Anda di halaman 1dari 33

BAB I

DEFINISI PENDIDIKAN

1.1.Definisi Pendidikan Secara Umum

Definisi pendidikan menurut para ahli, diantaranya adalah :

Ø Menurut Juhn Dewey, pendidikan adalah suatu proses pembaharuan makna


pengalaman, hal ini mungkin akan terjadi di dalam pergaulan biasa atau pergaulan orang
dewasa dengan orang muda, mungkin pula terjadi secara sengaja dan dilembagakan
untuk untuk menghasilkan kesinambungan social. Proses ini melibatkan pengawasan dan
perkembangan dari orang yang belum dewasa dan kelompok dimana dia hidup.

(A. Yunus, 1999 : 7)

Ø Menurut H. Horne, pendidikan adalah proses yang terus menerus (abadi) dari
penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik
dan mental, yang bebas dan sadar kepada vtuhan, seperti termanifestasi dalam alam
sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia.

(A. Yunus, 1999 : 7)

Ø Menurut Frederick J. Mc Donald, pendidkan adalah suatu proses atau kegiatan yang
diarahkan untuk merubah tabiat (behavior) manusia. Yang dimaksud dengan behavior
adalah setiap tanggapan atau perbuatan seseorang, sesuatu yang dilakukan oleh
sesorang.

(A. Yunus, 1999 : 7- 8)

Ø Menurut M.J. Langeveld, pendidikan adalah setiap pergaulan yang terjadi adalah
setiap pergaulan yang terjadi antara orang dewasa dengan anak-anak merupakan
lapangan atau suatu keadaan dimana pekerjaan mendidik itu berlangsung.

(A. Yunus, 1999 : 8)

1.2.Definisi Pendidikan Menurut Islam

Ø Pendidikan Islam itu sendiri adalah pendidikan yang berdasarkan Islam. Isi ilmu adalah
teori. Isi ilmu bumi adalah teori tentang bumi. Maka isi Ilmu pendidikan adalah teori-
teori tentang pendidikan, Ilmu pendidikan Islam secara lengkap isi suatu ilmu bukanlah
hanya teori.

(Nur Uhbiyati, 199 8)

Pengertian pendidikan bahkan lebih diperluas cakupannya sebagai aktivitas dan


fenomena. Pendidikan sebagai aktivitas berarti upaya yang secara sadar dirancang untuk
membantu seseorang atau sekelompok orang dalam mengembangkan pandangan hidup,
sikap hidup, dan keterampilan hidup, baik yang bersifat manual (petunjuk praktis)
maupun mental, dan sosial sedangkan pendidikan sebagai fenomena adalah peristiwa
perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya ialah berkembangnya suatu
pandangan hidup, sikap hidup, atau keterampilan hidup pada salah satu atau beberapa
pihak, yang kedua pengertian ini harus bernafaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-
nilai Islam yang bersumber dari al Qur’an dan Sunnah (Hadist).

Ø Ruang Lingkup Pendidikan Islam

1. Pendidikan Keimanan

“Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya diwaktu ia memberikan pelajaran
kepadanya:”hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesengguhnya
mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang nyata.” (Q.S 31:13)

Bagaimana cara mengenalkan Allah SWT dalam kehidupan anak?

Menciptakan hubungan yang hangat dan harmonis (bukan memanjakan)


Jalin hubungan komunikasi yang baik dengan anak, bertutur kata lembut, bertingkah
laku positif.
Hadits Rasulullah : “cintailah anak-anak kecil dan sayangilah mereka…:” (H.R Bukhari)
“Barang siapa mempunyai anak kecil, hendaklah ia turut berlaku kekanak-kanakkan
kepadanya.” (H.R Ibnu Babawaih dan Ibnu Asakir)
*

Menghadirkan sosok Allah melalui aktivitas rutin

Seperti ketika kita bersin katakan alhamdulillah. Ketika kita memberikan uang jajan
katakan bahwa uang itu titipan Allah jadi harus dibelanjakan dengan baik seperti beli
roti.

Memanfaatkan momen religious

Seperti Sholat bersama, tarawih bersama di bulan ramadhan, tadarus, buka shaum
bareng.

Memberi kesan positif tentang Allah dan kenalkan sifat-sifat baik Allah
Jangan mengatakan “ nanti Allah marah kalau kamu berbohong” tapi katakanlah “
anak yang jujur disayang Allah”.
*
Beri teladan

Anak akan bersikap baik jika orang tuanya bersikap baik karena anak menjadikan orang
tua model atau contoh bagi kehidupannya.

“hai orang-orang yang beriman mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu
perbuat? Amat besar di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu
kerjakan”.(Q.S 61:2-3)

Kreatif dan terus belajar

Sejalan dengan perkembangan anak. Anak akan terus banyak memberikan pertanyaan.
Sebagai orang tua tidak boleh merasa bosan dengan pertanyaan anak malah kita harus
dengan bijaksana menjawab segala pertanyaannya dengan mengikuti perkembangan
anak.

2. Pendidikan Akhlak

Hadits dari Ibnu Abas Rasulullah bersabda:

“… Akrabilah anak-anakmu dan didiklah akhlak mereka.”

Rasulullah saw bersabda:

”Suruhlah anak-anak kamu melakukan shalat ketika mereka telah berumur tujuh tahun
dan pukullah mereka kalau meninggalkan ketika mereka berumur sepuluh tahun, dan
pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Abu Daud)

Bagaimana cara megenalkan akhlak kepada anak :

Penuhilah kebutuhan emosinya

Dengan mengungkapkan emosi lewat cara yang baik. Hindari mengekspresikan emosi
dengan cara kasar, tidak santun dan tidak bijak. Berikan kasih saying sepenuhnya, agar
anak merasakan bahwa ia mendapatkan dukungan.

Hadits Rasulullah : “ Cintailah anak-anak kecil dan sayangilah mereka …:” (H.R Bukhari)

Memberikan pendidikan mengenai yang haq dan bathil


“Dan janganlah kamu campur adukan yang haq dengan yang bathil dan janganlah kamu
sembunyikan yang haq itu, sedang kamu mengetahui .”(Q.S 2:42)

Seperti bahwa berbohong itu tidak baik, memberikan sedekah kepada fakir miskin itu
baik.

Memenuhi janji

Hadits Rasulullah :”…. Jika engkau menjanjikan sesuatu kepada mereka, penuhilah janji
itu. Karena mereka itu hanya dapat melihat, bahwa dirimulah yang memberi rizki kepada
mereka.” (H.R Bukhari)

Meminta maaf jika melakukan kesalahan


*

Meminta tolong/ mengatakan tolong jika kita memerlukan bantuan.


*

Mengajak anak mengunjungi kerabat

3. Pendidikan intelektual

Menurut kamus Psikologi istilah intelektual berasal dari kata intelek yaitu proses
kognitif/berpikir, atau kemampuan menilai dan mempertimbangkan.

Pendidikan intelektual ini disesuaikan dengan kemampuan berpikir anak. Menurut Piaget
seorang Psikolog yang membahas tentang teori perkembangan yang terkenal juga
dengan Teori Perkembangan Kognitif mengatakan ada 4 periode dalam perkembangan
kognitif manusia, yaitu:

Periode 1, 0 tahun – 2 tahun (sensori motorik)

Mengorganisasikan tingkah laku fisik seperti menghisap, menggenggam dan


memukul pada usia ini cukup dicontohkan melalui seringnya dibacakan ayat-ayat suci al-
Quran atau ketika kita beraktivitas membaca bismillah.

Periode 2, 2 tahun – 7 tahun (berpikir Pra Operasional)

*
Anak mulai belajar untuk berpikir dengan menggunakan symbol dan khayalan mereka
tapi cara berpikirnya tidak logis dan sistematis.

Seperti contoh nabi Ibrahim mencari Robbnya.

Periode 3, 7 tahun- 11 tahun (Berpikir Kongkrit Operasional)

Anak mengembangkan kapasitas untuk berpikir sistematik

Contoh : Angin tidak terlihat tetapi dapat dirasakan begitu juga dengan Allah SWT tidak
dapat dilihat tetapi ada ciptaannya.

Periode 4, 11 tahun- Dewasa (Formal Operasional)

Kapasitas berpikirnya sudah sistematis dalam bentuk abstrak dan konsep

4. Pendidikan fisik

Dengan memenuhi kebutuhan makanan yang seimbang, memberi waktu tidur dan
aktivitas yang cukup agar pertumbuhan fisiknya baik dan mampu melakukan aktivitas
seperti yang disunahkan Rasulullah

“ Ajarilah anak-anakmu memanah, berenang dan menunggang kuda.” (HR. Thabrani)

5. Pendidikan Psikis

“Dan janganlah kamu bersifat lemah dan jangan pula berduka cita, padahal kamulah
orang-orang yang paling tinggi derajatnya, jika kamu benar-benar orang yang beriman.”
(QS. 3:139)

Memberikan kebutuhan emosi, dengan cara memberikan kasih saying, pengertian,


berperilaku santun dan bijak.
*

Menumbuhkan rasa percaya diri


*

Memberikan semangat tidak melemahkan


1.3.Definisi Pendidikan Menurut Perspektif Nasional

BAB II

TUJUAN PENDIDIKAN

2.1. Tujuan Pendidikan Pancasila

Rumusan formal konstitusional dalam UUD 1945 maupun dalam GBHN dan Undang-
Undang Kependidikan lainnya yang berlaku adalah tujuan normative GBHN 1983
merumuskan tujuan pendidikan nasional sebagai berikut :

“Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan


tarhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan dan keterampilan , mempertinggi budi
pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta
tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan dirinya sendiri
serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa

(A. Yunus, 1998 : 165)

2.2. Tujuan Umum Pendidikan Manusia

a. Hakikat manusia menurut Islam

Manusia adalah makhluk (ciptaan) Tuhan, hakikat wujudnya bahwa manusia adalah
mahkluk yang perkembangannya dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan.

, disebutkan dalam surah al Qashash ayat : 77 :

“Carilah kehidupan akhirat dengan apa yang dikaruniakan Allah kepadamu tidak boleh
melupakan urusan dunia “

b. Manusia Dalam Pandangan Islam

Manusia dalam pandangan Islam mempunyai aspek jasmani yang tidak dapat dipisahkan
dari aspek rohani tatkala manusia masih hidup didunia.

Manusia mempunyai aspek akal. Kata yang digunakan al Qur’an untuk menunjukkan
kepada akal tidak hanya satu macam. Harun Nasution menerangkan ada tujuh kata yang
digunakan :

1. Kata Nazara, dalam surat al Ghasiyyah ayat 17 :

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan”

2. Kata Tadabbara, dalam surat Muhammad ayat 24 :


“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al Qur’an ataukah hati mereka terkunci?”

3. Kata Tafakkara, dalam surat an Nahl ayat 68 :

“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah : “buatlah sarang-sarang dibukit-bukit,


dipohon-pohon kayu, dan ditempat-tempat yang dibikin manusia”.

4. Kata Faqiha, dalam surat at Taubah 122 :

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (kemedan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya”

5. Kata Tadzakkara, dalam surat an Nahl ayat 17 :

“Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan
apa-apa? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran”.

6. Kata Fahima, dalam surat al Anbiya ayat 78 :

“Dan ingatlah kisah daud dan Sulaiman, diwaktu keduanya memberikan keputusan
mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan
kaumnya. Dan adalah kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu”.

7. Kata ‘Aqala, dalam surat al Anfaal ayat 22 :

“Sesungguhnya binatang(makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-


orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa-pun.

Manusia mempunyai aspek rohani seperti yang dijelaskan dalam surat al Hijr ayat 29 :

“Maka Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan meniupkan kedalamnya roh-Ku,


maka sujudlah kalian kepada-Nya”.

3. Manusia Sempurna Menurut Islam

- Jasmani Yang sehat Serta Kuat dan Berketerampilan

Mereka menganggapnya fardhu kifayah, sebagaimana diterangkan dalam surat Hud ayat
37 :

“Dan buatlah bahtera itu dibawah pengawasan dan petunjuk wahyu kami, dan jangan
kau bicarakan dengan aku tentang orang-orang yang zalim itu karena meeka itu akan
ditenggelamkan”.
- Cerdas Serta Pandai

Islam menginginkan pemeluknya cerdas serta pandai yang ditandai oleh adanya
kemampuan dalam menyelesaikan masalah dengan cepat dan tepat, sedangkan pandai
di tandai oleh banyak memiliki pengetahuan dan informasi. Kecerdasan dan kepandaian
itu dapat dilihat melalui indikator-indikator sebagai berikut :

a) Memiliki sains yang banyak dan berkualitas tinggi.


b) Mampu memahami dan menghasilkan filsafat.
c) Rohani yang berkualitas tinggi.

Kekuatan rohani (tegasnya kalbu) lebih jauh daripada kekuatan akal. Karena kekuatan
jasmani terbatas pada objek-objek berwujud materi yang dapat ditangkap oleh indera.

Islam sangat mengistemewakan aspek kalbu. Kalbu dapat menembus alam ghaib,
bahkan menembus Tuhan. Kalbu inilah yang merupakan potensi manusia yang mampu
beriman secara sungguh-sungguh. Bahkan iman itu, menurut al Qur’an tempatnya
didalam kalbu.

2.3. Tujuan Pendidikan Islam (Khusus)


Menurut Abdul Fatah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia
sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh
manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri ialah
beribadah kepada Allah.

Seperti dalam surat a Dzariyat ayat 56 :

“ Dan Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku”.

Jalal menyatakan bahwa sebagian orang mengira ibadah itu terbatas pada menunaikan
shalat, shaum pada bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat, ibadah Haji, serta
mengucapkan syahadat. Tetapi sebenarnya ibadah itu mencakup semua amal, pikiran,
dan perasaan yang dihadapkan (atau disandarkan) kepada Allah. Aspek ibadah
merupakan kewajiban orang islam untuk mempelajarinya agar ia dapat mengamalkannya
dengan cara yang benar.

Ibadah ialah jalan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan serta segala yang
dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan, perasaan, pemikiran yang
disangkutkan dengan Allah.

Menurut al Syaibani, tujuan pendidikan Islam adalah :

1. Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang berupa


pengetahuan, tingkah laku masyarakat, tingkah laku jasmani dan rohani dan
kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat.
2. Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku masyarakat,
tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat, memperkaya
pengalaman masyarakat.

3. Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu,
sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai kegiatan masyarakat.

Menurut al abrasyi, merinci tujuan akhir pendidikan islam menjadi

1. Pembinaan akhlak.

2. menyiapkan anak didik untuk hidup dudunia dan akhirat.

3. Penguasaan ilmu.

4. Keterampilan bekerja dalam masyrakat.

Menurut Asma hasan Fahmi, tujuan akhir pendidikan islam dapat diperinci menjadi :

1. Tujuan keagamaan.

2. Tujuan pengembangan akal dan akhlak.

3. Tujuan pengajaran kebudayaan.

4. Tujuan pembicaraan kepribadian.

Menurut Munir Mursi, tujuan pendidikan islam menjadi :

1. Bahagia di dunia dan akhirat.

2. menghambakan diri kepada Allah.

3. Memperkuat ikatan keislaman dan melayani kepentingan masyarakat islam.

4. Akhlak mulia.

BAB III

KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas, maka dapat penulis simpulkan bahwa tujuan pendidikan islam
pada intinya adalah :

terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah
menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud
menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.
Wallahu A’lam Bish-shawab

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tafsir., Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam., PT. Remaja Rosdakarya.,
Bandung, 2001
Ahmad Hanafi, M.A., Pengantar Filsafat Islam, Cet. IV, Bulan Bintang, Jakarta, 1990.
Prasetya, Drs., Filsafat Pendidikan, Cet. II, Pustaka Setia, Bandung, 2000
Abuddin Nata, M.A., Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997
Zuhairini. Dra, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Cet.II, Bumi Aksara, Jakarta, 1995.

Ali Saifullah H.A., Drs., Antara Filsafat dan Pendidikan, Usaha Nasional, Surabaya, 1983.

Tilaar, Prof. Dr., 2004, Manajemen Pendidikan Nasional, PT. Remaja Rosdakarya.,
Bandung

H. A. Yunus, Drs., S.H., MBA. Filsafat Pendidikan, CV. Citra Sarana Grafika. Bandung. 1999.

Makalah Filsafat Pendidikan Islam


ANALISIS FILOSOFIS METODA DAN ALAT PENDIDIKAN
DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Oleh: Muhammad Kosim LA

A.Pendahuluan
Pendidikan Islam merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen penting
yang saling berhubungan. Di antara komponen yang ada dalam sistem tersebut adalah
metode dan alat. Pengkajian terhadap metode dan alat memang menjadi bahan diskusi
yang tetap aktual dan menarik, sebab keduanya turut menentukan berhasil tidaknya
proses pendidikan yang dilaksanakan dalam mencapai tujuan pendidikan. Untuk itu
metode dan alat mesti dikembangkan secara dinamis sesuai dengan kebutuhan dan
tuntutan zaman.

Dalam konteks pendidikan Islam, metode dan alat pendidikan tentu memiliki
karakteristik yang berbeda dengan sistem pendidikan lainnya. Maka pengembangan
metode dan alat yang diinginkan dalam sistem pendidikan Islam harus sesuai dengan
karakteristik pendidikan Islam itu sendiri.
Pengembangan metode dan alat pendidikan itu harus dilakukan, khususnya para
pelaksana pendidikan Islam. Jika metode dan alat yang digunakan—meminjam istilah
Mastuhu—masih bersifat klasik, statis dan cenderung membosankan peserta didik, maka
akan berdampak terhadap kualitas kehidupan umat Islam itu sendiri yang akan terus
terbelakang. Memang ada kecenderungan selama ini bahwa dinamika pendidikan Islam
dalam tataran pelaksanaanya kurang mampu bersaing dengan lembaga-lembaga
pendidikan lain. Hal itu tentu dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satu di antaranya
adalah lemahnya pengembangan metode dan alat pendidikan.

Untuk itu, makalah yang sederhana ini akan menganilisis secara filosofis tentang metode
dan alat dalam perspektif filsafat pendidikan Islam, dengan harapan kajian ini
memberikan pemahaman yang lebih utuh tentang konsep keduanya sehingga
memberikan kontribusi yang jelas terhadap pengembangan keilmuan di bidang
pendidikan Islam. Namun, apa yang tertulis secara eksplisit dalam makalah ini tentu
kurang memadai untuk memenuhi harapan tersebut tanpa adanya kritik, saran dan
diskusi lebih lanjut tentang gagasan-gagasan yang ada. Maka kritik dan saran yang
bersifat konstruktif sangat diharapkan dari peserta diskusi untuk memenuhi harapan
dimaksud.

B.Analisi Filosofis tentang Metode Pendidikan


1.Antara Epistemologi, Metodologi dan Metode
Dalam kajian filsafat, ontologi, epistemologi, dan aksiologi merupakan tiga sub sistem
dari filsafat. Ontologi merupakan teori tentang ”ada”, yaitu tentang apa hakikat sesuatu
yang dipikirkan, yang menjadi objek pemikiran. Epistemologi merupakan teori
pengetahuan, yaitu membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari
objek yang ingin dipikirkan. Sementara aksiologi adalah teori tentang nilai yang
membahas tentang manfaat, kegunaan atau fungsi dari objek yang dipikirkan. Dengan
gambaran sederhana dapat dikatakan bahwa ada sesuatu yang perlu dipikirkan
(ontologi), lalu dicari cara-cara memikirkannya (epistemologi), kemudian timbul hasil
pemikiran yang memberikan suatu manfaat atau kegunaan (aksiologi).

Pendidikan juga merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen. Salah
satu komponen penting dalam sistem pendidikan adalah metode. Secara sederhana
dapat dipahami bahwa metode dalam pendidikan adalah cara yang digunakan untuk
mewujudkan suatu tujuan yang diinginkan. Dengan demikian ada kaitan yang erat antara
epistemologi dengan metode, bahkan dengan metodologi. Epistemologi adalah cabang
filsafat yang membahas tentang sumber, struktur, metode-metode dan validitas
pengetahuan. Metodologi adalah ilmu tentang metode atau ilmu yang mempelajari
prosedur/cara-cara mengetahui sesuatu. Sedangkan metode adalah suatu prosedur atau
cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah sistematis. Jadi, jika metode
bicara tentang prosedur sesuatu maka metodologilah yang merangkai secara konseptual
tentang prosedur tersebut.

Dari pengertian itu dapat dipahami bahwa jika diurutkan, epistemologi merupakan
bagian dari filsafat, metodologi bagian dari epistemologi, dan metode merupakan bagian
dari metodologi. Sementara dalam kajian makalah ini, akan dibahas tentang metode
pendidikan dalam perspektif filsafat pendidikan Islam. Mengenai apa dan bagaimana
metode pendidikan dalam perspektif filsafat pendidikan Islam akan dijelaskan pada
bagian berikut.

2.Pengertian Metode Pendidikan Islam


Istilah “metode” berasal dari dua kata yaitu meta dan hodos. Meta artinya “melalui”,
sedangkan hodos berarti “jalan atau cara”. Jadi metode bisa dipahami sebagai jalan yang
harus ditempuh atau dilalui untuk mencapai tujuan tertentu. Jika dikaitkan dengan
pendidikan, maka metode adalah jalan atau cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan
pendidikan.

Dalam bahasa Arab, kata metode diungkapkan dalam berbagai kata. Terkadang
digunakan kata al-tharīqah, manhaj, atau al-wasīlah. Al-Tharīqah berarti jalan, manhaj
berarti sistem, sedangkan al- wasīlah berarti perantara atau mediator. Jadi kata Arab
yang lebih dekat dengan metode adalah al-tharīqah yang berarti langkah-langkah
strategis yang dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan. Kata-kata al-tharīqah juga
banyak dijumpai dalam al-Qur’an. Menurut Muhammad Fuad Abd Baqy, sebagaimana
yang dikutip oleh Abuddin Nata, bahwa di dalam al-Qur’an kata al-tharīqah diulang
sebanyak 9 kali. Kata ini terkadang dihubungkan dengan objek yang dituju, seperti
neraka sehingga menjadi jalan menuju neraka (Q.S. an-Nisa/4: 169) ; terkadang
dihubungkan dengan sifat dari jalan tersebut, seperti al-tharīqah al-mustaqimah, yang
diartikan jalan lurus (Q.S. al-Ahqaf/46:30) ; terkadang dihubungkan dengan jalan yang
ada di tempat tertentu, seperti al-tharīqah fi al-bahr yang berarti jalan (yang kering) di
laut (Q.S. Thaha/20: 77) ; dan terkadang pula al-tharīqah berarti tata surya atau langit
(Q.S. al-Mukminun/23: 17).

Dari pendekatan kebahasan tersebut tampak bahwa metode lebih menunjukkan kepada
jalan dalam arti jalan yang bersifat non fisik, yakni jalan dalam bentuk ide-ide yang
mengacu kepada cara yang mengantarkan seseorang untuk sampai pada tujuan yang
diinginkan. Namun secara terminologis, kata metode bisa membawa kepada pengertian
yang beragam sesuai dengan konteks. Dalam konteks pendidikan Islam, metode dapat
dipahami sebagai cara atau jalan yang ditempuh oleh pendidik dalam mendidik peserta
didiknya dengan seperangkat pengalaman belajar sehingga tujuan atau kompetensi yang
telah ditetapkan dapat tercapai secara efektif dan efisien. Defenisi ini secara substansi
tidak jauh berbeda dengan berbagai defenisi yang dikemukakan oleh para ahli
pendidikan Islam. Al-Syaibany, misalnya berpendapat bahwa metode pendidikan adalah:
Segala segi kegiatan yang tearah yang dikerjakan oleh guru dalam rangka kemestian-
kemestian mata pelajaran yang diajarkan, ciri-ciri mata pelajaran yang diajarkannya, ciri-
ciri perkembangan murid-muridnya, dan suasana alam sekitarnya dan tujuan menolong
murid-muridnya untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang
dikehendaki pada tingkah laku mereka. Selanjutnya menolong mereka memperoleh
maklumat, pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, sikap, minat dan nilai-nilai yang
diinginkan.

3.Urgensi dan Fungsi Metode Pendidikan Islam


Dari pengertian pendidikan yang telah dijelaskan di atas dapat dipahami bahwa metode
merupakan komponen yang amat penting dalam sistem pendidikan. Bahkan jika
ditelusuri ayat-ayat al-Qur’an juga terdapat ayat-ayat yang mengajak manusia untuk
berpikir untuk mempertanyakan ”bagaimana cara” sesuatu sebagai bentuk motivasi bagi
manusia agar mengembangkan suatu metode. Seperti firman Allah dalam surat al-
Ghasyiyah/88: 17-20.
‫ وإلى الأرض كيف سطحت‬.‫ وإلى الجبال كيف نصبت‬.‫ وإلى السماء كيف رفعت‬.‫أفلا ينظرون إلى الإبل كيف خلقت‬
Artinya: Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, dan
langit bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan
bumi bagaimana ia dihamparkan?

Dalam kaitannya dengan pendidikan, metode sangat menentukan berhasil tidaknya


suatu proses pembelajaran yang dilakukan dalam mewujudkan tujuan pendidikan.
Bahkan sebaik apa pun materi pendidikan yang telah dirumuskan, tanpa metode yang
baik maka peserta didik akan sulit untuk menguasai materi tersebut. Al-Qur’an, misalnya,
merupakan kumpulan wahyu yang mutlak kebenarannya dan jika dikuasai oleh umat
Islam maknanya lalu mampu mengamalkannya, niscaya keselamatan dan kebahagiaan
akan diperoleh. Namun, ketika umat Islam tidak memiliki metode yang baik dalam
memahami makna al-Qur’an serta mengembangkan isyarat-isyarat ilmiah yang
terkandung di dalamnya, maka konsep al-Qur’an yang ideal itu hanya sekedar doktrin
dan umat Islam tetap terbelakang.
Begitu pentingnya metode dalam sistem pendidikan Islam, maka metode pun
mempunyai fungsi yang amat penting pula. Abuddin Nata menyebutkan bahwa secara
umum metode berfungsi sebagai pemberi jalan atau cara yang sebaik mungkin bagi
pelaksanaan operasional dari ilmu pendidikan. Selain itu metode dapat merupakan
sarana untuk menemukan, menguji dan menyusun data yang diperlukan bagi
pengembangan disiplin suatu ilmu. Dari pemahaman seperti ini, Abuddin mengatakan
bahwa pada intinya metode berfungsi mengantarkan pada suatu tujuan kepada objek
sasaran tersebut.

Sementara M. Arifin menyebutkan bahwa dari sudut filosofis, metode merupakan alat
yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Secara esensial, metode yang
digunakan mempuunyai fungsi ganda. Pertama, fungsi polipragmatis, yaitu manakala
metode itu mengandung kegunaa yang serba ganda (multi purpose). Misalnya metode
tertentu pada suatu situasi dan kondisi tertentu dapat dipergunakan untuk merusak,
pada situasi dan kondisi yang lain dapat digunakan untuk membangun atau
memperbaiki. Kegunaannya dapat bergantung kepada di pemakai atau pada corak dan
bentuk serta kemampuan dari metode sebagai alat. Misalnya audio visual methods yang
mempergunakan Video Casette Record (VCR) yang dapat merekam dan menayangkan
semua jenis film, baik yang moralis maupun pornografis, dan dapat pula dijadikan
sebagai media dalam proses pendidikan.

Kedua, fungsi monopragmatis, yaitu alat yang hana daat dipergunakan untuk mencapai
satu amcam tujuan saja. Misalnya metode eksperimen ilmu alam yang menggunakan
laboratorium ilmu alam, hanya dapat dipergunakan untuk eksperimen-eksperimen di
bidang ilmu alam saja dan tidak bisa dipergunakan untuk bidang ilmu sosial dan ilmu-
ilmu lainnya.

4.Karakteristik Metode Pendidikan Islam


Selain dari asas-asas di atas, perlu pula mengenal karakteristik metode pendidikan Islam.
Mengenal karakter ini penting, sebab metode yang digunakan dan dikembangkan dalam
pendidikan Islam memiliki karakteristik tersendiri dan berbeda dengan pendidikan non-
Islam. Dengan mengenal karakteristik tersebut, maka penggunaan dan pengembangan
metode pendidikan Islam akan membuatnya lebih unggul dan sesuai dengan
karakteristik sistem pendidikan Islam itu sendiri.

Adapun karakteristik metode pendidikan Islam tentunya sesuai dengan karakteristik


sistem pendidikan Islam itu sendiri. Kaarakteristik yang paling menonjol adalah pendikan
Islam berdasarkan kepada al-Qur’an dan Sunnah serta pendidikan Islam sarat nilai (full
value) bukan bebas nilai. Maka metode pendidikan yang diterapkan dan dikembangkan
harus berladaskan kepada semangat al-Qur’an dan Sunnah serta sarat akan nilai yang
sesuai dengan sumber Islam itu sendiri.

Lebih lanjut, Samsul Nizar dan al-Rasyidin merumuskan ada delapan yang menjadi
karakteristik metode pendidikan Islam, yaitu:
a.Keseluruhan proses penerapan metode pendidikan Islam, mulai dari pembentukannya,
penggunaannya sampai pada pengembangannya tetap didasarkan pada nilai-nilai asasi
Islam sebagai ajaran yang universal.

b.Proses pembentukan, penerapan dan pengembangannya tetap tidak dapat dipisahkan


dengan konsep al-akhlak al-karīmah sebagai tujuan tertinggi dari pendidikan Islam.

c.Metode pendidikan Islam bersifat luwes dan fleksibel dalam artian senantiasa
membuka diri dan dapat menerima perubahan sesuai dengan situasi dan kondisi yang
melingkupi proses pendidikan Islam tersebut, baik dari segi peserta didik, pendidik,
materi pelajaran dan lain-lain.

d.Metode pendidikan Islam berusaha sungguh-sungguh untuk menyeimbangkan antara


teori dan praktek.

e.Metode pendidikan Islam dalam penerapannya menekankan kebebasan peserta didik


untuk berkreasi dan mengambil prakarsa dalam batas-batas kesopanan dan al-akhlak al-
karīmah.

f.Dari segi pendidik, metode pendidikan Islam lebih menekankan nilai-nilai keteladanan
dan kebebasan pendidik dalam menggunakan serta mengkombinasikan berbagai metode
pendidikan yang ada dalam mencapai tujuan pengajarannya.

g.Metode pendidikan Islam dalam penerapannya berupaya menciptakan situasi dan


kondisi yang memungkinkan bagi terciptanya interaksi edukatif yang kondusif.

h.Metode pendidikan Islam merupakan usaha untuk memudahkan proses pengajaran


dalam mencapai tujuannya secara efektif dan efesien.

Selain dari karakteristik di atas, setiap pendidik muslim juga harus mengetahui
pendekatan umum dalam pembentukan dan penerapan metode pendidikan Islam
sebagaimana yang telah dijelaskan Allah SWT dalam proses pendidikan Rasulullah, yaitu
dengan pendekatan tilawah (membaca ayat-ayat Allah), tazkiyah (penyucian jiwa), dan
ta’lim (mengajarkan kitab dengan hikmah). Bahkan metode pendidikan Islam
dikembangkan juga dari konsepsi amr ma’ruf nahi munkar dengan pendekatan ishlah
atau perbaikan serta pendekatan penuh hikmah, mau’idzhah dan mujadalah.
Berdasarkan hal ini maka paradigma pengembangan dan penerapan metode pendidikan
Islam dalam proses internasilasi sejumlah pengetahuan, keterampilan dan sikap mental
yang terpuji harus dilakukan dengan pendekatan yang menyeluruh, integral dan
sistematis.

5. Asas-asas Metode Pendidikan Islam


Untuk menggunakan metode yang sesuai dengan kebutuhan, perlu diperhatikan dasar-
dasar umum metode pendidikan Islam tersebut. Menurut al-Syaibani, ada empat dasar
metode pendidikan Islam, yaitu: pertama, dasar agamis yaitu meliputi pertimbangan
bahwa metode yang digunakan diambil dari tuntunan al-Qur’an dan hadis, kemudian
dari sumber yang lain dengan berbagai cabangnya dan dari peninggalan dan amalan
orang-orang terdahulu yang shaleh; kedua, dasar biologis, yang meliputi pertimbangan
kebutuhan jasmani peserta didik dan tingkat perkembangan usia anak didik; ketiga,
dasar psikologis, yaitu meliputi pertimbangan terhadap sejumlah kekuatan psikologis
termasuk motivasi, kebutuhan, emosi, minat, sikap, keinginan, kesediaan, bakat-bakat,
dan kecakapan akal (intelektual); dan keempat, dasar sosial, yaitu meliputi pertimbangan
kebutuhan sosial di lingkungan peserta didik, artinya metode yang digunakan mesti
disesuaikan dengan nilai-nilai masyarakat dan tradisi-tradisi yang berkembang di
dalamnya.

Kemudian, dari sudut pelaksanaannya, Samsul Nizar dan al-Rasyidin mengemukakan


bahsa asas-asas metode pendidikan Islam dapat diformulasikan kepada beberapa asas
berikut ini.
a. Asas motivasi, yaitu usaha pendidik untuk membangkitkan perhatian peserta didik ke
arah bahan pelajaran yang sedang disajikan.

b. Asas aktivitas, yaitu memberikan kesempatakn kepada peserta didik untuk mengambil
bagian secara aktif dan kreatif dalam seluruh kegiatan pendidikan yang dilaksanakan.

c. Asas apersepsi, yaitu mengupayakan respon-respon tertentu dari peserta didik


sehingga mereka memperoleh perubahan pada tingkah laku, perbendaharaan konsep,
dan kekayaan akan informasi.

d. Asas peragaan, yaitu memberikan variasi dalam cara-cara mengajar dengan


mewujudkan bahan yang diajarkan secara nyata, baik dalam bentuk asilnya maupun
tiruan.

e. Asas ulangan, yaitu usaha untuk mengetahui taraf kemajuan atau keberhasilan belajar
peserta didik dalam aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap.

f. Asas korelasi, yaitu menghubungkan suatu bahan pelajaran dengan bahan pelajaran
lainnya, sehingga membentuk mata rantai yang erat.

g. Asas konsentrasi, yaitu memfokuskan pada suatu pokok masalah tertentu dari
keseluruhan bahan pelajaran untuk melaksanakan tujuan pendidikan serta
memperhatikan peserta didik dalam segala aspeknya.
h. Asas individualisasi, yaitu memperhatikan perbedaan-perbedaan individual peserta
didik.

i. Asas sosialisasi, yaitu menciptakan situasi sosial yang membangkitakn semangat kerja
sama peserta didik dengan pendidik atau sesama peserta didik dan masyarakat, dalam
menerima pelajaran agar berdaya guna.

j. Asas evaluasi, yaitu memperhatikan hasil dari penilaian terhadap kemampuan yang
dimiliki peserta didik sebagai umpan balik pendidik dalam memperbaiki cara mengajar.

k. Asas kebebasan, yaitu memberi keleluasaan keinginan dan tindakan bagi peserta didik
dnegan dibatasi atas kebebasan yang mengacu pada hal-hal yang positif.

l. Asas lingkungan, yaitu menentukan metode dengan berpijak pada pengaruh


lingkungan akibat interaksi dengan lingkungan.

m. Asas globalisasi, yaitu memperhatikan reaksi peserta didik terhadap lingkungan


secara keseluruhan, tidak hanya secara intelektual, tetapi juga secara fisik, sosial dan
sebagainya.

n. Asas pusat-pusat minat, yaitu memperhatikan kecenderungan jiwa yang tetap ke


jurusan suatu yang berharga bagi seseorang.

o. Asas ketauladanan, yaitu memberikan contoh terbaik untuk ditiru dan ditauladani
peserta didik.

p. Asas pembiasaan, yaitu membiasakan hal-hal positif dana diri peserta didik sebagai
upaya praktis dalam pembinaan mereka.

Sementara Ibn Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah juga menyinggung masalah asas-
asas atau prinsip-prinsip metode pendidikan Islam. Di antara asas atau prinsip metode
pendidikan Islam yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
1. Mengajarkan materi dari yang inderawi kepada yang rasional; menurut Ibn Khaldun
kemampuan manusia dalam berpikir terjadi dalam tiga tingakatan, yaitu al-Aql al-
tamyīziy yang bersifat empiris, al-Aql al-tajrībiy yang mampu melakukan berbagai
eksperimen dan mulai mampu berpikir lebih rasional, dan al-Aql al-Nazhori atau berpikir
spekulatif yaitu kemampuan akal untuk berpikir lebih abstrak dari tingkatan sebelumnya.
Maka dalam mengajarkan sesuatu, hendaknya bertahap (al-tadrīj) dari yang inderawi
kepada rasional sesuai dengan tingkatan akal manusia tersebut.

2. Menggunakan sarana tertentu untuk menjabarkan pelajaran; karena kemampuan


anak didik biasanya diawali dari hal-hal yang empiris baru kemudian diarahkan kepada
hal-hal yang rasional atau abstrak, maka dalam mengajar pun hendaknya sarana atau
alat peraga yang bersifat kongkrit digunakan oleh guru sehingga membantu pemahaman
peserta didik terhadap materi yang diajarkan.
3. Prinsip spesifikasi dan integrasi; menurut Ibn Khaldun, ilmu memiliki beberapa
cabang, seperti kelompok ilmu naqliyah, aqliyah dan ilmu alat. Masing-masing kelompok
memiliki cabang-cabang tersendiri. Meskipun terdapat banyak cabang ilmu, peserta
didik tidak diharuskan untuk menguasai seluruhnya. Ibn Khaldun justru memandang
perlunya spesifikasi ilmu pengetahuan. Artinya, seorang pelajar mesti mengkhususkan
kajiannya kepada satu bidang keilmuan. Menurutnya, apabila seorang pelajar
dihadapkan kepada persoalan yang banyak sekaligus niscaya ia tidak akan sanggup
memahami secara keseluruhan. Akibatnya, otaknya akan jemu dan tidak sanggup untuk
beraktivitas sehingga bisa membuatnya meninggalkan ilmu yang sedang dipelajarinya.

4. Prinsip kontinuitas dalam penyajian materi; Ibn Khaldun juga berpendapat bahwa
setiap pendidik seharusnya memperhatikan prinsip kontinuitas atau kesinambungan
dalam menyajikan materi pelajaran yang sejenis kepada murid-muridnya. Dengan
demikian antara penyajian suatu materi ke materi lainnya hen¬daknya tidak ada jarak
waktu yang terlalu lama, sebab hal itu dapat menyebabkan murid lupa terhadap materi-
materi sebelumnya.

5. Tidak mencampuradukkan antara dua ilmu pengetahuan dalam satu waktu; Sejalan
dengan prinsip spesifikasi dan integrasi di atas, Ibn Khaldun menegaskan seorang guru
agar tidak mencampuradukkan antara dua ilmu pengetahuan dalam satu waktu
sekaligus, khususnya bagi peserta didik tingkat pemula. Mengajarkan dua atau lebih ilmu
pengetahuan dalam satu waktu hanya akan membingungkan, sebab metode seperti itu
akan sukar sekali dikuasai oleh peserta didik dan perhatiannya akan terbagi serta dapat
terganggu oleh satu ilmu dengan yang lainnya.

6. Menghindari kekerasan terhadap murid; Ibnu Khaldun mengharuskan kepada guru


agar bersikap kasih-sayang kepada anak dan tidak menggunakan kekerasan terhadap
mereka, karena sikap kasar atau kekerasan dalam mengajar membahayakan jasmani
anak (peserta didik). Jika anak diperlakukan secara kasar dan keras, menjadi sempit
hatinya, dan hilang kecerdasannya, bahkan ia akan terdorong untuk berdusta, malas, dan
berbuat kotor. Sementara pemberlakuan sanksi (punishment) bisa dilakukan, tetapi
sanksi tersebut bersifat edukatif. Sanksi ini hendaknya diterapkan oleh guru dalam
keadaan terpaksa karena tak ada jalan lain, (sesudah semua cara yang lemah-lembut
tidak berhasil). Dengan begitu, hukuman menjadi salah satu alat atau metode dalam
pendidikan Islam

7. Jangan mengajarkan ilmu dari hasil ringkasannya; Ibn Khaldun menerangkan bahwa
para sarjana di zamannya, telah banyak yang membuat ringkasan dari berbagai buku,
atau yang disebut dengan mukhtashar. Buku-buku ringkasan ini bisa membuat peserta
didik—khususnya peserta didik tingkat lanjutan—tidak menguasai suatu ilmu dengan
utuh sebagaimana yang diinginkan oleh penulisnya, padahal mereka harus menguasai
ilmu secara spesifik.
Asas-asas, dasar, atau prinsip metode pendidikan di atas mesti menjadi pertimbangan
setiap pendidik dalam menentukan dan mengembangkan metode pendidikan yang akan
digunakan. Dengan asas-asas itu pula diharapkan metode yang digunakan mampu
mengantarkan peserta didik kepada tujuan yang diinginkan secara efektif dan efisien dan
tentunya tidak terlepas dari nilai-nilai Islam.
6. Macam-macam Metode Pendidikan Islam
Terdapat beberapa macam metode yang digunakan dalam pendidikan Islam. Al-Syaibany
mengemukakan ada dua belas metode yang dapat digunakan dalam pendidikan Islam,
yaitu: metode pengambilan kesimpulan atau induktif, metode perbandingan (qiyasiah),
metode kuliah, metode dialog dan perbincangan, metode lingkaran (halaqah), metode
riwayat, metode mendengar, metode membaca, metode imla’ (dictation), metode
hafalan, metode pemahaman, dan metode lawatan untuk menuntut ilmu (pariwisata).

Abdurrahman an-Nahlawi juga mengemukakan beberapa metode yang dapat digunakan


dalam pendidikan Islam. Menurutnya, metode yang dianggap paling penting dan paling
menonjol adalah sebagai berikut:
a. metode dialog Qur’ani dan Nabawi, meliputi dialog khithabi dan ta’abbudi, dialog
deskriptif, dialog naratif, dialog argumentatif, dan dialog nabawi;
b. mendidik melalui kisah-kisah Qur’ani dan Nabawi;
c. mendidik melalui perumpamaan (amtsal) Qur’ani dan Nabawi;
d. mendidik melalui keteladanan;
e. mendidik melalui aplikasi dan pengamalan;
f. mendidik melalui ibrah dan nasehat; dan
g. mendidik melalui targhib (membuat senang) dan tarhib (membuat takut).

Selain pendapat an-Nahlawi di atas, Ramayulis mengemukakan tiga belas metode yang
dapat digunakan dalam mengajar, yaitu: metode ceramah, tanya jawab, demonstrasi,
eksperimen, diskusi, sosio drama dan bermain peranan, drill (latihan), mengajar beregu
(team teaching), pemecahan masalah, pemberian tugas belajar dan resitasi, kerja
kelompok, imla’ (dikte), dan simulasi.

Dari beberapa metode di atas, dalam makalah yang terbatas ini akan diuraikan beberapa
metode yang diisyaratkan dalam al-Qur’an.

a. Metode Teladan
Metode keteladanan merupakan metode yang paling berpengaruh dalam mendidik
peserta didik, khususnya dalam hal pembentukan kepribadian. Pentingnya metode ini
juga dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Bahkan al-Qur’an
menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW itu menjadi teladan bagi para umatnya.
Keteladanan itu terlihat dari setiap perilaku yang ditampilkan oleh Rasulullah, sehingga
Allah pun memujinya dalam al-Qur’an: dan sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki
akhlak yang agung (Q.s. Qalam/68:4).

Selain kepada Nabi Muhammad SAW, al-Qur’an juga menjelaskan bahwa keteladanan itu
ada pada diri Nabi Ibrahim AS. Keteladanan Nabi Ibrahim AS yang mendapat julukan
khalilullah ini juga dapat dilihat dari kepribadiannya yang mulia dalam mendidik
kaumnya agar menegakkan agama tauhid. Bahkan metode keteladanan ini menjadi salah
satu kunci keberhasilan Nabi Ibrahim dalam mendidik anaknya Isma’il sehingga menjadi
anak yang shaleh lagi halim.
Kedua nabi yang disebut al-Qur’an sebagai uswatun hasanah ini patut diteladani oleh
umat Islam, khususnya pendidik Islam sebagai pewaris nabi. Dengan keteladanan
tersebut diharapkan peserta didik memiliki kepribadian yang islami dan pada gilirannya
akan menjadi teladan bagi sekelilingnya.

b. Metode ceramah
Metode ceramah merupakan metode yang paling banyak digunakan dalam proses
pendidikan. Meskipun metode lain dipakai, tetapi metode itu selalu dikombinasikan
dengan metode ceramah ini. Al-Qur’an juga mengisyaratkan adanya metode ceramah.
Menurut Abuddin Nata, metode ini disebut al-Qur’an dengan kata khutbah yang diulang
sebanyak 9 kali dan kata tabligh yang diulang sebanyak 78 kali. Metode ini juga dilakukan
oleh nabi dalam mengajak dan mendidik kaumnya ke jalan yang benar.

Metode ini juga bisa efektif diterapkan jika penyampaiannya menggunakan bahasa yang
jelas, mudah dipahami dan mengandung pesan-pesan yang bermutu sehingga
memperkaya wawasan peserta didik secara kognitif. Metode ceramah juga bisa
menyentuh qalbu peserta didik sehingga ceramah tidak hanya bersifat kognitif tetapi
juga ranah apektif.

c. Metode Nasehat
Metode nasehat merupakan penyampaian kata-kata yang menyentuh hati dan disertai
dengan keteladanan. Dengan demikian metode ini memadukan antara metode ceramah
dengan keteladanan, namun lebih diarahkan kepada bahasa hati, tetapi bisa pula
disampaikan dengan pendekatan rasional. Di dalam al-Qur’an juga dijelaskan tentang
metode nasehat yang dilakukan oleh para nabi kepada kaumnya, seperi Nabi Shaleh As
yang menasehati kaumnya agar menyembah Allah, dan Nabi Ibrahim AS yang
menasehati ayahnya, Azar, agar menyembah Allah dan tidak lagi membuat patung .
Begitu pula al-Qur’an mengisahkan Luqman memberi nasehat kepada anaknya agar
menyembah Allah dan berbakti kepada orang tua serta melakukan sifat-sifat yang terpuji
seperti yang terdapat dalam Q.S. Luqman/31: 12-13.

Selain dari kisah nabi dan Luqman di atas, al-Qur’an sendiri mengandung ayat-ayat yang
mengandung nasehat, seperti nasehat agar tidak mempersekutukan Allah dan berbuat
baiklah kepada manusia. Dalam al-Qur’an juga terdapat nasehat yang berulang-ulang.
Hal ini menunjukkan bahwa masalah yang dinasehati itu penting sesuai dengan
konteksnya.

Abuddin Nata menegaskan bahwa al-Qur’an secara eksplisit menggunakan nasehat


sebagai salah satu cara untuk menyampaikan suatu ajaran. Al-Qur’an berbicara tentang
penasehat, yang dinasehati, obyek nasehat, situasi nasehat, dan latar belakang nasehat.
Karenanya sebagai suatu metode pengajaran nasehat dapat diakui kebenarannya untuk
diterapkan sebagai upaya mencapai suatu tujuan.

d. Metode Diskusi
Metode diskusi juga mendapat perhatian dalam al-Qur’an. Seperti dalam surat al-
Nahl/16 ayat 125 dijelaskan agar kita mengajak ke jalan yang benar dnegan hikmah dan
mau’izhah yang baik dan membantah mereka dengan berdiskusi dengan cara yang paling
baik pula. Kemudian dalam surat al-Ankabut ayat 46 juga dijelaskan agar kita tidak
berdebat dengan Ahli Kitab kecuali dengan cara yang paling baik.
Dengan demikian, dalam proses pembelajaran metode diskusi juga dapat digunakan.
Namun penerapan metode ini harus dilakukan dengan baik, seperti tidak menyinggung
perasaan orang lain, menghargai pendapat dan pembicaraannya, tidak memonopoli
forum dan tidak pula egois serta dibutuhkan kedewasaan berpikir.

e. Metode targhib dan tarhib


Menurut Abdurrahman an-Nahlawi, berdasarkan analisis terhadap ayat-ayat al-Qur’an
dapat didefenisikan bahwa targhib adalah janji yang disertai bujukan dan rayuan untuk
menunda kemaslahatan, kelezatan, dan kenikmatan. Namun penundaan itu bersifat
pasti, baik, murni dan dilakukan melalui amal shaleh atau pencegahan diri dari kelezatan
yang membahayakan. Sementara tarhib adalah ancaman atau intimidasi melalui
hukuman yang disebabkan oleh terlaksananya sebuah dosa, kesalahan, atau perbuatan
yang telah dilarang Allah. Kedua metode ini bisa dilihat dalam surat Zalzalah ayat 7-8. .
Dalam ilmu modern, targhib dikenal dengan istilah reward yang berarti ganjaran, hadiah,
penghargaan atau imbalan dan merupakan salah satu alat pendidikan dan berbentuk
reinforcement yang positif, sekaligus sebagai motivasi yang baik. Sementara tarhib
dikenal dengan istilah punishment hukuman atau sanksi sebagai bentuk reinforcement
yang negatif, tetapi kalau diberikan secara tepat dan bijak bisa menjadi metode
pendidikan yang baik. Keduanya dapat diterapkan dalam pendidikan dan
menyesuaikannya dengan kondisi yang dihadapi. Namun jika dibandingkan antara
keduanya, seharusnya metode targhib lebih diprioritaskan dari pada tarhib. Misalnya,
jika ada peserta didik yang mengerjakan tugas dan yang lainnya tidak membuat tugas,
maka yang terlebih dahulu diberikan respon adalah kepada peserta didik yang telah
membuat tugas.

Meskipun demikian, metode tarhib memang tetap dibutuhkan, tetapi harus terlebih
dahulu dilalui dengan metode keteladanan, atau nasehat yang baik. Dalam hal ini
Muhammad Qutb menegaskan bahwa bila metode teladan dan nasehat juga tidak
mampu, maka harus diadakan tindakan berupa tarhib. Tetapi yang harus ditekankan
bahwa sanksi atau hukuman yang diberikan harus bersifat edukatif.

Masih banyak macam-macam metode yang dikemukakan oleh para tokoh pendidikan.
Semua metode tersebut dapat digunakan dalam pendidikan Islam tetapi tetap
menyesuaikan dengan karakteristik dan asas-asas di atas. Namun tidak ada satu pun
metode yang mutlak ideal di antara metode-metode lain. Masing-masing metode
memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Pendidik juga bisa menggunakan
metode secara bervariasi dengan tetap mempertimbangkan kelebihan dan
kelemahannya serta relevansinya dengan kebutuhan.

Metode tersebut akan tepat dan benar digunakan jika disesuaikan dengan kebutuhan,
baik yang berhubungan dengan materi, tujuan pendidikan, suasana lingkungan belajar,
hingga kepada kondisi psikologis peserta didik. Oleh karena itu, dituntut kompetensi
pendidik dalam memilih dan menentukan metode yang tepat sehingga pencapaian
tujuan pendidikan dapat dilakukan secara efektif dan efisien.
C. Analisis Filosofis Alat Pendidikan Islam
1. Pengertian Alat Pendidikan Islam
Sutari Imam Barnadib berpendapat bahwa alat pendidikan adalah “suatu tindakan atau
perbuatan atau situasi atau benda yang dengan tindakan untuk mencapai suatu tujuan
pendidikan”. Sementara Ahmad D. Marimba mendefinisikannya sebagai “segala sesuatu
atau apa yang dipergunakan dalam usaha mencapai tujuan.” Ramayulis mengatakan
bahwa dari beberapa literatur tidak terdapat perbedaan antara alat dengan media
pendidikan. Oleh karenanya, ia tidak membedakan antara alat dengan media. Zakiah
Daradjat juga tidak membedakan antara alat dengan media. Menurutnya, media atau
alat pendidikan meliputi segala sesuatu yang dapat membantu proses pencapaian tujuan
pendidikan.
Dari pengertian yang dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa alat juga merupakan
komponen penting dalam pendidikan. Dengan alat tersebut, tujuan pendidikan akan
mudah untuk dicapai.

2. Urgensi dan Fungsi Alat Pendidikan


Alat pendidikan memiliki peranan penting dalam proses pendidikan dalam mencapai
statu tujuan. Menurut Yusuf Hadi Miarso, dkk, sebagaimana yang dikutip oleh Ramayulis
bahwa alat/media pendidikan itu mempunyai nilai-nilai praktis yang berupa kemampuan
antara lain: (1) membuat konkrit konsep yang abstrak, (2) membawa obyek yang sukar
didapat ke dalam lingkungan belajar siswa, (3) menampilkan obyek yang terlalu besar, (4)
menampilkan obyek yang tak dapat diamati dengan mata telanjang, (5) mengamati
gerakan yang teralu cepat, (6) memungkinkan keseragaman pengamatan dan persepsi
bagi pengalaman belajar siswa, (7) membangkitkan motivasi belajar, dan (8) menyajikan
informasi belajar secara konsisten dan dapat diulang maupun disimpan menurut
kebutuhan.

Mengenai pentingnya alat ini, Ali Jumbulati juga menyatakan bahwa dalam pekerjaan
mengajar, alat-alat peraga merupakan sarana pembuka cakrawala yang lebih luas, yang
berlawanan dengan kebiasaan merumuskan kalimat-kalimat yang ditulis atau diucapkan.
Di samping itu, alat peraga juga menjadikan pengetahuan anak bersentuhan langsung
dengan pengalaman indrawi yang hakiki. Maka dari itu makna yang terkandung di dalam
komponen pendidikan ini adalah lebih memudahkan anak memahami pelajaran dan
meminimalisir kesalahan dalam penerimaan ilmu yang diajarkan.

Adapun fungsi alat pendidikan, D. Ahmad Marimba menyebutkan setidaknya ada tiga
fungsi alat pendidikan, yaitu sebagai perlengkapan, sebagai pembantu mempermudah
usa mencapai tujuan, dan sebagai tujuan untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi,
seperti tujuan mempelajari bahasa Arab untuk mengetahui isi al-Qur’an. Dengan
demikian, alat pendidikan sangat membantu terwujudnya tujuan pendidikan. Oleh
karena itu, Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain menyebut media sebagai alat bantu
sekaligus sumber belajar.

3. Karakteristik Alat Pendidikan


Seperti halnya metode pendidikan, maka karakteristik alat pendidikan Islam juga
berlandaskan kepada karakteristik pendidikan Islam itu sendiri. Ramayulis berpendapat
bahwa karakteristik sistem pendidikan Islam setidaknya dapat dilihat dari tiga hal dimana
ketiga karakter ini sekaligus membedakannya dengan sistem pendidikan non-Islam.
Pertama, sistem idiologi; Islam memiliki idiologi al-tauhid yang bersumber dari al-Qur’an
dan sunnah, sedangkan non-Islam memiliki berbagai macam ideologi yang bersumber
dari isme-isme materialis, sosialis, komunis, dan sebagainya. Dengan idiologi tauhid,
maka pendidikan Islam tidak mengenal istilah dikotomis, dualisme, bahkan sekuralis.
Akan tetapi sistem pendidikan Islam menghendaki adanya integralistik yang menyatukan
kebutuhan duniawi dan ukhrasi, jasmani dan rohani, materi dan spiritual serta oleh oleh
roh tauhid yang dinafasi dan dijiwai. Kedua, sistem nilai; pendidikan Islam bersumber
dari nilai al-Qur’an dan Sunnah, berasal dari wahyu yang memiliki kebanaran mutlak.
Sedangkan non-Islam bersumber dari nilai-nilai yang berasal dari hasil pemikiran
manusia, penelitian para ahli atau adat kebiasaan masyarakat. Dalam pendidikan Islam,
nilai-nilai al-Qur’an dan Sunnah tersebut diinternalisasikan dalam proses
pembelajarannya. Ketiga, orientasi pendidikan; dalam pendidikan Islam orientasinya
kepada duniawi dan ukhrawi, sementara non-Islam berorientasi kepada duniawi saja.

Demikian halnya alat pendidikan Islam, tiga karakteristik di atas juga menjadi karakter
alat pendidikan Islam. Alat yang digunakan dan dikembangkan harus beridiologi al-
tauhid sehingga penggunaan alat tidak bercorak dikotomis, pragmatis dan materialistis.
Alat pendidikan Islam juga memiliki karakteristik sistem nilai yang bersumber dari al-
Qur’an dan Sunnah, sehingga alat apapun yang ingin digunakan tidak terlepas dari
semangat al-Qur’an dan Sunnah, tetapi sebagai upaya untuk mengaplikasikan nilai-nilai
kedua sumber tersebut. Begitu pula orientasi dari metode pendidikan Islam tidak hanya
mengantarkan peserta didik menguasai materi ajar yang disampaikan, tetapi berorientasi
pada tercapainya kebahagiaan dan keselamatan dunia akhirat.

4. Macam-macam Alat Pendidikan


Adapun jenis dari alat tersebut, tidak saja berupa benda (material) tetapi juga yang
bukan benda (non materi). Menurut Zakiah Dardjat, alat berupa benda ini meliputi:
pertama, media tulis atau cetak seperti al-Qur’an, hadis, tauhid, fiqh, sejarah, dan
sebagainya; kedua, benda-benda alam seperti manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, zat
padat, zat cair, zat gas, dan sebagainya; ketiga, gambar-gambar, lukisan, diagram, peta
dan grafik. Alat ini dapat dibuat dalam ukuran besar dan dapat pula dipakai dalam buku-
buku teks atau bahan bacaan lain; keempat, gambar yang dapat diproyeksi, baik dengan
alat atau tanpa suara seperti foto, slide, film strip, televisi, video, dan sebagainya; dan
kelima, audio recording (alat untuk didengar) seperti karet tape, radio, piringan hitam,
dan lain-lain yang semuanya diwarnai dengan ajaran agama.
Adapun alat yang berupa non-benda, dapat berupa keteladanan, perintah/larangan,
ganjaran dan hukuman, dan sebagainya. Jadi, alat berupa non-benda ini tampaknya
sama dengan metode. Hal ini dapat diterima mengingat bahwa metode juga dapat
disebtu sebagai alat pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan.

Dari pembagian alat pendidikan di atas dapat disimpulkan bahwa alat pendidikan
tersebut amat luas cakupannya. Berbagai benda yang ada di alam sekitar dapat dijadikan
sebagai alat, mulai dari hal-hal sederhana, seperti tumbuhan, hewan, bebatuan, hingga
kepada benda-benda yang telah menjadi temuan ilmiah, seperti TV, LCD, komputer, dan
sebagainya. Begitu pula dalam hal non-benda, berbagai metode yang dikenal dalam
pendidikan juga dapat disebut sebagai alat pendidikan.
Dalam al-Qur’an juga ditemukan ayat-ayat yang menunjukkan bahwa pentingnya alat
dalam pendidikan. Makhluk Allah berupa hewan yang dijelaskan dalam al-Qur’an juga
bisa menjadi alat dalam pendidikan. Seperti nama salah satu surat dalam al-Qur’an
adalah an-Nahl yang artinya lebah. Dalam ayat ke 68-69 di surat itu Allah menerangkan:
‫ ثم كلي من كل< الثم>>رات فاس>>لكي س>>بل‬.‫ ومن الشجر ومما يعرشون‬5‫ك إلى النحل أن اتخذي من الجبال بيوتا‬.‫وأوحى رب‬
‫ يتفكرون‬N‫ ل<قوم‬5‫ ألوانه فيه شفاء للناس إن في ذلك لية‬F‫ختلف‬.‫ م‬F‫ يخرج من بطونها شراب‬5‫رب<ك ذلل‬

Artinya: Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-


bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia", kemudian
makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah
dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-
macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan)
bagi orang-orang yang memikirkan.

Jelaslah bahwa ayat di atas menerangkan bahwa lebah bisa menjadi media atau alat bagi
orang-orang yang berpikir untuk mengenal kebesaran Allah yang pada gilirannya akan
meningkatkan keimanan dan kedekatan (taqarrub) seorang hamba kepada Allah SWT.
Nabi Muhammad SAW dalam mendidik para sahabatnya juga selalu menggunakan alat
atau media, baik berupa benda maupun non-benda. Salah satu alat yang digunakan
Rasulullah dalam memberikan pemahaman kepada para sahabatnya adalah dengan
menggunakan gambar.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan al-Hakim dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata,
”Rasulullah membuatkan kami garis dan bersabda, ”Ini jalan Allah.” Kemudian membuat
garis-garis di sebelah kanan dan kirinya, dan bersabda, ”Ini adalah jalan-jalan (setan).”
Yazid berkata, ”(Garis-garis) yang berpencar-pencar.” Rasulullah SAW bersabda, ”Di
setiap jalan ada setan yang mengajak kepadanya. Kemudian beliau membaca,

‫بل فتفرق بكم عن سبيله ذلكم وصاكم به لعلكم تتقون‬.‫ فاتبعوه ول تتبعوا الس‬5‫وأن هـذا صراطي مستقيما‬

Artinya: Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah
dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) , karena jalan-jalan itu
mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu
bertakwa. (Q.S. al-An’am/6: 153).

Hadis di atas terlihat jelas bahwa Rasulullah SAW menggunakan garis-garis sebagai alat
pendidikan untuk menjelaskan apa yang ingin beliau sampaikan kepada para sahabatnya.

Perlu pula ditegaskan bahwa dalam konteks pendidikan Islam, M. Arifin menyebutkan
alat-alat pendidikan harus mengandung nilai-nilai operasional yang mampu
mengantarkan kepada tujuan pendidikan Islam yang sarat dengan nilai-nilai. Nilai-nilai
tersebut tentunya berdasarkan kepada dasar atau karakteristik pendidikan Islam itu
sendiri.
Dewasa ini, pengembangan alat pendidikan semakin pesat seiring dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan Islam juga tetap
melakukan berbagai inovasi termasuk dalam pengembangan penggunaan alat
pendidikan sehingga membantu kelancaran proses pendidikan tersebut. Namun
penggunaan alat tersebut mesti tetap berlandaskan kepada dasar-dasar pendidikan
Islam dan mengacu kepada tujuan yang telah direncanakan.

5. Prinsip-prinsip Pemilihan dan Penggunaan Alat


Dalam memilih dan menentukan alat pendidikan, diperlukan prinsip-prinsip yang harus
dipahami oleh seorang pendidik. Menurut Nana Sudjana mengemukakan ada empat
prinsip yang harus diperhatikan, yaitu:
1) menentukan jenis alat peraga dengan tepat, artinya sebaiknya guru memilih terlebih
dahulu alat peraga manakah yang sesuai dengan tujuan dan bahan pelajaran yang
hendak diajarkan.

2) Menetapkan atau memperhitungkan subjek dengan tepat, artinya perlu


diperhitungkan apakah penggunaan alat peraga itu sesuai dengan tingkat
kematangan/kemampuan anak didik.

3) Menyajikan alat peraga dengan tepat, artinya teknik dan metode penggunaan alat
peraga dalam pengajaran harus disesuaikan dengan tujuan, bahan, metode, waktu, dan
sarana yang ada.

4) Menempatkan atau memperlihatkan alat peragaan pada waktu, tempat, dan situasi
yang tepat. Artinya kapan dan dalam situasi mana pada waktu mengajar alat peraga
digunakan. Tentu tidak setiap saat atau selama proses mengajar terus-menerus
memperlihatkan atau menjelaskan sesuatu dengan alat peraga.

Prinsip yang dikemukakan oleh Nana Sudjana di atas memang lebih berkenaan dengan
alat pendidikan berupa benda. Sementara alat dalam bentuk non-benda pada dasarnya
tidak berbeda dengan prinsip-prinsip dalam menentukan metode, sebab alat non-benda
tersebut juga merupakan bagian dari metode.

D. Rekomendasi

Salah satu problematika pendidikan Islam dewasa ini adalah persoalan metode
pembelajaran yang masih monoton dan cenderung membosankan peserta didik serta
lemahnya kemampuan tenaga pendidik dalam memanfaatkan dan mengembangkan
alat/media pendidikan. Oleh karena, pembaharuan di bidang metode dan alat
pendidikan Islam harus dilakukan.

Mengenai persoalan metode, juga telah pernah disinggung oleh para pendidikan Islam.
Mastuhu, misalnya, berpendapat bahwa metode belajar yang digunakan selama ini
masih bersifat “klasik”, yaitu mewariskan sejumlah materi ajaran agama yang diyakini
benar untuk disampaikan kepada peserta didik tanpa memberikan kesempatan
kepadanya agar disikapi secara kritis. Maka metode belajar dan mengajar sistem
pendidikan Islam bercorak menghafal, mekanis, dan lebih mengutamakan pengayaan
materi, sehingga ilmu lebih dipandang dari segi hasil dari pada proses. Lalu ia
menawarkan perlu segera diadakan reorientasi metodologi pengajaran dan cara belajar
pasif ke aktif. Dari murid menunggu, menerima, dan memperoleh materi pelajaran
sebanyak-banyaknya menjadi aktif mencari dan menguasai metodologi berpikir yang
kuat dan konstruktif. Dari dimensi belajar “memiliki” menjadi belajar “menjadi”, atau
dari dimensi “menganalisis” kemudian “mensintesa”, “mengevaluasi”, dan
“mengantisipasi”.
Selain itu, Mastuhu juga menawarkan ada delapan hal yang perlu dilakukan perubahan
dan pengembangan metode belajar dan mengajar pada pendidikan Islam di Indonesia,
yaitu:
(1) mengubah cara belajar dari model warisan menjadi cara belajar pemecahan masalah;
(2) dari hafalan ke dialog; (3) dari pasif ke heuristic; (4) dari memiliki ke menjadi; (5) dari
mekanis ke kreatif; (6) dari strategi menguasai materi sebanyak-banyaknya menjadi
menguasai metodologi yang kuat; (7) dari memandang dan menerima ilmu sebagai hasil
final yang mapan, menjadi memandang dan menimba ilmu dalam dimensi proses, dan
(8) fungsi pendidikan bukan hanya mengasah dan mengembangkan akal, tetapi
mengolah dan mengembangkan hati (moral) dan keterampilan.

Pendapat Mastuhu perlu dijadikan bahan pertimbangan untuk meningkatkan motivasi


pendidik dalam mengembangkan metode dalam proses pendidikan. Guru atau tenaga
pendidik harus mampu menentukan metode yang dapat membuat peserta didik
memiliki respon dan daya kritis yang kuat sehingga proses pembelajaran lebih bersifat
berpusat pada siswa (student-centris), paling tidak seimbang, berpusat antara guru
dengan siswa; bukan malah sebaliknya hanya berpusat pada guru (teacher centris).
Dalam hal pengembangan metode dalam proses belajar-mengajar, perlu juga dilakukan
berbagai inovasi metode mengajar, atau saat ini dikenal dengan sebutan ”model
pembelajaran”. Model-model pembelajaran ini diperlukan untuk dikembangkan lagi
sehingga proses pembelajaran membuat siswa lebih aktif tanpa terbebani.

Selain masalah metode, pengembangan alat atau media juga harus dilakukan. Sistem
pembelajaran berbasis ICT (information, communication and technology). Agar
perkembangan teknologi ini tidak berdampak negatif, maka pemanfaatannya harus
sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan Islam yang berlandaskan kepada nilai-nilai
ajaran Islam itu sendiri.

Tidak kalah penting lagi adalah mengenai metodologi keilmuan yang dikembangkan
dalam lembaga pendidikan Islam. Selama ini ada kecenderungan bahwa metode yang
dikembangkan oleh pendidikan Islam berbeda dengan yang dikembangkan oleh
pendidikan Barat, bahkan ada semacam dikotomi yang saling bertolak belakang.
Akibatnya, lembaga pendidikan yang mengikuti pola pendidikan Barat dalam hal
metodologinya lebih cenderung menguasai sains tetapi mengalami kehampaan spiritual
dan terkesan jauh dari nilai-nilai religius (baca: Islam); sebaliknya lembaga pendidikan
yang mengikuti pola pendidikan Islam lebih cenderung menguasai ilmu-ilmu agama,
namun tertinggal dalam penguasaan sains dan teknologi.

Perbedaan ini berangkat dari pendekatan epistemologi pendidikan yang dikembangkan.


Epistemologi keilmuan yang berkembang di Barat berangkat dari hal-hal yang empiris,
rasional, dan tangkapan inderawi serta mengabaikan hal-hal yang bersifat metafisis,
termasuk eksistensi agama. Sementara epistemologi pendidikan Islam justru berangkat
dari motivasi agama melalui wahyu Allah yang dibawa oleh Rasulullah SAW dimana alam
semesta yang bersifat materi serta hal-hal yang bersifat metafisika dikaji secara integral
sehingga dikenal pendekatan intuisi di samping pendekatan-pendekatan lainya.
Namun dalam kenyataannya, lembaga pendidikan Islam masih cenderung bersifat
dikotomis, dalam artian lebih menekankan metodologi yang didasarkan kepada intuisis
mistis dari manusia dan terbatas pada hubungan antara manusia dengan Tuhan an sich.
Oleh karena itu, pendidikan Islam harus kembali kepada prinsip dasarnya yang bersifat
integral, komprehensif dan seimbang. Tegasnya, metodologi ilmu-ilmu umum yang
berkembang di Barat harus diintegrasikan dengan metodologi ilmu-ilmu agama yang
selama ini lebih digeluti.

Dalam hal integrasi antara kedua bentuk ilmu di atas juga telah mendapat kajian dari
beberapa pakar pendidikan, salah satu di antaranya adalah Isma’il al-Faruqi yang
menawarkan Islamisasi Ilmu. Konsep ini juga berimplikasi kepada pentingnya
menggunakan metodologi yang dikembangkan dalam ilmu-ilmu umum, tetapi
diintegrasikan dengan nilai-nilai Islam sehingga terhindar dari pendekatan yang
dikotomis.
Akhir-akhir ini muncul pula paradigma integritas transdisipliner. Keahlian transdisipliner
adalah keahlian seseorang dipandang lebih ideal apabila mamu meliat secara transparan
disiplin ilmu lain. Artinya mengenal substansi ilmu lain sampai batas tertentu; bukan
mesti menjadi multidisiplin dan interdisiplin, melainkan mengenal beragam hal
mengenai substansi banyak disiplin ilmu lain sehingga dalam mengembangkan disiplin
ilmunya sendiri tahu kawasan disiplin ilmunya dan tahu komplementasi atau kontradiksi
yang dapat terjadi dengan disiplin ilmu lain.

Tegasnya, metode pendidikan Islam yang harus dikembangkan untuk menjawab


tantangan saat ini dan masa yang akan datang, tampaknya pendekatan nondikotomik
atau integrasi ilmu ini patut dijadikan sebagai solusi alternatif. Jika lembaga pendidikan
Islam mampu mengembangkannya secara konsisten, maka kejayaan ilmu pengetahuan
akan dapat diraih.

Untuk mewujudkan pemikiran-pemikiran di atas, PTAI, seperti Fakulatas Tarbiyah,


diharapkan mampu mempersiapkan guru yang mampu mengembangkan metode dan
alat/media pembelajaran yang dinamis, inovatif dan kreatif sehingga peserta didik dapat
belajar aktif dan akhirnya membantunya dalam meraih tujuan pendidikan secara efektif
dan efisien. Begitu pula dalam hal pengembangan metodologi keilmuan yang
transdisipliner di atas, juga saatnya untuk dimulai secara bertahap dan konsisten.
Program pascasarjana di PTAI pun diharapkan mampu mengembangkan kajian ke arah
yang lebih spesifik sesuai yang diinginkan dalam disiplin ilmu pendidikan itu sendiri. Saat
ini, konsentrasi atau bidang ilmu pendidikan Islam masih bersifat umum; idealnya, sudah
ada konsentrasi/bidang yang lebih spesifik lagi, seperti konsentrasi kurikulum pendidikan
Islam, konsentrasi teknologi pendidikan Islam, konsentrasi evaluasi pendidikan Islam,
konsentrasi manajemen pendidikan Islam, dan sebagainya. Jika spesifikasi keilmuan
pendidikan Islam telah dimulai dari program pascasarjana, maka akan memudahkan
untuk mempersiapkan calon-calon tenaga pendidik di tingkat program S.1 sehingga
melahirkan guru-guru yang berpikir integral, sesuai dengan karakteristik pendidikan
Islam itu sendiri.

E. Penutup
Dari paparan mengenai metode dan alat pendidikan Islam dalam perspektif

BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan salah satu penopang sebuah negara. Kita ingat ketika negeri
Jepang luluh lantak dibombardir bom atom pada tahun 1945, konon, salah satu hal yang
dicari pertama kali adalah seorang guru. Artinya, betapa Jepang sangat membutuhkan
tenaga pendidik untuk membangun kembali negaranya. Dengan masyarakat yang
“melek” pengetahuan, berwawasan tinggi, dan tentunya terdidik untuk maju, para
Founding Father Jepang yakin negaranya akan mampu untuk bangkit kembali. Kini kita
menyaksikan bagaimana kemajuan yang dicapai negeri “matahari terbit” itu dalam
bidang perekonomian, Industri terutama dalam bidang IPTEK. Hal ini mengindikasikan
bahwa pendidikan adalah suatu keniscayaan bagi sebuah negara yang menginginkan
pencapaian kemajuan dalam segala bidang. Tanpa SDM yang mumpuni kemajuan sebuah
negara adalah mustahil dan untuk menghasilkan SDM yang mumpuni inilah dibutuhkan
sistem pendidikan yang baik.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia pendidikan diartikan sebagai perbuatan, (hal,
cara dan sebagainya) mendidik. Menurut Ahmad D Marimba pendidikan adalah
bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pemilik terhadap perkembangan jasmani
dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama (Abudin Nata:
2005). Selain itu, pendidikan dapat diartikan sebagai segala kegiatan yang berorientasi
pada pengembangan, pengarahan dan pembentukan kepribadian. Dari beberapa
pengertian diatas terlihat bahwa dalam dunia pendidikan minimal didukung oleh
beberapa hal berikut:

BAB II
PEMBAHASAN
Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, pendidikan memiliki peranan penting
dalam upaya pencapaian kemajuan bangsa. Perkembangan dunia pendidikan tentunya
tidak akan terlepas dari sumbangsih para ilmuwan yang mencurahkan segala
perhatiannya pada dunia pendidikan ini. Begitu pun yang dilakukan oleh para ulama
sebagai yang merasa berkewajiban untuk menyebarluaskan ilmu-Nya. Salah satu ulama
besar, filosof, psikolog sekaligus intelektual muslim Ibnu Khaldun adalah salah satunya.
Dalam makalah ini pemakalah akan mencoba memberikan sekelumit tentang biografi
Ibnu Khaldun yang berimplikasi pada pemikirannya dalam dunia pendidikan. Bagaimana
pendidikan dalam pemikiran Ibnu Khaldun? Apa yang menjadi sumbangsih Ibnu Khaldun
bagi dunia pendidikan? Apa saja yang mendukung corak pemikiran pendidikan Ibnu
Khaldun? Dan sebagainya.

1. Biografi Ibnu Khaldun


Nama lengkap Ibnu Khaldun yaitu Abdu al-Rahman ibn Muhamad ibn Muhamad ibn
Muhamad ibn al-Hasan ibn Jabir ibn Muhamad ibn Ibrahim ibn Khalid ibn Utsman ibn
Hani ibn Khattab ibn Kuraib ibn Ma`dikarib ibn al-Harits ibn Wail ibn Hujar (Toto Suharto:
2006) atau lebih dikenal dengan sebutan Abdur Rahman Abu Zayd Muhamad ibnu
Khaldun. Ia dilahirkan pada 7 Mei 1332 di Tunisia.
Ibnu Khaldun menisbatkan nama dirinya kepada Khalid Ibn utsman karena Khalid adalah
nenek moyangnya yang pertama kali memasuki Andalusia bersama para penakluk
berkebangsaan Arab lainnya pada abad ke-8 masehi. Ibnu Khaldun adalah seorang yang
memiliki prestasi yang gemilang, beliau sangat mahir dalam menyerap segala pelajaran
yang diterimanya. Sejak masa kanak-kanak ia sudah terbiasa dengan filsafat, ilmu alam,
seni dan kesusastraan yang dengan mudahnya ia padukan dengan bidang kenegaraan,
perjalanan dan pengalamannya. Hal inilah salah satu pendorong kemunculan karya
fenomenalnya Muqaddama Al Alamat (pengantar fenomenologis) yang lebih dikenal
dengan sebutan Muqaddimah (prolegomena) saja.
Pada tahun 1352 Ibnu Kahldun berkelana ke Barat dan menetap di Fez. kemudian beliau
pergi ke timur menuju Iskandariah dan Kairo. Disana beliau bertemu dengan Mamluk
Sultan Al Zhahir Barquq yang menunjuknya menjadi guru besar fiqh mazhab Maliki dan
hakim agung Mesir. Menjelang akhir hayatnya pada 1401, Ibnu Khaldun bertemu dengan
Timurlane di luar garis perbatasan Damaskus. Penakluk Mongol tersebut menyambut
ilmuwan ini dengan antusias dan mengemukakan minatnya untuk mengangkat Ibnu
Khaldun sebagai pejabat pemerintahannya. Ibnu Khaldun sendiri kemudian lebih
memilih untuk kembali ke Kairo dan melanjutkan pekerjaanya sebagai qadhi dan penulis
hingga akhir hayatnya. Secara sederhana biografi Ibnu Khaldun ini dapat dibagi kepada
tiga fase: Fase Pertama, masa pendidikan. Fase Kedua, masa politik praktis. Fase ketiga,
masa kepengajaran dan kehakiman.
2. Pendidikan dalam Perspektif Ibnu Khaldun
Sebagai seorang pemikir, Ibnu Khaldun adalah produk sejarah. Menurut A. Luthfi As-
Syaukaniy dari sini muncul apa yang disebut sejarah pemikiran atau sejarah intelektual.
Istilah “pemikir” merupakan sesuatu yang ambigu dan dapat diterapkan kepada siapa
saja yang memiliki spesialisasi tertentu. Ia dapat diterapkan kepada Philosoper, Thinker,
Scholar, atau Intelektual yang merujuk kepada figur terpelajar (Lihat Toto Suharto: 2006).
Jelasnya, pemikiran Ibnu Khaldun tidak dapat dipisahkan dari akar pemikiran Islamnya.
Disinilah letak alasan Iqbal mengatakan bahwa seluruh semangat al-Muqaddimah yang
merupakan manifestasi pemikiran Ibnu khaldun, diilhami pengarangnya dari al-Quran
sebagai sumber utama dan pertama dari ajaran Islam. Dengan demikian pemikiran Ibnu
Khaldun dapat dibaca melalui setting sosial yang mengitarinya yang diungkapkan baik
secara lisan maupun tulisan sebagai sebuah kecenderungan.
Sementara itu ada yang berpendapat bahwa Ibnu Khaldun mendapat pengaruh dari Ibnu
Rusyd (1126 – 1198) dalam masalah hubungan filsafat dan agama. Dalam bidang
pendidikan, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa pendidikan atau ilmu dan mengajar
merupakan suatu kemestian dalam membangun masyarakat manusia. Hal ini dapat
terlihat pada pandangannya mengenai tujuan pendidikan, yaitu:
1. Memeberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena aktifitas
penting bagi terbukanya pikiran dan kematangan individu yang pada gilirannya
kematangan individu ini bermanfaat bagi masyarakat.
2. Memperoleh berbagai ilmu pengetahuan, sebagai alat yang membantu manusia
agar dapat hidup dengan baik, dalam rangka terwujudnya masyarakat maju dan
berbudaya.
3. Memperoleh lapangan pekerjaan yang dapat digunakan untuk mencari
penghidupan.
Pernyataan-pernyataan ini mengindikasikan bahwa maksud pendidikan menurut Ibnu
Khaldun adalah mentransformasikan nilai-nilai yang diperoleh dari pengalaman untuk
dapat memepertahankan eksistensi manusia dalam peradaban masyarakat. Pendidikan
adalah upaya melestarikan dan mewariskan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat agar
masyarakat tersebut bisa tetap eksis.
Dalam kaitannya dengan peserta didik, Ibnu Khaldun melihat manusia tidak terlalu
menekankan pada segi kepribadiannya sebagaimana yang acapkali dibicarakan para
filosof, baik itu filosof dari golongan muslim atau non-muslim. Ia lebih banyak melihat
manusia dalam hubungannya dan interaksinya dengan kelompok-kelompok yang ada di
masyarakat. Dalam konteks inilah ia sering disebut sebagai salah seorang pendiri sosiolog
dan antropolog.
Menurut Ibnu Khaldun pertumbuhan pendidikan dan ilmu pengetahuan dipengaruhi
oleh peradaban. Ibnu Khaldun berpendapat bahwa adanya perbedaan lapisan sosial
timbul dari hasil kecerdasannya yang diproses melalui pengajaran. Berkenaan dengan
ilmu pengetahuan ini Ibnu Khaldun membaginya kepada tiga macam: 1). Ilmu Lisan; 2).
Ilmu Naqli; 3). Ilmu Aqli.
Disamping beberapqa hal diatas, ibnu Khaldun juga menyoroti masalah kurikulum.
Menurutnya ada tiga kategori kurikulum yang perlu diajarkan kepada peserta didik.
Pertama, kurikulum yang merupakan alat bantu pemahaman. Kurikulum ini mencakup
ilmu bahasa, ilmu nahwu, ilmu balaghah dan syair. Kedua, kurikulum sekunder, yaitu
mata kuliah yang menjadi pendukung untuk memahami Islam. Kurikulum ini meliputi
ilmu-ilmu hikmah seperti: logika, fisika, metafisika, dan matematiuka. Ketiga, kurikulum
primer yaityu mata kuliah yang menjadi inti ajaran Islam. Kurikulum ini meliputi semua
bidang al ulum al naqliyah seperti: ilmu tafsir, ilmu hadist, ilmu qiraat dan sebagainya.

BAB III
KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abudin. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gama Media Pratama.
Fakhri, Majid. 2002. Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis. Bandung: Mizan.

Suharto, Toto. 2006. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz.


Bea Vers, Tedd B. 2001. Paradigma Filsafat Pendidikan Islam (Kontribusi Filosof Muslim).
Jakarta: Riora Cipta.

MEDIA PEMBELAJARAN
January 31st, 2009 by ilmi | Filed under Uncategorized.
MEDIA DALAM PENDIDIKAN ISLAM
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah
Supaya memperoleh deskripsi yang lebih jelas dalam penyajian makalah ini, akan kami
berikan batasan rumusan masalah sebagai berikut :
1. jelaskan definisi atau pengertian media pembelajaran dalam pendidikan islam ?
3. jelaskan fungsi dan kegunaan media pembelajaran dalam pendidikan islam ?
4. jelaskan strategi pemilihan media pembelajaran dalam pendidikan islam
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Media pembelajaran dalam Pendidikan Islam
Sutari Imam Barnadib berpendapat bahwa alat pendidikan adalah “suatu tindakan atau
perbuatan atau situasi atau benda yang dengan tindakan untuk mencapai suatu tujuan
pendidikan”. Sementara Ahmad D. Marimba mendefinisikannya sebagai “segala sesuatu
atau apa yang dipergunakan dalam usaha mencapai tujuan.” Ramayulis mengatakan
bahwa dari beberapa literatur tidak terdapat perbedaan antara alat dengan media
pendidikan. Oleh karenanya, ia tidak membedakan antara alat dengan media. Zakiah
Daradjat juga tidak membedakan antara alat dengan media. Menurutnya, media atau
alat pendidikan meliputi segala sesuatu yang dapat membantu proses pencapaian tujuan
pendidikan.
Dari pengertian yang dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa alat juga merupakan
komponen penting dalam pendidikan. Dengan alat tersebut, tujuan pendidikan akan
mudah untuk dicapai.
B. Macam-macam Media pembelajaran dalam Pendidikan Islam
Adapun jenis dari alat tersebut, tidak saja berupa benda (material) tetapi juga yang
bukan benda (non materi). Menurut Zakiah Dardjat, alat berupa benda ini meliputi:
pertama, media tulis atau cetak seperti al-Qur’an, hadis, tauhid, fiqh, sejarah, dan
sebagainya; kedua, benda-benda alam seperti manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, zat
padat, zat cair, zat gas, dan sebagainya; ketiga, gambar-gambar, lukisan, diagram, peta
dan grafik. Alat ini dapat dibuat dalam ukuran besar dan dapat pula dipakai dalam buku-
buku teks atau bahan bacaan lain; keempat, gambar yang dapat diproyeksi, baik dengan
alat atau tanpa suara seperti foto, slide, film strip, televisi, video, dan sebagainya; dan
kelima, audio recording (alat untuk didengar) seperti karet tape, radio, piringan hitam,
dan lain-lain yang semuanya diwarnai dengan ajaran agama.
Adapun alat yang berupa non-benda, dapat berupa keteladanan, perintah/larangan,
ganjaran dan hukuman, dan sebagainya. Jadi, alat berupa non-benda ini tampaknya
sama dengan metode. Hal ini dapat diterima mengingat bahwa metode juga dapat
disebut sebagai alat pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan.
Dari pembagian alat pendidikan di atas dapat disimpulkan bahwa alat pendidikan
tersebut amat luas cakupannya. Berbagai benda yang ada di alam sekitar dapat dijadikan
sebagai alat, mulai dari hal-hal sederhana, seperti tumbuhan, hewan, bebatuan, hingga
kepada benda-benda yang telah menjadi temuan ilmiah, seperti TV, LCD, komputer, dan
sebagainya. Begitu pula dalam hal non-benda, berbagai metode yang dikenal dalam
pendidikan juga dapat disebut sebagai alat pendidikan.
Dalam al-Qur’an juga ditemukan ayat-ayat yang menunjukkan bahwa pentingnya alat
dalam pendidikan. Makhluk Allah berupa hewan yang dijelaskan dalam al-Qur’an juga
bisa menjadi alat dalam pendidikan. Seperti nama salah satu surat dalam al-Qur’an
adalah an-Nahl yang artinya lebah. Dalam ayat ke 68-69 di surat itu Allah menerangkan
yang artinya adalah sebagai berikut :
Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di
pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia”, kemudian makanlah
dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah
dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-
macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan)
bagi orang-orang yang memikirkan.
Jelaslah bahwa ayat di atas menerangkan bahwa lebah bisa menjadi media atau alat bagi
orang-orang yang berpikir untuk mengenal kebesaran Allah yang pada gilirannya akan
meningkatkan keimanan dan kedekatan (taqarrub) seorang hamba kepada Allah SWT.
Nabi Muhammad SAW dalam mendidik para sahabatnya juga selalu menggunakan alat
atau media, baik berupa benda maupun non-benda. Salah satu alat yang digunakan
Rasulullah dalam memberikan pemahaman kepada para sahabatnya adalah dengan
menggunakan gambar.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan al-Hakim dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata,
”Rasulullah membuatkan kami garis dan bersabda, ”Ini jalan Allah.” Kemudian membuat
garis-garis di sebelah kanan dan kirinya, dan bersabda, ”Ini adalah jalan-jalan (setan).”
Yazid berkata, ”(Garis-garis) yang berpencar-pencar.” Rasulullah SAW bersabda, ”Di
setiap jalan ada setan yang mengajak kepadanya. Kemudian beliau membaca ayat Al-
Qur’an (Q.S. al-An’am/6: 153).yang artinya adalah sebagai berikut :
Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) , karena jalan-jalan itu mencerai
beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.
(Q.S. al-An’am/6: 153).
Hadis di atas terlihat jelas bahwa Rasulullah SAW menggunakan garis-garis sebagai alat
pendidikan untuk menjelaskan apa yang ingin beliau sampaikan kepada para sahabatnya.
Perlu pula ditegaskan bahwa dalam konteks pendidikan Islam, M. Arifin menyebutkan
alat-alat pendidikan harus mengandung nilai-nilai operasional yang mampu
mengantarkan kepada tujuan pendidikan Islam yang sarat dengan nilai-nilai. Nilai-nilai
tersebut tentunya berdasarkan kepada dasar atau karakteristik pendidikan Islam itu
sendiri.
Dewasa ini, pengembangan alat pendidikan semakin pesat seiring dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan Islam juga tetap
melakukan berbagai inovasi termasuk dalam pengembangan penggunaan alat
pendidikan sehingga membantu kelancaran proses pendidikan tersebut. Namun
penggunaan alat tersebut mesti tetap berlandaskan kepada dasar-dasar pendidikan
Islam dan mengacu kepada tujuan yang telah direncanakan.

C. Fungsi dan kegunaan Media pembelajaran dalam Pendidikan Islam


Alat pendidikan memiliki peranan penting dalam proses pendidikan dalam mencapai
statu tujuan. Menurut Yusuf Hadi Miarso, dkk, sebagaimana yang dikutip oleh Ramayulis
bahwa alat/media pendidikan itu mempunyai nilai-nilai praktis yang berupa kemampuan
antara lain: (1) membuat konkrit konsep yang abstrak, (2) membawa obyek yang sukar
didapat ke dalam lingkungan belajar siswa, (3) menampilkan obyek yang terlalu besar, (4)
menampilkan obyek yang tak dapat diamati dengan mata telanjang, (5) mengamati
gerakan yang teralu cepat, (6) memungkinkan keseragaman pengamatan dan persepsi
bagi pengalaman belajar siswa, (7) membangkitkan motivasi belajar, dan (8) menyajikan
informasi belajar secara konsisten dan dapat diulang maupun disimpan menurut
kebutuhan.
Mengenai pentingnya alat ini, Ali Jumbulati juga menyatakan bahwa dalam pekerjaan
mengajar, alat-alat peraga merupakan sarana pembuka cakrawala yang lebih luas, yang
berlawanan dengan kebiasaan merumuskan kalimat-kalimat yang ditulis atau diucapkan.
Di samping itu, alat peraga juga menjadikan pengetahuan anak bersentuhan langsung
dengan pengalaman indrawi yang hakiki. Maka dari itu makna yang terkandung di dalam
komponen pendidikan ini adalah lebih memudahkan anak memahami pelajaran dan
meminimalisir kesalahan dalam penerimaan ilmu yang diajarkan.
Adapun fungsi alat pendidikan, D. Ahmad Marimba menyebutkan setidaknya ada tiga
fungsi alat pendidikan, yaitu sebagai perlengkapan, sebagai pembantu mempermudah
usa mencapai tujuan, dan sebagai tujuan untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi,
seperti tujuan mempelajari bahasa Arab untuk mengetahui isi al-Qur’an. Dengan
demikian, alat pendidikan sangat membantu terwujudnya tujuan pendidikan. Oleh
karena itu, Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain menyebut media sebagai alat bantu
sekaligus sumber belajar.
D. Strategi Pemilihan Media pembelajaran dalam Pendidikan Islam
Dalam memilih dan menentukan alat pendidikan, diperlukan prinsip-prinsip yang harus
dipahami oleh seorang pendidik. Menurut Nana Sudjana mengemukakan ada empat
prinsip yang harus diperhatikan, yaitu:
1) menentukan jenis alat peraga dengan tepat, artinya sebaiknya guru memilih terlebih
dahulu alat peraga manakah yang sesuai dengan tujuan dan bahan pelajaran yang
hendak diajarkan.
2) Menetapkan atau memperhitungkan subjek dengan tepat, artinya perlu
diperhitungkan apakah penggunaan alat peraga itu sesuai dengan tingkat
kematangan/kemampuan anak didik.
3) Menyajikan alat peraga dengan tepat, artinya teknik dan metode penggunaan alat
peraga dalam pengajaran harus disesuaikan dengan tujuan, bahan, metode, waktu, dan
sarana yang ada.
4) Menempatkan atau memperlihatkan alat peragaan pada waktu, tempat, dan situasi
yang tepat. Artinya kapan dan dalam situasi mana pada waktu mengajar alat peraga
digunakan. Tentu tidak setiap saat atau selama proses mengajar terus-menerus
memperlihatkan atau menjelaskan sesuatu dengan alat peraga.
Prinsip yang dikemukakan oleh Nana Sudjana di atas memang lebih berkenaan dengan
alat pendidikan berupa benda. Sementara alat dalam bentuk non-benda pada dasarnya
tidak berbeda dengan prinsip-prinsip dalam menentukan metode, sebab alat non-benda
tersebut juga merupakan bagian dari metode.
E. KESIMPULAN
Media pembelajaran merupakan komponen penting dalam sistem pendidikan Islam.
media pembelajaran sangat membantu proses pendidikan dalam mewujudkan tujuan
pendidikan secara efektif dan efisien. Maka setiap guru/pendidik juga dituntut untuk
kreatif dalam memilih dan menggunakan media pendidikan. Penggunaan media
pembelajaran juga harus mempertimbangkan materi ajar, kondisi siswa/peserta didik,
lingkungan, sarana prasarana, dan aspek-aspek lain yang turut mempengaruhi
penggunaan media tersebut.
Begitu pentingnya media dalam pendidikan, maka pendidik dituntut profesionalitasnya
dalam mengembangkan media tersebut. Pendidik harus mengetahui keunggulan dan
kelemahan dari masing-masing media yang akan digunakan serta menentukan pilihan
yang paling tepat sehingga peserta didik lebih aktif dan kritis dalam proses
pembelajaran. Dan yang paling terpenting adalah dengan media itu, peserta didik
sampai kepada tujuan yang diinginkan.

selain dari profesionalitas dalam menentukan dan menerapkan, pendidik juga dituntut
untuk kreatif dan inovatif dalam menciptakan media pendidikan, baik dalam
memvariasikan antara metode dan alat yang satu dengan lainnya atau menemukan
media yang baru.

DAFTAR PUSTAKA
Tim STKIP-BIM, 2007, Belajar dan Pembelajaran, Bintang , Surabaya.
Winkel, W.S., 1996, Psikolgi Pengajaran, Grasindo, Jakarta.
Bobby DePorter, Mark Reardon, Sarah Singer-Nourie, 1999, Quantum Teaching, PT.
Mizan Pustaka, Bandung
Agus Achmadi, 2007, Guru harus kuasai Tinkom , Majalah Media, Dinas Pdan K Surabaya.
www/gogle.com

Anda mungkin juga menyukai