Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN TUTORIAL

BLOK KEDARURATAN MEDIK


SKENARIO 3
KENAPA DADAKU SESAK DAN NYERI?

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK A2
ABDURRAHMAN AFA HARIDI

G0013001

AHMAD LUTHFI

G0013011

ARLINDAWATI

G0013039

ASMA AZIZAH

G0013043

AYATI JAUHAROTUN NAFISAH

G0013051

CICILIA VIANY EVAJELISTA

G0013065

FHANY GRACE LUBIS

G0013095

HANA INDRIYAH DEWI

G0013105

KHANIVA PUTU YAHYA

G0013129

RADEN ISMAIL H A

G0013193

SANTI DWI CAHYANI

G0013213

SHENDY WIDHA MAHENDRA

G0013217

TUTOR: NOVIANTO ADI NUGROHO, dr.

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2015
BAB I
PENDAHULUAN

SKENARIO 3
Seorang perempuan, 62 tahun datang dengan diantar keluarganya ke IGD RS
dengan keluhan utama nyeri dada kiri 2 jam yang lalu selama kurang lebih 30 menit
tidak berkurang dengan istirahat lalu menghilang dengan diikuti pasien merasa sesak
dan lemah seluruh tubuh. Pasien memiliki riwayat darah tinggi didapatkan sejak 10
tahun tanpa pengobatan rutin.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan, kesadaran compos mentis, lemah, gelisah
TD : 80/60 mmHg, RR : 26x/menit, suhu 36C dan denyut nadi 88x/menit, lemah,
ireguler. Saturasi O2 support. Pemeriksaan fisik didapatkan jugular venous pressure
meningkat. Pada auskultasi kedua lapang paru, didapatkan suara ronkhi pada kedua
basal paru, didapatkan suara jantung intensitas meningkat, S3 (+) suara murmur tidak
didapatkan. Terdapat edema non pittingpada ekstremitas inferior. Pasien dilakukan
pemeriksaan radiologi thorax PA, didapatkan gambaran efusi pleura minimal pada
kedua lapang basal paru, cardiomegali dengan cardiac thoracic ratio 60%. Oleh dokter,
pasien diminta untuk melakukan pemeriksaan hematologi rutin dan elektrolit serta
EKG, didapatkan gambaran infark myocard pada lead I, aVL, V1-V2-V3. Dilakukan
pemasangan jalur intravena dan diberikan oksigen nasal canule 3 liter permenit
diberikan injeksi bolus intravena furosemid. Selain itu, pasien dan keluarga diberikan
konseling untuk penyakit yang dideritanya dan direncanakan perawatan intensif.

A. Langkah I: Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah


dalam skenario.
1. Edema non pitting: adalah pembengkakan yang ketika di tekan dapat kembali
seperti semula.
2. Saturasi 02 94 % : presentasi hemoglobin yang berikatan dengan oksigen dalam
arteri sebesar 94%, saturasi oksigen normal adalah antara 95 100 %.
3. Infark miokard Avl, VI, V2, V3: lokasi infark berdasarkan sadapan EKG.

4. O2 nasal canule: pemberian oksigen melalu selang bantu pernafasan yang di


letakan pada lubang hidung.
5. CTR (Cardio Thorax Ratio): adalah suatu cara pengukuran besarnya jantung
dengan mengukur perbandingan antara ukuran jantung dengan lebarnya rongga
dada pada foto thorax proyeksi PA.
B. Langkah II: Menentukan/mendefinisikan permasalahan.
1. Mengapa pasien merasa nyeri, sesak, dan lemah seluruh tubuh?
2. Bagaimanakah hubungan hipertensi dengan riwayat tanpa pengobatan rutin
dengan keluhan pasien?
3. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik dan radiologi pasien? Serta
mekanismenya.
4. Bagaiman hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan pasien?

5. Apa saja diagnosis dan tatalaksana lanjutan dari kasus pada skenario? Serta
diagnosis bandingnya.
6. Bagaimana interpretasi elektrokardiografi pada pasien?
7. Apa saja kriteria diagnosis infark miokard?
8. Apa saja kegawatan pada skenario ini?
C. Langkah III: Menganalisis permasalahan dan membuat pernyataan sementara
mengenai permasalahan tersebut pada langkah II.
1. Hubungan hipertensi dengan riwayat tanpa pengobatan rutin dengan keluhan
pasien.
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140 mmHg
atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg. Peningkatan tekanan darah sistemik
meningkatkan resistensi vaskuler terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri.
Akibatnya kerja jantung bertambah, sehingga ventrikel kiri hipertrofi untuk
meningkatkan kekuatan pompa. Bila proses aterosklerosis terjadi, maka
penyediaan oksigen untuk miokard berkurang. Tingginya kebutuhan oksigen
karena hipertrofi jaringan tidak sesuai dengan rendahnya kadar oksigen yang
tersedia (Weiche, 2007).
Patofisiologi
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh
darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan
komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut.
Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur
koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombus). Trombus
ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total maupun
parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang
lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan
vasokonstriksi

sehingga

memperberat

gangguan

aliran

darah

koroner.

Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan

oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium


mengalami nekrosis (infark miokard).
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah
koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat
menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard).
Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium
karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan
remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian
pasien SKA tidak mengalami koyak plak sepertiditerangkan di atas. Mereka
mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibatspasme lokal dari arteri
koronaria epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa
spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis
setelah IntervensiKoroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti
demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus
terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis.

Plak

Diameter pembuluh darah menyempitTekanan darah tinggi sebagai kompensasi

D. Langkah IV: Mengidentifikasi permasalahan secara sistematis dan pernyataan


sementara mengenai permasalahan pada langkah III.

Tanda kegawatdaruratan: syokkardiogenik


Nyeri dada

Tatalaksanaawal

Non pleuritik/jantung

Pleuritik

Sindromaiskemia (angina pectoris)


Perikardial
Aorta

Pmxfisik: JVP , TD , RR , suhu normal, Ronkhi, edema


non piting,
efusiUnstable)
pleura.
Tipikal
(STEMI,CRT,
NSTEMI,
Atipikal

Pmxpenunjang

Diagnosis banding

Tatalaksana

E. Langkah V: Merumuskan tujuan pembelajaran.


1. Menjelaskan tatalaksana infark miokard, sindrom koronary akut, efusi pleura,
cardiomegali.
2. Menunjukan kegawatan skenario (syock kardiogenik).
3. Mekanisme endotel disfuntion.

4. Menjelaskan interpretasi dan mekanisme hasil pemeriksaan fisik.


5. Menjelaskan DD, pemeriksaan penunjang, tatalaksana dan diagnosis.
6. Tatalaksana awal.
F. Langkah VI: Mengumpulkan informasi baru.
Pengumpulan informasi baru dilakukan di antara waktu setelah diskusi pertemuan
pertama dan pertemuan kedua.
G. Langkah VII. Melakukan sintesis dan pengujian informasi-informasi yang
terkumpul
1. Menjelaskan tatalaksana infark miokard, sindrom koronaria akut, efusi
pleura.
a. Infark Miokard Akut / Acute Myocard Infarc (AMI)
Tujuan utama tatalaksana AMI adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri
dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan,
pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan
tatalaksana komplikasi AMI. Terdapat beberapa pedoman dalam tatalaksana
AMI dengan elevasi ST, yaitu dari ACC/AHA tahun 2004 dan ESC tahun 2003.
Walaupun demikian perlu disesuaikan dengan kondisi sarana / fasilitas di tempat
pelayanan kesehatan masing-masing dan kemampuan ahli yang ada.
Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Pengobatan dapat dimulai segera setelah diagnosis kerja ditegakkan (sakit
dada khas dan elektrokardiogram) oleh karena kematian akibat infark miokard
akut terjadi pada jam-jam pertama. Pasien dapat diberikan obat penghilang rasa
sakit dan penenang. Biasanya bila sakit hebat diberikan morfin 2,5-5 mg atau
petidin 25-50 mg secara intravena perlahan-lahan. Sebagai penenang dapat
diberikan Diazepam 5-10 mg. Pasien kemudian dapat ditransfer ke rumah sakit
yang memiliki fasilitas ruang rawat koroner intensif. Infus dekstrose 5% atau
NaCl 0,9% beserta oksigen nasal harus terpasangdan penderita didampingi oleh
tenaga terlatih.
Sebagian besar kematian mendadak di luar rumah sakit pada STEMI
disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak yang sebagian besar terjadi
dalam 24 jam pertama onset gejala. Lebih dari separuhnya terjadi pada jam

pertama sehingga elemen utama tatalaksana pra hospital pada pasien yang
dicurigai STEMI antara lain:
1) Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis
2) Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan
resusitasi
3) Transportasi pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU
serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih
4) Melakukan terapi reperfusi
Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada penanganan pasien biasanya
bukan selama transportasi ke rumah sakit, namun karena lama waktu mulai onset
nyeri dada sampai keputusan pasien untuk meminta pertolongan. Hal ini bisa
ditanggulangi dengan cara edukasi kepada masyarakat oleh tenaga professional
kesehatan mengenai pentingnya tatalaksana dini.
Pemberian fibrinolitik sebelum mencapai rumah sakit hanya bisa dikerjakan
jika ada paramedis di ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasi EKG
dan tatalaksana STEMI dan terdapat pihak yang memegang kendali komando
medis secara online yang bertanggungjawab pada pemberian terapi. Di
Indonesia saat ini pemberian trombolitik sebelum mencapai rumah sakit atau
pusat layanan kesehatan lainnya ini belum bisa dilakukan.
EMS Ambulance management on Acute Myocardial Infarction
Pasien dibawa oleh EMS (ambulans) setelah memanggil pertolongan medis.
Reperfusi pada pasien STEMI dapat dilakukan dengan terapi farmakologis
(fibrinolisis) atau pendekatan kateter (PCI primer). Implementasi strategi ini
bervariasi tergantung cara transportasi pasien dan kemampuan penerimaan
rumah sakit. Sasaran adalah waktu iskemia total 120 menit. Waktu transpor ke
rumah sakit bervariasi dari kasus ke kasus lainnya, tetapi sasaran waktu iskemia
total adalah 120 menit. Terdapat 3 kemungkinan:
1) Jika EMS mempunyai kemampuan memberikan fibrinolitik dan pasien
memenuhi syarat terapi, fibrinolisis pra rumah sakit dapat dimulai dalam 30
menit sejak EMS tiba.
2) Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan
pasien dibawa ke rumah sakit yang tak tersedia sarana Percutaneus
Coronary Intervention (PCI), jarak waktu hospital door to needle harus
dalam 30 menit untuk pasien yang mempunyai indikasi fibrinolitik

3) Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan
pasien dibawa ke rumah sakit dengan sarana PCI, hospital door-to-balloon
time harus dalam waktu 90 menit.
Tatalaksana di Ruang Emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup
mengurangi nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat
terapi reperfusi segera, triase pasien resiko rendah ke ruangan yang tepat di
rumah sakit, dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri
<90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen
selama 6 jam pertama. Lalu, nitrogliserin (NTG) sublingual dapat diberikan
dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan
interval5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan
kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan meningkatkan
suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena
infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat
diberikan NTG intravena.NTG intavena juga diberikan untuk mengendalikan
hipertensi dan edema paru.
Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90
mmHG atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark
inferior pada EKG, JVP meningkat, paru bersih, dan hipotensi). Nitrat juga harus
dihindari pada pasien yang menggunakan phosphodiesterase-5 inhibitor
sildenafil dalam 24 jam sebelumnya karena dapat memicu efek hipotensi nitrat.
Mengurangi/ menghilangkan nyeri dada sangat penting, karena nyeri
dikaitkan dengan aktivasi simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi dan
meningkatkan beban jantung. Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan
merupakan analgesik pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin
diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit
sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai pada pemberian
morfin adalah konstriksivena dan arteriolar melalui penurunan simpatis,
sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangicurah jantung dan tekanan
arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan evaluasi tungkai dan pada
kondisi tertentu diperlukan penambahan cairanIV dengan NaCl 0,9%. Morfin

juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabakan bradikardia atau


blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini
biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mg IV.
Aspirin merupakam tatalaksan dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan
efektif pada spectrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase
trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan
absorpsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg di ruang emergensi.
Seanjutnya aspirin deberikan oral dengan dosis 75-162 mg.
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta
IV, selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah
metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi
jantung >60 menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg, interval PR<0,24 detik
dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis
IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam
selama 48 jam, dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan
derajat disfungsi dan diltasi ventrikel dn mengurangi kemungkinan pasien
STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang
maligna. Sasaran terapi reperfusi pada pasien STEMI adalah door-to needle
( atau medical contact to-needle) time untuk memulai terapifibrinolitik dapat
dicapai dalam 30 menit atau door-to-balloon (atau medical contact-to-balloon)
time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit.
b. Sindrom Koroner Akut (SKA)
Sindrom koroner akut (SKA) merupakan suatu masalah kardiovaskular yang
utama karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka kematian
yang tinggi.
Klasifikasi Sindrom Koroner Akut
Berdasarkan

anamnesis,

pemeriksaan

fisik,

pemeriksaan

elektrokardiogram(EKG), dan pemeriksaan marka jantung, sindrom koroner


akut dibagi menjadi:
1) Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment
elevationmyocardial infarction)

2) Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST


segmentelevation myocardial infarction)
3) Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan
indikatorkejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini
memerlukantindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan
reperfusimiokard secepatnya secara medikamentosa menggunakan agen
fibrinolitikatau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer. Diagnosis
STEMIditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi
segmenST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana
revaskularisasi tidak memerlukan menunggu hasil peningkatan marka jantung
(Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular,2015).
Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika
terdapatkeluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di
duasadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat
berupadepresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar,
gelombang T pseudo-normalization, atau bahkan tanpa perubahan. Sedangkan
angina pektoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan berdasarkankejadian infark
miokard yang ditandai dengan peningkatan marka jantung.Marka jantung yang
lazim digunakan adalah Troponin I/T atau CK-MB. Bilahasil pemeriksaan
biokimia marka jantung terjadi peningkatan bermakna,maka diagnosis menjadi
infark miokard akut segmen ST non elevasi (Non ST-Elevation Myocardial
Infarction, NSTEMI). Pada angina pektoris tidak stabil,marka jantung tidak
meningkat secara bermakna. Pada sindroma koronerakut, nilai ambang untuk
peningkatan CK-MB yang abnormal adalah beberapaunit melebihi nilai normal
atas (upper limits of normal, ULN) (Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular,2015).
Diagnosis
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular (2015), diagnosis
SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada pasien dengan
karakteristik sebagai berikut :

1) Pria
2) Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakitarteri
perifer / karotis)
3) Diketahui mempunyai penyakit jantung koroner(PJK) atas dasar pernah
mengalami infark miokard,bedah pintas koroner, atau IKP
4) Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia,diabetes
mellitus, dan riwayat PJK dini dalam keluarga, yang diklasifikasiatas risiko
tinggi,

risiko

sedang,

serta

risiko

rendah

menurut

NCEP

(NationalCholesterol Education Program)


Elektrokardiografi

Sumber :Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular , 2015


Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien
dengan LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen ST=1
mm pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi segmen ST=1 mm
di V1-V3. Perubahan segmen ST seperti ini disebut sebagai perubahan
konkordan yang mempunyai spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah untuk
diagnosis iskemik akut. Perubahan segmen ST yang diskordan pada
sadapandengan kompleks QRS negatif mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
sangatrendah (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular 2015).
Tatalaksana
Terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan diagnosis kerja
Kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat darurat,
sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung. Terapi awal yang
dimaksud adalah morfin, oksigen, nitrat, aspirin (disingkat MONA), yang tidak

harus diberikan semua atau bersamaan (Perhimpunan Dokter Spesialis


Kardiovaskular,2015).
Selain itu, tatalaksana lain yang dapat dilakukan adalah :
1) Tirah baring (Kelas I-C)
2) Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2
arteri <95% atau yang mengalami distres respirasi (Kelas I-C)
3) Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6
jampertama, tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri (Kelas IIa-C)
4) Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak
diketahui intoleransinya terhadap aspirin (Kelas I-A). Aspirin tidak bersalut
lebih terpilih mengingat absorpsi sublingual (di bawah lidah) yang lebih
cepat (Kelas I-C)
5) Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
6) Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkandengan
dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang
direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik (Kelas I-B)

7) Dosis

awal

clopidogrel

adalah

300

mg

dilanjutkan

dengan

dosispemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk terapi


reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang
dianjurkan adalah clopidogrel) (Kelas I-C).
8) Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada
yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat (Kelas I-C).Jjika
nyeri dada tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima
menit sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada
pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual (kelas IC). Dalam keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat
dipakai sebagai pengganti
9) Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi

pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual (kelas
IIa-B) (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular 2015).
c. Efusi Pleura
Penatalaksanaan efusi pleura:
1) Thoracocentesis. Drainase cairan jika efusi pleura menimbulkan gejala
nyeri. Cairan efusi 1-1,5 liter perlu dikeluarkan untuk mencegah edem paru.
2) Pemberian antibiotik
3) Tirah baring
4) Biopsi pleura untuk mengetahui adanya keganasan.
2. Menunjukkan kegawatdaruratan skenario (syok kardiogenik)
Berdasarkan skenario, TD 80/60 mmHg, RR 26x/menit, suhu 36 C, denyut nadi
88x/menit, lemah, dan irregular, serta didapatkan suara ronkhi pada kedua basal
paru, S3 (+), dan hasil radiologis menunjukkan efusi pleura minimal pada kedua
lapang basal paru maka dapat disimpulkan kewagatdaruratan pada skenario ini
adalah gejala edema paru akut dan syok kardiogenik.
Edema paru akut adalah timbulnya gejala sesak napas secara cepat (<24 jam)
akibat kelainan fungsi jantung, gangguan fungsi sistolik atau diastolik atau irama
jantung, atau kelebihan beban awal (preload), beban akhir (afterload) atau
kontraktilitas dan keadaan ini dapat mengancam jiwa bila tidak ditangani dengan
tepat. (ESC, 2008). Gejala dan tandanya adalah sesak napas berat, ronki basal halus
di seluruh lapang paru orthopnea saturasi 02 < 90 %, dan gambaran kongesti paru
padarontgenthorax.
Syok adalah suatu sindroma akut yang ditandai dengan ketidakmampuan tubuh
untuk mendistribusikan oksigen secara adekuat untuk memenuhi kebutuhan
metabolism organ vital dan jaringan.Syok kardiogenik adalah syok yang ditandai
dengan adanya penurunan distribusi oksigen sistemik yang disebabkan oleh
kerusakan akut atau kronis fungsi jantung yang disebabkan kerusakan miokard,
katup-katup jantung, struktural janutung, keracunan, atau infeksi. Pada skenario
diketahui pasien mengalami serangan infark miokard 2 jam yang lalu selama kurang
lebih 30 menit.

Algoritma Tatalaksana Syok Kardiogenik

3. Menjelaskan mekanisme disfungsi endotel


Aterosklerosis dimulai di masa kecil, berlangsung diam-diam melalui tahap
praklinis panjang, dan akhirnya bermanifestasi klinis, biasanya dari usia
pertengahan. Selama 30 tahun terakhir, ia memiliki menjadi jelas bahwa inisiasi dan
perkembangan penyakit, dan aktivasi kemudian untuk meningkatkan risiko kejadian
morbid, tergantung pada perubahan dinamis yang mendalam di pembuluh darah.

Secara molekuler pada endotel telah ada tombol pengatur homeostasis pembuluh
darah, dalam hal ini memiliki tidak hanya fungsi penghalang tetapi juga bertindak
sebagai sinyal transduser aktif untuk pengaruh yang memodifikasi beredar dinding
pembuluh phenotype. Perubahan di mendahului fungsi endotel pengembangan
perubahan

aterosklerotik

morfologi

dan

juga

dapat

berkontribusi

untuk

pengembangan lesi dan kemudian komplikasi klinis(Deanfield, Halcox and


Rabelink, 2007).
Apresiasi peran sentral endothelium seluruh proses penyakit aterosklerosis telah
menyebabkan pengembangan berbagai metode untuk menguji aspek yang berbeda
dari fungsinya, yang mencakup langkah-langkah dari kedua endotel cedera dan
perbaikan. Ini telah tersedia tidak hanya wawasan baru dalam patofisiologi, tetapi
juga kesempatan klinis untuk mendeteksi penyakit awal, mengukur risiko, respon
hakim untuk intervensi dirancang untuk mencegah perkembangan penyakit lebih
awal, dan mengurangi efek samping di kemudian pasien. Tinjauan ini merangkum
pemahaman saat biologi endotel dalam kesehatan dan penyakit, kekuatan dan
kelemahan strategi pengujian saat ini, dan potensi mereka aplikasi dalam penelitian
klinis dan perawatan pasien(Deanfield, Halcox and Rabelink, 2007).
Pengaturan tonus vaskular, permeabilitas vaskuler, dan thromboresistancesangat
penting untuk menjaga sirkulasi darah. Rangsangan aterogenik, termasuk diabetes,
dislipidemia, dan stres oksidatif, menginduksi disfungsi vaskular, yang mengarah ke
aterosklerosis, yang merupakan dasar patologis kunci untuk penyakit kardiovaskular
seperti penyakit jantung iskemik dan stroke. Hirase dan Node (2011) mengusulkan
konsep baru disebut "kegagalan pembuluh darah/ vasculardysfuntion" untuk secara
komprehensif mengenali disfungsi vaskular yang memberikan kontribusi untuk
pengembangan

kardiovaskular

penyakit.

sel

endotel

vaskular

membentuk

endotelium pembuluh darah sebagai monolayer yang meliputi lumen pembuluh


darah dan berfungsi sebagai antarmuka antara sirkulasi darah dan sel-sel kekebalan
tubuh.
Sel endotel mengatur fungsi pembuluh darah bekerja sama dengan sel otot
polos. Disfungsi endotel dalam kondisi patofisiologi berkontribusi untuk
pengembangan disfungsi vaskular. Penghalang dari fungsi endotel, dimediasi oleh
taut antar sel-sel endotel, yang diatur oleh GTP-ase kecil dan kinase. fungsi
mikrotubulus, diatur oleh asetilasi dari tubulin, komponen dari mikrotubulus adalah

target rangsangan aterogenik. Itu penjelasan mekanisme molekuler dari disfungsi


endotel sebagai mekanisme untuk kegagalan vaskuler bisa memberikan target terapi
baru dari kardiovaskular penyakit (Hirase & Node, 2011).
Sel endotel vaskular membentuk endotelium pembuluh darah sebagai monolayer
yang menutupi lumen pembuluh darah. secara optimal ditempatkan sel endotel yang
sehat tidak hanya konstituen dinding pembuluh tetapi mampu merespon stres
fisiologis. Berbagai fungsi sel endotel yang memainkan penting peran dalam
pemeliharaan integritas vaskular termasuk regulasi tonus pembuluh darah,
permeabilitas

pembuluh

darah,

dinding

pembuluh

peradangan,

dan

thromboresistance. aterogenik rangsangan mengaktifkan sel sinyal dan karena itu


memodulasi seluler fungsi dalam sel endotel. Interaksi antara endotel sel dan sel-sel
kekebalan ditambah dalam menanggapi aterogenik rangsangan oleh ekspresi
diregulasi molekul adhesi. Vaskular fungsi otot polos juga dimodifikasi melalui
produksi diubah zat vasoaktif oleh sel endotel.
Dengan demikian, disfungsi endotel yang diinduksi oleh rangsangan aterogenik
dianggap

memainkan

penting

peran

sebagai

mekanisme

seluler

dalam

pengembangan vaskular kegagalan. Peraturan vascular tone oleh Sel endotel tidak
hanya menanggapi tetapi juga memproduksi dan melepaskan zat vasoaktif. Nitrat
oksida (NO), yang dihasilkan dari L-arginin oleh aksi endotel NO synthase (eNOS)
di hadapan kofaktor seperti tetrahydrobiopterin, berdifusi ke pembuluh darah yang
sel otot polos dan mengaktifkan guanylate cyclase (Hirase and Node, 2011).
Endothelium juga memediasi hiperpolarisasi otot polos pembuluh darah sel
melalui jalur NO-independen, yang meningkatkan K konduktansi dan kemudian
menjalar deplarisasi vaskular sel otot polos, mempertahankan tonus vaskular melalui
produksi EDHF. Disregulasi tonus pembuluh darah oleh sel endotel ditandai oleh
penurunan bioavailabilitas NO yang tidak hanya meregulasi ekspresi endotel
molekul adhesi, yang menginduksi perekrutan sel kekebalan pada dinding pembuluh
darah, tetapi juga mempromosikan aktivasi sel otot polos, yang mengarah ke
proliferasi dan migrasi. Sejumlah studi klinis telah menunjukkan bahwa gangguan
NO tergantung vasodilatasi erat kaitannya dengan aterosklerosis (Hirase and Node,
2011).
4. Menjelaskan interpretasi dan mekanisme hasil pmx fisik

Jugular venous pressure (JVP) naik bila ventrikel kanan tidak mampu
berkompensasi, maka akan terjadi dilatasi venterikel dan peningkatan volume curah
jantung pada akhir diastolik dan terjadi peningkatan laju tekanan darah pada atrium
kanan. Peningkatan vena jugularis, dengan kata lain apabila terjadi dekompensasi
venterikel kanan, maka kondisi pasien dapat ditandai adanya edema tungkai kaki
dan distensi vena jugularis pada leher.
Edema: merupakan terkumpulnya cairan di dalam jaringan interstisial lebih dari
jumlah yang biasa atau di dalam berbagai rongga tubuh mengakibatkan gangguan
sirkulasi pertukaran cairan elektrolit antara plasma dan jaringan interstisial. Jika
edema berkumpul di dalam rongga maka dinamakan efusi, misalnya efusi pleura dan
pericardium. Penimbunan cairan di dalam rongga peritoneal dinamakan asites. Pada
jantung terjadinya edema yang disebabkan terjadinya dekompensasi jantung (pada
kasus payah jantung), bendungan bersifat menyeluruh. Hal ini disebabkan oleh
kegagalan venterikel jantung untuk memopakan darah dengan baik sehingga darah
terkumpul di daerah vena atau kapiler, dan jaringan akan melepaskan cairan ke
intestisial (Syarifuddin, 2001).
Edema pada tungkai kaki terjadi karena kegagalan jantung kanan dalam
mengosongkan darah dengan adekuat sehingga tidak dapat mengakomodasi semua
darah yang secara normal kembali dari sirkulasi vena. Edema ini di mulai pada kaki
dan tumit (edema dependen) dan secara bertahap bertambah keatastungkai dan paha
dan akhirnya ke genitalia eksterna dan tubuh bagian bawah. Edema sakral jarang
terjadi pada pasien yang berbaring lama karena daerah sakral menjadi daerah yang
dependen. Bila terjadinya edema maka kita harus melihat kedalaman edema dengan
pitting edema.Pitting edema adalah edema yang akan tetap cekung bahkan setelah
penekanan ringan pada ujung jari, baru jelas terlihat setelah terjadinya retensi cairan
paling tidak sebanyak 4,5 kg dari berat badan normal selama mengalami edema
(Brunner and Suddarth, 2002).
Edema mempunyai grading seperti berikut :
1+

: pitting sedikit/ 2mm, menghilang dengan cepat

2+

: pitting lebih dalam/ 4mm, menghilang dalam waktu 10-15 dtk

3+

: lubang yang dalam/6mm, menghilang dalam waktu 1 mnt

4+

: lubang yang sangat mendalam/ 8mm berlangsung 2-5 mnt,


ekstremitas dep terlalu terdistruksi

Bunyi jantung III. Bunyi jantung III bersifat redup yang dengan pemeriksaan
hati-hati dapat terdengar pada awal diastol beberapa saat setelah bunyi jantung.
Bunyi jantung III normal sampai umur 20 tahun, jarang sesudah umur 30 tahun. Bila
terdengar pada umur 40 - 60 tahun perlu dicurigai adanya dekompensasi kordis.
Belum jelas mengapa bunyi jantung III ditemukan normal pada orang muda dan
orang yang lebih tua dengan dekompensasi kordis.Umumnya dipikirkan hasil
getaran ventrikel atau chordae tendinae, atau oleh gerakan naik dari katup
atrioventrikuler. Bunyi jantung III mengeras pada inspirasi normal karena pengisian
ventrikel yang bertambah, dan meredup pada ekspirasi normal.
Murmur. Kelainan bunyi jantung akibat turbulensi aliran darah. Turbulensi
akibat penyempitan katup atau katup disfungsional. Jika katup disfungsional maka
terjadi regurgitasi aliran darah, defek ventrikel, aorta, dan arteri pulmonalis. Pada
pasien tidak didapatkan murmur.
Cardiothoracic ratio(CTR) yaitu penghitungan yang berguna untuk menilai
apakah jantung mengalami perbesaran atau tidak. Jika CTR > 0,5 dikategorikan
sebagai kardiomegali. Rumus perhitungan CTR adalah CTR=(A+B)/C. Keterangan :
A : jarak MSP (midsternal point) dengan dinding kanan terjauh jantung.
B : jarak MSP dengan dinding kiri terjauh jantung.
C : jarak titik terluar bayangan paru kanan dan kiri
Ronkhi adalah bunyi gaduh yang dalam, dapat terdengar selama ekspirasi
maupun inspirasi. Ronkhi kering adalah bunyi tambahan yang terdengar kontinyu
terutama waktu ekspirasi akibat adanya getaran dalam lumen saluran pernafasan
karena penyempitan dan dapat disertai adanya mukus atau sekret pada bronkus.
Ronkhi basah adalah bunyi tambahan yang terdengar tidak kontinyu pada waktu
inspirasi seperti bunyi ranting kering yang terbakar, disebabkan oleh sekret di dalam
alveoli atau bronkiolus. Ronki basah dapat halus, sedang, dan kasar. Ronki halus dan
sedang dapat disebabkan cairan di alveoli misalnya pada pneumonia dan edema
paru, sedangkan ronki kasar misalnya pada bronkiekstatis. Suara ronkhi pada pasien
skenario terdengar di kedua basal paru. Hal tersebut menandakan bahwa cairan
berasal dari kedua paru dan terkonsentrasi di bawah akibat gravitasi.

Suara jantung meningkat. Suara jantung dapat dipicu oleh beberapa kondinsi.
Perlu adanya identifikasi suara jantung mana yang mengelami peningkatan.
Peningkatan intensitas suara jantung I dapat timbul akibat peningkatan gradien
transvalvular (stenosis mitral, stenosis trikuspid dan atrial myxoma), peningkatan
gaya yang timbul dari kontraksi ventrikel (takikardi, kondisi hiperdinamik seperti
anemia, demam, tirotoksikosis, olah raga dan pemakaian agen inotropik), dan
pemendekan PR-interval pada kasus takikardi dan sindrom preeksitasi (WolffParkinson-White Syndrome), prolaps katup mitral dan pada individu yang kurus.
Peningkatan suara jantung II dapat timbul oleh beberapa sebab. Peningkatan
intensitas suara A2 dapat terjadi pada kondisi hipertensi, koarktasio aorta, aneurisma
aorta, dan individu kurus. Pada kondisi Transposition of the Great Arteries (TGA)
posisi katup lebih dekat dengan permukaan dinding dada sehingga suara A2
terdengar lebih keras. Peningkatan intensitas P2 terjadi pada penderita hipertensi
pulmonal dan ASD.
5. Menjelaskan diagnosis banding, pemeriksaan penunjang, tatalaksana, dan
diagnosis.
Diagnosis banding yang ada telah dijelaskan dalam soal nomor 1. Dan untuk
kesimpulan mengenai kemungkinan apa yang terjadi pada pasien akan dijelaskan di
akhir.
6. Menjelaskan penatalaksanaan awal
Pasien oleh dokter diberikan jalur IV dimungkinkan untuk memberikan pasokan
cairan dan juga dapat pemberian obat-obat inotropik positif dan oksigen nasal
canule 3 liter per menit digunakan untuk peningkatan atau penjagaan saturasi
oksigen. Sedangkan pemberian furosemide dapat ditujukan sebagai usaha terapi dari
edema yang terjadi. Furosemide bekerja pada tubulus ascenden sebagai diuretik kuat
dan menurunkan cairan dalam tubuh untuk menstabilkan kembali kondisi yang ada.

BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN

Dari hasil diskusi tutorial yang telah dilakukan oleh kelompok, didapatkan
suatu kesimpulan bahwa pasien kemungkinan mengalami syok kardiogenik sebagai
komplikasi dari hipertensi akut tanpa pengobatan rutin yang menjadi infark miokard.
SARAN
Saran kami berupa evaluasi agar ke depan, diskusi tutorial kelompok
dapat berjalan dengan lancar dan lebih baik lagi. Oleh karena itu, diharapkan
agar masing-masing anggota telah mempersiapkan materi ataupun bahan-bahan
yang akan didiskusikan dengan baik. Selain itu, setiap anggota diperkenankan
untuk mempelajari permasalahan yang ada di skenario sebelum melakukan diskusi.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, I. & Nasution, S. A., 2014. Syok Kardiogenik. 6th ed. Jakarta: InternaPublishing.
Chobanian AV (2007). "Clinical practice.Isolated systolic hypertension in the elderly".
N. Engl. J. Med. 357 (8): 78996
Deanfield, J, Halcox, J & Rabelink, T, 2007,Endothelial Function and Dysfunction
Testing and Clinical Relevance. Circulation, [online] 115(10), pp.1285-1295.
Available

at:

http://circ.ahajournals.org/content/115/10/1285.full.pdf+html

[Diakses 5 Juni 2016].


Esler M, Lambert E, Schlaich M (2010). "Point: Chronic activation of the sympathetic
nervous system is the dominant contributor to systemic hypertension". J. Appl.
Physiol. 109 (6): 19968
Greenhalgh J, Dickson R, Dundar Y (2009). "The effects of biofeedback for the
treatment of essential hypertension: a systematic review". Health Technol
Assess 13 (46): 1104.
He, FJ; MacGregor, GA (2004). "Effect of longer-term modest salt reduction on blood
pressure.". Cochrane database of systematic reviews (Online) (3): CD004937
Hirase, T & Node, K 2011, Endothelial dysfunction as a cellular mechanism for
vascular failure. AJP: Heart and Circulatory Physiology, 302(3), pp.H499H505.
Klarenbach, SW; McAlister, FA, Johansen, H, Tu, K, Hazel, M, Walker, R, Zarnke, KB,
Campbell,

NR,

Canadian

Hypertension

Education,

Program

(2010).

"Identification of factors driving differences in cost effectiveness of first-line


pharmacological therapy for uncomplicated hypertension.". The Canadian
journal of cardiology 26 (5): e15863
Luma GB, Spiotta RT (2006). "Hypertension in children and adolescents". Am Fam
Physician 73 (9): 155868.
Lyrawati, D. & Achmad, A., 2016. Modul Bahan Ajar Farmakoterapi Hipertensi, Gagal
Jantung, dan Syok. Malang: UB.

Navar LG (2010). "Counterpoint: Activation of the intrarenal renin-angiotensin system


is the dominant contributor to systemic hypertension". J. Appl. Physiol. 109
(6): 19982000
O'Brien E, Beevers D G. Lip, Gregory Y. H. (2007). ABC of hypertension. London:
BMJ Books
Palatini P, Julius S (2009). "The role of cardiac autonomic function in hypertension and
cardiovascular disease".Curr.Hypertens. Rep. 11 (3): 199205
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular2015,Pedoman Tatalaksana Sindrom
Koroner Akut, PERKI, Jakarta.
Siebenhofer A., Jeitler K., Berghold A, Waltering A, Hemkens LG, Semlitsch T, Pachler
C, Strametz R, Horvath K (2011). "Long-term effects of weight-reducing diets
in hypertensive patients". Cochrane database of systematic reviews (Online) 9
Weber MA,. (2001). Hypertension Medicine.Totowa, NJ: Humana Press;:42,42

Anda mungkin juga menyukai