Peristiwa Malari
Hari sudah memasuki malam, sirine ambulans 118 terus meraung bolak-
balik dari berbagai lokasi ke Rumah Sakit Ciptomangunkusumo (RSCM).
Suara tembakan masih terdengar sampai pukul 20.00, terutama di sekitar
Salemba dan Senen. Jam malam sesungguhnya sudah diumumkan berlaku
sejak pukul 18.00 hingga pukul 6.00 pagi.1 Tapi, massa masih memadati
jalan sepanjang Matraman, Salemba, dan Kramat Raya.
Selasa malam itu, 15 Januari 1974, dua orang lagi tewas di depan
kantor Departemen Pertanian. Mereka tertembak peluru aparat keamanan
yang berupaya membubarkan kerumuman massa. Baru pukul 1 dinihari
kemudian mayatnya bisa diangkut oleh ambulans ke kamar jenazah RSCM.
1 Jam malam dikeluarkan melalui pengumuman yang dikeluarkan oleh Laksus Pangkopkamtib Jaya No: Peng-
002/PK/I/1974 tanggal 15 Januari dan mulai berlaku hari itu juga, disusul oleh dua maklumat dari Laksus
Pangkopkamtib Jaya tentang larangan berkumpul lebih dari lima orang di luar rumah pada siang hari dan penutupan
sekolah dari SD hingga perguruan tinggi mulai 16 Januari 1974.
2 Tempo, Musibah bagi Golongan Menengah dan Atas, 26 Januari 1974.
3 B. Wiwoho dan Banjar Chaerudin. 1990. Memori Jenderal Yoga, Jakarta: PT Bina Reka Pariwara.
lainnya dirusak.4
Hari itu mahasiswa Jakarta, Bogor, Bandung didukung pelajar baru usai
melakukan demonstrasi. Mereka berjalan dari Universitas Indonesia di
Salemba, Jakarta Pusat, menuju Universitas Trisakti di Grogol, Jakarta Barat.
Sebagian tokohnya sudah kelelahan karena berdemonstrasi menyambut
kedatangan PM Jepang, Tanaka, pada Senin malam.
“Iya, saya juga pulang duluan ke kost dekat kampus di Grogol, karena
memang sudah ngantuk sekali,” ujar Jesse A. Monintja, mantan aktivis KAPPI
yang kala itu tercatat sebagai mahasiswa psikologi Universitas Trisakti. Ia
baru tahu adanya huru-hara setelah seorang kawannya menggedor pintu
kamar. Jesse bergegas menuju Balai Budaya, tempat ia biasa berkumpul
dengan aktivis lain, dan bertemu Fikri Jufri (wartawan Tempo). Keduanya lalu
berboncengan skuter melihat situasi.
Judil adalah pemimpin rombongan paling depan dalam long march UI–
Trisakti. Ia bertahan mengikuti acara apel betul-betul kelar. Menjelang acara
berakhir, tersiar desas-desus tentang adanya kendaraan dirusak dan dibakar
di beberapa jalan. Situasi agak menegang di sebagian mahasiswa. Selewat
tengah hari, mahasiswa memutuskan kembali ke UI menumpang truk-truk
yang dihentikan. Ketika tiba di jalan dekat Museum Nasional, jalanan sudah
ditutup tentara. Truk lalu dibelokkan ke Harmoni dan Jalan Juanda. Namun,
sepanjang Harmoni menuju Senen waktu itu belum terjadi apa-apa. Setiba di
kampus, baru didengar kabar: Senen dibakar. Mahasiswa pun memilih
bertahan di kampus, seorang pun tidak diijinkan keluar.
Persiapan apel akbar itu berlangsung sejak pagi. Sejak pukul 8.00
sudah banyak mahasiswa berkumpul di halaman Fakulas Kedokteran UI.
Selain UI, mahasiswa datang diantaranya dari Universitas Kristen Indonesia,
Trisakti, Atmajaya, Nasional, Jayabaya, IKIP Jakarta, Pancasila, IAIN,
Khrisnadwipayana dan Sekolah Tinggi Olahraga. Datang pula beberapa truk
yang mengangkut pelajar yang diorganisir oleh Jusuf A.R. dan Jesse A.
Monintja. Mereka berasal dari 5 rayon eks-pasukan gabungan KAPPI Jakarta
Pusat. Menjelang berangkat, upacara singkat dilakukan. Meja-meja ditumpuk
menjadi mimbar.
5 Antony Z. Abidin, dkk. 1997, Mahar: Pejuang, Pendidik dan Pendidik Pejuang, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
bekerja sama dengan Ikatan Alumni UI (Iluni).
6 Rum Aly. 2004. Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter: Gerakan Kritis Mahasiswa Bandung di Panggung
Politik Indonesia 1970-1974, Jakarta: Penerbit Kompas.
dengan bendera Merah Putih. “Jangan dirusak, asal turun dan bawa saja,”
seru pemimpin rombongan melalui pengeras suara.
Dari Merdeka Barat, lalu belok ke kiri melalui Museum Nasional. “Di sini
kalau jalan terus menuju Jalan Tanah Abang II seperti rute yang ditetapkan,
tapi saya belokkan sebentar ke Tanah Abang III,” kisah Judilherry. Di Tanah
Abang III ini terdapat kantor Golkar. “Tidak ada polisi yang jaga. Pucat semua
orang-orang di sana ketika kami datang. Kita maki-maki Golkar di situ.”
***
Hampir seluruh petinggi ABRI pun turun ke jalan hari Rabu, 16 Januari,
itu. Menhankam/Pangab Jenderal Maraden Panggabean mendatangi
kerumunan massa di Kramat Raya. Pangkopkamtib Jenderal Soemitro juga
beredar di jalanan. Begitu juga Kepala Kepolisian Jakarta. Reaksi mereka
seolah melengkapi ketidakhadiran malam sebelumnya di Istana, tempat
jamuan makan malam bersama PM Jepang, Tanaka, diselenggarakan. Dari
68 undangan, makan malam itu hanya dihadiri oleh 17 orang.
10 Kepada Tim Penulis buku ini, Sugeng Sarjadi mengaku tidak pernah ditangkap karena Malari. Penyebutan
namanya muncul di koran yang terbit keesokan hari setelah pengumuman dari Laksus Kopkamtib. Yang ditangkap
di lokasi dan pada hari penangkapan Fahmi Idris adalah Nurcholish Madjid yang kemudian dikeluarkan pada hari itu
juga.
11 Ramadi adalah anggota MPR dari Golkar dan Komisaris PT Ravitex. Ia disebut-sebut dalam “dokumen Ramadi”
sebagai orang yang dekat dengan Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani.
Menanggapi kerusuhan yang meluas tersebut, Hariman Siregar tampil
ke depan. Dalam pernyataan yang disiarkan langsung oleh TVRI, Hariman
mengatakan bahwa DMUI mengutuk tindakan perusakan dan huru-hara yang
terjadi. Ia menjelaskan bahwa aspirasi DMUI sudah jelas. Dan ini bisa
dibedakan dengan tindakan kerusuhan yang dilakukan pemuda karena
punya program. “Kami menyesalkan tindakan kerusuhan tersebut. Karena
ekses-eksesnya mengaburkan perjuangan kami kepada pemerintah,” tegas
Hariman.12
Karena berbagai aksi yang marak itu, Presiden Soeharto pun bersedia
menerima delegasi mahasiswa. Maka, pada 11 Januari 1974, tiga hari
sebelum Tanaka datang, Presiden Soeharto mengajak mahasiswa berdialog.
Hariman, selaku Ketua DMUI, hadir bersama delegasi 34 dewan mahasiswa
perguruan tinggi se-Jawa. Dalam pertemuan yang berlangsung selama dua
jam itu, delegasi mahasiswa yang hadir ada sekitar 100 orang.
Yang mengajak Jusuf A.R., Jesse A. Monintja dan Jopie Lasut ke Student
Center adalah Syahrir. Sebelum ikut pertemuan, mereka menunggu di luar.
Pada pertengahan pertemuan, Theo L. Sambuaga terlihat keluar ruangan.
Setelah diberitahu tentang rencana untuk mengoordinasi demonstrasi itu,
Theo mengatakan bahwa rencana semacam itu memerlukan persetujuan
Hariman Siregar. Mereka lalu menulis catatan untuk Hariman Siregar.
Setelah membacanya, Hariman mengundang mereka bergabung dalam
pertemuan.
***
17 Hariman Siregar; Gerakan Mahasiswa 1970-an; makalah pengantar diskusi dalam pertemuan “Mengembangkan
Wawasan ke-2” yang diselenggarakan oleh mahasiswa Indonesia di Kanada dan Amerika Serikat, bertempat di
Madison-Wisconsin, USA, 4 Juni 1995.
18 Centre for Strategic and International Studies, lembaga think thank.
19 Ignatius Haryanto. 1996. Pembredelan Pers di Indonesia: Kasus Koran Indonesia Raya, Jakarta: LSPP.
Akibat peristiwa 15 Januari 1974 selanjutnya adalah reorganisasi di
tubuh kekuasaan. Jenderal Soemitro mengundurkan diri dari jabatan
Pangkopkamtib, Presiden Soeharto menghapuskan jabatan Aspri yang
disandang Ali Moertopo, mengganti Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara
(BAKIN) yang dipegang oleh Letjen Sutopo Juwono—dianggap orang dekat
Soemitro—dengan Mayjen Yoga Soegama.
Maka, bagi gerakan mahasiswa, Malari justru menjadi suatu titik balik
atau anti-klimaks dari perannya sebagai pengontrol kekuasaan. Mahasiswa
tak lagi bebas memerankan student government melalui kampus, aktivitas
politik mahasiswa dilikuidasi, tridharma perguruan tinggi yang salah satunya
berbunyi pengabdian masyarakat dibatasi pada aktivitas kerja bakti dan
memberi bantuan ke desa-desa. Akibatnya, konsolidasi dan aksi mahasiswa
sebagai kekuatan politik yang mengontrol pemerintah berlangsung dalam
skala lebih kecil dibanding awal 1970-an. Periode pasca Malari: mulai akhir
1970-an, periode normalisasi kehidupan kampus (NKK) 1980-an, gerakan
mahasiswa 1990-an, hingga gerakan tahun 1998 yang mengakibatkan
jatuhnya kekuasaan Soeharto, nama Hariman Siregar tetap lekat pada
berbagai kegiatan konsolidasi dan protes mahasiswa. Ia menjadi benang
merah dari setiap gerakan kaum muda yang lahir sesudahnya. Maka tidak
tepat menyebutnya tokoh sentral gerakan Malari.
20 Eep Saefulloh Fatah. 2010. Konflik, Manipulasi dan Kebangkrutan Orde Baru: Manajemen Konflik Malari,
Petisi 50 dan Tanjung Priok, Jakarta: Burungmerak Press.
21 Rum Aly. 2004. Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter: Gerakan Kritis Mahasiswa Bandung di Panggung
Politik Indonesia 1970-1974, Jakarta: Penerbit Kompas.