Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah SWT berikan, tetapi sedikit sekali yang
kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat,
rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah dengan judul Prinsip I Manajemen Mutu : Fokus pada Pelanggan.
Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kedua orang tua dan segenap
sahabat STIKES PERTAMEDIKA yang telah memberikan dukungan, kasih, dan kepercayaan
yang begitu besar.
Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit
kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi. Meskipun penulis berharap isi
dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang kurang.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat
lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................................................................... ii
BAB I....................................................................................................................................... 3
MANAJEMEN MUTU.................................................................................................................. 3
A.
PENGERTIAN MUTU....................................................................................................... 3
B.
C.
D.
MENGUKUR MUTU......................................................................................................... 7
E.
BAB II.................................................................................................................................... 12
PRINSIP MANAJEMEN MUTU................................................................................................... 12
A.
1.
2.
Kepemimpinan (Leadership)...............................................................................................12
3.
4.
5.
6.
7.
8.
B.
BAB III................................................................................................................................... 35
FOKUS PADA PELANGGAN..................................................................................................... 35
A.
CONTOH KASUS.......................................................................................................... 35
BAB IV................................................................................................................................... 37
PERAN PERAWAT.................................................................................................................... 37
A.
FASILITAS.................................................................................................................... 37
B.
PELAYANAN................................................................................................................. 37
C.
KOMUNIKASI................................................................................................................ 37
D.
PENAMPILAN............................................................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................. 39
BAB I
MANAJEMEN MUTU
A. PENGERTIAN MUTU
Berbicara tentang mutu, tentu tidak asing lagi bagi kita. Kita sering menjumpai istilah
mutu tidak hanya terpampang pada suatu produk yang berbentuk barang , tetapi istilah
mutu juga sering menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan pelayanan yang
berbentuk jasa, termasuk pelayanan kesehatan / keperawatan .
Mutu adalah tingkat kesempurnaan dari penampilan sesuatu yang sedang dialami dan
juga merupakan kepatuhan terhadap standar yang tlah ditetapkan Azwar (1996). Mutu
adalah kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan (Crosby, 1984 dalm djuhaeni,
1999)
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa mutu adalah suatu kondisi yang
menggambarkan tingkat kesempurnaan dari penampilan suatu produk yang berupa
barang atau jasa yang dibuat berdasarkan standar yang telah ditetapkan guna
menyelesaikan dengan keinginan pelanggan , yang tujuan akhirnya adalah terciptanya
kepuasan pelanggan.
Pelayanan kesehatan merupakan bentuk jasa yang disdiakan oleh organisasi penyedia
layanan kesehatan , salah satu bentuk lyanan kesehatan di organisasi penyedia layanan
kesehatan adalah pelayanan keperawatan.
Kottler (1997) menyatakan bahwa pelayanan adalah suatu perbuatan ketika seseorang
atau suatu kelompok menawarkan kelompok/ orang lain sesuatu yang pada dasarnya
tidak terwujud dan produksinya berkaitan atau tidak berkaitan dengan fisik produk
sedangkan Tjiptono(2004) menjelaskan bahwa pelayanan merupakan aktivitas, manfaat
atau kepuasaan yang ditawarkan untuk dijual sehingga dapat dikatakan bahwa pelayanan
itu merupakan suatu aktivitas yang ditawarkan dan menghasilkan sesuatu yang tidak
berwujud , namun dapat dinikmati atau dirasakan .
Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa mutu pelayanan keperawatan
adalah bentuk tampilan pelayanan keperawatan yang dibuktikan dengan keterampilan dan
kemmpuan perawat dalam memberikan pelayanan tanpa mengesampingkan rasa empati ,
respek dan tanggap , serta ramah kepada pasien dan kelarganya , dengan demikian ,
pelayanan keperawatan mampu mengurangi permasalahan permasalahan kesehatan pada
pelanggan ( pasien )
kegiatan yang dilaksanakan secara profesional oleh tenaga kesehatan (perawat) dan
interaksinya dengan pasien. Dalam kegiatan ini mencakup diagnosa, rencana
perawatan, indikasi tindakan, prosedur dan penanganan kasus. Dengan kata lain
penilaian dilakukan terhadap perawat dalam merawat pasien. Dan baik tidaknya
proses dapat diukur dari relevan tidaknya proses bagi pasien, fleksibelitas/efektifitas,
mutu proses itu sendiri sesuai dengan standar pelayanan yang semestinya, dan
kewajaran (tidak kurang dan tidak berlebihan).
Tappen (1995) juga menjelaskan bahwa pendekatan pada proses dihubungkan dengan
aktivitas nyata yang ditampilkan oleh pemberi pelayanan keperawatan.. Penilaian
dapat melalui observasi atau audit dari dokumentasi.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendekatan
3. Hasil (Outcome)
Pendekatan ini adalah hasil akhir kegiatan dan tindakan perawat terhadap
pasien.
Dapat berarti adanya perubahan derajat kesehatan dan kepuasan baik positif maupun
negatif. Sehingga baik tidaknya hasil dapat diukur dari derajat kesehatan pasien dan
kepuasan pasien terhadap pelayanan perawatan yang telah diberikan (Donabedian,
1987 dalam Wijono 2000).
Sedangkan Tappen (1995) menjelaskan bahwa outcome berkaitan dengan hasil dari
aktivitas yang diberikan oleh petugas kesehatan. Hasil ini dapat dinilai dari efektifitas
dari aktivitas pelayanan keperawatan yang ditentukan dengan tingkat kesembuhan
dan kemandirian. Sehingga dapat dikatakan bahwa fokus pendekatan ini yaitu pada
hasil dari pelayanan keperawatan, dimana hasilnya adalah peningkatan derajat
kesehatan pasien dan kepuasan pasien. Sehingga kedua hal tersebut dapat dijadikan
indikator dalam menilai mutu pelayanan keperawatan.
D. MENGUKUR MUTU
Tiga dari macam-macam cara pengukuran mutu yang dikenal di Indonesia:
1. Indikator Klinis
Indikator sebagai sebuah penanda objektif yang bisa dipakai sebagai pertimbangan
dalam mengambil keputusan. Indikator bukan lagi data. Indikator adalah informasi.
Indikator mempunyai lima karakter utama yang sering disingkat dengan SMART.
Simple, measurable, accurate, reliable, timely. Indikator haruslah cukup mudah
dipahami, dihitung, dikumpulkan data dasarnya, dan dikerjakan tepat waktu oleh
pelaksana. Selain itu, indikator harus dipilih sehingga akurat dan bisa dipercaya.
Indikator klinis yang sangat populer diukur di banyak rumah sakit adalah waktu
respon, infeksi terkait pemasangan infus, infeksi luka operasi, angka kejadian
dekubitus (pressure sore), dan kematian ibu akibat perdarahan. Angka-angka
indikator ini diukur dari waktu ke waktu dengan metode yang baku dan
dikembangkan akurasinya. Indikator-indikator ini bersumber dari buku yang
diterbitkan oleh Departemen Kesehatan mengenai indikator klinis. Saat ini, manual
yang dipakai lebih luas adalah standar pelayanan minimal rumah sakit yang juga
diterbitkan oleh Departemen Kesehatan.
2. Audit Medis
Audit medis merupakan proses evaluasi mutu pelayanan medis melalui telaah rekam
medis oleh profesi medis sendiri. Tujuan dilakukan audit medis adalah pelayanan
medis prima yang bersumber pada evaluasi mutu pelayanan, penerapan standar, dan
perbaikan pelayanan berdasarkan kebutuhan pasien dan standar yang telah ada. Audit
medis di Indonesia diatur oleh Keputusan Menteri Kesehatan no. 496 tahun 2005.
Pembahasan kasus kematian, kasus sulit, kasus langka, dan lain-lain adalah bentuk
audit medis yang paling sederhana. Audit medis paripurna menyertakan review,
assessment, dan surveillance. Audit medis adalah proses yang terus menerus karena
merupakan upaya yang terus menerus. Proses inti audit medis adalah menetapkan
kasus yang akan diaudit, mengumpulkan berkas kasus tersebut, dan membandingkan
pelayanan medis yang diberikan dengan standar, untuk selanjutnya mengambil
tindakan korektif. Audit medis dapat dilakukan mulai dari kelompok staf medis
(organisasi dokter dengan kemampuan atau kompetensi klinis yang sama) sampai ke
tingkat komite medis di tingkat rumah sakit.
3. Mortality Review
Mortality review adalah bagian dari audit medis. Lewat mortality review, rumah sakit
bersama dengan manajemen rumah sakit dapat mencari faktor-faktor yang
berkontribusi pada kematian di rumah sakit. Untuk mencari faktor-faktor tersebut,
digunakan sebuah check list yang bernama global trigger tools. Global trigger tools
memuat puluhan entry point ke arah resiko tindakan, kesalahan, kelalaian, maupun
kemungkinan gagal komunikasi. Titik berat mortality review adalah kematiankematian yang terjadi pada pasien non terminal, baik kematian tersebut terjadi
diintensive care unit / ICU / unit perawatan intensif maupun di ruang rawat inap
biasa. Seluruh kematian non terminal ini didaftar, dipelajari rekam medisnya, dan
dibahas pada pertemuan mortality review. Menggunakan global trigger tools dalam
melakukan mortality review biasanya berupaya menemukan apakah ada kegagalan,
terutama dalam mengenali perburukan atau masuknya pasien kepada keadaan kritis,
merencanakan
penegakan
diagnosis
dan
rencana
pengobatan,
dan
merupakan
perkembangan dari Quality Assurance yang dimulai sejak tahun 1980-an. Menurut
Loughlin dan Kaluzny (1994, dalam Wijono 2000) bahwa ada perbedaan sedikit yaitu
Total Quality Management dimaksudkan pada program industry sedangkan
Continuous Quality Improvement mengacu pada klinis. Wijonon (2000) mengatakan
bahwa Continuous Quality Improvement itu merupakan upaya peningkatan mutu
secara terus menerus yang dimotivasi oleh keinginan pasien. Tujuannya adalah untuk
BAB II
PRINSIP MANAJEMEN MUTU
didefinisikan sebagai integrasi sekuensial dari orang, material, metode, mesin dan
peralatan, dalam suatu lingkungan guna menghasilkan nilai tambah output bagi
pelanggan.
5. Pendekatan Sistem Terhadap Manajemen
Pengidentifikasian, pemahaman dan pengelolaan, dari proses-proses yang saling
berkaitan sebagai suatu system, kan memberikan kontribusi pada efektifitas dan
efisiensi organisasi dalam mencapai tujuan-tujuannya.
6. Pendekatan Peningkatan Terus-Menerus
Peningkatan terus-menerus dari kinerja organisasi secara keseluruhan harus menjadi
tujuan tetap dari organisasi. Peningkatan terus-menerus didefinisikan sebagai suatu
proses sebagai suatu proses yang berfokus pada upaya terus-menerus meningkatkan
efektifitas dan efisiensi organisasi untuk memenuhi kebijakan dan tujuan dari
organisasi itu. Peningkatan terus-menerus membutuhkan langkah-langkah konsolidasi
progresif, menanggapi perkembangan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan, dan akan
menjamin suatu evolusi dinamik dari system manajemen mutu.
7. Pendekatan Faktual dalam Pembuatan Keputusan
Keputusan yang efektif adalah keputusan yang berdasarkan pada analisis data
pengukuran dan informasi pbjektif sesuai fakta yang valid, jelas dan tidak bias.
Analisis data dari berbagai sumber yang jelas dan terdokumentasi untuk menentukan
kinerja organisasi sesuai rencana, sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan, disamping
nutuk menetapkan keputusan dan tindaklanjut yang diperlukan.
8. Hubungan Pemasok Yang Saling Menguntungkan
Suatu organisasi dan pemasok adalah saling tergantung, dan suatu hubungan yang
saling menguntungkan akan meningkatkan kemampuan bersama dalam menciptakan
nilai tambah. Pemasok merupakan bagian dari system manajemen mutu organisasi
yang harus dikendalikan untuk mencapai suatu nilai hubungan yang saling
menguntungkan dalam menghasilkan produk atau jasa yang bermutu.
luar organisasi yang menjual bahan baku, informasi, atau jasa kepada organisasi.
Supriyanto (1999:27) mengemukakan dalam bidang pendidikan, pelanggan internal
adalah pegawai sekolah, sedangkan pelanggan eksternal adalah peserta didik. Fokus
utama dari lembaga pendidikan ialah pada pelanggan eksternal (peserta didik).
Sedangkan di dalam organisasi juga ada pelanggan internal dan pemasok internal.
Misalnya dalam suatu lembaga pendidikan, guru A sebagai guru mata pelajaran biasa
dan Guru B sebagai wali kelas. Guru B sebagai wali kelas memiliki tugas
memasukkan nilai ujian siswa ke dalam rapor dan guru A sebagai guru mata pelajaran
yang memiliki tugas menilai siswa dan hasilnya dilaporkan kepada guru B untuk
dimasukkan ke dalam rapor.
Berdasarkan ilustrasi tersebut guru A merupakan pemasok bagi guru B dan guru B
sendiri merupakan pelanggan bagi guru A. Guru B sebagai wali kelas tidak dapat
melakukan pekerjaannya dengan baik bila guru A tidak melakukan pekerjaannya
dengan baik pula. Kualitas pekerjaan guru A mempengaruhi guru B. Konsep
ketergantungan (dependency) seperti ini penting dalam hubungan pemasok dengan
pelanggan.
2. Kepuasan Pelanggan
Hakikatnya tujuan organisasi adalah menciptakan dan mempertahankan para
pelanggan. Berdasarkan pendekatan TQM, kualitas menurut Tjiptono dan Diana
(2003:101) ditentukan oleh pelanggan. Oleh karena itu hanya dengan memahami
proses dan pelanggan maka organisasi dapat menyadari dan menghargai makna
kualitas. Semua usaha manajemen dalam TQM diarahkan pada satu tujuan utama,
yaitu terciptanya kepuasan pelanggan.
Band (1991) berpendapat kepuasan pelanggan merupakan suatu tingkatan di mana
kebutuhan, keinginan, dan harapan dari pelanggan dapat terpenuhi yang akan
mengakibatkan terjadinya pembelian ulang atau kesetiaan yang berlanjut. Gerson
(1993:5) mengemukakan customer satisfaction it is the customers perception that
his or her expectations have been met or surpassed. Kepuasan pelanggan adalah
persepsi pelanggan tentang harapannya apakah telah sesuai atau melebihi dari yang
diharapkannya terhadap suatu organisasi. Disimpulkan kepuasan pelanggan adalah
sejauh mana kinerja produk memenuhi harapan pemakai. Jika kinerja produk lebih
rendah daripada harapan pelanggan, maka pembelinya tidak puas. Bila prestasi sesuai
atau melebihi harapan, maka pembelinya merasa puas.
Tingkat kepuasan adalah fungsi dari perbedaan antara kinerja yang dirasakan dan
harapan (Kotler, 1997). Dengan demikian, harapan pelanggan melatarbelakangi
mengapa dua organisasi pada jenis bisnis yang sama dapat dinilai berbeda oleh
pelanggannya. Dalam konteks kepuasan pelanggan, umumnya harapan merupakan
perkiraan atau keyakinan pelanggan tentang apa yang akan diterimanya. Harapan
mereka dibentuk oleh pengalaman pembelian dahulu, komentar teman dan
kenalannya serta janji dari organisasi tersebut. Harapan-harapan pelanggan ini dari
waktu ke waktu berkembang seiring dengan semakin bertambahnya pengalaman
pelanggan.
Adanya kepuasan pelanggan dapat memberikan beberapa manfaat, yaitu menurut
Tjiptono (2004:9) adalah 1) terjalin hubungan yang harmonis antara organisasi dan
pelanggan, 2) memberikan dasar yang baik bagi pembelian ulang, 3) mendorong
terciptanya loyalitas pelanggan, 4) membentuk suatu rekomendasi dari mulut ke
mulut (word of mouth) yang menguntungkan bagi organisasi, 5) reputasi perusahaan
menjadi baik di mata pelanggan, dan 6) laba yang diperoleh dapat meningkat.
Pelanggan merupakan penerima hasil kerja suatu organisasi, sehingga merekalah
yang dapat menentukan kualitasnya seperti apa dan hanya mereka yang dapat
menyampaikan apa dan bagaimana kebutuhan mereka. Hal ini merupakan penyebab
munculnya slogan kualitas dimulai dari pelanggan.
Ada beberapa unsur penting menurut Tjiptono dan Diana (2003:103) di dalam
kualitas yang ditetapkan pelanggan, yaitu 1) pelanggan haruslah merupakan prioritas
utama organisasi, kelangsungan organisasi tergantung pada pelanggan, 2) pelanggan
yang dapat diandalkan merupakan pelanggan yang paling penting, pelanggan yang
dapat diandalkan adalah pelanggan yang membeli/memakai produk secara
berulang/berkali-kali dan pelanggan yang merasa puas terhadap produk organisasi,
dan 3) kepuasan pelanggan dijamin dengan menghasilkan produk berkualitas tinggi,
kepuasan berimplikasi pada perbaikan terus-menerus sehingga kualitas harus
diperbaharui setiap saat agar pelanggan tetap puas dan loyal.
Kepuasan pelanggan merupakan prioritas paling utama dalam organisasi TQM,
sehingga organisasi harus memiliki fokus pada pelanggan. Kunci untuk membentuk
fokus pada pelanggan adalah menempatkan pegawai untuk berhubungan dengan
mengharapkan suatu atribut tertentu dan seberapa besar yang mereka rasakan.
Responden diminta menuliskan masalah-masalah yang mereka hadapi yang berkaitan
dengan penawaran dari organisasi dan diminta untuk menuliskan perbaikan-perbaikan
yang mereka sarankan. Dan responden diminta merangking elemen atau atribut
penawaran berdasarkan derajat kepentingan setiap elemen dan seberapa baik kinerja
organisasi pada masing-masing elemen.
Beberapa dimensi pengukuran kepuasan pelanggan yang sering dipakai adalah 1)
responsiveness (ketanggapan), kemampuan untuk menolong pelanggan dan
ketersediaan untuk melayani pelanggan dengan baik, 2) reliability (keandalan),
kemampuan untuk melakukan pelayanan sesuai yang dijanjikan dengan segera,
akurat, dan memuaskan, 3) emphaty (empati), rasa peduli untuk memberikan
perhatian secara individual kepada pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan, dan
pengetahuan untuk dihubungi, 4) assurance (jaminan) pengetahuan, kesopanan
petugas, dan sifatnya yang dapat dipercaya sehingga pelanggan terbebas dari risiko,
dan 5) tangibles (bukti langsung), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan karyawan, dan
sarana komunikasi.
Bentuk metode Performance Importance Matrix untuk mengukur kepuasan pelanggan
adalah:
a. Traditional Approach, berdasarkan pendekatan ini pelanggan diminta
memberikan penilaian atas masing-masing indikator produk atau jasa yang
mereka nikmati (pada umumnya menggunakan skala Likert) yaitu dengan cara
memberikan rating dari 1 (sangat tidak puas) sampai 5 (sangat puas),
selanjutnya dihitung nilai rata-rata tiap variabel dan dibandingkan dengan
nilai secara keseluruhan,
b. Analisis Secara deskriptif, seringkali penilaian kepuasan pelanggan tidak
hanya berhenti sampai diketahui puas atau tidak puas, yaitu dengan
menggunakan
analisis
statistik
secara
deskriptif,
misalnya
melalui
Gambar 1
Importance and Performance Matrix (Umar dalam Natalisa, 2007:93)
variabel yang termasuk dalam kuadran ini harus tetap dipertahankan karena semua
variabel ini menjadikan produk/jasa tersebut unggul di mata pelanggan.
Kuadran III medium low priority (prioritas rendah/attributes to maintain), kinerja dan
keinginan konsumen pada suatu variabel berada pada tingkat rendah, sehingga
organisasi belum perlu melakukan perbaikan. Kuadran III adalah wilayah yang
memuat faktor-faktor yang dianggap kurang penting oleh pelanggan dan pada
kenyataannya kinerjanya tidak terlalu istimewa. Peningkatan variabel-variabel yang
termasuk dalam kuadran ini dapat dipertimbangkan kembali karena pengaruhnya
terhadap manfaat yang dirasakan oleh pelanggan sangat kecil.
Kuadran IV reduce emphasis (pelayanan berlebihan/main priority), kinerja organisasi
berada dalam tingkat tinggi tetapi keinginan konsumen akan kinerja dari variabel
tersebut hanya rendah, sehingga organisasi perlu mengurangi hasil yang dicapai agar
dapat mengefisienkan sumber daya organisasi. Kuadran IV adalah wilayah yang
memuat faktor-faktor yang dianggap kurang penting oleh pelanggan dan dirasakan
terlalu berlebihan. Variabel-variabel yang termasuk dalam kuadran ini dapat dikurangi
agar perusahaan dapat menghemat biaya.
Berdasarkan hasil observasi Peters dalam Tjiptono dan Diana (2003:106-107)
menyimpulkan sepuluh kunci dalam pengukuran kepuasan pelanggan, yaitu:
a. Frekuensi, setiap organisasi perlu melakukan survey formal mengenai
kepuasan pelanggannya paling sedikit setiap 60 sampai dengan 90 hari sekali.
Di samping itu juga perlu diadakan survey informal paling sedikit setiap bulan
sekali,
b. Format, sebaiknya yang melakukan survey formal adalah pihak ketiga di luar
organisasi. Hasil yang diperoleh harus disampaikan kepada semua pihak
dalam organisasi. Setiap keluhan dari pelanggan juga harus diketahui oleh
semua jajaran organisasi, baik manajemen maupun pegawai,
c. Isi (content), sebaiknya pertanyaan yang diajukan adalah pertanyaanpertanyaan standar yang dikuantitatifkan,
d. Desain isi, organisasi perlu melakukan pendekatan sistematis dalam
memperhatikan setiap pandangan yang ada. Tidak ada satu pun ukuran atau
instrumen survey yang paling baik untuk segala kondisi. Oleh karena itu
diperlukan pula koordinasi dan cross checking terhadap berbagai ukuran yang
ada,
e. Melibatkan setiap orang, focus grup informal harus melibatkan semua fungsi
dan level dalam organisasi. Dengan demikian mereka yang mengunjungi
pelanggan haruslah terdiri dari semua fungsi, semua level (dari pegawai front
line sampai dengan manajemen puncak). Demikian pula halnya dengan
pemasok, grosir (wholesaler), dan anggota saluran distribusi lainnya harus
berpartisipasi, baik secara formal maupun informal,
f. Mengukur kepuasan setiap orang, organisasi harus mengukur kepuasan semua
pihak, baik pelanggan langsung maupun pelanggan tak langsung, yaitu
pemakai akhir dan setiap anggota saluran distribusi,
g. Kombinasi berbagai ukuran, ukuran yang digunakan harus dibatasi pada skor
kuantitatif gabungan terhadap a) beberapa individu, misalnya pegawai bagian
laboratorium, b) kelompok (tim pengiriman atau pusat reservasi), c) fasilitas
(kantor tata usaha, laboratorium), dan d) divisi (bagian kurikulum, peserta
didik),
h. Hubungan dengan kompensasi dan reward lainnya, hasil pengukuran
kepuasan pelanggan harus dikaitkan dengan sistem kompensasi dan reward
lainnya. Misalnya dijadikan variabel utama dalam penentuan kompensasi
insentif dalam penjualan,
i. Penggunaan ukuran secara simbolik, ukuran kepuasan pelanggan yang
digunakan perlu dipasang dan ditempatkan di setiap bagian organisasi,
j. Bentuk pengukuran lainnya, setiap deskripsi kerja harus mencakup pula
deskripsi kualitatif mengenai hubungan pegawai yang bersangkutan dengan
pelanggan, dan setiap evaluasi kinerja harus mencakup penilaian terhadap
sejauh mana seorang karyawan memiliki customer orientation.
komunikasi ini organisasi dapat memantau setiap perkembangan dan perubahan yang
terjadi. Bila hal ini tidak terantisipasi maka organisasi dapat kalah dalam persaingan.
Faktor yang dapat menyebabkan timbulnya kebutuhan pelanggan yang baru antara
lain teknologi baru, persaingan pasar, perubahan selera, pergolakan sosial, dan konflik
(daerah, nasional, dan internasional).
Komunikasi yang baik dengan pelanggan harus mencakup pelanggan internal dan
eksternal. Apa yang diterapkan dalam berkomunikasi dengan pihak luar juga dapat
digunakan dalam berkomunikasi dengan pihak internal organisasi. Komunikasi
dengan para pegawai tidak cukup hanya dengan menyampaikan informasi seperti
spesifikasi, standar, prosedur, dan metode kerja. Di samping itu ada hal lain yang
penting dalam komunikasi. Menurut Tjiptono dan Diana (2003:109) hal tersebut
adalah 1) perlu menyediakan sarana bagi pegawai untuk menyampaikan pandangan
dan idenya, dan 2) perlu menjelaskan kepada para pegawai mengenai tindakantindakan manajemen yang menurut mereka berlawanan dengan kualitas.
4. Pembentukan Fokus pada Pelanggan
Fokus pada pelanggan menurut International Standard Organization (2000:5) ialah
top manajemen harus menjamin persyaratan/keinginan pelanggan yang ditetapkan
dan dipenuhinya tujuan meningkatkan kepuasan pelanggan. Whitely dalam Goetsch
dan Davis (1994:149-150) mengemukakan karakteristik organisasi yang sukses dalam
membentuk fokus pada pelanggan, yaitu:
a. Visi, komitmen, dan suasana
Manajemen menunjukkan (baik dengan kata dan tindakan) bahwa pelanggan itu
penting bagi organisasi, organisasi memiliki komitmen besar terhadap kepuasan
pelanggan, dan kebutuhan pelanggan lebih diutamakan dari kebutuhan internal
organisasi. Salah satu cara untuk menunjukkan komitmen itu adalah menjadikan
fokus pada pelanggan sebagai faktor utama dalam pertimbangan kenaikan
pangkat (promosi) dan kompensasi.
b. Penjajaran dengan pelanggan
Organisasi yang bersifat customer driven (menyesuaikan dengan perubahan selera
pelanggan) menyejajarkan dirinya dengan para pelanggan. Hal ini tercermin
dalam beberapa hal, yaitu a) pelanggan berperan sebagai penasihat dalam
penjualan barang dan pelayanan, b) pelanggan tidak pernah dijanjikan sesuatu
yang lebih daripada yang dapat diberikan, c) pegawai memahami atribut produk
yang paling dihargai pelanggan, dan d) masukan dan umpan balik dari pelanggan
dimasukkan dalam proses pengembangan produk/pelayanan.
c. Kemauan untuk mengidentifikasi dan mengatasi permasalahan pelanggan
Organisasi yang bersifat customer driven selalu berusaha untuk mengidentifikasi
dan mengatasi permasalahan para pelanggannya. Hal ini tercermin dalam hal,
yaitu a) keluhan pelanggan dipantau dan dianalisa, b) selalu mengupayakan
adanya umpan balik dari pelanggan, dan c) organisasi berusaha mengidentifikasi
dan menghilangkan proses, prosedur, dan sistem internal yang tidak menciptakan
nilai bagi pelanggan.
d. Memanfaatkan informasi dari pelanggan
Organisasi yang bersifat customer driven tidak hanya mengumpulkan umpan balik
dari pelanggan, tetapi juga menggunakan dan menyampaikannya kepada semua
pihak yang membutuhkan dalam rangka melakukan perbaikan. Pemanfaatan
informasi pelanggan ini tercermin dalam hal, yaitu a) semua pegawai memahami
bagaimana pelanggan menentukan kualitas, b) pegawai pada semua level diberi
kesempatan untuk bertemu dengan pelanggan, c) pegawai mengetahui siapa yang
menjadi pelanggan sesungguhnya, d) organisasi memberikan informasi yang
membantu terciptanya harapan realistis kepada para pelanggan, prinsip dasarnya
ialah janjikan apa yang bisa diberikan, tetapi berikan lebih dari yang dijanjikan,
dan e) pegawai dan manajer memahami kebutuhan dan harapan pelanggan.
e. Mendekati para pelanggan
Berdasarkan pendekatan TQM, tidak cukup bila organisasi hanya pasif dan
menunggu umpan balik yang disampaikan oleh pelanggannya. Berbagai bidang
yang kompetitif menuntut pendekatan yang lebih aktif. Mendekati pelanggan
berarti melakukan hal-hal yaitu a) memudahkan pelanggan untuk menjalankan
bisnis, b) berusaha untuk mengatasi semua keluhan pelanggan, dan c)
memudahkan pelanggan dalam menyampaikan keluhannya, misalnya melalui
telepon, surat, dan datang langsung.
f. Kemampuan, kesanggupan, dan pemberdayaan pegawai
Penerapan QFD dapat mengurangi waktu dan biaya desain produk/jasa organisasi secara
bersamaan dengan dipertahankan dan ditingkatkannya kualitas desain. Manfaat lain dari
QFD menurut Tjiptono dan Diana (2003:114-115) adalah a) fokus pada pelanggan, b)
efisiensi waktu, c) orientasi kerja sama tim, dan d) orientasi pada dokumentasi.
Fokus pada pelanggan, organisasi TQM merupakan organisasi yang berfokus pada
pelanggan. QFD memerlukan pengumpulan masukan dan umpan balik dari pelanggan.
Informasi tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam sekumpulan persyaratan pelanggan
yang spesifik. Kinerja organisasi dan pesaing dalam memenuhi persyaratan tersebut
dipelajari dengan teliti. Dengan demikian organisasi dapat mengetahui sejauh mana
organisasi itu sendiri dan pesaingnya memenuhi kebutuhan pelanggan.
Efisiensi waktu, QFD dapat mengurangi waktu pengembangan produk/jasa karena
memfokuskan pada persyaratan pelanggan yang spesifik dan telah diidentifikasi dengan
jelas. Oleh karena itu tidak terjadi pemborosan waktu untuk mengembangkan ciri-ciri
produk/jasa yang tidak atau hanya memberikan sedikit nilai (value) kepada pelanggan.
Orientasi kerja sama tim, QFD merupakan pendekatan kerja sama tim. Semua keputusan
dalam proses didasarkan pada konsensus/kesepakatan dan dicapai melalui diskusi
mendalam. Oleh karena itu setiap tindakan yang dilakukan diidentifikasi sebagai bagian
dari proses, maka setiap individu memahami posisinya yang paling tepat dalam proses
tersebut, sehingga pada gilirannya hal ini mendorong kerja sama tim yang lebih kokoh.
Orientasi pada dokumentasi, salah satu produk/jasa yang dihasilkan dari proses QFD
adalah dokumen komprehensif mengenai semua data yang berhubungan dengan segala
proses yang ada dan perbandingannya dengan persyaratan pelanggan. Dokumen ini
berubah secara konstan setiap kali ada informasi baru yang dipelajari dan informasi lama
yang lama dibuang. Informasi yang up to date mengenai persyaratan pelanggan dan
proses internal, sangat berguna bila terjadi pergantian pegawai (turnover).
a. Struktur dan Proses QFD
Analogi yang paling sering digunakan untuk menggambarkan struktur QFD
adalah suatu matriks yang berbentuk rumah (house of quality) seperti pada Gambar 2.
Gambar 2
Struktur
QFD House of Quality
(2003:116)
Tembok rumah sebelah kiri (Komponen 1) adalah masukan dari pelanggan. Pada
langkah ini pemanufaktur berusaha menentukan segala persyaratan yang dikehendaki
pelanggan dan berhubungan dengan produk/jasa. Agar dapat memenuhi persyaratan
pelanggan, pemanufaktur mengusahakan spesifikasi kinerja tertentu dan menyaratkan
pemasoknya untuk melakukan hal yang sama. Langkah ini digambarkan pada bagian
plafon/langit-langit rumah (Komponen 2).
Tembok rumah sebelah kanan (Komponen 3) merupakan matriks perencanaan.
Matriks ini merupakan komponen yang digunakan untuk menerjemahkan persyaratan
pelanggan ke dalam rencana-rencana untuk memenuhi atau melampaui persyaratan
tersebut.
Komponen
ini
meliputi
langkah-langkah
seperti
menggambarkan
persyaratan pelanggan pada suatu matriks dan proses pemanufakturan pada matriks
lainnya, memprioritaskan persyaratan pelanggan, dan mengambil keputusan
mengenai perbaikan yang dibutuhkan dalam proses pemanufakturan.
Di bagian tengah (Komponen 4), persyaratan pelanggan dikonversikan ke dalam
aspek-aspek pemanufakturan. Misalnya pelanggan menginginkan menginginkan
lulusan yang berkompetensi dalam bidang kesehatan, maka persyaratan tersebut akan
dikonversikan lembaga pendidikan dengan membuka dan mengembangkan jurusan
kedokteran.
Bagian bawah rumah (Komponen 5) merupakan daftar prioritas persyaratan proses
pemanufakturan. Sedangkan pada bagian atap (Komponen 6), langkah yang
dilakukan adalah identifikasi dari proses/kegiatan organisasi yang berhubungan
dengan persyaratan pemanufakturan. Pertanyaan yang akan dijawab dalam
Komponen 6 adalah apa yang terbaik dapat dilakukan organisasi dengan
mempertimbangkan persyaratan pelanggan dan kemampuan pemanufakturan
organisasi.
Setiap matriks yang dibuat sebagai bagian dari proses QFD harus distrukturkan
menurut bentuk rumah dalam Gambar 2. Tjiptono dan Diana (2003:117)
mengemukakan siklus lengkap proses QFD terdapat 6 matriks seperti pada Gambar 3.
Gambar
Proses
Quality
Function
Deployment
(QFD) (Tjiptono dan Diana (2003:116)
Masing-masing matriks pada Gambar 3 memiliki manfaat tersendiri. Manfaat tersebut
adalah:
i.
ii.
iii.
iv.
mengidentifikasi
variabel
penting
dalam
proses
pemanufakturan,
Matriks 4, bermanfaat untuk membandingkan proses pemanufakturan
dari Matriks 3 dengan proses pengendalian kualitas. Matriks ini
proses,
Matriks 5, dipergunakan untuk membandingkan proses pengendalian
kualitas dan proses Statistical Process Control (SPC). Matriks ini
memastikan bahwa parameter dan variabel proses yang tepat
vi.
digunakan,
Matriks 6, digunakan untuk membandingkan parameter SPC dengan
spesifikasi yang telah dikembangkan untuk produk/jasa akhir. Pada
Matriks ini dilakukan penyesuaian untuk menjamin bahwa produk/jasa
yang dihasilkan merupakan produk/jasa yang dibutuhkan pelanggan.
Proses QFD menjamin bahwa semua sumber daya digunakan secara optimal
dalam rangka memaksimalkan peluang organisasi untuk memenuhi atau
melampaui persyaratan pelanggan. Unsur yang paling penting dalam QFD adalah
informasi dari pelanggan. Informasi dari pelanggan menurut Tjiptono dan Diana
(2003:119) dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu.
i. Umpan balik, diperoleh setelah fakta terjadi. Hal ini berarti bahwa
setelah suatu produk/jasa dikembangkan, dihasilkan, dan ditentukan
harganya. Umpan balik kurang sesuai digunakan sebagai dasar dalam
penentuan kesesuaian antara produk/jasa yang akan dihasilkan dan
kebutuhan pelanggan pada awal proses QFD. Meskipun demikian
umpan balik sangat bermanfaat dalam membantu memperbaiki
ii.
b. Implementasi QFD
Proses implementasi QFD harus sistematis. Langkah-langkah implementasi
Quality Function Deployment (QFD) menurut Tjiptono dan Diana (2003:123125) adalah:
i.
dikembangkan
maka
wakil-wakil
dari
bagian
riset
dan
iii.
Memilih proyek
Proyek perbaikan/penyempurnaan lebih baik dimulai pada permulaan
daripada proyek pengembangan produk/jasa baru. Proyek perbaikan
memiliki keuntungan berupa tersedianya informasi mengenai produk/jasa
yang sudah ada dan telah ada pengalaman yang berhubungan dengan
produk/jasa bersangkutan. Bila tim QFD baru menangani produk baru,
maka setiap anggota tim akan menghadapi terlalu banyak hal yang baru,
yaitu mengenai QFD itu sendiri, informasi dari pelanggan, dan informasi
iv.
v.
Melatih tim
Sebelum memulai proyek, semua anggota tim perlu diberi pelatihan asasasas QFD. Anggota tim perlu mempelajari cara menggunakan berbagai
alat kualitas dan alat-alat spesifik seperti diagram dan matriks. Selain itu
setiap anggota tim juga harus memahami cara kerja QFD sebagai suatu
proses (Gambar 3).
c. Mengembangkan matriks
Bila setiap anggota tim telah memahami QFD, alat-alat QFD, dan format suatu
matriks QFD (Gambar 3), maka proses pengembangan matriks-matriks dapat
dimulai. Siklus proses QFD yang lengkap terdiri dari 6 matriks yang masingmasing terstruktur berdasarkan spesifikasi pada Gambar 3.
Matriks pertama membandingkan persyaratan pelanggan dengan ciri-ciri teknikal
produk/jasa. Hasil dari pengembangan matriks pertama adalah suatu ringkasan
kebutuhan/persyaratan
pelanggan
dan
suatu
dokumen
konsep
yang
proses
statistika
dan
spesifikasi
produk
akhir.
Dalam
BAB III
FOKUS PADA PELANGGAN
A CONTOH KASUS
1. Fasilitas
Suatu hari datang pasien dari IGD ke rawat inap kelas 1. Saat pasien masuk ke dalam
kamar, pasien mengeluh fasilitas tidak sesuai dengan kelas kamar yang klien minta.
Kamar mandi kotor, bel rusak, lampu redup. Dan klien memberikan pilihan, fasilitas
dibenahi saat itu juga atau klien dipindahkan ke kamar yang sesuai dengan
harapannya atau klien dirujuk ke RS lain.
2. Pelayanan
Pasien mengalami demam tinggi. Kemudian keluarga klien melaporkan kejadian ke
perawat penanggung jawab dari pasien tersebut. Namun karena jumlah pasien yang
banyak, akhirnya perawat tersebut tidak memberikan pelayanan yang baik. Perawat
tersebut melakukan tindakan ke pasien lain sehingga pasien yang demam tinggi
tersebut harus menunggu lama.
3. Komunikasi
Pasien menyampaikan keluhan yang harus diberikan tindakan kepada perawat yang
bukan penanggung jawab dari pasien tersebut. Namun perawat A lupa menyampaikan
pesan tersebut sehingga pasien tidak mendapatkan tindakan yang seharusnya. Dan
perawat penanggung jawab tersebut dilaporkan ke kepala ruangan.
4. Penampilan
Perawat A mendapat giliran shift malam. Saat baru mulai dinas, perawat terlihat
rapih. Namun saat menjelang pagi, perawat tidak memperhatikan penampilan
sehingga pasien tidak puas dengan penampilan perawat yang berantakan pada saat
pasien hendak di TTV dan di mandikan.
BAB IV
PERAN PERAWAT
A FASILITAS
Pada kasus yang terfokus pada fasilitas, ada baiknya sebelum menerima pasien masuk ke
rawat inap perawat menyiapkan fasilitas yang harusnya didapat seperti handuk, tissue,
handrub, pakaian dan selimut. Dan ada baiknya perawat juga memeriksa failitas yang ada
didalamnya, seperti lampu, bel, pagar bed, stopkontak, air conditioner, tv dan toilet. Agar
apabila ada kerusakan, pasien dapat di berikan ruangan yang failitasnya lebih baik.
B PELAYANAN
Pada kasus pelayanan disini, ada baiknya perawat dapat menggunakan time management
dengan baik. Agar pelanggan merasa puas dengan pelayanan yang cepat dan tepat. Tidak
harus menunggu lama karena jumlah pasien yang terpaut banyak.
C KOMUNIKASI
Selain harus mahir dalam tindakan mandiri, perawat juga harus menjaga komunikasi
antar pasien dan perawat, perawat dengan perawat, perawat dengan dokter, maupun
dengan tenaga medis lainnya yang ada di rumah sakit agar tidak terjadi missed
communication. Komunikasi terapeutik adalah yang paling utama yang harus dijaga oleh
perawat agar pasien merasa nyaman dan puas dengan pelayanan yang dilakukan dengan
hati.
D PENAMPILAN
Perawat dituntut untuk rapih dan cekatan. Karena tidak ada pasien yang ingin melihat
perawat dengan penampilan yang berantakan. Karena penampilan mempengaruhi mood
pasien yang melihat nya.
Contoh pelayanan kesehatan di Rumah Sakit yang diterapkan ialah La PRIMA. Yakni
Layanan Profesional, Ramah, Ikhlas, Mutu dan Antusias demi mendapatkan kepuasan
pelanggan di Rumah Sakit.
DAFTAR PUSTAKA