Tabel Penilaian
No Unsur yang Dinilai Skor Skor Maksimal
A Kebahasaan
1 Judul/Isi 10-20 20
2 Koherensi 10-20 20
3 Diksi/pilihan 10-15 15
kata
4 Ejaan 10-15 15
B Non Kebahasaan:
1. Kelengkapan Isi 10-20 20
Resensi
((identitas,
sinopsis cerpen,
analisis cerpen,
simpulan, saran)
2. Kerapian dan 5-10 10
Kejelasan
Total 100
1
PERADILAN RAKYAT
Putu Wijaya
6
TENTANG SESEORANG
YANG MATI TADI PAGI
Agus Noor
SEBAGAIMANA sudah ia yakini sejak lama, ia akan mati hari ini, tepat pukul
sembilan pagi. Ia ingin segalanya berlangsung tenang dan nyaman. Ia ingin menikmati detik-
detik kematiannya dengan karib. Maka ia pun mandi, merasakan air yang meresap lembut
dalam pori-porinya dengan kesegaran yang berbeda dari biasanya. Kulitnya terasa lebih peka.
Ia bisa merasakan gesekan yang sangat lembut pelan, ketika sebutir air bergulir di ujung
hidungnya. Bahkan ia bisa merasakan dingin yang menggeletarkan bulu-bulu matanya.
Betapa waktu yang berdenyut lembut membuat perasaannya terhanyut. Dan ia memejam,
mencoba merasakan segala suara dan keretap cahaya yang masuk lewat celah ventilasi kamar
mandi.
Ini akan jadi kematian yang menyenangkan, batinnya. Sungguh ia merasa beruntung
karena bisa menikmati kematian seperti ini. Ia tak perlu susah-susah beli racun, lalu
menenggaknya. Alangkah menyedihkan mati seperti itu. Ia juga tak perlu repot-repot
menyiapkan tali, dan menggantung diri. Mati dengan cara seperti itu selalu menimbulkan
kerumitan tersendiri. Ia pun tak perlu menabrakkan diri ke laju kereta api. Betapa tidak
sedapnya mati dengan tubuh remuk terburai seperti itu: merepotkan dan menjijikkan. Orang-
orang mesti memunguti tetelan tubuhnya yang berserakan di tanah dan lengket di bantalan rel
kereta. Sungguh beruntung ia tak harus mati dengan cara-cara mengenaskan seperti itu. Ia tak
perlu mati menderita lantaran usia tua atau penyakit menahun yang menggerogoti tubuhnya.
Ia merasa segar – bahkan jauh merasa lebih segar dari hari-hari biasanya – hingga ia tak perlu
merasa cemas kalau-kalau kematian akan membuatnya merasa kesakitan.
Lewat jendela yang ia biarkan terbuka, ia bisa merasakan senyum bunga-bunga. Ia bisa
mendengar suara lembut gesekan kelopak-kelopak bunga yang perlahan-lahan rekah. Ia
mencium harum kambium meruap di udara yang ranum. Harum yang sebelumnya tak pernah
ia cium. Juga bau aroma bawang goreng yang samar-samar mengambang di udara yang
7
bergeletaran pelan, membuat setiap aroma jadi terasa begitu kental dalam penciumannya. Ia
dengar suara sayap kupu-kupu yang terbang melintasi pagar. Beginikah rasanya saat
kematian makin mendekat? Segala terasa melambat. Segala terasa lebih pekat dan hangat.
Seperti ada yang memeluknya. Menyelimutinya dengan kesunyian. Seperti ada yang ingin
membisikkan penghiburan di dekat telinganya. Dan ia merasakan ada yang perlahan
mendekat, seakan mengingatkan agar ia berkemas, meski tak perlu bergegas. Biarkan
segalanya berjalan sebagaimana yang direncanakan. Ia akan mati dengan nyaman, tenang dan
membahagiakan. Sungguh, bila saat-saat menjelang kematian ini merupakan saat-saat yang
paling syahdu dalam hidupnya, ia ingin menghayati dan merasakan kesyahduan itu dengan
sempurna. Mati, barangkali memang tak lebih melankoli, seperti puisi pucat pasi. Tapi ia
ingin menghayati. Bukan untuk kenangan yang akan dibikinnya abadi, tapi sekadar ingin
mengerti bagaimana rasanya mati.
Ketika ia merasakan segalanya makin mendekat, ia pun segera menemui tukang kebun
itu. Seperti yang telah lama ia rencanakan, ia pun pamit untuk penghabisan kali pada tukang
kebun yang sudah menunggunya dengan sabar.
TEPAT pukul sembilan pagi, laki-laki itu pun mati. Alangkah menyenangkan bisa mati
dengan lembut seperti itu, batin tukang kebun sembari memandangi jenazah yang terbaring
tenang. Rasanya baru kali ini ia melihat wajah jenazah yang begitu bahagia. Bahkan dalam
mati pun laki-laki itu tampak santun dan menyenangkan.
Lalu tukang kebun itu teringat pada saat laki-laki itu datang hendak mengontrak kamar
di rumah yang dijaganya. Laki-laki itu mengatakan, ia akan tinggal di sini untuk menanti
kematian. Di sebutnya hari dan jam kapan ia akan mati. Tentu saja, ia – pada saat itu –
menganggap laki-laki itu hanya bercanda. Usianya masih muda dan terlihat segar. Kematian
memang tak bisa di duga, tetapi tukang kebun itu yakin laki-laki itu masih akan hidup lama.
Tidak, katanya, saya akan mati. Dan, sekali lagi, disebutnya hari dan jam kapan persisnya ia
akan mati.
Laki-laki tampan yang kesepian, tukang kebun itu membatin, sambil menatap wajah
tenang laki-laki itu. Mungkin dia hendak bunuh diri. Entah kenapa, tukang kebun itu tiba-tiba
saja merasa kasihan. Semuda dan sebagus itu, tapi sudah putus asa dan memilih mati. Karena
itulah, dengan halus dan sopan tukang kebun, yang dipercaya pemilik rumah untuk menjaga
kamar-kamar kontrakan itu, menolak menerima laki-laki itu. Di sini bukan tempat yang
pantas untuk mati, Nak. Kalau kau ingin bunuh diri, carilah tempat lain. Mati di kamar hotel
yang sejuk pasti jauh lebih menyenangkan. Kamu bisa memilih tempat yang paling pantas
buat kematianmu. Asal jangan di kontrakan ini.
Tidak, Pak. Saya tak hendak bunuh diri. Sungguh. Saya memang mau mati, tetapi tak
hendak bunuh diri. Sudah lama saya tahu, saya akan mati di tempat ini. Di kamar kontrakan
yang sederhana dan tenang. Ini kematian yang telah saya pilih. Izinkan saya menentukan
kematian saya sendiri, Pak. Karna itulah satu-satunya kebahagiaan yang saya miliki dalam
hidup. Bukankah tak ada yang lebih menyenangkan selain kita tahu kapan di mana dan
bagaimana kita mati? Kita bisa mempersiapkan segalanya sendiri. Kita bisa menantinya
8
dengan tenang. Menyambutnya dengan cara yang paling karib. Dan saya ingin mati dengan
tenang di sini, Pak.
Bila itu lelucon, pastilah itu lelucon yang paling tak lucu. Tapi laki-laki itu tampak tak
sedang berkelakar. Matanya yang teduh membuat tukang kebun itu terpesona dan
mempercayai kata-katanya. Sepanjang ia menjaga rumah kontrakan ini, ia sudah bertemu
banyak orang yang terlihat aneh, tertutup bahkan misterius, yang datang mengontrak kamar
sebentar kemudian pergi dan tak pernah kembali. Rasanya laki-laki inilah yang paling aneh
dan tak ia mengerti.
Bahkan kini pun ia tak kunjung bisa mengerti, kenapa laki-laki itu bisa tahu dengan
persis kapan ia mati. Ada rasa iri yang menyelusup ketika ia pelan-pelan menutup jenazah
laki-laki itu dengan selimut yang sudah dipersiapkan. Rasanya memang tak ada yang lebih
membahagiakan selain mengetahui kapan kita akan mati. Karna dengan begitu tak ada lagi
rahasia yang menakutkan dalam hidup ini. Ah, betapa ia juga ingin mati seperti laki-laki ini.
Mati dengan tenang – bahkan terasa riang – dan segalanya berlangsung dengan biasa dan
sederhana.
DI warung kopi, sore itu, sahabatmu mendengar tukang kebun itu bercerita tentang
seseorang yang baru saja mati dengan tenang dan bahagia, tadi pagi.
Setiap sore, sahabatmu memang suka mampir ke warung kopi di sudut jalan itu. Tak
seperti sore-sore biasanya, yang gaduh dengan celoteh dan percakapan, sore itu sahabatmu
merasakan kemurungan yang luar biasa. Kemurungan, yang sepertinya terbawa oleh cerita
tukang kebun itu.
“Betapa aku ingin mati seperti laki-laki itu,” suara tukang kebun itu terdengar gemetar
dan hambar. “Aku sudah tua, aku sering membayangkan aku akan mati kesepian. Tapi aku
selalu cemas karena tak pernah tahu kapan.”
Sembari terus diam mengetuk-ngetuk tepian cangkir dengan ujung-ujung jari, pura-pura
abai pada cerita tukang kebun itu, seketika sahabatmu terkenang pada cerita yang sering kau
kisahkan perihal seseorang, yang pernah menjadi karib dalam hidupmu, tetapi kemudian
memilih hidup menyendiri untuk menanti mati. Biasanya, sahabatmu begitu betah
menghabiskan waktu di warung kopi itu. Tapi cerita kematian yang dituturkan tukang kebun
itu membuatnya ingin cepat-cepat bertemu denganmu.
“Begitulah yang kudengar dari tukang kebun itu, ia sudah mati dengan tenang dan
bahagia pagi tadi, tepat jam sembilan pagi.”
9
Biasanya, menghabiskan waktu berjaga, kau dan sahabatmu akan bertukar kelakar
sembari bermain kartu, untuk mengusir kantuk dan jemu. Bertahun-tahun menjadi penjaga
malam di kamar mayat rumah sakit, kau sudah teramat tahu, bahwa kematian terasa lebih
menakutkan ketika dipercakapkan pelan-pelan. Tapi kau sudah terbiasa dengan ketakutan
seperti itu. Ketakutan yang selalu muncul bersama bau yang membeku di udara. Bau yang
sepertinya sengaja ditinggalkan maut untuk sekadar menjadi tanda. Kau selalu
membayangkan bau itu seperti jejak – atau tapak – kaki kucing yang mungil. Jejak yang
melekat di lantai dan tembok dan mengapung di udara. Kau sering melihatnya ada di mana-
mana, membuatmu seperti bocah pramuka yang sedang mencari jejak agar tak tersesat. Kau
bisa mencium bau kematian itu bergerak pelan, tetapi kau tak pernah tahu pasti kapan
kematian akan menjemputmu. Kau hanya merasa. Tapi tak kuasa menduga. Dan itu selalu
menakutkan. Mencemaskan. Tapi juga selalu membuatmu penasaran.
Itulah sebabnya kenapa kau melamar – dan akhirnya diterima – jadi penjaga malam di
kamar mayat rumah sakit. Kau hanya mau giliran jaga malam, karna kau percaya kematian
akan jauh lebih terasa pada malam hari. Seperti tinta hitam yang dituangkan ke kolam. Kau
jadi seperti bisa meraba dan menyentuhnya.
Kau suka sekali memandangi mayat yang terbaring beku dan pucat. Memandanginya
lama-lama. Menyentuh dan merasakan tilas hangat yang masih tersimpan di bawah kulit.
Sering kau merasakan denyut lembut yang masih terasa merayapi otot mayat-mayat itu.
Dan malam ini, kau jadi makin mencintai bau kematian, saat sahabatmu menceritakan
kematianku tadi pagi. Kau ingin menangis – entah kenapa. Yang pasti bukan karena
kehilangan. Kau hanya merasa betapa menyenangkannya bisa mengetahui kematian sendiri.
Karena itu, kau pun dulu tampak iri ketika aku bercerita betapa aku telah mengetahui kapan
aku mati. Kau merasa iri, karena aku kau anggap telah mampu memecahkan teka-teki.
“Kau tahu,” ucapmu pelan pada sahabatmu yang bersandar di kursi, “aku selalu
menginginkan kematian yang tenang dan bahagia seperti itu.” Dan kau pun mencoba
membayangkan kelopak mataku yang tampak rapuh ketika perlahan terkatup. Kau bayangkan
sisa redup cahaya terakhir yang melekat di retina mataku.
Kau ingin sekali bisa bertemu denganku. Kau ingin sekali bertanya, bagaimana
mengetahui kunci teka-teki kematian sendiri, dan mati dengan begitu tenang. Begitu bahagia.
Ingin sekali kau tanyakan itu kepadaku yang telah mati jam sembilan pagi tadi.
Yogyakarta, 2007
10
Perempuan Berambut Api
Ni Komang Ariani
Dosa terbesar saya hari ini adalah karena saya telah membiarkan rambut saya tergerai. Orang-
orang memandang saya dengan kebencian yang tidak saya mengerti. Terutama perempuan
tua berambut kusut itu. Ia mengira saya adalah perempuan Liak, yang gemar menari di
kuburan desa untuk merapal mantra ilmu hitam. Ia menuduh saya kerap menari memutari
Sanggah Cucuk, dengan menaikkan satu kaki, sambil melengkingkan tawa mengikik yang
meremangkan bulu kuduk.
Perempuan itu mengatai-ngatai saya perempuan berambut api. Ia membuang ludahnya yang
kental setiap saya melintas. Orang-orang lain ikut membenci saya.
“Kamu masih bau kuburan,” katanya dengan suara yang serak dan dalam.
“Kelak kau akan diburu obor yang menyala-nyala. Di tempat itu, kau tidak dapat lagi
memamerkan senyummu. Kau hanya akan menjerit-jerit kesakitan. Tubuhmu akan menjelma
batang-batang kayu bakar. Kau akan menjadi makanan api. Ia akan menyulapmu, menjadi
seonggok abu.”
Perempuan itu memercayai apa yang belum pernah dilihatnya. Setiap Kajeng Kliwon, ia
mematai-matai rumah saya. Berupaya menangkap basah saya bersalin rupa menjadi kera,
babi bertaring panjang, kerbau berkaki tiga, kuda atau mungkin seekor anjing yang buduk.
Menguatkan tuduhannya, bahwa saya perempuan yang kerap merapal mantra di pekuburan
desa, menunggu mantra itu masak untuk bersalin rupa menjadi jenis-jenis binatang itu.
Setiap Kajeng Kliwon, ia mondar-mandir di jalan setapak di depan rumah saya. Perempuan
itu memegang sebatang tongkat yang besar dan panjang, bersiap menunggu munculnya jenis-
jenis binatang yang diingatnya itu. Namun yang sering melintas adalah seekor anjing buduk,
seperti umumnya jalan setapak di desa kami. Pada suatu malam, ia pernah memukul seekor
anjing buduk dengan teramat keras, sampai anjing itu terkaing-kaing memilukan.
Anehnya, ia tidak pernah punya nyali untuk benar-benar membuntuti saya ke kuburan desa,
untuk membuktikan kebenaran dugaannya. Ia cukup puas dan yakin dengan perkiraannya
sendiri.
Tak ada warga desa yang tahu dengan tabiat perempuan tua berambut kusut itu. Tak ada pula
warga desa yang menganggap perempuan itu adalah perempuan yang kejam. Ia pemarah dan
pembenci siapa saja. Setiap ada Odalan di Pura, ia duduk di tempat yang paling tinggi. Di
sebuah bangku yang beralaskan beludru dengan sulaman keemasan di beberapa bagian.
Dari tempat duduknya, ia bisa memandang orang-orang lainnya dengan leluasa. Ia selalu
duduk dengan bahu tegak dan kepala mendongak. Rambutnya digelung tinggi, dengan pita
berwarna perak yang membungkusnya. Tak seorang pun berani mengusiknya. Atau sekadar
melempar pandangan ke arahnya. Sampai suatu ketika mata kami bertatapan di satu titik.
Itulah titik permulaan, perempuan itu memandang saya, dengan matanya yang seperti ingin
memakan saya hidup-hidup.
“Senyummu terlihat menjijikkan. Rambutmu acak-acakan seperti Liak. Oh itu, apa kau baru
saja mencuci rambutmu dengan bunga mawar? Mulai besok kau harus menggelung
11
rambutmu. Namun gelunganmu tidak boleh melampauiku. Kalau sampai aku melihatmu lagi
dengan rambut tergerai, aku bersumpah seluruh desa akan membencimu.”
Perempuan itu menyeringai puas saat mulut saya terkatup rapat. Ia tak tahu sedang berbicara
dengan perempuan bisu. Ia puas mengira saya terdiam ketakutan. Hanya matanya… matanya
yang mengawasi riak mata saya yang tak tunduk kepadanya, setajam apa pun ia mencoba
melubangi keyakinan saya.
Perempuan berambut kusut itu tak tahu, sekalipun tak memiliki suara, saya dapat membaca
riak telaga di matanya. Mudah sekali melesat ke ceruk terdalam dan paling hitam dari bola
matanya dan mencuri rahasia-rahasianya. Perempuan itu sebetulnya letih dengan kesendirian
yang panjang. Dengan pengkhianatan demi pengkhianatan. Walaupun ia telah bersikap
teramat lunak pada laki-lakinya. Laki-laki itu pergi setelah memeras seluruh cairan manis
dari tubuhnya. Yang tersisa adalah kebencian yang mengerak di lingkaran hitam kelopak
matanya. Kebencian terlalu berat untuk disangga oleh dua kelopak matanya yang mungil. Ia
harus membagikannya kepada sebanyak mungkin. Saya hanya seorang perempuan malang
yang berada di tempat yang salah.
***
Konon orang yang termulia lahir tanpa rambut. Warna hitam menyimpan gelap yang
mencekam. Seperti liang sumur yang sempit dan dapat menjebakmu dalam lekukannya yang
berlumut dan berlendir.
Aku tersenyum tipis. Ada hal-hal yang tak perlu ditanggapi. Perdebatan bukanlah segalanya.
Anakku mengerjapkan mata, berusaha melawan kantuk. Pagi datang, namun kantuk masih
memberatinya.
“Bangunlah, Nak. Sebelum Pagi dikalahkan oleh Malam. Mereka sedang bertarung dengan
sengit.”
Mulutnya yang mungil menguap lebar. Tidak ada hal-hal yang sungguh dikhawatirkannya.
Susu habis, atau mainan yang rusak?
“Setan yang berambut gimbal, dengan punggung yang berlubang. Ia suka mengejar anak-
anak yang kelebihan waktu tidur. Setan itu ingin merebut mimpimu.”
Si bocah masih menguap lebar. Betul-betul tak ada yang dapat menakutinya. Bocah edan.
“Apa Setan Rambut tak takut padaku? Rambut lurus dan tajam-tajam seperti duri.”
12
“Aku juga tidak takut pada apa pun.” Pipi tembamnya terlihat kemerahan. Membuatku
terjebak dalam tawa dan tangis secara bersamaan.
“Aku sedang menunggu Tiko, Ma. Dia akan sedih kalau aku tidak ada.”
“Jangan menunggu seekor anjing dan membahayakan keselamatanmu. Seekor anjing hanya
bisa menjilat. Ia akan dengan mudah menjilat yang lainnya.”
Aku belum pernah melihatnya berubah menjadi bola api. Aku segera menggendongnya
menuju kolong meja. Tak ada waktu lagi untuk berdebat dengannya.
“Apa?”
“Matamu.” Aku mendelik gemas. Sekali lagi dalam tangis dan tawa.
“Matamu membuatmu menjadi pengecut. Kau selalu ketakutan setiap mata seseorang
berubah menjadi bola api. Bola api tidak bisa membunuhmu. Ia hanya menyimpan warna
merah yang segera akan menghilang.”
“Jadi apa yang harus aku lakukan. Lawanlah. Bukan saatnya lagi bersembunyi di kolong
meja.”
“Kita akan bertarung dengan siapa saja. Kita melawan siapa saja yang jahat dan mengambil
apa yang menjadi hak kita.”
“Betul. Seperti Setan Rambut, kita tak takut pada apa pun.”
***
Kebencian itu konon seperti jamur. Mudah tumbuh di tempat yang lembab dan gelap. Orang-
orang desa masih menatap saya dengan sorot mata benci dan mereka tak kunjung lelah.
Padahal saya mulai bosan.
Waktu berkhianat dan memihak perempuan berambut kusut itu. TV-TV mulai menyamarkan
rambut-rambut perempuan yang tampak di layar kaca. Tak seorang pun tampil dengan
rambut tergerai di papan-papan reklame. Gelung rambut dengan pita keperakan terlihat di
mana-mana. Saya seperti melihat senyum perempuan itu di mana-mana. Perempuan yang
menggelung tinggi rambutnya dan duduk di atas tempat duduk beludru berwarna keemasan.
13
Perempuan itu selalu menusuk mata saya dengan belati kebencian. Mungkin merasa sia-sia
membuat saya tunduk dan takluk. Merasa sia-sia untuk membujuk saya menjadi pengikutnya.
Ia hanya belum tahu, saya bisu.
Yang tidak ia ketahui, setiap kali sorot mata itu membidik mata saya, saya lebih dahulu
melesat ke ceruk matanya yang terlihat menganga. Mengaduk-aduk isinya, membuatnya
membocorkan rahasia-rahasia.
Laki-lakinya pergi dengan seorang perempuan yang mengurai rambutnya. Perempuan yang
menghamburkan manis dari senyumnya. Laki-laki itu terserap oleh lesung dari pipinya.
Terserap masuk, bagai jin yang terperangkap di dalam botol. Karena itu ia ingin mencabut
senyum dari perempuan mana pun. Agar tak ada lagi yang merebut laki-lakinya.
Saya lelah dikelilingi jamur kebencian di mana-mana. Saya ingin menyerah. Tunduk. Takluk.
Beberapa kali saya memandangi bayangan saya di cermin, mencoba menggelung rambut saya
seperti perempuan berambut kusut itu. Memandangi wajah saya di cermin, seketika saya tak
mengenali diri saya. Seseorang seperti telah mengikat serat-serat saraf di otak saya menjadi
segenggam serabut yang kusut. Pikiran saya mandek, tak mampu lagi berkeliaran di kepala
saya.
Pada suatu waktu, di depan perempuan itu, saya menggelung rambut saya dengan pita warna
keperakan. Menyunggingkan sebuah senyum untuknya ketika kami berpapasan. Mencoba
merayunya dengan bendera perdamaian. Perempuan itu mengamati rambut saya dan terlihat
puas. Kemudian matanya tiba pada garis senyum, dan bola api itu memijar kembali.
***
Kau tahu tanah menyimpan suara-suara yang mengambang di udara dan menyimpannya di
dalam dirinya. Tanah merekam apa-apa yang kau katakan dan mengubahnya menjadi struktur
dalam tubuh mereka. Menjadi aroma. Menjadi warna. Menjadi kepadatan.
Orang-orang pemarah tinggal di atas tanah yang meranggas dan mengeras. Tak ada pohon
yang sukacita tumbuh di atasnya. Tidak ada tamu yang berniat singgah untuk sekadar
mengagumi matahari terbit. Kau harus berhati-hati dengan perkataanmu. Berhati-hati
menyemburkan sumpah serapahmu. Jangan sampai tanah mengabadikannya menjadi rasa
asam.
Warga desa mengangkat tubuh perempuan itu dari kursi goyangnya, setelah bau busuk
menyengat hidung mereka. Sepasang matanya mendelik tak rela.
Rumah milik perempuan berambut kusut itu, kini dibunuh sepi. Ditebas keangkeran seperti
tanah pekuburan. Tak ada warga desa yang berniat menghuni rumah besar dengan bangunan
elite yang ada di sana. Rumah termegah yang ada di desa kami. Semua orang memilih
kembali ke gubuk bambunya masing-masing.
Entah apa yang ada di benak mereka. Mungkin mereka enggan meninggali tanah yang asam
dan meranggas. Pepohonan mengering dan layu. Tak tahan pada hawa panas kemarahan yang
bertahun-tahun memanggang mereka.
14
Mereka tak lagi ikut-ikutan memandang saya dengan kebencian. Mungkin mereka pun bosan.
Mungkin karena tak ada lagi perempuan berambut kusut itu. Entah yang mana yang menjadi
penyebabnya. Mereka membiarkan saya menggerai rambut saya kapan pun dan di mana pun.
Mereka membiarkan saya tersenyum semau saya, tanpa berniat menanggalkannya dari wajah
saya.
Nyonya Gerda tinggal di lereng sebuah bukit. Suaminya tentara, gugur dalam sebuah
pertempuran. Suatu hari, ketika pulang dari mengunjungi makam sang suami, Nyonya Gerda
melihat dua ekor anak rusa. Nyonya Gerda membawa pulang sepasang rusa itu dan memberi
mereka nama Rosa dan Rosi.
Nyonya Gerda pandai membuat roti, kue, dan penganan lainnya. Ia menitipkan roti, kue, dan
penganan buatannya di toko Nyonya Martha di kampung. Nyonya Gerda membawa serta
sepasang rusa miliknya.
“Wah, rusa-rusamu sudah besar ya, Nyonya Gerda?” kata Nyonya Martha.
“Ya, Nyonya Martha. Bersama mereka, aku tidak kesepian lagi,” sahut Nyonya Gerda.
“Aku senang mendengarnya. Dan, ini uang hasil penjualan rotimu selama minggu ini,” kata
Nyonya Martha.
“Terima kasih, Nyonya Martha. Saya senang bekerja sama dengan Anda,” sahut Nyonya
Gerda.
Suatu hari, sebuah kereta kuda berhenti di depan rumah Nyonya Gerda. Dua orang
perempuan turun dari kereta, lalu menemui Nyonya Gerda. Dua perempuan itu adalah
petugas dari kantor Biro Penyelamat Satwa. Mereka mengatakan bahwa Nyonya Gerda tidak
boleh memelihara rusa. Karena rusa adalah hewan yang dilindungi oleh kerajaan.
“Kalian akan membawa Rosa dan Rosi?” tanya Nyonya Gerda sedih.
“Benar, Nyonya. Kami akan membawa rusa-rusa milik Anda ke Kotapraja. Kami akan
memelihara mereka di kebun binatang. Ini aturan kerajaan. Kalau Anda melanggar, Anda
bisa masuk penjara, Nyonya,” kata salah satu petugas.
“Oh, maafkan saya. Saya tidak tahu tentang peraturan itu,” sahut Nyonya Gerda.
Dua petugas itu pun membawa dua rusa kesayangan Nyonya Gerda. Sebelum kereta itu
berangkat, Nyonya Gerda bertanya, “Bolehkah bila suatu saat aku mengunjungi Rosa dan
Rosi?”
“Silakan, Nyonya. Nyonya dapat mengunjungi kebun binatang kapan pun Nyonya mau,” kata
seorang petugas.
***
15
Setelah kepergian sepasang rusa itu, hidup Nyonya Gerda terasa sepi. Orang-orang, termasuk
Nyonya Martha bersimpati pada Nyonya Gerda.
“Terima kasih, Nyonya Martha. Saya berharap Rosa dan Rosi mendapatkan perlakuan yang
layak di Kotapraja,” sahut Nyonya Gerda.
“Semoga, Nyonya Gerda. Dan, ini uang hasil penjualan rotimu minggu ini, Nyonya Gerda,”
kata Nyonya Martha.
“Oh ya, saya punya rencana bagus, Nyonya Gerda,” kata Nyonya Martha.
“Margot, kakakku, akan membuka toko roti di Kotapraja. Saya mengusulkan Anda untuk
menjadi koki di sana. Anda bersedia, Nyonya Gerda?”
“Tetapi, bagaimana dengan rumah saya? Siapa yang akan mengurusnya?” tanya Nyonya
Gerda.
“Jangan kawatir, Nyonya Gerda. Biar saya dan suami yang akan mengurus rumah Anda,”
jawab Nyonya Martha.
“Oh, terima kasih. Anda sungguh baik pada saya. Baiklah, saya bersedia menjadi koki untuk
kakak Anda, Nyonya Martha,” sahut Nyonya Gerda.
***
Nyonya Gerda pindah ke Kotapraja. Ia menjadi koki di Toko Roti Nyonya Margot. Roti
buatan Nyonya Gerda sangat lezat, sehingga banyak pembeli yang senang. Toko roti itu pun
semakin ramai dikunjungi pembeli. Suatu hari Nyonya Gerda mendapatkan libur.
“Ada beberapa, tetapi yang paling menarik adalah kebun binatang,” jawab Nyonya Margot.
Seketika wajah Nyonya Gerda berubah ceria. Keesokan harinya, Nyonya Gerda berkunjung
ke kebun binatang. Ia mencari-mencari tempat yang diinginkan.
“Bisa Anda tunjukkan pada saya, di mana tempat rusa?” tanya Nyonya Gerda pada seorang
petugas kebun binatang.
16
“Di sana, Nyonya,” jawab petugas.
Nyonya Gerda bergegas melangkah. Ia pun sampai di sebuah tanah lapang yang luas berpagar
kayu. Ia melihat banyak rusa berkeliaran di sana. Ada yang sedang makan rumput, rebah di
tanah berumput, ada pula yang mendekat ke pagar menerima wortel pemberian pengunjung.
Nyonya Gerda melihat dua rusa sedang makan rumput di bawah pohon. Seketika Nyonya
Gerda berteriak.
“Rosaaa! Rosiii!”
Dua rusa itu menoleh, lalu berlari mendekati Nyonya Gerda yang berdiri di luar pagar. Dua
rusa itu mengangkat kedua kaki depannya dan Nyonya Gerda menyambut mereka dengan
pelukan.
“Kalian masih ingat aku? Oh, aku senang sekali bisa bertemu kalian,” kata Nyonya Gerda
terharu.
Orang-orang melihat pemandangan unik itu. Seorang perempuan muda memotret adegan
Nyonya Gerda saat memeluk dua rusa itu.
“Apakah Anda mengenal dua rusa ini, Nyonya?” tanya perempuan muda itu.
“Ini Rosa dan Rosi. Dulu, saya memeliharanya sebelum akhirnya ada petugas membawanya
ke sini,” jawab Nyonya Gerda.
Keesokan harinya, Nyonya Margot menyerahkan koran pagi pada Nyonya Gerda.
“Ada berita tentang Anda, Nyonya Gerda. Lihatlah, di halaman pertama,” kata Nyonya
Margot.
Nyonya Gerda melihat foto dirinya memeluk dua rusa di halaman pertama koran dan judul
berita “Setelah Sepuluh Tahun Berpisah, Nyonya Gerda Bertemu Rosa dan Rosi”.
Nyonya Gerda tersenyum gembira bisa masuk koran. Lebih dari itu, Nyonya Gerda bahagia
karena kini dapat mengunjungi Rosa dan Rosi di kebun binatang setiap saat, terutama saat
merindukan mereka.
17
Hadiah Ulang Tahun
Dadang Ari Murtono
UNTUK ulang tahunnya yang ke-13, Srikanti mendapat sebuah lukisan dengan pigura kayu
jati yang diukir dengan cermat oleh seorang tukang dari Jepara. Bapaknya, seorang pedagang
barang pecah belah mendapat lukisan itu dari kawan lamanya, seorang pemasok yang
bangkrut bukan karena insting bisnisnya buruk, melainkan lantaran kelakuan ugal-ugalan tiga
anaknya yang terlahir dengan satu-satunya bakat untuk menghabiskan uang lebih cepat dari
yang bisa didapat.
Beberapa waktu sebelumnya, seperti bersepakat, tak kurang dari selusin penagih mendatangi
rumah sang pemasok dengan setumpuk catatan hutang dan ancaman. Tak ada yang bisa
diperbuat oleh laki-laki usia senja itu selain merelakan harta yang ia kumpulkan bertahun-
tahun ludes sekejap mata.
Salah satu dari sedikit barang yang berhasil selamat dari penyitaan brutal-brutalan itu adalah
lukisan matahari terbit di sebuah pantai, dengan karang yang menjulang tinggi di sisi kanan,
dan rimba raya hijau di sebelah kiri. Pasir putih membentang di latar depan, dengan latar
belakang air biru dan sirip seekor paus raksasa, dan perahu yang oleng yang menampung
seorang anak kecil. Dan tentu saja, pusat dari semua itu adalah mentari yang malu-malu
menyemburkan sinarnya. Merah seperti neraka.
“Catnya tampak pudar,” tukas bapak Srikanti dengan lagak seperti pecinta lukisan sejati.
“Tapi kau bisa merasakan energinya. Dan lebih dari itu, usia lukisan begitu tua, bahkan lebih
tua dari bapakku. Konon, lukisan ini tinggalan tentara kolonial Belanda. Aku tak tahu
persisnya bagaimana bisa lukisan ini sampai ke keluarga besar kami. Ia seperti datang begitu
saja.”
Dan begitulah lukisan itu berpindah tangan, dengan harga yang kebacut murahnya, tepat
sehari sebelum hari ulang tahun Srikanti.
Lukisan itu digantung di dinding kamar Srikanti yang didominasi warna merah jambu
sehingga menciptakan komposisi yang tak lazim, bersebelahan dengan poster besar Lee Min
Ho dan sejumlah artis Korea yang rawan membuat lidah keseleo untuk mengeja nama
mereka.
Srikanti, sebagai wujud protes atas hadiah yang merusak kedamaian mata itu awalnya
menolak memasuki kamarnya. Ia merengek. Namun orangtuanya, yang insting pedagangnya
membuat mereka kelewat cermat dan hemat hingga lebih pantas disebut pelit, bergeming.
Menjelang pukul 10 malam, mereka lenggang kangkung memasuki kamar tidur mereka yang
besar dengan ranjang megah, meninggalkan Srikanti sendirian di ruang tengah. Tak sampai
setengah jam kemudian, merinding oleh keheningan yang asing, Srikanti luluh dan beringsut
ke kamarnya, mencari kehangatan dari kasur dan selimutnya.
18
Kemarahan bercampur kekecewaannya kembali mengelunjak begitu matanya menatap
warna-warna kontras dalam lukisan tersebut. Srikanti mendekat, mengusap permukaannya
yang kasar, dan secara reflek menancapkan kuku-kukunya yang tajam ke permukaan kanvas.
Ia meringis ketika mendapati secabik cat menelusup ke dalam kukunya.
Biru laut dan hitam sirip paus raksasa. Perahu di sana tampak bergerak lembut dan ombak
kecil menghempas. Srikanti mengira ia tengah berhalusinasi. Ia mengerjap-ngerjapkan
matanya. Ia membeliak dan menatap lebih cermat. Dan di sanalah, terlihat jelas, mulut si
anak di atas perahu komat-kamit, seakan hendak mengucap sesuatu kepada Srikanti.
Gadis menjelang akil baligh itu nyaris berteriak. Namun suaranya tertelan begitu sampai di
ujung lidah. Ia menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. Tubuhnya undur ke
belakang, lalu terantuk tepi ranjang dan jatuh terduduk di atas kasur. Ia merasa angin
beraroma garam berembus pelan,membawa udara panas memenuhi kamar itu. Srikanti gerah.
Dan tiba-tiba, ia merasa tubuhnya begitu ringan. Bocah laki-laki dalam perahu itu ternyata
hanya mengenakan celana hijau selutut serta kaus oblong tanpa gambar atau tulisan. Ia
melongokkan kepala ke arah Srikanti. Semakin lama semakin jelas kalau kepalanya menonjol
di permukaan kanvas, lalu lepas dari bidang dua dimensi tersebut. Dan pada akhirnya, kepala
itu benar-benar nongol, sejangkauan dari jarak yang bisa dicapai dari juluran tangan Srikanti.
“Ke sinilah,” ujarnya dengan suara sehalus deru kipas angin. Srikanti bangkit, seperti berada
dalam kuasa lain yang tak terjelaskan. Lalu mendekat dan menjulurkan tangan, meraih tangan
bocah laki-laki yang ternyata juga sudah terulur ke arahnya. Dengan gerakan anggun, ikan
paus dalam lukisan itu bergerak, menyembulkan kepalanya yang tak terkira besarnya,
menggoyang perahu dan mengakibatkan riak ombak dan menimbulkan desir keras.
“Naiklah,” kata bocah laki-laki. Dan seperti tersihir, Srikanti menurutinya. Ikan paus itu
menyambutnya dengan menciptakan air mancur dari lubang di atas tubuhnya, mengguyur
Srikanti dengan kesejukan yang belum pernah ia rasakan.
“Ia baik,” bocah laki-laki itu menambahkan. “Kau tak perlu takut. Tak ada bahaya di sini.”
Begitu Srikanti menginjak lantai perahu yang basah dan licin, ikan paus tersebut, dengan
gerakan akrobatik yang sukar dipercaya, melompat ke atas, membentuk setengah lingkaran
melewati perahu itu, dan mencebur tepat di sisi seberang. Hempasan air yang sedemikian
keras, anehnya, tak membuat perahu itu terbalik. Perahu itu hanya bergoyang pelan. Lebih
disebabkan reflek dan bukan ketakutan, Srikanti menjerit.
Jika orangtuanya bangun, pikir Srikanti, maka itu pasti karena suara deburan air, dan bukan
karena jeritannya. Namun ia tidak berkata apa-apa. Ia terlalu terpesona dengan pengalaman
ajaib yang ia alami. Angin bertiup lebih keras di sana, menggerai rambut Srikanti, memberati
lembar-lembar hitam itu dengan garam dan cairan. Sinar mentari pagi yang hangat mengikis
kantuknya, dan sebentar kemudian, ia merasakan haus serta lapar yang tak terkira meski
beberapa jam sebelumnya ia telah mengganyang semangkuk soto Lamongan berikut satu
gelas besar es teh.
19
“Apa yang kau mau? Buah-buahan? Air kelapa?” bocah laki-laki itu menunjuk sisi rimba
raya. “Atau kepiting bakar? Dan ada sumber air tawar segar juga di sana,” dan ia
melemparkan pandangannya pada sisi karang tinggi.
Malam itu, mereka melabuhkan perahu di tepi karang, berburu kepiting dan membakarnya
dan berpesta semalam suntuk. Kekenyangan dan kecapekan, Srikanti jatuh tertidur dan ketika
terbangun keesokan paginya, ia mengira apa yang dialaminya adalah mimpi belaka. Srikanti
mendapati dirinya telah berganti baju dan baju yang ia kenakan semalam teronggok di sudut
kamar, basah dan asin. Dan lukisan itu sepersis ketika pertama tiba.
Srikanti menghabiskan hari dalam kebingungan yang begitu besar hingga ia membisu seribu
bahasa; ragu-ragu antara menceritakan apa yang dialaminya semalam atau tidak.
Orangtuanya mengira kelinglungannya bagian dari bentuk protesnya. Srikanti, pada akhirnya,
memutuskan untuk memastikan bahwa apa yang dialaminya bukanlah mimpi sebelum
menceritakan hal itu kepada orangtuanya.
Srikanti kembali memanggil. Dan ia masih tak mendapat jawaban. “Barangkali itu memang
mimpi,” gumamnya. Namun ia kembali ragu. Ia hampir keluar kamar ketika memutuskan
untuk kembali mencoba memanggil si bocah. Ia beringsut lebih dekat ke lukisan tanpa tanda
tangan senimannya tersebut, hingga ujung hidungnya nyaris bersintuhan dengan permukaan
kanvas. Dari jarak yang begitu, ia bisa melihat bahwa sirip ikan paus itu tampak boncel,
bekas cabikannya kemarin. Dan segera, gagasan itu menyergapnya. Bila kemarin si bocah
nongol begitu ia mencakar lukisan aneh itu, maka mungkin cara yang sama bisa ia terapkan
sekarang. Ia memeriksa kuku-kukunya dengan kecermatan seorang peneliti, dan setelah yakin
akan kualitas senjata bawaan itu, ia menempelkannya pada permukaan kanvas, tepat pada
warna biru laut. Kesepuluh kuku-kuku jari tangannya sekaligus. Dan dengan satu gerakan
kasar nan keras, ia benamkan semuanya, lalu ia tarik ke bawah.
Srikanti menjerit kalut ketika tangannya basah dan air meluap ke kamarnya. Perahu itu
dengan segera terbawa arus dan turut terjun ke lantai, diikuti paus raksasa yang menggeliat-
geliat buas, memorak porandakan meja dan ranjang, membentur dan meretakkan tembok.
Ukuran paus itu berubah-ubah secara ajaib dan acak, kadang membesar dan mengecil
sehingga—meski ketika masih bersemayam dalam lautan di dalam lukisan ia seakan lebih
besar dari lapangan bola—selalu ada ruang yang tak terisi oleh tubuhnya di dalam kamar
seluas 4 kali 5 meter itu. Si bocah tersungkur begitu perahu terbentur keramik, dan gelagapan
seolah baru bangun dari tidur.
“Apa yang terjadi?” bocah itu berteriak seraya mengerjap-ngerjapkan mata, rambutnya
semrawut dan basah.
Dan air semakin deras meluap, mengisi setiap ruang dalam kamar itu. Srikanti, di sudut
kamar, meringkuk seperti bayi tikus, berlindung dari terpaan ekor paus dengan setengah
tubuh tenggelam, menambah volume air dengan air matanya yang tak terbendung. Dan tak
lama kemudian, mentari pagi beserta cakrawalanya, berikut karang dan rimba rayanya, turut
terseret ke kamar itu. Tak ketinggalan pantai berikut pasir putihnya. Seperti ada semesta dari
20
dimensi lain yang dipindahkan dengan cara yang sama sekali tidak elegan, menimbulkan
kegemparan mengerikan. Dari luar, terdengar teriakan kedua orangtua Srikanti.
21
Surat untuk Presiden
“Keluar kau, Kardi!” teriak Wahyu yang kemudian diikuti suara pintu digedor sepenuh
tenaga. Teriakan Wahyu benar-benar merusak ketenangan pagi itu. “Keluar kau atau
kudobrak pintu ini,” ancamnya sembari terus menggedor.
Sontak keributan yang dibuat Wahyu memanggil warga untuk datang melihat. Mereka saling
berbisik dan menerka, apa gerangan yang menyebabkan Wahyu kalap pagi-pagi begini. Baru
saja dia hendak mendobrak, pintu terbuka dan muncullah wajah Kardi yang kebingungan
melihat halaman rumahnya mendadak seperti bioskop, penuh warga.
Kardi keluar dengan pakaian lengkap hendak berangkat kerja. Burung merpati yang menjadi
lambang perusahaan pos nasional tersemat di lengannya.
“Ini semua gara-gara kamu dan teman-temanmu, Kar!” Wahyu menunjuk-nunjuk wajah
Kardi.
“Lo, tenang dulu, Yu. Jangan emosi. Aja kesusu nuduh orang. La, aku ini salah apa?”
“Sudah tiga minggu aku menulis surat kepada Presiden. Tapi sampai hari ini belum dibalas.
Pasti kalian tidak menyampaikan suratku kan!”
“Lo, kami profesional, Yu. Bahkan kau tahu, aku sudah memastikan suratmu sampai ke
tujuan.”
Kardi tak habis pikir, mengapa Wahyu menuduh seperti itu. Akan tetapi di satu sisi, ia
semakin kasihan melihat sahabatnya itu. Bagi Wahyu, surat kepada Presiden adalah harapan
satu-satunya untuk menyelamatkan tanahnya dari ancaman pembangunan hotel.
Kardi masih ingat betapa kalap temannya itu saat melihat beberapa pekerja mengukur-ukur
luas pekarangannya. Pembangun hotel itu mulai bekerja tanpa seizin Wahyu, setelah berkali-
kali merayu dia menjual tanah di depan rumah, tetapi tidak juga berhasil.
“Bagaimana mungkin aku menjual tanah di depan rumahku itu, Kar. Kau tahu, itu kenangan
terbesar Marni,” ucap Wahyu suatu malam.
Kecintaan Wahyu kepada Marni memang sangat besar. Di pekarangan depan rumah itulah
dulu Marni menanam bunga-bunga indah dan aneka pohon yang dia rawat dengan telaten.
“Marni pernah berkata, bunga dan pohon di pekarangan itu adalah tempat bermain anak kami
kelak,” curhat Wahyu suatu hari.
Namun, nahas, belum sempat mereka diamanahi buah hati, Marni meninggal akibat
kecelakaan. Wajar bila Wahyu menolak tawaran dari pengusaha hotel. Saat melihat
pekarangan itu, ia selalu teringat kepada Marni. Mereka sudah melaporkan pembangunan itu
ke pihak RT dan RW. Namun mereka malah menyalahkan Wahyu. Mereka berkata, Wahyu
bodoh menolak tawaran begitu tinggi.
22
Wahyu juga sudah melaporkan perbuatan pembangun hotel itu ke aparat keamanan. Ketika
itu dikatakan, kasus itu akan segera diproses. Wahyu akhirnya sadar, kata “memproses” itu
sungguh ambigu. Bahkan hingga detik ini, jika ditanya mengenai perkembangan penanganan
kasus itu, aparat keamanan akan berkata sedang memproses.
Kardi tidak sampai hati melihat Wahyu terduduk lemas di kursi ruang tunggu kantor aparat
keamanan selepas mendengar kabar untuk kali kesekian bahwa kasus itu sedang diproses.
“Aku tidak tahu lagi harus mengadu kepada siapa, Kar,” ucap Wahyu saat mengatakan niat
mengirim surat ke Presiden.
Sore itu, mereka berdua duduk sambil memandangi pekarangan peninggalan Marni. Ranting
pepohonan itu bergerak mengikuti tiupan angin sore. Sementara di beberapa titik bisa terlihat
jelas bekas galian yang akan dijadikan patok pembangunan.
Kardi masih ingat, saat Wahyu menyerahkan surat itu sambil berkaca-kaca beberapa minggu
lalu. “Aku titip harapanku padamu, Kar.”
Tak kuasa hati Kardi menahan air mata. Kedua sahabat itu menangis sejadi-jadinya. Orang-
orang yang lalu lalang pun melihat mereka dengan tatapan aneh.
Kardi pun memperlakukan surat itu secara spesial. Saat menyortir surat, dia pisahkan surat
Wahyu dari surat-surat lain. Ketika dikirim ke Ibu Kota, dia minta temannya yang bekerja di
sana memastikan surat itu baik-baik saja dan sampai ke tujuannya: rumah Presiden.
Maka pagi ini, ketika Wahyu dengan emosi menggedor-gedor pintu rumahnya dan menuduh
dia mengkhianati, bukan amarah yang muncul di hati Kardi. Namun rasa iba. Sudah
sedemikian frustrasikah sahabatnya itu sampai kehilangan akal sehat? Dia merangkul Wahyu
sambil mengelus-elus pundaknya. Maka pecahlah tangis Wahyu pagi itu.
“Mereka sudah membangun tembok di pekaranganku, Kar. Pohon peninggalan Marni juga
sudah mereka tebang,” Wahyu bercerita sambil terisak-isak.
“Mungkin memang sebaiknya kaujual saja pekarangan itu. Jangan khawatir, Sahabat,
keikhlasan dan perjuanganmu akan diganjar pertemuan dengan Marni di tempat yang lebih
kekal kelak,” ujar Kardi sambil menggigit bibir, menahan haru.
Sesampai di kantor, kejadian pagi itu masih membayangi Kardi. Alangkah terkejut dia saat
menyortir surat yang datang, ada sebuah amplop berlambang kepresidenan ditujukan ke
alamat Wahyu. Dia girang bukan kepalang. Namun dia ingin melihat isi surat itu sebelum
memberikan kepada Wahyu. Dia tidak ingin sahabatnya kecewa.
Perlahan dia buka dan baca surat itu. Di surat itu tertulis, “Ikhlaskan saja. Itu semua demi
pembangunan dan peningkatan ekonomi.”
23