HARTA
Ketentuan Rizki
Rizki adalah ketentuan Allah. Dia telah menentukan kadarnya bagi masing-masing orang,
sebagaimana disabdakan Nabi bahwa rizki itu telah ditetapkan sejak ditiupkannya ruh ke dalam
janin dalam kandungan.
Tugas seorang hamba adalah berusaha semaksimal mungkin menyongsong sampainya bagian
rizki tersebut padanya. Begitulah Islam mengajarkan, agar setiap muslim memiliki etos kerja
yang tinggi dalam mencari rizki dengan tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan Allah SWT.
Allah SWT sangat menghargai orang-orang yang bekerja mencari harta yang halal. Nabi
Muhammad saw bersabda, “Sesungguhnya Allah itu mencintai mu’min yang bekerja” (HR.
Thabrani & Baihaqi).
Dalam hadits lain disebutkan, “Siapa yang di waktu malam merasakan payah sebab kerja
tangannya (di waktu siang), maka di waktu malam itulah terampuni dosa-dosanya”. (HR.
Thabrani & Baihaqi).
Islam pun mengingatkan umatnya bahwa harta yang ia dapatkan dari bekerja hakikatnya adalah
amanah (57: 7) dan ujian (8: 28) dari Allah. Di akhirat kelak mereka akan ditanya tentang
hartanya itu; bagaimana ia diperoleh dan kemana ia dibelanjakan.
Oleh karena itu manusia harus memiliki pensikapan yang benar kepada harta; mereka hendaknya
sadar bahwa harta hakikatnya adalah sarana hidup dan bekal ibadah. Tidak boleh sama sekali
didapatkan dengan cara yang bathil, “Mencari harta yang halal itu wajib bagi setiap orang
Islam” (HR. Thabrani), demikian sabda Nabi.
Dalam hal bekerja (mencari harta) ada dua aturan pokok yang tidak boleh diabaikan:
1. Bekerja mencari harta tidak boleh membuat kita lalai dari mengingat Allah (63: 9)
2. Pekerjaan yang dilakukan hendaknya sesuai dengan syariat Allah, yakni menjauhi unsur
riba (QS. 2: 275-279), judi dan arak (2: 219; 5: 90), kolusi (83: 1-5), pencurian (5: 38),
dlsb.
Seorang sahabat bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, kemanakah kami harus berlari?”
Rasulullah menjawab, “(Berlarilah) kepada Allah dan kepada kitab-Nya dan kepada sunnah
Nabi-Nya”.
Sekelumit percakapan yang dimuat dalam hadits riwayat Ad-Dailami tersebut di atas
mengisyaratkan kepada kita tentang suatu masa di mana jiwa manusia sudah begitu lemah dan
cengeng menghadapi kehidupan, sehingga tak kuasa mencari sumber ma’isyah (penghidupan)
kecuali dengan cara maksiat.
Dalam hadits lain Nabi saw menyebut kondisi mental seperti ini dengan sebutan al-wahn
(kelemahan jiwa), yakni bersarangnya penyakit hubbud dunya (cinta dunia) dan penyakit
karohiyatul maut (takut mati). Penyakit inilah yang menyebabkan banyak manusia menjadi gelap
mata, berpikiran sempit, dan tidak mau bekerja keras; ingin untung dari enteng tanpa
memperhatikan halal dan haram.
Walhasil, korupsi dan kolusi jadi membudaya; aksi tipu menipu semakin marak; perbuatan
menyelisihi agama—seperti zina, miras, judi, pornografi, pornoaksi—nyaris dianggap biasa.
Bahkan dianggap sah—tentu saja sah menurut hawa nafsu mereka; bukan sah menurut syariat
agama.
Maha Benar Allah dengan firman-Nya, ”Seandainya kebenaran itu mengikuti hawa nafsu
mereka, benar-benar akan hancur langit dan bumi serta apa-apa yang ada di antara
keduanya…” (QS. 23: 71)
Mencari maisyah dengan cara maksiat jelas harus dihindari karena sangat merugikan, bukan
hanya merugikan orang lain tapi juga merugikan diri sendiri. Kerugian-kerugian tersebut
diantaranya adalah:
Do’a tidak akan terkabul, amalnya tidak akan diterima dan terancam jadi penghuni Neraka.
Sa’ad bin Abi Waqash pernah meminta dido’akan Nabi agar do’a-do’anya senantiasa
dikabul. Maka Nabi bersabda, ”Hai Sa’ad, perbaiki makananmu, tentu do’amu akan
dikabulkan. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada dalam kekuasaan-Nya,
sesungguhnya hamba yang memasukkan makanan haram di dalam mulutnya tidak akan
diterima amalnya selama empat puluh hari. Dan siapa saja hamba yang dagingnya
tumbuh dari barang haram, neraka lebih utama baginya!” (HR. Thabrani).
Tidak dipedulikan Allah dari pintu yang mana ia akan dimasukkan ke dalam Neraka
Asal tahu saja, neraka itu ada beberapa pintu, dan setiap pintu memiliki kadar siksaan
yang berbeda. Sedangkan orang yang tidak memperhatikan halal dan haram akan
dimasukkan ke dalam neraka tanpa dipedulikan melalui pintu yang mana.
Diremehkan Setan
Setan meremehkan orang yang makan dari barang yang haram, karena perbuatan itu
sudah cukup memasukkannya ke dalam neraka dan ibadah yang dilakukannya tidak
bernilai.
”Sesungguhnya jika ada seseorang yang beribadah, setan akan berkata kepada kawan-
kawannya, ’Lihatlah dari mana makanannya’. Jika makanannya berasal dari yang
haram, maka setan berkata, ’Biarkan dia berpayah-payah dan bersungguh-sungguh
(beribadah), sungguh telah cukup bagi kalian dirinya itu. Sesungguhnya kesungguhan
beribadahnya beserta makan barang haram tidak akan membawa manfaat”. (HR.
Muslim)
Ikhtiar Batin
Ikhtiar Lahir
Akhirnya dari uraian singkat di atas kita dapat menyimpulkan bahwa sebagai hamba yang
beriman berupaya mencari harta dengan jalan halal yang diridhoi Allah SWT adalah sebuah
keniscayaan, ini tiada lain agar keselamatan dan keberkahan selalu tercurah di dunia dan akhirat.
Sesungguhnya Allah tidak akan aniaya kepada hamba-hamba-Nya yang berupaya membersihkan
diri.
Wassalamualaikum wr wb.
Seri amalia.