Anda di halaman 1dari 37

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah SWT berikan, tetapi sedikit sekali yang
kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat,
rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah dengan judul Prinsip I Manajemen Mutu : Fokus pada Pelanggan.
Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kedua orang tua dan segenap
sahabat STIKES PERTAMEDIKA yang telah memberikan dukungan, kasih, dan kepercayaan
yang begitu besar.
Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit
kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi. Meskipun penulis berharap isi
dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang kurang.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat
lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................................................................... ii
BAB I....................................................................................................................................... 3
MANAJEMEN MUTU.................................................................................................................. 3
A.

PENGERTIAN MUTU....................................................................................................... 3

B.

DIMENSI MUTU ASUHAN/ PELAYANAN KESEHATAN........................................................4

C.

PENILAIAN MUTU PELAYANAN KEPERAWATAN................................................................5

D.

MENGUKUR MUTU......................................................................................................... 7

E.

STRATEGI MUTU PELAYANAN KEPERAWATAN.................................................................9

BAB II.................................................................................................................................... 12
PRINSIP MANAJEMEN MUTU................................................................................................... 12
A.

PRINSIP MANAJEMEN MUTU.........................................................................................12

1.

Fokus Pada Pelanggan ( Customer Focus)...............................................................................12

2.

Kepemimpinan (Leadership)...............................................................................................12

3.

Keterlibatan Semua Orang (Engagement Of People)..................................................................12

4.

Pendekatan Proses ( Proses Approach)...................................................................................12

5.

Pendekatan Sistem Terhadap Manajemen................................................................................13

6.

Pendekatan Peningkatan Terus-Menerus.................................................................................13

7.

Pendekatan Faktual dalam Pembuatan Keputusan......................................................................13

8.

Hubungan Pemasok Yang Saling Menguntungkan.....................................................................13

B.

FOKUS PADA PELANGGAN........................................................................................... 13

BAB III................................................................................................................................... 35
FOKUS PADA PELANGGAN..................................................................................................... 35
A.

CONTOH KASUS.......................................................................................................... 35

BAB IV................................................................................................................................... 37
PERAN PERAWAT.................................................................................................................... 37
A.

FASILITAS.................................................................................................................... 37

B.

PELAYANAN................................................................................................................. 37

C.

KOMUNIKASI................................................................................................................ 37

D.

PENAMPILAN............................................................................................................... 37

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................. 39

BAB I
MANAJEMEN MUTU

A. PENGERTIAN MUTU
Berbicara tentang mutu, tentu tidak asing lagi bagi kita. Kita sering menjumpai istilah
mutu tidak hanya terpampang pada suatu produk yang berbentuk barang , tetapi istilah
mutu juga sering menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan pelayanan yang
berbentuk jasa, termasuk pelayanan kesehatan / keperawatan .
Mutu adalah tingkat kesempurnaan dari penampilan sesuatu yang sedang dialami dan
juga merupakan kepatuhan terhadap standar yang tlah ditetapkan Azwar (1996). Mutu
adalah kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan (Crosby, 1984 dalm djuhaeni,
1999)
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa mutu adalah suatu kondisi yang
menggambarkan tingkat kesempurnaan dari penampilan suatu produk yang berupa
barang atau jasa yang dibuat berdasarkan standar yang telah ditetapkan guna
menyelesaikan dengan keinginan pelanggan , yang tujuan akhirnya adalah terciptanya
kepuasan pelanggan.
Pelayanan kesehatan merupakan bentuk jasa yang disdiakan oleh organisasi penyedia
layanan kesehatan , salah satu bentuk lyanan kesehatan di organisasi penyedia layanan
kesehatan adalah pelayanan keperawatan.
Kottler (1997) menyatakan bahwa pelayanan adalah suatu perbuatan ketika seseorang
atau suatu kelompok menawarkan kelompok/ orang lain sesuatu yang pada dasarnya
tidak terwujud dan produksinya berkaitan atau tidak berkaitan dengan fisik produk
sedangkan Tjiptono(2004) menjelaskan bahwa pelayanan merupakan aktivitas, manfaat
atau kepuasaan yang ditawarkan untuk dijual sehingga dapat dikatakan bahwa pelayanan
itu merupakan suatu aktivitas yang ditawarkan dan menghasilkan sesuatu yang tidak
berwujud , namun dapat dinikmati atau dirasakan .
Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa mutu pelayanan keperawatan
adalah bentuk tampilan pelayanan keperawatan yang dibuktikan dengan keterampilan dan
kemmpuan perawat dalam memberikan pelayanan tanpa mengesampingkan rasa empati ,

respek dan tanggap , serta ramah kepada pasien dan kelarganya , dengan demikian ,
pelayanan keperawatan mampu mengurangi permasalahan permasalahan kesehatan pada
pelanggan ( pasien )

B. DIMENSI MUTU ASUHAN/ PELAYANAN KESEHATAN


Menurut Tjong (2004) menyatakan bahwa dimensi mutu pelayanan terdapat lima
dimensi , antar lain sebagai berikut:
1. Dapat dipercaya (Reliability)
Istilah dapat dipercaya ini sma dengan istilah keandalan ,. Untuk dapat dipercaya,
pelayanan harus konsisten, dan pelayanan akan dapat diberikan jika dapat dipercaya
oleh pelanggan.
2. Responsif (Responsiveness)
Istilah responsive yang dimaksud sama dengan tanggapan responsive secara
sederhana dapat didefinisikan sebagai kecepatan dan tanggapan
3. Buat pelanggan merasa dihargai ( makes customer feel valued)
Pelanggan mempunyai pikiran bahwa merekalah yang orang yang sangat penting
saat ini sehinggaperlu diperhatikan bagaimana menghargai pelanggan ,
4. Empati (Empathy)
Empati merupakan keahlian yang sangat bermanfaat karena melalui empati dapat
menjembatani pembicaraan kepada solusi .melalui empati pula , pemberi pelayanan
akan berada di sisi yang sama dengan pelanggan sehingga dapat lebih memahami
kebutuhan pelanggan
5. Kompetensi (Competency)
Kompetensi dalam hal ini lebih difokuskan pada staf yang berhubungan langsung
dengan pelanggan . pelanggan cenderung tidak mau berhubungan dengan manajer,
tetapi mereka lebih menginginkan orang pertama yang bertemu merekalah yag harus
dapat menyelesaikan masalah mereka.

C. PENILAIAN MUTU PELAYANAN KEPERAWATAN


Penilaian terhadap mutu dilakukan dengan menggunakan pendekatan-pendekatan
yang dikelompokkan dalam tiga komponen, yaitu :

1. Audit Struktur (Input)


Donabedian (1987, dalam Wijono 2000) mengatakan bahwa struktur merupakan
masukan (input) yang meliputi sarana fisik perlengkapan/peralatan, organisasi,
manajemen, keuangan, sumber daya manusia dan sumber daya lainnya dalam fasilitas
keperawatan. Baik tidaknya struktur sebagai input dapat diukur dari jumlah besarnya
mutu, mutu struktur, besarnya anggaran atau biaya, dan kewajaran. Penilaian juga
dilakukan terhadap perlengkapan-perlengkapan dan instrumen yang tersedia dan
dipergunakan untuk pelayanan. Selain itu pada aspek fisik, penilaian juga mencakup
pada karakteristik dari administrasi organisasi dan kualifikasi dari profesi kesehatan.
Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Tappen (1995), yaitu bahwa
struktur berhubungan dengan pengaturan pelayanan keperawatan yang diberikan dan
sumber daya yang memadai. Aspek dalam komponen struktur dapat dilihat melalui:
a. Fasilitas, yaitu kenyamanan, kemudahan mencapai pelayanan dan keamanan
b. Peralatan, yaitu suplai yang adekuat, seni menempatkan peralatan.
c. Staf, meliputi pengalaman, tingkat absensi, ratarata turnover, dan rasio pasienperawat.
d. Keuangan, yaitu meliputi gaji, kecukupan dan sumber keuangan.
Berdasarkan kedua pendapat di atas, maka pendekatan struktur lebih difokuskan
pada hal-hal yang menjadi masukan dalam pelaksanaan pelayanan keperawatan,
diantaranya yaitu :
a. Fasilitas fisik, yang meliputi ruang perawatan yang bersih, nyaman dan aman,
serta penataan ruang perawatan yang indah;
b. Peralatan, peralatan keperawatan yang lengkap, bersih, rapih dan ditata
dengan baik
c. Staf keperawatan sebagai sumber daya manusia, baik dari segi kualitas
maupun kuantitas
d. Keuangan, yang meliputi bagaimana mendapatkan sumber dan alokasi dana.
Faktor-faktor yang menjadi masukan ini memerlukan manajemen yang baik, baik
manajemen sumber daya manusia, keuangan maupun logistik.
2. Proses (Process)
(1987, dalam Wijono 2000) menjelaskan bahwa pendekatan ini merupakan proses
yang mentransformasi struktur (input) ke dalam hasil (outcome). Proses adalah

kegiatan yang dilaksanakan secara profesional oleh tenaga kesehatan (perawat) dan
interaksinya dengan pasien. Dalam kegiatan ini mencakup diagnosa, rencana
perawatan, indikasi tindakan, prosedur dan penanganan kasus. Dengan kata lain
penilaian dilakukan terhadap perawat dalam merawat pasien. Dan baik tidaknya
proses dapat diukur dari relevan tidaknya proses bagi pasien, fleksibelitas/efektifitas,
mutu proses itu sendiri sesuai dengan standar pelayanan yang semestinya, dan
kewajaran (tidak kurang dan tidak berlebihan).
Tappen (1995) juga menjelaskan bahwa pendekatan pada proses dihubungkan dengan
aktivitas nyata yang ditampilkan oleh pemberi pelayanan keperawatan.. Penilaian
dapat melalui observasi atau audit dari dokumentasi.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendekatan

ini difokuskan pada

pelaksanaan pemberian pelayanan keperawatan oleh perawat terhadap pasien dengan


menjalankan tahap-tahap asuhan keperawatan. Dan dalam penilaiannya dapat
menggunakan teknik observasi maupun audit dari dokumentasi keperawatan.
Indikator baik tidaknya proses dapat dilihat dari kesesuaian pelaksanaan dengan
standar operasional prosedur, relevansi tidaknya dengan pasien dan efektifitas
pelaksanaannya.

3. Hasil (Outcome)
Pendekatan ini adalah hasil akhir kegiatan dan tindakan perawat terhadap

pasien.

Dapat berarti adanya perubahan derajat kesehatan dan kepuasan baik positif maupun
negatif. Sehingga baik tidaknya hasil dapat diukur dari derajat kesehatan pasien dan
kepuasan pasien terhadap pelayanan perawatan yang telah diberikan (Donabedian,
1987 dalam Wijono 2000).
Sedangkan Tappen (1995) menjelaskan bahwa outcome berkaitan dengan hasil dari
aktivitas yang diberikan oleh petugas kesehatan. Hasil ini dapat dinilai dari efektifitas
dari aktivitas pelayanan keperawatan yang ditentukan dengan tingkat kesembuhan
dan kemandirian. Sehingga dapat dikatakan bahwa fokus pendekatan ini yaitu pada
hasil dari pelayanan keperawatan, dimana hasilnya adalah peningkatan derajat
kesehatan pasien dan kepuasan pasien. Sehingga kedua hal tersebut dapat dijadikan
indikator dalam menilai mutu pelayanan keperawatan.

Pendekatan-pendekatan di atas dapat digunakan sebagai indikator dalam melakukan


penilaian terhadap mutu. Namun sebagai suatu sistem penilaian mutu sebaiknya
dilakukan pada ketiga unsur dari sistem tersebut yang meliputi struktur, proses dan
hasil. Dan setelah didapatkan hasil penilaiannya, maka dapat dilakukan strategi yang
tepat untuk mengatasi kekurangan atau penilaian negatif dari mutu pelayanan
tersebut. Namun seiring berjalannya waktu, strategi peningkatan mutu mengalami
perkembangan yang dapat menjadi wacana kita mengenai strategi mana yang tepat
dalam melakukan upaya yang berkaitan dengan mutu pelayanan. Oleh karena itu pada
sub bab berikutnya akan dibahas mengenai strategi dalam mutu pelayanan
keperawatan.

D. MENGUKUR MUTU
Tiga dari macam-macam cara pengukuran mutu yang dikenal di Indonesia:
1. Indikator Klinis
Indikator sebagai sebuah penanda objektif yang bisa dipakai sebagai pertimbangan
dalam mengambil keputusan. Indikator bukan lagi data. Indikator adalah informasi.
Indikator mempunyai lima karakter utama yang sering disingkat dengan SMART.
Simple, measurable, accurate, reliable, timely. Indikator haruslah cukup mudah
dipahami, dihitung, dikumpulkan data dasarnya, dan dikerjakan tepat waktu oleh
pelaksana. Selain itu, indikator harus dipilih sehingga akurat dan bisa dipercaya.
Indikator klinis yang sangat populer diukur di banyak rumah sakit adalah waktu
respon, infeksi terkait pemasangan infus, infeksi luka operasi, angka kejadian
dekubitus (pressure sore), dan kematian ibu akibat perdarahan. Angka-angka
indikator ini diukur dari waktu ke waktu dengan metode yang baku dan
dikembangkan akurasinya. Indikator-indikator ini bersumber dari buku yang
diterbitkan oleh Departemen Kesehatan mengenai indikator klinis. Saat ini, manual
yang dipakai lebih luas adalah standar pelayanan minimal rumah sakit yang juga
diterbitkan oleh Departemen Kesehatan.
2. Audit Medis
Audit medis merupakan proses evaluasi mutu pelayanan medis melalui telaah rekam
medis oleh profesi medis sendiri. Tujuan dilakukan audit medis adalah pelayanan
medis prima yang bersumber pada evaluasi mutu pelayanan, penerapan standar, dan

perbaikan pelayanan berdasarkan kebutuhan pasien dan standar yang telah ada. Audit
medis di Indonesia diatur oleh Keputusan Menteri Kesehatan no. 496 tahun 2005.
Pembahasan kasus kematian, kasus sulit, kasus langka, dan lain-lain adalah bentuk
audit medis yang paling sederhana. Audit medis paripurna menyertakan review,
assessment, dan surveillance. Audit medis adalah proses yang terus menerus karena
merupakan upaya yang terus menerus. Proses inti audit medis adalah menetapkan
kasus yang akan diaudit, mengumpulkan berkas kasus tersebut, dan membandingkan
pelayanan medis yang diberikan dengan standar, untuk selanjutnya mengambil
tindakan korektif. Audit medis dapat dilakukan mulai dari kelompok staf medis
(organisasi dokter dengan kemampuan atau kompetensi klinis yang sama) sampai ke
tingkat komite medis di tingkat rumah sakit.
3. Mortality Review
Mortality review adalah bagian dari audit medis. Lewat mortality review, rumah sakit
bersama dengan manajemen rumah sakit dapat mencari faktor-faktor yang
berkontribusi pada kematian di rumah sakit. Untuk mencari faktor-faktor tersebut,
digunakan sebuah check list yang bernama global trigger tools. Global trigger tools
memuat puluhan entry point ke arah resiko tindakan, kesalahan, kelalaian, maupun
kemungkinan gagal komunikasi. Titik berat mortality review adalah kematiankematian yang terjadi pada pasien non terminal, baik kematian tersebut terjadi
diintensive care unit / ICU / unit perawatan intensif maupun di ruang rawat inap
biasa. Seluruh kematian non terminal ini didaftar, dipelajari rekam medisnya, dan
dibahas pada pertemuan mortality review. Menggunakan global trigger tools dalam
melakukan mortality review biasanya berupaya menemukan apakah ada kegagalan,
terutama dalam mengenali perburukan atau masuknya pasien kepada keadaan kritis,
merencanakan

penegakan

diagnosis

dan

rencana

pengobatan,

dan

mengkomunikasikan keadaan pasien baik antar dokter, dokter kepada perawat,


perawat kepada dokter, dan antar profesi kesehatan yang lain. Data mortality
reviewdapat dipakai juga oleh rumah sakit dalam rangka pengembangan layanan.
Misalnya, jumlah kematian yang tinggi pada pasien terminal mengindikasikan
perlunya rumah sakit memikirkan layanan perawatan paliatif.

E. STRATEGI MUTU PELAYANAN KEPERAWATAN


1. Quality Assurance (Jaminan Mutu)
Quality Assurance mulai digunakan di rumah sakit sejak tahun 1960-an implementasi
pertama yaitu audit keperawatan. Strategi ini merupakan program untuk mendesain
standar pelayanan keperawatan dan mengevaluasi pelaksanaan standar tersebut
(Swansburg, 1999).
Sedangkan menurut Wijono (2000), Quality Assurance sering diartikan sebagai
menjamin mutu atau memastikan mutu karena Quality Assurance berasal dari kata to
assure yang artinya meyakinkan orang, mengusahakan sebaik-baiknya, mengamankan
atau menjaga. Dimana dalam pelaksanaannya menggunakan teknik-teknik seperti
inspeksi, internal audit dan surveilan untuk menjaga mutu yang mencakup dua tujuan
yaitu : organisasi mengikuti prosedur pegangan kualitas, dan efektifitas prosedur
tersebut untuk menghasilkan hasil yang diinginkan.
Dengan demikian quality assurance dalam pelayanan keperawatan adalah kegiatan
menjamin mutu yang berfokus pada proses agar mutu pelayanan keperawatan yang
diberikan sesuai dengan standar. Dimana metode yang digunakan adalah :.
a. Audit internal dan surveilan untuk memastikan apakah proses pengerjaannya
(pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasien) telah sesuai dengan
standar operating procedure (SOP)
b. Evaluasi proses
c. Mengelola mutu
d. Penyelesaian masalah. Sehingga sebagai suatu system (input, proses,
outcome), menjaga mutu pelayanan keperawatan difokuskan hanya pada satu
sisi yaitu pada proses pemberian pelayanan keperawatan untuk menjaga mutu
pelayanan keperawatan.
2. Continuous Quality Improvement (Peningkatan Mutu Berkelanjutan)
Continuous Quality Improvement dalam pelayanan kesehatan

merupakan

perkembangan dari Quality Assurance yang dimulai sejak tahun 1980-an. Menurut
Loughlin dan Kaluzny (1994, dalam Wijono 2000) bahwa ada perbedaan sedikit yaitu
Total Quality Management dimaksudkan pada program industry sedangkan
Continuous Quality Improvement mengacu pada klinis. Wijonon (2000) mengatakan
bahwa Continuous Quality Improvement itu merupakan upaya peningkatan mutu
secara terus menerus yang dimotivasi oleh keinginan pasien. Tujuannya adalah untuk

meningkatkan mutu yang tinggi dalam pelayanan keperawatan yang komprehensif


dan baik, tidak hanya memenuhi harapan aturan yang ditetapkan standar yang
berlaku.
Pendapat lain dikemukakan oleh Shortell dan Kaluzny (1994) bahwa Quality
Improvement merupakan manajemen filosofi untuk menghasilkan pelayanan yang
baik. Dan Continuous Quality Improvement sebagai filosofi peningkatan mutu yang
berkelanjutan yaitu proses yang dihubungkan dengan memberikan pelayanan yang
baik yaitu yang dapat menimbulkan kepuasan pelanggan (Shortell, Bennett dan Byck,
1998).
Sehingga dapat dikatakan bahwa Continuous Quality Improvement dalam
keperawatan adalah upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan secara
terus menerus yang memfokuskan mutu pada perbaikan mutu secara keseluruhan dan
kepuasan pasien. Oleh karena itu perlu dipahami mengenai karakteristik-karakteristik
yang dapat mempengaruhi mutu dari outcome yang ditandai dengan kepuasan pasien.
3. Total quality manajemen (TQM)
Total Quality Manajemen (manajemen kualitas menyeluruh) adalah suatu cara
meningkatkan performansi secara terus menerus pada setiap level operasi atau proses,
dalam setiap area fungsional dari suatu organisasi, dengan menggunakan semua
sumber daya manusia dan modal yang tersedia dan berfokus pada kepuasan pasien
dan perbaikan mutu menyeluruh. (Windy, 2009)

BAB II
PRINSIP MANAJEMEN MUTU

A PRINSIP MANAJEMEN MUTU


1. Fokus Pada Pelanggan ( Customer Focus)
Prinsip ini mengatakan bahwa semua perusahaan bergantung pada pelanggannya.
Oleh karena itu, harus memahami kebutuhan-kebutuhan para pelanggan mereka baik
yang sekarang atau masa depan, memenuhi persyaratan-persyaratan dari pelanggan
mereka dan terus berusaha untuk melebihi harapan mereka.
2. Kepemimpinan (Leadership)
Di Perusahaan, para pemimpinnya lah yang bertugas membangun kesatuan tujuan dan
arah perusahaan. Oleh karena itu, mereka harus menciptakan dan mempertahankan
lingkungan kerja yang membuat tiap orang didalamnya terlibat secara penuh dalam
mencapai berbagai target-target perusahaan dalam menghasilkan produk dan jasa
yang bermutu.
3. Keterlibatan Semua Orang (Engagement Of People)
Orang/karyawan pada semua tingkatan merupakan faktor yang sangat penting dari
suatu organisai

dan keterlibatan mereka secara penuh akan memungkinkan

kemampuan mereka digunakan untuk manfaat organisasi.


4. Pendekatan Proses ( Proses Approach)
Suatu hasil yang diinginkan akan tercapai secara efisien, apabila aktivitas dan
sumber-sumber daya yang berkaitan dikelola sebagai suatu proses. Suatu proses dapat

didefinisikan sebagai integrasi sekuensial dari orang, material, metode, mesin dan
peralatan, dalam suatu lingkungan guna menghasilkan nilai tambah output bagi
pelanggan.
5. Pendekatan Sistem Terhadap Manajemen
Pengidentifikasian, pemahaman dan pengelolaan, dari proses-proses yang saling
berkaitan sebagai suatu system, kan memberikan kontribusi pada efektifitas dan
efisiensi organisasi dalam mencapai tujuan-tujuannya.
6. Pendekatan Peningkatan Terus-Menerus
Peningkatan terus-menerus dari kinerja organisasi secara keseluruhan harus menjadi
tujuan tetap dari organisasi. Peningkatan terus-menerus didefinisikan sebagai suatu
proses sebagai suatu proses yang berfokus pada upaya terus-menerus meningkatkan
efektifitas dan efisiensi organisasi untuk memenuhi kebijakan dan tujuan dari
organisasi itu. Peningkatan terus-menerus membutuhkan langkah-langkah konsolidasi
progresif, menanggapi perkembangan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan, dan akan
menjamin suatu evolusi dinamik dari system manajemen mutu.
7. Pendekatan Faktual dalam Pembuatan Keputusan
Keputusan yang efektif adalah keputusan yang berdasarkan pada analisis data
pengukuran dan informasi pbjektif sesuai fakta yang valid, jelas dan tidak bias.
Analisis data dari berbagai sumber yang jelas dan terdokumentasi untuk menentukan
kinerja organisasi sesuai rencana, sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan, disamping
nutuk menetapkan keputusan dan tindaklanjut yang diperlukan.
8. Hubungan Pemasok Yang Saling Menguntungkan
Suatu organisasi dan pemasok adalah saling tergantung, dan suatu hubungan yang
saling menguntungkan akan meningkatkan kemampuan bersama dalam menciptakan
nilai tambah. Pemasok merupakan bagian dari system manajemen mutu organisasi
yang harus dikendalikan untuk mencapai suatu nilai hubungan yang saling
menguntungkan dalam menghasilkan produk atau jasa yang bermutu.

F. FOKUS PADA PELANGGAN


1. Konsep Pelanggan
Berdasarkan pandangan tradisional, pelanggan suatu perusahaan adalah orang yang
membeli dan menggunakan produknya. Hoyle (2007:189) berpendapat customer is an
organization or person that receives a product from another organization and includes,
consumer is client, end user, retailer, beneficiary, and purchaser. Pelanggan adalah
organisasi atau orang yang menerima produk dari organisasi lainnya, langganan
termasuk klien, pemakai akhir, pengecer, penerima kegunaan organisasi, dan pembeli.
Hal senada disebutkan dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008:809) bahwa pelanggan
adalah orang (tempat) yang mempunyai hubungan tetap dalam hal jual beli, sebagai
pengguna produk.
Tjiptono dan Diana (2003:100) berpendapat pelanggan merupakan orang yang
berinteraksi dengan perusahaan setelah proses menghasilkan produk. Sedangkan
pihak-pihak yang berinteraksi dengan perusahaan sebelum tahap proses menghasilkan
produk disebut sebagai pemasok. Berdasarkan pandangan tradisional pelanggan dan
pemasok merupakan entitas eksternal.
Pendidikan telah didefinisikan sebagai penyedia jasa, yang meliputi biaya pendidikan,
penilaian dan bimbingan bagi peserta didik, orang tua peserta didik, dan para
pendukung (Supriyanto, 1999:25). Lebih lanjut Supriyanto (1999:25) mengklasifikasi
pelanggan dalam bidang pendidikan adalah pelanggan primer, sekunder, dan tersier.
Pelanggan primer adalah mereka yang langsung menerima jasa pendidikan tersebut
yaitu peserta didik. Pelanggan sekunder adalah mereka yang mendukung pendidikan
seperti orang tua dan pemerintah. Pelanggan tersier adalah mereka yang secara tidak
langsung memiliki andil, tetapi memiliki peranan penting dalam pendidikan (selaku
pemegang kebijakan) seperti pegawai, pemerintah, dan masyarakat.
Adanya perbedaan pelanggan ini maka diperlukan suatu perhatian khusus dari
lembaga pendidikan terhadap keinginan pelanggannya. Hal ini penting untuk
mengembangkan mekanisme pelayanan pendidikan yang diberikan. Jika perhatian
khusus terhadap perbedaan yang ada diabaikan oleh lembaga pendidikan, maka akan
berdampak pada kehilangan pelanggan potensial.
Berdasarkan pandangan TQM menurut Tjiptono dan Diana (2003:100) pelanggan dan
pemasok ada di dalam dan di luar organisasi. Pelanggan eksternal adalah orang yang
membeli dan menggunakan produk perusahaan. Pemasok eksternal adalah orang di

luar organisasi yang menjual bahan baku, informasi, atau jasa kepada organisasi.
Supriyanto (1999:27) mengemukakan dalam bidang pendidikan, pelanggan internal
adalah pegawai sekolah, sedangkan pelanggan eksternal adalah peserta didik. Fokus
utama dari lembaga pendidikan ialah pada pelanggan eksternal (peserta didik).
Sedangkan di dalam organisasi juga ada pelanggan internal dan pemasok internal.
Misalnya dalam suatu lembaga pendidikan, guru A sebagai guru mata pelajaran biasa
dan Guru B sebagai wali kelas. Guru B sebagai wali kelas memiliki tugas
memasukkan nilai ujian siswa ke dalam rapor dan guru A sebagai guru mata pelajaran
yang memiliki tugas menilai siswa dan hasilnya dilaporkan kepada guru B untuk
dimasukkan ke dalam rapor.
Berdasarkan ilustrasi tersebut guru A merupakan pemasok bagi guru B dan guru B
sendiri merupakan pelanggan bagi guru A. Guru B sebagai wali kelas tidak dapat
melakukan pekerjaannya dengan baik bila guru A tidak melakukan pekerjaannya
dengan baik pula. Kualitas pekerjaan guru A mempengaruhi guru B. Konsep
ketergantungan (dependency) seperti ini penting dalam hubungan pemasok dengan
pelanggan.
2. Kepuasan Pelanggan
Hakikatnya tujuan organisasi adalah menciptakan dan mempertahankan para
pelanggan. Berdasarkan pendekatan TQM, kualitas menurut Tjiptono dan Diana
(2003:101) ditentukan oleh pelanggan. Oleh karena itu hanya dengan memahami
proses dan pelanggan maka organisasi dapat menyadari dan menghargai makna
kualitas. Semua usaha manajemen dalam TQM diarahkan pada satu tujuan utama,
yaitu terciptanya kepuasan pelanggan.
Band (1991) berpendapat kepuasan pelanggan merupakan suatu tingkatan di mana
kebutuhan, keinginan, dan harapan dari pelanggan dapat terpenuhi yang akan
mengakibatkan terjadinya pembelian ulang atau kesetiaan yang berlanjut. Gerson
(1993:5) mengemukakan customer satisfaction it is the customers perception that
his or her expectations have been met or surpassed. Kepuasan pelanggan adalah
persepsi pelanggan tentang harapannya apakah telah sesuai atau melebihi dari yang
diharapkannya terhadap suatu organisasi. Disimpulkan kepuasan pelanggan adalah
sejauh mana kinerja produk memenuhi harapan pemakai. Jika kinerja produk lebih

rendah daripada harapan pelanggan, maka pembelinya tidak puas. Bila prestasi sesuai
atau melebihi harapan, maka pembelinya merasa puas.
Tingkat kepuasan adalah fungsi dari perbedaan antara kinerja yang dirasakan dan
harapan (Kotler, 1997). Dengan demikian, harapan pelanggan melatarbelakangi
mengapa dua organisasi pada jenis bisnis yang sama dapat dinilai berbeda oleh
pelanggannya. Dalam konteks kepuasan pelanggan, umumnya harapan merupakan
perkiraan atau keyakinan pelanggan tentang apa yang akan diterimanya. Harapan
mereka dibentuk oleh pengalaman pembelian dahulu, komentar teman dan
kenalannya serta janji dari organisasi tersebut. Harapan-harapan pelanggan ini dari
waktu ke waktu berkembang seiring dengan semakin bertambahnya pengalaman
pelanggan.
Adanya kepuasan pelanggan dapat memberikan beberapa manfaat, yaitu menurut
Tjiptono (2004:9) adalah 1) terjalin hubungan yang harmonis antara organisasi dan
pelanggan, 2) memberikan dasar yang baik bagi pembelian ulang, 3) mendorong
terciptanya loyalitas pelanggan, 4) membentuk suatu rekomendasi dari mulut ke
mulut (word of mouth) yang menguntungkan bagi organisasi, 5) reputasi perusahaan
menjadi baik di mata pelanggan, dan 6) laba yang diperoleh dapat meningkat.
Pelanggan merupakan penerima hasil kerja suatu organisasi, sehingga merekalah
yang dapat menentukan kualitasnya seperti apa dan hanya mereka yang dapat
menyampaikan apa dan bagaimana kebutuhan mereka. Hal ini merupakan penyebab
munculnya slogan kualitas dimulai dari pelanggan.
Ada beberapa unsur penting menurut Tjiptono dan Diana (2003:103) di dalam
kualitas yang ditetapkan pelanggan, yaitu 1) pelanggan haruslah merupakan prioritas
utama organisasi, kelangsungan organisasi tergantung pada pelanggan, 2) pelanggan
yang dapat diandalkan merupakan pelanggan yang paling penting, pelanggan yang
dapat diandalkan adalah pelanggan yang membeli/memakai produk secara
berulang/berkali-kali dan pelanggan yang merasa puas terhadap produk organisasi,
dan 3) kepuasan pelanggan dijamin dengan menghasilkan produk berkualitas tinggi,
kepuasan berimplikasi pada perbaikan terus-menerus sehingga kualitas harus
diperbaharui setiap saat agar pelanggan tetap puas dan loyal.
Kepuasan pelanggan merupakan prioritas paling utama dalam organisasi TQM,
sehingga organisasi harus memiliki fokus pada pelanggan. Kunci untuk membentuk
fokus pada pelanggan adalah menempatkan pegawai untuk berhubungan dengan

pelanggan dan memberdayakan mereka untuk mengambil tindakan yang diperlukan


dalam rangka memuaskan pelanggan. Unsur penting dalam pembentukan fokus pada
pelanggan adalah interaksi antara pegawai dan pelanggan.
Pemantauan dan pengukuran kepuasan pelanggan juga menjadi hal yang esensial bagi
setiap organisasi. Hal ini dikarenakan langkah tersebut dapat memberikan umpan
balik dan masukan bagi keperluan pengembangan dan implementasi strategi
organisasi dalam peningkatan kepuasan pelanggan. Kepuasan pelanggan dapat diukur
dengan berbagai metode. Beberapa macam metode dalam pengukuran kepuasan
pelanggan menurut Kotler dalam Tjiptono dan Diana (2003:104-105) adalah:
a. Sistem keluhan dan saran, organisasi yang berpusat pada pelanggan (customer
centered) memberikan kesempatan yang luas kepada pelanggan untuk
menyampaikan saran dan keluhan, misalnya menyediakan kotak saran dan
customer hot lines. Informasi yang dihimpun dapat digunakan sebagai dasar
pengembangan ide organisasi dan bereaksi secara tanggap dan cepat untuk
mengatasi masalah yang terjadi,
b. Ghost shopping, salah satu untuk memperoleh gambaran mengenai kepuasan
pelanggan adalah dengan mempekerjakan beberapa orang untuk berperan atau
bersikap sebagai pembeli potensial, kemudian melaporkan temuan-temuannya
mengenai kekuatan dan kelemahan produk organisasi dan pesaing berdasarkan
pengalaman mereka dalam pembelian/pemakaian produk. Selain itu para
ghost shopper juga dapat mengamati cara penanganan setiap keluhan,
c. Lost customer analysis, organisasi seyogyanya menghubungi para pelanggan
yang telah berhenti membeli atau yang telah pindah pemasok agar dapat
memahami latar belakang hal itu terjadi,
d. Survey kepuasan pelanggan, umumnya penelitian mengenai kepuasan
pelanggan dilakukan dengan penelitian survey dan menggunakan teknik
wawancara. Hal ini karena dengan survey organisasi akan memperoleh
tanggapan dan umpan balik secara langsung dari pelanggan dan memberi
tanda (signal) positif bahwa organisasi memiliki perhatian terhadap
pelanggan.
Metode Performance Importance Matrix digunakan untuk mengetahui kepuasan
pelanggan dengan cara responden diberi pertanyaan mengenai seberapa besar mereka

mengharapkan suatu atribut tertentu dan seberapa besar yang mereka rasakan.
Responden diminta menuliskan masalah-masalah yang mereka hadapi yang berkaitan
dengan penawaran dari organisasi dan diminta untuk menuliskan perbaikan-perbaikan
yang mereka sarankan. Dan responden diminta merangking elemen atau atribut
penawaran berdasarkan derajat kepentingan setiap elemen dan seberapa baik kinerja
organisasi pada masing-masing elemen.
Beberapa dimensi pengukuran kepuasan pelanggan yang sering dipakai adalah 1)
responsiveness (ketanggapan), kemampuan untuk menolong pelanggan dan
ketersediaan untuk melayani pelanggan dengan baik, 2) reliability (keandalan),
kemampuan untuk melakukan pelayanan sesuai yang dijanjikan dengan segera,
akurat, dan memuaskan, 3) emphaty (empati), rasa peduli untuk memberikan
perhatian secara individual kepada pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan, dan
pengetahuan untuk dihubungi, 4) assurance (jaminan) pengetahuan, kesopanan
petugas, dan sifatnya yang dapat dipercaya sehingga pelanggan terbebas dari risiko,
dan 5) tangibles (bukti langsung), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan karyawan, dan
sarana komunikasi.
Bentuk metode Performance Importance Matrix untuk mengukur kepuasan pelanggan
adalah:
a. Traditional Approach, berdasarkan pendekatan ini pelanggan diminta
memberikan penilaian atas masing-masing indikator produk atau jasa yang
mereka nikmati (pada umumnya menggunakan skala Likert) yaitu dengan cara
memberikan rating dari 1 (sangat tidak puas) sampai 5 (sangat puas),
selanjutnya dihitung nilai rata-rata tiap variabel dan dibandingkan dengan
nilai secara keseluruhan,
b. Analisis Secara deskriptif, seringkali penilaian kepuasan pelanggan tidak
hanya berhenti sampai diketahui puas atau tidak puas, yaitu dengan
menggunakan

analisis

statistik

secara

deskriptif,

misalnya

melalui

penghitungan nilai rata-rata, nilai distribusi, dan standar devisiasi,


c. Analisis Importance and Performance Matrix (IPM), konsep ini mengukur
tingkat kepentingan pelanggan (customer expectation) diukur dalam kaitannya
dengan apa yang seharusnya dikerjakan oleh suatu organisasi agar
menghasilkan produk atau jasa yang berkualitas tinggi. Lebih rinci hubungan

importance (kepentingan pelanggan) dengan performance (penampilan


kinerja) seperti pada Gambar 1.

Gambar 1
Importance and Performance Matrix (Umar dalam Natalisa, 2007:93)

Kuadran I focus effort here (prioritas utama/attributes to improve), kinerja suatu


variabel adalah lebih rendah dari keinginan konsumen sehingga kinerja organisasi
harus ditingkatkan agar optimal. Kuadran I merupakan wilayah yang memuat faktorfaktor dianggap penting oleh pelanggan tetapi pada kenyataannya faktor-faktor ini
belum sesuai seperti yang di harapkan (tingkat kepuasan yang diperoleh masih sangat
rendah). Variabel-variabel yang masuk dalam kuadran ini harus ditingkatkan. Caranya
adalah organisasi melakukan perbaikan secara terus menerus sehingga performance
variable yang ada dalam kuadran ini akan meningkat.
Kuadran II maintain performance (kinerja dipertahankan), kinerja dan keinginan
konsumen pada suatu variabel berada pada tingkat tinggi dan sesuai, sehingga
organisasi cukup mempertahankan kinerja variabel tersebut. Kuadran II merupakan
wilayah yang memuat faktor-faktor yang dianggap oleh pelanggan sudah sesuai
dengan yang dirasakannya sehingga tingkat kepuasannya relatif lebih tinggi. Variabel-

variabel yang termasuk dalam kuadran ini harus tetap dipertahankan karena semua
variabel ini menjadikan produk/jasa tersebut unggul di mata pelanggan.
Kuadran III medium low priority (prioritas rendah/attributes to maintain), kinerja dan
keinginan konsumen pada suatu variabel berada pada tingkat rendah, sehingga
organisasi belum perlu melakukan perbaikan. Kuadran III adalah wilayah yang
memuat faktor-faktor yang dianggap kurang penting oleh pelanggan dan pada
kenyataannya kinerjanya tidak terlalu istimewa. Peningkatan variabel-variabel yang
termasuk dalam kuadran ini dapat dipertimbangkan kembali karena pengaruhnya
terhadap manfaat yang dirasakan oleh pelanggan sangat kecil.
Kuadran IV reduce emphasis (pelayanan berlebihan/main priority), kinerja organisasi
berada dalam tingkat tinggi tetapi keinginan konsumen akan kinerja dari variabel
tersebut hanya rendah, sehingga organisasi perlu mengurangi hasil yang dicapai agar
dapat mengefisienkan sumber daya organisasi. Kuadran IV adalah wilayah yang
memuat faktor-faktor yang dianggap kurang penting oleh pelanggan dan dirasakan
terlalu berlebihan. Variabel-variabel yang termasuk dalam kuadran ini dapat dikurangi
agar perusahaan dapat menghemat biaya.
Berdasarkan hasil observasi Peters dalam Tjiptono dan Diana (2003:106-107)
menyimpulkan sepuluh kunci dalam pengukuran kepuasan pelanggan, yaitu:
a. Frekuensi, setiap organisasi perlu melakukan survey formal mengenai
kepuasan pelanggannya paling sedikit setiap 60 sampai dengan 90 hari sekali.
Di samping itu juga perlu diadakan survey informal paling sedikit setiap bulan
sekali,
b. Format, sebaiknya yang melakukan survey formal adalah pihak ketiga di luar
organisasi. Hasil yang diperoleh harus disampaikan kepada semua pihak
dalam organisasi. Setiap keluhan dari pelanggan juga harus diketahui oleh
semua jajaran organisasi, baik manajemen maupun pegawai,
c. Isi (content), sebaiknya pertanyaan yang diajukan adalah pertanyaanpertanyaan standar yang dikuantitatifkan,
d. Desain isi, organisasi perlu melakukan pendekatan sistematis dalam
memperhatikan setiap pandangan yang ada. Tidak ada satu pun ukuran atau
instrumen survey yang paling baik untuk segala kondisi. Oleh karena itu

diperlukan pula koordinasi dan cross checking terhadap berbagai ukuran yang
ada,
e. Melibatkan setiap orang, focus grup informal harus melibatkan semua fungsi
dan level dalam organisasi. Dengan demikian mereka yang mengunjungi
pelanggan haruslah terdiri dari semua fungsi, semua level (dari pegawai front
line sampai dengan manajemen puncak). Demikian pula halnya dengan
pemasok, grosir (wholesaler), dan anggota saluran distribusi lainnya harus
berpartisipasi, baik secara formal maupun informal,
f. Mengukur kepuasan setiap orang, organisasi harus mengukur kepuasan semua
pihak, baik pelanggan langsung maupun pelanggan tak langsung, yaitu
pemakai akhir dan setiap anggota saluran distribusi,
g. Kombinasi berbagai ukuran, ukuran yang digunakan harus dibatasi pada skor
kuantitatif gabungan terhadap a) beberapa individu, misalnya pegawai bagian
laboratorium, b) kelompok (tim pengiriman atau pusat reservasi), c) fasilitas
(kantor tata usaha, laboratorium), dan d) divisi (bagian kurikulum, peserta
didik),
h. Hubungan dengan kompensasi dan reward lainnya, hasil pengukuran
kepuasan pelanggan harus dikaitkan dengan sistem kompensasi dan reward
lainnya. Misalnya dijadikan variabel utama dalam penentuan kompensasi
insentif dalam penjualan,
i. Penggunaan ukuran secara simbolik, ukuran kepuasan pelanggan yang
digunakan perlu dipasang dan ditempatkan di setiap bagian organisasi,
j. Bentuk pengukuran lainnya, setiap deskripsi kerja harus mencakup pula
deskripsi kualitatif mengenai hubungan pegawai yang bersangkutan dengan
pelanggan, dan setiap evaluasi kinerja harus mencakup penilaian terhadap
sejauh mana seorang karyawan memiliki customer orientation.

3. Kebutuhan Pelanggan Internal dan Eksternal


Berdasarkan pendekatan tradisional, pelanggan tidak dilibatkan dalam proses
pengembangan produk. Apabila pendekatan ini digunakan dalam situasi persaingan
yang kompetitif, maka organisasi akan sangat sulit bersaing dan sangat mungkin
mengalami kehancuran. Kebutuhan pelanggan dalam pendekatan TQM diidentifikasi
sebagai bagian dari pengembangan produk. Tjiptono dan Diana (2003:108)

berpendapat tujuan organisasi menggunakan pendekatan ini adalah untuk melampaui


harapan pelanggan, buka sekedar memenuhinya. Untuk itu perlu dikumpulkan
informasi yang akurat mengenai kebutuhan dan keinginan pelanggan atas produk/jasa
yang dihasilkan organisasi.
Organisasi dengan demikian dapat memahami dengan baik perilaku pelanggan pada
pasar sasarannya, sehingga organisasi dapat menyusun strategi dan program yang
tepat dalam rangka memanfaatkan peluang yang ada, menjalin hubungan dengan
setiap pelanggan dan mengungguli para pesaingnya. Untuk mengidentifikasi
kebutuhan pelanggan dapat digunakan suatu pendekatan yang menurut Tjiptono dan
Diana (2003:108) terdiri dari atas enam langkah, yaitu:
a. Memperkirakan hasil,
b. Mengembangkan rencana untuk mengumpulkan informasi,
c. Mengumpulkan informasi,
d. Menganalisa hasil,
e. Memeriksa kesahihan (validitas) kesimpulan,
f. Mengambil tindakan.
Kunci utama untuk mengidentifikasi kebutuhan pelanggan internal adalah komunikasi
secara terus-menerus antarpegawai yang saling terkait dan tergantung satu sama lain
sebagai individu dan antardepartemen yang saling tergantung sebagai suatu unit.
Komunikasi tersebut setiap pihak menyampaikan kebutuhannya kepada pihak lain,
sehingga terjadi saling pengertian dan kerja sama antarindividu maupun
antardepartemen dalam organisasi.
Untuk mendorong dan memudahkan komunikasi dapat digunakan mekanisme gugus
mutu (quality circles), self managed team, tim antar departemen, dan tim perbaikan.
Mekanisme ini selain dapat memudahkan komunikasi di antara pelanggan dan
pemasok internal, juga dapat meningkatkan kualitas. Selain mekanisme tersebut
terdapat berbagai cara lain dalam mendorong komunikasi yang efektif, seperti
pembicaraan santai saat istirahat dan pelatihan keterampilan berkomunikasi.
Komunikasi secara berkesinambungan dengan pelanggan eksternal juga sangat
penting dalam pasar kompetitif. Strategi yang tepat dalam rangka pembentukan fokus
pada pelanggan adalah dengan jalan membentuk mekanisme efektif untuk
memudahkan komunikasi dan kemudian melaksanakannya. Salah satu alasan
perlunya komunikasi secara terus-menerus adalah bahwa kebutuhan pelanggan selalu
berubah sepanjang waktu dan bahkan perubahannya dapat berlangsung cepat. Melalui

komunikasi ini organisasi dapat memantau setiap perkembangan dan perubahan yang
terjadi. Bila hal ini tidak terantisipasi maka organisasi dapat kalah dalam persaingan.
Faktor yang dapat menyebabkan timbulnya kebutuhan pelanggan yang baru antara
lain teknologi baru, persaingan pasar, perubahan selera, pergolakan sosial, dan konflik
(daerah, nasional, dan internasional).
Komunikasi yang baik dengan pelanggan harus mencakup pelanggan internal dan
eksternal. Apa yang diterapkan dalam berkomunikasi dengan pihak luar juga dapat
digunakan dalam berkomunikasi dengan pihak internal organisasi. Komunikasi
dengan para pegawai tidak cukup hanya dengan menyampaikan informasi seperti
spesifikasi, standar, prosedur, dan metode kerja. Di samping itu ada hal lain yang
penting dalam komunikasi. Menurut Tjiptono dan Diana (2003:109) hal tersebut
adalah 1) perlu menyediakan sarana bagi pegawai untuk menyampaikan pandangan
dan idenya, dan 2) perlu menjelaskan kepada para pegawai mengenai tindakantindakan manajemen yang menurut mereka berlawanan dengan kualitas.
4. Pembentukan Fokus pada Pelanggan
Fokus pada pelanggan menurut International Standard Organization (2000:5) ialah
top manajemen harus menjamin persyaratan/keinginan pelanggan yang ditetapkan
dan dipenuhinya tujuan meningkatkan kepuasan pelanggan. Whitely dalam Goetsch
dan Davis (1994:149-150) mengemukakan karakteristik organisasi yang sukses dalam
membentuk fokus pada pelanggan, yaitu:
a. Visi, komitmen, dan suasana
Manajemen menunjukkan (baik dengan kata dan tindakan) bahwa pelanggan itu
penting bagi organisasi, organisasi memiliki komitmen besar terhadap kepuasan
pelanggan, dan kebutuhan pelanggan lebih diutamakan dari kebutuhan internal
organisasi. Salah satu cara untuk menunjukkan komitmen itu adalah menjadikan
fokus pada pelanggan sebagai faktor utama dalam pertimbangan kenaikan
pangkat (promosi) dan kompensasi.
b. Penjajaran dengan pelanggan
Organisasi yang bersifat customer driven (menyesuaikan dengan perubahan selera
pelanggan) menyejajarkan dirinya dengan para pelanggan. Hal ini tercermin
dalam beberapa hal, yaitu a) pelanggan berperan sebagai penasihat dalam
penjualan barang dan pelayanan, b) pelanggan tidak pernah dijanjikan sesuatu

yang lebih daripada yang dapat diberikan, c) pegawai memahami atribut produk
yang paling dihargai pelanggan, dan d) masukan dan umpan balik dari pelanggan
dimasukkan dalam proses pengembangan produk/pelayanan.
c. Kemauan untuk mengidentifikasi dan mengatasi permasalahan pelanggan
Organisasi yang bersifat customer driven selalu berusaha untuk mengidentifikasi
dan mengatasi permasalahan para pelanggannya. Hal ini tercermin dalam hal,
yaitu a) keluhan pelanggan dipantau dan dianalisa, b) selalu mengupayakan
adanya umpan balik dari pelanggan, dan c) organisasi berusaha mengidentifikasi
dan menghilangkan proses, prosedur, dan sistem internal yang tidak menciptakan
nilai bagi pelanggan.
d. Memanfaatkan informasi dari pelanggan
Organisasi yang bersifat customer driven tidak hanya mengumpulkan umpan balik
dari pelanggan, tetapi juga menggunakan dan menyampaikannya kepada semua
pihak yang membutuhkan dalam rangka melakukan perbaikan. Pemanfaatan
informasi pelanggan ini tercermin dalam hal, yaitu a) semua pegawai memahami
bagaimana pelanggan menentukan kualitas, b) pegawai pada semua level diberi
kesempatan untuk bertemu dengan pelanggan, c) pegawai mengetahui siapa yang
menjadi pelanggan sesungguhnya, d) organisasi memberikan informasi yang
membantu terciptanya harapan realistis kepada para pelanggan, prinsip dasarnya
ialah janjikan apa yang bisa diberikan, tetapi berikan lebih dari yang dijanjikan,
dan e) pegawai dan manajer memahami kebutuhan dan harapan pelanggan.
e. Mendekati para pelanggan
Berdasarkan pendekatan TQM, tidak cukup bila organisasi hanya pasif dan
menunggu umpan balik yang disampaikan oleh pelanggannya. Berbagai bidang
yang kompetitif menuntut pendekatan yang lebih aktif. Mendekati pelanggan
berarti melakukan hal-hal yaitu a) memudahkan pelanggan untuk menjalankan
bisnis, b) berusaha untuk mengatasi semua keluhan pelanggan, dan c)
memudahkan pelanggan dalam menyampaikan keluhannya, misalnya melalui
telepon, surat, dan datang langsung.
f. Kemampuan, kesanggupan, dan pemberdayaan pegawai

Pegawai diperlukan sebagai profesional yang memiliki kemampuan dan


diberdayakan untuk menggunakan pertimbangannya sendiri dalam melakukan
hal-hal yang dianggap perlu dalam rangka memuaskan kebutuhan pelanggan. Hal
ini berati setiap pegawai memahami produk/jasa yang mereka tawarkan dan
kebutuhan pelanggan yang berkaitan dengan produk/jasa tersebut. Ini juga berarti
bahwa pegawai diberi sumber daya dan dukungan yang diperlukan dalam
memenuhi kebutuhan pelanggan.
g. Penyempurnaan produk dan proses secara terus-menerus
Organisasi yang bersifat customer driven melakukan setiap tindakan yang
diperlukan untuk secara terus-menerus memperbaiki produk/jasa dan proses yang
menghasilkan produk/jasa tersebut. Pendekatan ini diwujudkan dalam hal, yaitu a)
kelompok fungsional internal bekerja sama untuk mencapai sasaran bersama, b)
praktik-praktik terbaik yang berkaitan dengan bidang pendidikan dipelajari dan
dilaksanakan, c) waktu siklus riset dan pengembangan secara terus-menerus
dikurangi, d) setiap masalah diatasi dengan segera, dan e) investasi dalam
pengembangan ide-ide inovatif dilakukan.
Ketujuh karakteristik tersebut dapat digunakan sebagai pedoman dan membentuk
fokus pada pelanggan. Pada tahap awal setiap organisasi perlu melakukan analisis
diri. Dalam analisis ini akan ditentukan karakteristik mana yang sudah dan belum
ada dalam organisasi. Organisasi perlu mewujudkan karakteristik yang belum ada
tersebut sehingga fokus pada pelanggan dapat terbentuk.
5. Fungsi Pengembangan Kualitas dan Implementasinya
Hal yang diketahui sebelum suatu produk/jasa mulai diproses adalah apakah
produk/jasa tersebut dapat memenuhi kebutuhan pelanggan. Hal ini merupakan alasan
utama perlunya dilakukan riset untuk mengidentifikasi kebutuhan pelanggan dan
pentingnya berkomunikasi dengan pelanggan internal dan eksternal. Konsep Quality
Function Deployment (QFD) menurut menurut Tjiptono dan Diana (2003:112)
dikembangkan untuk menjamin bahwa produk/jasa yang memasuki tahap
produksi/proses benar-benar akan dapat memuaskan kebutuhan pelanggan dengan
jalan membentuk tingkat kualitas yang diperlukan dan kesesuaian maksimum pada

setiap tahap pengembangan produk/jasa. QFD dikembangkan untuk memperbaiki


komunikasi, pengembangan produk/jasa, serta proses dan sistem pengukuran.
Fokus utama QFD adalah melibatkan pelanggan pada proses pengembangan
produk/jasa sedini mungkin. Filosofi yang mendasarinya adalah bahwa pelanggan
tidak akan puas dengan suatu produk/jasa (meskipun suatu produk/jasa yang telah
dihasilkan dengan sempurna) bila mereka memang tidak menginginkan atau
membutuhkannya. Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan, QFD merupakan praktik
untuk merancang suatu proses sebagai tanggapan terhadap kebutuhan pelanggan.
QFD menerjemahkan apa yang dibutuhkan pelanggan menjadi apa yang dihasilkan
organisasi.
Aktivitas QFD menurut Tjiptono dan Diana (2003:113) adalah:
a. Penjabaran persyaratan pelanggan (kebutuhan akan kualitas),
b. Penjabaran karakteristik kualitas yang dapat diukur,
c. Penentuan hubungan antara kebutuhan kualitas dan karakteristik,
d. Penetapan nilai-nilai berdasarkan angka tertentu terhadap masing-masing
karakteristik kualitas,
e. Penyatuan karakteristik kualitas ke dalam produk/jasa,
f. Perancangan, produksi/proses, dan pengendalian kualitas produk/jasa.

Penerapan QFD dapat mengurangi waktu dan biaya desain produk/jasa organisasi secara
bersamaan dengan dipertahankan dan ditingkatkannya kualitas desain. Manfaat lain dari
QFD menurut Tjiptono dan Diana (2003:114-115) adalah a) fokus pada pelanggan, b)
efisiensi waktu, c) orientasi kerja sama tim, dan d) orientasi pada dokumentasi.
Fokus pada pelanggan, organisasi TQM merupakan organisasi yang berfokus pada
pelanggan. QFD memerlukan pengumpulan masukan dan umpan balik dari pelanggan.
Informasi tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam sekumpulan persyaratan pelanggan
yang spesifik. Kinerja organisasi dan pesaing dalam memenuhi persyaratan tersebut
dipelajari dengan teliti. Dengan demikian organisasi dapat mengetahui sejauh mana
organisasi itu sendiri dan pesaingnya memenuhi kebutuhan pelanggan.
Efisiensi waktu, QFD dapat mengurangi waktu pengembangan produk/jasa karena
memfokuskan pada persyaratan pelanggan yang spesifik dan telah diidentifikasi dengan

jelas. Oleh karena itu tidak terjadi pemborosan waktu untuk mengembangkan ciri-ciri
produk/jasa yang tidak atau hanya memberikan sedikit nilai (value) kepada pelanggan.
Orientasi kerja sama tim, QFD merupakan pendekatan kerja sama tim. Semua keputusan
dalam proses didasarkan pada konsensus/kesepakatan dan dicapai melalui diskusi
mendalam. Oleh karena itu setiap tindakan yang dilakukan diidentifikasi sebagai bagian
dari proses, maka setiap individu memahami posisinya yang paling tepat dalam proses
tersebut, sehingga pada gilirannya hal ini mendorong kerja sama tim yang lebih kokoh.
Orientasi pada dokumentasi, salah satu produk/jasa yang dihasilkan dari proses QFD
adalah dokumen komprehensif mengenai semua data yang berhubungan dengan segala
proses yang ada dan perbandingannya dengan persyaratan pelanggan. Dokumen ini
berubah secara konstan setiap kali ada informasi baru yang dipelajari dan informasi lama
yang lama dibuang. Informasi yang up to date mengenai persyaratan pelanggan dan
proses internal, sangat berguna bila terjadi pergantian pegawai (turnover).
a. Struktur dan Proses QFD
Analogi yang paling sering digunakan untuk menggambarkan struktur QFD
adalah suatu matriks yang berbentuk rumah (house of quality) seperti pada Gambar 2.

Gambar 2
Struktur
QFD House of Quality
(2003:116)

(Tjiptono dan Diana

Tembok rumah sebelah kiri (Komponen 1) adalah masukan dari pelanggan. Pada
langkah ini pemanufaktur berusaha menentukan segala persyaratan yang dikehendaki
pelanggan dan berhubungan dengan produk/jasa. Agar dapat memenuhi persyaratan
pelanggan, pemanufaktur mengusahakan spesifikasi kinerja tertentu dan menyaratkan
pemasoknya untuk melakukan hal yang sama. Langkah ini digambarkan pada bagian
plafon/langit-langit rumah (Komponen 2).
Tembok rumah sebelah kanan (Komponen 3) merupakan matriks perencanaan.
Matriks ini merupakan komponen yang digunakan untuk menerjemahkan persyaratan
pelanggan ke dalam rencana-rencana untuk memenuhi atau melampaui persyaratan
tersebut.

Komponen

ini

meliputi

langkah-langkah

seperti

menggambarkan

persyaratan pelanggan pada suatu matriks dan proses pemanufakturan pada matriks
lainnya, memprioritaskan persyaratan pelanggan, dan mengambil keputusan
mengenai perbaikan yang dibutuhkan dalam proses pemanufakturan.
Di bagian tengah (Komponen 4), persyaratan pelanggan dikonversikan ke dalam
aspek-aspek pemanufakturan. Misalnya pelanggan menginginkan menginginkan
lulusan yang berkompetensi dalam bidang kesehatan, maka persyaratan tersebut akan
dikonversikan lembaga pendidikan dengan membuka dan mengembangkan jurusan
kedokteran.
Bagian bawah rumah (Komponen 5) merupakan daftar prioritas persyaratan proses
pemanufakturan. Sedangkan pada bagian atap (Komponen 6), langkah yang
dilakukan adalah identifikasi dari proses/kegiatan organisasi yang berhubungan
dengan persyaratan pemanufakturan. Pertanyaan yang akan dijawab dalam
Komponen 6 adalah apa yang terbaik dapat dilakukan organisasi dengan
mempertimbangkan persyaratan pelanggan dan kemampuan pemanufakturan
organisasi.
Setiap matriks yang dibuat sebagai bagian dari proses QFD harus distrukturkan
menurut bentuk rumah dalam Gambar 2. Tjiptono dan Diana (2003:117)
mengemukakan siklus lengkap proses QFD terdapat 6 matriks seperti pada Gambar 3.

Gambar
Proses

Quality
Function
Deployment
(QFD) (Tjiptono dan Diana (2003:116)
Masing-masing matriks pada Gambar 3 memiliki manfaat tersendiri. Manfaat tersebut
adalah:
i.

Matriks 1, digunakan untuk membandingkan persyaratan pelanggan

ii.

dengan ciri-ciri teknikal produk/jasa yang saling berhubungan,


Matriks 2, digunakan untuk membandingkan ciri-ciri teknikal pada
Matriks 1 dengan teknologi terapan. Matriks 1 dan 2 menghasilkan
informasi yang dibutuhkan guna menjawab pertanyaan-pertanyaan
yaitu 1) apa yang menjadi kebutuhan pelanggan? 2) persyaratan
teknikal apa yang dibutuhkan sehubungan dengan ciri-ciri kebutuhan
pelanggan? 3) teknologi apa yang dibutuhkan untuk memenuhi atau
melampaui persyaratan pelanggan? dan 4) kegiatan apa yang

iii.

dilaksanakan sehubungan dengan persyaratan teknikal.


Matriks 3, digunakan untuk membandingkan teknologi terapan dari
Matriks 2 dengan proses pemanufakturan. Matriks ini bermanfaat
dalam

iv.

mengidentifikasi

variabel

penting

dalam

proses

pemanufakturan,
Matriks 4, bermanfaat untuk membandingkan proses pemanufakturan
dari Matriks 3 dengan proses pengendalian kualitas. Matriks ini

menghasilkan informasi yang dibutuhkan untuk mengoptimalisasikan


v.

proses,
Matriks 5, dipergunakan untuk membandingkan proses pengendalian
kualitas dan proses Statistical Process Control (SPC). Matriks ini
memastikan bahwa parameter dan variabel proses yang tepat

vi.

digunakan,
Matriks 6, digunakan untuk membandingkan parameter SPC dengan
spesifikasi yang telah dikembangkan untuk produk/jasa akhir. Pada
Matriks ini dilakukan penyesuaian untuk menjamin bahwa produk/jasa
yang dihasilkan merupakan produk/jasa yang dibutuhkan pelanggan.

Proses QFD menjamin bahwa semua sumber daya digunakan secara optimal
dalam rangka memaksimalkan peluang organisasi untuk memenuhi atau
melampaui persyaratan pelanggan. Unsur yang paling penting dalam QFD adalah
informasi dari pelanggan. Informasi dari pelanggan menurut Tjiptono dan Diana
(2003:119) dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu.
i. Umpan balik, diperoleh setelah fakta terjadi. Hal ini berarti bahwa
setelah suatu produk/jasa dikembangkan, dihasilkan, dan ditentukan
harganya. Umpan balik kurang sesuai digunakan sebagai dasar dalam
penentuan kesesuaian antara produk/jasa yang akan dihasilkan dan
kebutuhan pelanggan pada awal proses QFD. Meskipun demikian
umpan balik sangat bermanfaat dalam membantu memperbaiki
ii.

produk/jasa apabila diproses lagi,


Masukan, diperoleh sebelum fakta terjadi. Dalam lingkungan
pemanufakturan, hal ini berarti selama pengembangan produk/jasa.
Pengumpulan masukan dari pelanggan selama pengembangan
produk/jasa memungkinkan organisasi untuk membuat perubahan
sebelum memproses dan memasarkan produk/jasa.

b. Implementasi QFD
Proses implementasi QFD harus sistematis. Langkah-langkah implementasi
Quality Function Deployment (QFD) menurut Tjiptono dan Diana (2003:123125) adalah:

i.

Membentuk tim proyek


Tim proyek dibentuk berdasarkan sifat proyek yang akan ditangani.
Apakah tim tersebut menyempurnakan produk/jasa yang sudah ada atau
mengembangkan produk/jasa baru? Bila produk/jasa yang sudah ada akan
disempurnakan maka tim tersebut harus terdiri atas personil dari bagian
hubungan masyarakat dan badan penjamin mutu. Bila produk/jasa baru
akan

dikembangkan

maka

wakil-wakil

dari

bagian

riset

dan

pengembangan harus dilibatkan pula. Setiap anggota tim perlu memahami


tujuan tim dan peranan mereka dalam tim tersebut.
ii.

Menyusun prosedur pemantauan


Manajemen perlu memantau setiap kemajuan yang dicapai tim proyek.
Agar pemantauan dapat dilakukan dengan baik, maka dibutuhkan
perencanaan dan pengembangan prosedur pemantauan. Ada tiga
pertanyaan yang perlu diperhatikan dalam rangka melakukan hal tersebut,
yaitu 1) apa yang akan dipantau? 2) bagaimana memantaunya? dan 3)
berapa kali frekuensi pemantauannya?

iii.

Memilih proyek
Proyek perbaikan/penyempurnaan lebih baik dimulai pada permulaan
daripada proyek pengembangan produk/jasa baru. Proyek perbaikan
memiliki keuntungan berupa tersedianya informasi mengenai produk/jasa
yang sudah ada dan telah ada pengalaman yang berhubungan dengan
produk/jasa bersangkutan. Bila tim QFD baru menangani produk baru,
maka setiap anggota tim akan menghadapi terlalu banyak hal yang baru,
yaitu mengenai QFD itu sendiri, informasi dari pelanggan, dan informasi

iv.

mengenai produk yang akan dikembangkan.


Menyelenggarakan pertemuan untuk memulai QFD
Pertemuan ini merupakan pertemuan resmi tim yang diadakan untuk
pertama kalinya. Dalam pertemuan tersebut beberapa hal yang perlu
dilaksanakan adalah 1) mengupayakan agar semua peserta memahami misi
tim proyek tersebut, 2) mengupayakan agar semua peserta memahami
peranannya masing-masing dan peranan rekan-rekannya, dan 3) menyusun
parameter pertemuan (waktu dan frekuensi pertemuan).

v.

Melatih tim
Sebelum memulai proyek, semua anggota tim perlu diberi pelatihan asasasas QFD. Anggota tim perlu mempelajari cara menggunakan berbagai
alat kualitas dan alat-alat spesifik seperti diagram dan matriks. Selain itu
setiap anggota tim juga harus memahami cara kerja QFD sebagai suatu
proses (Gambar 3).

c. Mengembangkan matriks
Bila setiap anggota tim telah memahami QFD, alat-alat QFD, dan format suatu
matriks QFD (Gambar 3), maka proses pengembangan matriks-matriks dapat
dimulai. Siklus proses QFD yang lengkap terdiri dari 6 matriks yang masingmasing terstruktur berdasarkan spesifikasi pada Gambar 3.
Matriks pertama membandingkan persyaratan pelanggan dengan ciri-ciri teknikal
produk/jasa. Hasil dari pengembangan matriks pertama adalah suatu ringkasan
kebutuhan/persyaratan

pelanggan

dan

suatu

dokumen

konsep

yang

menggambarkan ciri-ciri produk/jasa yang harus ada agar dapat memenuhi


harapan pelanggan.
Matriks kedua membandingkan ciri-ciri teknikal dan teknologi terapan. Matriks
ketiga membandingkan teknologi terapan dan proses pemanufakturan. Matriks
keempat membandingkan proses pemanufakturan dan proses pengendalian
kualitas. Matriks kelima membandingkan proses pengendalian kualitas dan
pengendalian proses statistika. Sedangkan matriks terakhir membandingkan
pengendalian

proses

statistika

dan

spesifikasi

produk

akhir.

Dalam

mempersiapkan semua matriks ini, alat-alat spesifik QFD digunakan sesuai


dengan kebutuhan.

BAB III
FOKUS PADA PELANGGAN

A CONTOH KASUS
1. Fasilitas

Suatu hari datang pasien dari IGD ke rawat inap kelas 1. Saat pasien masuk ke dalam
kamar, pasien mengeluh fasilitas tidak sesuai dengan kelas kamar yang klien minta.
Kamar mandi kotor, bel rusak, lampu redup. Dan klien memberikan pilihan, fasilitas
dibenahi saat itu juga atau klien dipindahkan ke kamar yang sesuai dengan
harapannya atau klien dirujuk ke RS lain.

2. Pelayanan
Pasien mengalami demam tinggi. Kemudian keluarga klien melaporkan kejadian ke
perawat penanggung jawab dari pasien tersebut. Namun karena jumlah pasien yang
banyak, akhirnya perawat tersebut tidak memberikan pelayanan yang baik. Perawat
tersebut melakukan tindakan ke pasien lain sehingga pasien yang demam tinggi
tersebut harus menunggu lama.

3. Komunikasi
Pasien menyampaikan keluhan yang harus diberikan tindakan kepada perawat yang
bukan penanggung jawab dari pasien tersebut. Namun perawat A lupa menyampaikan
pesan tersebut sehingga pasien tidak mendapatkan tindakan yang seharusnya. Dan
perawat penanggung jawab tersebut dilaporkan ke kepala ruangan.

4. Penampilan
Perawat A mendapat giliran shift malam. Saat baru mulai dinas, perawat terlihat
rapih. Namun saat menjelang pagi, perawat tidak memperhatikan penampilan
sehingga pasien tidak puas dengan penampilan perawat yang berantakan pada saat
pasien hendak di TTV dan di mandikan.

BAB IV
PERAN PERAWAT
A FASILITAS
Pada kasus yang terfokus pada fasilitas, ada baiknya sebelum menerima pasien masuk ke
rawat inap perawat menyiapkan fasilitas yang harusnya didapat seperti handuk, tissue,
handrub, pakaian dan selimut. Dan ada baiknya perawat juga memeriksa failitas yang ada
didalamnya, seperti lampu, bel, pagar bed, stopkontak, air conditioner, tv dan toilet. Agar
apabila ada kerusakan, pasien dapat di berikan ruangan yang failitasnya lebih baik.

B PELAYANAN
Pada kasus pelayanan disini, ada baiknya perawat dapat menggunakan time management
dengan baik. Agar pelanggan merasa puas dengan pelayanan yang cepat dan tepat. Tidak
harus menunggu lama karena jumlah pasien yang terpaut banyak.

C KOMUNIKASI
Selain harus mahir dalam tindakan mandiri, perawat juga harus menjaga komunikasi
antar pasien dan perawat, perawat dengan perawat, perawat dengan dokter, maupun
dengan tenaga medis lainnya yang ada di rumah sakit agar tidak terjadi missed
communication. Komunikasi terapeutik adalah yang paling utama yang harus dijaga oleh
perawat agar pasien merasa nyaman dan puas dengan pelayanan yang dilakukan dengan
hati.

D PENAMPILAN
Perawat dituntut untuk rapih dan cekatan. Karena tidak ada pasien yang ingin melihat
perawat dengan penampilan yang berantakan. Karena penampilan mempengaruhi mood
pasien yang melihat nya.

Contoh pelayanan kesehatan di Rumah Sakit yang diterapkan ialah La PRIMA. Yakni
Layanan Profesional, Ramah, Ikhlas, Mutu dan Antusias demi mendapatkan kepuasan
pelanggan di Rumah Sakit.

DAFTAR PUSTAKA

ISO 9001:2008 Quality Management Systems Requirements


Goetsch, D. L., dan Davis, S. 1994. Introduction to Total Quality: Quality, Productivity,
Competitiveness. Englewood Cliffs: Prentice Hall International, Inc.
Sallis, E. 2002. Total Quality Management in Education. London: Kogan Page Ltd.
Gerson, R. F. 1993. Measuring Customer Satisfaction. Boston: Thomson Place.

Anda mungkin juga menyukai