Anda di halaman 1dari 9

GKI Muara Karang: Sejarah &Perkembangannya

Catatan: Tulisan ini pernah dimuat dalam Buletin Bentara – GKI


Perniagaan edisi khusus 9/thn IV – Mei 2008 dalam rangka
memperingati HUT GKI Perniagaan ke 140. Penulis merasa perlu
untuk menghadirkan Sejarah GKI Muara Karang untuk diketahui
oleh umat agar perjalanan GKI Muara Karang dalam usianya yang
ke 28 menjadi bagian dari perjalanan umat dalam kehidupan
bersama sebagai bagian dari Tubuh Kristus.

PENDAHULUAN

“Semua permulaan susah, tapi dengan berkat dan pimpinan Tuhan, segala sesuatu bahkan yang
sulitpun dapat dikerjakan”.

Inilah yang dikatakan oleh alm. Pdt. Drs. E. Rasmindarya (Pdt. Lie Beng Tjoan) dalam kata sambutan
tertulisnya pada peresmian tempat ibadah GKI Jabar Pluit sebagai jemaat yang ke 46, pada bulan
Oktober 1980. Apa yang dikatakan beliau bukan tanpa dasar karena kehadiran dan keberadaan sebuah
Jemaat hanya dapat terjadi dengan pertolongan Tuhan semata.

MASA PENYEMAIAN BENIH

Pada tahun 1973, keluarga Wiryanto mengadakan kebaktian syukur atas kepindahannya ke Pluit (Jl.
Pluit Putri V/9), yang dihadiri kerabat dan tetangga dekat dengan jumlah tidak lebih dari 6 orang dan
dipimpin oleh alm. Pdt. Rasmindarya.

Dalam percakapan setelah kebaktian syukur selesai, tercetus untuk memulai sebuah kebaktian rumah
tangga secara bergilir dan berpindah-pindah. Ketika umat Allah sudah mulai terhimpun di Pluit, Bpk.
Simon Gozali menyediakan rumahnya (Pluit Putra Raya 1) untuk pertemuan-pertemuan jemaat
(sebagai Pos Pekabaran Injil Pluit). Setelah itu kebaktian dipindahkan ke Apotik Telagasari (Jl. Pluit
Sakti 16). Kebaktian diadakan malam hari karena pada pagi harinya harus berbagi dengan Kebaktian
Umum dan Sekolah Minggu jemaat Kuo Yu Tang dari Mangga Besar.

Dalam pelayanan penyemaian benih di daerah Pluit, beberapa saudara seiman dipakai oleh Tuhan
untuk pelayanan tersebut, antara lain alm. Bpk. K.S. Prawira, Bpk. Gunawan Setiadi,alm. Bpk. Sukirna
Cahyadi yang rumahnya digunakan untuk Kebaktian Sekolah Minggu (Jl. Pluit Sakti VI/31) dan
beberapa saudara-saudara lainnya sehingga pelayanan berjalan dengan baik.

MASA PEMELIHARAAN TUNAS

Dari sejak semula Pos Pekabaran Injil Pluit (Pos PI Pluit) diasuh oleh Klasis Jakarta Barat. Dalam
perkembangannya, Pos PI Pluit perlu penanganan yang lebih intensif sehingga sejak tanggal 18
Agustus 1974, GKI Jabar Perniagaan diserahkan tugas pengasuhan Pos PI Pluit ini sebagai Bakal
Jemaat (Bajem) GKI Jabar Pluit.
Baptisan Kudus perdana sebanyak 5 orang diadakan pada bulan Desember 1975. Semua terjadi karena
Tuhan mau memakai pelayan-pelayan-Nya untuk menumbuh-kembangkan gereja Tuhan di Pluit.
Jemaat Tuhan semakin bertambah, bukan hanya warga yang tinggal di Pluit saja namun juga di
sekitarnya, yaitu Muara Karang.

Melihat perkembangan yang terjadi, pada tahun 1977 direncanakan untuk mempersiapkan Bajem GKI
Jabar Pluit menjadi jemaat yang dewasa. Untuk itu diperlukan suatu tempat sarana beribadah yang
lebih memadai dan menetap. Dimulai dengan menggunakan aula sekolah BPK Penabur KPS Jakarta
(TKK /SDK X- Muara Karang) Akhirnya diputuskan untuk membeli sebuah rumah di Muara Karang
yang terletak dekat dengan sekolah BPK Penabur – Muara Karang.

MASA PERTUMBUHAN

Setelah melalui pelbagai persyaratan maka semakin mantap rencana pendewasaan Bajem GKI Jabar
Pluit sekaligus juga rencana peneguhan seorang hamba Tuhan untuk menggembalakan umat-Nya di
Pluit dan sekitarnya. Maka pada tanggal 31 Oktober 1980 dilaksanakan pendewasaan Bajem GKI
Muara Karang menjadi GKI Muara Karang yang merupakan jemaat ke 46 di lingkungan GKI SW
Jabar. Pada saat itu juga dilaksanakan peneguhan penatua perdana sebanyak 9 orang dan peneguhan
Pdt. Jahya Zakaria yang sebelumnya melayani di GKI Patekoan (GKI Perniagaan).

Pertumbuhan Jemaat berkembang dengan diadakannya berbagai kegiatan, misalnya Malam


Pembinaan Bersama (MPB), Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR), Pekan Keluarga, Retreat dan
kegiatan-kegiatan lainnya. Melihat perkembangan jemaat yang cukup pesat ini, dirasa perlu untuk
mengembangkan sarana tempat ibadah yang memadai. Melalui pergumulan dan doa, Majelis Jemaat
memutuskan untuk membeli rumah yang letaknya bersebelahan dengan gedung gereja. Sementara
dilakukan renovasi, kebaktian Minggu diadakan di aula sekolah SMPK 6 – BPK Penabur. Dalam
ibadah Syukur pada tanggal 6 Januari 1986, diresmikan penggunaan gedung gereja yang baru.

MASA TANTANGAN

Pada tahun-tahun pertama kehadiran gereja di Muara Karang, jemaat berkembang dengan cepat,
namun dalam perjalanan selanjutnya, kehadiran jemaat mengalami pengenduran walaupun
pertambahan anggota setiap tahun selalu ada. Salah satu penyebab kemunduran itu dikarenakan
adanya kurang lebih 10% anggota yang pindah dan berada di luar wilayah Muara Karang – Pluit
bahkan juga pindah ke luar kota atau ke luar negeri. Dengan semakin berkembangnya wilayah Muara
Karang – Pluit maka kehadiran sejumlah gereja lainpun menjadi penyebab kepindahan anggota
jemaat GKI Muara Karang.

Bulan Mei 1993 Pdt. Jahya Zakari mengakhiri pelayanannya di GKI Muara Karang dan digantikan
oleh Pdt. Em. Martin Jonatan sebagai pendeta Konsulen.

MASA KONSOLIDASI

Dengan ketegasan dan disiplin yang mengagumkan,Pdt. Em. Martin Jonatan mengajak kembali
penatua dan jemaat untuk bangkit dan melihat keberadaan mereka sebagai jemaat Tuhan yang hadir
dan ada di Muara Karang – Pluit. Pada bulan Januari 1994, sdr Ronny Setyamukti STh. Ditempatkan
sebagai tenaga MP di GKI Muara Karang. Melalui pendampingan dan bimbingan Pdt. Em. Martin
Jonatan, maka sdr Ronny Setyamukti STh.ditahbiskan ke dalam jabatan pendeta pada tanggal 5
Februari 1996.

Melanjutkan apa yang sudah dimulai oleh Pdt. Em. Martin Jonatan, yaitu memotivasi jemaat agar
mereka memiliki kesadaran bersedia mempersembahkan diri bagi Yesus Kristus sebagai Tuhan dan
Juruselamat melalui Baptisan dan Sidi dan juga membangun jemaat untuk ikut serta dalam
keseluruhan gerak kehidupan jemaat, menjadi prioritas utama dalam tahun-tahun pelayanan GKI
Muara Karang.

MASA PEMBANGUNAN

Pertumbuhan jemaat yang pesat namun tidak diikuti dengan pertumbuhan kehadiran jemaat dalam
kebaktian-kebaktian Minggu maupun kegiatan-kegiatan gerejawi lainnya merupakan tantangan
tersendiri. Majelis Jemaat merasa perlu untuk menghadirkan seorang pengerja ke-2 mendampingi
Pdt. Ronny Setyamukti.

Kehadiran seorang tenaga MP (calon Pengerja) dalam diri sdri.Novita Sutanto S.Si(Teol) pada tahun
2004 sangat menopang kehidupan pelayanan di GKI Muara Karang. Pada tahun 2005, sdri.Novita
Sutanto diteguhkan sebagai Penatua dan pada tahun 2006 ditahbiskan sebagai pendeta GKI Muara
Karang.

Gerak pembangunan yang sedang berjalan semakin diperkuat dan diperkokoh dengan kehadiran Pdt.
Mulyadi(sebelumnya melayani di GKI Batam) yang diteguhkan sebagai pendeta GKI Muara Karang
pada tahun 2005.

Sejak pendewasaan di tahun 1980 sampai tahun 2008, GKI Muara Karang hadir di tengah-tengah
masyarakat yang memiliki dinamika perputaran kehidupan yang sangat cepat sehingga faktor-faktor
penentu dalam kehidupan berjemaat juga terpengaruh, misalnya soal persembahan waktu. Oleh sebab
itu dengan pelbagai cara dan strategi, bersama-sama dengan para pengerja dan Majelis Jemaat,
pelayanan diusahakan agar mengena sasaran sehingga keterlibatan dan peran serta jemaat semakin
nyata. Kegiatan-kegiatan rutin dari Komisi-komisi menjadi langkah awal untuk melibatkan jemaat
dalam pelayanan.

PENUTUP

Perjalanan kehidupan GKI Muara Karang masih terus berlanjut, pada saat ini tengah dipersiapkan
sebuah Pos Jemaat di wilayah Cileungsi, Bogor. Kehadiran GKI Muara Karang di wilayah Cileungsi
sudah ada sejak 1997. Namun yang sedang ditanam mulai dari benih, sehingga memerlukan kesabaran
ketekunan untuk merawat benih menjadi tunas.

Komisi Anak melayani Sekolah Minggu dengan menggunakan kelas-kelas di SMPK6-BPK Penabur.
Komisi Remaja memiliki kebaktiannya sendiri dengan memakai Ruang Serba Guna (yang juga telah
dibeli bersebelahan dengan gerdung gereja) Kegiatan-kegiatan rutin lainnya dilayani oleh Komisi
Dewasa – Sie Wanita dan Sie Usia Indah.
Banyak tantangan yang dihadapi dalam perjalanan gereja Tuhan, khususnya di Muara Karang – Pluit.
Namun setiap tantangan dan pergumulan yang harus dihadapi menjadi bagian dari pergumulan iman
jemaat Tuhan di GKI Muara Karang . Untuk itu, kata-kata dari alm. Pdt. Rasmindarya akan terus
diingat dan menjadi pendorong serta kekuatan dalam menangani segala hal.

“Semua permulaan susah, tapi dengan berkat dan pimpinan Tuhan, segala sesuatu bahkan yang
sulitpun dapat dikerjakan”.

Sejarah Pendirian GKI Jawa Barat

PEMBENTUKAN TIONG HOA KIE TOK KAUW HWEE KHOE HWEE DJAWA
BARAT (THKTKH KHDB) (Khoe Hwee = Klasis)

Pada tahun 1920-an telah terdapat beberapa jemaat Tionghoa di Jawa Barat.
Secara resmi bagian terbesar jemaat-jemaat itu masih berada di bawah
perwalian Zending Belanda Nederlandsche Zendings-vereeniging (NZV) atau
yang dikenal pula sebagai West Java Zending (WJZ). Jemaat-jemaat yang ada
di bawah perwalian ini antara lain jemaat-jemaat Tionghoa Patekoan, Senen
dan Bandung. Beberapa tokoh Kristen Tionghoa pada waktu itu ternyata sudah
pula memikirkan bagaimana bergereja secara mandiri, tanpa perwalian. Untuk
mewujudkan pemikiran itu, maka beberapa diantara mereka mendirikan Bond
Kristen Tionghoa (BKT) pada 23-27 Nopember 1826 di Cipaku, Bogor, dengan
tujuan untuk mendorong kemandirian jemaat-jemaat Tionghoa, khususnya
yang ada di Jawa Barat. Pemikiran dan upaya kemandirian ini dipengaruhi oleh
pendirian The National Christian Council in China (1922). Kemudian kehidupan
BKT ini hanya berlangsung sampai tahun 1930. Sungguhpun demikian,
sebagaimana nyata kelak, semangat untuk kemandirian itu tidak lenyap.

Pada 13-15 Juli 1934, di Cirebon, mantan pengurus BKT ditambah dengan
beberapa tokoh jemaat Tionghoa lainnya mendirikan sebuah badan baru yang
diberi nama Chung Hua Chi Tuh Chiao Hui (CHTCCH).

Dalam konferensi kedua CHCTCH, pada 27-29 Maret 1937 di Purworejo,


dikeluarkan keputusan bahwa “jemaat-jemaat Tionghoa di Jawa Barat agar
segera membentuk Khoe Hwee (Klasis) sendiri dengan perlengkapan
organisasinya (tata gereja dan pengurusnya) sendiri. Dalam rangka
pembentukannya, Panitya Pembentoekan Khoe Hwee Djawa Barat (PPKHDB)
akan dibantu oleh pengurus CHCTCH dan wakil Zending.” Berkenaan dengan
pembentukan Panitya ini, jemaat Patekoan dan Senen (keduanya di Jakarta)
memainkan peranan penting. Dibentuk pula Panitya Perantjang Peratoeran
THKTKH KHDB, dengan Lee Teng San, Khoe Lan Seng, Kho Tjoe San, The Eng
Siang dan The Tee Bie sebagai anggotanya.

Setelah melalui beberapa pertemuan persiapan, maka pada 12 Nopember 1938


di Patekoan (Jakarta) di bentuklan Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee Kho Hwee
Djawa Barat (THKTKH KHDB – Chineesche Christelijke Kerk Classis West-Java)
dengan tata gereja dan pengurusnya. Pengurus THKTKH KHDB waktu itu adalah
Ds. Tan Goan Tjong (Ketua), Tan How Siang (Sekretaris) dan Gouw Kiam Kiet
(Bendahara), Ds. H.D. Woortman dan Mr. S.C. van Randwijk (Penasihat).
THKTKH KHDB itu dinyatakan sebagai Gereja yang mandiri oleh wakil NZV pada
29 Nopember 1938 di tempat yang sama, yang diikuti dengan pelayanan
perjamuan kudus.

Pada 24 Maret 1940 oleh Zendings-consulaat, sevagai perwalian badan-badan


perkabaran Injil Belanda di Hindia Belanda, THKTKH KHDB dinyatakan sebagai
Gereja yang berdiri sendiri. Pada tanggal ini (24 Maret 1940), THKTKH KHDB
diundangkan sebagai Gereja yang berbadan hukum melalui lembaran Negara
Hindia Belanda (Staatblad van Nederlandsch0Indie) nomor 1 dan 100 tahun
1940, yang dinyatakan sebagai hari lahirnya THKTKH KHDB. Dengan pengaitan
pada dasar hokum ini, terlihat bahwa penentuan kelahiran “GKI Jawa Barat”
ternyata tidak dapat dipisahkan dari pengesahannya secara hukum oleh
pemerintah Hindia Belanda.

THKTKH THAY HWEE DJAWA BARAT MENJADI GEREJA KRISTEN


INDONESIA JAWA BARAT (Thay Hwee = Sinode)

Pembentukan THKTKH Khoe Hwee (= Klasis) Djawa Barat dilakukan dalam


rangka tujuan yang lebih luas lagi, yakni membentuk Gereja Bangsa Tionghoa,
yakni Gereja untuk orang-orang Tionghoa di Jawa, yang terhimpun dalam Tiong
Hoa Kie Tok Kauw Hwee Thay Hwee (= Sinode) Djawa Barat (THKTKW THDB),
dalam Gereja Kristen Tionghoa Sinode Djawa Barat/ Karena Sinode Djawa Barat
ini belum juga terbentuk, maka pada tahun 1954 (pada masa Indonesia sudah
merdeka) THKTKH Khoe Hwee Djawa Barat “ditingkatkan” menjadi THKTKH
Thay Hwee Djawa Barat.

Dari nama yang diberikan, nama THKTKH KHDB, terlibat jelas bahwa jemaat-
jemaat Tionghoa di Jawa waktu itu dengan kuat bermaksud menonjuolkan
paham gereja sebagai “gereja bangsa”; meskipun pada waktu yang sama ada
juga upaya untuk menonjolkan dan memperjuangkan paham “gereja bahasa”
seperti yang disebut sebagian kecil jemaat Tionghoa di Jawa Tengah Selatan
(teristimewa di Solo). Upaya mencari sandaran pada kekuatan dan dasar
hukum Hindia Belanda, seperti nyata juga dilakukan oleh THKTKH KHDB, juga
sebenarnya menyatakan hal yang sama, yaitu perjuangan supaya “gereja
bangsa” itu diakui kedudukannya dalam pemerintah Hindia Belanda, seperti
Pergerakan Tionghoa di Hindia Belanda, yang bertujuan untuk mencari dan
mendapatkan persamaan hak orang-orang Tionghoa di depan hukum Hindia
Belanda. Nasionalisme Tiongkok jelas kuat berpengaruh dalam semua
kenyataan itu. Pendek kata, pergerakan orang Kristen Tionghoa waktu itu
berorientasi pada dua hal: nasionalisme Tiongkok dan hukum pemerintah
Hindia Belanda.

Setelah Indonesia merdeka (17 Agustus 1945), tokoh-tokoh pimpinan jemaat-


jemaat Tionghoa di Jawa mulai menilai orientasi mereka, bahkan melakukan re-
orientasi. Mula-mula hal ini nampak dengan didirikannya Dewan Geredja-
geredja Kristen Tionghoa di Indonesia (DGKTI) pada tanggal 25-28 Mei 1948.
Pada pendirian itu tokoh-tokoh THKTKH KLHDB mengambil bagian. Tujuan
pendirian Dewan ini – yang diilhami oleh The National Christian Council in China
dan Konperensi “Majelis Oesaha Bersama Geredja-geredja Kristen” – adalah
untuk mempererat hubungan gereja-gereja Kristen Tionghoa untuk dapat
mencapai kesatuan dan mencari hubungan dengan gereja-gereja di Indonesia
pada khususnya dan gereja-gereja Kristen pada umumnya.

Menjelang tahun 1954, setelah Dewan Geredja-geredja di Indonesia (DGI)


berdiri (1950), DGKTI kurang atau tidak popular lagi, meskipun secara resmi
belum dibubarkan. Dengan adanya DGI maka wawasan bergereja yang
menembus batas-batas kesukuan menjadi kuat menonjol dan berpengaruh,
juga buat jemaat-jemaat Kristen Tionghoa. Dalam rangka wawasan keesaan ini
ketiga himpunan jemaat-jemaat Tionghoa (yakni THKTKH KH Djawa Barat,
THKTKH KH Djawa Tengah dan THKTKH KH Djawa Timur) membentuk badan
oikumenis yang diberi nama Badan Permusyawaratan Persatuan Geredjani
(BPPG) pada tahun 1954. Badan ini bertujuan untuk mempersatukan gereja-
gereja anggotanya dan membuat program kerja yang realistis, yakni:
mengusahakan tata kebaktian bersama, buku nyanyian bersama, buku
pedoman iman; menyelidiki sikap orang Kristen terhadap jenazah: menyusun
sejarah THKTKH di Jawa.

Di samping itu, re-orientasi wawasan gerejawi terjadi pula di dalam pemikiran


yang timbul untuk mengubah nama gereja, khususnya di kalangan pemimpin
jemaat-jemaat Kristen Tionghoa di Jawa. Pemikiran ini timbul dari refleksi
berikut ini. Pertama, gereja harus menemukan dirinya di tengah kehidupan
suatu bangsa di mana isi hidup. Kedua, bertolak dari pertimbangan pertama ini,
gereja menemukan kenyataan bahwa hampir seluruh anggotanya gereja adalah
orang-orang berwarganegara Indonesia dan berbahasa Indonesia. Hal ini tidak
lepas dari penerapan hasil Konferensi Meja Bundar (27 Desember 1949) dan
Perdjandjian Republik Indonesia – Republik Rakjat Tiongkok (22 April 1955).
Ketiga, bertolak dari hal pertama dan kedua, gereja menyadari bahwa dirinya
harus terbuka bagi segala golongan etnik, yang dalam konteks Indonesia,
gereja harus terbuka bagi segala golongan dan suku.

Pertimbangan pertimbangan tersebut telah mendorong THKTKH Thay Hwee


Djawa Tengah untuk mengambil keputusan untuk mengubah nama THKTKH
That Hwee Djawa Tengan menjadi GEREJA KRISTEN INDONESIA Djawa
Tengah dalam sidangnya pada tahun 1956. Sementara itu, karena nasionalisme
Tiongkok masih lebih kuat di jemaat-jemaat di Jawa Barat, THKTKH THDB
masih terus menggumuli perubahan nama itu. Di samping pertimbangan-
pertimbangan di atas, ada juga pertimbangan lain yang membuat penggantian
nama tidak segera diadakan, yakni: perubahan nama tidak boleh dilakukan
hanya karena ingin mengikuti gereja lain; juga apabila nama telah diubah,
apakah begitu saja akan timbul pengakuan bukan lagi sebagai gereja Tionghoa
tetapi gereja Indonesia.

Untuk menyelidiki lebih lanjut soal-soal sekitar perubahan nama, maka


dibentuklah panitia yang bertanggung jawab untuk itu dalam sidang THKTKH
THDB pada 22-23 Juli 1957 di Sukabumi. Pada sidang tahun berikutnya (29
September–2 Oktober 1958, di Cirebon) panita itu melaporkan kegiatannya dan
memberi usul perubahan nama. Nama-nama yang diusulkan pada waktu itu
sebagai berikut: Gereja Kristen Indonesia Djawa Barat (dari panitia, jemaat
THKTKH THDB Tanah Abang dan wakil BPPG); Gereja Kristen Protestan Djawa
Barat (THKTKH THDB Senen), dan Gereja Kristen Hoa You Djawa Barat (usul
jemaat THKTKH THDB Gardujati, Bandung). Setelah semua usul dibahas,
diputuskanlah untuk memakai nama GEREJA KRISTEN INDONESIA Djawa
Barat.

Dengan keputusan itu, maka secara resmi sejak 2 Oktober 1958 nama Gereja
Kristen Indonesia Djawa Barat (GKI Djawa Barat) dipakai menggantikan nama
lama. Perubahan nama ini kemudian pada tanggal 2 Desember 1958 di “akte-
notaris” kan; dan pada 2 April 1968 oleh Departemen Agama Republik
Indonesia, Direktorat Djenderal Bimas Kristen, “diakui dan disahkan” sebagai
Badan Hukum.

Sejarah GKI Kwitang


GKI Kwitang yang kita kenal sekarang dan pada hari ini, menyimpan sejarah yang lebih panjang dari
pada usia itu sendiri. Semua berawal di tahun 1873 ketika Christelijk Gereformeerde Kerk di negeri
Belanda mengutus Zendeling E. Haan untuk memberitakan Yesus Kristus di kalangan orang-orang
Belanda Indonesia di Batavia. Kemudian terbentuklah Christelijk Gereformeerd Kerk van Batavia.

Sebagai hasil penginjilan, maka pada tanggal 8 Juli 1877 diresmikanlah jemaat di Kwitang yang
anggotanya terdiri dari orang-orang Eropa, Jawa, Ambon dan keturunan Cina yang menetap di
Batavia. Pelayanan berkembang dan diadakan Persekutuan umat berbahasa Melayu pada setiap
Jumat di rumah Bapak Tuhasela di kampung Kwitang.

Jemaat berbahasa Melayu berkembang dengan pesat sehingga Zendeling Haan merasa perlunya
bantuan dari orang-orang Indonesia dalam pelayanan. Tersebutlah nama-nama Koewadhi, Benjamin
dan Ismael yang dalam rangka membantu pelayanan kemudian dididik pada Sekolah Guru Injil.

Pada tahun 1886 gereja-gereja di Belanda mengutus Ds. Huysing untuk menggantikan Zendeling
Haan.

Untuk membantu melayani jemaat dan juga untuk memperhatikan jemaat yang berbahasa Melayu,
pada tahun 1901 Ds. D.J.B. Wijers tiba di Batavia.

Karena pelayanan semakin meningkat dan berkembang beliau minta agar menambah pendeta.
Kemudian Ds. L. Tiemersma datang dari Belanda untuk membantu

Dalam tahun 1918 Ds. Aalders tiba di Batavia sebagai pendeta di gereja Kwitang. Kedatangan Ds.
Aalders merupakan awal suatu pembaharuan Melayu. Beliau memprakarsai konsep kemandirian
jemaat berbahasa Melayu, dan jemaat dipimpin oleh seorang gembala yang tidak merangkap
melayani jemaat berbahasa Belanda.

Pada tahun 1927 Ds. Ubels bertugas sebagai pelayan jemaat untuk menggantikan Ds. Alders yang
telah kembali ke negeri Belanda. Kemudian lahirlah pemikiran untuk mendewasakan jemaat
Gereformeerd yang berbahasa Melayu, yang akan mempunyai seorang pendeta pribumi dan majelis
jemaat sendiri.

Akhirnya pada tanggal 11 Agustus 1929 jemaat Kwitang yang berbahasa Melayu diteguhkan menjadi
Gereja yang dewasa. Penahbisan Pendeta Isaac Siagian sebagai pendeta pertama Gereja Melayu
Kwitang dilaksanakan pada tanggal 2 November 1930.

Gereja Melayu Kwitang memiliki status hukum sebagai gereja resmi pada tanggal 1 September 1930
dengan surat keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Sejarah GKI Jawa Tengah

Gereja Kristen Indonesia Jawa Tengah (GKI Jateng) yang semula bernama Tiong Hoa Kie Tok Kauw
Hwee (THKTKH) lahir dari usaha pekabaran injil yang dilakukan baik atas inisiatif perseorangan maupun
upaya badan zending. Dari nama awalnya, terlihat bahwa anggotanya memang berasal dari orang-orang
Tiong Hoa peranakan. Sekalipun demikian, ada juga beberapa Jemaat Gereformeerd yang sejak semula
memiliki anggota dari berbagai suku, seperti Jemaat Kwitang Jakarta dan Jemaat Taman Cibunut
Bandung.
Perlu diperjelas bahwa terdapat perbedaan antara orang-orang Tiong Hoa peranakan (kiauw-seng) dan orang-
orang Tiong Hoa totok (sin-khe). Kedua golongan ini bermigrasi dari Cina daratan secara sukarela dan banyak
didorong oleh kekacauan yang terjadi di tanah air mereka karena penindasan rezim Manchuria. Pembedaan
ini sebenarnya terjadi secara tipikal di Jawa; Tiong Hoa peranakan dikenakan pada mereka yang yang sudah
membaur dengan wanita pribumi dan tidak bisa lagi berbahasa Cina, sehingga dalam pembicaraan sesehari
mereka memakai bahasa Melayu rendah atau bahasa Jawa ngoko (kasar); sedang orang-orang Tiong Hoa
yang totok masih fasih berbahasa Cina dan cenderung kawin dengan sesama orang Tiong Hoa. Pada masa
pemerintahan kolonial, orang-orang Tiong Hoa peranakan ini diberi status "orang-orang asing" (vreemde
oosterlingen), walaupun mereka sudah lama hidup bersama dengan golongan pribumi. Karena tidak
diperkenankan membeli dan memiliki tanah, mereka justru mencari nafkah lewat perdagangan, sehingga
pada akhirnya mereka hadir secara ekonomis sebagai kelas menengah. Golongan peranakan inilah yang
akhirnya banyak menjadi anggota Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee Jawa Tengah.
Berikut ini kilasan sejarah GKI Jateng yang terbagi dalam beberapa periode:
Periode I
(sebelum 1935)
Periode II
(1935-1945)
Periode III
(1945-1970)

Periode I: Sebelum Tahun 1935


Mulanya upaya penginjilan di Jawa Tengah dilakukan atas inisiatif perseorangan, seiring dengan
kebijakan pemerintah kolonial pasca Perang Diponegoro yang menghendaki adanya stabilitas
sosial-politik. Kebijakan ini baru diperlonggar pada awal abad ke-20.

Awal pekabaran injil di Jawa Tengah bagian Selatan dilakukan di Banyumas, di rumah Ny. Oostrom-Philips,
pada tahun 1850. Pada saat yang hampir bersamaan, terdapat kegiatan pekabaran injil yang dilakukan oleh
Ny. Philips-Stevens di Purworejo. Cara yang ditempuh kedua orang ini sama, yaitu mengadakan persekutuan
doa bersama dengan para karyawannya. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang pribumi, meskipun ada
pula beberapa orang Tiong Hoa peranakan juga yang ikut serta di dalamnya. Belakangan orang-orang
pribumi hasil didikan kedua wanita ini menjadi pengikut Kiai Sadrach.
Orang-orang Tiong Hoa akhirnya diasuh oleh penginjil Paulus Khouw Tek San, yang dibaptis di Purbalingga
oleh Pdt. Vermeer, seorang utusan Nederlandsche Gereformeerd Zendings Vereniging (NGZV), yang
diperbolehkan bekerja di Tegal dan sekitarnya atas izin seorang residen, yaitu A.A.M.N. Keuchenius, yang
menaruh minat pada usaha-usaha pekabaran injil. Paulus Khouw Tek San ini sendiri sebelum dibaptis oleh
Pdt. Vermeer telah dididik dalam iman oleh Gan Kwe, seorang penginjil dari Amoy yang bekerja sama
dengan Mr. Anthing melalui Perhimpunan untuk Pekabaran Indjil diluar dan didalam Geredja di
Jakarta.
Di daerah Jawa tengah bagian Utara, pekabaran injil mula-mula dikerjakan di Salatiga oleh Ny. le-Jolle. Upaya
ini kemudian dilanjutkan oleh Zending Salatiga (semula berasal dari Jerman dengan nama De Ermelosche
Zendingsgemeente) yang terbentuk pada tahun 1886, yang bekerja terutama di kota Semarang.
Selain itu, sejak abad ke-19, ini sudah berdiri juga sebuah Jemaat Gereformeerd di Kwitang Jakarta, yang
beranggotakan baik orang-orang Belanda, Tiong Hoa maupun pribumi, yang pada awalnya muncul sebagai
buah pekabaran injil zendeling Haan dari Christelijk Gereformeerde Kerken.
Setelah terjadi pergolakan dalam tubuh gereja di Belanda (1886) dan berdiri gereja-gereja Gereformeerd,
maka pekabaran injil di Jawa Tengah bagian Selatan ini diserahterimakan dari NGZV kepada Gereja
Gereformeerd. Hal ini sesuai dengan salah satu asas yang ditetap oleh sinode Gereja Gereformeerd bahwa
yang melaksanakan pekabaran injil seharusnya adalah gereja dan bukan badan zending.
Hal yang menggembirakan terjadi ketika pada tahun 1925 dibuka Theologische School di Yogyakarta, yang
kemudian hari menjadi STT Duta Wacana dan kini berkembang menjadi Fakultas Theologia Universitas
Kristen Duta Wacana. Sekolah teologi ini berhasil mendidik pemuda-pemuda Tiong Hoa maupun pribumi
untuk menjadi pelayan Tuhan di kemudian hari.

Periode II: 1935-1945


Pada tahun 1935 Liem Siok Hie berhasil mendirikan gereja Tiong Hoa Kie Tok Kauw
Hwee (THKTKH) d Semarang, yang berasal dari perkumpulan-perkumpulan doa yang
dipimpinnya. Beberapa THKTKH lain berdiri juga di Salatiga dan Blora, sehingga pada tahun 1936
ketiga Jemaat ini bergabung menjadi satu klasis, (Khu Hwee). Selain itu Jemaat-jemaat Tiong Hoa
berbahasa Melayu muncul juga di daerah Surakarta, Magelang dan Yogyakarta dan pada tahun
yang sama (1936) bergabung dalam klasis Yogya.

Perkembangan luar biasa terjadi ketika penginjil John Sung datang ke Jawa Tengah pada tahun 1939.
Kebaktian Kebangunan Rohani yang diadakannya berhasil memikat ribuan orang Tiong Hoa. Kemajuan pesat
ini disadari oleh Gereja Gereformeerd di Belanda, sehingga pada tahun 1940 mereka mengutus Pdt. A.F.J.
Pieron untuk bekerja di tengah-tengah orang Tiong Hoa di Jawa Tengah.
Pada masa pendudukan Jepang, banyak kesulitan muncul. Hubungan dengan gereja di Belanda terputus,
terutama menyangkut bantuan dana. Pada situasi sulit ini justru mengajar Jemaat-jemaat di Jawa Tengah
untuk mandiri. Selain itu, semakin banyak pula pemuda-pemuda Kristen pada zaman ini yang kehilangan
kesempatan untuk sekolah dan tertarik untuk aktif dalam pelayanan di Gereja.
Jadi, pada zaman jepang, sekalipun banyak kesulitan terjadi, gereja berkembang dengan pesat. Bahkan pada
tanggal 8 Agustus 1945, terjadi persatuan gereja-gereja Tiong Hoa berbahasa Melayu dengan terbentuknya
Sinode THKTKH pada persidangan I di Magelang. Sinode I ini merumuskan dasar-dasarnya sebagai berikut,
"... Synode mengalaskan pengakuan pertjaja atas Kitab Sutji, Perdjandjian Lama dan
Baru sebagai Firman Allah dan 12 pengakuan kepertjajaan seturut keterangan
Catechismus Heidelberg, sedang aturan geredja didasarkan atas bentuk
pemerintahan geredja presbyteriaal" (Acta Synode I, artikel 9).

Periode III: 1945-1970


Pada masa ini usaha pekabaran injil tidak lagi dikerjakan oleh tenaga-tenaga asing. Jemaat-
jemaat yang sudah dewasa banyak mendirikan pos-pos PI (Pekabaran Injil) di daerah yang dekat
dengannya, yang pada akhirnya didewasakan juga sebagai Jemaat.

Pada tahun 1947-1948 terjadi agresi milter Belanda. Salah satu eksesnya adalah munculnya pergolakan
sosial yang mengakibatkan orang-orang Tiong Hoa mengalami tekanan dan pendertitaan. Jemaat Grabag dan
Jemaat Blabak, misalnya, dihancurkan oleh penduduk setempat dan hampir seluruh orang-orang Tiong Hoa di
sana hijrah di kota-kota sekitarnya (Magelang, Temanggung dan lainnya).
Di pihak lain, pada periode ini banyak diupayakan juga "penemuan diri" Gereja dalam konteksnya di
Indonesia. Hal ini tampak lewat beberapa peristiwa penting, seperti penggantian nama Tiong Hoa Kie Tok
Kauw Hwee menjadi Gereja-gereja Kristen Indonesia Jawa Tengah (GKI Jateng)pada persidangan
Sinode VI di Purwokerto pada tahun 1956, serta masuknya Jemaat Gereformeerd Kwitang
Jakarta, Jemaat Gereformeerd Kalisari Semarang dan Jemaat Taman Cibunut Bandung, yang sejak
semula banyak beranggotakan orang-orang pribumi, ke dalam Sinode. Selain itu terlihat pula adanya
keterbukaan ekumenis dengan masuknya GKI Jateng dalam DGI (sekarang: PGI), WCC (World Council of
Churches), EACC (East Asia Christian Conference, sekarang: CCA, Christian Conference of
Asia), WARC (World Aliance of Reformed Church) dan REC (Reformed Ecumenical Council).

Anda mungkin juga menyukai