Anda di halaman 1dari 68

A.

Manajemen Persediaan
1. Konsep Persediaan
Dalam melaksanakan aktivitas produksinya, setiap perusahaan baik jasa
maupun manufaktur pasti akan memerlukan persediaan. Tanpa persediaan,
perusahaan akan dihadapkan pada resiko besar yaitu tidak terpenuhinya
permintaan produk pada waktu yang diinginkan, tetapi sebaliknya jika
perusahaan memiliki persediaan yang berlebih maka akan menimbulkan biaya
penyimpanan.
Persediaan merupakan stock yang dibutuhkan perusahaan untuk mengatasi
adanya fluktuasi permintaan. Persediaan dalam proses produksi dapat diartikan
sebagai sumber daya menganggur, hal ini dikarenakan sumber daya tersebut
masih menunggu dan belum digunakan pada proses berikutnya. Proses
berikutnya yang dimaksud dapat berupa kegiatan produksi pada sistem
menufaktur, kegiatan pemasaran pada sistem distribusi dan juga kegiatan
konsumsi pada sistem kebutuhan rumah tangga. Persediaan dalam suatu sistem
mempunyai suatu tujuan tertentu, hal ini dikarenakan adanya sumber daya
tertentu yang tidak dapat didatangkan ketika sumber daya tersebut dibutuhkan.
Oleh karena itu, untuk menjamin tersedianya sumber daya maka perlu
direncanakan adanya persediaan. Berdasarkan hal tersebut maka defenisi
persediaan adalah sejumlah sumber daya baik berbentuk bahan mentah ataupun
barang jadi yang disediakan perusahaan untuk memenuhi permintaan dari
konsumen.

Berdasarkan bentuk fisiknya. Persediaan dapat dibedakan menjadi beberapa jenis,


yakni:

a. Persediaan bahan mentah (raw material) yaitu persediaan barang berwujud,


seperti besi, kayu, serta komponen-komponen lain yang digunakan dalam
proses produksi;
b. Persediaan komponen-komponen rakitan (purchased parts/ componen), yaitu
persediaan barang-barang yang terdiri dari komponen-komponen yang
diperoleh dari perusahaan lain secara langsung dapat dirakit menjadi suatu
produk;
c. Persediaan bahan pembantu atau penolong (supplies), yaitu persediaan
barang-barang yang diperlukan dalam proses produksi, tetapi bukan
merupakan bagian atau komponen barang jadi;
d. Persediaan dalam proses (work in process), yaitu persediaan barang-barang
yang merupakan keluaran dari tiap-tiap bagian dalam proses produksi atau
telah diolah menjadi suatu bentuk, tetapi masih perlu diproses lebih lanjut
menjadi barang jadi;
e. Persediaan barang jadi (finished goods), yaitu persediaan barang-barang yang
telah selesai diproses atau diolah dalam pabrik dan siap dijual atau dikirim
kepada pelanggan.

(Sumber: Fuad Ath Hary, Perencanaa Persediaan Bahan Baku Kayu Gelondongan
dengan Metode Silver Meal. 2011)

2. Penyebab dan Fungsi Persediaan


Penyebab persediaan adalah sebagai berikut:
a. Mekanisme pemenuhan atas permintaan (transaction motive). Permintaan
akan suatu barang tidak akan dapat dipenuhi dengan segera apabila barang
tersebut tidak tersedia sebelumnya, karena untuk mengadakan barang tersebut
diperlukan waktu untuk pembuatannya maupun untuk mendatangkannya. Hal
ini berarti bahwa adanya persediaan merupakan hal yang sulit dihindari
b. Adanya keinginan untuk meredam ketidakpastian (precautionary motive).
Ketidakpastian yang dimaksud adalah:
1) Adanya permintaan yang bervariasi dan tidak pasti dalam jumlah maupun
waktu kedatangan.
2) Waktu pembuatan yang cenderung tidak konstan antara satu produk dengan
produk yang lain.
3) Waktu ancang-ancang (lead time) yang cenderung tidak pasti karena
berbagai faktor yang tidak dapat dikendalikan sepeenuhnya
4) Ketidakpastian ini akan diredam oleh jenis persediaan yang disebut
persediaan pengaman (safety stock). Persediaan pengaman ini digunakan
jika permintaan melebihi peramalan produksi lebih rendah dari rencana
atau waktu ancang-ancang (lead time) lebih panjang dari yang diperkirakan
semula.
c. Keinginan melakukan spekulasi (speculative motive) yang bertujuan
mendapatkan keuntungan besar dari kenaikan harga baran di masa mendatang.

Sedangkan fungsi persediaan adalah sebagai berikut (Rangkuti (2004 : 15))


a. Fungsi Decoupling
Adalah persediaan yang memungkinkan perusahaan dapat memenuhi
permintaan pelanggan tanpa tergantung pada supplier. Persediaan barang
mentah diadakan agar perusahaan tidak akan sepenuhnya tergantung pada
pengadaannya dalam hal kuantitas dan waktu pengiriman. Persediaan barang
dalam proses diadakan agar departemen-departemen dan proses-proses
individual perusahaan terjaga kebebasannya. Persediaan barang jadi
diperlukan untuk memenuhi permintaan produk yang tidak pasti dari para
pelanggan. Persediaan yang diadakan untuk menghadapi fluktuasi permintaan
konsumen yang tidak dapat diperkirakan atau diramalkan disebut fluctuation
stock.

b. Fungsi Economic Lot Sizing


Persediaan lot size ini perlu mempertimbangkan penghematan atau potongan
pembelian, biaya pengangkutan per unit menjadi lebih murah dan sebagainya.
Hal ini disebabkan perusahaan melakukan pembelian dalam kuantitas yang
lebih besar dibandingkan biayabiaya yang timbul karena besarnya persediaan
(biaya sewa gudang, investasi, risiko, dan sebagainya).

c. Fungsi Antisipasi
Apabila

perusahaan

menghadapi

fluktuasi

permintaan

yang

dapat

diperkirakan dan diramalkan berdasar pengalaman atau data-data masa lalu,


yaitu permintaan musiman. Dalam hal ini perusahaan dapat mengadakan
persediaan musiman (seasional inventories). Di samping itu perusahaan juga
sering menghadapi ketidakpastian jangka waktu pengiriman dan permintaan
barang-barang selama periode tertentu. Dalam hal ini perusahaan memerlukan
persediaan ekstra yang disebut persediaan pengaman (safety stock /
inventories).
Dengan uraian di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa fungsi utama
persediaan adalah menjamin kelancaran mekanisme pemenuhan permintaan
barang sesuai dengan kebutuhan konsumen sehingga sistem yang dikelola dapat
mencapai kinerja (performance) yang optimal. Adapun tujuan adanya persediaan
yaitu:
a. Menghilanglan risiko keterlambatan datangnya barang atau bahan-bahan yang
dibutuhkan perusahaan
b. Menghilangkan risiko kegagalan/kerusakan material yang dipesan sehingga
harus dikembalikan.
c. Untuk menyimpan bahan-bahan yang dihasilkan secara musiman sehingga
dapat digunakan bila bahan tersebut tidak ada di pasar.
d. Menjamin kelancaran proses produksi perusahaan
e. Menjamin penggunaan mesin secara optimal

f. Memberikan jaminan akan ketersediaan produk jadi kepada konsumen


g. Dapat melaksanakan produksi sesuai keinginan tanpa menunggu adanya
dampak/risiko penjualan.
(Sumber: Diana Khairani Sofyan, Perencanaan dan Pengendalian Produksi. 2013)
3. Sistem Persediaan
Dalam melakukan persediaan harus diketahui bagaimana sistem
perrsediaan yang seharusnya digunakan perusahaan. Sistem persediaan
digolongkan pada dua sistem yaitu:
a. Sistem sederhana yaitu sistem persediaan yang dilihat berdasarkan masukan
(input) dan keluaran (output) produksi sesuai Gambar 2.1 berikut:
Permintaan

Masukan
(input)

PERSEDIAAN

Keluaran
(output)

Gambar 3.1 Sistem persediaan berdasarkan input dan output


Berdasarkan gambar 2.1 dapat diketahui bahwa persediaan dipengaruhi
oleh input dan output serta permintaan konsumen akan produk yang
diinginkan. Input merupakan masukan pada sistem produksi perusahaan yang
berupa material atau bahan yang masuk ke dalam sistem persediaan sepeerti
bahan baku, peralatan, bahan tambahan dan sebagainya. Apabila persediaan

mengalami kekurangan maka kondisi ini disebut dengan out of stock atau
stockout.
Sedangkan output merupakan suatu keluaran material dari sistem
persediaan yang dipengaruhi oleh kebutuhan akan material atau bahan yang
berasal dari input. Contoh keluaran (output) adalah produk jadi atau produk
setengah jadi. Input dan output pada sistem persediaan tidak terlepas dari
permintaan dari permintaan konsumen, makin besar permintaan maka makin
besar input dan output yang dikeluarkan perusahaan. Apabila hal ini tidak
terpenuhi maka hasilnya menunjukkan kegagalan perusahaan dalam
memenuhi kenginan konsumen akan permintaan produk tersebut.

b. Sistem berjenjang (multi echelon inventory system)


Pada sistem persediaan berjenjang meenggambarkan sistem persediaan
yang saling berkait dengan beberapa fasilitas yang mempengaruhi sistem
produksi perusahaan. Fasilitas yang dimaksud contohnya adalah gudang,
mulai dari persediaan bahan baku di gudang pusat, kemudian di salurkan ke
gudang wilayah dan terakhir ke gudang perusahaan seperti terlihat pada
Gambar 3.2

Turn Out
Perusahaan

Repaired

Komponen

Gudang
Pembelian

Gambar 3.2 Mekanisme sistem persediaan di perusahaan


(Sumber: Diana Khairani Sofyan, Perencanaan dan Pengendalian Produksi. 2013)

4. Safety Stock
Dalam mengatasi variasi acak, khususnya dalam permintaan dan lead time,
maka diperlukaan suatu sistem persediaan pengaman (safety stock = SS) yang
akan mengurangi risiko kehabisan persediaan. Semakin besar tingkat safety
stock-nya maka kemungkinan kehabisan persediaan semakin kecil, tetapi
akibatnya adalah biaya holding safety stock-nya semakin besar sehingga tujuan
yang ingin dicapai adalah mmencari keseimbangan antara holding cost tambahan
karena adanya safety stock dan perkiraan biaya kehabisan persediaan. Tingkat
optimal dari safety stock adalah bila biaya total persediaannya minimum.
Dalam perhitungan ROP dibutuhkan safety stock yaitu persediaan
pengaman untuk mengetahui berapa besar persediaan yang dibutuhkan selama

masa tenggang dalam memenuhi besarnya permintaan. Ada tiga komponen yang
menjadi pertimbangan dalam menentukan safety stock, yaitu:
a. Variasi permintaan. Sangat jarang sekali kita menemukan kasus dimana
permintaan itu stabil apalagi sama setiap bulannya, selalu ada variasi
permintaan. Logikanya semakin tinggi variasi permintaan dari waktu ke
waktu, maka peluang untuk menjadi stock out (kekurangan persediaan saat
ada permintaan) akan semakin besar. Oleh karena itu, faktor variasi
permintaan ini pun harus berbanding lurus dengan safety stock yang kita
butuhkan.
b. Lead Time. Ada berbagai macam lead time mulai dari lead time produksi, lead
time transportasi, dan lead time yang lain tergantung termnologi tiap-tiap
perusahaan. Yang jelas, sejak suatu produk dipesan hingga diantar kepada
yang memesan, waktu yang dibutuhkannya juga bervariasi. Seperti halnya
variasi permintaan, maka semakin besar lead time-nya maka harus semakin
besar safety stock yang kita butuhkan.
c. Service level. Karena sulitnya memperkirakan biaya kehabisan persediaan
secara tepat, maka biasanya manajemen menentukan ukuran safety stock
berdasarkan tingkat ppelayanan (service level) yang harus diberikan kepada
konsumen. Setiap perusahaan perlu menetapkan berapa service level yang
diberikan kepada pelanggannya. Secara sederhana, kalau ada 100 permintaan,
berapa banyak yang dapat ditolerir untuk tidak terpenuhi? Jika hanya 5, maka
service level adalah 95%, idealnya adalah 100%, tetapi itu berarti perusahaan

harus menyediakan safety stock yang sangat besar. Karena safety stock adalah
inventory, maka uang yang tertanampun harus diperhatikan.
Untuk menentukan besarnya safety stock, dapat dipakai cara yang relatif lebih
teliti yaitu dengan metode sebagai berikut (Rangkuty, 2007):
SS = (d)
Keterangan:
SS = Safety Stock
Z
= Service Level
d
= Standar Deviasi dari tingkat kebutuhan
= Lead Time

(Sumber: Diana Khairani Sofyan, Perencanaan dan Pengendalian Produksi. 2013)

5. Reorder Point
Reorder Point adalah saat atau titik dimana harus diadakan lagi pemesanan
sedemikian rupa sehingga penerimaan atau kedatangan material tapat pada waktu
dimana persediaan sama dengan nol. Faktor-faktor yang harus diperhatikan
dalam penetuan reorder point adalah:
a. Penggunaan material selama tenggang waktu mendapatkan barang yaitu
waktu dimana meliputi usaha-usaha untuk memesan barang atau material
hingga diterima dan ditempatkan di dalam gudang.
b. Besarnya safety stock yaitu jumlah persediaan pengaman yang harus ada
untuk menjamin kelangsungan proses produksi

Dari kedua faktor di atas, maka reorder point dapat dicari dengan rumus berikut
ini :
Reorder Point = (LD x AU) + SS

Keterangan:
LD
= Lead Time
AU
= Average Usage = Pemakaian rata-rata
SS
= Safety Stock

(Sumber: Diana Khairani Sofyan, Perencanaan dan Pengendalian Produksi. 2013)

6. Istilah-istilah Biaya dalam Persedian


Ada beberapa biaya dalam sistem persediaan yang harus diketahui oleh
perusahaan, diantaranya adalah:
a. Biaya pembelian (purchasing cost) yaitu biaya yang digunakan untuk membeli
barang. Jumlah barang yang dibeli dan harga satuan barang tersebut akan
sangat berpengaruh pada biaya pembelian. Dalam hal ini biaya pembelian
lebih bersifat variabel karena tergantung pada jumlah barang yang dipesan.
Sehingga biasa disebut unit variabel cost atau purchasing cost. Biaya
pembelian merupakan faktor penting ketika harga barang yang dibeli
tergantung pada ukuran atau jumlah pembelian. Situasi ini diistilahkan dengan
quantity discount di mana harga barang per unit akan turun bila jumlah barang

yang dibeli dalam jumlah besar. Dalam banyak teori persediaan, seringkali
komponen biaya pembelian ini tidak dimasukkan ke dalam biaya persediaan
karena diasumsikan komponen biaya pembelian untuk suatu periode tertentu
(misalnya satu tahun) dianggap konstan dan hal ini tidak akan mempengaruhi
jawaban optimal tentang berapa banyaknya barang yang harus dipesan.
b. Biaya pengadaan barang (procurement cost), yaitu biaya pengadaan
kebutuhan akan barang yang dibedakan atas dua jenis biaya sesuai dengan asal
barang, yaitu biaya pemesanan (ordering cost) bila barang yang dibutuhkan
didapatkan dari pihak luar dan biaya pembuatan (setup cost) bila barang yang
dibutuhkan dengan cara membuat sendiri.
1) Biaya pemesanan (ordering cost) merupakan seluruh pengeluaran yang
timbul untuk mendatangkan barang dari luar. Biaya ini meliputi biaya
untuk menentukan supplier, pembuatan pesanan, penggiriman pesanan,
biaya pengangkutan, biaya penerimaan dan sebagainya. Biaya ini
diasumsikan konstan setiap kali pesan.
2) Biaya pembuatan (setup cost) merupakan keseluruhan pengeluaran yang
timbul dalam mempersiapkan produksi suatu barang. Biaya ini timbul di
dalam perusahaan yang meliputi biaya penyusunan peralatan produksi,
menyetel mesin, penyusunan barang di gudang dan sebagainya.
Karena kedua biaya tersebut mempunyai peranan yang sama yaitu sebagai
pengadaan maka di dalam sistem persediaan biaya tersebut sering disebut
biaya pengadaan (procurement cost)

c. Biaya penyimpanan (holding cost/carrying cost) yaitu semua pengeluaran


yang timbul akibat penyimpanan barang. Biaya penyimpanan terdiri atas
biaya-biaya yang bervariasi secara langsung dengan kuantitas persediaan.
Biaya penyimpanan per periode akan semakin besar apabila kuantitas barang
yang dipesan semakin banyak atau rata-rata persediaan semakin tinggi. Biayabiaya yang termasuk sebagai biaya penyimpanan antara lain:
1) Biaya modal yaitu biaya yang timbul karena adanya penumpukan barang
di gudang yang berarti penumpukan modal kerja, dimana modal
perusahaan mempunyai ongkos yang dapat diukur dengan suku bunga
bank. Sehingga biaya yang timbul karena memiliki persediaan harus
diperhitungkan dalam biaya sistem persediaan. Biaya ini sering diukur
sebagai persentase nilai persediaan untuk periode waktu tertentu.
2) Biaya kerusakan dan penyusutan yaitu biaya yang ditimbulkan akibat
adanya kerusakan atau penyusutan barang karena beratnya atau jumlahnya
berkurang sehingga akan mengakibatkan adanya biaya tambahan dalam
sistem persediaan. Biaya kerusakan atau penyusutan biasanya diukur dari
pengalaman sesuai dengan persentasenya.
3) Biaya guudang yaitu biaya yang ditimbulkan akibat adanya persediaan di
gudang. Barang yang disimpan memerlukan tempat penyimpanan sehingga
timbul biaya gudang. Bila gudang dan peralatannya disewa maka biaya
gudang merupakan biaya sewa, sedangkan bila perusahaan mempunyai

gudang sendiri, maka biaya gudang merupakan biaya penyusutan maupun


biaya perawatan barang.
4) Biaya admisnistrasi dan pemindahan yaitu biaya yang dikeluarkan untuk
administrasi persediaan barang yang ada, baik pada saat pemasaran,
penerimaan barang, penyimpanan dan biaya untuk memindahkan barang
termasuk didalamnya adalah upah buruh dan biaya pengendalian peralatan.
5) Biaya asuransi yaitu biaya yang ditimbulkan untuk menjamin kodisi
barang. Barang yang disimpan seringkali diasuransikan oleh perusahaan
untuk menjaga hal-hal yang tidak diingikan seperti kebakaran. Besarnya
biaya asuransi ini tergantung dari jenis barang yang diasuransikan dan
perjanjiannya dengan perusahaan asuransi.
6) Biaya kadaluarsa (obsolence) yaitu biaya yang ditimbulkan akibat
kerusakan/penurunan nilai barang. Perubahan teknologi dan model seperti
barang-barang

elektronik

sangat

cepat

berkembang

dan

dapat

mempengaruhi penurunan nilai jual barang tersebut.


d. Biaya kekurangan persediaan (shortage cost) yaitu biaya yang timbul apabila
ada permintaan terhadap barang yang kebetulan tidak tersedia di gudang
(stock out). Untuk barang-barang tertentu, pelanggan dapat diminta menunda
pembeliannya atau dengan kata lain pelanggan diminta untuk menunggu.
Dalam hal ini shortage cost yang timbul adalah biaya ekstra untuk membuat
lagi barang yang dipesan. Dalam hal ini prooses produksi akan terganggu dan
akan menimbulkan kerugian karena perusahaan kehilangan kesempatan untuk

mendapatkan keuntungan atau akan kehilangan pelanggan karena konsumen


akan beralih pada para pesaing. Biaya-biaya yang termasuk dalam biaya
kekurangan persediaan diantaranya adalah:
1) Biaya kehilangan penjualan, dimana ketika perusahaan tidak mampu
memenuhi suatu pesanan, maka ada nilai penjualan yang hilang bagi
perusahaan.
2) Biaya kehilangan konsumen, pelanggan yang merasa kebutuhannya tidak
dapat dipenuhi perusahaan maka akan beralih ke perusahaan lain yang
mampu memenuhi kebutuhan mereka.
3) Biaya pemesanan khusus, agar perusahaan mampu memenuhi kebutuhan
akan suatu item/part produk, perusahaan melakukan pemesanan khusus
agar item/part produk yang diinginkan tersebut diterima tepat waktu
sehingga dalam hal ini dibutuhkan pemesanan khusus tentunya dengan
adanya penambahan biaya dan harga item/part produk yang dibeli.
4) Biaya akibat terganggunya proses produksi, jika kekurangan persediaan
maka akan mengakibatkan gangguan pada proses produksi. Gangguan
tersebut membutuhkan beberapa biaya terkait diantaranya biaya tenaga
kerja, biaya bahan baku dan biaya peralatan mesin.
Biaya kekurangan persediaan dapat timbul akibat beberapa persoalan, yaitu
dapat diketahui dari adanya kuantitas yang tidak dapat dipenuhi dalam
produksi, adanya waktu pemenuhan gudang akibat kekosongan gudang, dan

yang terakhir adalah adanya biaya pengadaan darurat yang biasanya


menimbulkan biaya yang lebih besar dari pengadaan normal.
e. Biaya Sistemik yaitu biaya yang meliputi biaya perancangan dan perencanaan
sistem persediaan serta ongkos-ongkos untuk mengadakan peralatan serta
melatih tenaga kerja yang digunakan untuk mengoperasikan sistem. Biaya
sistemik ini dapat dianggap sebagai biaya investasi bagi pengadaan suatu
sistem pengadaan.
(Sumber: Diana Khairani Sofyan, Perencanaan dan Pengendalian Produksi. 2013)

B. Sistem Produksi
1. Pengertian Sistem Produksi
Menurut Suhardi Sigit (2007:74) menyatakan Produksi adalah salah satu
fungsi-fungsi yang ada pada perusahaan, yang mana fungsi-fungsi itu antara lain:
pembelian, pemasaran, transportasi, keuangan, pembukuan, penggudangan, dan
kegiatan-kegiatan lainnya yang dilakukan perusahaan untuk mendapatkan laba.
Menurut Arman Hakim Nasution (2003:6) Produksi adalah semua
kegiatan mulai dari pengangkutan bahan galian dari cadangan sumber daya alam
terbukti kepermukaan bumi sampai dipasarkan, dan dimanfaatkan atau diolah
lebih lanjut.

Menurut Pendapat Murdifin Haming dan Mahfud Nurnajamuddin


(2007:24) Produksi adalah Suatu kegiatan mengolah masukan dalam proses
dengan memakai metode metode untuk menghasilkan keluaran yang ditetukan
sebelumnya, baik berupa barang maupun jasa.
Menurut Agus Ahyari (2002:3) bahwa Proses Poduksi adalah Sebagai
suatu cara atau metode maupun tehnik bagaimana menambah manfaat atau
penciptaan faedah baru yang dilaksanakan perusahaan.
Sedangkan menurut Umumtha Ginting dan S.M Sibarani (2005:1)
menjelaskan proses produksi adalah sebagai berikut: Suatu cara, metode
maupun menciptakan faedah baru atau menambah faedah baik barang maupun
jasa dengan menggunakan sumber daya yang ada.
Sistem produksi merupakan sistem integral yang mempunyai komponen
struktural dan fungsional. Komponen atau elemen struktural yang membentuk
sistem produksi terdiri dari : bahan (meterial), mesin dan peralatan, tenaga kerja
modal, energi, informasi, tanah dan lain-lain. Sedangkan komponen atau
elemen fungsional terdiri dari supervisi, perencanaan, pengendalian, koordinasi
dan kepemimpinan, yang

kesemuanya berkaitan dengan manajemen dan

organisasi.
Suatu sistem produksi selalu berada dalam lingkungan, sehingga aspekaspek lingkungan seperti perkembangan tekhnologi, sosial dan ekonomi, serta
kebijakan pemerintah aan sangat mempengaruhi keberadaan sistem produksi
itu. Secara skematis, sistem produksi dapat digambarkan dalam Gambar berikut:

LINGKUNGAN

INPUT
-

PROSES

Tenaga Kerja
Modal
Material
Energi
Tanah
Informasi
Manajerial

PROSES
TRANSFORMASI
NILAI TAMBAH

OUTPUT
PRODUK
(Barang dan/
Jasa)

Umpan Balik Untuk


Pengendalian
Input, Proses,
dan Teknologi

Gambar 2.3 Skema Sistem Produksi


Sumber : Vincent Gaspersz,Production Planning and Inventory Control(2004)

2. Definisi Manufaktur dan Sistem Manufaktur


Manufaktur, dalam arti yang paling luas, adalah proses merubah bahan
baku menjadi produk. Proses ini meliputi: perancangan produk, pemilihan
material dan tahaptahap proses dimana produk tersebut dibuat. Definisi
manufaktur secara umum adalah suatu aktifitas yang kompleks yang melibatkan
berbagai variasi sumberdaya dan aktifitas perancangan produk, pembelian,
pemasaran, mesin dan perkakas, manufacturing, penjualan, perancangan proses,
production control, pengiriman material, support service, dan customer service.
Manufaktur adalah suatu cabang industri yang mengaplikasikan mesin,
peralatan dan tenaga kerja dan suatu medium proses untuk mengubah bahan
mentah menjadi barang jadi untuk dijual.
Istilah ini bisa digunakan untuk aktivitas manusia, dari kerajinan tangan
sampai ke produksi dengan teknologi tinggi, namun demikian istilah ini lebih

sering digunakan untuk dunia industri, dimana bahan baku diubah menjadi
barang jadi dalam skala yang besar.
Manufaktur ada dalam segala bidang sistim ekonomi. Dalam ekonomi
pasar bebas, manufakturing biasanya selalu berarti produksi secara masal untuk
dijual ke pelanggan untuk mendapatkan keuntungan. Beberapa industri seperti
semikonduktor dan baja lebih sering menggunakan istilah fabrikasi dibandingkan
manufaktur. Sektor manufaktur sangat erat terkait dengan rekayasa atau teknik.
(Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Manufaktur; diakses pada tanggal 15 Oktober
2015 Pukul 10.21)

Sedangkan sistem manufaktur adalah sebuah sistem yang memanfaatkan


pendekatan teknik industri untuk peningkatan kualitas, produktivitas, dan
efisiensi sistem integral yang terdiri dari manusia, mesin, material, energi, dan
informasi

melalui

proses

perancangan,

perencanaan,

pengoperasian,

pengendalian, pemeliharaan, dan perbaikan dengan menjaga keselarasan aspek


manusia dan lingkungan kerjanya. Jenis bidang keilmuan yang dipelajari dalam
sistem manufaktur sini antara lain adalah sistem produksi, perencanaan dan
pengendalian produksi, pemodelan sistem, perancangan tata letak pabrik, dan
ergonomi.
(Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Manufaktur; diakses pada tanggal 15 Oktober
2015 Pukul 10.21)

3. Bagan Manajemen Produksi

Teknologi

Ekonomi

Material

Produk

Tenaga Kerja

Proses

Dana

Limbah

Transformasi

Mesin

Informasi

Informasi
Proses

Manajemen

Dana Masuk

Dana Keluar
Politis

Sosial budaya

(Sumber: Arman Hakim Nasution & Yudha Prasetyawan, Perencanaan dan


Pengendalian Produksi, 2008)

4. Jenis-Jenis Manufaktur
a. Sistem Produksi Menurut Proses Menghasilkan Output
Proses produksi merupakan cara, metode, dan teknik untuk menciptakan atau
menambah kegunaan suatu produk dengan mengoptimalkan sumber daya
produksi (tenaga kerja, mesin, bahan baku, dana) yang ada. Sistem produksi
menurut proses menghasilkan output secara ekstrem dapat dibedakan menjadi
dua jenis, yaitu:
1) Proses Produksi Kontinyu (Continous Process) contohnya pada pabrik
pembuatan biskuit.

2) Proses

Produksi

Terputus

(Intermittent

process/Discrate

System)

contohnya pada pabrik pembuatan pena.


Perbedaan pokok antara kedua proses terletak pada lamanya waktu set-up
peralatan produksi. Proses kontinyu tidak memerlukan waktu set-up yang
lama karena proses ini memproduksi secara terus menerus untuk jenis produk
yang sama, misalnya pada pabrik susu instant. Sedangkan proses terputus
memerlukan total waktu setup yang lebih lama karena proses ini memproduksi
berbagai jenis spesifikasi barang sesuai pesanan, dimana dengan adanya
pergantian jenis barang yang diproduksi akan membutuhkan kegiatan set-up
yang berbeda. Contoh dari proses terputus antara lain adalah usaha
perbengkelan.
b. Sistem Produksi Menurut Tujuan Operasinya
1) Engineering To Order (ETO), yaitu bila pemesan meminta produsen untuk
membuat produk yang dimulai dari proses perancangannya (rekayasa).
Contoh ETO yaitu perusahaan yang membuat kebutuhan khusus, seperti
produksi pesawat maupun pembangunan gedung.
2) Assembly To Order (ATO), yaitu bila produsen membuat desain standar,
modul-modul opsional standar yang sebelumnya dan merakit suatu
kombinasi tertentu dari modul-modul tersebut sesuai dengan pesanan
konsumen. Contoh ATO yaitu perusahaan perakitan motor maupun mobil.

3) Make To Order (MTO), yaitu bila produsen menyelesaikan item akhirnya


jika dan hanya jika telah menerima pesanan konsumen untuk item tersebut.
Contoh MTO yaitu perusahaan makanan cepat saji seperti KFC.
4) Make To Stock (MTS), yaitu bila produsen membuat item-item yang
diselesaikan dan ditempatkan sebagai persediaan sebelum pesanan
konsumen diterima. Contohnya yaitu produksi mie, sabun dan sebaggainya
untuk kebutuhan massal.

c. Sistem Produksi Menurut Aliran Operasi dan Variasi Produk


1) Flow Shop, yaitu proses konversi dimana unit-unit output secara berturutturut melalui urutan operasi yang sama pada mesin-mesin khusus, biasanya
ditempatkan sepanjang suatu lintasan produksi. Contohnya pabrik
pembuatan biskuit
2) Continious, proses ini merupakan bentuk ekstrem dari flow shop dimana
terjadi aliran material yang konstan.
3) Job Shop, merupakan bentuk proses konversi dimana unit-unit untuk
pesanan yang berbeda akan mengikuti urutan yang berbeda pula dengan
melalui pusat-pusat kerja yang dikelompokkan berdasarkan fungsinya.
Contohnya pabrik pembuatan pena.
4) Batch, Merupakan bentuk satu langkah ke depan dibandingkan job shop
dalam hal standarisasi produk, tetapi tidak terlalu terstandarisasi sepeti

produk yang dihasilkan pada aliran lintasan perakitan flow shop. Contoh
pabrik pembuuatan tea gelas.
5) Proyek, merupakan proses penciptaan satu jenis produk yang agak rumit
dengan suatu pendefinisian urutan tugas yang teratur dengan kebutuhan
sumber daya dan penyelesaiannya dibatasi oleh waktu.

(Sumber: Arman Hakim Nasution, Perencanaan dan Pengendalian Produksi. 2008)

C. KONSEP MRP (MATERIAL REQUIREMENT PLANNING)


1. Defenisi MRP
MRP adalah prosedur logis, aturan keputusan dan teknik pencatatan
terkomputerisasi yang dirancang untuk menterjemahkan Jadwal Induk
Produksi atau MPS (Master Production Schedulling) menjadi kebutuhan

bersih atau NR (Net Requirement) untuk semua item. System MRP


dikembangkan untuk membantu perusahaan manufaktur mengatasi kebutuhan
akan item-item dependent secara lebih baik dan efisien. Selain itu, system MRP
didesain untuk melepaskan pesanan-pesanan dalam prosuksi dan pembelian
untuk mengatur aliran bahan baku dan persediaan dalam proses sehingga sesuai
dengan jadwal prosuksi utnuk produk akhir. Hal ini memungkinkan perusahaan
memelihara tingkat minimum dari item-item yang kebutuhannya dependent,
tetapi tetap dapat menjamin terpenuhinya jadwal prosuksi untuk produk
akhirnya. System MRP juga dikenal sebagai perencanaan kebutuhan berdasarkan
tahapan waktu (time-phases requirement planning).
(Sumber: Diana Khairani Sofyan, Perencanaan dan Pengendalian Produksi, 2013)

2. Tujuan MRP (Material Requirement Planning)


Teknik MRP mencakup semua kebutuhan yaitu kebutuhan material,
dimana terdapat fungsi utama sebagai pengendalian persediaan dan sebagai
penjadwalan produksi. Adapun tujuan dari MRP itu sendiri adalah untuk
menentukan kebutuhan sekaligus mendukung jadwal produksi induk,
mengendalikan persediaan, menjadwalkan produksi, menjeda jadwal valid dan
tepat waktu, serta secara khusus dapat berguna dalam lingkungan manufaktur
pada perusahaan.
Ada empat tujuan yang menjadi ciri utama MRP yaitu:
a. Mampu menetukan kebutuhan pada saat yang tepat.

Menentukan secara tepat kapan suatu pekerjaan harus selesai (atau material
harus tersedia) untuk memenuhi permintaan atas produk akhir yang sudah
direncanakan dalam Jadwal Induk Produksi.
b. Pembentukan kebutuhan minimal setiap item.
Dengan diketahuinya kebutuhan akan produk akhir, MRP dapat menentukan
secara tepat system penjadwalan (prioritas) untuk memenuhi semua
kebutuhan minimal setiap item.
c. Menentukan pelaksanaan rencana pemesanan.
Memberikan indikasi kapan pemesanan atau pembatalan pemesanan harus
dilakukan. Pemesanan perlu dilakukan lewat pembelian atau dibuat di pabrik
sendiri.
d. Menentukan penjadwalan ulang atau pembatalan atas suatu jadwal yang
sudah direncanakan.
Apabila kapasitas yang ada tidak mampu memenuhi pesanan yang
dijadwalkan pada waktu yang diinginkan, maka MRP dapat memberikan
indikasi untuk melakukan rencana penjadwalan ulang (jika mungkin) dengan
menentukan prioritas pesanan yang realistik. Jika penjadwalan ulang ini
masaih tidak memungkinkan untuk memenuhi pesanan, maka pembatalan
atas suatu pesanan harus dilakukan.
(Sumber: Arman Hakim Nasution & Yudha Prasetyawan, Perencanaan dan
Pengendalian Produksi, 2008)

3. Manfaat dari MRP (Material Requirement Planning)


System MRP dikembangkan untuk membantu perusahaan manufaktur
mengatasi kebutuhan akan item-item yang saling terkait secara lebih baik dan
efisien. Selain itu MRP di rancang untuk melepaskan pesanan-pesanan dalam
produksi dan pembelian dalam mengatur aliran bahan baku dan persediaan pada
proses sehingga sesuai dengan jadwal produksi untuk produk akhir. Adapun
manfaat-manfaat lain yang dapat diperoleh perusahaan, antara lain:
a. Perusahaan dapat menghindari kehabisan persediaan barang
b. Perusahaan dapat mengelola materialnya secara efisien
c. Perusahaan mengetahui kebutuhan material di masa depan
d. Perusahaan dapat meningkatkan pelayanan dan kepuasan pelanggan
e. Perusahaan dapat menigkatkan utilitas dari fasilitas dan tenaga kerja
f. Perusahaan dapat mengetahui secara cepat perubahan pasar
g. Perusahaan dapat mengurangi level persediaan tanpa mengurangi pelayanan
bagi pelanggan
h. Perusahaan dapat menjamin mutu produk
(Sumber: Diana Khairani Sofyan, Perencanaan dan Pengendalian Produksi, 2013)

4. Persyaratan MRP (Material Requirement Planning)

a. Tersedianya jadwal induk produksi, yaitu suatu rencana produksi yang


menetapkan jumlah serta waktu suatu produk akhir harus tersedia sesuai
dengan jadwal yang harus di produksi. MPS ini biasanya diperoleh dari hasil
peramalan kebutuhan melalui tahapan perhitungan perencanaan produksi
yang baik, serta jadwal pemesanan produk dari pihak konsumen.
b. Setiap item persediaan harus mempunyai identifikasi yang khusus. Hal ini
disebabkan kerena biasanya MRP secara komputerisasi dimana jumlah
komponen yang harus ditangani sangat banyak, maka pengklasifikasian
bahan, bagian komponen, perakitan setengah jadi dan produk akhir haruslah
terdapat perbedaan yang jelas antara satu dengan yang lainnya.
c. Tersedianya struktur produk pada saat perencanaan. Dalam hal ini tidak
diperlukan struktur produk yang memuat semua item yang terlibat dalam
pembuatan suatu produk apabila itemnya sangat banyak dan proses
pembuatannya sangat kompleks. Walaupun demikian, yang penting struktur
produk harus mampu menggambarkan secara jelas langkah-langkah suatu
produk untuk dibuat, sejak dari bahan baku sampai menjadi produk jadi.
d. Tersedianya catatan tentang persediaan untuk semua item yang menyatakan
status persediaan sekarang dan yang akan datang.
(Sumber: Diana Khairani Sofyan, Perencanaan dan Pengendalian Produksi, 2013)

5. Teknik Lotting/ Penentuan Ukuran Lot

Penentuan ukuran lot bertujuan menentukan besarnya ukuran jumlah


pesanan yang optimal untuk sebuah item dilakukan berdasarkan kebutuhan
bersih yang dihasilkan dari setiap periode horison perencanaan.
Terdapat beberapa item yang perlu diperhatikan pada saat penentuan teknik
ukuran lot yaitu :
a. Menyeimbangkan

ongkos

pemesanan

(order

cost)

dengan

ongkos

penyimpanan (carrying cost).


1) Ongkos pemesanan merupakan ongkos yang berkaitan dengan usaha untuk
mendapatkan bahan baku dari luar perusahaan. Ongkos pemesanan dapat
berupa ongkos penulisan pemesanan, ongkos proses pemesanan,ongkos
materai/perangko, ongkos faktur, dan ongkos transportasi.
2) Ongkos penyimpanan, komponen utama dari ongkos simpan terdiri dari :
a) Modal, meliputi : biaya yang diinvestasikan dalam persediaan, gedung,
dan peralatan untuk mengadakan dan memelihara persediaan.
b) Ongkos simpan, meliputi : biaya sewa gudang, perawatan dan perbaikan
bangunan, listrik, gaji, personel keamanan, dll.
b. Menggunakan konsep jumlah pesanan tetap dengan jumlah periode
pemesanan tetap.
Terdapat 10 Alternatif teknik yang digunakan dalam menentukan ukuran
Lot.Kesepuluh teknik adalah sebagai berikut :
Contoh :

Data kebutuhan bersih

Tabel 1. Contoh data kebutuhan bersih.


Periode ( t )
1 2 3 4 5 6

Kebutuhan bersih ( Rt )

55 220 40

20 40 30 10 40 0

Data Ongkos
Harga perunit (C)

= Rp. 50,-

Ongkos Pengadaan (S)

= Rp. 100,-

Ongkos Simpan ( I t ) = Rp. 0.24/tahun


Ongkos Simpan

(It ) =

Rp. 0.02/periode

Ongkos Simpan

( I up ) =

Rp. 1,- /unit/periode

Waktu ancang-ancang (lead time)


Waktu ancang-ancang

a.

=0

Fixed Order Quantity (FOQ)


Teknik FOQ menggunakan kuantitas pemesanan yang tetap untuk
suatu persediaan item tertentu dapat ditentukan secara sembarang atau
berdasarkan pada faktor-faktor intuitif. Dalam menggunakan teknik ini
jika perlu, jumlah pesanan diperbesar untuk menyamai jumlah kebutuhan
bersih yang tinggi pada suatu perioda tertentu yang harus dipenuhi, yang
berarti ukuran kuantitas pemesanannya (lot sizing) adalah sama untuk
seluruh periode selanjutnya dalam perencanaan.

Metode ini dapat

digunakan untuk item-item yang biaya pemesanannya (ordering cost)


sangat besar. Tabel dibawah ini merupakan contoh pemakaian teknik
EOQ dengan ukuran lot sebesar 100.

Tabel 2 Contoh Pemakaian Teknik FOQ.


1
2 3 4 5
6 7
8

Periode ( t )

Kebutuhan bersih (Rt)

20

40 30 10 40

Kuantitas Pemesanan Xt

100

Persediaan

80

40 10 0

55

20

100

100

60

60 105 85

Total

40 255
300
45 485

Dari tabel tersebut didapat :


Ongkos pengadaan = 3 x Rp. 100,- maka :
Ongkos simpan = (80+40+10+60+60+105+85+45) = 485
= 485 x Rp. 1,- = Rp. 485,Total ongkos

= 300 + 485 = Rp. 785

b. Economic Order Quantity (EOQ)


Metode ini diperkenalkan pertama kali oleh Ford Harris dari
Westinghouse pada tahun 1915. Metode ini merupakan inspirasi bagi para
pakar persediaan untuk mengembangkan metode-metode pengendaliaan
persediaan lainnya. Metode ini dikembangkan atas fakta adanya biaya
variabel dan biaya tetap dari proses produksi atau pemesanan barang.
Teknik EOQ ini besarnya ukuran lot adalah tetap, melibatkan ongkos
pesan dan ongkos simpan. Pemesanan dilakukan apabila jumlah
persediaan tidak dapat memenuhi kebutuhan yang diinginkan. Teknik ini
biasa dipakai untuk horison perencanaan selama satu tahun (12 bulan),
sedangkan keefektifannya akan bagus jika pola kebutuhan bersifat
kontinu dan tingkat kebutuhan konstan. Ukuran kuantitas pemesanan (lot
sizing) ditentukan dengan :
EOQ

2A.
i

dimana :
EOQ

= kuantitas pemesanan

(2.1)

= ongkos Pesan (set up Cost)

= rata-rata demand per horison

i = ongkos Simpan
Jika kita mengasumsikan bahwa periode yang ada pada contoh
sebelumnya sama, maka ukuran lot dengan menggunakan teknik EOQ ini
adalah :

EOQ

2 x100 x 28,3
1

= 75 unit
Maka ukuran lot sebesar 75 unit ini dipakai untuk memenuhi
kebutuhan bersih yang ada sepanjang horizon perencanaan dengan cara
sebagai berikut :
Periode ( t )

Tabel 3. Contoh pemakaian teknik EOQ.


1
2 3 4 5
6 7
8

Kebutuhan bersih (Rt)

20

Kuantitas Pemesanan Xt

75

Persediaan

55

40 30 10 40

75
15 60 50 10

55

20

75
10 30

Total

40 255
75 300

10

45 285

Dari tabel tersebut didapat :


Ongkos pengadaan = 4 x Rp. 100,- = Rp. 400
Ongkos simpan = (55+15+60+50+10+10+30+10+45) = 285
= 285 x Rp. 1,= Rp. 285,Total ongkos

c.

= 400 + 285 = Rp. 685

Lot for Lot (LFL)


Teknik ini merupakan lot sizing yang mudah dan paling sederhana.
Teknik ini selalu melakukan perhitungan kembali (bersifat dinamis)

terutama apabila terjadi perubahan pada kebutuhan bersih. Penggunaan


teknik ini bertujuan untuk meminimumkan ongkos simpan, sehingga
dengan teknik ini ongkos simpan menjadi nol. Oleh karena itu, sering
sekali digunakan untuk item-item yang mempunyai biaya simpan sangat
mahal. Apabila dilihat dari pola kebutuhan yang mempunyai sifat
diskontinu atau tidak teratur, maka teknik Lot for Lot ini memiliki
kemampuan yang baik. Di samping itu teknik ini sering digunakan pada
sistem produksi manufaktur yang mempunyai sifat setup permanen pada
proses produksinya.
Pemesanan

dilakukan

dengan

mempertimbangkan

ongkos

penyimpanan. Pada teknik ini, pemenuhan kebutuhan bersih dilaksanakan


disetiap periode yang membutuhkannya, sedangkan besar ukuran
kuantitas pemesanan (lot sizing) adalah sama dengan jumlah kebutuhan
bersih yang harus dipenuhi pada periode yang bersangkutan. Sebagai
contoh berikut ini merupakan ilustrasi dari penerapan teknik LFL dengan
data kebutuhan bersih yang telah digunakan contoh-contoh berikutnya.
Periode ( t )

Tabel 4. Contoh pemakaian teknik Lot for Lot.


1
2 3 4 5
6 7
8

Total

Kebutuhan bersih (Rt)

20

40 30 10 40

55

20

40 255

Kuantitas Pemesanan Xt

20

40 30 10 40

55

20

40 255

Persediaan

Dari tabel tersebut didapat :


Ongkos pengadaan

= 8 x Rp. 100,- = Rp. 800

Ongkos simpan = 0
Total ongkos

= 800 + 0 = Rp. 800

d. Fixed Period Requirements (FPR)

Teknik FPR ini menggunakan konsep interval pemesanan yang


konstan, sedangkan ukuran kuantitas pemesanan (lot size) bervariasi. Bila
dalam metode FOQ besarnya jumlah ukuran lot adalah tetap sementara
selang waktu antar pemesanan tidak tetap, sedangkan dalam metode FPR
ini selang waktu antar pemesanan dibuat tetap dengan ukuran lot sesuai
pada kebutuhan bersih.
Ukuran kuantitas pemesanan tersebut merupakan penjumlahan
kebutuhan bersih ( Rt ) dari setiap periode yang tercakup dalam interval
pemesanan yang telah ditetapkan. Penetapan interval penetapan
dilakukan secara sembarang. Pada teknik FPR ini, jika saat pemesanan
jatuh pada periode yang kebutuhan bersihnya sama dengan nol, maka
pemesanannya dilaksanakan pada periode berikutnya. Sebagai contoh,
berikut ini merupakan pemakaian teknik FPR dengan interval pemesanan
tiga periode.
Periode ( t )

Tabel 5. Contoh pemakaian teknik FPR.


1
2 3 4 5
6 7

Kebutuhan bersih (Rt)

20

40 30 10 40

55

Total

20

40 255

Kuantitas
Pemesanan Xt

90

Persediaan

70

50
30 0

40 0

115
0

Dari tabel tersebut, diperoleh :


Ongkos pengadaan = 3 x Rp 100 = Rp. 300
Ongkos simpan = (70+30+40+60+40) = 240
= 240 x Rp. 1,= Rp. 240,Total ongkos

= 300 + 240 = Rp. 540

60

255
40

240

e.

Period Order Quantity (POQ)


Teknik POQ ini pada prinsipnya sama dengan FPR. Bedanya adalah
pada teknik POQ interval pemesanan ditentukan dengan suatu
perhitungan yang didasarkan pada logika EOQ klasik yang telah
dimodifikasi, sehingga dapat digunakan pada permintaan yang
berperiode diskrit.
Tentunya dapat diperoleh hasil mengenai besarnya jumlah pesanan
yang harus dilakukan dan interval periode pemesanan. Dibandingkan
dengan teknik jumlah pesanan ekonomis ini akan memberikan ongkos
persediaan yang lebih kecil dan dengan ongkos pesan yang sama.
Kesulitan yang dihadapi dalam teknik ini adalah bagaimana menentukan
besarnya interval perioda pemesanan apabila sifat kebutuhan adalah
diskontinu. Jika ini terjadi, penentuan interval periode yang bernilai nol
dilewati. Interval pemesanan ditentukan sebagai berikut :
EOI

EOQ

2C
RPh

(2.2)

dimana :
EOI

= interval pemesanan ekonomis dalam satu periode

= biaya pemesanan setiap kali pesan

= persentase biaya simpan setiap periode

= harga atau biaya pembelian perunit

= rata-rata permintaan per periode

Sebagai contoh, berikut ini merupakan penerapan teknik POQ dengan


data pada contoh sebelumnya.
Jumlah periode dalam 1 tahun

= 12

Pemesanan per tahun

= 255

Rata-rata permintaan (R)

= 28,3

Q (dari teknik EOQ)

= 75

Biaya pesan (C)

= 100

Ongkos simpan (i)

=1

Harga perunit (P)

= 50

Penyelesaian :
EOI

EOQ
75

2,6
R
28,3

Interval pemesanan yang diperbolehkan adalah 2,6 yang berarti


interval pemesanan yangn digunakan

boleh 2 atau 3 periode dan

frekuensi pemesanan boleh 4 atau 5 kali pemesanan dalam satu tahun.


Periode ( t )

Tabel 6. Contoh pemakaian teknik POQ.


1
2 3 4 5
6 7

Kebutuhan bersih (Rt)

20

Kuantitas Pemesanan Xt

60

Persediaan

40

40 30 10 40

40

40

10 0

55

20

40 255

75
0

20

Total

40 255
0

70

Dari tabel tersebut didapat :


Ongkos pengadaan

= 5 x Rp. 100,- = Rp. 500

Ongkos simpan = (40+10+20) = 70 x Rp. 1,- = Rp. 70,Total ongkos


f.

= 500 + 70 = Rp. 570

Least Unit Cost (LUC)


Teknik LUC ini dan ketiga teknik berikutnya mempunyai kesamaan
tertentu, yaitu ukuran kuantitas pemesanan dan interval pemesanannya
bervariasi. Pada teknik LUC ini ukuran kuantitas pemesanan ditentukan
dengan cara coba-coba, yaitu dengan jalan mempertanyakan apakah
ukuran lot disuatu periode sebaiknya sama dengan ukuran bersihnya atau
bagaimana

kalau

ditambah

dengan

periode-periode

berikutnya.

Keputusan ditentukan berdasarkan ongkos per unit (ongkos pengadaan


per unit ditambah ongkos simpan per unit) terkecil dari setiap bakal
ukuran lot yang akan dipilih.

Dari hasil perhitungan tabel tersebut, terlihat bahwa pada kelompok


pertama, bakal lot sebesar 90 terpilih sebagai lot yang pertama sebab
menimbulkan ongkos per unit terkecil yaitu sebesar Rp 2,22. Lot sebesar
90 ini akan mencakup kebutuhan bersih periode ke1, 2, dan 3, sedangkan
periode ke-4 dimasukkan kedalam kelompok ke-2. Pada kelompok ke 2
ongkos perunit terkecil adalah Rp 2,8 sehingga bakal lot sebesar 40
terpilih sebagai lot ke 2. Lot sebesar 50 ini akan mencakup kebutuhan
bersih periode ke 4, 5, dan 6. Sedangkan periode ke 7 dimasukkan
kedalam kelompok ketiga. Pada kelompok ketiga ini ongkos per unit
terkecil adalah Rp 1,6 sehingga bakal lot size sebesar 75 terpilih sebagai
lot yang ke tiga yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan bersih
periode ke 7, dan 8, pada kelompok keempat sebesar 40.
Diketahui :

Periode

Ongkos pengadaan

Rp. 100

Ongkos simpan

Rp. 1,-/unit periode

Tabel 7 Contoh pemakaian teknik LUC.


Kumulatif Ongkos Lama
Ongkos Ongkos Ongkos
Demand

Setup

Digudang Simpan Total

Perunit

20

100

100

1-2

60

100

40

140

2,3

1-3

90

100

100

200

2,2

1-4

100

100

130

230

2,3

10

100

100

10

4-5

50

100

40

140

2,8

Ket

Terpilih

4-6

50

100

40

140

2,8

4-7

105

100

205

305

2,9

55

100

100

1,8

7-8

75

100

20

120

1,6

7-9

115

100

100

200

1,7

40

100

100

2,5

Terpilih

Terpilih

Terpilih

Keterangan :
Periode penyimpanan adalah periode yang dicakup oleh bakal lot
size.
Bakal LS adalah ukuran kuantitas pemesanan (lot size) yang akan dipilih
yang besarnya merupakan kumulatif kebutuhan bersih dari periode yang
dicakup.
Ongkos simpan untuk lot adalah Kebutuhan bersih dikali ongkos
simpan/unit dikali lama digudang.
Ongkos total adalah ongkos setup ditambah ongkos simpan.
Ongkos per unit adalah ongkos total dibagi banyak kumulatif
demand. Secara lengkap hasil perhitungan yang ada di tabel 8 dapat
ditulis atau dirangkum dalam tabel dibawah ini :

Periode ( t )
Kebutuhan

Tabel 8. Contoh pemakaian teknik LUC.


1
2 3 4 5
6 7
8
bersih

(Rt)

20

40 30 10 40

55

20

Total

40 255

Kuantitas Pemesanan
Xt

90

Persediaan

70

50
30 0

40 0

75
0

20

40 255
0

160

Dari tabel tersebut didapat :


Ongkos pengadaan

= 4 x Rp. 100,- = Rp. 400

Ongkos simpan

= (70+30+40+20) = 160
= 160 x Rp. 1, - = Rp. 160,-

Total ongkos

g.

= 400 + 160 = Rp. 560

Least Total Cost (LTC)


Teknik ini didasarkan pada pemikiran bahwa jumlah ongkos
pengadan dan ongkos simpan (ongkos total) setiap ukuran kuantitas
pemesanan yang ada pada suatu horizon perencanaan dapat diminimasi
jika besar ongkos-ongkos tersebut sama atau hampir sama. Sarana untuk
mencapai tujuan tersebut adalah suatu faktor tang disebut Economic Part
Periode (EPP). Pemilihan ukuran lot ditentukan dengan jalan
membandingkan ongkos part period yang ditimbulkan oleh setiap ukuran
lot tersebut dengan EPP, yang paling dekat atau sama dengan EPP dipilih
sebagai ukuran lot yang akan dilaksanakan. Part period adalah satu unit
yang disimpan dalam persediaan dalam satu periode. EPP dapat
didefinisikan sebagai kuantitas suatu item persediaan yang bila disimpan
didalam persediaan selama satu periode, akan menghasilkan ongkos
pengadaan yang sama dengan ongkos simpan.
EPP dapat dihitung secara sederhana dengan memberi ongkos setiap
kali pesan (S) dengan ongkos simpan perunit (h). Sebagai contoh, tabel
10. di bawah ini adalah contoh pemakaian teknik LTC dengan
menggunakan data yang digunakan pada contoh sebelumnya. Dengan
nilai EPP adalah sebagai berikut :

EPP

S 100

100
h
1

Periode

Tabel 9. Contoh pemakaian teknik LTC.


Kumulatif
Lama
Ongkos Simpan
Demand
Ongkos
Digudang Digudang
Simpan

20

40

40

40

30

60

100

10

40

40

40

40

55

165

205

55

20

20

20

40

80

100

Total
Unit

90

50

115

Dari tabel tersebut di atas, terlihat bahwa kelompok yang pertama


bakal lot sebesar 90 unit terpilih sebagai ukuran lot pertama sebab
menimbulkan ongkos yang sama dengan EPP yaitu sebesar 100 part
period. Dengan demikian alasan yang sama diperoleh lot yang kedua
sebesar 50 unit dan 115 unit ukuran lot ketiga.

Tabel 10. Contoh perhitungan teknik LTC.


Periode ( t )
1
2 3 4 5
6

Kebutuhan bersih (Rt)

20

55

20

40 255

Kuantitas Pemesanan Xt

90

Persediaan

70

40 30 10 40
50
30 0

40 0

Dari tabel tersebut, didapat :


Ongkos pengadaan

= 3 x Rp. 100,- = Rp. 300

115
0

60

Total

255
40

240

Ongkos simpan

= Rp 1 (70+30+40+60+40) = Rp 240

Total ongkos

= 300 + 240 = Rp. 540

h. Part Period Balancing (PPB)


Metode PPB sering juga disebut Metode Part Period Algorithm
adalah pendekatan jumlah lot untuk menentukan jumlah pemesanan
berdasarkan keseimbangan antara biaya pesan dan biaya simpan. Oleh
karena itu metode ini disebut juga Part Period Balancing (PPB) atau total
biaya terkecil. Metode ini menseleksi jumlah periode untuk mencukupi
pesanan tambahan berdasarkan akumulasi biaya simpan dan biaya pesan.
Tujuannya adalah menentukan jumlah lot untuk memenuhi periode
kebutuhan.
Penentuan

jumlah

pesanan

(lot)

dilaksanakan

dengan

mengakumulasikan permintaan dari periode-periode yang berdampingan


kedalam suatu lot tunggal sampai carrying cost kumulatifnya melampaui
atau sama dengan setup cost. Teknik PPB ini menggunakan dasar logika
yang sama dengan teknik LTC, perhitungan kuantitas pemesanan juga
sama. Pertama mengkonversikan ongkos pesan menjadi Equivalent Part
Period (EPP), dengan rumus :

EPP

S
h

(2.4)

dimana :
S = ongkos Pesan /ongkos Setup
h = ongkos Simpan per unit per periode
Sebagai contoh tabel 12 di bawah ini adalah contoh pemakaian teknik
PPB dengan menggunakan data yang digunakan pada contoh
sebelumnya. Dengan nilai EPP adalah sebagai berikut :

EPP

Periode

S 100

100
h
1

Tabel 11. Contoh pemakaian teknik PPB.


Periode
Periode
Demand
Kumulatif
Digudang
Part

20

40

40

40

30

60

100

10

40

40

40

40

55

165

205

55

20

20

20

40

80

100

Total
Unit

90

50

115

Untuk menentukan period part, yaitu dengan mengkalikan kebutuhan


atau demand dengan periode digudang. Di bawah ini penerapan teknik
PPB.

Periode ( t )

Tabel 13. Contoh perhitungan teknik PPB.


1
2 3 4 5
6 7
8

Kebutuhan

bersih

(Rt)

20

40 30 10 40

Kuantitas Pemesanan
Xt

90

Persediaan

70

50
30 0

40 0

55

20

40 255

115
0

60

Total

255
40

240

Dari tabel tersebut didapat :


Ongkos pengadaan

= 3 x Rp. 100,- = Rp. 300

Ongkos simpan

= (70+30+40+60+40) = 240
= 240 x Rp. 1,- = Rp. 240,-

Total ongkos

i.

= 300 + 240 = Rp. 540

Metode Silver Meal Algoritm


Metode Silver-Meal atau sering pula disebut metode SM yang
dikembangkan oleh Edward Silver dan Harlan Meal berdasarkan pada
periode biaya. Penentuan rata-rata biaya per periode adalah jumlah
periode dalam penambahan pesanan yang meningkat. Penambahan
pesanan dilakukan ketika rata-rata biaya periode pertama meningkat. Jika
pesanan datang pada awal periode pertama dan dapat mencukupi
kebutuhan hingga akhir periode T.
Teknik Silver Meal menggunakan pendekatan yang agak sama
dengan PPB. Kriteria dari teknik Silver Meal adalah bahwa lot size yang
dipilih harus dapat meminimasi ongkos total per perioda. Permintaan
dengan perioda-perioda yang berurutan diakumulasikan ke dalam suatu
bakal ukuran lot (tentative lot size) sampai jumlah carrying cost dan setup
cost dari lot tersebut dibagi dengan jumlah perioda yang terlibat
meningkat. Total biaya relevan per periode adalah sebagai berikut :
TRC(T ) C Total biaya simpan hingga akhir perioda T

T
T
T

C Ph (k 1)R k
k 1

dimana :
C= biaya pemesanan per periode
h = persentase biaya simpan per periode
P = biaya pembelian per unit
Ph

= biaya Simpan per periode

TRC(T) = total biaya relevan pada periode T


T = waktu penambahan dalam periode
Rk

= rata-rata permintaan dalam periode k


Tujuannya adalah menentukan T untuk meminimumkan total biaya

relevan per periode. Berikut ini langkah-langkah dari Metode SilverMeal.


1.

Tentukan ukuran lot tentatif dimulai dari periode T. Ukuran lot


tentatif = dt, net req pada periode T. Hitung ongkos total per
periodenya.

2.

Tambahan kebutuhan pada periode berikutnya pada lot tersebut.


Kemudian hitung ongkos total per periodenya.

3.

Bandingkan ongkos total per periode sekarang dengan yang


sebelumnya, jika TRC(L) TRC(L-1) kembali ke langkah 2 dan
TRC(L) > TRC(L-1) lanjutkan ke langkah 4.
Lt

T dt
t T

4.

Ukuran lot pada periode

5.

Sekarang T = L, jika akhir dari horizon perencanaan telah dicapai,


hentikan algoritma, jika belum, kembali ke langkah 1.

Tabel 13. Contoh pemakaian teknik Metode Silver-Meal.


Tambahan
Biaya Biaya
TRC (T)
Period
Dema
TRC(T)
T
Simpan
Simpan
(C+Kol
e
nd
/T
(Ph(T-1)Rt
Kumulatif 5)

(Kol 6
/T)
1

20

50(1)(0)(20) = 0

100

100

40

50(1)(1)(40) = 2000

2000

2100

1050

40

50(1)(0)(40) = 0

100

100

30

50(1)(1)(30) = 1500

1500

1600

800

30

50(1)(0)(30) = 0

100

100

10

50(1)(1)(10) = 500

500

600

300

10

50(1)(0)(10) = 0

100

100

40

50(1)(1)(40) = 2000

2000

2100

1050

40

50(1)(0)(40) = 0

100

100

50(1)(1)(0) = 0

100

50

55

50(1)(2)(55) = 5500

5500

5600

1867

55

50(1)(0)(55) = 0

100

100

40

50(1)(1)(40) = 2000

2000

2100

1050

Tabel 14. Contoh perhitungan Metode Silver-Meal.


Periode ( t )
1
2 3 4 5
6 7
8
9
Kebutuhan

bersih

20

40 30 10 40

Xt

20

40 30

Persediaan

(Rt)
Kuantitas Pemesanan

10
0

40
0

Total

55

20

40 255

55

20

40 255

Dari tabel tersebut didapat :


Ongkos pengadaan

= 8 x Rp. 100,- = Rp. 800,-

Ongkos simpan

=0

Total ongkos

= 800 + 0 = Rp. 800,-

j.

Algoritm Wagner Whittin (AWW)


Teknik ini menggunakan prosedur optimasi yang didasari model
programa dinamis. Tujuannya adalah untuk mendapatkan strategi
pemesanan yang optimum untuk seluruh jadwal kebutuhan bersih dengan
jalan meminimasi total ongkos pengadaan dan ongkos simpan, pada
dasarnya teknik ini menguji semua cara pemesanan yang mungkin dalam
memenuhi kebutuhan bersih setiap periode yang ada pada horizon
perencanaan sehingga senantiasa memberikan jawaban yang optimal.
Wagner-Whittin Algorithm memperoleh suatu jumlah maksimum
solusi kepada data yang meminimum masalah ukuran pesanan dinamis di
atas suatu perencanaan yang terbatas. itu memerlukan bahwa semua
periode permintaan dicukupi, yang periode waktu di dalam perencanaan
b dari suatu panjangnya

pemesanan ditetapkan, dan pesanan itu

ditempatkan untuk meyakinkan hasil 0 pesanan produk pada awal suatu


periode

waktu.

Algorithim

Wagner-Whittin

suatu

pendekatan

programming dinamis yang mana dapat digunakan untuk menentukan


biaya yang dapat diawali yang minimum.
Metode

ini

menggunakan

beberapa

keterangan

untuk

menyederhanakan perhitungan sebagai diterangkan oleh three-step


prosedur berikut :
1.

Memperhitungkan adalah total biaya variabel acuan untuk semua


alternatif pemesanan yang mungkin untuk sementara waktu terdiri
dari N periode. Total biaya variabel meliputi memesan dan
memegang biaya-biaya. artinya

z c

untuk total biaya variabel di

dalam periode c sampai e dalam penempataan adalah suatu pesanan


di dalam periode c yang mana membuat puas kebutuhan di dalam
e
Z ce C hP (Q ce Q )
ci
ic
periode sampai
for 1 c e N

dimana :
C= biaya pesan per pesan.
i

= biaya simpan.

= biaya pembelian per unit.

Rk = rata-rata permintaan perperiode.


e

Q ce R k 9
k c

2.

Arti fe untuk biaya yang mungkin yang minimum i periode 1 sampai


e, memberi bahwa tingkat persediaan pada ujung periode e adalah
nol. Algoritma mulai dengan f = 0 dan mengkalkulasi f1, f2, ......... fn
di dalam pesanan itu, kemudian f e dihitung dalam urutan menaik
menggunakan rumusan
f min(Z ce f c1 )

for c = 1, 2, 3.., e

(2.9)

Dengan kata lain, untuk masing-masing periode semua kombinasi


alternatif pemesanan dan fe perencanaan pengganti dibandingkan,
yang yang terbaik biaya paling rendah kombinasi adalah perekam
sebagai fe strategi untuk mencukupi kebutuhan untuk periode 1
sampai e. nilai fn adalah biaya adalah jadwal pesanan yang optimal.
Untuk menterjemahkan jumlah maksimum solusi (fn) yang diperoleh
oleh algoritma untuk memesan jumlah, menerapkan berikut :
a.

fn Z w N f w 1

urutan terakhir terjadi pada periode w dan

adalah cukup untuk mencukupi permintaan di dalam periode w


sampai N.
b.

f w 1 Z vw1 f v1

pesanan sebelum urutan terakhir terjadi di

dalam periode v dan adalah cukup untuk mencukupi permintaan


di dalam periode v sampai w-1.

c.

f w 1 Z1w1 f 0

pesanan yang pertama terjadi di dalam periode

1 dan adalah cukup untuk mencukupi permintaan di dalam


periode 1 sampai u-1.
Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas relatif dari masingmasing teknik ukuran lot diantaranya adalah :
1.

Variabilitas permintaan, berkaitan dengan diskontinuitas dari variasi


nilai demand-period.

2.

Ratio setup cost dan unit-cost, mempengaruhi frekuensi pemesanan.

3.

Kurun

perencanaan,

mempengaruhi

teknik

ukuran

menyeimbangkan setup dan carrying cost.

C h. t T dt
t T

Ongkos total per periode TRC(L)


P
dimana :
C= biaya pemesanan per periode
h = persentase biaya simpan per periode
dt= kebutuhan pada periode t
T = periode awal dimana lot tentatif mulai dihitung
t = periode ke - t
L = periode terakhir yang ner req nya termasuk dalam lot tentatif
P = jumlah periode yang net req nya termasuk dalam lot tentatif
TRC= total biaya relevan pada periode P.

(Sumber: Hendra Poerwanto G)


https://sites.google.com/site/operasiproduksi/perencanaan-kebutuhan-bahan
diakses tgl 17 oktober 2015 pukul 00.40

dalam

6. Input dan Output MRP (Material Requirement Planning)


a. Input untuk sistem MRP
1) Jadwal Induk Produksi
Jadwal induk produksi didasarkan pada peramalan atas permintaan
independen (independent demand) dari setip produk akhir yang akan
dibuat. Hasil peramalan (sebagai perencanaan jangka panjang) dipakai
untuk membuat rencana produksi agregat (sebagai perencanaan jangka
sedang), yang pada akhirnya dibuat rencana detail (jangka pendek) yang
menentukan jumlah produksi yang dibutuhkan untuk setiap produk akhir
beserta periode waktunya untuk suatu jangka perencanaan. Jadwal induk
produksi merupakan proses alokasi untuk membuat sejumlah produk yang
diinginkan dengan memperhatikan Kapasitas yang dipunyai (pekerja,
mesin, dan bahan).
Perencanaan atas suatu Jadwal Induk Produksi dilakukan dalam dua
tahap. Tahap pertama, menentukan besarnya kapasitas atau Kecepatan
operasi yang diinginkan. Perencanaan ini biasanya dilakukan pada tingkat
agregate (dengan mengoptimasikan keuntungan untuk bermacam-macam
produk dengan berbagai sifat, sesuai dengan kapasitas yang dipunyai).
Rencana kapasitas secara aggregate ini teruata diarahkan pada semua Titik
Kritis atau Potensial Bottle Neck.
Tahap kedua, dari perencanaan ini adalah menentukan jumlah dari
tenaga kerja yan dibutuhkan, dan jumlah mesin serta shift yang diperlukan

untuk penjadwalan. Pada tahap ini juga dilakukan perencanaan atas


sejumlah persediaan secara agregat. Beberapa ahli ada yang sependapat
bahwa pada tingkat agregat ini juga harus disertakan perencanaan
kebutuhan akan persediaan pengaman untuk memelihara service kepada
konsumen.
Hal yang penting dalam perencanaan jadwal induk produksi adalah
penentuan panjangnya horizon perencanaan (planning horizon) yaitu,
jumlahperiode yang dibutuhkan untuk penjadwalan. Horizon perencanaan
minimal merupakan jumlah periode produksi (termasuk perakitan)
ditambah waktu ancang-ancang pembelian atas bahan untuk setiap produk
akhir yang akan dibuat.
2) Catatan Keadaan Persediaan
Catatan keadaan persediaan menggambarkan status semua item ynag
ada dalam persediaan. Setiap item persediaan harus didefinisikan untuk
menjaga kekeliruan perencanaan. Pencatatan-pencatatan itu harus dijaga
agar tetap Up to date, dengan selalu melakukan pencatatan tentang
transaksi-transaksi yang terjadi, seperti: penerimaan, pengeluaran, produk
gagal, dan lain sebagainya. Catatan persediaan juga harus berisi data
tentang waktu ancang-ancang, teknik ukuran lot yang digunakan,
persediaan cadangan, dan catatan-catatan penting lainnya dari semua item.
3) Struktur Produk

Struktur produk berisi informasi tentang hubungan antara komponenkomponen dalam suatu perakitan. Informasi ini sangat penting dalam
penentuan kebutuhan kotor dan kebutuhan bersih. Lebih jauh lagi, struktur
produk memberikan informasi tentang semua item, seperti: nomor item,
jumlah yang dibutuhkan pada setiap perakitan jumlah produk akhir yang
harus dibuat. Selain itu ada input tambahan untuk system MRP, yaitu :
a) Pesanan komponen dari perusahaan lain yang membutuhkan
b) Peramalan atas item yang bersifat independen.
Pesanan komponen dari perusahaan lain termasuk juga pesanan untuk
komponen purna jual, pesanan antar perusahaan, ataupun kepentingankepentingan lain yang tidak berhubungan dengan prosuksi, misalnya:
untuk eksperimen, testing destruktif (pengujuan), promosi, pemeliharaan
serta untuk kepentingan lainnya.
System MRP menambahkan hal-hal tersebut ke dalam kebutuhan kotor untuk
item yang dibutuhkan. Sehingga kini MRP dapat lebih umum penerapannya.
Peramalan atas item yang bersifat independen, dimana mencakup komponenkomponen yang dibutuhkan namun berada diluar system MRP dapat dibuat
program khusus yang akan melengkapi system MRP, misalnya denan
kombinasi, teknik peramalan statistic. Jumlah dari hasil ramalan ditambahkan
pada kebutuhan kotor pada system MRP. Peramalan disini termasuk

peramalan atas pesanan komponen perusahaan lain dan peramalan atas item
yang independen.
b. Output untuk system MRP
Rencana pemesanan merupakan output dari MRP yang dibuat atas dasar
waktu ancang-ancang dari setiap komponen.waktu ancang-ancangdari suatu
item yang dibeli merupakan periode antara pesanan dilakukan sampai barang
diterima (on-hand), sedangkan untuk produk yang dibuat di pabrik sendiri,
merupakan periode antara perintah item harus dibuat sampai dengan selesai
diproses. Secara umum, output MRP adalah:
1) Memberikan

catatan

tentang

pesanan

penjadwalan

yang

harus

dilakukan/direncanakan baik dari pabrik sendiri maupun dari supplier.


2) Memberikan indikasi untuk penjadwalan ulang
3) Memberikan indikasi untuk pembatalan atas pesanan
4) Memberikan indikasi untuk keadaan persediaan.
Output dari MRP dapat pula disebut sebagai suatu aksi yang merupakan
tindakan atas pengendalian persediaan dan penjadwalan produksi.

7. Prosedur Pengolahan MRP (Material Requirement Planning)


Cara kerja system MRP sangat berkaitan dengan daftar kebutuhan material
(Bill Of Material), dimana keseluruhan komponen telah dijadwalkan pada

perencanaan kebutuhan material tersebut. Prosedur awalnya bermula dari jadwal


produksi induk sebagai masukan guna menghasilkan jadwal kebutuhan bagi
setiap komponen berdasarkan waktu yang telah ditentukan. Adapun prosedur
pangolahan MRP, sebagai berikut:
a. Menghitung kebutuhan kotor dari persediaan yang diproyeksikan dan
menjadwalkan penerimaan dari setiap material.
b. Mengkonversikan kebutuhan bersih menjadi kebutuhan yang direncanakan
dengan kebutuhan ukuran lot.
c. Menempatkan rencana pemesanan pada periode yang tepat dengan
menggunakan penjadwalan sebelumnya dari tanggu dibutuhkan dikurangi
waktu siklus.
d. Menentukan tindakan-tindakan yang diperlukan bagi konsumen.
e. Ekstrasi kebutuhan produk utama (parent) menjadi kebutuhan kotor setiap
komponen yang berhubungan dengan BOM (Bill Of Material).
(Sumber: Diana Khairani Sofyan, Perencanaan dan Pengendalian Produksi. 2013)

8. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kesulitan dalam proses MRP


a. Struktur Produk
Struktur produk yang rumit serta banyak tingkatnya akan membuat
perhitungan

semekin

kompleks,

terutama

dalam

proses

explosion.

Sebagaimana telah diketahui bahwa proses eksplosion merupakan suatu

prosedur untuk menghitung jumlah kebutuhan kotor pada tingkat yang lebih
bawah setelah dilakukan proses offsetting pada item induknya.
Struktur produk yang kompleks kearah vertical akan membuat proses
MRP (proses netting, lotting, offsetting, explotion) yang berulang-ulang
dilakukan satu per satu dari atas ke bawah serta tingkat demi tingkat dan
periode demi periode. Khususnya untuk proses lotting, penentuan ukuran
lot pada tingkat yang lebih bawah, membutuhkan teknik-teknik yan sangat
sulit (multi level lot size technique). Sehingga dengan semakin kompleksnya
struktur produk akan membuat perhitungan MRP semakin kompleks pula.

b. Ukuran lot
Perkembangan terknik-teknik ukuran lot sebagai salah satu proses terpenting
dalam MRP dapat dikategorikan sebagai berikut:
1) Teknik ukuran lot untuk satu tingkat dengan kapasitas tek terbatas.
2) Teknik ukuran lot untuk satu tingkat dengan kapasitas terbatas.
3) Teknik ukuran lot untuk banyak tingkat dengan kapasitas tak terbatas.
4) Teknik ukuran lot untuk banyak tingkat dengan kapasitas terbatas.

Ada beberapa teknik penerapan ukuran lot untuk satu tingkat dengan
asusmsi kapasitas tak tebatas yang banyak dipakai secara meluas pada
industry mekanis dan elektronis secara berturut-turut, adalah:
1) Fixed period requirement (FPR)
Teknik penetapan ukuran lot dengan kebutuhan periode tetap ini membuat
pesanan bersadsarkan periode waktu tertentu saja. Besarnya jumlah
kebutuhan tidak berdasarkan ramalan, tetapi dengan cara menjumlahkan
kebutuhan bersih pada peiode yang akan datang.
Pada teknik FOQ besarnya jumlah ukuran lot adalah tetap, meskipun selang
waktu antar pemesanan tidak tetap. Sedangkan dalam teknik ini
kebutuhann periode tetap (FPR) ini, sehingga waktu antar pemesanan tetap
dengan ukuran lot sesuai pada kebutuhan bersih.
2) Lot-for-Lot (L-4-L)
Teknik penetapan ukuran lot dengan ini dilakukan atas dasar pesanan
diskrit, di samping itu teknik ini merupakan cara paling sederhana dari
semua teknik ukuran lot yang ada.
Teknik ini hampir selalu melakukan perhitungan kembali terutama sekali
apabila terjadi perubahan pada kebutuhan bersih. Penggunaan teknik ini
bertujuan untuk meminimumkan ongkos simpan, sehingga dengan teknik
ini ongkos simpan menjadi nol. Oleh karena itu sering sekali digunakan
untuk item-iem yang mempunyai harga/unit sangat mahal. Juga apabila
dilihat dari pola kebutuhan yang mempunyai sifat dikontinyu atau tidak

teratur. Maka teknik L-4-L ini memiliki kemampuan yang baik. Disamping
itu teknik ini sering digunakan pada sisem produksi manufaktur yang
mempunyai sifat set-up permanen pada proses produksinya.
3) Fixed Order Quantity (FOQ)
Jumlah pesanan tetap ini sangat spesifik untuk menentukan
persediaan item. Penentuan besarnya lot dapat semau kita, atau dapat pula
memakai intuisi atau melalui factor-faktor empiric atau juga sesuai denan
pengamalan pemakai. Kebijakan ini dapat juga sesuai dengan pengalaman
pemakai. Kebijakan ini ditempuh untuk item-item yang biaya pemesanan
(ordering cost) tinggi, dengan memenuhi kebutuhan bersih dari periode ke
periode.
Besarnya jumlah mencerminkan pertimbangan factor-faktor luar,
seperti peristiwa atau kejadian yang tidak dapat dihitung dengan teknikteknik algoritma untuk ukuran lot. Beberapa keterbatasan kapasitas atau
proses yang harus dipertimbangkan antara lain bats waktu aus/rusak (die
file), penepakan, penyimpanan dan lain sebagainya.
Apabila teknik ini akan diterapkan dalam system MRPm maka
akibatnya besar jumlah pesanan dapat menjadi sama atau lebih besar dari
kebutuhan bersih, yang kadang-kadang diperlukan bila ada lonjakan
permintaan.

4) Economic Order Quantity (EOQ)


Penetapan ukuran lot dengan teknik ini hampir tidak pernah
dilupakan dalam lingkungan MRP karena teknik ini sangat popular sekali
dalam system persediaan tradisional.
Dalam teknik inipun besarnya ukuran lot adalah tetap. Namun
perhitungannya sudah mencakup biaya-biaya pesan serta biaya-biaya
simpan. Metode ini biasanya dipakai untuk horizon perencanaan selama
satu tahun atau sebesar 12 bulan. Sedangkan keefektifan dari metode EOQ
ini sangat akan apabila pola permintaan kebutuhan bersifat kontinyu dan
tingkat kebutuhan bersifat konstan.
Teknik ukuran lot FOQ dan EOQ berorientasi pada tingkat kebutuhan
(demand rate), sedangakan teknik ukuran lot FPR dan L-4-L merupakan
teknik ukuran lot distrik karena hanya memnuhi permintaan sesuai dengan
yang telah direncanakan dalam periode tertentu. Ukuran lot distrik tidak akan
menghasilkan sisa jumlah komponenkarena teknik tersebut hanya memenuhi
permintaan dengan jumlah yang sama seperti telah direncanakan. Kelemahan
dari teknik ukuran lot distrik ini adalah bila dimasa yang akan datang (periode
mendatang) terjadi lonjakan permintaan, maka harus dilakukan perhitungan
nilai kembali.

Teknik penentuan ukuran lot mana yang paling baik dan tepat bagi suatu
perusahaan adalah persoalan yang sangat sulit, karena sangat tergantung pada
hal-hal sebagai berikut:
1) Variasi dari kebutuhan, baik dari segi jumlah maupun periodenya
2) Lamanya horoson perencanaan
3) Ukuran periodenya (mingguan, bulanan dan sebagainya)
4) Perbandingan biaya pesan dari biaya unit
Kesulitan lain dalam penentuan ukuran lot adalah untuk struktur produk
yang bertingkat banyak (multilevel case) karena masih dalam tahap
pengembangan. Sehingga bisa disimpulkan, ada dua pendekatan dalam
menentukan ukuran lot, yaitu period-by-period untuk kasus one-level dan
level-by-level untuk kasus multilevel. Dimana keduanya akna mempengaruhi
tngkat kesulitan MRP.
c. Lead Time berubah-ubah
Salah satu data yang erat kaitannya dengan waktu adalah lead time,
dimana lead time akan mempengaruhi proses offsetting. Suatu perakitan tidak
dapat dilakukan apabila komponen-komponen pembentuknya belum siap
tersedia. Persoalannya menjadi seperti jaringan dimana kita diharapkan pada
masalah penentuan lintasan kritis, saat paling awal, atau saat paling lambat
suatu komponen harus selesai. Kompleksnya masalah akan dirasa pada tahap
penentuan ukuran lot di seti tingkatproduksi, karna persoalannya bukan hanya

menenkan besarnya lot teapi juga memperhatikan persoalan jaringan


(network) di atas.
d. Kebutuhan yang berubah
Perubahan-perubahan terhadap produk akhir dalam suatu horizon
perencanaan sangat peka teradap perubahan dari luar baik prmintan maupun
dari kapasitas. Perubahan kebutuhan akan produk akhir tidak hanya
berpengaruh dari luar baik permintaan maupun dari kapasits. Perubahan
kebutuhan akan produk akhir tidk hanya brpengaruh padapenentuan rencana
pemesanan namun mempengaruhi pula penentuan jumlah kebutuhan yang
diinginkan.
e. Komponen umum
Komponen komponen yang bersifat umum merupakan komponen yang
dibutuhkan untuk lebihdari satuinduk item. Komponen ini biasanya akan
menimbulkan kesulita pada proses netting dan lotting. Proses lotting untuk
komponen ini diperoleh dari semua induknya dengan terlebih dahulu
menentukan rencana kebutuhan (waktu dan jumlah). Kesulitan pada
komponen ini akan bertambah apabila komponen-komponen tersebut ada
pada tingkat yang berbeda, baik dalam satu struktur produk yang sama
maupun struktur produk yang berbeda.
(Sumber: Arman Hakim Nasution, Perencanaan dan Pengendalian Produksi. 2008)

D. KONSEP CRP
1. Pengertian CRP
Perencanaan kebutuhan kapasitas (CRP) adalah suatu perincian
membandingkan kapasitas yang diperlukan oleh rencana kebutuhan material
(MRP) oleh pemesanan sekarang dengan proses verifikasi yang mendasari dalam
membuat suatu akhir penerimaan terhadap pengendali jadwal produksi (MPS)
(Forgarty dkk, 1991).
MRP mengasumsikan bahwa apa yang dijadwalkan dapat diterapkan, tanpa
memperhatikan keterbatasan kapasitas. Kadang-kadang asumsi ini valid, tetapi
kadang-kadang tidak dapat dipenuhi. Perencanaan kebutuhan kapasitas (CRP)
menguji asumsi tersebut dan mengidentifikasi area yang melebihi kapasitas
(overload) dan yang berada di bawah kapasitas (underload), sehingga perencana
dapat mengambil tindakan yang tepat. CRP membandingkan beban (load) yang
ditetapkan pada setiap pusat kerja (work center) melalui open and planned orders
yang diciptakan oleh MRP, dengan kapasitas yang tersedia pada setiap pusat
kerja dalam setiap periode waktu dari horizon perencanaan. Tidak seperti sistem
MRP yang menciptakan new planned orders untuk menghindari kekurangan
material atau item di masa mendatang, sistem CRP tidak menciptakan,
menjadwalkan ulang, atau menghapus pesanan apapun (Gaspersz, 2005).
CRP merupakan fungsi untuk menentukan, mengukur, dan menyesuaikan
tingkat kapasitas atau proses untuk menentukan jumlah tenaga kerja dan sumber
daya mesin yang diperlukan untuk melaksanakan produksi. CRP merupakan

teknik perhitungan kapasitas rinci yang dibutuhkan oleh MRP. CRP


memverifikasi ketersediaan kecukupan kapasitas selama rentang perencanaan.
Berikut ini data-data yang diperlukan untuk melakukan perhitungan CRP:
a. BOM
b. Data induk produk setiap komponen
c. MPS untuk setiap komponen
d. Routing setiap komponen
e. Work Center Master File
Berdasarkan CRP, proses selanjutnya yaitu menghitung MRP kemudian
direkapitulasi menjadi rencana pelaksanaan pesanan (Planned Order Release)
(Sumber: Diana Khairani, Perencanaan dan Pengendalian Produksi. 2013)

2. Tujuan CRP
Tujuan utama CRP adalah menunjukkan perbandingan antara beban yang
ditetapkan pada pusat-pusat kerja melalui pesanan kerja yang ada dan kapasitas
dari setiap pusat kerja selama periode waktu tertentu. Melalui identifikasi
overloads atau underloads, jika ada, tindakan perencanaan kembali (replanning)
dapat dilakukan untuk menghilangkan situasi itu guna mencapai suatu
keseimbangan antara beban dan kapasitas (balanced load). Jika arus kedatangan

pesanan melebihi kapasitas, beban akan meningkat, yang ditandai oleh inventory
yang berada dalam antrian kerja yang tidak diproses di depan pusat kerja.
Sebaliknya jika arus kedatangan pesanan lebih sedikit daripada kapasitas yang
ada, beban (pesanan yang menunggu untuk diproses) akan berkurang (Gaspersz,
2005).
Tujuan dari perencanaan kapasitas pada level ketiga dari hierarki
perencanaan kapasitas adalah berusaha mengatur secara bersama-sama pesanan
kerja yang datang dan/atau kapasitas dari pusat kerja untuk mencapai suatu aliran
yang mantap atau seimbang. Apabila beban bertambah, yang ditandai oleh
banyaknya antrian, maka waktu tunggu pusat kerja (work center lead time) akan
lebih panjang. Penanganan hubungan antara kapasitas dan beban didasarkan pada
kemampuan sistem perencanaan dan pelaksanaan untuk menyesuaikan tingkat
kedatangan pesanan dan kapasitas. Unit pengukuran dari beban dan kapasitas
terbanyak menggunakan jam kerja selam interval waktu tertentu

3. Komponen CRP
Komponen CRP dibagi menjadi dua yaitu :
a. Input
1) Schedule of planned factory order release, merupakan salah satu output
MRP. CRP memiliki dua sumber utama dari load data, yaitu schedule
receipts, yang berisi order due date, order quantity, operations completed,
operations remaining dan planned order releases yang berisi data planned

order releases date, planned order receipt date, planned order quantity.
Sumber-sumber lain seperti : product rework, quality recalls, engineering
prototypes, excess scrap, dan lain-lain, harus diterjemahkan ke dalam satu
dari dua jenis pesanan yang digunakan oleh CRP.
2) Work Order Status yaiutu informasi status ini diberikan untuk semua open
orders yang ada dengan operasi yang masih harus diselesaikan, work center
yang terlibat dan perkiraan waktu.
3) Routing data yaitu memberikan jalur yang direncanakan untuk factory
melalui proses produksi dengan perkiraan waktu produksi
4) Work center data yaitu berkaitan dengan setiap production center, termasuk
sumber-sumber daya, standar-standar utilisasi dan efisiensi, serta kapasitas.
Elemen-elemen data pusat kerja adalah: identifikasi dan deskripsi,
banyaknya mesin atau stasiun kerja, banyaknya hari kerja per
periode,banyaknya shifts yang dijadwalkan per hari kerja, banyaknya jam
kerja per shift, faktor utilisasi dan efisiensi.
b. Proses CRP
1) Menghitung kapasitas pusat kerja (work center). Kapasitas pusat kerja
ditentukan berdasarkan sumber-sumber daya mesin dan manusia,
faktorfaktor jam operasi, efisiensi, dan utilisasi. Kapasitas pusat kerja
biasanya ditentukan secara manual. Termasuk dalam penentuan kapasitas
pusat kerja adalah: identifikasi dan definisi pusat kerja, serta perhitungan
kapasitas pusat kerja.

2) Menentukan beban (load). Perhitungan load pada setiap pusat kerja dalam
setiap periode waktu dilakukan dengan menggunakan backward
scheduling, menggunakan infinite loading, menggandakan load untuk
setiap item melalui kuantitas dari item yang dijadwalkan dalam suatu
periode waktu. Dengan demikian load ditetapkan pada setiap pusat kerja
untuk periode waktu mendatang yang diakumulasikan berdasarkan pada
open orders (scheduled receipts) dan planned factory orders released.
Proses ini biasanya menggunakan komputer.
3) Menyeimbangkan

kapasitas

dan

beban.

Apabila

tampak

ketidakseimbangan antara kapasitas dan beban, salah satu dari kapasitas


atau beban harus disesuaikan kembali untuk memperoleh jadwal yang
seimbang. Apabila penyesuaian-penyesuaian rutin tidak cukup memadai,
penjadwalan ulang dari output MRP atau MPS perlu dilakukan. Hal ini
biasanya merupakan suatu human judgement dan dilakukan secara iteratif
(berulang/berkali-kali) bersama dengan output laporan beban pusat kerja
(work center load report) dari CRP. Dengan kata lain proses akan diulang
sampai memperoleh beban yang dapat diterima (acceptable load)
c. Output
1) Laporan beban pusat kerja (work center load report), laporan ini
menujjukkan hubungan antara kapasitas dan beban. Apabila dalam
laporan ini tampak ketidakseimbangan antara kapasitas dan beban, proses
CRP secara keseluruhan mungkin perlu diulang.

2) Perbaikan schedule of planned factory order releases. Perbaikan jadwal ini


menggambar bahwa output dari MRP disesuaikan terhadap Specific
releases date untuk factory orders berdasarkan perhitungan keterbatasan
kapasitas. Perbaikan schedule of planned factory order releases merupakan
output tidak langsung (indirect output) dari proses CRP sebab mereka
adalah hasil dari human judgements yang berdasarkan pada analisis dari
output laporan beban pusat kerja (work center load reports). Salah satu
pilihan penyesuaian yang mungkin, disamping perubahan kapasitas, adalah
mengubah plannned start dates yang dibuat melalui rencana MRP. Hal ini
mempunyai pengaruh terhadap pergeseran beban di antara periode waktu
untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik. Gambar 2.8. Sistem
Perencanaan Kebutuhan Kapasitas (CRP) (Sumber: Vincent Gasperz,
2005)

4. Tindakan dalam menyeimbangkan kapasitas dan beban


CRP memungkinkan untuk menyeimbangkan beban (load) terhadap kapasitas
(capacity). Berikut ini adalah lima tindakan dasar menurut Gaspersz yang
mungkin diambil apabila terjadi perbedaan (ketidakseimbangan) antara kapasitas
yang ada dengan beban yang dibutuhkan. Tindakan-tindakan ini dapat dilakukan
secara sendiri atau dalam berbagai bentuk kombinasi yang disesuaikan dengan
situasi dan kondisi aktual dari perusahaan industri manufaktur tersebut(Gaspersz,
2005).

a. Meningkatkan Kapasitas (Increasing Capacity)


1) Menambah extra shifts.
2) Menjadwalkan lembur (overtime) atau bekerja di akhir pekan (work
wekeends).
3) Menambah peralatan dan/atau personel.
4) Subkontrak satu atau lebih shop orders.
b. Mengurangi Kapasitas (Reducing Capacity)
1) Menghilangkan shifts atau mengurangi panjang dari shifts.
2) Reassign personnel temporarily (JIT menyarankan penggunaan waktu ini
untuk investasi dalam pendidikan tenaga kerja, atau melakukan perawatan
terhadap peralatan dan fasilitas).
c. Meningkatkan Beban (Increasing Load) Mengeluarkan pesanan lebih awal
(release orders early) dari yang dijadwalkan.
1) Meningkatkan ukuran lot (lot size).
2) Meningkatkan MPS.
3) Membuat item yang dalam keadaan normal item itu dibeli atau
disubkontrakkan.
d. Mengurangi Beban (Reducing Load)
1) Subkontrakkan pekerjaan ke pemasok luar (membeli beberapa item yang
dalam keadaan normal item itu dibuat).
2) Mengurangi ukuran lot (lot size).
3) Mengurangi MPS.

4) Menahan pekerjaan dalam pengendalian produksi (mengeluarkan pesanan


lebih lambat).
5) Meningkatkan waktu tunggu penyerahan (delivery lead times).
e. Mendistribusikan Kembali Beban (Redistributing Load)
1) Menggunakan alternate work centers.
2) Menggunakan alternate routings.
3) Menyesuaikan tanggal mulai operasi ke depan atau ke belakang (lebih awal
atau lebih lambat).
4) Menahan beberapa pekerjaan dalam pengendalian produksi untuk
memperlambat pengeluaran pesanan manufaktur.
5) Memperbaiki MPS.

5. Keuntungan dan kelemahan CRP


Terdapat beberapa keuntungan dan kelemahan dari CRP menurut Gaspersz,
yaitu:
a. Keuntungan dari CRP:
1) Memberikan time-phased visibility dari ketidakseimbangan kapasitas dan
beban.
2) Mengkonfirmasi bahwa kapasitas cukup, ada pada basis kumulatif
sepanjang horizon perencanaan.
3) Mempertimbangkan ukuran lot spesifik dan routings.
4) Menggunakan perkiraan lead time yang lebih cepat daripada MRP.

5) Menghilangkan erratic lead times dengan cara memberikan data untuk


memuluskan beban sepanjang pusat-pusat kerja.
b. Kelemahan atau Keterbatasan dari CRP:
1) Hanya

dapat

diterapkan

terutama

dalam

lingkungan

job

shop

manufacturing.
2) Membutuhkan perhitungan

yang banyak sekali, sehingga harus

menggunakan komputer.
3) Biasanya hanya menggunakan teknik penjadwalan backward scheduling
sehingga tidak menunjukkan letak slack times mungkin dapat digunakan
untuk keseimbangan yang lebih baik.
4) Membutuhkan data input yang banyak.
5) Sering

menghasilkan

perhitungan

terperinci

yang

menyesatkan

(misleading), khususnya planned queue times.


6) Tidak mampu memberikan informasi terperinci yang tepat dalam periode
harian (day-to-day) sehingga keputusan jangka pendek menjadi sulit
diambil secara tepat. II-39 7. Tidak menunjukkan secara jelas pengaruh
dari perbaikan MPS terhadap keseimbangan yang dicapai, sehingga
mungkin membuat situasi tetap jelek.
Bagaimanapun, apabila tidak dilakukan analisis terhadap CRP, konsekuensikonsekuensi berikut dapat timbul: muncul hambatan (bottlenecks), work in
process inventory menjadi tinggi, waktu tunggu menjadi lebih panjang,

keterlambatan penyerahan dan kekurangan produk, penggunaan sumbersumber daya tidak efisien, produktivitas turun dan lain-lain (Gaspersz, 2005).
(Sumber: Pratama, Anda Mulya Pratama (2015) USULAN PERENCANAAN
PRODUKSI DENGAN METODE CAPACITY REQUIREMENT
PLANNING (CRP) (Studi Kasus : CV. RIAU PALLET). Skripsi thesis,
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.)

Anda mungkin juga menyukai