Anda di halaman 1dari 84

Airway Management and

Oxygen Therapy in Emergency


Neurological
Ns. Siti Aisah, M.Kep, Sp.Kep. M.B
Airway Management
 Airway management adalah prosedur medis yang dilakukan untuk mencegah
obstruksi jalan napas untuk memastikan jalur nafas terbuka antara paru-paru
pasien dan udara luar (Bingham,2008).
 Menurut ATLS (Advance Trauma Life Support,2008), Airway management
merupakan hal yang terpenting dalam resusitasi dan membutuhkan keterampilan
yang khusus dalam penatalaksanaan keadaan gawat darurat, oleh karena itu hal
pertama yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas, yang meliputi
pemeriksaan jalan nafas yang dapat disebabkan oleh benda asing, fraktur tulang
wajah, fraktur manibula atau maksila, fraktur laring atau trakea.
 Airway management dilakukan dengan cara membuka jalan nafas atau mencegah
obstruksi jalan napas yang disebabkan oleh lidah, saluran udara itu sendiri, benda
asing, atau bahan dari tubuh sendiri, seperti darah dan cairan lambung yang
teraspirasi.
 Gangguan airway dapat timbul secara mendadak dan total, perlahan-lahan
dan sebagian, progresif dan atau berulang.
 Kejadian yang berupa kematian dini karena masalah airway yang dapat
dicegah dengan mengetahui penyebab gangguan airway diantaranya
ketidakmampuan untuk membuka airway, kesalahan dalam pemasangan
alat airway atau perubahan letak airway yang sebelumnya telah dipasang,
kegagalan mengetahui adanya kebutuhan ventilasi dan aspirasi isi lambung.
 Airway manajemen terdapat tiga jenis airway definitif yaitu: pipa orotrakeal,
pipa nasotrakeal, dan airway surgical (krikotiroidotomi atau trakeostomi)
 Indikasi pemasangan airway berdasarkan pada data klinis antara lain adanya
apnea, ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara
lain, kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah
atau vomitus, adanya ancaman atau bahaya potensial sumbatan airway,
adanya cedera kepala yang membutuhkan bantuan nafas (GCS<8),
ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan cara
pemberian oksigen tambahan lewat nasal kanul atau masker wajah.
 Pengendalian jalan napas yang tidak baik merupakan penyebab kecacatan
bahkan kematian yang dapat dicegah pada pasien trauma dan henti jantung.
Cara penanganan jalan napas yang efektif harus tercapai sebelum pasien tiba
di rumah sakit, hal ini tidak mudah serta beberapa hal masih controversial
(Lockey DJ, Crewdson K, Louis HM 2014).
 Keberhasilan pertolongan terhadap penderita gawat darurat sangat
tergantung dari kecepatan dan ketepatan dalam memberikan pertolongan.
Semakin cepat pasien ditemukan maka semakin cepat pula pasien tersebut
mendapat pertolongan sehingga terhindar dari kecacatan atau kematian.
Kondisi kekurangan oksigen merupakan penyebab kematian yang cepat.
Kondisi ini dapat diakibatkan karena masalah sistem pernafasan ataupun
bersifat sekunder akibat dari gangguan sistem tubuh yang lain. Pasien dengan
kekurangan oksigen dapat jatuh dengan cepat ke dalam kondisi gawat darurat
sehingga memerlukan pertolongan segera.
 Apabila terjadi kekurangan oksigen 6-8 menit akan menyebabkan kerusakan
otak permanen, lebih dari 10 menit akan menyebabkan kematian. oleh karena
itu pengkajian pernafasan pada penderita gawat darurat penting dilakukan
secara efektif dan efisien
Prinsip Terapi Oksigen

Berkaitan dengan :
 Delivery O2 adekuat dan eliminasi CO2
 Keseimbangan asam basa

Fungsi optimal respirasi tergantung:


 Dinding dada dan otot- otot pernafasan
 Jalan nafas dan paru- paru
 Sistem saraf pusat & spinal cord
 Sistem kardiovaskular
 Sistem endokrin
Definisi
 Pemberian O2 sebagai intervensi medis untuk berbagai keperluan
baik akut maupun kronis, dengan meningkatnya suplai O2 ke paru-paru
m e ↑ ketersediaan O2 ke jaringan
 Hypoxia : kekuranganO2 pada tingkat jaringan
 Hypoxemia : p↓ konsentrasi oksigen dalam darah arteri (PaO2) atau
saturasi O2 arteri (SaO2) dibawah nilai normal
 Nilai normal
 PaO285-100 mmHg
 SaO2 ≥ 95%

 Hipoksemia dibedakanmenjadi:
 Hipoksemia ringan
PaO2 60-79 mmHg , SaO290-94%,
 Hipoksemia sedang
PaO2 40-60 mmHg, SaO2 75%-89%
 Hipoksemia berat
PaO2 ˂ 40 mmHg , SaO2 ˂75%
Tujuan Terapi Oksigen

 Mempertahankan oksigen jaringan yang adekuat


 Menurunkan kerja nafas
 Mempertahankan kerja jantung
Indikasi Terapi Oksigen

 Gagal napas akut


 Syok oleh berbagaipenyebab
 Infark miokard akut
 Keadaan di mana metabolism rate tinggi (tirotoksikosis, sepsis,
hipertermia)
 Keracunan gas CO (karbonmonoksida)
 Penderita tidak sadar
 Untuk mengatasi keadaan : emfisema pasca bedah, emboli udara,
pneumothorax
 Asidosis
 Anemia berat
Bagaimana Caranya ?
 Tentukan pasien dan diagnosis hipoksia
 Pilih cara yang sesuai
 Tentukan FiO2 :
 Tinggi > 60%
 Sedang 35-60%
 Rendah
 Pemantauan kesadaran dan sistem kardiovaskular
 Pemantauan secara invasif : Analisa gas darah
 Pemantauan secara non invasif dengan alat pulse oxymetri
Jenis Pemberian Oksigen

Cara Pemberian Aliran O2(L/mnt) FiO2 (%)

Nasal kanul 1– 2 24 –28


3 –4 30 –35
5 –6 38 –44

Simple face mask 6-10 35-60

Non-rebreathing mask 6-7 60-70


8-9 80-90
10 – 15 95 – 99

Masker venturi aliran tetap 24 – 35

Head box 8 –10 40

Ventilator mekanik bervariasi 21 – 100


Metode Pemberian Oksigen

Sistem Aliran Rendah, terbagi :


 Aliran rendah konsentrasi rendah ;
 Kanul binasal
Flow rates of 1-6 L/mnt dgn FiO2 24-40%
Flow rates > 4L/mnt  discomfort & drying of mucous membranes
 Aliran rendah konsentrasi tinggi
 Simple face mask
 6-10 L/mnt dgn FiO2 mencapai 60%
 Rebreathing mask
 6-10 L/mnt dgn FiO2 mencapai 80
 Udara inspirasi sebagian tercampur dengan udara ekspirasi
 1/3 vol ekspirasi masuk ke dalam kantong, 2/3 vol ekspirasi keluar
melewati lubang- lubang pada bagian samping
 Nonrebreathing mask
 8-12 L/mnt dgn FiO2 mencapai 100%
 Udara inspirasi tidak bercampur dengan udara ekspirasi & tidak dipengaruhi
udara luar
Simple face mask

Rebreathing mask

Nonrebreathing
mask
Sistem Aliran Tinggi
 Aliran tinggi konsentrasi rendah
 Sungkup Venturi
Aliran bervariasi dgn FiO2 berkisar 24-50%
Dipakai pada pasien dgn tipe ventilasi yang tidak teratur
Alat ini dipakai pd pasien hiperkarbi yang disertai hipoksemia
sedang sampai berat
 Aliran tinggi konsentrasi tinggi
 Head box
 Sungkup CPAP ( Continous Positive Airway Pressure)
Venturi mask

Head box

CPAP
Neurological Emergencies

Acute Ischemic Stroke


Intracranial Hemorrhage
Status Epilepticus
Head Injury
Guillan-Barre Syndrome
Myastenic Crisis
Acute Ischemic Stroke /AIS

AIS disebabkan oleh hilangnya sirkulasi darah secara tiba-tiba ke


area otak yang mengakibatkan iskemia dan hilangnya fungsi
neurologis.
Dalam hitungan detik hingga menit setelah kehilangan perfusi
menyebabkan terjadinya infark ireversibel sedangkan area disekitar
infark dikelilingi oleh area penumbra iskemik yang berpotensi
reversibel.
Tujuan pengobatan untuk AIS adalah untuk mempertahankan area
oligemia di penumbra iskemik. Hal ini dilakukan untuk mengurangi
tingkat keparahan iskemik (neuronal protection) dan memulihkan
aliran darah ke area penumbra.
Acute Ischemic Stroke
Transient Ischemic Attack

TIA didefinisikan sebagai defisit neurologis iskemik transien yang


sembuh dalam 24 jam
80% sembuh dalam waktu 60 menit
TIA terjadi sebelum AIS
Jika tidak diobati, 30% perkembangan TIA menjadi AIS (20%
dalam bulan pertama dan 50% dalam tahun pertama)
Acute Ischemic Stroke
Pemeriksaan Neurologi

 Tujuannya adalah untuk mengetahui respons terhadap terapi dan


menentukan luas dan lokasi AIS
 Area AIS dan gangguan yang terjadi antara lain :
 MCA : Kontralateral : Hemiparesis, Hemianopia dan kehilangan sensori
Ipsilateral
 ACA: Disinhibisi, refleks primitif, kontralateral hemiparesis (kaki > tangan),
inkontinensia urin.
 PCA: hemianopia kontralateral, kebutaan kortikal, perubahan status mental,
gangguan memori.
 Vertebrobasilar: Vertigo, nistagmus, ataksia.
 Infark lakunar: gangguan motorik, gangguan sensorik, ataksia/hemiparesis.
Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium: DPL, PT, PTT, biomarker jantung, EKG.


Imaging: CT non-kontras untuk :
 membedakan hemoragik atau stroke iskemik
 mengetahui area yang terkena stoke dan lamanya stroke
 area hipodens yang luas dalam 3 jam tidak segera ditangani
akan menimbulkan terjadinya AIS dengan outcome yang buruk
Tatalaksana Acute Ischemic Stroke

ABCD
Jalan napas (A) : Intubasi untuk GCS <9 atau kurangnya refleks dalam
bernapas
Pernapasan (B) : berikan O2 jika terjadi hipoksia. Pertahankan PCO2
32-36 mmHg
Sirkulasi (C): Pertahankan CPP adekuat (MAP-ICP). Jangan mengobati
hipertensi kecuali > 200/120
D = Dekstrosa. Pertahankan normoglikemia (bahkan jika insulin
diperlukan) karena hiperglikemia memperburuk outcome neurologis
Demam: Hipertermia memperburuk area iskemik
Edema serebral: Terjadi dalam 72-96 jam. Hiperventilasi dapat
menurunkan CPP. Manitol dapat diberikan. Kraniektomi
dekompresi dan reseksi jaringan nekrotik dapat dilakukan,
terutama pd AIS hemoragik.
Kontrol kejang: AED profilaksis tidak diindikasikan kecuali ada
peningkatan TIK
Acute Ischemic Stroke
Terapi Trombolysis

 Tatalaksana bertujuan untuk keseimbangan aliran darah ke otak


 Tidak ada perdarahan pada Brain CT
 Hipodensitas pada CT < 1/3 terjadi di bagian hemisfer
 Timbulnya gejala dalam waktu 3 jam penggunaan rTPA
 SBP < 185 DBP < 110
 INR <1,7, Trombosit> 100.000, Tidak ada ASA atau antikoagulasi, Tidak ada
trauma atau operasi baru-baru ini
 rTPA: 0,9 mg/kg IV selama 60 menit dengan 10% dosis diberikan selama
menit pertama
Acute Ischemic Stroke

Terapi Stroke :
 Terapi Anti-Platelet
Warfarin: (Fibrilasi Atrium, Diseksi Arteri)
Mengurangi faktor risiko stroke (Hiperkolesterolemia, Hipertensi,
Diabetes, Obesitas, Kurang Olahraga, Merokok)
Intracranial Hemorrhage
(non-traumatic)

Location of Hemorrhage
Intraventricular Hemorrhage
Intraparenchymal Hemorrhage
Subarachnoid Hemorrhage
Subdural Hematoma
Epidural Hematoma
Intracranial Hemorrhage

Intraventricular Hemorrhage
Merupakan 3% dari penyebab ICH non traumatik
Disebabkan karena Hipertensi
Tersering di bagian intraparenchym dan meluas ke sistem ventrikel
Tanda : sakit kepala, penurunan kesadaran yg progresif, peningkatan
TIK dan kaku kuduk
Dapat terjadi Hidrosefalus pasca hemoragik
Intracranial Hemorrhage
Intraparenchymal Hemorrhage
Basal Ganglia Hemorrhage
Ditandai :
 Hemiparese kontralateral
 Hemisensory loss
 Hemineglect
 Defisit neurologi lainnya
Lokasi tersering perdarahan pada area Putaminal bila terjadi
perdarahan masif akan mengakibatkan herniasi
Basal Ganglia Intraparenchymal Hemorrhage
Intracranial Hemorrhage

Intraparenchymal Hemorrhage
Thalamic Hemorrhage
Ditandai :
 Hemiparese kontralateral
 Hemisensori dan depresi pusat kesadaran
 Perdarahan meluas ke sistem ventrikel menyebabkan
hidrosefalus obstruktif dengan pembesaran ventrikel 3
Thalamic Intraparenchymal Hemorrhage
Intracranial Hemorrhage

Intraparenchymal Hemorrhage
Pontine Hemorrhage
Ditandai :
 Tiba- tiba pasien penurunan kesadaran dan koma
 Pupil pinpoint
 Saraf otonom tidak stabil
 horizontal gaze paralysis
 Pupil miosis dan depresi pusat kesadaran( seperti gejala
overdosis opiat)
Pontine Intraparenchymal Hemorrhage
Intracranial Hemorrhage

Cerebellar Hemorrhage
Ditandai :
 Vertigo secara tiba- tiba
 Ataksia yg dpt menyebabkan perubahan status mental dan
koma selama beberapa jam
 Terjadi hidrosefalus obstruksi dan menyebabkan terjadinya
herniasi batang otak
Cerebellar Hemorrhage
Intracranial Hemorrhage

Lobar Intraparenchymal Hemorrhage


Gejalanya mirip dengan AIS lobar yaitu hemiparese, afasia,
hemianopia dan kehilangan hemisensori
Lobar Intraparenchymal Hemorrhage
Intraparenchymal Hemorrhage

Etiology
 Hipertensi adalah penyebab #1 pada orang dewasa
 Hyalinisasi arteri (penggantian otot polos oleh kolagen => peningkatan
kerapuhan pembuluh darah)
 Angiopati amiloid serebral pada lansia dengan demensia
 Obat antikoagulan dan antiplatelet
 Antikoagulan sistemik (misalnya DIC)
 Aneurisma, AVM
 Tumor Otak metastatik (CA sel ginjal, melanoma maligna, prostat dan CA
paru-paru) dan Hemangioblastoma
Intraparenchymal Hemorrhage
Treatment
 ABCD’s
 Intubation
 Treat Hypertension to keep SBP < 160 mmHg
 Fluid and Electrolyte Management
 Gunakan cairan Normal Saline
 Perhatikan adanya SIADH dan Cerebral Salt Wasting
 Prevent Hyperthermia
 Seizure Prophylaxis
 Correct Underlying Coagulopathy
 FFP, platelet Infusions, Vitamin K
Intraparenchymal Hemorrhage

Treatment
Management of ICP
Hyperventilate to keep PaCO2 around 30 mmHg
Hindari pemberian manitol (can leak into hematoma)
External Ventricular Drain (jika terjadi hidrosefalus)
Surgical Evacuation of Hematoma (controversial)
Subarachnoid Hemorrhage
(non-traumatic)

Kasus terbanyak karena ruptur aneurisma (80%)


Faktor risiko : usia lanjut, Merokok, Hipertensi, Penggunaan zat
adiktif, Hipertensi, Penggunaan alkohol berat
Fatality rate adalah 50% dalam waktu 2 minggu
30% psn post SH membutuhkan perawatan seumur hidup
15% pasien akan mengalami > dari 1 aneurisma
Outcome sebagian besar tergantung pada klinis pasien dan hasil CT
brain
Subarachnoid Hemorrhage

Gejala klinis yang muncul :


Sakit kepala yang tiba – tiba
Kelumpuhan CN III
Kelumpuhan CN VI Perdarahan Retina
Perubahan Status Mental
Kaku kuduk
Subarachnoid Hemorrhage
Pemeriksaan diagnostik
Angiography
Digital Subtraction Angiography is gold standard
CT Angiography
MR Angiography
Look for Multiple Aneurysms
Lumbal pungsi
Conventional Angiogram
CT Angiography
MR Angiography
Subarachnoid Hemorrhage
Treatment
ABCD’s
Intubation for GCS < 9
Treat HTN: SBP 90-140 prior to aneurysm treatment
Glucose between 80 and 120 mg/dl
Euvolemia (CVP 8-12 mmHg)
Temperature
Quiet Room / Sedation
Gastro intestinal ( stool softener, NPO)
Vasospasm
Nimodipine 60 mg
Seizures (Phenobarbital or Lorazepam)
Subarachnoid Hemorrhage

Treating the Aneurysm

Surgical Intervention
Endovascular Coiling
Status Epilepticus
• Background:
– 1 – 2% of the general population has seizures
– Primary
• Idiopathic epilepsy: onset ages 10-20
– Secondary
Precipitated by one of the following:
• Intracranial pathology
– Trauma, Mass, Abscess, Infarct
• Extracranial Pathology
– Toxic, metabolic, hypertensi, eclampsia
Status Epilepticus

Adalah bangkitan dengan durasi lebih dari 5 menit, atau bangkitan


berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya kesadaran diantara
bangkitan.
Penyebab:
Idiopathic (24%) tanpa pencetus kejang
Febrile (24%) termasuk “febrile seizures”
Gangguan neurologi (23%) yang ditandai brain malformation
Acute symptomatic (23%)
Progressive Degenerative (6%)
Status Epilepticus
Etiologies
 Vascular
Stroke (Hemorrhagic > Ischemic)
Subarachnoid Hemorrhage
Hypoxic Ischemic Encephalopathy
 Toxic
Cocaine and other sympathomimetics
Alcohol withdrawal
Various Medications (Isoniazid, various chemotherapy agents)
Status Epilepticus

 Metabolic
Hyper or Hypo-Natremia
Hypoglycemia
Hypocalcemia
Liver or Renal failure
 Infectious
Meningoencephalitis
Brain Abscess
 Trauma
 Neoplastic
Status Epilepticus
 History
Fever, pre-existing epilepsy, trauma
 Physical Exam
Adanya tanda trauma dan cedera organ, kaku kuduk
Tanda kejang halus (tachycardia, pupil dilation, nystagmus,
irregular respirations)
 Pemeriksaan Diagnostik:
Glucose, DPL, Fungsi hati, ABG,
CT of brain
LP (when stable) if indicated. Empiric antibiotics.
Status Epilepticus
Tatalaksana
 ABCD’s
Airway: Risk of aspiration, suction to bedside
Breathing: Give supplemental O2
Circulation: Initial tachycardia giving way to hypotension (especially when
Benzos or Barbiturates are given)
Dextrose: Symptomatic hypoglycemia is causing irreversible brain injury
until corrected

Tujuan utama mempertahankan oksigenasi otak yang adekuat, mengakhiri


kejang sesegera mungkin, mencegah kejang berulang dan mencari faktor
penyebab.
Status Epilepticus
Tatalaksana
Secure airway
Transfer to ICU
Extra lines for hypotension treatment
EEG Monitoring
Medications
Pentobarbital
Other agents (Midazolam drip, Propofol, Lidocaine,
inhalation anesthetics, other AED’s)
Status Epilepticus

Anticonvulsant Therapy
Benzodiazepine Therapy (10 minutes)
Long-Acting AED Therapy (10 to 30 minutes)
Refractory Status Therapy (>30 minutes)
Guillan-Barre Syndrome (GBS)
Definition
 Penyakit sistem saraf yang dimediasi oleh respon imun, beronset akut atau
subakut dan biasanya ditandai dengan kelemahan progresif dari ekstremitas,
parestesia ekstremitas, dan arefleksia relatif atau komplit
 Penyakit autoimun dimana sistem imun dari penderita menyerang sistem
saraf perifer dan menyebabkan kerusakan pada sel saraf.
 Gejala penyakit ini merupakan kelemahan dan kelumpuhan yang dapat
berlangsung selama beberapa minggu dan mencapai puncak gejala dalam 2-4
minggu.
 Riwayat infeksi bakteri atau virus (Campylobacter jejuni, CMV/
Cytomegalovirus, virus Epstein-Barr, atau virus influenza)
Guillan-Barre Syndrome

 Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan pemeriksaan neurologis meliputi


sensibilitas, reflek fisiologis, refleks patologis dan derajat kelumpuhan
motoris.
 Pemeriksaan profil CSF (cerebrospinal fluid) melalui pungsi lumbal untuk
melihat adanya kenaikan protein dan jumlah sel. Profil CSF dapat
menunjukkan hasil normal pada 48 jam pertama onset GBS.
 Gangguan pada N. Fasialis sisi bilateral, facial flushing, kesulitan memulai
BAK, kelainan dalam berkeringat, dan penglihatan kabur (blurred visions)
 Autonomic Dysfunction: tachy-brady arrhythmias, hyper/hypotension,
urinary retention, decreased GI mobility
Guillan-Barre Syndrome
Treatment
 ABC’s
Airway/Breathing: (Serial Examinations)
Forced Vital Capacity: (want > 15 ml/kg)
Negative Inspiratory Force (want > - 40 mmHg)
ABG’s : Look for rising Pa CO2
Clinical Exam (accessory muscles, diminished
exhalation strength)
Elective Intubation if Respiratory Insufficiency or
significant Bulbar Weakness
Guillan-Barre Syndrome

Treatment
 ABC’s
Cardiovascular
BP Monitoring
Careful when treating hypo or hypertension
Excessive Vagal Response with GI pain,
Intubation, Tracheal Suctioning and other
Procedures
ICU Monitoring Until Patient Reaches Nadir of
Weakness
Guillan-Barre Syndrome
Treatment
 IVIG
5 day infusion of 0.4 g/kg per day
 Plasmapharesis
5 exchanges (40-50 ml/kg) given on alternate days
using saline and albumin as replacement fluid
 Kombinasi methylprednisolone dosis tinggi dan IVIG
Guillan-Barre Syndrome

Outcome

 10% to 20% require mechanical ventilation


 Mortality 2% to 5%
 After nadir, plateau phase lasts 2-4 weeks
 70% complete recovery within 1 yr, 82% by 2 yrs
 3% will go on to have relapse (CIDP)
Myasthenic Crisis
Gangguan autoimun pada neuromuscular junction (NMJ) yang menyebabkan
blokade neuromuscular sehingga mengakibatkan menurunnya kemampuan
otot untuk berkontraksi, ditandai dengan kelemahan pada otot
Myasthenic Crisis

Tanda & gejala

 gejala okular seperti diplopia dan ptosis


 disartria, disfagia,
 kelemahan anggota tubuh,
 kesulitan mengunyah dan bernapas

Komplikasi dari myasthenic crisis dengan memburuknya kelemahan otot,


mengakibatkan kegagalan pernafasan yang membutuhkan intubasi dan
ventilasi mekanis
Myasthenic Crisis
Diagnosis
 Clinical
Fatigable weakness
Tensilon Test (Acetylcholine Esterase Inhibitor)
Tesprostigmin
TesWartenberg
 Lab
Acetylcholine Receptor Antibodies
Myasthenic Crisis

Treatment of MC

 Acetylcholine Esterase Inhibitors (Mestinon)


 Immunosupression
Steroids
IVIg
Plasmapharesis
 Thymectomy
Myasthenic Crisis

Treatment of Myasthenic Crisis


 ABC’s
Secure the airway with intubation if there is any doubt
 Look for and Rx any underlying infection
 Remove medications which can exacerbate MC
Gentamycin, steroids, anticholinergics
Never increase Mestinon to try and get out of a myasthenic crisis
Myasthenic Crisis

Treatment of Myasthenic Crisis

 High dose Methylprednisolone


 IVIg
 Plasmapharesis
Head Injury
 Cedera kepala adalah trauma mekanik yang terjadi pada tulang tengkorak, otak,
atau keduanya dengan atau disertai kerusakan otak. Cedera kepala terdiri dari
cedera kepala primer yaitu cedera yang menimbulkan kerusakan langsung
seperti fraktur tengkorak, laserasi, dan kontusio. Sedangkan cedera kepala
sekunder yaitu efek lanjutan cedera primer seperti edema serebral, perdarahan
intrakranial, hipoksia, infeksi, dan peningkatan tekanan intrakranial (Hickey,
2014).
 Cedera kepala dapat disebabkan oleh benda tumpul dan benda tajam. Cedera
oleh benda tumpul seperti kecelakaan lalu lintas, perkelahian, cedera olahraga,
terkena benda-benda tumpul, dan jatuh. Cedera benda tajam seperti pisau atau
peluru (Corwin, 2007).
Closed Head Injuries with Hemorrhage

• Cerebral Contusion
– Focal hemorrhage and edema under the site of impact.
– Susceptible areas are those in which the gyri are in close contact with the
skull
• Frontal lobe
• Temporal lobes
– Diagnostic Test of Choice: Head CT
– Treatment: Supportive with measures to keep ICP normal. Repeat Neuro
checks. Repeat Head Ct in 24 hours. Good prognosis.
Cerebral Contusion
Subdural Hematoma
• hematom antara dura mater dan arakhnoid mater, Subdural hematom akut
bersifat simptomatik dalam waktu 24-48 jam terjadi karena laserasi otak,
hematom mengompresi dan mendistorsi otak yang sudah mengalami
kerusakan dan edema.
• Patients at risk:
– Alcoholics
– Elderly
– Anticoagulant users
• Pasien terjadi iritabilitas, bingung, dan koma, peningkatan tekanan intrakranial,
hemiparesis, dilatasi pupil, atau paralisis gerakan mata ekstraokuler.
Subdural Hematoma
Epidural Hematoma

• Terjadi antara tengkorak dan duramater, disebut juga hematoma


ekstradural. Hematom ini sering terjadi pada arteri meningea media dan
menyebabkan keadaan tidak sadar segera setelah trauma kepala, pasien
kemudian terbangun dan sadar, selanjutnya hilang kesadaran, ditandai
dilatasi pupil dengan hemiparese kontralateral lalu terjadi koma dan
meninggal.
• Trauma yang sering terjadi pada area parietal dan temporal.
• CT Scan : a BICONVEX (lens) density which can extend across the midline
Epidural Hematoma
Management of Head Injuries

• As always ABC’s with C-Spine precautions


• IV, O2, Monitor.
• Stabilize and resuscitate
– Sao2>95%
– SBP>90
– Treat Fever
• Head of Bed 30°
• Stat Head CT with Stat Neurosurgical evaluation for surgical lesions.
• Repeat Exams, looking for signs of herniation.
Signs of Herniation / Increased ICP

• Headache, nausea, vomiting


• Decreasing LOC
• Sixth nerve paresis (one or both eyes adducted)
• Decreased respiratory rate
• Cushing reflex (hypertension/bradycardia/bradynpea)
• Papilledema
• Development of signs of herniation
– Fixed and dilated pupil
– Contralateral hemiparesis
– Posturing
Herniation Syndromes

• CPP = MAP – ICP: Must keep CPP >60 mm Hg


• Uncal Herniation:
– Occurs when unilateral mass pushes the uncus (temporal lobe)
through the tentorial incisa, presenting as:
• Ipsilateral pupil dilatation
• Contralateral hemiparesis
• Deepening coma
• Decorticate posturing
• Apnea and death
Summary
 Masalah neurologis sangat berbahaya.
 Sistem saraf pusat memiliki dua struktur utama: otak dan
sumsum tulang belakang.
 Sistem saraf tepi terdiri dari sistem saraf somatik dan sistem saraf
otonom.
 Setiap bagian otak bertanggung jawab untuk fungsi tertentu
 Sel saraf (neuron) mentransmisikan sinyal di sepanjang aksonnya
dan melintasi sinapsis melalui neurotransmiter kimia.
Summary

 Berbagai proses penyakit dapat menyebabkan disfungsi neurologis.


 Tekanan intrakranial ditentukan oleh volume isi intrakranial.
 Bahaya utama dari peningkatan tekanan intrakranial adalah iskemia dan
herniasi otak
 Investigasi keluhan utama pasien neurologis perlu dilakukan anamnesis untuk
menentukan mekanisme cedera
 Sangat penting untuk menentukan kapan pasien terakhir terlihat normal
karena jumlah waktu yang berlalu sejak timbulnya gejala akan menentukan
perawatan yang akan dilakukan.
Summary

Tingkat kesadaran dapat dievaluasi dengan menggunakan:


 Skala Koma Glasgow dan AVPU
 Tes refleks kornea atau respons papiler
 Evaluasi fungsi saraf kranial
 Penilaian orientasi dan kewaspadaan pasien
 Evaluasi pergerakan pasien
 Menguji kemampuan persepsi sensorik pasien
 Pemeriksaan kadar glukosa darah
 Pengukuran tanda vital
Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai