Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PRAKTIKUM FARMASI KLINIK

PHARMACEUTICAL CARE GANGGUAN KARDIOVASKULAR

Disusun Oleh:
Jesyka Lorenza
421074

Tanggal Praktikum:
04 April 2024

Tempat Praktikum:
Laboratorium Farmasi Komunitas

Dosen Pengampu:
apt. Anak Agung Pradnya Paramitha Vidiani, M.Farm
apt. Anisa Nova Puspitaningrum, M.Farm

STIKES TELOGOREJO
SEMARANG
2024
A. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mampu Mengidentifikasi promlem medik sesuai prioritas, data objektif,
dan data klinik.
2. Mahasiswa mampu melakukan pharmaceutical care dengan analisis
SOAP dan Menyusun Rencana Pelayanan Kefarmasian (RPK)
3. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian profil terapi pasien secara
benar.
4. Mahasiswa mampu menginterpretasikan data laboratorium dan data
klinik sesuai kasus.

B. LANDASASAN TEORI
1. Pengertian Infark Miokard Akut (IMA)
IMA atau serangan jantung adalah penyakit yang diakibatkan karena
aliran darah tiba-tiba tersumbat sehingga memutus suplai darah ke
miokardoum (sel otot yang terdapat di jantung). IMA dapat
mengakibatkan jantung berhenti berdetak atau henti jantung. Hal ini
disebabkan karena oklusi atau penyumbatan pada arteri koroner setelah
aterosklerosis pecah. Aterosklerosis merupakan kumpulan kolesterol dan
asam lemak (lipid) yang tidak stabil pada dinding arteri (Rathore, 2018).
IMA menghasilkan kerusakan pada otot jantung karena otot jantung
kekurangan oksigen. IMA dapat menyebabkan penurunan fungsi pada
sistol maupun diastol sehingga membuat pasien IMA rentan terhadap
aritmia. IMA dapat menyebabkan komplikasi serius. Semakin cepat
pengobatan pada IMA (6 jam sejak timbul gejala) maka semakin baik
prognosisnya (Rathore, 2018).

Gambar 1. Infark Miokard Akut (IMA)


Sindroma koroner akut (SKA) terdiri dari angina pektoris tidak stabil
dan IMA. Selanjutnya IMA dibagi menjadi dua, yaitu non-ST elevation
myocardial infarction (NSTEMI) atau IMA tanpa elevasi segmen ST dan
STEMI atau infark yang disertai elevasi segmen ST. Angina pektoris
tidak stabil termasuk ke dalam sindroma koroner akut karena merupakan
prekursor terjadinya infark miokard. Infark miokard akut merupakan
kondisi nekrosis miokard akibat sindroma iskemia yang tidak stabil
(Alexander & Smith, 2016).
Infark miokard akut diklasifikasikan menjadi lima tipe, yaitu infark
yang terjadi akibat aterotrombosis koroner (tipe 1), infark yang terjadi
akibat supply-demand mismatch (tipe 2), infark yang menyebabkan
kematian mendadak tanpa adanya konfirmasi atau bukti biomarka
ataupun perubahan EKG (tipe 3), infark yang terjadi pada saat tindakan
intervensi koroner perkutan (tipe 4a), infark yang terjadi akibat trombosis
pada stent (tipe 4b), dan infark yang terjadi pada tindakan coronary
artery bypass surgery (CABG) (tipe 5) (Alexander & Smith, 2016).

2. Patofisiologi Infark Miokard Akut (IMA)


Pada sebagian besar kasus, IMA terjadi akibat rupturnya plak
aterosklerotik atau erosi endotel arteri koroner. Stenosis lumen minimal
sebesar 70% diperlukan untuk terjadinya keluhan angina. Saat terjadi
ruptur plak, terjadi pengeluaran agen-agen trombogenik yang
mengakibatkan aktivasi platelet, inisiasi kaskade koagulasi, terbentuknya
trombus mural, dan embolisasi debris aterosklerotik yang mengikuti
aliran darah (Alexander & Smith, 2016).
Kondisi hiperkoagulabilitas turut memberi kontribusi terjadi ruptur
fibroateroma yang lainnya, sehingga kadangkala terdapat lebih dari satu
lesi kulprit. Hasil akhir yang terjadi adalah nekrosis miosit yang
terdeteksi melalui peningkatan marker atau penanda nekrosis di darah
perifer. Perbedaanya, pada NSTEMI terjadi oklusi oleh trombus yang
bersifat subtotal, tromboemboli pada mikrovaskular distal serta diikuti
adanya pembuluh darah kolateral, obstruksi yang dinamis akibat spasme
koroner, sehingga tidak akan terbentuk elevasi segmen ST pada rekaman
EKG. Pada STEMI, terjadi oklusi total oleh trombus yang
mengakibatkan injury transmural miokard pada dinding ventrikel yang
divaskularisasi arteri koroner sehingga mengakibatkan terbentuknya
elevasi segmen ST pada rekaman elektrokardiografi (EKG)
(Ibanez et al., 2018)
.

3. Diagnosis Infark Miokard Akut (IMA)


Penegakan diagnosis IMA berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
EKG, dan adanya peningkatan biomarker atau penanda nekrosis miosit
(Firdaus et al., 2018) . Gejala iskemia yang muncul berupa angina atau
nyeri di dada kiri yang dirasakan tembus hingga ke punggung, menjalar
ke lengan kanan atau rahang, kadang bisa dirasakan sebagai rasa berat
atau tertekan, disertai keringat dingin, mual muntah, pingsan, bahkan
sampai kematian mendadak. Kadangkala penderita mengeluhkan gejala
yang tidak khas atau tidak spesifik, seperti sesak napas, cepat lelah, mual
dan muntah, sinkop, dan palpitasi (Ibanez et al., 2018).
Semua penderita dengan kecurigaan IMA sebaiknya dilakukan
pemeriksaan EKG 12 sadapan sebagai salah satu kriteria diagnosis paling
tidak dalam 10 menit sejak kontak medis pertama. Kalibrasi pengukuran
EKG diatur menjadi 10 mm/millivolt. Kriteria diagnosis dari EKG adalah
mulai dari hasil yang normal yaitu sinus hingga terjadi perubahan EKG
yang sugestif. Pada kasus NSTEMI, EKG dapat menunjukkan hasil
normal, perubahan ST segmen berupa ST depresi, inversi gelombang T,
dan lain sebagainya (non-elevasi segmen ST) (Ibanez et al., 2018).
Pada kasus STEMI jelas terjadi perubahan EKG berupa elevasi
segmen ST. Kriteria elevasi segmen ST dinilai sugestif terhadap adanya
kejadian koroner akut atau on going adalah, ST elevasi diukur dari J
point, terdapat elevasi segmen ST pada dua atau lebih sadapan yang
berhubungan, dengan elevasi sebesar ≥ 2,5 mm pada pria < 40 tahun, ≥
2,0 mm pada pria ≥ 40 tahun; ≥ 1,5 mm pada wanita di sadapan V2-V3
dan atau ≥ 1,0 mm di sadapan lainnya (tanpa adanya hipertrofi ventrikel
kiri atau blok berkas cabang kiri) (Ibanez et al., 2018).
Kematian sel miokard ditandai dengan adanya pelepasan protein dari
miosit yang mati ke dalam sirkulasi. Diagnosis infark miokard
ditegakkan bila terjadi peningkatan biomarker troponin atau creatinine
kinase-myocardial band (CK-MB) pada penderita dengan klinis iskemia
miokard. Pemeriksaan troponin lebih spesifik dan sensitif dibandingkan
enzim jantung lainnya seperti CK-MB dan mioglobin
(Firdaus et al., 2018)
.

4. Terapi Infark Miokard Akut (IMA)


a. Terapi Antitrombotik, Antiiskemia, dan Reperfusi
Setelah diagnosis ditegakkan, rencana tindakan reperfusi dan terapi
farmakologi dapat segera diberikan. Penderita IMA diberikan terapi
berupa antiiskemia yaitu nitrat, penghambat beta, dan penghambat
kalsium channel (Firdaus et al., 2018) . Aktivasi dan agregasi platelet
memainkan peran utama dalam terjadinya trombosis arteri sehingga
merupakan target terapi dalam sindroma koroner akut. Pemberian terapi
antitrombotik bertujuan untuk menstabilisasi plak dan mengembalikan
patensi fibrinolisis endogen untuk bekerja (Ibanez et al., 2018)
Antitrombotik terdiri dari antiplatelet dan antikoagulan. Antiplatelet
terdiri dari aspirin, antagonis adenosine diphosphate receptor antagonist
atau penghambat reseptor P2Y12 seperti clopidogrel dan prasugrel,
golongan siklopentil triazolopirimidine seperti ticagrelor dan penghambat
reseptor gp IIb/IIIa. Aspirin direkomendasikan pada semua penderita dan
dual antiplatelet therapy (DAPT) diberikan selama 1 tahun dari sejak
pemasangan stent (Firdaus et al., 2018).
Penghambat reseptor gp IIb/IIIa dipertimbangkan diberikan terutama
saat tindakan dengan karakteristik oklusi atau trombus yang kompleks
atau high burden. Antikoagulan terdiri dari penghambat faktor
Xa/Fondaparinux, low molecular weight heparine (LMWH),
unfractionated heparine (UFH), dan penghambat thrombin seperti
bivalirudin (Ibanez et al., 2018).
Stratifikasi risiko dilakukan sesegera mungkin untuk menentukan
dilakukannya terapi konservatif atau strategi invasif. Strategi invasif pada
NSTEMI berupa revaskularisasi koroner bertujuan untuk menghilangkan
gejala, mempersingkat waktu perawatan, dan memperbaiki prognosis.
Penderita dengan NSTEMI direkomendasikan untuk menjalani PCI atau
IKP dalam 24 jam, sedangkan IKP yang dilakukan > 24 jam cenderung
tidak bermanfaat, memperpanjang periode hospitalisasi, dan menurunkan
kualitas perawatan (Bob-Manuel et al., 2017).

Tabel 1
Kriteria strategi invasif pada penderita NSTEMI

Kriteria Strategi Invasif


Immediate invasive (< 2 h)
Refractory angina despite therapy
Heart failure (killip II-IV)
Sustained Ventricular tachycardia or fibrillation (arrest)
Hemodynamic instability
Early invasive (2-24 h)
High risk score of TIMI ≥4, GRACE ≥ 140
Persistent high risk or dynamic electrocardiographic changes
ST elevation not meeting STEMI criteria
Delayed invasive (25-72 h)
No features requiring immediate or early invasive strategy
Intermediate risk score (TIMI 2-3, GRACE ≥109-139)
Recurrent angina or signs of ischemia despite of therapy
EF < 40%, diabetes mellitus (DM), renal insufficiency (estimated glomerular
filtration rate < 60
mL/min/ 1.73 m2, prior CABG or PCI within 6 months
Ischemia guided strategy
No feature requiring an immediate, early, or delayed strategy
Low risk (TIMI 1, GRACE < 109)
Patient preference

Berbeda pada STEMI, prioritas tindakan ditujukan untuk reperfusi


segera untuk menekan perluasan area infark dan secara simultan
diberikan antitrombotik. Pemilihan strategi reperfusi pada penderita
STEMI dapat melalui strategi intervensi PCI atau IKP, pembedahan
(coronary artery bypass graft/ CABG), atau medikamentosa melalui
fibrinolitik. Intervensi koroner perkutan primer atau primary PCI
dilakukan untuk memperbaiki aliran koroner dan mencegah iskemia yang
rekuren (Bob-Manuel et al., 2017).
Primary PCI diindikasikan jika onset gejala terjadi dalam 12 jam,
ada kontraindikasi terhadap pemberian fibrinolitik, terlebih lagi jika
kondisi penderita yang mengalami syok kardiogenik dan gagal jantung
akut. Primary PCI juga direkomendasikan jika terdapat bukti iskemia
masih berlangsung meskipun gejala sudah berlangsung 12-24 jam.
Dibandingkan fibrinolitik, PCI primer menghasilkan patensi arteri yang
terkait dengan infark, skor TIMI flow 3, namun risiko perdarahan akses
yang lebih tinggi (Bob-Manuel et al., 2017).
Komposisi trombus koroner penderita STEMI terdiri dari serat fibrin
sebanyak 60%, sedangkan sisanya terdiri dari platelet, eritrosit, kristal
kolesterol, dan leukosit. Oleh karena itu agen fibrinolitik merupakan
salah satu indikasi terapi pada IMA. Fibrinolitik memiliki periode terapi
yang sempit dan efisiensi paling tinggi pada 3 jam pertama. American
Heart Association (AHA) dan European Society Cardiology (ESC)
merekomendasikan terapi fibrinolitik dalam 12 jam sejak onset gejala
pada penderita tanpa kontraindikasi fibrinolitik
(Bob-Manuel et al., 2017)
.
Agen fibrinolitik yang direkomendasikan adalah streptokinase (SK),
alteplase (tPA), reteplase (r-PA), atau tenecteplase (TNK-tPA). Setelah
dilakukan pemberian fibrinolitik, penderita seringkali masih memiliki
stenosis residual yang selanjutnya harus tetap direncanakan tindakan
angiografi koroner dan jika perlu dilanjutkan dengan tindakan angiopasti
koroner atau IKP (Bob-Manuel et al., 2017).
Tindakan CABG direkomendasikan pada penderita IMA jika PCI
primer gagal atau tidak dapat dilakukan, anatomi koroner sesuai dengan
indikasi CABG, terdapat iskemia miokard persisten yang signifikan pada
saat istirahat dan atau adanya ketidakstabilan hemodinamik dan refakter
terhadap terapi. Emergency CABG dapat dipertimbangkan dalam 6 jam
setelah onset pada penderita STEMI yang tidak mengalami syok
kardiogenik namun bukan kandidat PCI ataupun fibrinolitik
(Bob-Manuel et al., 2017)
.
Selain itu, direkomendasikan juga pada penderita dengan syok
kardiogenik yang sesuai dengan indikasi CABG tanpa memandang
interval waktu sejak onset infark hingga syok dan waktu sejak infark
hingga CABG dilaksanakan. Penderita dengan aritmia ventricular
maligna, dengan stenosis left main atau triple vessel disease merupakan
indikasi emergency CABG (Bob-Manuel et al., 2017).
b. Pemberian Agen Anti-remodelling
Peranan anti remodelling pada kasus IMA sudah banyak diteliti sejak
dahulu. Agen anti remodelling pada IMA adalah angiotensin converting
enzyme-inhibitor (ACE-I) dan angiotensin receptor blocker (ARB) yang
bertujuan mengurangi ekspansi infark dan proses remodelling ventrikel
kiri. Terdapat penurunan sebanyak 7% mortalitas periode 5 minggu pada
penderita infark miokard akut yang mendapatkan terapi ACE-I dini
(Borer, 2007).
Pemberiannya direkomendasikan untuk dimulai dalam 12-24 jam
pertama setelah onset IMA. Penderita IMA dengan risiko tinggi, disertai
riwayat hipertensi, diabetes mellitus, infark miokard sebelumnya, infark
regio anterior, dan disertai adanya disfungsi ventrikel kiri menunjukkan
adanya benefit untuk diberikan ACE-I secara dini, baik itu dalam jangka
pendek maupun jangka panjang. Efikasi pemberian ACE-I pada IMA
terbukti memperbaiki angka kesintasan penderita (Borer, 2007).
Suatu studi perbandingan antara pemberian furosemide, captopril,
dan plasebo pada penderita disfungsi LV asimtomatis dengan nilai EF
atau fraksi ejeksi < 45% 1 minggu paska infark menunjukkan bahwa
pemberian captopril menunjukkan penurunan yang signifikan pada LV
end systolic volume index (LVESVI) dan disertai perbaikan fraksi ejeksi
(Kato et al., 2020).

C. PROSEDUR
1. Melakukan analisis data Rekam Medik Kesehatan Pasien
2. Melakukan Assesment profil terapi yang diberikan berdasarkan Analisa
DRP’s menggunakan metode SOAP dengan mengintegrasikan data
objektif dan data subjektif pasien dalam lembar kerja
3. Konfirmasikan ke penulis resep dan berdiskusilah dengan apoteker
terkait DRP’s yangterjadi
4. Membuat rencana pelayanan kefarmasian meliputi rekomendasi dan
monitoringnya
5. Berikan konseling kepada pasien setelah mendapatkan persetujuan dari
penulis resepdi dalam pembahasan
6. Mahasiswa mempresentasikan hasil analisis SOAP

D. CONTOH KASUS
Data Pasien
Inisial Pasien : Ny. S Berat Badan :-
Umur : 50 tahun Tinggi Badan :-
Alamat : Salatiga
Keluhan Utama : Nyeri dada 3 hari yang lalu (50 jam), dada terasa
panas seperti tertusuk sampai ke belakang, nyeri
hilang timbul
Diagnosis : Infark Miokard Akut inferior + anterior luas
Riwayat penyakit :-
Riwayat Pengobatan :-
Riwayat alergi :-
Merokok / alkohol :-
Kepatuhan : patuh
Status pasien : ASKES
Tanggal masuk RS : 13 Februari 2010
Pindah ke ruang Jantung : 19 Februari 2010
Tanggal keluar RS : Tidak ada data

DATA KLINIK PASIEN

Data Nilai Tanggal


No
Klinik Normal 13/2 14/2 15/2 16/2 17/2 18/2 19/2
120/85 100/60 80/65 90/60
1 TD 120/80 110/70 100/80
160/100 128/85 110/60 110/80
2 Nadi 80-100 120 110-120 130 130
3 RR 20-24 20
4 Suhu 37° C 36-37 37-37,5 37-38,3 36,5-37,6 36,4 36
5 Urine 1805 695 1020 1920 920

Komentar dan Alasan Pada awal MRS tekanan darah pasien tinggi,
sehingga perlu penanganan cepat. Penanganan yang
diberikan oleh dokter adalah kombinasi ACE
Inhibitor dan Beta Bloker untuk menstabilkan
tekanan darah pasien. Nadi pasien relatif tetap tinggi.
Suhu badan pasien pada tanggal 15-17 Februari
mengalami kenaikan, sehingga perlu diberikan
antipiretik untuk menurunkan suhu badan pasien,
yaitu parasetamol. Sejak awal MRS terdapat tanda-
tanda SIRS pada pasien, yaitu peningkatan suhu dan
nadi pasien yang menandakan adanya infeksi yang
terjadi. Sebaiknya pemberian antibiotik empiris
diberikan sejak awal MRS pada pasien ini.
Padatanggal 16-17 Februari pasien mengalami
hipotensi yaitu tekanan sistolik arteri < 100 mmHg,
sehingga perlu terapi tambahan obat vasoaktif, yaitu
dopamin.
DATA LABORATORIUM PASIEN

Data Tanggal
No Nilai Normal
Laboratorium 13/2 14/2 15/2 16/2 17/2 18/2
1 Hb 12-16 g/dl (P) 16,7 14 13,6
2 Leukosit 4,5-12,5 k/ul 13.200 16.800 11.300
3 Albumin 3,8-5,1 4,2
4 BUN 10-20 12 7 17,6 17,6
5 RBC 4,33-5,95 5,73 4,87 4,85
6 HCT 38-42 (P) 49,9 43,3 43
7 Ureum 15 37,8
8 GDA <200 196 183
9 SGOT <29,3 77
10 SGPT 24,3 25
11 Kreatinin <1,2 (P) 1,0 0,2 0,7 0,7
12 Na+ 136-144 147 142 141 150 139,5
13 K+ 3,8-5,0 5 3,4 3,4 3,36 4,72
14 Cl- 97-103 108 97 100 100 94,5
15 Trombosit 150.000- 357.000 269.000 287.000
400.000
16 Granulosit 78,2 78,9 75,2
17 CKMB 0% 61,9
18 LDH 1,2 1032
19 Ca2+ 9,0 – 10,5 7,1 7,9 0,39
20 PH 7,35 – 7,46 7,41 7,53 7,565
21 PCO2 35 – 45 mmHg 27 26 28,3
22 PO2 80-100 mmHg 77 76 132,9
23 HCO3 21 – 28 mEq/L 17,1 21,7
PROFIL PENGOBATAN PASIEN

Jenis Obat Regimen Tanggal pemberian obat (mulai MRS) Bulan Februari
No
Nama Generik Dosis 13/2 14/2 15/2 16/2 17/2 18/2 13/2
1 ISDN 5 mg SL √
1000 cc/2jam (14
2 Infus PZ √ √
tts/menit)
3 Inj. Ranitidin 2 x 50 mg √ √ √ √ √ √
LD 300 mg MD 1
4 Asetosal 0-1-0 √ √ √ √ √
x 100 mg
LD 300 mg MD 1
5 Clopidogrel 1-0-0 √ √ √ √ √ √
x 75 mg
6 Simvastatin 0-0-1 20 mg √ √ √ √ √
Trimetazidine di
7 √ √ √ √
HCl 1-0-1 35 mg x 2
8 Syrup Pencahar 3 x 15 mL √ √ √ √ √ √
9 Diazepam 0-0-1 5 mg √ √ √ √ √
10 Inj. Metoklopramid 3 x 10 mg √ √
11 Captopril 3 x 6,25 mg √ √ √ 3 x 12,5 √ 3 x 12,5
12 Bisoprolol 1-0-0 1,25 mg √
13 O2 2 lpm 3 lpm
500 cc (7
14 Infus RL √ √ 500 cc 14 tts/menit 500 cc
tts/menit)
3 mg/Kg
15 Dobutamin Pump √ √ 5 mg
BB/menit
Inj. Fondaparinux
16 1 x 2,5 mg √ √ √ √ √
Na
17 Dopamin Pump 3g √ √
Inj. Ceftriaxon 0-1-
18 2x1g √ √ √
1
19 KSR 1x 600 mg √
20 Ka-en Mg3 500 cc/24 jam √
21 Furosemid Extra 1 cup √ √ 1,5 mg/jam
22 KCl 25 mEq √ √ √
23 Paracetamol 500 mg √ √ √
24 Digoxin 2 x 0,25 mg √ √ 1 x 0,25
ANALISIS SOAP

Problem Medis Tanggal Subjective Objective Assessment Plan


Infark Miokard 14/02/2010 Data Klinis: 1. Pemakaian obat-obat 1. Setibanya di UGD, pasien dengan
● nyeri dada (+++)
Akut Inferior opiad (morfin), nitrat, dugaan MI akut harus segera
● TD: 160/100
dan Arterior ● dada terasa panas diuretik dan ACE menerima: Khusus untuk infark
Luas ● Nadi 120 inhibitor harus dihindari, inferior dengan infark RV,
seperti tertusuk ke
karena dapat anjurannya sebagai berikut:
belakang(+++)
menurunkan preload.
Data Lab: ● Reperfusi Untuk infark inferior
● nyeri hilang timbul
2. Pasien belum
yang disertai infark RV, terapi
(+++) ● SGOT 77 membutuhkan terapi
reperfusi dini baik berupa
pencahar karena pasien
● SGPT 25 pemberian Trombolitik/
tidak mengalami
Fibrinolitik dan Percutaneous
konstipasi.
● CKMB 61,9 Transluminal Coronary
3. Adanya Interaksi obat
Angioplasty (PTCA) primer,
● TD 160/100 antara asetosal dengan
terbukti dapat mengurangi
captopril
luasnya infark, memperbaiki
● Nadi 120
fraksi ejeksi ventrikel kanan, dan
mengurangi kejadian blok AV
komplit, sehingga dapat
memperbaiki angka harapan
hidup serta kualitas hidup.
Sehingga pada infark inferior dan
RV yang terjadi kurang dari 12
jam, dianjurkan untuk dilakukan
trombolitik, alternatif pilihan
yang paling baik adalah
Percutaneous Coronary
Intervention (PCI) yang dapat
menghasilkan perbaikan
hemodinamik lebih cepat.
Coronary artery bypass graft
(CABG) perlu dipertimbangkan
terutama pada pasen dengan
multivesel disease dan/ atau left
main stenosi.

● Pertahankan beban awal

(preload) ventrikel kanan Pada


infark inferior akut disertai infark
RV dibutuhkan 1-2 liter normal
saline dalam 1 jam pertama, dan
kemudian 200 ml tiap jam
berikutnya.
2. Pada infark RV yang disertai
disfungsi ventrikel kiri, keadaan
akan semakin memburuk karena
terjadi peningkatan afterload dan
penurunan isi sekuncup RV. Pada
keadaan demikian, pemasangan
Intra-aortic balloon counter
pulsation (IABP) dan obat-obatan
vasodilator arterial (Natrium
Nitroprusid, Hydralazin) sering
dibutuhkan untuk “unload” ventrikel
kiri dan kemudian ventrikel kanan.
Disarankan kepada dokter untuk
menghilangkan terapi ISDN,
furosemide dan captopril.
3. Disarankan kepada dokter untuk
dihentikan terapi sirup pencahar
karena pasien tidak mengeluhkan
konstipasi, dan penggunaan sirup
pencahar biasanya dikarenakan efek
samping dari penggunaan morfin
(yang digunakan untuk
penanggulangan nyeri pada dada).
4. Disarankan kepada dokter untuk
diberikan obat antihipertensi ARB
seperti candesartan.
(ARB diindikasikan bagi pasien
infark mikoard yang intoleran
terhadap ACE inhibitor dan
mempunyai fraksi ejeksi ventrikel
kiri ≤40%, dengan atau tanpa gejala
klinis gagal jantung).
15/02/2010 Data Klinik:
● nyeri dada (+++)
● Nadi 110-120
● dada terasa panas

seperti tertusuk ke ● Suhu 37,5

belakang(+++) Data Lab:


● nyeri hilang timbul ● Leukosit 16.800
(+++)
● HCT 43,3

● K+ 3,4

● Ca2+ 7,1
● PH 7,53

● PCO2 26

● PO2 76

● Nadi 110 - 120

● Suhu 37,5

16/02/2010 Data Klinik:


● nyeri dada (+++)
● TD 80/65
● dada terasa panas

seperti tertusuk ke ● Nadi 130

belakang(+++)
● Suhu 38,3
● nyeri hilang timbul
Data Lab:
(+++)
● K+ 3,4

● Ca2+ 7,9

● TD 80/65

17/02/2010 Data Klinik:


● nyeri dada (+++)
● dada terasa panas ● TD 90/60

seperti tertusuk ke
● Nadi 130
belakang(+++)

● nyeri hilang timbul ● Suhu 37,6

(+++)
Data Lab:

● HCT 43

● Na+ 150

● K+ 3,36

● Suhu 37,6
E. PEMBAHASAN
Praktikum yang dilakukan kali ini yaitu Pharmaceutical Care Gangguan
Kardiovaskular. Penyakit kardiovaskular (CVD) merupakan kelainan yang
berhubungan dengan jantung dan sistem peredaran darah. Aterosklerosis
adalah penyebab utamanya. CVD bersifat kronis dan dapat tetap tersembunyi
untuk waktu yang lama. Dalam praktikum ini dilakukan DRPs dengan
metode SOAP, Drug Related Problem (DRP) atau masalah terkait obat adalah
bagian dari asuhan kefarmasian yang menggambarkan suatu keadaan, dimana
profesional kesehatan (apoteker) menilai adanya ketidaksesuaian pengobatan
dalam mencapai terapi yang sesungguhnya (Musdalipah & Nurhikma, 2017).
Dalam pengambilan keputusan secara sistematis, dibutuhkan empat langkah
proses yang dikenal dengan sebutan SOAP (Subjective, Objective, Assesment,
Planning).
Definisi SOAP dijelaskan oleh SNARS (Standart Nasional Akreditasi RS
Indonesia) yaitu, S (Subjective) adalah keluhan pasien saat ini yang
didapatkan dari anamnesa. O (Obejective) adalah hasil pemeriksaan fisik
termasuk pemeriksaan tanda-tanda vital, skala nyeri dan hasil pemeriksaan
penunjang pasien pada saat ini. A (Assesment) atau penilaian keadaan adalah
berisi diagnosis kerja, diagnosis diferensial yang didapatkan dari penilaian
subjektif dan obyektif. P (Plan) atau rencana asuhan adalah rencana terapi
(tindakan, diet, obat-obatan), rencana monitoring dan informasi atau
pengetahuan tentang apa yang boleh dilakukan dan yang perlu dihindari
(Chumairo, 2022).
Kasus dalam praktikum ini yaitu Ny. S dengan diagnose Infark Miokard
Akut Inferior dan Arterior Luas dengan keluhan nyeri dada, dada terasa
panas seperti tertusuk sampai ke belakang, nyeri hilang timbul. Dari hasil
laboratorium, leukosit pasien sangat tinggi disertai dengan demam, dari hal
tersebut menandakan adanya infeksi. Infark miokard akut (IMA)
didefinisikan sebagai nekrosis miokard yang disebabkan oleh tidak
adekuatnya pasokan darah akibat sumbatan akut arteri koroner. Sumbatan ini
sebagian besar disebabkan oleh ruptur plak ateroma pada arteri koroner, yang
kemudian diikuti oleh terjadinya trombosis, vasokonstriksi, reaksi inflamasi
dan mikroembolisasi distal. Meski jarang, sumbatan akut ini dapat pula
disebabkan oleh spasme arteri koroner, emboli atau vaskulitism (Perki, 2015).
Infark miokardium merupakam penyebab utama kematian pada orang
dewasa di seluruh dunia. Infark RV biasanya menyertai 30-50% infark
inferior dan 10% infark anterior LV. Seseorang dikatakan mengalami
serangan IMA, jika didapati 2 dari 3 kriteria berikut:
1. Nyeri dada khas infark.
Nyeri dada akibat IMA biasanya berlangsung lebih dari 20 menit,
retrosternal, bisa di tengah atau di dada kiri, menjalar ke rahang,
punggung atau lengan kiri. Rasa nyeri ini dapat digambarkan oleh pasen
sebagai rasa tertekan benda berat, diremas-remas, rasa terbakar atau
ditusuk-tusuk. Kadangkala rasa nyeri ini terasa di daerah epigastrium,
sehingga sering disalah interpretasikan sebagai dispepsia.
Keluhan nyeri dada seringkali diikuti keringat dingin, rasa mual dan
muntah, rasa lemas, pusing, rasa melayang, bahkan pingsan karena
rangsang parasimpatis. Jika gejala-gejala ini timbul tiba-tiba dengan
intensitas yang tinggi, kecurigaan terhadap IMA harus pikirkan. Pada
pasen yang sudah diketahui menderita penyakit jantung koroner,
peningkatan kualitas nyeri dada merupakan indikasi adanya plak ateroma
yang tidak stabil yang dapat memburuk menjadi IMA. Pada pasen DM,
usia lanjut, dan perempuan, keluhan mungkin tidak khas, seperti sesak
napas, nyeri ulu hati, mual, muntah dan nyeri dada atipikal.

2. Perubahan EKG
Perubahan EKG yang terjadi berupa perubahan segmen ST (baik
elevasi ataupun depresi) dengan cut off point > 0,2 mV pada infark
dinding anterior, septal dan lateral, atau > 0,1 mV pada infark dinding
inferior, posterior dan RV; minimal pada 2 lead yang berkaitan).

3. Kenaikan ensim jantung.


Kenaikan enzim jantung lebih dari nilai normal (CKMB > 2 kali
nilai normal; Troponin T > 0,1). Seseorang dikatakan mengalami STEMI
inferior jika pada elektrokardiografi didapat elevasi segmen ST > 0,1mV
minimal pada dua lead dari lead II, III dan aVF. Sedangkan infark RV
ditunjukkan oleh adanya elevasi segmen ST pada V3R dan/atau V4R > 1
mm1,5,6 disamping adanya pola QS atau QR > 0,04 detik pada lead V3R
dan/atau V4R (Perki, 2015).

American College of Cardiology/American Heart Association dan


European Society of Cardiology pada tahun 2004 mengeluarkan pedoman
tatalaksana infark akut dengan elevasi ST. 5 Khusus untuk infark inferior
dengan infark RV, anjurannya sebagai berikut:
1) Reperfusi Untuk infark inferior yang disertai infark RV, Terapi reperfusi
dini baik berupa pemberian Trombolitik/Fibrinolitik dan Percutaneous
Transluminal Coronary Angioplasty (PTCA) primer, terbukti dapat
mengurangi luasnya infark, memperbaiki fraksi ejeksi ventrikel kanan,
dan mengurangi kejadian blok AV komplit, sehingga dapat memperbaiki
angka harapan hidup serta kualitas hidup. Sehingga pada infark inferior
dan RV yang terjadi kurang dari 12 jam, dianjurkan untuk dilakukan
trombolitik, alternatif pilihan yang paling baik adalah Percutaneous
Coronary Intervention (PCI) yang dapat menghasilkan perbaikan
hemodinamik lebih cepat. Coronary artery bypass graft (CABG) perlu
dipertimbangkan terutama pada pasen dengan multivesel disease dan/
atau left main stenosis.
2) Sinkronisasi kontraksi atrium dan ventrikel dan mengatasi bradikardi
dengan menggunakan alat pacu jantung
3) Pertahankan beban awal (preload) ventrikel kanan Pada infark inferior
akut disertai infark RV dibutuhkan 1-2 liter normal saline dalam 1 jam
pertama, dan kemudian 200 ml tiap jam berikutnya. Sesuai hukum
Starling, curah jantung berbanding lurus dengan RVEDP. Pemantauan
hemodinamik secara seksama sangat diperlukan pada saat pemberian
cairan intravena ini. Pemantauan pemberian cairan ini sebaiknya
dilakukan dengan kateter arteri pulmonalis. Tujuannya adalah
meningkatkan tekanan atrium kanan (RAP) dan tekanan pulmonary
wedge (PCWP), sehingga diharapkan dapat memperbaiki curah jantung.
Pemakaian obat-obat opiad (morfin), nitrat, diuretik dan ACE inhibitor
harus dihindari, karena dapat menurunkan preload.
4) Kurangi beban akhir (afterload) ventrikel kanan yang disertai disfungsi
ventrikel kiri. Pada infark RV yang disertai disfungsi ventrikel kiri,
keadaan akan semakin memburuk karena terjadi peningkatan afterload
dan penurunan isi sekuncup RV. Pada keadaan demikian, pemasangan
Intra-aortic balloon counter pulsation (IABP) dan obat-obatan vasodilator
arterial (Natrium Nitroprusid, Hydralazin) sering dibutuhkan untuk
“unload” ventrikel kiri dan kemudian ventrikel kanan.
5) Pemberian inotropik Meskipun pemberian cairan merupakan langkah
pertama dalam tatalaksana hipotensi pada infark RV, inotropik khususnya
dobutamin harus segera diberikan jika curah jantung sama sekali tidak
mengalami perbaikan setelah pemberian cairan 0,5 sampai 1 liter.
Dobutamin dapat meningkatkan curah jantung, indeks isi sekuncup dan
fraksi ejeksi RV (Eko, 2007).

Dari kasus diatas, setelah ditelaah terapi obat dengan menggunakan


metode SOAP ditemukan beberapa permasalahan, diantaranya (Perki, 2015):
1) Pasien masuk UGD di tanggal 13 dengan diagnose Infark Miokard Akut
(IMA) Inferior dan Arterior Luas, di tanggal 13 pasien tidak diberikan
terapi apapun yang seharusnya sudah mendapatkan penatalaksanaan
terapi awal untuk Infark Miokard Akut. Terapi awal yang dimaksud
adalah morfin, oksigen, nitrat, aspirin clopidogrel/ticagrelor (disingkat
MONACO/MONATICA), yang tidak harus diberikan semua atau
bersamaan.
a) Tirah baring.
b) Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan
saturasi O2 arteri
c) Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak
diketahui intoleransinya terhadap aspirin. Aspirin tidak bersalut lebih
terpilih mengingat absorpsi sublingual (di bawah lidah) yang lebih
cepat.
d) Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate), dapat dipilih
satu di antara pilihan berikut:
 Ticagrelor: Dosis awal 180 mg per oral dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI
yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen
fibrinolitik.
 Clopidogrel: Dosis awal 300 mg per oral dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan
untuk terapi reperfusi menggunakan agen fibrinolitik,
penghambat reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel).
e) Nitrat tablet/spray sublingual bagi pasien dengan nyeri dada yang
masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat (Kelas I-C). Jika
nyeri dada tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang
setiap lima menit sampai maksimal tiga kali pemberian. Nitrat
intravena diberikan pada pasien yang tidak responsif dengan terapi
tiga dosis nitrat sublingual (kelas I-C). Nitrat tidak boleh diberikan
pada pasien hipotensi (tekanan darah sistolik <90 mm/Hg), laju
jantung <50x/menit.
f) Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit,
bagi pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG
sublingual.
2) Diketahui hasil laboratorium leukosit tinggi yaitu 13.200 di tanggal
13/02/2010 dan 16.800 di tanggal 15/02/2010, pasien juga mengalami
demam dan denyut nadi yang tinggi, hal tersebut menandakan pasien
mengalami infeksi endocarditis. Endokarditis infektif (EI) adalah
penyakit yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme pada permukaan
endokardium jantung. Infeksi paling banyak mengenai katup jantung
(baik katup asli maupun prostetik), namun dapat juga mengenai daerah
septum dan mural endokardium. Lesi khas berupa vegetasi yang terdiri
dari kumpulan platelet, fibrin, sel - sel inflamasi, dan bakteri
(Korespondensi & Alvenus Willim, 2020) , sementara dalam kasus ini
pasien baru diberi antibiotic di tanggal 16/02/2010 yang seharusnya
sudah diberi antibiotic di awal masuk UGD. Antibiotik yang tepat untuk
penanganan endocarditis meliputi: Ampisillin sulbactam i.v 1,5 gram
setiap 6 jam dengan kombinasi gentamisin i.v 4-6 mg/kgBB setiap 24
jam. Sementara pilihan kedua yaitu ceftriaxone i.v 2 gram setiap 24 jam
dikombinasi dengan gentamisin i.v 4-6 mg/kgBB setiap 24 jam. Lama
pemberian 4-6 minggu. Setelah ada hasil pemeriksaan mikrobiologi,
antibiotic diberikan sesuai dengan hasil kultur.

3) Pemakaian obat-obat opiad (morfin), nitrat, diuretik dan ACE inhibitor


harus dihindari, karena dapat menurunkan preload. Kurangi beban akhir
(afterload) ventrikel kanan yang disertai disfungsi ventrikel kiri. Pada
infark RV yang disertai disfungsi ventrikel kiri, keadaan akan semakin
memburuk karena terjadi peningkatan afterload dan penurunan isi
sekuncup RV. Pada keadaan demikian, pemasangan Intra-aortic balloon
counter pulsation (IABP) dan obat-obatan vasodilator arterial (Natrium
Nitroprusid, Hydralazin) sering dibutuhkan untuk “unload” ventrikel kiri
dan kemudian ventrikel kanan.
4) Pasien belum membutuhkan terapi pencahar karena pasien tidak
mengalami konstipasi, konstipasi dalam kasus infark miokard akut
biasnaya terjadi karena pemberian morfin, sedangkan dalam kasus ini
tidak ada terapi morfin.
5) Adanya Interaksi obat antara asetosal dengan captopril dan menyebabkan
nefrotoksisitas, sehingga disarankan kepada dokter untuk diberikan terapi
hipertensi yang lain seperti ARB

F. KESIMPULAN
ARB diindikasikan bagi pasien infark mikoard yang intoleran terhadap
ACE inhibitor dan mempunyai fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40%, dengan atau
tanpa gejala klinis gagal jantung.
1. Penggunaan antikoagulan pada pasien IMA
Pada pasien yang mengalami infark miokard akut, penting untuk
memperhatikan penggunaan antikoagulan guna mengurangi risiko
komplikasi. Dalam konteks ini, fondaparinux merupakan salah satu
pilihan antikoagulan yang dapat dipertimbangkan. Berdasarkan hasil dari
Studi OASIS-6, fondaparinux telah terbukti memberikan manfaat yang
signifikan pada pasien STEMI dengan mengurangi angka kematian tanpa
meningkatkan risiko perdarahan yang berat. Hal ini berbeda dengan agen
antikoagulan lainnya seperti plasebo atau heparin tidak terfraksinasi
(UFH).
Manfaat fondaparinux juga terlihat pada pasien yang menerima
trombolitik dengan tingkat perdarahan yang lebih rendah, serta pada
pasien yang tidak menjalani terapi reperfusi. Namun, fondaparinux tidak
menunjukkan manfaat pada pasien yang menjalani PCI primer. Dengan
demikian, data dari studi OASIS menunjukkan bahwa fondaparinux
dapat mempertahankan atau bahkan meningkatkan manfaat antikoagulan
konvensional sambil mengurangi risiko perdarahan (Turpie, 2006).
2. Penggunaan antiplatelet pada pasien IMA
Pada kasus ini, pasien diberikan obat antiplatelet klopidogrel dan
aspirin untuk mengatasi Infark Miokard Akut (IMA). Penggunaan kedua
obat ini telah didukung oleh beberapa penelitian yang menunjukkan
efektivitasnya. Salah satu studi yang menyoroti efektivitas klopidogrel
adalah Studi CURE, yang melibatkan 12.562 pasien dengan angina
pektoris tidak stabil atau IMA tanpa elevasi segmen ST. Pasien dalam
studi ini menerima dosis awal klopidogrel 300 mg diikuti dengan dosis
pemeliharaan 75 mg setiap hari, yang dikombinasikan dengan aspirin
selama periode pengobatan 3 hingga 12 bulan. Hasil dari studi ini
menunjukkan penurunan risiko kematian kardiovaskular, serangan
jantung, dan stroke sebesar 20% dibandingkan dengan pasien yang hanya
menerima aspirin.
Manfaat terapi ini terutama terlihat pada pasien yang segera
menjalani intervensi setelah IMA tanpa elevasi segmen ST (seperti yang
terlihat dalam studi PCI-CURE), di mana terjadi penurunan frekuensi
kematian kardiovaskular, serangan jantung, dan stroke sebesar 31%
dibandingkan dengan kelompok yang hanya menerima aspirin dan
plasebo. Oleh karena itu, hasil dari Studi CURE dan studi terkait lainnya
menegaskan bahwa penggunaan klopidogrel bersama aspirin dapat
memberikan manfaat yang signifikan pada pasien dengan IMA,
khususnya pada pasien yang menjalani intervensi yang cepat setelah
kejadian tersebut (Komosa et al., 2014).
3. Penggunaan antihipertensi pada pasien IMA
Dalam kasus ini, pasien menerima obat antihipertensi bisoprolol dan
captopril. Namun karena adanya interaksi antara captopril dan aspirin
yang mengakibatkan ketidakcocokan dalam pemberian bersama, maka
pengobatan captopril dihilangkan. Sejauh ini, beberapa penelitian klinis
telah mengungkapkan efek menguntungkan dari bisoprolol dalam
mengatasi risiko kardiovaskular, terutama pada pasien yang memiliki
risiko tinggi setelah operasi pembuluh darah jantung besar.
Oleh karena itu, bisoprolol dianggap sebagai pilihan yang aman dan
efektif untuk pasien dengan risiko kardiovaskular sedang. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pretreatment dengan bisoprolol dapat
membantu memperbaiki cedera iskemia/reperfusi pada miokardium
melalui penghambatan jalur pensinyalan UPR (unfolded protein
response) dan faktor intraseluler terkait stres. Temuan ini menegaskan
efek kardioprotektif bisoprolol dalam mengurangi kerusakan
miokardium. Meskipun demikian, studi klinis lebih lanjut mungkin
diperlukan untuk mengkonfirmasi manfaat bisoprolol dalam konteks ini
(Zhang et al., 2017).
DAFTAR PUSTAKA

Alexander, J. H., & Smith, P. K. (2016). Coronary-Artery Bypass Grafting. New England Journal
of Medicine, 374(20), 1954–1964. https://doi.org/10.1056/NEJMra1406944

Bob-Manuel, T., Ifedili, I., Reed, G., Ibebuogu, U. N., & Khouzam, R. N. (2017). Non-
ST Elevation Acute Coronary Syndromes: A Comprehensive Review. Current
Problems in Cardiology, 42(9), 266–305.
https://doi.org/10.1016/j.cpcardiol.2017.04.006

Borer, J. S. (2007). Angiotensin-converting enzyme inhibition: a landmark advance in


treatment for cardiovascular diseases. European Heart Journal Supplements,
9(suppl_E), E2–E9. https://doi.org/10.1093/eurheartj/sum037

Chumairo, Si. M. (2022). PEMBUATAN RANCANGAN OPTIMALISASI


PENULISAN REKAM MEDIS MENGGUNAKAN FORM SOAP
(SUBJECTIVE, OBJECTIVE, ASSESMENT, PLANNING) DI POLI GIGI RSD
KERTOSONO. Jurnal Pengabdian Nasional, 02(05), 28–37.

Eko, Antono. , dkk. (2007). Laporan Kasus Infark Miokard Ventrikel Kanan. Jurnal
Kardiologi Indonesia, 28.

Firdaus, A. A. A., Savitri, A. D., & Bistara, D. N. (2018). HUBUNGAN


PENINGKATAN NILAI KADAR CREATINE KINASE - MB MORTALITAS
PASIEN SINDROMA KORONER AKUT (SKA). The Indonesian Journal of
Health Science, 10(2), 26. https://doi.org/10.32528/ijhs.v10i2.1854

Ibanez, B., James, S., Agewall, S., Antunes, M. J., Bucciarelli-Ducci, C., Bueno, H.,
Caforio, A. L. P., Crea, F., Goudevenos, J. A., Halvorsen, S., Hindricks, G.,
Kastrati, A., Lenzen, M. J., Prescott, E., Roffi, M., Valgimigli, M., Varenhorst, C.,
Vranckx, P., Widimský, P., … Gale, C. P. (2018). 2017 ESC Guidelines for the
management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST-
segment elevation. European Heart Journal, 39(2), 119–177.
https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehx393

Kato, M., Kitada, S., Kawada, Y., Nakasuka, K., Kikuchi, S., Seo, Y., & Ohte, N.
(2020). Left Ventricular End-Systolic Volume Is a Reliable Predictor of New-
Onset Heart Failure with Preserved Left Ventricular Ejection Fraction. Cardiology
Research and Practice, 2020, 1–7. https://doi.org/10.1155/2020/3106012

Korespondensi, A., & Alvenus Willim, H. (2020). TINJAUAN PUSTAKA 407 CDK-
287/ vol. 47 no. 6 th. 2020 Endokarditis Infektif: Diagnosis, Tatalaksana, dan
Pencegahan.

Musdalipah, & Nurhikma, E. (2017). IDENTIFIKASI DRPs ( DRUG RELATED


PROBLEMs ) PENDERITA ISPA PASIEN PEDIATRIK DI INSTALASI. Warta
Farmasi, 6(1), 37–49.

Perki. (2015). PEDOMAN TATALAKSANA SINDROM KORONER AKUT EDISI


KETIGA.

Rathore, V. (2018). Risk Factors of Acute Myocardial Infarction: A Review. Eurasian


Journal of Medical Investigation. https://doi.org/10.14744/ejmi.2018.76486

Significance of antiplatelet therapy in emergency myocardial infarction treatment.


Postepy w Kardiologii Interwencyjnej, 10(1), 32–39.
https://doi.org/10.5114/pwki.2014.41466

Turpie, A. G. G. (2006). Fondaparinux in the management of patients with ST-


elevation acute myocardial infarction. Vascular Health and Risk Management,
2(4), 371–378. https://doi.org/10.2147/vhrm.2006.2.4.371

Zhang, C., He, S., Li, Y., Li, F., Liu, Z., Liu, J., & Gong, J. (2017). Bisoprolol protects
myocardium cells against ischemia/reperfusion injury by attenuating unfolded
protein response in rats. Scientific Reports, 7(1), 1–12.
https://doi.org/10.1038/s41598-017-12366-8

Anda mungkin juga menyukai