Anda di halaman 1dari 19

JURNAL PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI I

PRAKTIKUM V
PENYAKIT JANTUNG KORONER
STEMI (ST-ELEVASI MYOCARD INFARCTION)

OLEH :
Muhammad Nanda Aprilianto (171200211)

Ni Kadek Ria Anjani (171200212 )

Ni Kadek Rina Yulinda Dewi (171200213)

Ni Kadek Sulistya Dewi (171200214)

Ni Komang Sri Handayani (171200215)

Ni Luh Mia Jasmiantini (171200216)

Ni Luh Nopi Larasati (171200217)

Ni Luh Nyoman Sri Eka Wedanti (171200218)

KELOMPOK 3
KELAS A2C

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA BALI
DENPASAR
2019
V. PENYAKIT JANTUNG KORONER
STEMI (ST-ELEVASI MYOCARD INFARCTION)
A. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi penyakit STEMI
2. Mengatahui patofisiologi penyakit STEMI
3. Mengetahui tatalaksana penyakit STEMI (Farmakologi & Non-Farmakologi).
4. Dapat menyelesaikan kasus terkait penyakit stable angina secara mandiri dengan
menggunakan metode SOAP.
B. DASAR TEORI
1. Definisi STEMI
STEMI merupakamn sindroma klinis yang didefinisikan dengan tanda gejala dan
karakteristik iskemi miokard dan berhubungan dengan persisten ST elevasi dan pengeluaran
biomarker dari nekrosis miokard. Cardiac troponin merupakan biomarker yang digunakan
untuk diagnosis infark miokard. (AHA,2013)
IMA diklasifikasikan berdasarkan EKG 12 lead dalam dua kategori, yaitu ST-elevation
infark miocard (STEMI) dan non ST-elevation infark miocard (NSTEMI). STEMI
merupakan oklusi total dari arteri koroner yang menyebabkan area infark yang lebih luas
meliputi seluruh ketebalan miokardium, yang di tandai dengan adanya elevasi segmen ST
pada EKG. Sedangkan NSTEMI merupakan oklusi sebagian dari arteri coroner tanpa
melibatkan seluruh ketebalan miokardium, sehingga tidak ada elevasi segmen ST pada EKG.
2. Karakteristik STEMI
Perubahan EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI. Sebagian besar
pasien STEMI akan mengalami peningkatan marka jantung, sehingga berlanjut menjadi
infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST-Elevation Myocardial Infarction, STEMI).
Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat
terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia.
1. PERAWATAN GAWAT DARURAT
Penatalaksanaan STEMI dimulai sejak kontak medis pertama, baik untuk diagnosis dan
pengobatan. Yang dimaksud dengan kontak medis pertama adalah saat pasien pertama
diperiksa oleh paramedis, dokter atau pekerja kesehatan lain sebelum tiba di rumah sakit,
atau saat pasien tiba di unit gawat darurat, sehingga seringkali terjadi dalam situasi rawat
jalan. Diagnosis kerja infark miokard harus telah dibuat berdasarkan riwayat nyeri dada yang
berlangsung selama 20 menit atau lebih yang tidak membaik dengan pemberian nitrogliserin.
Adanya riwayat PJK dan penjalaran nyeri ke leher, rahang bawah atau lengan kanan
memperkuat dugaan ini. Pengawasan EKG perlu dilakukan pada setiap pasien dengan dugaan
STEMI. Diagnosis STEMI perlu dibuat sesegera mungkin melalui perekaman dan
interpretasi EKG 12 sadapan, selambat-lambatnya 10 menit dari saat pasien tiba untuk
mendukung penatalaksanaan yang berhasil. Gambaran EKG yang atipikal pada pasien
dengan tanda dan gejala iskemia miokard yang sedang berlangsung menunjukkan perlunya
tindakan segera.
Sebisa mungkin, penanganan pasien STEMI sebelum di rumah sakit dibuat berdasarkan
jaringan layanan regional yang dirancang untuk memberikan terapi reperfusi secepatnya
secara efektif, dan bila fasilitas memadai sebanyak mungkin pasien dilakukan IKP. Pusat-
pusat kesehatan yang mampu memberikan pelayanan IKP primer harus dapat memberikan
pelayanan setiap saat (24 jam selama 7 hari) serta dapat memulai IKP primer sesegera
mungkin di bawah 90 menit sejak panggilan inisial. Semua rumah sakit dan Sistem
Emergensi Medis yang terlibat dalam penanganan pasien STEMI harus mencatat dan
mengawasi segala penundaan yang terjadi dan berusaha untuk mencapai dan
mempertahankan target kualitas berikut ini: 1. Waktu dari kontak medis pertama hingga
perekaman EKG pertama ≤10 menit 2. Waktu dari kontak medis pertama hingga pemberian
terapi reperfusi: • Untuk fibrinolisis ≤30 menit • Untuk IKP primer ≤90 menit (≤60 menit
apabila pasien datang dengan awitan kurang dari 120 menit atau langsung dibawa ke rumah
sakit yang mampu melakukan IKP).
2. DELAY (KETERLAMBATAN)
Pencegahan delay amat penting dalam penanganan STEMI karena waktu paling berharga
dalam infark miokard akut adalah di fase sangat awal, di mana pasien mengalami nyeri yang
hebat dan kemungkinan mengalami henti jantung. Defibrilator harus tersedia apabila ada
pasien dengan kecurigaan infark miokard akut dan digunakan sesegera mungkin begitu
diperlukan. Selain itu, pemberian terapi pada tahap awal, terutama terapi reperfusi, amat
bermanfaat. Jadi, delay harus diminimalisir sebisa mungkin untuk meningkatkan luaran 44
PEDOMAN TATALAKSANA SINDROM KORONER AKUT klinis. Selain itu delay
pemberian pengobatan merupakan salah satu indeks kualitas perawatan STEMI yang paling
mudah diukur. Setiap delay yang terjadi di sebuah rumah sakit saat menangani pasien STEMI
perlu dicatat dan diawasi secara teratur untuk memastikan kulaitas perawatan tetap terjaga.
Beberapa komponen delay dalam penanganan STEMI
2.1 Delay pasien
Adalah keterlambatan yang terjadi antara awitan gejala hingga tercapainya kontak medis
pertama. Untuk meminimalisir delay pasien, masyarakat perlu diberikan pemahaman
mengenai cara mengenal gejala-gejala umum infark miokard akut dan ditanamkan untuk
segera memanggil pertolongan darurat. Pasien dengan riwayat PJK dan keluarganya perlu
mendapatkan edukasi untuk mengenal gejala IMA dan langkah-langkah praktis yang perlu
diambil apabila SKA terjadi.
2.2 Delay antara kontak medis pertama dengan diagnosis
Penilaian kualitas pelayanan yang cukup penting dalam penanganan STEMI adalah waktu
yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil EKG pertama. Di rumah sakit dan sistem medis
darurat yang menangani pasien STEMI, tujuan ini sebaiknya dicapai dalam 10 menit atau
kurang.
2.3 Delay antara kontak medis pertama dengan terapi reperfusi
Dikenal juga sebagai delay sistem, komponen ini lebih mudah diperbaiki melalui pengaturan
organisasi dibandingkan dengan delay pasien. Delay ini merupakan indikator kualitas
perawatan dan prediktor luaran. Bila terapi reperfusi yang diberikan adalah IKP primer,
diusahakan delay (kontak medis pertama hingga masuknya wire ke arteri yang menjadi
penyebab) ≤90 menit (≤60 menit bila kasus risiko tinggi dengan infark anterior besar dan
pasien datang dalam 2 jam). Bila terapi reperfusi yang diberikan adalah fibrinolisis,
diusahakan mengurangi delay (waktu kontak pertama dengan tindakan) menjadi ≤30 menit.
Di rumah sakit yang mampu melakukan IKP, target yang diinginkan adalah ‘door-to-balloon’
delay ≤60 menit antara datangnya pasien ke rumah sakit dengan IKP primer. Delay yang
terjadi menggambarkan performa dan kualitas organisasi rumah sakit tersebut. Dari sudut
pandang pasien, delay antara awitan gejala dengan pemberian terapi reperfusi (baik
dimulainya fibrinolisis atau masuknya wire ke arteri penyebab) merupakan yang paling
penting, karena jeda waktu tersebut menggambarkan waktu iskemik total, sehingga perlu
dikurangi menjadi sesedikit mungkin.
3. Patofisiologi STEMI
Proses aterosklerotik dimulai ketika adanya luka pada sel endotel yang bersentuhan
langsung dengan zat-zat dalam darah. Permukaan sel endotel yang semula licin menjadi
kasar, sehingga zat-zat didalam darah menempel dan masuk kelapisan dinding arteri.
Penumpukan plaque yang semakin banyak akan membuat lapisan pelindung arteri perlahan-
lahan mulai menebal dan jumlah sel otot bertambah. Setelah beberapa lama jaringan
penghubung yang menutupi daerah itu berubah menjadi jaringan sikatrik, yang mengurangi
elastisitas arteri. Semakin lama semakin banyak plaque yang terbentuk dan membuat lumen
arteri mengecil.
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah
oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner
derajat tinggi yang berkembang secara lambat biasanya tidal memicu STEMI karena
berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. (Black &Hawk, 2005). Pada sebagian
besar kasus, infark terjadi jika plaque aterosklerosis mengalami fisura, rupture atau ulserasi
dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis sehingga mengakibatkan oklusi
arteri koroner. Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dare fibrin rich red trombus,
yang dipercaya menjadi alasan pada STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik.
Pada lokasi ruptur plaque, berbagai agonis (kolagen, ADP epinefrin dan serotonin) memicu
aktivasi trombosit, selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan A2
(vasokontriktorlokal yang poten). Aktifitas trombosit juga akan memicu terjadinya agregasi
platelet dan mengaktifasi faktor VII dan X sehingga menkonversi protombin menjadi
thrombindan fibrinogen menjadi fibrin. Pembentukan trombus pada kaskade koagulasi akan
menyebabkan oklusi oleh trombus sehinga menyebabkan aliran darah berhenti secara
mendadak dan mengakibatkan STEMI (Black & Hawk, 2005)
4. Faktor-faktor Resiko STEMI

A. Faktor yang tidak dapat dirubah


1. Usia
Walaupun akumulasi plak atherosclerotic merupakan proses yang progresif biasanya
tidak akan muncul manifestasi klinis sampai lesi mencapai ambang kritis dan mulai
menimbulkan kerusakan organ padausia menengah maupun usia lanjut. Oleh karena
itu pada usia antara 20 dan 30 tahun insiden infark miokard pada pria meningkat lima
kali lipat(Kumar,et al.,2007).
2. Jenis kelamin
Infark miokard jarang ditemukan pada wanita premenopause kecuali jika terdapat
diabetes hiperlipidemia dan hipertensi berat. Setelah menopause insiden penyakit
yang berhubungan dengan atherosclerosis meningkat bahkan lebih besar jika
dibandingkan dengan pria.
3. Ras
Amerika-afrika lebih rentan terhadap ateroklerosis daripada orang kulit putih.
4. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner saudara orang tua
yang menderita penyakit ini sebelum usia 80 tahun meningkatkan kemungkinan
timbulnya IMA.
B. Faktor yang dapat dirubah
1. Merokok
merupakan faktor risiko pasti pada pria dan konsumsi rokok mungkin merupakan
penyebab peningkatan insiden dan keparahan atherosclerosis pada wanita(Kumar,et
al.,2007). Efek rokok adalah menyebabkan beban miokard bertambah karena
rangsangan oleh katekolamin dan menurunnya komsumsi O2 akibat inhalasi CO
ataudengan perkataan lain dapat menyebabkan takikardi vasokonstriksi pembuluh
darah merubah permeabilitas dinding pembuluh darah danmerubah 5-10% Hb
menjadi carboksi -Hb. Disamping itu dapat menurunkan HDL kolesterol tetapi
mekanismenya belum jelas. Makin banyak jumlah rokok yang dihisap kadar HDL
kolesterol makin menurun.Perempuan yang merokok penurunan kadar HDL
kolesterolnya lebih besar dibandingkan laki-laki perokok. Merokok juga dapat
meningkatkan tipe IV abnormal pada diabetes disertai obesitas dan hipertensi"
sehingga orang yang merokok cenderung lebih mudah terjadi proses aterosklerosis
daripada yang bukan perokok.
2. Hiperlipidemia
merupakan peningkatan kolesterol dan atau trigliseridaserum di atas batas normal.
peningkatan kadar kolesterol di atas 180 mg/dl akan meningkatkan resiko penyakit
arteri koronaria dan peningkatan resiko ini akan lebih cepat terjadi bila kadarnya
melebihi 240 mg/dl. Peningkatan kolesterol LDL dihubungkan dengan meningkatnya
resiko penyakit arteri koronaria sedangkan kadar kolesterol HDL yang tinggi
berperan sebagai faktor pelindung terhadap penyakit ini.
3. Hipertensi
merupakan faktor risiko mayor dari IMA baik tekanan darah systole maupun diastole
memiliki peran penting. Hipertensi dapat meningkatkan risiko ischemic heart
disease(IHD) sekitar 60% dibandingkan dengan individu normotensive. Tanpa
perawatan sekitar 50% pasien hipertensi dapat meninggal karena gagal jantung
kongestif dan sepertiga lainnya dapat meninggal karena stroke(Kumar,et al.,2007).
4. Diabetes melitus
menginduksi hiperkolesterolemia dan juga meningkatkan predisposisi atherosclerosis.
Insiden infark miokard dua kali lebih tinggi pada seseorang yang menderita diabetes
daripada tidak. Juga terdapat peningkatan risiko stroke pada seseorang yang
menderita diabetes melitus.
5. Gaya hidup monoton
berperan pada timbulnya penyakit jantung koroner.
6. Stres psikologis
stres menyebabkan peningkatan katekolamin yang bersifat aterogenik serta
mempercepat terjadinya serangan.
5. Diagnosis STEMI

Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik,


elektrokardiogram, tes marka jantung, dan foto polos dada, diagnosis awal pasien dengan
keluhan nyeri dada dapat dikelompokkan sebagai berikut: non kardiak, Angina Stabil,
Kemungkinan SKA, dan Definitif

1. Anamnesis
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal (angina
tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat
daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau
epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten
(>20 menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis,
mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop. Presentasi angina atipikal yang
sering dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran angina tipikal, rasa gangguan
pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah
mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien
usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal
ginjal menahun, atau demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat
istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan
aktivitas, terutama pada pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK).
Hilangnya keluhan angina setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap
diagnosis SKA. Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada
pasien dengan karakteristik sebagai berikut :
a) Pria
b) Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit arteri perifer
/ karotis)
c) Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard, bedah
pintas koroner, atau IKP
d) Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes
mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga, yang diklasifikasi atas risiko tinggi,
risiko sedang, risiko rendah menurut NCEP (National Cholesterol Education
Program)

Nyeri dengan gambaran di bawah ini bukan karakteristik iskemia miokard (nyeri dada
nonkardiak) :

a) Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau batuk)
b) Nyeri abdomen tengah atau bawah
c) Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah apeks
ventrikel kiri atau pertemuan kostokondral.
d) Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi
e) Nyeri dada dengan durasi beberapa detik
f) Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah

Mengingat adanya kesulitan memprediksi angina ekuivalen sebagai keluhan SKA,


maka terminologi angina dalam dokumen ini lebih mengarah pada keluhan nyeri dada
tipikal. Selain untuk tujuan penapisan diagnosis kerja, anamnesis juga ditujukan untuk
menapis indikasi kontra terapi fibrinolisis seperti hipertensi, kemungkinan diseksi aorta
(nyeri dada tajam dan berat yang menjalar ke punggung disertai sesak napas atau sinkop),
riwayat perdarahan, atau riwayat penyakit serebrovaskular.

2. Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia,
komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding.
Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung Angina tipikal berupa rasa tertekan/berat
daerah retrosternal menjalar ke lengan kiri, leher, area interskapuler, bahu, atau
epigastrium; berlangsung intermiten atau persisten (>20 menit); sering disertai
diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal,sesak napas, dan sinkop. tiga (S3), ronkhi
basah halus dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi
iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis,
ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA. Pericardial
friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi katup aorta
akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak
seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding SKA.
3. Pemeriksaan elektrokardiogram.
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah
kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin
sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta
V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah
kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus direkam pada
semua pasien angina yang mempunyai EKG awal nondiagnostik. Sedapat mungkin,
rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat.
Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan angina timbul kembali. Gambaran
EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi, yaitu: normal,
nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/ persangkaan baru, elevasi
segmen ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST
dengan atau tanpa inversi gelombang T.
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang
bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk pria dan
perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3 nilai
ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai ambang
elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia ≥40 tahun adalah ≥0,2 mV, pada pria
usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV. Sedangkan pada perempuan nilai ambang elevasi
segmen ST di lead V1-3, tanpa memandang usia, adalah ≥0,15 mV. Bagi pria dan wanita,
nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R adalah ≥0,05 mV, kecuali pria
usia <30 tahun nilai ambang ≥0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai ambang di sadapan V7-
V9 adalah ≥0,5 mV. Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapanyang berhadapan
dengan permukaan tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali
jika STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6). Pasien SKA dengan elevasi
segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru
mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan
EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil
pemeriksaan marka jantung tersedia

Tabel 2. Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG

Sadapan dengan Deviasi Lokasi Iskemia atau Infark


Segmen ST
V1-V4 Anterior
V5-V6, I, aVL Lateral
II, III, aVF Inferior
V7-V9 Posterior
V3R, V4R Ventrikel kanan

Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien
dengan LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen ST ≥1 mm
pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi segmen ST ≥1 mm di V1-V3.
Perubahan segmen ST seperti ini disebut sebagai perubahan konkordan yang mempunyai
spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah untuk diagnosis iskemik akut. Perubahan
segmen ST yang diskordan pada sadapan dengan kompleks QRS negatif mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas sangat rendah. Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan
EKG tidak ditemukan elevasi segmen ST yang persisten, diagnosisnya adalah infark
miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI) atau Angina Pektoris tidak stabil
(APTS/ UAP). Depresi segmen ST yang diagnostik untuk iskemia adalah sebesar ≥0,05
mV di sadapan V1-V3 dan ≥0,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi
segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak persisten (<20menit), dan
dapat terdeteksi di >2 sadapan berdekatan. Inversi gelombang T yang simetris ≥0,2 mV
mempunyai spesifitas tinggi untuk untuk iskemia akut. Semua perubahan EKG yang
tidak sesuai dengan kriteria EKG yang diagnostik dikategorikan sebagai perubahan EKG
yang nondiagnostik.Rekaman EKG penting untuk membedakan STEMI dan SKA lainnya
4. Pemeriksaan marka jantung.
Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka nekrosis miosit
jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T sebagai marka
nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB.
Peningkatan marka jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak
dapat dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab
koroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab kelainan kardiak
nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri,
miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yangdapat meningkatkan kadar troponin I/T
adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi
pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan troponin I
memberikan informasi yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada
keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih
tinggi dari troponin T. Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau
troponin I/T menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA,
pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak
dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah
pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang meningkat dapat dijumpai pada seseorang
dengan kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan waktu
paruh yang singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih terpilih
untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun infark periprosedural.

Pemeriksaan marka jantung sebaiknya dilakukan di laboratorium sentral.


Pemeriksaan di ruang darurat atau ruang rawat intensif jantung (point of care testing)
pada umumnya berupa tes kualitatif atau semikuantitatif, lebih cepat (15-20 menit) tetapi
kurang sensitif. Point of care testing sebagai alat diagnostik rutin SKA hanya dianjurkan
jika waktu pemeriksaan di laboratorium sentral memerlukan waktu >1 jam. Jika marka
jantung secara point of care testing menunjukkan hasil negatif maka pemeriksaan harus
diulang di laboratorium sentral.

Kemungkinan SKA adalah dengan gejala dan tanda:


a) Nyeri dada yang sesuai dengan kriteria angina ekuivalen atau tidak seluruhnya
tipikal pada saat evaluasi di ruang gawat-darurat.
b) EKG normal atau nondiagnostik, dan
c) Marka jantung normal

Definitif SKA adalah dengan gejala dan tanda:

a) Angina tipikal.
b) EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI, depresi ST atau
inversi T yang diagnostik sebagai keadaan iskemia miokard, atau LBBB
baru/persangkaan baru.
c) Peningkatan marka jantung
Kemungkinan SKA dengan gambaran EKG nondiagnostik dan marka jantung
normal perlu menjalani observasi di ruang gawat-darurat. Definitif SKA dan
angina tipikal dengan gambaran EKG yang nondiagnostik sebaiknya dirawat di
rumah sakit dalam ruang intensive cardiovascular care (ICVCU/ICCU).
5. Pemeriksaan laboratorium.
Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus dikumpulkan di ruang gawat
darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes
fungsi ginjal, dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak boleh menunda terapi
SKA.
6. Pemeriksaan foto polos dada.
Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang gawat darurat untuk
tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada harus dilakukan di ruang gawat darurat dengan
alat portabel. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membuat diagnosis banding, identifikasi
komplikasi dan penyakit penyerta.

6. Pencegahan STEMI

Ada berbagai cara pencegahan sekunder pasien dengan infark miokard yaitu dengan
mengontrol atau modifikasi berbagai faktor risiko Penyakit jantung koroner yang dimiliki
yaitu:

1. Berhenti merokok
2. Melakukan latihan atau aktifitas fisik secara teratur dengan target latihan 30 menit
tiap latihan dan dilakukan 3-4 x/minggu
3. Memiliki berat badan ideal dengan target IMT 18,5 – 22,5 dan lingkar metabolic < 35
inch pada wanita dan < 40 inch pada laki-laki mmHg
4. Mengontrol kadar gula darah pada penderita diabetes yaitu dengan target HbA1C <
6,5 %
5. Mengontrol tekanan darah dengan target < 140/90 atau <130/80mmHg pada penderita
diabetes
6. Mengontrol kadar lemak darah dengan target kadar LDL < 100 mmHg, trigliserida <
150 mg/dl dan HDL > 40 mg/dl
7. Pemberian antitrombotik atau antikoagulan sesuai indikasi yaitu :
a. Aspirin 80-160 mg/hari seumur hidup
b. Clopidogrel 75 mg/hari selama 1 bulan setelah pemasangan Bare-metal stent
atau selama 9 – 12 bulan setelah pemasangan Drug Eluting Stent (DES).
Clopidogrel juga dapat digunakan sebagai alternatif antitrombotik pada pasien
yang kontraindikasi atau intoleran terhadap aspirin
c. Antikoagulan oral warfarin dengan target INR 2 – 3 kali control bila terdapat
indikasi antikoagulan atau pasien tidak toleran terhadap aspirin
d. Pemberian penghambat system renin angiotensin. Pemberian obat ACE
inhibitor terutama pada pasien dengan infark anterior, riwayat infark miokard
sebelumnya, gagal jantung dan fungsi ventrikel kiri yang rendah (EF<40%)
Bila pasien intoleran terhadap ACE inhibitor, maka dapat diberikan
Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
8. Pemberian antagonis aldosterone. Terutama pada pasien dengan fungsi ginjal masih
baik, fungsi ventrikel kiri menurun dengan DM atau gagal jantung yang sudah
mendapat terapi ACE inhibitor optimal
9. Penghambat beta atau Beta blocker Diberikan pada pasien SKA dengan elevasi ST
bila tidak terdapat kontraindikasi. Pilihannya yaitu carvedilol, bisoprolol dan
metoprolol.
10. Pemberian Nitrat Preparat nitrat terutama yang short acting dapat diberikan sebagai
terapi simtomatik untuk nyeri dada tapi tidak digunakan rutin tiap hari.

7. Terapi Farmakologi

1. Pemberian Oksigen

Hipoksemia dapat terjadi akibat dari abnormalitas ventilasi dan perfusi akibat gangguan ventrikel
kiri. Oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri < 90%. Pada semua pasien
STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama. Pemberian oksigen harus
diberikan bersama dengan terapi medis untuk mengurangi nyeri secara maksimal (antman et al,
2004).
2. Nitrogliserin

Nitogliserin (NTG) sublingual dapat diberikan dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3
dosis dengan interval 5 menit. NTG selain untuk mengurangi nyeri dada juga untuk menurunkan
kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard
dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena infark atau pembuluh kolateral. NTG harus
dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau pasien yang dicurigai
mengalami infark ventrikel kanan (Antman, 2004; Opie & Gersh, 2005).

3. Morfin

Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam tata laksana
nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2 - 4 mg dapat tingkatkan 2 - 8 mg IV serta
dapat diulang dengan interval 5 - 15 menit. Efek samping yang perlu diwaspadai pada pemberian
morfin adalah konstriksi vena dan arteriol melalui penurunan simpatis, sehingga terjadi pooling vena
yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri (Antman, 2004, Opie & Gersh, 2005).

4. Aspirin

Aspirin merupakan tata laksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI. Inhibisi cepat
siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan dengan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan
absorpsi aspirin bukal dengan dosis 162 mg - 325 mg di ruang emergensi dengan daily dose 75 - 162
mg.

5. Beta blocker

Beta‐blocker mulai diberikan segera setelah keadaan pasien stabil. Jika tidak ada kontraindikasi,
pasien diberi beta‐blocker kardioselektif misalnya metoprolol atau atenolol. Heart rate dan tekanan
darah harus terus rutin di.monitor setelah keluar dari rumah sakit. Kontraindikasi terapi beta ‐blocker
adalah: hipotensi dengan tekanan darah sistolik <100 mmHg, bradikardi <50 denyut/menit, adanya
heart block, riwayat penyakit saluran nafas yang reversible, Beta‐blocker harus dititrasi sampai dosis
maksimum yang dapat ditoleransi. (Antman, 2004; Black & Hawk,2005; Libby, 2008)

6. ACE Inhibitor

ACE inhibitor mulai diberikan dalam 24 ‐ 48 jam pasca‐MI pada pasien yang telah stabil, dengan
atau tanpa gejala gagal jantung. ACE inhibitor menurunkan afterload ventrikel kiri karena
inhibisi.sistem renin‐angiotensin, menurunkan dilasi ventrikel. ACE inhibitor harus dimulai dengan
dosis rendah dan dititrasi naik sampai dosis tertinggi yang dapat ditoleransi. Kontraindikasinya
hipotensi, gangguan ginjal, stenosis arteri ginjal bilateral, dan alergi ACE inhibitor. Elektrolit serum,
fungsi ginjal dan tekanan darah harus dicek sebelum mulai terapi dan setelah 2 minggu (Opie &
Gersh, 2005; Libby, 2008).

7. Anti koagulan

LMWH lebih banyak digunakan daripada unfractionated heparin karena untuk membatasi
perluasan thrombosis koroner. Studi ESSENCE menunjukkan enoxaparin 1mg/kg 2 kali/hari lebih
baik daripada unfractinated heparin. Biaya enoxaparin lebih tinggi, tetapi mempunyai aktivitas anti ‐
faktor Xa lebih besar, tidak memerlukan monitor terus menerus, dan dapat diberikan dengan mudah
sehingga menjadi pilihan terapi yang cukup popular. Enoxaparin diberikan terus sampai pasien bebas
dari angina atau paling sedikit selama 24 jam, durasi terapi yang dianjurkan adalah 2 ‐ 8 hari
(Sukandar et al, 2008; Libby,2008).

8. Terapi Nonfarmakologi

1. Tindakan Revaskularisasi

Termasuk di sini yaitu operasi pintas koroner (coronary artery bypass grafting,
CABG) dan PCI (angioplasti koroner atau percutaneous transluminal coronary
angioplasty / PTCA) dan tindakan terkait seperti misalnya pemasangan stent, aterektomi
rotablasi, dan aterektomi direksional). Pada era sebelum diperkenalkan penggunaan stent
dan antagonis glikoprotein IIb/IIIa, CABG disarankan pada pasien dengan anatomi
koroner berisiko tinggi, seperti obstruksi ≥ 50% pembuluh kiri atau penyakit 3-pembuluh
(triple vessel disease) terutama bila fraksi ejeksi rendah (< 50%) atau ditemui diabetes
mellitus. Pada pasien dengan penyakit 2-pembuluh (double vessel disease) atau penyakit
3- pembuluh di mana kelainannya masih baik untuk PCI maka tindakan CABG atau PCI
harus dipertimbangkan secara individual. Meta-analisis CABG dibandingkan PTCA
konvensional (sebelum era stent) menujukan tidak adanya perbedaan antara kedua jenis
strategi pengobatan ini, tetapi pasien yang menjalani PTCA lebih sering harus menjalani
tindakan ulang dan lebih sering mengalami angina berulang. Dengan adanya stent. maka
angina berulang dan kebutuhan tindakan revaskularisasi ulangan juga menurun. Stent
juga menurunkan risiko tindakan pada pasien dengan APTS, termasuk menurunkan risiko
oklusi akut, infark jantung, kebutuhan CABG darurat dan mengurangi restenosis jangka
panjang. Dengan adanya obat anti-trombosit baru seperti tiklopidin dan klopidogrel,
maka trombosis akut dan sub akut dapat ditekan sekitar <1 %. Hasil jangka pendek dan
jangka panjang juga menjadi lebih baik secara bermakna dengan adanya inhibitor
glikoprotein IIb/IIIa. Indikasi tindakan revaskularisasi spesifik (CABG, PCI
konvensional, stent, aterektomi) banyak tergantung kepada anatomi koroner, faal
ventrikel kiri, pengalaman dokter (kardiolog intervensional atau dokter bedah), adanya
penyakit penyerta dan pilihan pasien sendiri.

2. Rehabilitasi medic
Pasien yang mengalami serangan jantung dan pasca operasi pada umumnya
mengalami gangguan pada fungsi-fungsi organ tubuhnya. Karena itu untuk meningkatkan
kemampuan organ itu paling tidak mendekati kondisi semula dilakukan rehabilitasi
medik dengan maksud untuk mengoptimalkan fisik, fisiologi dan sosial pada pasien-
pasien yang sebelumnya menderita kejadian kardiovaskular.
Di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita dilaksanakan
rehabilitasi medis dengan konsep terpadu. Jenis pelayanan rehabilitasi
mencakup:
1. Tes evaluasi, dengan treadmill atau Esrocycle test
2. Pelaksanaan fisioterapi
3. Pelaksanaan monitoring telemetri
4. Program Rehabilitasi Fase II dan III
5. Rehabilitasi Pasca MCI atau Pasca Operasi di ruang rawat
6. Treadmill analyser/Ergocycle analyzer
7. Holter
8. Lead Potensial
9. Vektor

3. Modifikasi faktor risiko


a. Berhenti merokok :Pasien yang berhenti merokok akan menurunkan angka kematian
dan infark dalam 1 tahun pertama.
b. Berat badan : Untuk mencapai dan /atau mempertahankan berat badan optimal.
c. Latihan : melakukan aktivitas sedang selama 30-60 menit 3-4x/minggu (jalan,
bersepeda, berenang atau aktivitas aerobic yang sesuai)
d. Diet mengkonsumsi makanan dengan kadar kolesterol rendah atau lemak dengan
saturasi rendah
e. Kolesterol mengkonsumsi obat-obatan penurun kolesterol. Target primer kolesterol
LDL < 100mg/dl.
f. Hipertensi target tekanan darah <130/80 mmHg
g. DM kontrol optimal hiperglikemia pada DM

C. ALAT DAN BAHAN

ALAT

1. Form SOAP

2. Form Medication Record

3. Catatan Minum Obat

4. Kalkulator Scientific

5. Laptop dan koneksi internet

BAHAN

1. Text Book (Dipiro, Koda Kimble, DIH, ECS, JNC)

2. Data nilai normal laboratorium

3. Evidence terkait (Journal, Systematic Review, Meta Analysis)


DAFTAR PUSTAKA

ACC/AHA 2007 guidelines for the management of patients with unstable angina/non – ST-elevation
myocardial infarction. A report of the American College of Cardiology/ American Heart
Association Task Force on Practive Guidelines. J Am Coll Cardiol. 2007;
DOI:10.1016/j.jacc.2007.02.028.available.at:http://content.onlinejacc.org/cgi/content/fu
ll/50/7/e1.Circulation.2007;DOI:10.1161/CIRCULATIONAHA.107.185752. available at :
http://cir.ahajournals.org/cgi/reprint/CIRCULATIONAHA.107.185752.

ACCF/AHA 2007 guidelines for the management of patients with unstable angina/non – ST-
elevation myocardial infarction. A report of the American College of Cardiology/
American Heart Association Task Force on Practive Guidelines.2013.
Bina farmasi komunitas dan klinik.2006. Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit Jantung
Koroner : Fokus Sindrom Koroner Akut. Jakarta : Departemen kesehatan
Black, J.M., & Hawk, J.H. (2005).Medicalsurgical nursing clinical managementfor positive
outcomes(7thEd.).St.Louis, Missouri:Elsevier Saunders.

Derliana. D., 2017. Manajemen Pasien ST Elevasi Miokardial Infark. Banda Aceh: Universitas Syiah
Kuala

Kumar, et al., 2007. Robbin’s Basic Pathology. Elsevier Inc.


Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia,2015, Pedoman Tatalaksana Sindrom
Koroner Akut,Indonesia: Centra Communications

Sungkar. A, M., 2017. Sindroma Koroner Akut dengan elevasi segmen ST ST Elevation Myocard
Infacrt Acute Coronary Syndrome ( STEMI ACS). Rs. Roemani Semarang:
Semarang

Anda mungkin juga menyukai