Manajemen Persediaan
1. Konsep Persediaan
Dalam melaksanakan aktivitas produksinya, setiap perusahaan baik jasa
maupun manufaktur pasti akan memerlukan persediaan. Tanpa persediaan,
perusahaan akan dihadapkan pada resiko besar yaitu tidak terpenuhinya
permintaan produk pada waktu yang diinginkan, tetapi sebaliknya jika
perusahaan memiliki persediaan yang berlebih maka akan menimbulkan biaya
penyimpanan.
Persediaan merupakan stock yang dibutuhkan perusahaan untuk mengatasi
adanya fluktuasi permintaan. Persediaan dalam proses produksi dapat diartikan
sebagai sumber daya menganggur, hal ini dikarenakan sumber daya tersebut
masih menunggu dan belum digunakan pada proses berikutnya. Proses
berikutnya yang dimaksud dapat berupa kegiatan produksi pada sistem
menufaktur, kegiatan pemasaran pada sistem distribusi dan juga kegiatan
konsumsi pada sistem kebutuhan rumah tangga. Persediaan dalam suatu sistem
mempunyai suatu tujuan tertentu, hal ini dikarenakan adanya sumber daya
tertentu yang tidak dapat didatangkan ketika sumber daya tersebut dibutuhkan.
Oleh karena itu, untuk menjamin tersedianya sumber daya maka perlu
direncanakan adanya persediaan. Berdasarkan hal tersebut maka defenisi
persediaan adalah sejumlah sumber daya baik berbentuk bahan mentah ataupun
barang jadi yang disediakan perusahaan untuk memenuhi permintaan dari
konsumen.
(Sumber: Fuad Ath Hary, Perencanaa Persediaan Bahan Baku Kayu Gelondongan
dengan Metode Silver Meal. 2011)
c. Fungsi Antisipasi
Apabila
perusahaan
menghadapi
fluktuasi
permintaan
yang
dapat
Masukan
(input)
PERSEDIAAN
Keluaran
(output)
mengalami kekurangan maka kondisi ini disebut dengan out of stock atau
stockout.
Sedangkan output merupakan suatu keluaran material dari sistem
persediaan yang dipengaruhi oleh kebutuhan akan material atau bahan yang
berasal dari input. Contoh keluaran (output) adalah produk jadi atau produk
setengah jadi. Input dan output pada sistem persediaan tidak terlepas dari
permintaan dari permintaan konsumen, makin besar permintaan maka makin
besar input dan output yang dikeluarkan perusahaan. Apabila hal ini tidak
terpenuhi maka hasilnya menunjukkan kegagalan perusahaan dalam
memenuhi kenginan konsumen akan permintaan produk tersebut.
Turn Out
Perusahaan
Repaired
Komponen
Gudang
Pembelian
4. Safety Stock
Dalam mengatasi variasi acak, khususnya dalam permintaan dan lead time,
maka diperlukaan suatu sistem persediaan pengaman (safety stock = SS) yang
akan mengurangi risiko kehabisan persediaan. Semakin besar tingkat safety
stock-nya maka kemungkinan kehabisan persediaan semakin kecil, tetapi
akibatnya adalah biaya holding safety stock-nya semakin besar sehingga tujuan
yang ingin dicapai adalah mmencari keseimbangan antara holding cost tambahan
karena adanya safety stock dan perkiraan biaya kehabisan persediaan. Tingkat
optimal dari safety stock adalah bila biaya total persediaannya minimum.
Dalam perhitungan ROP dibutuhkan safety stock yaitu persediaan
pengaman untuk mengetahui berapa besar persediaan yang dibutuhkan selama
masa tenggang dalam memenuhi besarnya permintaan. Ada tiga komponen yang
menjadi pertimbangan dalam menentukan safety stock, yaitu:
a. Variasi permintaan. Sangat jarang sekali kita menemukan kasus dimana
permintaan itu stabil apalagi sama setiap bulannya, selalu ada variasi
permintaan. Logikanya semakin tinggi variasi permintaan dari waktu ke
waktu, maka peluang untuk menjadi stock out (kekurangan persediaan saat
ada permintaan) akan semakin besar. Oleh karena itu, faktor variasi
permintaan ini pun harus berbanding lurus dengan safety stock yang kita
butuhkan.
b. Lead Time. Ada berbagai macam lead time mulai dari lead time produksi, lead
time transportasi, dan lead time yang lain tergantung termnologi tiap-tiap
perusahaan. Yang jelas, sejak suatu produk dipesan hingga diantar kepada
yang memesan, waktu yang dibutuhkannya juga bervariasi. Seperti halnya
variasi permintaan, maka semakin besar lead time-nya maka harus semakin
besar safety stock yang kita butuhkan.
c. Service level. Karena sulitnya memperkirakan biaya kehabisan persediaan
secara tepat, maka biasanya manajemen menentukan ukuran safety stock
berdasarkan tingkat ppelayanan (service level) yang harus diberikan kepada
konsumen. Setiap perusahaan perlu menetapkan berapa service level yang
diberikan kepada pelanggannya. Secara sederhana, kalau ada 100 permintaan,
berapa banyak yang dapat ditolerir untuk tidak terpenuhi? Jika hanya 5, maka
service level adalah 95%, idealnya adalah 100%, tetapi itu berarti perusahaan
harus menyediakan safety stock yang sangat besar. Karena safety stock adalah
inventory, maka uang yang tertanampun harus diperhatikan.
Untuk menentukan besarnya safety stock, dapat dipakai cara yang relatif lebih
teliti yaitu dengan metode sebagai berikut (Rangkuty, 2007):
SS = (d)
Keterangan:
SS = Safety Stock
Z
= Service Level
d
= Standar Deviasi dari tingkat kebutuhan
= Lead Time
5. Reorder Point
Reorder Point adalah saat atau titik dimana harus diadakan lagi pemesanan
sedemikian rupa sehingga penerimaan atau kedatangan material tapat pada waktu
dimana persediaan sama dengan nol. Faktor-faktor yang harus diperhatikan
dalam penetuan reorder point adalah:
a. Penggunaan material selama tenggang waktu mendapatkan barang yaitu
waktu dimana meliputi usaha-usaha untuk memesan barang atau material
hingga diterima dan ditempatkan di dalam gudang.
b. Besarnya safety stock yaitu jumlah persediaan pengaman yang harus ada
untuk menjamin kelangsungan proses produksi
Dari kedua faktor di atas, maka reorder point dapat dicari dengan rumus berikut
ini :
Reorder Point = (LD x AU) + SS
Keterangan:
LD
= Lead Time
AU
= Average Usage = Pemakaian rata-rata
SS
= Safety Stock
yang dibeli dalam jumlah besar. Dalam banyak teori persediaan, seringkali
komponen biaya pembelian ini tidak dimasukkan ke dalam biaya persediaan
karena diasumsikan komponen biaya pembelian untuk suatu periode tertentu
(misalnya satu tahun) dianggap konstan dan hal ini tidak akan mempengaruhi
jawaban optimal tentang berapa banyaknya barang yang harus dipesan.
b. Biaya pengadaan barang (procurement cost), yaitu biaya pengadaan
kebutuhan akan barang yang dibedakan atas dua jenis biaya sesuai dengan asal
barang, yaitu biaya pemesanan (ordering cost) bila barang yang dibutuhkan
didapatkan dari pihak luar dan biaya pembuatan (setup cost) bila barang yang
dibutuhkan dengan cara membuat sendiri.
1) Biaya pemesanan (ordering cost) merupakan seluruh pengeluaran yang
timbul untuk mendatangkan barang dari luar. Biaya ini meliputi biaya
untuk menentukan supplier, pembuatan pesanan, penggiriman pesanan,
biaya pengangkutan, biaya penerimaan dan sebagainya. Biaya ini
diasumsikan konstan setiap kali pesan.
2) Biaya pembuatan (setup cost) merupakan keseluruhan pengeluaran yang
timbul dalam mempersiapkan produksi suatu barang. Biaya ini timbul di
dalam perusahaan yang meliputi biaya penyusunan peralatan produksi,
menyetel mesin, penyusunan barang di gudang dan sebagainya.
Karena kedua biaya tersebut mempunyai peranan yang sama yaitu sebagai
pengadaan maka di dalam sistem persediaan biaya tersebut sering disebut
biaya pengadaan (procurement cost)
elektronik
sangat
cepat
berkembang
dan
dapat
B. Sistem Produksi
1. Pengertian Sistem Produksi
Menurut Suhardi Sigit (2007:74) menyatakan Produksi adalah salah satu
fungsi-fungsi yang ada pada perusahaan, yang mana fungsi-fungsi itu antara lain:
pembelian, pemasaran, transportasi, keuangan, pembukuan, penggudangan, dan
kegiatan-kegiatan lainnya yang dilakukan perusahaan untuk mendapatkan laba.
Menurut Arman Hakim Nasution (2003:6) Produksi adalah semua
kegiatan mulai dari pengangkutan bahan galian dari cadangan sumber daya alam
terbukti kepermukaan bumi sampai dipasarkan, dan dimanfaatkan atau diolah
lebih lanjut.
organisasi.
Suatu sistem produksi selalu berada dalam lingkungan, sehingga aspekaspek lingkungan seperti perkembangan tekhnologi, sosial dan ekonomi, serta
kebijakan pemerintah aan sangat mempengaruhi keberadaan sistem produksi
itu. Secara skematis, sistem produksi dapat digambarkan dalam Gambar berikut:
LINGKUNGAN
INPUT
-
PROSES
Tenaga Kerja
Modal
Material
Energi
Tanah
Informasi
Manajerial
PROSES
TRANSFORMASI
NILAI TAMBAH
OUTPUT
PRODUK
(Barang dan/
Jasa)
sering digunakan untuk dunia industri, dimana bahan baku diubah menjadi
barang jadi dalam skala yang besar.
Manufaktur ada dalam segala bidang sistim ekonomi. Dalam ekonomi
pasar bebas, manufakturing biasanya selalu berarti produksi secara masal untuk
dijual ke pelanggan untuk mendapatkan keuntungan. Beberapa industri seperti
semikonduktor dan baja lebih sering menggunakan istilah fabrikasi dibandingkan
manufaktur. Sektor manufaktur sangat erat terkait dengan rekayasa atau teknik.
(Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Manufaktur; diakses pada tanggal 15 Oktober
2015 Pukul 10.21)
melalui
proses
perancangan,
perencanaan,
pengoperasian,
Teknologi
Ekonomi
Material
Produk
Tenaga Kerja
Proses
Dana
Limbah
Transformasi
Mesin
Informasi
Informasi
Proses
Manajemen
Dana Masuk
Dana Keluar
Politis
Sosial budaya
4. Jenis-Jenis Manufaktur
a. Sistem Produksi Menurut Proses Menghasilkan Output
Proses produksi merupakan cara, metode, dan teknik untuk menciptakan atau
menambah kegunaan suatu produk dengan mengoptimalkan sumber daya
produksi (tenaga kerja, mesin, bahan baku, dana) yang ada. Sistem produksi
menurut proses menghasilkan output secara ekstrem dapat dibedakan menjadi
dua jenis, yaitu:
1) Proses Produksi Kontinyu (Continous Process) contohnya pada pabrik
pembuatan biskuit.
2) Proses
Produksi
Terputus
(Intermittent
process/Discrate
System)
produk yang dihasilkan pada aliran lintasan perakitan flow shop. Contoh
pabrik pembuuatan tea gelas.
5) Proyek, merupakan proses penciptaan satu jenis produk yang agak rumit
dengan suatu pendefinisian urutan tugas yang teratur dengan kebutuhan
sumber daya dan penyelesaiannya dibatasi oleh waktu.
Menentukan secara tepat kapan suatu pekerjaan harus selesai (atau material
harus tersedia) untuk memenuhi permintaan atas produk akhir yang sudah
direncanakan dalam Jadwal Induk Produksi.
b. Pembentukan kebutuhan minimal setiap item.
Dengan diketahuinya kebutuhan akan produk akhir, MRP dapat menentukan
secara tepat system penjadwalan (prioritas) untuk memenuhi semua
kebutuhan minimal setiap item.
c. Menentukan pelaksanaan rencana pemesanan.
Memberikan indikasi kapan pemesanan atau pembatalan pemesanan harus
dilakukan. Pemesanan perlu dilakukan lewat pembelian atau dibuat di pabrik
sendiri.
d. Menentukan penjadwalan ulang atau pembatalan atas suatu jadwal yang
sudah direncanakan.
Apabila kapasitas yang ada tidak mampu memenuhi pesanan yang
dijadwalkan pada waktu yang diinginkan, maka MRP dapat memberikan
indikasi untuk melakukan rencana penjadwalan ulang (jika mungkin) dengan
menentukan prioritas pesanan yang realistik. Jika penjadwalan ulang ini
masaih tidak memungkinkan untuk memenuhi pesanan, maka pembatalan
atas suatu pesanan harus dilakukan.
(Sumber: Arman Hakim Nasution & Yudha Prasetyawan, Perencanaan dan
Pengendalian Produksi, 2008)
ongkos
pemesanan
(order
cost)
dengan
ongkos
Kebutuhan bersih ( Rt )
55 220 40
20 40 30 10 40 0
Data Ongkos
Harga perunit (C)
= Rp. 50,-
= Rp. 100,-
(It ) =
Rp. 0.02/periode
Ongkos Simpan
( I up ) =
a.
=0
Periode ( t )
20
40 30 10 40
Kuantitas Pemesanan Xt
100
Persediaan
80
40 10 0
55
20
100
100
60
60 105 85
Total
40 255
300
45 485
2A.
i
dimana :
EOQ
= kuantitas pemesanan
(2.1)
i = ongkos Simpan
Jika kita mengasumsikan bahwa periode yang ada pada contoh
sebelumnya sama, maka ukuran lot dengan menggunakan teknik EOQ ini
adalah :
EOQ
2 x100 x 28,3
1
= 75 unit
Maka ukuran lot sebesar 75 unit ini dipakai untuk memenuhi
kebutuhan bersih yang ada sepanjang horizon perencanaan dengan cara
sebagai berikut :
Periode ( t )
20
Kuantitas Pemesanan Xt
75
Persediaan
55
40 30 10 40
75
15 60 50 10
55
20
75
10 30
Total
40 255
75 300
10
45 285
c.
dilakukan
dengan
mempertimbangkan
ongkos
Total
20
40 30 10 40
55
20
40 255
Kuantitas Pemesanan Xt
20
40 30 10 40
55
20
40 255
Persediaan
Ongkos simpan = 0
Total ongkos
20
40 30 10 40
55
Total
20
40 255
Kuantitas
Pemesanan Xt
90
Persediaan
70
50
30 0
40 0
115
0
60
255
40
240
e.
EOQ
2C
RPh
(2.2)
dimana :
EOI
= 12
= 255
= 28,3
= 75
= 100
=1
= 50
Penyelesaian :
EOI
EOQ
75
2,6
R
28,3
20
Kuantitas Pemesanan Xt
60
Persediaan
40
40 30 10 40
40
40
10 0
55
20
40 255
75
0
20
Total
40 255
0
70
kalau
ditambah
dengan
periode-periode
berikutnya.
Periode
Ongkos pengadaan
Rp. 100
Ongkos simpan
Setup
Perunit
20
100
100
1-2
60
100
40
140
2,3
1-3
90
100
100
200
2,2
1-4
100
100
130
230
2,3
10
100
100
10
4-5
50
100
40
140
2,8
Ket
Terpilih
4-6
50
100
40
140
2,8
4-7
105
100
205
305
2,9
55
100
100
1,8
7-8
75
100
20
120
1,6
7-9
115
100
100
200
1,7
40
100
100
2,5
Terpilih
Terpilih
Terpilih
Keterangan :
Periode penyimpanan adalah periode yang dicakup oleh bakal lot
size.
Bakal LS adalah ukuran kuantitas pemesanan (lot size) yang akan dipilih
yang besarnya merupakan kumulatif kebutuhan bersih dari periode yang
dicakup.
Ongkos simpan untuk lot adalah Kebutuhan bersih dikali ongkos
simpan/unit dikali lama digudang.
Ongkos total adalah ongkos setup ditambah ongkos simpan.
Ongkos per unit adalah ongkos total dibagi banyak kumulatif
demand. Secara lengkap hasil perhitungan yang ada di tabel 8 dapat
ditulis atau dirangkum dalam tabel dibawah ini :
Periode ( t )
Kebutuhan
(Rt)
20
40 30 10 40
55
20
Total
40 255
Kuantitas Pemesanan
Xt
90
Persediaan
70
50
30 0
40 0
75
0
20
40 255
0
160
Ongkos simpan
= (70+30+40+20) = 160
= 160 x Rp. 1, - = Rp. 160,-
Total ongkos
g.
EPP
S 100
100
h
1
Periode
20
40
40
40
30
60
100
10
40
40
40
40
55
165
205
55
20
20
20
40
80
100
Total
Unit
90
50
115
20
55
20
40 255
Kuantitas Pemesanan Xt
90
Persediaan
70
40 30 10 40
50
30 0
40 0
115
0
60
Total
255
40
240
Ongkos simpan
= Rp 1 (70+30+40+60+40) = Rp 240
Total ongkos
jumlah
pesanan
(lot)
dilaksanakan
dengan
EPP
S
h
(2.4)
dimana :
S = ongkos Pesan /ongkos Setup
h = ongkos Simpan per unit per periode
Sebagai contoh tabel 12 di bawah ini adalah contoh pemakaian teknik
PPB dengan menggunakan data yang digunakan pada contoh
sebelumnya. Dengan nilai EPP adalah sebagai berikut :
EPP
Periode
S 100
100
h
1
20
40
40
40
30
60
100
10
40
40
40
40
55
165
205
55
20
20
20
40
80
100
Total
Unit
90
50
115
Periode ( t )
Kebutuhan
bersih
(Rt)
20
40 30 10 40
Kuantitas Pemesanan
Xt
90
Persediaan
70
50
30 0
40 0
55
20
40 255
115
0
60
Total
255
40
240
Ongkos simpan
= (70+30+40+60+40) = 240
= 240 x Rp. 1,- = Rp. 240,-
Total ongkos
i.
T
T
T
C Ph (k 1)R k
k 1
dimana :
C= biaya pemesanan per periode
h = persentase biaya simpan per periode
P = biaya pembelian per unit
Ph
2.
3.
T dt
t T
4.
5.
(Kol 6
/T)
1
20
50(1)(0)(20) = 0
100
100
40
50(1)(1)(40) = 2000
2000
2100
1050
40
50(1)(0)(40) = 0
100
100
30
50(1)(1)(30) = 1500
1500
1600
800
30
50(1)(0)(30) = 0
100
100
10
50(1)(1)(10) = 500
500
600
300
10
50(1)(0)(10) = 0
100
100
40
50(1)(1)(40) = 2000
2000
2100
1050
40
50(1)(0)(40) = 0
100
100
50(1)(1)(0) = 0
100
50
55
50(1)(2)(55) = 5500
5500
5600
1867
55
50(1)(0)(55) = 0
100
100
40
50(1)(1)(40) = 2000
2000
2100
1050
bersih
20
40 30 10 40
Xt
20
40 30
Persediaan
(Rt)
Kuantitas Pemesanan
10
0
40
0
Total
55
20
40 255
55
20
40 255
Ongkos simpan
=0
Total ongkos
j.
waktu.
Algorithim
Wagner-Whittin
suatu
pendekatan
ini
menggunakan
beberapa
keterangan
untuk
z c
dimana :
C= biaya pesan per pesan.
i
= biaya simpan.
Q ce R k 9
k c
2.
for c = 1, 2, 3.., e
(2.9)
fn Z w N f w 1
f w 1 Z vw1 f v1
c.
f w 1 Z1w1 f 0
2.
3.
Kurun
perencanaan,
mempengaruhi
teknik
ukuran
C h. t T dt
t T
dalam
Struktur produk berisi informasi tentang hubungan antara komponenkomponen dalam suatu perakitan. Informasi ini sangat penting dalam
penentuan kebutuhan kotor dan kebutuhan bersih. Lebih jauh lagi, struktur
produk memberikan informasi tentang semua item, seperti: nomor item,
jumlah yang dibutuhkan pada setiap perakitan jumlah produk akhir yang
harus dibuat. Selain itu ada input tambahan untuk system MRP, yaitu :
a) Pesanan komponen dari perusahaan lain yang membutuhkan
b) Peramalan atas item yang bersifat independen.
Pesanan komponen dari perusahaan lain termasuk juga pesanan untuk
komponen purna jual, pesanan antar perusahaan, ataupun kepentingankepentingan lain yang tidak berhubungan dengan prosuksi, misalnya:
untuk eksperimen, testing destruktif (pengujuan), promosi, pemeliharaan
serta untuk kepentingan lainnya.
System MRP menambahkan hal-hal tersebut ke dalam kebutuhan kotor untuk
item yang dibutuhkan. Sehingga kini MRP dapat lebih umum penerapannya.
Peramalan atas item yang bersifat independen, dimana mencakup komponenkomponen yang dibutuhkan namun berada diluar system MRP dapat dibuat
program khusus yang akan melengkapi system MRP, misalnya denan
kombinasi, teknik peramalan statistic. Jumlah dari hasil ramalan ditambahkan
pada kebutuhan kotor pada system MRP. Peramalan disini termasuk
peramalan atas pesanan komponen perusahaan lain dan peramalan atas item
yang independen.
b. Output untuk system MRP
Rencana pemesanan merupakan output dari MRP yang dibuat atas dasar
waktu ancang-ancang dari setiap komponen.waktu ancang-ancangdari suatu
item yang dibeli merupakan periode antara pesanan dilakukan sampai barang
diterima (on-hand), sedangkan untuk produk yang dibuat di pabrik sendiri,
merupakan periode antara perintah item harus dibuat sampai dengan selesai
diproses. Secara umum, output MRP adalah:
1) Memberikan
catatan
tentang
pesanan
penjadwalan
yang
harus
semekin
kompleks,
terutama
dalam
proses
explosion.
prosedur untuk menghitung jumlah kebutuhan kotor pada tingkat yang lebih
bawah setelah dilakukan proses offsetting pada item induknya.
Struktur produk yang kompleks kearah vertical akan membuat proses
MRP (proses netting, lotting, offsetting, explotion) yang berulang-ulang
dilakukan satu per satu dari atas ke bawah serta tingkat demi tingkat dan
periode demi periode. Khususnya untuk proses lotting, penentuan ukuran
lot pada tingkat yang lebih bawah, membutuhkan teknik-teknik yan sangat
sulit (multi level lot size technique). Sehingga dengan semakin kompleksnya
struktur produk akan membuat perhitungan MRP semakin kompleks pula.
b. Ukuran lot
Perkembangan terknik-teknik ukuran lot sebagai salah satu proses terpenting
dalam MRP dapat dikategorikan sebagai berikut:
1) Teknik ukuran lot untuk satu tingkat dengan kapasitas tek terbatas.
2) Teknik ukuran lot untuk satu tingkat dengan kapasitas terbatas.
3) Teknik ukuran lot untuk banyak tingkat dengan kapasitas tak terbatas.
4) Teknik ukuran lot untuk banyak tingkat dengan kapasitas terbatas.
Ada beberapa teknik penerapan ukuran lot untuk satu tingkat dengan
asusmsi kapasitas tak tebatas yang banyak dipakai secara meluas pada
industry mekanis dan elektronis secara berturut-turut, adalah:
1) Fixed period requirement (FPR)
Teknik penetapan ukuran lot dengan kebutuhan periode tetap ini membuat
pesanan bersadsarkan periode waktu tertentu saja. Besarnya jumlah
kebutuhan tidak berdasarkan ramalan, tetapi dengan cara menjumlahkan
kebutuhan bersih pada peiode yang akan datang.
Pada teknik FOQ besarnya jumlah ukuran lot adalah tetap, meskipun selang
waktu antar pemesanan tidak tetap. Sedangkan dalam teknik ini
kebutuhann periode tetap (FPR) ini, sehingga waktu antar pemesanan tetap
dengan ukuran lot sesuai pada kebutuhan bersih.
2) Lot-for-Lot (L-4-L)
Teknik penetapan ukuran lot dengan ini dilakukan atas dasar pesanan
diskrit, di samping itu teknik ini merupakan cara paling sederhana dari
semua teknik ukuran lot yang ada.
Teknik ini hampir selalu melakukan perhitungan kembali terutama sekali
apabila terjadi perubahan pada kebutuhan bersih. Penggunaan teknik ini
bertujuan untuk meminimumkan ongkos simpan, sehingga dengan teknik
ini ongkos simpan menjadi nol. Oleh karena itu sering sekali digunakan
untuk item-iem yang mempunyai harga/unit sangat mahal. Juga apabila
dilihat dari pola kebutuhan yang mempunyai sifat dikontinyu atau tidak
teratur. Maka teknik L-4-L ini memiliki kemampuan yang baik. Disamping
itu teknik ini sering digunakan pada sisem produksi manufaktur yang
mempunyai sifat set-up permanen pada proses produksinya.
3) Fixed Order Quantity (FOQ)
Jumlah pesanan tetap ini sangat spesifik untuk menentukan
persediaan item. Penentuan besarnya lot dapat semau kita, atau dapat pula
memakai intuisi atau melalui factor-faktor empiric atau juga sesuai denan
pengamalan pemakai. Kebijakan ini dapat juga sesuai dengan pengalaman
pemakai. Kebijakan ini ditempuh untuk item-item yang biaya pemesanan
(ordering cost) tinggi, dengan memenuhi kebutuhan bersih dari periode ke
periode.
Besarnya jumlah mencerminkan pertimbangan factor-faktor luar,
seperti peristiwa atau kejadian yang tidak dapat dihitung dengan teknikteknik algoritma untuk ukuran lot. Beberapa keterbatasan kapasitas atau
proses yang harus dipertimbangkan antara lain bats waktu aus/rusak (die
file), penepakan, penyimpanan dan lain sebagainya.
Apabila teknik ini akan diterapkan dalam system MRPm maka
akibatnya besar jumlah pesanan dapat menjadi sama atau lebih besar dari
kebutuhan bersih, yang kadang-kadang diperlukan bila ada lonjakan
permintaan.
Teknik penentuan ukuran lot mana yang paling baik dan tepat bagi suatu
perusahaan adalah persoalan yang sangat sulit, karena sangat tergantung pada
hal-hal sebagai berikut:
1) Variasi dari kebutuhan, baik dari segi jumlah maupun periodenya
2) Lamanya horoson perencanaan
3) Ukuran periodenya (mingguan, bulanan dan sebagainya)
4) Perbandingan biaya pesan dari biaya unit
Kesulitan lain dalam penentuan ukuran lot adalah untuk struktur produk
yang bertingkat banyak (multilevel case) karena masih dalam tahap
pengembangan. Sehingga bisa disimpulkan, ada dua pendekatan dalam
menentukan ukuran lot, yaitu period-by-period untuk kasus one-level dan
level-by-level untuk kasus multilevel. Dimana keduanya akna mempengaruhi
tngkat kesulitan MRP.
c. Lead Time berubah-ubah
Salah satu data yang erat kaitannya dengan waktu adalah lead time,
dimana lead time akan mempengaruhi proses offsetting. Suatu perakitan tidak
dapat dilakukan apabila komponen-komponen pembentuknya belum siap
tersedia. Persoalannya menjadi seperti jaringan dimana kita diharapkan pada
masalah penentuan lintasan kritis, saat paling awal, atau saat paling lambat
suatu komponen harus selesai. Kompleksnya masalah akan dirasa pada tahap
penentuan ukuran lot di seti tingkatproduksi, karna persoalannya bukan hanya
D. KONSEP CRP
1. Pengertian CRP
Perencanaan kebutuhan kapasitas (CRP) adalah suatu perincian
membandingkan kapasitas yang diperlukan oleh rencana kebutuhan material
(MRP) oleh pemesanan sekarang dengan proses verifikasi yang mendasari dalam
membuat suatu akhir penerimaan terhadap pengendali jadwal produksi (MPS)
(Forgarty dkk, 1991).
MRP mengasumsikan bahwa apa yang dijadwalkan dapat diterapkan, tanpa
memperhatikan keterbatasan kapasitas. Kadang-kadang asumsi ini valid, tetapi
kadang-kadang tidak dapat dipenuhi. Perencanaan kebutuhan kapasitas (CRP)
menguji asumsi tersebut dan mengidentifikasi area yang melebihi kapasitas
(overload) dan yang berada di bawah kapasitas (underload), sehingga perencana
dapat mengambil tindakan yang tepat. CRP membandingkan beban (load) yang
ditetapkan pada setiap pusat kerja (work center) melalui open and planned orders
yang diciptakan oleh MRP, dengan kapasitas yang tersedia pada setiap pusat
kerja dalam setiap periode waktu dari horizon perencanaan. Tidak seperti sistem
MRP yang menciptakan new planned orders untuk menghindari kekurangan
material atau item di masa mendatang, sistem CRP tidak menciptakan,
menjadwalkan ulang, atau menghapus pesanan apapun (Gaspersz, 2005).
CRP merupakan fungsi untuk menentukan, mengukur, dan menyesuaikan
tingkat kapasitas atau proses untuk menentukan jumlah tenaga kerja dan sumber
daya mesin yang diperlukan untuk melaksanakan produksi. CRP merupakan
2. Tujuan CRP
Tujuan utama CRP adalah menunjukkan perbandingan antara beban yang
ditetapkan pada pusat-pusat kerja melalui pesanan kerja yang ada dan kapasitas
dari setiap pusat kerja selama periode waktu tertentu. Melalui identifikasi
overloads atau underloads, jika ada, tindakan perencanaan kembali (replanning)
dapat dilakukan untuk menghilangkan situasi itu guna mencapai suatu
keseimbangan antara beban dan kapasitas (balanced load). Jika arus kedatangan
pesanan melebihi kapasitas, beban akan meningkat, yang ditandai oleh inventory
yang berada dalam antrian kerja yang tidak diproses di depan pusat kerja.
Sebaliknya jika arus kedatangan pesanan lebih sedikit daripada kapasitas yang
ada, beban (pesanan yang menunggu untuk diproses) akan berkurang (Gaspersz,
2005).
Tujuan dari perencanaan kapasitas pada level ketiga dari hierarki
perencanaan kapasitas adalah berusaha mengatur secara bersama-sama pesanan
kerja yang datang dan/atau kapasitas dari pusat kerja untuk mencapai suatu aliran
yang mantap atau seimbang. Apabila beban bertambah, yang ditandai oleh
banyaknya antrian, maka waktu tunggu pusat kerja (work center lead time) akan
lebih panjang. Penanganan hubungan antara kapasitas dan beban didasarkan pada
kemampuan sistem perencanaan dan pelaksanaan untuk menyesuaikan tingkat
kedatangan pesanan dan kapasitas. Unit pengukuran dari beban dan kapasitas
terbanyak menggunakan jam kerja selam interval waktu tertentu
3. Komponen CRP
Komponen CRP dibagi menjadi dua yaitu :
a. Input
1) Schedule of planned factory order release, merupakan salah satu output
MRP. CRP memiliki dua sumber utama dari load data, yaitu schedule
receipts, yang berisi order due date, order quantity, operations completed,
operations remaining dan planned order releases yang berisi data planned
order releases date, planned order receipt date, planned order quantity.
Sumber-sumber lain seperti : product rework, quality recalls, engineering
prototypes, excess scrap, dan lain-lain, harus diterjemahkan ke dalam satu
dari dua jenis pesanan yang digunakan oleh CRP.
2) Work Order Status yaiutu informasi status ini diberikan untuk semua open
orders yang ada dengan operasi yang masih harus diselesaikan, work center
yang terlibat dan perkiraan waktu.
3) Routing data yaitu memberikan jalur yang direncanakan untuk factory
melalui proses produksi dengan perkiraan waktu produksi
4) Work center data yaitu berkaitan dengan setiap production center, termasuk
sumber-sumber daya, standar-standar utilisasi dan efisiensi, serta kapasitas.
Elemen-elemen data pusat kerja adalah: identifikasi dan deskripsi,
banyaknya mesin atau stasiun kerja, banyaknya hari kerja per
periode,banyaknya shifts yang dijadwalkan per hari kerja, banyaknya jam
kerja per shift, faktor utilisasi dan efisiensi.
b. Proses CRP
1) Menghitung kapasitas pusat kerja (work center). Kapasitas pusat kerja
ditentukan berdasarkan sumber-sumber daya mesin dan manusia,
faktorfaktor jam operasi, efisiensi, dan utilisasi. Kapasitas pusat kerja
biasanya ditentukan secara manual. Termasuk dalam penentuan kapasitas
pusat kerja adalah: identifikasi dan definisi pusat kerja, serta perhitungan
kapasitas pusat kerja.
2) Menentukan beban (load). Perhitungan load pada setiap pusat kerja dalam
setiap periode waktu dilakukan dengan menggunakan backward
scheduling, menggunakan infinite loading, menggandakan load untuk
setiap item melalui kuantitas dari item yang dijadwalkan dalam suatu
periode waktu. Dengan demikian load ditetapkan pada setiap pusat kerja
untuk periode waktu mendatang yang diakumulasikan berdasarkan pada
open orders (scheduled receipts) dan planned factory orders released.
Proses ini biasanya menggunakan komputer.
3) Menyeimbangkan
kapasitas
dan
beban.
Apabila
tampak
dapat
diterapkan
terutama
dalam
lingkungan
job
shop
manufacturing.
2) Membutuhkan perhitungan
menggunakan komputer.
3) Biasanya hanya menggunakan teknik penjadwalan backward scheduling
sehingga tidak menunjukkan letak slack times mungkin dapat digunakan
untuk keseimbangan yang lebih baik.
4) Membutuhkan data input yang banyak.
5) Sering
menghasilkan
perhitungan
terperinci
yang
menyesatkan
keterlambatan penyerahan dan kekurangan produk, penggunaan sumbersumber daya tidak efisien, produktivitas turun dan lain-lain (Gaspersz, 2005).
(Sumber: Pratama, Anda Mulya Pratama (2015) USULAN PERENCANAAN
PRODUKSI DENGAN METODE CAPACITY REQUIREMENT
PLANNING (CRP) (Studi Kasus : CV. RIAU PALLET). Skripsi thesis,
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.)