Anda di halaman 1dari 6

Equity Valuation (1)

bangliman.wordpress.com /2016/04/16/equity-valuation-1/

April 16, 2016


By bangliman

Artikel ini merupakan kelanjutan dari artikel sebelumnya Equity Investment Overview. Beberapa istilah:

Market value: yaitu harga saham di bursa saham.


Intrinsic value atau fundamental value: yaitu harga saham yang dianggap wajar oleh anda sebagai
investor.

Misalnya, berdasarkan analisa anda, nilai intrinsik dari saham MoonBaks seharusnya $45, tetapi market price
dari saham MoonBaks saat ini ternyata $40, maka menurut anda suatu saat harga saham MoonBaks ini pasti
akan naik kembali ke nilai wajarnya menjadi $45, maka anda sebagai investor merasa harga $40 saat ini murah,
dan kemudian anda beli.

Undervalued artinya intrinsic value > market value.


Fairly valued artinya intrinsic value = market value.
Overvalued artinya intrinsic value < market value.

Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan apabila market value lebih kecil dari intrinsic value:

Berapa besar selisihnya dalam persentase.


Contoh: market value = $100, intrinsic value = $100.1, artinya selisihnya adalah 0.1%. Jadi tidak make
sense untuk membeli saham tersebut meskipun saat ini market price nya sedang undervalued, karena
selisihnya hanya 0.1%, sementara transaksi pembelian saham akan ada fee transaksi beli dan jual.
Kepercayaan terhadap model analisa: yaitu seberapa yakin investor terhadap metode analisa yang
digunakan atas saham tersebut.
Sensitivity dari model analisa yang digunakan terhadap asumsi: misalnya di dalam analisanya seorang
investor menggunakan beberapa asumsi seperti growth rate, future dividends, apakah asumsi tersebut
terlalu over optimistic atau tidak.
Jumlah analysts: Apabila ada banyak analysts yang tracking stock tersebut, artinya kemungkinan stock ini
tidak efisien di market sehingga ada gap antara market value dengan intrinsic value, artinya ada
kesempatan untuk masuk investasi ke dalam stock tersebut.
Apakah market price tersebut benar-benar akan bergerak ke intrinsic value nya?

Equity Valuation Model

1. Discounted Cash Flow Model (DCF)

Yaitu mendiskon future cash flow untuk mendapatkan present value nya . Lebih detail mengenai present value
anda dapat refer ke artikel mengenai Time Value of Money.

Sub category dari DCF ini ada 2, yaitu:

Dividend Discount Model: Cocok untuk analisa saham perusahaan yang rajin membagikan deviden.
Free Cash Flow to Equity (FCFE): Cocok untuk analisa saham perusahaan yang jarang membagikan
dividend, atau pembagian dividendnya susah diprediksi. Sehingga pendekatan yang digunakan adalah
memprediksi free cash flow perusahaan, kemudian mencari present value dari FCF tersebut.

2. Multiplier Model

Yaitu model valuasi saham dengan menggunakan rasio-rasio, seperti yang sudah sering kita dengar diantaranya
1/6
Price to Earning Ratio (PER) ratio, atau Price/Earning to Growth (PEG) ratio, dan lain sebagainya.
Menggunakan ratio tersebut dengan mencari nilai standard dari ratio tersebut pada industry tertentu, dan
kemudian membandingkannya dengan ratio saham perusahaan tertentu untuk evaluasi kewajaran atau
kelayakan saham tersebut untuk dibeli atau dijual.

3. Asset Based Model

Menggunakan estimasi market fair value dari asset dan hutang perusahaan. Sehingga didapatkan fair value dari
equity yaitu = fair value asset – fair value liability. Model ini cocok untuk perusahaan yang tidak memiliki banyak
intangible assets dan memiliki current asset dan current liabilities yang tinggi. Valuasi dengan asset based model
dilakukan dengan menggunakan angka di balance sheet, tetapi pada hampir semua perusahaan, nilai di
balance sheet berbeda dengan fair value di market, dan market fair value sulit untuk ditentukan.

Perusahaan yang memiliki sejumlah assets yang nilainya sulit untuk ditentukan misalnya fair value dari PP&E,
nilai dari intangible assets, merupakan kendala dalam menggunakan asset based valuation model.

Dividend Discount Model (DDM)

Ide dasar dari DDM adalah nilai saham dapat diukur dari nilai dividend yang dibagikan oleh perusahaan tersebut
saat ini dan masa depan. Atau dengan kata lain nilai wajar saham sebuah perusahaan adalah sama dengan
future cash flow yang akan dihasilkan oleh perusahaan kepada investors, kemudian di discount dengan
menggunakan discount rate yang sesuai. V = D / r atau V = D1 /(1 + r) + D2 / (1 + r)^2 + dst.

1. Constant dividend (preferred share).


Misalnya si A memiliki selembar saham preferred share yang rutin membagikan dividend $10 setiap
tahun. Misalkan required rate of return atau cost of equity adalah 10%, sehingga discount rate yang
digunakan untuk mencari present value dari preferred share ini adalah 10%. Maka didapat harga wajar
saham tersebut adalah V = D / re = $10 / 10% = $100. Untuk lebih detail mengenai perhitungan cost of
equity, anda dapat refer ke artikel berikut Cost of Capital, bagian CAPM.
Atau kalau dibalik, si A sebagai investor mengharapkan return 10%, dan perusahaan penerbit saham
akan rutin memberikan dividend $10 setiap tahun, maka harga wajar yang dibayarkan oleh si A adalah
$100 (yaitu didapat dari $10 / 10%), karena dengan membayar $100, dia mendapatkan return 10% setiap
tahun, yaitu $10.
2. Constant growth.
Contoh di atas tidak mempertimbangkan growth perusahaan, tetapi praktisnya perusahaan seharusnya
bertumbuh dari waktu ke waktu. Di mana growth rate bisa didapat dari ROE x retention ratio. Retention
ratio yaitu persentase net income perusahaan yang diinvestasikan kembali ke bisnis perusahaan, di
mana sisanya dibagikan sebagai dividend kepada shareholders. Misalkan dari total net income
perusahaan, 40% dibagikan dalam bentuk cash dividend, maka retention ratio adalah 0.6 atau 60%
diinvestasikan kembali untuk bisnis perusahaan. Misalkan ROE adalah 20%, maka growth rate
perusahaan tersebut adalah 20% x 0.6 = 12%.
Dengan mempertimbangkan growth rate, maka nilai wajar perusahaan dengan DDM adalah V =
Dividend per share / (discount rate – growth rate). Artinya, semakin tinggi growth rate, maka nilai
penyebut akan semakin kecil, sehingga nilai present value atau nilai wajar saham akan semakin besar.
Contoh:
PT. Buana Diesel akan membagikan dividend sebesar $10 pada saat t = 0, kemudian asumsi perusahaan
bertumbuh 2% setahun, sehingga pada saat t = 1, perusahaan membagikan dividend $10 x 1.02 = $10.2.
Menurut estimasi perusahaan bertumbuh konstan 2% selama 3 tahun ke depan. Asumsi discount rate =
10%, maka:

Dengan keadaan dan estimasi tersebut, maka nilai wajar PT. Buana Diesel pada saat t = 3 adalah
2/6
Present Value di t = 3 yaitu:
PV(t3) = Dividend(t3) + Dividend(t4) / (r – g)
PV(t3) = 10.61 + (10.61 x 1.02) / (10% – 2%)
PV(t3) = $145.91
Kemudian berikutnya, untuk mendapatkan nilai wajar saham saat ini atau pada saat t = 0:
PV(t0) = (10.2/1.1) + (10.4/1.1^2) + (145.91/1.1^3) = $127.5.
Jadi, dengan estimasi dividend dan pertumbuhan perusahaan, maka nilai wajar saham PT. Buana Diesel
pada saat ini adalah $127.5. Apabila harga pasar di bawah harga wajar, artinya saham tersebut sedang
undervalued dan layak untuk dibeli.
Perhitungan yang dijabarkan di atas merupakan perhitungan manual, sementara untuk menghitung harga
wajar saham yang bertumbuh dengan growth rate secara konstan, kita juga dapat menggunakan formula
Gordon Growth Model yaitu V = D / (r – g), dari contoh di atas:
Dividend $10 dan bertumbuh konstan 2% sehingga D = 1.02
Maka, V = 1.02 / (10% – 2%) = 127.5 (hasilnya sama dengan perhitungan manual di atas).
3. Supernormal Growth
Misalnya ternyata PT. Buana Diesel pertumbuhannya adalah 20% selama 3 tahun pertama, tetapi
kemudian di tahun ke 4 dan seterusnya adalah 2%:

Apabila keadaannya demikian, maka perhitungannya tidak dapat menggunakan Gordon Model, tetapi cari
terlebih dahulu nilai wajar pada t = 3:
PV(t3) = 17.28 + (17.28 x 1.02) / (10% – 2%) = $237.6
Baru kemudian cari nilai wajar pada t = 0:
PV(t0) = 12/1.1 + 14.4/1.1^2 + 237.6/1.1^3 = $201.32.

Beberapa permasalahan dengan DDM:

Discount rate yang cocok untuk digunakan ketika melakukan forecast misalnya 10 tahun ke depan.
Dikarenakan risk free rate dan nilai beta dapat berubah dari waktu ke waktu, sehingga penggunaan
misalnya 10Y government bond rate belum tentu cocok.
Multi stage growth, misalkan pada saat estimasi sekarang ini perusahaan growth 5% 3 tahun ke depan,
kemudian 4% 2 tahun ke depan, dan 3% di 2 tahun berikutnya. Semua ini hanya lah asumsi, karena
meskipun perusahaan grow dari sisi ROE, belum tentu manajemen membagikan dividen kepada
shareholders.
Masalah perusahaan dengan growth rate yang tinggi. Apabila growth rate lebih besar daripada discount
rate, maka r – g akan menghasilkan nilai negatif. Sehingga metode ini tidak bisa digunakan untuk valuasi
saham perusahaan yang growth nya gila-gilaan.
Tidak bisa digunakan untuk valuasi perusahaan yang pembagian dividend nya tidak menentu atau susah
diprediksi, sehingga future cash flow nya susah di estimasi.

Free Cash Flow to Equity (FCFE)

Model FCFE digunakan apabila pembagian dividend suatu perusahaan susah untuk diprediksi, sehingga future
cash flow dari perusahaan tersebut sulit untuk di estimasi, maka kita menggunakan free cash flow to equity dari
perusahaan tersebut, kemudian menggunakan FCFE tersebut untuk mencari nilai present value nya sebagai
asumsi harga wajar saham suatu perusahaan. Free cash flow to equity yaitu sejumlah uang cash yang tersedia
bagi shareholders (equity holder atau pemegang saham).

FCFE = Net Income + Depreciation – ∆working capital – Fixed capital investment (capex) – debt
repayment + new debt

3/6
atau

FCFE = CFO – Fixed capital investment + nett borrowing

Pada persamaan di atas, depresiasi ditambahkan kembali karena depresiasi merupakan non cash expenses.

Setelah mendapatkan FCFE setiap periode misalnya untuk beberapa tahun ke depan, kemudian dapat dicari
present value nya untuk mencari nilai wajar saham suatu perusahaan. Seandainya pertumbuhan perusahaan
tersebut adalah konstan, maka dapat digunakan formula Present Value = FCFE / (r – g), di mana r adalah
investor expected return atau cost of equity dan g adalah growth, yaitu g = ROE x retention ratio.

Price to Earning Ratio (PER)

PER = Harga saham per lembar / Earning Per Share

Contoh: Harga saham = $50, EPS = $5, maka PER = 50/5 = 10 -> artinya adalah saham tersebut
diperdagangkan dengan harga 10 kali dari earning perusahaan tersebut, artinya investor rela membayar $10
untuk perusahaan yang menghasilkan earning hanya $1.

Apabila di dalam perhitungan PER menggunakan nilai EPS 12 bulan terakhir, misalnya $5 di atas adalah nilai
EPS 12 bulan terakhir, maka nilai PER 10x disebut dengan historical PER atau trailing PER.

Sementara apabila menggunakan nilai EPS dengan asumsi misalnya 12 bulan ke depan nilai EPS akan menjadi
$10 sehingga nilai PER adalah 50/10 = 5, nilai PER 5x ini disebut dengan forward PER atau leading PER.

Perusahaan kecil yang bertumbuh cenderung memiliki kurva PER yang menurun dari tahun ke tahun, karena
perusahaan tersebut bertumbuh sehingga EPS nya naik dari tahun ke tahun, sementara harga saham di bursa
stagnan karena tidak dianggap atau tidak di tracking oleh analysts atau investors. (Meskipun hal seperti ini tidak
selalu terjadi)

Ratio lain yang sering digunakan diantaranya:

Price to Book Value (PBV) = Harga per lembar / BV per lembar


Price per Sales = Harga per lembar / Revenue per lembar
Price per Cash Flow = Harga per lembar / Cash flow per lembar

Contoh cara penggunaan rasio PER:

Misalkan PER dari industry perkebunan misalnya 5. Ada saham misalnya kodenya TANI dan misalkan EPS =
$7.
PER = harga saham / EPS, maka harga saham = PER x EPS. Jadi harga wajar saham TANI adalah = 5 x 7 =
$35. Jadi apabila seandainya harga saham TANI berada di atas $35, artinya harganya sedang overvalued atau
kemahalan. Tetapi seandainya harga di market saat ini di bawah $35, artinya sedang undervalued.

Contoh lain misalkan PER industry adalah 5, PER saham TANI adalah 6, artinya adalah saham TANI
diperdagangkan dengan harga 6 kali dari earning nya, sementara saham lain di industry yang sama hanya
diperdagangkan dengan harga 5 kali dari earningnya, artinya saham TANI kemahalan.

Justified PER

PV = D / (r – g)
Apabila kita bagi harga saham PV dengan E’ di mana E’ adalah forecasted EPS (forward ratio), maka didapat:
P/E’ atau PER’ = D / E’ / (r – g)
D / EPS’ adalah payout ratio, yaitu jumlah dividen yang dibagikan ke shareholder dibandingkan terhadap jumlah
net income per lembar saham, tetapi EPS di sini adalah EPS yang di estimasi.
PER’ = Pay out ratio / (r – g)
Misalkan pay out ratio di estimasi = 60%, cost of equity 12%, dan growth rate 2%, maka:
PER’ = 60% / (12% – 2%) = 60% / 10% = 6.
4/6
Nilai PER 6x ini disebut justified PE. Karena PER 6x ini dihitung menggunakan estimasi dividend yang
dibagikan, cost of equity, growth rate, dan estimasi EPS. Apabila perhitungan justified PER kita adalah 6,
sementara di market ternyata PER saham tersebut adalah 5, berarti stock tersebut sedang undervalued.

Dividend Displacement of Earning

Artinya adalah kenaikan dividend tidak membuat justified PER menjadi naik, karena:
PER’ = pay out ratio / (r – g)
pay out ratio = D / EPS
g = ROE x (1 – pay out ratio)
Apabila dividend naik, pay out ratio akan naik, seharusnya PER’ akan naik.
Tetapi di sisi g, ketika pay out ratio naik, nilai growth akan semakin kecil (jadi apabila penghasilan perusahaan
dibagikan kepada shareholders dan hanya sedikit yang di investasikan kembali ke bisnis, maka tentunya
pertumbuhannya akan lebih lambat, contoh misalkan sebuah perusahaan dengan ROE 20% setahun, modal
awal 100, return 20, oleh karena pay out ratio adalah 100%, maka seluruh return dibagikan ke shareholder,
sehingga growth nya adalah 20% x (1 – 1) = 0). Apabila pay out ratio naik, growth akan menjadi kecil, dan
apabila growth menjadi kecil, nilai r – g akan menjadi besar, jadi meskipun pay out ratio naik, nilai growth turun
meng offset kenaikan pay out ratio, sehingga tidak membuat PER menjadi naik, jadi pembagian dividend tidak
serta merta membuat justified PER naik.

Law of One Price

Misalkan terdapat 3 unit bangku yaitu A, B, dan C. Harga bangku A = $20. Oleh karena spesifikasinya adalah
sama persis semuanya, maka seharusnya bangku B dan C juga berharga $20.

Dalam konteks valuasi saham, ini bukan berarti misalnya terdapat 3 perusahaan berbeda di industry yang sama,
maka mereka harus memiliki harga yang sama. Karena masing-masing perusahaan pasti memiliki karakteristik
yang berbeda-beda.

Tetapi law of one price ini maksudnya adalah P/E perusahaan seharusnya sama apabila mereka memiliki
karakteristik yang sama, misalnya:

EPS PT. A = 10
EPS PT. B = 20
EPS PT. C = 30

Asumsi harga sahamnya:


PT. A = 100
PT. B = 200
PT. C = 240

Maka, dari data di atas didapat nilai PER:


PT. A = 10
PT. B = 10
PT. C = 8

Maka dapat dibilang PT. C sedang undervalued oleh market, karena dengan earning dia segitu, di industry yang
sama dengan PT. A dan PT. B, seharusnya dia dihargai lebih.

Perbandingan model DCF, Multiplier, Asset-Based

Secara teori metode DCF model adalah yang paling tepat untuk estimasi nilai intrinsic suatu asset atau
investasi, karena value dari suatu asset atau investasi harus sama dengan nilai Present Value dari estimasi cash
flow asset/investasi tersebut. Tetapi permasalahannya adalah penggunaan asumsi pada saat perhitungan
menyebabkan GIGO (Garbage In Garbage Out), alias kalau inputnya ngaco maka output perhitunganya juga
ngaco.

5/6
Model multiplier mudah untuk diimplementasikan dan dimengerti karena menggunakan rasio-rasio yang
sederhana. Permasalahannya adalah ketika melakukan perbandingan antara perusahaan yang satu dengan
yang lain, meskipun di industry yang sama, kemungkinan masing-masing perusahaan menggunakan strategy
yang berbeda atau bermain di segment yang berbeda, sehingga kadangkala perlu dilakukan sedikit adjustment.
Selain itu, model multiplier sensitive terhadap metode akunting perusahaan, perusahaan yang berbeda di
industry yang sama, kemungkinan menggunakan metode pencatatan lapkeu yang berbeda, sehingga perlu
dilakukan adjustment. Kemudian, kekurangan yang lain dari model ini adalah ada kemungkinan rasio tertentu
menghasilkan nilai negative misalnya ketika perusahaan sedang merugi maka PER akan menjadi negatif
sehingga tidak bisa digunakan untuk membandingkan.

Advertisements

6/6

Anda mungkin juga menyukai