Anda di halaman 1dari 48

BAB 9

ASAM BASA, CAIRAN DAN ELEKTROLIT

INTERPRETASI ASAM BASA DAN TERAPI

Terapi dari gangguan keseimbangan asam basa dapat terjadi sebelum operasi atau
selama pembiusan dan akhirnya dapat terjadi komplikasi metabolik alkalosis, metabolik
asidosis, respiratori alkalosis atau respiratori asidosis.
Yang akan dijelaskan pada bab ini adalah mengenai patogenesis, komplikasi utama,
mekanisme kompensasi fisiologi dan terapi dari 4 gangguan keseimbangan asam basa
tersebut diatas.

KESEIMBANGAN ASAM BASA.

Pendekatan yang menjelaskan mengenai keseimbangan adalah kesamaan


Henderson – Hasselbach, yaitu :

pH = 6,1 + log [HCO3-]


0,03x PaCO2

dimana 6,1 adalah pKa dari asam karbonat dan 0,03 adalah koefisien kelarutan darah dan
pCO2. Konvesional terminologi asam basa membagi gangguan keseimbangan asam basa
adalah : metabolik (HCO3- secara primer meningkat atau menurun) dan respiratori
(PaCO2 secara primer meningkat atau menurun.
Terminologi tersebut juga membagi keasaman atau kebasaan dari larutan atau
darah. pH adalah logaritme negatif dari ion hidrogen (H+). Alternatif lain dari kesamaan
Henderson :

[H+] = 24 x PaCO2
[HCO3-]
Kesamaan tersebut secara jelas menunjukkan hubungan antara 3 variabel utama diukur
dalam contoh gas darah. Konversi pH ke H+ dapat kita ketahui bahwa H+ adalah 40
mmol/l pada pH 7,4. Setiap peningkatan 0,1 pH unit, akan menurunkan H+ 0,8 kali dari
konsentrasi H+ sebelumnya. Penurunan pH 0,1 pH unit meningkatkan H+ 1,25 kali dan
bila adanya perubahan kecil (<0,05 pH unit) menimbulkan sekitar 1 mmol/l. Peningkatan
H+ untuk setiap penurunan 1 pH unit, atau penurunan 1 mmol setiap peningkatan pH
0,01.
Alternatif pendekatan dari interpretasi asam basa lain diajukan oleh Stewart dan
ditinjau ulang oleh Elcker. Berhubungan antara variabel dependen dan independen yang
mendefinisikan pH. Variabel independen : PaCO2, perbedaan konsentrasi protein dimana
biasanya bukan ion yang kuat. Ion yang kuat penting, karena menunjukkan konsentrasi
yang tinggi, termasuk di dalamnya Na+, K+, Cl-, dan laktat. Jumlah ion konsentrasi kuat
(Na+ tambah K+ tambah Cl-) pada lingkungan yang normal adalah mendekati 42 mEq/l.
Dengan menggunakan persamaan-persamaan diatas, status asam basa dapat digambarkan
dengan akurat dengan menggunakan konsep ini.

METABOLIK ALKALOSIS
Biasanya ditandai dengan pH darah yang basa (pH > 7,45) dan
hiperbikarbonatemia ( >27,0 mEq/l) dapat timbul pada pasien-pasien yang dirawat di
rumah sakit. Pada pasien-pasien kritis, alkalosis yang berat dapat menyebabkan kematian.
Faktor – faktor yang dapat menimbulkan alkalosis metabolik : pengisapan lendir dari
selang nasogastrik, keadaan diuresis pasien yang berlebihan. Menetapnya alkalosis
metabolik tergantung pada kbeberapa keadaan : hipoperfusi renal, hipokalemia dan
hipokloremiua, untuk reabsorpsi HCO3- dari tubulus distal renal. Depresi potasium
menyebabkan alkalosis metabolik dengan mengeluarkan bikarbonat dari sel tubulus
proksimal ke sirkulasi darah. Deplesi klorida biasanya tidak ada pada deplesi volume,
bisa menyebabkan sekresi bikarbonat dengan pengiriman klorida ke duktus kolektivus,
dan mencetuskan deplesi potasium.
Alkalosis metabolik menyebabkan efek fisiologis juga. Alkalosis metabolik
berhubungan dengan penurunan potasium serum dan ionisasi kalsium. Hipokalemia dan
alkaleemia dapat menyebabkan disaritmia ventrikuler primer dan dapat mempermudah
terjadinya toksisitas digoksin. Alkalosis metabolik dapat juga menyebabkan hipoventilasi
kompensatori (hiperkarbia), saat PaCO2 meningkat, PaO2 menurun, namun dengan
mudah terkoreksi oleh oksigen. Alkalemia dapat juga meningkatkan tonus bronkial. Dan
kombinasi antara meningkatnya tonus bronkial serta menurunnya daya ventilasi, dapat
menyebabkan atelektasis. Dapat juga menyebabkan penurunan ketersediaan O2 di
jaringan dan dapat menurunkan curah jantung.
Kekurangn gas darah arteri, elektroli serum dan riwayat faktor risiko seperti
muntah, penghisapan cairan nasogastrik, dan penggunaan obat-obat diuretuik yang lama
dapat menyebabkan alkalosis diuretik. Karena bila terdapat kelebihan CO2 dalam darah
juga terdapat banyak bikarbonat, maka pengukuran CO2 harys lebih besar 1 mEq/l
dibanding HCO3. Oleh karena itu HCO3- normal berada dalam darah sebesar 24 mEq
dan CO2 25 mEq. Bila pengukuran lebih dari normal atau lebih dari 4 mEq/l, maka
pasien dapat jatuh dalam keadaan alkalosis metabolik atau hiperkarbia kronik. Rekognisi
dari hiperkarbonatemia dalam elektrolit serum pada saat preoperasi terdapat dalam
analisis gas darah dan anestetisologis harus waspada terhadap kemungkinan pasien
mengalami hipovolemia atau hipokalemia.
Konfirmasi adanya alkalosis metabolik seharusnya dilakukan untuk berjaga-jaga,
untuk menghindari keadaan menjadi alkalosis metabolik, karena hal tersebut dapat
menyebabkan depresi kardiovaskular, aritmia, dan komplikasi lain dari alkalemia berat.
Pada tabel 9.3 contoh dari akibat hipoventilasi dengan hiperventilasi yaitu pada keadaan
pemakaian diuetik. Hasil yang diharapkan dari pH dan HCO3 pada keadaan akut dan
kronis, peningkatan atau penurunan PaCO2 digambarkan pada tabel 9.4. Umumnya
pengobatan metabolik alkalosis dapat dibagi menjadi terapi etiologi dan nonetiologi.
Terapi etiologi terdiri dari pengukuran ekspansi volume intravaskular, peningkatan
perpusi renal atau pemberian potasium untuk menangani hipokalemia. Untuk pasien
dengan alkalosis metabolik, cairan Saline o,9 % dapat meningkatkan serum (Cl-) dan
menurunkan serum (HCO3). Secara teori, hipoproteinemia dapat menyebabkan alkalosis
metabolik ringan. Walaupun begitu, peningkatan HCO2 pada keadaan hipoproteinemia
tidak sesuai untuk kepentingan klinis. Terapi nonetiologi terdiri dari pemberian H+ dalam
bentuk amonium klorida, arginin hidroklorida, 0,1 N asam hidroklorida dan pemberian
asetazolamid (penghambat karbonik anhidrase yang menyebabkan pembuangan
bikarbonat dari ginjal) atau asam dialisis. Pada keadaan akut berhubungan dengan risiko
tinggi alkalosis metabolik 0,1N asam hidroklorida paling cepat mengkoreksi alkalosis
metabolik. Bagaimanapun juga dilusi asam hidroklorida harus diberikan pada vena
sentral; pemberian pada vena perifer akan menyebabkan kerusakan jaringan yang parah.

ASIDOSIS METABOLIK
Biasanya mempunyai ciri pH darah asam (<7,35) dan hipobikarbonatemia
(<21mEq/l). Timbul sebagai akibat gangguan keseimbangan HCO3- dari muatan asam
endogen atau eksogen, atau akibat dari pengeluaran bikarbonat yang abnormal. Volume
ekstraseluler terdiri 360 mmol buffer bikarbonat. Titrasi glomerulus dari volume plasma
harus mereabsorpsi bikarbonat 4500 mmol/hari, 85% direabsorpsi dari tubulus proksimal,
10% ansa henle asenden bagian tebal, dan dititrasi oleh sekresi proton di duktus
kolektivus. Sekitar 70 mmol metabolik asam dihasilkan, di buffer, dan dieksresikan setiap
hari. Termasuk 25 mmol asam sulfur dari metabolisme asam amino. 40 mmol dari asam
organik ditambah posforik dan asam lainnya.
Dua tipe dari metabolik asidosis dapat dibedakan berdasarkan perhitungan dari
“anion gap/AG” yang normal atau meningkat. AG (Na+ - {Cl-} + {HCO3-}) akan
didapatkan normal (<13 mEq/L) pada keadaan seperti diare, biliary drainage, dan renal
tubular acidosis, dimana bikarbonat dikeluarkan dari tubuh. Metabolik asidosis dengan
peningkatan AG (>13mEq/L) berhubungan dengan adanya peningkatan produksi dari
asam laktat atau asam keton, peningkatan retensi dari dari produk sisa (seperti sulfat dan
fosfat) yang secara tidak adekuat dieksresikan, seperti pada keadaan sindroma uremia
(gagal ginjal), ingesti substansi toksik seperti aspirin, ethylene glycol dan metanol.
Terminologi dari Anion Gap merujuk kepada fakta bahwa kita umumnya
menghitung lebih terhadap kation dibandingkan komponen anion dalam serum.
Perhitungan konsentrasi kation (Na+) biasanya mendekati 9.0 sampai 13.0 mEq/l dari
total konsentrasi anion, {Cl-} + {HCO3-}. AG cenderung normal pada keadaan asidosis
hiperkloremik, seperti pada keadaan kehilangan bikarbonat dari renal atau gastrointestinal
atau pada keadaan infus perioperatif 15 ml/kgbb/hari dari saline. Secara kontras, asidosis
laktat atau ketoasidosis meningkatkan AG karena ion bikarbonat dipakai sebagai buffer
ion hidrogen dari peningkatan produksi asam metabolik, dimana serum (HCO3-)
digantikan dengan anion terkait. Bila pH berkurang, kontraksi dari oto jantung akan
menurun, resistensi vaskular dari pulmonal akan meningkat, resistensi dari vaskular
sistemik akan berkurang, dan akan terjadi respon yang terganggu dari sistem
kardiovaskular terhadap katekolamin endogen dan eksogen. Perlu dicatat bahwa
hiperventilasi kompensatoar secara normal akan terjadi sebagai respon terhadap
metabolik asidosis. Kegagalan terjadinya hiperventilasi pada seorang pasien sebagai
respon terhadap metabolik asidosis, secara fisiologis ekuivalen terhadap asidosis respirasi
dan menunjukkan keadaan disturbansi yang berat. Bila pada seorang pasien dengan
metabolik asidosis mendapatkan ventilasi mekanik, diperlukan kompensasi dari level
ventilasi yang optimal sampai proses primer dapat terkoreksi (lihat tabel 9.2). Tabel 9.6
mengilustrasikan kegagalan untuk mempertahankan kompensasi dari hiperventilasi.
Implikasi anestesi dari metabolik asidosis berbanding lurus dengan beratnya
proses dasar. Meskipun seorang pasien dengan metabolik asidosis hiperkloremik secara
relatif lebih sehat, dibanding dengan keadan asidosis laktat, ketoasidosis, uremia atau
ingesti toksik yang akan terjadi pada penyakit secara kronik atau akut. Pada umumnya,
dari pemeriksaan fisik, metabolik asidosis dapat dicurigai bila terdapat nafas cepat dan
dalam. Elektrolit serum akan menunjukkan penurunan dari ”CO2”. Pemeriksaan analisis
gas darah arteri diindikasikan bila dicurigai adanya keadaan metabolik asidosis. Penilaian
perioperatif dari seorang pasien perlu ditekankan pada pasien dengan keadaan
hipovolemia atau hipoperfusi, dimana fungsi ginjal tidak normal dan keadaan patologis
dari paru yang dapat mengganggu pertukaran gas saat operasi. Bila shock sebagai
etiologi, monitor langsung tekanan arterial dan kateterisasi arteri pulmonal mungkin
dapat diindikasikan. Dalam keadaan intraoperatif, harus difikirkan kemungkinan adanya
respon hipotensif terhadap obat dab ventilasi tekanan positif. Sebagai catatan awal,
penghentian tiba-tiba dari ventilasi kompensasi untuk metabolik asidosis akan
menyebabkan kerusakan hebat. Derajat dari hiperventilasi kompensatoar harus
dipertahankan selama anestesia, monitor dari end-tidal CO2 dan gas darah arteri
diperhatikan untuk adekuatnya ventilasi intraoperatif dan keseimbangan pH. Juga harus
diperhatikan komposisi dari cairan intravena. Dengan menganggap PaCO2 relatif
konstan, keseimbangan larutan garam dengan kandungan bikarbonat atau substrat dari
bikarbonat (seperti laktat) secara umum meningkatkan pH dan dengan kelarutan tinggi
dari klorida (salin 0,9%) secara umum menurunkan pH.
Pengobatan metabolik asidosis berdasarkan pada proses patofisiologi yang
utama / primer (hipoperfusi, hipoksia) dan bila pH menurun secara signifikan pemberian
NaHCO3- dapat dilakukan.
Perhitungan dosis initial dari NaHCO3- adalah :
NaHCO3 (mEq/l)
= Wt (kg) x 0,3 x (24 mEq/l – actual HCO3-)
2
dimana 0,3 adalah ruang distribusi untuk bikarbonat dan 24 mEq/l adalah nilai normal
untuk [HCO3-] di dalam penilaian gas darah arteri. Nilai tersebut akan sangat menurun
pada keadaan metabolik asidosis yang berat.
Bila [HCO3-] diinfuskan, , gas darah arterial harus diukur lagi setelah 5 menit
pemberian. Pada bayi dan anak-anak, dosis inisial dari bikarbonat adalah 1.0 sampai 2.0
mEq/KgBB. Hiperventilasi, sebagai respon kompensasi yang penting terhadap metabolik
asidosis, bukan merupakan terapi definitif untuk metabolik asidosis.
Masih merupakan kontroversi yang berkelanjutan untuk pemberian NaHCO3
untuk mengobati asidemia yang diinduksi oleh asidosis laktat. Meskipun pengobatan
yang terbaik adalah oksigenisasi yang adekuat terhadap jaringan, pendekatan yang
konvensional adalah jika pH <7,25 dapat diindikasikan untuk pemberian NaHCO3. Pada
percobaan terhadap binatang, pemberian NaHCO3 secara transientmeningkatkan tekanan
darah arteri rata-rata seiring peningkatan pH, walaupun, pH intraseluler tidak berubah.
Lebih lanjut, tidak ada perbedaan bermakna antara NaHCO3, carbicarb (kombinasi dari
sodium karbonat dan NaHCO3) dan sodium klorida ekuimolar. Ini menjadikan dugaan
bahwa efek primer terhadap hemodinamik mungkin berhubungan dengan larutan garam
yang hipertonis.
Pada pasien kritikal dengan asidosis laktat, tidak ada perbedaan bermakna antara
efek dari NaHCO3 0,9 M dan sodium klorida 0,9 M.
Efek terhadap curah jantung dan terhadap tekanan arteri adalah sama, terjadi peningkatan
pH, [HCO3-] dan PaCO2 setelah mendapatkan sodium bikarbonat. Penting, bahwa
NaHCO3 tidak memperbaiki respon kardiovaskular terhadap katekolamin dan secara
aktual menurunkan kalsium terionisasi dalam plasma. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa terapi bikarbonat aman pada pasien berat / kritikal dan pasien perioperatif.
Meskipun banyak klinisi melanjutkan pemberian NaHCO3 terhadap pasien dengan
asidosis laktat yang persisten dan pada proses perburukan yang sedang berjalan, tidak ada
penelitian yang menunjukkan keluaran (outcome) yang baik. Sebagai tambahan, baik
Carbicarb ataupun diklorasetat tidak menunjukan keluaran yang baik pula. Bufer yang
lain, yaitu THAM (tris-hydroxymethyl aminomethane), efektif menurunkan kadar [H+]
dan tidak menghasilkan CO2, sebagai hasil sampingan dari buffering, meskipun, tidak
ada penerimaan secara luas indikasi untuk penggunaan THAM.

RESPIRASI ALKALOSIS
Ditandai dengan pH yang alkalis (>7,45) dan selalu ditandai hipokarbia (PaCO2 <
35 mmhg), menjelaskan peningkatan dari ventilasi per menit sampai ke level yang lebih
besar daripada proses eksresi produk metabolik dari CO2. Karena respirasi alkalosis
dapat merupakan tanda dari nyeri (pain), kecemasan, hipoksemia, gangguan sistem saraf
pusat atau sepsis sistemik, perkembangan dari respirasi alkalosis yang spontan pada
pasien dengan keadaan normokarbi sebelumnya, memerlukan evaluasi yang segera.
Respirasi alkalosis, seperti metabolik alkalosis, bisa menyebabkan hipokalemia,
hipokalsemia, kardiak disritmia, bronkokonstriksi dan hipotensi, juga berpotensial
menyebabkan intoksikasi digoksin. Selain itu, perubahan akut dari PaCO2 akan
mengganggu aliran darah serebral, yang normalnya 50 ml/100g/menit pada tekanan
PaCO2 40 mmHg. Dengan menggandakan ventilasi, akan menurunkan PaCO2 sampai 20
mmHg dan separuh dari aliran darah serebral. Sebaliknya, bila ventilasi diturunkan
setengahnya, PaCO2 akan meningkat 2 kali lipat juga aliran darah ke otak. Bila ventilasi
dan PaCO2 dipertahankan pada level yang abnormal (rendah atau tinggi) untuk waktu 8-
24 jam, aliran darah ke otak akan kembali ke keadaan sebelumnya, sejalan dengan
kembalinya cairan serebrospinal [HCO3-] ke arah normal. Perubahan selanjutnya dari
PaCO2, setelah mengakomodasi dari cairan serebrospinal [HCO3-] dan pH ke level
hipokapnia atau hiperkapnia kronil, akan menyebabkan perubahan akut lagi dari aliran
darah serebral.
Pengenalan keadaan perioperatif dari hiperventilasi kronik mengharuskan
dipertahankannya keadaan PaCO2 yang sesuai saat intraoperatif. Hiperventilasi yang akut
mungkin berguna pada prosedur neurosurgikal untuk mengurangi massa otak dan untuk
mengontrol tekanan intrakranial selama operasi emergensipada pasien dengan trauma
kepala tertutup yang akut. Pada situasi ini, monitoring intraoperatif dari gas darah arteri
akan memberikan data yang adekuat terhadap penurunan dari PaCO2. Hipokapnia yang
akut (<20 mmHg) akan menimbulkan gambaran iskemia pada EEG.

RESPIRASI ASIDOSIS
Biasanya ditandai dengan pH yang rendah (<7,35) dan selalu disertai hiperkarbia
(PaCO2 > 45 mmHg), terjadi saat terjadi insufisiensi dari ventilasi untuk mengeliminasi
produksi CO2 tanpa terjadinya peningkatan gradien kapiler-alveolar CO2. Respirasi
asidosis dapat terjadi secara akut, tanpa adanya kompensasi retensi [HCO3] dari ginjal,
atau terjadi secara kronik, dengan retensi [HCO3-] , yang menyebabkan penurunan pH
(tabel 9-4). Respirasi asidosis terjadi karena adanya penurunan ventilasi alveolar (VA),
peningkatan produksi dari karbondioksida (VCO2) atau keduanya, dapat dilihat dari
persamaan :
PaCO2 = K VCO2
VA
Dimana K adalah konstanta. (tentu, rebreathing dari proses ekspirasi, CO2, bisa juga
meningkatkan PaCO2). Penurunan dari VA mungkin berhubungan dengan penurunan
secara keseluruhan dari ventilasi minute (VE) atau terhadap peningkatan jumlah dari
ventilasi wasted (VD), sesuai dengan persamaan :
VA = VE – VD.
Penurunan dari VE bisa terjadi karena depresi dari ventilasi sentral karena obat-obatan
atau cedera sistem saraf pusat, karena peningkatan kerja dari pernafasan, atau karena
obstruksi saluran nafas atau disfungsi dari neuromuskular. Peningkatan dari VD terjadi
pada PPOK, emboli paru dan kebanyakan bentuk akut dari gagal nafas. VCO2 mungkin
meningkat dengan sepsis, pemberian glukosa perenteral atau demam.
Pasien dengan hiperkarbia kronik berhubungan dengan penyakit paru instrinsik,
yang memerlukan evaluasi perioperatif yang teliti. Pemberian narkotik dan sedatif,
walaupun dalam dosis kecil, menyebabkan depresi ventilasi yang berat. Evaluasi
perioperatif harus mempertimbangkan monitoring langsung tekanan arteri dan analisis
gas darah yang sering intraoperatif, dengan sama baiknya, saat mengelola nyeri
pascaoperatif. Saat intraoperatif, pasien dengan hiperkapnia kronik harus mendapatkan
ventilasi yang adekuat untuk mempertahankan pH. Peningkatan yang tiba2 dari ventilasi
minute akan menghasilkan alkalemia, dan akan berhubungan dengan komplikasi yang
akan terjadi. Pascaoperatif, prophylactic ventilatory support mungkin diperlukan pada
beberapa pasien dengan hiperkarbia kronik. Pemberian opioid epidural dapat meberikan
analgesia pascaoperatif yang adekuat tanpa menyebabkan depresi dari sistem ventilasi.
Tatalaksana dari respirasi asidosis tergantung dari prosesnya, apakah itu akut atau
kronik. Bila prosesnya akut, akan memerlukan ventilasi mekanik sampai faktor etiologi
yang simpel (seperti overdosis opioid atau blokade dari residu muskular) dapat diterapi
secara cepat. Pemberian bikarbonat jarang diindikasikan kecuali pada keadaan metabolik
asidosis yang berat atau ventilasi mekanik tidak cukup efektif untuk mengurangi
hiperkarbia akut. Secara kontras, respirasi asidosis yang kronis jarang diterapi dengan
ventilasi. Dimana lebih baik, dilakukan usaha-usaha untuk meningkatkan fungsi dari
sistem pulmonal agar eliminasi karbondioksida dapat lebih efektif.

PENDEKATAN PRAKTIS TERHADAP INTERPRETASI ASAM – BASA


Interpretasi cepat terhadap status asam basa seorang pasien mengacu kepada 3 data : gas
darah arteri, elektrolit dan anamnesis. Langkah-langkah pendekatan interpretasi pada
tabel 9-7.
Biasanya, kebanyakan status dari asam basa bisa dinilai sebelum terapi dimulai.
Beberapa data memerlukan perhatian segera. Respiratori asidosis dengan pH <7,1
merujuk untuk dilakukan intubasi trakea dan ventilasi suport, sementara keadaan
metabolik asidosis dengan pH yang sama merujuk untuk dilakukan intervensi segera
terhadap etiologi dan mungkin diperlukan terapi alkalinisasi. Keadaan alkalemia yang
mengancam jiwa, yang jarang tertangani, sebagai konsekuensi dari hiperventilasi yang
tidak memadai dengan metabolik asidosis sebagai keadaan dasar.
Poin berikutnya adalah adalah menjelaskan gangguan asam basa yang primer.
Baik pasien dalam keadaan asidosis (pH <7,35) atau alkalosis pH ( > 7,45), status pH
biasanya kan memberi indikasi proses primernya.
Tabel 9.4, memberikan keterangan dari perubahan pH yang berhubungan dengan
hiperventilasi akut dan perubahan [HCO3-] sekunder.Sebagai contoh seorang pasien
dengan penurunan akut PaCO2 sampai 30 mmHg, akan menyebabkan peningkatan pH
banyak 0,10 unit, sehingga pH menjadi 7,50 dan perhitungan [HC03-] menjadi 22.
Peningkatan akut dari PaCO2 ( tabel 9.4) menghasilkan peningkatan akut dari HCO3-
sekitar 1 mmol untuk setiap kenaikan dari 10 mmHg PaCO2 yang berhubungan dengan
buffer intraseluler dari ion hidrogen dan pertukaran transeluler dari klorida untuk
bikarbonat.
Bila perubahan dari PaCO2, pH, dan HCO3-, tidak sesuai dengan gangguan
simpel pernafasan akut, gangguan pernafasan kronik ( >24 jam) harus dipikirkan.
Keterangan mengenai gangguan pernafasan kronik juga terdapat pada tabel 9.4. Sebagai
contoh, bila seorang pasien mengalami hipoventilasi kronik dengan PaCO2 60 mmHg,
kadar HC03 meningkat sekitar 8 mEq/L. Analisis gas darah arteri menunjukkan PaCO2
60 mmHfg, pH 7,35 dan HCO3- 32 mEq/L
Tabeel 9.2 menunjukkan respon kompensasi yang biasanya timbul pada gangguan
metabolik.Kompensasi respiratori pada gangguan metabolik timbul lebuh sering daripada
kompensasi metabolik untuk gangguan respiratorik. Bebarapa peraturan umum dapat
mengambarkan kompensasi tersebut. Pertama jarang terjadi overkompensasi, kedua
inadekwat atau kompensasi eksesiv kompensasi disarankankan dalam gangguan
tambahan primer , ketiga, asidosis metabolik yang berhubungan dengan peningkatan
gapanion tidak pernah dapat terkompensasi. Terakhir”rules of thumb hanya dapat
mendekati pada logaritme yang berhubungan antara pH dan [H+]. Makin pH berdeviasi
denagn 7,40 makin kurang akurasi dari peraturan tersebut.
Pertanyaan selanjutnya saat gap anion itu munculAsidosis metabolik berhubungan
dengan gap anion yang tinggi dan membutuhkan terapi spesifik untuk
mengkoreksinya.Kombinasi keabnormalan dapat timbul dengan cara memeriksa gap
anion tersebut. Sangat penting untuk menangani hiperkloremik asidosis metabolik setelah
pemberian volume besar 0,9% Salin perioperatif atau pada pasien yang kritis. Dalam
keadaan ini, tidak ada gap anion yang diharapkan dan tiadak ada terapi spesifik untuk
menyembuhkan asidosis metabolik..
MANAJEMEN CAIRAN
Fisiologi
Kompartemen Cairan Tubuh
Penggantian akurat dari defisit cairan tubuh membutuhkan distribusi ruangan yang ideal
dari air, natrium, dan koloid. Cairan tubuh total (CTT), distribusi volume air bebas
natrium, tepatnya 60% berat tubuh total. CTT termasuk volume intraseluler (VIS), yang
membentuk 40% berat tubuh total. Volume plasma sama dengan seperlima VES, sisanya
adalah cairan interstisial (CI). Volume sel darah merah, tepatnya 2 liter, adalah bagian
dari VIS.
VES terdiri dari sebagian natrium tubuh total, dengan konsentrasi natrium ([Na+])
seimbang dalam VP dan CI. [Na+] plasma tepatnya 140 mEq/l. Elektrolit intraseluler,
kalium, memiliki konsentrasi intraseluler ([K+]) tepatnya 150 mEq/l. Albumin,
konstituen aktif paling penting dari VES, terdistribusi tidak sama dalam VP (≈4g/dl) dan
CI (≈1 g/dl). Konsentrasi albumin CI bervariasi antar jaringan. VES adalah volume
distribusi untuk cairan kristaloid di mana [Na+] tepatnya 140 mEq/l dan untuk koloid.
Distribusi Cairan Infus
Secara konvensional, prediksi klinis ekspansi volume plasma (EVP) setelah infus cairan
menggambarkan ruangan cairan tubuh yang statis. Analisis kinetik dari EVP
menggantikan keadaan statis dengan gambaran dinamis. Sebagai contoh pendekatan
statis, andaikan pasien 70 kg telah menderita kehilangan tubuh akut 2000 ml, tepatnya
40% perkiraan 5 l volume darah. Formula yang menggambarkan efek penggantian
dengan 5% dextrose dalam air (D5A), cairan ringer laktat, atau 5% atau 25% albumin
serum manusia adalah sbb:
VP yang dibutuhkan = volume infus x VP normal (9-6)
volume distribusi
Disetarakan sbb:
Volume infus = VP yg dibutuhkan x volume distribusi (9-7)
VP normal
Untuk mengganti volume darah menggunakan D5A:
28 l= 2 l x 42 l (9-8)
3l
di mana 2 l adalah VP yang diinginkan, 42 l adalah CTT dalam seorang 70 kg , dan 3 l
adalah VP perkiraan normal.
Untuk mengganti volume darah menggunakan RL:
0,3 l = 2 l x 14 l (9-9)
3l
di mana 14 l adalah VES pada seorang 70 kg.
Jika 5% albumin, di mana tekanan osmotik koloid serupa dengan plasma, jika
diinfuskan, volume infus inisial akan menetap dalam VP, mungkin menarik cairan
interstisial tambahan ke intravaskuler. 25% albumin serum manusia, koloid
terkonsentrasi, memperbesar VP tepatnya 400 ml untuk setiap 100 ml yang diinfus.
Bagaimanapun, secara kinetis, analisis ini sederhana. Cairan infus tidak secara
sederhana terbagi rata melalui volume distribusi, tapi ditambahkan ke sistem yang
mempertahankan intravaskuler, interstisial, dan volume intraseluler dalam batas rendah.
Cairan berlebih diekskresikan di mana hipovolemia mengawali beberapa mekanisme
kompensatori penting, termasuk refill transkapiler dan konservasi natrium dan air. Alasan
menggunakan model kinetik untuk terapi cairan intravena adalah untuk memudahkan
klinisi memperkirakan lebih akurat waktu perubahan volume yang disebabkan cairan
infus dari komposisi beragam pada pasien dengan abnormalitas patofisiologi. Analisis
kinetik dapat memperkirakan puncak ekspansi volume dan rata-rata klirens cairan infus
dan analisis tambahan efek farmakodinamik, seperti perubahan dalam output jantung atau
tekanan pengisian jantung.
Karena cairan infus tidak dapat diukur substansinya, efek cairan infus harus
diperhatikan perubahan pada variabel seperti albumin atau konsentrasi hemoglobin [Hb].
Sebagai tambahan, cairan biasanya tidak diberikan sebagai bolus cepat tapi sebagai infus
dalam interval waktu lama., yang membentuk kurva lebih kompleks daripada analisis
farmakokinetik konvensional. Untuk perbandingan lebih rumit, cairan infus secara akut
merubah volume distribusi cairan infus dan dapat menyerupai mekanisme klirens (mis.
Filtrasi glomerolus dan reabsorbsi tubular) begitu juga dengan faktor-faktor
neuroendokrin seperti antidiuretik hormon (ADH), atrial natriuretic peptide (ANP), dan
aldosteron.
Tracer fisiologis praktis dibutuhkan untuk menggambarkan kurva klirens lebih
jelas. Svensen dan Hahn mengevaluasi tiga tracer endogen – konsentrasi air darah,
konsentrasi serum albumin, dan [Hb] – pada sukarelawan yang menerima infus cairan
Ringer asetat, 6% dextran 70, atau 75% salin. Walaupun lebih pekat daripada perhitungan
air darah, [Hb} memberikan estimasi serupa dari distribusi volume dan rata-rata eliminasi
yang konstan.
Gambar 9-1 mengilustrasikan model dasar yang digunakan Svensen dan Hahn.
Gambar atas mengilustrasikan model satu kompartemen, sementara gambar bawah
menunjukkan model dua kompartemen. Setelah menginfus cairan percobaan, Svensen
dan Hahn menghasilkan model-model satu volume dan dua volume ruang cairan (VRC).
Setiap model dua VRC berdasar pada asumsi fisiologis dan matematis (tabel 9-11).
Model dua kompartemen VRC lebih superior daripada model satu kompartemen ketika
ekskresi urin sebagai respon adalah kecil.
Gambar 9-2 menunjukkan rata-rata kurva dilusi volume plasma yang tercapai
dengan infus cairan Ringer atau dextran 70. Semua infus dextran konsisten dengan model
satu VRC, di mana infus koloid tetap dalam VP. Kristaloid hipertonik, seperti kristaloid
isotonik, dihubungkan dengan paduan model satu dan dua VRC.
Dengan pendekatan ini, efek dari pengaruh fisiologi dan farmakologi yang umum
dapat diperiksa pada binatang atau manusia percobaan. Misalnya, pengaruh hipovolemi
akut pada EVP telah dinyatakan secara eksperimental dan klinis. Pada splenektomi
kambing tidak teranestesi, perdarahan 300 ml (≈12% volume darah), pengisian plasma
terdiri dari tepatnya 2/3 volume darah dalam 3 jam. Kenyataannya, setelah 3 jam akhir
perdarahan, EVP serupa dengan yang ada pada binatang yang telah menerima 25 ml/kg
dari 0,9% salin selama 20 menit yang mulai setelah perdarahan dinyatakan. Pada
sukarelawan yang sadar yang diberikan 25 ml/kg Ringer asetat selama 30 menit dalam
kondisi normovolemi atau setelah kehilangan 450 atau 900 ml darah, dilusi plasma
(berhubungan dengan ekspansi volume) 50 sampai 100 menit setelah infus dimulai lebih
besar dari 900 ml perdarahan, berkurang setelah 450 ml perdarahan, dan paling sedikit
bila perdarahan hilang. Pengisian plasma secara substansi terkontribusi untuk ekspansi
volume plasma dengan cairan intravena yang diberikan setelah perdarahan, meskipun
observasi ini harus dikonfirmasi pada binatang dan manusia percobaan.
Regulasi Volume Ekstraseluler
Isi air tubuh total diregulasi oleh intake dan output air. Intake air penyuntikan cairan
ditambah pemasukan 750 ml makanan padat dan 350 ml yang dibentuk secara metabolik.
Kehilangan insensibel normal 1 l/hari dan kehilangan gastrointestinal 100-150 l/hari.
Rasa haus, mekanisme pertama mengkontrol intake air, dicetuskan dengan peningkatan
tonisitas cairan tubuh atau dengan penurunan volume ekstraseluler.
Reabsorpsi air dan natrium terfiltrasi disebabkan perubahan yang diperantai
faktor-faktor hormonal Antidiuretik hormon (ADH), atrial natriuretik peptida (ANP), dan
aldosteron. Air pada ginjal mempunyai 3 komponen penting: (1) penghantaran cairan
tubular ke segmen nefron yang berdilusi; (2) pemisahan solut dan air pada segmen dilusi;
dan (3) reabsorpsi variabel air pada duktus koligentes. Pada tubulus desenden Henle, air
tereabsorpsi sementara zat terlarut mencapai osmolalitas terakhir dari cairan tubular
≈1200 mOsm/kg (Gbr. 9-3). Cairan terkonsentrasi ini didilusi oleh reabsorpsi aktif
elektrolit-elektrolitpada ductus ascending ansa Henle dan pada tubulus distal, keduanya
impermeabel terhadap air. Ketika cairan berada di tubulus distal dan memasuki ductus,
osmolalitasnya adalah ≈1200 mOsm/kg. Dalam ductus koligentes, reabsorpsi air
dimodulasi oleh ADH (juga disebut vasopressin). Vasopressin berikatan dengan reseptor
V2 sepanjang membran basolateral sel-sel ductus koligentes, lalu menstimulasi
pembentukan dan insersi saluran air aquaporin-2 dalam membran luminal dari sel-sel
ductus koligentes.
Hipotonisitas plasma menekan pelepasan ADH, dihasilkan pada ekskresi urin.
Stimulasi hipertonisitas sekresi ADH, yang meningkatkan permeabilitas ductus
koligentes terhadap air dan menimbulkan reabsorpsi air. Karena perubahan [Na+] plasma,
perubahan sekresi ADH dapat mempengaruhi osmolalitas urin dari 50-1200 mOsm/kg
dan volume urin dari 0,4-20 l/hari (Gbr. 9-1). Faktor-faktor lain yang menstimulasi
sekresi ADH, walaupun tidak sekuat tonisitas plasma, termasuk hipotensi, hipovolemi,
dan stimulus nonosmotik seperti nausea, nyeri, dan medikasi, termasuk opioid.
Dua sistem hormonal meregulasi natrium tubuh total. Peptida natriuretik – atrial
natriuretik peptida (ANP), peptide netriuretik otak, dan peptida natriuretik C-tipe –
menjaga terhadap kelebihan natrium, dan axis renin-angiotensin-aldosteron mencegah
terhadap deplesi natrium dan hipovolemi. ANP, dilepaskan dari atrium jantung sebagai
respon terhadap peningkatan pengisian atrium, menimbulkan efek vasodilatasi dan
meningkatkan ekskresi natrium dan air ginjal. Sekresi ANP menurun selama
hipovolemia. Bahkan pada pasien dengan insuffisiensi ginjal kronik, infus ANP pada
dosis rendah dan nonhipotensif meningkatkan ekskresi natrium dan menghambat
kehilangan urin.
Aldosteron adalah jalur akhir respon kompleks untuk menurunkan volume arteri
efektif, apakah penurunannya secara nyata atau relatif (keadaan edematus atau
hipoalbuminemia). Pada jalur ini, penurunan baroreseptor arkus aorta dan carotis dan
reseptor pada vena-vena besar, pembuluh darah pulmonal, dan atrium menghasilkan
peningkatan simpatis. Peningkatan simpatis, dalam kombinasi dengan penurunan perfusi
ginjal, mengakibatkan pelepasan renin dan pembentukan angiotensin I dari
angiotensinogen. Angiotensin-converting enzyme (ACE) merubah angiotensin I menjadi
angiotensin II, yang menstimulasi cortex adrenal untuk membentuk dan melepaskan
aldosteron. Hal penting pada tubulus distal ialah aldosteron dosis tinggi menyebabkan
reabsorpsi natrium (GBR> 9-5) dan dapat mengurangi ekskresi natrium urin sampai nol.
Faktor-faktor fisik intrarenal juga penting untuk meregulasi keseimbangan natrium.
Loading natrium menurunkan tekanan osmotik koloid, sehingga meningkatkan
glomerular filtration rate (GFR), menurukan reabsorpsi natrium, dan meningkatkan
hantaran distal natrium, yang mana akan menekan sekresi renin.
Adaptasi ginjal akan hipovolemia (dan cardiac output yang menurun) muncul
melalui 3 mekanisme primer: reduksi renal blood flow (RBF), reduksi GFR, dan
peningkatan reabsorpsi tubular akan natrium dan air. Perfusi ginjal selama akut
hipovolemia ditentukan oleh keseimbangan antara faktor-faktor vasokonstriksi ginjal
(saraf-saraf simpatis ginjal, angiotensin II, dan katekolamin) dan mekanisme vasodilator
(autoregulasi instrinsik ginjal dan efek-efek prostaglandin vasodilator ginjal). Meskipun
RBF mengautoregulai (tetap konstan dalam rentang lebar dari tekanan perfusi),
autoregulasi mungkin dapat berubah atau hilang selama hipovolemia akut yang berat.
Rangsang simpatis ginjal dengan sekresi katekolamin α-adrenergik dan angiotensin II
meningkatkan resistensi pembuluh darah ginjal. Prostaglandin vasodilator intrarenal
berlawanan dengan hormon –hormon vasokonstriktor dan mengatur RBF selama
hipovolemia. Efek protektif ini dikurangi oleh obat-obat NSAID.
Terapi Penggantian Cairan
Kebutuhan Perawatan Air, Natrium dan Kalium
Pada orang dewasa sehat, air dibutuhkan untuk menyeimbangkan kehilangan
gastrointestinal 100-200 ml/hari, kehilangan insesibel 500-1000 ml/hari. Sua formula
sederhana digunakan bergantian untuk memperkirakan perawatan kebutuhan air (Tabel 9-
12). Kehilangan urin lebih dari 1000 ml/hari dapat menunjukkan respon fisiologis yang
sesuai terhadap ekspansi ECV atau ketidakmampuan untuk mendapat garam atau air.
Kebutuhan harian natrium dan kalium tepatnya75 mEq/l dan 40 mEq/l, meskipun
rentang intake natrium lebih luas daripada intake kalium secara fisiologis dapat ditolerir
karena penangkapan dan ekskresi natrium ginjal lebih efisien daripada kalium. Sehingga,
dewasa sehat 70 kg membutuhkan 2500 ml/hari air berisi 30 mEq/hari [Na+] dan 15-20
mEq/hari [K+].
Dextrose
Secara tradisional, cairan intravena mengandung glukosa telah diberikan untuk mencegah
hipoglikemia dan membatasi katabolisme protein. Namun, mengetahui respon
hiperglikemia berhubungan dengan stress operasi, hanya infant dan pasien pemakai
insulin atau obat-obat yang mempengaruhi sintesis glukosa berisiko terhadap
hipoglikemia. Hiperglikemia iatrogenik dapat membatasi efektivitas resusitasi cairan
dengan meninduksi diuresis osmotik dan, pada hewan, dapat memicu injury neurologi
iskemik (Tabel 9-13) dan injury otak traumatik pada manusia, hiperglikemia dapat juga
berperan pada respon hormonal terhadap injury yang lebih berat.
Kebutuhan Cairan Operasi
Komposisi Air dan Elektrolit dari Kehilangan Cairan. Pasien-pasien operasi
membutuhkan penggantian kehilangan VP dan VES yang disebabkan oleh luka atau
edema luka bakar, ascites, sekresi gastrointestinal. Luka dan edema luka bakar dan cairan
ascites kaya protein dan mengandung elektrolit dalam konsentrasi yang serupa dengan
plasma. Meskipun sekresi gastrointestinal bervariasi dalam komposisi (Tabel 9-14),
komposisi cairan pengganti membutuhkan yang sesuai dengan VES adekuat dan fungsi
ginjal dan kardiovaskuler yang normal. Kehilangan cairan gastrointestinal membutuhkan
penggantian elektrolit akurat (mis. Kalium, magnesium, fosfat). Jika fungsi
kardiovaskuler dan ginjal terganggu, penggantian lebih tepat dapat membutuhkan
penanganan sering dari slektrolit serum. Kehilangan kronik cairan lambung dapat
menimbulkan alkalosis metabolisme hipokloremik yang dapat dikoreksi dengan salin
0,9%; diare kronik dapat menimbulkan asidosis metabolisme hiperkloremik yang dapat
dicegah atau dikoreksi dengan infus cairan berisi bikarbonat atau substrat bikarbonat
(mis. Laktat).
Pergeseran Cairan Selama Operasi. Penggantian kehilangan cairan intraoperatif
harus dikompensasi atas reduksi fungsional akut VES yang menyertai trauma,
perdarahan, dan manipulasi jaringan. Sebagai contoh, subjek sehat yang tidak mendapat
natrium intraoperatif selama dilakukan operasi lambung atau kandung kemih
menunjukkan penurunan VES sedikitnya 2 liter dan penurunan 13% GFR. Sebaliknya,
pasien yang mendapat cairan RL mempertahankan VES dan meningkatkan GFR 10%.
Tidak ada data menggambarkan perubahan VP, CI, dan VIS selama syok akut tak
teresusitasi pada manusia. Pasien-pasien yang dipelajari selama 10 hari pertama setelah
resusitasi dari trauma masif menggambarkan peningkatan 55% volume CI (Gbr. 9-6).
Karena reduksi tekanan osmotik koloid pada pasien-pasien traumatik, rasio CI terhadap
volume darah meningkat, pada beberapa pasien melebihi 5:1. Berdasarkan asumsi statik
berhubungan distribusi volume cairan infus, pasien-pasien demikian membutuhkan
volume kristaloid lebih besar daripada pasien-pasien sehat untuk mencapai jumlah
spesifik ekspansi volume intravaskuler. Namun, tidak ada data mengkonfirmasi
pernyataan tersebut.
Berdasarkan pertimbangan ini, petunjuk-petunjuk telah dikembangkan untuk
penggantian kehilangan cairan selama prosedur pembedahan. Formula paling sederhana
ialah sebagai tambahan untuk memelihara cairan dan penggantian kehilangan darah, 4
ml/kg/hari untuk tindakan yang disebabkan trauma minimal, 6 ml/kg/hari untuk tindakan
yang disebabkan trauma sedang, dan 8 ml/kg/hari untuk tindakan yang disebabkan
trauma berat.
Mobilisasi Cairan Interstisial yang Meluas
Hal penting pada ekspansi CI ialah mobilisasi dan kembalinya cairan terakumulasi ke
VES dan VP, yang dikenal dengan “deresusitasi”. Pada kebanyakan pasien, mobilisasi
muncul tepatnya pada hari ketiga post-operasi. Jika sistem kardiovaskuler dan ginjal tidak
efektif mentransport dan mengekskresi cairan, dapat timbul hipervolemia dan edema
paru.
Kebutuhan Cairan selama Kelahiran dan Seksio Sesaria
Kelahiran adalah energi yang intensif. Kelahiran lama tanpa intake kalori dapat
menyebabkan hipoglikemia maternal dan fetus, ketosis, dan asidosis laktat. Pada
parturien yang secara acak mendapat dextrose, 1% dextrose, atau 5% dextrose, pemberian
bebas dextrose menghasilkan hipoglikemia arteri umbilikalis, 1% dextrose memelihara
euglikemia ibu dan neonatus, dan 5% dextrose berhubungan dengan hipoglikemia
neonatal. Berdasarkan studi klinis ini, glukosa harus diberikan selama kelahiran dalam
dosis 1-2 g/hari (ekuivalen dengan 100-200 ml 1% dextrose), tidak lebih dari 6 g/hari,
dan dipikirkan pada pasien-pasien mendapat anestesi regional tanpa epinefrin (cenderung
meningkatkan glukosa serum).
Augmentasi preload agresif sebelum anestesi epidural selama kelahiran
tampaknya tidak perlu karena infus anestesi dosis rendah kontinu menghasilkan
simpatektomi dan vasodilatasi. Selanjutnya, ekspansi volume cepat dapat menghambat
aktivitas uterus dan pada parturien risiko tinggi, dapat mencetuskan hipervolemia dan
edema paru. Namun, augmentasi preload dan peningkatan volume diastolik jantung
menimbulkan perfusi ginjal dan plasenta dengan merangsang sekresi ANP.
Berlawanan dengan anestesi epidural yang diberikan untuk persalinan, anestesi
spinal dan anestesi epidural untuk seksio sesaria menyebabkan hipotensi maternal. Untuk
mencegah hipotensi, volume besar cairan kristaloid (10-20 ml/kg) diinfuskan sebelum
anestesi regional. Namun, hipotensi muncul pada 55% pasien yang mendapat kristaloid
(20 ml/kg) preloading. Karena kebanyakan sudi klinis mengevaluasi efek felatif cairan
kristaloid atau koloid yang digunakan untuk preloading tekanan darah daripada cardiac
output, transport oksigen sistemik, atau aliran uteroplasental, penelitian lanjut
menggambarkan efek preload hasil maternal dan fetus yang dibutuhkan.

Tabel 9-10. ALKALOSIS METABOLIK YANG DISEBABKAN OLEH NAUSEA


DAN VOMITUS DENGAN LAKTAT ASIDOSIS YANG DISEBABKAN
HIPOVOLEMIA.

Gambar 9-1. Gambar skematis model kinetis untuk menghitung ukuran ruang cairan
tubuh oleh infus intravena cairan pada manusia.Data disesuaikan dengan model volume
ruang cairan satu volume atau dua volume (VRC). Asumsinya sbb: (1) Selama infus
cairan, cairan memasuki ruang cairan volume v pada batas konstank1; (2) ruang cairan
memiliki volume target V, yang dipertahankan tubuh; (3) volume v1 berubah melalui
pertukaran dengan ruang cairan sekunder dan sebagai hasil cairan tereliminasi dari ruang
cairan primer, k1 (perspirasi dan diuresis basal), dan pada batas kontrol; (4) ruang cairan
primer dan sekunder memiliki terget volume V1 dan V2 yang dipertahankan sistem
dengan mengkontrol mekanisme eliminasi, k1; (5) batas bersih pertukaran cairan antara
dua ruangan adalah proporsional antara perbedaan dari target volume dengan konstan k1.
TABEL 9-11. ASUMSI FISIOLOGIK DAN MATEMATIS UNTUK MODEL RUANG
CAIRAN SATU DAN DUA VOLUME.

Gambar 9-2. Kurva kinetis yang didapat setelah infus pada pria dewasa 25 ml/kg cairan
RL atau 5 ml/kg dextran 70 selama 30 menit. Dilusi volume plasma dihitung dari
perubahan konsentrasi hemoglobin (B-hemoglobin), air darah (B-air), dan albumin serum
(S-albumin).

Gambar 9-3. Filtrasi ginjal, reabsorpsi, dan ekskresi air. Panah putih menunjukkan air dan
panah hitam menujukkan elektrolit. Air dan elektrolit difiltrasi oleh glomerulus. Pada
tubulus proksimal (1), air dan elektrolit diabsorpsi isotonis. Pada loop desenden (2), air
diabsorpsi untuk mencapai keseimbangan osmotik dalam interstisium dengan elektrolit
terkontrol. Aliran ke nefron distal adalah fungsi reabsorpsi tubulus proksimal; ke medulla
(3a) dan kortikal (3b). Ketidakhadiran vasopresin, duktus koligentes (4a) relatif
impermeabel terhadap air dan urin diekskresi. Ketika vasopresin bekerja pada duktus
koligentes (4b), air direabsorpsi dari segmen nefron yang responsif terhadap vasopresin,
menyebabkan ekskresi urin terkonsentrasi.

Gambar 9-4. Atas: Hubungan antara osmolalitas plasma dan vasopresin plasma. Bawah:
Hubungan antara plasma AVP dan osmolalitas urin.

Gambar 9-5. Ekskresi natrium urin antara aktivitas renin plasma dan ekskresi aldosteron
urin pada manusia. Aldosteron menyebabkan efek regulasi ekskresi natrium urin bahkan
pada kadar rendah aktivitas sekretorik dan kadar tinggi ekskresi netrium.

TABEL 9-12. KEBUTUHAN PEMELIHARAAN AIR.

TABEL 9-13. PENGARUH GLUKOSA PLASMA (HARI KE-3 SAMPAI 7) PADA 3


BULAN GLASGOW OUTCOME SCALE (GOS) SCORE PADA PERDARAHAN
SUBARAKHNOID.
Cairan Kristaloid, Koloid, dan Hipertonik

Fisiologi dan Farmakologi

Partikel osmotik secara aktif menarik air lewat membran semipermeabel sampai
keseimbangan tercapai. Osmolaritas cairan berbanding dengan jumlah partikel osmotik
yang aktif perliter. Osmolalitas adalah konsentrasi dari jumlah partikel osmotik yang aktif
perkilogram, dan dapat diukur berdasarkan rumus :
Osmolalitas = < ( Na x 2 ) + ( Glukosa / 18 ) + ( BUN/2,3 ) >
Dimana Osmolalitas ditunjukkan dalam milimoles perkilogram ( mmol/kg ). Na
ditunjukkan dalam miliequivalen perliter (mEq/L ). Glukosa serum ditunjukkan dalam
miligram perdesiliter ( mg/dl ) dan BUN adalah nitrogen urea dalam darah ditunjukkan
dalam mg/dl.Gula-gula, alkohol, dan cakupan radiographic meningkatkan osmolalitas.
Secara umum meningkatkan “ jarak osmolal “ antara pengukuran dengan calculated
values.
Tingkat hiperosmolar terjadi ketika konsentrasi dari daya tarik partikel besar.
Uremia dan hipernatremi meningkatkan osmolalitas serum. Bagaimanapun juga, karena
distribusi urea keluar lewat TBW, peningkatan BUN tidak menyebabkan hipertonik.
Sodium, dalam jumlah besar tertarik ke ekstraseluler volum, menyebabkan hipertonik,
sehingga redistribusi air terjadi dari ICV ke ECV.
Meskipun partikel aktif osmotik dalam darah menunjukkan hanya sebagian kecil
dari protein plasma, partikel tersebut penting dalam menentukan keseimbangan cairan
antara interstitial dan plasma pada ECV. The reflection coefisien menggambarkan
permeabilitas kapiler membran pada masing-masing cairan. Koefisien albumin
mempunyai nilai 0,6 – 0,9 dalam bermacam-macam kapiler, karena konsentrasi protein
juga menghasilkan konsentrasi interstitial tekanan osmotik untuk protein plasma yang
lebih tinggi dibandingkan tekanan osmotik interstitial. Laju filtrasi dari kapiler ke ruang
interstitial merupakan akhir dari gabungan kekuatan-kekuatan, termasuk gradien dari
intravascular ke tekanan osmotik interstitial dan gradien hidrostatik antara tekanan
intravascular dan interstitial. Akhir dari filtrasi cairan pada titik apapun dalam kapiler
pulmonal atau sistemik ditunjukkan oleh hukum Starling, yaitu :
Q = k A < ( Po – P1 ) + σ ( ‫ח‬i + ‫ח‬c ) >
Dimana Q adalah filtrasi cairan, k adalah koefisien untuk filtrasi kapiler, A menunjukkan
luasnya membran kapiler, Po adalah tekanan hidrostatik kapiler, P1 adalah tekanan
hidrostatik, σ adalah koefisien untuk albumin, ‫ח‬i adalah tekanan osmotik interstitial, dan
‫ח‬c adalah tekanan osmotik kapiler.
Volume IF dipengaruhi oleh filtrasi rata-rata dikapiler dan dipengaruhi oleh
drainase limfatik. Po merupakan faktor terkuat dalam filtrasi cairan yang dipengaruhi
oleh kecepatan kapiler, resistensi arterial, resistensi vena dan tekanan vena. Jika filtrasi
kapiler meningkat, maka filtrasi air dan Na biasanya menyebabkan filtrasi protein, yang
ditunjukkan dalam ‫ח‬o, dilusi dari ‫ח‬i, dan gradien tekanan osmotik sebagai faktor terkuat
yang melawan filtrasi cairan. Ketika keduanya ada bersamaan dengan drainase limfatik,
maka batas dari tekanan onkotik menunjukkan penumpukan dari IF. Jika Po meningkat
saat drainase limfatik maximal, maka IF menumpuk, dan terjadi edema. Pada status
edematus yang kronis, tekanan IF menurun dengan menahan drainase limfatik lewat
dilatasi pembuluh limfatik. Meningkatnya filtrasi cairan juga melarutkan proteoglikan
dalam IF, meningkatkan permeabilitas kapiler, dimana bila terjadi dehidrasi interstitial,
maka permeabilitas vaskuler menurun.

Volume Rata-Rata dan Komposisi Elektrolit dari Sekresi GIT

Sumber Volume Na K Cl HCO3


ml/ hari
- Lambung 1500 60 10 130 -

- Ileum 3000 140 5 104 30

- Pankreas 400 140 5 75 115

- Empedu 400 140 5 100 35

Pemilihan Cairan Berdasarkan Situasi Klinis


Jika permeabilitas membran intak, maka larutan koloid seperti albumin atau
hidroxietil lebih banyak di PV daripada di volume IF. Konsentrasi koloid yang
mengandung pelarut ( contoh : 25% albumin ) menyebabkan tekanan osmotik lebih
rendah, sehingga terjadi perpindahan cairan dari IF ke PV. Ekspansi dari PV membuat
keuntungan yaitu : kebutuhan cairan menjadi lebih rendah, edema berkurang, dan
gangguan kardiopulmonal juga berkurang.
Kristaloid dapat meningkatkan Po dan menurunkan ‫ח‬o. Koloid juga dapat
meningkatkan Po. Pada sepsis atau sindrom respiratori distress pada dewasa,
meningkatkan permeabilitas mikrovaskuler dan menurunkan jarak antara ‫ח‬o dan ‫ח‬i. Jika
tekanan onkotik menurun, maka peningkatan yang sedikit dari tekanan hidrostatik dapat
menyebabkan edema paru. Terdapat penelitian yang dilakukan oleh Pearl dkk yang
menemukan tidak adanya perbedaan antara peningkatan cairan yang menimbulkan edema
paru baik oleh koloid atau kristaloid.
Hipoproteinemi pada pasien yang kritis berhubungan dengan edema paru dan
peningkatan mortalitas, meskipun kristaloid atau koloid dapat menyebabkan edema paru
pada gagal jantung. Pada pasien yang akan dioperasi dan mempunyai resiko untuk terjadi
edema paru, kemungkinan dibutuhkan kateterisasi arteri pulmonal. PAOP ( Pulmonary
Arterial Occlusion Pressure ) seharusnya dipertahankan pada level yang rendah dengan
perfusi sistemik yang adekuat. Secara teori, dengan memantau hemodinamik yaitu
volume koloidnya maka seharusnya dapat menurunkan edema. Meskipun demikian,
Virginio menemukan bahwa tidak ada hubungan antara Intrapulmonal Shunt Fraction
( Qs/Qt ) dan antara ‫ח‬c dengan PAOP pada pasien yang akan dioperasi.
Meskipun begitu, Hidroxietil sangat sering dipakai sebagai koloid sintetik dan
lebih murah daripada albumin. Pada dosis tinggi, menurut pengalaman di laboraturium,
hidroxietil dapat menyebabkan koagulopati. Tetapi tetap saja Hidroxietil 6% digunakan
dengan dosis 10-15 ml/kgBB dan ternyata tidak menyebabkan koagulopati pada pasien
yang menjalani operasi besar abdomen, operasi jantung, atau pada pasien dalam tahap
perbaikan dengan aneurisma di abdomen. Belakangan ini, terdapat formula hidroxietil
yang terdiri dari bermacam-macam ukuran molekul.

Keuntungan dan Kerugian Cairan Infus Kristaloid

Cairan Keuntungan Kerugian

Koloid - Volume yang dipakai - Mahal


sedikit

- Peningkatan pada plasma - Koagulopati


lambat ( Dextran > HES )

- Edema perifer luas - Edema paru

- Edema cerebral sedikit - GFR menurun terjadi


diuresis osmotik
Kristaloid - Lebih murah - Ketidakseimbangan
hemodinamik menetap
- Urinari Flow Besar
- Edema perifer
- Pengganti cairan interstitial
- Edema paru

Pemakaian Kristaloid dan Koloid pada Tekanan Intrakranial


Membran kapiler cerebral ( Blood Brain Barier ) yang sangat impermeabel
terhadap protein, maka dibutuhkan cairan koloid yang dapat meningkatkan ICP sedikit
lebih tinggi daripada cairan kristaloid. Pada penelitian yang dilakukan yaitu anestesi pada
kelinci, plasmapharesis meningkatkan LCS dan ICP, menurunkan tekanan osmotik koloid
dari 20 ke 7 mmHg, tapi tidak menghasilkan efek samping yang berarti. Tentu saja
dengan menurunnya tekanan sebanyak 13 mOsm/Kg sebanding dengan penurunan
tekanan osmotik yang hampir mencapai 20 kali lebih besar. Informasi terpenting yang
didapat dari penelitian ini yaitu bahwa adanya perubahan besar pada tekanan osmotik
mungkin saja terjadi karena adanya perubahan dari konsentrasi sodium dan protein.

Pemberian Cairan Hipertonik


Meskipun sudah lebih dari 75 tahun para peneliti mempelajari efek fisiologi dari
cairan hipertonik, tapi keingintahuan itu tetap ada dan dipicu oleh hasil karya dari
Velasco yang berhasil menggunakan cairan hipertonik dalam volume kecil yaitu
6ml/kgBB dari 7,5% Saline dalam terapi resusitasi pada anjing yang mengalami
perdarahan. Mekanismenya yaitu : Cairan Saline Hipertonik dapat memperbaiki
hemodinamik karena ekspansi PV.
Eksperimental secara in vivo menunjukkan, bahwa resusitasi dengan cairan HS
atau HES ( 7,2% NaCl + 10% HES ) dapat menimbulkan perfusi mikrovascular dengan
meningkatkan interaksi endotelial – lekosit. Meskipun cairan saline hiperosmotik
( biasanya mengandung Na 250 – 300 mEq/L ) sudah dipergunakan dalam klinik selama
bebrapa tahun pada resusitasi luka bakar, tetapi pada penelitian yang dilakukan pada
hewan, menunjukkan adanya nilai yang terbatas.
Cairan hipertonik menimbulkan efek yang beraneka ragam pada hemodinamik
cerebral. ICP meningkat selama resusitasi syok hemoragik dengan RL tetapi dapat tidak
berubah dengan Saline 7,5%. Lebih lanjut dilaporkan adanya peningkatan yang sangat
lambat pada ICP selama resusitasi syok hipovolemik yang dibarengi dengan massa pada
intrakranial.
Pada resusitasi yang dilakukan pada manusia dengan memakai HS, terjadi
peningkatan sodium dalam serum sebanyak 155-160 mEq/L, tidak menimbulkan efek
yang berbahaya. Pada kasus Myelinolisis pontine sentral yang diikuti dengan hiponatremi
yang kronis, belum dilakukan penelitian tentang pemakaian cairan hipertonik pada kasus
ini.

Keuntungan dan Kerugian Pemakaian Cairan Hipertonik

Keuntungan Kerugian
Cairan

Kristaloid Hipertonik - Tidak mahal - Hipertonisitas


- Urinari Flow meningkat - Perdarahan Subdural
- Volume Initial yang dipakai - Efek yang menetap
sedikit
- Menimbulkan kontraktilitas
miokardial
- Dilatasi arteriolar
- Edema perifer rendah
- Tek.Intrakranial rendah

Kristaloid Hipertonik + Coloid - Respon hemodinamik yg - Mahal


mencukupi - Koagulopati
- Volume yang dipakai ( dextran > HES )
rendah - Diuresis Osmotik
- Hipertonisitas
- Gg.Pada Crossmatch

Sayangnya, hemodinamik yang dihasilkan oleh resusitasi dengan cairan


hipertonik hanya berlangsung sebentar. Setelah hemodinamik tercapai, cerebral blood
flow dan kardiak output secara cepat menurun dengan singel dose 0,8% atau 7,2% Saline
pada resusitasi syok hipovolemik pada anjing. Strateginya untuk memperlama efeknya
yaitu dengan melakukan transfusi darah atau menambahkan koloid. Percobaan pada
hewan, dengan menambahkan 6% dextran sebanyak 70cc pada 7,5% Saline dapat
memperpanjang efek hemodinamik yang stabil. Dengan menambahkan dextran, tidak
menimbulkan perubahan tekanan darah. Pada pasien dengan GCS < 8 , tetapi tanpa
trauma kepala yang berat, sepertinya menunjukkan keuntungan resusitasi dengan cairan
hipertonik.
Pada kasus trauma di daerah perkotaan, Bickeli dkk melaporkan bahwa resusitasi
prehospital tidak menunjukkan kematian dibandingkan dengan pelaksanaan resusitasi
hanya setelah sampai di rumah sakit.
Secara klinik, keuntungan pemakaian cairan hipertonik pada resusitasi yang
dibandingkan dengan cairan konvensional tetap tidak nyata, karena banyak penelitian
preklinik yang membandingkan efek dari singel bolus hipertonik dan control fluid.
Sebagai contohnya, karena cairan hipertonik menurunkan resistensi vaskular sistemik,
peningkatan sistolik dapat terjadi yang menyebabkan terjadinya penurunan PAOP, secara
teori, banyaknya cairan tersebut dibutuhkan untuk mengembalikan tekanan ke awal yang
mirip dengan yang dihasilkan cairan koloid.
Oksigen delivery ( DO2 ) secara teori berdasarkan pada Cardiac Index ( CI ) dan
Arterial Oksigen ( PaO2 ), menurut rumus :
Do2 = Cl x Cao2 x 10
Paco2 biasanya diukur dalam ml O2/dl sampai ml/L. Meskipun begitu, karena tidak
dilakukan transfusi selama resusitasi tetap dapat meningkatkan kardiak output dan
penurunan Hb. Tetapi banyak klinikus yang tetap meningkatkan kardiak output dan
menurunkan Paco2.

Penatalaksanaan dan Pemantauan Cairan


Penatalaksanaan Hipovolemia dan Hipoperfusi Jaringan

Pada sebagian besar pasien yang akan dioperasi, penanganan adekuat dari volume
intravaskular patut dilakukan.
Penanganan klinik secara konvensional : Oliguri yang terjadi menunjukkan
adanya hipovolemia, meskipun pasien – pasien hipovolemik dapat tidak terjadi oliguria
dan ologuria yang terjadi dapat karena gagal ginjal atau respon dari hormon endokrin.
Hipotensi supine menunjukkan volume darah yang cepat menurun sebanyak 30%
meskipun tekanan arterial normal tetapi tetap dapat menimbulkan hipotensi relative pada
pasien hipertensi kronis atau pasien geriatri.
Penelitian laboratorium yang menunjukkan hipovolemia atau deplesi ECV
menyebabkan azotemia, low sodium urinary, alkalosis metabolik, dan asidosis
metabolik. Hematokrit biasanya tidak berubah dengan perdarahan akut sampai ada
perpindahan cairan dari interstitial ke intravaskular. BUN normalnya 8 – 20 mg/dl,
meningkat karena hipovolemia, kebutuhan protein yang meningkat, perdarahan GIT, atau
katabolisme dan menurun oleh adanya disfungsi hepatic severe. Kreatinin serum
merupakan produk katabolisme dari otot yang dapat menurun terutama pada dewasa
muda, wanita.

Intraoperative Clinical Assesment


Penatalaksanaan resusitasi cairan pada intraoperative adalah integrasi dari detak
jantung, tekanan darah, urinary output, arterial oksigenasi dan pH.
Urinary output biasanya menyebabkan moderate atau severe hipovolemik. Untuk
itu maka glikosuria atau penanganan diuretik sangat dibutuhkan.

Penghantaran Oksigen sebagai tujuan dari penatalaksanaan

Gagal ginjal akut, hepatic failure dan sepsis menunjukkan hipoperfusi jaringan.
Do2 yang dibutuhkan yaitu > 600 ml O2/mnt.

ELEKTROLIT

Fisiologis
Peningkatan/penurunan natrium total tubuh, yang merupakan karbon dan zat
terlarut ekstraseluler, cenderung dapat meningkatkan,/menurunkan ECV dan PV.
Gangguan konsentrasi Na+ (hiponatimea dan hipermatrema) biasanya diakibatkan
kelebihan atau kekurangan air. Natrium juga penting untuk bekerjanya alrsi potensial
pada jaringan saraf dan jantung.
Pengaturan kuantitas dan konsentrosa natrium terutama dicapai seromer oleh sistem
ginjal sendokan (Tabel 9-17). Natrium notal tubuh tubah dikontrol dengan sekresi
aldosteron dan ANP satnal ratriuneric peptide. Konsetrasi Natrium diatur oleh ADN yang
bersekrosa sebagai respon untuk meningkatkan omsolaritas atau menurunkan tekanan
darah. ADH merangsang realosorpsi air pada ginjal, dilusi plsama Na+ : sekresi ADH
yang tidak adekuat berdampak pada ekskresi air bebas ginjal, yaitu dengan intake air
yang tidak adekuat, mengakibatkan hipernatremi.

Hiponaktremia
Hiponatremia (Na+ < 130 mEq/L) mengindikasikan cairan tubuh larutan air yang
berlebihan dibandingkan. Larutan notal. Hiponatemia mayor, mengharuskan pasien rawat
inap agar kuantitas Natrium tubuh normal atau meningkat. Biasanya hiponatremia terjadi
karena adanya gangguan elusi. Kapasitas pengeluaran urin walaupun penyebabnya
banyak.
Hipotremia merupakan gangguan elektrolit terserang pada pasien rawat inap.
Penyebab keadaan kritis lain yang dengan hiponaktremia diantaranya post operasi (30%),
diikuti dengan penyakit intrakranial akut (17%), keganasan (17%), pengobatan (9%)
pneumonia (5%). Walaupun hiponatremia didapatkan 7-60x lebih banyak mortalitas naik,
hal ini tidak jelas apakah peningkatan mortalitas karena efek langsung hiponatremia atau
penyebab sekunder dari penyakit sistemik berat.
Tanda dan gejala hipotremia tergantung dari kadar dan penurunan Na+ plasma yang
hebat. Gejala yang mengenai hipotremia berat (Na+ < 120 mEq/L) yaitu hilangnya nafsu
makan, mual, muntah, kram, lemah merubah tingkat kesadaran, koma, kejang.
Sistem saraf pusat akut bermanfestasi pada butridaasi otak. Karena sawar darah
otak kura gpermeabel terhadap natrium tetapi sangat permeable terhadap air, penurunan
natrium plasama dapat meningkatkan cairan intraseluler dan ekstaseleluler otak. Respon
kompenasasi terhadap edema otak termasuk pergerakan kuantitas cairan interstinal yang
banayk ke cairan 10% dan hilangnya cairan intraseluler, termasuk fraktum dan osmolit
organik (biasa disebut osmol idiogenik) seperti taurin, fosfokreatian, mioinosial, glutamin
dan glutamat. Karena otak dapat berkompensasi untuk perubahan osmolitas, gejala lebih
hebat pada yang akut daripada hiponatremia kronis. Gejala hiponatromi kronik sesuai
dengan penurunan kadar elektrolit di otak. Saat volume otak dan kompensasi untuk
hiponatremi infeksi dapat menyebabkan dehidrasi otak yang berat.
Hiponatremia diklasifikasikan sebagai hiponatremi dan pseduahiponatremi.
Psrudohiponatremi diagnosa pada hiperprotemia berat atau hiperpidemi saat fotomatri,
sekarang teknik otchaic digunakan untuk mengatur Na+ plasma. Karena hiperpdoteinemi
atau hiperlipedermi merubah air dari plasma, maka pengukuran Na+ plasma jelas
menurun metode analisa sekarang petensimteri dicek, langsung mengukur Na+ dan tidak
dipengaruhi oleh komponen non air.
Hiponatremi sejati dapat diasosiasikan dengan nerma tinggi atau rendahnya
osmblinitas strum. Sebaliknya hiporatremi dengan hiposmoiasitas dapat diasosiasikan
dengan tinggi, rendah, atau normalnya natrium total tubuh dan PV. Hiponatremia (Na+ <
135 mEq/L) dengan normal/peningkatan esmoloritas serum didapat dari zat terlarut non
sodium seperti glukosa/monitol yang tidak berdifusi bebas melalui membran sel (Gambar
9-9). Gradien osmotik akibat hiponatremi dilusi sebagai contoh Na+ plasma menurun 1,5
Eq/L untuk setiap 100 mq/dl kenaikan konsetrasi glukosa. Dalam praktek anestesa
penyebab hiporatremi biasanya diasosiasikan dengan osmalritas normal yaitu absropsi
volume besar dari Na+ bebas larutan ini (termasuk manitol, glisenin atau sebotol
sehingga zat terlaurt) selama reseksi protat transuretra Zat feriant ini menyebabkan
hiponatremi dilaur yang berespon terhadap gambaran klinik TURP syndrome (lihat bab
36). Gejala neutologis minimal jika monital dipakai karena agen tidak dapat masuk sawar
darah etake dan dieksinaseikan dengan air urine. Sebaliknya seperti metabolisme
glisin/sorrbital, hipoosmolaritas dapat berkembang secara bertahap dan edema otak dapat
timbul sehingga komplikasi lambat . Perubahan yang melalui 10 mOsm/kg antara
mengukur dan menghitung osmolaritas memperlihatkan adanya hiponatremi yang
sesungguhnya atau adanya zat terlarut don sedium.
Hiperonatremia sejati dengan normal/mengikatnya osmol; atas serum dapat terjadi
pada insfisiensi ginjal BUN, termasuk dalam penghitungan osmolaritas totak,
disitribusikan melalui GCU dan ICU, perhitungan osmolaritas afekri (2 LNa+)
glukosa/18) memperlihatkan hiponis sejati.
Hipeonatrema dengan hiposmolalitas (gambar 9-9) dinilai dengan BUN, SCr, Na
total tubuh, omolanitas urin dan Na+ urin. Hiponatremi dengan peningkatan natrium natal
tubuh merup karakteristik keadaan oedema yaitu congestive heart failure, sinosis, nefrosis
dan gagal ginjal. Aquaporrin 2, nesepher air untuk meregulasi isapan diregulasi pada
percobaan congtive heart faliure dan snsis dan menurun dengan stimulasi kronis
vasopiosin. Pada pasien dengan insifisiensi ginjal, berkurangnya kapasitas dilusi urin
dapat menjadi hiponatnemia jika diberikan air bebas yang berlebihan.
Mekanisme penyerta hiponatermia hipovalemik adalah pemberian cairan hipotonik
oral atau iv selama sekresi ADH sebagai respon terhadap kontraksi volume. Angrotensin
II juga menurunkan pengaturan air bebas. Drenetik hazid, tidak seperti ‘loop druetik’
mengatur hiponatmia hipovalemik dengan bergabung pada dilusi usia pada tobulus distal
Hiponatenmia hipovalemik yaitu Na+ unnap > 20 mmhg/L diperkirakan defisiensi
mineralokortikoid, terutama susa genim K+, BUN dan secara meningkat.
Tabel 9-17 Pengaturan Elektrolit
Elektrolit Diatur oleh
Sadium/Natrium Aldosteron
ANP
Na+ dari ADH
Oeassium/Kalium Aldosteron
Epineta
Insulin
Mekanisme Intriusik
Ginjal
Calcium PTH
Vitamin D
Posfor Mekanisme primer ginjal
Miror : PTH
Magnesium Mekanisme primer ginjal
Miror : PTH, Vit. D
ANP : Atrial Nativetic Peptisida
ADH : Antdiupetik Hormone
PTH : Paratisoid Hormon

EVALUASI
NA+ plasma < 130 mEq/L
↓ Natrium total tubuh
Natrium tubuh rendah Natrium total tubuh
Suklur osmolaritus AVM tinggi
Kehilangan Na+ non nornal
ginjal SIADH
Edema (U ria < 15
Cu Na C 10 – 15 m Ga (u Na > 30 mEq/L dan
mEq/L)
dan u osm > 400 Uosm > 300 – 400
Normal
mosm/kg Rendah
mOsim/kg) Tinggi CHF
180 – 290 Smosi
GI mosm/kg < 280
R/O mosm/kg
hipotiovidim > 290 mosm/kg
Luka bakar Defisiensi LarutanNefrosis
non stadium :
Pseudosis Porat Spema
Kehilangan cairan glukostikoid GlukosaGagal ginjal
Hiperlipidemia LUNA > 30 mEq/L
Monital
di ruang ketiga Osmostat reset
Hiperproteinamia
Restiksi makanan Gagal ginjal kronis Pnotal
Larutan
Na+non sodium
dan intake air Intaksikasi air Metonal
Monitol
yang berlebihan Defisiensi kalium Etilenglika
Glukosa Toksin
Gagal ginjal Na+ ginjal
Kehilangan Gagal Ginjal
(u Na > 20 – 30 mEql/L
dan u osm < 300 – 400 Nilai Natrium
mosm/kg) Total Tubuh
Penggunaan
deuretik
Gagal ginjal
Penyakit
tubuionointer stikal
Defisiensi
mineralkatitozid
Gambar 9.9 Algoritme hipotremia yang dapat dievaluasi

Syndrome cerebral salt wasting jarang berat, siamphematis diabetes hilang garam
memperlihatkan diatur oleh petisida natriuteric otak dan SIADH independen (syndorm of
inappopriate antidiuretik ormon); pasien yang beresiko termasuk mereka dengan trauma
otak, perdarahan subarakroid, tumor dan infeksi.
Hiporlemik euvalemik biasa diasisiasikan dengan sekresi vusopysin non osmotik, seperti
defisiensi glukokostikoid, hipotinoldisme, hiponateremia e.c tiazis, SIADH dan system
osmostat esel. Natrium total tubuh dan ECV realtif normal dan edema jarang terjadi.
SIADH bisa idiopatis bisa juga adanya penyakit SSP dan penyakit paru-paru (Tabel 9-
18). Hiporatremia, hiporatema biasanya pada keadaan pengaturan ADH exage,
farmakologik potensiasi aksi ADH, obat-obat yang menyerupai aksi ADH di tubulus
ginjal atau sekresi ADH ektopik yang berlebihan. Jaringan-jaringan dari sel-sel kecil
kanker paru, kanker duadenum, dan kanker pankreas meningkatkan produksi ADH
sebagai respon terhadap stimulasi osmotik.

Kejadian Hiponatromi Post Operasi


Perubahan status mental, dan kejang telah ditangani secara konvensional dengan
manajemen cairan hipotonik. Intra vena dan tidak mencukupinya sekresi ADH.
Bagaimanapun juga ADH hanya satu dari banyak faktor, termasuk obat-obatan,
manajemen cairan intravena dan fungsi ginjal yang mempenagruhi keseimbangan cairan
perioptif. Setidaknya 4% dari pasien post operasi Na+ plasma < 130 mEq/L. Walaupun
manifestasik neurologis biasanya tidak menyertai hiponatenemia post operasi.
Tanda-tanda hipervolema biasanya ada pada pasien, perubahan Na+ plasma lebih
berespon pada cairan sejenis hipotenis

Suatu tulisan ini editional menyatakan adanya SIADH post operasi SIADH pada usia 30
kg, anak perempuan 10 tahun, Arieff menyarankan agar anak-anak menerima cairan
perioppratif non sodium. Wanita mungkin rapuh karena rangsagan estrogen dan endogen
yang mensurepsi pengeluaran ADH. Pada kasus ekstim, manajemen carian hipotoni 3
untuk orang muda, sehat, pasien, bedah wanita dapat menimbulkan gejala neurolosis
berat dan kematian sekunder akibat herniasi tarnstentorial. Bagaimanapun juga, pada
percobaan binatang, hiporatnemia menyebabkan pembengkakan otalk lebih luas pada pria
daripada wanita.
Hiponatnemia post operasi dapat terjadi bahkan dengan infus cairan inohomik, jika tidak
kenaikan ADH yang persisten ‘steele et al’ mempelajari 22 wanita (umur rata-rata 42
tahun) berdasarkan pembedahan gykelog tanpa komplikasi 24 jam setelah pembedahan.
Rata-rata Na+ plasma menurun dari 140 ± mEq/L sampai 136 ± 0,5 mEq/l.

Tabel 9-18
Penyebab syndrome of inappnopriate secnetionari g antidiuretic Hormne (SIADH)
Neoplasma Medikasi
Carcinoma bronkogenik Opium
Carcinoma pancneatic Klopropomid
Carcinoma duadenum Karbamzepine
Carcinoma prostat Phenotiozie
Thymomo Antidepresan tisiklik
Lymphoma Clofibrate
Mesoteliuma Vincristine
Siklofosfamide
Peny. Susunan Saraf Rusak Oxytuan
Trauma Kepala
Perdarahan Subdural Lain-lain
Perdarahan Subarachroid Bedah umum
Stosip Nyeri
Meningikis Mual
Encephalike Psikosis
Abses otak
Hidrosefalus
Tumor otak
Guillan – Barme
Porphynia akut intemitten
Delirium hygienes

Penyakit Paru-Paru
Tuberculosis
Paneumonia
Aspoergillosis
Cystic fibrosis
Positive presune ventation
Walaupun Natrium penoperatif pasien lebih kurang daya sentuh terhadap air lebih
rendah (rata-rata 1.1.1. elektrolit air bebas) Ayus dan Arieff menyatakan bahwa 158
pasien mempelajari karena enocephalapathy hiponatremi perioperatif, tidak ada yang
mendapat NaCl isotonik, penulis menyaranklan untuk tidak menyetujui pemakaian nutrisi
cairan hipotonis pada perieperatif.
Hari-hari dalam keadaan post operasi, keseimbangan cairan elektrolit dapat
mengurangi kejadian hiponatemia simplomatic.
Jika Na+ dan pengukuran osmolantas dibawah norma, sejauh ini hiponatremi dapat
dinilai dengan menilai status volume menggunakan pemeriksaan fisik dan data
laboratorium. Pada hipovolemik atau edema, resiko BUN = secara harus > 20 : 1. Na+
urin biasanya < 15 Meq/L pada keadaan edema dan depelsi volume dan > 20 mEq/L pada
hipontremi sekunder dengan pembuangan garam ginjal atau gagal ginjal dengan retensi
air.
Kriteria diagnosis untuk SIADH termasuk hipotemia hiperhonik, osmoloritas win >
100 – 150 mEq/kg, tidak adanya deplesi volume ekstraseluler, tiroid normal dan fungsi
normal Na+ win harus > 30 mEq/L kecuali cairan telah direstrikasi. Arieff mempunyai
argumen diterapkan untuk pasien post operasi karena mereka secara fungsional sering
hipodermik untuk itu, sekresi ADH hrus tepat.
Pengobatan hiponatremi berhubungan dengan asmolinatas serum yang
normal/tinggi. Diperlukan pengurangan dari peningkatan transentrasi larutan yang
resposibel. Pasien uremic diobati dengan restriksi air bebas atau dialisa. Pengobatan
pasien edema (hiperulemia) perlu m1 hestriksi Na+ dan air. Terapinya langsung
meningkatkan cardiac output dan perfusi ginjal dan menggunakan diurenik untuk
menghambat reasopsi natrium. Pada hipovalemik , DS hiponatremi volume darah perlu
diperbaiki , biasanya dengan infus NaCl 0,9% dan hilangnya natrium yang berlebihan
harus dicegah. Koreksi hipovolmi biasanya jadi penurunan etimulus pengeluaran ADH,
disertai dengan dianesis air yang tepat.
SIADH yaitu restrika air bebas dan menghilangkan faktor presiptani. Restikasi air,
cukup untuk menunaikan TBW o,5 – 1 liter per hari. Menurunkan ECV walaupun skropsi
ADH yang berlebihan tetap berlangsung, Resultant reduksi pada OFR mempengaruhi
reabsorpsi garam dan gr tubulus proslamis dimana terjadi penurunan pengaturan air bebas
dan mentimulasi sekresi Aldosteron.
Selama kehilangan air bebas (renal, skin, gastrointestinal) diganti dengan intake air
yang cukup Na+ serum akan meningkat. Selama pengobatan hiponatremia, peningkatan
Na+ plasma ditentukan tidak hanya dari komposisi cairan infus, tapi juga, hal besar yaitu
dengan nilai eksresi air bebas ginjal. Ekskresi air bebas dapat ditingkatkan dengan
memberikan funosemid.
Untuk menghitung jumlah cairan yang hilang untuk meningkatkan Na+ pada
hiponatremia, gunakan rumus berikut :
Current [Na+] x current TBW = dosired [Na+] x desired TBW
Dimana TBW = total body water biasanya didapat 0,6 x BB(Kg)
Gejala neurologis atau hiponatemia profound (Na+ < 115 – 120 mEq/l)
membutuhkan terapi yang lebih agnesif. NaCl hipertonik (3%) sangat jelas diindikasikan
untuk pasien dengan kejang atau pasien dengan gejala akut intoksikasi air sekunder untuk
manajemen cairan intravena. Pada beberapa kasus NaCl 3% dapat diatur pada rentang 1 –
2 ml/kg/jam untuk meningkatkan Na+ plasma 1-2 mEq/l/jam, bagaimanapun juga terapi
ini sebaiknya tidak diteruskan untuk beberapa jam. Tetapi 25 anak dengan hiponatemi
dapat mengakhiri kejang dengan hasil tidak adanya sequale neurologis lambat. NaCl 3%
dapat menaikan Na+ plasma karena ekspansi ECV menyebabkan penaikan ekstensi
natrium urin walaupun NaCl 29,2% telah digunakan secara hati-hati pada dosis 50 ml
pada hiponatomi simphomatik akut furesmid i.v bersama dengan penggantian kuatitatif
dari kehilangan natrium urin dengan penggantian NaCl 0,9% atau 3% dapat cepat
menaikkan Na+ plasma, sebagai bagian dari penaikkan klines air.
Terapi hiporatremi selalu menimbulkan kontonesi mulai dari “terlalu cepat, terlalu
segera”sampai” terlalu lambat, terlalu lambat”. Walaupun korelasi lambat berhasil pada
jejas neurologis, koreksi cepat yang tidak tepat dapat menimbulkan dehidrasi otak.
(Gambar 9-11) atau sekuele neuroligis yang permanen (seperti central pontine
nycclinolysis atau sindrome osmotik denyclinasi), perdarahan otak, atau caongestive
haert failure. Gejala sindorm osmotik demyelinasi bervairasi dari ringan (gangguan
perilaku sementara atau kejang) sampai berat (termasuk psecobulbar paly dan
quandiporesis)
Dalam 3-4 minggu asset klinis darisuatu sindorme, one demylinasi tampak pada
magnetic hesonace imaging (MRI)
Determinan utama dari jejak neurologis tampak dan hipotemia kronis dan derajat
koreksi. Sindorme osmtorik demyelinasi lebih mirip ketika hiponatermi telah menetap >
48 jam.
Gambar 9-10, hipotnemia diterapi berdasarkan etiologi gangguan level osmolaritas
serum dan estimasi klinis Na+ total tubuh
Terapi : Hiponatnemia
Na+ Plasma < 130 mEq/l

Terapi penyakit yang mendasari


Stop obat-obatan penyebab

Osmoilaritas serum
Normal/tinggi ≥ 280
mosm/kg
Stop zat-zat non cadium
glukosa
Monitol Univenum rendah < 280 mom/kg
Urea
toxin

Natrium tubuh meningkat - Perbaiki vol darah Normal


Restrikasi Natrium dan air (NaCl)
Perbaiki perfusi ginjal - Eliminasi hilangnya NA+ - Reaksi air
- Meningkatkan DO yang berlebihan - Loop diareik
linotropik, vasodiatre) - Terapi infus adekuat - Pengganti Na+ urin
- Meningkatkan aliran (NaCl 0,9% 3%)
darah ginjal (dopani) - Litium
- Demectocycoline
- Hemodialysis
- Pengganti hormon tiroid
Gambar 9-11 Cairan otak pada hiponathemi jika Na+ plasma normal (A) cepat
menurun peningkatan cairan otak secara teori profesional dengan penurunan Na plasma
(B) O.K. kehilangan adalah penurunan zat intraceluler otak edema, otak akan minimal
pada hiponetremia kronik (C) setelah adaptasi terjadi, pengambilan yang cepat
konsentrasi Na+ plasma pada level normal berhasil pada dehidrasi otak (D) (Disadur
dengan izin Strens RH : Vignetles in Uinicial pathophysiology. Neurological
detenoration following tretament for hypenatnemia, Am J. Kideny Dis 13 : 434, 1989)
Percobaan lesi demucelinasi tidak di observasi jika derajat koreksi < 2,5 mEq/l/jam
atau jika konesesi hanya terbatas pada < 25 mEq dalam 24 jam. Kebanyakan pasien
dengan sindrom sudah demyehiam fatal dapat koreksi Na+ plasma > 20mEq/l/hr. Faktor
resiko lesi ini termasuk, peminum alkohol, status nutrisi yang buruk, penyakit hepar, luka
bakar dan hipokelamia.
Para klinis menghadapi kesulitan dalam memperdiksi derajat/nilai dimana Na+
plasma akan menaik. Selama pengobatan hipontesemia. Peningkatan Na+ selama tidak
hanya ditentukan oleh komposisi cairan infus, tapi juga hal utama dengan nilai ekstresi
air dari ginjal.
Terapi penyakit yang perubahan Na+ plasma yang diharapkan dari 1 liter infus
diperkirakan dengan rumus :

Pengoata harus di hentikan / di perlambat jika timbul gejala.frekuensi determinasi


[Na+] penting untuk koneksi pencegahan pada nilai > 10 mEq/l lebih 24 jam. Awalnya,
Na+ plasma dapat Meningkat 1-2mtq/l/jam ; bagaimanapun juga Na+ plasma tidak boleh
meningkat > 1.0 mEq/l dalam 24 jam atau 25 mEq/l dalam 48 jam. Alternatif lain untuk
mengobati hipertartomi sintomatis yaitu untuk meningkat sekitar 10 mmOl, kemudian
diteruskan perlahan-lahan otak meningkat sekitar 10 % pada hiponatermi akronik.
Hipernatremi harus dihindari saat Na+ plasma 120-125 mEq/l, restriksi air biasanya cukup
menormalkan [Na+]. Koreksi hiporatermia akut, gejala dan tanda-tanda SSP. Biasanya
tampak dalam 24 jam, walaupun 96 jam biasa untuk pemulihan maksimal.
Karena litium, obat utama yang digunakan untuk antagonis AOH. Bersifat bersifat
neurotoksit dan memiliki efek yang tidak dapat diprediksi, demenceychine sekarang
merupakan dengan of chance untuk pasien yang membutuhkan terapi farmakologi
jangka panjang.
50% P 5 menerima litium untuk netrogromik Diabetes Insifidu (NDI) kemungkinan
karena aqua porim 2 sedikit diregulasi walaupun toleransi lebih baik dapat litium,
demeclocyclcnp dapat menimbulkan nephrotosix, suatu perhatian pada pasien dengan
disfungsi hepar. Hematodiatrisi biasanya dilakukan pada pasien hiponatremia berat yang
tidak bisa ditangani secara adekuat oleh obat-obatan atau NaCl hipertonik. Ketika
hiponatremia dapat diperbaiki, hati-hati terjadi restriksi cairan untuk menghindari
rekuniensi hiponatremia.
Dimasa depan respetorantogonis rasop resin dapat digunakan untuk mengobati
hiponatermia.

Hipenatermia
Hipertamia [Na+] > 150 mEq/l mengindetifikasikan kekurangan cairan relatif atau
absolut. Normalnya, terjadi kenaikan minimal tonus atau ratium mengstimulasi haus dan
seknesi ADH. Hipernatremia berat dan persisten terjadi jika pasien tidak berespon pada
haus dengan reflek menelan cairan, P5 pasien yang teranetesi dan bayi .
Hipernatremi menimbulkan gejala neurologis (masuk stipor, koma dan kejang).
Hiperlomeia, insufisiensi ginjal (dapat berkembang menjadi gagal ginjal, kemampuan
menurunkan konsentasi urin)
Hipertermia sering diakibatkan diabetes insiprdus atau daya asmotik yang menyebabkan
hilangnya darah, banyak pasien mengalami hiporemia atau mendekati stigmata penyakit
ginjal. Pasien post operasi neurosurgikal yang mengalami bedah phinitas dapat beresiko
menjadi DI. Permanen/Progloed. Polyuna terjadi beberapa hari pada mg I setelah
pembedahan dapat permanen atau menunjukkan 3 fase : DI dini, kemampuan
pengenbalian konsentrasi urine dan D I rekunan.
Konsentrasi klinis hipernatremia berkembang cepat P5 genatin merupakan resiko
untuk terjadinya hipernatremia, karena menurunkan kemampuan konsentrasi ginjal dan
haus walaupun respon osmoresphor hipernatremi terjaga usia normal. Penciutan otak
dapat merusak pembengkakan darah otak, berlanjut menjadi sub dural hematoma
subkultirikal parenchymal hemorihage, subraknoid, hemorihage dan trombsid vena.
Polinunea dapat menyebabkan distensi resiko unana, hidrofrosit kerusakan ginjal yang
permanen. Pada level tingkat selular, perbaikan volume sel terjadi setelah tonus
terpenuhi, walaupun kematian karena hipernatremia 40-55%, tidak dapat dijelaskan
apakah hipernatremia merupakan penyebab atau marker penyakit-penyakit berat itu.
Yang mengherankan, jika Na+ plasma awal normal, peningkatan moderat akut tidak
tampak memperpifasi sentral pontinel myelinolsis. Bagamanapun juga kenaikan pra+
yang besar menimbulkan konsentrasi yang besar bagi anak-anak.anak diabetes usia 12
tahun yang karena kecerobohan mendapatkan 500ml NaCl 5% selama pengobatan
diabetes ketoadosis (DKA ), Na+ plasma secara akut meningkat sampai 172
mEq/l;dengan Ctsken menunjukan banyak subcortikal hermorhages dan anak menderita
kematian otak. Pada percobaan binatang, hipernatremi akut (akut meningkat dari 146 –
170 mEq/l) menyebabkan kerusakan neuron dalam 24 jam, mensugesi : early central
pontinen ugenolises. Secara definisi, hipernatremi mengidentikasikan secara absolut air
abdolut atau realtif dan selalu berhubungan dengan hipertoik. Hipertantremi dapat terjadi
pada kehilangan cairan hipotranik seperti pada luka bakar, Gl loses, terapi disuntik
diuretik, osmotik, penyakit ginjal, kekurangan /berlebihannya menralonohoid, peyebab
iatriagonik. Atau karena terisolasinya cairan yang hilang seperti pada D I (Gambar 9-13).
NDI Acquaired lebih umum dan biasanya tidak terlalu berat dapat konginuital. Pada
gagal ginjal kronis pada banyak pasien memiliki konsentrasi, dampaknya pada resistensi
ADH yang berhubungan dengan hipotonik urine.
Akumulasi natrim terisolasi jarang terjadi, tapi terdapat pada pasien yang
mendapatkan banyak natrium, seperti pengobatan metabolik asidosis dengan natrium,
bikarbonat 8,4%. Dimana Na+ 1000 mEq/l, atau pengobatan perioperatif/ prehospital
dengan resunmtansi lantap NaCl hiperthemoia. Karena hiperomeia disertai kekurangan
air patologis, tanda-tanda hipoperfusi dapat tampak pada banyak pasien, sebelum
pragunan hipertantremi, adanya pervolume urine hipohonik dicurigai adannya
keseimbangan air abnormal.
TBW diafet = 0,6 x body weight Cleght (9-15)


( )
 Na + −140 

 140 
 
Dimana 140 : median nilai normal Na+

Gambar 9.12
Aktivasi mekanisme pengaturan volume sel sebagai respon aktife stress. Pengaturan
volume menurun dan meningkat berdasarkan kompesasi yang hilang dan akumulasi zat
berlarut .
Walaupun pengaturan volume ini bervariasi dengan berbagai tipe sel dan kondisi :
biasanya respon terjadi lebih dari periode menit. Pengembalian regulasi volume sel ke
kondisi normotorik menyebabka shrikage atau bengkak (Disadur dengan izin Mc Manut
MI)

Gambar 9-13
Hipermatremid berat dievaluasi dengan penilaian awl ECU tidak membagi pasien ke
dalam kelompok hipokelemik, eurokremik dan hipodenil lalu faktor etiologi didiagnosa .
[Na+] = Konsetrasi natrium serum
Una = Konsetrasi natrium urin
U osm = osmdentitas urin
PS hipermatrema dibaginya 3 grup berdasarkan penilaian klini ECV (Gambar 9-13)
Na+ plasma tidak menunjukkan natrium total adekuat ECV. Pada poliviria, PS
hipernalthemi pilihan diagnosis banding antara divinosis yang dapat membantu
membedakan faktor penyebab :
Osmolitas urin < 150 mos/kg dengan hipertonik dan palium serup diagnostik DI,
Pengobatan hipernatomik dari hilangnya air yang berhubungan dengan defisit natrium
tubuh dital dan elektrolit lainnya (Gambar 9-19).
Kelalaian umum pada pengobatan hipernatremiris termasuk koreksi cepat yang
berlebihan serta gagal untuk menilai kekurangan cairan serta tidak menghitung cairan
maintenace dan hilangnya cairan dalam rencana terapi.
Hipernatremia harus dikoreksi secara perlahan karena resiko sekulop neurolgis
seperti kejang atau edema otak (Gambar 9-14). Pada tingkat selular perbaikan volume sel
terjadi cepat setelah tonik bertambah dan konsekwensi pengobatan hipertonik akut akan
melebihi nilai awalnya, volume sel normantume. Kekurangan cairan sebaiknya diganti
untuk 24-48 jam dan Na+ plasma sebaliknya tidak dikurangi lebih dari 1-2mEq/l/jam.
Penyakit yang mendasarinya harus diubah. Hipovalemia harus dikoreksi dengan NaCl
0,9%. Walaupun kadar Na+ pada NaCl 0,9% 154 mEq/l, larutan ini efektif dalam
mengobati kekurangan volume dan menurunkan [Na+] jika > 154 mEq/l.
Saat hiponerlemi dapat ditraksi secara dapat berikan secara atan oral dengan cairan
hipotonik icha sena, tergantung kemampuan pasien dalam moherilt hidrasi otak. Pada
pasien dengan kelebihan natrium, eksekusi natrium dapat dipercepat dengan dreutek loop
atau dianalisis.
Manajemen hipotalemi sekunder (DI) beruaraian tergabung apakah etiologinya
sentral/nefogenihi(lihat tabel 9-19) Agen yang tepat untuk mengkorelasi DI Central
(Standrom defisionsi ADH) yaitu desmo presia (DDAVD) dan acopous dan vasopnesin
BDAVP. Diberikan secara subkutan dalam dosis 1-4,mq atau intranasal dengan dosis 5-
20 mq setiap 12-24 jam dan efektifitas dan efektif untuk mayoritas pasien . DDAVP
kurang mempunyai efek vasokonsinmeter demi vasopresia dan sedikit menimbulkan
kram abdomen kekurangan ADH inkomplet dengan agen farmakologis yang dapat
menstimulasi pengeluaran ADH klopropomid, yang berpontensi dengan ADH dalam
respon ginjal terhadap ADH.
Klorparamid, yang berpotensi dengan ADH dalam respon ginjal dan
karbomazopine yang merangsang sekresi vasapenta, telah digunakan untuk mengubah DI
central partial namun memiliki efek samping yang penting pada NDI, kehilangan cairan
urin dapat dikurangi dengan pengunaan garam dan retreksi air atau diuretrik thrazide untu
menginduksi kontraksi volume ekstraselular dimana dapat merangsang searsorpsi di
tubulus proximal. Jika penyaringan sedikit melalui ductus koligenter, sedikit cairan akan
diekstasi.
Tabel 9-19 Terapi Akut Hipernatamia
- Deplesi Natrium (Hipovalemia)
Koreksi hiporelemia (NaCl 0,9 %)
Koreksi Hipernatremia (Cairan tipotonic)
- Kelebihan Natrium (Hipervolenium)
Normal Natrium tubuh total (euvalemu)
Mengganti defisit cairan (cairan hipotonic)
Kontrol Diabetes intipidus :
Central diabetes indipidus ;
DO AVP 10-20 mg intranasi 2-4 mg
Aqurous vasopressia, 5 u q 2-4 jam i m/sc
Neptogevic diabetes insipidus :
Restriksi natrium intake air
Diurtik thrazide
Gambar 9.14
(A) Konsentrasi natrium digambarkan dari intensitas kehitaman. Gambar atas,
menunjukkan vol ekstrasekuler (lingkaran kecil) dan vol intrasekuler lingkaran
besar) lebih hitam padat, dimana natrium serum lebih tinggi
(B) Respon dari peningkatan natrium serum akut o.k. kehilangan cairan, baik volume
intasekuler maupun ekstrasekuler akan menurun. Otak, menciut o.k reduksi
volume intrasekuler di jar lain.
(C) Bagaimanapun, meminjam produksi osmolintas idogenik, otak cepat
memperbaiki vol. Instrasoluler, walaupun reduksi volume intraseluler dan ekstra
pasien di jar lain
(D) Dengan koreksi cepat yang berlebih (reduksi natrium lenum digambarkan dengan
penurunan kehitaman ) otak akan membesar dibanding ukuran normal. Sehingga
penaikan edema utuh dan tak ratrakranial yang dapat membuat kerusakan
neurogis berat.
(Modifikasi dengan izin dari feig PU = syndrom hiperatremia dan hipertonik. Medclin
North Am 65 : 271, 1981)

Anda mungkin juga menyukai