Oksigen (O2) merupakan salah satu komponen gas dan unsur vital dalam proses
metabolisme, untuk mempertahankan kelangsungan hidup seluruh sel tubuh. Masingmasing sel dalam tubuh menggunakan oksigen untuk metabolisme nutrisi dan
memproduksi tenaga. Tanpa oksigen, sel akan segera mati.
Jika seseorang tanpa sakit atau cedera, oksigen 21% (dalam udara bebas) cukup
untuk mendukung fungsi normal. Pada keadaan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat,
untuk mengenali kondisi hipoksemia agar terapi oksigen sukses diberikan dibutuhkan
ketrampilan untuk pengenalan dini hipoksemia. Pengenalan dini tersebut sering sulit
dilakukan karena gambaran klinis sering tidak spesifik seperti perubahan status mental,
dyspnoea, sianosis, takipnoea, aritmia, dan koma. Hiperventilasi akibat stimulasi
kemoreseptor korotis baru akan terjadi jika PaO2 dibawah 5,3 kPa (40 mmHg) sedangkan
vasodilatasi perifer sebagai konsekuensi dari hipotensi sistemik baru akan terjadi jika
PaO2 dibawah 4 kPa (30 mmHg).
Kebutuhan terapi oksigen pasien ditentukan PaO2 dan atau SpO2 (diukur invasif /
non-invasif) dengan atau adanya tanda klinis.
(AARC Clinical Practice Guidline: Oxygen therapy for adults in the acute care facility:
2002 revision and update. http://www.guidline.gov/ )
Definisi:
Pemberian oksigen pada konsentrasi diatas kadar oksigen udara bebas untuk
tujuan terapi atau mencegah gejala-gejala dan manifestasi dari hipoksia.
(AARC Clinical Practice Guidline: Oxygen therapy for adults in the acute care facility:
2002 revision and update. http://www.guidline.gov/ )
Tujuan dan Indikasi:
Terapi O2 merupakan salah satu terapi pernafasan dalam mempertahankan
oksigenasi.
Tujuan umum diberikan terapi oksigen adalah untuk:
1. Mengatasi keadaan hipoksemia
2. Menurunkan kerja pernafasan
3. Menurunkan beban kerja otot jantung (miokard)
Indikasi pemberian oksigen yaitu pada kondisi kerusakan O2 jaringan yang diikuti
gangguan metabolisme dan sebagai bentuk hipoksemia, secara umum terjadi pada:
- Kadar oksigen arteri (PaO2) rendah
- Kerja pernafasan (laju nafas-nafas dalam, bernafas dengan otot tambahan)
- Adanya peningkatan kerja otot jantung (miokard)
Adapun kondisi klinis yang mungkin memerlukan terapi oksigen adalah:
- Henti jantung paru. RJP hanya memberikan 25-33 % dari efektif sirkulasi.
Pemberian oksigen konsentrasi tinggi memberikan survival yang lebih baik
- Gagal nafas, gagal jantung atau AMI
- Syok. Pada semua jenis syok jumlah oksigen darah menurun untuk sampai ke
jaringan
- Meningkatnya kebutuhan O2 (lika bakar, infeksi berat, multiple trauma)
- Keracunan CO2
- Kehilangan darah
- penyakit paru
- Hipoksemia (PaO2<7,8 kPa (60 mmHg), SaO2<90%)
- Hipotensi (sistolic < 100mmHg)
- Low cardiac output and metabolic acidosis (bicarbonate < 18 mmol/l)
- Respiratory distress (respiratory rate > 24 /min).
(American Colege of Chest Physician and National Heart Lung and Blood Institute:N T
Bateman and R M Leach. ABC of Oxygen: Acute oxygen terapy: Clinical Review. BMJ
1998; 317: 798-801)
Kontraindikasi
Tidak ada kontraindikasi spesifik pada terapi oksigen. (AARC Clinical Practice
Guidline: Oxygen therapy for adults in the acute care facility: 2002 revision and update.
http://www.guidline.gov/ )
Hipoksemia
Hipoksia adalah ketidakcukupan suplai oksigen ke jaringan tubuh.
Hipoksemia adalah kekurangan O2 di darah (arteri). (PaO2 pasien dengan udara bebas).
Klasifikasi Hipoksemia
1. Hipoksemia ringan adalah jika PaO2 antara 70-80 mmHg (pasien bernafas
dengan udara bebas). Terapi O2 pada kondisi ini dengan:
Nasal kanul / binasal mulai 2-3 lt/mnt, atau
Masker 6 lt/mnt jika hipoksemia menuju ke sedang.
2. Hipoksemia sedang adalah jika PaO2 antara 50-70 mmHg (pasien bernafas
dengan udara bebas). Terapi O2 pada kondisi ini dengan:
Masker 8-12 lt/mnt, atau
Ventimask 50-60 %
3. Gagal nafas adalah jika PaO2 < 50 mmHg dan atau PaCO2 > 50 mmHg (pasien
bernafas dengan udara bebas). Terapi O2 pada kondisi ini dengan:
Intubasi kemudian dilanjutkan dengan pemasangan ventilasi mekanik, atau
Pemberian resuscitator (ambubag 12-15 lt/mnt) selama tidak ada/ belum
disiapkan atau pasien tidak toleransi terhadap ventilasi mekanik (ventilator)
Persyaratan dalam pemberian terapi oksigen:
Yang harus diperhatikan pada pemberian terapi oksigen pada pasien antara lain:
1. Mengatur pemberian fraksi O2 (% FiO2) / jumlah liter per menit
2. Mencegah terjadinya akumulasi kelebihan CO2 oleh karena salah metode
3. Resistensi minimal untuk pernafasan (terutama pada kasus PPOK)
4. Efesiensi & ekonomis dalam penggunaan O2
5. Oksigen harus dapat diterima pasien
Peralatan oksigen dapat berupa portable dan tidak portable (O2 sentral).
Lingkungan dan peralatan oksigen harus aman oleh karena oksigen mudah terbakar.
Sebagian besar terapi oksigen terdiri dari peralatan-peralatan sbb:
1. Tabung O2 (Oxygen cylinders)
Isi: 350 liter, 625 liter, 3000 liter, dll
2. Pressure regulator:
-flow meter
- regulator
3. Flowmeter
terhubung regulator
4. Humidifier
terhubung flow meter
5. Delivery sistem (metode pemberian)
Pemberian O2 stabil dengan volume tidal dan laju pernafasan teratur, mudah
memasukkan kanul disbanding kateter, klien bebas makan, bergerak,
berbicara, lebih mudah ditolerir klien dan nyaman.
- Kerugian
Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 lebih dari 44%, suplai O2 berkurang
bila klien bernafas lewat mulut, mudah lepas karena kedalam kanul hanya 1
cm, mengiritasi selaput lendir.
- Bahaya:
Iritasi hidung, pengeringan mukosa hidung, nyeri sinus, epistaksis
3. Sungkup Muka Sederhana (masker semi rigid)
Aliran O2 5-8 lt/mnt menghasilkan O2 dengan konsentrasi 40 60 %
- Keuntungan
Konsentrasi
O2
yang
diberikan lebih tinggi dari
kateter atau kanula nasal,
system humidifikasi dapat
ditingkatkan
melalui
pemilihan
sungkup
berlobang besar, dapat
digunakan
dalam
pemberian terapi aerosol.
- Kerugian
Tidak dapat memberikan
konsentrasi O2 kurang dari
40%, dapat menyebabkan
penumpukan CO2 jika aliran rendah.
- Bahaya:
Aspirasi bila muntah, penumpukan CO2 pada aliran O2 rendah, empisema
subcutan kedalam jaringan mata pada aliran O2 tinggi dan nekrose, apabila
sungkup muka dipasang terlalu ketat.
4. Sungkup muka Non Rebreathing dengan kantong (reservoir) O2 / NRM
(antara reservoir dan masker terdapat katup)
Aliran O2 8-12 lt/mnt menghasilkan konsentrasi O2 90%
- Keuntungan :
Konsentrasi O2 yang diperoleh dapat
mencapi 100%, tidak mengeringkan
selaput lendir.
- Kerugian
Kantong O2 bisa terlipat.
- Bahaya:
Sama dengan sungkup rebreathing
5.
II.
1750
2000
2200
140
70
46
35
28
13
14
11
09
490
245
163
122
98
81
49
40
32
560
280
186
140
112
93
56
46
37
616
308
205
154
123
102
61
51
41
210
105
70
52
42
35
21
17
14
280
140
93
70
56
46
28
23
18
350
175
116
87
70
58
35
29
23
420
210
140
105
84
70
42
35
28
Pemantauan Terapi O2
Selama terpasang oksigen pasien harus dipantau keefektifan terapi tersebut disamping
juga memantau kemungkinan timbulnya bahaya dari terapi tersebut.
Pemantauan pasien dapat dilakukan dengan melihat:
1. Warna kulit pasien. Pada pemberian terapi O2 yang adekuat kulit akan berwarna
pink, sedangkan jika masih hipoksemia kulit akan tampak pucat. Pada pemberian
terapi oksigen yang berlebihan dapat menimbulkan warna merah membara di
daerah mata, muka dan kemudian menjalar ke bahu (bawah).
2. Analisa Gas Darah (AGD) merupakan prosedur invasif dalam mengukur kadar
oksigen darah dan asam basa tubuh.
3. Oksimetri untuk menilai SpO2, merupakan prosedur non-invasif yang dapat
menilai kandungan O2 yang terikat Haemoglobin.
4. Keadaan umum pasien.
Bahaya Terapi O2
Pemberian O2 bukan hanya memberiakan efek terapi tetapi juga dapat menimbulkan efek
merugikan, antara lain :
1. Kebakaran
O2 bukan zat pembakar tetapi O2 dapat memudahkan terjadinya kebakaran, oleh
karena itu klein dengan terapi pemberian O2 harus menghindari : Merokok,
membukan alat listrik dalam area sumber O2, menghindari penggunaan listrik tanpa
Ground.
2. Depresi Ventilasi
Pemberian O2 yang tidak dimonitor dengan konsentrasi dan aliran yang tepat pada
klien dengan retensi CO2 dapat menekan ventilasi
3.
Keracunan O2
Dapat terjadi bila terapi O2 yang diberikan dengan konsentrasi tinggi dalam waktu
relatif lama. Keadaan ini dapat merusak struktur jaringan paru seperti atelektasi dan
kerusakan surfaktan. Akibatnya proses difusi di paru akan terganggu
Keracunan O2 dapat terjadi pada pemberian jangka lama dan berlebihan. Dapat
dihindari dengan pemantauan AGD dan oksimetri. Keracunan oksigen dapat
menyebabkan antara lain:
a. Nekrose CO2 (pemberian dengan FiO2 tinggi) pada pasien dependent on Hipoxic
drive misal kronik bronchitis, depresi pernafasan berat dengan penurunan
kesadaran. Jika terapi oksigen diyakini merusak CO2, terapi O2 diturunkan
perlahan-lahan karena secara tiba-tiba sangat berbahaya.
b. Tixicitas paru, pada pemberian FiO2 tinggi )mekanisme secara pasti tidak
diketahui). Terjadi penurunan secara progresif complience paru karena perdarahan
interstisiil dan oedema intra alviolar.
c. Retrolental fibroplasias. Pemberian dengan FiO2 tinggi pada bayi premature pada
bayi BB<1200gr. Kebutaan.
d. Barotrauma (ruptur alveoli dengan emfisema interstisiil dan mediastinum), jika
O2 diberikan langsung pada jalan nafas dengan alat cylinder Pressure atau autlet
dinding langsung.
e. Dengan PaO2 60, depresi ventilasi dapat terjadi pada pernafasan spontan
dengan peningkatan kadar CO2
f. Dengan FiO2 0,5 dapat terjadi atelectasis absorbsi, toksisitas oksigen, depresi
silia dan atau gangguan fungsi leukosit
g. Oksigen harus diberikan secara hati-hati pada pasien dengan keracunan paraquat
dan pada pasien yang mendapat bleomycin
h. Selama bronchoscopy laser, kadar minimal O2 untuk menghindari terbakarnya
intratracheal
i. Bahaya kebakaran meningkat dengan meningkatnya konsentrasi O2
j. Kontaminasi bakteri berhubungan pasti dengan sistem humidifikasi dan nebulasi
dan mungkin menimbulkan bahaya.
(Nasional Guidline Clearinghouse. GUIDE-LINE TITLE: Oxygen therapy for adults in
the acute care facility: 2002 revision and update. http://www. Guidline.gov/)
Terapi Oksigen pada Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)
1. Terapi oksigen pada kondisi akut
Pada pasien PPOK yang berusia >50 tahun, pemberian oksigen tanpa dilakukan
pemeriksaan AGD tidak dianjurkan. Jika O2 diberikan dalam konsentrasi > 28%
maka pemberiannya dengan alat (venturi mask) atau 2lt/mnt nasal prongs)
2. Terapi oksigen jangka lama (Long term oxygen therapy [LTOT])
Jika kadar PaO2 (darah arteri) <7,3 kPa (55mmHg) saat stabil atau PaO2 7,3 8,0
kPa (55-60 mmHg) namun ada resiko lanjutan seperti secondary polycythaemia,
nocturnal hipoxaemia, peripheral oedema atau hipertensi pulmonal, oksigen
seharusnya diberikan untuk minimal 15 jam sehari. Evidence level A.
(Use of Oxygen therapy in COPD (assessment etc) http://www.patient.co.uk/ )
3. Monitoring pemberian oksigen dilakukan dalam waktu 2 jam pemberian
4. Pada pasien PPOK eksaserbasi akut, O2 aliran tinggi menyebabkan aggravate
acute hypercapnic respiratory failure dan lebih lanjut mempengaruhi prognosis.
Awal pemberian O2 direkomendasikan dengan cara pemberian FiO2 tidak lebih
dari 28%.
5. PPOK yang disertai hipoksemia berat SaO2<90% atau 8 kPa per 60 mmHg,
pemberian terapi O2 kontinyu jangka lama (di rumah) akan meningkatkan
survival rate, namun tidak pada PPOK dengan hipoksemia sedang
(http://www.findarticles.com/)
Pendokumentasian Terapi Oksigen
Pemberian terapi oksigen harus didokumentasikan karena oksigen juga merupakan obat.