Anda di halaman 1dari 7

1

Mengenal Model Valuasi DCF (Discounted Cash Flow)


Posted on April 19, 2014 by mokosays
Discounted Cash Flow adalah metode perhitungan nilai wajar yang di hitung
berdasarkan konsep bahwa nilai suatu bisnis berasal dari jumlah cash flow (arus
uang) yang di dapat selama masa hidup bisnis tersebut dan di diskontokan
kembali terhadap ke nilai uang sekarang. DCF juga merupakan salah satu model
valuasi yang paling populer dikalangan investor.
Model valuasi DCF sangat cocok bila dipakai untuk menghitung nilai wajar suatu
perusahaan yang pemasukan laba/cash flow-nya stabil, sehingga kestabilan
pemasukan

dan

pertumbuhannya

menjadi

lebih

bisa

diprediksi

(baca:

diperhitungkan).
Berdasarkan definisi Discounted Cash Flow yang telah kita bahas diatas, model
valuasi DCF bisa di hitung dengan logika di bawah ini:
1. Tentukan cash flow (CF) awal
Cash flow sekarang. Besaran cash flow bisa di temukan di laporan keuangan
(LK). Ada beberapa pilihan yang bisa digunakan, bisa menggunakan FCF (Free
Cash Flow = Operating Cash Flow Capital expenditures), OCF (Operating Cash
Flow), ataupun Net Income. Yang lebih populer adalah menggunakan FCF. Namun
saya sendiri lebih suka menggunakan net income untuk perusahaan dalam bisnis
finansial, dan OCF untuk jenis perusahaan bisnis lainnya.
2. Menghitung future value per tahun selama masa hidup bisnis
Biasanya saya menggunakan jangka waktu 10 tahun untuk perhitungan DCF.
Future Value per tahun selama beberapa tahun kedepan dapat di hitung dengan
cara:

Dimana,
Cash flow year 0: Cash flow awal
n: Tahun ke-n. n mulai dari 1 sampai n-max. n-max adalah jumlah tahun bisnis
bisa bertahan (jadi kalau asumsinya bisa bertahan 10 tahun maka, n=1~10)

Growth rate: Rata-rata pertumbuhan cash flow per tahun selama n tahun
Future value at year n: Nilai cash flow pada tahun ke-n
3. Menghitung present value dari setiap future value yang telah di hitung di
step#2

Dimana,
n: Tahun ke-n. n mulai dari 1 sampai n-max. n-max adalah jumlah tahun bisnis
bisa bertahan (jadi kalau asumsinya bisa bertahan 10 tahun maka, n=1~10)
Future value at year n: Future value (nilai uang di masa depan) untuk cash flow
di tahun pada tahun ke-n
Discount rate: Nilai pengembalian modal (return) yang anda harapkan bisa
didapat dalam jangka panjang. Biasanya merupakan risk free rate seperti
goverment bond rate (suku bunga surat utang negara). Saya menggunakan
return 10 yr goverment bond + 2%. Untuk 10 yr government bond bisa
dilihat disini.
Present value from year n: Present value (nilai uang sekarang) dari cash flow
tahun ke-n
4. Menghitung jumlah total dari semua present value yang di hitung di step#3

Dimana,
PV#1: Present value tahun ke 1
PV#2: Present value tahun ke 2
PV#n: Present value tahun ke n
CF Present value (PV): Total present value dari seluruh cash flow yang bisa di
hasilkan suatu bisnis selama masa hidupnya
2

5. Menghitung nilai wajar


Bila anda ingin menghitung nilai wajar per lembar saham, maka bisa di hitung
dengan:

Book value: nilai aset yang diterima investor apabila aset perusahaan dilikuidasi.
Biar gampang, biasanya hanya saya menggunakan total equity yang ada dalam
laporan keuangan.
CF Present value (PV): Total present value dari seluruh cash flow yang bisa di
hasilkan suatu bisnis selama masa hidupnya.
Nilai wajar: nilai keseluruhan suatu bisnis
Kemudian nilai wajar per lembar saham, maka bisa di hitung dengan:

Saya tidak memasukkan perhitungan nilai wajar per lembar saham ke dalam 5
step diatas dengan tujuan untuk membiasakan diri melihat perusahaan sebagai
satu kesatuan bukan sebagai lembaran saham. Latihan kebiasaan ini sebenarnya
terinspirasi

dari

salah

satu

lecture

Li

Lu

di

Columbia

University

(video dantranskrip) , yang selalu melihat nilai bisnis secara keseluruhan bukan
per lembar saham.
Dengan kelima logika diatas perhitungan DCF sebetulnya tidak perlu dihafal.
Dengan demikian kita baru bisa lebih mengenal/mengerti bagaimana sifat dari
model valuasi ini.
Sebagai contoh perhitungan DCF, saya akan menggunakan laporan keuangan
tahunan

(LKT)

PT.

Betonjaya

Manunggal

(LKT_Aset1,LKT_Aset2, LKT_Income, LKT_Cashflow)


nilai wajarnya.

Tbk
dan

(BTON)
mencoba

tahun

2013

menghitung

Demikianlah pembahasan mengenai discounted cash flow (DCF). Semoga


model valuasi DCF ini berguna dalam analisa portofolio investasi anda.
Sampai jumpa dalam artikel berikutnya.

Discounted Cash Flow


4

5
Discounted Cash Flow atau biasa disingkat DCF adalah salah satu metode untuk
menghitung prospek pertumbuhan suatu instrumen investasi dalam beberapa
waktu ke depan. Konsep DCF ini didasarkan pada pemikiran bahwa jika anda
menginvestasikan sejumlah dana, maka dana tersebut akan tumbuh sebesar
sekian persen atau mungkin sekian kali lipat setelah beberapa waktu tertentu.
Disebut discounted cash flow atau arus kas yang terdiskon, karena cara
menghitungnya adalah dengan meng-estimasi arus dana dimasa mendatang
untuk kemudian di-cut dan menghasilkan nilai dana tersebut pada masa kini.
Biasanya, seorang investor ingin mengetahui bahwa jika dia menginvestasikan
sejumlah dana pada satu instrumen investasi tertentu, maka setelah kurun
waktu tertentu (misalnya setahun), dana tersebut akan tumbuh menjadi berapa.
Untuk menghitungnya, maka digunakanlah DCF. Okay, kita langsung aja ke
contohnya.
Misalnya anda punya duit sebesar Rp100 juta yang akan anda investasikan pada
suatu usaha, katakanlah toko baju, dimana toko tersebut berdasarkan historisnya
mampu mencetak pertumbuhan modal (yang dihasilkan dari peningkatan saldo
laba) sebesar 50% per tahun. Dengan asumsi di tahun berikutnya toko baju
tersebut akan kembali mencetak pertumbuhan 50%, maka dana anda akan
tumbuh 50% menjadi 1.5 kali lipat dalam setahun, alias Rp150 juta. Bagaimana
kalau setelah tiga tahun? Maka kenaikan sebesar 1.5 kali lipat per tahun tadi
dipangkatkan tiga (1.5 x 1.5 x 1.5 = 3.37), kemudian dikali dana awal yaitu
Rp100 juta, sehingga hasilnya adalah Rp337 juta.
Dengan demikian, jika anda menempatkan modal sebesar Rp100 juta pada
sebuah toko baju yang menawarkan prospek pertumbuhan sebesar 50% per
tahun, maka setelah tiga tahun, modal anda akan tumbuh menjadi Rp337 juta,
atau 3.37 kali lipat.
Pada perkembangannya, ada juga investor yang ingin mengetahui bahwa jika dia
mengharapkan dana sebesar Rp500 juta dalam tiga tahun, maka dia harus setor
modal berapa ke toko baju tadi. Kalau gitu maka perhitungannya tinggal dibalik
aja, yaitu: Rp500 juta dibagi 3.37, dan hasilnya adalah Rp148 juta. Maka si
investor tersebut harus menyetor modal Rp148 juta, agar dananya tumbuh
menjadi Rp500 juta dalam tiga tahun.
Konsep DCF inilah yang menyebabkan valuasi saham-saham di seluruh bursa
saham di dunia, termasuk BEI, menjadi mahal, dimana PBV 2 kali untuk sebuah
perusahaan yang kinerjanya bagus dan prospeknya cerah, sudah dianggap
cukup murah. Padahal kalau pakai perhitungan kasar, PBV 2 kali itu kan artinya
anda harus membeli saham pada harga senilai dua kali lipat dari nilai riil
perusahaannya. Simpelnya, anda harus membayar Rp200 juta untuk
memperoleh barang senilai tak lebih dari Rp100 juta. Lho?
Untungnya, barang yang dimaksud disini yaitu modal bersih (equity)
perusahaan, nilainya akan terus meningkat di masa mendatang, sesuai dengan
pertumbuhan saldo labanya. Dan mengingat pertumbuhan perusahaan bersifat
eksponensial (2 x 2 x 2 dan seterusnya) dan bukannya kumulatif (2 + 2 + 2 dan
5

6
seterusnya), maka meskipun anda membelinya pada harga dua kali lipat, tapi
dalam beberapa tahun berikutnya nilai barang tersebut mungkin akan sudah
lebih besar dari modal yang anda keluarkan.

Misalnya, PT Antah Berantah mencatat modal bersih 100 milyar. Anda lalu
membeli 0.1% sahamnya senilai Rp200 juta (PBV-nya dua kali). Mengingat
perusahaan mencatat pertumbuhan modal rata-rata 30% per tahun, maka
terdapat peluang bahwa perusahaan akan mencatat modal Rp100 milyar + 30%
= Rp130 milyar di tahun depan. Dan di tahun berikutnya lagi, laba bersih
tersebut akan naik lagi menjadi Rp130 milyar + 30% = Rp169 milyar, dan
seterusnya. Dengan asumsi bahwa pertumbuhan laba bersih sebesar 30% per
tahun tersebut dicapai secara konsisten, maka dalam lima tahun, PT Antah
Berantah akan memiliki modal sebesar Rp371 milyar. Alhasil dengan modal
Rp200 juta, anda akan memperoleh barang senilai Rp370 milyar (Rp371 milyar
dikali 0.1%) dalam lima tahun, alias kenaikannya mencapai hampir dua kali lipat.
Dan kenaikan tersebut akan tercermin pada kenaikan harga saham yang anda
pegang. Selain itu, ingat bahwa PBV saham yang anda pegang akan tetap
berada di level 2 kali, sehingga kalau ada orang yang mau membeli saham yang
anda pegang, maka dia harus membayar Rp740 juta, bukan lagi Rp200 juta
seperti ketika anda membelinya lima tahun sebelumnya.
Jadi disini, kita bisa katakan bahwa saham PT Antah Berantah memang layak
dihargai pada harga dua kali lipat (PBV-nya dua kali) dari nilainya saat ini, karena
ternyata dalam lima tahun berikutnya, modal perusahaan mampu berkembang
dari Rp100 milyar menjadi Rp371 milyar, atau sudah lebih besar dari modal yang
dikeluarkan si investor ketika membeli sahamnya (Rp370 juta berbanding Rp200
juta).
Pada prakteknya, di BEI terdapat cukup banyak perusahaan yang mampu
mencatat pertumbuhan modal dengan lebih cepat, bisa mencapai 50% atau
bahkan 100% per tahun. Belum lagi jika perusahaan tersebut meng-akselerasi
pertumbuhannya dengan aksi korporasi tertentu, misalnya akuisisi. Alhasil, dana
anda bisa berkembang lebih cepat, dan anda mungkin tidak perlu menunggu
sampai lima tahun untuk melihat harga saham anda naik dua kali lipat. Faktanya,
di BEI sendiri terdapat cukup banyak saham yang harganya naik dua hingga tiga
kali lipat hanya dalam setahun, dimana kenaikan tersebut memang selaras
dengan kenaikan modalnya, sehingga PBV-nya pun tidak ikut naik melainkan
tetap. Inilah saham-saham yang secara fundamental sangat layak untuk
dikoleksi, apalagi jika PBV-nya wajar (dikisaran 2 atau maksimal 3 kali).
Dari uraian diatas, maka kita bisa menyimpulkan bahwa DCF akan dapat dihitung
jika kita bisa memperkirakan berapa persen kira-kira pertumbuhan modal
perusahaan dimasa yang akan datang. Mengingat pertumbuhan modal (yang
wajar) sepenuhnya ditopang oleh penambahan saldo laba, maka anda harus
menghitung jumlah saldo laba yang ditambahkan tersebut. Dan karena saldo
laba itu sendiri berasal dari perolehan laba bersih dikurangi dividen yang
dibagikan kepada investor, maka anda harus mengetahui berapa laba bersih dan
6

7
pertumbuhannya, dan berapa dividen yang dibayarkan setiap tahunnya. Karena
pertumbuhan laba bersih juga dipengaruhi oleh pertumbuhan modal, maka anda
harus mengetahui pertumbuhan modal (Lho kok?). Jadi ngitungnya muter-muter
aja terus dan alhasil, perhitungan DCF ini menjadi rumit dan memerlukan banyak
asumsi yang harus dipenuhi terkait saldo laba, laba bersih, dividen, dan
seterusnya, agar hasilnya akurat.
Dalam aplikasinya, DCF jauh lebih rumit lagi ketimbang contoh diatas. Selain
DCF diskrit seperti yang dicontohkan diatas, ada juga DCF berkelanjutan, DCF
yang menggunakan pendekatan FTE, APV, hingga WACC. Pusing? Sama penulis
juga.. Sekali lagi mengingat bahwa perhitungan DCF ini memerlukan banyak
asumsi yang harus dipenuhi agar hasilnya akurat, maka secanggih apapun
rumus DCF yang dipakai, hasilnya tetap akan menjadi percuma kalau asumsiasumsi tersebut tidak terpenuhi. Makanya penulis jarang menggunakannya.
Sebenarnya, anda bisa menyederhanakan DCF ini dengan menggunakan dua
ukuran utama dalam analisis fundamental, yaitu Return on Equity (ROE), dan
pertumbuhan laba bersih, selain tentunya PBV tadi. Jadi pertama-tama, lihat
ROE-nya. Perusahaan yang bagus adalah yang ROE-nya diatas 20%, syukursyukur 30%. ROE ini penting, sebab menunjukkan seberapa besar laba bersih
dapat meningkatkan modal (dengan catatan laba bersih ini tidak digunakan
seluruhnya untuk dividen). Setelah itu, lihat net profit growth-nya. Idealnya juga
diatas 20%. Kalau anda berorientasi pada investasi jangka panjang, maka lihat
juga rata-rata pertumbuhan laba bersih dalam jangka panjang, katakanlah 5
tahun (dikenal sebagai CAGR, singkatan dari compound annual growth rate).
Mengingat modal akan tumbuh jika saldo labanya tumbuh, maka pertumbuhan
laba bersih ini akan mewakili pertumbuhan modal bersih tersebut.

Kesimpulannya jika sebuah saham mencatat ROE 30%, dan CAGR 20%, maka
prospek pertumbuhannya tentu lebih baik ketimbang saham yang ROE samasama 30%, tapi CAGR-nya cuma 10%, atau saham yang CAGR-nya 50%, tapi
ROE-nya cuma 10%. Prospek yang dimaksud disini memang hanya dihasilkan
dari number crunching dari data-data historis, dalam artian tetap akan terdapat
beberapa asumsi yang harus dipenuhi. Paling tidak terdapat asumsi bahwa ROE
dan CAGR yang bagus tersebut akan terus berlanjut dimasa mendatang.
Makanya, PBV tadi tetap penting untuk diperhatikan. Sebagus apapun rasio-rasio
fundamental sebuah saham, sebaiknya tetap usahakan untuk membelinya pada
harga riil (harga berdasarkan kondisi barangnya saat ini, bukan saat yang akan
datang) yang murah, misalnya kalau bisa pada PBV 1 kali saja (setiap beberapa
waktu tertentu, ada saja saham-saham murah seperti ini). Kalau memang saham
yang anda beli pada harga murah tersebut laba riil-nya memang tumbuh dan
ROE-nya juga nggak jelek-jelek amat (dan tentu saja, sahamnya likuid), maka
cepat atau lambat harganya akan naik juga lho, trust me.

Anda mungkin juga menyukai