Anda di halaman 1dari 9

BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsumsi dan Gaya Hidup


Dalam sosiologi, konsumsi tidak hanya dipandang bukan sekedar
pemenuh kebutuhan yang bersifat fisik dan biologis manusia, tetapi berkaitan
dengan aspek-aspek social budaya. Konsumsi berhubungan dengan masalah
selera, identitas, atau gaya hidup. Menurut ekonom, selera sebagai suatau yang
stabil, difokuskan pada nilai guna., dibentuk secara individu, dan dipandang
sebagai suatau yang eksogen. Sedangkan menurut sosiolog, selera sebagai suatau
yang dapat berubah, difokuskan pada suatu kualitas simbolik suatau barang, dan
tergantung persepsi selera orang lain.
Weber ([1922 1978)] berpendapat bahwa selera merupakan pengikat
kelompok dalam (ingroup). Actor-aktor kolektif berkompetisi dalam penggunaan
barang-barang simbolik. Keberhasilan dalam berkompetisi ditandai dengan
kemampuan untuk memonopoli sumber budaya, sehingga akan meningkatkan
prestis dan solidaritas kelompok dalam.
Sedangkan Veblen ([1899] 1973) memandang selera sebagai senjata untuk
berkompetisi. Kompetisi tersebut berlangsung antar pribadi. Antara seorang
dengan orang lain. Hal ini tercermin dalam masyarakat modern yang menganggap
selera orang dalam mengkonsumsi suatu barang akan dapat melihat selera dasar
dan penghargaan yang didapat .
Konsumsi dapat dipandang sebagai bentuk identitas. Barang-barang
simbolik

juga

dapat

menunjukkan

kelompok

pergaulannya.

Simmel

([1907]1978:323) mengatakan bahwa ego akan runtuh dalam kehilangan


dimensinya jika ia tidak dikelilingi oleh objek eksternal yang menajdi ekspresi
dari kecenderungannya, kekuatannya dan cara individualnya karena mereka
mematuhinya, atau dengan kata lain miliknya. Sebagai contoh, seorang pejabat
yang meletakkan ensiklopedi dalam rak ruang tamu atau kantornya yang
menandakan bahwa ia mampu membeli barang yang harganya relative mahal

tersebut. Walau sebenarnya tidak pernah ia baca, sehingga dapat dikatakan hanya
sebagai pajangan semata.

B. Hubungan Konsumsi dan Gaya Hidup


Webber ([1922]1978) mengatakan bahwa konsumsi terhadap suatu barang
merupakan gambaran gaya hidup tertentu dari kelompok status tertentu. Konsumsi
terhadap barang merupakan landasan bagi penjenjangan dari kelompok status.
Sehingga situasi kelas ditentukan oleh ekonomi sedang situasi status ditentukan
oleh penghargaan social. Misalnya, pada masyarakat pedesaan, status guru dan
pedagang lebih tinggi guru walaupun pendapatannya lebih besar pedagang. Hal
ini dikarenakan guru mempunyai peluang yang besar untuk mencari peluang
tambahan. Sebagai contoh bekerja sampingan sebagai pedagang. Guru akan lebih
berhasil dari pada pedagan tulen karena masyarakat menganggap guru adalah
orang yang berpendidikan dan tidak mungkin berbuat curang. Sehingga orang
akan cenderung berbelanja pada guru. Atau pada masyarakat perkotaan, para
pengusaha berhak mendapat gelar bangsawan karena dia mampu memberi suatu
sumbangan pada keraton. Walau ada pihak yang lebih berhak mendapat gelar
tersebut.
Sedang menurut vablen ([1899] 1973), penghargaan social terhadap
masyarakat luas terletak pada keperkasaan, misalnya perang. Sedang pada
masyarakat industry terletak pada kepemilikan kesejahteraan seseorang. Juga pada
konsumsi yang dilakukan sebagai indikator dari gaya hidup kelompok status.
Han peter Mueller (1989), mengatakan ada 4 pendekatan dalam memahami gaya
hidup :
1.

Pendekatan psikolog perkembangan : tindakan seseorang tidak hanya


disebabkan oleh teknik, ekonomi dan politik, tetapi juga dikarenakan

2.

perubahan nilai.
Pendekatan kuantitatif social struktur : mengukur gaya hidup berdasarkan
konsumsi yang dilakukan seseorang. Pendekatan ini menggunakan sederet
daftar konsumsi yang mempunyai skala nilai.

3.

Pendekatan kualitatif dunia kehidupan : memandang gaya hidup sebagai

4.

lingkungan pergaulan.
Pendekatan kelas : mempunyai pandangan bahwa gaya hidup merupakan
rasa budaya yang direprodiksi bagi kepentingan struktur kelas.

C. Gaya Hidup dan Kelas Menengah Indonesia


Kelas menengah di Indonesia banyak dibicarakan karena dianggap sebagai
agen penggerak kedinamisan masyarakat atau secara pendekatan konflik, kelas
menengah adalah pendobrak kemapanan (politik dan ekonomi).
Aliran pemikiran
Dalam masyarakat, aliran pemikiran dikelompokkan dalam dua kutub,
yakni arus pemikiran abangan dan arus pemikiran santri. Kedua arus pemikiran ini
dapat ditaraik sebagai suatu gais kontinum, dimana pada satu sudut merupakan
sumber arus pemikiran abangan sedangkan sudut lain merupakan sumber
pemikiran santri.
arus pemikiran abangan

arus pemikiran santri

Gambar : dikotomi aliran pemikiran di Indonesia


Perbedaan antara kedua arus tersebut berakar pada penghayatan tentang
nilai-nilai yang terkandung dalam agama serta pengalamannya dalam kehidupan
sehari-hari. Misalnya dalam pemikiran santri, cara berbusana harus berdasarkan
ketentuan agama, yakni menutup aurat. Tapi dalam pemikiran abanangan, boleh
memakai rok mini karena dalam etika yang mereka anut tidak melarang hal
demikian. Perbedaan yang demikian juga menorah pada kanvas sejarah politik
Indonesia, yakni ketika pada orde lama terdapat partai Masyumi sebagai
pemikiran santri dan Partai Nasional Indonesia sebagai arus pemikiran abangan.
Heterogenitas Kelas Menengah Atas
Dua arus pemikiran yang memberi warna pada kanvas kelas atas
masyarakat Indonesia juga turut memberikan warna pada kanvas kelas menengah
Indonesia. Dengan dasar pemikiran tersebut, kita dapat mengklasifikasikan kelas

menengah Indonesia atas : (1) kelas menengah abangan; (2) kelas menengah
santri.

kelas atas
kelas menengah
kelas bawah
arus pemikiran santri

arus pemikiran abangan

Gambar : Struktur kelas dan arus pemikiran dalam gaya hidup manusia
Indonesia
Dengan demikian setiap lapisan kelas mempunyai arus pemikiran yang
berbeda. Inilah penyebab mengapa kelas menengah Indonesia tidak mampu
menjadi agen pembaharu. Struktur kelas Indonesia terpotong oleh nilai-nilai yang
diwarisi secara sejarah semenjak sebelum pergerakan kemerdekaan. Dalam
persaingan untuk memperebutkan dan memperjuangkan kepentingan maka arus
pemikiran yang ada dapat mengkristal menjadi kelompok-kelompok strategis.
Kelas menengah abangan diperkirakan lahir pada dekade 1970-an.
Kemunculan kelas menengah abangan dirangsang oleh menguatnya arus ekonomi
Jepang ke Indonesia dan kemapanan kekuasaan (politik dan ekonomi pada
kelompok tertentu). Hal ini ditandai dengan terjadinya demonstrasi besar-besaran
yang digerakan oleh mahasiswa terutama Universitas Indonesia, yang diarahkan
pada dominasi ekonomi Jepang pada perekonomian Indonesia dengan perusakan
sesuatu yang berhubungan dengan Jepang, misalnya pembakaran mobil-mobil
buatan Jepang.
Sedangkan kelas menengah santri diperkirakan lahir satu dekade setelah
kelahiran kelas menengah abangan yaitu sekitar 1980-an. Kelahirannya ditandai
dengan kemunculan studi-studi keagamaan di kampus-kampus elit di Indonesia.
Kemunculan

studi

keagamaan

tersebut

merupakan

reaksi

terhadap

ketidakmampuan gaya hidup modern untuk mengakomodasikan permasalahan


kehidupan masyarakat seperti hak-hak asasi manusia, bank penyelamat semu

keuangan, dan seterusnya. Perbedaan keduanya adalah demonstrasi disertai


perusakan oleh kelas menengah abangan dan demonstrasi damai oleh kelas
menengah santri.
Gaya Hidup Kelas Menengah Indonesia
Kelas menengah abangan mengikuti arus perkembangan gaya hidup yang
ditawarkan melalui proses globalisasi, yaitu gaya hidup barat (Gerke, 1994).
Mereka mengikuti perkembangan mode yang ditawarkan oleh perusahaan garmen
internasional seperti kaos berlengan buatan Hammer atau Benelton, menikmati
fast-food, misalnya seperti di restoran Mc Donald, di Pizza Hut, dan di Burger
King.
Sedangkan kelas menengah santri mengikuti arus perkembangan gaya
hidup yang mereka ciptakan sendiri yang dilandaskan pada nila-nilai keagamaan
yang mereka anut. Mereka mengikuti perkembangan jilbab yang ditawarkan oleh
Ida Royani atau rumah mode Ummi Collection, mengadakan liburan dengan
melakukan kegiatan umrah ke Mekkah atau kegiatan shalat tarawih di Masjidil
Haram Mekkah dan Masjid Nabawiah di Madinah, serta memakan makanan yang
berlabel halal misal di restoran padang atau masakan nasional lainnya.
Jika kelas menengah abangan lebih suka meramaikan pasar swalayan dan
menonton bioskop maka kelas menengah santri lebih suka menghadiri pengajian
agama dari rumah ke rumah atau di masjid. Jika kelas menengah abangan lebih
suka menikmati bunga yang ditamankan pada bank umum maka kelas menengah
santri lebih suka menikmati hasil kerja sama dengan bank Islam, meskipun hasil
yang diperoleh lebih kecil dari bunga yang didapat jika ditabung pada bank-bank
umum.
Konsumsi Simbolik
Tidak semua anggota kelas menengah mampu mengkonsumsi barangbarang simbol kelas menengah secara nyata. Dengan kata lain mereka
mengkonsumsi barang-barang simbol kelas menengah secara tidak langsung pada
barang yang dimaksud tetapi melalui makna dari barang yang disimbolkan.
Contohnya konsumsi simbol yang dilakukan kelas menengah abangan, orang-

orang muda mengabiskan waktunya untuk duduk sambil makan di Mc Donalds


atau Burger King. Dirumah mereka berjejer miniatur patung Liberty, Merlion
yang semuanya menunjuk pada suatu tempat yang jauh dimana banyak orang
yang ingin datang ke sana.
Hal yang sama juga dialami oleh kelas menengah santri, misalnya dalam
rumah mereka pada ruang tamunya ditempel gambar Kabah atau Masjid
Nabawiah Madinah walaupun mereka belum pernah berkunjung ke sana. Atau
mereka memakai songkok putih yang lazim dipakai oleh para haji Indonesia
sebagai pengenal telah menunaikan ibadah haji ke Mekkah, padahal mereka
belum pernah melakukannya di sana.
Dampak Ekonomi dari Gaya Hidup
Produsen yang berhasil adalah produsen yang mengetahui dan mengikuti
perkembangan selera dari konsumen. Perkembangan kelas menengah santri telah
pula

menyebabkan

menjamurnya

rumah-rumah

mode

yang

khusus

memperlihatkan busana muslim dan muslimah seperti Ida Royani serta


menjamurnya jumlah penerbit seperti Gema Insani Press dan Salahuddin.
Konsekuensinya dari hal tersebut adalah berkembangnya toko-toko yang khusus
menjual produk-produk yang berhubungan dengan (simbol-simbol) keagamaan.
Selain itu, munculnya tawaran-tawaran baru berumrah ke Mekkah atau berziarah
ke tempat yang ada hubungannya dengan sejarah Islam. Semua itu dapat
dipandang sebagai dampak ekonomi dari perkembangan gaya hidup dari kelas
menengah santri Indonesia.
Sedangkan dampak ekonomi dari perkembangan gaya hidup dari kelas
menengah abangan adalah muncul dan membesarnya kelompok perusahaan pasar
swalayan seperti Matahari, Borobudur dan lainnya, dimana tidak hanya menjual
barang-barang yang diproduksi untuk konsumsi dalam negeri tetapi juga
menyajikan barang yang berkualitas ekspor. Kemudian banyak muncul bioskop
twenty-one, pesatnya perkembangan media massa yang melakukan spesialisasi
dan ekspansi pasar seperti Gramedia. Lajunya pertumbuhan dan perkembangan
bank-bank swasta seperti BCA dan Danamon. Suburnya pertumbuhan pusat-pusat
kesegaran jasmani yang menawarkan sejumlah aktivitas fisik yang dapat

mempercantik dan memperindah tubuh seperti senam dengan berbagai macam


jenisnya mulai dari tradisional sampai modern. Gerakan mempercantik tubuh ini
berkembang seiring dengan arus informasi yang digulirkan lewat media
komunikasi yang berskala internasional dan nasional, dimana menggiring
peminatnya pada suatu opini tentang apa itu cantik, indah, molek, anggun dan
lainnya.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN
Konsumsi berhubungan dengan masalah selera, identitas dan gaya hidup.
Konsumsi dapat membentuk identitas seseorang dari barang-barang simbolis yang
ia konsumsi. Hubungan antara konsumsi dan gaya hidup terbentuk ketika kita
melihat seseorang dalam mengkonsumsi suatu barang maka akan terlihat
bagaimana gaya hidup mereka. Selain itu konsumsi dapat juga dijadikan acuan
dalam penjenjangan suatu kelas social.
Kenyataan yang terjadi di Indonesia adalah bahwa penggerak kedinamisan
dalam masyarakat adalah kelas menengah. Ketika kita menbedakan masyarakat
kelas menengah dalam dua bagaian, yakni abangan dan santri, maka akan terlihat
jelas bagaimana konsumsi dan gaya hidup yang terjadi pada dua kelompok
tersebut. Mereka lebih suka berpegangan pada keyakinan masing-masing.
Sehingga baik konsumsi dan gaya hidup kaum santri maupun abangan, masingmasing dari mereka telah berperan dalam perkembangan perekonomian nasional,
walaupun dengan keyakinan dan pilihan sendiri-sendiri.

KONSUMSI DAN GAYA HIDUP

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Ekonomi
Dosen pengampu : Dr. Zaini Rohmad M.Pd

Disusun oleh :

M. Dafiq Akbar

K8410035

Setiyorini

K8410053

Siti Solekhah

K8410055

PENDIDIKAN SOSIOLOGI - ANTROPOLOGI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012

Anda mungkin juga menyukai