Anda di halaman 1dari 2

BANGO itu terbang tinggi. Dari jago lokal, dia menjadi bintang di tingkat nasional.

Bermula dari pojok kampung di daerah Benteng, Tangerang, pada 1928, kini sang Bango
mudah dijumpai di toko kelontong di hampir seluruh penjuru Indonesia. Delapan puluh
satu tahun silam, suami-istri Tjoa Pit Boen (Yunus Kartadinata) dan Tjoa Eng Nio
mengawali cikal bakal Kecap Bango di rumah mereka di Benteng. Sayang, jejak awal
sudah amat samar. Napak tilas Tempo di kawasan Benteng tak menemukan sarang
pertama sang Bango.

”Saya tak pernah tahu ada pabrik Kecap Bango di sini,” kata Jaya Kurnia, 55 tahun,
warga Kelurahan Suka Asih, Kecamatan Tangerang. Benar, ada sebuah rumah tua dengan
arsitektur bangunan Cina yang dikenal sebagai bekas pabrik kecap di kawasan itu.
Namun, ”Bukan Bango, itu pabrik kecap Kepala Kerbau,” kata seorang penduduk.
Perjalanan Tempo menelusuri jejak Bango di daerah pecinan, Benteng, juga nihil.

Ketika usaha Yunus Kartadinata berkembang, Bango tak lagi cukup hanya bersarang di
rumah. Pabrik pertama Kecap Bango diketahui berada di Jalan Asem Lama (sekarang
Jalan Wahid Hasyim), Tanah Abang, Jakarta Pusat, persis di belakang gedung Badan
Pengawas Pemilu. Namun kawasan itu sudah berubah menjadi deret an rumah
perkantoran. ”Memang, dulu ada pabrik kecap di sini,” kata Hadi, 70 tahun, penduduk
Asem Lama, tiga pekan lalu.

Dede, 57 tahun, penduduk setempat, juga membenarkan ada pabrik Kecap Bango di
kawasan Tenabang. Lokasinya tak jauh dari Pasar Tanah Abang sekarang. ”Dulu saya
tinggal di sebelah pabrik itu,” kata Dede. Dulu dia sering main di seputar pabrik. ”Ada
ruang bawah tanah di dalamnya. Tapi enggak tahu buat apa,” ujarnya mengenang.

KERJA keras Yunus Kartadinata tak sia-sia. Kecap Bango tumbuh dan populer di Jawa
Barat dan Jakarta. Usahanya berkembang menjadi perseroan terbatas, PT Anugrah Indah
Pelangi dan PT Anugrah Damai Pratama. Manajemen dikelola anaknya yang keempat,
Eppy Kartadinata, pada 1982. Pabriknya kini menempati area seluas delapan hektare di
Desa Wantilan, Kecamatan Cipeundeuy, Kabupaten Subang, Jawa Barat.

Pada akhir 2000, keluarga Kartadinata menerima pinangan Unilever. Produsen kebutuhan
rumah tangga asal Inggris ini mengakuisisi merek Bango. Brand Manager Bango,
Memoria Dwi Prasita, kepada Tempo pekan lalu mengatakan kualitas produk Kecap
Bango sangat bagus. Potensi pasar lokal pun sangat besar. ”Itulah alasan Unilever
mengakuisisinya.”

Sayang, tak ada penjelasan mengapa keluarga Kartadinata menjual Bango. Tempo
berusaha mendatangi rumah keluarga ini di Jalan Wahid Hasyim, sekitar 500 meter dari
pabrik lama Kecap Bango di Asem Lama. Halaman rumah berpagar hitam tinggi ini
dipenuhi tanaman perdu yang kering dan tak terawat. Di depan pintu tampak
pengumuman: ”Disewakan”. Menurut penduduk sekitar, terakhir rumah ditempati cucu
Yunus Kartadinata, yakni Serli Kartadinata.

”Rumah itu jarang ditempati lagi sejak Bango dijual,” ujar Edi, petugas satpam di kantor
sebelah rumah. Unilever dan keluarga Kartadinata membentuk perusahaan patungan
bernama PT Anugrah Lever. Perusahaan ini memproduksi dan memasarkan kecap,
sambal, dan saus bermerek Bango. Unilever menguasai 65 persen saham, sisanya 35
persen dimiliki Anugrah Indah Pelangi dan Anugrah Damai Pratama. Pada 2007,
Unilever mengakuisisi sisa saham Bango milik keluarga Kartadinata.

Langkah awal setelah akuisisi, Unilever mengubah tampilan merek, logo, dan kemasan
Ba ngo. Dulu mereknya ”Kecap Bango”. Pada 1 Februari 2008, mereknya resmi menjadi
”Bango”. Kemasannya beraroma lebih muda dengan warna-warna segar. Unilever
meremajakan Bango, mirip dengan jurus yang digunakan untuk meremajakan kembali
Rinso—produk sabun Unilever— yang lifetime mereknya sempat menurun. Kemasan
boleh berubah, pemilik memang berganti, tapi ada satu yang tetap dijaga: rasa. Unilever,
kata Memoria, sadar betul kekuatan Bango adalah merek dan kualitas produk. Resep
pembuatan Bango tetap dipertahankan sesuai dengan formula asli. ”Bango adalah kecap
yang benar-benar kecap,” kata Memoria, mengutip tagline Bango.

Umur panjang Bango juga ditunjang oleh distribusi dan penetrasi pasar yang kuat.
Unilever agresif memasarkan kecap ini. Dulu Bango hanya jago di Jawa Barat dan
Jakarta. Dengan jurus pemasaran yang agresif, kata Memoria, sekarang Bango sudah ada
di semua kota di Indonesia. Bango juga diekspor ke negara di Asia Tenggara dan Arab
Saudi. Kekuatan distribusi Unilever di dalam dan luar negeri menjadi kunci kuatnya
penetrasi Bango. Meski ekspor bagus, kata dia, ”Bango masih memprioritaskan
permintaan dalam negeri yang tinggi.”

Manajer Pemasaran Spread & Savoury Unilever, Adeline Ausy S. Suwandi,


menambahkan kekuatan Bango semakin optimal karena ditunjang oleh promosi inovatif
dan agresif. Nah, jangan heran bila Unilever gencar mengiklankan Bango di televisi,
koran, majalah, juga media luar ruang. Di salah satu televisi swasta, misalnya, Bango
mengambil slot program acara kuliner Cita Rasa Nusantara.

Unilever juga gencar mengerek popularitas Bango lewat Festival Jajanan Bango—
embrionya Gerobak Sate Bango pada 2004. Festival ini rutin digelar di beberapa kota di
Indonesia. Kata Adeline, ini jurus menerapkan misi sosial Bango melestarikan warisan
kuliner Nusantara. ”Dari kalangan ibu rumah tangga sampai pedagang kaki lima,”
ujarnya.

Di mata konsumen, Kecap Bango punya kelebihan dan kekurangan. Menurut Sartika
Dewi, ibu rumah tangga di Perumahan Ciomas Permai, Bogor, Kecap Bango lebih cocok
untuk penyedap masakan, karena lebih kental dibanding kecap lainnya. ”Bango kurang
pas untuk kecap meja,” katanya. Pendapat ini disetujui Heni Hariyanto, ibu rumah tangga
di Cilangkap. ”Kepekatan Bango lebih cocok untuk masakan seperti semur, nasi goreng,
dan mi goreng

Anda mungkin juga menyukai