Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH RADIOLOGI

KEDOKTERAN NUKLIR

KELOMPOK 1
Kelas C

TIM PENYUSUN :

Universitas Prof Dr.Moestopo (Beragama)


Fakultas Kedokteraan Gigi
Tahun Ajaran 2012/2013
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan karunia-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Makalah ini kami buat untuk melengkapi
tugas Mata Kuliah Radiologi dan membahas tentang kedokteran nuklir, selain itu makalah ini juga
bertujuan supaya pembaca dapat mengetahui dan memahami secara jelas mengenai apa yang
dimaksud dengan kedokteran nulir.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini tidak mungkin dapat terselesaikan dengan
baik tanpa adanya bimbingan dan dorongan dari beberapa pihak. Didalam proses pembelajaran
sangatlah diperlukan suatu panduan. Baik yang berasal dari buku-buku bacaan, internet, dosen dan
masih banyak lagi. Dengan adanya panduan-panduan tersebut maka proses belajar akan menjadi
lebih mudah.
Oleh karena itu kami berusaha untuk menyuguhkan sebuah makalah yang kami harapkan
dapat membantu pembaca dalam belajar tentang kedokteran nuklir. Di dalam makalah yang kami
buat ini, mengambil bahan dari beberapa jurnal yang ada di internet dan refrensi sehingga data
yang kami sajikan ini merupakan data-data akurat. Untuk mempermudah memahami kami
membuat kata-kata yang sederhana dalam penulisan makalah ini. Selain itu makalah ini kami buat
dengan mengambil bagian-bagian yang penting saja.
Untuk semua pihak yang ikut serta dalam upaya penyelesaian makalah ini saya
mengucapkan banyak terima kasih atas bantuannya. Terutama kepada dr.Inggrijani dan bagi
pembaca yang ingin memberikan saran dan kritik kami terima untuk penyempurnaan makalah ini.

Jakarta, 6 November 2012

BAB I

(PENDAHULUAN)
LATAR BELAKANG :
Ilmu kedokteran nuklir adalah cabang ilmu kedokteran yang menggunakan sumber
radiasi terbuka berasal dari disintegrasi inti radionuklida buatan, untuk mempelajari
perubahan fisiologi, anatomi dan biokimia, sehingga dapat digunakan untuk tujuan
diagnostik, terapi, dan penelitian kedokteran.
Sejak reaktor nuklir pertama beroperasi dengan sukses (Desember,1942) produksi
isotop radioaktif berkembang dengan pesat. Di Indonesia, sinar beta yang berasal dari isotop
I131 dimanfaatkan untuk pengobatan hipertiroidisme dan karsinoma tiroid, sedang sinar
gamma I131 yang mempunyai daya tembus besar, dimanfaatkan untuk membuat sidikan
(scanning) kelenjar tiroid dan grafik renogram.
Selain itu, terdapat instrumen yang merupakan alat deteksi atau detektor dalam
kedokteran nuklir berupa rangkaian elektronik yang dapat merubah sinar gamma menjadi
data yang dapat dinilai. Dengan demikian keadaan sumber radiasi dapat dinilai sebagai peta
energi angka, scanning, dan grafik.
Senyawa yang mengandung radioaktif diperlukan untuk didapatnya pemeriksaan
organ sebagai sumber radiasi secara selektif disebut dengan radiofarmaka. Terdiri atas 2
komponen, yaitu komponen radioaktif dan komponen pembawa materi. Komponen
membawa materi akan membawa bahan radioaktif ke organ tubuh tertentu yang dapat
ditempati atau dapat menangkap pembawa materi tersebut, shingga bahan radioaktif akan
berada di organ tersebut dan menjadi sumber radiasi. Banyak cara penempatan radiofarmaka,
diantaranya adalah proses fagositosis, transportasi aktif, penghalang kapiler, pertukaran difus,
kompartemental dan pengasingan sel.
Perkembangan kedokteran nuklir berlangsung cepat sejalan dengan perkembangan
instrumen dan radio farmaka serta pengetahuan fungsi normal dan patologik organ tubuh
manusia di bidang kedokteran.

RUMASAN MASALAH :

Apa yang dimaksud dengan kedokteran nuklir ?


Bagaimana sejarah kedokteran nuklir ?
Apa manfaat dari kedokteran nuklir ?
Apa dampak penggunaan dari kedokteran nuklir ?

TUJUAN:

Mengetahui apa yang dimaksud dengan kedokteran nuklir


Mengetahui sejarah kedokteran nuklir
Mengetahui apa saja manfaat kedokteran nuklir
Mengetahui dampak kedokteran nuklir

BAB II
(ISI)

A. Pengertian Kedokteran Nuklir


Kedokteran nuklir adalah bidang kedokteran yang memanfaatkan materi
radioaktif untuk menegakkan diagnosis dan mengobati penderita serta mempelajari
penyakit manusia.

Bidang kedokteran nuklir laksana sebuah segitiga dengan

radiofarmaka, instrumen dan masalah biomedik sebagai sisi-sisinya, serta penderita


berada ditengahnya (Hendry N.Wagner Jr).
B. Sejarah Kedokteran Nuklir
Asal-mula fisika nuklir terikat pada fisika atom, teori relativitas, dan teori
kuantum dalam permulaan abad kedua-puluh. Kemajuan awal utama meliputi
penemuan radioaktivitas (1898), penemuan inti atom dengan menginterpretasikan
hasil hamburan partikel alfa (1911), identifikasi isotop dan isobar (1911), pemantapan
hukum-hukum pergeseran yang mengendalikan perubahan-perubahan dalam nomor
atom yang menyertai peluruhan radioaktivitas (1913), produksi transmutasi nuklir
karena penembakan dengan partikel alfa (1919) dan oleh partikel-partikel yang
dipercepat secara artifisial (1932), formulasi teori peluruhan beta (1933), produksi
inti-inti radioaktif oleh partikel-partikel yang dipercepat (1934), dan penemuan fissi
nuklir (1938). Fisika nuklir ialah unik pada tingkat dimana ia menghadirkan banyak
topik terapan dan paling fundamental. Instrumentasi-intrumentasinya telah memiliki
kegunaan yang banyak di seluruh sains, teknologi, dan kedokteran; rekayasa nuklir
dan kedokteran nuklir adalah dua bidang spesialisasi terapan yang sangat penting.
Aplikasi teknik nuklir, baik aplikasi radiasi maupun radioisotop, sangat
dirasakan manfaatnya sejak program penggunaan tenaga atom untuk maksud damai
dilancarkan pada tahun 1953. Dewasa ini penggunaannya di bidang kedokteran sangat
luas, sejalan dengan pesatnya perkembangan bioteknologi, serta didukung pula oleh
perkembangan instrumentasi nuklir dan produksi radioisotop umur pendek yang lebih
menguntungkan ditinjau dari segi medik. Energi radiasi yang dipancarkan oleh suatu
sumber radiasi, dapat menyebabkan peruba.hari fisis, kimia dan biologi pada materi
yang dilaluinya. Perubahan yang terjadi dapat dikendalikan dengan jalan memilih
jenis radiasi (, , atau neutron) serta mengatur dosis terserap, sesuai dengan efek
yang ingin dicapai. Berdasarkan sifat tersebut, radiasi dapat digunakan untuk
penyinaran langsung seperti antara lain pada radioterapi, dan sterilisasi. Selain itu,
radiasi yang dipancarkan oleh suatu radioisotop, lokasi dan distribusinya dapat

dideteksi dari luar tubuh secara tepat, serta aktivitasnya dapat diukur secara akurat;
sehingga penggunaan radioisotop sebagai tracer atau perunut, sangat bermanfaat
dalam studi metabolisme, serta teknik pelacakan dan penatahan berbagai organ tubuh,
tanpa harus melakukan pembedahan.
Di Indonesia, kedokteran nuklir diperkenalkan pada akhir tahun 1960an, yaitu
setelah reaktor atom Indonesia yang pertama mulai dioperasikan di Bandung.
Beberapa tenaga ahli Indonesia dibantu oleh tenaga ahli dari luar negeri merintis
pendirian suatu unit kedokteran nuklir di Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknik
Nuklir di Bandung. Unit ini merupakan cikal bakal Unit Kedokteran Nuklir RSU
Hasan Sadikin, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Menyusul kemudian
unit-unit berikutnya di Jakarta (RSCM, RSPP, RS Gatot Subroto) dan di Surabaya
(RS Sutomo). Pada tahun 1980-an didirikan unit-unit kedokteran nuklir berikutnya di
RS sardjito (Yogyakarta) RS Kariadi (Semarang), RS Jantung harapan Kita (Jakarta)
dan RS Fatmawati (Jakarta). Dewasa ini di Indonesia terdapat 15 rumah sakit yang
melakukan pelayanan kedokteran nuklir dengan menggunakan kamera gamma, di
samping masih terdapat 2 buah rumah sakit lagi yang hanya mengoperasikan alat
penatah

ginjal

yang

lebih

dikenal

dengan

nama

Renograf.

C. Radiofarmaka
Radiofarmaka merupakan senyawa radioaktif yang digunakan dalam bidang
kedokteran nuklir, baik untuk tujuan diagnosis maupun pengobatan. Berdasarkan cara
penggunaannya, radiofarmaka dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu secara in
vivo dan in vitro. Dalam perkembangan dunia kedokteran, khususnya kedokteran
nuklir, penggunaan sediaan ini merupakan penunjang dalam diagnosis ataupun
pengobatan secara konvensional.
Beberapa persyaratan yang harus dipunyai oleh suatu radiofarmaka antara lain :
1.
2.
3.
4.
5.

Toksisitasnya rendah.
Pembuatan dan penggunaannya mudah.
Lebih spesifik untuk penyakit tertentu atau terakumulasi pada organ tertentu.
Tingkat bahaya radiasi pada manusia rendah.
Untuk visualisasi eksternal (in vivo) sebaiknya merupakan sinar y (gamma) murni

dengan energi 100-400 keV.


6. Harga relatif murah.
Penggunaan radiofarmakan secara in vivo

Radiofarmaka diberikan ke dalam tubuh penderita dengan cara suntikan,


ditelan atau dihisap, dengan tujuan diagnosis atau pengobatan suatu penyakit.
I . Tujuan diagnosis
Pemeriksaan dilakukan untuk mengevaluasi morfologi dan fungsi suatu organ.
Hingga saat ini, radiofarmaka yang banyak digunakan adalah dalam bentuk senyawa
bertanda teknesium-99m, yang merupakan radioisotop ideal untuk diagnosis karena
mempunyai waktu paro yang relative singkat (6 jam) dengan energi yang relatif
rendah (140 keV) serta pemancar

murni. Dengan berkembangnya teknologi

pengadaan radioisotop teknesium-99m, yaitu dapat diperoleh dengan system


generator

99

Mo-99mTc yang pemisahaannya dapat dilakukan di rumah sakit, maka

radiofarmaka yang menggunakan radioisotop tersebut dapat dibuat dalam bentuk kit
kering yaitu radiofarmaka setengah jadi yang dikemas secara terpisah dengan
radioisotop/radionuklidanya. Secara prinsip, randiofarmaka yang dimasukkan ke
dalam tubuh akan diangkut oleh darah dan didistribusikan ke organ tubuh yang
diinginkan, misalnya ginjal, jantung, hati dan lain-lain, sesuai dengan jenis
radiofarmaka yang digunakan. Dengan metode pencitraan menggunakan alat tertentu
misalnya kamera gamma akan diperoleh gambaran organ yang memberikan informasi
mengenai morfologi dan fungsi dari organ tersebut. Pemeriksaan fungsi organ ini
merupakan keunggulan dari kedokteran nuklir terhadap metode diagnosis yang lain
seperti sinar-X, ultrasonografi. Selain itu, akibat radiasi yang ditimbulkan oleh suatu
radiofarmaka umumnya jauh lebih kecil dari pada pemeriksaan dengan sinar-X.
Berbagai radiofarmaka yang digunakan dalam bidang kedokteran nuklir untuk
tujuan diagnosis organ tubuh ditampilkan dalam table 1.

Table 1. Radiofarmaka untuk diagnosis organ tubuh dengan teknik nuklir


Jenis radiofarmaka

Organ

Pemakaian

99m

Tc-MIBI, 99mTc-tetrofosmin,

Jantung, payudara,

Fungsi ventrikel,

99m

seluruh tubuh

volume, kanker

Tc-teboroksim

99m

Tc-DTPA, 99mTc-Glukonat,

Ginjal

99m

Tc-MAG-3, 99mTc-

Fungsi, perfusi,
tumor/kista

Glukoheptonat, 131I-Hipuran,
203

Hg-klormerodrin

99m

Tc-ECD, 99mTc-HMPAO, 99mTc-

Otak

perteknetat

Tumor, abses,
Ensefatitis

99m

Tc-pirofosfat, 99mTc-MDP,

Tulang

99m

Tc-HEDSPA,99mTc-STPP

Infeksi/radang,
tumor/kanker,
metabolisme.

99m

Tc-HIDA, 99mTc-sulfur koloid,

Hati

99m

Tc-fitat

Aliran darah, abses,


infeksi/radang

99m

Tc-perteknetat

Kelenjar tiroid

Fungsi, nodule,
infeksi, kanker

99m

Tc-metionin, 75Se-

Pankreas

Tumor, infeksi

Lambung

Infeksi,

selenometionin
99m

Tc-perteknetat, 99mTc-sulfur

koloid

tumor/kanker

99m

Tc-leukosit, 99mTc-sulfur koloid,

Limpa

Infeksi/peradangan

Paru-paru

Emboli, enfisema,

99m

Tc-RBC denaturasi

99m

Tc-MAA, Xe-133, Kr-81m,

99m

Tc-DTPA

infeksi, fungsi dan


peredaran darah

Dalam aplikasi klinis, pemakaian radiofarmaka untuk tujuan diagnosis


dilakukan dengan metode pencitraan menggunakan alat kamera gamma. Sebagai
ilustrasi, Gambar 1 menunjukkan hasil pencitraan kelenjar tiroid menggunakan
radiofarmaka

99m

Tc-perteknetat. Pada orang normal terlihat bahwa zat radioaktif

terdistribusi secara merata dan menghasilkan gambaran kelenjar tiroid normal,


sedangkan pada penderita hot nodule diperoleh gambaran yang tidak normal karena
distribusi zat radioaktif tidak merata.

Gambar
1.

Pencitraan kelenjar tiroid menggunakan radiofarmaka 99mTc-perteknetat dengan alat


kamera gamma, tiroid normal (kiri), tiroid penderita hot nodule (kanan).
Gambar 2 menampilkan hasil pencitraan organ paru-paru normal dan paru-paru
pasien penderita pulmonary emboli menggunakan radiofarmaka

99m

Tc-makroagregat albumin

(99mTc-MAA). Dari hasil ini terlihat bahwa pada organ paru-paru normal terjadi distribusi
radiofarrmaka yang merata sedangkan pada penderita pulmonary emboli hal tersebut tidak
terjadi karena adanya penyumbatan pada pembuluh kapiler paru-paru sehingga radiofarmaka
yang digunakan tidak dapat terdistribusi ke dalam organ tersebut yang mengakibatkan tidak
diperoleh gambaran paru-paru yang normal.

Gambaran 2. Pencitraan organ paru-paru menggunakan radiofarmaka 99mTc-MAA


dengan alat kamera gamma, (kiri) paru-paru normal; (kanan) paru-paru pasien penderita
pulmonary emboli

Gambaran 3. Pencitraan tulang menggunakan radiofarmaka 99mTc-MDP dengan alat


kamera gamma.
Diagnosis untuk melihat adanya kelainan tulang dengan teknik nuklir dapat dilakukan
dengan menggunakan radiofarmaka

99m

Tc-MDP,

99m

Tc-STPP,

99m

Tc-pirofosfat atau

99m

Tc-

HEDSPA. Gambaran 3 menunjukkan hasil pencitraan tulang tangan menggunakan


radiofarmaka 99mTc-MDP. Akumulasi aktivitas yang tinggi terjadi pada tangan kiri, akan tetapi
tidak terfokus hanya pada tulang, sehingga kemungkinan disebabkan oleh osteomyelitis
adalah kecil. Kasus ini biasanya ditemukan pada penderita cellulitis.

Gambaran 4. Pencitraan organ ginjal menggunakan radiofarmaka 99mTc-DTPA


dengan alat kamera gamma.
Penggunaan radiofarmaka 99mTc-DTPA untuk diagnosis organ ginjal dengan metode
pencitraan menggunakan alat kamera gamma pada periode beberapa waktu setelah
penyuntikan ditampilkan pada Gambar 4a, 4b, 4c dan 4d. Terlihat bahwa ginjal kanan yang
membesar dimana pada awalnya tidak terlihat adanya akumulasi radioaktivitas yang mungkin
disebabkan karena tidak berfungsinya bagian korteks dari ginjal tersebut.
D. Kedokteran Nuklir sebagai Pencitraan Diagnostik
Kedokteran nuklir yang memberikan data pencitraan (imaging) organ merupakan
pemeriksaan in vivo karena menjadikan organ tubuh sebagai sumber radiasi. Peta energi
sumber radiasi tersebut dapat diamati untuk menentukan besar, bentuk dan letak organ, serta
kelainan-kelainannya. Sedangkan kegunaan kedokteran nuklir lainya, terhadap penderita
yang tidak diberikan radiofarmaka, tetapi radioaktif dimanfaatkan untuk menghitung
konsentrasi hormon atau obat dalam darah. Dengan mengambil sampel plasma penderita dan
direaksikan dengan radioaktif yang telah dietetapkan, baik reaksi kompetitif maupun
immunologis, menghasilkan ketepatanyang cukup baik, misalnya reaksi radioimmunoassay
(RIA) untuk menghitung hormon T3 dan T4.
Kedokteran nuklir yang merupakan bagian pencitraan diagnostik, diantaranya ialah:
scanning tulang,hati dan limpa, hati dan sistem empedu, kelenjar gondok, ginjal dan
renogram, paru, jantung, dan otak.
1. Scanning tulang
Memperbaiki

destruksi

(bone

repair)dengan

meningkatkan

aktifitas

metabolisme tulang dapat dimanfaatkan misalnya senyawa fosfat yang ditandai


Tc-99m untuk meningkatkan konsentrasi Tc-99m ditempat lesi.
- Indikasi : scanning tulang jauh lebih sensitif daripada pemeriksaan X-ray
konvensional dalam mendeteksi destruksi tulang. Pemeriksaan ini berguna
untuk mendeteksi metastasis keganasan dalam tulang penderita yang telah
diketahui terdapat keganasan primer sebelum perubahan terlihat dengan
pemeriksaan radiologik, serta dapat menetapkan dengan lebih tepat luasnya
penjalaran lesi. Sering pula dimanfaatkan untuk membuat uji screening
terhadap penderita keganasan di payudara, paru dan di pelvis sebelum
dilakukan tindakan operasi.

Keterbatasan : scanning tulang tidak spesifik, tidak dapat membedakan garis


epifisis yang masih terbuka (titik tumbu) fraktur yang menyembuh, artritis
yang aktif, osteomielitis, proses degeneratif, dan keganasan primer maupun
sekunder. Oleh karena radiofarmaka untuk scanning tulang diekskresi lewat
ginjal dan buli-buli, makan akan terjadi kesulitan penilaian daerah iga

X,XI,XII belakang serta daerah pelvis.


Isotop dan dosis : senyawa fosfat Tc-99m mengeluarkan sinar gamma dengan

energi 140 kev. Dosis pemberian 10-15 mCi.


Persiapan : tidak ada persiapan khusus, terkadang diberi analgesik bila

penderita merasa sangat kesakitan


Cara pemeriksaan : 3-4 jam setelah penyuntikkan intravena 10-15 mCi Tc99m-MDP dilakukan pemeriksaan scanning tulang, setelah penderita kencing.
Dipergunakan kamera gamma dengan energi rendah, kolimotor paralel dan
window 25-30%. Tiap citra paling sedikit mencatat 100.000 count. Dibuat
pemeriksaan radiologi di daerah yang aktivitasnya meningkat secara

abnormal.
Interpretasi : scanning positif bila aktifitas i tulang panjang dan tulang
belakang tidak simetris. Kenaikan aktifitas berhubungan dengan luasnya lesi.

2. Scanning ginjal
Tc-99m-DTPA dan Tciron-ascorbic acid complex dapat diikat di ginjal oleh sel
tubulus proksimal dan dapat dipakai sebagai radiofarmaka pembuat scanning
ginjal.
- Indikasi : untuk memberikan informasi tentang besar, bentuk, dan letak ginjal.
Dapat pula untuk menilai fungsi ginjal secara semikuantitaf. Untuk evaluasi
trauma ginjal, tumor, dan kista. Untuk penderita yang sensitif terhadap media
kontras radiologi dan dalam keadaan ureum darah yang tinggi, scanning ginjal
-

dapat merupakan alternatif pemeriksa pengganti.


Keterbatasan : Tidak spesifik. Pada gangguan parenkim, ginjal yang difus
atau kelainan arteri renalis yang berat tidak akan tampak citra ginjal.
Isotop dan dosis : Tc-99m-DTPA dengan dosis 3-5 mCi intravena, akan

memancarkan radiasi gamma 140 kev.


Persiapan : Tidak diperlukan.
Cara Pemeriksaan : scanning dibuat 1-2jam setelah suntikan intraven Tc99m-DTPA. Sebelumnya penderita diminta kencing dahulu. Dipakai kamera
gamma dengan energi rendah, kolimator paralel dan window 30% : tiap citra
terdiri atas 200.000 counts. Scan dilakukan dari belakang dengan penderita
tengkurap, beri tanda Th12, L4, Crista iliaca dan Iga.

Penilaian : Ginjal normal memberi citra yang homogen, batas ginjal dapat
tidak tegas karena pengaruh gerakan waktu bernapas. Tumor ginjal, kista,
infark, abses, dan kegagalan parenkim karena trauma menunjukkan vokal cold
spot pada citra ginjal. Penyakit ginjal yang difus memberikan citra yang tidak
merata dan rendah aktifitasnya, sebaliknya aktifitas di hati meningkat. Ginjal
ektopik ditentukan dengan lokasi citra yang abnormal.

3. Scanning Jantung
Radiofarmaka yang berada dalam pembuluh darah dapat dipakai untuk
membuat scanning pool darah, termasuk scanning jantung.
Preparat RIHSA, Tc-99m-human serum albumin, Tc-99m Sn Erythrocyt dan
In-113m-Transferin dapat dipakai untuk membuat citra kumpulan darah jantung.
Dari preparat tersebut yang saat ini populer adalah Tc-99m Sn Erythrocyt yang
dipakai untuk membuat ventrikulografi, dengan pertolongan komputer dapat
membedakan volum darah di ventrikel kiri pada waktu sistolik dan diastolik dan
berguna untuk menentukan kemampuan pompa jantung. Radioaktif T1-201
klorida bila disuntikan intravena akan berada di dalam miokard yang sehat,
sementara miokard yang mengalami infark akan tampak sebagai daerah cold.
E. Beban Radiasi dan Usaha Proteksi Radiasi
Bidang kedokteran nuklir bukan tidak mengandung resiko. Radiasi yang
diterima penderita selama masih untuk kepentingan menegakkan diagnosis
-

tidaklah begitu berbahaya. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah :


Pencemaran yang timbul pada waktu pengelolaan radioaktif, terutama pada
waktu pemberian isotop kepada penderita. Pencemaran ini dapat merugikan
para petuga kedokteran nuklr dan masyarakat luas. Petugas kedokteran nuklir

selalu berhubungan dengan sumber radiasi terbuka.


Setelah pemberian isotop, penderita adalah sumber radiasi.
Laboraturium tempat penyimpanan, pencampuran dan pemberian/ pembagian
radioaktif harus selalu mendapat pengawasan oleh ahli fisika inti untuk
mencegah pencemaran atau mengambil langkah-langkah awal bila terjadi
pencemaran.

BAB III
(RANGKUMAN)
Kedokteran nuklir adalah bidang kedokteran yang memanfaatkan materi
radioaktif untuk menegakkan diagnosis dan mengobati penderita serta mempelajari
penyakit manusia.

Bidang kedokteran nuklir laksana sebuah segitiga dengan

radiofarmaka, instrumen dan masalah biomedik sebagai sisi-sisinya, serta penderita


berada ditengahnya. Di Indonesia, kedokteran nuklir diperkenalkan pada akhir tahun
1960an, yaitu setelah reaktor atom Indonesia yang pertama mulai dioperasikan di
Bandung. Beberapa tenaga ahli Indonesia dibantu oleh tenaga ahli dari luar negeri
merintis pendirian suatu unit kedokteran nuklir di Pusat Penelitian dan Pengembangan
Teknik Nuklir di Bandung. Unit ini merupakan cikal bakal Unit Kedokteran Nuklir
RSU Hasan Sadikin, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Radiofarmaka
sendiri merupakan senyawa radioaktif yang digunakan dalam bidang kedokteran
nuklir, baik untuk tujuan diagnosis maupun pengobatan. Berdasarkan cara
penggunaannya, radiofarmaka dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu secara in
vivo dan in vitro. Dalam perkembangan dunia kedokteran, khususnya kedokteran
nuklir, penggunaan sediaan ini merupakan penunjang dalam diagnosis ataupun
pengobatan secara konvensional. Dalam aplikasi klinis, pemakaian radiofarmaka
untuk tujuan diagnosis dilakukan dengan metode pencitraan menggunakan alat
kamera gamma. Secara prinsip, randiofarmaka yang dimasukkan ke dalam tubuh akan
diangkut oleh darah dan didistribusikan ke organ tubuh yang diinginkan, misalnya
ginjal, jantung, hati dan lain-lain, sesuai dengan jenis radiofarmaka yang digunakan.
Dengan metode pencitraan menggunakan alat tertentu misalnya kamera gamma akan
diperoleh gambaran organ yang memberikan informasi mengenai morfologi dan
fungsi dari organ tersebut. Pemeriksaan fungsi organ ini merupakan keunggulan dari
kedokteran nuklir terhadap metode diagnosis yang lain seperti sinar-X, ultrasonografi.
Selain itu, akibat radiasi yang ditimbulkan oleh suatu radiofarmaka umumnya jauh
lebih kecil dari pada pemeriksaan dengan sinar-X.

DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Subur Setjaatmadja, dkk. 1997. Radiologi Diagnostik. Jakarta : Subbagian


Radiagnostik. Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Dr.
Cipto Manunkusumo. 507-510, 514-516.
NN.

2008.

Aplikasi

Nuklir

di

Bidang

Kesehatan.

http://artikel.staf.uns.ac.id/2008/11/18/aplikasi-nuklir-di-bidang-kesehatan/ Diakses tanggal 8


November 2012.
Z, Nurlaila. 2001. Penggunaan Teknik Nuklir dalam Bidakng Kedokteran Nuklir dan
Sterilisasi serta Resikonya bagi Kesehatan. http://digilib.batan.go.id/e-jurnal/Artikel/BuletinBatan/ThXXIINo1Des-001/Nurlaila Z.pdf Diakses tanggal 8 November 2012.

Anda mungkin juga menyukai