Isbd Bab 1 8 Fix PDF
Isbd Bab 1 8 Fix PDF
a.
b.
dalam kehidupan
bermasyarakat.
c.
kepada
mahasiswa
sebagai
bekal
bagi
hidup
BAB II
MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BERBUDAYA
BERETIKA DAN BERESTETIKA
A. KEBUDAYAAN
1. Pengertian Kebudayaan
Kata Kebudayaan dan culture. Kata kebudayaan berasal
dari kata Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang
berarti budi atau akal. Dengan demikian ke-budaya-an dapat
diartikan : hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Ada sarjana lain
yang mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari majemuk
budi-daya,budi-daya, yang berarti daya dari budi. 6 Karena itu mereka
membedakan budaya dari kebudayaan. Demikianlah budaya
adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan
kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa itu.7 Dalam istilah
antropologi-budaya perbedaan itu ditiadakan. Kata budaya di sini
hanya dipakai sebagai suatu singkatan saja dari kebudayaan dengan arti
yang sama.
Adapun kata cultur, yang merupakan kata asing yang sama artinya
dengan kebudayaan berasal dari kata Latin colore yangt berarti
mengolah, menegrjakan, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari
arti ini berkembang arti culture sebagai segala daya upaya serta tindakan
manusia untuk mengolah tanah dan merubah alam.
4.
Lihatlah karangan A. Davis, Social Class Influences Upon Learning (1948) : Hlm. 59
5.
6.
Lihat buku P.J. Zoetmulder, Cultuur, Oost en West. Amsterdam, C.P.J. van der Peet
(1951).
7.
mengartikan
bahwa
kebudayaan
adalah
2.
3.
abstrak, tak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam kepalakepala, atau dengan perkataan lain, dalam alam pikiran warga
masyarakat tadi menyatakan gagasan mereka tadi dalam tulisan, maka
lokasi dari kebudayaan ideal penulis warga masyarakat bersangkutan.
Sekarang kebudayaan ideal juga banyak tersimpan dalam disk, arsip,
koleksi micro film dan mikrofish, kartu komputer, silinder, dan pita
komputer.
Ide-ide dan gagasan-gagasan manusia banyak yang hidup bersama
dalam suatu masyarakat, memberi jiwa kepada masyarakat itu. Gagasangagasan itu tidak berada lepas satu dari yang lain, melainkan selalu
berkaitan, menjadi suatu sistem. Para ahli antropologi dan sosiologi
menyebut sistem ini sistem budaya, atau cultural system. Dalam Bahasa
Indonesia terdapat juga istilah lain yang sangat tepat untuk menyebut
wujud ideal dari kebudayaan ini, yaitu adat, atau adat-istiadat untuk
bentuk jamaknya.
Wujud kedua dari kebudayaan yang disebut sistem sosial atau
social system, mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri.
Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang
berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan lain dari detik ke
detik, dari hari ke hari, dan dari tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola
tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas
manusia-manusia dalam suatu masyarakat, sistem sosial itu bersifat
konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan
didokumentasi.
Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik, dan tak
memerlukan banyak penjelasan. Karena berupa seluruh total dari hasil
fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam
masyarakat, maka sifatnya paling konkret, dan berupa benda-benda atau
hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto. Ada benda-benda yang
sangat besar seperti pabrik baja : ada benda-benda yang amat kompleks
dan canggih, seperti komputer berkapasitas tinggi; atau benda-benda
yang besar dan bergerak, suatu kapal tangki minyak; ada bangunan hasil
seni arsitek seperti suatu candi yang indah; atau ada pula benda-benda
kecil seperti kain batik, atau yang lebih kecil lagi, yaitu kancing baju.
Ketiga wujud dari kebudayaan terurai diatas, dalam kenyataan
kehidupan masyarakat tentu tak terpisah satu dengan lain. Kebudayaan
ideal dan adat istiadat mengatur dan memebri arah kepada tindakan dan
karya manusia. Baik pikiran-pikiran dan ide-ide, maupun tindakan dan
karya manusia, menghasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya.
Sebaliknya, kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup
tertentu yang makin lama makin menjauh manusia dari lingkungan
alamiahnya sehingga mempengaruhi pula pola-pola perbuatannya,
bahkan juga cara berpikirnya.
Sehubungan ketiga wujud dari kebudayaan tadi erat berkaitan, toh
untuk keperluan analisa perlu diadakan pemisahan yang tajam antara
tiap-tiap wujud itu. Hal ini sering dilupakan; tidak hanya dalam diskusidiskusi atau dalam pekerjaan sehari-hari ketiga wujud dari kebudayaan
tadi sering dikacaukan, melainkan juga dalam analisa ilmiah oleh para
sarjana yang menamakan dirinya ahli kebudayaan atau ahli masyarakat,
dan sering tidak dapat dibuat pemisahan yang tajam antara ketiga hal
terurai di atas.
Seorang sarjana antropologi dapat meneliti hanya sistem budaya,
atau adat dari suatu kebudayaan tertentu. Dalam pekerjaan itu ia akan
mengkhususkan perhatiannya terutama pada cita-cita, nilai-nilai budaya,
dan pandangan hidup, norma-norma dan hukum, pengetahuan dan
keyakinan dari manusia yang menjadi warga masyarakat yang
bersangkutan. Ia dapat juga meneliti tindakan, aktivitas-aktivitas dan
karya manusia itu sendiri, tetapi dapat juga mengkhususkan perhatiannya
pada hasil dari karya manusia yang bisa berupa benda peralatan, benda
kesenian, atau bangunan-bangunan.
Semua unsur kebudayaan dapat dipandang dari sudut ketika wujud
masing-masing tadi. Sebagai contoh dapat kita ambil misalnya
Universitas
Muhammadiyah
Surakarta.
sebagai
sualu
lembaga
gedung-gedung,
ruang-ruang,
sekumpulan
meja
tulis,
Bahasa
2.
Sistem Pengetahuan
3.
Organisasi Sosial
4.
5.
6.
Sistem religi
7.
Kesenian
fisik.
Dengan
wujudnya
demikian
sebagai
sistem
konsep-konsep,
ekonomi
misalnya
rencana-rencana,
Organisasi ekonomi.
Organisasi kekuatan.
Alat-alat teknologi
Sisten ekonomi
Keluarga
Kekuasaan politik
4. Sifat-Sifat Kebudayaan
Kendati kebudayaan yang dimiliki oleh setiap masyarakat itu
tidak sama, eperti di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku
bangsa yang berbeda, tetapi setiap kebudayaan mempunyai ciri atau ifat
yang sama. Sifat tersebut bukan diartikan secara spesifik, melainkan
bersiifat universal. Di mana sifat-sifat budaya itu akan memiliki ciri-ciri
yang sama bagi semua kebudayaan manusia tanpa membedakan faktor
ras, lingkungan alam, atau pendidikan. Yaitu sifat hakiki yang berlaku
umum bagi semua budaya di mana pun.
Sifat hakiki dari kebudayaan tersebut antara lain :
1. Budaya terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia.
2. Budaya telah ada terlebih dahulu daripada lahirnya suatu generasi
tertentu dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang
bersangkutan.
3. Budaya diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah
lakunya.
4. Budaya
mencakup
aturan-aturan
yang
berisikan
kewajiban-
kewajiban, tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakantindakan yang dilarang, dan tindakan-tindakan yang diizinkan.
5.
hidup
Kebudayaan
di
akan
tengah
terus
kebudayaan
hidup
manakala
yang
ada
diciptakannya.
manusia
sebagai
menyebutkan
sebagai
dialektika
fundamental.
Dialektika
6.
Environmental
Behavior
and
Process, meliputi
bagaimana
7.
bersifat
kompleks,
dan
memiliki
eksistensi
clan
zaman
mendorong
terjadinya
perubahan-
menimbulkan
konflik
antara
kelompok-kelompok
yang
8.
Problematika Kebudayaan
Beberapa Problematika Kebudayaan antara lain:
1.
2.
dengan
yang baru
hidup
mereka
akan
lebih
sengsara
4.
tertutup
untuk
menerima
program-program
pembangunan.
5.
6 . Sikap Etnosentrisme.
Sikap etnosentrisme adalah sikap yang mengagungkan budaya suku
bangsanya sendiri dan menganggap rendah budaya suku bangsa
lain. Sikap semacam ini akan mudah memicu timbulnya kasuskasus sara, yakni pertentangan suku, agama, ras, dan antargolongan.
Kebudayaan yang berkembang dalam suatu wilayah seperti
Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari beberapa suku
bangsa
dan
budaya
yang
beraneka
ragam.
Masing-masing
kebudayaan itu dianggap sebagai satu ciri khas daerah lokal. Yang
terkadang justru menimbulkan sikap etnosentrisme pada anggota
masyarakat dalam memandang kebudayaan orang lain.
Sikap
etnosentrisme
dapat
menimbulkan
kecenderungan
9.
Perubahan Kebudayaan
Sebagaimana
diketahui
bahwa
kebudayaan
mengalami
dengan
mengadopsi
suatu
pengetahuan
atau
B.
ETIKA
1.
Pengertian Etika
Seperti halnya dengan banyak istilah yang menyangkut
"etika" berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani ethos dalam
bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa;
padang rumput, kandang; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan,
sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya ,adalah:
adat kebiasaan. Dan arti terakhir inilah menjadi lafar belakang bagi
terbentuknya istilah "etika" yang oleh filsuf Yunani besar
Aristoteles (384-322 s.M.) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat
moral. Jadi, jika kita membatasi diri pada asal-usul kata ini, maka
"etika" berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu
tentang adat kebiasaan. Tapi menelusuri arti etimologis saja
belum
cukup
untuk
mengerti
apa
yang
dalam
buku
ini
Kamus
Umum
Bahasa
Indonesia
yang
lama
diikuti. Dan yang kita teliti di sini adalah bagaimana istilah ini pada kenyataannya dipakai
dalam masyarakat, bukan bagaimana seharusnya dipakai menurut norma ilmu bahasa. Karena
itu untuk maksud kita penjelasan dari edisi 1988 masih bisa dianggap paling tepat .
sangat hakiki.
2
Stanley L. Jaki. Decision -making in Business : Amoral? dalam C. van Dam and L.N.
Stallaert, Trends in Busine Ethics, Leiden / Boston, Martinus Nijhoff, 1978, hlm. 1 -10.
dengan
persamaan
itu.
Pertama,
etika
dan
etiket
Dianggap
melanggar
etiket,
bila
orang
norma
tentang
Etika
menyangkut masalah apakah suatu perbuatan boleh di lakukan ya atau tidak. Mengambil barang milik orang lain
tanpa izin, tidak pernah diperbolehkan. "Jangan men curi"
merupakan suatu norma etika. Apakah orang men curi
dengan tangan kanan atau tangan kiri di sini sama
sekali tidak relevan. Norma etis tidak terbatas pada cara
perbuatan dilakukan, melainkan menyangkut perbuatan itu
sendiri.
*
mencuri",
"jangan
berbohong",
"jangan
diragukan, relativitas etiket jauh lebih jelas dan jauh lebih mudah
terjadi.
* Jika kita berbicara tentang etiket, kita hanya memandang manusia
dari segi lahiriah saja, sedang etika menyangkut manusia dari
segi dalam. Bisa saja orang tampil sebagai "musang berbulu
ayam": dari luar sangat sopan clan halus, tapi di dalam penuh
kebusukan. Banyak penipu berhasil dengan maksud jahat
mereka, justru karena penampilannya begitu halus dan menawan
hati, sehingga mudah meyakinkan orang lain. Tidak merupakan
kontradiksi, jika seseorang selalu berpegang pada etiket dan
sekaligus bersikap munafik. Tapi orang yang etis sifatnya tidak
mungkin bersikap munafik, sebab seandainya dia munafik,
hal itu dengan sendirinya berarti ia tidak bersikap etis. Di sini
memang ada kontradiksi. Orang yang bersikap etis adalah
orang yang sungguh-sungguh baik. Sudah jelaslah kiranya
bahwa perbedaan terakhir ini paling penting di antara empat
perbedaan yang dibahas tadi.
Setelah mempelajari perbedaan antara etika clan etiket ini,
barangkali tidak sulit untuk disetujui bahwa konsekuensinya
cukup besar, jika dua istilah ini dicampuradukkan tanpa berpikir lebih
panjang. Bisa sampai fatal dari segi etis, bila orang menganggap
etiket saja apa yang sebenarnya termasuk lingkup moral. Juga tentang
istilah-istilah lain yang kita pakai dalam konteks ini haruslah jelas
kita kita makudkan atau etiket. Misalnya, jika kita berbicara tentang
"suila", "kesusilaan", "tata krama", "budi pekerti", kita mengambil
itilah-istilah ini dari lingkup etika atau dari lingkup etiket!
Karena ketidakjelasan itu dalam buku ini kita tidak akan
menggunakan kata seperti "kesusilaan". Di sisi lain, istilah yang
jelas termauk lingkup etika janganlah diperlakukan seolah-olah
termasuk linkkup etiket. Menurut pendapat kami, hal itu
dilakukan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi 1988)
3.
Teori-Teori Etiket
a) Hedonisme
Sepanjang sejarah barangkali tidak ada filsafat moral
yang lebih mudah dimengerti dan akibatnya tersebar lebih luas
seperti hedonisme ini. Maka tidak mengherankan, jika pandangan
ini sudah timbul pada awal sejarah filsafat. Atas pertanyaan "apa
yang menjadi hal yang terbaik bagi manusia", para hedonis
menjawab: kesenangan (hedone dalam bahasa Yunani). Adalah
baik apa yang memuaskan keinginan kita, apa yang meningkatkan
kuantitas kesenangan atau kenikmatan dalam diri kita.
Dalam filsafat Yunani hedonisme sudah ditemukan pada
Aristippos dari Kyrene (sekitar 433-355 s.M.), seorang murid
Sokrates. Sokrates telah bertanya tentang tujuan terakhir bagi
kehidupan manusia atau apa yang sungguh-sungguh baik bagi
manusia, tapi ia sendiri tidak memberikan jawaban yang jelas atas
pertanyaan itu clan hanya mengeritik jawaban-jawaban yang
dikemukakan oleh orang lain. Aristippos menjawab: yang
sungguh baik bagi manusia adalah kesenangan. Hal itu terbukti
karena sudah sejak masa kecilnya manusia merasa tertarik
akan kesenangan dan bila telah tercapai ia tidak mencari
sesuatu yang lain lagi. Sebaliknya, ia selalu menjauhkan diri
dari ketidaksenangan. Bagi Aristippos kesenangan itu bersifat
badani belaka, karena hakikatnya tidak lain daripada gerak
dalam badan.
yang
Eudemonisme
Pandangan ini berasal dari filsuf Yunani besar, Aris toteles (384-322 s.M.). Dalam bukunya, Ethika Nikomakhei, ia
mulai dengan menegaskan bahwa dalam setiap kegiatannya
manusia mengejar suatu tujuan. Bisa dikatakan juga, dalam setiap
perbuatan kita ingin mencapai sesuatu yang baik bagi kita.
Scring kali kita mencari suatu tujuan untuk mencapai suatu
tujuan lain lagi. Misalnya, kita minum obat untuk bisa tidur dan
kita
tidur
untuk
dapat
memulihkan
kesehatan.
Timbul
terakhir
hidup
manusia
adalah
kebahagiaan
bahwa
uang
dan
kekayaan
adalah
inti
dengan
keutamaan
intelektual
menentukan
apa
sebagai
Disini perlu dicatat bahwa Aristoteles (dan seluruh tradisi pemikiran Yunani) tidak mengerti
kebahagiaan dalam arti modern, yaitu kebahagiaan subyektif (merasa happy). Dengan
kebahagiaan dimaksudkannya keadaan manuia demikian rupa, ehingga segala sesuatu yang
seharusnya ada memang ada padanya (well-being)
c.
Utilitarisme
1. Utilitarisme Klasik
Aliran ini berasal dari tradisi pemikiran moral di United
Kingdom dan di kemudian hari berpengaruh ke seluruh
kawasan yang berbahasa Inggris. Filsuf Skotlandia, David
Hume (1711-1776), sudah memberi sumbangan penting ke
arah perkembangan aliran ini, tapi utilitarisme menurut
bentuk lebih matang berasal dari filsuf Inggris Jeremy Bentham
(1748-1832), dengan bukunya Introduction to the Principles of
Morals and Legislation (1789). Utilitarisme dimaksudnya
sebagai dasar etis untuk membaharui hukum Inggris,
khususnya hukum pidana. Jadi, ia tidak ingin menciptakan
suatu teori moral abstrak, tetapi mempunyai maksud sangat
konkret. la berpendapat bahwa tujuan hukum adalah
memajukan kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan perintah-perintah ilahi atau melindungi yang disebut hak-hak kodrati. Karena itu ia beranggapan bahwa
klasifikasi kejahatan, umpamanya, dalam sistem hukum
Inggris sudah ketinggalan zaman dan harus diganti. Bentham mengusulkan suatu klasifikasi kejahatan yang didasarkan atas berat tidaknya pelanggaran dan yang terakhir
ini diukur berdasarkan kesusahan atau penderitaan yang
diakibatkannya terhadap para korban dan masyarakat. Suatu
pelanggaran yang tidak merugikan orang lain, menurut
Bentham sebaiknya tidak dianggap sebagai tindakan kriminal,
seperti misalnya pelanggaran seksual yang dilakukan atas
dasar suka sama suka.
Bentham mulai dengan menekankan bahwa umat
manusia menurut kodratnya ditempatkan di bawah pemerintahan dua penguasa yang berdaulat: ketidaksenangan dan
kesenangan Menurut kodratnya manusia menghindari ketidaksenangan dan mencari kesenangan. Kebahagiaan tercapai,
jika ia memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan. Dalam
hal
ini
Bentham
sebenarnya
melanjutkan
begitu
saja
hedonisme klasik.
Karena menurut kodratnya tingkah laku manusia
terarah pada kebahagiaan, maka suatu perbuatan dapat dinilai
baik
atau
buruk,
sejauh
dapat
meningkatkan
atau
dengan
menekankan
bahwa
kebahagiaan
itu
Nature has placed mankind under the governance of two sovereign masters :
secara
kuantitatif
belaka.
Karena
kualitas
kesenangan
dapat
diukur
dan
diperhitungkan
KEMABUKAN
Ketidaksenangan
Kesenangan (kredit)
Lamanya
: Singkat
Intensitas
Akibat
: - kemiskinan
- nama buruk
: membawa
banyak
Kepastian
: kesenangan
- tidak sanggup
bekerja
Kemurnian
kesenangan pasti
Jauh/dekat
: terjadi
: dapat diragukan
kesenangan
( dalam keadaan
timbul cepat
mabuk sring
tercampur unsur
ketidaksenangan)
Seandainya tidak ada segi negatif, maka keadaan
mabuk akan merupakan sesuatu yang secara moral baik.
Tapi sebagai keseluruhan saldo adalah negatif dan menurut
Bentham malah sangat negatif, sehingga kemabukan harus
dinilai secara moral sangat jelek. Moralitas semua perbuatan
dapat diperhitungkan dengan cara sejenis.
Utilitarisme diperhalus dan diperkukuh lagi oleh filsuf
Inggris besar, John Stuart Mill (1806-1873), dalam bukunya
Utilitarianism (1864). Dari pendapatnya patut disebut di sini
dua hal. Pertama, ia mengeritik pandangan Bentham bahwa
kesenangan
dan
kebahagiaan
harus
diukur
secara
kuantitatif.
6
Socrates dissatisfied than a fool satisfied (Lebih baik menjadi seorang manusia
yang tidak puas daripada seorang yang tidak puas daripada seekor babi yang
puas; lebih baik menjadi Sokrates yang tidak puas daripada seorang tolol yang
puas).
2. Utilitarisme Aturan
Suatu percobaan yang menarik untuk mengatasi
kritikan berat yang dikemukakan terhadap utilitarisme adalah
meni bedakan antara dua macam utilitarisme: utilitarisme pcu
buatan dan utilitarisme aturan. Hal itu dikemukakan antara
lain oleh filsuf Inggris-Amerika Stephen Toulmin.8
S.E. Toulmin, The Place of Reason in Ethics, Cambridge, Cambridge Univet sity
Press, 1949.
satu,
melainkan
sistem
aturan
moral
sebagai
tua
harus
berusaha
sekuat
tenaga
untuk
4. Deontologi
Semua sistem etika yang dibahas sampai di sini
memperhatikan hasil perbuatan. Baik tidaknya perbuatan
dianggap tergantung pada konsekuensinya. Karena itu
sistem-sistem ini disebut juga sistem konsekuensialistis.
Masih ada cara lain untuk mengatakan hal yang sama.
Sistem-sistem etika yang dibicarakan sebelumnya semua
berorientasi pada tujuan perbuatan. Dalam utilitarisme,
umpamanya,
tujuan
perbuatan-perbuatan
moral
adalah
tidak
mengukur
baik
tidaknya
suatu
perbuatan
BAB III
MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK: INDIVIDU, SOSIAL DAN
CIPTAAN TUHAN
A.
(Soelaeman,
2001:114).
Bertolak
dari
proses
penjabaran
dalam diri manusia tersebut tidak dapat terbagi apalagi terpisahkan. Jika
unsur-unsur tersebut tidak dapat menyatu maka seseorang tidak dapat
disebut sebagai individu. Oleh sebab itu, orang yang sudah mati disebut
"jasad" atau "mayat" karena yang tinggal hanya raga, jiwanya sudah tidak
ada. Raga tidak dapat hidup sebagaimana manusia utuh selaku individu
apabila tanpa jiwa. Dengan kata lain, yang disebut manusia sebagai
makhluk individu mencerminkan adanya satuan terkecil yang tidak dapat
terbagi lagi tetapi memiliki unsur-unsur jasmani dan rohani atau fisik dan
psikis, atau jiwa dan raga yang utuh menyatu.
Meskipun semua manusia sebagai individu memiliki unsur jiwa dan
raga yang menyatu, tetapi antara satu orang dengan orang yang lainnya
memiliki perbedaan dan kekhasannya baik secara fisik dan psikis. Secara
fisik misalnya, ada yang berambut ikal tetapi juga ada yang berambut
lurus, ada yang gemuk atau kurus, tinggi atau pendek, dan seterusnya.
Secara psikis juga ada perbedaan, misalnya ada yang pemalu, pemarah,
penyabar, periang, dan lain-lain. Dengan kata lain, individu dapat
dikenali dengan mudah melalui aspek fisik maupun psikisnya.
Manusia selaku makhluk individu di samping memiliki keinginankeinginan atau motif-motif juga memiliki kebutuhan-kebutuhan secara
pribadi. Motif-motif yang melatarbelakangi manusia selaku individu
berbuat sesuatu memiliki ciri-ciri sebagai berikut: bisa bersifat
majemuk, berubah-ubah, dan berbeda-beda, atau bahkan bisa jadi tidak
disadari oleh individu. Adapun manusia selaku individu juga
membutuhkan berbagai kebutuhan, antara lain: kebutuhan fisiologis
(pakaian, pangan, tempat, seks, dan kesejahteraan individu), yang
kemudian disebut sebagai kebutuhan primer; kebutuhan rasa aman;
kebutuhan akan rasa afeksi (yaitu kebutuhan untuk menjalin hubungan
atau keakraban dengan orang lain); kebutuhan akan harga diri (esteem
needs); kebutuhan untuk mengetahui dan memahami (need to know and
understand); kebutuhan rasa estetika (aesthetic needs); kebutuhan
untuk aktualisasi diri (self actualization); kebutuhan transendence,
orang
lain
(autonomy);
kebutuhan
untuk
menjalin
menguasai,
memimpin,
menasehati
orang
lain
menyadari
keberadaannya
berdasarkan
keturunan
dari
kapasitas
tanggung
jawab
terhadap
kelangsungan
suku
Untuk itu, mereka juga harus memenuhi tanggung jawabnya sebagai warga
negara yang baik. Tugas dan tanggung jawab manusia sebagai warga
negara adalah ikut menjaga keutuhan serta tegaknya negara, dan memenuhi
segala peraturan perundang-undangan yang berlaku.
simpati,
pemahaman
saling
menghargai
dan
atau
tindak
lanjut
inovasi
berupa
pengakuan,
BAB IV
PEMAHAMAN KONSEP KONSEP MANUSIAWI
A. Manusia dan Keadilan
Keadilan adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak
dan kewajiban. Jika kita mengakui hak hidup kita, maka mau tidak mau kita
wajib untuk mempertahankan hak hidup itu dengan bekerja keras tanpa
merugikan orang lain. Sebab orang lain pun memiliki hak hidup yang sama
dengan kita. Jadi, keadilan pada dasarnya terletak pada keseimbangan atau
keharmonisan antara menuntut hak dan menjalankan kewajiban.
Setiap harinya kehidupan manusia selalu dihadapkan dengan masalah
keadilan dan ketidakadilan. Oleh karena itu, permasalahan keadilan dan
ketidakadilan tidak pemah surut mengilhami kreativitas manusia untuk
berimajinasi. Maka terciptalah berbagai bentuk karya seni, seperti: seni drama,
puisi, novel, musik, film, lukis dan sebagainya. Karya-karya sastra seperti:
Mahabarata, Ramayana, Marsinah Menggugat, Kabut Sutra Ungu, Ponirah
Terpidana, Roro Mendud, Siti Nurbaya, Bekisar Merah adalah cerita-cerita
yang berimplikasi pada nuansa keadilan dan ketidakadilan.
Dalam Islam keharusan untuk menjaga kebenaran dan keadilan telah
diperintah oleh Allah dalam al-Qur'an, Surat An-Nisaa', Ayat 105 berikut,
yang artinya: "Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa
yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi
penantang (orang-orang yang tidak bersalah), karena (membela) orangorang yang khianat". Sementara itu, dalam ajaran Konghucu disebutkan
bahwa keadilan dapat terwujud jika setiap anggota masyarakat bisa men jalankan fungsi dan peranannya masing-masing. Tokoh-tokoh filsafat
seperti Plato dan Aristoteles juga tidak mau ketinggalan untuk
melontarkan konsep keadilan tersebut. Plato pernah mengatakan bahwa
keadilan dan hukum merupakan substansi rohani umum dari masyarakat
kemanusiaan.
Dengan
mempelajari
kasus-kasus
yang
berupa
bencana
alam,
kecelakaan,
penindasan,
bahkan para nabi juga dapat tertimpa apa yang dinamakan penderitaan
tersebut.
2. Penderitaan Sebagai Anak Penguasaan
Di samping banyak faktor yang telah disebutkan di atas, penderitaan
tidak jarang justru disebabkan oleh faktor manusia itu sendiri. Banyak
bukti telah menunjukkan bahwa penderitaan itu bisa terjadi karena juga
ulah tangan-tangan manusia itu sendiri. Siapa yang menyulut perang?
Mengapa ada bencana alam, seperti banjir, kebakaran hutan, kecelakaan,
wabah penyakit dan sebagainya? Semua itu bisa dikembalikan pada ulah
manusia itu sendiri. Apalagi jika berbicara tentang penindasan, kemiskinan, penggusuran, perbudakan, kriminalitas, semuanya melibatkan
unsur manusia itu sendiri.
Manusia pada dasarnya adalah penyebab utama adanya penderitaan.
Penderitaaan manusia yang satu tidak bisa dilepaskan dari ulah manusia
lainnya. Ini sernua sulit terbantahkan, karena penderitaan itu pada
dasarnya merupakan anak penguasaan, jarang sebagai anak kebebasan.
Firman Allah dalam al-Qur'an Surat an-Nisaa', ayat 79, menyebutkan:
"Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja
bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami
mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah
menjadi saksi. "
Firman Allah di atas mengisyaratkan bahwa pada dasarnya
penderitaan manusia itu sebagai buah dari praktik penguasaan manusia itu
sendiri. Dalam menanggapi hal tersebut manusia sering memiliki cara
pandang yang berbeda-beda, tergantung pada profesinya masing-masing.
Seorang ilmuwan menangkap gejolak masyarakatnya melalui sektor
penalaran keilmuan yang dianutnya, sedang bagi seorang pemimpin
menangkapnya lewat saringan politik yang dianut. Berbeda dengan
sastrawan atau seniman, ia bebas dalam mencari kebenaran tidak sekedar
dibatasi oleh sektor penalaran dan kepentingan politik tertentu, melainkan
lebih bisa untuk membawa suara hati nurani masyarakatnya. Dengan daya
pengamatan dan getar rasanya yang lebih lembut seorang seniman mampu
untuk menyuarakan fenomena penderitaan itu. Media ekspresi yang
dipakainya tanpa batas, tiada syarat apa pun yang harus dipenuhi kecuali
tuntutan estetika. Karya sastra yang dengan vokal menyuarakan
penderitaan masyarakat antara lain adalah karya Mochtar Lubis berjudul
Harimau Harimau, Perjalanan Hitam (Muspa Edow), Mencoba Tidak
Menyerah (Yudhistira ANM), Jentera Lepas (Ashadi Siregar), Bekisar
Merah (Ahmad Tohari), dan sebagainya.
ORANG TUA
ANAK
AKTIF
AKTIF
PASIF
mencintai, saling
perhatian.
menghargai, saling
membutuhkan.
PASIF
sayang.
seraya
bersabda,
"Mereka
bermaksiat...mereka
bermaksiat!"
rambut, kaki, tubuh), rumah (halaman, tatanan perabot rumah tangga, dan
sebagainya), suara, warna dan seterusnya. Kawasan keindahan manusia sangat
luas, seluas keanekaragaman manusia dan sesuai dengan perkembangan
peradaban teknologi, sosial dan budaya. Keindahan merupakan bagian
kehidupan manusia yang tidak dapat dipisahkan di mana pun, kapan pun dan
oleh siapa pun.
Keindahan adalah identik dengan kebenaran. Keduanya mempunyai nilai
sama yaitu abadi, dan mempunyai daya tarik yang selalu bertambah. Yang tidak
mengandung kebenaran berarti tidak indah, karenanya tiruan lukisan Monalisa
bisa jadi tidak indah karena dasarnya tidak benar. Keindahan juga bersifat
universal, artinya tidak terikat oleh selera perorangan, waktu dan tempat, selera
mode, kedaerahan atau lokal.
Pandangan Plato tentang keindahan dapat dibagi jadi dua, yaitu: tentang
dunia idea dan tentang dunia nyata. Menurut Plato, kesederhanaan adalah ciri
khas keindahan, baik dalam alam maupun dalam karya seni. Pandangan yang
kedua adalah punya keistimewaan, karena tidak melepaskan diri dari
pengalaman indrawi yang merupakan unsur konstruktif dari pengalaman
estetis dan keindahan dalam pengertian sehari-hari.
Dalam hal ini Plato amat menghargai dan menekankan pengetahuan
murni (episteme) yang mengungguli segala pengetahuan semu (doxa). Dalam
hal keindahan, Plato amat menekankan arti suatu idea (eidos), dan yang lain
dari idea itu hanyalah berhala-berhala (eidola, dalam bahasa Inggris: idols)
saja. Berkenaan dengan keindahan ini terdapat tiga pandangan yang dapat
diacu: Pertama, keindahan berdasarkan keseimbangan, keteraturan, ukuran
dan sebagainya. Pandangan ini berasal dari Pythagoras, Plato, dan Thomas.
Kedua, keindahan merupakan jalan menuju kontemplasi. Pandangan ini
nampak dalam pikiran Plato, Plotinos, Agustinus. Keindahan itu sendiri
pertama-tama dianggap berada di luar dan lepas dari subjek, yang biasanya
dengan penekanan bahwa keindahan itu ada di "seberang". Ketiga, perhatian
akan apa yang secara empiris terjadi dalam diri subjek termuat dalam
pandangan Aristoteles dan Thomas. Keduanya menyajikan penyelidikan
punyai arti yang lebih sempit lagi, sehingga hanya menyangkut benda-benda
yang dapat diserap dengan penglihatan, yakni keindahan bentuk dan warna.
Bertolak dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keindahan adalah
sejumlah kualita pokok tertentu yang terdapat pada suatu hal. Kualita adalah
kesatuan (unity), keseimbangan (balance), dan kebalikan (contrast). Dengan
begitu, keindahan itu tersusun dari berbagai keselarasan dan kebalikan dan garis,
warna, bentuk, nada, dan kata-kata. Ada pula yang berpendapat, keindahan itu
suatu kumpulan dari hubungan-hubungan yang selaras dalam suatu benda dan
diantara benda itu dengan si pengamat. Dengan kata lain, ciri-ciri keindahan
menyangkut kualitas hakiki dari segala benda yang mengandung kesatuan
(unity), keseimbangan (balance), keselarasan (harmoni), kesimetrisan
(symetry), dan pertentangan (contrast). Yang berarti pula bahwa keindahan itu
tersusun dari keselarasan dan pertentangan dari garis, warna, bentuk, nada, dan
kata-kata.
Dewasa ini filsuf seni merumuskan keindahan sebagai kesatuan hubungan
yang terdapat antara penerapan-penerapan indrawi (beauty is unity of formal
realitions of our sense perceptions). Adapun filsuf lain menghubungkan
pengertian keindahan dengan ide kesenangan (pleasure), yaitu sesuatu yang
menyenangkan bagi penglihatan atau pendengaran. Filsuf abad pertengahan,
Thomas Aquinos (1225-1274) mengatakan, keindahan adalah sesuatu yang
menyenangkan bilamana dilihat (id qoud visum placet). Dalam estetika
modern orang lebih suka berbicara tentang seni dan estetika, karena
merupakan gejala konkret yang dapat ditelaah dengan pengalaman secara
empirik dan penguraian sistematik. Deitgan demikian, pengalaman estetika
dan seni tidak lagi sekedar pengalaman abstrak.
kamu
mengkhianati
amanat-amanat
yang
dipercayakan
terbatas:
kewajiban
yang
tanggung
jawabnya
diberlakukan kepada setiap orang adalah sama. Misalnya, undangundang yang melarang pembunuhan, pencurian, dan perkosaan bagi
pelanggarnya dapat dikenakan hukuman-hukuman.
2. Kewajiban tidak terbatas: kewajiban yang tanggung jawabnya
diberlakukan kepada semua orang. Tanggung jawab terhadap
kewajiban ini nilainya lebih tinggi, sebab dijalankan oleh suara
hati, seperti keadilan dan kebajikan.
Orang yang bertanggung jawab akan dapat merasakan kebahagiaan
apabila telah dapat menunaikan kewajibannya. Sebaliknya, orang yang
tidak bertanggung jawab akan menghadapi kesulitan karena telah
menyimpang dari aturan, norma, atau nilai-nilai yang berlaku. Problem
utama yang terasa di zaman sekarang adalah menurunnya perasaan moral
dan rasa hormat diri untuk menegakkan rasa tanggung jawab. Orang yang
memiliki rasa tanggung jawab akan berlaku adil atau mencoba untuk
berbuat
adil,
karena
ia
tahu
apa
yang
dilakukan
akan
individu memiliki
pribadi
merupakan
unit
terkecil
dari
kelompok
masyarakat.
Pengertian keluarga (inti) atau nuclear family meliputi: ayah, ibu, dan
anak-anak yang belum menikah. Sebagai anggota keluarga, setiap orang
harus bertanggung jawab kepada dirinya maupun keluarga. Tanggung
jawab ini tidak hanya dalam bentuk kesejahteraan dan keselamatan fisik
maupun pendidikan secara lahiriah, tetapi juga menyangkut nama baik
yang tertuju pada pendidikan dan kehidupan dunia akhirat. Perbuatan
Sukartono dan Tini dalam Belenggu-nya Armyn Pane merupakan contoh
suami dan istri yang tidak bertanggung jawab; Guru Isa yang mengambil
barang-barang sekolah untuk dijual karena demi menunjukkan rasa
tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga merupakan contoh
perbuatan yang melanggar norma hukum, susila, dan moral-baca pula
Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis.
3. Tanggung jawab kepada masyarakat
Manusia adalah makhluk sosial. Manusia sebagai anggota masyarakat dan
berada di tengah-tangah masyarakat. Karena itu, dalam berpikir,
bertingkah laku, berbicara dan segala aktivitas manusia terikat oleh
masyarakat. Maka, sudah sepantasnya apabila segala tingkah laku dan
perbuatannya harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Dalam
Salah Asuhan, karya Abdul Muis, tokoh Hanafi akhirnya bersedia
memakai pakaian adat di dalam pesta perkawinannya. Hal itu merupakan
bentuk tanggung jawab terhadap masyarakat.
4. Tanggung jawab kepada bangsa dan negara
Sebagai warga negara, setiap orang bertanggung jawab terhadap negara
dan bangsanya. Dalam novel Burung-Burung Manyar karya Y.B.
Mangun Wijaya, tokoh Teto yang sudah bekerja di negeri asing melihat
adanya manipulasi komputer terhadap bangsa dan negara. Untuk itu, ia
merasa terpanggil untuk membongkamya, meskipun harus menjadi
korban
pemecatan
dan
perusahaan.
Contoh
lain
adalah
tokoh
yang dilakukan harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Dalam A1Qur'an juga ditegaskan bahwa barang siapa yang beriman dan bertakwa
akan mendapatkan kebaikan kelak, sedangkan yang mendustakan
kebenaran akan mendapatkan balasan di neraka. Hal itu dapat dilihat
dalam surat az-Zumar, Ayat 32-34.
F. Pengabdian
1. Pengabdian kepada keluarga
Dalam kehidupan berkeluarga tidak terlepas dari rasa cinta dan kasih
sayang. Setiap bentuk kasih sayang dan cinta diperlukan suatu
pengorbanan dan pengabdian sebagai wujud tanggung jawab. Dalam
suatu kehidupan keluarga wujud tanggung jawab dapat dilakukan dengan
berbagai bentuk pengabdian. Seorang kepala rumah tangga (ayah)
bekerja keras, berangkat pagi pulang malam untuk mencukupi kebutuhan
hidup rumah tangganya. Hal tersebut merupakan bentuk pengabdian dan
tanggung jawab kepada keluarga.
Kisah Siti Nurbaya yang bersedia kawin dengan Datuk Maringgih demi
menebus hutang ayahnya. Sikap Siti Nurbaya ini sebagai bentuk
pengabdian
terhadap
keluarga.
Kisah
lain
yang
mencerminkan
pengabdian kepada keluarga, antara lain: dalam kisah Kabut Sutra Ungu
karya Ike Supomo, tokoh Miranti tidak segera kawin karena cintanya
pada almarhum suaminya; Kisah cinta Hamid dan Zaenab dalam Di
Bawah Lindungan Ka'bah karya Hamka.
2. Pengabdian kepada masyarakat
Manusia sebagai anggota masyarakat tidak dapat hidup tanpa orang lain.
Maka sebagai wujud tanggung jawabnya kepada masyarakat, ia harus
menampakkan
pengabdian
dirinya
kepada
masyarakat.
Bentuk
bentuk
peradaban
masyarakat
untuk
meminta
H. Pandangan Hidup
Kelebihan makhluk yang namanya manusia tidak lain adalah dikaruniainya akal dan budi, Dengan memiliki akal dan budi maka kehidupan
manusia sehari-hari sudah barang tentu tidak sekedar untuk hidup, melainkan
mereka punya pandangan hidup ke depan yang mulia. Hal ini didasarkan
kesadaran dirinya bahwa sebagai manusia itu lemah, akan tetapi ia juga
menyadari bahwa kehidupannya sangat kompleks.
Kesadaran akan kelemahan dirinya memaksa manusia untuk mencari
kekuatan di luar dirinya, dengan harapan dapat terlindung dari ancamanancaman yang mengintai dirinya baik secara fisik maupun non-fisik. Ancamanancaman itu dapat berupa: penyakit, bencana alam, kegelisahan, ketakutan, dan
sebagainya. Di samping itu, melalui akal dan budinya manusia juga berusaha
menciptakan sarana dan prasarana untuk membantu mempermudah mengatasi
kebutuhan hidupnya yang sangat kompleks.
bersifat lahiriah tidak sampai ke kalbunya. Allah telah berfirman dalam alQur'an,
Surat al-Imran, Ayat 19, yang artinya: ",agama yang benar bagi Allah itu
hanyalah Islam." Namun, agama apa yang akan dipilih manusia sebagai
sandaran diserahkan sepenuhnya kepada manusia itu sendiri. Yang pasti, hak
Allah tidak boleh diganggu gugat bahwa pada akhirnya Allah akan memberikan
pahala kepada manusia yang berbuat benar dan siksa kepada manusia yang
berbuat salah. Lihat al-Qur'an Surat ar-Rum, Ayat 44.
Urusan agama adalah urusan akal, seperti dikatakan Nabi Muhammad saw
dalam salah satu hadistnya, bahwa "Agama adalah akal, tidak ada agama
bagi orang-orang yang tidak berakal". Maksud Nabi ialah agar manusia
karena
manusia
memiliki
hati
dan
perasaan.
Bentuk
karena anaknya diculik; seorang ibu gelisah karena anaknya sakit; seorang
pelajar gelisah karena kartu ujiannya hilang; dan sebagainya.
2. Kecemasan neurotik (syaraf)
Kecemasan ini timbul karena pengamatan tentang bahaya dari nalurinya.
Misalnya: Takut berada di suatu tempat yang asing dan harus
menyesuaikan diri dengan lingkungannya; rasa takut yang irasional
semacam fobia, gugup/gagap atau gemetaran.
3. Kecemasan moral
Kecemasan ini muncul dari emosi diri sendiri yang memunculkan sifatsifat iri, dengki, dendam, hasut, tamak, pemarah, rendah diri, dan
sebagainya. Dengan adanya sifat ini manusia cenderung mengalami rasa
khawatir, takut, cemas, atau bahkan putus asa setelah melihat keberhasilan
orang lain.
Sebagian besar kegelisahan manusia disebabkan oleh rasa takut akan
kehilangan hak, nama baik, maupun ancaman dari luar dan dari dalam. Untuk
mengatasinya manusia perlu meningkatkan iman, takwa, amal shaleh,
penyabar, dan menjalankan shalat secara khusuk. Seperti dalam kutipan
firman Allah berikut: "Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh
kesah lagi kikir; apabila ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah, tetapi
apabila mendapat kebaikan, ia amat kikir, kecuali orang -orang yang
mengerjakan shalat, mereka yang tetap mengerjakan shalatnya, dan
orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu bagi orang
miskin (yang tidak dapat meminta), dan orang-orang yang mempercayai
hari pembalasan, dan orang-orang yang takut terhadap adzab
Tuhannya." (Widagdho, 1991:162).
Bertolak dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kegelisahan
dan segala keluh kesah adalah bagian dari hidup manusia. Semua itu
sudah terpatri sebagai karakteristik dalam diri manusia, yang hanya bisa
diatasi jika yang bersangkutan bisa bersikap untuk memiliki keyakinan/
iman penuh, sabar, pasrah, dan selalu mendekatkan diri kepada Tuhan.
Dalam pendekatan diri kepada Tuhan secara vertikal harus diimbangi
mempunyai
keturunan,
dan
sebagainya.
Sedangkan,
untuk
memperoleh
keamanan
(safety),
misalnya:
BAB V
MANUSIA, KERAGAMAN, KESEDERAJATAN DAN
KEMARTABATAN
A. Unsur-Unsur Keragaman
Kata keragaman dapat diartikan kebermacaman atau bermacammacam (Badudu, 1994:1118). Dalam kaitannya dengan pembahasan ini
kata keragaman dapat diartikan sebagai hal yang bermacam-macam.
Keragaman adalah suatu keadaan masyarakat yang di dalamnya terdapat
perbedaan-perbedaan dalam berbagai hal. Sebagaimana yang telah kita
ketahui dan disadari bersama bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa
majemuk, yang ditandai dengan beragam suku bangsa, agama, dan
kebudayaan. Keragaman itu merupakan kekayaan budaya bangsa yang
membanggakan, tetapi pada sisi lain mengandung potensi masalah yang
dapat mengakibatkan malapetaka jika tidak dikelola dengan baik.
Keragaman dipandang sebagai kekayaan budaya yang membanggakan,
artinya bahwa, bangsa Indonesia memiliki beragam unsur kebudayaan yang
berasal dari beragam golongan, kelompok, atau pun komponen bangsa
lainnya. Masing-masing komponen bangsa memiliki bentuk dan potensi
tersendiri untuk dapat dikembangkan, sehingga dalam pengembangannya
dapat dipandang memiliki beragam potensi yang bisa dimanfaatkan untuk
kemajuan bangsa. Namun demikian, beragam potensi yang rnerupakan wujud
kekayaan bangsa ini juga berpotensi untuk menimbulkan adanya banyak
kerawanan yang berpotensi menimbulkan banyak masalah, sehingga rawan
akan konflik. Untuk menekan terjadinya konflik, maka diperlukan tata kelola
yang baik.
Unsur-unsur keragaman yang merupakan sumber kekayaan bangsa dan
sekaligus menjadi sumber kerawanan timbulnya konflik tersebut dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu yang lingkupnya bersifat umum (misalnya:
suku bangsa dan ras, agama dan keyakinan, ideologi dan politik, adat dan
kesopanan, kesenjangan ekonomi, dan kesenjangan sosial) dan yang bersifat
kewilayahan
dan
merupakan
pertemuan
antara
berbagai
singgah di kawasan Nusantara antara lain berasal dari China, India, Timur
Tengah, dan Eropa. Hal itu dapat dibuktikan dari berbagai peninggalan
yang ada maupun unsur lain yang terkait ras mereka. Berbagai suku bangsa
yang berasal dari China, India, dan Timur Tengah telah memberi arti
tersendiri bagi tumbuh kembangnya peradaban bangsa ini, baik dari adatistiadat, kebiasaan, kepercayaan, agama, maupun yang lain-lainnya.
Demikian juga dengan bangsabangsa Eropa, seperti berlabuhnya kapalkapal Portugis di Banten pada abad pertengahan telah membuka Indonesia
pada lingkup pergaulan dunia internasional pada saat itu. Pengalaman
sejarah tersebut telah membentuk daya elatisitas bangsa Indonesia untuk
berinteraksi dengan perbedaan. Daya elatisitas ini terbukti dari kemampuan
bangsa Indonesia yang masih mampu mengembangkan lokalitas budaya di
tengah-tengah lalu-lintas persinggungan antar peradaban.
Kenyataan sejarah di atas membuktikan bahwa kebudayaan di
Indonesia mampu hidup secara berdampingan dan saling mengisi, sehingga
dapat berjalan paralel. Meskipun terdapat kebudayaan kraton yang
dikembangkan oleh kerajaan, eksistensi kebudayaan daerah yang hidup di
kalangan masyarakat pedesaan tetap dapat berkembang dengan baik, dan
bahkan terjadi kolaborasi bersama sehingga dapat saling memelihara
kelangsungannya. Hal itu terbukti dari budaya seni pewayangan atau
pedalangan, yang sampai saat ini masih bisa bertahan. Seni wayang tidak
saja dipelihara oleh masyarakat kalangan kraton melainkan juga masyarakat
pedesaan, dengan agama dan suku bangsa yang berbeda-beda. Bingkai
"Bhinneka Tunggal Ika" di waktu itu telah mampu mewadahi hubunganhubungan antarkebudayaan yang terjalin, dan bahkan tidak sebatas pada
konteks keanekaragaman kelompok suku bangsa, namun juga pada konteks
kebudayaan antarbangsa. Kenyataan sejarah tersebut patut dicontoh dan
dilestarikan, atau dipertahankan sebagai bentuk pembelajaran bagi generasi
bangsa ke depan.
Masalah keragaman ini perlu mendapatkan perhatian tersendiri
mengingat masyarakat Indonesia yang majemuk dengan jumlah suku bangsa
kurang lebih 700-an dan berbagai tipe kelompok masyarakat yang beragam,
serta keragaman agamanya menjadi rentan akan perpecahan. Kondisi yang
rentan akan perpecahan ini menunjukkan adanya kerapuhan, karena
keragaman perbedaan yang dimilikinya memiliki potensi konflik yang
semakin tajam. Berbagai perbedaan yang ada di masyarakat menjadi pemicu
untuk memperkuat isu konflik yang sewaktuwaktu dapat muncul di tengahtengah masyarakat meski pun konflik itu muncul belum tentu berawal dari
keragaman kebudayaan, melainkan dari isu-isu lain. Sebagai contoh kasuskasus konflik yang pernah terjadi di Indonesia yang semula dinyatakan
sebagai kasus konflik agama dan suku bangsa, kenyataannya konflik-konflik
itu lebih didominasi oleh isu-isu lain yang lebih bersifat politik dan ekonomi.
Penyebab konflik yang sering terjadi selama ini memang tidak sepenuhnya
berakar dari satu masalah namun beberapa kasus yang ada di Indonesia
dewasa ini sudah mulai memunculkan pertanyaan tentang keanekaragaman
yang kita miliki.
Untuk menjaga keutuhan bangsa yang selama ini telah diwarisi
kemampuan dalam mengelola keragaman oleh para pendahulunya maka
dalam era global ini perlu kembali belajar pada masa lalu tentang
bagaimana seharusnya mengelola keragaman tersebut dengan benar.
Kapasitas sistem politik, hukum, ekonomi, dan lain-lainnya harus bisa
mengakomodasi semua kalangan, sehingga dalam karagaman tersebut
tercipta kesederajatan sebagai komponen bangsa dan kemartabatan yang
sama sebagai warga negara. Untuk itu, peran lembaga legislatif, yudikatif,
serta pemerintah selaku eksekutif memegang peranan penting dalam menjaga amanahnya sebagai pihak yang diberi kepercayaan oleh rakyat untuk
mengelola negara ini secara benar.
kelompok,
maupun
golongan.
Asas
kesederajatan
dan
kemartabatan bagi siapa pun adalah penting agar tidak terjadi tindak
diskriminasi di lapangan. Keberadaan lembaga legislatif menjadi penting
untuk mengawal dan merumuskan produk undang-undang yang dapat
diterima oleh semua kalangan, dan mampu memposisikan perundangundangan yang menjunjung tinggi asas kesederajatan dan kemartabatan
manusia dengan tidak memihak pada kepentingan individu, kelompok,
maupun golongan. Dengan demikian, tidaklah dibenarkan jika ada produk
undang-undang yang dihasilkan lebih didasarkan pada kepentingan
kelompok atau pun golongan, yang sebatas untuk kepentingan-kepentingan
politik sesaat. Jika hal yang demikian terjadi, pasti esensi kesederajatan dan
kemartabatan akan diabaikan dan terjadilah diskriminasi di lapangan
sehingga memicu timbulnya konflik-konflik.
Selanjutnya, peran pemerintah sebagai pihak eksekutif atau pelaksana
untuk mengelola dan menjaga keanekaragaman kebudayaan sangatlah
penting. Dalam konteks ini pemerintah berfungsi sebagai pengayom dan
pelindung bagi warganya, sekaligus sebagai penjaga tata hubungan
interaksi antar kelompok-kelompok kebudayaan yang ada di Indonesia.
Namun patut disayangkan, pemerintah yang selalu dianggap sebagai
atas
dasar
kepentingannya.
Implikasinya
timbul
keadilan
dan
ketertiban
masyarakat.
Segala
bentuk
tertib hukum, juga sumber daya manusia yang bermoral, jujur, tegas, dan
bijaksana.
Peran masyarakat dalam menjaga keragaman, kesederajatan, dan
kemartabatan juga sangat penting. Untuk bisa menghargai keragaman,
kesederajatan, dan kemartabatan semua komponen bangsa harus dapat menjaga
diri dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Sebagaimana yang
diajarkan dalam tuntunan agama-agama bahwa derajat dan martabat manusia
bukan terletak pada harta, tahta, dan jabatan melainkan berada pada pundak
masingmasing individu dalam menjaga kehormatan diri di hadapan Tuhan
maupun sesama manusia. Di sinilah peran penting masyarakat untuk bisa
menjaga diri serta menyadari sebagai sesama makhluk Tuhan, yang esensi
kemanusiaannya memiliki derajat dan martabat yang sama di sisi Tuhan.
Dengan demikian, sebagai negara yang berideologi multikultur bangsa
Indonesia harus didukung dengan sistem infrastruktur demokrasi yang kuat
serta aparatur pemerintah yang mumpuni atau cakap, tegas, cerdas, jujur, dan
amanah. Hal itu penting karena sebagai negara yang multibudayaisme
kunci utamanya adalah kesamaan di depan hukum. Negara dalam hal ini
berfungsi sebagai fasilitator sekaligus penjaga pola interaksi antar
kebudayaan kelompok agar tetap seimbang antara kepentingan pusat dan
daerah. Ada keseimbangan pengelolaan pemerintah antara titik ekstrim
lokalitas dan sentralitas, misalnya kasus di Papua, oleh pemerintah
kebudayaan tersebut dibiarkan untuk berkembang dengan kebudayaan
Papuanya, namun secara ekonomi dilakukan pembagian kue ekonomi
yang adil.
Dalam konteks masa kini, kekayaan kebudayaan akan banyak
berkaitan dengan produk-produk kebudayaan yang berkaitan dengan tiga
wujud kebudayaan, yaitu pengetahuan budaya, perilaku budaya atau
praktik-praktik budaya yang masih berlaku, dan produk fisik kebudayaan
yang berwujud artefak atau bangunan. Beberapa hal yang berkaitan
dengan tiga wujud kebudayaan tersebut yang dapat dilihat adalah produk
kesenian dan sastra, tradisi, gaya hidup, sistem nilai, dan sistem
adalah
sesuatu
yang
harus
dijaga
dan
dihormati
kesamaan
derajat
yang
dijamin
oleh
undang-undang.
Kesamaan derajat ini berwujud jaminan atas hak yang diberikan dalam
berbagai sektor kehidupan. Hak inilah yang kemudian dikenal sebagai Hak
Asasi Manusia.
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak dasar yang diperoleh manusia
secara sama, sebagai wujud kesamaan dan kesederajatan. $eragam hak-hak
asasi tersebut jika dicermati akan menjunjung tinggi manusia sebagai
makhluk yang bermartabat, dan berbeda dengan makhluk yang lain. Hak
asasi adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya
bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan
masyarakat. Anggapan dasarnya adalah bahwa hak itu dimiliki oleh setiap
manusia tanpa dibedakan atas dasar negara, ras, agama, golongan maupun
jenis kelamin. Oleh karenanya, hak itu bersifat asasi (mendasar, hakiki) dan
universal (berlaku/diakui di mana pun dan kapan pun). Seandainya hak asasi
ini tidak dapat berjalan, tentu saja akan ada golongan atau pun orang yang
mengalami
ketertindasan
sehingga
perlu
diperjuangkan
untuk
menegakkannya.
Dalam sejarah perkembangannya, upaya untuk menegakkan hak asasi
manusia pernah diperjuangkan di beberapa negara dengan menghasilkan
berbagai naskah kesepakatan, yang menurut Budiardjo (1991:120121)
disebutkan sebagai berikut.
1. Magna Charta (Piagam Agung, 1215), suatu dokumen yang mencatat
beberapa hak yang diberikan oleh Raja John dari Inggris kepada beberapa
bangsawan bawahannya atas tuntutannya. Naskah ini sekaligus membatasi
kekuasaan Raja John.
2. Bill of Rights (Undang-Undang Hak, 1689), suatu undang-undang yang
diterima oleh Parlemen Inggris sebagai perlawanan terhadap Raja James II
dalam revolusi tak berdarah (The Glorious Revolution of 1688).
3. Declaration des droits I' home et du citoyen (Pernyataan hak-hak
manusia dan warga negara, 1789), suatu naskah yang dicetuskan pada
permulaan Revolusi Perancis, sebagai perlawanan terhadap kewenangan
dari rezim lama.
4. Bill of Rights (Undang-Undang Hak), suatu naskah yang disusun oleh
rakyat Amerika pada tahun 1789 dan kemudian menjadi bagian dari
Undang-undang Dasar pada tahun 1791.
Lebih lanjut dalam Budiardjo (1991:121) dijelaskan bahwa hak-hak yang
dirumuskan pada abad ke-17 dan ke-18 ini sangat dipengaruhi oleh gagasan
mengenai hukum alam (Natural Law), seperti yang dirumuskan John Locke
(1632-1714) dan J.J. Rousseau (17121778) dan hanya terbatas pada hak-hak
yang bersifat politis, seperti kesamaan hak, hak atas kebebasan, hak untuk
memilih, dan seterusnya. Pada abad ke-20 hak-hak politik tersebut dianggap
kurang sempuma, maka mulai dicetuskan beberapa hak lain yang lebih luas
ruang lingkupnya: Salah satu pernyataan yang terkenal adalah Empat
Kebebasan (The Four Freedoms) yang dicetuskan dan dirumuskan oleh
Presiden Amerika Serikat, F. D. Roosevelt pada permulaan Perang Dunia II,
saat menghadapi agresi Nazi-Jerman yang menginjak-injak hak-hak manusia.
Empat kebebasan itu antara lain meliputi: 1) kebebasan untuk berbicara dan
menyatakan pendapat (freedom of speech); 2) kebebasan beragama (freedom
of religion); 3) kebebasan dari ketakutan (freedom from fear); 4 ) kebebasan
dari kemelaratan (freedom from want), (Hariyono, 2007:238).
Pernyataan hak asasi ini meskipun secara yuridis tidak mengikat, tetapi
secara moril, politik, dan edukatif memiliki kekuatan, yang tujuannya untuk
mencapai standar minimum yang dicita-citakan oleh umat manusia dan
pelaksanaannya dibina oleh negara-negara yang tergabung dalam PBB.
Komitmen ini penting bagi keberlangsungan persamaan hak-hak dasar
manusia yang semakin berkurang. Berkurangnya hak-hak dasar manusia ini
tentu ada sebab-sebabnya, yang antara lain akan dijelaskan dalam
pembahasan berikut ini.
1. Persamaan Hak
Adanya kekuasaan negara seolah-olah hak individu menjadi
terganggu, karena ketika kekuasaan negara itu berkembang, ia memasuki
lingkungan hak manusia pribadi dan mengurangi hak-hak yang dimiliki
oleh individu. Nal ini menimbulkan persengketaan pokok antara dua kekuasaan secara prinsip, yaitu kekuasaan manusia yang berwujud hak-hak
dasar beserta kebebasan asasi yang selama ini dimilikinya dengan
leluasa, dan kekuasaan yang melekat pada organisasi baru dalam bentuk
masyarakat yang berupa negara (Ahmadi, 1997:207). Untuk mewujudkan
adanya persamaan hak maka dibuatlah sebuah deklarasi, yang
selanjutnya menjadi Pernyataan Sedunia Tentang Hak-hak (Asasi)
Manusia atau Universal Declaration of Human Right (1948), yang
antara lain pasal-pasalnya menyebutkan sebagai berikut:
Pasal 1 :
"Sekalian orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak
yang sama. Mereka dikaruniai akal dan budi dan hendaknya bergaul
satu sama lain dalam persaudaraan."
Pasal 2, ayat 1 :
ekonomi
sering
kali
menumbuhkan
permasalahan
birokrasi,
dan
lain-lain
yang
diskriminatif
akan
yang
berlaku.
Kedua,
tentang
kemerdekaan
berserikat,
pengajaran;
2).
Pemerintah
mengusahakan
dan
adalah
setiap
tindakan
yang
dilakukan
untuk
suatu
sikap
yang
terlampau
tergesa-gesa,
berdasarkan
seseorang
yang
bersifat
sepintas,
yang
bersifat
ICBM) juga karena suatu prasangka yang berlebihan dari para pemimpin,
negarawan negara-negara adikuasa (super power). Bukankah pemasangan
rudal-rudal jarak pendek milik Amerika Serikat di daratan Eropa Barat
adalah suatu manifestasi dari prasangka Amerika Serikat terhadap rivalnya
yaitu Uni Soviet? Kondisi lingkungan atau wilayah yang tidak mampu pun
cukup untuk beralasan untuk dapat menimbulkan prasangka suatu individu
atau kelompok sosial tertentu (Ahmadi, 1991:273).
Dalam kondisi persaingan untuk mencapai akumulasi material
tertentu, untuk meraih status sosial dari suatu individu atau kelompok
sosial tertentu, ada suatu lingkungan atau wilayah, di mana normanorma dan tata hukum di dalam kondisi goyah, dapat merangsang
munculnya prasangka dan diskriminasi. Antara prasangka dan
diskriminasi dapat dibedakan dengan jelas. Prasangka bersumber dari
suatu sikap, sedangkan diskriminasi menunjuk pada suatu tindakan.
Dalam pergaulan seharihari sikap prasangka dan diskriminasi seolaholah menyatu, tak dapat dipisahkan. Seorang yang mempunyai
prasangka rasial biasanya bertindak diskriminasi terhadap ras yang
diprasangkainya. Walaupun begitu, biasa orang bertindak diskriminatif
tanpa berlatar belakang pada suatu prasangka. Demikian juga
sebaliknya, seseorang yang berprasangka dapat saja berperilaku tidak
diskriminatif.
Di
Indonesia
kelompok
keturunan
Cina
sebagai
hal-hal
berikut,
antara
lain:
latar
belakang
sejarah;
kebudayaannya.
Suku
bangsa,
ras
tersebut
cenderung
sebagainya.
Hal-hal
tersebut
di
atas
dikenal
sebagai
ethnosentrisme, yaitu suatu kecenderungan yang menganggap nilainilai dan norma-norma kebudayaannya sendiri sebagai sesuatu yang
prima, terbaik, mutlak, dan dipergunakannya sebagai tolok ukur untuk
menilai dan membedakannya dengan kebudayaan lain (Ahmadi,1991:
279).
Ethnosentrisme nampaknya merupakan gejala sosial yang
universal, dan sikap yang demikian biasanya dilakukan secara tidak
sadar. Dengan demikian, ethnosentrisme merupakan kecenderungan
tak sadar untuk menginterpretasikan atau menilai kelompok lain
dengan tolok ukur kebudayaannya sendiri. Sikap ethnosentrisrne
dalam tingkah laku berkomunikasi nampak canggung, tidak luwes.
Akibat ethnosentrisme berpenampilan yang ethnosentrik, dapat
menjadi penyebab utama kesalahpahaman dalam berkomunikasi.
Pandangan Ethnosentrisrne merupakan sikap dasar paham ideologi
Chauvinis yang melahirkan Chauvinisme. Chauvinisme pernah dianut
oleh orang-orang Jerman zaman Nazi Hitler. Mereka merasa dirinya
faktor
penyalahgunaan
situasional,
wewenang
sedangkan
dapat
kasus
dianggap
korupsi
sebagai
dan
aspek
perkembangan sosio-kultaral.
d) Bersumber dari faktor kepribadian
Keadaan frustasi dari beberapa orang atau kelompok sosial
tertentu merupakan kondisi yang cukup untuk menimbulkan tingkah
laku yang agresif. Para ahli beranggapan bahwa prasangka lebih
dominan disebabkan oleh tipe kepribadian orang-orang tertentu. Tipe
authoritarian personality adalah sebagai ciri kepribadian seseorang
yang penuh dengan prasangka, dengan ciri-ciri bersifat konservatif dan
bersifat tertutup. Dalam khasanah dakwah faktor kepribadian ini lebih
identik dengan ungkapan-ungkapan budaya iri hati, berburuk sangka,
dengki, hasut, dan sebagainya. Hai-hal yang disangkakan masih
bersifat apriori dan bersifat subjektif. Lihat saja kasus-kasus tawuran
yang selama ini terjadi, sering kali masaIahnya hanya sepele seperti
pada
tindakan
diskriminasi
terhadap
negara-negara
sosial.
Kehidupan
masyarakat
yang
cenderung
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
Kepentingan
individu
untuk
memperoleh
rasa
aman
dan
perlindungan diri.
8)
BAB V
MANUSIA DAN PERADABAN
A. PENGERTIAN
Hingga kini, banyak pakar masih memperdebatkan perbedaan pendapat
tentang dua istilah, yakni kebudayaan dan peradaban. Hal ini seringkali
menimbulkan kerancuan atau kebingungan karena di satu sisi kedua hal
tersebut dicampuradukkan, namun di sisi lain keduanya terkadang
bertentangan satu sama lain;
Dalam
bahasa
Inggris
dibedakan
pada
Gerak atau dinamika manusia sesama manusia, atau dari satu daerah
kebudayaan ke daerah lain, baik disengaja atau tidak seperti migrasi atau
pengungsian dengan sebab-sebab tertentu. Dinamika ini membawa kebudayaan
dari suatu masyarakat ke masyarakat lain yang menyebabkan terjadinya
akulturasi.
Menelaah
syarat-syarat
dan
keadaan
yang
mengakibatkan
hari pasti mempunyai penyebab tertentu. Teori ini menjadi titik tolak penyesuaian
ekonomi terbelakang pada sistem dunia, sedemikian rupa sehingga menybabkan
terjadinya
penyerahan
sumber
penghasilan
daerah
ke
pusat,
sehingga
2. Penyebab Perubahan
Interkorelasi
dan
interaksi
sosial
masyarakat
mendorong
masyarakat
untuk
mengadakan
berbagai
perubahan.
b. Faktor ekstern
1)
2)
3. Keseimbangan
Keseimbangan atau harmoni dalam kehidupan sosial suatu masyarakat
merupakan keadaan yang didambakan oleh setiap anggota masyarakat. Setiap kali
terjadi gangguan terhadap keseimbangan tersebut maka masyarakat akan
menolaknya atau mengubah semua sistem.
Robert Mclver perubahan-perubahan sosial merupakan perubahan dalam
hubungan-hubungan sosial atau perubahan terhadap keseimbangan hubungan
sosial. Pengertian ini dapat ditegaskan bahwa perubahan sosial yang terjadi di
masyarakat dapat menimbulkan ketidakseimbangan hubungan-hibungan sosial.
Ketidakseimbangan ini terjadi misalnya, karena ada unsur-unsur dalam
masyarakat yang berubah cepat, tetapi ada juga unsur-unsur dalam masyarakat
yang terkait dengan unsur-unsur yang berubah jadi cepat namun tetap berubah
jadi lambat. Keadaan demikian disebut cultural lag.
E. MASYARAKAT MADANI
dalam masyarakat.
2.
(social
capital)
yang
kondusif
bagi
terbentuknya
kemampuan
berkeadilan sosial.
7.
kemasyarakatan
tersebut
dapat
menjadi
jebakan
yang menggiring
prototipe
pemerintahan
yang
sentralisme
dengan
pengembangan
masyarakat
melalui
upaya
peningkatan
F. MODERNISASI
1. Konsep Modernisasi
Modernisasi diawali pada abad ke-15 dan terjadi di Itali kemudian
menyebar ke sebagian besar ke dunia Barat dalam lima abad berikutnya dan
sekarang pengaruhnya telah menjalar ke seluruh dunia. Modernisasi pertama kali
terlihat di Inggris dengan meletusnya revolusi Industri pada abad ke-18, yang
mengubah cara produksi tradisional ke modern. Modernisasi masyarakat adalah
suatu proses transformasi yang menyebabkan perubahan-perubahaan dalam
berbagai aspek kehidupan masyarakat yang meliputi :
proses
penerapan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi ke dalam semua segi kehidupan manusia dengan tingkat yang berbedabeda tetapi tujuan utamanya untuk mencari taraf hidup yang lebih baik dan
nyaman dalam arti yang seluas-luasnya, sepanjang masih dapat diterima oleh
masyarakat yang bersangkutan.
Definisi modernisasi yang lain adalah proses yang dilandasi dengan
seperangkat rencana dan kebijaksanaan yang didasari untuk mengubah
masyarakat ke arah kehidupan yang masyarakat yang kontemporer yang menurut
penilaian lebih maju dalam derajat kehormatan tertentu (Smith : 1973)
2. Syarat-syarat Modernisasi
Modernisasi lain dengan reformasi yang menekankan pada faktor
rehabilitas. Modernisasi memiliki karakteristik yang tertentu, yakni preventif dan
kontraktif sehingga proses tersebut tidak mengarah pada angan-angan semata.
Modernisasi dapat terwujud melalui beberapa syarat, yaitu:
Sistem
administrasi
negara
yang
baik
yang
benar-benar
mewujudkan birokrasi.
3.Ciri-ciri Modernisasi
Modernisasi merupakan salah satu modal kehidupan yang ditandai dengan
ciri-ciri sebagai berikut :
Kemajuan
teknologi
dan
industrialisasi,
individualisasi,
Kehidupan
manusia
hampir
seluruh
perhatian
religiusnya
DAFTAR PUSTAKA
Setiadi, Elly M. Dkk. 2010. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Jakarta : Kencana
Media Group.
Schuon, F. 1997. Hakikat Manusia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Suleman, Munandar. 1995. Ilmu Budaya Dasar. Bandung : Eresco.
Hawwa, Said. 1993. Agar Kita Tidak Dilindas Zaman. Cetakan Ketiga. Solo :
Pustaka Mantiq.
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi : Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali
Pers.
BAB VI
NILAI, MORALITAS DAN HUKUM
A. Pengertian Nilai
Tidak mudah untuk menjelaskan apa itu suatu nilai. Setidak-tidaknya dapat
dikatakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita
cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan, singkatnya,
sesuatu yang baik. Menurut perkataan bagus filsuf Jerman-Amerika, Hans Jonas,
nilai adalah, the addressee of a yes, sesuatu yang ditujukan dengan ya kita.
Memang, nilai adalah sesuatu yang kita iakan atau kita aminkan. Nilai selalu
mempunyai konotasi positif. Sebaliknya, sesuatu yang kita jauhi, sesuatu yang
membuat kita malarikan diri seperti penderitaan, penyakit, atau kematian adalah
lawan dari nilai, adalah non-nilai atau beberapa filsuf yang menggunakan di sini
istilah nilai negatif, sedangkan nilai dalam arti tadi mereka sebut nilai positif.
Dipandang dalam perspektif sejarah filsafat yang sudah panjang, nilai
merupakan suatu tema filosofis yang berumur agak muda. Baru pada akhir abad ke19 tema ini mendapat kedudukan mantap dalam uraian-uraian filsafat akademis.
Sekurang-kurangnya secara eksplisit. Tapi secara implisit nilai sudah lama
memegang peranan dalam pembicaraan filsafat, sudah sejak Plato menempatkan
ide baik paling atas dalam hierarki ide-ide. Dan sesudah Plato, kategori baik
praktis tidak pernah lagi terlepas dari fokus perhatian filsafat, khususnya etika. Tapi
baru kira-kira seabad yang lalu nilai mendapat tempat eksplisit dalam diskusi-diskusi
filsafat dan malah timbul suatu cabang filsafat yang baru dengan nama aksiologi
atau teori nilai.
Salah satu cara yang sering digunakan untuk menjelaskan apa itu nilai
adalah memperbandingkannya dengan fakta. Kita juga mencoba menempuh jalan
ini. Jika kita berbicara tentang fakta, kita maksudkan sesuatu yang ada atau
berlangsung begitu saja. Jika kita berbicara tentang nilai, kita maksudkan sesuatu
yang berlaku, sesuatu yang memikat atau mengimbau kita. Fakta ditemui dalam
konteks deskripsi semua unsurnya dapat dilukiskan satu demi satu dan uraian itu
pada prinsipnya dapat diterima oleh semua orang. Nilai berperanan dalam suasana
apresiasi atau penilaian dan akibatnya sering akan dinilai secara berbeda oleh
pelbagai orang. Perbedaan antara fakta dan nilai ini kiranya dapat diilustrasikan
dengan contoh berikut ini. Kita andaikan saja bahwa pada tahun sekian tanggal
sekian di tempat tertentu ada gunung berapi meletus. Hal itu merupakan suatu fakta
yang dapat dilukiskan secara obyektif. Kita bisa mengukur tingginya awan panas
yang keluar dari kawah, kita bisa menentukan kekuatan gempa bumi yang menyertai
letusan itu, kita bisa memastikan letusan-letusan sebelumnya beserta jangka waktu
di antaranya, dan seterusnya. Tapi serentak juga letusan gunung itu bisa dilihat
sebagai nilai atau justru disesalkan sebagai non-nilai, pokoknya, bisa menjadi obyek
penilaian. Bagi wartawan foto yang hadir di tempat, letusan gunung itu merupakan
kesempatan emas (nilai) untuk mengabadikan kejadian langka yang jarang dapat
disaksikan. Untuk petani di sekitarnya debu panas yang dimuntahkan gunung bisa
mengancam hasil pertanian yang sudah hampir panen (non-nilai), tapi dalam jangka
waktu panjang tanah bisa bertambah subur akibat kejadian itu (nilai). Tim pencinta
alam yang datang dari jauh dengan maksud hari itu mendaki gunung sempat kecewa
karena terpaksa harus membatalkan rencana mereka (non-nilai), sedangkan
profesor geologi yang bersama rombongan mahasiswa kebetulan meninjau daerah
itu senang sekali karena dengan mendadak memperoleh obyek penelitian yang tidak
disangka-sangka sebelumnya (nilai). Contoh ini kiranya cukup jelas untuk
memperlihatkan perbedaan antara fakta dan nilai. Nilai selalu berkaitan dengan
penilaian seseorang, sedangkan fakta menyangkut ciri-ciri obyektif saja. Perlu
dicatat lagi bahwa fakta selalu mendahului nilai. Terlebih dahulu ada fakta yang
berlangsung, baru kemudian menjadi mungkin penilaian terhadap fakta itu.
Berdasarkan analisis sederhana ini dapat kita simpulkan bahwa nilai
sekurang-kurangnya memiliki tiga ciri berikut ini. 1) Nilai berkaitan dengan subyek.
Kalau tidak ada subyek yang menilai, maka tidak ada nilai juga. Entah manusia hadir
atau tidak, gunung tetap meletus. Tapi untuk dapat dinilai sebagai indah atau
merugikan, letusan gunung itu memerlukan kehadiran subyek yang menilai. 2)
Nilai tampil dalam suatu konteks praktis, di mana subyek ingin membuat se-suatu.
Dalam pendekatan yang semata-mata teoretis, tidak akan ada nilai. (Hanya menjadi
pertanyaan apakah suatu pendekatan yang secara murni teoretis bisa diwujudkan.)
3) Nilai-nilai menyangkut sifat-sifat yang ditambah oleh subyek pada sifat-sifat
yang dimiliki oleh obyek. Nilai tidak dimiliki oleh obyek pada dirinya. Rupanya hal itu
harus dikatakan karena obyek yang sama bagi pelbagai subyek dapat menimbulkan
nilai yang berbeda-beda.
Terdapat banyak macam nilai. Di sini boleh disebut beberapa contoh. Kita
bisa mulai dengan nilai ekonomis. Dalam konteks ekonomi sering dibicarakan
tentang nilai. Misalnya, kita ingat saja akan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Sebenarnya ekonomi merupakan bidang di mana nilai un tuk pertama kali dibahas
dalam rangka ilmiah. Sudah sejak Adam Smith (1723-1790), yang biasanya disebut
sebagai pelopor ilmu ekonomi. Lalu suatu kategori nilai lain adalah nilai estetis.
Misalnya, memandang lukisan yang indah, mendengarkan musik yang bagus,
membaca cerita novel yang menarik, atau puisi yang bermutu, bisa membawa nilai
estetis bagi si peminat. Masih ada nilai lain yang lebih umum sifatnya dan
memainkan peranan dalam hidup banyak orang, seperti kesehatan yang baik,
pendapatan yang layak, makanan yang enak serta bergizi, lingkungan permukiman
yang tenang serta nyaman, dan lebih-lebih kehidupan itu sendiri. Yang terakhir
merupakan suatu nilai dasar, karena merupakan syarat untuk mewujudkan semua
nilai yang lain.
Dengan demikian hanya disebut beberapa contoh nilai dan tidak diusahakan
suatu klasifikasi yang kurang lebih lengkap. Suatu klasifikasi yang sungguh-sungguh
memuaskan sampai sekarang belum ada dan barangkali tidak mungkin juga.
1. Nilai Moral
Yang dibicarakan tentang nilai pada umumnya tentu berlaku juga untuk
nilai moral. Tapi apakah kekhususan suatu nilai moral? Apakah yang
mengakibatkan suatu nilai menjadi nilai moral? Mari kita mulai dengan
menggarisbawahi bahwa dalam arti tertentu nilai moral tidak merupakan suatu
kategori nilai tersendiri di samping kategori-kategori nilai yang lain. Nilai moral
tidak terpisah dari nilai-nilai jeris lainnya. Setiap nilai dapat memperoleh suatu
bobot moral, bila diikutsertakan dalam tingkah laku moral. Kejujuran,
misalnya, merupakan suatu nilai moral, tapi kejujuran itu sendiri kosong, bila
tidak diterapkan pad lain, seperti umpamanya nilai ekonomis. Kesetiaan m kan
suatu nilai moral yang lain, tapi harus diterapkan nilai manusiawi lebih umum,
misalnya, cinta antara istri. Jadi, nilai-nilai yang disebut sampai sekarang bersifat
pramoral. Nilai-nilai itu mendahului tahap mora bisa mendapat bobot moral,
karena diikutsertakan tingkah laku moral. Di bawah ini kita kembali lagi sifat
khas nilai moral ini.
Walaupun nilai moral biasanya menumpang path nilai lain, namun ia
tampak sebagai suatu nilai ban kan sebagai nilai yang paling tinggi. Hal itu ingir
perlihatkan dengan mempelajari ciri-ciri nilai moral moral mempunyai ciri-ciri
berikut ini.
a. Berkaitan dengan Tanggung Jawab Kita
Nilai moral berkaitan dengan pribadi manusia. Tapi hal yang sama
dapat dikatakan juga tentang nilai-nilai lain. Yang khusus menandai nilai
moral ialah bahwa n berkaitan dengan pribadi manusia yang bertanggung
Nilai-nilai moral mengakibatkan bahwa seseorang 1 atau tidak bersalah,
karena ia bertanggung jawab nilai lain tidak begitu. Bahwa anak saya tidak
meninteligensi tinggi atau tidak cantik, bisa saya sesalic atas keadaan itu
saya dan anak itu sendiri tidak bertangung jawab. Bahwa seseorang
mempunyai bakat pemain bulu tangkis atau mempunyai watak yang
nyenangkan, tentu merupakan hal yang sangat menggembirakan, tapi
keadaan itu sendiri tidak menjadi jasanya karena tidak termasuk tanggung
jawabnya. Nilai contoh-contoh tadi bukan nilai moral. Suatu nila hanya bisa
diwujudkan dalam perbuatan-perbuatan sepenuhnya menjadi tanggung
jawab orang bersan Itu berarti seperti kita lihat dalam Bab 3 bahwa buatan
itu berasal dari inisiatif bebas orang itu. Karena harus kita katakan bahwa
manusia sendiri menjadi nilai moralnya. Manusia sendiri membuat tingkah
lakunya menjadi baik atau buruk dari sudut moral. Hal itu tergantung pada
kebebasannya. Misalnya, keadilan sebagai nilai moral, tidak lagi merupakan
nilai sungguh-sungguh, kalau tidak berasal dari keputusan bebas manusia.
Tentu saja, dalam keadaan normal nilai-nilai lain juga mengandaikan
peranan manusia sebagai pribadi yang bebas. Misalnya, nilai-nilai intelektual
dan estetis. Tapi di sini kebebasan dan tanggung jawab tidak menjadi syarat
mutlak. Nilai intelektual tidak hilang sebagai nilai, jika karena suatu alasan
tidak berasal dari kebebasan. Kalau seorang pengarang umpamanya
dipaksakan untuk menulis buku, maka bisa saja buku itu mempunyai nilai
intelektual yang tinggi. Atau kalaia peleton prajurit memaksakan sebuah
orkes untuk memainkan salah satu simfoni Beethoven, maka bisa saja
keindahannya sama bermutu seperti kalau dimainkan atas inisiatif bebas
orkes itu sendiri. Nilai estetis tidak tergantung dari derajat kebebasan pada
perbuatan yang menghasilkannya. Tapi lain halnya dengan nilai moral. Di
situ kebebasan dan tanggung jawab merupakan syarat mutlak.
b. Berkaitan dengan Hati Nurani
Semua nilai minta untuk diakui dan diwujudkan. Nilai selalu
mengandung semacam undangan atau imbauan. Nilai estetis, misalnya,
seolah-olah minta supaya diwujudkan dalam bentuk lukisan, komposisi
musik, atau cara lain. Dan kalau sudah jadi, lukisan minta untuk
dipamerkan dan musik minta untuk diperdengarkan. Tapi pada nilai-nilai
moral tuntutan ini lebih mendesak dan lebih serius. Mewujudkan nilai-nilai
moral merupakan imbauan dari hati nurani. Salah satu ciri khas nilai moral
adalah bahwa hanya nilai ini menimbulkan suara dari hati nurani yang
menuduh kita bila meremehkan atau menentang nilai-nilai moral dan
memuji kita bila mewujudkan nilai-nilai moral.
c. Mewajibkan
Berhubungan erat dengan ciri tadi adalah ciri berikutnya bahwa
nilai-nilai moral mewajibkan kita secara absolut dengan tidak bisa ditawartawar. Nilai-nilai lain sepatutnya diwujudkan atau seyogyanya diakui. Nilai
estetis, umpamanya. Orang yang berpendidikan dan berbudaya akan
mengakui serta menikmati nilai estetis yang terwujud dalam sebuah lukisan
yang bermutu tinggi. Tapi orang yang bersikap acuh tak acuh terhadap
lukisan itu tidak bisa dipersalahkan. Nilai estetis tidak dengan mutlak hams
diterima. Pada kenyataannya kita lihat bahwa musik Bach atau Mozart bagi
banyak orang membosankan saja, biarpun mengejawantahkan nilai estetis
yang tinggi, sedangkan mereka senang sekali dengan musik pop yang nilai
estetisnya tidak seberapa. Padahal, musik Bach dan Mozart mempunyai nilai
abadi dan musik pop pada umumnya sesudah satu atau dua tahun dilupakan
sama sekali, karena sudah diganti dengan musik pop versi mutakhir. Tapi
moral harus diakui dan harus direalisasikan. Tidak bisa diterima, bila
seseorang acuh tak acuh terhadap nilai-nilai ini.
Nilai-nilai lain menyangkut manusia menurut salah satu aspek saja, tapi nilainilai moral menyangkut manusia sebagai manusia. Karena itu kewajiban
moral tidak datang dari luar, tidak ditentukan oleh instansi lain, tapi berakar
dalam kemanusiaan kita sendiri. Akibatnya, di sini tidak mungkin orang
mendapat dispensasi, seperti bisa terjadi dengan kewajiban yang didasarkan
pada hukum positif (lembaga sosial, misalnya, mendapat dispensasi
membayar pajak). Sebab, orang tidak bisa dilepaskan dari kewajiban yang
berkaitan dengan kemanusiaannya sendiri. Dan kegagalan dalam
melaksanakan nilai-nilai moral merendahkan manusia sebagai manusia.
Kegagalan dalam melaksanakan nilai-nilai lain bisa mengecewakan, bahkan
bisa mengakibatkan kerugian besar, tapi tidak menjatuhkan martabat kita
sebagai manusia. Mahasiswa yang gagal dalam ujian, setelah belajar dengan
baik dan berusaha sungguh-sungguh, tentu akan merasa kecewa tapi
kemanusiaannya tidak direndahkan. Ia telah melakukan kewajibannya! Lain
halnya dengan mahasiswa yang mencuri uang untuk dapat membeli sepeda
motor. Mungkin di antara teman-temannya gengsinya naik. Tapi perbuatan
nekat itu telah melukai harkatnya sebagai manusia. Kegagalan di bidang
moral berarti kegagalan total sebagai manusia, bukan merupakan suatu
aspek saja.
d. Bersifat Formal
Di sini kami kembali pada awal uraian tentang nilai moral ini. Nilai
moral tidak merupakan suatu jenis nilai yang bisa ditempatkan begitu saja di
samping jenis-jenis nilai lainnya. Biarpun nilai-nilai moral merupakan nilainilai tertinggi yang harus dihayati di atas semua nilai lain, seperti yang sudah
menjadi jelas dari analisis sebelumnya, namun itu tidak berarti bahwa nilainilai ini menduduki jenjang teratas dalam suatu hierarki nilai-nilai. Nilai-nilai
moral tidak membentuk suatu kawasan khusus yang terpisah dari nilai-nilai
lain. Jika kita mewujudkan nilai-nilai moral, kita tidak perbuat sesuatu yang
lain dari biasa. Seorang pedagang berperilaku moral (mewujudkan nilai-nilai
moral) sambil mengerjakan nilai-nilai ekonomis. Seorang seniman
berperilaku moral pada saat is berkecimpung dalam nilai-nilai estetis. Kita
merealisasikan nilai-nilai moral dengan mengikutsertakan nilai-nilai lain
dalam suatu tingkah laku moral. Nilai-nilai moral tidak memiliki isi
tersendiri, terpisah dari nilai-nilai lain. Tidak ada nilai-nilai moral yang
murni, terlepas dari nilai-nilai lain. Hal itulah yang kita maksudkan dengan
mengatakan bahwa nilai moral bersifat formal. Max Scheler
mengungkapkan hal yang sama juga dengan menegaskan bahwa nilai-nilai
moral membonceng nilai-nilai lain.
2. Norma Moral
Kata Indonesia norma kebetulan persis sama bentuknya seperti dalam
bahasa asalnya, bahasa Latin. Konon, dalam bahasa Latin arti yang pertama
adalah carpenter's square: siku-siku yang dipakai tukang kayu untuk mencek
apakah benda yang dikerjakannya (meja, bangku, kursi, dan sebagainya)
sungguh-sungguh lurus. Asal-usul ini membantu kita untuk mengerti
maksudnya. Dengan norma kita maksudkan aturan atau kaidah yang kita pakai
sebagai tolok ukur untuk menilai sesuatu.
Ada banyak sekali macam norma. Misalnya, ada norma yang
menyangkut benda dan norma lain yang menyangkut tingkah laku manusia.
Contoh tentang norma yang menilai benda adalah norma-norma teknis yang
dipakai untuk menentukan kelaikan udara sebuah pesawat terbang atau
kelaikan laut sebuah kapal. Jika sesuai dengan norma-norma itu, pesawat boleh
terbang dan kapal boleh berlayar. Jika tidak, pesawat atau kapal harus diperbaiki
dulu, hingga akhirnya sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Norma yang
menyangkut tingkah laku manusia ada juga banyak macam. Di sini kita bisa
membedakan norma umum yang menyangkut tingkah laku manusia sebagai
keseluruhan dan norma khusus yang hanya menyangkut aspek tertentu dari apa
yang dilakukan manusia. Contoh tentang norma khusus adalah norma bahasa.
Tata bahasa Indonesia adalah norma yang menentukan entah kita memakai
bahasa dengan baik dan benar atau justru tidak. Kalau dalam berbicara atau
menulis bahasa kita sesuai dengan tata bahasa itu, maka kita memakai bahasa
Indonesia dengan semestinya. Kalau tidak sesuai, pemakaian bahasa Indonesia
kita tidak betul, karena tidak memenuhi syarat.
Ada tiga macam norma umum, yaitu norma kesopanan atau etiket,
norma hukum, dan norma moral. Etiket, misalnya, betul-betul mengandung
norma yang mengatakan apa yang harus kita lakukan. Mungkin karena alasan itu
etiket sering dicampuradukkan dengan etika (bandingkan Bab 1, 1, nr. 3). Tapi
etiket hanya menjadi tolok ukur untuk menentukan apakah perilaku kita sopan
atau tidak dan hal itu belum tentu sama dengan etis atau tidak. Norma hukum
juga merupakan norma penting yang menjadi kenyataan dalam setiap
masyarakat. Hampir setiap hari kita berjumpa dengan norma hukum ini. Namun
demikian, sebagaimana etiket perlu dibedakan dari norma moral, begitu pula
norma hukum tidak sama dengan norma moral (kin dingkan Bab I 5).
Norma moral menentukan apakah perilaku kita baik atau buruk dari
sudut etis. Karena itu norma moral adalah norma tertinggi, yang tidak bisa
ditaklukkan pada norma lain. Sebaliknya, norma moral menilai norma-norma
lain. Seandainya ada norma etiket yang tidak bersifat etis, karena misalnya
didasarkan atas diskriminasi terhadap wanita, maka norma etiket itu harus kalah
terhadap norma moral. Demikian halnya juga dengan norma hukum. Jika ada
undang-undang yang dianggap tidak etis, maka undang-undang itu harus
dihapus, atau diubah. Dan sepanjang sejarah hal seperti itu sudah sering terjadi.
Apakah norma moral menilai juga norma-norma khusus? Ya, memang begitu.
Walaupun tidak dalam arti bahwa norma khusus itu harus dihapus atau diubah,
namun norma khusus pun harus tunduk pada norma moral. Bisa saja bahwa
seseorang memakai bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Dari sudut norma
bahasa, apa yang dikatakannya itu memang sempurna. Tapi dengan mengatakan
hal itu pada kenyataannya ia memfitnah orang lain atau ia berbohong. Jadi, dari
sudut etis apa yang dikatakannya itu sama sekali tidak baik dan benar! Tidak
boleh ia mengatakan hal-hal seperti itu. Di sini norma bahasa pun harus tunduk
pada norma moral.
Seperti norma-norma lain juga, norma moral pun bisa dirumuskan
dalam bentuk positif atau negatif. Dalam bentuk positif norma moral tampak
sebagai perintah yang menyatakan apa yang harus dilakukan, misalnya kita
harus menghormati kehidupan manusia, kita harus mengatakan yang benar.
Dalam bentuk negatif norma moral tampak sebagai larangan yang menyatakan
apa yang tidak boleh dilakukan, misalnya: jangan membunuh, jangan
berbohong.
B. Pengertian Moralitas
1. Perumusan Masalah
Sejauh kita telah melihat bahwasanya tujuan terakhir manusia adalah
kebahagiaan sempurna dalam memiliki Tuhan. Selain itu, juga telah kita ketahui
bahwa jalan ke arah tujuan tadi adalah perbuatan manusiawi, yakni perbuatan
manusia yang sukarela. Sekarang pertanyaan yang kita hadapi adalah bagaimana
menghubungkan jalan agar mencapai tujuan?
Dapatlah setiap macam perbuatan membawa kita ke arah tujuan akhir
kita? Bila kita menjawab: ya, berarti tidak terdapat perbedaan antara hal yang
benar dan hal yang salah. Selanjutnya tidak terdapat ilmu filsafat moral dan
tidak terdapat etika.
Fakta ini menyatakan bahwa manusia memutuskan adanya macam
perbuatan yang salah dan tidak akan membawa kita ke arah tujuan terakhir dan
ada pula macam perbuatan benar yang sesunggunya akan membawa kita ke
arah tujuan terakhir tersebut. Demikian jauh kita hanya memakai saja faktafakta tersebut. Apabila kita berkata bahwa membimbing dirinya sendiri ke arah
tujuan akhirnya dengan memakai kehendak bebasnya, kita juga merangkum
dalam pernyataan kita tadi bahwasanya terdapat kemungkinan memilih antara
hal-hal yang akan membawa manusia ke arah tujuannya dan hal-hal yang tidak
akan membawa manusia ke arah tujuannya. Sebab, apabila semua jalan akan
membawa kita ke tujuan yang sama, agaknya jelas tidak diperlukan adanya
pimpinan atau pemilihan.
Pembicaraan kita yang terdahulu mengenai kesukarelaan dan
kemerdekaan, terutama mengenai prinsip akibat rangkap adalah berdasarkan
pengalaman kita sehari-hari bahwa konsekuensi atau akibat yang buruk atau
jahat dapat terbit dari perbuatan manusiawi. Sering manusia bertanggung jawab
atas perbuatan/hal-hal yang buruk tersebut. Sekarang saatnya kita
membuktikan semuanya itu.
Apakah keyakinan umum umat manusia yang berkata bahwa ada
perbuatan yang benar dan salah itu adalah sesuatu yang benar? Mengapa
terdapat perbuatan yang dianggap benar dan terdapat perbuatan yang dianggap
salah? Apakah gerangan nilai-nilai alasan-alasan yang diberikan? Inilah apa yang
disebut problema moralitas.
2. Arti Moralitas
Moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan
bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Moralitas mencakup
pengertian tentang baik-buruknya perbuatan manusia.
Kata amoral, non moral berarti bahwa tidak mempunyai hubungan
dengan moral atau tidak mempunyai arti moral. Istilah immoral artinya moral
buruk, (buruk secara moral). Moralitas dapat objektif atau subjektif. Moralitas
objektif memandang perbuatan semata sebagai suatu perbuatan yang telah
dikerjakan, bebas lepas dari pengaruh-pengaruh sukarela pihak pelaku. Lepas
dari segala keadaan khusus si pelaku yang dapat mempengaruhi atau
mengurangi penguasaan diri dan bertanya apakah orang yang sepenuhnya
menguasai dirinya diizinkan dengan sukarela menghendaki perbuatan tersebut.
Moralitas subjektif adalah moralitas yang memandang perbuatan sebagai
perbuatan yang dipengaruhi pengertian dan persetujuan si pelaku sebagai
individu. Selain itu juga dipengaruhi, dikondisikan oleh latar belakangnya,
pendidikannya kemantapan emosinya, dan sifat-sifat pribadi lainnya. Yang
ditanyakan, apakah perbuatan tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan hati
nuraninya. (conscience) sendiri dari si pelaku.
Di sini tidak kita perbincangkan apakah moralitas subjektif itu ada.
Sebab ini adalah fakta pengalaman bahwa hati nurani kita menyetujui atau
tidak menyetujui apa yang kita kerjakan. Marilah kita tunda seluruh
persoalannya sampai saatnya kita membicarakan tentang hati nurani. Persoalan
yang kita hadapi hanyalah tentang moralitas objektif. Apakah hakikat dari
perbuatan-perbuatan itu sendiri? Adakah perbuatan-perbuatan tersebut telah
memiliki kualitas moral, sifat benar/salah, yang hakiki sendiri? Ataukah
perbuatan-perbuatan tersebut mempunyai arti moral karena sebab-sebab dari
luar?
Moralitas jga dapat intrinsik dan ekstrinsik. Pembagian ini hendaknya
jangan dicampuradukkan dengan pembagian di atas tadi. Moralitas intrinsik
memandang suatu perbuatan menurut hakikatnya bebas lepas dari setiap
bentuk hukum positif. Yang dipandang adalah apakah perbuatan baik atau buruk
pada hakikatnya, bukan apakah seorang telah memerintahkannya atau telah
melarangnya.
Moralitas ekstrinsik adalah moralitas yang memandang perbuatan
sebagai sesuatu yang diperintahkan atau dilarang oleh seseorang yang
berkuasan atau oleh hukum positif, baik dari manusia asalnya maupun dari
Tuhan.
Bahwasanya terdapat moralitas ekstrinsik, semua orang bisa setuju
karena tidak ada orang yang dapat menolak kenyataan bahwa hukum-hukum
positif, bagaimanapun nilai sahnya, benar-benar ada, umpanya hukum negara,
hukum yang tak tertulis, atau hukum adat. Jadi, di sini kita tidak mengadakan
pemilihan antara moralitas intrinsik dan moralitas ekstrinsik. Di sini kita
bertanya, di samping moralitas ekstrinsik adakah juga terdapat moralitas
intrinsik? Atau juga pertanyaan dapat kita ajukan sebagai berikut: Apakah
perbuatan itu diperintahkan atau dilarang karena perbuatan tersebut pada
hakikatnya benar atau salah? Adakah moralitas kodrat? Ataukah semua
perbuatan itu benar atau salah karena diperintahkan atau dilarang? Apakah
semua moralitas sekadar sesuatu yang konvensional?
Teori yang mengatakan bahwa semua bentuk moralitas itu ditentukan
oleh konvensi dan bahwa semua bentuk moralitas itu adalah resultan dari
kehendak seseorang yang dengan sekehendak hatinya memerintahkan atau
melarang perbuatan-perbuatan tertentu tanpa mendasarkan atas sesuatu yang
intrinsik dalam perbuatan manusia sendiri atau pada hakikat manusia dikenal
sebagai aliran positivisme moral. Disebut begitu karena, menurut aliran
tersebut, semua moralitas bertumpu pada hukum positif sebagai lawan hukum
kodrat (natural law). Menurut teori tersebut, perbuatan dianggap benar atau
salah berdasarkan:
a. Kebiasaan Manusia
b. Hukum-hukum negara
c. Pemiliyhan bebas Tuhan
menerima hukum moral dan mau memakai rantai belenggu yang telah
dibuatkan untuknya. Dan hanya beberapa pemberani yang berani berjuang
dan dapat merdeka. Inilah filsafat dan dunia pemberontakan dalam bidang
moral.
Mandeville dalam bukunya, Enquiry into the Origin of Moral Virtue,
menonjolkan gagasan tersebut. Pikiran Freidrich Nietszche tidak jauh
berbeda. Menurut dia, pada awalnya tidak ada hal yang baik dan hal yang
buruk. Yang ada hanya yang kuat dan yang lemah. Yang kuat
dengankejantannya, dengan kekuatannya, dengan kelicinannya dengan
kenekatannya menghina yang lemah, yang seperti perempuan yang sabar,
patuh, ramah-tamah, dan lembut. Yang lemah takut kepada yang kuat.
Masing-masing golongan memuja sifatnya masing-masing dan menghukum
golongan lain. Muncullah perbedaan antara moralitas bendoro dan
moralitas budak. Karena jumlahnya besar dan mendapat pengaruh agama
Katolik, moralitas budak menang. Ini merupakan bencana bagi rakyat yang
sangat besar. Adalah tugas masyarakat untuk menimbulkan golongan
aristokrat pada Uebeemensch yang akan mengembalikan sifat-sifat
kehantanan dan mengembalikan moralitas bendoro. Uebermensch itu
mengatasi segalanya, yang baik dan yang buruk. Ia merupakan suatu hukum
tersendiri, hukum bagi dirinya sendiri.
Para kaum evolusionis modern, seperti Herbert Spencer,
umpamanya, mencari jejak permulaan gagasan-gagasan moral pada
binarang. Sebagaimana manusia berkembang dari hewan, maka gagasangagasan moral tertentu mengalami perkembangan evolusi yang sama. Cara
berbuat yang dianggap berguna, berkembang menjadi kebiasaan-kebiasaan
suku-suku primitif. Bersama dengan majunya peradaban, semakin
disaringlah, dan menjadi sistem moral yang kita miliki perabadan. Karena
proses evolusi belum berhenti, maka sistem tersebut masih bisa menjadi
sistem yang lebih tinggi.
Auguste Comte, pendiri aliran positivisme, memandang etika
sebagai bagian sosiologi yang dianggap sebagai ilmu tertinggi. Kebiasaan
moral itu muncul dari kebiasaan sosial dan terus berubah bersama
perbuatan-perbuatan yang terdapat dalam masyarakat. Jadi, semacam
relativisme etik. Friederich Paulsen, yang tidak dapat kita golongkan sebagai
seorang positivis, menegaskan bahwa pada kongkretnya tidak terdapat
moralitas yang universal sifatnya. Hukum moral (moral code) itu berbeda
bagi setiap orang. Setiap filsafat moral tadi muncul. Karl Marx dan Engels
beserta semua pengikutnya memegang konsepsi materialis tentang sejarah,
menegaskan bahwa gagasan-gagasan moral, politik, seni, sosial dan filsafat
ditentukan oleh keadaan ekonomi msayarakat. Setiap saat, setiap rakyat,
dans etiap kelas membentuk gagasan-gagasannya sendiri untuk
menyerasikannya dengan situasi ekonomi yang khusus. Menurut anggapan
komunis. Dan pada saat ini akan dibutuhkan bentuk moralitas yang baru
yang harus menggantikan moralitas borjuis.
Itulah beberapa contoh dan teori yang menolak adanya moralitas
intrinsik. Mereka tidak menerima bahwa perbedaan antara baik dan buruk
yang dibuat manusia umumnya itu didasarkan atas hakikat kenyataan.
Untuk lebih mendekati pandangan tersebut, marilah kita menyelidiki
tentang apakah itu adat.
Adat itu munculnya karena perbuatan yang sama yang diulang
dengan cara yang sama. Mengapa perbuatan diulang? Karena pada
permulaan kaki menjalankan perbuatan tersebut, mereka menemukan
bahwa perbuatan tersebut menyenangkan atau berguna. Dan mereka
menghendaki hal tersebut kembali. Pada mulanya manusia mengulang
perbuatan-perbuatan tertentu tidaklah karena mereka telah
mengerjakannya sekali dua kali, tetapi untuk keuntungan tertentu sampai
adat tersebut terbentuk. Adat sendiri bukanlah sumber dari perbuatan. Nilai
adat dan tradisi adalah sebagai sesuatu yang diwariskan turun temurun
kepada generasi mendatang dalam bentuk yang sudah ready-made, yakni
b. Dia tas baru saja selesai kita perbincangkan mengenai teori yang berkata
bahwa moralitas didasarkan atas dasar kebiasaan adalah tidak benar.
Sekarang ada teori yang mengatakan bahwa moralitas bersumber pada
negara atau masyarakat politik. Orang-orang yang mengajarkan teori
tersebut adalah Thomas Hobbes dan Jean Jacques Rousseau. Meraka
berkata bahawa, sebelum manusia mengorganisasi dirinya ke dalam
masyarakat politik, tidak ada hal yang baik dan buruk. Negara sendiri
bukanlah masyarakat kodrat, melainkan hasil dari social contract,
persetujuan yang sama sekali konvensional, yang dengan itu manusia
mengorbankan sebagia hak-hak kodratnya untuk menyelamatkan hak-hak
kodrat lainnya. Pada saat masyarakat sipil terbentuk, masyarakat ini
memerintahkan dan melarang
tercapainya common good. Dan inilah saat munculnya hal yang baik dan hla
yang buruk. Jadi, tidak ada peruatan yang baik dan buruk menurut
hakikatnya, tetapi hanya kerana diperintahkan atau dilarang oleh negara.
Jadi, teori tersebut menyamakan moralitas dengan civil legality.
Hobbes dan Rousseau sangat berbeda pandangannya tentang
kedudukan alam, bentuk social contract, maka memindahkan hak-hak, dan
kedudukan kedaulatan. Tetapi semuanya ini lebih bertalian dengan teori
mereka tentang negara.
C. PENGERTIAN HUKUM
tentang apa yang boleh dilakukan dan tentang apa yang tidak boleh dilakukan,
yang dilarang dan dianjurkan untuk dilakukan. Oleh karena itu, hukum
mengandung nilai-nilai keadilan, kegunaan, dan kepastian dalam masyarakat
tempat hukum diciptakan. Untuk memperdalam pengertian hukum, bagi
pembaca, dapat kami kemukakan beberapa pendapat para ahli hukum yang
telah memberikan definisi yang antara lain sebagai berikut.
1. Hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah atau larangan) yang
mengatur tata tertib dal= suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh
anggota masyarakat dan jika dilanggar dapat menimbulkan tindakan dari pihak
pemerintah dari masyarakat itu. (E. Utrecht, 1961: 12).
2. Hukum adalah karya manusia berupa norma-norma yang berisikan petunjukpetunjuk tingkah laku. Hukum merupakan pencerminan dari kehendak manusia
tentang bagaimana seharusnya masyarakat dibina dan ke mana harus
diarahkan. Oleh karena itu pertamatama, hukum mengandung rekaman dari
ide-ide yang dipilih oleh masyarakat tempat hukum diciptakan. Ide-ide tersebut
berupa ide mengenai keadilan. (Satjipto Rahardjo, 1986: 20).
3. Hukum adalah peraturan-peraturan bersifat memaksa yang dibuat oleh badanbadan resmi yang berwajib, yang menentukan tingkah laku manusia dalam
lingkungan masyarakat, pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi
berakibat diambilnya tindakan hukuman. (J.C.T. Simorangkir dan Woerjono
Sastropranoto, 1959: 6).
4. Kaidah hukum merupakan ketentuan atau pedoman tentang apa yang
seyogianya atau seharusnya dilakukan. Pada hakikatnya kaidah hukum
merupakan perumusan pendapat atau pandangan tentang bagaimana
seharusnya atau seyogianya seseorang bertingkah laku. Sebagai pedoman
kaidah hukum bersifat umum dan pasif. (Sudikno Martokusumo, 1986: 16).
b.
c.
d.
e.
ciri-ciri berikut:
a. Adanya perintah dan/atau larangan.
b. Perintah dan/atau larangan itu hares dapat ditaati oleh setiap orang.
Setiap warga masyarakat wajib mematuhi peraturan/kaidah hukum
tersebut agar tata tertib di dalam masyarakat tetap terpelihara dengan sebaikbaiknya. Untuk mempertahankan hukum perlu adanya sanksi yang tegas dan
nyata, yang datang dari pihak pemerintah. Oleh karena itu, diperlukan adanya
sesuatu kekuasaan hukum untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam
masyarakat.
D. SANKSI ATAS PELANGGARAN NORMA/TATANAN SOSIAL
2.
keadaan bahaya bagi diri orang yang sedang tersekap atau terkurung
dalam rumah yang sedang terbakar itu, dengan memilih menjamin
kepentingan hukum clari orang tersebut, dan oleh karena itu petugas
kebakaran melanggar suatu peraturan hukum atau kewajiban
hukumnya untuk tidak merusak rumah yang terbakar itu. Perbuatan
petugas pemadam kebakaran itu dikecualikan dari hukum atau tidak
dapat dihukum.
Contoh dalam keadaan darurat dalam hal pertentangan antara
kewajiban hukum, misalnya seseorang yang telah dipanggil untuk
menjadi saksi dalam suatu perkara di Pengadilan Negeri Medan.
Pada hari dan waktu yang sama ia juga dipanggil untuk memberikan
keterangan sebagai saksi di Pengadilan Negeri Binjai. Jika ia
memilih panggilan Pengadilan Negeri Medan dan tidak memenuhi
panggilan Pengadilan Negeri Binjai, ia tidak dapat dihukum karena
tidak memenuhi panggilan Pengadilan Negeri Binjai tersebut. Perlu
diingat bahwa dalam dua kewajiban hukum pada waktu yang sama
seseorang dapat memilih salah satu dari kewajiban hukum tersebut.
b. Penzbelaan Dini Secara Darurat (Noodweer)
(2)
tidaknya
alasan
bertanggung
jawab
Ayat (2)
Ayat (3)
bahasa
Belandanya
mengatakan:
verstandelijke
vermogens.
Kalau teks KUHP negeri Belanda memakai kata: geets
vermogens yang berarti kekuatan atau daya jiwa. Siapakah yang
dianggap sebagai kurang sempurna jiwanya misalnya idiot,
imbicil, buta, tuli, dan bisu mulai lahir. Orang-orang semacam
itu sebenarnya tidak sakit, akan tetapi hanya cacat mulai lahir.
Dan karena cacatcacatnya mulai lahir, sehingga pikirannya tetap
sebagai kanakkanak.
(b) Sakit berubah akalnya. Ziekelijke storing der verstandelijke
vermogens. Yang dapat masuk dalam pengertian ini misalnya:
sakit gila, manie, histerie, epilepsi, melancholi, dan bermacammacam penyakit jiwa lainnya.
Orang yang terganggu pikirannya karena mabuk minuman
keras pada umumnya tidak dipandang masuk golongan orang
tersebut, kecuali jika dapat dibuktikan, bahwa mabuknya itu
demikian rupa, sehingga ingatannya hilang sama sekali.
Dalam prakteknya jika polisi menjumpai peristi.wa semacam
itu ia tetap diwajibkan memeriksa perkaranya dan membuat proses
verbal. Hakimlah yang berkuasa memutuskan tentang dapat tidaknya
terdakwa dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu, meskipun ia
dapat pula minta nasihat dari dokter penyakit jiwa (psychiater). Jika
lain.
Ia
mengalami
suatu
yang
sama
sekali
tidak
dapat
dipaksa itu lebih lemah daripada orang yang memaksa, apakah tidak
ada jalan lain, apakah paksaan itu betul-betul seimbang apabila
dituruti dan sebagainya. Hakimlah yang harus menguji dan
memutuskan hal ini. Polisi hanya mengumpulkan bahan-bahan raja
untuk diajukan pada hakim.
(3) Yang berupa suatu keadaan darurat. Bedanya dengan kekuasaan
yang bersifat relatif ialah bahwa pada keadaan darurat orang yang
dipaksa itu sendirilah memilih peristiwa pidana manakah yang is
lakukan, sedangkan pada kekuasaannya yang bersifat relatif orang itu
tidak memilih dalam hal ini yang mengambil inisiatif adalah orang
yang memaksa. (R. Soesilo, 1976: 54). Mengenai contoh tentang
keadaan darurat ini dapat dilihat pada uraian sebelumnya mengenai
keadaan darurat (noodtoestand).
BAB VI
NILAI, MORALITAS DAN HUKUM
F. Pengertian Nilai
Tidak mudah untuk menjelaskan apa itu suatu nilai. Setidak-tidaknya dapat
dikatakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita
cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan, singkatnya,
sesuatu yang baik. Menurut perkataan bagus filsuf Jerman-Amerika, Hans Jonas,
nilai adalah, the addressee of a yes, sesuatu yang ditujukan dengan ya kita.
Memang, nilai adalah sesuatu yang kita iakan atau kita aminkan. Nilai selalu
mempunyai konotasi positif. Sebaliknya, sesuatu yang kita jauhi, sesuatu yang
membuat kita malarikan diri seperti penderitaan, penyakit, atau kematian adalah
lawan dari nilai, adalah non-nilai atau beberapa filsuf yang menggunakan di sini
istilah nilai negatif, sedangkan nilai dalam arti tadi mereka sebut nilai positif.
Dipandang dalam perspektif sejarah filsafat yang sudah panjang, nilai
merupakan suatu tema filosofis yang berumur agak muda. Baru pada akhir abad ke19 tema ini mendapat kedudukan mantap dalam uraian-uraian filsafat akademis.
Sekurang-kurangnya secara eksplisit. Tapi secara implisit nilai sudah lama
memegang peranan dalam pembicaraan filsafat, sudah sejak Plato menempatkan
ide baik paling atas dalam hierarki ide-ide. Dan sesudah Plato, kategori baik
praktis tidak pernah lagi terlepas dari fokus perhatian filsafat, khususnya etika. Tapi
baru kira-kira seabad yang lalu nilai mendapat tempat eksplisit dalam diskusi-diskusi
filsafat dan malah timbul suatu cabang filsafat yang baru dengan nama aksiologi
atau teori nilai.
Salah satu cara yang sering digunakan untuk menjelaskan apa itu nilai
adalah memperbandingkannya dengan fakta. Kita juga mencoba menempuh jalan
ini. Jika kita berbicara tentang fakta, kita maksudkan sesuatu yang ada atau
berlangsung begitu saja. Jika kita berbicara tentang nilai, kita maksudkan sesuatu
yang berlaku, sesuatu yang memikat atau mengimbau kita. Fakta ditemui dalam
konteks deskripsi semua unsurnya dapat dilukiskan satu demi satu dan uraian itu
pada prinsipnya dapat diterima oleh semua orang. Nilai berperanan dalam suasana
apresiasi atau penilaian dan akibatnya sering akan dinilai secara berbeda oleh
pelbagai orang. Perbedaan antara fakta dan nilai ini kiranya dapat diilustrasikan
dengan contoh berikut ini. Kita andaikan saja bahwa pada tahun sekian tanggal
sekian di tempat tertentu ada gunung berapi meletus. Hal itu merupakan suatu fakta
yang dapat dilukiskan secara obyektif. Kita bisa mengukur tingginya awan panas
yang keluar dari kawah, kita bisa menentukan kekuatan gempa bumi yang menyertai
letusan itu, kita bisa memastikan letusan-letusan sebelumnya beserta jangka waktu
di antaranya, dan seterusnya. Tapi serentak juga letusan gunung itu bisa dilihat
sebagai nilai atau justru disesalkan sebagai non-nilai, pokoknya, bisa menjadi obyek
penilaian. Bagi wartawan foto yang hadir di tempat, letusan gunung itu merupakan
kesempatan emas (nilai) untuk mengabadikan kejadian langka yang jarang dapat
disaksikan. Untuk petani di sekitarnya debu panas yang dimuntahkan gunung bisa
mengancam hasil pertanian yang sudah hampir panen (non-nilai), tapi dalam jangka
waktu panjang tanah bisa bertambah subur akibat kejadian itu (nilai). Tim pencinta
alam yang datang dari jauh dengan maksud hari itu mendaki gunung sempat kecewa
karena terpaksa harus membatalkan rencana mereka (non-nilai), sedangkan
profesor geologi yang bersama rombongan mahasiswa kebetulan meninjau daerah
itu senang sekali karena dengan mendadak memperoleh obyek penelitian yang tidak
disangka-sangka sebelumnya (nilai). Contoh ini kiranya cukup jelas untuk
memperlihatkan perbedaan antara fakta dan nilai. Nilai selalu berkaitan dengan
penilaian seseorang, sedangkan fakta menyangkut ciri-ciri obyektif saja. Perlu
dicatat lagi bahwa fakta selalu mendahului nilai. Terlebih dahulu ada fakta yang
berlangsung, baru kemudian menjadi mungkin penilaian terhadap fakta itu.
Berdasarkan analisis sederhana ini dapat kita simpulkan bahwa nilai
sekurang-kurangnya memiliki tiga ciri berikut ini. 1) Nilai berkaitan dengan subyek.
Kalau tidak ada subyek yang menilai, maka tidak ada nilai juga. Entah manusia hadir
atau tidak, gunung tetap meletus. Tapi untuk dapat dinilai sebagai indah atau
merugikan, letusan gunung itu memerlukan kehadiran subyek yang menilai. 2)
Nilai tampil dalam suatu konteks praktis, di mana subyek ingin membuat se-suatu.
Dalam pendekatan yang semata-mata teoretis, tidak akan ada nilai. (Hanya menjadi
pertanyaan apakah suatu pendekatan yang secara murni teoretis bisa diwujudkan.)
3) Nilai-nilai menyangkut sifat-sifat yang ditambah oleh subyek pada sifat-sifat
yang dimiliki oleh obyek. Nilai tidak dimiliki oleh obyek pada dirinya. Rupanya hal itu
harus dikatakan karena obyek yang sama bagi pelbagai subyek dapat menimbulkan
nilai yang berbeda-beda.
Terdapat banyak macam nilai. Di sini boleh disebut beberapa contoh. Kita
bisa mulai dengan nilai ekonomis. Dalam konteks ekonomi sering dibicarakan
tentang nilai. Misalnya, kita ingat saja akan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Sebenarnya ekonomi merupakan bidang di mana nilai un tuk pertama kali dibahas
dalam rangka ilmiah. Sudah sejak Adam Smith (1723-1790), yang biasanya disebut
sebagai pelopor ilmu ekonomi. Lalu suatu kategori nilai lain adalah nilai estetis.
Misalnya, memandang lukisan yang indah, mendengarkan musik yang bagus,
membaca cerita novel yang menarik, atau puisi yang bermutu, bisa membawa nilai
estetis bagi si peminat. Masih ada nilai lain yang lebih umum sifatnya dan
memainkan peranan dalam hidup banyak orang, seperti kesehatan yang baik,
pendapatan yang layak, makanan yang enak serta bergizi, lingkungan permukiman
yang tenang serta nyaman, dan lebih-lebih kehidupan itu sendiri. Yang terakhir
merupakan suatu nilai dasar, karena merupakan syarat untuk mewujudkan semua
nilai yang lain.
Dengan demikian hanya disebut beberapa contoh nilai dan tidak diusahakan
suatu klasifikasi yang kurang lebih lengkap. Suatu klasifikasi yang sungguh-sungguh
memuaskan sampai sekarang belum ada dan barangkali tidak mungkin juga.
3. Nilai Moral
Yang dibicarakan tentang nilai pada umumnya tentu berlaku juga untuk
nilai moral. Tapi apakah kekhususan suatu nilai moral? Apakah yang
mengakibatkan suatu nilai menjadi nilai moral? Mari kita mulai dengan
menggarisbawahi bahwa dalam arti tertentu nilai moral tidak merupakan suatu
kategori nilai tersendiri di samping kategori-kategori nilai yang lain. Nilai moral
tidak terpisah dari nilai-nilai jeris lainnya. Setiap nilai dapat memperoleh suatu
bobot moral, bila diikutsertakan dalam tingkah laku moral. Kejujuran,
misalnya, merupakan suatu nilai moral, tapi kejujuran itu sendiri kosong, bila
tidak diterapkan pad lain, seperti umpamanya nilai ekonomis. Kesetiaan m kan
suatu nilai moral yang lain, tapi harus diterapkan nilai manusiawi lebih umum,
misalnya, cinta antara istri. Jadi, nilai-nilai yang disebut sampai sekarang bersifat
pramoral. Nilai-nilai itu mendahului tahap mora bisa mendapat bobot moral,
karena diikutsertakan tingkah laku moral. Di bawah ini kita kembali lagi sifat
khas nilai moral ini.
Walaupun nilai moral biasanya menumpang path nilai lain, namun ia
tampak sebagai suatu nilai ban kan sebagai nilai yang paling tinggi. Hal itu ingir
perlihatkan dengan mempelajari ciri-ciri nilai moral moral mempunyai ciri-ciri
berikut ini.
e. Berkaitan dengan Tanggung Jawab Kita
Nilai moral berkaitan dengan pribadi manusia. Tapi hal yang sama
dapat dikatakan juga tentang nilai-nilai lain. Yang khusus menandai nilai
musik, atau cara lain. Dan kalau sudah jadi, lukisan minta untuk
dipamerkan dan musik minta untuk diperdengarkan. Tapi pada nilai-nilai
moral tuntutan ini lebih mendesak dan lebih serius. Mewujudkan nilai-nilai
moral merupakan imbauan dari hati nurani. Salah satu ciri khas nilai moral
adalah bahwa hanya nilai ini menimbulkan suara dari hati nurani yang
menuduh kita bila meremehkan atau menentang nilai-nilai moral dan
memuji kita bila mewujudkan nilai-nilai moral.
g. Mewajibkan
Berhubungan erat dengan ciri tadi adalah ciri berikutnya bahwa
nilai-nilai moral mewajibkan kita secara absolut dengan tidak bisa ditawartawar. Nilai-nilai lain sepatutnya diwujudkan atau seyogyanya diakui. Nilai
estetis, umpamanya. Orang yang berpendidikan dan berbudaya akan
mengakui serta menikmati nilai estetis yang terwujud dalam sebuah lukisan
yang bermutu tinggi. Tapi orang yang bersikap acuh tak acuh terhadap
lukisan itu tidak bisa dipersalahkan. Nilai estetis tidak dengan mutlak hams
diterima. Pada kenyataannya kita lihat bahwa musik Bach atau Mozart bagi
banyak orang membosankan saja, biarpun mengejawantahkan nilai estetis
yang tinggi, sedangkan mereka senang sekali dengan musik pop yang nilai
estetisnya tidak seberapa. Padahal, musik Bach dan Mozart mempunyai nilai
abadi dan musik pop pada umumnya sesudah satu atau dua tahun dilupakan
sama sekali, karena sudah diganti dengan musik pop versi mutakhir. Tapi
moral harus diakui dan harus direalisasikan. Tidak bisa diterima, bila
seseorang acuh tak acuh terhadap nilai-nilai ini.
Di sini kita bisa memanfaatkan pembedaan terkenal yang
dikemukakan filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-1804), antara imperatif
hipotetis dan imperatif kategoris. Dalam nilai moral terkandung suatu
imperatif (perintah) kategoris, sedangkan nilai-nilai lain hanya berkaitan
dengan imperatif hipotetis. Artinya, kalau kita ingin merealisasikan nilai-nilai
lain, kita harus menempuh jalan tertentu. Kalau pemain bulutangkis ingin
menjadi juara, maka ia harus berlatih keras. Tapi keharusan ini hanya
berlaku dengan syarat kalau ingin menjadi juara... Sebaliknya, nilai moral
mengandung suatu imperatif kategoris. Artinya, nilai moral itu mewajibkan
adalah carpenter's square: siku-siku yang dipakai tukang kayu untuk mencek
apakah benda yang dikerjakannya (meja, bangku, kursi, dan sebagainya)
sungguh-sungguh lurus. Asal-usul ini membantu kita untuk mengerti
maksudnya. Dengan norma kita maksudkan aturan atau kaidah yang kita pakai
sebagai tolok ukur untuk menilai sesuatu.
Ada banyak sekali macam norma. Misalnya, ada norma yang
menyangkut benda dan norma lain yang menyangkut tingkah laku manusia.
Contoh tentang norma yang menilai benda adalah norma-norma teknis yang
dipakai untuk menentukan kelaikan udara sebuah pesawat terbang atau
kelaikan laut sebuah kapal. Jika sesuai dengan norma-norma itu, pesawat boleh
terbang dan kapal boleh berlayar. Jika tidak, pesawat atau kapal harus diperbaiki
dulu, hingga akhirnya sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Norma yang
menyangkut tingkah laku manusia ada juga banyak macam. Di sini kita bisa
membedakan norma umum yang menyangkut tingkah laku manusia sebagai
keseluruhan dan norma khusus yang hanya menyangkut aspek tertentu dari apa
yang dilakukan manusia. Contoh tentang norma khusus adalah norma bahasa.
Tata bahasa Indonesia adalah norma yang menentukan entah kita memakai
bahasa dengan baik dan benar atau justru tidak. Kalau dalam berbicara atau
menulis bahasa kita sesuai dengan tata bahasa itu, maka kita memakai bahasa
Indonesia dengan semestinya. Kalau tidak sesuai, pemakaian bahasa Indonesia
kita tidak betul, karena tidak memenuhi syarat.
Ada tiga macam norma umum, yaitu norma kesopanan atau etiket,
norma hukum, dan norma moral. Etiket, misalnya, betul-betul mengandung
norma yang mengatakan apa yang harus kita lakukan. Mungkin karena alasan itu
etiket sering dicampuradukkan dengan etika (bandingkan Bab 1, 1, nr. 3). Tapi
etiket hanya menjadi tolok ukur untuk menentukan apakah perilaku kita sopan
atau tidak dan hal itu belum tentu sama dengan etis atau tidak. Norma hukum
juga merupakan norma penting yang menjadi kenyataan dalam setiap
masyarakat. Hampir setiap hari kita berjumpa dengan norma hukum ini. Namun
demikian, sebagaimana etiket perlu dibedakan dari norma moral, begitu pula
norma hukum tidak sama dengan norma moral (kin dingkan Bab I 5).
Norma moral menentukan apakah perilaku kita baik atau buruk dari
sudut etis. Karena itu norma moral adalah norma tertinggi, yang tidak bisa
ditaklukkan pada norma lain. Sebaliknya, norma moral menilai norma-norma
lain. Seandainya ada norma etiket yang tidak bersifat etis, karena misalnya
didasarkan atas diskriminasi terhadap wanita, maka norma etiket itu harus kalah
terhadap norma moral. Demikian halnya juga dengan norma hukum. Jika ada
undang-undang yang dianggap tidak etis, maka undang-undang itu harus
dihapus, atau diubah. Dan sepanjang sejarah hal seperti itu sudah sering terjadi.
Apakah norma moral menilai juga norma-norma khusus? Ya, memang begitu.
Walaupun tidak dalam arti bahwa norma khusus itu harus dihapus atau diubah,
namun norma khusus pun harus tunduk pada norma moral. Bisa saja bahwa
seseorang memakai bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Dari sudut norma
bahasa, apa yang dikatakannya itu memang sempurna. Tapi dengan mengatakan
hal itu pada kenyataannya ia memfitnah orang lain atau ia berbohong. Jadi, dari
sudut etis apa yang dikatakannya itu sama sekali tidak baik dan benar! Tidak
boleh ia mengatakan hal-hal seperti itu. Di sini norma bahasa pun harus tunduk
pada norma moral.
Seperti norma-norma lain juga, norma moral pun bisa dirumuskan
dalam bentuk positif atau negatif. Dalam bentuk positif norma moral tampak
sebagai perintah yang menyatakan apa yang harus dilakukan, misalnya kita
harus menghormati kehidupan manusia, kita harus mengatakan yang benar.
Dalam bentuk negatif norma moral tampak sebagai larangan yang menyatakan
apa yang tidak boleh dilakukan, misalnya: jangan membunuh, jangan
berbohong.
G. Pengertian Moralitas
3. Perumusan Masalah
Sejauh kita telah melihat bahwasanya tujuan terakhir manusia adalah
kebahagiaan sempurna dalam memiliki Tuhan. Selain itu, juga telah kita ketahui
bahwa jalan ke arah tujuan tadi adalah perbuatan manusiawi, yakni perbuatan
manusia yang sukarela. Sekarang pertanyaan yang kita hadapi adalah bagaimana
menghubungkan jalan agar mencapai tujuan?
Dapatlah setiap macam perbuatan membawa kita ke arah tujuan akhir
kita? Bila kita menjawab: ya, berarti tidak terdapat perbedaan antara hal yang
benar dan hal yang salah. Selanjutnya tidak terdapat ilmu filsafat moral dan
tidak terdapat etika.
Fakta ini menyatakan bahwa manusia memutuskan adanya macam
perbuatan yang salah dan tidak akan membawa kita ke arah tujuan terakhir dan
ada pula macam perbuatan benar yang sesunggunya akan membawa kita ke
arah tujuan terakhir tersebut. Demikian jauh kita hanya memakai saja faktafakta tersebut. Apabila kita berkata bahwa membimbing dirinya sendiri ke arah
tujuan akhirnya dengan memakai kehendak bebasnya, kita juga merangkum
dalam pernyataan kita tadi bahwasanya terdapat kemungkinan memilih antara
hal-hal yang akan membawa manusia ke arah tujuannya dan hal-hal yang tidak
akan membawa manusia ke arah tujuannya. Sebab, apabila semua jalan akan
membawa kita ke tujuan yang sama, agaknya jelas tidak diperlukan adanya
pimpinan atau pemilihan.
Pembicaraan kita yang terdahulu mengenai kesukarelaan dan
kemerdekaan, terutama mengenai prinsip akibat rangkap adalah berdasarkan
pengalaman kita sehari-hari bahwa konsekuensi atau akibat yang buruk atau
jahat dapat terbit dari perbuatan manusiawi. Sering manusia bertanggung jawab
atas perbuatan/hal-hal yang buruk tersebut. Sekarang saatnya kita
membuktikan semuanya itu.
Apakah keyakinan umum umat manusia yang berkata bahwa ada
perbuatan yang benar dan salah itu adalah sesuatu yang benar? Mengapa
terdapat perbuatan yang dianggap benar dan terdapat perbuatan yang dianggap
salah? Apakah gerangan nilai-nilai alasan-alasan yang diberikan? Inilah apa yang
disebut problema moralitas.
4. Arti Moralitas
Moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan
bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Moralitas mencakup
pengertian tentang baik-buruknya perbuatan manusia.
Kata amoral, non moral berarti bahwa tidak mempunyai hubungan
dengan moral atau tidak mempunyai arti moral. Istilah immoral artinya moral
buruk, (buruk secara moral). Moralitas dapat objektif atau subjektif. Moralitas
objektif memandang perbuatan semata sebagai suatu perbuatan yang telah
dikerjakan, bebas lepas dari pengaruh-pengaruh sukarela pihak pelaku. Lepas
dari segala keadaan khusus si pelaku yang dapat mempengaruhi atau
mengurangi penguasaan diri dan bertanya apakah orang yang sepenuhnya
menguasai dirinya diizinkan dengan sukarela menghendaki perbuatan tersebut.
Moralitas subjektif adalah moralitas yang memandang perbuatan sebagai
perbuatan yang dipengaruhi pengertian dan persetujuan si pelaku sebagai
individu. Selain itu juga dipengaruhi, dikondisikan oleh latar belakangnya,
pendidikannya kemantapan emosinya, dan sifat-sifat pribadi lainnya. Yang
ditanyakan, apakah perbuatan tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan hati
nuraninya. (conscience) sendiri dari si pelaku.
Di sini tidak kita perbincangkan apakah moralitas subjektif itu ada.
Sebab ini adalah fakta pengalaman bahwa hati nurani kita menyetujui atau
tidak menyetujui apa yang kita kerjakan. Marilah kita tunda seluruh
persoalannya sampai saatnya kita membicarakan tentang hati nurani. Persoalan
yang kita hadapi hanyalah tentang moralitas objektif. Apakah hakikat dari
perbuatan-perbuatan itu sendiri? Adakah perbuatan-perbuatan tersebut telah
memiliki kualitas moral, sifat benar/salah, yang hakiki sendiri? Ataukah
perbuatan-perbuatan tersebut mempunyai arti moral karena sebab-sebab dari
luar?
Moralitas jga dapat intrinsik dan ekstrinsik. Pembagian ini hendaknya
jangan dicampuradukkan dengan pembagian di atas tadi. Moralitas intrinsik
memandang suatu perbuatan menurut hakikatnya bebas lepas dari setiap
bentuk hukum positif. Yang dipandang adalah apakah perbuatan baik atau buruk
pada hakikatnya, bukan apakah seorang telah memerintahkannya atau telah
melarangnya.
Moralitas ekstrinsik adalah moralitas yang memandang perbuatan
sebagai sesuatu yang diperintahkan atau dilarang oleh seseorang yang
berkuasan atau oleh hukum positif, baik dari manusia asalnya maupun dari
Tuhan.
Bahwasanya terdapat moralitas ekstrinsik, semua orang bisa setuju
karena tidak ada orang yang dapat menolak kenyataan bahwa hukum-hukum
positif, bagaimanapun nilai sahnya, benar-benar ada, umpanya hukum negara,
hukum yang tak tertulis, atau hukum adat. Jadi, di sini kita tidak mengadakan
pemilihan antara moralitas intrinsik dan moralitas ekstrinsik. Di sini kita
bertanya, di samping moralitas ekstrinsik adakah juga terdapat moralitas
intrinsik? Atau juga pertanyaan dapat kita ajukan sebagai berikut: Apakah
perbuatan itu diperintahkan atau dilarang karena perbuatan tersebut pada
hakikatnya benar atau salah? Adakah moralitas kodrat? Ataukah semua
perbuatan itu benar atau salah karena diperintahkan atau dilarang? Apakah
semua moralitas sekadar sesuatu yang konvensional?
Teori yang mengatakan bahwa semua bentuk moralitas itu ditentukan
oleh konvensi dan bahwa semua bentuk moralitas itu adalah resultan dari
kehendak seseorang yang dengan sekehendak hatinya memerintahkan atau
melarang perbuatan-perbuatan tertentu tanpa mendasarkan atas sesuatu yang
intrinsik dalam perbuatan manusia sendiri atau pada hakikat manusia dikenal
sebagai aliran positivisme moral. Disebut begitu karena, menurut aliran
tersebut, semua moralitas bertumpu pada hukum positif sebagai lawan hukum
kodrat (natural law). Menurut teori tersebut, perbuatan dianggap benar atau
salah berdasarkan:
d. Kebiasaan Manusia
e. Hukum-hukum negara
f.
menerima hukum moral dan mau memakai rantai belenggu yang telah
dibuatkan untuknya. Dan hanya beberapa pemberani yang berani berjuang
dan dapat merdeka. Inilah filsafat dan dunia pemberontakan dalam bidang
moral.
Mandeville dalam bukunya, Enquiry into the Origin of Moral Virtue,
menonjolkan gagasan tersebut. Pikiran Freidrich Nietszche tidak jauh
berbeda. Menurut dia, pada awalnya tidak ada hal yang baik dan hal yang
buruk. Yang ada hanya yang kuat dan yang lemah. Yang kuat
dengankejantannya, dengan kekuatannya, dengan kelicinannya dengan
kenekatannya menghina yang lemah, yang seperti perempuan yang sabar,
patuh, ramah-tamah, dan lembut. Yang lemah takut kepada yang kuat.
Masing-masing golongan memuja sifatnya masing-masing dan menghukum
golongan lain. Muncullah perbedaan antara moralitas bendoro dan
moralitas budak. Karena jumlahnya besar dan mendapat pengaruh agama
Katolik, moralitas budak menang. Ini merupakan bencana bagi rakyat yang
sangat besar. Adalah tugas masyarakat untuk menimbulkan golongan
aristokrat pada Uebeemensch yang akan mengembalikan sifat-sifat
kehantanan dan mengembalikan moralitas bendoro. Uebermensch itu
mengatasi segalanya, yang baik dan yang buruk. Ia merupakan suatu hukum
tersendiri, hukum bagi dirinya sendiri.
Para kaum evolusionis modern, seperti Herbert Spencer,
umpamanya, mencari jejak permulaan gagasan-gagasan moral pada
binarang. Sebagaimana manusia berkembang dari hewan, maka gagasangagasan moral tertentu mengalami perkembangan evolusi yang sama. Cara
berbuat yang dianggap berguna, berkembang menjadi kebiasaan-kebiasaan
suku-suku primitif. Bersama dengan majunya peradaban, semakin
disaringlah, dan menjadi sistem moral yang kita miliki perabadan. Karena
proses evolusi belum berhenti, maka sistem tersebut masih bisa menjadi
sistem yang lebih tinggi.
Auguste Comte, pendiri aliran positivisme, memandang etika
sebagai bagian sosiologi yang dianggap sebagai ilmu tertinggi. Kebiasaan
moral itu muncul dari kebiasaan sosial dan terus berubah bersama
perbuatan-perbuatan yang terdapat dalam masyarakat. Jadi, semacam
relativisme etik. Friederich Paulsen, yang tidak dapat kita golongkan sebagai
seorang positivis, menegaskan bahwa pada kongkretnya tidak terdapat
moralitas yang universal sifatnya. Hukum moral (moral code) itu berbeda
bagi setiap orang. Setiap filsafat moral tadi muncul. Karl Marx dan Engels
beserta semua pengikutnya memegang konsepsi materialis tentang sejarah,
menegaskan bahwa gagasan-gagasan moral, politik, seni, sosial dan filsafat
ditentukan oleh keadaan ekonomi msayarakat. Setiap saat, setiap rakyat,
dans etiap kelas membentuk gagasan-gagasannya sendiri untuk
menyerasikannya dengan situasi ekonomi yang khusus. Menurut anggapan
komunis. Dan pada saat ini akan dibutuhkan bentuk moralitas yang baru
yang harus menggantikan moralitas borjuis.
Itulah beberapa contoh dan teori yang menolak adanya moralitas
intrinsik. Mereka tidak menerima bahwa perbedaan antara baik dan buruk
yang dibuat manusia umumnya itu didasarkan atas hakikat kenyataan.
Untuk lebih mendekati pandangan tersebut, marilah kita menyelidiki
tentang apakah itu adat.
Adat itu munculnya karena perbuatan yang sama yang diulang
dengan cara yang sama. Mengapa perbuatan diulang? Karena pada
permulaan kaki menjalankan perbuatan tersebut, mereka menemukan
bahwa perbuatan tersebut menyenangkan atau berguna. Dan mereka
menghendaki hal tersebut kembali. Pada mulanya manusia mengulang
perbuatan-perbuatan tertentu tidaklah karena mereka telah
mengerjakannya sekali dua kali, tetapi untuk keuntungan tertentu sampai
adat tersebut terbentuk. Adat sendiri bukanlah sumber dari perbuatan. Nilai
adat dan tradisi adalah sebagai sesuatu yang diwariskan turun temurun
kepada generasi mendatang dalam bentuk yang sudah ready-made, yakni
e. Dia tas baru saja selesai kita perbincangkan mengenai teori yang berkata
bahwa moralitas didasarkan atas dasar kebiasaan adalah tidak benar.
Sekarang ada teori yang mengatakan bahwa moralitas bersumber pada
negara atau masyarakat politik. Orang-orang yang mengajarkan teori
tersebut adalah Thomas Hobbes dan Jean Jacques Rousseau. Meraka
berkata bahawa, sebelum manusia mengorganisasi dirinya ke dalam
masyarakat politik, tidak ada hal yang baik dan buruk. Negara sendiri
bukanlah masyarakat kodrat, melainkan hasil dari social contract,
persetujuan yang sama sekali konvensional, yang dengan itu manusia
mengorbankan sebagia hak-hak kodratnya untuk menyelamatkan hak-hak
kodrat lainnya. Pada saat masyarakat sipil terbentuk, masyarakat ini
memerintahkan dan melarang
tercapainya common good. Dan inilah saat munculnya hal yang baik dan hla
yang buruk. Jadi, tidak ada peruatan yang baik dan buruk menurut
hakikatnya, tetapi hanya kerana diperintahkan atau dilarang oleh negara.
Jadi, teori tersebut menyamakan moralitas dengan civil legality.
Hobbes dan Rousseau sangat berbeda pandangannya tentang
kedudukan alam, bentuk social contract, maka memindahkan hak-hak, dan
kedudukan kedaulatan. Tetapi semuanya ini lebih bertalian dengan teori
mereka tentang negara.
Bila moralitas itu bukan hasil konvensi manusia, sumbernya harus terdapat
pada Tuhan. Tetapi pertanyaan asli kita tetap sama. Apakah perbuatan itu
baik karena Tuhan memerintahkan dan buruk karena Tuhan melarangnya,
ataukah Tuhan memerintahkan karena perbuatan-perbuatan tersebut baik
menurut hakikatnya dan melarangnya karena perbuatan tersebut buruk
menurut hakikatnya? Bila alternatif pertama dipilih, maka tidak terdapat
moralitas kodrat atau intrinsik, dan bahwa semua moral itas datangnya dari
hukum positif illahi. Jadi, di sini ada positivisme moral.
Para penulis abad pertengahan yang memenangkan kehendak di
atas akal budi cenderung ke arah ini (voluntarisme sebagai lawan
intelektualisme). John Duns Scotus berpendapat bahwa semua keharusan
(obligation) datangnya dari kehendak Tuhan yang mutlak merdeka, dan
bahwa perbuatan serong atau perzinahan dan pembunuhan pada
hakikatnya buruk bagi manusia sebagai sesuatu yang berlawanan dengan
kodratnya. Tetapi perbuatan-perbuatan tersebut tidak akan buruk andaikata
dulu Tuhan tidak melarangnya. Ia percaya akan adanya kebaikan atau
keburukan intrinsik, tetapi tidak percaya kepada kebenaran atau kesalahan
intrinsik (intrinsic rightness or wrongness).
William dan Ockham menolak bahwa konsep universal itu
mempunyai dasar pada realitas. Bahkan kehendak illahi juga ia bebaskan
dari kebergantungannya kepada ide-ide illahi, dan membuat kebaikan atau
keburukan perbuatan-perbuatan itu hanya bergantung kepada kehendak
illahi. Dalam salah satu tulisan, ia berkata bahwa Tuhan bahkan bisa
memerintahkan makhluk-makhluk-Nya untuk membenci Dia, dan
kebenciannya ini akan menjadi baik (meritorious). Pada hakikatnya semua
perbuatan itu indiferen, tetapi menjadi baik atau buruk karena
diperintahkan atau dilarang oleh Tuhan.
H. PENGERTIAN HUKUM
tentang apa yang boleh dilakukan dan tentang apa yang tidak boleh dilakukan,
yang dilarang dan dianjurkan untuk dilakukan. Oleh karena itu, hukum
mengandung nilai-nilai keadilan, kegunaan, dan kepastian dalam masyarakat
tempat hukum diciptakan. Untuk memperdalam pengertian hukum, bagi
pembaca, dapat kami kemukakan beberapa pendapat para ahli hukum yang
telah memberikan definisi yang antara lain sebagai berikut.
5. Hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah atau larangan) yang
mengatur tata tertib dal= suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh
anggota masyarakat dan jika dilanggar dapat menimbulkan tindakan dari pihak
pemerintah dari masyarakat itu. (E. Utrecht, 1961: 12).
6. Hukum adalah karya manusia berupa norma-norma yang berisikan petunjukpetunjuk tingkah laku. Hukum merupakan pencerminan dari kehendak manusia
tentang bagaimana seharusnya masyarakat dibina dan ke mana harus
diarahkan. Oleh karena itu pertamatama, hukum mengandung rekaman dari
ide-ide yang dipilih oleh masyarakat tempat hukum diciptakan. Ide-ide tersebut
berupa ide mengenai keadilan. (Satjipto Rahardjo, 1986: 20).
7. Hukum adalah peraturan-peraturan bersifat memaksa yang dibuat oleh badanbadan resmi yang berwajib, yang menentukan tingkah laku manusia dalam
lingkungan masyarakat, pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi
berakibat diambilnya tindakan hukuman. (J.C.T. Simorangkir dan Woerjono
Sastropranoto, 1959: 6).
8. Kaidah hukum merupakan ketentuan atau pedoman tentang apa yang
seyogianya atau seharusnya dilakukan. Pada hakikatnya kaidah hukum
merupakan perumusan pendapat atau pandangan tentang bagaimana
seharusnya atau seyogianya seseorang bertingkah laku. Sebagai pedoman
kaidah hukum bersifat umum dan pasif. (Sudikno Martokusumo, 1986: 16).
g.
h.
i.
j.
ciri-ciri berikut:
c. Adanya perintah dan/atau larangan.
d. Perintah dan/atau larangan itu hares dapat ditaati oleh setiap orang.
Setiap warga masyarakat wajib mematuhi peraturan/kaidah hukum
tersebut agar tata tertib di dalam masyarakat tetap terpelihara dengan sebaikbaiknya. Untuk mempertahankan hukum perlu adanya sanksi yang tegas dan
nyata, yang datang dari pihak pemerintah. Oleh karena itu, diperlukan adanya
sesuatu kekuasaan hukum untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam
masyarakat.
I.
4.
keadaan bahaya bagi diri orang yang sedang tersekap atau terkurung
dalam rumah yang sedang terbakar itu, dengan memilih menjamin
kepentingan hukum clari orang tersebut, dan oleh karena itu petugas
kebakaran melanggar suatu peraturan hukum atau kewajiban
hukumnya untuk tidak merusak rumah yang terbakar itu. Perbuatan
petugas pemadam kebakaran itu dikecualikan dari hukum atau tidak
dapat dihukum.
Contoh dalam keadaan darurat dalam hal pertentangan antara
kewajiban hukum, misalnya seseorang yang telah dipanggil untuk
menjadi saksi dalam suatu perkara di Pengadilan Negeri Medan.
Pada hari dan waktu yang sama ia juga dipanggil untuk memberikan
keterangan sebagai saksi di Pengadilan Negeri Binjai. Jika ia
memilih panggilan Pengadilan Negeri Medan dan tidak memenuhi
panggilan Pengadilan Negeri Binjai, ia tidak dapat dihukum karena
tidak memenuhi panggilan Pengadilan Negeri Binjai tersebut. Perlu
diingat bahwa dalam dua kewajiban hukum pada waktu yang sama
seseorang dapat memilih salah satu dari kewajiban hukum tersebut.
f.
(4)
tidaknya
alasan
bertanggung
jawab
Ayat (2)
Ayat (3)
bahasa
Belandanya
mengatakan:
verstandelijke
vermogens.
Kalau teks KUHP negeri Belanda memakai kata: geets
vermogens yang berarti kekuatan atau daya jiwa. Siapakah yang
dianggap sebagai kurang sempurna jiwanya misalnya idiot,
imbicil, buta, tuli, dan bisu mulai lahir. Orang-orang semacam
itu sebenarnya tidak sakit, akan tetapi hanya cacat mulai lahir.
Dan karena cacatcacatnya mulai lahir, sehingga pikirannya tetap
sebagai kanakkanak.
(d) Sakit berubah akalnya. Ziekelijke storing der verstandelijke
vermogens. Yang dapat masuk dalam pengertian ini misalnya:
sakit gila, manie, histerie, epilepsi, melancholi, dan bermacammacam penyakit jiwa lainnya.
Orang yang terganggu pikirannya karena mabuk minuman
keras pada umumnya tidak dipandang masuk golongan orang
tersebut, kecuali jika dapat dibuktikan, bahwa mabuknya itu
demikian rupa, sehingga ingatannya hilang sama sekali.
Dalam prakteknya jika polisi menjumpai peristi.wa semacam
itu ia tetap diwajibkan memeriksa perkaranya dan membuat proses
verbal. Hakimlah yang berkuasa memutuskan tentang dapat tidaknya
terdakwa dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu, meskipun ia
dapat pula minta nasihat dari dokter penyakit jiwa (psychiater). Jika
lain.
Ia
mengalami
suatu
yang
sama
sekali
tidak
dapat
dipaksa itu lebih lemah daripada orang yang memaksa, apakah tidak
ada jalan lain, apakah paksaan itu betul-betul seimbang apabila
dituruti dan sebagainya. Hakimlah yang harus menguji dan
memutuskan hal ini. Polisi hanya mengumpulkan bahan-bahan raja
untuk diajukan pada hakim.
(6) Yang berupa suatu keadaan darurat. Bedanya dengan kekuasaan
yang bersifat relatif ialah bahwa pada keadaan darurat orang yang
dipaksa itu sendirilah memilih peristiwa pidana manakah yang is
lakukan, sedangkan pada kekuasaannya yang bersifat relatif orang itu
tidak memilih dalam hal ini yang mengambil inisiatif adalah orang
yang memaksa. (R. Soesilo, 1976: 54). Mengenai contoh tentang
keadaan darurat ini dapat dilihat pada uraian sebelumnya mengenai
keadaan darurat (noodtoestand).
f.
BAB VII
MANUSIA, SAINS, TEKNOLOGI
DAN SENI
dalil,
hokum-hukum,
teori-teori,
konsep-konsep,
paradigma-
1980).
Cara
pandang
terhadap
dunia
Tanpa
mengesampingkan
terjadinya,
pasang-surut
dalam
perspektif
baru
semakin
terbuka
lebar.
Interaksi
dan
menggunakan
bentuk-bentuk
budaya
tertentu
untuk
dikatakan
Elly
M.
Setiadi
(2010),
dengan
dan
kecerdasan
manusia.
Hal
ini
karena
dengan
kegiatan
ilmiah;
dan
meningkatnya
kesejahteraan,
sepenuhnya
merata.
Sementara
diketahui
pada
umumnya
sisi
ada orang
yang berpenghasilan
melebihi
sains
dan
teknologi
pertanian
misalnya,
tidak
untuk
mencerdaskan
rakyat
justeru
menjadi
wahana
DAFTAR PUSTAKA
(Bab.VII.Ilham S.)
BAB VIII
MANUSIA DAN LINGKUNGAN
Manusia hidup pasti mempunyai hubungan dengan lingkungan
hidupnya, lebih dari itu, manusia telah berusaha pula mengubah
lingkungan hidupnya demi kebutuhan dan kesejahteraan. Dari sinilah
lahir peradapan istilah Toynbee- sebagai akibat dari kemampuan
manusia mengatasi lingkungan. Lingkungan hidup tidak bisa di
pisahkan dari ekosistem atau system ekologi. Ekosistem adalah satuan
kehidupan yang terdiri atas suatu komunitas makhluk hidup ( dari
berbagai jenis ) dengan berbagai benda mati membentuk suatu system.
Lingkungan hidup pada dasarnya adalah suatu system kehidupan
dimana terdapat campur tangan manusia terhadap tatanan ekosistem.
Manusia adalah bagian dari ekosistem. Lingkungan dapat pula
berbentuk lingkungan fisik dan non fisik. Lingkungan alam dan buatan
adalah Lingkungan fisik. Sedangkan lingkungan nonfisik adalah
lingkungan social budaya dimana manusia itu berada. Lingkungan amat
penting bagi kehidupan manusia. Segala yang ada pada lingkungan
dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk mencukupi kebutuhan hidup
manusia, karma lingkungan memiliki daya dukung, yaitu kemampuan
lingkungan untuk mendukung perkehidupan manusia dan makhuk hidup
lainya arti penting lingkungan bagi manusia karena lingungan
merupakan tempat hidup manusia, Lingkungan memberi sumber-sumber
penghidupan manusia, Lingkungan memengaruhi sifat, karakter, dan
perilaku manusia yang mendiaminya.
Membahas tentang manusia berarti membahas tentang kehidupan
sosial
dan
budayanya,
tentang
tatanan
nilai-nilai,
peradaban,
2. Pengertian Lingkungan
Lingkungan adalah suatu media dimana makhluk hidup
tinggal, mencari penghidupannya, dan memiliki karakter serta fungsi
yang khas yang terkait secara timbal balik dengan keberadaan
makhluk hidup yang menempatinya, terutama manusia yang
memiliki peranan yang lebih kompleks dan riil (Ghifari, 2011:1).
Lebih lanjut Baya (2012: 2), mengemukakan bahwa
lingkungan adalah suatu media dimana makhuk hidup tinggal,
mencari penghidupannya, dan memiliki karakter serta fungsi yang
khas yang terkait secara timbal balik dengan keberadaan makhluk
hidup yang menempatinya, terutama manusia yang memiliki peranan
yang lebih kompleks.
Lingkungan adalah suatu media dimana makhuk hidup tinggal,
mencari penghidupannya, dan memiliki karakter serta fungsi yang
khas yang terkait secara timbal balik dengan keberadaan makhluk
hidup yang menempatinya, terutama manusia yang memiliki peranan
yang lebih kompleks (Setyawan, 2011: 3).
Kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dari lingkungannya.
Baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Kita bernapas
memerlukan udara dari lingkungan sekitar. Kita makan, minum,
abiotik
berupa udara,
meja
kursi,
papan
tulis,
gedung sekolah, dan berbagai macam benda mati yang ada disekitar.
Sering lingkungan yang terdiri dari sesama manusia disebut
juga sebagai lingkungan sosial. Lingkungan sosial inilah yang
membentuk sistem pergaulan yang besar peranannya dalam
membentuk kepribadian seseorang.
alam
yang
tidak
diperbaharui
(nonrenewable
telur atau melahirkan. Oleh karena itu sumber daya alam tersebut
dikatakan sebagai sumber daya alam yang masih dapat diperbaharui.
Lain halnya dengan sumber daya alam abiotik yang tidak dapat
memperbaharui dirinya. Bila sumber minyak, batu bara atau bahanbahan lainnya telah habis digunakan manusia, maka habislah bahanbahan tambang tersebut.
Sumber alam biotik dapat terus digunakan atau dimanfaatkan
oleh manusia, bila manusia menggunakannya secara bijaksana dalam
penggunaan berarti memperhatikan siklus hidup sumber alam
tersebut, dan diusahakan jangan sampai sumber alam itu musnah.
Sebab, jika suatu jenis spesies di bumi musnah, maka jenis tersebut
tidak dapat muncul kembali. Seharusnya manusia menggunakan
dengan baik sumber daya biotik dan abiotik secara tepat dan
bertanggung jawab.
Manusia memandang alam lingkungannya dengan bermacammacam kebutuhan dan keinginan. Manusia bersaing dengan spesies
lainnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam hal ini
manusia memiliki kemampuan lebih besar dibandingkan organisme
lainnya, terutama dalam penggunaan sumber-sumber alamnya.
Berbagai cara telah dilakukan manusia dalam menggunakan
sumber-sumber alam berupa tanah, air, fauna, flora, bahan-bahan
galian, dan sebagainya.
Namun sesuai dengan kondisi lingkungan saat ini manusia
susah seharusnya melakukan perubahan. Perubahan yang dimaksud
disini bukanlah transformasi yang diartikan sebagai perubahan
seluruhnya (dari teknologi, sosial budaya dan ekonomi). Perubahan
disini lebih kepada perubahan hidup berperilaku, kebiasaan dalam
hidup yang menunjang pada penyelamatan lingkungan, perilaku
hidup manusia.
semata.
Seharusnya
manusia
berhati-hati
dalam
mengolah tanah, air, udara mahluk mahluk yang ada di dunia ini.
Khususnya
pada
lingkungan,
manusia
telah
begitu
banyak
Responnya
dari
lingkungan
dapat
kita
lihat
seperti
alam
lingkungan
hidupnya
untuk
menyokong
kehidupannya.
Sumber alam digolongkan menjadi dua, yaitu: Sumber Alam
yang dapat diperbaharui (sumber-sumber biotik) yaitu semua
makhluk hidup, hutan, hewan, dan tumbuh-tumbuhan; dan sumber
alam yang tidak dapat diperbaharui (golongan sumber alam abiotik)
yaitu tanah, air, bahan-bahan galian, mineral dan bahan-bahan
tambang lainnya.
Manusia sedikit demi sedikit mulai menyesuaikan diri pada
alam lingkungan hidupnya maupun komunitas biologis di tempat
mereka hidup. Perubahan alam lingkungan hidup manusia tampak
jelas di kota-kota, dibanding dengan pelosok dimana penduduknya
masih sedikit dan primitif.
Perubahan alam lingkungan hidup manusia akan berpengaruh
baik secara positif ataupun negatif. Berpengaruh bagi manusia
karena manusia mendapatkan keuntungan dari perubahan tersebut,
dan berpengaruh tidak baik karena dapat dapat mengurangi
kemampuan
alam
lingkungan
hidupnya
untuk
menyokong
kehidupannya.
Manusia merupakan komponen biotik lingkungan yang
memiliki kemampuan berfikir dan penalaran yang tinggi. Disamping
itu manusia memiliki budaya, pranata sosial dan pengetahuan serta
teknologi yang makin berkembang. Peranan manusia dalam
lingkungan ada yang bersifat positif dan ada yang bersifat negatif.
Peranan manusia yang bersifat negatif adalah peranan yang
merugikan lingkungan. Kerugian ini secara langsung atau pun tidak
Permasalahan
ageing
population
merupakan
tinggal
atau
hunian
tempat
melaksanakan
kegiatan
yaitu
penyelenggaraan
fasililitas
dan
penunjang
pengembangan
yang
mendukung
kehidupan. Persyaratan
umum
di
analisa
yaitu,
berdasarkan
dan
Perumahan,
Prasarana
dan
sarana
manusia
mempenganruhi
mempengaruhi
manusia
lingkungan
kemudian
lagi
kemudian
dan
berantakan,
kesibukannya
kemudian
dalam
karena
beraktifitas
padatnya
maka
penduduk
memerlukan
dan
sebuah
menjaga
kesetabilitasan
temperamen
emosional
dari
manusia
memang
sangatlah
di
pengaruhi
oleh
era teknologi, contohnya kita sekarang tidak pake baju dari kulit
pohon lagi sebab kita bisa bikin pakaian dari kain bahan kain dan
benang sudah diolah oleh industri dan sebagainya. akan tetapi
sebuah perilaku manusia nya tetap dipengaruhi oleh perkembangan
lingkungan nya, dan hal itu pula yang disadari oleh banyak kalangan
ketika mereka berkeinginan mangarahkan sebuah perilaku manusia,
dengan menciptakan betuk bentuk dan sumber sumber informasi
yang
terkontrol
pada
sebuah
wilayah
mengkontrol
sebuah
tertentu,
perilaku
pada
tiga
dekade
akhir
abad
keduapuluh
telah
berbagai
benda
mati
membentuk
suatu
system.
lingkungan
untuk
mendukung
perkehidupan
penduduk
merupakan
salah
satu
modal
dasar
kesulitan.
Namun
tidak
jarang,
iptek
justru
Berpengaruh
keuntungan
bagi
dari
manusia
karena
perubahan
manusia
tersebut,dan
lingkungan
untuk
menyempurnakan
serta
meningkatkan
mempunyai
pengaruh
penting
dalam
yang
diambil
atau
kebijakan-kebijakan
tentang
pemeliharaan,
pengawasan,
bawahnya.
Jadi,
jumlah
penduduk
semakin
besar
besar
pula
terhadap
lingkungan
Kesimpulan
Manusia sangat berhubungan erat dengan lingkungan, manusia
sangat membutuhkan lingkungan untuk kelangsungan hidup, sebaliknya
lingkungan juga membutuhkan manusia untuk melestarikan lingkungan.
Sumber Rujukan
Basya, Pahmi. 2012. Pengertian Manusia dan Lingkungan. http://13pbr.
blogspot.com
Ghifari, Al Uzanks. 2011. Manusia dan Lingkungan. http://jalannyauzanks.
blogspot. Com. html.
Setyawan, 2011. Mnusia dan Lingkungan. http://setyawanws.wordpress.com/
Virgyansyah.
2010.
Hubungan
Manusia
Dengan
Lingkungan.
http://virgyansyah. blogspot.com