Anda di halaman 1dari 37

A.

Hadits Utama
Hadits tentang talak jumlahnya banyak sekali, antara riwayat yang satu dengan yang lain berbeda-beda
baik dalam sanad maupun matannya. Fokus dalam pembahasan talak, hadits yang diambil adalah hadits
yang benar-benar mengena dan sesuai dengan judul makalah ini dari sekian banyak hadits yang ada.
Adapun hadits utama yang dimaksud adalah hadits Imam Abu Dawud sebagai berikut :
‫َر‬ ِ ‫ار َعنْ اب‬
‫ْن ُع َم‬ ٍ ‫ْن ِد َث‬
ِ ‫بب‬
ِ ‫ار‬
ِ ‫ٍل َعنْ م َُح‬ ‫اص‬
ِ ‫ْن َو‬
ِ ‫رِّ فِ ب‬ ‫ٍد َعنْ ُم َع‬ ‫َّد َث َنا م َُح َّم ُد بْنُ َخا ِل‬ ‫ٍد َح‬ ‫ي ُر بْنُ ُع َب ْي‬ ‫َّد َث َنا َك ِث‬ ‫َح‬
َّ ‫الَى‬
‫الطاَل ق‬ ‫ا َل أَ ْب َغضُ ْال َحاَل ِل إِلَى هَّللا ِ َت َع‬ ‫لَّ َم َق‬ ‫ِه َو َس‬ ‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬ َ ِّ‫ َعنْ ال َّن ِبي‬.
‫ص‬

"Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah Ta’alaa adalah menjatuhkan thalaq"(H.R. Abu dawud)
B. Hadits Pendukung
1. Riwayat Imam al-Hâkim.
‫ عن محارب بن دثار‬، ‫ ثنا معروف بن واصل‬، ‫ ثنا أحمد بن يونس‬، ‫ ثنا محمد بن عثمان بن أبي شيبة‬، ‫حدثنا أبو بكر محمد بن أحمد بن بالويه‬
‫ « ما أحل هللا ش يئا أبغض إليه من الطالق » « ه ذا‬: ‫ ق ال رس ول هللا ص لى هللا عليه وس لم‬: ‫ ق ال‬، ‫ عن عبد هللا بن عمر رضي هللا عنهما‬،
‫اب الطالق‬ ‫دأ به في كت‬ ‫ديث أن يب‬ ‫ذا الح‬ ‫ ومن حكم ه‬، ‫اه‬ ‫ ولم يخرج‬، ‫ناد‬ ‫حيح اإلس‬ ‫ديث ص‬ ‫»ح‬
"Tidak ada sesuatupun yang dihalalkan oleh Allah tetapi paling dibencinya selain thalaq”
2. Dalam redaksi yang lainnya -di dalam kitab Sunan ad-Dailamy- dari jalur Muqâtil bin Sulaiman dari
'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya secara Marfu'.
" ‫الطالق‬ ‫من‬ ‫اليه‬ ‫ابغض‬ ‫حالال‬ ‫وما‬ ‫ح‬ ‫النكا‬ ‫من‬ ‫اليه‬ ‫احب‬ ‫حالال‬ ‫هللا‬ ‫احل‬ ‫ما‬ "

"Tidak ada sesuatu yang halal yang dihalalkan oleh Allah lebih dicintai-Nya dari nikah; dan tidak ada
sesuatu yang halal tetapi paling dibenci-Nya selain thalq”

3. Di dalam kitab Târîkh Ibn 'Asâkir dari jalur Ja'far bin Muhammad; Syuja' bin Asyrasy menceritakan
kepada kami, dia berkata: ar-Rabî' bin Badr menceritakan kepada kami, dari Ayyub, dari Abi Qilâbah, dari
Ibn 'Abbas secara Marfu' ditulis dalam redaksi berikut:
"‫ده من الطالق‬ ‫ره عن‬ ‫ىء ما احل هللا لكم اك‬ ‫"ما من ش‬

"Tidak ada dari sesuatupun yang dihalalkan oleh Allah bagi kalian yang paling dibenci di sisi-Nya selain
thalaq."
4. Riwayat abdir rozzaq :
‫ ما أحل هللا ش يئا‬: ‫ وأخ رج عن مح ارب مرسال‬، ‫ أبغض الحالل إلى هللا عزوجل الطالق‬: ‫من حديث مح ارب بن دث ار عن ابن عمر مرفوعا‬
‫الطالق‬ ‫من‬ ‫إليه‬ ‫أبغض‬

5. Riwayat Ibnu Majah

ِ ‫ار َعنْ َع ْب ِد هَّللا ِ ب‬


‫ْن ُع َم َر َقا َل َق ا َل َر ُس و ُل‬ ٍ ‫ْن ِد َث‬
ِ ‫بب‬
ِ ‫ار‬ ِ ‫َح َّد َث َنا َكثِي ُر بْنُ ُع َب ْي ٍد ْالحِمْصِ يُّ َح َّد َث َنا م َُح َّم ُد بْنُ َخا ِل ٍد َعنْ ُع َب ْي ِد هَّللا ِ ب‬
ِ ‫ْن ْال َولِي ِد ْال َوصَّافِيِّ َعنْ م َُح‬
َّ ِ ‫لَّ َم أَ ْب َغضُ ْال َحاَل ِل إِلَى هَّللا‬
‫الطاَل ُق‬ ‫ِه َو َس‬ ‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬ َ ِ ‫هَّللا‬
‫ص‬

“Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah menjatuhkan thalaq"
6. Hadits riwayat at-Tirmidzi

َ ِ ‫ك َعنْ أَ ِبي ه َُر ْي َر َة َق ا َل َق ا َل َر ُس و ُل هَّللا‬


ُ ‫ص لَّى هَّللا‬ َ ْ‫ْن أَر‬
ِ ‫دَك ْال َمدَ نِيِّ َعنْ َع َطا ٍء َعنْ اب‬
َ ‫ْن َما َه‬ ِ ‫َح َّد َث َنا قُ َت ْي َب ُة َح َّد َث َنا َحا ِت ُم بْنُ إِسْ َمعِي َل َعنْ َع ْب ِد الرَّ حْ َم ِن ب‬
‫ُة‬ َّ ‫ا ُح َو‬
‫الطاَل ُق َوالرَّ جْ َع‬ ‫ٌّد ال ِّن َك‬ ‫ْزلُهُنَّ ِج‬ ‫ٌّد َو َه‬ ‫ُّدهُنَّ ِج‬ ٌ ‫لَّ َم ثَاَل‬
‫ث ِج‬ ‫ِه َو َس‬ ‫َعلَ ْي‬
" Tiga perkara yang sesungguhannya dipandang benar dan main-mainnya juga dianggap benar pula,
yaitu nikah, thalaq dan ruju'"

7. Hadits Riwayat Bukhori:


‫َة‬ ‫ُم بْنُ م َُح َّم ٍد َعنْ َعائ َِش‬ ِ ‫َّد َثنِي ْال َق‬
‫اس‬ ‫ا َل َح‬ ‫ِد هَّللا ِ َق‬ ‫َّد َث َنا َيحْ َيى َعنْ ُع َب ْي‬ ‫ار َح‬
ٍ ‫َّد َثنِي م َُح َّم ُد بْنُ َب َّش‬ ‫َح‬
‫ص لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َس لَّ َم أَ َت ِح ُّل ِلأْل َوَّ ِل َق ا َل اَل َح َّتى َي ُذوقَ ع َُس ْيلَ َت َها َك َما َذاقَ اأْل َوَّ ُل‬ ْ ‫أَنَّ َر ُجاًل َطلَّقَ امْ َرأَ َت ُه ثَاَل ًثا َف َت َزوَّ َج‬
َ ُّ‫ت َف َطلَّقَ َف ُس ِئ َل ال َّن ِبي‬

C. Makna Ijmali
Hadits di atas menunjukkan bahwa hukum thalaq itu pada dasarnya adalah halal, akan tetapi thalaq
hanya dilakukan sebagai keputusan final/akhir yang apabila dalam mengarungi kehidupan keluarga
mempunyai suatu masalah yang tidak dapat diselesaikan kecuali dengan thalaq maka barulah pada
situasi itu thalaq dilaksanakan.

D. Makna Tafshili
1. lafadz ‫ ابغض الحالل‬adalah isim sifat (kata sifat) yang bermakna isim tafdhil (superlative) yang berwazan
‫ افعل‬statusnya sebagai mubtada'. Adapun lafadz ‫ ابغض‬disandarkan kepada kata ‫( الحالل‬isim ma'rifat).
Menurut ketentuan ilmu nahwu jika isim tafdhil disandarkan pada isim ma'rifat maka bermakna ‫( من‬dari)
jadi lafadz ‫ابغض من الحالل اى ابغض الحالل‬berarti "yang paling dibenci dari sesuatu yang halal".
2. ‫ الى هللا‬hurf jar yang bermakna ‫( عند‬dzorfiyah). Jadi ‫ الى هللا اى عند هللا‬bermakna "di sisi Allah"
3. ‫ الطالق‬khabar al- mubtada' dari lafadz ‫ ابغض‬yang artinya yaitu yang paling dibenci Allah dari sesuatu
yang halal itu adalah thalaq. Dari sini mempunyai implikasi hukum thalaq itu boleh dalam artian halal
namun dibenci oleh Allah.
Hadits thalaq yang diriwayatkan oleh Abu Dawud di atas menunjukkan bahwa di antara jalan yang halal
itu ada yang dimurkai oleh Allah jika tidak dipergunakan sebagaimana mestinya. Seperti menjatuhkan
thalaq tanpa alasan yang dibenarkan selagi masih ada jalan untuk menghindarkannya. Begitu juga ketika
thalaq hanya dilakukan sembari senda gurau, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW. :
‫ُة‬ َّ ‫ا ُح َو‬
‫الطاَل ُق َوالرَّ جْ َع‬ ‫ٌّد ال ِّن َك‬ ‫ْزلُهُنَّ ِج‬ ‫ٌّد َو َه‬ ‫ُّدهُنَّ ِج‬ ٌ ‫لَّ َم ثَاَل‬
‫ث ِج‬ ‫ِه َو َس‬ ‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬ َ ِ ‫و ُل هَّللا‬
‫ص‬ ‫ا َل َر ُس‬ ‫َق‬
" Tiga perkara yang sesungguhannya dipandang benar dan main-mainnya juga dianggap benar pula,
yaitu nikah, thalaq dan ruju'"

Adapun jika terjadi istri yang meminta thalaq pada suaminya tanpa sebab dan alasan yang dibenarkan
adalah perbuatan tercela. Sebagaimana hadits riwayat Ashab As-sunan wa hassanahu tirmidzi dari
Tsaubana :
‫ ايما ام رآة س ألت زوجها طالقا من غ ير ب أس فح رام عليها رائحة الجنة (رواه اص حاب‬: ‫عن ثوبان ان رسول هللا صلى هللا عليه وس لم ق ال‬
)‫ذي‬ ‫نه الترم‬ ‫نن و حس‬ ‫الس‬
"Manakala istri menuntut thalaq dari suaminya tanpa alasan maka haram baginya bau surga"

Pada dasarnya yang berhak menjatuhkan thalak sepenuhnya adalah seorang laki-laki atau suami, tidak
sah seorang istri melontarkan kata-kata thalak meskipun kata-kata thalak itu sharih seprti hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majjah sebagai berikut :
"‫ق‬ ‫السا‬ ‫با‬ ‫اخذ‬ ‫من‬ ‫بيد‬ ‫"الطالق‬
”thalaq itu ditangan oarang yang memegang betis”
Adapun Sababul wurud dari hadits di atas yaitu :
Bahwa kata ibnu Abbas, seorang laki-laki telah mendatagi Rasulullah ujarnya: “majikanku telah
menikahkanku dengan budak perempuannya, sekarang ia ingin menceraikan kami”. maka naiklah
Rasulullah ke atas mimbar seraya berkata: “bagaimana halnya salah seorang kamu menikahkan
budaknya dengan budak perempuannya dan sekarang ingin menceriakannya, thalak itu ditangan
…………………….dan seterusnya”
Meskipun begitu, seorang suami tidak sewenang-wenang dan seenaknya menthalak istrinya. Harus
mengerti dan paham syarat-syarat dalam keadaan bagaimana seorang suami harus dilontarkan kata-
kata thalak. Maka dari itu hadist utama diatas mengindikasikan suatu peringatan dan pertimbangan
yang ditujukan bagi para suami agar menjaga keharmonisan keluarga dan tidak ceroboh dalam
menthalak seorang istri dikarenakan thalak itu memang halal tetapi dibenci oleh Allah.
Adapun seorang suami yang menthalaq istrinya harus berakal sehat, dewasa, dan memiliki kebebasan
memilih. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW :
‫تيقظ‬ ‫تى يس‬ ‫اءم ح‬ ‫ رفع القلم عن ثالثة عن الن‬:‫ال‬ ‫لمم ق‬ ‫لى هللا عليه وس‬ ‫بي ص‬ ‫عن علي رضي هللا عنه عن الن‬
‫تى يعقل‬ ‫ون ح‬ ‫تى يحتلم وعن المجن‬ ‫بي ح‬ ‫و عن الص‬

“Tidak dibebani hukuman bagi tiga orang antara lain: Seorang yang dalam terlelap tidur sehingga dia
bangun, Anak kecil yang belum Baligh, dan orang yang gila sampai dia sembuh”
Hadis di atas mejelaskan tentang syarat-syarat suami menthalak istrinya. Tidak jatuh thalaknya jika
suami menthalak dalam keadaan gila, ataupun dalam keadaan tidur tetapi tiba-tiba melontarkan kata-
kata thalak.

E. Takhrij Hadits
Untuk menentukan derajat keshahihan hadits diperlukan suatu langkah sistematis (takhrij) yang dimulai
dari penelitian ketersambungan sanad, keadilan dan kedhabitan rawi, bebas dari shad dan ‘illah.
Berikut inilah biografi singkat perawi hadits utama :
1. Katsir bin ‘Ubaid
Nama aslinya Katsir bin ‘Ubaid bin Namir al-Madhajiy, abu al-Hasan al-Hamshi al-Hida’ al-Maqra’I, (Imam
Masjid Hams). Dari segi Thabaqahnya dia berada pada tingkatan ke sepuluh dari Kibar al-akhidzin dari
tabi’ al-atba’.Wafat pada tahun 250 H. Kredibilitasnya menurut Abu Hatim dan ibnu Hajar adalah
Tsiqqah, menurut Muslimah bin Qasim dalam “sejarahnya” adalah Tsiqqah.
Guru-gurunya: Muhammad bin Khalid, ayyub bin Suwaid ar-Ronmli, Baqiyah bin Walid, Sufyan bin
‘Uyainah, Abi haiwah syuraih bin Yazid AL-khamsyi, Abdussalam bin abdul Guddus Bin Habib As-Syami,
Abdul Majid Bin Abdul Aziz bIn Abi Ruad, , Muhammad Bin Syuaib Bin Syabur, Marwan bin Muawiyah Al
Fazara, muslim bain Khalid Az-Zanji, waqi’ Bin Jarah, Al Walid Bin Muslim, Yahya Bin Salim At Tha’ifi.
Murid-muridnya: Abu Bakar Ahamad bin Umar Bin Abi Ashim, Abul Hasan Ahmad Bin Umair Bin Jausha’,
Ahmad Bin Muhammad bin Anbasah, Isma’il bin muhammad bin ghairad al adhry, Abul Hasan Bin
ahmad bin ibrahim bin faid.

2. Muhammad bin Khalid


Nama Aslinya Muhammad bin Khalid ibnu ‘Utsmah al Hanafiy al Bisriy, majikan Muhammad bin
Sulaiman. Dari segi Thabaqahnya dia berada pada tingkatan ke sepuluh dari Kibar al-akhidzin dari tabi’
al-atba’. Kredibilitasnya menurut Abu Hatim adalah haidts ini termasuk bagus-bagusnya hadits. Menurut
Ibnu Hajar : Banyak benarnya juga disalahkan. Adapun menurut ad-Dzahabiy adalah banyak benarnya.
Menurut ibnu Hibban adalah dia terkadang salah.
Guru-gurunya:Katsir bin Abdillah bin Amru bin ‘Auf, Musa bin Ya’qub al-zam’i,Ibrahim bin Isma’il bin Abi
Habibah, Said bin Basyir, abdillah ibnu Ja’far.
Murid-muridnya:Muhammad bin Basyar Bindaar,Ahmad bin Tsabit al-Jahdari, Muhammad bin Abdillah
ibnu Ubaid, Amru bin Ali as-Shofari, Abu al-Jauza’ ahmad bin utsman, Muhammad bin Isma’il, Hilal bin
Basyar.
3. Mu’arof bin washol
Nama aslinya Mu’arrof bin Washol as Sa’diy, Abu Badal, ada yang mengatakan di Abu Yazid al Kufiy. Dari
segi Thabaqahnya dia berada pada tingkatan ke 6 dari Shighar at Thabi’in. Kredibilitasnya menurut Ibnu
Hajar adalah Tsiqqah, begitu juga menurut al Dzahabiy, ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin
Mansyur, Yahya bin Mu’in Abu Rahman an-Nasa’i menyatakan Tsiqqah Tsiqqah.
Guru-gurunya :Maharib bin Disar,Ibrahim at-Taimiy,Habib bin Abi Tsabit, Sulaiman al-A’masy, ‘Amir as-
Syu’bii, Abdillah bin Baridah,Ya’qub bin Abi Nabatah
Murid-muridnya:Waki’ bin al-Jarroh, Ahmad bin Abdillah bin Yunus,Isma’il bin Abdil Malik ar-
Robii’i,Khilad bin Yahya as-Silmiy, Abdillah bin Shalih al-‘Ajliy, Abu Ahmad az-Zaibiriy.
4. Maharib bin Disar
Nama aslinya adalah Maharib bin Disar as-Sudusiy dan dikatakan juga adz-Dzahliy, Abu Muthraf, abu
Nadlar al Kufiy al- Qadliy. Dari segi Thabaqahnya dia berada pada tingkatan ke 4 dari al wustho at
Thabi’in(pertengahan Tabi’in). Kredibilitasnya menurut Ibnu Hajar, ya’qub bin Sufyan, Dar al Quthniy
adalah Imam Tsiqqah, menurut al Dzahabiy dia termasuk orang yang terhormatnya dari para ‘Ulama’ ,
menurut Ibnu Hibban dia termasuk manusia yang lengah, menurut Al-‘Ajliy dia orang kufah yang Tsiqqah
dia wafat pada tahun 116 H.
Guru-gurunya: Al-Aswad Bin Yazid an Nakho’i, Jabir Bin abdullah Al Anshory, Sulaiman bin buraidah,
shilah bin zafar, Abdullah Bin Buraidah, Abdullah Bin Umar Bin Khattab, Abdullah Bin Yazid Al Khadmi,
Ubaid Bin Barra’ Bin Azib, Imran bin Khatthan
Murid-muridnya: Anas Bin Khalid, Hasan bin ibrahim al karmany, hakim Bin Ishaq, Zaidah Bin Qudhamah,
Zuaid bin haris al Yami, Sa’id bin Masruq As Syura, Syufyan bain Sa’id asyyury, Syufyan Bin Uyainah,
Sulaiman al A’mas, Sulaiaman Abu Ishaq Asysyibany,Syuraik Bin abduh.
5. Abdillah bin Umar bin Khattab
Nama aslinya Abdillah bin Umar bin Khattab al- qurisyi al ‘Adwaa, abu AbdirRahman al- Makiy al-
Madaniy. Dari segi Thabaqahnya dia berada pada tingkatan pertama dari Shahabat Nabi. Kredibilitasnya
menurut Ibnu Hajar, ad-Dzahabiy adalah Shahabiy. Dalam hadits disebutkan bahwa “sesungguhnya
Abdullah adalah orang laki-laki yang Shalih”. Menurut al hafidz dalam kitabnya “at-Taqrib at-Tahdzib”
mengatakan bahwa Abdullah bin Umar adalah orang yang sangat patuh terhadap sunnah nabi.
Guru-gurunya : Nabi Muhammad Shollallahu’alaihi wasallam, Bilal(Mu’adzin Rasulullah), Rofi’ bun
Khudaij, Zaid bin Tsabit, Zaid bin Khottob(pamannya), Shahabat di dalamnya termasuk ayahnya sendiri
yaitu Umar bin Khattab,Hafsah, ‘Aisyah.
Murid-muridnya : Bilal bin Abdillah bin umar (anaknya sendiri), Adam bin Ali al-Bakri al-‘ajliy, Anas bin
sirin,Bakar bin Abdillah al-Mazaniy,Hafash bin Asyim bin Umar bin Khottob dll.
F. I’tibar Hadits
Berdasarkan data di atas dapat ditentukan bahwa hadits utama tersebut dari segi sanad telah
memenuhi asas ketersambungan sanad tanpa mengalami keterputusan perawi, karena perowi yang
meriwayatkannya memiliki hubungan guru dan murid.
Oleh karena itu penulis berkesimpulan bahwa hadits tentang Thalak merupakan hadits Masyhur –
Shahih dari segi sanad. Hal ini jika didasarkan pada kriteria yang dibuat oleh Subhi Shalih bahwa yang
disebut hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang lebih dalam setiap thabaqatnya.
Di dalam fatwa al-Lajnah ad-Dâ`imah Lil Buhûts al-'llmiyyah Wal-Iftâ` (lembaga resmi fatwa di Saudi
Arabia, semacam MUI), disebutkan bahwa hadits tersebut SHAHIH MUTTASHIL secara Sanadnya.
Sebagian ulama berhujjah dengan hadits ini dengan menyatakan bahwa ia hadits yang Shahîh dan
Muttashil (bersambung mata rantai periwayatnya hingga kepada Rasulullah Sebagian ulama lagi,
mengatakan bahwa ia hadits yang Dla'îf (Mursal). Seperti yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad Luthfiy
ash-Shabbagh.
G. Penjelasan dan Kandungan Hadits

Thalak menurut bahasa berarti melepaskan atau meninggalkan. Dan menurut istilah agama, thalak
artinya melepaskan ikatan perkawinan atau putusnya hubungan perkawinan (suami-istri) dengan
mengucapkan secara sukarela ucapan thalak kepada istrinya, dengan kata-kata yang jelas ataupun
dengan kata-kata sindiran.
Pada dasarnya talak menurut hukum adalah makruh. Semua tujuan baik pernikahan yang telah
disebutkan, dengan adanya perceraian itu akan hilang dan terjadi putusnya hubungan kekeluargaan.
Akan tetapi, talak pada kondisi tertentu menjadi keharusan, seperti jika istri merasa tersiksa bila tetap
menjadi istri dari laki-laki itu, atau sebaliknya, atau sebab-sebab lain. Oleh karena itu, talak itu
dibolehkan oleh Allah tetapi dengan syarat dan adab suami menalak istrinya.
Dalam Hadits diatas memang terasa ambigu dari sebuah lafadz talak yang halal tetapi dibenci oleh Allah.
Thalak yang dimaksud talak yang bagaimana?, maka dari itu sebenarnya thalak itu ada bermacam-
macam dan harus dijelaskan.
Adapun macam-macam thalak adalah sebagai berikut :
Ditinjau dari keabsahan waktu dijatuhkannya thalaq terbagi menjadi dua, yaitu thalaq sunni dan thalaq
bid'iy.
‫َر‬ ‫ْن ُع َم‬ ِ ‫اف ٍِع َعنْ اب‬ ‫كٍ َعنْ َن‬ ِ‫ِم َعنْ َمال‬ ِ ‫ا َل أَ ْن َبأ َ َنا ابْنُ ْال َق‬
‫اس‬ ‫لَ َم َة َق‬ ‫أَ ْخ َب َر َنا م َُح َّم ُد بْنُ َس‬
‫ص لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َس لَّ َم‬ ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َف َسأ َ َل ُع َم ُر بْنُ ْال َخ َّطا‬
َ ِ ‫ب َرضِ َي هَّللا ُ َع ْن ُه َر ُس و َل هَّللا‬ َ ِ ‫ُول هَّللا‬ َ ‫أَ َّن ُه َطلَّقَ امْ َرأَ َت ُه َوه‬
ِ ‫ِي َحا ِئضٌ فِي َع ْه ِد َرس‬
َ‫ك َبعْ ُد َوإِنْ َش ا َء َطلَّق‬ َ ‫ِيض ُث َّم َت ْط ُه َر ُث َّم إِنْ َش ا َء أَم‬
َ ‫ْس‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم مُرْ هُ َف ْلي َُرا ِجعْ َها ُث َّم لِيُمْسِ ْك َها َح َّتى َت ْطه َُر ُث َّم َتح‬
َ ِ ‫َعنْ َذل َِك َف َقا َل َرسُو ُل هَّللا‬
‫ا ُء‬ ‫َّل أَنْ ُت َطلَّقَ لَ َها ال ِّن َس‬ ‫َّز َو َج‬ ‫َر هَّللا ُ َع‬ ‫َّدةُ الَّتِي أَ َم‬ ‫ك ْال ِع‬
َ ‫َل أَنْ َيمَسَّ َفت ِْل‬ ‫َق ْب‬
"Dari Nafi' bin Abdullah bin Umar : sesungguhnya ia (Abdullah bin Umar) telah menceraikan istrinya
ketika haidh di zaman Rasulullah masih hidup. Lalu Umar bertanya kepada Rasulullah tentang hal ini,
kemudian Rasulullah menjawab : "perintahlah ia untuk merujuknya, kemudian hendaklah ia tetap
pegang istrinya sampai tiba waktu suci, kemudian ia berhaid lalu suci lagi. Kemudian jika ia mau, boleh ia
tetap pegang istrinya sesudah itu. Tetapi jika ia mau menthalaq istrinya sebelum ia mencampurinya,
maka yang demikian itulah iddah yang diperintahkan oleh Allah dalam menthalaq istri-istrinya”. (H.R.
Bukhari).
Thalaq Sunni adalah thalaq yang dijatuhkan sesuai dengan tuntunan Sunnah. Dari hadits di atas dapat
dipahami bahwa termasuk thalaq sunni bila suami menthalaq istri yang pernah dicampuri dengan sekali
thalaq di masa suci dan ia belum disentuh kembali selama bersih itu.
Sedangkan thalaq bid’i adalah thalaq yang dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan dengan tuntunan
Sunnah. Menthalaq istri ketika dalam keadaan haid digolongkan ke dalam thalaq bid’i karena tidak
sesuai dengan tuntunan Sunnah sebagaimana perintah Rasulullah kepada Umar untuk merujuk istrinya
yang dithalaq dalam keadaan haid. Disebut juga thalaq bid’i jika dijatuhkan dalam keadaan nifas atau
dengan cara menthalaq tiga kali dengan sekali ucapan atau menthalaq tiga kali secara terpisah-pisah
dalam satu tempat.
Dari segi ada atau tidaknya kemungkinan bekas suami untuk merujuk kembali istrinya, maka thalaq
dibagi menjadi dua macam :
1. Thalaq raj’i
)‫ائي‬ ‫لم طلق حفصة ثم راجعه (رواه ابو داود والنس‬ ‫لى هللا عليه وس‬ ‫بي ص‬ ‫عن عمر ان الن‬
Thalaq raj’i adalah thalaq yang dijatuhkan oleh suami kepada istrinya yang pernah digauli atau thalaq
yang pertama kali yang dijatuhkan suami.
2. Thalaq ba’in
Thalaq ba’in adalah thalaq yang dijatuhkan suami kepada istri yang belum disetubuhi sebelumnya atau
thalaq yang ketiga kalinya. Adapun macamnya terbagi dua yaitu thalaq ba’in sughro dan thalaq ba’in
kubro. Sebagaimana hadits berikut yang menunjukkan pada thalaq ba’in kubro.
‫ فس ئل‬.‫ ف تزوجت فطلق‬,‫ ح دثني القاسم بن محمد عن عائشة ان ر جال طلق امرأته ثالثا‬: ‫حدثني محمد بن بشار حدثنا يحيى عن عبيد هللا ق ال‬
‫يلتها كما ذاق األول‬ ‫ذوق عس‬ ‫تى ي‬ ‫ ح‬,‫ ال‬: ‫ال‬ ‫لم اتحل لألول ؟ ق‬ ‫لى هللا عليه وس‬ ‫بي ص‬ ‫الن‬
” ...... sampai kamu merasakan madunya (menggauli) sebagaimana suami yang pertama”

Pembagian Thalak Dilihat Dari Segi Sighat (Ucapan) antara lain :


a. Thalak yang terang-terangan
Maksud dari kalimat yang disampaikan ketika mengucapkannya, seperti; kamu terthalak, kamu dithalak
atau setiap perkataan yang berasal dari kata "thalak".
b. Thalak Dengan Sindiran
Yaitu thalak yang lafalnya tidak menunjukkan maksud thalak, tetapi menunjukkan thalak dengan cara
kinayah, seperti kata-kata Anti baz-in (kamu terpisah). Ia mengandung kemungkinan terpisah dari
perkawinan.
Thalak Ditinjau Dari Tempat Kejadian antara lain :
a. Thalak Munjaz
Thalak munjaz ialah thalak yang kalimatnya tanpa disertai syarat dan penetapan waktu. Misalnya
seseorang berkata kepada istrinya: "Saya thalak (cerai) kamu atau kamu terthalak (tercerai)". Bentuk
kalimat ini menunjukkan jatuhnya thalak seketika itu tanpa menyebutkan tempo atau tergantung pada
syarat. Hukum thalak munjaz ini berlaku dengan keluarnya kalimat thalak bilamana terpenuhi syarat-
syarat lainnya.
b. Thalak Mudhaf
Yaitu bentuk kalimat thalak yang berkaitan dengan masa jatuhnya thalak diwaktu itu apabila telah tiba.
Misalnya seseorang berkata, "Kamu terthalak besok" atau "awal bulan". Abu Hanifah dan Malik
menyatakan bahwa dia terthalak seketika itu. Asy-Syafi’i dan Ahmad menyatakan bahwa thalaknya tidak
jatuh hingga tahunya berganti.
Hukum thalak yang diteguhkan jatuhnya hingga waktu tertentu ialah bahwa thalak itu baru thalak itu
baru berlaku sesudah jatuh tempo yang ditentukan penthalaknya dala sighat (kalimat) thalak.
c. Thalak Muallaq
Thalak muallaq ialah thalak yang berlakunya dikaitkan oleh suami dengan suatu perkara yang terjadi
dimasa mendatang. Hal itu dilakukan dengan menggaitkan sighat thalak dengan kata yang menunjukkan
syarat atau yang semakna dengan itu, seperti: jika, apabila, bilamana, dan sebagainya.
H. Pendapat Ulama’ Tentang Thalak
Ulama fiqih berbeda penadapat mengenai hukum thalaq, menurut pendapat yang rajih yaitu imam
hanafi dan hanabilah berpendapat bahawa haram menthalaq istri kecuali adanya hajat berdasarkan
hadist nabi yang berbunyi, “bahwasannya allah melaknat orang-orang tukang rasa” dan lebih lanjut
imam hanabilah memperinci bahwa adakalanya thalaq itu wajib, haram, mubah, sunnah. Adapun thalaq
itu wajib yaitu thlaqnya seorang juru damai {hakam} terhadap suami istri yang saling bercekcok dan
dipandang tidak ada jalan lain lagi untuk mendamaikan keduanya kecuali dengan jalan thalaq, mengenai
thalaq yang haram apabila thalaqnya tanpa adanya hajat/sebab karena hal itu memberi efek mahdlarat
pada seorang isteri. Adapun thalak itu mubah/boleh bilamana terdapat suatu hajat yang melatar
belakanginya seperti contoh: buruknya akhlak seorang istri terhadap suami atau anaknya. Mengenai
thalak yang disunnahkan yaitu apabila sang istri meninggalkan kewajiban-kewajiban yang disyari’atkan
oleh Allah yang tidak memungkinkan untuk memaksakan sang istri tersebut ataupun sang istri tidak bisa
menjaga dirinya.
Para ulama sependapat tentang haramnya thalaq yang dijatuhkan 3 sekaligus, tetapi para ulama
berbeda pendapat, apakah thalaq tiga yang haram itu jatuh atau tidak, jumhur ulama berpendapat
bahwa thalaq itu jatuh.H al ini didasarkan bahwa thalaq ini masih termasuk makna ayat yang umum.
Sebagian yang lainnya mengatakan bahwa thalaq seperti itu tidak jatuh.ulama yang menganggap jatuh
itu juga berbeda pendapat. Sebagian mengatakan thalaqnya jatuh ketiga-tiganya. Sebagian lagi
mengatakan jatuh satu kali thalaq.
Jumhur Ulama, di antaranya empat imam madzhab, jumhur shahabat dan tabi’in berpendapat bahwa
tiga talak dengan satu kata (lafazh) adalah berlaku bila seorang suami berkata, “Kamu saya talak (tiga
kali)!” dan semisalnya atau dengan beberapa kata (kamu saya talak, kemudian mengatakan lagi, kamu
saya talak, kemudian mengatakan lagi, kamu saya talak) sekali pun sebelumnya belum terjadi rujuk dan
nikah.
Sementara itu menurut imam hanifah menegaskan bahwa tergantung pada niatnya jika suami
meniatkan tiga maka jatuhlah thalaq itu tiga kali thalaq, sementara itu jika sang suami hanya meniatkan
satu maka jatuhlah thalaq itu satu kali thalaq, meskipun dengan kata kamu saya thalaq tiga, sedangkan
menurut Imam Ahmad tetap thalaq itu jatuh tiga kali thalaq baik suami mengatakan tiga ataupun tidak.
Adapun dasar hadisnya yaitu Hadits Rukanah bin ‘Abdullah bahwasanya ia telah menalak isterinya
secara pasti (talak tiga sekaligus), lalu ia memberitahukan hal itu kepada Nabi SAW, lantas beliau
berkata, “Demi Allah, kamu tidak menginginkan kecuali hanya satu kali saja ? Hadits ini dikeluarkan oleh
asy-Syafi’i, Abu Daud, at-Turmudzy, ibnu hibban {dia menilainya shahih.

Daftar Pustaka

Mansur Ali Nashif, At-Taj Al-jami’ Lil ushul, Maqtanah Attaufiqiyah, Kairo.
Abi Abdillah Muhammad bin Yazid Al-Qordhawi, Sunan Inu majah, Juz II, Darul Hadist, Kairo.
H.S.A l hamdani, 2001,Risalah Nikah, Jakarta: Pustaka Amani.
Manshur Ali Nashif, At Taj Al-jami’ lil Ushul, Maktabah At Taufiqiyah , Kairo.
Ahmad Bin Ali Bin Hajar al- atsqolany, Fathul bary bisyrhi shohih bukhory Juz 10 darul fikr.
Umar Hasyim, Qawa’id Ushul al-Hadits, Beirut: Dar al-Fikr,1998.
(Lihat, Fatâwa al-Lajnah ad-Dâ`imah Lil Buhûts al-'llmiyyah Wal-Iftâ` , jld.IV.
Shaleh Usman, Pernikahan Islam, Surabaya :1996, Risalah Gusti.
Syayid Shabig, 2006, Fiqh Sunnah Jilid II, Beirut: Dar Al-fikr.
Hasby As-Shiddieqy, 1991,Hukum-Hukum Fiqh Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Subhi shalih, ‘Ulum Hadits.
HM Suwarta Wijaya, 1997, Asbabul Wurud Latar Belakang Histories Timbulnya
Hadist-Hadist Rasul, Kalam Mulia: Jakarta.

Muhammad , Al-Hafidz Abdillah, 1998,Sunan Ibnu Majah, Kairo;Dar al-Hadits.


Sulaiman , Abu Dawud, 1994, SunanAbi Dawud, Beirut; Dar al-Fikr.
Talak sebagai salah satu penyebab putusnya perkawinan merupakan topik yang selalu harus
dibicarakan ketika membahas persoalan pernikahan. Walau ia bagian dari bahasan pernikahan,
bukan berarti wacana tentang talak ini bias dianggap sederhana dan “sempit”. Ada banyak
persoalan yang mesti dan lazim menjadi bagiannya, mulai dari pengertian, dasar hukum, rukun
dan syarat, macam-macamnya aplikasi dan relevansinya dengan hukum positif Indonesia dan
sebagainya. Karena itu, tulisan tentang persoalan tersebut akan ditampilkan dalam beberapa
postingan. Postingan awal ini berupa penjelasan dasar tentangnya, yaitu tentang pengertian dan
dasar hukum talak.

Pengertian Talak
Talak berasal dari Bahasa Arab, yaitu al-thalâq. Kata al-thalaq merupakan bentuk
mashdar dari kata thalaqa (fi'il mâdhiy)-yathluqu (fi'il mudhâri'). Secara etimologi kata al-thalâq
berarti: lâ qayda 'alaiha wa kadzalika al-khaliyyaħ[1] (tidak ada ikatan atasnya dan juga berarti
meninggalkan). Dengan redaksi lain, 'Ali ibn Muhammad Al-Jurjaniy[2] mengemukakan
pengertian etimologi dari kata Al-thalaq itu dengan: Izâlat al-qayd wa al-takhliyyaħ
(menghilangkan ikatan dan meninggalkan). Dalam pengertian etimologi, kata al-thalâq tersebut
digunakan untuk menyatakan: "melepaskan ikatan secara hissiy, namun 'urf mengkhususkan
pengertian al-thalâq itu kepada: "melepaskan ikatan secara ma'nawiy"[3]
Sedangkan pengertian talak secara terminology telah dikemukakan pula oleh para ulama
fikih. Menurut al-Sayyid al-Bakar (ulama Syafi'iyah), talak adalah:
]4[‫والسراح‬ ‫حل عقد النكاح باللفظ الآليت وهي الطالق والفراق‬
Melepaskan akad pernikahan dengan menggunakan lafal berikut: al-thalaq, al-firaq dan al-sarrah

Adapun menurut al-Sayyid Sabiq, talak adalah:


]5[‫الزوجية‬ ‫ الزواج وإهناء العالقة‬%‫حل الرابطة‬
Melepaskan ikatan dan mengakhiri hubungan perkawinan

Ulama Malikiyyah mendefinisikan makna talak tersebut dengan mengdepankan


konsekuensi yang ditimbulkan oleh keberadaan talak itu dan penekanan terhadap perbedaan
antara talak raj'iy dan talak Ba'in. manurut mereka talak adalah:
]6[‫بغريه‬ ‫ مرتني حرمت عليه قبل التزويج‬%‫صفة حكمية ترفع حلية متتع الزوج بزوجيته حبيث لو تكررت منه‬
Suatu sifat hukmi yang mengangkat halalnya bersenang-senang antara seorang suami dengan
isterinya, yang mana apabila hal itu telah dilakukan dua kali maka diharamkan atasnya (untuk
menikahi) sebelum ia menikah dengan orang lain.

Menurut 'Abd al-Rahman al-Jaziri, tidak dikedepankan secara eksplisit kalimat atau
istilah bermakna raj'iy dan ba'in dalam definisi yang dikemukakan oleh al-Sayyid al-Bakar
(Syafi'iyyah) diatas sehingga dapat merangkum kedua kategori talak tersebut disebabkan, karena
menurut ulama syafi'iyyah talak raj'iy itu juga mengangkat ikatan pernikahan sehingga seorang
suami yang menjatuhkan talak raj'iy terhadap isterinya maka ia tidak boleh menyetubuhinya
sampai suami tersebut telah merujukinya, baik dengan lafal sharih atau kinayah.[7] sedangkan
menurut ulama Malikiyyah, apabila suami meniatkan untuk rujuk ketika menyetubuhi isterinya
itu maka rujuknya sudah dianggap sah. Bahkan para ulama dikalangan Hanafiyyah dan
Hanabilah berpendapat bahwa ketika suami menyetubuhi isterinya  yang sedang berada dalam
masa 'iddah maka sudah dianggap sudah rujuk, meskipun ia tidak meniatkan untuk itu.[8]
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa talak adalah melepaskan
ikatan pernikahan, baik dalam bentuk raj'iy maupun ba'in, dengan lafal-lafal yang ditentukan,
baik dalam bentuk sharih maupun kinayah sehingga antara kedua orang tersebut tidak dihalalkan
lagi untuk "bersenang-senang".

Dasar Hukum Talak


Talak sebagai salah satu yang disyaratkan dalam agama Islam, tentunya telah
mendapatkan legalitas oleh sayara'. Dasar pensyariatan hokum talak tersebut terdapat dalam Al-
Quran dan Sunnah, serta telah disepakati oleh Ulama dalam bentuk ijma' terhadap legalitasnya.
Diantara dasar hokum talak yang terdapat dalam Al-Quran adalah:
‫وهتن وال‬%%‫وهن من بي‬%%‫وا اهلل ربكم ال خترج‬%%‫دة واتق‬%%‫وا الع‬%%‫دهتن وأحص‬%%‫وهن لع‬%%‫يا أيها النيب إذا طلقتم النساء فطلق‬
‫ل اهلل‬%%‫دري لع‬%%‫ه ال ت‬%%‫د ظلم نفس‬%%‫دود اهلل فق‬%%‫د ح‬%%‫دود اهلل ومن يتع‬%%‫ك ح‬%%‫ وتل‬%‫ة‬%‫ة مبين‬%%‫أتني بفاحش‬%%‫خيرجن إال أن ي‬
‫حيدث بعد ذلك أمرا‬
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka
pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu
serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah
mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji
yang terang[1482]. Itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim
terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu
sesuatu hal yang baru
Ayat diatas secara jelas menguraikan petunjuk atau aturan tentang waktu dan tata cara
menjatuhkan talak, kepada Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi, meskipun yang di khitabb
dalam ayat tersebut hanya Nabi Muhammad SAW, namun menurut para mufassir, kandungan
hokum yang terdapat dalam ayat itu tetap menjangkau dan berlaku bagi umatnya.
Dalam mengomentari pengkhususan khitab terhadap Nabi Muhammad SAW dalam ayat
diatas, Abu Bakar, sebagaimana yang dikutip oleh Abi Bakr Ahmad al-Razi al-Jashshash,
mengemukakan sebagai berikut:
"Abu Bakar berkata: Pengkhususan khitab ayat terhadap Nabi Muhammad SAW membawa
beberapa kemungkinan pengertian; a). sudah diketahui bahwa hokum atau ketentuan apa saja
yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW, juga ditujukan kepada umatnya. Sebab umatnya
tersebut diperintahkan untuk mengikuti apa saja yang diperintahka kepada Nabi SAW, kecuali
beberapa hala yang dikhususkan kepada Nabi SAW. b). pada awal potongan ayat tersebut, di
taqdirkan kalimat: Ya ayyuha al-Nabi qul li ummatika idza thallaqtum al-nisa'….(Hai Nabi,
katakanlah kepada umatmu: Apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu…), dan c). Biasanya,
apabila yang dikhitab itu adalah Pemimpinnya, maka pengikutnya telah termasuk didalamnya.
[9]

Jadi menurut Abu Bakar tersebuut, meskipun dalam ayat khitab-nya dikhususkan kepada
Nabi Muhammad SAW namun tetap berlaku bagi umatnya.
Muhammad Sulaiman 'Abdillah al-'Asyqar dan Ibn Katsir berpendapat bahwa
didahulukannya khitab tersebut kepada Nabi Muhammad SAW hanya berfungsi sebagai
penghormatan dan memuliakan Nabi Muhammad SAW. ketentuan yang terdapat dalam ayat di
atas, menurut kedua mufassir tersebut, juga berfungsi bagi Umatnya, sebab setelah khitab itu
ditujuakan kepada Nabi SAW, Allah SWT menujukannya kepada Nabi SAW dan umatnya, yaitu
dengan menggunakan khitab plural pada kata "thalaqtum".[10]
Begitu juga firman Allah SWT dalam surat al-Baqaraħ [2] ayat 231:
‫دوا‬%%‫رارا لتعت‬%%‫كوهن ض‬%%‫روف وال متس‬%%‫رحوهن مبع‬%%‫روف أو س‬%%‫كوهن مبع‬%%‫اء فبلغن أجلهن فأمس‬%%‫وإذا طلقتم النس‬
‫زل عليكم من‬%%‫ا أن‬%%‫ة اهلل عليكم وم‬%%‫روا نعم‬%%‫زوا واذك‬%%‫ات اهلل ه‬%%‫ذوا آي‬%%‫ه وال تتخ‬%%‫د ظلم نفس‬%%‫ك فق‬%%‫ل ذل‬%%‫ومن يفع‬
‫الكتاب واحلكمة يعظكم به واتقوا اهلل واعلموا أن اهلل بكل شيء عليم‬
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah
mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula).
Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu
menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim
terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah
nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al
Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya
itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu

Dalam ayat diatas Allah SWT menjelaskan bahwa seorang suami yang menjatuhakan
kepada isterinya hendaklah tidak menganiaya isterinya dengan cara mengupayakan agar isterinya
tersebut berada dalam masa 'idah yang panjang. Ayat tersebut diatas merupakan kritikan keras
terhadap kasus yang dipraktekkan oleh Tsabit Ibnu Basyar, seorang laki-laki dari golongan
Anshar, dimana ia menjatuhkan talak isterinya namun ketika masa 'iddah-nya tinggal dua atau
tiga hari lagi, lalu ia rujuk kepada isterinya, kemudian ia kembali menjatuhkan talak isterinya
untuk yang kedua  dan begitu seterusnya sehingga isterinya tersebut selalu berada dalam masa
'iddah[11] selama sembilan bulan, dengan maksud menganiayanya. Oleh karena itulah sehingga
Allah menurunkan ayat diatas. Demikian asbâb al-nuzûl ayat tersebut menurut Suday.[12]
Dua ayat diatas secara eksplisit menjelaskan kepada kita bahwa talak memang
disayriatkan dan mendapat legalitas dari syar'i. disamping dua ayat tersebut masih banyak ayat-
ayat yang menjelaskan tentang talak, terutama yang cukup jelas adalah ayat-ayat yang
menguraikan tentang masa 'iddaħ.[13]
Di antara hadits Rasulullah yang menjelaska perceraian adalah:
‫ك (رواه ابن‬%%‫د مل‬%%‫ق إال بع‬%%‫اح وال عت‬%%‫د نك‬%%‫ق إال بع‬%%‫ ال طل‬:‫م‬.‫ول اهلل ص‬%%‫ قال رس‬:‫عن جابر رضي اهلل عنه قال‬
]14[)‫ماجة‬
"Diterima dari Jabir r.a, ia berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: tidak ada talak
kecuali setelah ada pernikahan, dan tidak memerdekakan budak kecuali setelah ada
kepemilikan" (H.R. Abu Yu'la dan Hakim men-shahih-kannya).

Hadits diatas menjelaskan bahwa talak dapat dijatuhkan setelah adanya akad pernikahan
dan tindakan memerdekakan budak baru dapat berlaku dan mempunyai konsekuensi hukum
apabila telah ada kepemilikan. Hal itu berarti bahwa talak mendapat legalitas dari syara'.
Begitu juga hadits Nabi SAW yang lebih kurang semakna dengan hadits di atas, yaitu:
‫ه‬%%‫ق ل‬%‫ك وال عت‬%‫ا ال ميل‬%‫ذر البن آدم فيم‬%‫م ال ن‬.‫ول اهلل ص‬%‫ال رس‬%‫ عن أبيه عن جده قال ق‬%‫عن عمرو بن سعيب‬
‫ح‬%‫ه أص‬%‫اري أن‬%‫ل عن البخ‬%‫ححه ونق‬%‫ذي وص‬%‫وا داود والرتم‬%‫ه أب‬%‫ك (أخرج‬%‫ا ال ميل‬%‫ه بيم‬%‫ق ل‬%‫ك وال طل‬%‫فيما ال ميل‬
]15[)‫ما رواه فيه‬
"Dari 'Amru bin Syu'aib, dari bapaknya dari kakeknya, ia berkata bahwa Nabi SAW pernah
bersabda: tidak ada (kewajiban menunaikan) nadzar bagi anak adam (manusia) terhadap
nadzar yang belum ia miliki, tidak ada kemerdekaan budak baginya terhadap apa yang tidak ia
miliki " (H.R. abu Daud dan al-Tirmidzi men-shahih-kannya. Dinukilkan dari al-bukhari bahwa
hadits ini adalah hadits yang paling shahih tentang topic ini).

Begitu juga hadits Nabi SAW berikut:


‫ل الطالق‬%% ‫ال أبغض احلالل إىل اهلل عزوج‬%% ‫لم ق‬%% ‫ه وس‬%% ‫لى اهلل علي‬%% ‫يب ص‬%% ‫ا عن الن‬%% ‫ي اهلل عنهم‬%% ‫ر رض‬%% ‫عن ابن عم‬
]16[%)‫(رواه أبو داود وابن ماجة وصححه احلاكم ورجح أبو حامت ارساله‬
"Diterima dari ibnu 'Umar r.a berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: Perbuatan
halal yang paling dibenci Allah SWT adalah talak" (H.R. Abu Daud dan Ibn Majjah, al-Hakim
men-Shahih-kanny namun Abu Hatim menyatkan mursal-nya).

Berdasarkan hadits diatas dapat dipahami bahwa meskipun Rasulullah SAW menyatakan
bahwa talak itu adalah perbuatan halal yang paling dibenci Allah SWT- sehingga menurut para
ulama hanya boleh terjadi jika benar-benar terpaksa, namun walau bagaimanapun tetap mendapat
legalitas dari syara'.
Juga hadits Nabi SAW berikut:
‫ه‬%%‫لى اهلل علي‬%%‫لم ص‬%%‫ول اهلل وس‬%%‫ائض على رس‬%%‫ه وهي ح‬%%‫ق امرأت‬%%‫ه طل‬%%‫ا أن‬%%‫ي اهلل عنهم‬%%‫ر رض‬%%‫د اهلل بن عم‬%%‫عن عب‬
‫ه‬%%‫لى اهلل علي‬%%‫ول اهلل ص‬%%‫ال رس‬%%‫ك فق‬%%‫لم عن ذل‬%%‫ه وس‬%%‫لى اهلل علي‬%%‫ول اهلل ص‬%%‫اب رس‬%%‫ر بن اخلط‬%%‫أل عم‬%%‫لم فس‬%%‫وس‬
‫ل‬%%‫ق قب‬%%‫اء طل‬%%‫د وإن ش‬%%‫ك بع‬%%‫اء أمس‬%%‫ر مث إن ش‬%%‫ر مث حتيض مث تطه‬%%‫ىت تطه‬%%‫كها ح‬%%‫ا مث ليمس‬%%‫ره فلريجعه‬%%‫لم ( م‬%‫وس‬
]17[)‫ عليه‬%‫أن ميس فتلك العدة اليت أمر اهلل أن تطلق هلا النساء (متفق‬
"Diterima dari Ibnu 'Umar, sesungguhnya ia menjatuhkan talak isterinya, yang mana isterinya
itu berada dalam keadaan haid, pada masa Rasulullah SAW. kemudoan Umar berkata: aku
menanyakan kepada Rasulullah SAW tentang hal itu, maka Rasulullah menjawab: suruh ia
untuk merujukinya, kemudian hendaklah ia memegangnya sampai ia suci kemudian haid
kemudian suci. Jika ia mau peganglah atau ia talak sebelum disetubuhi. Itulah 'iddah yang telah
ditetapkan Allah untuk menjatuhkan talak para wanita" (H.R. Muttafaq Alaih).

Berdasarkan kasus yang terjadi pada Ibnu 'Umar tersebut, Rasulullah SAW memberikan
jalan keluarnya, sekaligus menjadi pedoman bagi umat Islam pada umumnya. Dalam hadits
diatas Rasulullah SAW menyebutkan secara jelas dan tegas bahwa talak boleh dilakukan. Oleh
karena itu juga dapat dipahami bahwa talak memang mendapat legalitas dari syara'.
Di samping legalitas syara' yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah diatas, para ulama
juga telah menyepakati dalam bentuk ijma' terhadap kebolehan menjatuhkan talak tersebut.[18]
Legalisasi yang diberikan oleh syara' terhadap pensyari'atan talak itu juga didukung oleh dalil
logika, dimana apabila kondisi antara suami dan isteri itu memburuk sehingga jika sepasang
suami dan isteri itu dipaksa umtuk mempertahankan perkawinannya, justru akan menimbulkan
ke-mafsadat-an dan ke-mudharat-an saja. Dalam kondisi seperti itu tidak logis mempertahankan
perkawinan tersebut, sebab hanya akan memeperpanjang situasi buruk, mafsadah dan ke-
mudharat-an tersebut.[19]
Dengan demikian, berdasarkan uraian diatas dapat dipahami bahwa meskipun menurut
pendapat ashah, hukum asal dari talak itu adalah mahzur (dilarang) kecuali karena alasan-alasan
yang sudah masuk kedalam kategori hâjaħ,[20] namun walau bagaimanapun, talak memang
disyari'atkan dalam islam berdasarkan beberapa ayat dan hadits Nabi SAW yang telah penulis
kemukakan diatas.

[1] Ibn Manzhur, Lisan al-'Arab, (Beirut: Dar al-Ihya` al-Turats al-'Arabiy, 1992), cet. Ke-2, Jilid
8, h. 188
[2] Ali bin Muhammad al-Jurjaniy, Kitab al-Ta'rifat, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1998),
cet. Ke-3, h. 141. Lihat juga: Muhammad Ruwas Qal'ahjiy dan Hamid Shadiq Qinyabiy, Mu'jam
Lughaħ al-Fuqahâ`, 'Arabiy-Ingliziy Divorce Repudiction, (Riyadh: Dar al-Nafa`is, 1988), h.
281
[3] Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuh, (Damaskus, Dâr al-Fikr, 1989), cet.
Ke-3, Juz 7, h. 356
[4] Al-Sayyid Abi Bakr (al-Sayyid al-Bakr), I'ânât al-Thâlibîn, (Beirut: Dar Ihya` al-Turats
al-'Arabiy, t.th.), Juz 4, h. 2
[5] Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), Juz 2, h. 206
[6] Abdurrahman al-Jaziriy, al-Fiqħ 'Ala Madzâħib al-Arba'aħ, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), Juz 4,
h. 279
[7] Ibid., h. 278
[8] Ibid., h. 279
[9] Abu Bakr Ahmad al-Raziy al-Jashshash, Ahkâm al-Qur`ân, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), Juz 3,
h. 677
[10] Muhammad Sulayman 'Abdillah al-'Asyqar, Zubdat al-Tafsîr, (Riyadh: Maktabah Dar al-
Salam, 1994), h. 748. Lihat Juga: 'Imad al-Din Abi al-Fida' Isma'il Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur`ân
al-'Azhîm, (Riyadh: Maktabah Dar al-Salam, 1994), Juz 4, h. 484
[11] 'Iddaħ adalah suatu masa yang mana pada masa itu seorang perempuan menunggu dan
terlarang untuk menikah setelah suaminya wafat atau menceraikannya. Lihat: Sabiq, op.cit., h.
277
[12] Muhammad 'Ali al-Sayis, Tafsîr Âyât al-Ahkâm, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.th.),
Jilid 1, h. 154
[13] Ketentuan tidak adanya 'iddah isteri yang belum disetubuhi terdapat dalam surat al-Ahzâb
[33] ayat 49. 'Iddah perempuan yang ditinggal mati adalah empat bulan sepuluh hari ditetapkan
dalam surat al-Baqaraħ [2] ayat 234. 'Iddah perempuan yang masih haid dan tidak ditinggal mati
adalah tiga kali quru' (menurut ulama Syafi'iyyah berarti suci dan menurut ulama Hanafiyyah
berarti haid) ditetapkan dalam surat al-Baqaraħ [2] ayat 228. 'Iddah perempuan hamil (sampai
melahirkan) ditetapkan dalam surat al-Thalâq [65] ayat 4.
[14] Muhammad Fu`ad Abd al-Baqiy, Sunan Ibn Mâjaħ, (Beirut al-Maktabah al-'Ilmiyyah, t.th.),
Juz 1, h. 660
[15] Muhammad Ibn Isma'il al-Kahlaniy, Subul al-Salâm; Syarh Bulûgh al-Marâm min Adillaħ
al-Ahkâm, (Bandung: Dahlan, t.th.), Juz
[16] Ahmad ibn 'Ali ibn Hajar al-'Asqalaniy, Bulugh al-Maram min Adillat al-Ahkâm, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1989), h. 225. Lihat Juga al-Baqiy, op.cit., h. 650
[17] Muhamad Zahid ibn al-Hasan al-Kawtsariy, Tartîb Musnad al-Imâm al-Syâfi'iy, (Bandung:
Maktabah Dahlan, 1990), Jilid 1, h. 32-33. Lihat juga: 'Utsman, op.cit., h. 228
[18] Al-Zuhayliy, op.cit., h. 357
[19] Ibid.
[20] Sabiq, op.cit., h. 207

Talak sebagai salah satu penyebab putusnya perkawinan merupakan topik yang selalu
harus dibicarakan ketika membahas persoalan pernikahan. Walau ia bagian dari bahasan
pernikahan, bukan berarti wacana tentang talak ini bias dianggap sederhana dan “sempit”. Ada
banyak persoalan yang mesti dan lazim menjadi bagiannya, mulai dari pengertian, dasar hukum,
rukun dan syarat, macam-macamnya aplikasi dan relevansinya dengan hukum positif Indonesia
dan sebagainya. Karena itu, tulisan tentang persoalan tersebut akan ditampilkan dalam beberapa
postingan. Postingan awal ini berupa penjelasan dasar tentangnya, yaitu tentang pengertian dan
dasar hukum talak.

Pengertian Talak
Talak berasal dari Bahasa Arab, yaitu al-thalâq. Kata al-thalaq merupakan bentuk
mashdar dari kata thalaqa (fi'il mâdhiy)-yathluqu (fi'il mudhâri'). Secara etimologi kata al-thalâq
berarti: lâ qayda 'alaiha wa kadzalika al-khaliyyaħ[1] (tidak ada ikatan atasnya dan juga berarti
meninggalkan). Dengan redaksi lain, 'Ali ibn Muhammad Al-Jurjaniy[2] mengemukakan
pengertian etimologi dari kata Al-thalaq itu dengan: Izâlat al-qayd wa al-takhliyyaħ
(menghilangkan ikatan dan meninggalkan). Dalam pengertian etimologi, kata al-thalâq tersebut
digunakan untuk menyatakan: "melepaskan ikatan secara hissiy, namun 'urf mengkhususkan
pengertian al-thalâq itu kepada: "melepaskan ikatan secara ma'nawiy"[3]
Sedangkan pengertian talak secara terminology telah dikemukakan pula oleh para ulama
fikih. Menurut al-Sayyid al-Bakar (ulama Syafi'iyah), talak adalah:
]4[‫والسراح‬ ‫حل عقد النكاح باللفظ الآليت وهي الطالق والفراق‬
Melepaskan akad pernikahan dengan menggunakan lafal berikut: al-thalaq, al-firaq dan al-sarrah

Adapun menurut al-Sayyid Sabiq, talak adalah:


]5[‫الزوجية‬ ‫ الزواج وإهناء العالقة‬%‫حل الرابطة‬
Melepaskan ikatan dan mengakhiri hubungan perkawinan

Ulama Malikiyyah mendefinisikan makna talak tersebut dengan mengdepankan


konsekuensi yang ditimbulkan oleh keberadaan talak itu dan penekanan terhadap perbedaan
antara talak raj'iy dan talak Ba'in. manurut mereka talak adalah:
]6[‫بغريه‬ ‫ مرتني حرمت عليه قبل التزويج‬%‫صفة حكمية ترفع حلية متتع الزوج بزوجيته حبيث لو تكررت منه‬
Suatu sifat hukmi yang mengangkat halalnya bersenang-senang antara seorang suami dengan
isterinya, yang mana apabila hal itu telah dilakukan dua kali maka diharamkan atasnya (untuk
menikahi) sebelum ia menikah dengan orang lain.

Menurut 'Abd al-Rahman al-Jaziri, tidak dikedepankan secara eksplisit kalimat atau
istilah bermakna raj'iy dan ba'in dalam definisi yang dikemukakan oleh al-Sayyid al-Bakar
(Syafi'iyyah) diatas sehingga dapat merangkum kedua kategori talak tersebut disebabkan, karena
menurut ulama syafi'iyyah talak raj'iy itu juga mengangkat ikatan pernikahan sehingga seorang
suami yang menjatuhkan talak raj'iy terhadap isterinya maka ia tidak boleh menyetubuhinya
sampai suami tersebut telah merujukinya, baik dengan lafal sharih atau kinayah.[7] sedangkan
menurut ulama Malikiyyah, apabila suami meniatkan untuk rujuk ketika menyetubuhi isterinya
itu maka rujuknya sudah dianggap sah. Bahkan para ulama dikalangan Hanafiyyah dan
Hanabilah berpendapat bahwa ketika suami menyetubuhi isterinya  yang sedang berada dalam
masa 'iddah maka sudah dianggap sudah rujuk, meskipun ia tidak meniatkan untuk itu.[8]
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa talak adalah melepaskan
ikatan pernikahan, baik dalam bentuk raj'iy maupun ba'in, dengan lafal-lafal yang ditentukan,
baik dalam bentuk sharih maupun kinayah sehingga antara kedua orang tersebut tidak dihalalkan
lagi untuk "bersenang-senang".

Dasar Hukum Talak


Talak sebagai salah satu yang disyaratkan dalam agama Islam, tentunya telah
mendapatkan legalitas oleh sayara'. Dasar pensyariatan hokum talak tersebut terdapat dalam Al-
Quran dan Sunnah, serta telah disepakati oleh Ulama dalam bentuk ijma' terhadap legalitasnya.
Diantara dasar hokum talak yang terdapat dalam Al-Quran adalah:
‫وهتن وال‬%%‫وهن من بي‬%%‫وا اهلل ربكم ال خترج‬%%‫دة واتق‬%%‫وا الع‬%%‫دهتن وأحص‬%%‫وهن لع‬%%‫يا أيها النيب إذا طلقتم النساء فطلق‬
‫ل اهلل‬%%‫دري لع‬%%‫ه ال ت‬%%‫د ظلم نفس‬%%‫دود اهلل فق‬%%‫د ح‬%%‫دود اهلل ومن يتع‬%%‫ك ح‬%%‫ وتل‬%‫ة‬%‫ة مبين‬%%‫أتني بفاحش‬%%‫خيرجن إال أن ي‬
‫حيدث بعد ذلك أمرا‬
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka
pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu
serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah
mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji
yang terang[1482]. Itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim
terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu
sesuatu hal yang baru

Ayat diatas secara jelas menguraikan petunjuk atau aturan tentang waktu dan tata cara
menjatuhkan talak, kepada Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi, meskipun yang di khitabb
dalam ayat tersebut hanya Nabi Muhammad SAW, namun menurut para mufassir, kandungan
hokum yang terdapat dalam ayat itu tetap menjangkau dan berlaku bagi umatnya.
Dalam mengomentari pengkhususan khitab terhadap Nabi Muhammad SAW dalam ayat
diatas, Abu Bakar, sebagaimana yang dikutip oleh Abi Bakr Ahmad al-Razi al-Jashshash,
mengemukakan sebagai berikut:
"Abu Bakar berkata: Pengkhususan khitab ayat terhadap Nabi Muhammad SAW membawa
beberapa kemungkinan pengertian; a). sudah diketahui bahwa hokum atau ketentuan apa saja
yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW, juga ditujukan kepada umatnya. Sebab umatnya
tersebut diperintahkan untuk mengikuti apa saja yang diperintahka kepada Nabi SAW, kecuali
beberapa hala yang dikhususkan kepada Nabi SAW. b). pada awal potongan ayat tersebut, di
taqdirkan kalimat: Ya ayyuha al-Nabi qul li ummatika idza thallaqtum al-nisa'….(Hai Nabi,
katakanlah kepada umatmu: Apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu…), dan c). Biasanya,
apabila yang dikhitab itu adalah Pemimpinnya, maka pengikutnya telah termasuk didalamnya.
[9]

Jadi menurut Abu Bakar tersebuut, meskipun dalam ayat khitab-nya dikhususkan kepada
Nabi Muhammad SAW namun tetap berlaku bagi umatnya.
Muhammad Sulaiman 'Abdillah al-'Asyqar dan Ibn Katsir berpendapat bahwa
didahulukannya khitab tersebut kepada Nabi Muhammad SAW hanya berfungsi sebagai
penghormatan dan memuliakan Nabi Muhammad SAW. ketentuan yang terdapat dalam ayat di
atas, menurut kedua mufassir tersebut, juga berfungsi bagi Umatnya, sebab setelah khitab itu
ditujuakan kepada Nabi SAW, Allah SWT menujukannya kepada Nabi SAW dan umatnya, yaitu
dengan menggunakan khitab plural pada kata "thalaqtum".[10]
Begitu juga firman Allah SWT dalam surat al-Baqaraħ [2] ayat 231:
‫دوا‬%%‫رارا لتعت‬%%‫كوهن ض‬%%‫روف وال متس‬%%‫رحوهن مبع‬%%‫روف أو س‬%%‫كوهن مبع‬%%‫اء فبلغن أجلهن فأمس‬%%‫وإذا طلقتم النس‬
‫زل عليكم من‬%%‫ا أن‬%%‫ة اهلل عليكم وم‬%%‫روا نعم‬%%‫زوا واذك‬%%‫ات اهلل ه‬%%‫ذوا آي‬%%‫ه وال تتخ‬%%‫د ظلم نفس‬%%‫ك فق‬%%‫ل ذل‬%%‫ومن يفع‬
‫الكتاب واحلكمة يعظكم به واتقوا اهلل واعلموا أن اهلل بكل شيء عليم‬
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah
mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula).
Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu
menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim
terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah
nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al
Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya
itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu

Dalam ayat diatas Allah SWT menjelaskan bahwa seorang suami yang menjatuhakan
kepada isterinya hendaklah tidak menganiaya isterinya dengan cara mengupayakan agar isterinya
tersebut berada dalam masa 'idah yang panjang. Ayat tersebut diatas merupakan kritikan keras
terhadap kasus yang dipraktekkan oleh Tsabit Ibnu Basyar, seorang laki-laki dari golongan
Anshar, dimana ia menjatuhkan talak isterinya namun ketika masa 'iddah-nya tinggal dua atau
tiga hari lagi, lalu ia rujuk kepada isterinya, kemudian ia kembali menjatuhkan talak isterinya
untuk yang kedua  dan begitu seterusnya sehingga isterinya tersebut selalu berada dalam masa
'iddah[11] selama sembilan bulan, dengan maksud menganiayanya. Oleh karena itulah sehingga
Allah menurunkan ayat diatas. Demikian asbâb al-nuzûl ayat tersebut menurut Suday.[12]
Dua ayat diatas secara eksplisit menjelaskan kepada kita bahwa talak memang
disayriatkan dan mendapat legalitas dari syar'i. disamping dua ayat tersebut masih banyak ayat-
ayat yang menjelaskan tentang talak, terutama yang cukup jelas adalah ayat-ayat yang
menguraikan tentang masa 'iddaħ.[13]
Di antara hadits Rasulullah yang menjelaska perceraian adalah:
‫ك (رواه ابن‬%%‫د مل‬%%‫ق إال بع‬%%‫اح وال عت‬%%‫د نك‬%%‫ق إال بع‬%%‫ ال طل‬:‫م‬.‫ول اهلل ص‬%%‫ قال رس‬:‫عن جابر رضي اهلل عنه قال‬
]14[)‫ماجة‬
"Diterima dari Jabir r.a, ia berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: tidak ada talak
kecuali setelah ada pernikahan, dan tidak memerdekakan budak kecuali setelah ada
kepemilikan" (H.R. Abu Yu'la dan Hakim men-shahih-kannya).
Hadits diatas menjelaskan bahwa talak dapat dijatuhkan setelah adanya akad pernikahan
dan tindakan memerdekakan budak baru dapat berlaku dan mempunyai konsekuensi hukum
apabila telah ada kepemilikan. Hal itu berarti bahwa talak mendapat legalitas dari syara'.
Begitu juga hadits Nabi SAW yang lebih kurang semakna dengan hadits di atas, yaitu:
‫ه‬%%‫ق ل‬%‫ك وال عت‬%‫ا ال ميل‬%‫ذر البن آدم فيم‬%‫م ال ن‬.‫ول اهلل ص‬%‫ال رس‬%‫ عن أبيه عن جده قال ق‬%‫عن عمرو بن سعيب‬
‫ح‬%‫ه أص‬%‫اري أن‬%‫ل عن البخ‬%‫ححه ونق‬%‫ذي وص‬%‫وا داود والرتم‬%‫ه أب‬%‫ك (أخرج‬%‫ا ال ميل‬%‫ه بيم‬%‫ق ل‬%‫ك وال طل‬%‫فيما ال ميل‬
]15[)‫ما رواه فيه‬
"Dari 'Amru bin Syu'aib, dari bapaknya dari kakeknya, ia berkata bahwa Nabi SAW pernah
bersabda: tidak ada (kewajiban menunaikan) nadzar bagi anak adam (manusia) terhadap
nadzar yang belum ia miliki, tidak ada kemerdekaan budak baginya terhadap apa yang tidak ia
miliki " (H.R. abu Daud dan al-Tirmidzi men-shahih-kannya. Dinukilkan dari al-bukhari bahwa
hadits ini adalah hadits yang paling shahih tentang topic ini).

Begitu juga hadits Nabi SAW berikut:


‫ل الطالق‬%% ‫ال أبغض احلالل إىل اهلل عزوج‬%% ‫لم ق‬%% ‫ه وس‬%% ‫لى اهلل علي‬%% ‫يب ص‬%% ‫ا عن الن‬%% ‫ي اهلل عنهم‬%% ‫ر رض‬%% ‫عن ابن عم‬
]16[%)‫(رواه أبو داود وابن ماجة وصححه احلاكم ورجح أبو حامت ارساله‬
"Diterima dari ibnu 'Umar r.a berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: Perbuatan
halal yang paling dibenci Allah SWT adalah talak" (H.R. Abu Daud dan Ibn Majjah, al-Hakim
men-Shahih-kanny namun Abu Hatim menyatkan mursal-nya).

Berdasarkan hadits diatas dapat dipahami bahwa meskipun Rasulullah SAW menyatakan
bahwa talak itu adalah perbuatan halal yang paling dibenci Allah SWT- sehingga menurut para
ulama hanya boleh terjadi jika benar-benar terpaksa, namun walau bagaimanapun tetap mendapat
legalitas dari syara'.
Juga hadits Nabi SAW berikut:
‫ه‬%%‫لى اهلل علي‬%%‫لم ص‬%%‫ول اهلل وس‬%%‫ائض على رس‬%%‫ه وهي ح‬%%‫ق امرأت‬%%‫ه طل‬%%‫ا أن‬%%‫ي اهلل عنهم‬%%‫ر رض‬%%‫د اهلل بن عم‬%%‫عن عب‬
‫ه‬%%‫لى اهلل علي‬%%‫ول اهلل ص‬%%‫ال رس‬%%‫ك فق‬%%‫لم عن ذل‬%%‫ه وس‬%%‫لى اهلل علي‬%%‫ول اهلل ص‬%%‫اب رس‬%%‫ر بن اخلط‬%%‫أل عم‬%%‫لم فس‬%%‫وس‬
‫ل‬%%‫ق قب‬%%‫اء طل‬%%‫د وإن ش‬%%‫ك بع‬%%‫اء أمس‬%%‫ر مث إن ش‬%%‫ر مث حتيض مث تطه‬%%‫ىت تطه‬%%‫كها ح‬%%‫ا مث ليمس‬%%‫ره فلريجعه‬%%‫لم ( م‬%‫وس‬
]17[)‫ عليه‬%‫أن ميس فتلك العدة اليت أمر اهلل أن تطلق هلا النساء (متفق‬
"Diterima dari Ibnu 'Umar, sesungguhnya ia menjatuhkan talak isterinya, yang mana isterinya
itu berada dalam keadaan haid, pada masa Rasulullah SAW. kemudoan Umar berkata: aku
menanyakan kepada Rasulullah SAW tentang hal itu, maka Rasulullah menjawab: suruh ia
untuk merujukinya, kemudian hendaklah ia memegangnya sampai ia suci kemudian haid
kemudian suci. Jika ia mau peganglah atau ia talak sebelum disetubuhi. Itulah 'iddah yang telah
ditetapkan Allah untuk menjatuhkan talak para wanita" (H.R. Muttafaq Alaih).
Berdasarkan kasus yang terjadi pada Ibnu 'Umar tersebut, Rasulullah SAW memberikan
jalan keluarnya, sekaligus menjadi pedoman bagi umat Islam pada umumnya. Dalam hadits
diatas Rasulullah SAW menyebutkan secara jelas dan tegas bahwa talak boleh dilakukan. Oleh
karena itu juga dapat dipahami bahwa talak memang mendapat legalitas dari syara'.
Di samping legalitas syara' yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah diatas, para ulama
juga telah menyepakati dalam bentuk ijma' terhadap kebolehan menjatuhkan talak tersebut.[18]
Legalisasi yang diberikan oleh syara' terhadap pensyari'atan talak itu juga didukung oleh dalil
logika, dimana apabila kondisi antara suami dan isteri itu memburuk sehingga jika sepasang
suami dan isteri itu dipaksa umtuk mempertahankan perkawinannya, justru akan menimbulkan
ke-mafsadat-an dan ke-mudharat-an saja. Dalam kondisi seperti itu tidak logis mempertahankan
perkawinan tersebut, sebab hanya akan memeperpanjang situasi buruk, mafsadah dan ke-
mudharat-an tersebut.[19]
Dengan demikian, berdasarkan uraian diatas dapat dipahami bahwa meskipun menurut
pendapat ashah, hukum asal dari talak itu adalah mahzur (dilarang) kecuali karena alasan-alasan
yang sudah masuk kedalam kategori hâjaħ,[20] namun walau bagaimanapun, talak memang
disyari'atkan dalam islam berdasarkan beberapa ayat dan hadits Nabi SAW yang telah penulis
kemukakan diatas.

[1] Ibn Manzhur, Lisan al-'Arab, (Beirut: Dar al-Ihya` al-Turats al-'Arabiy, 1992), cet. Ke-2, Jilid
8, h. 188
[2] Ali bin Muhammad al-Jurjaniy, Kitab al-Ta'rifat, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1998),
cet. Ke-3, h. 141. Lihat juga: Muhammad Ruwas Qal'ahjiy dan Hamid Shadiq Qinyabiy, Mu'jam
Lughaħ al-Fuqahâ`, 'Arabiy-Ingliziy Divorce Repudiction, (Riyadh: Dar al-Nafa`is, 1988), h.
281
[3] Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuh, (Damaskus, Dâr al-Fikr, 1989), cet.
Ke-3, Juz 7, h. 356
[4] Al-Sayyid Abi Bakr (al-Sayyid al-Bakr), I'ânât al-Thâlibîn, (Beirut: Dar Ihya` al-Turats
al-'Arabiy, t.th.), Juz 4, h. 2
[5] Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), Juz 2, h. 206
[6] Abdurrahman al-Jaziriy, al-Fiqħ 'Ala Madzâħib al-Arba'aħ, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), Juz 4,
h. 279
[7] Ibid., h. 278
[8] Ibid., h. 279
[9] Abu Bakr Ahmad al-Raziy al-Jashshash, Ahkâm al-Qur`ân, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), Juz 3,
h. 677
[10] Muhammad Sulayman 'Abdillah al-'Asyqar, Zubdat al-Tafsîr, (Riyadh: Maktabah Dar al-
Salam, 1994), h. 748. Lihat Juga: 'Imad al-Din Abi al-Fida' Isma'il Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur`ân
al-'Azhîm, (Riyadh: Maktabah Dar al-Salam, 1994), Juz 4, h. 484
[11] 'Iddaħ adalah suatu masa yang mana pada masa itu seorang perempuan menunggu dan
terlarang untuk menikah setelah suaminya wafat atau menceraikannya. Lihat: Sabiq, op.cit., h.
277
[12] Muhammad 'Ali al-Sayis, Tafsîr Âyât al-Ahkâm, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.th.),
Jilid 1, h. 154
[13] Ketentuan tidak adanya 'iddah isteri yang belum disetubuhi terdapat dalam surat al-Ahzâb
[33] ayat 49. 'Iddah perempuan yang ditinggal mati adalah empat bulan sepuluh hari ditetapkan
dalam surat al-Baqaraħ [2] ayat 234. 'Iddah perempuan yang masih haid dan tidak ditinggal mati
adalah tiga kali quru' (menurut ulama Syafi'iyyah berarti suci dan menurut ulama Hanafiyyah
berarti haid) ditetapkan dalam surat al-Baqaraħ [2] ayat 228. 'Iddah perempuan hamil (sampai
melahirkan) ditetapkan dalam surat al-Thalâq [65] ayat 4.
[14] Muhammad Fu`ad Abd al-Baqiy, Sunan Ibn Mâjaħ, (Beirut al-Maktabah al-'Ilmiyyah, t.th.),
Juz 1, h. 660
[15] Muhammad Ibn Isma'il al-Kahlaniy, Subul al-Salâm; Syarh Bulûgh al-Marâm min Adillaħ
al-Ahkâm, (Bandung: Dahlan, t.th.), Juz
[16] Ahmad ibn 'Ali ibn Hajar al-'Asqalaniy, Bulugh al-Maram min Adillat al-Ahkâm, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1989), h. 225. Lihat Juga al-Baqiy, op.cit., h. 650
[17] Muhamad Zahid ibn al-Hasan al-Kawtsariy, Tartîb Musnad al-Imâm al-Syâfi'iy, (Bandung:
Maktabah Dahlan, 1990), Jilid 1, h. 32-33. Lihat juga: 'Utsman, op.cit., h. 228
[18] Al-Zuhayliy, op.cit., h. 357
[19] Ibid.
[20] Sabiq, op.cit., h. 207

Talak sebagai salah satu penyebab putusnya perkawinan merupakan topik yang selalu
harus dibicarakan ketika membahas persoalan pernikahan. Walau ia bagian dari bahasan
pernikahan, bukan berarti wacana tentang talak ini bias dianggap sederhana dan “sempit”. Ada
banyak persoalan yang mesti dan lazim menjadi bagiannya, mulai dari pengertian, dasar hukum,
rukun dan syarat, macam-macamnya aplikasi dan relevansinya dengan hukum positif Indonesia
dan sebagainya. Karena itu, tulisan tentang persoalan tersebut akan ditampilkan dalam beberapa
postingan. Postingan awal ini berupa penjelasan dasar tentangnya, yaitu tentang pengertian dan
dasar hukum talak.

Pengertian Talak
Talak berasal dari Bahasa Arab, yaitu al-thalâq. Kata al-thalaq merupakan bentuk
mashdar dari kata thalaqa (fi'il mâdhiy)-yathluqu (fi'il mudhâri'). Secara etimologi kata al-thalâq
berarti: lâ qayda 'alaiha wa kadzalika al-khaliyyaħ[1] (tidak ada ikatan atasnya dan juga berarti
meninggalkan). Dengan redaksi lain, 'Ali ibn Muhammad Al-Jurjaniy[2] mengemukakan
pengertian etimologi dari kata Al-thalaq itu dengan: Izâlat al-qayd wa al-takhliyyaħ
(menghilangkan ikatan dan meninggalkan). Dalam pengertian etimologi, kata al-thalâq tersebut
digunakan untuk menyatakan: "melepaskan ikatan secara hissiy, namun 'urf mengkhususkan
pengertian al-thalâq itu kepada: "melepaskan ikatan secara ma'nawiy"[3]
Sedangkan pengertian talak secara terminology telah dikemukakan pula oleh para ulama
fikih. Menurut al-Sayyid al-Bakar (ulama Syafi'iyah), talak adalah:
]4[‫والسراح‬ ‫حل عقد النكاح باللفظ الآليت وهي الطالق والفراق‬
Melepaskan akad pernikahan dengan menggunakan lafal berikut: al-thalaq, al-firaq dan al-sarrah

Adapun menurut al-Sayyid Sabiq, talak adalah:


]5[‫الزوجية‬ ‫ الزواج وإهناء العالقة‬%‫حل الرابطة‬
Melepaskan ikatan dan mengakhiri hubungan perkawinan

Ulama Malikiyyah mendefinisikan makna talak tersebut dengan mengdepankan


konsekuensi yang ditimbulkan oleh keberadaan talak itu dan penekanan terhadap perbedaan
antara talak raj'iy dan talak Ba'in. manurut mereka talak adalah:
]6[‫بغريه‬ ‫ مرتني حرمت عليه قبل التزويج‬%‫صفة حكمية ترفع حلية متتع الزوج بزوجيته حبيث لو تكررت منه‬
Suatu sifat hukmi yang mengangkat halalnya bersenang-senang antara seorang suami dengan
isterinya, yang mana apabila hal itu telah dilakukan dua kali maka diharamkan atasnya (untuk
menikahi) sebelum ia menikah dengan orang lain.

Menurut 'Abd al-Rahman al-Jaziri, tidak dikedepankan secara eksplisit kalimat atau
istilah bermakna raj'iy dan ba'in dalam definisi yang dikemukakan oleh al-Sayyid al-Bakar
(Syafi'iyyah) diatas sehingga dapat merangkum kedua kategori talak tersebut disebabkan, karena
menurut ulama syafi'iyyah talak raj'iy itu juga mengangkat ikatan pernikahan sehingga seorang
suami yang menjatuhkan talak raj'iy terhadap isterinya maka ia tidak boleh menyetubuhinya
sampai suami tersebut telah merujukinya, baik dengan lafal sharih atau kinayah.[7] sedangkan
menurut ulama Malikiyyah, apabila suami meniatkan untuk rujuk ketika menyetubuhi isterinya
itu maka rujuknya sudah dianggap sah. Bahkan para ulama dikalangan Hanafiyyah dan
Hanabilah berpendapat bahwa ketika suami menyetubuhi isterinya  yang sedang berada dalam
masa 'iddah maka sudah dianggap sudah rujuk, meskipun ia tidak meniatkan untuk itu.[8]
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa talak adalah melepaskan
ikatan pernikahan, baik dalam bentuk raj'iy maupun ba'in, dengan lafal-lafal yang ditentukan,
baik dalam bentuk sharih maupun kinayah sehingga antara kedua orang tersebut tidak dihalalkan
lagi untuk "bersenang-senang".

Dasar Hukum Talak


Talak sebagai salah satu yang disyaratkan dalam agama Islam, tentunya telah
mendapatkan legalitas oleh sayara'. Dasar pensyariatan hokum talak tersebut terdapat dalam Al-
Quran dan Sunnah, serta telah disepakati oleh Ulama dalam bentuk ijma' terhadap legalitasnya.
Diantara dasar hokum talak yang terdapat dalam Al-Quran adalah:
‫وهتن وال‬%%‫وهن من بي‬%%‫وا اهلل ربكم ال خترج‬%%‫دة واتق‬%%‫وا الع‬%%‫دهتن وأحص‬%%‫وهن لع‬%%‫يا أيها النيب إذا طلقتم النساء فطلق‬
‫ل اهلل‬%%‫دري لع‬%%‫ه ال ت‬%%‫د ظلم نفس‬%%‫دود اهلل فق‬%%‫د ح‬%%‫دود اهلل ومن يتع‬%%‫ك ح‬%%‫ وتل‬%‫ة‬%‫ة مبين‬%%‫أتني بفاحش‬%%‫خيرجن إال أن ي‬
‫حيدث بعد ذلك أمرا‬
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka
pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu
serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah
mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji
yang terang[1482]. Itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim
terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu
sesuatu hal yang baru

Ayat diatas secara jelas menguraikan petunjuk atau aturan tentang waktu dan tata cara
menjatuhkan talak, kepada Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi, meskipun yang di khitabb
dalam ayat tersebut hanya Nabi Muhammad SAW, namun menurut para mufassir, kandungan
hokum yang terdapat dalam ayat itu tetap menjangkau dan berlaku bagi umatnya.
Dalam mengomentari pengkhususan khitab terhadap Nabi Muhammad SAW dalam ayat
diatas, Abu Bakar, sebagaimana yang dikutip oleh Abi Bakr Ahmad al-Razi al-Jashshash,
mengemukakan sebagai berikut:
"Abu Bakar berkata: Pengkhususan khitab ayat terhadap Nabi Muhammad SAW membawa
beberapa kemungkinan pengertian; a). sudah diketahui bahwa hokum atau ketentuan apa saja
yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW, juga ditujukan kepada umatnya. Sebab umatnya
tersebut diperintahkan untuk mengikuti apa saja yang diperintahka kepada Nabi SAW, kecuali
beberapa hala yang dikhususkan kepada Nabi SAW. b). pada awal potongan ayat tersebut, di
taqdirkan kalimat: Ya ayyuha al-Nabi qul li ummatika idza thallaqtum al-nisa'….(Hai Nabi,
katakanlah kepada umatmu: Apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu…), dan c). Biasanya,
apabila yang dikhitab itu adalah Pemimpinnya, maka pengikutnya telah termasuk didalamnya.
[9]

Jadi menurut Abu Bakar tersebuut, meskipun dalam ayat khitab-nya dikhususkan kepada
Nabi Muhammad SAW namun tetap berlaku bagi umatnya.
Muhammad Sulaiman 'Abdillah al-'Asyqar dan Ibn Katsir berpendapat bahwa
didahulukannya khitab tersebut kepada Nabi Muhammad SAW hanya berfungsi sebagai
penghormatan dan memuliakan Nabi Muhammad SAW. ketentuan yang terdapat dalam ayat di
atas, menurut kedua mufassir tersebut, juga berfungsi bagi Umatnya, sebab setelah khitab itu
ditujuakan kepada Nabi SAW, Allah SWT menujukannya kepada Nabi SAW dan umatnya, yaitu
dengan menggunakan khitab plural pada kata "thalaqtum".[10]
Begitu juga firman Allah SWT dalam surat al-Baqaraħ [2] ayat 231:
‫دوا‬%%‫رارا لتعت‬%%‫كوهن ض‬%%‫روف وال متس‬%%‫رحوهن مبع‬%%‫روف أو س‬%%‫كوهن مبع‬%%‫اء فبلغن أجلهن فأمس‬%%‫وإذا طلقتم النس‬
‫زل عليكم من‬%%‫ا أن‬%%‫ة اهلل عليكم وم‬%%‫روا نعم‬%%‫زوا واذك‬%%‫ات اهلل ه‬%%‫ذوا آي‬%%‫ه وال تتخ‬%%‫د ظلم نفس‬%%‫ك فق‬%%‫ل ذل‬%%‫ومن يفع‬
‫الكتاب واحلكمة يعظكم به واتقوا اهلل واعلموا أن اهلل بكل شيء عليم‬
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah
mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula).
Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu
menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim
terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah
nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al
Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya
itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu

Dalam ayat diatas Allah SWT menjelaskan bahwa seorang suami yang menjatuhakan
kepada isterinya hendaklah tidak menganiaya isterinya dengan cara mengupayakan agar isterinya
tersebut berada dalam masa 'idah yang panjang. Ayat tersebut diatas merupakan kritikan keras
terhadap kasus yang dipraktekkan oleh Tsabit Ibnu Basyar, seorang laki-laki dari golongan
Anshar, dimana ia menjatuhkan talak isterinya namun ketika masa 'iddah-nya tinggal dua atau
tiga hari lagi, lalu ia rujuk kepada isterinya, kemudian ia kembali menjatuhkan talak isterinya
untuk yang kedua  dan begitu seterusnya sehingga isterinya tersebut selalu berada dalam masa
'iddah[11] selama sembilan bulan, dengan maksud menganiayanya. Oleh karena itulah sehingga
Allah menurunkan ayat diatas. Demikian asbâb al-nuzûl ayat tersebut menurut Suday.[12]
Dua ayat diatas secara eksplisit menjelaskan kepada kita bahwa talak memang
disayriatkan dan mendapat legalitas dari syar'i. disamping dua ayat tersebut masih banyak ayat-
ayat yang menjelaskan tentang talak, terutama yang cukup jelas adalah ayat-ayat yang
menguraikan tentang masa 'iddaħ.[13]
Di antara hadits Rasulullah yang menjelaska perceraian adalah:
‫ك (رواه ابن‬%%‫د مل‬%%‫ق إال بع‬%%‫اح وال عت‬%%‫د نك‬%%‫ق إال بع‬%%‫ ال طل‬:‫م‬.‫ول اهلل ص‬%%‫ قال رس‬:‫عن جابر رضي اهلل عنه قال‬
]14[)‫ماجة‬
"Diterima dari Jabir r.a, ia berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: tidak ada talak
kecuali setelah ada pernikahan, dan tidak memerdekakan budak kecuali setelah ada
kepemilikan" (H.R. Abu Yu'la dan Hakim men-shahih-kannya).

Hadits diatas menjelaskan bahwa talak dapat dijatuhkan setelah adanya akad pernikahan
dan tindakan memerdekakan budak baru dapat berlaku dan mempunyai konsekuensi hukum
apabila telah ada kepemilikan. Hal itu berarti bahwa talak mendapat legalitas dari syara'.
Begitu juga hadits Nabi SAW yang lebih kurang semakna dengan hadits di atas, yaitu:
‫ه‬%%‫ق ل‬%‫ك وال عت‬%‫ا ال ميل‬%‫ذر البن آدم فيم‬%‫م ال ن‬.‫ول اهلل ص‬%‫ال رس‬%‫ عن أبيه عن جده قال ق‬%‫عن عمرو بن سعيب‬
‫ح‬%‫ه أص‬%‫اري أن‬%‫ل عن البخ‬%‫ححه ونق‬%‫ذي وص‬%‫وا داود والرتم‬%‫ه أب‬%‫ك (أخرج‬%‫ا ال ميل‬%‫ه بيم‬%‫ق ل‬%‫ك وال طل‬%‫فيما ال ميل‬
]15[)‫ما رواه فيه‬
"Dari 'Amru bin Syu'aib, dari bapaknya dari kakeknya, ia berkata bahwa Nabi SAW pernah
bersabda: tidak ada (kewajiban menunaikan) nadzar bagi anak adam (manusia) terhadap
nadzar yang belum ia miliki, tidak ada kemerdekaan budak baginya terhadap apa yang tidak ia
miliki " (H.R. abu Daud dan al-Tirmidzi men-shahih-kannya. Dinukilkan dari al-bukhari bahwa
hadits ini adalah hadits yang paling shahih tentang topic ini).

Begitu juga hadits Nabi SAW berikut:


‫ل الطالق‬%% ‫ال أبغض احلالل إىل اهلل عزوج‬%% ‫لم ق‬%% ‫ه وس‬%% ‫لى اهلل علي‬%% ‫يب ص‬%% ‫ا عن الن‬%% ‫ي اهلل عنهم‬%% ‫ر رض‬%% ‫عن ابن عم‬
]16[%)‫(رواه أبو داود وابن ماجة وصححه احلاكم ورجح أبو حامت ارساله‬
"Diterima dari ibnu 'Umar r.a berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: Perbuatan
halal yang paling dibenci Allah SWT adalah talak" (H.R. Abu Daud dan Ibn Majjah, al-Hakim
men-Shahih-kanny namun Abu Hatim menyatkan mursal-nya).

Berdasarkan hadits diatas dapat dipahami bahwa meskipun Rasulullah SAW menyatakan
bahwa talak itu adalah perbuatan halal yang paling dibenci Allah SWT- sehingga menurut para
ulama hanya boleh terjadi jika benar-benar terpaksa, namun walau bagaimanapun tetap mendapat
legalitas dari syara'.
Juga hadits Nabi SAW berikut:
‫ه‬%%‫لى اهلل علي‬%%‫لم ص‬%%‫ول اهلل وس‬%%‫ائض على رس‬%%‫ه وهي ح‬%%‫ق امرأت‬%%‫ه طل‬%%‫ا أن‬%%‫ي اهلل عنهم‬%%‫ر رض‬%%‫د اهلل بن عم‬%%‫عن عب‬
‫ه‬%%‫لى اهلل علي‬%%‫ول اهلل ص‬%%‫ال رس‬%%‫ك فق‬%%‫لم عن ذل‬%%‫ه وس‬%%‫لى اهلل علي‬%%‫ول اهلل ص‬%%‫اب رس‬%%‫ر بن اخلط‬%%‫أل عم‬%%‫لم فس‬%%‫وس‬
‫ل‬%%‫ق قب‬%%‫اء طل‬%%‫د وإن ش‬%%‫ك بع‬%%‫اء أمس‬%%‫ر مث إن ش‬%%‫ر مث حتيض مث تطه‬%%‫ىت تطه‬%%‫كها ح‬%%‫ا مث ليمس‬%%‫ره فلريجعه‬%%‫لم ( م‬%‫وس‬
]17[)‫ عليه‬%‫أن ميس فتلك العدة اليت أمر اهلل أن تطلق هلا النساء (متفق‬
"Diterima dari Ibnu 'Umar, sesungguhnya ia menjatuhkan talak isterinya, yang mana isterinya
itu berada dalam keadaan haid, pada masa Rasulullah SAW. kemudoan Umar berkata: aku
menanyakan kepada Rasulullah SAW tentang hal itu, maka Rasulullah menjawab: suruh ia
untuk merujukinya, kemudian hendaklah ia memegangnya sampai ia suci kemudian haid
kemudian suci. Jika ia mau peganglah atau ia talak sebelum disetubuhi. Itulah 'iddah yang telah
ditetapkan Allah untuk menjatuhkan talak para wanita" (H.R. Muttafaq Alaih).

Berdasarkan kasus yang terjadi pada Ibnu 'Umar tersebut, Rasulullah SAW memberikan
jalan keluarnya, sekaligus menjadi pedoman bagi umat Islam pada umumnya. Dalam hadits
diatas Rasulullah SAW menyebutkan secara jelas dan tegas bahwa talak boleh dilakukan. Oleh
karena itu juga dapat dipahami bahwa talak memang mendapat legalitas dari syara'.
Di samping legalitas syara' yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah diatas, para ulama
juga telah menyepakati dalam bentuk ijma' terhadap kebolehan menjatuhkan talak tersebut.[18]
Legalisasi yang diberikan oleh syara' terhadap pensyari'atan talak itu juga didukung oleh dalil
logika, dimana apabila kondisi antara suami dan isteri itu memburuk sehingga jika sepasang
suami dan isteri itu dipaksa umtuk mempertahankan perkawinannya, justru akan menimbulkan
ke-mafsadat-an dan ke-mudharat-an saja. Dalam kondisi seperti itu tidak logis mempertahankan
perkawinan tersebut, sebab hanya akan memeperpanjang situasi buruk, mafsadah dan ke-
mudharat-an tersebut.[19]
Dengan demikian, berdasarkan uraian diatas dapat dipahami bahwa meskipun menurut
pendapat ashah, hukum asal dari talak itu adalah mahzur (dilarang) kecuali karena alasan-alasan
yang sudah masuk kedalam kategori hâjaħ,[20] namun walau bagaimanapun, talak memang
disyari'atkan dalam islam berdasarkan beberapa ayat dan hadits Nabi SAW yang telah penulis
kemukakan diatas.
[1] Ibn Manzhur, Lisan al-'Arab, (Beirut: Dar al-Ihya` al-Turats al-'Arabiy, 1992), cet. Ke-2, Jilid
8, h. 188
[2] Ali bin Muhammad al-Jurjaniy, Kitab al-Ta'rifat, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1998),
cet. Ke-3, h. 141. Lihat juga: Muhammad Ruwas Qal'ahjiy dan Hamid Shadiq Qinyabiy, Mu'jam
Lughaħ al-Fuqahâ`, 'Arabiy-Ingliziy Divorce Repudiction, (Riyadh: Dar al-Nafa`is, 1988), h.
281
[3] Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuh, (Damaskus, Dâr al-Fikr, 1989), cet.
Ke-3, Juz 7, h. 356
[4] Al-Sayyid Abi Bakr (al-Sayyid al-Bakr), I'ânât al-Thâlibîn, (Beirut: Dar Ihya` al-Turats
al-'Arabiy, t.th.), Juz 4, h. 2
[5] Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), Juz 2, h. 206
[6] Abdurrahman al-Jaziriy, al-Fiqħ 'Ala Madzâħib al-Arba'aħ, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), Juz 4,
h. 279
[7] Ibid., h. 278
[8] Ibid., h. 279
[9] Abu Bakr Ahmad al-Raziy al-Jashshash, Ahkâm al-Qur`ân, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), Juz 3,
h. 677
[10] Muhammad Sulayman 'Abdillah al-'Asyqar, Zubdat al-Tafsîr, (Riyadh: Maktabah Dar al-
Salam, 1994), h. 748. Lihat Juga: 'Imad al-Din Abi al-Fida' Isma'il Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur`ân
al-'Azhîm, (Riyadh: Maktabah Dar al-Salam, 1994), Juz 4, h. 484
[11] 'Iddaħ adalah suatu masa yang mana pada masa itu seorang perempuan menunggu dan
terlarang untuk menikah setelah suaminya wafat atau menceraikannya. Lihat: Sabiq, op.cit., h.
277
[12] Muhammad 'Ali al-Sayis, Tafsîr Âyât al-Ahkâm, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.th.),
Jilid 1, h. 154
[13] Ketentuan tidak adanya 'iddah isteri yang belum disetubuhi terdapat dalam surat al-Ahzâb
[33] ayat 49. 'Iddah perempuan yang ditinggal mati adalah empat bulan sepuluh hari ditetapkan
dalam surat al-Baqaraħ [2] ayat 234. 'Iddah perempuan yang masih haid dan tidak ditinggal mati
adalah tiga kali quru' (menurut ulama Syafi'iyyah berarti suci dan menurut ulama Hanafiyyah
berarti haid) ditetapkan dalam surat al-Baqaraħ [2] ayat 228. 'Iddah perempuan hamil (sampai
melahirkan) ditetapkan dalam surat al-Thalâq [65] ayat 4.
[14] Muhammad Fu`ad Abd al-Baqiy, Sunan Ibn Mâjaħ, (Beirut al-Maktabah al-'Ilmiyyah, t.th.),
Juz 1, h. 660
[15] Muhammad Ibn Isma'il al-Kahlaniy, Subul al-Salâm; Syarh Bulûgh al-Marâm min Adillaħ
al-Ahkâm, (Bandung: Dahlan, t.th.), Juz
[16] Ahmad ibn 'Ali ibn Hajar al-'Asqalaniy, Bulugh al-Maram min Adillat al-Ahkâm, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1989), h. 225. Lihat Juga al-Baqiy, op.cit., h. 650
[17] Muhamad Zahid ibn al-Hasan al-Kawtsariy, Tartîb Musnad al-Imâm al-Syâfi'iy, (Bandung:
Maktabah Dahlan, 1990), Jilid 1, h. 32-33. Lihat juga: 'Utsman, op.cit., h. 228
[18] Al-Zuhayliy, op.cit., h. 357
[19] Ibid.
[20] Sabiq, op.cit., h. 207
Talak sebagai salah satu penyebab putusnya perkawinan merupakan topik yang selalu
harus dibicarakan ketika membahas persoalan pernikahan. Walau ia bagian dari bahasan
pernikahan, bukan berarti wacana tentang talak ini bias dianggap sederhana dan “sempit”. Ada
banyak persoalan yang mesti dan lazim menjadi bagiannya, mulai dari pengertian, dasar hukum,
rukun dan syarat, macam-macamnya aplikasi dan relevansinya dengan hukum positif Indonesia
dan sebagainya. Karena itu, tulisan tentang persoalan tersebut akan ditampilkan dalam beberapa
postingan. Postingan awal ini berupa penjelasan dasar tentangnya, yaitu tentang pengertian dan
dasar hukum talak.

Pengertian Talak
Talak berasal dari Bahasa Arab, yaitu al-thalâq. Kata al-thalaq merupakan bentuk
mashdar dari kata thalaqa (fi'il mâdhiy)-yathluqu (fi'il mudhâri'). Secara etimologi kata al-thalâq
berarti: lâ qayda 'alaiha wa kadzalika al-khaliyyaħ[1] (tidak ada ikatan atasnya dan juga berarti
meninggalkan). Dengan redaksi lain, 'Ali ibn Muhammad Al-Jurjaniy[2] mengemukakan
pengertian etimologi dari kata Al-thalaq itu dengan: Izâlat al-qayd wa al-takhliyyaħ
(menghilangkan ikatan dan meninggalkan). Dalam pengertian etimologi, kata al-thalâq tersebut
digunakan untuk menyatakan: "melepaskan ikatan secara hissiy, namun 'urf mengkhususkan
pengertian al-thalâq itu kepada: "melepaskan ikatan secara ma'nawiy"[3]
Sedangkan pengertian talak secara terminology telah dikemukakan pula oleh para ulama
fikih. Menurut al-Sayyid al-Bakar (ulama Syafi'iyah), talak adalah:
]4[‫والسراح‬ ‫حل عقد النكاح باللفظ الآليت وهي الطالق والفراق‬
Melepaskan akad pernikahan dengan menggunakan lafal berikut: al-thalaq, al-firaq dan al-sarrah

Adapun menurut al-Sayyid Sabiq, talak adalah:


]5[‫الزوجية‬ ‫ الزواج وإهناء العالقة‬%‫حل الرابطة‬
Melepaskan ikatan dan mengakhiri hubungan perkawinan
Ulama Malikiyyah mendefinisikan makna talak tersebut dengan mengdepankan
konsekuensi yang ditimbulkan oleh keberadaan talak itu dan penekanan terhadap perbedaan
antara talak raj'iy dan talak Ba'in. manurut mereka talak adalah:
]6[‫بغريه‬ ‫ مرتني حرمت عليه قبل التزويج‬%‫صفة حكمية ترفع حلية متتع الزوج بزوجيته حبيث لو تكررت منه‬
Suatu sifat hukmi yang mengangkat halalnya bersenang-senang antara seorang suami dengan
isterinya, yang mana apabila hal itu telah dilakukan dua kali maka diharamkan atasnya (untuk
menikahi) sebelum ia menikah dengan orang lain.

Menurut 'Abd al-Rahman al-Jaziri, tidak dikedepankan secara eksplisit kalimat atau
istilah bermakna raj'iy dan ba'in dalam definisi yang dikemukakan oleh al-Sayyid al-Bakar
(Syafi'iyyah) diatas sehingga dapat merangkum kedua kategori talak tersebut disebabkan, karena
menurut ulama syafi'iyyah talak raj'iy itu juga mengangkat ikatan pernikahan sehingga seorang
suami yang menjatuhkan talak raj'iy terhadap isterinya maka ia tidak boleh menyetubuhinya
sampai suami tersebut telah merujukinya, baik dengan lafal sharih atau kinayah.[7] sedangkan
menurut ulama Malikiyyah, apabila suami meniatkan untuk rujuk ketika menyetubuhi isterinya
itu maka rujuknya sudah dianggap sah. Bahkan para ulama dikalangan Hanafiyyah dan
Hanabilah berpendapat bahwa ketika suami menyetubuhi isterinya  yang sedang berada dalam
masa 'iddah maka sudah dianggap sudah rujuk, meskipun ia tidak meniatkan untuk itu.[8]
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa talak adalah melepaskan
ikatan pernikahan, baik dalam bentuk raj'iy maupun ba'in, dengan lafal-lafal yang ditentukan,
baik dalam bentuk sharih maupun kinayah sehingga antara kedua orang tersebut tidak dihalalkan
lagi untuk "bersenang-senang".

Dasar Hukum Talak


Talak sebagai salah satu yang disyaratkan dalam agama Islam, tentunya telah
mendapatkan legalitas oleh sayara'. Dasar pensyariatan hokum talak tersebut terdapat dalam Al-
Quran dan Sunnah, serta telah disepakati oleh Ulama dalam bentuk ijma' terhadap legalitasnya.
Diantara dasar hokum talak yang terdapat dalam Al-Quran adalah:
‫وهتن وال‬%%‫وهن من بي‬%%‫وا اهلل ربكم ال خترج‬%%‫دة واتق‬%%‫وا الع‬%%‫دهتن وأحص‬%%‫وهن لع‬%%‫يا أيها النيب إذا طلقتم النساء فطلق‬
‫ل اهلل‬%%‫دري لع‬%%‫ه ال ت‬%%‫د ظلم نفس‬%%‫دود اهلل فق‬%%‫د ح‬%%‫دود اهلل ومن يتع‬%%‫ك ح‬%%‫ وتل‬%‫ة‬%‫ة مبين‬%%‫أتني بفاحش‬%%‫خيرجن إال أن ي‬
‫حيدث بعد ذلك أمرا‬
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka
pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu
serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah
mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji
yang terang[1482]. Itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim
terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu
sesuatu hal yang baru

Ayat diatas secara jelas menguraikan petunjuk atau aturan tentang waktu dan tata cara
menjatuhkan talak, kepada Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi, meskipun yang di khitabb
dalam ayat tersebut hanya Nabi Muhammad SAW, namun menurut para mufassir, kandungan
hokum yang terdapat dalam ayat itu tetap menjangkau dan berlaku bagi umatnya.
Dalam mengomentari pengkhususan khitab terhadap Nabi Muhammad SAW dalam ayat
diatas, Abu Bakar, sebagaimana yang dikutip oleh Abi Bakr Ahmad al-Razi al-Jashshash,
mengemukakan sebagai berikut:
"Abu Bakar berkata: Pengkhususan khitab ayat terhadap Nabi Muhammad SAW membawa
beberapa kemungkinan pengertian; a). sudah diketahui bahwa hokum atau ketentuan apa saja
yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW, juga ditujukan kepada umatnya. Sebab umatnya
tersebut diperintahkan untuk mengikuti apa saja yang diperintahka kepada Nabi SAW, kecuali
beberapa hala yang dikhususkan kepada Nabi SAW. b). pada awal potongan ayat tersebut, di
taqdirkan kalimat: Ya ayyuha al-Nabi qul li ummatika idza thallaqtum al-nisa'….(Hai Nabi,
katakanlah kepada umatmu: Apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu…), dan c). Biasanya,
apabila yang dikhitab itu adalah Pemimpinnya, maka pengikutnya telah termasuk didalamnya.
[9]

Jadi menurut Abu Bakar tersebuut, meskipun dalam ayat khitab-nya dikhususkan kepada
Nabi Muhammad SAW namun tetap berlaku bagi umatnya.
Muhammad Sulaiman 'Abdillah al-'Asyqar dan Ibn Katsir berpendapat bahwa
didahulukannya khitab tersebut kepada Nabi Muhammad SAW hanya berfungsi sebagai
penghormatan dan memuliakan Nabi Muhammad SAW. ketentuan yang terdapat dalam ayat di
atas, menurut kedua mufassir tersebut, juga berfungsi bagi Umatnya, sebab setelah khitab itu
ditujuakan kepada Nabi SAW, Allah SWT menujukannya kepada Nabi SAW dan umatnya, yaitu
dengan menggunakan khitab plural pada kata "thalaqtum".[10]
Begitu juga firman Allah SWT dalam surat al-Baqaraħ [2] ayat 231:
‫دوا‬%%‫رارا لتعت‬%%‫كوهن ض‬%%‫روف وال متس‬%%‫رحوهن مبع‬%%‫روف أو س‬%%‫كوهن مبع‬%%‫اء فبلغن أجلهن فأمس‬%%‫وإذا طلقتم النس‬
‫زل عليكم من‬%%‫ا أن‬%%‫ة اهلل عليكم وم‬%%‫روا نعم‬%%‫زوا واذك‬%%‫ات اهلل ه‬%%‫ذوا آي‬%%‫ه وال تتخ‬%%‫د ظلم نفس‬%%‫ك فق‬%%‫ل ذل‬%%‫ومن يفع‬
‫الكتاب واحلكمة يعظكم به واتقوا اهلل واعلموا أن اهلل بكل شيء عليم‬
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah
mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula).
Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu
menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim
terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah
nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al
Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya
itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu

Dalam ayat diatas Allah SWT menjelaskan bahwa seorang suami yang menjatuhakan
kepada isterinya hendaklah tidak menganiaya isterinya dengan cara mengupayakan agar isterinya
tersebut berada dalam masa 'idah yang panjang. Ayat tersebut diatas merupakan kritikan keras
terhadap kasus yang dipraktekkan oleh Tsabit Ibnu Basyar, seorang laki-laki dari golongan
Anshar, dimana ia menjatuhkan talak isterinya namun ketika masa 'iddah-nya tinggal dua atau
tiga hari lagi, lalu ia rujuk kepada isterinya, kemudian ia kembali menjatuhkan talak isterinya
untuk yang kedua  dan begitu seterusnya sehingga isterinya tersebut selalu berada dalam masa
'iddah[11] selama sembilan bulan, dengan maksud menganiayanya. Oleh karena itulah sehingga
Allah menurunkan ayat diatas. Demikian asbâb al-nuzûl ayat tersebut menurut Suday.[12]
Dua ayat diatas secara eksplisit menjelaskan kepada kita bahwa talak memang
disayriatkan dan mendapat legalitas dari syar'i. disamping dua ayat tersebut masih banyak ayat-
ayat yang menjelaskan tentang talak, terutama yang cukup jelas adalah ayat-ayat yang
menguraikan tentang masa 'iddaħ.[13]
Di antara hadits Rasulullah yang menjelaska perceraian adalah:
‫ك (رواه ابن‬%%‫د مل‬%%‫ق إال بع‬%%‫اح وال عت‬%%‫د نك‬%%‫ق إال بع‬%%‫ ال طل‬:‫م‬.‫ول اهلل ص‬%%‫ قال رس‬:‫عن جابر رضي اهلل عنه قال‬
]14[)‫ماجة‬
"Diterima dari Jabir r.a, ia berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: tidak ada talak
kecuali setelah ada pernikahan, dan tidak memerdekakan budak kecuali setelah ada
kepemilikan" (H.R. Abu Yu'la dan Hakim men-shahih-kannya).
Hadits diatas menjelaskan bahwa talak dapat dijatuhkan setelah adanya akad pernikahan
dan tindakan memerdekakan budak baru dapat berlaku dan mempunyai konsekuensi hukum
apabila telah ada kepemilikan. Hal itu berarti bahwa talak mendapat legalitas dari syara'.
Begitu juga hadits Nabi SAW yang lebih kurang semakna dengan hadits di atas, yaitu:
‫ه‬%%‫ق ل‬%‫ك وال عت‬%‫ا ال ميل‬%‫ذر البن آدم فيم‬%‫م ال ن‬.‫ول اهلل ص‬%‫ال رس‬%‫ عن أبيه عن جده قال ق‬%‫عن عمرو بن سعيب‬
‫ح‬%‫ه أص‬%‫اري أن‬%‫ل عن البخ‬%‫ححه ونق‬%‫ذي وص‬%‫وا داود والرتم‬%‫ه أب‬%‫ك (أخرج‬%‫ا ال ميل‬%‫ه بيم‬%‫ق ل‬%‫ك وال طل‬%‫فيما ال ميل‬
]15[)‫ما رواه فيه‬
"Dari 'Amru bin Syu'aib, dari bapaknya dari kakeknya, ia berkata bahwa Nabi SAW pernah
bersabda: tidak ada (kewajiban menunaikan) nadzar bagi anak adam (manusia) terhadap
nadzar yang belum ia miliki, tidak ada kemerdekaan budak baginya terhadap apa yang tidak ia
miliki " (H.R. abu Daud dan al-Tirmidzi men-shahih-kannya. Dinukilkan dari al-bukhari bahwa
hadits ini adalah hadits yang paling shahih tentang topic ini).

Begitu juga hadits Nabi SAW berikut:


‫ل الطالق‬%% ‫ال أبغض احلالل إىل اهلل عزوج‬%% ‫لم ق‬%% ‫ه وس‬%% ‫لى اهلل علي‬%% ‫يب ص‬%% ‫ا عن الن‬%% ‫ي اهلل عنهم‬%% ‫ر رض‬%% ‫عن ابن عم‬
]16[%)‫(رواه أبو داود وابن ماجة وصححه احلاكم ورجح أبو حامت ارساله‬
"Diterima dari ibnu 'Umar r.a berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: Perbuatan
halal yang paling dibenci Allah SWT adalah talak" (H.R. Abu Daud dan Ibn Majjah, al-Hakim
men-Shahih-kanny namun Abu Hatim menyatkan mursal-nya).

Berdasarkan hadits diatas dapat dipahami bahwa meskipun Rasulullah SAW menyatakan
bahwa talak itu adalah perbuatan halal yang paling dibenci Allah SWT- sehingga menurut para
ulama hanya boleh terjadi jika benar-benar terpaksa, namun walau bagaimanapun tetap mendapat
legalitas dari syara'.
Juga hadits Nabi SAW berikut:
‫ه‬%%‫لى اهلل علي‬%%‫لم ص‬%%‫ول اهلل وس‬%%‫ائض على رس‬%%‫ه وهي ح‬%%‫ق امرأت‬%%‫ه طل‬%%‫ا أن‬%%‫ي اهلل عنهم‬%%‫ر رض‬%%‫د اهلل بن عم‬%%‫عن عب‬
‫ه‬%%‫لى اهلل علي‬%%‫ول اهلل ص‬%%‫ال رس‬%%‫ك فق‬%%‫لم عن ذل‬%%‫ه وس‬%%‫لى اهلل علي‬%%‫ول اهلل ص‬%%‫اب رس‬%%‫ر بن اخلط‬%%‫أل عم‬%%‫لم فس‬%%‫وس‬
‫ل‬%%‫ق قب‬%%‫اء طل‬%%‫د وإن ش‬%%‫ك بع‬%%‫اء أمس‬%%‫ر مث إن ش‬%%‫ر مث حتيض مث تطه‬%%‫ىت تطه‬%%‫كها ح‬%%‫ا مث ليمس‬%%‫ره فلريجعه‬%%‫لم ( م‬%‫وس‬
]17[)‫ عليه‬%‫أن ميس فتلك العدة اليت أمر اهلل أن تطلق هلا النساء (متفق‬
"Diterima dari Ibnu 'Umar, sesungguhnya ia menjatuhkan talak isterinya, yang mana isterinya
itu berada dalam keadaan haid, pada masa Rasulullah SAW. kemudoan Umar berkata: aku
menanyakan kepada Rasulullah SAW tentang hal itu, maka Rasulullah menjawab: suruh ia
untuk merujukinya, kemudian hendaklah ia memegangnya sampai ia suci kemudian haid
kemudian suci. Jika ia mau peganglah atau ia talak sebelum disetubuhi. Itulah 'iddah yang telah
ditetapkan Allah untuk menjatuhkan talak para wanita" (H.R. Muttafaq Alaih).
Berdasarkan kasus yang terjadi pada Ibnu 'Umar tersebut, Rasulullah SAW memberikan
jalan keluarnya, sekaligus menjadi pedoman bagi umat Islam pada umumnya. Dalam hadits
diatas Rasulullah SAW menyebutkan secara jelas dan tegas bahwa talak boleh dilakukan. Oleh
karena itu juga dapat dipahami bahwa talak memang mendapat legalitas dari syara'.
Di samping legalitas syara' yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah diatas, para ulama
juga telah menyepakati dalam bentuk ijma' terhadap kebolehan menjatuhkan talak tersebut.[18]
Legalisasi yang diberikan oleh syara' terhadap pensyari'atan talak itu juga didukung oleh dalil
logika, dimana apabila kondisi antara suami dan isteri itu memburuk sehingga jika sepasang
suami dan isteri itu dipaksa umtuk mempertahankan perkawinannya, justru akan menimbulkan
ke-mafsadat-an dan ke-mudharat-an saja. Dalam kondisi seperti itu tidak logis mempertahankan
perkawinan tersebut, sebab hanya akan memeperpanjang situasi buruk, mafsadah dan ke-
mudharat-an tersebut.[19]
Dengan demikian, berdasarkan uraian diatas dapat dipahami bahwa meskipun menurut
pendapat ashah, hukum asal dari talak itu adalah mahzur (dilarang) kecuali karena alasan-alasan
yang sudah masuk kedalam kategori hâjaħ,[20] namun walau bagaimanapun, talak memang
disyari'atkan dalam islam berdasarkan beberapa ayat dan hadits Nabi SAW yang telah penulis
kemukakan diatas.

[1] Ibn Manzhur, Lisan al-'Arab, (Beirut: Dar al-Ihya` al-Turats al-'Arabiy, 1992), cet. Ke-2, Jilid
8, h. 188
[2] Ali bin Muhammad al-Jurjaniy, Kitab al-Ta'rifat, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1998),
cet. Ke-3, h. 141. Lihat juga: Muhammad Ruwas Qal'ahjiy dan Hamid Shadiq Qinyabiy, Mu'jam
Lughaħ al-Fuqahâ`, 'Arabiy-Ingliziy Divorce Repudiction, (Riyadh: Dar al-Nafa`is, 1988), h.
281
[3] Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuh, (Damaskus, Dâr al-Fikr, 1989), cet.
Ke-3, Juz 7, h. 356
[4] Al-Sayyid Abi Bakr (al-Sayyid al-Bakr), I'ânât al-Thâlibîn, (Beirut: Dar Ihya` al-Turats
al-'Arabiy, t.th.), Juz 4, h. 2
[5] Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), Juz 2, h. 206
[6] Abdurrahman al-Jaziriy, al-Fiqħ 'Ala Madzâħib al-Arba'aħ, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), Juz 4,
h. 279
[7] Ibid., h. 278
[8] Ibid., h. 279
[9] Abu Bakr Ahmad al-Raziy al-Jashshash, Ahkâm al-Qur`ân, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), Juz 3,
h. 677
[10] Muhammad Sulayman 'Abdillah al-'Asyqar, Zubdat al-Tafsîr, (Riyadh: Maktabah Dar al-
Salam, 1994), h. 748. Lihat Juga: 'Imad al-Din Abi al-Fida' Isma'il Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur`ân
al-'Azhîm, (Riyadh: Maktabah Dar al-Salam, 1994), Juz 4, h. 484
[11] 'Iddaħ adalah suatu masa yang mana pada masa itu seorang perempuan menunggu dan
terlarang untuk menikah setelah suaminya wafat atau menceraikannya. Lihat: Sabiq, op.cit., h.
277
[12] Muhammad 'Ali al-Sayis, Tafsîr Âyât al-Ahkâm, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.th.),
Jilid 1, h. 154
[13] Ketentuan tidak adanya 'iddah isteri yang belum disetubuhi terdapat dalam surat al-Ahzâb
[33] ayat 49. 'Iddah perempuan yang ditinggal mati adalah empat bulan sepuluh hari ditetapkan
dalam surat al-Baqaraħ [2] ayat 234. 'Iddah perempuan yang masih haid dan tidak ditinggal mati
adalah tiga kali quru' (menurut ulama Syafi'iyyah berarti suci dan menurut ulama Hanafiyyah
berarti haid) ditetapkan dalam surat al-Baqaraħ [2] ayat 228. 'Iddah perempuan hamil (sampai
melahirkan) ditetapkan dalam surat al-Thalâq [65] ayat 4.
[14] Muhammad Fu`ad Abd al-Baqiy, Sunan Ibn Mâjaħ, (Beirut al-Maktabah al-'Ilmiyyah, t.th.),
Juz 1, h. 660
[15] Muhammad Ibn Isma'il al-Kahlaniy, Subul al-Salâm; Syarh Bulûgh al-Marâm min Adillaħ
al-Ahkâm, (Bandung: Dahlan, t.th.), Juz
[16] Ahmad ibn 'Ali ibn Hajar al-'Asqalaniy, Bulugh al-Maram min Adillat al-Ahkâm, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1989), h. 225. Lihat Juga al-Baqiy, op.cit., h. 650
[17] Muhamad Zahid ibn al-Hasan al-Kawtsariy, Tartîb Musnad al-Imâm al-Syâfi'iy, (Bandung:
Maktabah Dahlan, 1990), Jilid 1, h. 32-33. Lihat juga: 'Utsman, op.cit., h. 228
[18] Al-Zuhayliy, op.cit., h. 357
[19] Ibid.
[20] Sabiq, op.cit., h. 207

Anda mungkin juga menyukai