Anda di halaman 1dari 4

KONSEKUENSI

Fajar subuh suara adzan membangunkanku, seperti biasanya aku langsung beranjak
bangun untuk menunaikan kewajibanku. Hari ini tak jauh berbeda dengan hari sebelumnya,
hari yang kan kulewati dan akan berlalu karena waktu. Tiga bulan adalah waktu yang tersisa
dibangku menengah atas ini. Satu hari yag aku nantikan dalam seminggu adalah hari minggu,
hari dimana aku berkumpul dengan kedua orang tuaku.

“Kamu mau kuliah dimana dan jurusan apa?” tanya Ayah padaku.

“Kalau kuliah dimana sih aku belum tahu yah, tapi aku mau ambil jurusan hukum.
Bagaimana menurut Ayah?” balasku

“Kenapa hukum, kamu gak mau melanjutkan pekerjaan Ayah? Kamu kan anak satu – satunya
ayah, tapi kalau itu kemauanmu Ayah gak akan larang, tetapi Ayah lebih senang kalau kamu
melanjutkan pekerjaan Ayah dan jadi lebih hebat dari Ayah.” jawab Ayah.

“Hemmm...nanti aku pikirkan lagi” jawabku singkat.

Memikirkan jawaban Ayah, aku berpikir kenapa ayah ingin aku meneruskan
pekerjaanya, apa ayah ingin aku jadi tikus – tikus kantor seperti dirinya? Aku coba berpikir
positif, mungkin itu bukan maksud ayah. Ayah mungkin ingin aku menjadi politikus hebat
dan menjadi orang yang bertanggung jawab. Tetapi kata politik dalam pikiranku selalu berarti
negatif , pekerjaan yang penuh orang tak jujur dan tak bertanggung jawab. Saat aku kecil aku
selalu berpikir bahwa ayahku adalah orang yang hebat, dia bekerja demi negara ini, tetapi hal
ini langsung berbalik saat aku mulai mengetahui bagaimana pekerjaan ayahku. Ayah adalah
anggota DPR, tetapi ia bukan seperti yang dibayangkan orang – orang tentang pekerjaannya
bahwa pegawai pemerintah bekerja untuk negara. Ayah lebih berpikir apa yang diberikan
negara padanya dari pada apa yang diberikannya kepada negara.

Ujian pun tiba dan kini tinggal menunggu hasilnya. Setiap ada kesempatan aku dan
keluarga berkumpul, ayah selalu membicarkan tentang pemerintahan. Sepertinya ayah ingin
benar aku menjadi seorang politikus. Dalam hatiku aku sudah mantap di jurusan hukum aku
ingin menjadi jaksa, tapi aku takut ayah kecewa. Setelah hasil ujian keluar aku rasa nilai itu
cukup untuk masuk jurusan hukum.

Tapi ayah bilang padaku “Bagus anakku, dengan nilaimu kamu akan menjadi politikus yang
hebat”.
Malam demi malam aku memikirkan kata – kata ayahku, aku pun memutuskan untuk
berbicara padanya.

“Bagaimana, apakah ayah berhasil memalsukan data itu?” tanya ibu pada ayah.

“Tentu, itu kan hal yang mudah dan ibu kan tahu ayah sudah berpengalaman melakukan hal
semacam ini dan kali ini keuntungan yang didapat jauh lebih besar.” Jawab ayah.

“Ibu tahu kan, sebenarnya ayah tidak suka anak kita masuk jurusan hukum. Kita kan tahu bu,
orang – orang hukum itu sebenarnya bodoh, mereka tidak bisa menyelesaikan kasusnya dan
bahkan orang – orang seperti kita tidak dicurigai serta sering gagal dalam membuktikan
bahwa orang – orang seperti kita bersalah, entah kita yang pandai atau memang mereka yang
tak menguasai pekerjaannya.”Sambung ayah.

“Tapi sudah lah yah, kita tak usah memaksanya. Kita dukung kemaunnya saja, toh gak ada
ruginya buat kita.” Jawab ibu.

Percakapan yang aku dengar dari kedua orang tuaku saatku akan masuk kekamarnya
untuk membicarakan jurusan kuliahku pada mereka. Ibu memang selalu mendukung ayah
seperti itu, bahkan terkadang ibulah yang memaksa ayah untuk melakukannya. Padahal
menurutku apabila ayah bekerja dengan benar tak ada masalah ekonomi dalam keluarga ini.
Aku tak mengerti alasan ayah melakukan perbuatan terlarang ini, mungkin karena pada
dasarnya manusia tidak mempunyai rasa puas. Hal itu hanya menjadi pikiran sesaatku, aku
tidak mau ikut campur urusan kedua orang tuaku, karena aku akan kena marah jika aku
memperingati mereka tentang perbuatan terlarang itu persis kejadian dimana aku
menanyakan hal tentang korupsi saat pertama aku tahu bahwa ayahku seorang koruptor. Aku
biarkan hal itu begitu saja, aku hanya ingin mewujudkan cita – citaku, percakapan antara
kedua orang tuaku yang ku dengar malam itu justru memantapkanku untuk tidah memilih
permintaan ayahku, aku mantap memilih jurusan hukum. Latar belakangku sepuluh tahun
yang lalu.

***

Kini aku telah bekerja sebagai jaksa. Sudah dua tahun aku bekerja, entah mimpi buruk
atau mimpi indah yang kudapat kali ini. Aku selalu senang melakukan pekerjaan ini, bangga
melakukan pekerjaan untuk membela kebenaran dan keadilan. Bangga ketika aku bisa
memecahkan kasus, bangga menjadi aparat hukum yang dihandalkan, dan bangga menjadi
aparat hukum yang memegang sumpahnya untuk mebela kebenaran dan keadilan.

Bekerja bersama KPK menyelidiki tersangka korupsi. Sebuah kasus korupsi yang tak
perlu kuselidiki aku sudah tahu jawabannya, yang tersangka akan jadi terdakwa. Setiap kali
melakukan penyelidikan kasus ini, air mata tak bisa kubendung. Ya Tuhan apakah ini
jalannya, jalan untuk meluruskan keluargaku. Ayah apakah ini akhir dari keputusanku, apa
ini yang kau takutkan akan keinginanku dulu.

“Fadhil, kau satu – satunya yang Ayah andalkan. Bebaskan Ayah dari kasus ini, buat Ayah
mu ini bebas!”pinta Ayah.

“Bukankah Ayah yang mengajarkanku akan rasa tanggung jawab”

“Tanggung jawabmu atas perkerjaanmu apa lebih penting dari rasa hormat dan baktimu
terhadap orang tuamu. Ayah membesarkanmu untuk menjadi orang yang bisa diandalkan
untuk Ayah bukan jadi boomerang bagi Ayah. Apa kau tak tahu kerja keras Ayah selama ini
untuk membahagiakan keluarga ini”

Ingin ku berkata. Jika boleh jujur, selama ini aku tak bahagia. Sejak tau Ayahku seorang
koruptor, aku rasa hidupku hancur. Orang yang aku bangga – banggakan, sosok yang menjadi
panutanku sudah hilang. Selama hidupku, saat ku tau Ayahku seorang koruptor, selama itu
tak pernah ku ceritakan pada orang lain. Semua itu karena aku tak mau di cap sebagai anak
koruptor.

“Dasar anak tidak tahu terima kasih, kau anak durhaka. Untuk apa Ayah bersarkan kau
selama ini!”

“Ayah, ini adalah jalan yang benar, jalan yang akan membuatmu sadar atas kesalahanmu,
Ayah aku mohon kau jalani konsekuensi atas kesalahanmu”

“Nak, Ibu mohon , bebaskan Ayahmu, Ibu tidak mau melihat Ayah di hukum. Ini semua
bukan kesalahan Ayah, Ayah hanya ingin menjadi Ayah yang baik untuk mu dan suami yang
baik buat Ibu”

“Jika Ayah tidak bersalah, maka Ayah akan bebas”

Kebimbangan menimpaku. Aku harus pilih yang mana, rasa tanggung jawabku sebagai aparat
hukum atau rasa bakti dan tanggung jawabku sebagi seorang anak.
***

Hari persidangan dimana penentu keputusan. Sebagai seorang jaksa bersama di dalam ruang
sidang bersama terdakwa yang tak lain dari Ayahku.

“Tok, tok, tok” penanda akhir dari kasus yang kuselidiki.

Ayah maafkan anakmu ini, rasa bakti dan tanggung jawabku sebagai seorang anak ku
tunjukkan dengan cara yang berbeda. Mungkin Ayah tak menyukai caraku, tapi ini lah akhir
dari keputusanku. Aku ingin engkau menjadi orang yang benar. Sekali lagi, maafkan anakmu.

Anda mungkin juga menyukai