Anda di halaman 1dari 12

Ekologi Politik.

Studi Kasus : Gagasan Corporate Social


Responsibility (CSR) dalam Meredam Gejolak Social
Masyarakat Lokal (Masyarakat Indonesia Timur)
Posted by sansen situmorang under Analisa Politik, Konflik dan Konsensus, Politik Lingkungan,
Social, Political and Economic | Tag: Add new tag, Analisa Politik, Konflik dan Konsensus,
Political and Economic, Politik Lingkungan, Social |
Leave a Comment 

Sansen Situmorang

Ekologi Politik

Kajian ekologi politik sebelumnya merupakan hasil dari perkembangan dari ilmu pengetahuan
ecology manusia, dan sosiologi lingkungan. ekologi manusia untuk pertama kalinya di
perkenalkan oleh Haeckel pada tahun 1866. adalah suatu ilmu yang memiliki konsep tentang
hubungan manusia (human system) dengan alam (non‐human system) di biosfer.

ekologi manusia melakukan pengkajian-pengkajian pada isu-isu kehancuran alam dari perspektif
konflik-social dan mengkaji lembaga-kelembaga fungsional dalam tata hubungan manusia
dengan alam (Dunlap and Catton Jr, 1979). sehingga pengkajian mereka banyak di pengeruhi
oleh ekologi-biologi maupun sosiologi. sedangkan untuk menjelaskan keterkaitan hubungan
manusia dengan alam, mereka melakukan pendekatan-pendekatan pendekatan antropologi.

Pada perkembangan lebih lanjut ekologi manusia berevolusi secara struktur menjadi sosiologi
lingkungan yang berkembang kembali menjadi bidang baru yaitu ekologi politik. hal itu di
sebabkan berhasilnya riset-riset secara ilmiah, sehingga perkembangan tersebut dapat
memberikan banyak alternative terhadap berbagai persoalan-persoalan ekologis yang di hadapi
manusia dan alam.

Permasalaan manusia dengan alam pada saat ini sangat terasa dampaknya bagi kelangsungan
hidup manusia, hal ini dapat di jumpai di Indonesia baru-baru ini. seperti terjadinya kelangkaan
miyak fosil dan banyaknya ancaman-ancaman alam terhadap manusia seperti banjir, longsor dll.
hal itu membawa pengaruh terhadap ekosistem biosper dalam kehancuran bersama (manusia dan
alam) fenomena ini dapat berimplikasi baik secara social, ekonomi dan politik. hal inilah yang
menjadi agenda riset ekologi manusia di abab 20.

Di dasari ketidak pedulian partai politik di negara-negara berkembang termasuk Indonesia untuk
mengangkat isyu-isyu lingkungan dan pelestrarian sumberdaya alam maka para pemikir ekologi
manusia memperluas kajiannya untuk memasuki wilayah politik yang pada nantinya menjadi
ekologi politik. menurut Arya Hadi Dharmawan ada dua flatfom yang menjadi dasar. pertama,
“Ruang konflik”, sebagai ruang dimana proses produksi dan reproduksi kebijakan dan keputusan
politik yang melibatkan beragam kepentingan, dilangsungkan) Yang kedua adalah “Ruang‐
kekuasaan” (sebagai ruang dimana para pemegang otoritas kebijakan menjalankan
keputusan/kebijakan yang telah ditetapkan di ruang‐konflik).
Beberapa definisi tentang ekologi politik yang asumsinya adalah sama yaitu: “environmental
change and ecological conditions are (to some extent) the product of political processes”. Jika
keadaan lingkungan adalah produk dari proses‐proses politik, maka tidak terlepas pula dalam hal
ini adalah keterlibatan proses‐proses dialektik dalam politik ekonomi.

seperti pandangan Bryant mengenai ekologi politik menurutnya adalah suatu ilmu dinamika
politik material melingkupi dan lebih perjuangan seperti bersambungan lingkungan di dunia
ketiga. Sebagai tema yang terpenting adalah peran hubungan kekuasaan tak sama di konstitusi
lingkungan meningkatkan kesadaran politik. perhatian tertentu di fokuskan pada konflik yang di
timbulkan karena adanya akses lingkungan yang dihubungkan ke sistem politik dan
hubungannya dengan ekonomi. Ekologi politik memfokuskan pada ditingkat masyarakat
lemah/miskin, dihubungkan dengan lingkungan yang pada akhirnya melahirkan suatu konflik.
Sehingga memunculkan suatu persepsi tentang permasalahan lingkungan, di sisi lainnya adanya
suatu intervensi pengetahuan ilmiah barat terhadap local. Sedangkan isu masa depan di
hubungkan untuk mengubah udara, mutu air, proses yang berkenaan dengan kota yang di
hubungkan dengan organ tubuh manusia

para actor atau pelaku-pelaku ekonomi di dasarkan pada profit-maximizing economy. sehingga
tidak mengherankan jika mereka selalu melakukan pengkalkulasian dengan tujuan untuk
mendapatkan keuntungan atas praktek opperasional ekonomi mereka, baik itu pada tahap
produksi, distribusi maupun pada tahap konsumsi. sedangkan di banyak negara-negara dunia
ketiga terjadi suatu kerjasama antara para politisi, birokrat dan pengusaha yang telah
memperburuk kondisi ekologi bumi. penggabungan ketiga elemen dapat menjadi satu kekuatan
besar yang tak dapat tertandingngi hal itu tentunya dapat mengalahkan kekuatan lainnya.
sehingga mereka bekerja sesuai dengan kepentingannya tampa mengindahkan segala sesiko yang
pada nantinya melahirkan krisis ekologi. menurut Arya Hadi Dharmawan fenomena ini dapat di
jelaskan kegagalan dalam sistem tata‐pengaturan pemanfaatan sumberdaya alam dan
ketidakseimbangan dalam proses‐proses pertukaran dalam sistem ekologi, maka Keseluruhan
sistem akan mengalami gangguan yang mengakibatkan ketidak seimbangan alam.

Penanaman prinsip kesederajatan hak‐hidup antara manusia (human society) dan mahluk non‐
manusia (non human society) di alam (mereplace antroposentrisme dengan ekosentrisme)
sepantasnya terus diupayakan. tentunya di samping pembangngunan system kemasyarakatan dan
adanya suatu system hokum yang dapat mendukung pengaturan prilaku yang akrap terhadap
lingkungan untuk itu diperlukan perjuangan politik ekologis yang terus‐menerus tanpa lelah guna
memperjuangkan cita‐cita kelestarian lingkungan. dapat di pastikan para pemerhati kepentingan
ekologis akan berhadapan dengan kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan berbeda
sebagaimana dalam suatu masyarakat yang di dasari oleh kepentingan kepentingan yang berbeda.
gerakan-gerakan eko-populisme (aktifis environmental movementor organization serta green
political parties) adalah sangat menentang kekuatan-kekuatan kapitalis global yang mereka
anggap sebagai penggerak pembangunan yang melahirkan kehancuran alam. mereka dalam
posisi sepeti ini membawa agenda politik yang memiliki tujuan utama untuk menyelamatkan
kesejahteraan social-ekonomi rakyat, yang mereka anggap sebagai orang-orang yang tidak
mampu dalam membela akan hak-haknya. di balik perlawanan itu mereka berusaha untuk
mempertahankan sumber daya alam untuk tetap dalam control mereka.
Bryant menggambarkan tipologi kerusakan sumber daya alam dan lingkungan serta dampaknya
pada kehidupan sosio‐ekonomi‐ekologi suatu sistem kemasyarakatan serta bagaimana
pendekatan penanganan secara sosiopolitis yang harus ditempuh adalah sebagai berikut

Dimensi‐Dimensi Ekologi Politik atas Kehancuran Alam dan Lingkungan

Dengan adanya table di atas Bryant harapan adanya suatu gambaran untuk melihat bentuk-
bentuk serta derajat kehancuran alam dan masyarakat dengan berlangsungnya krisis ekologi. hal
ini di maksutkan dengan tujuan agar mendapatkan suatu gambaran untuk dapat di tetapkan baik
strategi dan aplikasi terhadap kebijakan lingkungan sebagai bentuk intervensi aksi dan pengaruh
politik. menurutnya system social masyarakat akan menghadapi 3 aspek penting atas kerusakan
lingkungan di lihat dari perspektif ekonomi-politik, ketiga aspek itu adalah

1. marjinalitas atau peminggiran secara sosial‐ekologikal sebuah kelompok mahluk hidup,


2. kerentanan secara sosial‐ekonomi‐ekologi dan fisikal akibat berlangsungnya kehancuran
secara terus menerus, dan
3. kehidupan yang penuh dengan resiko kehancuran taraf lanjut.
Dengan table di atas Bryant ingin menyampaikan akan pentingnya ekologi poitik, yang
menurutnya masyarakat dunia memiliki tiga pilihan atas kehancuran alam yang tak dapat
terelakkan dan menjadi suatu realitas (the incovenient truth). untuk itu gambaran table diatas di
maksudkan untuk mengantisipasi pilihan ketiga sebagai upaya meminimalisir derajat kehancuran
alam dan system social di bumi.

Untuk itu di perlukan suatu perjuangan politik untuk mengupayakan masa hidup bumi yang
mengalami “proses penuaan dan penghancuran sangat cepat” akibat melemahnya daya dukung
lingkungan bumi karena excessive forces yang datang dari berbagai aktivitas kehidupan di
atasnya.

sebagaimana di unkapkan dalam bukunya Bryant ia mengemukakan pentingnya perjuangan


lingkungan melalui jalur politik sebagai berikut

Riset lingkungan Dunia Ketiga mengalami suatu jalan buntu, catatan ini menyatakan bahwa
peneliti perlu mengadopsi suatu Perspektif Ekologi politis untuk memastikan bahwa riset
menunjuk yang politis dan masalah ekonomi yang mendasari Permasalahan dunia lingkungan
yang ketiga. Karena suatu pemahaman tentang hubungan kuasa berbeda adalah pusat ke ekologi
politis, catatan mempertimbangkan bagaimana pengaruh kuasa human-environmental interaksi,
sebelum menaksir dengan singkat bagaimana riset [dari;ttg] sesama ini mungkin berperan untuk
suatu pemecahan tentang Permasalahan lingkungan negara dunia ketiga

Ideologi dalam Ekologi Politik vs. Ideologi Pembangunanisme

seperti halnya yang telah diterangkan pada pembahasan sebelumnya, bahwa paham
pembangunan dan modermisasi di bawa oleh negara negara maju ke dalam negara-negara dunia
ketiga pasca berkembangnya industrialisasi di amerika di tahun 1960-1970an. hal itu untuk
pertama kalinya di tentang oleh suatu gerakan sosial berhaluan struturalisme‐keras pro‐
lingkungan. dalam pemikiran gerakan tersebut ide dari pembangunanisme‐modernisme mereka
anggap gagal dalam memelihara kelestarian alam karena pendekatan yang diambilnya sangat
mengabaikan eksistensi lokal, destruktif dan eksploitatif.

menurut mereka modernisme‐developmentalisme yang diintroduksikan melalui “logika


rasionalisme kapitalisme Barat” dipandang sebagai proses transplantasi ide‐ide modernitas Euro‐
Amerikanisme yang telah terbukti membawa kegagalan pemihakan pada lingkungan di kawasan
sedang berkembang.

dengan pertentangan tersebut, analisis ekologi politik di butuhkan dan pada saat itu ekologis
politik memasukkan dua domain penting dalam analisisnya. Pertama, relasi kekuasaan politik
dan analisis konflik ekologi. Kecaman keras yang datang secara diametral terhadap pendekatan
pembangunan yang berorientasi pada tradisi modernisme‐terutama datang dari penganut mazhab
ekologisme‐radikal yang sangat ketat dengan ideologi marxismenya. menurut Yearley, pada
dasarnya mereka memperjuangkan suatu tatanan kehidupan masyarakat secara system sosiol-
ekomoni dan dan system ekologi yang lebih adil. paham ini menginginkan tercibtanya suatu
system global yang memiliki cirri keadilan dan kesejahteraan tampa mengindahkan prinsip-
prinsip kesejajaran, kesetaraan jaminan ekssistensi bagi nilai-nilai budaya local. menurut Irvin
Home perkembangan gerakan kiri di amerika kecondongan untuk mengadopsi pemikiran Marx,
mereka pada dasarnya menghendaki suatu perubahan terhadap tatanan politik karena gerakan
mereka di dasari oleh nilai-nilai kebebasan (liberty), keadilan (justice), persamaan (equatity), dan
demokrasi (demosracy). dalam hal pergerakannya mereka menginginkan peniadaan peran
pemerintahan dalam mengurus rakyat yang menurut mereka individu memiliki otonomi sendiri.
tetapi menolak kepemilikan pribadi jikalau mencibtakan suatu ketimpangan social. kecendrungan
gerakan kiri amerika adalah anti teknologo modern menurut mereka menyebabkan manusia
malas, dan pola pikir manusia mengikuti pola logika teknologi yang kaku. disamping itu
industrialisasi mencibtakan permasalahan bagi mahluk hidup. mereka merindukan kehidupan
yang alamiah tampaadanya mekanisme teknologi, sehingga mereka pun menentang budaya-
budaya kemapanan.pemikiran kapitalis sebagaimana gagasan adam smih di abab 18 pada intinya
untuk mencapa kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat menurutnya butuhkan produksi
haruslah berbasiskan atas dominasi‐superioritas kapital dimana peran tenaga kerja menjadi
“ternomor‐kapitalistik (yang bergandengan tangan dengan mazhab ekonomi neoklasikal yang
dianut oleh para teknokrat melalui pendekatan development

duakan” (playing a secondary role). dan alam sebagai sumber untuk mendapatkan kesejahteraan.
sehingga gagasan inilah yang di terima sebagai gagasan tunggal dan pada saat itu masyarakat
pun (melalui exercise of power dari Negara ke segenap elemen sistem sosial), sehingga terjadilah
suatu mekanisme produksi eksploitatif besar-besaran terhadap alam. yang pada kenyataannya
penerapan gagasan tersebut memberikan kontribusi pada masyarakat dan merubah ternyata
pandangan tersebut mendapatkan banyak kritikan dari pada scholars dan negarawan, karena
menurut mereka pendekatan yang berideologikan kapitalis tersebut di rasa hanya
menguntungkan pihak negara-negara maju (elit ekonomi dan politik glonal) adalah sebagai
berikut :

1. Pembagian kembali surplus value (redistribution mechanism) dari kapitalis kepada tenaga
kerja berlangsung secara kurang adil. Ada relasi kekuasaan modal yang timpang, dimana
pertukaran ekonomi lebih menguntungkan pemilik modal, sementara fenomena
kemelaratan malah menguat di kalangan buruh.
2. Pembangian kembali surplus value dari foreign‐owned capitalistic industries kepada
negara sedang berkembang pemilik sumberdaya alam, berlangsung timpang, sehingga
membentuk struktur produksi yang bercirikan exploitative social‐relations dan
membentuk pola pembangunan bertipe ketergantungan yang sangat kuat. Fakta ini
selanjutnya menghasilkan keterbelakangan dan struktur ketergantungan di negara sedang
berkembang.
3. Pembagian kembali surplus value dari pengusaha (pemilik kapital) kepada alam
berlangsung sangat timpang, dimana prosentase modal yang direinvestasikan kembali ke
alam terlalu sedikit dibandingkan apa yang telah diambilnya. Hasilnya, alam tak mampu
meregenerasi daya dukungnya terhadap proses produksi lebih lanjut, dan justru
mengalami kerusakan yang serius.
4. Dengan mengadopsi kapitalisme sebagai satu‐satunya azas (ideologi) dalam system
produksi, maka sesungguhnya Negara sebagai system‐regulator, telah memonopoli (baca:
membiarkan) violence dan ketidakadilan (rationalized inequality), dan mereproduksi
terus‐menerus sistem tersebut untuk berjalan secara lestari.
Secara umum beberapa sistem ideologi pembangunan yang eksis selama ini dapat
diperbandingkan satu sama lain dalam Tabel, sebagai berikut:

Ideologi dalam Pembangunan dan Pemanfaatan Sumberdaya Alam

Studi Kasus

Gagasan Corporate Social Responsibility (CSR)

dalam Meredam Gejolak Social Masyarakat Lokal

Masyarakat Indonesia Timur

Imam Cahyono, Politik Etis Kapitalisme, Kompas Kamis, 26 Oktober 2006 atau dapat di lihat pada situs
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0610/26/opini/3021437.htm
abid
Daftar Pustaka
1. Arya Hadi Dharmawan, Dinamika Sosio‐Ekologi Pedesaan: Perspektif dan Pertautan
Keilmuan Ekologi Manusia, Sosiologi Lingkungan dan Ekologi Politik, Sodality: Jurnal
Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol. 1/No. 1, April 2007
2. WBryant, RL. “Power, Knowledge and Political Ecology In The Third World: a review.”
Progress in Physical Geography 22(1): 79-94. 1998
3. Bryant, RL. “Beyond the Impasse: The Power of Political Ecology in Third World
Environmental Research.” Area 29(1): 5-19. 1997
4. Yearley, Sociology – Environmentalism – Globalization. Sage. London and Thousand
Oaks. 1996.
5. Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, cetakan
3 2007, hal 363-370
6. Soehino, S.H., Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, Cetakan ke III.
7. Imam Cahyono, Politik Etis Kapitalisme, Kompas Kamis, 26 Oktober
2006 atau dapat di lihat pada situs http://www.kompas.co.id/kompas-
cetak/0610/26/opini/3021437.htm
8.
CSR : SEKILAS SEJARAH dan KONSEP
Siapa yang melupakan sejarah pasti akan mengulangi kejadian dalam sejarah tersebut. Pesan untuk
tidak melupakan sejarah juga sering diungkapkan oleh Ir. Soekarno, presiden pertama Republik
Indonesia. Oleh karena itu kita membutuhkan komposisi yang sempurna antara ide baru untuk
melangkah ke masa depan dengan kebijaksanaan yang telah kita pelajari dari orang-orang terdahulu.

Tanggung Jawab Sosial Korporasi (Corporate Social Responsibility) telah menjadi pemikiran para
pembuat kebijakan sejak lama. Bahkan dalam Kode Hammurabi (1700-an SM) yang berisi 282 hukum
telah memuat sanksi bagi para pengusaha yang lalai dalam menjaga kenyamanan warga atau
menyebabkan kematian bagi pelanggannya. Dalam Kode Hammurabi disebutkan bahwa hukuman mati
diberikan kepada orang-orang yang menyalahgunakan ijin penjualan minuman, pelayanan yang buruk
dan melakukan pembangunan gedung di bawah standar sehingga menyebabkan kematian orang lain.

Perhatian para pembuat kebijakan terhadap CSR menunjukkan telah adanya kesadaran bahwa terdapat
potensi timbulnya dampak buruk dari kegiatan usaha. Dampak buruk tersebut tentunya harus direduksi
sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan kemaslahatan masyarakat sekaligus tetap ramah
terhadap iklim usaha.

Definisi

Tidak ada definisi resmi tentang CSR. Sebagaimana akan kita pahami kemudian, definisi CSR berkembang
dari masa ke masa. Beberapa definisi CSR yang telah dikenal adalah sebagai berikut:

 Upaya manajemen yang dijalankan entitas bisnis untuk mencapai tujuan pembangunan
berkelanjutan berdasar keseimbangan ekonomi, sosial, dan lingkungan, dengan meminimumkan
dampak negatif dan memaksimumkan dampak positif tiap pilar. (A+ CSR Indonesia)
 He commitment of businesses to contribute to sustainable economic development by working
with employees, their families, the local community and society at large to improve their lives in
ways that are good for business and for development. (International Finance Corporation)
 Use its (corporate) resources and engage in activities designed to increase its profits so long as it
stays within the rules of the game, which is to say, engages in open and free competition
without deception or fraud. (Milton Friedman)

Berdasarkan definisi-definisi tersebut, biasanya jika berbicara tentang CSR kita langsung berfikir tentang
perilaku korporasi. Padahal jika ditelaah lebih jauh, pemerintah pun tidak dianjurkan untuk menjalankan
aktivitas CSR, dengan beberapa penyesuaian tentunya. Hal ini berkaitan dengan posisi pemerintah
sebagai konsumen terbesar bagi seluruh kegiatan konsumsi (lengkapnya baca di sini) . CSR bukan
merupakan obat dewa, tetapi tetap memberikan petunjuk penting yang dapat menjadi panduan
bagaimana korporasi dan pemerintahan sebaiknya dijalankan.

1950-an: CSR MODERN


Literatur-literatur awal yang membahas CSR pada tahun 1950an menyebut CSR sebagai Social
Responsibility (SR bukan CSR). Tidak disebutkannya kata corporate dalam istilah tersebut kemungkinan
besar disebabkan pengaruh dan dominasi korporasi modern belum terjadi atau belum disadari.

Buku karangan Howard R. Bowen yang berjudul Social Responsibility of The Businessman dapat
dianggap sebagai tonggak bagi CSR modern. Dalam buku itu Bowen memberikan definisi awal dari CSR
sebagai:

“… obligation of businessman to pursue those policies, to make those decision or to follow those line of
action wich are desirable in term of the objectives and values of our society.” (Bowen, 1953, hal. 6)

Walaupun judul dan isi buku Bowen bias gender (hanya menyebutkan businessman tanpa
mencantumkan businesswoman), sejak penerbitan buku tersebut definisi CSR yang diberikan Bowen
memberikan pengaruh besar kepada literatur-literatur CSR yang terbit setelahnya. Sumbangsih besar
pada peletakan fondasi CSR tersebut membuat Bowen pantas disebut sebagai Bapak CSR.

1960-an

Pada tahun 1960-an banyak usaha dilakukan untuk memberikan formalisasi definisi CSR. Salah satu
akademisi CSR yang terkenal pada masa itu adalah Keith Davis. Davis dikenal karena berhasil
memberikan pandangan yang mendalam atas hubungan antara CSR dengan kekuatan bisnis. Davis
mengutarakan “Iron Law of Responsibility” yang menyatakan bahwa tanggung jawab sosial pengusaha
sama dengan kedudukan sosial yang mereka miliki (social responsibilities of businessmen need to be
commensurate with their social power). Sehingga, dalam jangka panjang, pengusaha yang tidak
menggunakan kekuasaan dengan bertanggungjawab sesuai dengan anggapan masyarakat akan
kehilangan kekuasaan yang mereka miliki sekarang.

Kata corporate mulai dicantumkan pada masa ini. Hal ini bisa jadi dikarenakan sumbangsih Davis yang
telah menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara tanggung jawab sosial dengan korporasi.

Tahun 1962, Rachel Carlson menulis buku yang berjudul Silent Spring . Buku tersebut dianggap
memberikan pengaruh besar pada aktivitas pelestarian alam. Buku tersebut berisi efek buruk
penggunaan DDT sebagai pestisida terhadap kelestarian alam, khususnya burung. DDT menyebabkan
cangkang telur menjadi tipis dan menyebabkan gangguan reproduksi dan kematian pada burung. Silent
Spring juga menjadi pendorong dari pelarangan penggunaan DDT pada tahun 1972. Selain penghargaan
Silent Spring juga menuai banyak kritik dan dinobatkan sebagai salah satu ”buku paling berbahaya abad
ke-19 dan ke-20” versi majalah Human Events.

Tahun 1963 Joseph W. McGuire memperkenalkan istilah Corporate Citizenship. McGuire menyatakan
bahwa:
“The idea of social responsibilities supposes that the corporation has not only economic and legal
obligations but also certain responsibilities to society which extend beyond these obligations” (McGuire,
1963, hal. 144)

McGuire kemudian menjelaskan lebih lanjut kata beyond dengan menyatakan bahwa korporasi harus
memperhatikan masalah politik, kesejahteraan masyarakat, pendidikan, “kebahagiaan” karyawan dan
seluruh permasalahan sosial kemasyarakatan lainnya. Oleh karena itu korporasi harus bertindak “baik,”
sebagai mana warga negara (citizen) yang baik.

1970-an

Tahun 1971, Committee for Economic Development (CED) menerbitkan Social Responsibilities of Business
Corporations. Penerbitan yang dapat dianggap sebagai code of conduct bisnis tersebut dipicu adanya
anggapan bahwa kegiatan usaha memiliki tujuan dasar untuk memberikan pelayanan yang konstruktif
untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan masyarakat.

CED merumuskan CSR dengan menggambarkannya dalam lingkaran konsentris. Lingkaran dalam
merupakan tanggungjawab dasar dari korporasi untuk penerapan kebijakan yang efektif atas
pertimbangan ekonomi (profit dan pertumbuhan); Lingkaran tengah menggambarkan tanggung jawab
korporasi untuk lebih sensitif terhadap nilai-nilai dan prioritas sosial yang berlaku dalam menentukan
kebijakan mana yang akan diambil; Lingkaran luar menggambarkan tanggung jawab yang mungkin akan
muncul seiring dengan meningkatnya peran serta korporasi dalam menjaga lingkungan dan masyarakat.

Tahun 70-an juga ditandai dengan pengembangan definisi CSR. Dalam artikel yang berjudul Dimensions
of Corporate Social Performance, S. Prakash Sethi memberikan penjelasan atas perilaku korporasi yang
dikenal dengan social obligation, social responsibility, dan social responsiveness. Menurut Sethi, social
obligation adalah perilaku korporasi yang didorong oleh kepentingan pasar dan pertimbangan-
pertimbangan hukum. Dalam hal ini social obligatioan hanya menekankan pada aspek ekonomi dan
hukum saja. Social responsibility merupakan perilaku korporasi yang tidak hanya menekankan pada
aspek ekonomi dan hukum saja tetapi menyelaraskan social obligation dengan norma, nilai dan harapan
kinerja yang dimiliki oleh lingkungan sosial. Social responsivenes merupakan perilaku korporasi yang
secara responsif dapat mengadaptasi kepentingan sosial masyarakat. Social responsiveness merupakan
tindakan antisipasi dan preventif.

Dari pemaparan Sethi dapat disimpulkan bahwa social obligation bersifat wajib, social responsibility
bersifat anjuran dan social responsivenes bersifat preventif. Dimensi-dimensi kinerja sosial (social
performance) yang dipaparkan Sethi juga mirip dengan konsep lingkaran konsentris yang dipaparkan
oleh CED.

1980-an

Era ini ditandai dengan usaha-usaha yang lebih terarah untuk lebih mengartikulasikan secara tepat apa
sebenarnya corporate responsibility. Walaupun telah menyinggung masalah CSR pada 1954 , Empu teori
manajemen Peter F. Drucker baru mulai membahas secara serius bidang CSR pada tahun 1984 , Drucker
berpendapat:
”But the proper ‘social responsibility’ of business is to tame the dragon, that is to turn a social problem
into economic opportunity and economic benefit, into productive capacity, into human competence, into
well-paid jobs, and into wealth” (Drucker, 1984, hal. 62)

Dalam hal ini Drucker telah melangkah lebih lanjut dengan memberikan ide baru agar korporasi dapat
mengelola aktivitas CSR yang dilakukannya dengan sedemikian rupa sehingga tetap akan menjadi
peluang bisnis yang menguntungkan.

Tahun 1987, Persatuan Bangsa-Bangsa melalui World Commission on Environment and Development
(WECD) menerbitkan laporan yang berjudul Our Common Future – juga dikenal sebagai Brundtland
Report untuk menghormati Gro Harlem Brundtland yang menjadi ketua WECD waktu itu. Laporan
tersebut menjadikan isu-isu lingkungan sebagai agenda politik yang pada akhirnya bertujuan mendorong
pengambilan kebijakan pembangunan yang lebih sensitif pada isu-isu lingkungan. Laporan ini menjadi
dasar kerjasama multilateral dalam rangka melakukan pembangunan berkelanjutan (sustainable
development).

1990-an

Earth Summit dilaksanakan di Rio de Janeiro pada 1992 . Dihadiri oleh 172 negara dengan tema utama
Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan. Menghasilkan Agenda 21, Deklarasi Rio dan beberapa
kesepakatan lainnya. Hasil akhir dari pertemuan tersebut secara garis besar menekankan pentingnya
eco-efficiency dijadikan sebagai prinsip utama berbisnis dan menjalankan pemerintahan.

CSR di Indonesia

Diantara negara-negara di Asia, penetrasi aktivitas CSR di Indonesia masih tergolong rendah. Pada tahun
2005 baru ada 27 perusahaan yang memberikan laporan mengenai aktivitas CSR yang dilaksanakannya.

Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Manajemen sejak tahun 2005 mengadakan Indonesia
Sustainability Reporting Award (ISRA) . Secara umum ISRA bertujuan untuk mempromosikan voluntary
reporting CSR kepada perusahaan di Indonesia dengan memberikan penghargaan kepada perusahaan
yang membuat laporan terbaik mengenai aktivitas CSR. Kategori penghargaan yang diberikan adalah
Best Social and Environmental Report Award, Best Social Reporting Award, Best Environmental
Reporting Award, dan Best Website.

Pada 2006 kategori penghargaan ditambah menjadi Best Sustainability Reports Award, Best Social and
Environmental Report Award, Best Social Reporting Award, Best Website, Impressive Sustainability
Report Award, Progressive Social Responsibility Award, dan Impressive Website Award. Pada 2007
kategori diubah dengan menghilangkan kategori impressive dan progressive dan menambah
penghargaan khusus berupa Commendation for Sustainability Reporting: First Time Sutainability Report.
Sampai dengan ISRA 2007 perusahaan tambang, otomotif dan BUMN mendominasi keikutsertaan dalam
ISRA.

Dalam hal kebijakan pemerintah, perhatian pemerintah terhadap CSR tertuang dalam Undang-Undang
Perseroan Terbatas (UU Nomor 40 Tahun 2007) Bab V Pasal 74. Walaupun hanya mewajibkan
pelaksanaan aktivitas CSR untuk perusahaan di bidang pertambangan, Undang-Undang tersebut
menimbulkan kontrovesi dikarenakan kebijakan mewajibkan aktivitas CSR bukan merupakan kebijakan
umum yang dilakukan di negara-negara lain. Kontrovesi juga timbul dari adanya kekhawatiran
munculnya peraturan pelaksanaan yang memberatkan para pengusaha.

Anda mungkin juga menyukai