Anda di halaman 1dari 57

BAB IV

KINERJA ALIRAN FLUIDA


4.1. Aliran Dalam Media Berpori
Fluida yang mengalir dari formasi produksi ke lubang sumur akan
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :

Sifat fisik formasi

Sifat fisik fluida yang mengalir

Geometri sumur dan daerah pengurasan

Perbedaan tekanan antara formasi produktif dan lubang bor saat terjadi aliran
Fluida dari reservoir dapat berupa gas, minyak dan air. Pada kondisi

tekanan di atas bubble point, gas masih terlarut dalam minyak sehingga aliran
fluida hanya satu fasa saja (cair). Bila tekanan reservoir sudah berada di bawah
bubble point, maka gas akan memisahkan diri dan ikut mengalir bersama minyak,
sehingga dengan demikian aliran fluida menjadi dua fasa (gas dan minyak).
Persaman aliran fluida dalam reservoir pertama kali dikemukakan oleh
Henry Darcy, sebagaimana dinyatakan dalam persamaan berikut ini :

q
k dP

A
dL

.............................................................................. ( 4-1 )

dimana :
v

= kecepatan aliran fluida, cm/s

= laju aliran fluida, cm3/s

= luas penampang batuan, cm2

= permeabilitas batuan, mD

= viskositas fluida, cp

= tekanan, atm

= panjang batuan, cm

Akan tetapi Persaman (4-1) tersebut hanya berlaku untuk aliran linier saja
dengan jenis aliran steady state dan fluidanya satu fasa incompressible. Sedangkan
aliran pada rseervoir dianggap sebagai aliran radial dengan lebih dari satu fasa,
sehingga persamaan di atas perlu dikembangkan lagi untuk perhitungan aliran di
reservoir.
Untuk aliran radial, dikembangkan persamaan berdasarkan persamaan 4-1,
yaitu :

k A dP
dr

.................................................................................... ( 4-2 )

Dengan mengintegrasikan persamaan di atas, untuk kondisi aliran steady


state akan diperoleh persamaan :

r2

r1

r2 k
dr
2h
dP ................................................................
r
1
r

( 4-3 )

maka untuk k dan konstan pada interval tekanan P1 dan P2 :

q 2h

k ( P 2 P1)
..................................................................... ( 4-4 )
Ln(re / rw)

Dengan mengatur notasi yang sesuai, maka akan didapat :

q 0,007082

k h ( Pe Pwf )
........................................................ ( 4-5 )
Ln( re / rw)

Untu kondisi di permukaan ditulis sebagai :

q 0,007082

dimana :

k h ( Pe Pwf )
....................................................... ( 4-6 )
B Ln( re / rw)

= FVF fluida, bbl/STB

Pe

= tekanan reservoir pada jarak re

Pwf

= tekanan alir dasar sumur, psi

re

= jari-jari pengurasan sumur, ft

rw

= jari-jari lubang sumur, ft

= ketebalan lapisan rata-rata, ft

4.1.1. Aliran Fluida Linier


Gambar (4.1) menyatakan aliran linier sepanjang suatu benda dengan
irisan konstanta, dimana kedua ujungnya terbuka keseluruhan untuk aliran dan
tidak terdapat cfrossflow pada tepinya, baik di atas maupun di dasar.

Gambar 4.1
Model aliran linier 6)

Jika aliran yang mengalir incompressible, maka kecepatan fluida yang


mengalir akan sama untuk stiap titik. Rate aliran (q) disini bukan merupakan
fungsi tekanan. Maka persamaannya menjadi :

q
dx
A 0

p2

dp ...................................................................... ( 4-7 )

p1

syarat batas x = 0 P = P1
x = L P = P2

qL
k

( P1 P2 ) ............................................................................
A

( 4-8 )

KA ( P1 P2 )
.......................................................................... ( 4-9 )
L

K A P
L

................................................................................. ( 4-10 )

dimana :
q

= rate aliran, bbl/day

= permeabilitas efektif, darcy

= viskositas fluida, cp

= beda tekanan, psi

4.1.2. Aliran Fluida Radial


Pada Gambar 4.2 ialah menyatakan aliran radial dalam system, dimana re
dan rw ialah jari-jari batas luar dari sumur, Pe dan Pw adalah masing-masing
tekanan pada batas luar dan tekanan pada sumur, sedangkan h adalah tinggi
system ( tebal lapisan produktif ).

Gambar 4.2
Model aliran Radial 6)
Bila aliran fluida yang mengalir adalah incompressible, maka persamaannya,

K dP
dr

.................................................................................... ( 4-11 )

q Av

luas permukaan silinder A = 2rh


rw

l
dr 2 k h ( Pe Pw ) ......................................................... ( 4-12 )
r

2 k h ( Pe Pw )
..................................................................... ( 4-13 )
o Ln ( ro / rw )

rr

dalam satuan lapangan :

q 7.08

kh ( Pe Pw )
................................................................. ( 4-14 )
o Ln (ro / rw )

dimana :
q

= rate aliran fluida, bbl/day

= tebal lapisan produktif, ft

Pe

= tekanan pada jarak re, psi

Pw

= tekanan pada jarak rw, psi

re

= jari-jari pengurasan, ft

rw

= jari-jari sumur, ft

= permeabilitas, darcy

= viskositas fluida, cp

4.1.2.1. Aliran Radial Untuk Perlapisan Paralel


Untuk daerah perlapisan yang non homogen, nilai permeabilitas
ditentukan dengan permeabilitas rata-rata untuk aliran paralel dari perbedaan
permeabilitas. Menurut Darcy permeabilitas dapat diperoleh dengan persamaan :

k1h1 k 2 h2 k3h3
..................................................................... ( 4-15 )
h1 h2 h3

4.1.2.2. Lapisan Radial Untuk Perlapisan Berseri


Pada lapisan radial untuk perlapisan seri, maka nilai permeabilitas dapat
ditentukan menurut Darcy dengan mencari nilai k rata-rata yaitu :

ln (re / rw )
ln (r1 / rw ) ln (r2 / r1 ) ln (r3 / r2 ) ........................................ ( 4-16 )

k1
k2
k3

4.2. Produktifity Indeks


Produktifitas formasi merupakan kemampuan dari batuan (formasi) untuk
mengalirkan fluida reservoar ke dalam / dasar sumur yang mempunyai kondisi
tertentu. Untuk mengetahui kemampuan sumur berproduksi pada setiap saat ,
maka digunakan konsep Productivity Index .
Productivity Index merupakan index yang digunakan untuk menyatakan
kemampuan suatu sumur untuk berproduksi pada kondisi tertentu.
Persamaan aliran darcy merupakan pengembangan dari aliran fluida dari media
berpori dengan melakukan anggapan sebagai berikut :
Fluida formasi terdiri dari satu fasa
Formasi homogen
Fluida tidak bereaksi terhadap formasi
Aliran steady state (mantap)
Fluida incompressible
4.2.1. Pengertian Productivity Index
Karena aliran fluida dari formasi ke dasar sumur disebabkan oleh adanya
perbedaan tekanan antara tekanan reservoir dengan tekanan dasar sumur sewaktu
terjadi aliran, maka untuk menilai kemampuan sumur dalam berproduksi

didefinisikan Productivity Index yaitu perbandingan antara rate produksi terhadap


drawdown pressure (Ps Pwf). Pernyataan tersebut dapat ditulis :

PI

q
Ps Pwf .................................................................................. ( 4-17 )

dimana :
PI

= productivity index, bbl/day/psi

= laju produksi cairan total, bbl/day

Ps

= tekanan statis reservoir, psi

Pwf

= tekanan dasar sumur sewaktu terjadi aliran, psi

Secara teoritis Persamaan (4-17) dapat didekati oleh persamaan radial dari
darcy untuk fluida homogen, incompressible dan horizontal. Dengan demikian
untuk aliran minyak saja berlaku hubungan :
PI

7.082 x 10 -3 x k x h
............................................................ ( 4-18 )
Bo x o x ln (re/rw)

PI

7.082 x 10 -3 h
ln (re/rw)

ko
kw

o Bo w Bw

...................................... ( 4-19 )

dimana :
PI

= productivity index, bbl/hari/psi

= permeabilitas batuan, mD

kw

= permeabilitas efektif terhadap sumur, mD

ko

= permeabilitas efektif terhadap minyak, mD

= viscositas minyak, cp

= viscositas air, cp

Bo

= faktor volume formasi minyak, bbl/STB

Bw

= foktar volume formasi air, bbl/STB

re

= jari-jari pengurasan sumur, ft

rw

= jari-jari sumur, ft

Untuk membandingkan satu sumur dengan sumur yang lainnya pada suatu
lapangan terutama bila tebal lapisan produktifnya berbeda, maka digunakan
Specific Productivity Index (SPI) yang merupakan perbandingan antara
Productivity Index dengan ketebalan lapisan yang secara matematis dapat
dituliskan :
SPI Js

PI 7.082 x 10-3 x k

................................................ ( 4-20 )
h
Bo x ln (re/rw)

Pada beberapa sumur harga Productivity Indek akan tetap konstan untuk
laju aliran yang bervariasi, tetapi pada sumur lainnya untuk laju aliran yang lebih
besar productivity index tidak lagi linier tetapi justru menurun, hal tersebut
disebabkan karena timbulnya aliran turbulensi sebagai akibat bertambahnya laju
produksi, berkurangnya laju produksi, berkurangnya permeabilitas terhadap
minyak oleh karena terbentuknya gas bebas sebagi akibat turunnya tekanan pada
lubang bor, kemudian dengan turunnya tekanan di bawah tekanan jenuh maka
viscositas akan bertambah (sebagai akibat terbebasnya gas dari larutan) dan atau
berkurangannya permeabilitas akibat adanya kompressibilitas batuan.
Dalam praktek di lapangan laju produksi minyak yang melewati batas
maksimum

akan

merugikan

reservoir

dikemudian

hari,

karena

akan

mengakibatkan terjadinya water atau gas coning dan kerusakan formasi


(formation demage).
Berdasarkan pengalamannya, Kermitz E Brown (1967) telah mencoba
memberikan batasan terhadap besarnya produktivitas sumur, yaitu sebagai
berikut :
PI rendah jika besarnya kurang dari 0,5
PI sedang jika besarnya berkisar antara 0,5 sampai 1,5
PI tinggi jika lebih dar 1,5
Pengukuran PI selalu didasarkan pada produksi cairan total, karena pada
waktu produksi juga akan terproduksi air, sehingga :

PI

qo qw
Ps Pwf .................................................................................. ( 4-21 )

dimana :
qo

= lajuproduksi minyak, bbl/day

qw

= laju produksi air, bbl/day

4.2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi PI


1). Karakteristik Batuan Reservoar
Permeabilitas
Permeabilitas adalah kemampuan batuan untuk mengalirkan fluida.
Dengan turunnya permeabilitas, maka fluida akan lebih sukar mengalir sehingga
harga PI akan turun.
Saturasi
Saturasi adalah ukuran kejenuhan fluida dalam pori-pori batuan. Dalam
proses produksi saturasi minyak berkurang dengan naiknya produksi kumulatif
minyak dan kekosongan tersebut diganti oleh air atau gas bebas. Disamping out
proses produksi berlangsung terus dengan penurunan tekanan sehingga timbul
fasa gas yang mengakibatkan saturasi gas betambah dan saturasi minyak
berkurang. Hal ini akan mengurangi permeabilitas efektif minyak sehingga PI
akan turun.
2). Karakteristik Fluida Reservoar
Kelarutan gas dalam minyak
Dalam proses produksi, penurunan tekanan di bawah tekanan saturasi
dapat menyebabkan bertambahnya gas yang dibebaskan dati larutan, Hal ini
menyebabkan PI turun karena permeabilitas efektif minyak berkurang dengan
naiknya harga saturasi gas.
Faktor volume formasi minyak
Di atas tekanan saturasi, penurunan tekanan menyebabkan naiknya harga
factor volume formasi minyak akibat pengembangan munyak. Di bawah tekanan
saturasi, factor volumo formasi minyak turun dengan cepat karena terbebaskannya
gas yang terlarut.

Viscositas
Viscositas adalah ukuran ketahanan fluida untuk mengalir. Bila tekanan
reservoar sudah di bawah tekanan saturasi akan mengakibatkan bertambahnya gas
yang dibebaskan dari larutan, sehingga viscositas akan naik yang akan
menghambat proses produksi dan harga PI akan turun.
Drawdown
Makin besar drawdown, makin besar pula laju alirannya sehingga harga PI
naik. Tetapi dengan makin besar drawdown, yang diakibatkan mengecilnya
tekanan dasar sumur, maka di bawah tekanan saturasi harga PI turun, Hal ini
menyebabkan pressure loss yang besar dalam aliran vertical sehingga tubing head
pressure (THP) yang dihasilkan akan kecil dan tidak mampu untuk mengalirkan
fluida ke separator. Disamping itu laju produksi minyak akan turun karena
terhambat ole aliran gas. Pada formasi yang kurang kompak, membesarnya
drawdown akan menimbulkan masalah terproduksinya pasir.
3). Ketebalan Lapisan
Makin tebal lapisan zona produktif, makin besar pula harga PI yang berarti
laju produksi juga akan naik. Tetapi bila lapisan tersebut diselingi olehlapisan tipis
dari air atau gas, maka laju produksi minyak akan berkurang. Terproduksinya air
dapat menyebabkan terjadinya scale yang dapat mengurangi kapasitas kerja dari
alat-alat atau terjadi korosi pada alat.
4). Mekanisme Pendorong
Kecepatan perubahan tekanan reservoar akibat proses produksi sangat
dipengaruhi oleh jenis mekanisme pendorong yang dimiliki.
4.2.3. Inflow Performance Relationship
Inflow Performance Relationship (IPR) adalah kelakuan aliran air, minyak
dan gas dari formasi ke dasar sumur yang dipengaruhi oleh Produktivitas Index.
Pada perencanaan suatu sumur untuk melihat kelakuan sumur yang sedang
berproduksi, maka PI dinyatakan secara grafis yang disebut grafik IPR.

Untuk membuat grafik IPR diperlukan data laju produksi (qo), tekanan alir
dasar sumur (Pwf) yang diperoleh dari uji produksi dan tekanan static (Ps) dari uji
tekanan.
4.2.3.1. IPR Aliran Fluida Satu Fasa
Perhitungan aliran fluida satu fasa dari formasi ke dasar sumur pertama
kali dikembangkan oleh Darcy untuk aliran non-turbulen dan dikembangkan oleh
Jones, Blount dan Glaze untuk aliran turbulen. Index Produktivitas untuk aliran
steady state bila digunakan konsep tekanan reservoar rata-rata dapat ditentukan
dengan persamaan berikut :

q
Pe Pwf

dimana :
J

= index produktivitas

= laju produksi, bbl

Pe

= tekanan rata-rata reservoar, psi

Pwf

= tekanan alir dasar sumur, psi

Sedangkan untuk menentukan besarnya laju produksi dapat digunakan


persamaan Darcy untuk aliran radial, yaitu :

q 0,007082

ko h ( Pav Pwf )

o Bo {Ln ( re / rw ) 0,5 S }

..................................... ( 4-22 )

Pada kondisi tekanan rata-rata ini PI dinyatakan sebagai :

q 0,007082

ko h
..................................... ( 4-23 )
o Bo {Ln (re / rw ) 0,5 S }

Apabila sudut AOB adalah , maka :

tan

OB Ps x PI

..................................................................... ( 4-24 )
OA
Ps

Dengan demikian harga PI menyatakan kemiringan kurva dimana pada


fluida satu fasa IPR berupa garis lurus.

Gambar 4.3
IPR satu fasa 19)
4.2.3.2. IPR untuk Aliran Fluida Dua Fasa
Untuk sumur yang telah berproduksi dimana tekanan dasar sumur telah
turun di bawah tekanan gelembung sehingga gas bebas ikut terproduksi, maka
kurva IPR tidak linier lagi tetapi berupa garis lengkung. Hal ini disebabkan karena
kemiringan kurva IPR akan berubah secara kontinyu untuk setiap harga Pwf.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan Vogel terhadap sumur-sumur
yang berproduksi dari reservoar dengan mekanisme pendorong solution gas drive,
dibuat kurva IPR yang disebut dimensionless IPR. Untuk tujuan praktis grafis IPR
tak berdimensi tersebut dinyatakan dalam persamaan berikut :

Pwf
P
qo
0,8 wf
1 0,2
qomax
Pr
Pr

..................................................... ( 4-25 )

dimana :
qo

= laju produksi minyak, bbl

qomax = laju produksi minyak maksimum, bbl


Pwf

= tekanan alir dasr sumur, psi

Pr

= tekanan reservoar rata-rata, psi

Persamaan ini digunakan untuk membuat IPR berdasarkan data uji tekanan
dari uji produksi.

Gambar 4.4
IPR dua fasa 8)
4.2.3.3. IPR Untuk Formasi Berlapis
Dalam prakteknya, formasi produktif dari suatu lapangan tidak hanya
terdiri dari satu lapisan melainkan berlapis-lapis, dimana tiap lapisan tersebut
mempunyai permeabilitas yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain.
Adanya perlapisan dengan permeabilitas yang berbeda ini akan
berpengaruh pada PI dan GOR. Untuk menggambarkan pengaruh perlapisan
terhadap IPR dapat dilihat pada Gambar 4.5.

Gambar 4.5
Pengaruh perlapisan terhadap GOR 19)

Dngan anggapan tidak ada suatu lapisan vertikal pada zona tersebut,
kecuali pada sumurnya sendiri. Produksi formasi demikian akan didapatkan
terutama dari zona dengan permeabilitas terbesar, yaitu : 100 mD, sedangkan
tekanan static pada zona ini akan cepat turun, misalnya tekanan zona ini adalah :
100 psig. Untuk lebih mudahnya ditabulasikan sebagai berikut :
Zona Permeabilitas (mD)
10
100
1

Tekanan (psig)
1200
100
1500

Kemudian dimisalkan bahwa sumur tersebut diuji pada berbagai laju produksi
untuk menentukan IPR-nya, dimana tiap lapisan produktif mempunyai kurva IPR
sendiri-sendiri. Selanjutnya kurva IPR seluruh zona tersebut sama dengan jumlah
dari ketiga kurva yang ada. Seperti terlihat pada Gambar 4.6.

Gambar 4.6
IPR untuk formasi berlapis 19)

4.3. Kinerja Aliran Fluida Dalam Pipa


Faktor yang berpengaruh terhadap aliran fluida dalam pipa adalah
perkiraan besarnya kehilangan tekanan yang terjadi selama fluida mengalir.
Berikut ini merupakan upaya pemecahan terhadap hal tersebut, mulai dari
pengembangan persamaan kesetimbangan energi sampai pada perkiraan
kehilangan fluida baik pada aliran fluida satu fasa maupun multi-fasa.
Persamaan Kesetimbangan Energi
Persamaan dasar kehilangan tekanan pada sistem aliran fluida dalam pipa
dikembangkan

dari

persamaan

kesetimbangan

energi,

yang

merupakan

kesetimbangan energi dua titik di dalam satu sistem aliran, sebagaimana terlihat
pada Gambar 4.6.

T it ik A

m vA2
2 gc
m g zA
gc
p

T itik B
+ q

Z2

pom pa

VA

- W
D a tu m

UB

p ena m b a ha n
pa nas
p a d a fl u id a

k e rja d a ri p o m p a
p a d a fl u id a

Z1

m v B2
2 gc
m g zB
gc
p BVB

Gambar 4.7
Sistem Aliran Fluida dalam Pipa 8)
Gambar 4.7. menyatakan bahwa besarnya energi yang masuk ke dalam
pipa pada titik A, ditambah dengan kerja yang dilakukan fluida sepanjang pipa
antara titik A dan titik B, dikurangi dengan energi yang hilang selama fluida
mengalir antara kedua titik tersebut sama dengan besarnya energi yang keluar dari
pipa pada titik B. Pernyataan tersebut disebut juga hukum konversi energi, yang
secara matematis dapat ditulis dengan persamaan berikut :
UA

m vA2 m g zA
m vB2 m g z B

p A VA q W U B

p B VB .
2 gc
gc
2 gc
gc

( 4-26 )
dimana :
m = massa, lbm
v = kecepatan, ft/sec
p = tekanan, atm
V = volume, cu ft
q = laju alir, cu ft / sec
g = percepatan gravitasi, ft/sec2
gc = konstanta konversi ( = 32,174 lbm ft / lbf sec2)
Parameter-parameter yang bekerja pada sistem kesetimbangan tersebut
antara lain adalah :

a. Energi Dalam Fluida ( internal energy, U )


Merupakan energi yang terbawa bersama dengan aliran fluida. Energi ini
dapat berupa akumulasi energi-energi yang timbul akibat adanya pergerakan
molekul fluida, baik itu energi putaran (rotational), perpindahan (translational),
maupun energi getaran (vibrational).
b. Energi Kinetic (

m v2
)
2 gc

Merupakan energi yang timbul berkaitan dengan kecepatan aliran fluida.


c. Energi Potensial (

mgz
)
gc

Merupakan energi yang berhubungan dengan perubahan ketinggian aliran


fluida, dimana z merupakan besarnya ketinggian yang dihitung terhadap titik
tertentu.
d. Energi Ekspansi ( pV )
Sering juga disebut dengan energi kompresi atau energi tekanan, yaitu
energi yang menunjukkan besarnya kerja selama fluida mengalir, atau besarnya
energi potensial jika dihubungkan dengan perubahan tekanan.
e. Perpindahan Panas ( q )
Merupakan parameter yang menyatakan besarnya energi panas yang
masuk maupun yang meninggalkan sistem.
f.

Kerja ( work, W )
Menyatakan besarnya kerja yang dilakukan terhadap ataupun oleh sistem.

Parameter W dapat berharga positif ataupun negatif, tergantung dari kedudukan


kerja itu sendiri. Apabila kerja yang ada mengakibatkan aliran fluida, seperti
halnya pada pompa, maka W berharga negatif. Sedangkan W akan berharga positif
apabila kerja timbul karena adanya aliran fluida, seperti pada sistem turbin.
Persamaan (4-26) merupakan persamaan hukum konversi energi dalam bentuk
energi alam, sehingga untuk memecahkannya perlu diubah dalam bentuk
kesetimbangan energi mekanis, dengan menggunakan energi dalam prinsip
thermodinamika, yaitu entalpi dan entropi.
a. Entalpi (H)

Didefinisikan sebagai jumlah antara energi dalam dengan energi ekspansi,


atau secara matematis dapat ditulis :
H = U + p V ......................................................................... ( 4-27 )
b. Entropi (S)
Didefinisikan sebagai perubahan energi yang terjadi dalam sistem, dimana
perubahan tersebut hanya dilihat dari kondisi awal dan akhir tanpa memperhatikan
perubahan pada keseluruhan sistem.
Secara matematis entropi dapat ditulis sebagai berikut :
2

S 2 S1

q
T

................................................................. ( 4-28 )

dimana :
q = jumlah panas yang dipindahkan pada proses reversible
T = temperatur
Pada kondisi tertentu, dimana perpindahan panas terjadi pada tekanan
yang konstan, maka berlaku hubungan sebagai berikut :
q m C p T ...................................................................... ( 4-29 )

sehingga Persamaan (4-28) menjadi :


2

S 2 S1

m Cp
1

T
T

.................................................... ( 4-30 )

dimana :
m = massa, lbm
Cp = kapasitas panas pada tekanan konstan
Hubungan antara entropi dan energi dalam dituliskan dengan persamaan
sebagai berikut :
U = pengaruh (panas, kompresi, kimia, permukaan, lain) ........ ( 4-31 )
dimana :
S2

Pengaruh panas Tds


S1

V2

p ( v)

V1

Pengaruh kompresi

Dalam pembahasan mengenai aliran fluida dalam pipa, yang dianggap


berpengaruh adalah pengaruh panas dan kompresi sedangkan pengaruh yang lain
dapat diabaikan, sehingga Persamaan (4-31) menjadi
V2

S2

U =

Tds

S1

p ( V)

V1

.................................................... ( 4-32 )

Persamaan (4-32) jika dituliskan dalam bentuk persamaan differensial


akan menjadi :
m v2
2g
c

m g z pV q W 0

gc

.......... ( 4-33 )

Substitusi Persamaan (4-32) ke dalam Persamaan (4-33) akan menghasilkan


persamaan berikut :
S2

V2

m v2
Tds p V 2 g c

S
V

2
2

m g z p V V p q W 0

V
P
1

( 4-34 )
Dari prinsip thermodinamika diketahui bahwa :
S2

Tds

q lw ............................................................................. ( 4-35 )

S1

dimana, lw (lost work) merupakan jumlah energi yang hilang akibat dari proses
irreversible.
Substitusi Persamaan (4-35) ke dalam Persamaan (4-34) akan menghasilkan
persamaan :
P2

m v2
2 gc

V p

P1

m g z W lw 0
g

....................

( 4-36 )

Jika fluida yang mengalir dianggap 1 (satu) lbm dan satuannya diubah ke dalam
satuan lapangan (ft lbf / lbm) maka Persamaan (4-36) akan menjadi :

gc
g

144

V p

v v
g
z
W (lw ) 0 .............. ( 4-37 )
gc
gc

Konversi faktor 144 digunakan dengan asumsi p diukur dalam satuan lb / sq. in.
Apabila V = 1 / , dimana adalah densitas fluida yang mengalir, maka
Persamaan (4-37) dapat ditulis sebagai berikut :
v v
p
g

z
W (lw ) 0 .............................. ( 4-38 )

gc
gc

Jika diasumsikan tidak ada kerja yang dilakukan aloeh fluida atau terhadap fluida
(W = 0) maka
v v
(lw )
p
g

0
z
gc
g c z
z

................................... ( 4-39 )

Dari Persamaan (4-39) dapat ditentukan besarnya gradien tekanan. Persamaan


gradien tekanan dapat dituliskan sebagai berikut :
g
v v
(lw )
p
...................................... ( 4-40 )

z
g c z
z
gc

(a )

(b )

Gambar 4.8
Konfigurasi Aliran Fluida pada Pipa Miring 8)
(a) terhadap bidang horizontal
(b) terhadap bidang vertikal

Pada pipa yang membentuk sudut kemiringan sebesar derajat terhadap


bidang horizontal, seperti yang terlihat pada Gambar 4.8. (a), dan diketahui bahwa
:

(lw ) p

=
z
z

(friction) =

f v2
2 gc d

..................................... ( 4-41 )

dimana :
f

= faktor gesekan; f(NRe, K)

NRe = bilangan Reynold


K

= besaran permukaan pipa (roughness)

maka persamaan perhitungan penurunan tekanan menjadi :


v v
f v2
p
g

sin

z
gc
g c z
2gc d

.................................... ( 4-41 )

Sedangkan pada pipa yang membentuk sudut kemiringan sebesar derajat


terhadap bidang horizontal, seperti yang terlihat pada Gambar 4.8. (b), dan maka
persamaan perhitungan penurunan tekanan menjadi :
v v
f v2
p
g

cos

z
gc
g c z
2 gc d

..................................... ( 4-42 )

Pada dasarnya persamaan gradien tekanan terdiri dari tiga elemen, yaitu
gradien kemiringan, gradien gesekan dan gradien kecepatan.
a. Gradien Kemiringan (elevation)
p

el

g
sin
gc

b. Gradien Gesekan (friction)


p

f v2
2gc d

c. Gradien Kecepatan (acceleration)


p

acc

v v
g c z

Dari Persamaan (4-42) dapat dikembangkan persamaan penurunan tekanan


untuk aliran vertikal dan horisontal, sebagai berikut :

a. Aliran Vertikal
Pada aliran vertikal, maka sudut kemiringan () = 90o, dan sin = 1,
sehingga persamaan penurunan tekanan menjadi :
v v
f v2
p
g

z
gc
g c z
2 gc d

......................................... ( 4-43 )

b. Aliran Horisontal
Pada aliran horisontal, = 0o dan sin = 0, sehingga persamaan menjadi :
v v
f v2
p

z
g c z
2gc d

........................................................ (4-44 )

4.3.1. Aliran Fluida Satu Fasa dalam Pipa


Faktor yang menentukan dalam perhitungan kehilangan tekanan pada
aliran fluida dalam pipa adalah faktor gesekan (friction factor) antara fluida yang
mengalir dengan dinding pipa. Faktor gesekan didefinisikan sebagai perbandingan
antara shear stress fluida dengan energi kinetik persatuan volume, atau secara
matematis dapat ditulis sebagai berikut :
f

w
v

2 gc

2 w gc
v2

......................................................... ( 4-45 )

Besarnya gradien tekanan yang disebabkan oleh faktor gesekan,


ditunjukkan pada persamaan, yaitu
p

f v2
2gc d

Faktor gesekan merupakan fungsi dari dua parameter yang tidak


berdimensi, yaitu kekasaran relatif pipa (relatif roughness) dan bilangan Reynold
(Reynolds number, NRe). Kekasaran relatif pipa sendiri adalah perbandingan
antara kekasaran absolut (absolute roughness, ), yang diketahui untuk setiap
jenis pipa, dengan diameter pipa (d, ft). Sedangkan besarnya bilangan Reynold
dapat ditentukan dengan persamaan berikut :

NRe

................................................................................ ( 4-46 )

Penentuan faktor gesekan pada aliran fluida satu fasa, tergantung dari jenis
alirannya. Pada fluida dengan bilangan Reynold kurang dari 2000, maka aliran
yang terjadi adalah aliran laminer, dimana kecepatan alirannya membentuk profil
parabola dengan kecepatan maksimal pada tengah pipa. Untuk fluida dengan
bilangan Reynold labih dari 4000, yang terbentuk adalah aliran turbulen.
Sedangkan aliran yang terjadi pada fluida dengan bilangan Reynold antara 2000
dan 4000 adalah aliran transisi, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.9.
a. Aliran Laminer
Pada aliran laminer, faktor gesekan dapat ditentukan dengan persamaan :
f

64
................................................................................. ( 4-47 )
N Re

Dari persamaan diatas diketahui bahwa pada aliran laminer, besarnya faktor
gesekan hanya dipengaruhi oleh bilangan Reynold fluida, dan tidak tergantung
pada kekasaran pipa.
b. Aliran Turbulen
Pada aliran laminer, faktor gesekan dapat didekati dengan menggunakan
persamaan yang dikembangkan oleh Colebrook and White (1939) berikut :

2 18,7
1
,1 74 2 Log
f
d NRe

............................................................ ( 4-48 )

Selain dengan menggunakan persamaan-persamaan diatas, besarnya faktor


gesekan terutama untuk aliran tubulen, dapat ditentukan menggunakan kurva pada
Gambar 4.9 dan Gambar 4.10, dengan mengetahui jenis dan diameter pipa serta
bilangan Reynold fluidanya.

F r ic t io n F a c t o r

R e la t iv e R o u g h n e s s

R e y n o ld s N u m b e r
Gambar 4.9.
Kurva Faktor Gesekan 8)

0 ,1

,0 5

P ip e D ia m e t e r, f e e t
0 ,5
1
2
3
5

0 ,2 0 ,3

10

20 25

,0 7
,0 6

,0 3

,0 5

CO NCRETE
W O O D
S TA V E

,0 0 5
C

,0 0 3

ST

LT

ER

ED

,0 0 0 3

IA

AS

IR

IR

,0 1 4
,0 1 2

=
6

00

01

IR

,0

HT

,0

,0 1

,0 0 0 0 3

ZE

,0 0 0 0 5

UG

NI

85

,0 0 0 1

RO

00

,0 1 6
LV

,0

03

,0

EE

ST

,0 2
,0 1 8
1

,0 0 0 5

HA

,0

,0 2 5

,0 0 1

R IV E T E D
STEEL
,0

SP

IR

,0 3

R e la t iv e R o u g h n e s s

,0 3 5

,0
5

,0 0 9
4

,0 0 8

,0

,0

IN

,0 0 0 0 1

TU

00

,0

AW

00

00

00

15

00
5

,0 0 0 0 0 5

10

10
2
3
5
P ip e D ia m e t e r, in c h e s

10

Gambar 4.10
Kurfa Faktor Gesekan untuk Aliran Turbulen 8)

4.3.3. Aliran Fluida Multi Fasa dalam Pipa

F r ic t io n F a c t o r ( f o r c o m p le t e t u r b u le n c e , ro u g h p ip e s )

,0 4

,0 1

Perhitungan gradien tekanan untuk aliran fluida multi fasa dalam pipa
lebih kompleks, dimana semua parameter yang digunakan merupakan parameter
gabungan dari fasa-fasa yang mengalir. Aliran multi fasa dapat berupa aliran
fluida minyak dan air ataupun aliran minyak gas, atau bahkan dari ketiga fasa
tersebut.
Untuk menentukan parameter gabungan digunakan suatu parameter penghubung
yang disebut hold-up, yang jenisnya tergantung dari asumsi kondisi kecepatan
masing-masing fasa yang mengalir.
a. Hold-Up (H)
Asumsi yang digunakan dalam penggunaan parameter ini adalah
kecepatan aliran antara fluida dan fasa gas berbeda.
Hold-up untuk cairan (liquid hold-up, HL) didefinisikan sebagai
perbandingan antara volume pipa yang terisi oleh fluida dengan volume pipa
secara keseluruhan.
Sedangkan untuk gas hold-up, merupakan perbandingan antara volume
pipa yang terisi oleh gas dengan volume pipa secara keseluruhan.
Kedua pengertian tersebut secara matematis dapat dituliskan dengan
persamaan :
VL

HL = V
p

............................................................................... ( 4-49 )

Vg

Hg = V = 1 HL ................................................................. ( 4-50)
p
b. No-Slip Hold-Up ()
Asumsi yang digunakan dalam penggunaan parameter ini adalah fluida
dan gas mengalir dengan kecepatan yang sama. Besarnya no-slip hold-up untuk
cairan (no-slip liquid hold-up, L) dapat ditentukan dengan membandingkan
besarnya laju aliran volumetrik fluida dengan laju aliran volumetrik seluruh fasa
(gas dan fluida).
Sedangkan

harga

no-slip

gas

hold-up

(g)

ditentukan

dengan

membandingkan besarnya laju aliran volumetrik gas dengan laju aliran volumetrik
seluruh fasa.

Secara matematis dituliskan dengan persamaan :


qL

L = q q
L
g

........................................................................ ( 4-51 )

qL

g = q q = 1 L .......................................................... ( 4-52 )
L
g

Penggunaan parameter hold-up dalam penentuan parameter campuran


dapat dilihat pada penentuan viskositas, densitas, parameter aliran dan faktor
gesekan untuk aliran multi fasa, sebagai berikut :
a. Viskositas Campuran ( m)
Pada kondisi dimana terdapat perbedaan kecepatan aliran fluida dan gas,
maka viskositas campuran ditentukan dengan persamaan :
m L H L g 1 H L

................................................ ( 4-53 )

dan

m L HL . g 1 HL .............................................................. ( 4-54 )
Perbandingan hasil perhitungan viskositas campuran dengan kedua
persamaan diatas dapat dilihat pada Gambar 4.10.
Sedangkan pada kondisi dimana fluida dan gas mengalir dengan kecepatan
yang sama, maka viskositas campuran ditentukan dengan persamaan :
m L L g 1 L ..................................................... ( 4-55 )

keterangan :
L = viskositas cairan, ditentukan dengan persamaan :
L o Fo w Fw

dimana F merupakan fraksi volume untuk masing-masing


komponen
HL = hold-up cairan
L = no-slip hold-up cairan
subscript,
m = campuran (mixture)

L = cairan (liquid)
o = minyak (oil)
g = gas
w = air (water)

V is k o s it a s C a m p u r a n

1 ,0

0 ,9

(A ) m 1 H L 2 1 H L
(B ) m 1

HL

. 2

1 HL

0 ,5

0 ,0 2
0 ,5

1 ,0

K o n s e n tr a s i C a m p u ra n

Gambar 4.10
Perbandingan Perhitungan Viskositas Campuran 8)
b. Densitas Campuran ( m)
Pada kondisi dimana terdapat perbedaan kecepatan aliran fluida dan gas,
maka densitas campuran ditentukan dengan persamaan :
m L H L g 1 H L

............................................... ( 4-56 )

Sedangkan pada kondisi dimana fluida dan gas mengalir dengan kecepatan
yang sama, maka densitas campuran ditentukan dengan persamaan :
m L L g 1 L

................................................... ( 4-57 )

keterangan :
L = densitas cairan, ditentukan dengan persamaan :
L o Fo w Fw

c. Parameter Aliran

Parameter aliran yang digunakan dalam perhitungan kehilangan tekanan


adalah variabel kecepatan (superficial velocity, vs), yang didefinisikan sebagai
besarnya kecepatan suatu fasa untuk mengalir melewati keseluruhan penampang
pipa, yang secara matematis adalah sebagai berikut :
q

vs = A H

.............................................................................

( 4-58 )

dimana :
vs = kecepatan superfisial fluida, ft/sec
q = laju alir, cu ft/sec
A = luas penampang pipa, ft2
H = hold-up
Besarnya kecepatan superfisial untuk fluida multi fasa (v m) ditentukan
dengan persamaan :
vm = vsL + vsg ............................................................................. ( 4-59 )
keterangan :
vsL = kecepatan superfisial cairan, besarnya ditentukan dengan persamaan
vsL =

qL
A HL

vsg = kecepatan superfisial gas, besarnya ditentukan dengan persamaan


qg

vsL = A H
g
d. Faktor Gesekan (f)
Komponen perhitungan faktor gesekan yang berubah pada aliran multi
fasa adalah bilangan Reynold, yang merupakan gabungan dari fluida yang
mengalir.
Persamaan untuk menentukan bilangan Reynold pada fluida multi fasa
adalah sebagai berikut :
(NRe)m

m v m
m

.................................................................. ( 4-60 )

Khusus untuk perhitungan bilangan Reynold dengan tanpa memperhatikan


kecepatan antar fluida, besarnya densitas campuran dapat ditentukan dengan
menggunakan persamaan :
m

g 1 L 2
L L 2

HL
1 HL

........................................... ( 3-61 )

Berdasarkan Persamaan (4-61) diatas, maka persamaan (4-47) untuk


aliran laminer dan Persamaan (4-48) untuk aliran turbulen, berubah menjadi :
64

fm N
Re m

............................................................................... ( 4-62 )

2 18,7
1
,1 74 2 Log
fm
d NRe m

............................................................... ( 4-63 )

Dengan memperhatikan keseluruhan perhitungan parameter campiran


untuk fluida multi fasa, maka besarnya gradien tekanan untuk aliran fluida multi
fasa dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut :
m v m v m
f m m vm 2
p
g

m cos

z g c
g c z
2gc d

..................... ( 4-64 )

4.4. Aliran Vertikal Lift Performance


Vertical lift performance pada dasarnya bertujuan untuk memperkirakan
kehilangan tekanan selama terjadi aliran yang melalui pipa vertikal atau tubing di
dalam sumur. ada beberapa metoda yang digunakan untuk memperkirakan
distribusi tekanan sepanjang aliran dalam tubing.
Metoda yang digunakan dapat berupa metoda grafis yang digunakan
dalam metode Gilbert maupun secara perhitungan kehilangan tekanan. Metode
perhitungan kehilangan tekanan oleh para ahli pada dasarnya dikelompokkan
menjadi tiga kelompok, yaitu :
1. Kelompok yang tidak memperhatikan adanya slip serta pola aliran, metoda
yang digunakan Poettman dan Carpenter.
2. Kelompok yang memperhatikan slip tapi pola aliran diabaikan, metoda
yang digunakan Hagedorn dan Brown.
3. Kelompok yang memperhatikan slip maupun pola aliran, metoda yang
digunakan Orkiszewski, Duns dan Ros yang dikembangkan dengan
metode Beggs dan Brill.
4.4.1. Metoda Grafis
Metoda Gilbert
Metode Gilbert disusun berdasarkan pendekatan empiris pada analisa
vertikal lift untuk aliran fluida dua fasa. Dalam penelitiannya, Gilbert melakukan
untuk sumur sembur alam dan gas lift. Beberapa besaran dari sumur sembur alam
yang diperlukan dalam penggunaan metode Gilbert adalah : kedalaman tubing,
tekanan aliran dasar sumur, tekanan kepala sumur tubing, laju produksi cairan,
GLR dan ukuran tubing.
Gilbert membuat sekumpulan grafik distribusi tekanan yang dibuat
berdasarkan kedalaman tubing, ukuran tubing GLR, dan laju produksi fluida
tertentu, sehingga dihasilkan pendekatan pengukuran kehilangan tekanan di dalam
tubing aliran fluida dua fasa.

Contoh grafik aliran fluida dua fasa dapat dilihat dalam Gambar 4.11. dari
grafik tersebut dapat ditentukan besarnya tekanan aliran dasar sumur dari tekanan
kepala sumur atau tubing (Pwh) atau sebaliknya. Kegunaan metode Gilbert yaitu
untuk memperkirakan laju produksi sumur sembur alam berdasarkan produktivitas
formasi (yang dinyatakan dalam bentuk grafik IPR), ukuran tubing dan GLR
tertentu pada tekanan kepala sumur.

Gambar 4.11
Kurva Distribusi Tekanan Untuk Aliran Dua Fasa 19)
Beberapa macam grafik distribusi tekanan yang dikembangkan oleh
Gilbert untuk laju aliran yang besarnya 0 bpd, 100 bpd, 200 bpd, 400 bpd, dan
600 bpd. Diameter data tubing ukuranya bervariasi yaitu : 1.66, 1.90, 2.375,
2.875, dan 3.5. Masing masing kurva Gilbert dapat menunjukan distribusi
tekanan sepanjang tubing dalam suatu flowing dengan laju aliran dan yang tetap.
Pada Gambar 4.4 merupakan salah satu grafik yang menunjukan tubing yang
berukuran 2.875 dengan laju produksi 600 bpd.
Untuk memperkirakan laju produksi sumur sembur alam terdapat dua cara
yaitu :

1. Laju produksi ditentukan berdasarkan tekanan aliran dalam sumur Pwf


dari IPR dan Pwf dari THP asumsi dan tekanan tiap kedalaman tubing.
Cara pertama ini ukuran tubing dan harga GLR tertentu, selanjutnya
dihitung harga Pwf pada bermacam macam laju produksi. Kurva ynag
menghubungkan bermacam macam harga Pwf dari THP asumsi dapat
memotong titik x (Gambar 4.12), dimana pada titik x ini besarnya Pwf dari
IPR dan THP adalah sama. Dari titik ditarik vertikal kebawah dan terbaca
laju produksi y diasumsikan dan tekanan pada kedalaman tubing bila
dititik x ditarik garis horizontal ke kiri.
2. Laju produksi yang ditentukan berdasarkan harga THP yang dihitung dari
Pwf yang diperoleh dari grafik IPR laju produksi yang diambil dari
operating THP asumsi. Pada cara kedua, Pwf ditentukan dari IPR untuk
memperoleh THP dan laju produksi. Dari operating THP titik ditarik garis
horizontal kekanan akan memotong kurva yang menghubungkan
bermacam macam harga THP di titik laju produksi yang diasumsikan
dapat dibaca di titik sementara Pwf di titik C.

Gambar 4.12
Penentuan Pwf dari IPR dan THP Asumsi 19)

Gambar 4.13
Penetuan THP Dari IPR 19)
4.4.2. Kelompok Yang Tidak Memperhatikan Slip Dan Pola Aliran
Poettman dan Carpenter, mengembangkan metoda semi empiris
berdasarkan persamaan kesetimbangan energi serta data dari 34 sumur minyak
flowing dan 15 sumur minyak gas lift yang menggunakan tubing 2 in, 2.5 in, dan
3 in. minyak, air dan gas dianggap sebagai satu fasa dan tidak dilakukan korelasi
liquid hold up. Selain daripada itu juga dianggap bahwa aliran gas, air dan minyak
merupakan aliran turbulen. Kehilangan energi yang terjadi sepanjang aliran
tersebut, oleh Poettman dan Carpenter dikorelasikan dengan pembilang dari
Reynold number, seperti terlihat pada Gambar 4.14 dibawah ini.
Beberapa hal yang perlu diingat dalam menggunakan metode ini adalah :
1. Korelasi ini dapat digunakan untuk pipa pipa yang ukurannya sesuai
dengan ukuran pipa pipa yang digunakan dalam studi ini, yaitu :

2, 2.5, dan 3. Penggunaan metoda ini untuk ukuran pipa yang lain harus
mempertimbangkan mengenai hasil yang diperoleh.
2. Laju aliran total digunakan untuk menghitung densitas pada setiap titik
dalam pipa.
3. Pola aliran diabaikan.
4. Pengaruh viskositas diabaikan.
5. Komponen percepatan dalam persamaan energi diabaikan.
6. Faktor gesekan dianggap merupakan harga rata rata untuk panjang
tubing, sedangkan sebenarnya harga faktor gesekan berubah dari dasar
sumur sampai ke permukaan.
Poettman dan Carpenter mengembangkan korelasinya berdasarkan
persamaan energi umum, yang kemudian diubah dalam bentuk total massa laju
aliran, seperti persamaan berikut :

dP
1
f w2

10
2
dL 144
7,413 x10 d

.. (4-65)

dimana :
w

= massa laju aliran total, lb/hari

= density campuran, lb/cuft

= diameter dalam pipa, ft

= faktor gesekan yang diperoleh dari Gambar 4.14

Gambar 4.14
Korelasi Faktor Gesekan Poettman & Carpenter 19)
Selanjutnya, prosedur perhitungan penurunan tekanan sepanjang pipa
vertikal dengan metoda Poettman dan Carpenter, adalah sebagai berikut :
1. Data yang harus tersedia adalah :
a. Gas Liquid Ratio (GLR)
b. Specific gravity gas
c. Faktor volume formasi berbagai tekanan
d. Kelarutan gas dalam minyak pada berbagai tekanan
e. API gravity minyak
f. Laju aliran minyak dan air
g. Specific gravity air
h. Tekanan aliran di permukaan

i. Temperatur permukaan dan gradien temperatur


j. Kedalaman tubing / sumur
k. Ukuran tubing
2. Pada kertas grafik millimeter, plot kedalaman pada sumbu vertikal, dengan
titik nol di atas dan plot harga tekanan aliran di permukaan pada sumbu
horizontal atau tekanan aliran dasar sumur pada kedalaman total.
3. Berdasarkan 1 STB minyak, tentukan massa minyak, gas dan air per STB,
sebagai berikut :
m = berat minyak + berat gas + berat air
m = 350 (o) + 0,0746 (g) (R) + 350 (w) (WOR)

.. (4-66)

4. Tentukan berat total dari fluida yang terproduksi setiap hari, yaitu
merupakan perkalian antara langkah 3 dengan laju aliran minyak.
5. Dimulai dari tekanan aliran di permukaan (flowing tubing pressure)
anggap beberapa titik tekanan pada tubing sesuai dengan pertambahan
tekanan. Pertambahan tekanan ini harus cukup kecil, supaya diperoleh
grafik yang baik.
6. Hitung volume campuran minyak, gas, dan air pada tekanan yang sesuai
dengan langkah 5, per STB minyak satuan cuft.
14,7 T Z

P 520 1

Vm = 5,61 Bo + 5,61 (WOR) + (volume gas bebas)


Volume gas bebas = (GOR Rs)

7. Hitung density campuran pada tekanan yang bersangkutan

m
vm

.. (4-67)

8. Hitung pembilang daripada bilangan Reynold, yaitu :

vd

1,4737 x105 qo m
d

.. (4-68)

9. Tentukan faktor gesekan (f) dengan menggunakan Gambar 4.14.


10. Hitung gradien tekanan (dP/dL) dengan menggunakan Persamaan (4-69)

11. Ulangi prosedur di atas, mulai dari langkah 5 untuk tekanan berikutnya
dan tentukan gradien tekanannya.
12. Rata ratakan hasil perhitungan gradien tekanan tersebut dengan gradien
tekanan rata rata, maka akan dihasilkan jarak antara kedua titik tekanan
tersebut.
13. Plot jarak tersebut kedalam kertas grafik, sesuai dengan tekanannya
14. Ulangi langkah tersebut di atas sampai kedalaman sumur tercapai.
Korelasi Poettman dan Carpenter, masih sering digunakan di lapangan,
dan korelasi ini dapat digunakan dengan cukup memuaskan untuk kondisi
kondisi sebagai berikut :
-

ukuran tubing : 2, 2.5, dan 3

viskositas lebih kecil dari 5 cp

GLR, kurang dari 1500 SCF/bbl

Laju aliran lebih besar dari 400 BPD

4.4.3. Kelompok Yang Memperhatikan Slip Tapi Pola Aliran Diabaikan


Usaha yang dilakukan oleh Hagedorn dan Brown, adalah membuat suatu
korelasi perhitungan gradien tekanan yang dapat digunakan pada range laju aliran
yang sering ditemui dalam praktek, range GLR yang luas, dapat digunakan untuk
setiap ukuran tubing serta berbagai sifat sifat fisik dari fluida yang mengalir.
Pengembangan metoda ini berdasarkan pada data yang diambil dari percobaan
pada pipa berukuran 1 nominal dan 2 nominal serta ditambah data data
penelitian sebelumnya.
Untuk menentukan kehilangan tekanan selama aliran dalam pipa Hagedorn
dan Brown, menembangkan metodanya berdasarkan pada persamaan umum
energi, yang mana persamaan tersebut apabila ditulis dalam bentuk aliran massa
total adalah sebagai berikut :

p
fw2
v / 2 gc
144
m
m m
11 5
h
h
2,9652 x10 d m
70)

.. (4-

di mana m

L H L g (1 H L )

.. (4-71)

Metode ini juga menunjukkan hubungan antara liquid hold-up (HL) dengan
empat parameter tak berdimensi (d dalam ft, dalam lb/cu.ft, vsL dan vsg dalam
ft/sec, L dalam cp serta dalam dyne/cm) sebagai berikut:

NLv = 1,938 v

sL

Ngv = 1,938 v


sg

Nd = 120,872

1
4

.. (4-72)
1
4

.. (4-73)
1
2

.. (4-74)
1
4

NL = 1,938 L L

.. (4-75)

Dengan menggunakan teknik regresi, untuk menghubungkan keempat


parameter tidak berdimensi diatas, maka dapat dibuat hubungan factor hold up
seperti diperlihatkan pada Gambar 4.15 dibawah ini.

Gambar 4.15
Korelasi Faktor Hold Up (After Hagedorn & Brown) 24)
Tetapi harus diingat bahwa korelasi hold up ini merupakan pseudo hold
up. Hal ini disebabkan karena Hagedorn dan Brown tidak melakukan pengukuran

hold up, melainkan hold up ditentukan berdasarkan perhitungan atas dasar data
penurunan tekanan dan faktor gesekan yang ditentukan dengan bilangan Reynold.
Pengaruh viskositas dari cairan, diperhitungkan dalam bentuk harga C NL,
yang merupakan salah satu pembilang dari absis Gambar 4.16. harga CNL ini
ditentukan berdasarkan grafik hubungan antara NL dan CNL, seperti terlihat pada
Gambar 4.16..
Grafik 4.16 dibuat berdasarkan pada viskositas air, yang mana harga C
untuk air sama dengan satu. Grafik juga menunjukan bahwa viskositas cairan
yang rendah tidak memberikan pengaruh yang berarti.
Sebelumnya telah disebutkan bahwa, Gambar 4.15 merupakan korelasi
pseudo hold up, dengan demikian untuk harga hold up sebenarnya, diperlukan
factor koreksi sekunder () yang grafiknya terlihat pada Gambar 4.17.

Gambar 4.16
Korelasi Faktor Viskositas 24)

Gambar 4.17
Korelasi Untuk Faktor Koreksi Sekunder
(After Hagedorn & Brown) 24)
Berdasarkan parameter parameter tersebut, maka gradien tekanan dapat
ditentukan dengan menggunakan Persamaan (4-70).
Prosedur perhitungan gradien tekanan dengan metode Hagedorn dan
Brown adalah sebgai berikut :
1.

Hitung tekanan rata rata antara dua titik tekanan dalam satuan psia.

P1 P 2
14,7
2

.. (4-

76)
Hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan titik tekanan adalah :
-

Apabila perhitungan dimulai dari permukaan dengan tekanan lebih kecil


dari 100 psia, maka perbedaan antara dua titik teknan yang berurutan harus
sebesar 25 psia, sampai tercapai tekanan 400 psia, setelah itu perbedaan
antara dua titik yang berurutan dapat diambil lebih besar.

Apabila dimulai dari dasar sumur, yang tekanannya lebih besar dari 1000
psia, maka perbedaan tekanan antara dua titik tekanan yang berurutan
dapat diambil 200 psia.

2.

Hitung specific gravity minyak (o)

3.

Tentukan massa total, sesuai dengan 1 STB cairan,


1
1

m o (350)
w (350)
0,0764(GLR) g
1

WOR
1

WOR

.. (4-77)
4.

Hitung massa laju aliran, w = q x m

5.

Tentukan harga kelarutan gas dalam minyak pada tekanan rata rata dan
temperatur rata rata.

6.

Hitung density dari fasa cair :

o 62,4 Rs g (0,0764) / 5,614


1
1


w 62,4

Bo
1 WOR

1 WOR

.. (4-78)
7.

Dengan menganggap temperatur rata rata konstan, tentukan harga faktor


kompresibilitas (z) pada harga temperatur rata rata, tekanan rata rata
dan specific gravity yang konstan.

8.

Hitung densitas gas rata rata :


520 1
g 0,0764

14,7 T Z

.. (4-79)

9.

Hitung viskositas rata rata minyak dari korelasi yang telah ada

10.

Tentukan viskositas air rata rata

11.

Hitung viskositas cairan campuran

1
1

WOR
1

WOR

L o
12.

.. (4-80)

Dengan menganggap tegangan permukaan konstan pada tiap tiap titik


tekanan, hitung tegangan permukaan fasa cair :

WOR
w

1 WOR
1 WOR

L o

.. (4-81)

13.

Hitung liquid viscosity number (NL) dengan Persamaan (4-69)

14.

Dari Gambar 4.17 tentukan harga CNL

15.

Hitung luas permukaan tubing (AP)


AP

16.

d2
4

.. (4-82)

Dari korelasi yang tersedia tentukan faktor volume formasi minyak (B o),
pada tekanan dan temperatur rata rata.

17.

Dengan menganggap Bw = 1, hitung superficial liquid velocity

(vsL,

ft/sec)
vsL

5,61 qL
86400 AP

WOR
Bo 1 WOR Bw 1 WOR

.. (4-83)

18.

Hitung Liquid velocity number NLV dengan menggunakan Persamaan

(4-

72)
19.

Hitung superficial gas velocity


qL GLR Rs

1 WOR 14,7 520 Z

vsg


86400 AP
P T 1

.. (4-84)

20.

Hitung gas velocity number (NgV) dengan Persamaan (4-73)

21.

Periksa pola aliran yang terjadi untuk menentukan apakah metode


Hagedorn & Brown masih dapat dilanjutkan, dan hitung harga A sebagai
berikut :
0,2218 v sL v sg 2

A 1,071

.. (4-85)

Apabila harga A O,13, gunakan harga tersebut untuk perhitungan


selanjutnya, tetapi apabila harga A < 0.13 maka gunakan harga
A = 0,13 untuk perhitungan selanjutnya. Selanjutnya hitung harga B,
dengan rumus sebagai berikut ;
v sg

.. (4-86)

v sg v sL

Apabila harga (B - A) bernilai positif atau sama dengan no1, maka metode
Hagedorn & Brown ini dapat digunakan. Tetapi bila bemilai negatif; maka
metode Hagedorn & Brown tidak dianjurkan untuk digunakan.
22.

Hitung pipa diameter number (Nd) dengan memakai Persamaan (4- 74).

23.

Hitung fungsi korelasi Hold-up sebagai berikut :

N Lv

N 0,575
gv

P
14,7

0 ,1

C NL

Nd

.. (4-87)

24.

Berdasarkan Gambar 4.8, tentukan harga HL/

25.

Tentukan harga faktor koreksi sekunder dengan korelasi parameter :

N gv N Lv 0,38

Nd

2 ,14

.. (4-88)

26.

Tentukan dari Gambar 4.17

27.

Hitung harga HL, dengan rumus :

HL
( )

HL

.. (4-89)

untuk cairan yang viskositasnya rendah, tidak perlu dilakukan koreksi


dimana = 1
28.

Hitung bilangan Reynold dua fasa (NRe)TP dengan persamaan :


( N Re )TP

2,2 x10 2 w
H
1 H
( d )( L L)( g
L)

.. (4-

90)

29.

Tentukan harga /d, apabila harag tidak diketahui, gunakan harga


0,00015 ft yang mana harga tersebut merupakan harga rata rata untuk
commercial pipe.

30.

Tentukan faktor gesekan dengan menggunakan Gambar 4.15

31.

Hitung densitas dua fasa rata rata, ada dua cara :


-

Dengan memperhitungkan slip :


m L H L g (1 H L )

.. (4-91)

Tanpa memperhitungkan slip, caranya sama dengan prosedur


perhitungan mulai langkah 1 sampai 7 pada metoda Poettman dan
Carpenter, kecuali bahwa digunakan tekanan dan temperatur rata rata
antara titik titik tekanan. Bandingkan kedua harga densitas tersebut,
dan yang digunakan adalah densitas yang paling besar.

32.

Ulangi langkah 5,7,16,17, dan 19 untuk tekanan P1 dan P2

33.

Hitung kecepatan campuran dua fasa pada tekanan P1 dan P2 sebagai


berikut :

34.

vm1 = vsL1 + vsg1

.. (4-92)

vm2 = vsL2 + vsg2

.. (4-93)

Tentukan harga (vm2), yaitu :


(vm2) = vm12 - vm22

35.

Hitung H yang sesuai dengan P = P1 P2, yaitu :

.. (4-94)

36.

vm 2

2
gc

144p m

f w
m
2,9652 x1011 d 5 m
2

.. (4-95)

Mulai dari P2 dan kedalaman titik tekanan P2, anggaplah titik tekanan
yang lain dan ulangi prosedur diatas sampai mencapai kedalaman yang
dimaksud.

4..4. Kelompok Yang Memperhatikan Slip Dan Pola Aliran


Metode Orkiszewski
Orkiszewski menekankan bahwa liquid hold-up diperoleh dari pengamatan
fenomena fisik dan gradien tekanan tersebut dihubungkan dengan distribusi
geometri dari fasa cairan dan gas. Orkiszewski membedakan empat tipe pola
aliran yang terjadi dan menyiapkan korelasi yang berbeda untuk menentukan slip
velocity dan faktor gesekan untuk tiap-tiap pola aliran. Keempat pola aliran
tersebut. yaitu : bubble flow, slug flow, transition flow dan mist flow. Persamaan
gradien tekanan berdasarkan metode Orkiszewski adalah sebagai berikut :

p f

p
1

h
144

Wt q g
2

4637 A p p

96)
dimana:

= densitas rata-rata fluida, lb/cuft

p = penurunan tekanan, psi


p

= tekanan rata-rata, psi

Wt = laju aliran massa total, lbm/sec


Pf = gradien tekanan akibat gesekan, psi/ft
qg = laju aliran volumetrik gas, cuft/sec
h = perubahan kedalaman, ft

.. (4-

Gambar 4.18
Kurva Faktor Gesekan oleh Orkiszewski 4)

Metode Duns dan Ros


Metode Duns dan Ros dikembangkan berdasarkan penelitian di
laboratorium dan diperbaiki serta disesuaikan dengan menggunakan data
lapangan. Pendekatan yang dilakukan Duns dan Ross berbeda dengan penelitipeneliti lainnya.
1. Duns dan Ross mendefinisikan gradien tekanan statik sebagai komponen
gradien tekanan akibat perubahan elevasi (ketinggian)
2. Mengembangkan korelasi untuk menentukan faktor gesekan berdasarkan
data laboratorium untuk tiga daerah aliran
Gradien tekanan total menurut Duns dan Ross, merupakan gabungan
antara gradien statik, gradien akibat gesekan dan gradien percepatan. Perubahan
antara fasa dan fasa cair tercakup dala gradien statik dan dijaga tetap terpisah dari
pengaruh gesekan.

Duns dan Ross membagi aliran menjadi tiga jenis pola aliran dan pada
masing-masing pola aliran dikembang korelasi-korelasi untuk menentukan slip
dan faktor gesekan. Gradien tekanan dP/dh dinyatakan sebagai fraksi dari gradien
cairan hidrostatik (LG), yaitu :

1 dP

dh

G =
LG

(4-97)

Dimana G, G = dimensionless pressure gradien.


Hold up dan gradien tekanan sangat tergantung pada aliran gas, dimana
Duns dan Ross menunjukkan bahwa bubble flow terjadi pada laju aliran gas yang
rendah. Pada pola bubble flow ini cairan merupakan fasa yang kontinyu dan
merupakan gelembung-gelembung. Pola aliran ini gradien tekanan yang terjadi
hampir sama dengan gradien hidrostatis dari cairan. Gesekan dengan dinding pipa
akan memperbesar harga gradien tekanan, dimana hal ini terjadi pada laju aliran
besar.
Untuk laju cairan yang rendah (VsL< 40 cm/det) peningkatan laju aliran
gas menyebabkan jumlah gelembung gas yang lebih besar dan membentuk seperti
peluru. Pola aliran ini disebut plug flow. Dan pertambahan laju aliran gas, plug
tersbeut menjadi tidak stabil dan pecah, sehingga pola aliran berubah menjadi slug
flow. Untuk perubahan aliran tersebut faktor gesekan pada dinding pipa masih
diabaikan.
Pada laju aliran gas yang tinggi (Vsg>1500 cm/det dan VsL< 40 cm/det)
aliran berubah dari slug flow menjadi mist flow. Apabila ini terjadi, fasa gas
merupakan fasa kontinyu dan cairan akan terbawa aliran gas dalam bentuk butirbutir cairan. Faktor gesekan pada pola aliran ini (mist flow) merupakan unsur
penting dalam penentuan gradien laju aliran gas. Suatu hal yang perlu diingat ada
setelah gradien tekanan melampaui harga minimumnya, maka harga gradien
tekanan tersbeut akan meningkat dengan cepat.
Apabila laju aliran cairan bertambah mencapai VsL>160 cm/det, pola aliran
yang terjadi menjadi sukar untuk diamati dan plug flow tidak terjadi lagi serta
aliran menjadi turbulen dan cairan akan berbuih (fronthy) dengan adanya
gelembung-gelembung gas. Dengan bertambahnya aliran gas akan terjadi

pemisahan anara gas dengan cairan yang menyebabkan terbentuknya slug flow.
Pada saat dimana VsL>5000 cm/det, maka pola aliran berubah menjadi mist flow.
Duns dan Ross mengembangkan empat kelompok tidak berdimensi yag
digunakan di dalam korelasinya, yaitu :
1.

Gas Velocity Number :


L

Ngv = Vsg r

2.

..(4-98)

Liquid Velocity Number :


L

NLv = VLv r

3.

..(4-99)

Diameter Number :
L

Nd = d r

4.

(4-100)

Liquid Viscosity Number :


1

3
NL = L L .r

(4-101)

Dimana :
d

= diameter dalam dari tubing, ft

= densitas cairan, lbm/cuft

VsL = superfacial liquid velocity, ft/det


L

= viscositas cairan , cp

= tegangan permukaan, dyne/cam


Dengan menggunakan kelompok tak berdimensi tersebut membuat

korelasi untuk menentukan slip velocity S dan bentuk tak berdimensi.


Setiap harga S tersebut tergantung pada pola aliran yang terjadi dan
apabila harga S = 0 berarti hold up sama dengan nol dan ini terjadi pada pola
aliran mist. Sedangkan korelasi untuk menentukan gesekan juga tergantung pada
pola alirannya. Dengan demikian untuk menentukan gradien tekanan aliran
pertama-tama harus diperkirakan pola aliran yang terjadi, sesuai dengan laju aliran
dari masing-masing fasa serta keadaan dari pipa (diemeter, kekerasan, dan

sebagainya). Seperti diketahui bahwa menurut Ross gradien tekanan total adalah
penjumlahan dari gradien statik, gradien gesekan dan gradien percepatan.
Sedangkan besarnya gradien statik adalah sebagai berikut :
HL. L.g + (1-HL) g.g

(4-102)

Dimana HL adalah Liquid hold up. Gradien umumnya diabaikan dengan demikian.
dP
= HL. L.g +(1-HL) g.g + (gradien gesekan)
dh

....(4-103)

Apabila gradien tekanan dinyatakan dalam fraksi dari gradien hidrostatik cairan,
Lg , maka Persamaan (4-91) menjadi :

g
1 dP

= HL + (1-HL)
+ (gradien gesekan)
L
dh

G =
LG

(4-104)

Dimana :
G adalah gradien tekanan tidak berdimensi
Sesuai dengan pengamatan yang dilakukan oleh dapat ditunjukkan bahwa
laju aliran yang rendah gradien tekanan tidak tergantung pada laju aliran gas, akan
tetap pada laju aliran tinggi gradien tekanan sangat dipengaruhi oleh laju aliran
gas. Pola aliran yang terjadi, selama pengamatan yang dilakukan oleh Ros dibagi
dalam tiga pola aliran utama tergantung pada jumlah gas yang mengalir yaitu :
Daerah I : Fasa cair kontinyu dan pola aliran dapat merupakan bubble flow, plug
flow dan sebagian merupakan froth flow.
Daerah II : Pada daerah ini fasa cair dan gas berseling-seling. Pola aliran yang
tercakup dalam daerah ini adalah plug flow dan sebagian dari froth
flow (sisa dari daerah I)
Daerah III : Gas merupakan fasa yang kontinyu dan pol aliran yang terjadi di
daerah ini adalah mist flow.
Ketiga daerah aliran tersebut, membedakan korelasi yang digunakan untuk
menentukan slip velocity maupun hup serta faktor gesekan. Penentuan daerah
aliran berdasarkan parameter-parameter NLV, Ngv, L2, dan Nd. Oleh daerah aliran
tersebut digambarkan dalam suatu peta pola aliran seperti yang diperlihatkan pada
gambar dibawah ini. Peta pola aliran Gambar 4.11 tersebut merupakan fondasi
dari NLV dan Ngv oleh karena kedua parameter tersebut mempunyai kaitan

langsung dengan laju aliran cairan dan gas. Dalam bentuk matematis daerah aliran
tersebut dapat pula diperkirakan berdasarkan batasan-batasan sebagai berikut :

Gambar 4.19
Daerah Aliran Dari Korelasi Duns & Ross

24)

Daerah I : 0 < Bgv < (L1 + L2 Ngv)


Daerah II : (L1 + L2 NLv) < Ngv < (50 + 36 NLv)
Daerah III : Ngv > (75 + 84 NLv.0.75)
L1 dan L2 merupakan fungsi dari Nd dan hubungan tersebut dapat dilihat pada
Gambar 4.20.

Gambar 4.20
Hubungan Antara Faktor L Dengan Diameter Number Nd 19)
Liquid hold up yang terjadi juga mempunyai kaitan slip velocity, Vs, yaitu
sebagai berikut :
Vs =

Vsg
1 HL

VsL
HL

(4-105)

Slip velocity apabila dinyatakan dalam bentuk tak berdimensi adalah sebagai
berikut :
S = Vs (L/gr)

..(4-106)

Dengan demikian apabila S dapat ditentukan maka Vs, HL akhirnya


gradien tekanan dP/dh dapat diturunkan. Persamaan yang dipergunakan untuk
menentukan harga berbeda-beda tergantung pada daerah alirannya yaitu :
Untuk daerah I :

N gv

S = F1 + F2 . NLV + F3
1 N Lv

..(4-107)

Dimana :
F3 = F3 -

F4
Nd

Untuk daerah II :
S = (1+F5)
108)
Dimana :

N 0,982 F
gv

1 F7 N Lv

.(4-

F6 = 0.029 Nd + F6
Untuk daerah III :
S = 0 dengan demikian HL

VsL
VsL Vsg

Parameter-parameter F1, F2, F3, F4, F5, dan F6 ditentukan dengan


menggunakan kurva pada gambar dibawah ini. selain itu Duns dan Ross
menyatakan bahwa antara mist flow dan slug flow terdapat gas cap dan apabila
kondisi ini ditemukan maka gradien tekanannya ditentukan secara interpolas
antara gradien tekanan untuk mist flow dan slug flow.
Gradien

tekanan

akibat

dari

gesekan

dapat

ditentukan

dengan

menggunakan persamaan sebagai berikut :


Untuk daerah II dan III :

4 f w L VsL
dP

f
2d
dh

Vsg

VsL

..(4-

109)
Berdasarkan data percobaan untuk menentukan harga gesekan maka Duns dan
Ross membuat persamaan-persamaan sebagai berikut :
fw =

f 1 .f 2
f3

(4-

110)
Harga f1 ditentukan dengan menggunakan gambar dibawah ini dimana harga f1
merupakan fungsi dari bilangan Reynold.

Gambar 4.21
Hubungan Antara F1, F2, F3, F4, Dengan Viscosity Number NL 24)

Gambar 4.22
Hubungan Antara F5, F6, F7, Dengan Viscosity Number NL 24)

Gambar 4.23
Grafik Koreksi Gesekan Gelembung 24)

Harga F2 merupakan koleksi adanya gas liquid ratio dan ditentukan dengan
Gambar 4.23 yang mana harga f2 tersebut meerupakan fungsi dari f1 RNd2/3.

adalah gas liquid ratio. Harga f3 merupakan faktor koreksi tambahan terhadap
viskositas dan GRL dan ditentukan dengan persamaan :
Untuk daerah III, gradien tekanan akibat gesekan dihitung dengan
persamaan :
4 f w L VsL
dP

f
2d
dh

......(4-

111)
Oleh karena merupakan aliran gas, maka tidak terjadi slip dan faktor
gesekan (fw) ditentukan dengan mengggunakan diagram Moody, terapi merupakan
fungsi :

NRe =

g Vsg

......(4-

112)
Prosedur perhitungan gradien tekanan dengan metode Duns dan Ross adalah
sebagai berikut :
1.

Tentukan specific gravity dari minyak (o)

2.

Tentukan massa fluida yang berasosiasi dengan 1 STB cairan,

WOR
w
+(0,0764) (GRL) g
1 WOR
1 WOR

m = o (350)

3.

Tentukan density fasa cair

WOR
w
]
1 WOR
1 WOR

L = 62,4 [
4.

Tentukan tekanan rata-rata,

P
5.

p1 p 2
2

+14,7

Tentukan temperatur rata-rata,

T1 T2
2

6.

Tentukan harga faktor kompresibilitas Z

7.

Tentukan density fasa gas rata-rata

p 520 1

14,7 T Z

g = g (0,0764)
8.

Hitung viskositas rata-rata berdasrkan korelasi yang ada.

9.

Tentukan viskositas air rata-rata, dengan menggunakan korelasi yang telah


tersedia

10.

Hitung viskositas cairan campuran,

WOR
w

1 WOR
1 WOR

L = o
11.

Hitung tegangan permukaan cairan campuran

WOR
w

1 WOR
1 WOR

L = o
12.

Tentukan Rs pada P dan T

13.

Tentukan Bo pada P dan T

14.

Hitung luas penampang pipa

15.

Hitung liquid vicosity number (NL) dengan menggunakan Persamaan


(4-101)

16.

Hitung harga VsL dengan mangangap Bw = 1

17.

Hitung liquid velocity number (NLv) dengan menggunakan Persamaan


(4-99)

18.

Hitung superficial gas velocity (Vsg)

19.

Tentukan gas velocity number (Ngv) dengan Persamaan (4-98)

20.

Hitung pipe diameter number (Nd) dengan Persamaan (4-100)

21.

Tentukan daerah pola aliran dengan menggunakan Gambar 4.19 atau


dengan menggunakan batasan-batasan daerah aliran

22.

Tentukan slip velocity (Vs) dalam hal ini daerah aliran adalah daerah I dan
II maka digunakan persamaan :
S

Vs =
23.

1,938 L / L

1/ 2

Hitung liquid holp up dengan persamaan


HL

24.

Vs Vsg VsL Vs Vsg 4 Vs VsL


2

2 Vs

Tentukan liquid Reynold number (NRe) dengan persamaan


NRe =

25.

1488 L VsL d
L

Tentukan gradien tekanan akibat gesekan sesuai dengan aliran yang


terjadi, yaitu Persamaan (4-109) dan Persamaan (4-111) untuk daerah III.
Sebagai tambahan untuk daerah III, dalam menghitung gradien tekanan
akibat gesekan perlu diperhatikan mengenai harga kekasaran pipa.
Apabila E > 0,05 d, harga f1 ( = fw) ditentukan dengan persamaan :
f1 =

1
0,067 ( / d )1,73
4 long (0,027 / d ) 2

dan harga diameter yang digunakan untuk selanjutnya adalah d-.


Dengan demikian untuk menghitung Vgs adalah dengan persamaan :
Vsg
26.

Vsg d 2
(d )

Tentukan gradien statik dengan persamaan :


Gst = HL + (1-HL)

27.

g
L

Tentukan gradient tekanan total


-

Untuk daerah I dan II


Gtot = Gst + Gfr
Dimana, Gfr = 2 fw (g/L) (Ngv2/Nd)

Untuk daerah III (memperhitungkan percepatan)

G=
28.

G st G fr
1 L VsL g Vsg Vsg / p

Konversikan gradien kedalaman psi/ft


G .
dP

st st L
144
dh
G .
dP

fr fr L
144
dh

P
G. L
dP

total
h = P
144
dh
h total

Anda mungkin juga menyukai