Anda di halaman 1dari 11

Cerpen Putu Wijaya Monday, January 30, 2006

Peradilan Rakyat

Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang
sangat dihormati oleh para penegak hukum.

"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari
sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang
kacau ini."

Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap
putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.

"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"


Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."

"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu
kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan
perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan
berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih
di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan
untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti
tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat
hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka
menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri
keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat.
Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa
banyak belajar dari buku itu."

Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang


keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih
terasa.

"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah
Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku
punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan
aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda
sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak
keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah
keadilan itu sendiri."

Pengacara tua itu meringis.


"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara
sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
Pengacara tua itu tertawa.
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.

"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung
pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu,
"jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang
akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya
bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."

Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan
ucapannya dengan lebih tenang.
Cerpen Lan Fang Monday, January 30, 2006
Malam-Malam Nina

Ini sudah hari ke empat Nina kelihatan murung. Kian hari wajahnya semakin mendung dengan
mata nanar dan bisu. Kerjanya setiap hari bangun dengan masai lalu duduk termenung.

Sebetulnya itu bukan urusanku. Karena Nina bukan siapa-siapaku. Ia hanya menyewa
sebuah kamar di rumahku. Ia tinggal bersamaku baru dua bulan ini. Tetapi entah kenapa
aku langsung menyukainya.

Rumahku tidak terlalu besar. Juga tidak terlalu bagus. Sederhana saja. Rumahku berada
di kampung yang dindingnya rapat dengan tembok rumah sebelah. Ada tiga kamar
kosong. Tetapi aku tinggal sendirian. Karenanya aku menyewakan kamar-kamar kosong
itu untuk menunjang hidupku di samping aku membuka sebuah warung kelontongan kecil
di depan rumah.

Penghuni kamar pertama adalah Anita. Ia cantik dan selalu wangi karena ia bekerja
sebagai seorang beauty advisor kosmetik terkenal di counter kosmetik sebuah plaza megah.
Anita supel, periang dan pandai berdandan.

Kamar kedua dipakai oleh Tina. Ia juga cantik. Katanya ia bekerja di sebuah restaurant.
Tetapi yang mengantarnya pulang selalu bukan laki-laki yang sama. Kepulan rokok mild
juga tidak pernah lepas dari bibirnya yang seksi.

Tetapi aku bukan tipe pemilik kost yang rese’. Mereka kuberi kunci pintu supaya bila
pulang larut malam tidak perlu mengetuk-ngetuk pintu dan membuatku terganggu. Aku
tidak terlalu pusing dengan apa pun yang mereka kerjakan. Toh mereka selalu membayar
uang kost tepat waktu. Bukan itu saja, menurutku, mereka cukup baik. Mereka hormat
dan sopan kepadaku. Apa pun yang mereka lakoni, tidak bisa membuatku memberikan
stempel bahwa mereka bukan perempuan baik-baik.

Nina datang dua bulan yang lalu dan menempati kamar ketiga. Kutaksir usianya belum
mencapai tiga puluh tahun. Paling-paling hanya terpaut dua tiga tahun di bawahku. Ia
tidak secantik Anita dan Tina, tetapi ia manis dan menarik dengan matanya yang selalu
beriak dan senyumnya yang tulus. Ia rapi. Bukan saja kamarnya yang selalu tertata, tetapi
kata-katanya pun halus dan terjaga. Ia membuatku teringat kepada seorang perempuan
yang nyaris sempurna. Perempuan di masa lampau yang…ah…aku luka bila
mengingatnya.

Oh ya, Nina juga tidak pernah keluar malam. Ia lebih banyak berada di rumah, bahkan ia
tidak segan-segan membantuku menjaga warung. Kalaupun ia keluar rumah, ia akan
keluar untuk tiga sampai empat hari setelah menerima telepon dari seseorang laki-laki.
Laki-laki yang sama.

Bukan masalah kemurungannya saja yang aneh bagiku. Tetapi sudah dua minggu terakhir
Nina tidak pernah keluar rumah. Bahkan tidak menerima atau menelepon sama sekali.
Yang tampak olehku hanyalah kegelisahan yang menyobek pandangannya. Dan
puncaknya adalah empat hari terakhir ini.

"Nina, ada apa? Beberapa hari ini kamu kelihatan murung…," aku tidak bisa mengerem
lidahku untuk bertanya, ketika kami hanya berdua saja di rumah. Warung sudah tutup
pukul sepuluh malam. Anita dan Tina belum pulang. Tetapi Nina kulihat masih termangu
dengan mata kosong.

Ia menoleh dengan lesu setelah sepersekian menit diam seakan-akan tidak mendengarkan
apa yang aku tanyakan. Kemurungan tampak menggunung di matanya yang selalu beriak.
Tetapi ia cuma menggeleng.

"Apa yang sekiranya bisa Mbak bantu?" aku tidak peduli andai ia menganggapku rese’.

Lagi-lagi hanya gelengan. Ia masih duduk seperti arca membatu. Tapi mampu kubaca
pikirannya gentayangan. Rohnya tidak berada di tubuhnya. Entah ke mana
mengejewantah.

Cerpen Marhalim Zaini Wednesday, January 18, 2006


Jangan Menyebut Dua
Frasa Itu

Yang hidup di tepi laut, tak takut menyambut maut.


Tapi ia, juga orang-orang yang tubuhnya telah lama tertanam dan tumbuh-biak-berakar
di kampung nelayan ini, adalah sekelompok paranoid, yang menanggung kecemasan pada
dua frasa. Dua frasa ini merupa hantu, bergentayangan, menyusup, menyelinap, dan
acapkali hadir dalam sengkarut mimpi, mengganggu tidur. Dan saat bayangannya hadir, ia
membawa kaleidoskop peristiwa-peristiwa buruk, yang menyerang, datang beruntun.
Maka, ketahuilah bahwa dua frasa itu sesungguhnya kini hadir lebih sebagai sebuah energi
negatif yang primitif, selain bahwa ia juga sedang menghadirkan dirinya dalam sosoknya
yang energik, molek dan penuh kemegahan.

Tapi mampukah ia, si renta yang bermulut tuah, bertahan untuk tidak menyebut dua frasa
itu, yang sesungguhnya telah demikian lekat bersebati di ujung lidahnya, bagai asin laut
yang ia cecap setiap hari dan terus mengalir di air liur ke-melayu-annya.

"Ingat ya Tuk, Datuk tak boleh menyebut dua frasa itu. Bahaya!" Demikian proteksi dari
yang muda, dari cucu-cicitnya. Dan merekalah yang sesungguhnya membuat ia kian
merasa cemas. Di usianya yang susut, ia justru merasa kekangan-kekangan datang
menelikung. Tak hanya kekangan fisik karena kerentaan yang datang dari kodrat-
kefanaan tubuhnya sendiri, tapi juga kekangan-kekangan yang kerap ia terima dari orang-
orang di luar tubuhnya. Orang-orang yang sebenarnya sangat belia untuk mengetahui rasa
asam-garam, sangat rentan terhadap patahnya pepatah-petitih di lidah mereka.

Tapi, di saat yang lain, ia merasa aneh. Kenapa dua frasa itu, akhir-akhir ini demikian
bergaram di lidahnya, tetapi demikian hambar di lidah orang muda? Tengoklah mereka,
orang-orang muda, mengucapkan dua frasa itu seperti angin yang ringan, terlepas begitu
saja, dan terhirup tak berasa. Dua frasa itu mereka ucapkan di merata ruang, merata
waktu. Dari ruang-ruang keluarga, sampai dalam percakapan di kedai kopi. Dan
setelahnya, secara tersurat, memang tak ada satu pun peristiwa buruk yang tampak
terjadi, seperti layaknya ketika ia, si lelaki renta, yang mengucapkannya.

"Datuk kan bisa melihat akibatnya, ketika dua frasa itu keluar dari mulut Datuk yang
bertuah itu. Badai topan datang menyerang dari arah laut. Habis semua rumah-rumah
penduduk. Lintang-pukang seisi kampung nelayan. Nah, kalau Datuk memang tak ingin
melihat anak-cucu-cicit datuk porak-poranda, ya sebaiknya Datuk jangan sesekali
menyebut dua frasa itu. Dan Datuk tak boleh iri pada kami, ketika kami dengan sangat
bebas bisa menyebut dua frasa itu, karena Datuk sendiri tahu bahwa lidah kami memang
tak sebertuah lidah Datuk."

Tapi ia, si lelaki renta itu, selalu merasakan ada yang aneh. Instingnya mengatakan bahwa
ada badai-topan dalam wujudnya yang lain yang sedang menyerang, sesuatu yang tersirat.
Sejak ia mengunci mulut untuk tidak menyebut dua frasa itu, justru kini ia menyaksikan
persitiwa-peristiwa buruk yang lain datang, sedang menyusun kaleidoskopnya sendiri.
Tengoklah, kenapa kian menjamurnya anak-anak perempuan yang hamil luar nikah, dan
anak-anak terlahir tak ber-Ayah. Kenapa kian dahsyatnya anak-anak muda yang tenggen,
mengganja, dan saling membangun anarkhi dan istana-istana mimpi dalam tubuh mereka.
Kadang-kadang malah mereka kini tampak serupa robot, atau bahkan kerbau dungu, atau
serupa mesin-mesin yang bergerak cepat tak berarah, membabi-buta. Akibatnya, kampung
nelayan yang serupa tempurung ini, kini lebih tampak sebagai sebuah ruang diskotek tua
yang pengap, sebuah ruang yang sedang menanggung beban masa lampau sekaligus beban
masa depan.

Dan tengoklah pertikaian demi pertikaian yang terjadi. Jaring Batu hanyalah sebuah
sebab, yang membuat perahu-perahu dibakar, orang-orang diculik, dipukul, dan perang
saudara kemudian membangun tembok yang sangat angkuh di antara orang-orang
Pambang dan orang-orang Rangsang. Hanya egoisme sesat yang membuat mereka lupa
bahwa mereka sesungguhnya berasal dari satu rumpun, satu ras, satu suku. Dan mereka
para nelayan, yang mestinya adalah para penjaga tepian ini, tapi kini mereka telah
menjelma para nelayan yang meruntuhkan tepian ini.

Cerpen Mariana Amiruddin Wednesday, January 18, 2006


Kota Kelamin

Mataku berkaca membentuk bayangan. Bayangan wajahnya. Wajah pacarku. Wajah penuh
hasrat menjerat. Duh, dia menyeringai dan matanya seperti anjing di malam hari. Aku
tersenyum dalam hati, ia menggeliat, seperti manusia tak tahan pada purnama dan akan
segera menjadi serigala. Auu! Ia melolong keras sekali, serigala berbadan sapi. Mamalia
jantan yang menyusui. Aku meraih putingnya, menetek padanya, lembut sekali.
Lolongannya semakin keras, menggema seperti panggilan pagi. Pada puncaknya ia
terkapar melintang di atas tubuhku. Dan tubuh pagi yang rimbun. Ia tertidur.

Pagi menjelang, ketika gelap perlahan menjadi terang. Tampak tebar rerumput dan
pepohonan menjulang, angin dan sungai dan di baliknya bebek-bebek tenggelam dalam
gemericik. Kutatap tubuhnya yang berkeringat membasahi tubuhku. Mengalir menumpuk
menjadi satu dengan keringatku. Bulir-bulir air seperti tumbuh dari mahluk hidup. Bulir-
bulir yang juga dinamai embun-embun bertabur di atasnya, bercampur keringat kami.

Matahari membidik tubuhku dan tubuhnya. Seperti kue bolu yang disirami panas agar
merekah wangi. Wangi birahi tubuh kami. Pacarku masih mendengkur. Aku
memperhatikan dadanya yang naik turun berirama, yang di atasnya dibubuhi bulu-bulu
halus. Aku memainkan bulu-bulu itu dan sesekali mencabutinya. Bangun, kataku berbisik
di telinganya. Lihat, matahari menyapa kita. Bebek-bebek naik ke daratan dan mendekati,
mematuk biji-biji tanah di sekitarku. Aku melirik pelir pacarku yang kecoklatan. Kulit
kendur, dan seonggok penis layu di atasnya. Aku tertawa sendiri. Bebek-bebek menyahut.
Aku membelai penisnya, seperti membangunkan siput yang bersembunyi di balik
rumahnya. Penis yang kunamai siput itu bergerak bangkit, bangun rupanya. Menegang,
menantang, dan tersenyum memandangku. Selamat pagi, kataku. Kamu lelah semalaman,
memasuki liang liurku. Dan rupamu yang menegang berjam-jam, kau harus menembus
liangku berulang-ulang.

Di tempat inilah kami biasa bertamasya melakukan senggama. Tempat yang jauh dari
mata-mata manusia yang mengutuk kelamin orang dan kelaminnya sendiri. Pacarku lalu
terbangun, matanya memicing, bibirnya membentuk perahu, tersenyum seadanya.
Liangmu nakal, katanya sambil menggeliat dan memelukku. Apa jadinya vagina tanpa
liang. Apa jadinya tanpa lubang. Bagaimana menembusnya, katanya. Dan liurmu yang
berlumur di penisku, bagaimana Tuhan menciptanya.

Aku memetik sekuntum bunga dan mematahkan putiknya, terlihat getah mengalir di
ujung patahannya. Seperti ini, kataku menunjukkan padanya. Dan aku seperti ini, katanya
sambil menjatuhkan serbuk sari bunga itu di atas kepala putik. Kami tertawa renyah.

Kami sepakat bahwa kelamin seperti sekuntum bunga dengan dua jenis kelamin di
dalamnya. Benang sari dan putik yang tak mungkin berpisah dari kelopak bunganya. Juga
warna-warna alam yang membiarkan kami melakukan senggama. Tak ada yang melarang,
membatasi, tak juga mengomentari.

Inilah kebahagiaanku dengannya, kelamin-kelamin yang bahagia di malam hari. Kelamin


juga butuh kebahagiaan. Kami mengerti kebutuhan itu. Kelamin-kelamin yang melepas
jenuh, setiap hari tersimpan di celana dalam kami masing-masing. Tak melakukan apa pun
kecuali bersembunyi dan menyembur air seni. Kelamin-kelamin yang menganggur ketika
kami bekerja keras mencari uang. Apalagi penis pacarku, ia terlipat dan terbungkus di
kantong sempaknya. Ketika mengembang ia menjadi sesak. Betapa tersiksanya menjadi
penis. Begitu pula vagina, wajahnya sesak dengan celana dalam ketat nilon berenda-renda,
tak ada ruang baginya. Kelamin-kelamin hanya dibebaskan ketika kencing dan paling-
paling memelototi kakus setiap hari.

Kelamin kami memang tak boleh terlihat, oleh binatang sekalipun. Meski pada awalnya
mereka hadir di dunia yang dengan bebasnya menghirup udara bumi. Sejak itu mereka
bersinggungan dengan benda-benda buatan manusia. Terutama ketika dewasa, mereka
semakin tak boleh diperlihatkan. Tak boleh terlihat mata manusia.

Cerpen: Ratih Kumala Wednesday, January 18, 2006


Buroq

Tak ada yang lebih aneh dari pada terbangun pada sebuah sore gerimis di bulan suci dan
mendapati dirinya penuh mengingat mimpi yang baru saja turun dalam lelap satu menit
lalu; ia seorang bejat yang tak pernah salat- bermimpi bertemu Muhammad. Bagaimana
bisa?

Inilah yang dikerjakannya setiap hari, bangun menjelang siang setelah malamnya
menghabiskan berbotol-botol bir bersama teman-teman di depan kios tattonya. Tidak ada
yang pernah benar-benar tahu siapa nama aselinya. Semua orang memanggilnya Cimeng,
tentu itu bukan nama aslinya. Kulitnya gelap dan dia menggambarinya dengan tatto
berwarna-warni. Dia menyebutnya seni, teman-temannya menyebutnya keren, anak-anak
ABG menyebutnya anak punk, sedang tetangga-tetangga yang sudah pasti tidak menyukai
kios tattonya menyebutnya berandal.

Pencerita mimpi siang itu sangat baik pada dirinya. Tentu saja ia heran, dirinya yang
selama ini menganggap dunia brengsek maka dia harus menjadi seorang brengsek pula,
tiba-tiba menjadi orang terpilih yang bertemu Muhammad dalam mimpinya. Ia tak tahu
apa artinya, tapi mimpi itu sangat jelas. Hanya ada satu yang tidak jelas; wajah
Muhammad.

Telah 10 hari bulan Ramadhan, dan ia baru tiga kali benar-benar berpuasa. Siang saat ia
bermimpi bertemu Muhammad adalah hari dirinya berpuasa untuk yang ketiga kalinya.
Bukan karena merasa wajib, tetapi karena hari itu ia malas keluar dari rumah sewanya
untuk membeli makanan. Hari itu diisinya dengan tidur dan baru terbangun saat aroma
bunga menyeruak hidung bercampur denting gerimis yang membawa aroma tanah.
Matanya terbuka, ia ngulet ke arah matahari datang. Jendela terbuka menyuguhkan
pemandangan mozaik, sedikit linglung merasa tak pasti apakah itu pagi atau sore. Ia
dibangunkan oleh mimpi yang aneh; lelaki itu penuh wibawa berdiri di atas buroq;
kendaraan yang konon lebih cepat dari cahaya dan membawanya ke lapis langit ketujuh.

*
Saat terbangun, ia melihat pemandangan matahari kemerahan di balik jendela terbuka,
gerimis, serta pohon kamboja di sebelah rumahnya yang bertetangga dengan kuburan
kecil menyeruak aroma bunga merah muda. Ia mengingat-ingat, apakah saat itu pagi atau
senja. Usianya baru tujuh tahun tapi ia sanggup berpuasa penuh. Ibunya yang tiba-tiba
muncul dari balik pintu menyapa dengan lembut, "Qatrun, salat asar dulu. Sebentar lagi
magrib." Kini ia tahu, dirinya terbangun pada sebuah sore gerimis di bulan suci. Ia tak
bergegas, mengingat-ingat mimpinya satu menit yang lalu. Sebuah mimpi yang jelas, hanya
satu yang tidak begitu jelas; wajah Muhammad dalam mimpinya.

Sehabis berbuka puasa dan magrib lewat, Qatrun kecil mengambil sarung dan peci.
Teman-temannya berteriak memanggil-manggil namanya di depan rumah, mengajak pergi
ke surau berbarengan untuk tarawih. Kali ini setelah tarawih selesai ia tidak langsung
pulang. Bahkan saat teman-teman merayunya dengan segenggam mercon yang
disembunyikan di balik sarung untuk diledakkan di perempatan jalan, Qatrun tetap
berada di surau dan menunggu sepi, ingin berbicara dengan Ustaz.
"Ustaz, aku bermimpi aneh."
"Mimpi apa?"
"Muhammad."
"Kau mimpi bertemu Muhammad?" ia harus mengakui ada rasa iri menyelip. Bahkan
dirinya yang sudah berumur dan menganggap cukup taat belum pernah mimpi bersua
Muhammad. "Bagaimana ia?"
"Ia berdiri di atas buroq dengan wajah yang tidak begitu jelas dan menatap ke arah
kami."
"Kami?"
"Aku dan sekelompok orang. Tetapi mereka tidak ada yang percaya kalau dia
Muhammad. Hanya aku dan seorang laki-laki beraroma minuman keras yang berdiri di
sebelahku yang percaya."
"Lelaki beraroma minuman keras?" tanya Ustaz setengah sanksi. Qatrun mengangguk
yakin, "seperti apa buroq?"
"Seperti sampan panjang,"
"Lalu bagaimana kau tahu Muhammad naik buroq, bukan naik sampan?"
"Aku tahu, Ustaz! Itu buroq, bukan sampan."

Cerpen Kurnia Effendi Monday, January 02, 2006


Bingkai

UNDANGAN dari Susan kuterima di kantor menjelang pukul tiga, ketika aku keluar dari ruang
rapat. Rencana menyeduh kopi untuk mengusir kantuk segera terlupakan. Perhatianku
tersita pada amplop yang didesain sangat bagus.

Saat kubuka sampul plastiknya, telepon di mejaku berdering. Aku mengangkat telepon
tanpa menghentikan upayaku mengeluarkan art-carton yang dicetak dengan spot ultra
violet pada tulisan "Bingkai".

"Selamat siang dengan Dudi, Auto Suryatama," sambutku automatically.


"Ahai, tumben kamu ada di tempat!" Seru suara dari seberang.

"Maaf, siapakah ini?"


"Susan! Kamu lupa suaraku? Padahal baru dua bulan yang lalu kita bertemu. Tak hanya
bertemu, karena sepanjang dua malam kita bersama-sama." Ada nada gemas yang
merasuk ke telingaku. "Sorry, aku telepon ke kantor. Hp-mu tidak aktif."

"Astaga!" Aku tertawa dan meminta maaf. Bukan tidak aktif, lebih tepat: nomornya
berbeda. "Aku baru saja menerima sebuah undangan, jadi konsentrasiku bercabang.
Tampaknya ini undangan darimu! Jadi rupanya kamu serius dengan rencana itu?"

"Tentu! Kenapa tidak? Kamu pasti ingat cita-citaku sejak SMA. Sudah sejak lama aku
bermimpi bisa tinggal di Ubud. Tapi tidak mungkin aku terus-terusan berlibur membuang
uang di sana. Jadi kuputuskan untuk mendapatkan kepuasan batin sekaligus finansial…"

"Aku harus bertepuk tangan untuk kegigihanmu. Hebat!"


"Ini juga karena ada bara cinta yang terus-menerus membakar."

Aku terkesiap mendengarnya.


"Cintamu, Dudi!" sambung Susan.

Entahlah: seharusnya aku melonjak gembira atau terkesiap waspada mendengar


ucapannya yang demikian mantap? Tentu agak mengherankan jika seorang gadis Solo
memekikkan kata itu, bukan membisikkan, yang mudah-mudahan tidak sedang antre di
depan kasir supermarket.
"Dudi, kenapa kamu diam saja?"
"Oh, sorry! Sebenarnya aku mau melonjak-lonjak, tapi tentu salah tempat. Di depan
mejaku sudah ada yang menunggu, mau membicarakan pekerjaan…"
"Oke, Sayang. Aku akan meneleponmu lagi nanti. After office hour, ya!"
Gagang telepon masih di telinga, menunggu Susan memutuskan hubungan. Bahkan setelah
hubungan telepon terputus, seperti masih kudengar nada gembira Susan di telinga.
Rembes ke dalam hati. Aku menghela napas seperti keluar dari ruang yang pengap, dan
kusandarkan punggungku ke kursi yang lentur. Tak ada siapa-siapa di depanku. Jadi, aku
tadi berdusta. Maafkan aku, Susan. Ternyata aku telah banyak berdusta. Tapi, percayalah,
kasih sayangku kepadamu begitu jujur.
***
SEINGATKU tadi Lanfang minta dibawakan kue, karena malam ini sepupunya akan
datang. Sambil meluncur pulang aku merencanakan singgah di sebuah bakery. Ada toko
kue langganan sebenarnya, tapi di tengah perjalanan aku terpikat pada kerumunan yang
mengundang selera untuk mampir. Selintas kulihat, di kiri dan kanan tempat ramai itu
juga ada kafe dan kedai roti. Jadi tak terlampau salah jika aku sejenak berhenti dan
mencari tempat parkir. Untung Swift yang kukendarai bukan tipe mobil besar, sehingga
mudah mendapatkan tempat.
Rupanya sedang berlangsung seremoni pembukaan sebuah galeri, yang ditandai dengan
pameran karya para pelukis muda Surabaya. Kulihat sepintas, ada Joko Pekik di ruang
benderang itu: ikut berpameran atau hanya diminta pidato? Entahlah! Yang terbayang
olehku adalah peristiwa serupa, yang akan berlangsung minggu depan di Ubud. Dan di
tengah lingkaran para tamu, kuangankan si anggun Susan, dengan rambut dibiarkan
terurai, bak

burung merak yang tersenyum lebar memperkenalkan galerinya. Apa namanya tadi? Bingkai!

Cerpen Satmoko Budi Santoso Friday, December 23, 2005


Simpang Ajal

SELESAI sudah tugas Montenero. Karenanya, kini ia tinggal bunuh diri. Bunuh diri! Itu saja.
Betapa tidak! Ia telah membunuh tiga orang itu sekaligus. Ya, tiga orang. Santa, orang
yang dengan serta-merta memenggal kepala bapaknya ketika bapaknya menolak
menandatangani selembar kertas yang berisi surat perjanjian untuk terikat dengan sebuah
partai. Lantas Denta, yang ketika pembunuhan itu terjadi berusaha membungkam mulut
bapaknya agar tidak berteriak, serta Martineau yang mengikatkan tali pada tubuh
bapaknya agar bapaknya tak bergerak sedikit pun menjelang kematiannya. Karena itu,
sekarang, Montenero sendiri tinggal bunuh diri!

"Selamat malam, Montenero. Sebaiknya kamu kubur dulu ketiga mayat itu baik-baik!
Setelah itu, terserah!" ucap batin Montenero, meronta.

"Ya, kubur dulu! Lantas, selamat tinggal!" sisi kedirian batin Montenero yang lain
menimpali.

Sesungguhnya Montenero memang tidak perlu menjumput beragam kebijaksanaan untuk


sesegera mungkin mengubur mayat-mayat itu. Toh memang, tugas pembantaiannya telah
usai. Dan dengan sendirinya, dendam yang bersemayam di dalam dirinya lunas
terbalaskan.

"Tetapi, semestinya engkau mempunyai cukup rasa kemanusiaan untuk tidak membiarkan
mayat-mayat itu menggeletak begitu saja karena kau bunuh! Kasihan tubuh mereka
menggeletak! Semestinya jika dengan cepat mereka menjadi makanan belatung-belatung
menggiriskan di dalam tanah. Bukan menjadi makanan empuk bagi lalat-lalat hijau!"
Belati, yang telah menikam dada Santa, Denta, dan Martineau masing-masing sebanyak
enam kali, yang sepertinya sangat tahu berontak batin Montenero, ikut angkat bicara.

Montenero menghela napas. Menggeliat.


"Ah, benar. Sudah semestinya. Sekarang, engkau harus bisa membebaskan pikiranmu dari
angan-angan tentang balas dendam. Ingat, ketiga mayat itu telah menjadi seonggok daging
yang tak berarti. Harus dikubur! Engkau harus mengubah pola pikir yang begitu konyol
itu, Montenero," cecar sebilah Pedang, yang rencananya ia gunakan juga untuk
membunuh, tetapi Santa, Denta, dan Martineau ternyata cukup memilih mati cuma
dengan sebilah Belati.

"Oh ya. Ya. Aku ingat lagi sekarang. Engkau harus mempersiapkan banyak keberanian
agar kau menjadi tidak gagu dalam bersikap. Jangan seperti ketika kau akan membunuh!
Kau hunjamkan diriku ke dada ketiga mayat itu dengan gemetar. Sekarang, untuk
menguburkan ketiga mayat itu, tak perlu ada denyut ragu yang berujung gemetaran
badan, desah napas memburu, suara terengah-engah, dan keringat dingin yang keluar
berleleran. Semua itu harus diubah. Dengan segera!"
Montenero melirik jam tangan. Kurang tiga puluhan menit kokok ayam bakalan meletup
kejut. Ia menghapus keringat dingin yang perlahan-lahan tapi pasti mulai membanjiri
muka dan tangannya.

"Cepat lakukan! Keberanian telah datang dengan sendirinya. Lakukan!"


Angin pagi mendesir. Jam tangan terus berdetak. Montenero pucat. Lunglai. Apa yang
dikatakan oleh Belati dan Pedang itu ada benarnya. Tak ada kebijaksanaan lain menjelang
pagi hari itu kecuali penguburan. Tentu saja, penguburan dengan segala kelayakannya.
Ada dupa, bunga, kain pembungkus mayat, dan pastilah keberanian. Untuk yang terakhir,
soal keberanian itu memang sudah sedikit dimiliki Montenero. Tetapi, untuk dupa, bunga,
dan juga sesobek kain pembungkus mayat? Atau, pikiran tentang sesobek kain
pembungkus mayat sungguh tak diperlukan lagi?

"Ah, begitu banyak pertimbangan kau! Ambillah cangkul! Gali tanah yang cukup untuk
mengubur ketiga mayat itu sekaligus. Cepat! Tunggu apa lagi, ha?! Ayo, berikan
kelayakan kematian kepada Santa, Denta, dan Martineau. Setidaknya, agar ruh mereka
bisa sedikit tertawa di alam baka sana. Cepat Montenero! Waktu tinggal sebentar! Masih
ada tugas-tugas lain yang harus kau panggul untuk mencipta sejarah. Sejarah, Montenero!
Jangan main-main! Cepat! Ayo, dong. Cepat!!!"

Cerpen Kadek Sonia


Friday, December 16, 2005
Piscayanti
Menu Makan Malam

Sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi


Ibu bersumpah untuk membangun keluarganya di atas meja makan. Ia terobsesi
mewujudkan keluarga yang bahagia melalui media makan bersama. Maka, ia
menghabiskan hidupnya di dapur, memasak beribu-ribu bahkan berjuta-juta menu
makanan hanya untuk menghidangkan menu masakan yang berbeda-beda setiap harinya.
Ia memiliki jutaan daftar menu makan malam di lemari dapurnya. Daftar itu tersusun rapi
di dalam sebuah buku folio usang setebal dua kali lipat kamus besar Bahasa Indonesia,
berurut dari menu masakan berawal dengan huruf A hingga Z. Ia menyusun sendiri
kamus itu sejak usia perkawinannya satu hari hingga kini menginjak usia 25 tahun. Di
sebelah kamus resep masakan itu, bertumpuk-tumpuk pula resep masakan dari daerah
Jawa, Madura, Padang, bahkan masakan China. Belum lagi kliping resep masakan dari
tabloid-tabloid wanita yang setebal kamus Oxford Advanced Learner.

Isi kepala Ibu memang berbeda dengan ibu lain. Dalam kepalanya seolah hanya ada tiga
kata, menu makan malam. Setiap detik, setiap helaan napasnya, pikirannya adalah menu-
menu masakan untuk makan malam saja. Makan malam itulah ritual resmi yang secara
tersirat dibikinnya dan dibuatnya tetap lestari hingga saat ini. Meskipun, ketiga anaknya
telah beranjak dewasa, ia tak pernah surut mempersiapkan makan malam sedemikian
rupa sama seperti ketika ia melakukannya pertama, sejak usia pernikahannya masih satu
hari.

Keluarga ini tumbuh bersama di meja makan. Mereka telah akrab dengan kebiasaan
bercerita di meja makan sambil menikmati menu-menu masakan Ibu. Mereka berbicara
tentang apa saja di meja makan. Mereka duduk bersama dan saling mendengarkan cerita
masing-masing. Tak peduli apakah peristiwa-peristiwa itu nyambung atau tidak, penting
bagi yang lain atau tidak, pokoknya bercerita. Yang lain boleh menanggapi, memberi
komentar atau menyuruh diam kalau tak menarik. Muka-muka kusut, tertekan, banyak
masalah, stres, depresi, marah, kecewa, terpukul, putus asa, cemas, dan sebagainya, bisa
ditangkap dari suasana di atas meja makan. Sebaliknya muka-muka ceria, riang, berseri,
berbunga-bunga, jatuh cinta, juga bisa diprediksi dari ritual makan bersama ini. Ibu yang
paling tahu semuanya.

Ia memang punya kepentingan terhadap keajegan tradisi makan bersama ini. Satu
kepentingan saja dalam hidupnya, memastikan semua anggota keluarganya dalam
keadaan yang ia harapkan. Bagi Ibu, sehari saja ritual ini dilewatkan, ia akan kehilangan
momen untuk mengetahui masalah keluarganya. Tak ada yang bisa disembunyikan dari
momen kebersamaan ini. Dan kehilangan momen itu ia rasakan seperti kegagalan hidup
yang menakutkan. Ia tak mau itu terjadi dan ia berusaha keras untuk membuat itu tak
terjadi.

Ia tak berani membayangkan kehilangan momen itu. Sungguh pun tahu, ia pasti
menghadapinya suatu saat nanti, ia merasa takkan pernah benar-benar siap untuk itu.
Yang agak melegakan, semua anggota keluarganya telah terbiasa dengan tradisi itu dan
mereka seolah menyadari bahwa Ibu mereka memerlukan sebuah suasana untuk
menjadikannya "ada". Semua orang tahu dan memakluminya. Maka semua orang
berusaha membuatnya merasa "ada" dengan mengikuti ritual itu. Namun, kadang
beberapa dari mereka menganggap tradisi ini membosankan.
***
Jam empat pagi. Ibu telah memasak di dapur. Ia menyiapkan sarapan dengan sangat
serius. Ibu tak pernah menganggap memasak adalah kegiatan remeh. Ia tak pernah
percaya bahwa seorang istri yang tak pernah memasak untuk keluarganya adalah seorang
Ibu yang baik. Jika ada yang meremehkan pekerjaan memasak, Ibu akan menangkisnya
dengan satu argumen: masakan yang diberkahi Tuhan adalah masakan yang lahir dari
tangan seorang Ibu yang menghadirkan cinta dan kasih sayangnya pada setiap zat rasa
masakan yang dibikinnya. Ibu meyakini bahwa makanan adalah bahasa cinta seorang Ibu
kepada keluarganya, seperti jembatan yang menghubungkan batin antarmanusia. Sampai
di sini, anak-anaknya akan berhenti mendengar penjelasan yang sudah mereka hapal di
luar kepala. Ibu takkan berhenti bicara kalau kedamaiannya diusik. Dan yang bisa
menghentikannya hanya dirinya sendiri.

Sarapan tiba. Ibu menyiapkan sarapan di dapur. Ia menyiapkan menu sesuai dengan yang
tertera di daftar menu di lemari makanan. Telur dadar, sayur hijau dan sambal kecap.
Ada lima orang di keluarganya. Semua orang memiliki selera berbeda-beda.

Cerpen Antoni Tuesday, December 06, 2005


Dambala of
Telekinetik

Sejurus ia tercenung. 500 meter dari tempatnya berdiri, terlihat bangkai helikopter masih
dikepung api. Beberapa detik lalu, heli itu meledak, terjatuh dari ketinggian 10 ribu kaki.
Sebelum tergolek di bibir pantai, moncongnya menghantam karang, terbanting-banting,
meledak berkeping-keping. Dapat dipastikan, dua penumpangnya tewas. Satu pilot dan
satu mekanik jet tempur.

Sebelum beranjak pergi, ia melakukan re-check dengan teropong kecil yang selalu
disimpan di saku baju dalamnya. Tidak ada yang bergerak. Tidak ada tanda-tanda
kehidupan. Ia bernapas lega. Sekali lagi, matanya menyapu seluruh pantai, memastikan
tidak ada yang melihatnya berdiri di atas bukit batu 37 derajat dari arah matahari yang
mulai muncul di ufuk timur. Posisinya berlindung memang sangat menguntungkan. Celah
batu karang itu tidak pernah diperkirakan bisa dimuati satu orang dewasa.

Ia pun mengemasi peralatannya, Kristal Piramida, kawat penghantar listrik kuningan,


segitiga kematian --begitu selalu ia menyebutnya, dan beberapa sisa pembakaran dupa. Ia
memeriksa ulang video hand-phone-nya. Memastikan semuanya sudah terekam secara
sempurna.

Semalam, di tengah malam pekat, seorang lelaki berjaket tebal tanpa pelindung kepala,
menemuinya di pinggir jalan perbatasan dua kota. Lelaki berperawakan tinggi itu turun
dari truk tuanya. Perbatasan itu memiliki dua sisi. Di sisi selatan padang ngarai, sedang sisi
utara pertanahan gersang tandus dan berbatu-batu. Keduanya dibelah jalan aspal 35
kilometer. Dari situ terlihat lautan Pasifik membentang dengan gelombangnya yang tidak
beraturan.

Lelaki itu menatapkan matanya dalam-dalam kepada pemuda di depannya. Seolah ingin
memastikan, yang dihadapinya betul-betul ahli Telekinetik, yang selalu dibicarakan dalam
rapat-rapat khusus intelijen Seksi Satu. Rapat yang hanya dihadiri orang-orang nomor
satu, baik di bidang pemerintahan, militer maupun intelijen.

Lelaki itu mengirimkan beberapa kalimat melalui pikirannya.


"Engkaukah, Stein…??"
Orang yang dipanggil Stein mengerjapkan matanya. Sekejap.
"Apa sandimu?" Lelaki ini mengirimkan kalimat lagi melalui pikirannya.
Mereka memang sedang melakukan telepati.
Pemuda berambut sebahu itu menjawab singkat, "Zhinox".
Mereka pun bersalaman.

Dari balik jaketnya, lelaki itu mengeluarkan tas plastik hitam. Ia menyerahkan kepada
Stein. Stein pun mengamatinya secara seksama. Setumpuk uang ada di atas itu. Ia yakin
jumlahnya tepat seperti job-job lain yang biasa dijalankannya. Stein memandang tajam ke
mata lelaki itu.

Lelaki itu tersenyum. Lalu memberikan hand phone terbaru kepada Stein. Telepon
canggih dengan fasilitas video, kamera, televisi, radio, dan radar. Stein mengantonginya di
saku kiri kemeja lengan penjangnya. Ia sedikit membetulkan letak topi birunya. Topi
penjelajah malam. Night hunter.

Lelaki itu akhirnya membuka mulut, "Besok pagi sasaran kita akan lewat di belokan
tebing pantai sisi barat dengan helikopter menuju pangkalan rahasia mereka di tengah
Pacific Ocean. Mekanik itu akan kembali ke negaranya."

Lelaki itu membetulkan jaketnya, lalu tangan kanannya mengirim kode ke sopir truk.
Mesin dihidupkan. Lelaki itu kembali ke truk dan menghilang di kegelapan malam. Setelah
berlalu Stein merasakan adanya kejanggalan pada truk tua yang terkesan reyot itu. Tidak
ada deru mesin dan asap mengepul layaknya mobil solar. Truk itu menghilang tanpa
meninggalkan deruman. Stein tersenyum lagi. "Aku harus memenangkan permainan
ini…," gumamnya.

Ia memasukkan tas plastik hitam itu ke tas kecilnya. Setelah memastikan alat penunjuk
arah di jam tangan, ia pun berjalan ke utara. Menapaki pegunungan batu. Di kanan
kirinya, perdu kecil berduri. Meski malam betul-betul gelap ia tidak membutuhkan senter.
Embun di atas tanah yang menciptakan terang tanah sudah cukup baginya.

Cerpen A. Mustofa Saturday, December 03, 2005


Bisri

Sang Primadona

Apa yang harus aku lakukan? Berilah aku saran! Aku benar-benar pusing.
Apabila masalahku ini berlarut-larut dan aku tidak segera menemukan pemecahannya,
aku khawatir akan berdampak buruk terhadap kondisi kesehatan dan kegiatanku dalam
masyarakat. Lebih-lebih terhadap dua permataku yang manis-manis: Gita dan Ragil.

Tapi agar jelas, biarlah aku ceritakan lebih dahulu dari awal.
Aku lahir dan tumbuh dalam keluarga yang -katakanlah-- kecukupan. Aku dianugerahi
Tuhan wajah yang cukup cantik dan perawakan yang menawan. Sejak kecil aku sudah
menjadi "primadona" keluarga. Kedua orang tuaku pun, meski tidak memanjakanku,
sangat menyayangiku.

Di sekolah, mulai SD sampai dengan SMA, aku pun --alhamdulillah-juga disayangi guru-
guru dan kawan-kawanku. Apalagi aku sering mewakili sekolah dalam perlombaan-
perlombaan dan tidak jarang aku menjadi juara.

Ketika di SD aku pernah menjadi juara I lomba menari. Waktu SMP aku mendapat piala
dalam lomba menyanyi. Bahkan ketika SMA aku pernah menjuarai lomba baca puisi
tingkat provinsi.

Tapi sungguh, aku tidak pernah bermimpi akhirnya aku menjadi artis di ibu kota seperti
sekarang ini. Cita-citaku dari kecil aku ingin menjadi pengacara yang di setiap
persidangan menjadi bintang, seperti sering aku lihat dalam film. Ini gara-gara ketika aku
baru beberapa semester kuliah, aku memenangkan lomba foto model. Lalu ditawari main
sinetron dan akhirnya keasyikan main film. Kuliahku pun tidak berlanjut.
Seperti umumnya artis-artis popular di negeri ini, aku pun kemudian menjadi incaran
perusahaan-perusahaan untuk pembuatan iklan; diminta menjadi presenter dalam acara-
acara seremonial; menjadi host di tv-tv; malah tidak jarang diundang untuk presentasi
dalam seminar-seminar bersama tokoh-tokoh cendekiawan. Yang terakhir ini, boleh jadi
aku hanya dijadikan alat menarik peminat. Tapi apa rugiku? Asal aku diberi honor
standar, aku tak peduli.

Soal kuliahku yang tidak berlanjut, aku menghibur diriku dengan mengatakan kepada
diriku, "Ah, belajar kan tidak harus di bangku kuliah. Lagi pula orang kuliah ujung-
ujungnya kan untuk mencari materi. Aku tidak menjadi pengacara dan bintang
pengadilan, tak mengapa; bukankah kini aku sudah menjadi superbintang. Materi cukup."

Memang sebagai perempuan yang belum bersuami, aku cukup bangga dengan
kehidupanku yang boleh dikata serba kecukupan. Aku sudah mampu membeli rumah
sendiri yang cukup indah di kawasan elite. Ke mana-mana ada mobil yang siap
mengantarku. Pendek kata aku bangga bisa menjadi perempuan yang mandiri. Tidak lagi
bergantung kepada orang tua. Bahkan kini sedikit-banyak aku bisa membantu kehidupan
ekonomi mereka di kampung. Sementara banyak kawan-kawanku yang sudah lulus kuliah,
masih lontang-lantung mencari pekerjaan.

Kadang-kadang untuk sekadar menyenangkan orang tua, aku mengundang mereka dari
kampung. Ibuku yang biasanya nyinyir mengomentari apa saja yang kulakukan dan
menasehatiku ini-itu, kini tampak seperti sudah menganggapku benar-benar orang
dewasa. Entah kenyataannya demikian atau hanya karena segan kepada anaknya yang kini
sudah benar-benar hidup mandiri. Yang masih selalu ibu ingatkan, baik secara langsung
atau melalui surat, ialah soal ibadah.

"Nduk, ibadah itu penting. Bagaimana pun sibukmu, salat jangan kamu abaikan!"
"Sempatkan membaca Quran yang pernah kau pelajari ketika di kampung dulu, agar
tidak hilang."
"Bila kamu mempunyai rezeki lebih, jangan lupa bersedekah kepada fakir miskin dan
anak yatim."

Anda mungkin juga menyukai