Anda di halaman 1dari 5

OBAT-OBAT ANTITUBERKULOSIS

Mastarie S. Rasan

Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UKI


PENDAHULUAN
Masalah-masalah yang luar biasa terjadi dalam pengobatan tuberkulosis dan infeksi mikobakterium lainnya.
Penyakitnya cenderung kronis tapi dapat menimbulkan komplikasi mematikan yang sangat akut. Organisme
ini sering berada di dalam sel, dalam keadaan yang nonaktif secara metabolik untuk waktu yang lama dan
cenderung mengembangkan resistensi terhadap pemberian satu jenis obat saja, apapun jenis obat tersebut.
Tetapi obat kombinasi biasanya berguna untuk menunda kejadian resistensi munculnya obat ini. Obat barisan
pertama (isoniazid=INH, ethambutol, dan rifampisin), sering dipakai bersama-sama pada meningitis
tuberkulosa, penyebaran milier, atau penyakit paru-paru yang berat. Sejumlah obat barisan kedua akan
disebutkan secara singkat saja. Kebanyakan pasien menjadi tidak menular dalam waktu 2-4 minggu setelah
terapi dimulai.

KHEMOTERAPI TUBERKULOSE
Penyakit tuberkulose disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini ditularkan dari satu orang ke
orang yang lain melalui droplet yang tersebar di udara melalui batuk atau bangkis. Organisme yang terinhalasi
masuk ke dalam kantong udara (alveoli) paru-paru. Sebelum tahun 1944 banyak penderita tuberkulose yang
meninggal karena belum diketahui obatnya. Streptomisin, suatu antibiotik parenteral pertama yang dipakai
untuk mengobati tuberkulose. Isoniazid (INH) ditemukan pada tahun 1952 dan merupakan obat oral pertama
yang efektif melawan basil tuberkulose. Nama-nama kelompok obat yang dipakai untuk mengobati
tuberkulose adalah agen antibakterial, obat antituberkulin, dan obat-obat antituberkulose.
Terapi tunggal dengan INH terbukti tidak efektif dalam mengobati tuberkulose karena terjadi resisten obat
dalam waktu yang singkat. Telah diketahui bahwa terapi kombinasi oabt-obat antituberkulose, jarang bahkan
tidak terjadi resistensi bakteri. . dan lama pengobatanpun menjadi berkurang dari 2 tahun menjadi 6-9 bulan.
Berbagai kombinasi obat dapat dipakai, contohnya: INH dan rifampin; INH, rifampin, dan etambutol.
Rifampin dan etambutol ditemukan pada tahun 1960an dan jika hanya salah-satu yang dipakai maka hasilnya
tidak efektif dalam melawan basil tuberkulosis. INH juga digunakan secara tersendiri sebagai profilaksis
terhadap tuberkulose. Jika seseorang didiagnosis dengan tuberkulose, maka anggota keluarganya diberikan
INH dalam dosis pencegahan selama 6 bulan sampai 1 tahun.
Kombinasi obat ini bertujuan untuk memperlambat kejadian resistensi mikobakterium terhadap obat-obat
antituberkulosis
Obat anti tuberkulosis dibagi menjadi 2 kelompok:
1. First line drugs (antituberkulose utama): Streptomisin, Isoniazid (INH), Ethambutol, Rifampin
2. Second line drugs (antituberkulose sekunder): Pirazinamid, Viomisin, Kapreomisin, Sikloserin, Etinamid,
Kanamisin, Tetrasiklin, PAS (para-amino-salisilat), dan obat-obat antituberkulose lain selain yang
termasuk dalam first line drugs
First line drugs yang dianggap terbaik adalah kombinasi antara INH dengan Rifampin dengan/tanpa
antituberkulose lain.
Tidak banyak penemuan obat baru untuk terapi tuberkulose, namun dengan ditemukannya Rifampin dan
dikenalnya sifat dari M. Tuberkulosis menyebabkan masa pengobatan dapat dipersingkat dan menurunnya
angka residif.
Lamanya masa pengobatan tuberkulosis selain tergantung obat yang digunakan, juga tergantung dari berat
ringannya infeksi.
Tuberkulose yang disertai komplikasi seperti meningitis tuberkulose atau tuberkulosis milier, biasanya
pengobatan berlangsung terus selama 18 - 24 bulan, sedangkan tuberkulose pulmonum tanpa komplikasi
biasanya terapi berlangsung tidak lebih lama dari itu, untuk keadaan ini lamanya masa terapi dapat
dipersingkat sampai 6 bulan (rata-rata 9 - 12 bulan), dengan memperlihatkan hasil terapi yang sangat
memuaskan dan mayoritas penderita yang tidak memerlukan hospitalisasi.

Selama terapi berlangsung harus dilakukan monitor terhadap kemungkinan terjadinya trombositopenia dan
hal-hal lain yang dapat timbul karena efek samping dari obat antituberkulose yang digunakan.

MASALAH KEGAGALAN PENGOBATAN TUBERKULOSIS


Masa sebelum populernya khemoterapi yang dianggap sebagai faktor penting untuk penyembuhan
tuberkulose adalah memperbaiki keadaan umum penderita dengan istirahat yang cukup serta gizi yang baik.
Saat sekarang faktor obat dianggap lebih penting, sekalipun demikian masih sering terjadi kegagalan
pengobatan yang disebabkan oleh:
Kombinasi obat yang tidak cukup
Dosis obat yang tidak teratur
Adanya resisten primer dan sekunder dari mikobakterium terhadap obat
Penghentian pengobatan sebelum waktunya
Kerusakan jaringan paru yang luas
Organisasi pelayanan kesehatan yang tidak memadai (pengadaan obat dan fasilitas yang kurang)
Gagalnya para dokter mengenali efek samping dan toksisitas obat yang digunakan secara cepat
dan tepat.

MASALAH RESISTENSI
Dikenalnya sifat M. tuberkulosis dimana terdapat mikobakterium yang resisten sejak semula (resistensi primer)
terhadap antituberkulose setelah mendapat antituberkulose. Oleh karena hal tersebut uji sensitifitas mutlak
dilakukan pada permulaan terapi untuk menyakinkan apakah obat yang dipilih sudah tepat.

MASALAH EFEK SAMPING OBAT


Sebagian besar dari obat antituberkulose dapat diterima dengan baik, namun semua antituberkulose yang ada
mempunyai potensi untuk menimbulkan efek samping berupa reaksi hipersensitifitas dan reaksi toksik.
Kegagalan yang umumnya dilakukan oleh dokter yaitu kegagalan membedakan antara efek nonterapi (efek
samping) dengan gejala-gejala yang tidak ada hubungannya dengan obat yang mengakibatkan kesalahan pula
dalam menggantikan kombinasi obat, sehingga pengobatan menjadi gagal pula.
Reaksi hipersensitifitas seringkali terjadi antara minggu ke-3 8 setelah pengobatan dimulai. Dan, biasanya
jika pemberian kombinasi antituberkulose sekurang-kurangnya selama 4 bulan tidak terjadi efek samping,
maka pengobatan dapat berlangsung dengan baik.
Gejala-gejala awal dari reaksi hipersensitifitas yang umum berupa demam, takhikardi, anoreksia, malaise, hasil
laboratorium masih dalam batas-batas normal kecuali eosinofilia.
Dengan penghentian obat gejala-gejala akan segera menghilang, tetapi bila obat tidak segera dihentikan
keadaan akan memburuk dan sering disertai dengan reaksi kulit (dermatitis eksfoliatifa), hepatitis kelainan
ginjal dan diskrasia darah akut.
Adanya reaksi hipersensitifitas terhadap satu antituberkulose mengakibatkan resiko terhadap obat lain
meningkat pula.
Jadi bila terjadi reaksi yang bersifat nonterapi, maka semua antituberkulose dihentikan, kecuali bila keadaan
penyakit sudah mengancam jiwa penderita.
Pemberian antituberkulose pengganti akan segera dilakukan setelah reaksi mereda dengan didahului oleh test
antituberkulose seperti Streptomisin yang sekarang sudah tidak dianjurkan lagi karena sudah dikenal obat lain
yang lebih efektif dengan efek samping yang relatif lebih ringan daripada Streptomisin.
Reaksi toksik dari antituberkulose dapat dicegah dengan perhitungan dosis obat yang lebih tepat berdasarkan
keadaan umum penderita, umur serta berat badan.
Adanya kelainan hepar atau kelainan ginjal menyebabkan kadar obat dalam darah meningkat yang dapat
menimbulkan reaksi toksik. Demikian pula perlunya penyesuaian dosis obat pada penderita usia lanjut atau
pada bayi/neonates dimana fungsi ginjal atau heparnya sudah/masih belum sempurna.
SYARAT-SYARAT OBAT ANTITUBERKULOSE YANG IDEAL:
1. Nontoksik
2. Mudah diserap dan mudah diberikan
3. Berpenetrasi baik kesemua jaringan dan masuk ke sarang tuberculosis

4.
5.
6.

Aktif terhadap hasil intra dan ekstra seluler pada suasana asam maupun basa
Membunuh kuman yang aktif maupun yang nonaktif
Harganya murah

REGIMEN TERAPI
Masih banyak pertentangan pendapat tentang regimen terapi tuberkulosis dan regimen yang pernah
dianjurkan a.l sbb:
I.
PROGRAM PENGOBATAN JANGKA PANJANG (Program Pengobatan Tradisional)
1. Terapi 2 tahap: (semua obat diberikan dalam dosis tunggal)
a. Terapi intensif (kuman banyak): 8 - 12 minggu
INH 450 mg + Etambutol 25 mg/kg/BB, diberikan setiap hari selama 8-12 minggu, bisa
tanpa/dengan pemberian Streptomisin setiap hari sebanyak 1 gram, selama 30 hari.
Semua obat diberikan dalam dosis tunggal dan selama pengobatan selalu diberikan suplemen
pyridoksin (vitamin B6) sebanyak 50 mg/hari atau pyridoksin 10 mg untuk setiap 100 mg INH,
sebab INH merupakan antagonis kompetitif dari pyridoksin (kekurangan piridoksin
menyebabkan kesemutan oleh karena pyridoksin berfungsi penting dalam metabolisme
saraf).
b. Terapi lanjutan: 18 - 24 bulan
Terapi intensif dilanjutkan dengan dosis INH yang tetap ada tetapi dosis etambutol dikurangi
menjadi 15 mg/kg/BB/hari, selama 18-24 bulan.
2.

II.

Terapi intermitten a.l:


a. Penelitian di Madras yaitu:
1 gram Streptomisin + 750 mg INH, diberikan 2x/minggu selama 12 bulan.
b. Penelitian di Denver yaitu:
1 gram Streptomisin + 750 mg INH + 50 mg INH, setiap hari selama 1 s/d 3 bulan.
Kemudian dilanjutkan dengan dosis yang sama, frekuensi pemberian 2x/minggu, sehingga
keseluruhan waktu terapi menjadi 18-24 bulan.
PROGRAM TERAPI JANGKA PENDEK ( 9 - 12 bulan)
Kombinasi INH + Rifampin disertai suplemen piridoksin dan tanpa/dengan penambahan
antituberkulose lain.
Dengan kombinasi obat tersebut, terapi masih bisa diperpendek sampai 6 bulan. Ada 2 macam
frekuensi pemberian obat:
a. Setiap hari (dengan suplemen Piridoksin)
Dewasa: INH 300 mg + Rifampin 600 mg +/- Streptomisin 1 gram.
Anak: INH 10 mg/kg/BB, maksimal 300 mg/hari + Rifampin 10-20 mg/kgBB, maksimal 600
mg/hari + Etambutol 15 mg/kgBB.

Menurut petunjuk PROGRAM PEMBERANTASAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PARU di Indonesia, pengobatan


tuberkulosis jangka pendek diberikan selama 6 bulan, sbb: 4 minggu pertama diberikan: 450mg Rifampin +
400mg INH + 1000mg Etambutol
Diberikan setiap hari dan dilanjutkan dengan pemberian intermitten 2x per minggu selama 22 minggu: 600 mg
Rifampin dan 700 mg INH.
Sedangkan untuk pengobatan tuberkulose jangka panjang diberikan selama 12 bulan, sbb: 4 minggu
pertama diberikan suntikan 0,75gram Streptomisin, disertai dengan pemberian oral 400 mg INH, 1250mg
Pirazinamid setiap hari dan dilanjutkan dengan pemberian intermitten 2x/minggu suntikan i.m 0,75 gram
Streptomisin. dan oral 700 mg INH selama 11 bulan berikutnya.
PENGOBATAN ULANG TUBERKULOSE AKTIF
1. Jika karena suatu hal pengobatan harus diulang maka kombinasi obat yang pernah digunakan harus
ditambah dengan satu macam obat baru, kecuali bila test sensitifitas menunjukkan bahwa kombinasi
obat yang lama masih efektif terhadap penyebab infeksi.

2.
3.
4.

Rifampin harus merupakan salah-satu obat yang harus diberikan dalam kombinasi untuk permulaan
terapi sebab diketahui bahwa Rifampin relatif jarang menimbulkan resistensi.
Bila penggunaan kombinasi obat yang efektif dihentikan masih dini (1 bulan setelah terapi dimulai),
biasanya kombinasi/regimen yang tetap sama masih memberikan hasil terapi yang memuaskan.
Bila penghentian terapi dilakukan setelah beberapa kur, dan sering diselingi dengan pemberian INH
saja, maka dianjurkan menggunakan kombinasi antara Etambutol dan Rifampisin ditambah dengan
satu atau dua jenis antituberkulosis lain yang efektif.

Sambil menunggu hasil pemeriksaan test sensitifitas, dianjurkan:


Selama 6-8 minggu pertama pemberian 1 gram Streptomisin per hari atau 5x/ minggu disertai pemberian INH
& Rifampin serta 30 mg/kgBB/hari Pirazinamid. Bila hasil test sensitifitas memperlihatkan kuman masih
sensitif terhadap INH dan Rifampin, maka untuk 9 bulan berikutnya pemberian Streptomisin dan Pirazinamid
dapat dihentikan. Tetapi bila ternyata kuman sudah resisten terhadap INH maka obat yang digunakan adalah
kombinasi antara Streptomisin, Rifampisin dan Pirazinamid.

FARMAKOLOGIK OBAT-OBAT ANTITUBERKULOSE


ISONIAZID (INH). Isoniazid merupakan obat antituberkulose yang paling aktif; menghambat kebanyakan
basil tuberkulose dalam konsentrasi 0,2 ug/ml atau kurang. Meskipun demikian banyak mycobacterium atipik
resisten terhadap obat ini. Mekanisme kerja adalah melalui hambatan pada dintesa dinding sel basil
tuberkulosis. Pada suatu populasi micobacterium yang besar dan peka terhadap INH, timbul mutan-mutan
yang resisten, dan resistensi diperlambat bila ada obat kedua. Tidak ada resistensi silang antara INH,
rifampin, etambutol, dan streptomisin. Efek samping INH adalah neuritis perifer karena obat ini merupakan
antagonis kompetitif dari piridoksin (vitamin B6), terutama pada penderitan dengan kekurangan gizi, dibetes
mellitus, dan alkoholik. Bersifat hepatotoksik dimana dapat menimbulkan hepatitis.
Indikasi, Dosis, Cara Pemberian. INH merupakan obat yang paling sering dipakai untuk tuberkulose. Pada
penyakit aktif yang nyata secara klinis, INH diberikan bersama-sama dengan etambutol, rifampin atau
streptomisin. Dosis awal adalah 8-10 mg/kgBB/hari per oral, sampai 20 mg/kgBB/hari pada anak kecil.
Kemudian dosis ini dikurangi menjadi 5-7 mg/kgBB/hari.
Anak-anak atau orang dewasa muda yang test kulit tuberkulinnya berubah dari negatif menjadi positif dapat
diberikan 10 mg/kgBB/hari (maksimum 300 mg/hari) selama 1 tahun sebagai profilaksis terhadap resiko
meningitis atau penyebaran milier (5-15%). Untuk profilaksis ini, INH diberikan sebagai obat tunggal. Reaksi
toksik terhadap INH meliputi: insomnia, kegelisahan, disuria, hiperrefleksia, sampai konvulsi dan episode
psikotik banyak yang beranggapan hal ini disebabkan karena kekurangan piridoksin relatif dan neurutis
perifer, yang dapat dicegah dengan pemberian piridoksin secara bersamaan dengan INH selama terapi.
ETAMBUTOL. Etambutol diabsorbsi dengan baik oleh usus, sekitar 20 % diekskresi dalam faeces, dan 50 %
dalam urine. Etambutol didistribusi secara luas, termasuk kedalam liquor cerebro spinalis, sehingga dapat
digunakan untuk pengobatan meningitis. Etambutol, 15 mg/kg BB, per oral sebagai dosis tunggal, biasanya
bersama-sama dengan INH, untuk mencegah cepat timbulnya mycobacteria yang resisten terhadap obat ini.
Efek samping yang paling serring terjadi adalah gangguan visual (gangguan melihat warna hijau) yang
bersifat reversible, dalam dosis harian 25/kg BB atau lebih.
RIFAMPIN. Per oral diabsorpsi dengan baik dan terdistribusi secara luas ke dalam jaringan. Sebagai
antituberkulose diberikan dalam dosis tunggal 600 mg (10-20 mg/kg BB), setiap hari. Untuk mencegah
kejadian resistensi, obat kedua diberikan pada waktu yang bersamaan. Rifampin menyebabkan urine dan
keringat berwarna jingga tua. Efek samping yang kadang-kadang terjadi adalah ruam kulit , trombositopenia,
gangguan fungsi hati, dan proteinuria. Sebagai profilaksis untuk meningokokemia dan meningitis, rifampin
diberikan per oral 2 x sehari 600 mg (10 mg/kg BB untuk anak-anak) selama 2 hari.
STREPTOMISIN. Streptomisin dipakai dalam kombinasi dengan obat antituberkulose lain untuk mencegah
munculnya mutan-mutan yang resisten. Obat ini kurang mampu menembus sel sehingga efeknya terutama
untuk basil tuberkulosis ekstrasel. Digunakan sebagai terapi kombinasi untuk meningitis tuberkulose, milier
tuberkulose, dan tuberkulose organ yang berat; diberikan 1 g/hari atau 2 x seminggu (30 mg/kgBB untuk

anak-anak), selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Pada meningitis tuberkulose,


sebagain
tambahan kadang-kadang diberikan suntikan intratekal (1-2 mg/kgBB/hari).
Gangguan fungsi vestibuler yang disebabkan oleh penggunaan streptomisin jangka lama mengakibatkan
ketidak mampuan untuk mempertahankan keseimbangan.

OBAT ALTERNATIF DALAM TERAPI TUBERKULOSE.


Obat-obat alternatif ini dippertimbangkan penggunaannya dalam kasus resistensi obat (klinis dan laboratoris)
terhadap obat-obat barisan pertama dan bila ada bimbingan ahli utnuk menghadapi efek samping.
ASAM PARA-AMINOSALISILAT (PAS). PAS menghambat kebanyakan basil tuberkulosis dalam konsentrasi
1-5 ug/ml tetapi tidak mempunyai efek pada bakteri lain. Mycobacterium tuberkulosis yang resisten muncul
dengan cepat kecuali kalau diberikan bersama-sama dengan obat antituberkulose lainnya. Dosis 8-12 g /hari
per oral dalam satu atau beberapa dosis. Efek samping yang lazim terjadi adalah anoreksia, nausea, diare,
nyeri epigastrium (dapat dikurangi dengan pemberian bersama makan atau antasida), dapat sampai terjadi
ulkus peptikum. Natrium PAS dapat diberikan secara parenteral. Reaksi hipersensitivitasnya meliputi demam,
ruam kulit, granulositopenia, limfadenopati, dan artralgia.
ETINAMID. Dosis 0,5-1 g/hari per oral, pernah dipakai dalam terapi kombinasi, tetapi menimbulkan iritasi
lambung yang nyata.
KAPREOMISIN. Dosis 0,5-1,5 g/hari IM, mungkin dapat menggantikan streptomisin dalam terapi kombinasi.
Bersifat nefrotoksik dan ototoksik.
PIRAZINAMID. Dosis 2-3 g/hari per oral, pernah dipakai dalam terapi kombinasi, tetapi dapat menimbulkan
kerusakan hati yang berat.
SIKLOSERIN. Dosis 0,5-1 g/hari per oral , pernah dipakai sendirian atau bersama-sama dengan INH. Ia dapat
menimbulkan berbagai macam gangguan fungsi SSP dan reaksi psikotik. Dalam dosis yang lebih kecil (15-20
mg/kgBB/hari), obat ini pernah digunakan untuk infeksi traktus urinarius.
VIOMISIN. Dosis 2 g IM setiap 3 hari, dapat menggantikan streptomisin dalam terapi kombinasi. Bersifat
nefrotoksik dan ototoksik

Anda mungkin juga menyukai