Anda di halaman 1dari 15

TINGKAT SERAPAN KARBON BEBERAPA JENIS RUMPUT LAUT

Kappaphycus spp PADA POLA BUDIDAYA SISTEM LONG LINE


DI KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT GALESONG
KABUPATEN TAKALAR

Oleh :
Akmal
(Perekayasa Muda)
Nana Sarip Sumarna Udi Putra
(Calon Perekayasa)
Khairil Jamal
(Calon Litkayasa)
Ilham Bachtiar
(Calon Pengwasa Budidaya)

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN


DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDYA
BALAI BUDIDYA AIR PAYAU
TAKALAR

2009

1
TINGKAT SERAPAN KARBON BEBERAPA JENIS RUMPUT LAUT Kappaphycus spp
PADA POLA BUDIDAYA SISTEM LONG LINE DI KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT
LAUT GALESONG KABUPATEN TAKALAR

Akmal, Nana S.U.Putra, Khairil Jamal, dan Ilham Bachtiar


Balai Budidaya Air Payau Takalar

ABSTRAKS

Kemampuan serap CO2 melalui proses fotosintesis membuat rumput laut berperan ganda yakni sebagai
sumber ekonomi bagi masyarakat dan sebagai pengendali lingkungan global. Perkembangan yang terus
meningkat membuat peran rumput laut dalam mengendalikan kondisi lingkungan global tidak bisa
diabaikan, akan tetapi kemampuan rumput laut budidaya sebagai penyerap CO2 belum banyak diketahui
secara luas. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui jumlah serapan karbon dari kegiatan budidaya
rumput laut beberapa jenis Kappaphycus spp pada pola budidaya rumput laut sistem longline di Kawasan
Budidaya rumput laut Galesong Kabupaten Takalar. Hasil menunjukkan bahwa kandungan karbon
tertinggi dari hasil budidaya sistem longline di Kawasan Budidaya Rumput Laut Galesong ada pada jenis
K. dentuculatum (43,10±5,13 %), disusul K. striatum (29,76±6,80%), K. alvarezii (maumere)
(23,09±3,74%) dan K. alvarezii (golo-golo)(20,73±1,73%). Perbedaan kandungan karbon disebabkan
oleh karakteristik kandungan air, zat mudah terbang dan abu di masing-masing jenis rumput laut. Hasil
pengujian kandungan karbon berdampak pada tingkat serapan karbon. Tingkat serapan karbon tertinggi
diperoleh jenis K. denticulatum (458,332±58,04 Ton C/siklus tanam) disusul oleh jenis K. striatum
(367,07±90,42 Ton C/siklus tanam), K. alvarezii (golo-golo) (249,66±18,80 Ton C/siklus tanam) dan K.
alvarezii (gologolo) (219,12±36,89 Ton C/siklus tanam).

Kata Kunci : Rumput Laut, Serapan Carbon, Budidaya

2
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sejak dua dekade yang lalu perhatian global mengarah pada meningkatknya konsentrasi
karbon di amosfer yang berdampak pada munculnya efek gas rumah kaca. Hal ini diindikasikan
oleh terjadinya peningkatan konsetrasi gas karbon dioksida (CO2) selain gas methan (CH4),
Nitrogen oksida (NO) dan chloroflurocarbon (CFC) di atmosfir. Peningkatan efek gas rumah
kaca yang paling nampak adalah peningkatan suhu dan perubahan pola hujan yang mana
keduanya sudah diprediksikan oleh para ahli (Kimball at.al, 1993). Produksi gas karbondioksida
dari kegiatan industri dan lainnya telah mencapai 7,4 billion ton per tahun pada thaun 1997 dan
akan mencapai 20 billion ton/tahun pada tahun 2100 (Sinha, 2008) gambaran saat ini terjadi
penambahan karbon sebesar 6 billon ton per tahun (Lohmann, 1999).
Laporan Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) yang ditulis oleh Houghton
et.al (1990) bahwa konsentrasi CO2 di atmosfer akan meningkat dari 360 ppm saat ini menjadi
800 ppm pada akhir abad 21 yang merupakan peningkatan dua kali lipat (Alcamo, et.al, 1996),
bahkan estimasi Woodward (2002) pada tahuan 2050 akan meningkat hingga ada pada kisaran
450 – 600 ppm. Dampaknya adalah meningkatnya suhu bumi sekitar 4,2 OC (Houghton et.al.,
1990).
Perkiraaan yang telah menjadi nyata saat ini membuat peningkatan gas CO2 di atmosfer
mulai mendapat perhatian yang serius. Komitmen dunia melalui Protokol Kyoto di tahun 2010
tingkat reduksi emisi harus bisa mencapai 96% dari kondisi pada tahun 1990 (Cairns & Lasserre,
2001). Sejak itu pula semua negara termasuk Indonesia berpartisifasi dalam skema pembangunan
bersih (Clean Development Mecanism - CDM) melalui perdagangan karbon (Certificate
Emmission Reduction - CER) untuk mendapatkan bantuan dana dalam rangka pengembangan
hutan yang berkelanjutan.
Tumbuhan adalah aktor utama dalam proses reduksi CO2 melalui proses fotosintesis.
Hutan merupakan harapan utama yang mampu mereduksi dan menstabilisasi konsentrasi CO2 di
atmosfer. Akan tetapi faktanya bahwa yang mampu melakukan reduksi CO2 di atmosfer adalah
bukan hanya tumbuhan di darat tapi juga tumbuhan di perairan. Data IPCC yang ditulis oleh
Muraoka, (2004) memaparkan bahwa lautan mampu menyerap hingga 2 billion ton
karbondioksida per tahun. Data hasil pengukuran serapan karbon di perairan diperoleh
menunjukkan bahwa dalam 3,5 ton produksi alga terdapat 2,7 ton karbon (Sinha, 2008). Bahkan
Kementrian Lingkungan Jepang telah melaporkan bahwa perairan Jepang dengan rumput laut
yang ada didalamnya (Sarggassum, Ecklonia, Seagrass, Laminaria) mampu menyerap CO2
hingga 2,7 juta ton/tahun termasuk dari hasil kegiatan budidaya (Muraoka, 2004). Produksi
rumput laut di jepang sendiri adalah 650.000 ton basah/tahun dan yang berasal dari kegiatan
budidaya sebesar 530.000 ton basah/tahun, dari jumlah tersebut mampu menyerap karbon
sebesar 32.000 ton (Muraoka, 2004). Tumbuhantumbuhan yang hidup di dalam air ternyata
mempunyai produktivitas yang tinggi (Mann, 1973), walaupun untuk jenis-jenis rumput
dianggap tidak bisa menyimpan karbon dalam waktu yang lama akibat siklus hidupnya yang

3
singkat, sehingga dianggap kurang efektif dalam menyimpan karbon dibandingkan dengan
tumbuhan di darat yang mampu menyimpan lama walaupun mempunyai laju yang kecil dalam
menyerap karbon (Muraoka, 2004). Akan tetapi estimasi dari Ramus, (1992) bahwa siklus hidup
dari Sarggasum bias mencapai 10-100 tahun. Dari data tersebut menujukkan bahwa tumbuhan
seperti rumput laut memungkinkann untuk dijadikan bagian dari upaya CDM sehingga bisa
dilibatkan dalam perdagangan karbon (CER).
Jenis-jenis rumput laut yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah jenis
Kappaphycus alvarezii yang lebih dikenal dengan Eucheuma cottonii, dan Sarggasum
denticulatum. Total produksi rumput laut Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat bahkan
tahun 2009 ditargetkan mencapai 1,9 juta ton dan konsentrasi budidaya saat berada di wilayah
Sulawesi. Sehingga peningkatan produksi rumput laut budidaya memiliki dampak pada
peningkatan potensi serapan karbon yang juga akan terus meningkat. Apalagi kegiatan
budidruaya rumput tidak akan menimbulkan dampak sampingan seperti yang terjadi pada
kegiatan di darat. Penelitian terhadap peran dari rumput terhadap tingkat serapan karbon belum
banyak dilakukan apalagi menyentuh kegiatan budidaya rumput laut. Bahkan di Indonesia
sendiri penelitian ini belum dilakukan. Oleh karena, itu studi ini sangat penting untuk dilakukan
dalam upaya untuk melakukan pengukuran terhadap tingkat serapan karbon di kegiatan budidaya
rumput laut sebagai bagian dari manfaat rumput laut dalam upaya stabilisasi karbondioksida di
atmosfer

1.2. Tujuan dan Sasaran

Tujuan yang ingin di capai adalah untuk memperoleh data tingkat serapan karbon dari
kegiatan budidaya rumput laut beberapa jenis Kappaphycus spp pada pola budidaya rumput laut
sistem longline di Kawasan Budidaya rumput laut Galesong Kabupaten Takalar.

II. METODOLOGI

2.1. Lokasi Dan Waktu Kegiatan


Kegiatan penelitian dilakukan di kawasan Budidaya rumput laut Desa Bontoloe
Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar. Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai
Desember 2009 dan pemeliharaan dilakukan selama 45 hari.
2.2. Ruang Lingkup Kegiatan
Agar penelitian ini lebih terarah maka ruang lingkup penelitian tingkat serapan karbon
pada beberapa jenis rumput laut Kappaphycus spp meliputi :
1. Menghitung berat basah (standing stock)
2. Menghitung biomas
3. Menghitung kandungan karbon

4
2.3. Luaran, Hasil, Manfaat Dan Dampak Kegiatan
a. Luaran hasil
Luaran hasil dari penelitian ini adalah berupa :
- Tulisan ilmiah yang bisa dipublikasikan secara nasional maupun internasional
b. Hasil
Hasil dari penelitian ini adalah berupa :
- Memperoleh data biomas dan rasio Produksi dan Biomas dari masing-masing jenis rumput
laut Kappaphycus spp.
- Memperoleh data kemampuan serap karbon dari rumput laut pada beberpa jenis rumput laut
Kappaphycus spp. sebagai manfaat lain dari kegiatan budidaya yang lebih ramah
lingkungan.
- Memperoleh data kandungan karbon dari masing-masing jenis rumput laut Kappaphycus
spp.
c. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah
- Informasi dan data yang bisa dijadikan sebagai data dasar dalam menghitung tingkat serapan
kandungan karbon dari sistem budidaya rumput laut jenis Kappaphycus spp di wilayah
budidaya di Indonesia.
d. Dampak Kegiatan
Dampak yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah Indonesia memiliki data yang
akurat mengenai serapan karbon dari jenis rumput laut yang kemudian bisa digunakan untuk
membuat kebijakan lanjutan dan bisa digunakan untuk membuat estimasi data serapan karbon
yang mencakup seluruh kawasan budidaya di Indonesia yang kemudian bisa digunakan sebagai
klaim dalam kaitannya dengan perdagangan karbon (CER) dalam skema pembanguan bersih
(CDM) berdasarkan Protokol Kyoto.

2.4. Bahan Dan Metode


a. Dasar Teori
Rumput Laut
Rumput laut tumbuh hampir diseluruh bagian hidrosfer sampai batas kedalaman sinar
matahari masih dapat mencapainya. Beberapa jenis rumput laut hidup kosmopolitan. Rumput
laut hidup sebagai fitobentos dengan menancapkan atau melekatkan dirinya pada substrat
lumpur, pasir karang, fragmen karang mati, batu, kayu dan benda keras lainnya. Ada pula yang
menempel pada tumbuhan lain secara epifik. Perkembangan rumput laut pada dasarnya ada dua
macam, yaitu : secara kawin (generatif) antara gamet jantan dengan gamet betina dan secara
tidak kawin dengan cara vegetatif, konjugatif dan persporaan (BBAP Takalar, 1996).
Secara alami jenis Kappaphycus spp banyak dijumpai di perairan laut Sulawesi,
kepulauan Maluku, Nusa Tenggara, Irian Jaya dan kepulauan Riau (DJPB, 2003). Jenis ini hidup
di daerah pasang surut dengan kedalaman air antara 30 – 50 cm pada waktu surut terendah. Cara

5
hidupnya dengan menempelkan diri pada substrat. Rumput laut mendapatkan makanan dari
nutrisi yang terkandung dalam air dan tumbuh dengan baik pada daerah yang mempunyai
pergerakan air serta sinar matahari yang cukup untuk proses fotosintesa (BBAP Takalar, 1996;
Udi-Putra, 2007).
Fotosintesis
Aktivitas fotosintesis merupakan bagian dari rangkaian siklus karbon di alam.
Fotosintesis adalah merupakan pola penjerapan karbon di atmosfer oleh tumbuhan. Ketika
tumbuhan itu mati akan terdekomposisi dan akan kembali ke atmosfer oleh proses alam lainnya.
Sehingga fotosintesis merupakan proses penting dalam mereduksi gas di atmosfer.
Fotosintesis hanya terjadi pada tumbuhan hijau. Sebagai tumbuhan hijau maka rumput
laut tumbuh dan berkembang melalui proses fotosintesis yang mengandalkan nutrisi yang terlarut
di dalam air, gas CO2 dan cahaya matahari. Komponen utamanya adalah gas CO2, air (H2O) dan
cahaya. Proses ini menghasilkan makanan dan oksigen. Fotosintesis sendiri merupakan proses
yang kompleks yang mampu mengkonversi energi radiasi menjadi energi kimia dan prosesnya
sangat tergantung pada jenis kelompok tumbuhannya apakah C3, C4 atau CAM (Crassulacean
Acid Metabolism) (Keeley,--). Persamaan kimia fotosintesis adalah sebagai berikut :
6CO2 + 12H2O + cahaya (CH2O)n + 6H2O + 6O2

Hasil dari fotosintesis adalah gula dan oksigen. Gula dimanfaatkan sebagai sumber energi
dalam proses pertumbuhan dan oksigen dikeluarkan dan dimanfaatkan oleh mahluk hidup
lainnya termasuk manusia (www.ic.ucs.edu/~mloik/..., 17/2/2004).
Peningkatan CO2 akan meningkatkan kemampuan photosintesis pada tumbuhan yang
berarti pertumbuhan dan biomas akan meningkat, studi terbaru menunjukan photosintesis
meningkat hingga 54% (Curtis & wang, 1998), 58 % (Darke, et.al, 1997), 100 % (Udi-Putra,
2004) dan pertumbuhan meningkat pada kisaran 31 – 52% (Curtis & Wang, 1998) pada saat
konsentrasi CO2 ditingkatkan 2 kali lipat. Akan tetapi peningkatan konsentrasi yang terus
menerus justru akan menurunkan kemampuan photositesis akibat jenuh dan stomata menutup
(Morison, 2001; Udi-Putra, 2004;) seperti jenis Teurneforia argentea mulai menurun setelah
konsentari mencapai 864 ppm, berbeda dengen jenis waru (Hibiscus tiliacus) baru bisa menurun
setelah konsentrasi 1096 ppm (Udi-Putra, 2004). Sepertihalnya CO2 cahaya mempunyai peran
yang besar dalam proses fotosintesis. Peningkatan flux densitas cahaya akan meningkatkan rate
fotosintesis (Dai, Ku, & Edwards, 1993; Udi-Putra, 2004).
b. Cara pengumpulan data
Bahan dan Alat
Dalam kegiatan budiaya rumput laut sistem longline dibutuhkan bahan yang meliputi
bibit rumput laut Kappaphycus spp, (K. alvarezii (maumere), K. denticulatum, K. alvarezii
(golo-golo) dan K. striatum) dan bahan perlengkapan budidaya.

6
Prosedur Kerja
1. Cara Pengambilan Sampel
Sampel diambil dari kawasan budidaya yang terbagi pada posisi jauh dan dekat garis
pantai. Pada setiap posisi tersebut dibuat 10 plot sampel ukuran 1 x 1 meter dan berlaku untuk
setiap jenis rumput laut. Setiap plot ditimbang berat basah dan berat keringnya (biomass).
Kemudian diambil sampel masing-masing sekitar 50 gr dari secara acak setiap plot, untuk
masing-masing jenis.
Setiap jenis mempunyai 10 plot pengambilan sampel. Kemudian dilanjutkan pada
pengukuran berat kering, bahan yang mudah terbang dan kandungan abu. Hasil penghitungan
perjenis adalah rata-rata dari beberapa plot.
2. Pengukuran berat
Penghitungan berat meliputi berat basah dan berat kering. Berat basah adalah berat pada
kondisi basah dan dilakukan seketika setelah pengabilan di laut dan berat kering dalah berat
rumput laut setelah kering oven. Pengeringan menggunakan oven dilakukan selama 2 - 4 hari
pada suhu 80 OC, dan lakukan hingga kondisi berat konstan (Ludang & Jaya, 2007). Berat kering
yang dihasilkan adalah merupakan berat biomas dari rumput laut.
3. Pengukuran Karbon
Proses ini merupakan proses pengabuan yang mengacu pada prosedur pengujian abu pada
SNI 01- 2891-1992, mengacu pada prosedur yang dilakukan oleh International Standard tahun
1984 dan Ludang dan Jaya, 2007.
a. Kadar Air
Kadar air merupakan bobot yang hilang setelah pemanasan sampel 105 OC sampai diperoleh
bobot tetap. Kadar air diperoleh dengan rumus:

Kadar Air (%) = x 100 % (SNI, 1992 dan 1995)

Keterangan: a : Bobot sampel (gr)


b : Bobot sampel setelah pemanasan (gr)
b. Kadar zat mudah menguap
Kadar zat mudah menguap diperoleh dengan rumus:

Kadar zat mudah menguap (%) = x 100 % (SNI, 1995; IS. 1984)

Keterangan: a : Bobot sampel kering pada pemanasan suhu 105 OC (gr)


b : Bobot sampel setelah pemanasan pada suhu 900 OC (gr)

7
3. Standing stack
Standing stak adalah bobot basah sampel per meter persegi (Mauro, 1924).

Standing stock ( )=
Keterangan: a : Bobot sampel basah (gr)
b : Luas titik sampel (m2)
4. Biomass
Biomass adalah bobot yang dihitung setelah dipanaskan menggunakan oven selama 2-4 hari
pada suhu suhu 80-90 OC.

Biomass (%) = x 100 % (Ludang dan Jaya, 2007)

Keterangan: a : Bobot sampel basah (gr)


b : Bobot sampel setelah pemanasan pada suhu 90 OC (gr)
5. Rasio Berat basah-Biomass (Rasio P-B)
Rasio Berat basah – Biomass adalah perbandingan antara Berat Basah dengan Biomass
dengan rumus sebagai berikut :

Rasio P − B = (Ludang dan Jaya, 2007)

Keterangan: a : Bobot sampel Basah (gr)


b : Bobot sampel Biomass (gr)
6. Kadar abu
Kadar abu diperoleh setelah dilakukan pengabuan sampel pada suhu 550 OC sampai sampel
terabukan secara sempurna. Kadar abu diperoleh dengan rumus:

Kadar Abu (%) = x 100 % (SNI, 1992)

Keterangan: a : Bobot sampel (gr)


b : Bobot abu. (gr)

7. Kandungan Karbon (carbon content)


Serapan karbon diperoleh dengan rumus :
Serapan Karbon (%) = 100% - kadar air – kadar zat mudah menguap – kadar abu
(UNEP, 2004, SNI 06-3730-1995).

8
d. Penghitungan estimasi serapan karbon
Penghitungan serapan karbon menggunakan persamaan yang digunakan oleh Muraoka,
(2004) dengan memasukkan variabel luas area budidaya (km2), standing stock (g/m2), rasio
produksi-biomasa, dan kandungan karbon (%). Dimana serapan karbon per siklus adalah :
Total Serapan Karbon (C) = [Total area]x[Standing stock]x[Rasio P-B]x[Kandungan karbon]
Dimana :
Total serapan karbon (ton C/siklus)
Total area (Km2) = Luas area budidaya
Standing stok = produktivitas (g/m2)
Rasio P-B = Produksi basah/Biomas
Kandungan karbon (%) = (berat abu/berat biomas) x 100
e. Pengukuran kualitas air
Pengukuran parameter kualitas dimulai pada awal tanam dan dilanjutkan pengukuran
setiap minggu hingga akhir masa pemeliharaan (6 minggu). Parameter yang diukur meliputi :
suhu, karbondioksida terlarut, pH, salinitas, alkalinitas, bahan organik, ammonia, nitrit, phosfat,
kecerahan, dan asam sulfida.
f. Pengolahan data
Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan uji T terhadap sampel bebas untuk
mengetahui apakah ada perbedaan tingkat serapan antar jenis rumput laut.

9
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian ini dilakukan pengukuran karbon terhadap empat jenis rumput laut yakni
jenis Kappaphycus alvarezii (maumere), K. denticulatum, K. alvarezii (golo-golo), dan K.
striatum (edule) (Gambar 1). Keempat jenis rumput laut tersebut merupakan jenis-jenis yang
umum dibudidayakan di Indonesia, sehingga upaya menggali informasi berkaitan dengan tingkat
serapan karbon pada keempat jenis tersebut akan meningkatkan peran ganda dari rumput laut,
selain sebagai sumber ekonomi bagi masyarakat juga sebagai pengendali lingkungan.

Gambar 1. Jenis-jenis rumput laut yang umum dibudidayakan oleh masyarakat

Hasil menunjukkan bahwa kandungan karbon rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii
(maumere), K. denticulatum, K. alvarezii (golo-golo) dan K. striatum, berturut-turut adalah
23,09±3,74 %, 43,10±5,13 %, 20,73±1,73%, dan 29,76±6,80% (Tabel 1). Kandungan karbon
tertinggi ada pada jenis K. denticulatum, disusul K. striatum, K. alvarezii (golo-golo) dan K.
alvarezii (Maumere). Perbedaan kandungan karbon disebabkan oleh karakteristik kandungan air,
zat mudah terbang dan abu di masing-masing jenis rumput laut. Pada saat kandungan air, zat
mudah terbang, dan abu tinggi kandungan karbon di dalam rumput laut rendah, begitu juga
sebaliknya bila kandungan air, zat mudah terbang, dan abu rendah maka kandungan karbon di
dalam rumput laut tinggi. Dari tiga faktor yakni kandungan air, zat mudah terbang dan abu,
nampak pengaruh zat mudah terbang dan abu lebih besar hal ini disebabkan oleh proporsi kadar
sangat kecil (< 7%) dibanding kedua factor lainnya (> 25%). Zat mudah terbang merupakan
bahan yang mudah menguap dan terbakar ketika bahan terpanaskan pada suhu 900 OC selama 6

10
menit. Sedangkan abu adalah bahan anorganik yang merupakan sisa dari proses pembakaran
bahan organik yang terdiri dari garam anorganik yang meliputi karbonat, sulfat dan nitrat.
Bila dibandingkan dengan kandungan karbon jenis rumput laut lainnya seperti seagrass
(30-40%), Laminaria (25-31%), Sarggasum (33-37%), Ecklonia (32-34%) dan Gelidium (36-
40%) yang dilakukan oleh Muraoka (2004) di Jepang memperlihatkan hasil yang tidak berbeda
secara signifikan walupun umurnya 1 tahun. Kondisi ini diduga disebabkan oleh karakteristik
lingkungan dan jenis rumput laut, seperti dari rasio produksi basah dengan biomas kering yang
rendah.

Tabel 1. Kandungan air, zat mudah terbang , abu karbon pada setiap satuan berat biomas kering
rumput rumput.
Biomass Bobot Zat mudah Kadar
Kadar air Kadar abu
Jenis kering (gr) kering oven terbang (%) Karbon
(%) (%)
(gr) (%)
K. alvarezii
4,14±0,05 3,89±0,06 5,83 ±1,36 45,74 ±1,07 25,34±2,57 23,09±3,74
(Maumere)
K.denticulatum 3,44±0,03 3,36±0,02 2,26 ±1,23 40,13±1,63 14,52±2,29 43,10±5,13
K.alvarezii
3,38±0,10 3,32±0,10 1,80±0,26 52,26±1,92 25,20±1,10 20,73±1,73
(golo-golo)
K. striatum 3,91±0,10 3,64±0,08 6,97±1,09 41,89±2,51 21,38±4,15 29,76±6,80

Besaran kandungan karbon berdampak pada tingkat serapan karbon. Tingkat serapan
karbon tertinggi pada kegiatan budidaya sistem longline diperoleh jenis K. denticulatum
(458,332±58,04 Ton C/siklus tanam) disusul oleh jenis K. striatum (367,07±90,42 Ton C/siklus
tanam), K. alvarezii (golo-golo) (249,66±18,80 Ton C/siklus tanam) dan K. alvarezii (golo-golo)
(219,12±36,89 Ton C/siklus tanam). Total serapan karbon dari ke empat jenis tersebut mencapai
1281,09 Ton C/siklus tanam (Tabel 2). Jenis K. denticulatum menunjukkan daya serap yang
paling tinggi dibanding jenis lainnya padahal standing stocknya rendah, namun karakteristik
rasio P-B dan kandungan karbon yang tinggi.

Tabel 2. Tingkat serapan karbon beberapa jenis rumput laut Genus Kappaphycus spp pada
kegiatan budidaya rumput laut sistem longline di Kawasan Budidaya Rumput Laut
Galesong Kabupaten Takalar.
Luas
Standing stok Rasio Kandungan Serapan Karbon (Ton
Jenis Area
* (g/m2) P-B** Karbon (%) C/siklus tanam)
(Km2)
K. alvarezii 0,15 508,00±48,37 12,45±0,12 23,09±3,74 219,12±36,89
(Maumere)
K.denticulatum 0,15 473,00±28,60 14,98±0,23 43,10±5,13 458,33±58,04
K.alvarezii 0,15 502,50±74,02 15,15±0,44 20,73±1,73 236,57±18,80
(golo-golo)
K. striatum 0,15 624,00±119,07 13,13±0,27 29,76±6,80 367,07±90,42
Total 0,60 1281,09

11
Keterangan :
*Produksi Basah pada saat pengambilan sampel per meter persegi
** Rasio antara Bobot basah dengan bobot biomas kering

Estimasi tingkat serapan karbon akan sangat bergantung pada kemampuan hidup dan
tumbuh dari tumbuhan, artinya kemampuan tumbuh rumput laut akan sangat bergantung pada
kondisi lingkungan dimana rumput laut dibudidayakan. Sehingga kondisi lingkungan yang
berbeda akan berpeluang pada kemampuan daya serap karbonnya. Alasan ini disebabkan
formulasi estimasi pengukuran jumlah serapan karbon menggunakan, dan ini berkaitan dengan
variable waktu. Standing stock rumput laut usia budidaya (45 hari) akan berbeda dengan usia
rumput laut yang setahun atau sebaliknya usia bibit.
Pada uji coba pengukuran karbon pada budidaya rumput laut di perairan Kecamatan
Galesong Kabupaten Takalar mempunyai karakteristik lingkungan yang kurang baik, hasil
pengukuran sebagaimana tertera pada Tabel 3. Kurangnya kemampuan tumbuh ditandai dengan
pertumbuhan yang lambat dibanding lokasi lain. Pertumbuhan rumput laut di perairan Galesong
hanya mencapai 2,37 – 3,12 kali berat bibit yang ditanam, padahal di perairan lain bisa mencapai
4 – 8 kali berat bibit pada masa budidaya 45 hari. Sehingga kondisi lingkungan akan
mempengaruhi hasil pengukuran standing stock, dampaknya tingkat serapan akan berbeda pada
lokasi yang berbeda.
Kisaran data kualitas air yang diperoleh selama kegiatan budidya menunjukkan kisaran
yang masih bisa ditoleransi walaupun nampak nutrien yang tersedia tergolong rendah (ammonia,
nitrit, phosfat), disamping itu dasar perairan laut galesong umunya adalah pasir lumpur hitam
sehingga ini cukup memberikan dampak pada pertumbuhan rumput kawasan budidaya laut yang
relatif rendah, ini ditandai dengan kandungan bahan organik yang tinggi (140,89 – 202,79 mg/L).
Karakteristik penting lainnya adalah kondisi salinitas perairan yang relatif tinggi (34-36 ppt)
padahal rumput laut optimum tumbuh di kisaran 30-34 ppt (Kadi & Atmadja, 1988). Sehingga
produksi rumput laut pada lokasi budidaya di perairan Galesong termasuk rendah karena hanya
mencapai 123 – 156 g/titik padahal ditempat lain bisa mencapai lebih dari 500 g/titik.

Tabel 3. Karakteristik kualitas air perairan kawasan Budidaya rumput laut Galesong selama
Kegiatan Budidaya.
No Parameter kualitas air satuan Kisaran hasil pengukuran
1. pH - 7,95 - 8,08
2. Suhu oC 27 – 30
3. Salinitas ppt 34 – 36
4. Bahan organik mg/L 140,89 – 202,79
5. Alkalinitas mg/L 127,92 – 157,31
6. CO2 mg/L 1,03 - 1,68
7. Ammonia mg/L 0,10 – 0,36
8. Nitrit mg/L <0,006
9. Phosfat mg/L <0,063 – 1,90
10. Kekeruhan NTU 2 –3

12
IV. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kandungan karbon tertinggi dari hasil
budidaya sistem longline di Kawasan Budidaya Rumput Laut Galesong ada pada jenis K.
denticulatum (43,10±5,13 %), disusul K. striatum (29,76±6,80%), K. alvarezii (Maumere)
(23,09±3,74%) dan K. alvarezii (golo-golo)( 20,73±1,73%). Jenis yang mempunyai kemampuan
serap paling tinggi adalah jenis Kappaphycus denticulatum yang mencapai 458,33 Ton C/ siklus
tanam diikuti jenis K. striatum, K. alvartezii (golo-golo) dan K. alvarezii (Maumere). Tingkat
serapan karbon total pada luasan 0,6 Ha selama kegiatan budidaya rumput laut sistem longline di
perairan Galesong Kab.upaten Takalar mencapai 1281,09 Ton C/siklus tanam.

13
PUSTAKA

Alcamo J, Kreileman GJJ, Bollen JC, et al. 1996 Baseline Scenarios of Global Environmental
Change. Global Environmental Change, 6:261-303.
Cairrns, R. And P. Lasserre. 2001. Carbon Credits for Forest and Forest Product. University
Quibac Montreal Canada. Working Paper No.20-02
Curtis, P.A and Wang X. 1998. A Meta-Analysis of Elevated CO2 Effects on Woody Plant
Mass, Form, and Physiology. Oecologia 113:299-313.
Dai, Z., M.S.B,Ku, and G.E. Edwards. 1993. C4 Photosynthesis. Plant Physiol. 103:83-90.
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2005. Buku Saku Statistik Perikanan Budidaya Tahun
2004. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.
DJPB. 2003. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut. Dalam Rangka Intensifikasi
Pembudidayaan Ikan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Direktorat Pembudidayaan,
Jakarta.
Drake BG, Gonzalez-Meler MA, and Long SP. 1997. More efficient Plants: A consequence of
Rising Atmospheric CO2? Annu.Rev.Plant Physiol. Plant Mol Biol 48:609-639.
Keeley, J,E. ----. Carbon C13/Carbon 12 ratios in Photosynthesis. Life Science. 330-336P Mann,
K.H. 1973 Seaweeds: Their Productivity and strategy for Growth. Science, 182:975-981.
Morison, J.I.L. 2001. Increasing Atmosphere CO2 and Stomata. New Phytologist. 149:154-158.
Muraoka, D. 2004. Seaweed Resources as a Source of Carbon Fixation. Bull.Fish. Res. Agency.
Suplement 1:59-63.
BBAP Takalar. 2006. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut. Balai Budidaya Air Payau
Takalar.
Lohmann, harry. 1999. The Carbon Shop: Planting News Problem. World Rainfores Movement.
Uruguay.
Ludang, L dan H. Palangka Jaya. 2007. Biomass and Carbon Content in Tropical Forest of
Central Kalimantan. Jour. Of Aplied Sciense in environmental Sanitation Vol 2 No 1: 7-12.
Sinha, VRP. 2008. Carbon dioxide utilization and seaweed production. Bangladesh Fisheries
Research Institute. World bank project.
Standar Nasional Indonesia, 1992. Cara Uji Makanan dan Minuman. Standar Nasional Indonesia
(SNI) 01-2891-1992. Pusat Standardisasi Industri, Deprtemen Perindustrian.
Standar Nasional Indonesia, 1995. Mutu dan Cara Uji Arang Aktif Teknis. Standar Nasional
Indonesia (SNI) 06-3730-1995. Dewan Standarisasi. Jakarta.
Udi-Putra, Nana S.S. 2004. Photosynthetic Response of Tree Seedlings of Tourneforia argentea,
Hibiscus tiliacus and Schima walichii to some environmental stresses.

14
Research Student Report. Tropical Crop Science Laboratory. Faculty of Agriculture University
of The Ryukyus Okinawa Japan.
UNEP, 2004. Pedoman Efisiensi Energi untuk Industri di Asia. www.energyefficiencyasia.org
[diakses tanggal 25 Mei 2009]
Woodward, F. 2002. Potential impacts of global elevated CO2 concentrations on plants. Current
Opinion in Plant Biology 5:207-211.
www.ic.ucsc.edu/~mloik/envs162/gasexchange.htm. 17 Pebruari 2004. Photosynthetic Gas
Exchange.

15

Anda mungkin juga menyukai