Anda di halaman 1dari 23

PEMBINAAN SEMANGAT NASIONALISME INDONESIA DALAM

MENGHADAPI TANTANGAN KOSMOPOLITANISME DAN ETNISITAS


MELALUI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
(Studi Kasus Pada SMP Negeri 1 Entikong, Wilayah Perbatasan Indonesia-
Malaysia).
Mardawani1

ABSTRAK

The spirit of nationalism revealed in the love, dedication and patriotism to


mother land is the basic capital in keeping NKRI. Spirit to love the nation has
apparently faded caused by cosmopolitanism and ethnicity, it’s indeed
threatening the existence of a nation. To revive the spirit of nationalism and
patriotism can should be properly guided in a systematic, programmatic,
integrated and continuous way through the implementation of Civic Education at
every school. This research uses qualitative approach by implementing the
method of case study. The findings of study stated that the cosmopolitanism
challenge for those who live in the border area between Indonesia and Malaysia
is so high. Meanwhile, the challenge of ethnicity is still low. The learning method
of Civic Education to build nationalism spirit at SMP Negeri 1 Entikong can be
done through considering the aim of learning process itself. The Civic Education
teachers and school itself have systematically made program and training. The
barrier faced by Civic Education teachers and school in a way of guiding and
enforcing the importance of nationalism spirit.

Kata Kunci: nationalism, cosmopolitanism, ethnicity, civic education.

Pendahuluan
1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai
Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.
Email: mardha_whani@yahoo.com 1
1. Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia sampai saat ini masih dihadapkan pada sebuah tantangan
besar yakni bagaimana mempertahankan semangat nasionalisme bangsa dalam
mengisi dan mempertahankan kemerdekaanya. Sebagai sebuah negara yang
terdiri atas beranekaragam suku, agama dan ras, serta wilayahnya yang sangat
luas terdiri atas ribuan pulau, bangsa Indonesia tentu harus tetap memiliki daya
pengikat yang dapat mempererat persatuan dan kesatuan bangsa yang disebut
nasionalisme. Tantangan ini semakin dirasakan manakala bangsa Indonesia
dihadapkan pada dua kekuatan utama yang dapat menghimpit semangat
nasionalisme, yakni kosmopolitanisme yang beriringan dengan globalisasi, serta
etnisitas yang berkembang bersama etnosentrisme.
Disadari atau tidak dalam memasuki era globalisasi ini, mau tidak mau
bangsa kita harus mampu berkompetisi di dunia yang cenderung tanpa batas.
Dalam pandangan Kenichi Ohmae misalnya globalisasi bukan saja membawa
ideologi yang bersifat global dalam hal ini demokrasi liberal di kalangan
penduduk dunia, tetapi juga turut mengancam proses pembentukan negara bangsa,
karena globalisasi pada intinya ingin mewujudkan negara tanpa batas
(borderless). Kehidupan yang tanpa batas akan mengurangi kedaulatan sebuah
negara pada kondisi tertentu. Dalam batas-batas tertentu budaya kosmopolitan
yang dihasilkan oleh globalisasi akan muncul dan dapat mematikan budaya
nasional atas suatu bangsa.
Sejalan dengan hal tersebut di atas sebagaimana kita ketahui sesungguhnya
bahwa masalah nasionalisme bangsa Indonesia sangatlah kompleks, kepercayaan
diri dan kebanggaan akan simbol budaya bangsa sendiri semakin menunjukan
penurunan akhir-akhir ini, terutama semangat nasionalisme pada masyarakat yang
tinggal di daerah perbatasan yang pada dekade terakhir ini sudah mulai
menunjukan gejala semakin memudar. Hal ini terlihat dari adanya fenomena yang
terjadi di lingkungan masyarakat perbatasan, dengan kehadiran produk-produk
negara lain baik secara fisik maupun non-fisik, serta lemahnya wawasan
kebangsaan masyarakat perbatasan semakin membuktikan lemahnya semangat
nasionalisme masyarakat. Bahkan pengenalan akan simbol-simbol kehidupan
1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai
Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.
Email: mardha_whani@yahoo.com 2
berbangsa dan bernegara Indonesia seperti bendera, bahasa, lagu kebangsaan, dan
sebagainya sangat minim sekali. Kondisi ini tidak hanya terjadi pada orang
dewasa, namun juga terjadi pada anak-anak usia sekolah yang bahkan mereka
tidak tahu mengenai identitas nasionalnya.
Namun sebaliknya, simbol budaya asing justru lebih diminati dan semakin
populer di kalangan generasi muda saat ini. Interaksi tanpa batas yang terjadi pada
generasi muda dengan warganegara lain membawa dampak yang dapat
mempengaruhi pola pikir, sifat dan perilaku mereka baik kearah positif maupun
negatif. Perubahan global yang sedang terjadi kini merupakan suatu revolusi
global yang melahirkan suatu gaya hidup (a new life style). Gaya hidup global
cepat diserap oleh masyarakat akibat majunya arus informasi yang dihasilkan oleh
teknologi (Tilaar (2002:1). Sementara di sisi lain ancaman akan nasionalisme
muncul dari masyarakat dalam ruang yang lebih sempit, yaitu suatu sifat
kedaerahan atau nasionalisme yang sempit berupa kesukuan (etnisitas). Hal ini
tidak diimbangi dengan upaya pemerintah secara maksimal dalam membina
masyarakat perbatasan.
Menanggapi fenomena di atas kita harus mengkajinya terutama dari segi
Pendidikan Kewarganegaraan. Sebab nasionalisme dan semangat kebangsaan
tidak dapat terpelihara dengan sendirinya, melainkan perlu pembinaan secara
berkesinambungan dari berbagai pihak, baik individu, kelurga, sekolah maupun
masyarakat. Daerah perbatasan khususnya perlu mendapat pembinaan yang
berkesinambungan tersebut terutama melalui strategi preventif dalam
pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah yang dilakukan sejak dini.
Bagi masyarakat daerah perbatasan semangat nasionalisme yang semakin
menurun akibat pengaruh kosmopolitanisme dan etnisitas adalah hal utama yang
harus segera mendapat perhatian.
Melalui Pendidikan Kewarganegaraan diharapkan mampu meningkatkan
kesadaran masyarakat akan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Pendidikan
Kewarganegaraan sebagai sarana untuk membangkitkan semangat nasionalisme
yang dapat dilakukan dengan senantiasa memupuk rasa persatuan dan kesatuan
bangsa dan bernegara dalam kehidupan bermasyarakat. Kehendak bangsa untuk
1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai
Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.
Email: mardha_whani@yahoo.com 3
bersatu dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan syarat
utama dalam mewujudkan nasionalisme Indonesia. Di samping itu, perlu
dikembangkan semangat kebanggaan dan kebangsaan dalam setiap individu
rakyat Indonesia agar dapat berpartisipasi dalam mewujudkan tujuan nasionalnya.
Dalam kaitanya dengan pengajaran Pendidikan Kewarganegaraan perlu
dikembangkan pengajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang bersifat maksimal
yang ditandai oleh: thick, inclusive, activist, citizenship education, participative,
proses-led, values-based, interactive interpretation, more difficult to achieve and
meansure in practice. Maksudnya adalah didefinisikan secara luas, mewadahi
berbagai aspirasi dan melibatkan berbagai unsur masyarakat, kombinasi
pendekatan formal dan informal, dilabel “citizenship education”, menitikberatkan
pada partisipasi siswa melalui pencarian isi dan proses interaktif di dalam maupun
luar kelas, hasilnya lebih sukar dicapai dan diukur karena kompleknya hasil
belajar (David Kerr, 1995:5-7; Winataputra dan Budimansyah, 2007:28).

2. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang masalah di atas, dapat peneliti rumuskan suatu
masalah pokok atau fokus penelitian yakni “Bagaimanakah pembinaan semangat
nasionalisme Indonesia dalam menghadapi tantangan kosmopolitanisme dan
etnisitas melalui pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di SMP Negeri 1
Entikong?”
Agar penelitian ini lebih terarah dan memudahkan dalam penganalisaan
terhadap hasil penelitian, maka masalah pokok tersebut dijabarkan dalam sub-sub
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah tantangan kosmopolitanisme dan etnisitas yang terjadi
pada masyarakat Entikong, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia?
2. Metode apakah dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang
dapat digunakan untuk membina semangat nasionalisme Indonesia siswa di
SMP Negeri 1 Entikong, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia?
3. Upaya apakah yang dilakukan guru Pendidikan Kewarganegaraan dan
program sekolah dalam pembinaan semangat nasionalisme Indonesia siswa
1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai
Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.
Email: mardha_whani@yahoo.com 4
untuk menghadapi tantangan kosmopolitanisme dan etnisitas di SMP Negeri
1 Entikong, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia?
4. Hambatan apakah yang dihadapi oleh guru Pendidikan Kewarganegaraan
dan program sekolah dalam pembinaan semangat nasionalisme Indonesia di
SMP Negeri 1 Entikong, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia?

3. Kerangka Pemikiran

Tantangan Program
Kosmopolitanisme
4. Pembelajaran
dan Etnisitas PKn Temuan
Penelitian

Teori
Nasionalisme, Kesimpulan Terbinanya
Kosmopolitanisme dan Semangat
Rekomondasi Nasionalisme
dan Etnisitas
Indonesia

Upaya Guru PKn Hambatan Guru Temuan


dan Sekolah PKn dan Sekolah Penelitian

Landasan Teori
1. Nasionalisme dan Konsep yang Mendasarinya
Nasionalisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan
tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan (Kohn, 1984: 11).
Penggunaan makna nasionalisme yang paling penting menurut Anthony D. Smith,
sebagaimana yang diterjemahkan oleh Frans Kowa (2003:6) meliputi: (1) suatu
proses pembentukan, atau pertumbuhan bangsa-bangsa, (2) suatu sentimen atau
kesadaran memiliki bangsa bersangkutan, (3) suatu bahasa atau simbolisme
bangsa, (4) suatu gerakan sosial dan politik demi bangsa bersangkutan, dan (5)
suatu doktrin dan/atau ideology bangsa, baik yang umum maupun yang khusus.
1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai
Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.
Email: mardha_whani@yahoo.com 5
Sementara itu, istilah nasionalisme oleh beberapa pakar Indonesia sering
diidentikkan dengan beberapa istilah seperti rasa kebangsaan, paham kebangsaan,
semangat kebangsaan, dan yang tidak menyebutkanya secara harfiah (Said dan
Affan,1987:272; Kansil, 1986:20; Anshari, 1988:191; Riff, 1995:194; Smith,
1997:30).
Secara umum dari berberapa pandangan tentang nasionalisme baik dalam
arti rasa kebangsaan, paham kebangsaan, semangat kebangsaan, dan yang lainnya,
pada hakikatnya mengacu kepada pengertian yang sama, yakni bermakna
mendahulukan dan mengutamakan kepentingan bangsa, negara, dan tanah air
daripada kepentingan yang lain. Perekat nasionalisme dari pendapat para pakar
tersebut pun umumnya saling melengkapi yaitu; bahasa, adat, sejarah, keturunan,
kepentingan, cinta tanah air, kesamaan wilayah, kesamaan cita-cita, rasa kesatuan
dan persatuan, kesamaan tujuan, bahkan terkadang juga kesamaan kepercayaan.

2. Nasionalisme Indonesia
Berbicara tentang semangat nasionalisme Indonesia tidak terlepas dari
sejarah perjuangan bangsa Indonesia di masa silam. “perjuangan untuk merebut
kemerdekaan dari penjajahan tersebut telah melahirkan suatu perjuangan untuk
mencapai reintegrasi bangsa” (Wertheim 1999:246-253). Setelah mengalami
kondisi pasang surutnya dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia
dengan segala pengaruhnya sampai saat ini membawa kita kepada sebuah
perenungan kembali bagaimana semestinya kita memaknai arti loyalitas dan
kecintaan (rasa nasionalisme) kepada bangsa dan negara. Dalam meningkatkan
dan menanamkan nasionalisme bangsa, kita harus mengeksplorasi budaya kita
sendiri dan untuk menambahkan kohesi agar tetap lestarinya moral dari bangsa
kita. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Wang Dongxiao
(2009:4), bahwa “in promoting and cultivating nationalism, we must explore our
own culture and to enhance its cohesion in order to keep up the morale of our
nation.”
Dalam konteks Indonesia, nasionalisme yang menjadi kekuatan bangsa
Indonesia adalah nasionalisme yang berpondasi berdasarkan Pancasila. Artinya,
1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai
Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.
Email: mardha_whani@yahoo.com 6
nasionalisme tersebut bersenyawa dengan sila-sila Pancasila. Hal ini sejalan
dengan apa yang dikemukakan oleh R. Mudhiyardjo (2001: 196) mengenai ciri-
ciri nasionalisme Indonesia, yakni: (1) nasionalime kerakyatan/persatuan yang
anti penjajahan, (2) nasionalime kerakyatan/persatuan yang patriotik, yang
religius, (3) nasionalime kerakyatan/persatuan yang berdasarkan Pancasila. Dalam
istilah lain Wahab (2009) menyatakan bahwa nasionalisme bangsa Indonesia
harus sesuai dengan jati diri bangsa yakni berdasarkan Pancasila.

3. Kosmopolitanisme
Terdapatbtiga aliran utama kosmopolitanisme, yakni kosmopolitanisme
moral, kosmopolitanisme politik dan kosmopolitanisme kultural. Hal ini
dipertegas oleh Delanty dalam Nowicka dan Rovisco (2009: 3) bahwa terdapat:
‘three perspectives is moral cosmopolitanism, political cosmopolitanism and
cultural cosmopolitanism.’ Di lain pihak bahwa konsep kosmopolitanisme dapat
dilihat sebagai manifestasi fundamental dalam konteks politis yang dihadirkan
dari globalisasi. Dalam pendekatan normatif ini, terdapat komitmen kuat terhadap
universalisme (Kalidjernih, 2009:9). Kosmopolitanisme sebenarnya dapat
diartikan secara lebih luas sebagai proses universalisme dan partikulerisme negara
sebagaimana yang dikemukakan Beck dalam Isikal (2002:5) bahwa “…we view
cosmopolitanism as a process in which universalism and particularism are no
longer exclusive ‘either-or’ categories but instead a co-existing pair”.
Kalidjernih (2009:4), menyatakan bahwa ”kosmopolitanisme merujuk
kepada suatu paham atau gagasan bahwa semua manusia, tanpa memandang latar
belakangnya adalah anggota dari sebuah komunitas dunia.” Dengan perkataan
lain, kosmopolitan mengarahkan pada suatu kehidupan yang mendunia, yang
dalam istilah Ohmae disebut borderless. Secara lebih khusus, Kalidjernih dalam
artikelnya mengemukakan secara kultural bahwa terdapat dua argumen
sehubungan dengan keterkaitan antara globalisasi dan Pendidikan
Kewarganegaraan, khususnya di Indonesia. Pertama, kita perlu melihat globalisasi
dapat dimaknai dengan pelbagai cara (multiple readings). Ia bisa dilihat sebagai
suatu tantangan dan sekaligus sebagai kesempatan. Kedua, globalisasi telah
1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai
Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.
Email: mardha_whani@yahoo.com 7
mengfragmen konsepsi kewarganegaraan Indonesia. Oleh karena itu, Pendidikan
Kewarganegaraan di Indonesia perlu lebih menfokuskan kepada aspek yang
mendorong peserta didik memikirkan dan berefleksi tentang situasi dan kondisi
sekitarnya, tentang drinya, keluarganya, masyarakat dan negara serta bengsanya
secara lebih cerdas dan berjangka panjang (Kalidjernih, 2009:114-115).

4. Etnisitas
Etnisitas pada hakekatnya bukan merupakan isu baru dalam kehidupan
bangsa-bangsa di dunia. Isikal (2002:1) misalnya mengemukakan bahwa “the
ethnic root of nationalism felt into the agenda of international relations theory,
particularly since the 1970s, when resurgence of ethnic nationalism has
witnessed in many parts of the world.” artinya akar kesukuan dari nasionalisme
dirasakan dalam agenda dari teori hubungan internasional, terutama sejak 1970,
ketika kebangkitan nasionalisme kesukuan telah disaksikan pada beberapa bagian
dari dunia. Lebih lanjut, Husein Isiksal menambahkan “today, it is widely
acknowledged that ethnicity plays a crucial role in nationalism.” Hari ini, ini
secara luas diketahui bahwa etnisitas memainkan peranan krusial dalam
nasionalisme. Bahkan dalam pandangan Eriksen (2002) etnisitas dalam konsep
tertentu hampir tidak bisa dibedakan dengan nasionalisme. Demikian juga bagi
bangsa Indonesia, pengalaman historis Indonesia dengan nasionalisme, khususnya
dalam hubungan dengan etnisitas sangat kompleks.
Menurut Handelman sebagaimana yang dikutip oleh Tilaar (2007),
terdapat empat tingkatan perkembangan yang membedakan dipertunjukkan di
dalam komunitas budaya manusia, yakni (1) kategori etnis; (2) jaringan etnis; (3)
asosiasi etnis; dan (4) masyarakat etnis. Tipologi Handelman mengenai etnik
tersebut di atas dilengkapi oleh Schermerhorn dengan mengatakan bahwa suatu
kelompok etnis adalah suatu masyarakat kolektif yang mempunyai atau
digambarkan memiliki kesatuan nenek moyang, mempunyai pengalaman sejarah
yang sama di masa lalu, serta mempunyai fokus budaya di dalam satu atau
beberapa elemen simbolik yang menyatakan akan status keanggotaanya. Dalam
istilah Holander etnisitas mengacu kepada suatu sikap ekslusivisme terhadap
1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai
Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.
Email: mardha_whani@yahoo.com 8
kelompok-kelompok lain diluar dirinya. Sikap eklusivisme dalam kelompok justru
berjalan seiring dengan berkembangnya kesadaran kesatuan kelompok (Mendatu,
2007).

5. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan


Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan erat kaitannya dengan dua
istilah teknis yakni cCivic education” dan “citizenship education”. Untuk
mempertegas kembali perbedaan pengertian antara civic education dengan
citizenship education, Cogan (1998:4) mendefiniskan bahwa civic education
diartikan sebagai “...the foundational course work in school designed to prepare
young citizens for an active role in their communities in their adult lives” atau
suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan
warganegara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam
masyarakatnya. Sedangkan “citizenship education” atau “education for
citizenship” diartikan sebagai istilah generik yang mencakup pengalaman belajar
di sekolah dan di luar sekolah, seperti yang terjadi di dalam lingkungan keluarga,
organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan, dan dalam media yang
membantunya untuk menjadi warganegara seutuhnya. Oleh karena itu Cogan
(1998:5) menyimpulkan bahwa citizenship education merupakan suatu konsep
yang lebih luas di mana civic education termasuk bagian penting di dalamnya.
Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan proses
komunikasi transaksional yang bersifat timbal balik antara guru dan siswa, siswa
dengan siswa untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan perubahan tingkah laku adalah tercapainya tujuan
pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yakni terbentuknya pribadi
warganegara yang cerdas dan baik. Menurut Sapriya dan Winataputra (2004: 33),
”Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan selayaknya dapat membekali siswa
dengan pengetahuan dan keterampilan intelektual yang memadai serta
pengalaman praktis agar memiliki kompetensi dan efektifitas dalam
berpartisipasi.” Tidak sepereti paradigma lama Pendidikan Kewarganegaraan
antara lain bercirikan struktur keilmuan yang tidak jelas, materi disesuaikan
1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai
Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.
Email: mardha_whani@yahoo.com 9
dengan kepentingan politik rezim, memiliki visi untuk memperkuat state building
yang bermuara pada posisi warganegara sekedar sebagai kaula/obyek yang lemah
ketika berhadapan dengan penguasa. Pada paradigma baru Pendidikan
Kewarganegaraan antara lain bercirikan memiliki struktur keilmuan yang jelas
yakni berbasis pada ilmu politik, hukum dan filsafat moral/Pancasila dan memiliki
visi yang kuat untuk nation and character building, pemberdayaan warganegara
(citizen empowerment) yang mampu untuk mengembangkan masyarakat
kewargaan (civil society). Dalam kaitannya dengan globalisasi, Pendidikan
Kewarganegaraan tidak bisa diisolasikan dari kecenderungan globalisasi yang
berdampak pada kehidupan siswa. Globalisasi menuntut Pendidikan
Kewarganegaraan mengembangkan civic competence yang meliputi pengetahuan
kewarganegaraan (civic knowledge), keterampilan kewarganegaraan (civic skills),
dan watak atau karakter kewarganegaraan (civic disposition) yang
multidimensional (Komalasari dan Budimansyah, 2008:77).

Metode Penelitian
Relevan dengan permasalahan yang hendak diteliti adalah fenomena
kehidupan sosial masyarakat maka pendekatan yang peneliti gunakan adalah
pendekatan kualitatif (Creswell:1998). Peneliti membuat gambaran kompleks
yang bersifat holistik, menganalisis kata-kata, melaporkan pandangan-pandangan
para informan secara rinci, dan melakukan penelitian dalam situasi alamiah.
Pendekatan kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini berimplikasi pada
penggunaan ukuran-ukuran kualitatif secara konsisten, artinya dalam pengolahan
data, sejak mereduksi, menyajikan dan memverifikasi dan menyimpulkan data
tidak menggunakan perhitungan-perhitungan secara matematis dan statistik,
melainkan lebih menekankan pada kajian interpretatif.
Dalam hal ini, peneliti adalah instrumen utama (key instrument) dalam
pengumpulan data. Dalam kaitan dengan hal tersebut Nasution (2007:9) karena
hanya manusia sebagai instrumen dapat memahami makna interaksi antar
manusia, membaca gerak muka, menyelami perasaan dan nilai yang terkandung

1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai
Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.
Email: mardha_whani@yahoo.com
10
dalam ucapan atau perbuatan responden. Alasan lain mengapa peneliti sendiri
bertindak sebagai istrumen utama karena penelitian kualitatif lebih
mementingkan proses daripada hasil. Hal tersebut sesuai dengan pendapat
Bogdan dan Biklen (1992:31) yang menyatakan bahwa “qualitative researchers
are concerned with process rather than simply with outcomes or product.
Berdasarkan permasalahan yang diteliti, pada penelitian ini peneliti
menggunakan metode studi kasus. Metode studi kasus dipilih sebagai metode
dalam penelitian ini karena permasalahan yang dikaji terjadi pada tempat dan
situasi tertentu. Menurut Nasution (2007:55), studi kasus atau case study adalah
“untuk penelitian yang mendalam tentang suatu aspek lingkungan sosial termasuk
manusia di dalamnya.” Case study dapat dilakukan terhadap seorang individu,
kelompok atau suatu golongan manusia, lingkungan hidup manusia atau lembaga
sosial masyarakat.
Teknik pengumpulan data dan informasi yang digunakan oleh peneliti
adalah teknik pengumpulan data kualitatif, yang meliputi studi wawancara
mendalam, studi dokumentasi, studi literatur dan observasi. Teknik analisis data
yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas tiga alur kegiatan yang terjadi
secara bersamaan yakni reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan/verifikasi (Milles dan Huberman, 2007:20). Masalah kegiatan reduksi
data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan merupakan rangkaian kegiatan
analisis yang saling susul-menyusul.

Hasil Penelitian dan Pembahasan


Hasil penelitian yang berupa temuan-temuan di lapangan secara lengkap
dapat dilihat pada beberapa pemaparan di bawah ini.
Hasil penelitian tentang tantangan kosmopolitanisme dan etnisitas yang
terjadi pada masyarakat Entikong, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia secara
rinci dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai
Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.
Email: mardha_whani@yahoo.com
11
Tabel 1.1
Tantangan Kosmopolitanisme dan Etnisitas
Hasil/Temuan Penelitian
Tantangan Kosmopolitanisme Tantangan Etnisitas
1. Masyarakat 1. Di
Entikong lebih suka mengidentikkan Entikong tidak pernah terjadi
diri sebagai bagian dari Malaysia pengelompokan suku atau etnis.
terutama dalam hal produk karena Sebagian besar masyarakat
umumnya masyarakat lebih menyadari bahwa pengelompokan
mengenal produk Malaysia etnis itu tidak boleh dilakukan.
dibandingkan produk dalam negeri. Hal tersebut berdampak pada
Namun dalam aspek territorial dan kehidupan yang harmonis antar
politik masyarakat Entikong lebih suku, agama dan ras yang ada di
mengidentikkan diri sebagai Entikong.
warganegara Indonesia. 2. Masyarakat Entikong lebih
2. Masyarkat memilih kepentingan bangsa dan
Entikong tidak setuju bila harus negara dibandingkan kepentingan
bergabung menjadi warganegara kelompok atau etnisnya.
Malaysia. Dengan perkataan lain Pengelompokan etnis dianggap
masyarakat Entikong lebih memilih sebagai hal yang harus dihindari
sebagai warganegara Indonesia. karena masyarakat Entikong
Sedangkan kepindahan terdiri dari berbagai unsur etnis.
kewarganegaraan biasanya hanya 3. Terdapat perlakuan yang sama
terpaksa oleh faktor keadaan jarak, terhadap semua etnis yang ada di
ekonomi dan perkawinan. Entikong. Demikian pula dalam
3. Beredarnya interaksi di sekolah dan kegiatan
produk Malaysia membawa dampak belajar mengajar di kelas tidak
bagi kehidupan masyarakat terjadi perlakukan yang berbeda
Entikong. Sementara keterbatasan baik oleh guru maupun sesama
sarana dan prasarana pendidikan, siswa.
kesehatan, serta infrastrukur menjadi 4. Penggunaan simbol negara di
salah satu penyebab kepindahan Entikong telah dilaksanakan,
sebagian kecil warga kecamatan tetapi masih ada daerah tertentu
Entikong ke Malaysia. yang belum melaksanakan. Hal
4. Masyarakat tersebut disebabkan oleh
Entikong mengetahui sering kurangnya sosialisasi dari
terjadinya pergeseran patok batas di Pemerintah dan terisolirnya
wilayah kecamatan Entikong. Hal ini daerah tersebut dari perkotaan
terjadi karena masih ada daerah yang atau ibu kota kecamatan
tidak ada patok batas permanen dan Entikong.
lemahnya pengawasan Pemerintah
Indonesia.

1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai
Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.
Email: mardha_whani@yahoo.com
12
Identifikasi diri yang terjadi pada masyarakat Entikong cenderung
merupakan dampak dari banyak beredarnya produk Negara Malaysia di daerah
tersebut serta mudanya akses dan sarana prasarana ke Malaysia. Namun demikian
bukan berarti masyarakat berkeinginan menjadi warganegara Malaysia. Hal ini
dibuktikan dari fakta di lapangan. Pergeseran patok batas yang terjadi merupakan
fakta yang harus segera mendapat perhatian bersama dari Pemerintah dan
masyarakat karena hal ini dapat menganggu stabilitas dankedaulatan NKRI.
Sedangkan permasalahan etnisitas tidak terlalu berkembang di Entikong sebagai
dampak dari mulai beranjaknya masyarakat Entikong kepada kehidupan yang
mendunia atau kosmopolitanisme.
Dalam rangka pembinaan untuk menghadapi tantangan kosmopolitanisme
dan etnisitas yang sering terjadi dalam konteks ini maka siswa perlu memiliki
nasionalisme yang dapat mendukung tetap tegaknya NKRI. Pembinaan
nasionalisme diarahkan bagaimana guru mengajarkan prinsip-prinsip
universalisme Indonesia yang digali dari unsur budaya Indonesia dan diperkaya
dengan unsur lainnya (dari luar) yang sesuai dengan moral bangsa. Hal ini sejalan
dengan pendapat yang dikemukakan oleh Wang Dongxiao (2009:4), dalam
artikelnya bahwa “in promoting and cultivating nationalism, we must explore our
own culture and to enhance its cohesion in order to keep up the morale of our
nation.”
Nasionalisme Indonesia sebagaimana disebutkan di atas di era sekarang
dapat dibentuk dari unsur kosmopolitanisme dan etnisitas yang positif yang
diarahkan kepada prinsip universalisme Indonesia berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945 sebagai jati diri bangsa. Untuk lebih jelasnya tentang posisi antara
nasionalisme Indonesia, kosmopolitanisme dan etnisitas dapat di lihat pada
gambar berikut:
Gambar 1.1
Unsur Pembentuk Nasionalisme Indonesia

1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai
Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.
Email: mardha_whani@yahoo.com
13
Pancasila Pancasila
dan UUD dan UUD
1945 1945

Dari gambar 1.1 di atas menjelaskan bahwa unsur kosmopolitanisme dan


etnisitas yang positif dapat diadopsi sebagai unsur yang memperkaya dan
memperkuat nasionalisme bangsa Indonesia. Dengan demikian maka bangsa kita
dapat tetap dapat mempertahankan semangat nasionalisme tanpa harus
menghindari kosmoipolitanisme dan meniadakan etnisitas. Sebab untuk dapat
mencapi cita-cita nasional pada hakekatnya bangsa Indonesia tidak dapat terlepas
dari kehidupan kosmopolitanisme dan juga tidak dapat menghilangkan etnisitas
yang telah ada dalam masyarakatnya yang majemuk.
Berkaitan dengan metode dalam pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan yang dapat digunakan untuk membina semangat nasionalisme
Indonesia di SMP Negeri 1 Entikong, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia
dapat dijabarkan hasil penelitiannya secara rinci pada tabel di bawah ini:
Tabel 1.2
Metode Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
No Hasil/Temuan Penelitian
1 Metode yang digunakan guru Pendidikan Kewarganegaraan dalam rangka
pembinaan semangat nasionalisme Indonesia di SMP Negeri 1 Entikong
adalah metode ceramah, tanya jawab, diskusi, dan investigasi kelompok.
2 Penggunaan metode pembinaan semangat nasionalisme Indonesia di SMP
Negeri 1 Entikong oleh guru Pendidikan Kewarganegaraan senantiasa
mempertimbangkan faktor-faktor antara lain: kesesuaian bahan/materi;
kesesuaian budaya (karakteristik) siswa; ketersediaan sarana dan
prasarana; serta kemampuan guru. Kesesuaian budaya (karakteristik) siswa
sangat menentukan hasil pembinaan yang dilakukan karena siswa di SMP
Negeri 1 Entikong memiliki keunikan sebagai dampak dari kehidupan
masyarakat perbatasan.
3 Metode yang digunakan guru Pendidikan Kewarganegaraan dalam
pembinaan semangat nasionalisme Indonesia dalam pandangan guru,
kepala sekolah dan para siswa sudah cukup efektif. Hal ini dibuktikan dari
hasil evaluasi dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Melalui
pembinaan yang dilakukan siswa merasa pengetahuan tentang bangsa dan

1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai
Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.
Email: mardha_whani@yahoo.com
14
negara Indonesia semakin bertambah sehingga mempengaruhi pandangan,
sikap dan prilaku mereka sehari-hari.
4 Tanggapan guru, kepala sekolah dan para siswa tentang materi Pendidikan
Kewarganegaraan KTSP sudah baik, tetapi belum ada yang secara khusus
membahas tentang nasionalisme. Untuk mengatasi permasalahan tersebut
guru Pendidikan Kewarganegaraan SMP Negeri 1 Entikong selalu
berupaya mengemas materi sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan
semangat nasionalisme Indonesia siswa di wilayah perbatasan.

Dari tabel 1.2 di atas meskipun metode sudah dianggap efektif oleh guru,
kepala sekolah dan para siswa, namun metode yang digunakan oleh guru
Pendidikan Kewarganegaraan dalam pembinaan semangat nasionalisme Indonesia
masih tergolong metode pemebelajaran yang bersifat konvensional yang kurang
melibatkan siswa. Dalam hal ini sesuai dengan pendapat David Kerr (1995:5-7)
dalam Winataputra dan Budimansyah (2007:28) menawarkan pengajaran
Pendidikan Kewarganegaraan yang bersifat maksimal yang ditandai oleh: thick,
inclusive, activist, citizenship education, participative, proses-led, values-based,
interactive interpretation, more difficult to achieve and meansure in practice.
Pada pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di SMP Negeri 1
Entikong sebagai wilayah perbatasan selain materi-materi Pendidikan
Kewarganegaraan yang ada siswa juga diajarkan materi-materi yang berkaitan
dengan globalisasi. Materi ini penting karena pada era sekarang bangsa Indonesia
tidak terlepas dari pergaulan global (Sapriya dan Wahab, 2008: 232). Senada
dengan pendapat tersebut, dalam kaitannya dengan globalisasi, Pendidikan
Kewarganegaraan tidak bisa diisolasikan dari kecenderungan globalisasi yang
berdampak pada kehidupan siswa (Komalasari dan Budimansyah, 2008:77).
Dalam rangka pembinaan semangat nasionalisme siswa, guru tidak hanya
mengandalkan materi yang sudah tertera dalam pokok bahasan, tetapi guru dapat
melakukan pengembangan materi sesuai dengan kebutuhan siswa perbatasan.
Hasil penelitian berkaitan dengan upaya yang dilakukan guru Pendidikan
Kewarganegaraan dan program sekolah dalam pembinaan semangat nasionalisme
Indonesia siswa untuk menghadapi tantangan kosmopolitanisme dan etnisitas di

1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai
Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.
Email: mardha_whani@yahoo.com
15
SMP Negeri 1 Entikong, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia, disajikan pada
tabel berikut:

Tabel 1.3
Upaya Guru Pendidikan Kewarganegaraan dan Program Sekolah
No Hasil/Temuan Penelitian
1 Dalam upaya pembinaan semangat nasionalisme Indoneia guru SMP
Negeri 1 Entikong memberikan pembinaan secara terencana
berkesinambungan lewat berbagai kegiatan baik di dalam kelas maupun di
luar kelas. Di dalam kelas dilaksanakan melalui pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan oleh guru, sedangkan di luar kelas melalui berbagai
kegiatan ekstrakurikuler yang ada di SMP Negeri 1 Entikong oleh
pembina.
2 Ditemukan bahwa hampir semua materi Pendidikan Kewarganegaraan
dapat digunakan untuk membina semangat nasionalisme Indonesia siswa
pada SMP Negeri 1 Entikong. Terutama materi-materi yang berkaitan
dengan bangsa dan negara Indonesia seperti patriotisme, cinta tanah air,
bela negara dan Pancasila.
3 Dalam rangka pembinaan semangat nasionalisme Indonesia guru dan
sekolah selalu membuat perencanaan. Guru Pendidikan Kewarganegaraan
dengan menyusun RPP dan guru pembina ekstrakurikuler juga dengan
menyusun draf program kegiatan ekstrakurikuler bersama sekolah.
4 Upaya guru dalam pembinaan semangat nasionalisme Indonesia di SMP
Negeri 1 Entikong belum maksimal karena kurangnya dukungan orang
tua, Pemerintah dan terbatasnya sarana dan prasarana yang tersedia,
terutama buku-buku refrensi dan media elektronik seperti computer,
internet dan media penunjang lainnya.

Pembinaan yang terencana dan berkesinambungan dilakukan oleh guru


dan program sekolah lewat berbagai kegiatan khususnya yang berkaitan dengan
materi nasionalisme yang terdapat pada hampir semua materi pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan. Upaya tersebut menuntut peran guru Pendidikan
Kewarganegaraan dan sekolah bukan hanya mengajarkan materi tetapi juga
internalisasi nilai-nilai Indonesia kepada siswa yang ada di perbatasan.
Internalisasi atau memasukan nilai-nilai Indonesia menjadi penting karena dapat
membentuk paham kebangsaan atau yang dikenal dengan istilah nasionalisme
Indonesia. Berkaitan dengan peran Pendidikan Kewarganegaraan, Wahab
(2009:7) menyatakan bahwa pada saat ini lembaga pendidikan sangat strategis
dalam mengupayakan aktualisasi paham kebangsaan. Hal tersebut sesuai dengan
1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai
Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.
Email: mardha_whani@yahoo.com
16
tugas Pendidikan Kewarganegaraan dalam paradigma barunya mengembangkan
kehidupan demokratis yang mengemban tiga fungsi pokok, yakni
mengembangkan civic intelligence), civic responsibility, dan mendorong civic
participation (Winataputra, 2007).
Sedangkan hambatan yang dihadapi oleh guru Pendidikan
Kewarganegaraan dan program sekolah dalam pembinaan semangat nasionalisme
Indonesia di SMP Negeri 1 Entikong, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia dari
hasil penelitian di lapangan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 1.3
Hambatan Pembinaan Semangat Nasionalisme
No Hasil/Temuan Penelitian
1 Terdapat hambatan dalam pembinaan semangat nasionalisme Indonesia di
SMP Negeri 1 Entikong adalah letak sekolah yang rentan terhadap
masuknya pengaruh terutama pengaruh negatif yang dapat kurang adanya
dukungan masyarakat (orang tua siswa) dan pemerintah. Tanpa adanya
kerjasama yang baik diantara ketiganya maka akan sulit bagi tercapainya
sebuah hasil maksimal sebagaimana yang diharapkan.
2 Entikong sangat mudah akses menuju dan dari Malaysia sehingga
membawa pengaruh positif dan negative bagi kehidupan masyarakat.
Terutama pengaruh negatif dapat berdampak pada persepsi dan sikap
siswa serta masyarakat Entikong umumnya dalam memaknai kehidupan
berbangsa dan bernegara Indonesia.
3 Prospek pembinaan semangat nasionalisme Indonesia di SMP Negeri 1
Entikong cukup bagus hal ini karena lokasi SMP Negeri 1 Entikong cukup
strategis sebagai ujung tombak atau beranda terdepan dalam hubungannya
dengan Negara Malaysia. Situasi ini dapat menjadikannya sebagai daerah
yang paling tepat untuk melaksanakan pembinaan semangat nasionalisme
Indonesia siswa.
4 Sementara itu, peranan Pemerintah dalam pembinaan semangat
nasionalisme Indonesia di Entikong belum maksimal karena masih
terbatas pada penyediaan sarana dan prasarana umum seperti gedung
sekolah dan buku paket. Belum ada alokasi dana yang secara khusus bagi
pelaksanaan pembinaan semangat nasionalisme Indonesia siswa.
5 Terdapat peningkatan semangat nasionalisme siswa melalui pembinaan
yang dilakukan oleh guru dan sekolah. Hal ini terlihat dari perubahan
pengetahuan, sikap dan perilaku yang ditunjukkan siswa misalnya
penggunaan bahasa Indonesia dan pengenalan akan simbol-simbol Negara
Indonesia.
1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai
Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.
Email: mardha_whani@yahoo.com
17
Belum maksimalnya pembinaan semangat nasionalisme Indonesia yang
disebabkan kurang adanya dukungan masyarakat, terbatasnya sarana dan
prasarana serta kurangannya dukungan Pemerintah, ditambah lagi dengan
mudahnya akses masuk pengaruh dari luar dapat diatasi melalui upaya
memaksimalkan kerjasama antara sekolah, pemerintah dan masyarakat. Selain
upaya sekolah, penyediaan sarana dan prasarana penunjang dari pemerintah, serta
partisipasi dari masyarakat juga sangat menentukan hasil yang dicapai.
Sejalan dengan hal tersebut di atas, Mulyasa (2009:114-115) menyatakan
bahwa hubungan kerjasama antara sekolah, masyarakat dan Pemerintah dalam
implementasi KTSP dirasakan perlu menjalin hubungan yang saling
menguntungkan karena sekolah memerlukan masukan dari masyarakat dalam
menyusun program yang relevan, menjabarkan Standar Kompetensi-Kompetensi
Dasar, sekaligus memerlukan dukungan masyarakat dalam melaksanakan program
tersebut. Selain itu kondisi wilayah Indonesia yang sangat luas menjadi salah satu
faktor penting yang harus diperhatikan oleh Pemerintah karena dapat berpotensi
positif dan juga dapat menjadi negatif bila tidak disertai dengan pengelolaan yang
baik. Namun demikian bukan berarti mustahil bila Pemerintah dan masyarakat
bersama-sama berjuang untuk mewujudkanya, sebab prospek pembinaan yang
cukup bagus dan adanya kecenderungan peningkatan semangat nasionalisme
melalui pembinaan yang telah dilakukan guru Pendidikan Kewarganegaraan dan
sekolah di SMP Negeri 1 Entikong sebagaimana temuan di lapangan
menunjukkan signal yang positif untuk terbinanya semangat nasionalisme
Indonesia siswa di SMP Negeri 1 Entikong.

Kesimpulan dan Rekomondasi


1. Kesimpulan
Secara khusus, dari hasil penelitian ini dapat dirumuskan beberapa
kesimpulan sebagai berikut:

1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai
Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.
Email: mardha_whani@yahoo.com
18
Pertama, tantangan kosmopolitanisme yang terjadi pada masyarakat
Entikong sebagai wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia sangat tinggi, ditandai
dengan masih banyak produk luar yang beredar dan dikonsumsi masyarakat,
masih sering terjadinya gangguan kedaulatan (pergeseran patok batas), dan
mobilitas masyarakat yang tinggi ke Malaysia. Sedangkan tantangan etnisitas
yang terjadi pada masyarakat Entikong sebagai wilayah perbatasan Indonesia
Malaysia sangat kecil, ditandai dengan tidak adanya pengelompokan etnis,
terdapatnya kesadaran dan pemahaman yang baik dari masyarakat akan
kepentingan bangsa dan negara, serta harmonisnya hubungan antar etnis yang ada.
Kedua, metode pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang dapat
digunakan untuk membina semangat nasionalisme Indonesia siswa pada SMP
Negeri 1 Entikong adalah metode yang bervariasi disesuaikan dengan tujuan
pembelajaran, materi pelajaran, karakteristik siswa, situasi dan kondisi, serta
sarana dan prasarana yang tersedia.
Ketiga, upaya yang dilakukan guru Pendidikan Kewarganegaraan dan
program sekolah dalam pembinaan semangat nasionalisme Indonesia siswa di
SMP Negeri 1 Entikong telah dilaksanakan secara terencana dan
berkesinambungan dengan program pengajaran dan latihan-latihan yang intensif.
Keempat, hambatan yang dihadapi oleh guru Pendidikan
Kewarganegaraan dan program sekolah dalam pembinaan semangat nasionalisme
Indonesia di SMP Negeri 1 Entikong adalah masih rendahnya pemahaman
masyarakat terhadap pentingnya nasionalisme, terbatasnya sarana dan prasarana
serta kurangnya relevansi antara materi Pendidikan Kewarganegaraan dengan
kehidupan sehari-hari siswa.

2. Rekomendasi
Merujuk kepada kesimpulan penelitian, direkomendasikan kepada pihak-
pihak yang dianggap memiliki kepentingan dengan hasil penelitian ini. Adapun
pihak-pihak yang dimaksud dapat dilihat pada penjelasan di bawah ini.

1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai
Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.
Email: mardha_whani@yahoo.com
19
Pertama, kepada guru Pendidikan Kewarganegaraan di lapangan
diharapkan dapat mengembangkan berbagai kreatifitas dan kemampuannya dalam
pembelajaran, terutama dalam hal mengemas materi, memilih dan menggunakan
metode pembelajaran selain yang telah ada. Oleh karena itu tentu diperlukan
berbagai pengetahuan dan keterampilan untuk mengemas materi yang relevan
dengan dinamika kehidupan masyarakat khususnya dalam pembinaan semangat
nasionalisme Indonesia siswa yang ada di perbatasan.
Kedua, kepada siswa-siswi SMP Negeri 1 Entikong sebagai generasi
penerus bangsa penulis sarankan agar terus memupuk semangat nasionalismenya
dengan memberdayakan segenap kemampuan dan kreatifitas yang dimilikinya.
Selain itu diharapkan para siswa agar terus menjunjung tinggi kepentingan bangsa
dan negara tanpa membeda-bedakan suku, agama dan ras.
Ketiga, kepada kepala sekolah diharapkan dapat terus meningkatkan upaya
pembinaan semangat nasionalisme Indonesia siswa melalui program-programnya.
Selain itu, diharapkan juga untuk memberikan kesempatan kepada guru-guru agar
dapat mengembangkan kemampuan dan kreatifitas dalam mengajar serta
memberikan kesempatan guru untuk mengikuti kegiatan yang berhubungan
dengan pengembangan kemampuannya.
Keempat, kepada para pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan,
terutama para pengembang kurikulum pendidikan nasional direkomendasikan
untuk memperhatikan realitas yang ada pada masyarakat berkaitan dengan
pembinaan semangat nasionalisme Indonesia, khususnya materi yang spesifik
tentang nasionalisme.
Kelima, kepada Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah
Daerah direkomondasikan untuk lebih memperdayakan lagi program-program
yang telah ada, memberikan kesempatan kepada guru-guru untuk meningkatkan
kemampuan dalam proses belajar mengajar dan mengadakan program-program
untuk membina semangat nasionalisme Indonesia khususnya di daerah perbatasan.
Selain itu demi kelancaran program diharapkan juga dapat segera menyediakan

1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai
Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.
Email: mardha_whani@yahoo.com
20
sarana dan prasarana pendukung kegiatan pembinaan yang dilakukan guru
Pendidikan Kewarganegaraan dan program sekolah.
Keenam, kepada Masyarakat direkomendasikan agar meningkatkan
kesadarannya sebagai warganegara Indonesia dan senantiasa mendukung program
pembinaan yang dilakukan oleh guru Pendidikan Kewarganegaraan dan program
sekolah, mengingat kompleksnya masalah di perbatasan yang menyangkut
kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
Ketujuh, kepada peneliti selanjutnya yang tertarik dengan permasalahan
tersebut agar secara spesifik mengkaji dan menelaah masalah-masalah mengenai
pembinaan semangat nasionalisme Indonesia siswa dalam menghadapi tantangan
kosmopolitanisme dan etnisitas melalui pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan yang masih relatif jarang dikaji, sehingga diharapkan akan
berdampak pada terbentuknya semangat nasionalisme Indonesia siswa.

Daftar Pustaka
Bogdan, R.C & Biklen, S.K. (1992). Riset Kualitatif untuk Pendidikan:
Pengantar ke Teori dan Metode. Alih bahasa oleh Munandir dari judul
Qualitative Research for Education: An introduction to Theory and
Methods. Jakarta: PAU PPAI Universitas Terbuka.
Creswell, J.W. (1994). Research Design Qualitative & Quantitative Approach.
London: Publications.
Cogan, J.J. and Ray Derricott (eds). (1998). Citizenship for The 21st Century: An
International Perspective on Education. London: Kogan Page.
Dongxiao, Wang. (2000). “Inevitable Integration of National Education and Civic
Education in A Historical Perspektif Professor Wang Dongxiao”. The
Journal Of Civic Education in China. Zhengzhou Centre for the Study of
Civic Education China.

1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai
Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.
Email: mardha_whani@yahoo.com
21
Eriksen, T.H. (1993). Ethnicity dan Nationalism: Anthropological Perspectives.
United State America: Pluto Press.
Isikal, Husyein. (2002). ”Two Perspektif on The Relationship of Ethnicity to
Nationalism: Comparing Gellner and Smith”. Turkish Journal of
International Relations, Tahun 2002, Vol.1, No.1. Department of
International Relations at Middle East Technical University.
Kalidjernih, Freddy K. (2009). “Kosmopolitanisme: Implikasi Terhadap
Kewarganegaraan”. Makalah pada Seminar Nasional Visi Kebangsaan
2025 Prodi Pendidikan Kewarganegaraan SPs Uviversitas Pendidikan
Indonesia.
Kansil. (1986). Aku Pemuda Indonesia Pendidik Politik Generasi Muda. Jakarta:
Balai Pustaka.
Kohn, Hans. (1984). Nasionalisme Arti dan Sejarahnya. Terjemahan Sumantri
Mertodipuro. Jakarta: Erlangga.
Komalasari & Budimansyah, D. ”Pengaruh Pembelajaran Kontekstual dalam
Pendidikan Kewarganegaraan terhadap Kompetensi Kewarganegaraan
Siswa SMP”. Akta Civicus, Tahun 2008, Vol. 2, No. 1. Jurnal Pendidikan
Kewarganegaraan UPI.
Mendatu, Achmad. (2007). Etnik dan Etnisitas. [Online]. Tersedia:
http://smartpsikologi.blogspot.com/2007/08/etnik-dan-etnisitas.html. [22
Agustus 2009].
Milles, Matthew B. dan A. Michael Huberman. (2007). Analisis Data Kualitatif:
Buku Sumber tentang Metode-metode Baru. Jakarta: Universitas Indonesia
Press.
Michael A, Riff. (1995). Kamus Ideologi Politik Modern. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Mulyasa, E. (2009). Implementasi Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan:
Kemandirian Guru dan Kepala Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara.
Nasution, S. (2007). Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: Bumi Aksara.
Ohmae, Kenichi. (1993). Dunia Tanpa Batas. Alih Bahasa Budiyanto. Jakarta:
Binarupa Aksara.
1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai
Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.
Email: mardha_whani@yahoo.com
22
Saefudin Anshari, E. (1998). Wawasan Islam. Bandung: Mizan.
Said, M & Affan, J. (1987). Mendidik dari Zaman ke Zaman. Jemmars: Bandung.
Smith D, Antony. (1983). Theories of Nationalism. New York: Harves and Meir
Publisher.
Tilaar, H.A.R. (2007). Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia.
Jakarta: Rineka Cipta.
Wahab, Abdul A. (2009). ”Memantapkan Kembali Jati diri Bangsa Dalam Rangka
Penguatan Dasar-Dasar Pendidikan Kewarganegaraan Indonesia. Makalah
pada Seminar Internasional Pendidikan Kewarganegaraan.UPI Bandung.
Wahab, Abdul A & Sapriya. (2008). Teori dan Landasan Pendidikan
Kewarganegaraan. Bandung: UPI Press.
Wertheim, WF. (1999). Masyarakat Indonesia dalam Transisi, Kajian Perubahan
Sosial. Diterjemahkan oleh Misbah Zulfa Ellizabet. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Winataputra S, W & Budimansyah, D. (2007). Civic Education: Kontek,
Landasan, Bahan Ajar dan Kultur Kelas. Bandung: Program Studi
Pendidikan Kewarganegaraan UPI.

1. Mardawani adalah lulusan Magister PKn SPs UPI 2010; sekarang bekerja sebagai
Dosen pada Jurusan PKn STKIP-Persada Khatulistiwa Sintang Kal-Bar.
Email: mardha_whani@yahoo.com
23

Anda mungkin juga menyukai