebar.
C. Briket
Briket adalah bahan bakar padat dengan bentuk dan
ukuran tertentu, yang tersusun dari partikel arang halus yang
telah mengalami proses pemampatan dengan daya tekan
tertentu, agar bahan bakar tersebut lebih mudah ditangani
dalam pemanfaatannya. Beberapa faktor yang dijadikan
standar briket arang[4], antara lain; Kadar air (moisture),
Kadar abu (Ash), Volatile matters ( Zat-zat yang mudah
menguap), Fixed Carbon (Karbon tetap) dan Nilai kalor
(Heating value/calorific value). Beberapa negara memberikan
standar mutu briket arang seperti pada tabel 1 [5].
Manfaat dan keuntungan briket arang:
Lebih irit dan hemat.
Panas dari nyala briket cukup tinggi.
Nyala briket lebih bersih (tidak berjelaga)
Daya tahan nyala briket cukup lama,
tidak berbau dan berasap.
Rasa, bau dan aroma dari masakan yang dimasak tetap
asli.
Aman dan tidak meledak.
D. Bahan pengikat lempung/ tanah liat.
Lempung atau tanah liat merupakan tanah dengan butiran
yang sangat halus, bersifat plastis (mudah dibentuk) dan
mempunyai daya lekat, daya leburnya rendah, sebagai
stabilisator panas dan memberi kekuatan fisik. Lempung
mempunyai sifat yang sangat spesifik, antara lain mempunyai
sifat muai susut yang sangat besar dalam keadaan aslinya,
tetapi setelah diolah, maka sifat muai susut yang besar ini
dapat dihilangkan sehingga dapat digunakan sebagai bahan
olahan [6].
Tabel 1 Standar mutu briket arang
Sifat-sifat

Komersial

Standar mutu
Impor
Jepang

USA

68

Inggris
4
)
34

36

8 10

18

15 30

16

19

60 80

75

58

12

0,84

6000
7000

60
6000
7000

12,7

62

7300

6500

1)

2)

3)

7,75

68

5,51

36
15
30
60
80

0,4407

13,14
78,35

6814,11

F. Karbonasi.
Proses pengarangan (karbonasi) bertujuan untuk
mengurangi zat terbang (volatile matters) agar pada saat
digunakan, pembakaran briket lebih nyaman karena tidak
mengeluarkan asap, bau, atau merubah aroma makanan.
Namun zat terbang ini tidak sepenuhnya dikurangi, karena
briket juga memerlukan zat terbang agar mudah dinyalakan,
panas dan nyalanya stabil [6].
III METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan tempat penelitian
Waktu penelitian ;Penelitian ini dilakukan pada bulan
Januari sampai April 2012
Tempat penelitian ; Laboratorium pendingin dan pemanas
UNHAS
B. Pembuatan briket arang batang jagung
Batang jagung diambil dari Bajeng Kabupaten Gowa,
dipotong-potong , dikeringkan dibawah sinar matahari,
diarangkan ,ditumbuk kemudian diayak untuk mendapatkan
bubuk arang. Bubuk arang yang diperoleh dicampur dengan
tanah liat 10 %, tepung kanji 10% dan air 920 gram kemudian
dicetak dengan tekanan 2,2 MPa.
C. Analisis proksimasi
Standar pengujian digunakan standar ASTM untuk sampel
batubara, dengan alasan bahwa briket arang batang jagung
adalah bahan bakar padat, sama seperti batubara [1].
Pengukuran moisture (kadar air
Pengukuran kandungan moisture dilakukan dengan
memanaskan sampel dalam muffle furnace pada suhu 105 oC
selama 1 jam, kemudian didinginkan selama 10 menit
selanjutnya ditimbang massanya.
Perhitungan kadar air :
Moisture = [

3)

]x 100%

(1)

Moisture, %
Ash, %
Volatile
matters,%
Fixed
carbon,
Kerapatan,
g/cm3
Kekuatan
tekan,
kg/cm2
Nilai kalor,
kkal/kg

Tepung singkong ( tepung tapioka ) atau aci adalah tepung


yang diperoleh dari umbi akar singkong. Tapioka memiliki
sifat-sifat fisik yang serupa dengan tepung sagu, sehingga
penggunaan keduanya dapat dipertukarkan. Tepung ini sering
digunakan untuk membuat makanan dan bahan perekat [7].

Dimana A,B dan D adalah massa sampel dengan cawan,


massa cawan dan massa cawan dengan residu
Pengukuran Volatile matters (VM)
Pengukuran Volatile matters dilkukan dengan memanaskan
sampel dalam furnace pada suhu 815 oC selama 7 menit,
selanjutnya didinginkan dalam desikator
kemudian ditimbang kembali
Perhitungan Volatile matters :
VM (%) = .

E. Bahan perekat tepung tapioka

Energi III-156

x 100 % -F(%)

(2)

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

Dimana A,B,D dan D adalah massa sampel dan cawan


(gr), massa cawan (gr), massa cawan dan residu (gr) dan F
moisture dalam analisis sampel (%)
Pengukuran Abu (Ash)
Pengukuran Ash dilakukan dengan memanaskan sampel
dalam muffle furnace dimulai dari suhu rendah, kemudian
dinaikkan sampai 250oC, dari 250oC - 500 oC selama 30 menit,
dari 500 oC sampai 815 oC selama 60 menit, selanjutnya
dinginkan selama 10 menit kemudian masukkan ke dalam
desikator lalu timbang massanya.
Perhitungan kadar abu (Ash) dengan massa residu F dan
massa sampel C :
(Ash) % =

(3)

Pengukuran Fixed carbon (FC)


Fixed carbon dihitung dari 100 % dikurangi dengan kadar
air lembab (moisture) dikurangi kadar abu, dikurangi kadar zat
terbang (volatile matters)
Perhitungan Fixed carbon :
FC (%) = 100 % (moisture + kadar abu + volatile
matters )%
.(4)
D. Sifat termal ( Nilai kalor )
Pengukuran nilai kalor menggunakan bomb kalorimeter
PARR 1261.
Perhitungan nilai kalor atas :
HHV (cal/g)=
Dimana t, EEV, e2, e2 dan es masing-masing adalah
kenaikan suhu pembakaraan di dalam Bom Kalorimeter,
energi ekivalen saat terjadi pembakaran C, koreksi panas
karena pembentukan asam, koreksi panas pembakaran dari
kawat pembakar (kal), koreksi sulfur yang ada dalam bahan
bakar (kal/gram) dan m adalah massa sampel (gram).
E. Sifat fisis.
Sifat fisis yang akan diuji adalah:
Pengujian kekuatan tekan
Pengujian kekuatan tekan briket dilakukan untuk melihat
seberapa besar ketahanan briket terhadap penetrasi pada
permukaannya.
Perhitungan Kerapatan.
Perhitungan ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh
kerapatan partikel terhadap kekerasan briket. Pengujian ini
dilakukan dengan mendeterminasi beberapa rapat massa briket
melalui perbandingan antara massa briket dengan besarnya
dimensi volumetrik briket.
Perhitungan massa jenis:

( kg/m3)

(6)

Dimana , m dan v adalah massa jenis ( kg/m3), massa


benda (kg), dan volume benda (m3).
F. Uji Pembakaran
Pengujian pembakaran briket dilakukan pada kompor
briket untuk mengetahui efisiensi termal keseluruhan. Metode
yang digunakan adalah metode pengujian pendidihan air yaitu
dengan memanaskan sejumlah air sampai mendidih pada
kompor dengan menggunakan bahan bakar briket.
Efisiensinya dapat dihitung dengan menggunakan

th =

(7)

Dimana th , ma, Cp,


mb dan LHV masing-masing
adalah efisiensi termal pembakaran briket
pada kompor
briket (%), massa air( kg ), Kalor spesifik air 4,176
(
kJ/kg C), perbedaan temperatur awal dan akhir ( C ) massa
briket yang habis digunakan untuk pembakaran (kg) dan nilai
kalor bawah briket ( kkal/kg).
G. Emisi Gas Hasil Pembakaran
Emisi gas adalah sisa hasil pembakaran bahan bakar
berupa gas CO atau biasa juga disebut karbon monoksida yang
beracun, CO2 atau disebut juga karbon dioksida yang
merupakan gas rumah kaca, dan berupa senyawa Hidrat
arang (HC) sebagai akibat ketidak sempurnaan pembakaran
[8].
CO (karbon monoksida)
Emisi karbon monoksida berasal dari sumber alami
seperti: kebakaran hutan, vegetasi dan kehidupan dilaut.
Sumber CO lainnya berasal dari antropogenik yaitu hasil
pembakaran tidak sempurna bahan bakar fosil yang
memberikan sumbangan 78,5% dari emisi total. Pencemaran
dari sumber antropogenik 55,3% berasal dari pembakaran
bensin pada otomotif, merupakan bagian dari polutan yang
tidak bisa terbakar, tidak berbau dan tidak berwarna. Gas CO
dapat
bereaksi
dengan
haemoglobin
membentuk
karbonhaemoglobin ( CO-Hb ) yang selanjutnya menurunkan
kemampuan darah dalam membawa oksigen. Seperseribu
bagian CO dalam darah akan menyebabkan 50 %
haemoglobin dalam darah terikat CO [9].

CO2 ( Karbon Dioksida )


Briket yang komponen penyusunnya berupa karbon (C),
jika dibakar akan bereaksi dengan oksigen (O2) menghasilkan
karbon dioksida (CO2). Tubuh manusia juga penghasil CO2
yang merupakan hasil pembakaran dari makanan yang
dimakan, selain menghasilkan air, oleh tumbuhan CO2 akan
ditangkap sebagai bahan baku fotosintesa sebagai penghasil
karbohidrat dan O2. Dampak dari kenaikan kadar CO2 di udara
akan menyebabkan peningkatan suhu dipermukaan bumi.
Rumah kaca merupakan rancang bangun yang dibuat untuk
pembibitan tanaman yang sering kita jumpai pada lahan
pertanian dan perkebunan modern
Sinar matahari dapat menembus kaca, akan tetapi sinar
infra merah yang dipantulkan tidak dapat menembusnya dan
terperangkap didalamnya sehingga suhu dalam rumah kaca
meningkat.
Kondisi itu pula yang terjadi dengan bumi kita, CO2
diudara dapat dilewati sinar infra merah dan sinar tampak

Energi III-157

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

tetapi menahan sinar infra merah yang dipantulkan bumi.


Semakin tinggi CO2 di udara semakin panas suhu
dipermukaan bumi. Jika ini terjadi terus menerus maka es di
kutub akan mencair dan menaikkan permukaan air yang
akhirnya akan meneggelamkan pulau-pulau [10]

Hidrocarbon (HC).
Sama halnya dengan karbon monoksida, gas hidrokarbon
terbentuk pada pembakaran yang sangat tidak
sempurna. Asap terutama terdiri dari partikel partikel
karbon yang tidak terbakar. Sedangkan gas-gas hidrokarbon
adalah senyawa-senyawa karbon dan hidrogen hasil
pemecahan bahan organik yang belum mengalami oksida
oksigen lebih lanjut. Seperti karbon monoksida, pembentukan
asap dan gas-gas hidrogen menyebabkan rendahnya efisiensi
pembakaran bahkan jauh lebih rendah dari yang diakibatkan
oleh karbon monoksida [5].
Menurut Kepmen LH No. 05 tahun 2006 [11], bahwa
ambang batas untuk gas HC ( Hidro karbon ) dan CO
(
karbon monoksida ), dapat dilihat pada tabel 2. berikut :
Tabel 2. Ambang batas emisi HC dan CO
A. Kendaraan bermotor kategori L (roda dua)
Kategri
Parameter
HC (ppm)
CO(%
vol)

Ambang
atas emisi

Sepeda
motor
langkah

12000

Gambar 1. Hasil percetakan briket

4,5

Sepeda otor
4 langkah

Dari hasil percetakan briket pada Gambar 1 terlihat bahwa


semakin besar mesh semakin besar massa briket ini
disebabkan karena ruang kosong diantara butiran bubuk arang
lebih sempit sehingga bentuknya lebih massif.
2400

1,5

B. Kendaraan bermotor kategori M,N dan O (roda empat)


Kategori

Tahun
pembuatan

Ambang
batas emisi

HC(ppm)

CO (%)

1200

4,5

200

1,5

Pengukuran emisi gas hasil pembakaran menggunaka alat


Emission Analyzer AVL DIGAS 4000 LIGHT.

I.

melancarkan sirkulasi udara sehingga pada saat pembakaran


terjadi pembakaran sempurna. Hasil yang diperoleh seperti
pada Gambar 1 dibawah. Briket dicetak dalam ukuran 20-40
mesh, 40-60 mesh dan 60-80 mesh.
Adapun spesifikasi dari ketiga jenis briket arang limbah
batang jagung adalah sebagai berikut:diameter briket, lubang
besar dan kecil adalah sama, masing-masing 6,47 cm; 1,32 cm
dan 0,79 cm. Sedangkan tinggi dan massanya masing-masing
:4,9 cm dan 63 gram; 4,3 cm dan 56 gram dan 5,0 cm dan 75
gram.

Perhitungsn biaya / ongkos produksi briket

Bahan baku limbah batang jagung tidak diperhitungkan


karena dianggap sebagai limbah, tepung tapioka dihitung
berdasarkan harga pasar yaitu sebesar Rp. 7.000,-/kg, upah
tenaga kerja sebesar Rp. 50,-/buah dan investasi peralatan
sebesar Rp. 2.500.000,IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil percetakan briket
Briket dicetak dalam bentuk sarang tawon dan diberi
tekanan 2,2 Mpa. Penekanan bertujuan untuk meratakan bahan
perekat keseluruh permukaan briket sehingga bentuknya
menjadi kokoh, sedangkan pemberian lubang bertujuan untuk

B. Uji analisis proksimasi, dilakukan di Laboratorium Balai


Besar Industri Hasil Perkebunan (BBIHP) Makassar,
hasilnya sebagai berikut;
Untuk 20-40 mesh;
Moisture,
M = 13,08 % berat
Volatile Matters, VM = 26,18 % berat
Ash,
A = 32,86 % berat
Fixed Carbon
FC = 27,88 % berat
Untuk 40-60 mesh
Moisture,
M = 13,36 % berat
Volatile Matters, VM = 23,52 % berat
Ash,
A = 33,26 % berat
Fixed Carbon,
FC = 29,88 % berat
Untuk 60-80 mesh

Moisture,
M = 10,42 % berat

Volatile Matters,
VM = 20,97 % berat

Ash,
A = 35,78 % berat

Fixed Carbon,
FC = 32,83 % berat
Dari hasil analisis proksimasi briket tersebut di atas
diperoleh beberapa hal sebagai berikut:
Moisture (kadar air),
Kandungan moisture berhubungan dengan penyalaan
awal bahan bakar, makin tinggi moisture
makin sulit penyalaan bahan bakar tersebut karena diperlukan
energi untuk menguapkan moisture dari bahan bakar.

Energi III-158

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

Kandungan moisture dalam briket adalah 13,08% , 13,36%


dan 10,42% berat,. Harga ini memperlihatkan bahwa
kandungan moisture dalam briket tersebut lebih besar dari
standar briket komersial, briket impor, briket Jepang, briket
USA dan briket Inggris .
Ash ( kadar abu ),
Ash di dalam bahan bakar padat merupakan residu
hasil pembakaran yang tak dapat terbakar lagi.
Kandungan ash dalam briket adalah 32,86%, 33,26% dan
35,78% berat. Kandungan ash ini tidak masuk dalam
standar briket Inggris, USA, standar briket komersial,
standar briket impor dan standar briket Jepang.

Volatile matters,
Volatile matters dalam bahan bakar berfungsi untuk
stabilisasi nyala dan percepatan pembakaran arang.
Kandungan volatile matters dalam briket adalah 26,18 %,
23,53% dan 20,97% berat. Kandungan volatile matters
ini masuk dalam standar briket impor, dan briket Jepang,
kecuali standar briket komersial, briket Inggris dan
standar briket USA.

Fixed carbon,
Kandungan fixed carbon di dalam briket adalah 27,88
%, 29,86% dan 32,83% berat, harga ini menunjukkan
bahwa briket ini tidak masuk dalam standar briket
komersial, standar briket impor, briket Inggris, briket
USA, dan standar briket Inggris

C. Nilai Kalor (HHV), Pengujian dilakukan di Laboratorium


Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan
UNHAS,hasilnya sebagai berikut;
Ukuran butir 20-40 mesh ; HHV =3788kkal/ kg
Ukuran butir 40-60 mesh ; HHV = 3838kkal/ kg
Ukuran butir 60-80 mesh ; HHV = 3596kkal/ kg
Secara grafik dapat dilihat pada Gambar 2. Berikut ;

Dari hasil pengujian nilai kalor pada Gambar 2, terlihat


bahwa ukuran nilai kalor tertinggi ke terendah masing-masing
untuk ukuran butir 40-60 mesh,20-40 mesh dan 60-80 mesh .
Ini disebabkan karena faktor kadar airnya (makin tinggi kadar
air makin sulit penyalaan bahan bakar tersebut sehingga
dibutuhkan energi untuk menguapkan kadar airnya).
D. Uji sifat fisik, dilakukan di Balai Besar Industri Hasil
Perkebunan (BBIHP) Makassar, hasilnya adalah sebagai
berikut;

Uji kuat tekan


Ukuran butir 20-40 mesh ; Pmaks = 4,80 kg/cm2
Ukuran butir 40-60 mesh ; Pmaks = 3,80 kg/cm2
Ukuran butir 60-80 mesh ; Pmaks = 2,67 kg/cm2
Dari hasil pengujian diatas dapat dilihat bahwa semakin
kecil ukuran mesh kemampuan untuk menahan tekanan
semakin besar, hal ini disebabkan karena semakin besar
ukuran butir semakin besar ruang diantara partikel sehingga
semakin banyak ruang yang dityempati zat pengikat dan zat
perekat.

Perhitungan kerapatan.
Perhitungan kerapatan menggunakan rumus (6) dan hasil
yang diperoleh adalah sebagai berikut;

Ukuran butir 20-40 mesh ; = 0,435 gr/cm3


Ukuran butir 40-60 mesh ; = 0,441 gr/cm3

Ukuran butir 60-80 mesh ;


= 0,508
gr/cm3
Dari data hasil perhitungan diatas terlihat bahwa semakin
besar ukuran mesh semakin besar nilai kerapatan, hal ini
disebabkan karena ukuran mesh yang besar (butiran halus)
menghasilkan briket yang lebih massif sehingga massanya
lebih besar.
E. Uji pembakaran.
Hasil uji pembakaran dapat dilihat pada Gambar 3, 4 dan
5 berikut;
Untuk 20-40 mesh

Gambar 3. Grafik waktu pembakaran versus temperatur


bara briket dan temperatur air

Gambar 2. Grafik ukuran mesh versusNilai kalor

Energi III-159

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

Pada Gambar 3, 4 dan 5 terlihat bahwa grafik temperatur


briket (bagian atas) khususnya pada Gambar 4 dan 5
bentuknya tidak teratur, itu disebabkan karena sulit
mengontrol sensor termokopel (selalu bergeser). Garis yang
tiba-tiba turun menandakan bahwa sensor termokopel
bergeser menjauhi pusat briket
(lubang tengah)
sedangkan yang tiba-tiba naik menandakan bahwa sensor
termokopel digeser ke pusat briket.
Untuk 40-60 mesh

Massa
air
( kg )

Massa
briket
(kg)

Efisiensi
termal
(%)

20-40
mesh

1,5

0,245

12,57

40-60
mesh

1,5

0,220

19,56

60-80
mesh

1,5

0,275

12,41

No

Kode
sampel

F. Uji emisi, diliakukan di Departemen Perhubungan Kota


Makassar.

Gambar 4. Grafik waktu pembakaran versus temperatur bara briket dan


temperatur air

Untuk 60-80 mesh.

Dari hasil pengujian emisi ( Gambar 6,7 dan 8) dapat


dilihat bahwa semakin tinggi ukuran mesh semakin tinggi nilai
emisi gas CO. Nilai tertinggi untuk CO terjadi pada 20-40
mesh sebesar 1,11% volume yang terjadi pada menit ke-27,
nilai tertinggi CO2 sebesar 5,4 % volume yang terjadi pada
menit ke-18 sedangkan HC mencapai nilai tertinggi sebesar
360 ppm yang terjadi pada menit ke-6.
Menurut Kepmen LH No.05 tahun 2006, hasil pengujian
emisi diatas masih dibawah ambang batas CO yang
diperkenangkan untuk sepeda motor 2 langkah ( 4,5) dan
motor 4 langkah (5,5). Sedangkan untuk gas HC yang
diperbolehkan adalah 12.000 ppm untuk sepeda motor 2
langkah dan 2400 ppm untuk sepeda motor 4 langkah.
Jadi, jika dibandingkan dengan standar emisi yang
dikeluarkan oleh Mentri lingkungan hidup No. 05 tahun 2006
tentang ambang batas emisi motor bakar kategori L dan
M,N,O, maka briket arang limbah batang jagung aman
digunakan untuk rumah tangga.
Pada Gambar 6,7 dan 8 terlihat bahwa grafik CO2 berada
diatas grafik CO itu berarti bahwa emisi CO2 lebih besar dari
emisi CO. Selain dari pada itu terlihat bahwa pada awal
pembakaran, baik grafik CO2 , CO, maupun HC mempunyai
nilai yang tinggi kemudian semakin lama semakin menurun.
Hal itu disebabkan karena pembakaran belum stabil ( belum
sempurna ) akibat penyalaan awal dengan bahan minyak
tanah.

Gambar 5. Grafik waktu pembakaran versus temperatur bara briket dan


temperatur air

Sisa hasil pembakaran; 20-40 mesh sebanyak 5 gr, 40-60


mesh sebanyak 20 gr dan 60-80 mesh sebanyak 5 gr.
Hasil perhitungan efisiensi termal dapat dilihat pada tabel 4
dengan menggunakan rumus (7).
Pada tabel 4 diatas terlihat bahwa ukuran 40-69 mesh
mempunyai efisiensi terbesar, ini disebabkan karena nilai
kalornya tertinggi dari ketiga sampel briket.
Tabel 4. Hasil perhitungan efisiensi termal.

Gambar 6. Grafik waktu pembakaran versus emisi gas hasil pembakaran


CO, CO2 dan HC ) untuk 20-40 mesh.

Energi III-160

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan.
Dari hasil penelitian tentang briket arang batang jagung maka
dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Hasil pencetakan briket arang
batang jagung
mempunyai diameter briket ( db ), diameter lubang
besar ( dlb ), diameter lubang kecil ( dlk ), tinggi ( t )
dan massa masing masing : 64,7 mm; 13,2 mm;
7,86 mm; 49 mm dan 64 gram.
2. Uji proksimasi menunjukkan bahwa hasil yang
diperoleh belum memenuhi standar mutu briket
(moisture 7,75% ash 18%; volatile matters 19%;
fixed carbon 58%).
3. Hasil pengujian nilai kalor lebih rendah dari nilai
standar minimum (3838 kkal/kg 6000 kkal/kg)
4. Hasil pengujian kuat tekan lebih kecil dari standar
mutu briket (4,80 kg/cm212,7 kg/cm2 ). Nilai
kerapatan lebih besar dari standar mutu komersial
(0,4410 gram/cm3 0,4407 gram/cm3).
5. Hasil perhitungan efisiensi pembakaran menunjukkan
bahwa briket dengan ukuran 40-60 mesh mempunyai
efisiensi tertinggi (19,56%), disusul 20-40 mesh
(12,57%) dan yang paling rendah ukuran 60-80 mesh
(12,41%).
6. Hasil pengujian emisi gas hasil pembakaran lebih
rendah dari standar ambang batas emisi untuk
kendaraan bermotor yang diperbolehkan (CO 1,5 ,
HC 2400).
7. Dari hasil perhitungan biaya diperoleh Rp. 3770,-/kg
atau Rp. 241,3,- /buah.

Gambar 7. Grafik waktu pembakaran versus emisi gas


hasil
pembakaran ( CO, CO2 dan HC ) untuk 40-60-mesh

Gambar 8. Grafik waktu pembakaran versus emisi gas hasil pembakaran


CO, CO2 dan HC ) untuk 60-80 mesh.

H.

Perhitungan biaya / ongkos produksi briket/buah.


Setiap kali melakukan percetakan menghasilkan 7 buah
briket dan membutuhkan waktu 5 menit, sehingga dalam satu
jam menghasilkan briket sebanyak 84 buah. Jika jam kerja
dalam 1 hari adalah 8 jam, maka akan dihasilkan briket
sebanyak 8 x 84 = 672 buah. Massa rata-rata briket yang
dihasilkan adalah 64 gram, sehingga dalam 1 hari
menghasilkan 64 x 672 = 43.008 gram atau sekitar 43
kilogram briket.
Biaya pembuatan briket.
Upah tenaga pengumpul bahan baku 23 karung
@ Rp. 2500,- = Rp. 57.500,Upah tenaga proses karbonasi 1 orang = Rp. 50.000,Upah tenaga pencetak briket 672 buah
@ Rp. 50,- = Rp. 33.600,Harga tepung tapioka 3kgxRp. 7.000 = Rp.21.000
Biaya hasil produksi(1+2+3+4) diperoleh Rp.162.100
Jika perbriket 64 gram, maka @ Rp. 241,3, atau Rp.3770/kg.

B. Saran
Untuk mendapatkan briket arang batang jagung dengan
hasil yang lebih baik maka diperlukan penelitian lanjutan
dengan variasi campuran dari bahan perekat dan tanah liat atau
yang dapat memperbaiki sifat-sifat briket

DAFTAR PUSTAKA
[1] Effendy Arif dan Daud .Patabang, 2010, Pengolahan Limbah
Kulit Kemiri Sebagai Sumber Bahan Bakar Alternatif, Fakultas
Teknik Mesin Universitas Hasanuddin Makassar
[2] BRS, 2011. Padi dan Jagung. Artikel, Makassar. Indonesia
[3] R. Neni Iriany,M. Yasin,H.G.,A, Takdir, 2007. Asal, sejarah
dan taksonomi tanaman jagung, Balai peneliatian tanaman
serealia,Maros.
[4] Enik. S. W, Sarwono, Ridho. H, 2010. Studi eksperimental
briket organik dengan bahan baku dari PPLH Seloliman, Jurusan
Teknik Fisika FTI ITS Surabaya.
[5] Mursalim, Waris Abdul, 2004, Pemanfaatan kulit buah kakao
sebagai briket arang, Laporan penerapan Ipteks Lembaga
Pengabdian Pada Masyarakat, Universitas Hasanuddin.
[6] Rezki A, 2012. Pengaruh dimensi partikel arang kulit kakao
terhadap mutu briket sebagai energi alternatif. Universitas
Hasanuddin, Makassar
[7] http://id.wikipedia.org, 2009 .

Energi III-161

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

[8] Nukman, 2009, M8-021 Emisi PembakaranBiomassa Batang


Kayu. Universitas Diponegoro, Semarang.
[9] Suparni Setyowati Rahayu, 2009. Unsur-unsur
pencemar
udara, http://www, Chem is TRY,Org, situs kimia
indonesia.

[10] PUSTEKKOM 2005, http://Soerya, surabaya .go.id/AUP/eDU.KONTEN ...net/... Polusi/all.htm.


[11] Piter
Sulitonga, 2011, come and Share, www:
Piterbizz, blog spot. Com

Energi III-162

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

Pengaruh Putaran dan Perbandingan Kompressi


Terhadap Kinerja VCRPE Dengan Menggunakan
Campuran Bahan Bakar Premium-Pertamax (Premix)
Dian Mahdiansah

Effendy Arif

Jurusan Mesin, Fakultas Teknik


Universitas Hasanuddin
Makassar , Indonesia
diankonversi@yahoo.com

Jurusan Mesin, Fakultas Teknik


Universitas Hasanuddin
Makassar , Indonesia
Email: -

Abstract The Effect Of Rotation and Compression Ratio


On The Performance Of Variable Compression Ratio Petrol
Engine (VCRPE) By Using Premium-Pertamax (Premix)
Fuel Mixture (supervised by Effendy Arif and Wahyu H.
Piarah). The research aimed at finding out: 1). the impact of
composition of the premium and pertamax (premix) fuel
mixture; 2). the effect of variation of gas trotlle; 3). the
impact of the engine compression ratio on the engine
performance of Variable Compression Ratio Petrol Engine
(VCRPE). This was an experimental research carried out in
the Combustion Motor Laboratory Hasanuddin University
by using the engine Variable Compression Ratio Petrol
Engine (VCRPE). Whereas the Low Heating Value (LHV)
was obtained from the Laboratory testing of PT. Pertamina
(Ltd) UPMS VII Makassar. The research result indicates
that on the composition of pertamax 75% + premium fuel
25% the power produced is 4.457 kW; on the rotation 1900
rpm with the specific fuel consumption of 0.347 kg/kWh, and
( VOL) maximum 63.08%; ( th) 24.36%. The engine
performance (VCRPE) on gas (trotlle) 100% the power
produced is 4.517 kW. The specific fuel consumption of
0.334 kg/kWh, and ( VOL) maximum 63.03%; ( th) 24.75%.
The engine performance (VCRPE) to variations
Compression Ratio (Rk) 10 of 4.517 kW. The specific fuel
consumption of 0.334 kg/kWh, and ( VOL) a maximum of
63.03%;( th) 24.75%. The conclusion of this study that on
the composition of premium fuel 25% + pertamax fuel 75%
first to have greater power, specific fuel consumption (SFC)
is lower is because of better combustion quality is influenced
by the quality of fuel that the better the shown on the nature
of theease of evaporation and increase the octane number of
the mixing concentration (Pertamax +Premium), the value
of the maximum thermal efficiency is achieved if the ratio is
less fuel and, volumetric efficiency of the engine (VCRPE)
ranged from 80-90%.
I. PENDAHULUAN
Saat ini konsumsi bahan bakar bensin dari tahun ke tahun
semakin meningkat. Data statistik di Indonesia pada tahun
2010 jumlah kendaraan bermotor di Indonesia sekitar
26.706.705 kendaraan, tahun 2011 berjumlah 30.769.093

kendaraan dan 2012 berjumlah 38.156.278 kendaraan. Hal ini


mengakibatkan komsumsi pemakaian bahan bakar minyak
bumi meningkat. Hal tersebut tentu sangat mengkhawatirkan,
karena dengan peningkatan pemakaian bahan bakar minyak
bumi maka cadangan minyak bumi akan semakin berkurang
sedangkan kebutuhan akan
minyak bumi terus bertambah.
Cadangan minyak
di bumi Indonesia saat ini adalah
4,8 miliar barel dan
setiap tahun Indonesia memproduksi
550 juta barel (http://en.Wikipedia.org/wiki/biofuel, Maret
2012). Diprediksikan pada 2013, jumlah impor BBM akan
meningkat menjadi sekitar 60%-70% dari kebutuhan dalam
negeri. Fakta itu akan menjadikan Indonesia pengimpor BBM
terbesar di Asia.
Sehingga, dengan kondisi keterbatasan BBM serta
kebijakan pemerintah yang mengupayakan penyelematan
anggaran dengan cara reduksi subsidi BBM tentu ini dirasa
perlu untuk dilakukan suatu analisis dengan tujuan agar
pemakaian bahan bakar minyak di masyarakat dapat dipenuhi
sesuai kebutuhan serta aman terhadap lingkungan.
Oleh karena itu, peneliti dalam tesis ini mencoba membahas
tentang Pengaruh Pemakaian Komposisi Campuran Bahan
Bakar Premium-Pertamax (Premix) Terhadap Kinerja Mesin
Variable Compression Ratio Petrol Engine (VCRPE)
II. LANDASAN TEORI
A. Premium
Premium (Bensin) diperoleh dari minyak mentah yang
dipompa dari perut bumi dan biasa disebut crude oil, dengan
proses destilasi atau penyulingan minyak mentah, bensin
diperoleh pada temperatur 150OC, cairan ini mengandung
hidrokarbon. Atom-atom karbon dalam minyak mentah saling
berhubungan membentuk rantai dengan panjang yang
berbeda-beda. Angka oktan menunjukkan kecenderungan
bensin untuk memberikan ketukan di dalam mesin (Angka
oktan bensin 85-95).
Densitas menunjukkan perbandingan massa minyak
persatuan volume pada temperatur tertentu ( bensin : 715780 Kg/m3) nilai kalorpembakaran menunjukkan energi kalor
yang dikandung dalam tiap satuan massa bahan bakar. Nilai
kalor H, C dan O dinyatakan dalam prasentase setiap unsur

Energi III-163

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

yang terkandung dalam satu kilogram bahan bakar (nilai kalor


bensin : 42000-44000 Kj/Kg). Titik bakar (fire point) adalah
temperatur terendah dimana uap minyak akan menyala dan
terbakar secara terus menerus kalau dikenai nyala uji (test
flame) pada kondisi tertentu.
B. Pertamax
Pertamax adalah motor gasoline tanpa timbal dengan
kandungan aditif lengkap generasi mutakhir yang dapat
membersihkan Intake Valve Port Fuel Injector dan ruang
bakar dari karbon deposit. Pertamax mempunyai RON 92
(Research Octane Number) yang dianjurkan juga untuk
kendaraan berbahan bakar bensin dengan perbandingan
kompresi tinggi. Diketahui bahwa karena kadar oktan yang
terkandung dalam pertamax lebih tinggi dibandingkan
premium, mengakibatkan produk bensin super ini diyakini
dapat memberikan prestasi mesin yang lebih bagus dan
perawatan mesin lebih baik dibanding menggunakan premium.
Pertamax memiliki nilai oktan 92 dengan stabilitas oksidasi
yang tinggi dan kandungan olefin, aromatic dan benzene-nya
pada level yang rendah sehingga menghasilkan pembakaran
yang lebih sempurna pada mesin. Dilengkapi dengan aditif
generasi 5 dengan sifat detergency yang memastikan injector
bahan bakar, karburator, inlet valve dan ruang bakar tetap
bersih untuk menjaga kinerja mesin tetap optimal. Pertamax
sudah tidak menggunakan campuran timbal dan metal lainnya
yang sering digunakan pada bahan bakar lain untuk
meningkatkan nilai oktan sehingga Pertamax merupakan
bahan bakar yang sangat bersahabat dengan lingkungan
sekitar.
C. Karakteristik Nilai Kalor Bahan Bakar
Reaksi kimia antara bahan bakar dengan oksigen dari udara
menghasilkan panas. Besarnya panas yang ditimbulkan jika
satu satuan bahan bakar di bakar sempurna disebut nilai kalor
bahan bakar (calorific value). Berdasarkan ikut tidaknya panas
laten pengembunan uap air dihitung sebagai bagian dari nilai
kalor suatu bahan bakar, maka nilai kalor bahan bakar dapat
dibedakan menjadi nilai kalor bawah dan nilai kalor atas.
Nilai kalor atas (High Heating Value, HHV), merupakan
nilai kalor yang diperoleh secara eksperimen dengan
menggunakan calorimeter bomb dimana hasil pembakaran
bahan bakar didinginkan sampai suhu kamar sehingga
sebagian besar uap air yang terbentuk dari pembakaran
hidrogen mengembun dan melepaskan panas latennya. Nilai
kalor bawah (Low Heating Value, LHV), merupakan nilai
kalor bahan bakar tanpa panas laten yang berasal dari
pengembunan air. Umumnya kandungan hidrogen dalam
bahan bakar cair berkisar 15% yang berarti setiap satu satuan
bahan bakar, 0,15 bagian merupakan hidrogen. Pada proses
pembakaran sempurna, air yang di hasilkan dari pembakaran
bahan bakar adalah setengah dari jumlah mol hidrogennya.
Selain berasal dari pembakaran hidrogen, uap air yang
terbentuk pada proses pembakaran dapat pula berasal dari
kandungan air yang memang sudah ada di dalam bahan bakar
(moisture).

Daya efektif atau Brake Horse Power merupakan daya


berguna yang berhasil diperoleh sebagai daya poros penggerak
beban. Daya ini dibangkitkan oleh suatu daya mula tersebut
daya indikator yang merupakan daya gas pembakaran yang
disebut daya indikator yang merupakan daya gas pembakaran
yang menggerakkan torak, sebagian daya indikator dibutuhkan
untuk mengatasi gesekan-gesekan mekanik. [2]

2.

Konsumsi Bahan Bakar, FC (kg/h)

Dengan :
Vgu
f
t
10-3

= Volume gelas ukur


= Massa jenis bahan bakar
= Waktu untuk menghabiskan bb
= Faktor konversi dari cc ke liter

3.

Konsumsi Bahan Bakar Spesifik, SFC (kg/kWh)

4.

Efesiensi Termis Efektif, t (%)

Tekanan Efektif Rata-rata, MEP (kN/m2)


Menurut [1] [4]tekanan efektif rata-rata untuk mesin
berada pada 700 sampai 900 kPa.
5.

Dengan
VL
60
Ka
Pe
n

= Volume langkah torak


= Faktor konversi dari menit ke detik
= Konstanta untuk motor 4 langkah
= Daya efektif (kW)
= putaran poros (Rpm)

6.

Konsumsi Udara Teoritik, Mt (kg/h)

7.

Konsumsi Udara Aktual, Ma (kg/h)

8.

Efesiensi Volumetrik, v (%)

9.

Rasio Udara-Bahan bakar, AFR

D. Parameter Kinerja mesin


1. Daya Efektif, Pe (kW)

Energi III-164

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

III. METODOLOGI PENELITIAN


Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Motor Bakar
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas
Hasanuddin
dengan
menggunakan
mesin
Variable
Compression Ratio Petrol Engine (VCRPE).
Prosedur Pengujian dan Pengambilan
a. Pengujian spsifikasi komposisi bahan bakar premium dan
premix (25% + 75%; 50% + 50%; 75% + 25%).
b. Pengujian prestasi mesin Variable Compression Ratio
Petrol Engine (VCRPE) pada rasio kompressi 8 sampai 10
dan pada putaran poros 1500 rpm sampai 2200 rpm serta
pembukaan katup gas 50 %, 75 %; dan 100 %.
c. Perbandingan SFC hasil penelitian ini bahan bakar
premium dengan hasil penelitian bahan bakar premix
(campuran premium dan pertamax).
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hubungan Daya Efektif
terhadap Putaran
Dari gambar menunjukkan Hubungan Daya Efektif
terhadap Putaran
dimana adanya kenaikan daya
efektif seiring dengan meningkatnya putaran untuk setiap
konsentrasi.
Untuk
konsentrasi
pertamax
100%
menunjukan bahwa daya efektif maksimum dicapai pada
putaran 1900 rpm 4,517 kW dan daya efektif minimum
dicapai pada putaran 1500 rpm adalah 3,173 kW. Sedangkan
untuk konsentrasi campuran pertamax 75% + premium
25% menunjukan bahwa daya efektif maksimum dicapai pada
putaran 1900 rpm 4,457 kW dan daya efektif minimum
dicapai pada putaran 1500 rpm adalah 3,142 kW. Pada
konsentrasi campuran pertamax 50% + premium 50%
daya efektif maksimum dicapai pada putaran 1900 rpm adalah
4,337 kW dan daya efektif minimum dicapai pada putaran
1500 rpm adalah 3,032 kW. Pada konsentrasi campuran
pertamax 25% + premium 75% daya efektif maksimum
dicapai pada putaran 1900 rpm adalah 4,218 kW dan daya
efektif minimum dicapai pada putaran 1500 rpm adalah 2,953
kW. Sedangkan pada konsentrasi premium 100%
menunjukan bahwa daya efektif maksimum
dicapai pada
putaran 1900 rpm 4,218 kW dan daya efektif minimum
dicapai pada putaran 1500 rpm adalah 2,859 kW.

B. Hubungan Pemakaian BB
terhadap Putaran
Dari gambar menunjukkan Hubungan Pemakaian Bahan
Bakar
terhadap Putaran
dimana adanya kenaikan
konsumsi bahan bakar seiring naiknya putaran, dimana
konsumsi bahan bakar terbesar terjadi pada konsentrasi bahan
bakar premium 100% adalah 3,686 kg/h dicapai pada putaran
2200 rpm, dan konsumsi bahan bakar minimumnya dicapai
pada putaran 1500 rpm sebesar 1,502 kg/h. Sedangkan untuk
konsentrasi bahan bakar pertamax 100%, terlihat bahwa,
konsumsi bahan bakar terendah dibandingkan dengan bahan
bakar premium dan campuran bahan bakar sebesar 1,377 kg/h
dicapai pada putaran 1500 rpm. Sedangkan konsumsi bahan
bakar maksimum diperoleh pada putaran 2200 rpm sebesar
1,634 kg/h. Untuk konsentrasi campuran pertamax 75% +
premium 25% menunjukan konsumsi bahan bakar adalah
1,407 kg/h dicapai pada putaran 1500 rpm. Pada konsentrasi
campuran pertamax 50% + premium 50% konsumsi bahan
bakar terbesar dicapai pada putaran 2200 rpm adalah 1,688
kg/h dan konsumsi bahan bakar minimum dicapai pada
putaran 1500 rpm adalah 1,433 kg/h. Pada konsentrasi
campuran pertamax 25% + premium 75% menunjukan
konsumsi bahan bakar terbesar adalah 3,778 kg/h dicapai pada
putaran 2200 rpm, sedangkan konsumsi bahan bakar minimum
dicapai pada putaran 1500 rpm adalah 1,447 kg/h.

C. Hubungan Komsumsi BB Spesifik

terhadap

Putaran
Dari gambar menunjukkan grafik Hubungan Pemakaian
Bahan Bakar Spesifik
terhadap Putaran
menunjukkan adanya penurunan komsumsi bahan bakar
spesifik seiring dengan meningkatnya putaran poros untuk
setiap konsentrasi. Untuk konsentrasi pertamax 100%
menunjukan bahwa Pemakaian Bahan Bakar Spesifik
sebesar 0,334 kg/kWh dicapai pada putaran 1900 rpm.
Sedangkan pada konsentrasi campuran pertamax 75% +
premium 25% menunjukan bahwa Pemakaian Bahan Bakar
Spesifik
sebesar 0,347 kg/kWh dicapai pada putaran
1900 rpm. Pada konsentrasi campuran pertamax 50% +
premium 50% menunjukan bahwa Pemakaian Bahan Bakar
Spesifik
sebesar 0,361 kg/kWh dicapai pada putaran
1900 rpm. Selanjutnya untuk konsentrasi campuran pertamax
25% + premium 75% menunjukan bahwa Pemakaian Bahan
Bakar Spesifik
sebesar 0,383 kg/kWh dicapai pada
putaran 1900 rpm. Sedangkan untuk konsentrasi premium

Energi III-165

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

100% menunjukan bahwa Pemakaian Bahan Bakar Spesifik


sebesar 0,394 kg/kWh dicapai pada putaran 1900 rpm.

E. Hub. Efisiensi Volumetris

terhdp Putaran

Dari gambar menunjukkan grafik Hubungan Efisiensi


Volumetris
terhadap Putaran
dimana
menunjukkan bahwa besarnya perubahan nilai

turun

secara teratur seiring dengan perubahan


SFC dan pada
putaran poros mesin. Untuk konsentrasi pertamax 100%
menunjukan bahwa efisiensi volumetris
maksimum
diperoleh pada putaran 1500 rpm sebesar 72,52%, efisiensi
volumetris
minimumnya sebesar 47,40% dicapai pada

D. Hubungan

Efisiensi

Termis

Efektif

terhadap

Putaran
Dari gambar menunjukkan grafik Hubungan Efisiensi
Termis Efektif
terhadap Putaran
dimana adanya
kenaikan seiring dengan meningkatnya putaran untuk setiap
konsentrasi. Efisiensi Termis Efektif
ini pun
dipengaruhi oleh naiknya rasio kompressi, namun kenaikan
ini tidak mencapai rasio kompressi maksimum. Untuk
konsentrasi pertamax 100% menunjukan bahwa efisiensi
termis efektif
sebesar 24,75% dicapai pada putaran 1900
rpm.
Sedangkan untuk konsentrasi campuran pertamax 75% +
premium 25%
sebesar 24,36% dicapai pada putaran
poros mesin 1900 rpm. Pada konsentrasi campuran pertamax
50% + premium 50%
sebesar 23,36% dicapai pada

putaran 2200 rpm.


Sedangkan untuk konsentrasi campuran pertamax 75% +
premium 25% menunjukan bahwa efisiensi volumetris
maksimum diperoleh pada putaran 1500 rpm sebesar 71,47%,
efisiensi volumetris
minimumnya sebesar 46,65%
dicapai pada putaran 2200 rpm. Untuk konsentrasi campuran
pertamax 50% + premium 50% menunjukan bahwa efisiensi
volumetris
maksimum diperoleh pada putaran 1500
rpm sebesar 71,09%, efisiensi volumetris
minimumnya
sebesar 46,38% dicapai pada putaran 2200 rpm. Pada
konsentrasi campuran pertamax 25% + premium 75% efisiensi
volumetris
maksimum diperoleh pada putaran 1500
rpm sebesar 69,96%, efisiensi volumetris
minimumnya
sebesar 44,75% dicapai pada putaran 2200 rpm. Sedangkan
Pada premium 100% efisiensi volumetris
maksimum
diperoleh pada putaran 1500 rpm sebesar 69,58%, efisiensi
volumetris
minimumnya sebesar 44,20% dicapai pada
putaran 2200 rpm

putaran poros mesin 1900 rpm. Selanjutnya pada konsentrasi


campuran pertamax 25% + premium 75%
sebesar
22,04% dicapai pada putaran poros mesin 1900 rpm, dan
akan turun pada saat putaran 2200 rpm sebesar 18,36%.
Sedangkan untuk konsentrasi premium 100% diperoleh
itu sebesar 21,38% pada putaran 1900 rpm, selanjutnya akan
turun pada putaran 2200 sebesar 17,44%.

DAFTAR PUSTAKA
[1]

Aris Munandar W. 1994. Penggerak Mula Motor Bakar Torak.


Institute Teknologi Bandung (ITB), Bandung.
[2] Baharuddin Mire. 2002. Optimasi Konsumsi Bahan - bakar
Spesifik Pada Motor Bensin Type VCRPE , Jurusan Teknik Mesin
Universitas Hasanuddin, Makassar.
[3] ] http://en.Wikipedia.org/wiki/biofuel, diakses tgl 21 Maret 2012.
[4] Roel, A.A. 4 November 2006. Analisa Emisi Gas Buang.
(http://cepot.wordpress.com/,
diakses
13
November
2010)Spesifikasi BBM. Pengendalian Mutu Bahan bakar
Minyak, Pertamina.

Energi III-166

Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Material, Sistem manufaktur dan Energi

[5] Yusuf Yauri, 2008. Analisis Emisi Gas Buang Pada


Mesin Enduro XL, Jurusan Teknik Mesin Universitas Muslim
Indonesia, Makassar

[6] Plint, Installation and Operating Instruction. England


plint Engineers & Partners Ltd. Wokingham
[7] Annual Book of Test bed and Instrumentation for Small
Engines edisi tahun 2003.

Energi III-167

Anda mungkin juga menyukai