Anda di halaman 1dari 12

Episode 5

Peristiwa Malari

Hari sudah memasuki malam, sirine ambulans 118 terus meraung bolak-
balik dari berbagai lokasi ke Rumah Sakit Ciptomangunkusumo (RSCM).
Suara tembakan masih terdengar sampai pukul 20.00, terutama di sekitar
Salemba dan Senen. Jam malam sesungguhnya sudah diumumkan berlaku
sejak pukul 18.00 hingga pukul 6.00 pagi.1 Tapi, massa masih memadati
jalan sepanjang Matraman, Salemba, dan Kramat Raya.

Selasa malam itu, 15 Januari 1974, dua orang lagi tewas di depan
kantor Departemen Pertanian. Mereka tertembak peluru aparat keamanan
yang berupaya membubarkan kerumuman massa. Baru pukul 1 dinihari
kemudian mayatnya bisa diangkut oleh ambulans ke kamar jenazah RSCM.

Jakarta terbakar. Dua hari berturut-turut sejak Selasa hingga Rabu.


Asap mengepul di hampir setengah bagian kota. Dari Roxy (barat) hingga
Cempaka Putih dan Bypass (timur), Glodok (utara) hingga Jalan Sudirman
dan Matraman (selatan). Api paling besar melahap pusat pertokoan Senen
yang dibangun tahun 1967 dengan dana Rp 2,7 miliar. Dua blok
bangunannya yang berlantai empat berisi 700 toko, 3 bank (BBD, BNI 46,
dan BPD Jaya), satu klub malam, taman ria anak-anak, fasilitas sauna,
tempat permainan bowling, dan unit perkantoran PT Pembangunan Jaya
gosong disapu si jago merah.

Menhankam/Pangab Jenderal Maraden Panggabean, kepada sidang


pleno DPR (21 Januari 1974), melaporkan sebanyak 807 mobil dan 187
sepeda motor rusak atau dibakar, 144 buah gedung rusak atau terbakar
(termasuk pabrik Coca Cola), dan 160 kilogram emas hilang dari sejumlah
toko perhiasan.2 Dalam kerusuhan dua hari itu jatuh korban 11 orang
meninggal, 177 mengalami luka berat, 120 mengalami luka ringan, dan 775
orang ditangkap.3 Gubernur Jakarta, Ali Sadikin, saat memberi penjelasan di
hadapan guru-guru se-Jakarta yang juga dihadiri oleh Wapang Kopkamtib
Laksamana Sudomo serta Muspida Jakarta di gedung Jakarta Theater, 19
Januari, menyebut angka-angka berbeda: 522 buah mobil dirusak dengan
269 di antaranya dibakar, 137 buah motor dirusak (94 buah dibakar), 5 buah
bangunan dibakar ludes termasuk 2 blok proyek Pasar Senen bertingkat 4
serta gedung milik PT Astra di jalan Sudirman, juga 113 buah bangunan

1 Jam malam dikeluarkan melalui pengumuman yang dikeluarkan oleh Laksus Pangkopkamtib Jaya No: Peng-
002/PK/I/1974 tanggal 15 Januari dan mulai berlaku hari itu juga, disusul oleh dua maklumat dari Laksus
Pangkopkamtib Jaya tentang larangan berkumpul lebih dari lima orang di luar rumah pada siang hari dan penutupan
sekolah dari SD hingga perguruan tinggi mulai 16 Januari 1974.
2 Tempo, Musibah bagi Golongan Menengah dan Atas, 26 Januari 1974.
3 B. Wiwoho dan Banjar Chaerudin. 1990. Memori Jenderal Yoga, Jakarta: PT Bina Reka Pariwara.
lainnya dirusak.4

“Berbagai aksi pembakaran dan pengrusakan oleh massa itu sudah di


luar kendali mahasiswa. Begitu sore hari ada kebakaran di Pasar Senen, saya
sudah mikir pasti ada yang menunggangi aksi mahasiswa,” kata Hariman
Siregar.

Hari itu mahasiswa Jakarta, Bogor, Bandung didukung pelajar baru usai
melakukan demonstrasi. Mereka berjalan dari Universitas Indonesia di
Salemba, Jakarta Pusat, menuju Universitas Trisakti di Grogol, Jakarta Barat.
Sebagian tokohnya sudah kelelahan karena berdemonstrasi menyambut
kedatangan PM Jepang, Tanaka, pada Senin malam.

“Siang, karena capek saya pulang bareng Djodi Wuryantoro naik


motor, baru jam 4 sore ditilpun Hariman katanya ada bakar-bakaran,” kisah
Gurmilang Kartasasmita, salah satu pimpinan rombongan dari UI hari itu.

Mimbar bebas di Trisakti sebagai bagian dari apel mahasiswa belum


usai benar sesungguhnya ketika Gurmilang pulang.

“Iya, saya juga pulang duluan ke kost dekat kampus di Grogol, karena
memang sudah ngantuk sekali,” ujar Jesse A. Monintja, mantan aktivis KAPPI
yang kala itu tercatat sebagai mahasiswa psikologi Universitas Trisakti. Ia
baru tahu adanya huru-hara setelah seorang kawannya menggedor pintu
kamar. Jesse bergegas menuju Balai Budaya, tempat ia biasa berkumpul
dengan aktivis lain, dan bertemu Fikri Jufri (wartawan Tempo). Keduanya lalu
berboncengan skuter melihat situasi.

“Intinya, kami tidak tahu sama sekali bagaimana kerusuhan bisa


terjadi,” timpal Judilherry Justam, mantan Sekjen Dewan Mahasiswa
Universitas Indonesia (DMUI).

Judil adalah pemimpin rombongan paling depan dalam long march UI–
Trisakti. Ia bertahan mengikuti acara apel betul-betul kelar. Menjelang acara
berakhir, tersiar desas-desus tentang adanya kendaraan dirusak dan dibakar
di beberapa jalan. Situasi agak menegang di sebagian mahasiswa. Selewat
tengah hari, mahasiswa memutuskan kembali ke UI menumpang truk-truk
yang dihentikan. Ketika tiba di jalan dekat Museum Nasional, jalanan sudah
ditutup tentara. Truk lalu dibelokkan ke Harmoni dan Jalan Juanda. Namun,
sepanjang Harmoni menuju Senen waktu itu belum terjadi apa-apa. Setiba di
kampus, baru didengar kabar: Senen dibakar. Mahasiswa pun memilih
bertahan di kampus, seorang pun tidak diijinkan keluar.

Menurut catatan mantan Rektor UI, Prof. Mahar Mardjono, bakar-


bakaran sudah terjadi sekitar pukul 11.00 wib. Saat mahasiswa dari berbagai
4 Tempo, opcit.
universitas masih melakukan apel akbar di Trisakti. “Sekelompok mahasiswa
lain—yang diduga mendapatkan janji-janji insentif material dan jabatan dari
kelompok Ali Moertopo—bersama sejumlah massa telah mulai melakukan
sejumlah pengrusakan di bagian kota lain (seperti Pasar Senen, Harmoni dan
Jalan Juanda),” demikian Mahar Mardjono.5

Persiapan apel akbar itu berlangsung sejak pagi. Sejak pukul 8.00
sudah banyak mahasiswa berkumpul di halaman Fakulas Kedokteran UI.
Selain UI, mahasiswa datang diantaranya dari Universitas Kristen Indonesia,
Trisakti, Atmajaya, Nasional, Jayabaya, IKIP Jakarta, Pancasila, IAIN,
Khrisnadwipayana dan Sekolah Tinggi Olahraga. Datang pula beberapa truk
yang mengangkut pelajar yang diorganisir oleh Jusuf A.R. dan Jesse A.
Monintja. Mereka berasal dari 5 rayon eks-pasukan gabungan KAPPI Jakarta
Pusat. Menjelang berangkat, upacara singkat dilakukan. Meja-meja ditumpuk
menjadi mimbar.

“(Soal ini) saya pernah berseloroh kepada Hariman, kalau mahasiswa


‘74 mau buat patung seperti mahasiswa ‘66, simbolnya meja yang
ditumpuk,” kata Sugeng Sarjadi, mantan mahasiswa ITB.

Saat upacara menjelang berangkat, sebuah helikopter terbang rendah


berkeliling di atas kampus. Raungan suaranya ditimpali teriakan mahasiswa,
“kami bukan makar.” Sementara di luar pagar, polisi telah menjaga ketat.6

Lalu barisan mulai bergerak. Seluruhnya sekitar 500-an orang dibagi


dalam beberapa barisan. Judilherry berada di barisan muka. Didahului oleh
barisan yang memakai tameng bergambar tengkorak lalu saf berbendera
merah putih. Disusul rombongan yang dipimpin oleh Gurmilang
Kartasasmita. Hariman sendiri ada di barisan ketiga bersama Eko Djatmiko
dan Salim Hutadjulu. Paling belakang adalah beberapa truk yang melaju
dengan kecepatan rendah.

Bambang Sulistomo dengan pengeras suara berteriak, “aksi


mahasiswa bukan makar.” Sementara poster-poster dibentangkan,
diantaranya bertulis, “Get Out Japan”, “Menerima Tanaka=Menerima
Kolonialis”, “Tolak Dominasi Ekonomi Jepang”, “Ganyang Antek-antek
Kolonialis Jepang”, “Menghimpun Kekuatan Budak-budak Kapitalis
Jepang=Makar” dan “Mahasiswa Militan, Tanaka You Genit, deh. Bagero”.

Rute yang ditempuh: UI-Kramat Raya-Raden Saleh-Gedung LIA Cikini-


Tugu Tani-Merdeka Selatan. Di Jalan Merdeka Selatan ini sebagian peserta
long march sempat menurunkan bendera Jepang yang berdampingan

5 Antony Z. Abidin, dkk. 1997, Mahar: Pejuang, Pendidik dan Pendidik Pejuang, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
bekerja sama dengan Ikatan Alumni UI (Iluni).
6 Rum Aly. 2004. Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter: Gerakan Kritis Mahasiswa Bandung di Panggung
Politik Indonesia 1970-1974, Jakarta: Penerbit Kompas.
dengan bendera Merah Putih. “Jangan dirusak, asal turun dan bawa saja,”
seru pemimpin rombongan melalui pengeras suara.

Tentara dari berbagai kesatuan lengkap dengan kendaraan lapis baja


telah menjaga ketat jalan menuju Monumen Nasional.7 Wakil Panglima
Kopkamtib, Laksamana Sudomo, telah menambah dua batalyon pasukan
untuk menjaga sekeliling istana.8 Penjagaan ketat juga dilakukan di kantor
Wapres Sri Sultan Hamengkubuwono. Mahasiswa gagal menurunkan bendera
menjadi setengah tiang di sini. Tetapi sukses di Balai Kota Gubernur,
sehingga mereka bersorak kegirangan.

Perjalanan berlanjut ke Jalan Merdeka Barat. Di jalan ini Kopkamtib dan


Menteri Pertahanan berkantor. Di dalamnya tengah berlangsung rapat
Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti). Pemimpin rapat adalah
Ketua Wanjakti yang juga Menhankam/Pangab Jenderal Maraden
Panggabean. Diikuti antarai lain oleh wakilnya, Pangkopkamtib Jenderal
Soemitro, dan Jenderal Soerono.9

Dari Merdeka Barat, lalu belok ke kiri melalui Museum Nasional. “Di sini
kalau jalan terus menuju Jalan Tanah Abang II seperti rute yang ditetapkan,
tapi saya belokkan sebentar ke Tanah Abang III,” kisah Judilherry. Di Tanah
Abang III ini terdapat kantor Golkar. “Tidak ada polisi yang jaga. Pucat semua
orang-orang di sana ketika kami datang. Kita maki-maki Golkar di situ.”

Hanya beberapa menit di sana, sekadar bernyanyi “Aspri dan komisi”,


rombongan besar itu menuju Cideng, kemudian Roxy, dan kira-kira pukul
10.30 sudah tiba di kampus Trisakti. Di sini, apel akbar digelar: orasi, puisi,
bernyanyi dan memaki-maki boneka yang digambarkan sebagai Asisten
Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto.

Manakala mahasiswa sudah kembali ke kampus masing-masing, asap


tebal sudah mengepul dari berbagai titik di pusat kota. Keletihan melanda
Hariman. Jam tidurnya telah berkurang banyak pada beberapa hari terakhir.
Semalam pun mata baru terlelap untuk dua-tiga jam, karena memimpin
rapat sampai tengah malam sebelum akhirnya dialihkan kepada Gurmilang.
Agaknya, ini kali akan sama.

***

Larangan berkumpul di siang hari tidak ditaati massa. Pengumuman

7 Rum Aly. 2004, ibid.


8 Julius Pour. 1997. Laksamana Sudomo: Mengatasi Gelombang Kehidupan, Jakarta: Gramedia Widiasarana.
9 Menurut catatan dalam Biografi Jenderal Soemitro (Heru Cahyono. 1998. Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan
Peristiwa 15 Januari 1974, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan), rapat ini salah waktu dan salah posisi. Jenderal
Panggabean pun tak mengizinkannya dan terus menerus menahan Soemitro untuk bertahan di rapat dan
menyerahkan penanganan kepada Wapangkopkamtib Laksamana Soedomo.
dan maklumat yang dikeluarkan Laksus Kopkamtib Jaya, 15 Januari, tumpul
pada esok harinya. Massa tetap berkerumun di jalan. Beberapa rumah
petinggi dikepung, diantaranya rumah Ali Moertopo di Matraman dan rumah
Soedjono Hoemardani. Beberapa bangunan di Jalan Blora dibakar; gedung
Pertamina di Kramat Raya yang diserbu massa, isinya dikeluarkan dan
dibakar, mobil-mobil yang ada di kantor gedung itu pun dibakar.

Hampir seluruh petinggi ABRI pun turun ke jalan hari Rabu, 16 Januari,
itu. Menhankam/Pangab Jenderal Maraden Panggabean mendatangi
kerumunan massa di Kramat Raya. Pangkopkamtib Jenderal Soemitro juga
beredar di jalanan. Begitu juga Kepala Kepolisian Jakarta. Reaksi mereka
seolah melengkapi ketidakhadiran malam sebelumnya di Istana, tempat
jamuan makan malam bersama PM Jepang, Tanaka, diselenggarakan. Dari
68 undangan, makan malam itu hanya dihadiri oleh 17 orang.

Siang hari, Jenderal Soemitro memberikan keterangan pers didampingi


oleh Ali Moertopo, Soedjono Hoemardani, Wapangkopkamtib Sudomo dan
petinggi-petinggi ABRI lainnya. Ia mengumumkan akan dilakukannya
sejumlah penangkapan. “Keadaan telah memaksa kami yang telah sabar
sampai batasnya, terpaksa bertindak keras dan di sana sini dengan
mempergunakan kekerasan,” ancam Soemitro. “Siapa pun dan kepada
kekuatan sosial apapun bentuknya, yang masih belum mengerti keadaan
sekarang dan membantu secara langsung maupun tidak langsung
menambah ketegangan yang ada, kami terpaksa akan bertindak tegas. Dan,
hal ini sudah cukup kami pertanggungjawabkan terhadap hati nurani kami.”

Serangkaian penangkapan memang betul-betul dilakukan. Hariman


Siregar, Gurmilang Kartasasmita, Theo L. Sambuaga, Bambang Sulistomo,
Purnama dan Salim Hutadjulu merupakan nama-nama yang masuk dalam
gelombang penangkapan pertama. Lalu disisul Dorodjatun Kuntjoro-Jakti.
Penangkapan berikutnya dilakukan kepada Fahmi Idris, Sugeng Sarjadi10,
Marsillam Simandjuntak, Adnan Buyung Nasution, H.J.C. Princen, Imam
Waluyo, Jusuf A.R., Jesse A. Monintja, Laksamana Muda Mardanus dan
Purnama. Sejumlah tokoh yang dikaitkan dengan Partai Sosialis Indonesia
(PSI) pun ditangkap, yakni: Prof. Sarbini Somawinata, Soebadio Sastrosatomo
dan Moerdianto. Gelombang berikutnya adalah Sjahrir, Rahman Tolleng,
Soemarno dan Ramadi. Terakhir ditangkap: Mochtar Lubis, pemimpin harian
Indonesia Raya yang penerbitannya kemudian ditutup selamanya oleh
Sudomo.11

10 Kepada Tim Penulis buku ini, Sugeng Sarjadi mengaku tidak pernah ditangkap karena Malari. Penyebutan
namanya muncul di koran yang terbit keesokan hari setelah pengumuman dari Laksus Kopkamtib. Yang ditangkap
di lokasi dan pada hari penangkapan Fahmi Idris adalah Nurcholish Madjid yang kemudian dikeluarkan pada hari itu
juga.
11 Ramadi adalah anggota MPR dari Golkar dan Komisaris PT Ravitex. Ia disebut-sebut dalam “dokumen Ramadi”
sebagai orang yang dekat dengan Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani.
Menanggapi kerusuhan yang meluas tersebut, Hariman Siregar tampil
ke depan. Dalam pernyataan yang disiarkan langsung oleh TVRI, Hariman
mengatakan bahwa DMUI mengutuk tindakan perusakan dan huru-hara yang
terjadi. Ia menjelaskan bahwa aspirasi DMUI sudah jelas. Dan ini bisa
dibedakan dengan tindakan kerusuhan yang dilakukan pemuda karena
punya program. “Kami menyesalkan tindakan kerusuhan tersebut. Karena
ekses-eksesnya mengaburkan perjuangan kami kepada pemerintah,” tegas
Hariman.12

Sikap mahasiswa itu kembali ditegaskan lewat pernyataan Dewan


Mahasiswa se-Jakarta yang dikeluarkan, sehari setelah kerusuhan terjadi.
Dalam pernyataan itu dinyatakan bahwa: 1) tindakan pengrusakan yang
telah dilakukan massa adalah tindakan destruktif, tidak bertanggungjawab,
dan mengarah anarkhis, dan nyata-nyata merusak citra mahasiswa; 2)
mahasiswa menyesalkan dan menyatakan prihatin atas kejadian yang telah
menyebabkan kerugian material dan moral itu; 3) diserukan kepada seluruh
mahasiswa untuk siaga di tempat, tetap memelihara ketertiban dan tidak
terpancing oleh provokasi; 4) diserukan kepada masyarakat agar mereka
menjaga ketertiban demi tercapainya aspirasi perjuangan mahasiswa yang
murni.

Awal Januari 1974 suhu politik nasional memang makin memanas.


Melanjutkan pidato Hariman Siregar dalam malam tirakatan 31 Desember
1973, di awal Januari 1974 para mahasiswa menggelar berbagai aksi.
Tanggal 10 Januari dideklarasikan “Tiga Tuntutan Rakyat” (Tritura) yang
baru dirumuskan: pembubaran dwifungsi ABRI, penurunan harga-harga,
pemberantasan korupsi. Dua hari kemudian pada pertemuan mahasiswa
yang diorganisasi oleh Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, patung-
patung Sudjono Humardani, Ali Murtopo, Tanaka dan Widodo Budidarmo
(Kepala Kepolisian Jakarta) dibakar. DM dari berbagai kota, terutama
Bandung dan Bogor, berpartisipasi dalam demonstrasi yang terjadi di
Jakarta.

Demonstrasi lain juga terjadi di Makassar. Akibatnya, dua anggota


Angkatan Muda Sulawesi (AMS) diajukan ke pengadilan: M. Zubair Bakri dan
Drs. Yuus Teken. Mereka dituduh memainkan peranan penting dalam
kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk merongrong pemerintah yang sah.13

Aksi-aksi menentang ASPRI dan Jepang juga marak. Di Jakarta dan


Bandung, boneka-boneka yang menggambarkan sosok Sudjono
Hoemardhani dan Kakuei Tanaka (Perdana Menteri Jepang) dibakar massa-
demonstran. Aksi ini merupakan “pemanasan” untuk menyambut kunjungan
Tanaka ke Indonesia sepanjang tanggal 14-16 Januari 1974 itu. “Kita bahkan
demo ke Istana Negara dan Jalan Cendana. Sejak itu, Opsus mulai marah dan
12 Hariman Siregar; opcit
13 C. Van Dijk. 2000. Opcit.
mengancam akan menjatuhkan gue,” kata Hariman. Toh, Hariman nggak
takut dengan ancaman-ancaman tersebut.

Karena berbagai aksi yang marak itu, Presiden Soeharto pun bersedia
menerima delegasi mahasiswa. Maka, pada 11 Januari 1974, tiga hari
sebelum Tanaka datang, Presiden Soeharto mengajak mahasiswa berdialog.
Hariman, selaku Ketua DMUI, hadir bersama delegasi 34 dewan mahasiswa
perguruan tinggi se-Jawa. Dalam pertemuan yang berlangsung selama dua
jam itu, delegasi mahasiswa yang hadir ada sekitar 100 orang.

Dalam kesempatan ini, Hariman menyampaikan Petisi 24 Oktober


1973, yang isinya: Pertama, mengingatkan kepada pemerintah, militer,
intelektual, teknokrat dan politisi agar meninjau kembali strategi
pembangunan. Sehingga di dalamnya terdapat keseimbangan bidang sosial,
politik, dan ekonomi yang anti kemiskinan, kebobrokan dan ketidakadilan.
Kedua, meminta agar rakyat segera dibebaskan dari tekanan ketidakpastian
dan pemerkosaan hukum, merajalelanya korupsi dan penyelewengan
kekuasaan, kenaikan harga dan pengangguran. Ketiga, lembaga penyalur
pendapat masyarakat harus kuat dan berfungsi, serta masyarakat harus
mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk berpendapat dan
berbeda pendapat.

Pada pertemuan di Istana Merdeka itu, beberapa wakil dewan


mahasiswa sempat memaki-maki Presiden Soeharto dan mengecam habis
para ASPRI Presiden, yang bertindak melebihi pejabat-pejabat resmi dan
memperkaya diri secara tidak sah. “Soeharto sih senyum-senyum saja. Eh,
menjelang pertemuan bubar, banyak aktivis DM yang minta foto bareng
Soeharto. Ha…ha…,” kenang Hariman.

Menjawab tuntutan mahasiswa itu, Soeharto tak menjanjikan apapun.


Ia hanya mengucapkan akan memperhatikan aspirasi mahasiswa yang
berkembang di kalangan mahasiswa di masa depan. Respon Soeharto itu
tentu saja tak memuaskan mahasiswa. “Teman-teman kemudian mendesak
agar perjuangan terus dilanjutkan. Mereka minta DM perguruan tinggi se-
Jawa membuat pernyataan politik menyambut kedatangan Perdana Menteri
Tanaka,” kata Hariman.

Pada 12 Januari 1974, mahasiswa kembali melanjutkan demonstrasi


anti dominasi ekonomi Jepang sekaligus anti ASPRI. Boneka-boneka yang
menggambarkan diri Sudjono Humardani dan Perdana Menteri Jepang Kakue
Tanaka kembali dibakar.

Tanggal 14 Januari 1974 malam, Perdana Menteri Tanaka datang ke


Indonesia. Jalan menuju Bandara Halim Perdanakusuma diblokir mahasiswa.
Menteri-menteri yang datang untuk menjemput pun tidak diberi jalan,
kecuali Menko Kesra Surono. Meski wilayah di sekitar Halim Perdanakusuma
dijaga ketat aparat keamanan, beberapa aktivis berhasil menerobos sampai
ke landasan pacu. Begitu Tanaka turun dari tangga pesawat, mereka pun
membentangkan poster-poster bernada protes. Melihat itu, aparat
keamanan segera mengamankan para aktivis mahasiswa tersebut.

Malam itu juga, DM perguruan tinggi se-Jawa mengadakan rapat di


Student Centre UI, Salemba, untuk membahas undangan dialog dengan PM.
Tanaka di Istana Negara (15 Januari 1974). Mereka juga memperbincangkan
statement Menhankam/Pangab Jenderal Maraden Panggabean yang
menyatakan bahwa gerakan mahasiswa menjurus makar.

Selain para mahasiswa, sejumlah unsur non-kampus juga ikut dalam


rapat tersebut. Mereka itu, antara lain, Jesse A. Monintja, Jusuf AR, dan Jopie
Lasut. Kedatangan unsur-non kampus itu berkaitan dengan usulan untuk
mengoordinasi demonstrasi pelajar sekolah dan mahasiswa selama
kunjungan Tanaka. Menurut Jopie Lasut, usulan itu diinspirasi oleh
pernyatana Kepala Kepolisian Jakarta Widodo Budidarmo, beberapa hari
sebelumnya, bahwa demonstrasi terbagi dalam dua kategori: demonstrasi
mahasiswa adalah “bersih”, sedangkan demonstrasi di luar lingkungan
universitas adalah demonstrasi liar. Pernyataan Widodo diikuti
pernyataannya pada 14 Januari di radio yang menyebutkan bahwa setelah
dipelajari, aksi-aksi tersebut telah mencapai titik di mana mereka dapat
berubah menjadi kegiatan subversif.

Yang mengajak Jusuf A.R., Jesse A. Monintja dan Jopie Lasut ke Student
Center adalah Syahrir. Sebelum ikut pertemuan, mereka menunggu di luar.
Pada pertengahan pertemuan, Theo L. Sambuaga terlihat keluar ruangan.
Setelah diberitahu tentang rencana untuk mengoordinasi demonstrasi itu,
Theo mengatakan bahwa rencana semacam itu memerlukan persetujuan
Hariman Siregar. Mereka lalu menulis catatan untuk Hariman Siregar.
Setelah membacanya, Hariman mengundang mereka bergabung dalam
pertemuan.

Setelah pertemuan berakhir, diskusi pendek terjadi antara tiga


perwakilan gerakan pelajar dan John Pangamanan (Ketua DM Sekolah Tinggi
Olahraga), Pataniari Siahaan (Ketua DM Univ Trisakti) dan Hariman Siregar.
Disepakati bahwa pelajar-pelajar sekolah akan berpartisipasi dalam rencana-
rencana para mahasiswa. Setelah itu pertemuan terjadi dengan Eko
Djatmiko.

Rapat yang dipimpin Hariman sendiri berlangsung alot. Tema yang


dibicarakan adalah apakah massa dalam aksi demo besoknya akan dilokalisir
di Monas, atau turun ke jalan-jalan. Sebagian peserta rapat bersikeras massa
dilokalisir di Monas saja, tapi sebagian lagi ngotot agar massa turun ke jalan-
jalan ibukota. Akhirnya, dicapai kata sepakat aksi akan dipusatkan di kampus
Universitas Trisakti di kawasan Grogol. Tapi, massa mahasiswa akan berjalan
dari kampus-kampus di Jakarta, dengan “titik-singgung” kawasan Monas.
Maksudnya, massa mahasiswa yang berjalan akan melewati kawasan Monas,
dan membawa massa di Monas ke kampus Trisakti.

Setelah dicapai kata sepakat, rapat dilanjutkan dengan membicarakan


konsep rute perjalanan massa dari kampus UI di Salemba menuju kampus
Trisakti di kawasan Grogol. Rapat ini dipimpin Gurmilang Kartasasmita. “Rute
perjalanan saya susun berdasarkan pengalaman memimpin demonstrasi
sebagai Ketua KAPPI Rayon Setiabudi di tahun 1967,” kata Gurmilang.

***

Lantas, apa sesungguhnya Peristiwa Malari? Ada banyak versi yang


diungkap berbagai pengamat sosial-politik terhadap Peristiwa Malari:
merupakan ekses konflik internal di kalangan elit politik; ledakan
ketidakpuasan kelompok kelas menengah pribumi terhadap strategi
pembangunan Orde Baru; sampai peristiwa yang didalangi oleh oknum-
oknum PSI dan Masjumi.

Hariman Siregar dianggap telah melakukan perbuatan melawan,


merongrong wibawa bahkan berniat menjatuhkan kekuasaan pemerintahan
yang ada. Subversi. Hariman Siregar kemudian dianggap menjadi tokoh
sentral gerakan Malari. Bukan hanya pada tahun-tahun 1974-1975, namun
terus hingga lebih dari 30 tahun berikutnya. Nama Hariman Siregar lalu
selalu dilekatkan dengan atribut: tokoh Malari. Dan di sinilah kesalahan
mulai terjadi.

Faktanya, kerusuhan, pembakaran, pencurian, dan pengrusakan


hingga lepasnya 11 nyawa, merupakan suatu aksi terpisah dari gerakan
mahasiswa yang memprotes dominasi modal asing, mengkritik strategi
pembangunan pemerintah Soeharto dan mengecam korupsi di
pemerintahan. Aksi itu bukan dirancang dan digerakkan atau dilakukan oleh
gerakan mahasiswa yang di Jakarta dimotori oleh Dewan Mahasiswa
Universitas Indonesia (DMUI) dengan ketua umumnya Hariman Siregar. Aksi
kekerasan itu juga sulit disebut sebagai inisiatif masyarakat yang setuju
pada isi protes mahasiswa. Maka, menyebut Hariman Siregar sebagai tokoh
sentral “gerakan Malari” mengandaikan tuduhan yang dibacakan Jaksa
Penuntut Umum di persidangan Hariman di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
bulan Agustus 1974, sebagai kebenaran mutlak. Pengandaian ini
membenarkan bahwa aksi-aksi kekerasan yang terjadi menyusul
demonstrasi mahasiswa disponsori atau setidaknya didukung oleh DMUI.

Mantan Pangkopkamtib Jenderal Soemitro, melalui memoarnya,14


14 Heru Cahyono. 1998. Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
mengungkapkan bahwa kelompok Operasi Khusus (Opsus)15 yang
bertanggung jawab terhadap kerusuhan tersebut. Opsus merancang suatu
operasi untuk menetralisasi posisi Soemitro sebagai Pangkopkamtib,
mahasiswa dan golongan-golongan yang dianggap bisa menghalangi ambisi
politik Ali Moertopo. Operasi itu dilancarkan dengan cara menunggangi
rencana apel mahasiswa pada 15 Januari 1974 dengan serangkaian aksi
kerusuhan dan huru hara. Sasaran kerusakan seperti mobil-mobil Jepang,
kantor Toyota Astra dan Coca Cola sengaja ditentukan agar mengesankan
bahwa kerusuhan memang benar-benar dibuat mahasiswa. Soemitro
menunjuk serangkaian rapat dan pertemuan rahasia di Jalan Sabang, Jalan
Salemba dan Jalan Timor (semuanya di Jakarta Pusat) guna mendukung
kesimpulannya.

Tapi, menurut Hariman Siregar sendiri, yang merupakan tokoh sentral


gerakan itu: “Peristiwa Malari adalah puncak dari gerakan kritis terhadap
konsep pembangunan yang dilakukan pemerintah Orde Baru saat itu.”
Gugatan terhadap strategi pembangunan itu juga berkaitan dengan ekses-
eksesnya yang sudah terlihat jelas saat itu, seperti mis-manejemen
pembangunan, korupsi, kesenjangan sosial-ekonomi, dan dominasi modal
asing.

Isu-isu tersebut berhasil digerakkan DM-UI yang berhasil tampil


sebagai lembaga sentral yang dapat mempersatukan kekuatan berbagai
potensi aksi. Di situlah, letak strategisnya aksi atau gerakan pemuda dan
mahasiswa dibanding gerakan kaum buruh dan tani. Perjuangan mereka
yang disebut belakangan umumnya lebih tertuju kepada kepentingan
mereka sendiri.

Bagi kaum buruh, misalnya, isu gerakan mereka biasanya seputar:


kebebasan berserikat, jaminan keamanan dan keselamatan kerja serta
tuntutan kenaikan upah. Isyu gerakan kaum tani, selalu berkisar soal lahan
(tanah), alat-alat produksi dan tuntutan kenaikan harga hasil tani.
Sedangkan, isu gerakan pemuda dan mahasiswa jauh lebih luas, bersifat
lintas sektoral, karena umumnya tertuju pada upaya-upaya mengangkat
masalah-masalah publik, dengan maksud agar semua orang mengetahuinya
serta turut memikirkan dan menyelesaikannya.

Adnan Buyung Nasution juga menilai bahwa, “Gerakan mahasiswa itu


saya yakini merupakan gerakan yang murni, mandiri, dan independen, tidak
mengekor siapapun. Yang dihantam adalah rezim Soeharto: baik
Soehartonya, Ali Moertoponya, maupun Soemitronya…..Saya heran kalau
gerakan mahasiswa dan cendekiawan disangkutpautkan dengan salah satu
pihak. Tidak betul itu.”16
15 Dipimpin oleh Asisten Pribadi Presiden Soeharto, Ali Moertopo.
16 Lihat Ramadhan KH dan Nina Pane; Adnan Buyung Nasution: Dirumahkan Soekarno, Dipecat Soeharto; 2004,
Aksara Karunia.
Yang jelas, dari Peristiwa Malari ada beberapa hal yang dapat dijadikan
acuan, yakni bahwa: Pemuda dan Mahasiswa memang mampu menciptakan
isu yang memimpin untuk melakukan perubahan; perlu adanya lembaga
sentral guna mempersatukan berbagai potensi aksi yang ada; untuk sampai
ke suatu gerakan yang menyeluruh diperlukan waktu yang cukup panjang
dan terus-menerus; serta dukungan media-massa sangat diperlukan.17

Soemitro menyebutkan “para pemain” yang bertanggung jawab terdiri


dari “jaringan intel lepas” Opsus, CSIS yang berjaringan dengan Opsus,
sejumlah tokoh GUPPI (Gabungan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam)—
ormas Islam yang direkrut Ali Moertopo untuk memenangkan Golkar dalam
Pemilu 1971, dan sejumlah massa binaan Ali Moertopo yang terdiri dari
preman, tukang becak dan bekas-bekas DI/TII. Komando operasi
pembakaran dipimpin oleh anggota Opsus, Bambang Trisulo SH (almarhum)
dengan didukung oleh Freddy Latumahina, Leo Tomasoa (seorang preman
Ambon) dan Aulia Rahman. Konsep penunggangan ini dibahas oleh tokoh-
tokoh CSIS18 pendukung Opsus diantaranya kakak beradik Liem Bian Koen
(Sofyan Wanandi) dan Liem Bian Kie (Yusuf Wanandi), serta Cosmas
Batubara. Sementara dana operasi disebutkan sebesar Rp 100 juta. Untuk
dana operasi preman saja, Bambang Trisulo mengeluarkan uang sebesar Rp
30 juta. Angka ini tergolong amat besar pada masa itu mengingat nilai tukar
rupiah terhadap dolar Amerika Serikat masih di bawah Rp 400 per 1 USD.

Peristiwa Malari juga berbuntut pembredelan 12 koran dan majalah di


Jakarta, Bandung, Surabaya dan Makassar. Ke-12 penerbitan yang surat ijin
terbit-nya (SIT) dicabut: Indonesia Raya, Pedoman, Abadi, Harian KAMI,
Nusantara, Jakarta Times, Mingguan Wenang, Pemuda Indonesia, Majalah
Ekspress (Jakarta), Suluh Berita (Surabaya), Mingguan Mahasiswa Indonesia
(Bandung), dan Indonesia Pos (Ujung Pandang). Di Jakarta, selain
pencabutan SIT, masih ditambah pencabutan surat ijin cetak (SIC) oleh
Pelaksana Khusus Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban Jakarta Raya
(Laksus Kopkamtib Jaya).

Mereka dianggap menerbitkan berita yang menjurus ke arah usaha-


usaha melemahkan sendi-sendi kehidupan nasional, dengan mengobarkan
isu-isu seperti modal asing, korupsi, dwi fungsi, kebobrokan aparat
pemerintah, pertarungan tingkat tinggi; merusak kepercayaan masyarakat
pada kepemimpinan nasional; menghasut rakyat untuk bergerak
mengganggu ketertiban dan keamanan negara; menciptakan peluang untuk
mematangkan situasi yang menjurus pada perbuatan makar.19

17 Hariman Siregar; Gerakan Mahasiswa 1970-an; makalah pengantar diskusi dalam pertemuan “Mengembangkan
Wawasan ke-2” yang diselenggarakan oleh mahasiswa Indonesia di Kanada dan Amerika Serikat, bertempat di
Madison-Wisconsin, USA, 4 Juni 1995.
18 Centre for Strategic and International Studies, lembaga think thank.
19 Ignatius Haryanto. 1996. Pembredelan Pers di Indonesia: Kasus Koran Indonesia Raya, Jakarta: LSPP.
Akibat peristiwa 15 Januari 1974 selanjutnya adalah reorganisasi di
tubuh kekuasaan. Jenderal Soemitro mengundurkan diri dari jabatan
Pangkopkamtib, Presiden Soeharto menghapuskan jabatan Aspri yang
disandang Ali Moertopo, mengganti Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara
(BAKIN) yang dipegang oleh Letjen Sutopo Juwono—dianggap orang dekat
Soemitro—dengan Mayjen Yoga Soegama.

Menyimak berbagai buntut peristiwa pasca Malari, Eep Saefulloh Fatah


memilih melihat peristiwa ini sebagai keberhasilan Presiden Soeharto
menerapkan manajemen konflik dalam pemerintahannya. Tujuannya (1)
membentuk tertib politik atau stabilitas dan (2) mewujudkan dan
mengefektifkan kekuasaan. Secara umum stabilitas yang bisa tercipta dari
manajemen konflik adalah stabilitas konsensual atau stabilitas yang dibentuk
berdasarkan konsensus antara negara dan masyarakat, dan stabilitas
otokratis atau stabilitas yang diciptakan melalui paksaan, koersif, represi dan
“menendang” semua pihak yang tidak sepakat dan sejalan dengan nilai dan
kepentingan negara.20 Kata “negara” pada aras politik bisa disamakan
dengan: penguasa. Sengaja atau tidak Presiden Soeharto menemukan satu
momentum untuk ‘meringankan’ beban perseteruan dalam tubuh kekuasaan
yang dipimpinnya melalui Malari.21

Maka, bagi gerakan mahasiswa, Malari justru menjadi suatu titik balik
atau anti-klimaks dari perannya sebagai pengontrol kekuasaan. Mahasiswa
tak lagi bebas memerankan student government melalui kampus, aktivitas
politik mahasiswa dilikuidasi, tridharma perguruan tinggi yang salah satunya
berbunyi pengabdian masyarakat dibatasi pada aktivitas kerja bakti dan
memberi bantuan ke desa-desa. Akibatnya, konsolidasi dan aksi mahasiswa
sebagai kekuatan politik yang mengontrol pemerintah berlangsung dalam
skala lebih kecil dibanding awal 1970-an. Periode pasca Malari: mulai akhir
1970-an, periode normalisasi kehidupan kampus (NKK) 1980-an, gerakan
mahasiswa 1990-an, hingga gerakan tahun 1998 yang mengakibatkan
jatuhnya kekuasaan Soeharto, nama Hariman Siregar tetap lekat pada
berbagai kegiatan konsolidasi dan protes mahasiswa. Ia menjadi benang
merah dari setiap gerakan kaum muda yang lahir sesudahnya. Maka tidak
tepat menyebutnya tokoh sentral gerakan Malari.

20 Eep Saefulloh Fatah. 2010. Konflik, Manipulasi dan Kebangkrutan Orde Baru: Manajemen Konflik Malari,
Petisi 50 dan Tanjung Priok, Jakarta: Burungmerak Press.
21 Rum Aly. 2004. Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter: Gerakan Kritis Mahasiswa Bandung di Panggung
Politik Indonesia 1970-1974, Jakarta: Penerbit Kompas.

Anda mungkin juga menyukai