Anda di halaman 1dari 38

Kelas : X.

1|Page
Peradilan Rakyat

Cerpen Putu Wijaya

Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara


senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.

"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke
mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri
yang sedang kacau ini."

Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap
putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.

"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"


Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."

"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu
kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan
perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang
kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang
cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika
memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu
diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda.
Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah
kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak
pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-
lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat
kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."

Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang


pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa
keperkasaannya masih terasa.

"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh
sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari
kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda
lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas
untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena
kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan
sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."

Pengacara tua itu meringis.


"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara

2|Page
sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
Pengacara tua itu tertawa.
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.

"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung
pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian
itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-
diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah
sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan
oleh bangsamu ini."

Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan
ucapannya dengan lebih tenang.

"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."


"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."

"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela
seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga
pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya,
bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas
satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin,
negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin
mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela
hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah
diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku
pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-
terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.

Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi
sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin
danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu
aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu
aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil,
kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan
kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan.
Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya
hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka
negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah
kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara
hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.

Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan
keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."

Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior

3|Page
itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.

"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku
untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara
menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan
meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."

"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.


Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda tahu?"

Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat


yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer.
Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."

Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.


"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara
aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan
kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang
membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses
peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."

Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.


"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
"Antara lain."
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam
lubuk hati orang tua itu.
"Jadi langkahku sudah benar?"
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.

"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu


sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya
ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang
kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-
tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima
baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai
profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya
dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling
tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau
tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"

4|Page
"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk
mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling
benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang
bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi
memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"
Orang tua itu menggeleng.

"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan.
Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar
sebagai pemenang."

"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim
yang sangat tangguh akan diturunkan."

"Tapi kamu akan menang."


"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."

"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca
walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-
soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."

Pengacara muda itu tertawa kecil.


"Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur saja."
"Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"

Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan


matanya dan mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"

"Bukan! Kenapa mesti takut?!"


"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia
tidak memberikan angka-angka?"

"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.

5|Page
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti ya!"
"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"

Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya


mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.

"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan
karena kamu disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."

"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau
perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin
memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan
di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"

"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.

Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai


tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan
dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian
untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu
sebagai penegak hukum yang profesional."

Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan
kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang
sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu
kepada dia."

Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi
orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak.
Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.

"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."


"Tapi..."

Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi.


Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu
menoleh kepada pengacara muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak

6|Page
beristirahat. Selamat malam."

Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat
indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi
orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke
telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan
berbisik.

"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh


negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan
memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti
dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti
burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa
secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."

Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan
gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan
kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan
kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke
mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan
mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster
raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara
muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi
itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan
pemerintahan yang sah.

Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya


membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara
dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.

"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta
aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus
membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra.
Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa
kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak
inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan
dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan
menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?"
***

7|Page
Bingkai

Cerpen Kurnia Effendi

UNDANGAN dari Susan kuterima di kantor menjelang pukul tiga, ketika aku keluar
dari ruang rapat. Rencana menyeduh kopi untuk mengusir kantuk segera terlupakan.
Perhatianku tersita pada amplop yang didesain sangat bagus.

Saat kubuka sampul plastiknya, telepon di mejaku berdering. Aku mengangkat


telepon tanpa menghentikan upayaku mengeluarkan art-carton yang dicetak dengan
spot ultra violet pada tulisan "Bingkai".

"Selamat siang dengan Dudi, Auto Suryatama," sambutku automatically.


"Ahai, tumben kamu ada di tempat!" Seru suara dari seberang.

"Maaf, siapakah ini?"


"Susan! Kamu lupa suaraku? Padahal baru dua bulan yang lalu kita bertemu. Tak
hanya bertemu, karena sepanjang dua malam kita bersama-sama." Ada nada gemas
yang merasuk ke telingaku. "Sorry, aku telepon ke kantor. Hp-mu tidak aktif."

"Astaga!" Aku tertawa dan meminta maaf. Bukan tidak aktif, lebih tepat: nomornya
berbeda. "Aku baru saja menerima sebuah undangan, jadi konsentrasiku bercabang.
Tampaknya ini undangan darimu! Jadi rupanya kamu serius dengan rencana itu?"

"Tentu! Kenapa tidak? Kamu pasti ingat cita-citaku sejak SMA. Sudah sejak lama aku
bermimpi bisa tinggal di Ubud. Tapi tidak mungkin aku terus-terusan berlibur
membuang uang di sana. Jadi kuputuskan untuk mendapatkan kepuasan batin
sekaligus finansial…"

"Aku harus bertepuk tangan untuk kegigihanmu. Hebat!"


"Ini juga karena ada bara cinta yang terus-menerus membakar."

Aku terkesiap mendengarnya.


"Cintamu, Dudi!" sambung Susan.

Entahlah: seharusnya aku melonjak gembira atau terkesiap waspada mendengar


ucapannya yang demikian mantap? Tentu agak mengherankan jika seorang gadis
Solo memekikkan kata itu, bukan membisikkan, yang mudah-mudahan tidak sedang
antre di depan kasir supermarket.

"Dudi, kenapa kamu diam saja?"


"Oh, sorry! Sebenarnya aku mau melonjak-lonjak, tapi tentu salah tempat. Di depan
mejaku sudah ada yang menunggu, mau membicarakan pekerjaan…"
"Oke, Sayang. Aku akan meneleponmu lagi nanti. After office hour, ya!"

Gagang telepon masih di telinga, menunggu Susan memutuskan hubungan. Bahkan

8|Page
setelah hubungan telepon terputus, seperti masih kudengar nada gembira Susan di
telinga. Rembes ke dalam hati. Aku menghela napas seperti keluar dari ruang yang
pengap, dan kusandarkan punggungku ke kursi yang lentur. Tak ada siapa-siapa di
depanku. Jadi, aku tadi berdusta. Maafkan aku, Susan. Ternyata aku telah banyak
berdusta. Tapi, percayalah, kasih sayangku kepadamu begitu jujur.
***
SEINGATKU tadi Lanfang minta dibawakan kue, karena malam ini sepupunya akan
datang. Sambil meluncur pulang aku merencanakan singgah di sebuah bakery. Ada
toko kue langganan sebenarnya, tapi di tengah perjalanan aku terpikat pada
kerumunan yang mengundang selera untuk mampir. Selintas kulihat, di kiri dan
kanan tempat ramai itu juga ada kafe dan kedai roti. Jadi tak terlampau salah jika
aku sejenak berhenti dan mencari tempat parkir. Untung Swift yang kukendarai
bukan tipe mobil besar, sehingga mudah mendapatkan tempat.

Rupanya sedang berlangsung seremoni pembukaan sebuah galeri, yang ditandai


dengan pameran karya para pelukis muda Surabaya. Kulihat sepintas, ada Joko
Pekik di ruang benderang itu: ikut berpameran atau hanya diminta pidato?
Entahlah! Yang terbayang olehku adalah peristiwa serupa, yang akan berlangsung
minggu depan di Ubud. Dan di tengah lingkaran para tamu, kuangankan si anggun
Susan, dengan rambut dibiarkan terurai, bak burung merak yang tersenyum lebar
memperkenalkan galerinya. Apa namanya tadi? Bingkai!

Aku turun dari mobil, melenggang masuk dalam kerumunan. Siapa pemilik galeri
ini? Kalau Lanfang tahu, tentu ingin juga "cuci mata" di sini, apalagi dia sedang
keranjingan mengapresiasi seni lukis, gara-gara pernah diminta oleh majalah untuk
menulis liputan pameran di Balai Pemuda. Waktu itu dia mengeluh, karena tak tahu
harus mulai dari mana untuk menilai lukisan.

"Aku iki isane nulis cerpen, lha kok dikongkon gawe resensi lukisan, yok opo sih?!"
Ya. Aku ini bisanya cuma menulis cerpen, kenapa disuruh membuat apresiasi
lukisan, bagaimana sih?!

Aku nyaris terpingkal melihat dia mencak-mencak. Tapi rasa ingin tahu dan
semangat belajarnya cukup tinggi, sehingga waktu itu, selang sehari dia bisa bertemu
dengan beberapa pelukis. Bahkan hari berikutnya dia berhasil membuat janji dengan
seorang kurator untuk berbincang-bincang. Seharusnya kini ia berterima kasih
kepada majalah wanita di Jakarta yang pernah memintanya untuk melakukan itu.
Karena sekarang pikirannya lebih sensitif terhadap seni lukis dan grafis.

Sepuluh menit kuhabiskan waktu di galeri yang berinterior minimalis. Meskipun


tampaknya tidak perlu menunjukkan undangan, tapi aku tentu bukan tamu yang
dimaksud. Selanjutnya aku masuk ke kedai roti di sisi kanan, dan memenuhi
pesanan Lanfang.

Sepanjang sisa jalan pulang, yang kupikirkan adalah cara pergi ke Bali. Meskipun
Surabaya tak terlampau jauh dari Bali, rencana ke sana di luar tugas kantor tentu
akan memancing keinginan Lanfang untuk ikut. Itu tak boleh terjadi! Tidak mungkin
mempertemukan dua perempuan yang kusayang itu dalam satu ruang dan waktu.

9|Page
Bukan khawatir akan menjadi gagasan buruk sebuah novel bagi Lanfang, tetapi pasti
menyebabkan tiupan badai yang kemudian merubuhkan perkawinan.

Jadi, mesti ada perjalanan dinas ke Bali! Barangkali, agar tidak terlampau
mencurigakan, isu itu harus kuembuskan ke telinga Lanfang sejak dini. Nanti
malam, sebelum bercinta. Dengan demikian, tidak terkesan sebagai kepergian
mendadak. Tapi… astaga, bukankah benak perempuan sering dihuni oleh akal yang
fantastik? Bisa jadi, karena waktunya masih lama, Lanfang membongkar tabungan
dan berinisiatif untuk ikut. Dengan cara itu, biaya penginapannya gratis, bukan?

Keringat mengembun di keningku. Tiba-tiba pendingin udara dalam mobil terasa tak
sesejuk biasanya. Mungkin sebaiknya kusampaikan sehari menjelang keberangkatan.
Sambil pura-pura mengeluh: kenapa perusahaan tidak pernah mempertimbangkan
karyawan, seenaknya saja menugaskan keluar kota tanpa perencanaan yang matang.
Aha, aku tersenyum membayangkan reaksi Lanfang, yang akan menghibur dengan:
"Ya sudahlah, namanya juga tugas. Tentu ada hal yang bersifat urgent di sana."
Seraya mengelus pipiku. Dan aku akan memeluknya dengan manja seperti bayi.

Tapi tarikan pipiku berubah. Senyumku beralih rasa cemas. Bagaimana jika Lanfang
justru menyikapi dengan kalimat seperti ini: "Ya sudah, biar tidak suntuk di sana,
aku ikut menemani. Malamnya kan bisa jalan-jalan ke kafe di Legian atau Kuta."

Belokan terakhir menjelang tiba di rumah mendadak terasa tidak nyaman. Padahal
tak ada "polisi tidur" di situ. Tapi aku berharap jarak yang kutempuh masih panjang
dan perlu beberapa lampu merah. Agar sempat mengatur strategi yang paling masuk
akal. Namun pikiran itu tercerabut sewaktu telepon selularku bergetar. Susan!

"Hai, aku lupa meneleponmu! Tadi ada kawan yang tanya ini-itu soal acara di Ubud.
Biar murah aku menggunakan event organizer milik teman SMP-ku."

"O, no problem. Kebetulan aku sudah di jalan raya."


"Ya sudah, aku paling benci melihat orang mengemudi sambil telepon. Sampai
besok, ya. Mmmuah!"

Rasanya pipiku jadi basah oleh sentuhan bibirnya. Kuembuskan napas keras-keras
dan mengharap rasa nyaman masuk ke dalam hati. Pagar rumah sudah di depan
mata. Langit mulai gelap, lampu-lampu teras di kompleks perumahan sudah
menyala. Dan seperti biasa, pembantu segera menarik-geser gerbang besi yang
warnanya sudah mulai pudar. Aku memarkir mobil ke carport.

"Ingat pesananku?" Lanfang menyambut di pintu.


"Tentu, Cantik." Kuangkat tinggi-tinggi oleh-oleh titipannya.

"Terima kasih." Dipeluknya aku, meskipun aroma tubuhku tak sesegar tadi pagi.
Lalu jemarinya membuka dasi dari leherku. Mudah-mudahan itu bukan caranya
mencari harum parfum lain yang mungkin menempel di bajuku. Mudah-mudahan.

Yang tak ingin terjadi adalah: Lanfang menemukan undangan Susan. Aku mesti

10 | P a g e
menyimpannya di tempat yang jauh dari jangkauan Lanfang.
***
AKU akan datang sehari sebelum grand opening Galeri Bingkai, yang ternyata
letaknya tak jauh dari Galeri Rudana. Tempat yang sungguh rupawan dan sesuai
dengan selera Susan. Dia seorang pemilih yang baik. Dia pula yang memilihkan hotel
ketika aku bertugas ke Solo.

"Kamu harus menginap di Lor In," usulnya. Karena tempat itu memiliki banyak
taman yang khas gaya Bali. Walaupun, ketika sudah melebur di kamar tidur yang
luas, nyaris tak berbeda dengan hotel lain. Ingatanku justru selalu tersangkut pada
rambut Susan yang berulang kali memenuhi wajahku. Biasanya kesibukan yang
membuat tubuh kami lembab itu akan berakhir dengan aroma terapi di seluruh
kamar mandi. Harum cendana memenuhi bath-tub.

"Cantik, akhir-akhir ini kamu begitu sibuk." Aku menelepon Lanfang dari kantor.
"Ya. Dalam seminggu ini aku harus sudah selesai memeriksa dan memberikan
persetujuan pada calon bukuku sebelum naik cetak. Kenapa?"

"Besok aku tugas ke luar pulau. Ke Lombok, tapi mungkin singgah di kantor cabang
Bali dulu. Aku belum sempat membereskan kopor, bisa minta tolong?"

"Oke, tak masalah. Kok mendadak? Berapa hari?"


"Baru kudapat surat tugasnya tadi siang. Sekarang aku harus mengambil tiket
sendiri ke agen. Sekitar tiga-empat hari, tergantung bagaimana kondisi network di
Lombok."

"Yo wis, ojo bengi-bengi mulihe. Kamu perlu istirahat malam ini."
Tentu tidak akan larut malam, karena sebenarnya tiket sudah kupegang. Tapi yang
penting aku tahu, Lanfang begitu sibuk membaca ulang naskahnya yang sudah di-
setting.

Rasanya tadi Lanfang mengingatkan agar aku cukup istirahat malam ini. Tetapi yang
dilakukan berbeda dengan sarannya. Ia menandai halaman buku yang sedang
dibaca, menyurutkan lampu kamar hingga temaram, lalu masuk ke bawah
selimutku. Cumbuannya selalu dimulai dari bibir. Mungkin untuk mengingatkanku
bahwa ia sesungguhnya tak hanya cerewet, tapi juga cekatan ketika pekerjaan larut
malamnya dilakukan tanpa kata-kata.

Sebelum tertidur, Lanfang membiarkan wajahku menyusup ke lehernya. Ke dekat


urat nadinya. Setidaknya ia tahu bahwa napasku terembus penuh cinta. Tetapi
besok, begitu tiba di Denpasar, kutelepon Lanfang seperlunya, selanjutnya aku akan
menggunakan nomor lain. Hanya Susan yang tahu nomor itu. Bagaimanapun,
berdusta itu mendebarkan!
***
AKU memarkir mobil yang kupinjam dari kantor cabang di Bali. Senja baru saja
lenyap. Kudengar musik sayup gamelan Bali. Rupanya Susan telah mengemas
suasana menjadi begitu etnik. Kulihat dinding teras galeri mungil itu dibuat dengan
batu paras. Lantai batu alam membuat kesan natural lebih mendalam. Cahaya lampu

11 | P a g e
yang menyiram beranda langsung memperlihatkan wajahku, sehingga Susan yang
--seperti telah kuduga sebelumnya-- anggun dengan rambut terurai dan
mengenakan kain corak Bali, menoleh ke arahku. Senyumnya merekah. Aku melihat
matanya berbinar.

"Oke, teman-teman, para undangan dan wartawan, kekasih yang kutunggu sudah
tiba. Kita akan mulai acaranya…"
Aku agak kikuk, namun Susan meleburnya dengan pelukan yang begitu mesra. Ada
beberapa bule yang hadir di sana. Justru membuat Susan tidak merasa sungkan
mencium bibirku. Dan entah kenapa, para wartawan itu begitu gemar dengan hal-hal
yang berlangsung sebentar tetapi berdenyar. Mereka memotret. Sejenak mataku
silau.

Namun ketika pelukan Susan lepas dan aku mencoba mengitarkan pandangan, di
antara pengunjung kulihat seseorang yang sangat kukenal. Mataku masih
terpengaruh oleh kilat lampu blitz. Tapi tidak mungkin lupa wajah istriku.

Lanfang ada di sudut itu! Dengan sebuah kamera digital di tangannya. Wajahnya
tertegun. Atau terpesona? Tapi parasnya memucat.
"Baiklah," ujar master of ceremony. "Kita akan mendengar awal gagasan mengenai
Galeri Bingkai. Silakan Susan bercerita untuk kita…"

Selanjutnya telingaku tidak menangkap kata-kata Susan, karena segera bergegas


mengejar Lanfang yang beringsut begitu cepat ke arah pintu keluar. Aku mengutuk
diriku yang mengganti nomor handphone. Pasti ia telah mencoba menghubungiku
sejak kemarin. Apakah aku juga harus mengutuk majalah yang memintanya meliput
acara ini? Bukankah dia sedang sibuk dikejar batas waktu oleh penerbit bukunya?

"Lanfang!" aku memanggil.


Di luar sunyi, tapi tidak dengan degup jantungku yang gemuruh.

"Nama Bingkai kupilih karena…." Suara Susan semakin sayup. Sementara di taman
yang separuh gelap itu, aku mencari degup jantung Lanfang. ***
Jakarta, 10 Desember 2005

12 | P a g e
Langit Menggelap di Vredeburg

Cerpen Sulialine Adelia

Beginilah menjelang senja di jantung kota. Sekelompok remaja nongkrong di atas


motor model terbaru mereka sambil ngobrol dan tertawa-tawa. Ada juga remaja atau
mereka yang beranjak dewasa duduk berdua-dua, di bangku semen, di atas sadel
motor, atau di trotoar. Anak-anak kecil berlarian sambil disuapi orang tuanya.
Pengamen yang beristirahat setelah seharian bekerja. Dan orang gila yang tidur di
sisi pagar.
Di salah satu bangku kayu panjang, bersisihan dengan remaja yang sedang
bermesraan, Reyna duduk menghadap ke jalan. Hanya duduk. Mengamati
kendaraan atau orang-orang yang melintas. Menunggu senja rebah di hamparan
kota.
Tiba-tiba laki-laki itu sudah berada di depannya sambil mengulurkan tangan. "Apa
kabar?" katanya memperlihatkan giginya yang kekuningan. Asap rokok telah
menindas warna putihnya.
"Kamu di sini?" Reyna tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Segala rasa
berpendaran dalam hatinya. Senang, sendu, haru, pilu, yang kesemuanya membuat
Reyna ingin menjatuhkan dirinya dalam peluk lelaki itu. 
Begitu juga Mozes, lelaki tua yang berdiri di depan Reyna. Dadanya bergemuruh
hebat mendapati perempuan itu di depan matanya. Ingin ia memeluk, menciumi
perempuan itu seperti dulu, tetapi tak juga dilakukannya. 
Hingga Reyna kembali menguasai perasaannya, lalu menggeser duduknya memberi
tempat Mozes di sebelahnya.
"Kaget?" tanya Mozes, duduk di sebelah Reyna. 
Reyna tertawa kecil. 
"Gimana?" tanya Reyna tak jelas arahnya. "Lama sekali nggak ketemu."
"Iya. Berapa tahun ya? Dua lima, tiga puluh?"
"Tiga puluh tahun!" jawab Reyna pasti.
"Ouw! Tiga puluh tahun. Dan kamu masih semanis dulu."
"Terima kasih," Reyna tersenyum geli. Masih ’semanis dulu’. Bukankah itu lucu?
Kalaupun masih tampak cantik atau manis itu pasti tinggal sisanya saja. Kecantikan
yang telah terbalut keriput di seluruh tubuhnya. Tapi kalimat itu tak urung membuat
Reyna tersipu. Merasa bangga, tersanjung karenanya.
"Kapan datang?" tanya Reyna. Mulai berani lagi menatap mata lelaki di sebelahnya.
"Belum seminggu," jawab Mozes.
"Mencariku?" Reyna tersenyum. Sisa genitnya di masa muda.
Mozes tertawa berderai-derai. Lalu katanya pelan, "Aku turut berduka atas
meninggalnya suamimu," tawanya menghilang.
Reyna tak menjawab sepatah pun. Bahkan ucapan terima kasih tidak juga meluncur
dari bibirnya. Ia menerawang ke kejauhan. Detik berikutnya mata Reyna tampak
berlinangan. Goresan luka di sudut hatinya kembali terkoyak. Rasa perih perlahan
datang. Luka lama itu ternyata tak pernah mampu disembuhkannya. Semula ia
menduga luka itu telah pulih, tetapi sore ini, ketika Mozes tiba-tiba muncul di
13 | P a g e
hadapannya ia sadar luka itu masih ada. Tertoreh dalam di sudut perasaannya.
Reyna dan Mozes. Mozes pekerja film yang bukan saja terampil, tetapi juga cerdas
dan kritis. Reyna pengelola media sebuah perusahaan terkemuka. Mereka bertemu
karena Reyna harus membuat sebuah film sebagai media pencitraan perusahaannya.
Reyna yang istri dan ibu seorang anak, dan Mozes yang duda. Dua orang muda yang
masih segar, bersemangat, dan menawan. Dua orang yang kemudian saling jatuh
cinta.
Reyna hampir saja meninggalkan Braham ketika itu. Ibu muda Reyna merasa
menemukan sampan kecil untuk berlabuh. Meninggalkan malam-malamnya yang
kelam bersama Braham. Pergi mengikuti aliran sungai kecil yang akan
mengantarnya ke dermaga damai tanpa ketakutan, tanpa kesakitan. Berdua Mozes.
Tetapi sampan kecil itu ternyata begitu ringkih. Ia tak mampu menyangga beban
berdua. Ia hanya ingin sesekali singgah, bermesra dan bercinta tanpa harus
mengangkutnya. Mozes tak menginginkan ikatan apa pun antara dirinya dan Reyna.
Ia ingin tetap bebas pergi ke mana pun ia ingin dan kembali kapan ia rindu.
Kebebasan yang tak bisa Reyna terima. Maka sebelum perjalanan dimulai, ia
memutuskan undur diri. Perempuan itu menyadari, bukan laki-laki seperti Mozes
yang ia ingini untuk membebaskan dari derita malam-malamnya. Mozes berbeda
dengan dirinya yang membutuhkan teman seperjalanan, ia hanya mencari ruang
untuk membuang kepedihan dan mencari hiburan. Tak lebih.
"Berapa lama kamu akan tinggal?" tanya Reyna setelah gejolak perasaannya mereda.
"Entah. Mungkin sebulan, dua bulan, atau mungkin sepanjang sisa umurku," jawab
Mozes, tanpa senyum, tanpa memandang Reyna. "Banyak hal yang memberati
pikiran dan tak bisa kuceritakan pada siapa pun selama ini."
"Itu sebabnya kamu kemari?" 
"Jakarta semakin sesak dan panas. Sementara Jogja masih tetap nyaman buat
berkarya. Jadi kuputuskan kembali," lanjut Mozes tanpa mengacuhkan pertanyaan
Reyna. "Begitu kembali seseorang bilang padaku, kamu sering di sini sore hari." 
"Maka kamu mencariku. Berharap mengulang lagi hubungan dulu."
Mozes menggeleng.
"Atau membangun hubungan baru."
Mozes menggeleng lagi, "Tidak juga. Aku tidak butuh hubungan seperti itu. Aku
hanya butuh teman ngobrol…"
"Teman bermesra, teman bercinta yang bisa kamu datangi dan kamu tinggal pergi.
Tanpa tuntutan, tanpa ikatan!" potong Reyna. "Itu hubungan yang sejak dulu kamu
inginkan bersamaku kan? Seperti sudah kubilang dulu, aku tidak bisa. Aku sudah
memilih."
Kebekuan kembali merejam perasaan kedua orang tua itu. Langit perlahan
kehilangan warna jingga. Satu per satu lampu di sekeliling mulai menyala. Ada
rangkaian lampu-lampu kecil berbentuk bunga di samping tikungan yang menyala
bergantian, hijau, kuning, merah. Ada lampu besar dengan tiang sangat tinggi yang
menyorot ke taman, ada pula lampu berwarna temaram yang semakin
menggumpalkan kesenduan.
Tiga puluh tahun bukan waktu yang sebentar. Terlalu banyak hal terjadi pada
mereka dan sekian lama masing-masing memendam untuk diri sendiri. Mestinya
pertemuan sore itu adalah untuk berbagi cerita bukan justru bertengkar kemudian
saling diam. Atau mungkin karena perpisahan yang terlalu panjang, keduanya tak
tahu apa yang harus diceritakan terlebih dahulu. 

14 | P a g e
Mungkin memang begitu, karena senyatanya Reyna ingin berkata, beberapa tahun
setelah perpisahan mereka ia masih juga mencari kabar tentang Mozes. Hingga
suatu hari, satu setengah tahun setelah mereka tidak bersama seorang teman
mengabarkan bahwa Mozes pulang ke Jakarta. Tak lama setelah itu, ia mendengar
Mozes tengah melanglang buana. Buana yang mana, entah. Reyna merasa tidak
perlu lagi mencari tahu keberadaan laki-laki itu. Meski tak jarang bayangan Mozes
tiba-tiba membangunkan tidurnya atau menyergap ingatannya begitu Braham mulai
menjamah tubuhnya dan membuat Reyna kesakitan tak terkira.
Terdengar Mozes menghela napas. Panjang. Perlahan gumpalan kemarahan yang
menyesaki dada Reyna mereda. Namun hasrat untuk terus ngobrol telah tak ada.
Maka sisa pertemuan itu pun berlalu begitu saja. Kebekuan masih mengental di
antara keduanya. Hingga Reyna minta diri, dan beranjak pergi.
Hari-hari setelah kejadian itu, Reyna tak pernah tampak di depan Vredeburg lagi.
Tetapi Mozes masih sering terlihat di salah satu bangku kayu di sana. Sendiri di
tengah orang-orang muda yang tengah bercanda dan bercinta. Menghisap rokok
kreteknya. Sesekali mengibaskan rambut putihnya yang panjang, tersapu angin
menutup wajah tirusnya. 
Begitu perasaan Reyna membaik dan siap bertemu Mozes lagi, ia kembali pada
rutinitasnya, menunggu senja jatuh di Vredeburg. Namun ia harus menelan kecewa
karena Mozes tak dijumpainya. Bahkan telepon genggamnya tak bisa dihubungi.
Suatu sore, di tengah keputusasaan Reyna, seorang teman mendatangi dan
mengulurkan sebuah surat kepadanya. Surat dari Mozes!
"Hari-hari itu dia mencoba menghubungimu, tetapi HP-mu tak pernah aktif," kata
laki-laki itu. "Ginjalnya tak berfungsi, serangan jantungnya kambuh, tekanan
darahnya tidak stabil…"
Reyna tak bisa mendengar lagi penjelasan laki-laki itu. Bahkan ketika si teman
menyerahkan satu dos buku dan tas berisi kamera warisan kekayaan Mozes
untuknya, Reyna belum kembali pada kesadarannya.
Senja beranjak renta. Seperti Reyna merasai dirinya. Sepasang remaja di sebelahnya
telah pergi. Begitu juga sekumpulan anak muda yang nongkrong di atas motor
mereka, mulai menghidupkan mesin kendaraannya. Sisa adzan sayup terdengar dari
Masjid Besar. Sebaris kalimat di surat terakhir Mozes meluncur dalam gumaman.
…maghrib begitu deras, ada yang terhempas, tapi ada goresan yang tak akan
terkelupas.*

15 | P a g e
Dendang Sepanjang Pematang

Cerpen: M. Arman AZ 

Adalah kenangan yang menghimbauku untuk menengok pohon randu itu. Letaknya
menjorok sekitar sepuluh meter di sebelah kiri jalan masuk kampung. Dahan-
dahannya seperti masa lalu yang merentangkan tangan. Aku tergoda untuk
membelokkan langkah ke sana. Bersijingkat menyibak rimbun ilalang setinggi
pinggang.

Ohoi, pohon randu, inilah dia si anak hilang. Lama sudah dia tak pulang. Sambut
dan peluklah dia sepenuh kenang.

Kutelisik sisi belakang batang randu itu. Sekian tahun silam, menggunakan sebilah
belati milik kakek yang kupinjam tanpa izin beliau, aku dan beberapa teman
bergiliran memahat nama kami di sana. Tak ada lagi ukiran nama kami. Aku
tersenyum kecut menyadari kebodohanku barusan. Bukankah pohon randu terus
tumbuh seiring guliran waktu? Kuletakkan pantat di tanah yang lembab.
Menyandarkan punggung di kekar batang randu. Kuhela napas haru. Aroma humus
dan ilalang mengepung dari segenap penjuru.

Dari pohon yang jadi tapal batas kampung ini dengan kampung seberang,
kusaksikan pagi menggeliat lagi. Ufuk timur perlahan benderang. Aku teringat
selembar kartu pos bergambar sunrise yang mengintip dari balik punggung gedung-
gedung pencakar langit. Seorang teman mengirimnya dari negeri yang jauh. Konon
dia sekarang jadi kelasi kapal pesiar. Entah di belahan dunia mana dia kini berada.
Masih ingatkah dia pada pohon randu ini? Masih ingatkah dia pada Pak Narto, guru
kami dulu? Andai dia tahu beliau telah mangkat, sanggupkah dia lipat jarak dan
waktu agar bisa ikut mengantar kepergiannya?

Kemarin siang, di tengah raung mesin pabrik, ponsel tuaku bergetar. Sebuah nomor
asing berkedip-kedip gelisah. Aku kaget mendengar suara Ayub. Dia salah seorang
sahabatku di kampung. "Pak Narto wafat!" jeritnya dari seberang sana. Sebelum
mengakhiri percakapan yang tergesa-gesa, Ayub minta tolong agar kabar duka itu
kusampaikan secara berantai ke teman-teman lain.
Kutimang ponsel dengan gamang. Kenangan kampung halaman begitu menyentak.
***

Aku tertegun menatap rumah Ayub. Dindingnya dari papan. Di samping kiri ada
tumpukan kayu bakar. Tanaman hias memagari rumahnya. Ada kuntum kembang
sepatu dan melati baru mekar. Sedap dipandang mata. Di depan rumah ada bale-
bale bambu. Ruas-ruasnya sudah renggang. Kuucap salam di depan pintu yang
separuh terbuka. Terdengar sahutan, langkah tergopoh, dan derit pintu yang dikuak.

"Man?!" Dia terperangah. Aku tersenyum. Sudah lama kami tak bersua. Detik itu
juga, waktu seolah berhenti ketika kami saling berpelukan.

"Baru datang? Wah, pangling aku. Gemuk kau sekarang. Sudah jadi orang rupanya.

16 | P a g e
Ah, sampai lupa aku. Ayo masuk." Runtun kalimatnya. Dia tepuk-tepuk dan rangkul
bahuku. Aku duduk di kursi rotan ruang tamu. Tas kecil kuletakkan di lantai semen.
Ayub memanggil istrinya. Dikenalkan padaku seraya minta dibuatkan dua gelas
kopi.

Wajah Ayub yang sesegar pagi cepat menghapus letihku. Diam-diam kucermati
sosoknya. Ia memakai kaos putih lusuh dan celana panjang hitam. Tubuhnya kekar.
Kulitnya legam. Urat-urat lengannya menyembul keluar. Ketika senyum atau bicara,
gigi putihnya berderet rapi. Dengan penuh keluguan ia dedahkan hidupnya kini.

Dari semua nama yang terpahat di batang randu, cuma Ayub yang masih setia pada
kampung ini. Yang lainnya telah pergi menyabung nasib ke kota, ke pulau seberang,
bahkan ke negeri orang. Ayub hidup dari mengurus sawah dan ladang warisan orang
tua. Katanya, meski sempat diserang hama wereng, panen dua bulan lalu cukup
lumayan. Hasilnya digunakan untuk menyulap tanah kosong di belakang rumah jadi
empang. Dia pelihara ikan mas dan gurami untuk menambah penghasilan.

Aku ngilu waktu Ayub menyuruhku menginap di rumahnya. Tawaran itu menohok
batinku. Aku tak punya apa-apa lagi di sini. Setengah windu setelah Emak menyusul
Abah ke liang lahat, aku dan tiga saudaraku sepakat menjual sawah dan rumah.
Kami ingin merantau. Mencari nasib yang lebih baik. Setelah hasil penjualan dibagi
rata, kami pun berpencar ke penjuru mata angin.

Bagaimana menguraikan keadaanku pada Ayub? Aku cuma buruh pabrik tekstil di
pulau seberang yang gaji tiap bulan ludes untuk menghidupi istri dan empat anak
yang masih kecil. Bedeng kontrakan kami tak jauh dari kawasan pabrik. Berhimpitan
dengan bedeng-bedeng lainnya. Lingkungannya kumuh, dikepung bacin selokan dan
tempat pembuangan sampah. Kami sudah biasa antre mandi, buang hajat, atau cuci
pakaian di WC umum yang ada di tiap pojok bedeng.

Ayub terpana mendengar ceritaku. Sambil terkekeh-kekeh dia menyela, "Jangankan


mengalaminya, membayangkannya saja aku tak sanggup."

Menepis risau, kuraih gagang gelas. Kuseruput kopi yang dihidangkan istri Ayub. Ah,
kopi yang digoreng sendiri lebih nikmat rasanya. Sambil menyulut rokok, Ayub
berkata, "Kenapa tak pulang saja, Man? Beli sawah. Bertani. Meneruskan tradisi
keluarga kita dulu."
Aku tercekat. Sekian lama di rantau, sekian jauh berjarak dengan kampung halaman,
tak pernah terbersit di benakku untuk pulang.
***

Sepanjang jalan menuju rumah duka, kami kenang kawan-kawan lama. Maryamah,
gadis lugu yang dulu pernah aku kesengsem padanya, kini jadi biduan orkes
dangdut. Namanya diubah jadi Marta. Kata Ayub, jangan harap dia menengok jika
dipanggil dengan nama asli. Darto, yang paling pintar di kelas kami, jadi tukang
becak di kota. Sebulan sekali dia pulang menjenguk ibunya yang sakit tua. Aku kaget
mendengar nasib Sumarno. Dia jadi bencong. Ngamen di gerbong-gerbong kereta.
Lantas kuingat Abas. Ayub bilang, dia ketiban bulan. Hidupnya kini makmur.

17 | P a g e
Mertua Abas orang kaya di kota kecamatan. Abas ditugasi mengurus koperasi.
Kesempatan itu tak disia-siakan Abas. Dia pinjamkan uang pada orang-orang
dengan bunga tinggi. Masih kuingat guyonan tentang Abas dulu. Jika ketemu Abas
dan ular sawah dalam waktu bersamaan, lebih baik bunuh Abas duluan, sebab
culasnya melebihi ular. Dan si Ahmad, anak pendiam dan alim itu, sekarang nyantri
di sebuah pesantren di Madura.

Ah, waktu telah mengubah segalanya. Kisah teman-teman lama membuatku takjub,
heran, campur sedih. Hingga tak terasa tempat yang kami tuju sudah di depan mata.
Usai berdoa di sisi almarhum Pak Narto, kami beringsut keluar dari ruang tamu.
Duduk di seberang jalan dekat batang bambu yang dihiasi kain kuning. Makin tinggi
matahari, makin banyak pelayat datang. Aku termangu menatap rumah duka itu.
Ada tarup besar memayungi halaman. Kursi-kursi plastik penuh terisi. Dari bisik-
bisik yang kudengar, Marta yang membayar sewa tarup dan kursi itu. Dia tak bisa
datang melayat.

Dulu warga kampung ini hidup penuh harmoni dan bersahaja. Meski tak ada
hubungan darah, kami merasa selayaknya saudara. Kehidupan yang lambat laun
sekeras batulah yang memaksa kami untuk memilih. Merantau jadi pilihan kami,
anak-anak muda kala itu.

Sejauh-jauh terbang, warga kampung ini pasti mudik setiap lebaran. Cuma aku yang
jarang pulang semenjak tak ada lagi yang tersisa di sini. Begitu juga jika ada yang
meninggal, Kami yang di rantau pasti dikabari. Tapi, entah kenapa, sampai jenazah
Pak Narto berkalang tanah di pemakaman umum di pojok kampung, hanya segelintir
teman yang kutemui. Apakah sosok lelaki kurus jangkung dan ramah itu telah lesap
dari ingatan mereka? Apakah rutinitas membuat mereka tak sempat lagi untuk
sekedar menengok masa silam?
***

Hari kedua di kampung. Ayub mengajakku ke sawah. Pematang-pematang itu sudah


tak sabar menunggu jejakmu, guraunya. Di jalan, kami berpapasan dengan warga
yang hendak ke sawah atau ladang. Ada yang jalan kaki sambil menenteng pacul di
bahu. Ada yang menggoes sepeda. Aku terharu. Mereka masih mengingatku dan
meluangkan waktu sejenak untuk mengobrol.

Justru generasi muda kampung ini yang membuatku jengah. Beberapa kali kulihat
mereka memacu sepeda motor sesuka hati. Ngebut di jalan tanah berbatu.
Meninggalkan debu panjang di depan mataku.

Sawah Ayub beberapa puluh meter di depan sana, dekat rimbunan pohon pisang.
Ketika masih ngungun menatap hamparan permadani hijau itu, Ayub mengajakku
turun. Kapan terakhir kali aku meniti pematang? Alangkah jauh masa itu
kutinggalkan.

Ayub melenggang tanpa kuatir tergelincir ke lumpur sawah. Aku jauh tertinggal di
belakangnya. Melangkah tersendat-sendat sambil merentangkan tangan untuk
menjaga keseimbangan.

18 | P a g e
Lir ilir, lir ilir. Tandure wis semilir. Tak ijo royo-royo. Tak sengguh temanten anyar...

Hawa dingin meniup tengkukku ketika mendengar tembang gubahan Sunan Bonang
itu. Sempat terbersit untuk mengikuti Ayub berdendang sepanjang pematang.
Namun, entah kenapa, bibirku terasa kelu.

Dari huma beratap rumbia, kusaksikan Ayub berkubang di tengah sawah. Batang-
batang padi meliuk. Menimbulkan suara gemerisik ketika saling bergesekan.
Sepasang kepodang terbang melayang di keluasan langit. Suara serunai terdengar
sayu-sayup sampai. Entah siapa peniupnya. Mendengarnya, aku seakan terhisap dan
sesat dalam masa lalu.

Kami pulang menjelang petang. Memutari jalan kampung. Meski lebih jauh
jaraknya, tapi aku tak keberatan. Kami mau ke sungai tempat dulu biasa berenang.
Sesampainya di sana, hati-hati kami turuni tebing penuh lumut. Aku rindu
membasuh muka dengan air sungai. Kutangkupkan kedua telapak tangan lalu
kucelupkan ke dalam air. Ayub terkekeh-kekeh melihat kelakuanku yang mirip anak
kecil. Setelah segar kami pulang. Baru beberapa puluh langkah menyusuri jalan
sunyi, tiba-tiba Ayub mencekal bahuku. Tangannya menuding rimbun ilalang yang
bergerak-gerak mencurigakan. Aku ingat, Ayub pernah membidik burung dengan
ketapel. Bidikannya paling jitu di antara kami. Burung itu jatuh dari dahan pohon.
Menggelepar di semak-semak. Kami mengendap-endap. Alangkah kaget kami
memergoki pemandangan itu. Ada sepasang remaja tanggung sedang asyik
bercumbu.

Ayub menghardik mereka. Aku terpana. Merasa tertangkap basah, wajah keduanya
pucat dan merah padam. Mereka buru-buru membenahi pakaian lalu setengah
berlari menuju tempat motor diparkir. Kami kembali melanjutkan langkah. Wajah
Ayub kaku. Sepanjang jalan dia bersungut-sungut memaki kelakuan dua anak tadi.
***

Harum bunga kopi merayap dibawa angin. Bintang bertaburan di langit lama. Suara
jangkerik dan kodok jadi musik alam. Aku serasa sedang berada di sorga.
"Kampung kita sudah berubah, Man," kata Ayub sambil menatap cahaya kunang-
kunang yang timbul tenggelam di rimbun ilalang.

"Ya, aku seperti orang asing di sini," suaraku gamang.


"Semua teman kita pergi merantau. Jadi TKI, babu, atau buruh sepertimu. Tetua
kampung meninggal satu-satu. Apalagi sejak teknologi modern menyerbu. Kampung
kita makin kehilangan jati dirinya. Asal kau tahu, apa yang kau lihat di tepi sungai
tadi belum seberapa..."

Kalimat Ayub terakhir membuatku risau. Aku enggan bertutur lebih banyak. Aku
harus tahu diri. Setelah memilih jadi manusia urban, aku tak punya kuasa apa-apa
lagi di sini.
***

Izin cuti empat hari telah usai. Takziah tiga malam berturut-turut di rumah

19 | P a g e
almarhum Pak Narto telah kuikuti. Aku harus pulang pagi ini. Rindu kampung
halaman telah kutebus dengan hal-hal menyakitkan. Tapi biarlah kutelan dalam hati
saja.

Dengan motor tuanya, Ayub mengantarku ke pasar di kampung sebelah. Di sana ada
angkutan pedesaan yang trayeknya sampai ke terminal kota. Dari terminal itu aku
akan menyambung perjalanan ke pulau seberang.

Persis ketika kami lewati pohon randu itu, lagi-lagi Ayub mengimbauku agar pulang
saja. Sebenarnya tak ada lagi yang ingin kukatakan. Namun sekedar menghibur diri,
kukatakan pada Ayub bahwa aku punya mimpi yang sederhana. Satu saat nanti, jika
ada uang, aku mau pulang. Membeli sawah. Bertani sambil beternak puyuh dan itik.
Makan dari hasil keringat sendiri. Hidup tenteram bersama anak istri.

Ayub berjanji kelak akan menagih mimpiku. Sementara aku membayangkan omong
kosong yang baru saja kuucapkan, cuma bisa tersenyum giris...***

20 | P a g e
Di Dusun Lembah Krakatau

Cerpen St. Fatimah

Banjo berjalan gontai pelan-pelan di belakang emaknya. Burung-burung gagak hitam


terbang rendah, berkoak-koak memekak. Di atas, langit yang damai tak menjanjikan
sama sekali rasa aman.

Lewat baris-baris pohon jati di sepanjang jalan, si emak dan anak laki-lakinya itu
dapat melihat lembah Krakatau yang melandai berombak-ombak. Tak mereka
jumpai lagi sosok-sosok manusia yang berarak tak henti-henti mendaki seperti
semut, tak peduli disambut oleh lingkaran awan tebal dan gumpalan langit tak
berawan. Sebuah kabar burung tentang anak siluman telah memutus urat
keberanian mereka.
"Banjo!"
Emaknya tiba-tiba berhenti.

Mendengar namanya dipanggil, anak itu terkejut. Bukan karena takut, melainkan
karena firasat yang semakin dekat. Kenyataan yang akan datang tentang firasat itu
bisa terasa sangat sakit, bahkan bisa juga mematikan. 
"Kau lelah, Jo? Sepertinya Emak terlalu memaksamu berjalan hingga sejauh ini.
Maafkan Emak, Jo." 

Sesudah mengusap liur yang meleleh di sudut bibirnya, si emak menggandeng


tangan Banjo, dan ucapnya lagi, "Ayo kita pergi ke pohon besar di sana itu. Kita buka
bekal makanan kita. Kau lapar kan?"
Banjo tidak menjawab dengan kata-kata. Ia mengangguk saja, lalu mengekor patuh
di belakang emaknya.

Tidak jauh dari situ tampak pohon besar yang rimbun daunnya. Di situ emak
membuka buntalan kain sarung, sementara anak laki-lakinya selonjor, melenturkan
otot-otot kakinya, dengan bersandar pada batang pohon besar itu. 
"Banjo, duduklah dekat Emak sini."
Banjo merangkak menuju emaknya.

Emak mengeluarkan dua lembar daun jati tua. Ia melipat satu lembar daun jati itu
sedemikian rupa di atas telapak tangannya, hingga membentuk semacam mangkok
makan. Diisinya mangkok daun jati itu dengan nasi, gorengan ikan asin, dan sayuran
rebus. "Kau ingin Emak menyuapimu?"
Banjo mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda setuju.

Emak menyeringai senang, memperlihatkan sederetan gigi yang warna putihnya tak
sempurna. Ia senang melihat anak laki-lakinya makan dengan lahap. Ia seketika lupa
bagaimana anak-anak penduduk dusun sini melempari Banjo dengan tomat busuk
dan batu kerikil. Sementara orang-orang dewasa melihat kejadian itu tanpa bereaksi
apa pun selain tertawa. Apa yang lucu dari melihat seorang bocah laki-laki yang
pasrah begitu saja ditawur bocah-bocah sebayanya, dilempari batu hingga
mengakibatkan luka memar dan berdarah di sekujur tubuhnya? Apa semua lelucon

21 | P a g e
tak pernah berperasaan?

Barangkali penduduk dusun sini meyakininya demikian. Mereka terpingkal tanpa


rasa kasihan. Beberapa di antara mereka mencorongkan tangan di mulut dan
meneriaki anak lelaki malangnya dengan kata-kata kasar. Mereka mengerumuninya
dan menggiring ke luar dusun. Emak sudah hapal dengan perlakuan penduduk
dusun ini; tanpa perasaan mendendam ia berbisik pada diri sendiri, "Barangkali
mereka capek kerja ladang seharian, lalu mereka mencoba mencari hiburan."

Emak dengan sabar dan telaten membesarkan hati putra semata wayangnya itu. Tak
ada yang benar-benar membuat hatinya meluap kegembiraannya, selain ketika bisa
melihat wajah Banjo tampak tersenyum sewaktu tidur. Dalam pikirannya, senyum
Banjo sewaktu tidur itu berarti segala-galanya. Leluhurnya pernah bilang, jika di
pertengahan tidurnya seorang anak mengigau atau menjerit-jerit, itu artinya ada
bayangan hitam yang menempel pada si anak. Dan emak tak mau bayangan hitam
itu satu kali saja menempeli putra tunggalnya. 
Banjo sudah lelap di pangkuan emaknya. Sementara emak mulai tak kuasa
menghardik rasa kantuknya.

Dusun yang bermandikan cahaya kekuningan matahari menghilang di kejauhan,


berangsur-angsur digelapkan oleh kabut petang musim penghujan. Tapi musim
penghujan bukan halangan besar bagi penduduk dusun untuk mencari nafkah.
Karena mereka percaya Hyang Air dan Hyang Angin telah mereka buat kenyang dan
senang hati dengan upacara, tumbal, dan sesaji. Kepercayaan itu juga yang membuat
emak dan Banjo terusir dari dusun itu.

Semuanya seperti berputar kembali. Kaki langit menggenang dalam kubangan


kuning kemerahan. Jangkrik-jangkrik mulai menghela komposisi kerikannya. Satu-
dua burung hantu menyembulkan kepalanya dari lubang sarangnya, membawa
badannya yang buntal ke tengger pohon yang paling tinggi --hampir menyundul
dagu bulan. Dan hewan-hewan malam lainnya pun serentak bergerilya ke sebalik
lubang-lubang amat gelap.

Emak pulang larut malam dari rumah Wak Nardi dengan berbekal obor bambu di
genggaman tangannya. Malam itu tak seperti malam-malam lalu. Amat gelap, amat
dingin, amat mencekam. Kesiur angin membuat nyala obornya bergetar bergoyang-
goyang selalu. Kedua belah matanya beberapa kali merem-melek, menyiasati lesatan
uap kabut yang menggores jarak pandangannya.

Tapi, tiba-tiba kabut itu dikejapkan cahaya kilat --dan sungguh mengejutkan. Begitu
ganjil kedatangan kilat itu. Kini yang dilihatnya bukan lagi kepulan kabut yang
mengendap-endap lambat menyergap, tapi semacam gumpalan asap tebal yang
mirip kepala raksasa yang bertonjol-tonjol menyeramkan. 

Sekejap, kilat menyabet terang membelah langit. Di ujung jalan berbatu di sebelah
barat, dari tengah-tengah sepasang pohon asem yang tegak kekar di kanan-kiri
badan jalan muncullah bayangan sosok tubuh yang setindak demi setindak menuju
ke arahnya, tapi hilang-hilang nyata dalam sabetan-sabetan cahaya kilat. Betapapun

22 | P a g e
emak berusaha dengan menajamkan sorot mata kuyunya yang bernaung dalam
kecekungan lubang matanya, sia-sia saja ia mengenali wajah tubuh itu. Tapi jelas,
dari gerak-gerik sosok tubuh asing yang sedang menuju ke arahnya itu adalah sosok
perempuan.

Hatinya bergetar, berdegup-degup tak karuan. Terus terang emak sedang ketakutan.
Dinantikannya sampai sosok itu melontarkan setidaknya satu patah kata lebih dulu.
Sungguh pun diketahuinya kecil kemungkinannya sosok itu adalah orang dusun yang
dikenalnya, tapi entah mengapa ia masih mau berdiri memaku menunggu sosok
tanpa wajah itu menegurnya.

Hingga….akhirnya sosok berwajah lembut nan cerlang itu tersenyum padanya,


bersamaan muncul lingkaran cahaya terang memusar lalu memancar --begitu
seterusnya-- di belakangnya. Cantik, sungguh cantik. Dua belah mata yang berbinar
tegas, meninggalkan sorot yang menggores tajam setiap memandang. Bibirnya
menggumpal padat berisi dan basah mengkilap. Kulit wajahnya halus sempurna dan
seputih kapas. Wajah itu sungguh bercahaya menggetarkan dada dan menyejukkan
hatinya, sampai-sampai mulut emak menganga. Beberapa kali ia pun menghela
napas, menggeleng-gelengkan kepalanya, sementara balas tersenyum balik. Ia
berubah seperti anak kecil yang tengah mendapati sebatang kembang gula yang tiba-
tiba tergenggam di kedua tangannya. 

Bau harum menusuk hidung emak. Bau harum yang mengepul dari kibasan jubah
panjang sosok makhluk cantik itu. Ya, makhluk cantik, hanya sebutan itu yang
terlintas di hatinya. Ia yakin sosok di hadapannya itu bukan satu dari bangsa
manusia seperti dirinya. Malaikatkah? Atau bangsa jin? Ia belum pernah berjumpa
dua bangsa ciptaan Hyang itu sepanjang sisa-sisa rambut ubannya yang memutih
kapas. Jadi ia tak bisa mengatakan dengan pasti, apalagi teka-teki, dari bangsa yang
mana sosok makhluk di hadapannya itu. Ia hanya bisa mengatakan makhluk itu
cantik, maka itu makhluk cantik.

Lama. Malam tambah hening, tambah senyap, tambah penuh tanya. Tak kelihatan
lagi kejapan-kejapan kilat yang berseliweran membelah langit di atas. Sekonyong-
konyong meluncur dari sela bibir makhluk cantik itu, tapi bibir padat berisi itu tiada
bergerak, terdengar begitu saja, kata-katanya sangat jelas dan berbunyi, "Susui
jabang bayiku hingga datang malam purnama kedua puluh tujuh…."

Serasa emak dikepung anak buah malaikat maut, linglung tak tahu apa yang mesti
diperbuat. Jantungnya bunyi berdegup-degup, kedua belah matanya terus berkedip-
kedip. Jari-jarinya gemetar ketika menepuk-nepuk kulit pipinya yang kisut-kendur.
Suara bicara sosok itu yang menggema per kata-kata, di telinganya persis wangsit
Hyang, memekakkannya hingga kemerotak persendian di sekujur tubuhnya kalah
beradu dengan kemerosak gesekan dedaun yang diterjang angin amat kencang, amat
mencekam.

Belum genap emak menghilangkan kekalutannya, tiba-tiba sosok mahacantik itu


melesat dekat ke arahnya. Hingga ia harus memejamkan matanya rapat-rapat, dan
hanya dua cuping telinganya yang waspada. "Akan kuambil kembali ia bilamana

23 | P a g e
purnama telah sempurna….!" Hanya beberapa detik setelah gaungnya suara kakupak
dari arah sawah penduduk di kanan-kirinya menghampiri gendang telinganya.
Hanya beberapa detik setelah angin kencang tiba-tiba tenang, jalanan berbatu itu
kembali gelap gulita. Nyala obor di tangan emak gemetar lamban.

Setelah peristiwa itu, esok paginya emak mengalami kesakitan dari ubun-ubun
hingga kuku-kuku jemari kakinya. Kepalanya lebih pening dari sakit pusing biasa.
Tubuhnya gemetar menggigil lebih hebat dari akibat kedinginan biasanya. Perutnya
lebih tertusuk-tusuk ketimbang rasa lapar biasa. Tulang-tulangnya lebih rapuh
daripada pengemis tua renta yang terlantar.

Orang-orang dusun dan sekitarnya memutuskan agar emak dan suaminya


dipencilkan ke hutan di perbatasan dusun. Mereka percaya bahwa suami-istri "aneh"
itu telah dikutuk. Makhluk cantik yang konon mencegat emak pada malam ganjil itu
adalah jin yang menjelma dalam wujud malaikat samarannya. Bahkan kepala
sesepuh dusun angkat tangan mengamini mereka.

Perut emak seperti perempuan hamil. Ia pun merasakan kesakitan-kesakitan yang


lazim dialami oleh kebanyakan perempuan hamil. Emak memang hamil. Sementara
minggu bergulir menjadi bulan. Dan ketika bulan menginjak putarannya yang
kesembilan, emak melahirkan seorang bayi laki-laki. Tanpa bantuan dukun, tabib,
atau orang pintar mana pun. Bayi laki-laki itu diberinya nama Banjo.

Banjo tumbuh sehat, itu pasti. Emak dan suaminya bahagia. Pun orang-orang dusun
terimbas bunga rasa itu, meski dengan air muka yang berbeda. Melihat Banjo sama
saja berdiri menonton satu atraksi "makhluk aneh" di sirkus pasar malam. Mereka
membiarkan Banjo bertingkah. Bocah itu tak sadar, kegirangan penduduk dusun
jauh lebih menyakitkan daripada tersengat ribuan lebah pekerja. Setiap kali orang-
orang dusun terbahak, setiap kali itu pula kerongkongan emak semakin tercekat. 

Hingga usia Banjo dua tahun lebih, hingga hari yang dijanjikan itu tiba, emak
mendapat mimpi aneh. Dalam mimpi itu, ia melihat Banjo menjadi santapan
makhluk serba nyala merah dan meruapkan hawa sangat panas. Tak ada yang
sempat diingatnya, kecuali dengung suara menggelegar dari arah makhluk ganjil itu.
"Aku minta anakku dari rahimmu….!" Emak tersimpuh lemas di samping bujur kaku
suaminya yang meradang seperti orang sekarat.

Sepeninggal suaminya, masih ia ingat ia tak kuasa menolong Banjo yang meronta-
ronta waktu itu. Matanya merah. Kedua tangannya mencengkeram jeruji-jeruji kayu,
membuat kurungan kayu itu terguncang cukup keras. Saat itulah seorang anak kecil
ingusan berlari menghambur ke halaman rumahnya ketika mendengar genderang
dipalu di jalanan dusun. Peristiwa yang jarang terjadi. Anak kecil itu berlari
membawa badannya yang tambur tanpa baju. Matanya bersinar-sinar memandangi
arak-arakan para lelaki dusun sambil memalu bekhudah2 yang bertabuh hingar. Biji
mata anak kecil itu mengikuti arakan. Serombongan laki-laki tanpa baju yang wajah
dan tubuhnya dicoreng-corengi arang hitam mengarak seorang anak manusia dalam
kurungan kayu yang ditandu. Mereka menuju ke puncak bukit di mana bertahta
sebuah pohon kekar, mahabesar, dan menjulang tinggi. Di pelataran bawah pohon

24 | P a g e
itulah Banjo dibaringkan di atas meja batu berlumut.

Banjo harus menjalani prosesi kurban kepada Hyang. Tubuh bocah laki-laki itu
ditelanjangi. Kedua tangan dan kakinya diikat di masing-masing sisi meja batu.
Setelah itu, seorang tetua ritual memercikkan air yang diyakini bertuah
menghilangkan kekuatan jahat yang menghuni jasad seseorang, sambil merapal
mantra. 

Ingatan emak menjadi gelap. Tapi tak segelap malam ini. Tapak tangan kasar emak
tak lepas mengusap kepala Banjo. Hampir empat belas malam berlalu, terhitung
sejak malam ia "mencuri" tubuh kapar Banjo, mereka berpindah-pindah tempat
perlindungan. Keduanya sebenarnya tidak ingin sembunyi dari kejaran orang-orang
dusun. Emak sungguh berhasrat untuk meyakinkan mereka bahwa Banjo benar-
benar anak yang lahir dari mulut rahimnya, bukan anak tumbal Hyang yang
dipinjamkan di rahimnya. Tapi mereka tidak pernah bisa menerima keyakinannya
itu. Karenanya ia dan Banjo harus berlindung dari piciknya kepercayaan mereka
pada sesuatu yang menggariskan durhaka tidaknya manusia di hadirat Hyang. 

Hampir sepertiga malam. Makhluk-makhluk yang dinapasi misteriusnya malam,


makin menggeliat dalam kehitaman rimba bumi. Tak peduli sebuah tugas
mahamulia telah memampatkan kerongkongan orang-orang dusun yang,
kebanyakan para lelakinya, bermalam-malam membidik dua manusia paling
dikutuk: Banjo dan emaknya. Meski membuat ladang-ladang garapan mereka
terbengkalai, itu tak apa! Yang penting bagi mereka, dusun mereka bersih dari
manusia-manusia durhaka, yang mengingkari wasiat Hyang. 

Waktu bergerak lambat bagai geliatan pesolek di mata ratusan laki-laki dusun yang
tersebar di tiap-tiap sudut batas dusun, juga di tempat-tempat gelap terpencil. Dan,
dua buronan mereka telah menjadi begitu terkutuk di mata mereka, karena
membuat tubuh mereka memagut dinginnya malam demi malam tanpa kehangatan
dari napas sengal perempuan-perempuan mereka. Membuat biji mata mereka nyaris
melesat dari liangnya. Membuat darah mereka mendidih, mengerjat-ngerjat sesekali,
seperti dibakar ubun-ubun mereka. Lagi-lagi salah satu dari mereka geram.

"Haram jadah! Aku sudah muak! Terserah laknat Hyang kalau dusun ini masih
membiarkan dua manusia terkutuk-Nya itu hidup, bahkan mungkin bisa lebih lama
dari hidup kita semua. Aku tak peduli. Persetan! Bukankah Dia juga yang
menghidup-matikan mereka?"

Persis, belum habis satu kali kedipan mata, setelah laki-laki dusun yang geram itu
memberondongkan kalimat umpatannya, libasan petir sekonyong merobek angkasa
yang gelap tak berbintang. Menghamburkan ratusan laki-laki dusun dari pos-pos
penjagaan mereka, semburat tunggang-langgang, seperti sekawanan semut yang
baru saja diobrak-abrik sarangnya oleh moncong trenggiling. Cambuk-cambuk petir
itu mengoyak-moyak kesadaran mereka. Semua terjadi seperti dalam murka yang
dahsyat.

***

25 | P a g e
Setelah yakin melelapkan Banjo di atas tumpukan daun-daun lebar dan reranting
kering di sisinya, emak bangkit. Melangkah terbungkuk-bungkuk menuju mulut gua
kecil yang tak sengaja diketemukannya persis ketika libasan petir pertama, libasan
paling kilat. Emak memandang saja ke kejauhan. Petir mencekam. Kesiur angin
menegakkan bulu kuduk.

Hingga…hingga sepertinya emak melihat kelebat sinar putih. Tinggi dan besar.
Mendekat…Mendekat…Lalu melampaui diri tegaknya di tepi mulut gua. Melingkari
tubuh Banjo yang meringkuk lelap.
Tak ada perlawanan. Tatapan emak telah menjadi begitu hampa. *** 

Catatan:
1 Yakni bebunyian dari bambu untuk menghalau burung di ladang.
2 Alat musik seperti terbangan, namun dalam bentuknya yang lebih besar. 

*) Cerpen ini merupakan pemenang kedua (tak ada pemenang pertama) lomba
cerpen Krakatau Award 2005 yang diadakan Dewan Kesenian Lampung, yang
diumumkan Agustus lalu. St. Fatimah adalah cerpenis Surabaya. Selain cerpen,
lulusan Sastra Inggris Unair itu juga menulis puisi, dan esai sastra-budaya. Dia
juga menjadi editor dan penerjemah freelance

26 | P a g e
27 | P a g e
Batu Domino yang Beradu

Cerpen Marhalim Zaini

Lebih baik jadi kuli di negeri sendiri.


Setelah segalanya seperti menyusut ke dalam gelap, dan menghadirkan bintik-bintik
cahaya lampu, serupa ratusan bintang yang terapung di sepanjang pelabuhan, di
sinilah surga mereka. Di mana lagi, selain kedai kopi tempat mereka kembali, tempat
(seolah) mereka menemukan sebuah keluarga. Surga dapat dibangun di mana saja,
dan dihuni oleh siapa saja, pikir mereka. 

Keluarga adalah surga. Keduanya ada saat kita membuatnya ada. Dan mereka selalu
merasa menemukan keduanya. Tak ada yang benar-benar merasa kehilangan, saat
batu-batu domino mulai beradu. Kehilangan adalah cerita lain, yang sengaja
diasingkan. Ia tak boleh hadir saat kesulitan-kesulitan hidup bagai mendesak dalam
setiap detik waktu yang berjalan setiap hari. Mereka kuli. Kesadaran sebagai kuli
harus ditanamkan dalam-dalam, supaya tak berkesempatan perasaan-perasaan
busuk singgah dan menggoda mereka untuk melakukan hal-hal yang buruk. Seorang
kuli bukan seorang pencuri. Ini harus diyakini. Meski terkadang banyak mata yang
memosisikannnya tak terlalu jauh berbeda. Tapi mereka tak ingin mengerti. Sebab
tak cukup waktu untuk memahami dan mengerti tentang status, tentang kedudukan.
Mereka merasa sebutan kuli sudah cukup memberi kepercayaan diri bagi mereka,
dan itu lebih baik daripada seorang gelandangan atau pengangguran. 

Lalu apa yang membuat status kuli menjadi tidak baik? Tidak ada. Ini negeri kuli. Di
setiap sudut kota, di kampung-kampung, di mana pun, kuli jadi penghuni. Tidak
percaya? Ribuan kuli di negeri jiran adalah akibat dari kemelimpahan kuli di negeri
ini. Dan mereka, yang malam ini duduk membanting batu-batu domino di atas meja
kedai kopi, tidak memilih jadi kuli di negeri orang. "Lebih baik jadi kuli di negeri
sendiri," umpat mereka, saat seorang kawan membawa oleh-oleh berupa bekas
sabetan rotan yang menggaris di punggungnya. Mereka seolah tak hirau pada
sejumlah kawan lain yang dengan semangat membara bersusah payah untuk bisa
ikut menjadi kuli di negeri orang. Mereka hanya mencibir, "kalian tak malu jadi kuli
di negeri orang?" Dan mereka pasti akan menutup telinga saat kawan-kawannya
menjawab, "tak ada bedanya jadi kuli di negeri sendiri." 

Dan malam, selalu jatuh tepat di pundak sungai ini, seperti seorang tua berjubah
hitam, menyungkup kedinginan. Dan mereka, satu-satu datang, seperti bersepakat
untuk bertemu, berkumpul di kedai kopi. Inilah saat pesta domino digelar.
Membanting angka-angka keberuntungan. Teh telor, kopi ginseng, hemaviton,
ekstrajoss, bir bintang, topi miring, ciu, kti, dan segala jenis minuman beralkohol
adalah hidangan sebagai taruhan ringan. Dan percakapan adalah lintasan-lintasan
pikiran yang tak jernih. Tak ada peristiwa yang selesai diperbincangkan dari mulut
yang bau tuak. Mereka mengucapkan pukimak, pantek, tai, asu, dan sejenisnya,
sebagai patahan-patahan emosi yang tak serius. Omong kosong, kebuntuan, ledakan,
cemeeh, semua tak terencanakan. Yang tak terbiasa, dan datang dengan kejernihan
yang normal, hanya akan mengotori telinga dan pulang dengan wajah yang
memucat, dan segera menyadari bahwa ia asing dan terlihat aneh di lingkungan

28 | P a g e
mereka. Dan percakapan yang tak selesai, acapkali harus diakhiri dengan
perkelahian. Inilah egoisme yang sering muncul dalam kehendak untuk menang
yang tak terkontrol. Gigi patah, muka lebam, lengan koyak, kepala bocor, hidung
meler, adalah hal yang tak terhindarkan. Polisi ada, tapi menganggapnya biasa. Ia
menjadi tradisi. Tidak akan pernah ada yang kalah, sebab setiap mereka merasa
telah menang. Dan selesai. Malam berikutnya adalah surga, adalah keluarga. Mereka
kembali, seperti batu-batu domino yang tak bosan untuk beradu…

Mungkin hidup yang dulu telah membuang mereka. Kini mereka sedang berada
dalam pilihan hidup yang harus terlihat wajar sebagai sebuah keputusan yang tak
salah. Mereka sengaja membuang jauh ingatan lampau seperti seseorang yang
membuang sauh ke dasar laut. Orang tua, kakak, adik, abang, saudara-mara, adalah
wajah-wajah yang tak seharusnya hidup dalam ingatan mereka saat ini. Sebab
kehadiran wajah-wajah itu hanya akan membuat kebebasan terkekang, dan hanya
kembali menegaskan perasaan akan kehilangan dan kekalahan. Ini memuakkan.
Sama memuakkannya dengan wajah kampung-kampung tempat kelahiran mereka.
Kampung yang membuat penghuninya merasa terbuang, merasa tak diperhitungkan.
Dan anak-anak yang terlahir dari sana adalah anak-anak yang menderita ketakutan
akan masa depan. Anak-anak yang setiap subuh bertelanjang dada, bermain congkak
di bawah asuhan beruk-beruk di hutan karet. Anak-anak yang gemar memanjat
batang kelapa, melebihi tupai. Anak-anak yang tahan berendam dalam lumpur
gambut di akar-akar bakau berburu ketam atau siput. Anak-anak yang tiba-tiba telah
tumbuh menjadi seseorang yang telah siap dipekerjakan untuk menjadi kuli,
menjadi anak buah tongkang berlayar gelap ke negeri orang. Dan yang memuakkan
inilah, yang kini harus ditanggungkan. Maka tertawalah. Seperti seseorang yang baru
saja menemukan dirinya sedang mencapai puncak kebahagiaan. Dan malam, adalah
rumah tempat mereka melepas tawa, sebebas-bebasnya. Sebebas batu-batu domino
yang beradu…

Dan tak ada satu malam pun yang luput. Hari-hari kehilangan nama-nama. Di tepian
sungai, kedai kopi seperti mereguk malam demi malam, dan membiarkannya
berlalu. Dan mereka adalah orang-orang yang juga dengan sengaja membiarkan
segalanya berlalu. Hidup seorang kuli adalah hidup yang terbatas. Mereka tak terlalu
berkeinginan untuk merespons sesuatu yang sedang bergerak di luar mereka. BBM,
korupsi, asap hutan, demonstrasi, amuk massa, tawuran antarsuku, penculikan,
pembunuhan, kemiskinan, dan segala macamnya sudah terlampau akrab dalam
telinga mereka. Dan kini tak ada urusan, selain menghitung keberuntungan dari
angka-angka di batu-batu domino. Urusan di luar diri mereka adalah urusan di
dunia lain. Mencampurinya hanya akan membuat mereka tak bisa bebas berpikir
tentang bagaimana memenangkan taruhan saat bermain domino. Dan tentu, tak bisa
membuat mereka bebas tertawa.

Tapi, apakah segala urusan memang benar-benar berada di luar diri mereka?
Seperti halnya yang terjadi pada malam ini. Seorang perempuan muda dengan perut
yang membuncit, tiba-tiba datang tergesa-gesa dan memukulkan botol bir di kepala
seorang kuli. Tak ada kalimat yang pantas, selain maki-hamun yang keluar
berdenging dari mulut perempuan itu. Semua kuli di kedai kopi, tentu terpaksa
berhenti tertawa. Sebuah urusan telah datang, dan masuk ke dunia mereka. Salah

29 | P a g e
seorang kuli kini telah bocor kepalanya. Dan apa yang harus dilakukan oleh yang lain
untuk urusan pribadi semacam ini? Sementara perempuan itu terus meracau
meminta pertanggungjawaban, sambil entah berapa botol air mata pula yang
tumpah berserakan di lantai kedai kopi. Seorang kuli yang bocor kepalanya, tentu
timbul rasa malu, rasa kesenangannya terganggu, rasa kelelakiannya, egoismenya,
yang bercampur dan beradu. Lelaki itu lalu menghayunkan baku tinjunya yang
sebesar balok kayu mahang ke wajah perempuan hamil itu. Dan ia pergi, seperti
seorang koboi yang baru saja melepaskan sebutir peluru dari pistolnya. Perempuan
itu terkapar. Sebuah urusan telah membuat kedai kopi ini mulai menjadi neraka.
Keluarga adalah neraka?

Malam berikutnya, seorang lelaki separuh baya, berbadan besar, tidak berkumis,
datang membawa setumpuk kertas bon dan membantingnya di tengah salah satu
meja di kedai kopi. Ada apa? Pastilah hutang. Ini urusan yang tak seharusnya datang
saat malam belum lengkap memberikan kebebasannya. Seorang kuli yang merasa
berhutang, seperti tak mampu menyembunyikan wajahnya dari yang lain. Dan tentu
saja ini cukup menegangkan. Sementara di meja yang lain, batu masih terus beradu,
tapi tanpa suara lengking tawa. Lelaki berbadan besar itu menghardik, melemparkan
telunjuk ratusan kali tepat ke wajah seorang kuli. Lelaki mana yang tak naik darah
saat dipojokkan di tengah banyak orang. Tapi ia memang telah berhutang. Dan
hutang itu memang telah berkeliling pinggang. Dan rasanya butuh kekurangajaran
yang lebih untuk bisa membalas hardikan lelaki berbadan besar ini. Tapi mulutnya
kian terkunci. Tak ada kalimat yang mampu membentenginya dari semburan lelaki
berbadan besar ini, selain sebuah tusukan pisau kecil di perutnya yang buncit itu.
Dan darah kembali tumpah. Kuli berhutang itu bergegas pergi, seperti seseorang
yang sedang terlambat untuk sebuah janji. Kedai kopi ini mulai ditumpuki sejumlah
urusan.

Siapa yang menyangka jika malam berikutnya, seorang lelaki yang juga berbadan
besar dan berambut cepak datang bergegas dengan seorang anak lelaki berumur
sepuluh tahun. Malam ini kedai kopi kembali ricuh. Lelaki cepak itu langsung
berteriak, "Mana kuli yang telah merampas uangmu, mana dia, mana!" Lelaki kecil
berumur sepuluh tahun langsung menunjuk seorang kuli yang duduk merokok di
sudut kedai. Tidak ada basa-basi, sebuah tendangan telak mengenai dada lelaki kuli
itu. Dan karena melihat lawan sudah tampak terkapar, lelaki cepak pergi dengan
menggeret tangan lelaki kecil, pergi seperti seorang pahlawan yang baru saja
menunjukkan kehebatannya. Tapi siapa yang menyangka, jika keesokan siangnya,
telah ditemukan seorang mayat anak lelaki berumur sepuluh tahun tersangkut di
tiang pelabuhan. Dan kematian telah mengakibatkan kedai kopi ini berurusan
dengan banyak hal. Para kuli kini harus mulai mengatakan bahwa mereka memang
tak bisa terlepas dari segala macam urusan. 

Sesuatu yang tak terduga pasti terjadi setelahnya. Tengoklah, puluhan orang
berbondong-bondong dengan sebilah parang di tangan mereka. Orang-orang ini
menjelma sebagai makhluk-makhluk yang beringas, menabuh genderang perang.
Dan beruntunglah jika para kuli masih sempat memperpanjang nyawa mereka
dengan berlari ke segala arah, melepaskan diri dari serangan segala urusan di luar
diri mereka, yang rupanya kini tanpa disadari telah menjarah dan merangsek ke

30 | P a g e
dalam tubuh mereka. Orang-orang merasa tak puas, karena tak seorang kuli pun
yang berhasil mereka cincang, dan membawa serpihan dagingnya pada anak-anak
mereka di rumah sambil mengatakan, "Ini kan orangnya yang telah mengganggu
hidup kalian?" Ketidakpuasan itu harus dituntaskan dengan sesuatu yang lain.
"Bakar! Bakar kedai kopi terkutuk ini!"

Siapakah yang paling merasa kehilangan?


Malam di tepian sungai ini, hanya sunyi yang jongkok di atas pepuing kedai kopi. Ia
seperti seseorang yang jongkok menekur diri, sambil bergumam, "Tidak lebih baik
menjadi kuli di negeri sendiri…"***
Pekanbaru, 2005

Marhalim Zaini, lahir di Teluk Pambang Bengkalis Riau, 15 Januari 1976. Rajin
mempublikasikan karya-karyanya ke berbagai media massa, di antaranya
Horison, Kompas, Media Indonesia, Koran Tempo, Republika, Jurnal Puisi, Jawa
Pos, dll. Empat bukunya yang telah terbit, Segantang Bintang Sepasang Bulan
(kumpulan sajak, 2003), Di Bawah Payung Tragedi (kumpulan lakon, 2003),
Tubuh Teater (kumpulan esai, 2004), dan Langgam Negeri Puisi (kumpulan sajak,
2004).

31 | P a g e
Terbakar

Cerpen Korrie Layun Rampan

Apakah yang unik dikisahkan tentang Bentas Babay? Arus sungai yang berubah dari
sebuah dataran tanjung yang berlekuk ke selatan, dan tanjung yang memanjang itu
digali oleh Babay --seorang pedagang yang selalu memintas di tempat itu dengan
perahu berdayung dua. Karena ingin memperpendek jarak, Babay menggali tanjung
curam itu. Oleh aliran air sungai yang deras selama musim banjir, lama-kelamaan
tanjung itu putus dan membentuk sungai baru. Bagian ke hilir sungai itu
membentuk sebuah teluk, yang pada arus air dalam, teluk itu memusar dengan ulak
yang masuk ke dalam lingkaran arus yang deras. Ngeri sekali tampaknya.

Karena terusan yang berubah jadi sungai itu digali Babay, hingga kini orang
menyebutnya Bentas Babay, yang maknanya bertemunya sungai baru akibat
putusnya sebuah dataran tanjung.

Tapi penting apakah hingga ia perlu diceritakan? Adakah di tempat itu pernah
terjadi sesuatu yang istimewa seperti pertempuran sengit saat pendaratan tentara
Sekutu di Normandia? Atau ada pohon berhantu seperti beringin tua dan
meninggalkan kematian dari zaman ke zaman seperti kelaparan dan pembantaian
yang mengerikan? Atau ada hal-hal lainnya yang mengandung kisah seperti
perselingkuhan dan marabencana?

Kukatakan dengan cepat bahwa kisah itu adalah bencana!

Tapi bukankah marabencana selalu ada di setiap waktu di setiap daerah?

Perlu apakah dikisahkan agar diketahui orang lain?

Kukatakan dengan segera bahwa kisah marabencana itu dimulai dari rasa suka yang
berlimpah! Seperti Jayakatwang yang berpesta pora setelah mengalahkan
Kertanegara, lalu tumpas karena diserang tentara Tartar yang diarahkan oleh Raden
Wijaya?

Tapi cerita yang akan kukisahkan ini bukan sebuah peperangan. Tidak juga tentang
hantu atau demit, tapi sebuah kejadian yang menimpa empat pemuda yang baru
mengenal jatuh cinta!

Buru-buru kukatakan bahwa bentuk sungai yang akhirnya menjadi Bentas Babay
merupakan sebuah tanjung yang kemudian membentuk rantau yang panjang dan di
bagian hilir tanah genting membentuk teluk luas yang airnya selalu menggenang
hampir seperti danau. Hutan di bagian daratan teluk yang dinamai Dataran Ruratn
dibuka oleh Mongkur menjadi ladang yang luas. Namun musim yang kadang tak
menentu karena pengaruh El-Nino dan penebangan hutan oleh pengusaha HPH
membuat banjir sering datang tidak tepat waktu dan menghancurkan padi yang baru
mulai berbulir. Ikan-ikan berpesta-pora di ladang yang luas itu, dan setelah habis
banjir yang tertinggal hanya dataran huma yang dipenuhi lumpur, karena padi dan

32 | P a g e
palawija binasa dihanyutkan arus air yang deras. Karena sering terlanda paceklik,
untuk menyambung hidup, Mongkur kadang kala bekerja membantu Babay
menggali terusan di tanjung itu.

Babay selalu istirahat dan menambatkan perahunya di jamban Mongkur jika telah
tiba di kawasan itu. Entah beberapa kali pedagang itu sudah ikut menumpang tidur
di rakit jamban itu. Namun di suatu ketika terjadi kehebohan karena Mongkur
menemukan pembantu pendayung perahu Babay meniduri istrinya dan lelaki
peladang itu tak beri ampun, ia menetak lelaher lelaki muda itu. Akibatnya, Mongkur
sendiri digiring ke dalam tahanan, sementara Babay harus menghentikan
pekerjaannya menggali terusan untuk memotong genting tanah tanjung di situ
karena harus menjadi saksi perbuatan asusila yang berujung pada tragedi
pembunuhan itu.

Beberapa tahun kemudian alur terusan yang dibuat Babay telah berubah menjadi
sungai, namun rumah Mongkur ditemukan sudah runtuh karena tak ada yang
memelihara, dan di tempat itu menjadi tempat yang mengerikan karena tak ada
orang yang berani berdiam di situ, karena tanahnya pernah dialiri darah seorang
peselingkuh. Kata orang, kadang di suatu malam, jika sedang terjadi bulan mati,
terdengar suara teriakan dan lolongan minta ampun, seperti suara seorang lelaki.
Kadang ada tawa dan tangis saling berbarengan. Orang-orang yang memintas di
tempat itu di malam hari selalu merasa ngeri, dan mereka cepat-cepat mendayung
sampan agar segera lewat ke hulu atau ke hilir. Ketakutan itu berakhir, setelah orang
tak lagi menggunakan pengayuh, tapi menggunakan ketinting, sehingga teriakan
atau suara tangis roh kematian tak terdengar, karena gemuruh kerasnya suara
mesin!

Entah cerita itu benar atau hanya dikarang oleh ahli pengisah lisan, tak ada yang
tahu. Tak ada juga yang tahu apakah memang ada orang bernama Babay atau orang
bernama Mongkur. Semua mulut menutur ulang cerita itu seakan-akan mereka
sendiri yang mengalaminya. Dengan begitu, hingga kini cerita itu masih dikisahkan
oleh generasi yang berada di kampung-kampung di sekitar situ. Apalagi setelah
pohon puti yang tinggi roboh ke air di teluk itu, karena tebing sungai yang curam
longsor, orang-orang merasa lebih ngeri lagi, terutama karena salah seorang warga
menemukan ular raksasa sebesar pohon kelapa yang pernah memangsa manusia di
teluk itu --dan saat itu sedang kekenyangan menelan seekor rusa-- mati terimpit
pohon puti yang roboh. Puncak dari segala kejadian itu adalah jatuhnya Jalikng dari
dahan beringin yang melayah ke arah teluk. Lelaki itu memerangkap burung punai
yang memakan buah beringin yang sudah matang dengan getah pulut di subuh hari. 
Entah angin kencang atau kakinya tergelincir, Jalikng tercebur ke tengah teluk, dan
di bawahnya ternyata telah menanti nganga mulut buaya yang lapar.

Hanya pawang Molur yang dapat menyeret buaya nahas yang memangsa Jalikng.
Beberapa bagian tubuh lelaki beristri tiga itu ditemukan di dalam perut buaya.

Sejak itu, warga terus-menerus menganggap kawasan itu angker. Namun ada juga
orang yang memanfaatkan keangkeran itu, karena pada waktu-waktu tertentu ada
buaya yang bertelur di banir-banir pohon dahuq. Secara diam-diam orang itu

33 | P a g e
mengambil telur-telur buaya itu, dan bahkan ada orang yang memasang jerat buaya,
dan secara diam-diam menjual kulit buaya yang mahal harganya itu ke Babah Lie
Auw Chu di Muara Pahu.

Bagi yang mujur, di musim kemarau di pasir pantai di utara teluk itu kadang
bersarang puluhan penyu dengan ratusan telur di setiap lubangnya. Tapi menurut
cerita, puluhan tahun lalu orang berhenti membantai penyu dan buaya karena salah
seorang yang suka diam-diam mengambil telur-telur dan menjerat buaya itu
dimangsa buaya badas yang ganas.

Entah mengapa, lingkungan teluk itu selalu disertai cerita yang menyeramkan. Kalau
bukan cerita tentang kematian atau duka cita, kisahnya selalu berujung pada tragedi
kesedihan.

Lalu tentang empat pemuda yang mulai jatuh cinta? Kisahnya sederhana, bermula
dari waktu vakansi. Empat pemuda yang menghabiskan waktu seselesai ujian akhir
SMA, pergi berdagang ke kampung-kampung di udik Sungai Berasan. Entah
memang sudah sampai waktunya untuk bertemu dengan kekasih masing-masing,
entah memang hanya suatu kebetulan, saat keempat pemuda itu menghilir dengan
berkayuh cepat di gelap bulan mati, tepat saat memintas di Bentas Babay itu, haluan
perahu membentur tunggul yang mencuat di tengah sungai. Perahu yang sarat
muatan hasil dagangan seperti padi, beras, ayam, dan lima ekor kambing segera
oleng oleh kejutan arus dan ulak. Dengan tak terduga dari arah hulu meluncur
sebuah ketinting dan segera menggepak perahu yang sudah oleng ke arah kiri. Baik
perahu maupun ketinting sama-sama tenggelam bersama muatannya.

Tiga pemuda yang berdagang dalam masa vakansi tenggelam karena terbentur
haluan ketinting. Tiga pemudi bersama motoris ketinting juga tenggelam di dalam
ulak air yang deras di tengah teluk yang dalam. Hanya satu pemuda dan satu pemudi
yang selamat, dan dari mereka itulah cerita ini ditulis kembali.

Tabrakan itu sebenarnya terjadi karena masing-masing mereka telah berjanji


bertemu hari itu di Kampung Rinding, sehingga empat gadis harus kembali dari
Kampung Sembuan di udik Sungai Nyuatan dan empat pemuda harus menghilir
dengan cepat dari pehuluan Sungai Berasan.

Cinta memang mengatasi segala-galanya. Tapi merabencana kemudian mengambil


seluruh rencana mereka yang telah tiada.

Peristiwa selalu tak terduga!

***

Empat puluh tahun lalu peristiwa tabrakan Bentas Babay itu terjadi. Kawasan di
Dataran Ruratn yang berada di bagian atas teluk Bentas Babay itu telah berubah
seperti disulap oleh teknologi ekologi. Hutannya bukan hutan terlantar karena
ditinggalkan Mongkur setelah membunuh pembantu Babay, tapi telah berubah
menjadi hutan tanaman industri pohon ulin alias kayu besi. Di arah bagian bantaran

34 | P a g e
sungai berdiri mess para pekerja dan rumah mewah pemilik HTI di dalam kompleks
yang elite.

"Kasihan tiga pasang kawan kita tak sempat mengecap cita-cita membangun
kongsian HTI," si wanita berkata kepada lelaki yang ada di depannya. "Kalau tak ada
nahas tunggul Bentas Babay ini mereka masih ada bersama kita."

"Tapi kita telah tebus cita-cita itu, Ningsih. Bukankah nama mereka juga diabadikan
di dalam bagian-bagian hutan kayu besi ini?"

"Hanya nama, Syar. Mereka tidak menikmati langsung. Bukankah sejak kecil kita
telah bersepakat akan maju secara bersama-sama?"

"Tapi peristiwa mengambil segala yang baik dari kita. Syukur masih ada pasangan
kita yang hidup dari peristiwa teluk tunggul kayu Bentas Babay itu? Sehingga kita
dapat melaksanakan amanat bersama?"

Lebih 20.000 hektare HTI kayu besi yang berusia lebih dari dua puluh lima tahun.
Ribuan pohonnya ada yang sudah lebih besar dari badan orang dewasa. Pohon-
pohon langka itu membuat pemiliknya sampai mendapat anugerah dari sejumlah
institusi di luar negeri sebagai penyelamat lingkungan dengan menanam pohon
langka. Kalau bukan HTI, mungkin pemiliknya mendapat anugerah Kalpataru.

Lelaki dan wanita yang berbicara itu merupakan pemilik HTI kayu besi. Mata
mereka tiba-tiba dikejutkan oleh permainan akrobatik pesawat tempur di udara.

"Apakah ada perang di kawasan kita? Apa yang diperangi di sini?" si lelaki terus
menatap televisi. "Bukankah hanya pemulihan keamanan dari GAM di Aceh. Adakah
yang direbut lainnya dari kita?"

"Itukah Sukhoi yang diributkan?"

"Bukan. Bukan Sukhoi. Bukankah Sukhoi sudah diterima beberapa waktu lalu?"

"Apa pesawat yang akan membomi Irak lagi?"

"Tak mungkin membom Irak. Bukankah perang frontal sudah usai. Lagi, tak
mungkin persiapan pesawat tempurnya hanya empat?"

Mata mereka melihat ada pesawat lainnya yang seperti menguntit formasi empat
pesawat udara yang mengadakan akrobatik udara. Lama kemudian baru mereka
mendengar penjelasan bahwa ada pesawat tempur Amerika melakukan aksi selama
dua jam di udara di atas Pulau Bawean. Pesawat F18 milik Amerika yang mengawal
kapal-kapal negeri adidaya itu melewati perairan Indonesia. Pihak Angkatan Udara
Indonesia menangkap manuver terlalu lama dari izin perlintasan dan kemudian
mengirim F16. Hampir saja terjadi sesuatu yang tak diingini, karena pesawat yang
mengintai hampir ditembak oleh mereka yang memintas.

35 | P a g e
"Terlalu banyak peristiwa akhir-akhir ini," si lelaki menatap istrinya yang duduk
tenang menatap televisi. "Bahkan perusahaan HTI kita ini juga diungkit-ungkit para
provokator." 

"Katamu ada yang malah mengancam," istrinya menimpali. "Ingin membakar dan
memusnahkan kalau tuntutan ganti rugi lahan tak dilakukan."

"Reformasi memang maksudnya keterbukaan. Lebih dua puluh lima tahun


semuanya sudah dibereskan," sang suami menatap istrinya. "Tapi kebablasan,
sekarang sering membuat kesusahan dan kerugian!"

"Katamu anak cucu pemilik tanah yang menuntut. Terutama mereka yang sudah
kematian ayah atau kakek moyang. Mereka katakan belum menerima penggantian."

"Buktinya ada," sang suami masih menatap televisi. "Mungkin mereka yang
menuntut itu belum lahir saat dilakukan pembayaran. Tak mungkin kita membayar
berkali-kali."

"Kadang kertas dan kata-kata di atasnya tak mempan dalam era orang berebut
kekuasaan seperti sekarang ini," sang istri yang berkata. "Hukum sudah begitu
rendahnya terinjak-injak!"

"Karena orang maling ayam lebih dihargai hukum dibandingkan koruptor triliunan."

"Karena pemaling ayam orang miskin, koruptor menggunakan kekuatan uang."

"Itu masalah moral," sang suami menatap awan. "Rendahnya derajat kemanusiaan
membawa dampak buruk di seluruh sendi kehidupan!"

"Seharusnya uang dicari tapi tak menguasai tubuh dan jiwa. Uang dikuasai!" 

"Seharusnya begitu."

Serentak suami istri itu memandang ke arah langit. Ada titik dan deruan
menandakan bunyi di bentangan cakrawala.

"Adakah itu pesawat pemerintah kabupaten pemekaran yang baru dibeli dibawa ke
Lapangan Terbang Melalan?" sang suami menunjuk ke arah noktah. "Masyarakat
mulai akan menikmati kemudahan."

"Paling-paling yang menggunakan para pejabat, pimpinan partai politik, dan kaum
berada. Siapa rakyat jelata mampu membeli tiket sejuta pergi pulang ke
Balikpapan?"

"Tapi sudah bagus ada ide dan realisasi pesawat pemutus isolasi," sang sumi
menimpali. "Daripada selama ini naik kapal air dan memintas jalan berlumpur
sedalam pinggang!"

36 | P a g e
"Nenek-moyang dulu-dulunya bisa hidup layak. Mengapa harus dipersoalkan?"

"Lain zamannya, Bu."

"Tapi lihat di berbagai kampung. Rumah kumuh beratap daun masih merajalela. Di
pehuluan beras seharga lima ribu. Puluhan tahun merdeka tapi mengapa belum juga
merdeka?"

"Pesawat itu tanda merdeka."

"Pesawat barang mewah. Lalu mengapa kebutuhan sehari-hari harganya seperti


barang mewah?"

"Kalau penghasilan tinggi, tak ada harga barang yang tinggi."

"Nyatanya penghasilan masyarakat sangat rendah. Bukankah kau sendiri ikuti upah
minimum daerah Rp 572.562,00 per bulan? Cukupkah untuk membiayai keluarga
beranak tiga?"

"Perusahaan kita bukan lembaga sosial."

Tiba-tiba telinga suami istri itu dikejutkan oleh suara gelegar dan ledakan yang hebat
ke arah tengah onderneming kayu besi. Tak lama kemudian mata mereka
menangkap asap yang tebal naik ke atas.

Beberapa orang yang ada di base camp itu terdengar berteriak. "Pesawat pemda yang
baru dibeli jatuh di hutan kayu besi. Pesawat yang baru dibeli jatuh terbakar di hutan
ulin HTI kita."

Lelaki dan wanita itu berdiri terperanjat. Mata mereka nyalang memandang asap api
dari hutan kekayaan. Tak lama kemudian terdengar deru motor dan mobil dan gegas
penjaga hutan di bagian utara. Mereka segera melapor bahwa ada pesawat jatuh dan
hutan HTI terbakar.

Lidah api disertai asap tebal makin meluas karena angin makin santer. Lelaki
pemilik onderneming itu merasa kepalanya berdenyut hebat. Bukankah para
operator alat-alat berat dan regu pemadam kebakaran sedang cuti? Sejumlah mereka
pulang ke Jawa dan Sumatera!

Masih dalam terpana, lelaki pemilik HTI, api terus menyebar dengan cepat karena
tiga bulan terakhir tak setetes pun hujan turun dari langit. Ke mana menyewa
pesawat untuk memadamkan api? Siapa bisa mengoperasikan alat-alat berat guna
melokalisasi api? Sementara api terus mengojah langit!

"Enam teman kita mati. Usaha kita gagal, Pa," si wanita terdengar bersuara
memelas. "Mengapa pemda harus beli pesawat rongsokan sehingga jatuh dan
mencelakakan usaha HTI kita. Ke mana Papa mencari dana menutup kerugian dari
kebangkrutan? Bibit kayu gaharu yang disemai di utara juga dilalap api?"

37 | P a g e
Di base camp orang ribut berlarian berusaha menyelamatkan diri karena lidah api
dari hutan kayu besi makin mendekat menjadi-jadi.

"Lari! Kalau tak mau mati, lari cepat ke sungai. Lari ke kampung selamatkan diri!
Ayo! Lari cepat!"

Api makin mendekat ke arah base camp dan hampir menjilat rumah mewah milik
pengusaha HTI di lingkungan base camp.

Suara itu seperti litani bersahut-sahutan makin keras. "Cepat kita ngungsi!
Tinggalkan kawasan Bentas Babay. Cepat kita selamatkan diri! Ayo! Lekas kalau tak
mau mati dilalap api!"

Lelaki pemilik HTI tampak bengong menatap asap hitam dan lidah api yang
menjolok langit. Dari mulutnya terdengar suara seperti geraman. "Kejayaan dan
kemaslahatan tiba-tiba mengubah nasib menjadi kere gombal. Mengapa pemkab
harus membeli pesawat bekas yang mencelakakan?"

Sebagian besar lahan HTI telah dilalap api. Cahaya merah menyebar ke segala arah!
"Masyarakat dan provokator dapat diredam dari kebablasan reformasi. Tapi
mengapa justru pesawat yang membakar HTI?!" suara lelaki itu terdengar lemah
sambil matanya terus menatap hutan yang musnah! "Mengapa harus membeli
pesawat yang tak diproduksi lagi. Dari Kanada pula, bukannya membeli milik sendiri
dari PT Dirgantara Indonesia?" suaranya bagaikan menolog yang sumbang.

Deru api makin menjadi-jadi! ***

Catatan:
Bentas = tanjung terpotong menjadi sungai
puti = kempas, ohon tempat madu bersarang
dahuq = dracontomelon spp; fam. Anacardiaceae
badas = salah satu jenis buaya air tawar
kayu ulin = Eusideroxylon zwageri
kayu gaharu = Aquilaria malaccensis

---
Korrie Layun Rampan, sastrawan, telah menulis seratusan judul buku sastra. Lama
tinggal di Yogyakarta, Jakarta, dan kini menjabat ketua Komisi I DPRD Kutai Barat.

38 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai