Anda di halaman 1dari 56

MENGENAL PAHLAWAN NASIONAL

A. Jaman Melawan Penjajah

Sultan Agung dari Mataram

Sultan Agung (1593-1645)

Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo (1593 - 1645) adalah raja Kesultanan Mataram yang
memerintah pada tahun 1613-1645. Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang
menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara pada saat itu.

Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan menjadi
pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November
1975.

Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan Raden Mas
Rangsang. Merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyokrowati dan Ratu Mas Adi Dyah
Banowati. Ayahnya adalah raja kedua Mataram, sedangkan ibunya adalah putri Pangeran
Benawa raja Pajang.

Pada awal pemerintahannya, Mas Rangsang bergelar Panembahan Agung. Kemudian setelah
menaklukkan Madura tahun 1624, ia mengganti gelarnya menjadi Susuhunan Agung, atau
disingkat Sunan Agung.

Pada tahun 1641 Sunan Agung mendapatkan gelar bernuansa Arab. Gelar tersebut adalah
Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami, yang diperolehnya dari pemimpin Ka'bah di
Makkah,
Sultan Agung naik takhta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun. Dua tahun kemudian, patih senior
Ki Juru Martani wafat karena usia tua, dan kedudukannya digantikan oleh Tumenggung Singaranu.

Pada tahun 1614 VOC (yang saat itu masih bermarkas di Ambon) mengirim duta untuk mengajak
Sultan Agung bekerja sama namun ditolak mentah-mentah. Pada tahun 1618
Mataram dilanda gagal panen akibat perang yang berlarut-larut melawan Surabaya. Meskipun
demikian, Sultan Agung tetap menolak bekerja sama dengan VOC.

Pada tahun 1619 VOC berhasil merebut Jakarta dan mengganti namanya menjadi Batavia.
Markas mereka pun dipindah ke kota itu. Menyadari kekuatan bangsa Belanda tersebut, Sultan
Agung mulai berpikir untuk memanfaatkan VOC dalam persaingan menghadapi Surabaya dan
Banten.

Maka pada tahun 1621 Mataram mulai menjalin hubungan dengan VOC. Kedua pihak saling
mengirim duta besar. Akan tetapi, VOC ternyata menolak membantu saat Mataram menyerang
Surabaya. Akibatnya, hubungan diplomatik kedua pihak pun putus.

Sultan Agung pantang menyerah menghadapi penjajah yang sangat kuat. Ia mencoba menjalin
hubungan dengan Portugis untuk bersama-sama menghancurkan VOC-Belanda. Namun
hubungan kemudian diputus tahun 1635 karena ia menyadari posisi Portugis saat itu sudah
lemah.

Akhir Kekuasaan

Seluruh Pulau Jawa akhirnya berada dalam kekuasaan Kesultanan Mataram, kecuali Batavia
yang masih diduduki militer VOC-Belanda. Sedangkan desa Banten telah berasimilasi melalui
peleburan kebudayaan. Wilayah luar Jawa yang berhasil ditundukkan adalah Palembang di
Sumatra tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan tahun 1622. Sultan Agung juga menjalin
hubungan diplomatik dengan Makassar, negeri terkuat di Sulawesi saat itu.

Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar tidak hanya dibangun di atas
pertumpahan darah dan kekerasan, namun melalui kebudayaan rakyat yang adiluhung dan
mengenalkan sistem-sistem pertanian. Negeri-negeri pelabuhan dan perdagangan seperti
Surabaya dan Tuban dimatikan, sehingga kehidupan rakyat hanya bergantung pada sektor
pertanian.

Sultan Agung juga menaruh perhatian pada kebudayaan. Ia memadukan Kalender Hijriyah yang
dipakai di pesisir utara dengan Kalender Saka yang masih dipakai di pedalaman. Hasilnya adalah
terciptanya Kalender Jawa Islam sebagai upaya pemersatuan rakyat Mataram. Selain itu Sultan
Agung juga dikenal sebagai penulis naskah berbau mistik, berjudul Sastra Gending.

Di lingkungan keraton Mataram, Sultan Agung menetapkan pemakaian bahasa bagongan yang
harus dipakai oleh para bangsawan dan pejabat demi untuk menghilangkan kesenjangan satu
sama lain. Dengan demikian diharapkan dapat terciptanya rasa persatuan di antara penghuni
istana.

Wafatnya Sultan Agung

Menjelang tahun 1645 Sultan Agung merasa ajalnya sudah dekat. Ia pun membangun Astana
Imogiri sebagai pusat pemakaman keluarga raja-raja Kesultanan Mataram mulai dari dirinya. Ia
juga menuliskan serat Sastra Gending sebagai tuntunan hidup trah Mataram.

Sesuai dengan wasiatnya, Sultan Agung yang meninggal dunia tahun 1645 digantikan oleh
putranya yang bernama Raden Mas Sayidin sebagai raja Mataram selanjutnya, bergelar
Amangkurat I.

Sultan Hasanuddin dari Makassar

Sultan Hasanuddin (1631 – 1670)

Sultan Hasanuddin (1631 - 1670), Raja Gowa ke-16, terlahir dengan nama I Mallombasi
Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Setelah memeluk agama Islam,
ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja
lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. Karena keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van
Het Oosten oleh Belanda yang artinya Ayam Jantan/Jago dari Benua Timur. Ia dimakamkan di
Katangka, Makassar.

Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden No. 087/TK/1973,
tanggal 6 November 1973.[1]
Sultan Hasanuddin lahir di Makassar, merupakan putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja
Gowa ke-15. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda yang diwakili
Kompeni sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Gowa merupakan
kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan.

Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada


akhirnya Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia
mengadakan Perdamaian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu Sultan
Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan tentara ke
Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Hasanuddin memberikan perlawanan
sengit. Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan pasukan Kompeni, hingga akhirnya
Kompeni berhasil menerobos benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada tanggal 12
Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan dan wafat
pada tanggal 12 Juni 1670.

Tuanku Imam Bonjol

Imam Bonjol, Tuanku (1722-1864)

Pemimpin Utama Perang Paderi


Tuanku Imam Bonjol (TIB) (1722-1864), yang diangkat sebagai pahlawan nasional berdasarkan
SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, 6 November 1973, adalah pemimpin utama Perang
Paderi di Sumatera Barat (1803-1837) yang gigih melawan Belanda.
Nyi Ageng Serang

Nyi Ageng Serang (1752 – 1828)

Nyi Ageng Serang (Serang, 1752 - Yogyakarta, 1828) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia.
Beliau dimakamkan di Kalibawang, Kulon Progo.Beliau pahlawan nasional yang hampir
terlupakan,mungkin karena namanya tak sepopuler RA kartini atau Tjut nyak dien tapi beliau sangat
berjasa bagi negeri ini.Warga kulonprogo mengabadikan monumen beliau di tengah kota Wates berupa
patung beliau sedang menaiki kuda dengan gagah berani membawa tombak.
Sultan Mahmud Badaruddin II

Sultan Mahmud Badaruddin II (1767 – 1862)

Sultan Mahmud Badaruddin II (1767-1862) adalah pemimpin kesultanan Palembang-


Darussalam (1803-1819), setelah masa pemerintahan ayahnya, Sultan Mahmud Badaruddin.
Dalam masa pemerintahannya, ia beberapa kali memimpin pertempuran melawan Britania dan
Belanda, diantaranya yang disebut Perang Menteng. Tahun 1821, ketika Belanda secara resmi
berkuasa di Palembang, Sultan Mahmud Badaruddin II ditangkap dan diasingkan ke Ternate.
Namanya kini diabadikan sebagai nama bandara internasional di Palembang, Bandara Sultan
Mahmud Badaruddin II.

Tanggal 13 Juli 1821, menjelang tengah malam, SMB II beserta keluarganya menaiki kapal
Dageraad dengan tujuan Batavia. Dari Batavia SMB II dan keluarganya diasingkan ke Ternate
sampai akhir hayatnya 26 September 1852.
Kapitan
Pattimura

Kapitan Pattimura (1783 -1817)

Pahlawan Nasional dari Maluku


Kapitan Pattimura yang bernama asli Thomas Matulessy, ini lahir di Negeri Haria, Saparua,
Maluku tahun 1783. Perlawanannya terhadap penjajahan Belanda pada tahun 1817 sempat
merebut benteng Belanda di Saparua selama tiga bulan setelah sebelumnya melumpuhkan
semua tentara Belanda di benteng tersebut. Namun beliau akhirnya tertangkap. Pengadilan
kolonial Belanda menjatuhkan hukuman gantung padanya. Eksekusi yang dilakukan pada
tanggal 16 Desember 1817 akhirnya merenggut jiwanya.

Perlawanan sejati ditunjukkan oleh pahlawan ini dengan keteguhannya yang tidak mau
kompromi dengan Belanda. Beberapa kali bujukan pemerintah Belanda agar beliau bersedia
bekerjasama sebagai syarat untuk melepaskannya dari hukuman gantung tidak pernah
menggodanya. Beliau memilih gugur di tiang gantung sebagai Putra Kesuma Bangsa daripada
hidup bebas sebagai penghianat yang sepanjang hayat akan disesali rahim ibu yang
melahirkannya.

Di Saparua, Thomas Matulessy dipilih oleh rakyat untuk memimpin perlawanan. Untuk itu, ia
pun dinobatkan bergelar Kapitan Pattimura. Pada tanggal 16 mei 1817, suatu pertempuran
yang luar biasa terjadi. Rakyat Saparua di bawah kepemimpinan Kapitan Pattimura tersebut
berhasil merebut benteng Duurstede. Tentara Belanda yang ada dalam benteng itu semuanya
tewas, termasuk Residen Van den Berg.
Di sebuah rumah di Siri Sori, Kapitan Pattimura berhasil ditangkap pasukan Belanda. Bersama
beberapa anggota pasukannya, dia dibawa ke Ambon. Di sana beberapa kali dia dibujuk agar
bersedia bekerjasama dengan pemerintah Belanda namun selalu ditolaknya.

Tapi Pattimura menunjukkan kesejatian perjuangannya dengan tetap menolak bujukan itu. Di
depan benteng Victoria, Ambon pada tanggal 16 Desember 1817, eksekusi pun dilakukan.

Kapitan Pattimura gugur sebagai Pahlawan Nasional. Dari perjuangannya dia meninggalkan
pesan tersirat kepada pewaris bangsa ini agar sekali-kali jangan pernah menjual kehormatan
diri, keluarga, terutama bangsa dan negara ini.

Pangeran Diponegoro

Pangeran Diponegoro (1785-1855)

Pejuang Berhati Bersih


Dilahirkan dari keluarga Kesultanan Yogyakarta, memiliki jiwa kepemimpinan dan
kepahlawanan. Hatinya yang bersih dan sebagai seorang pangeran akhirnya menuntunnya
menjadi seorang yang harus tampil di depan guna membela kehormatan keluarga, kerajaan,
rakyat dan bangsanya dari penjajahan Belanda.
Namun resiko dari kebersihan hatinya, ia ditangkap oleh Belanda dengan cara licik, rekayasa
perundingan. Namun walaupun begitu, beliau tidak akan pernah menyesal karena beliau wafat
dengan hati yang tenang, tidak berhutang pada bangsanya, rakyatnya, keluarganya, terutama
pada dirinya sendiri.

Kejujuran, kesederhanaan, kerendahan hati, kebersihan hati, kepemimpinan, kepahlawanan,


itulah barangkali sedikit sifat yang tertangkap bila menelusuri perjalanan perjuangan Pahlawan
kita yang lahir di Yogyakarta tanggal 11 November 1785, ini.

Dalam perundingan di Magelang tanggal 28 Maret 1830, beliau ditangkap dan dibuang ke
Menado yang dikemudian hari dipindahkan lagi ke Ujungpandang.

Setelah kurang lebih 25 tahun ditahan di Benteng Rotterdam, Ujungpandang, akhirnya pada
tanggal 8 Januari 1855 beliau meninggal. Jenazahnya pun dimakamkan di sana. Beliau wafat
sebagai pahlawan bangsa yang tidak pernah mau menyerah pada kejaliman manusia.
Pangeran Antasari

Pangeran Antasari (1797-1862)

Pangeran Antasari (1797 - 1862) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Beliau
meninggal karena penyakit cacar di pedalaman sungai Barito, Kalimantan Tengah. Kerangkanya
dipindahkan ke Banjarmasin dan dimakamkan kembali di Taman Makam Perang Banjar
(Komplek Makam Pangeran Antasari), Banjarmasin Utara, Banjarmasin. Perjuangan beliau
dilanjutkan oleh keturunannya Sultan Muhammad Seman dan cucunya Ratu Zaleha.

Pada 14 Maret 1862 menyandang gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin dihadapan
para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Tanah Dusun Atas, Kapuas dan
Kahayan yaitu Kiai Adipati Jaya Raja.

Semasa muda nama beliau adalah Gusti Inu Kartapati. Ayah Pangeran Antasari adalah Pangeran
Masohut (Mas'ud) bin Pangeran Amir bin Sultan Muhammad Aminullah dan ibunya Gusti
Hadijah binti Sultan Sulaiman. Ia pernah meledakkan kapal milik Belanda yang bernama Kapal
Onrust dan juga dengan pemimpin-pemimpinnya yang bernama Letnan der Velde dan Letnan
Bangert.

Teungku Cik di Tiro

Teungku Cik di Tiro (1836-1891)

Teungku Cik di Tiro atau Muhammad Saman (1836 – 1891), adalah seorang pahlawan dari
Aceh. Ia adalah putra dari Teungku Syekh Ubaidillah. Sedangkan ibunya bernama Siti Aisyah,
putri Teungku Syekh Abdussalam Muda Tiro. Ia lahir pada tahun 1836, bertepatan dengan 1251
Hijriah di Dayah Jrueng kenegerian Cumbok Lam Lo, Tiro, daerah Pidie, Aceh. Ia dibesarkan
dalam lingkungan agama yang ketat.

Dengan Perang Sabilnya, satu persatu benteng Belanda dapat direbut. Begitu pula wilayah-
wilayah yang selama ini diduduki Belanda jatuh ke tangan pasukan Cik di Tiro. Pada bulan Mei
tahun 1881, pasukan Cik Di Tiro dapat merebut benteng Belanda Lam Baro, Aneuk Galong dan
lain-lain. Belanda merasa kewalahan akhirnya memakai "siasat liuk" dengan mengirim makanan
yang sudah dibubuhi racun. Tanpa curiga sedikitpun Cik di Tiro memakannya, dan akhirnya
meninggal pada bulan Januari 1891 di benteng Aneuk Galong.

Panglima Polem
Panglima Polem bernama lengkap Teuku Panglima Polem Sri Muda Setia Perkasa Muhammad
Daud adalah salah seorang pejuang kemerdekaan Republik Indonesia yang berasal dari Aceh.
Setelah dewasa, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud menikah dengan salah seorang
puteri dari Tuanku Hasyim Bantamuda, tokoh Aceh yang seperjuangan dengan ayahnya. Dia
diangkat sebagai Panglima Polem IX paada bulan Januari 1891 untuk menggantikan ayahnya
Panglima Polem Raja Kuala yang telah wafat. Setelah pengangkatannya sebagai Panglima dia
kemudian mempunyai nama lengkap Teuku Panglima Polem Sri Muda Setia Perkasa
Muhammad Daud.

Dalam perjuangannya Panglima Polem Raja Daud secara tidak langsung juga memperoleh
dukungan dari para ulama Aceh.

Pada awal tahun 1901, Sultan Muhammad Daud Syah bersama Panglima Polem mengambil
inisiatif secara bersama-sama menyingkir ke daerah gayo dan kemudian menjadikan daerah ini
sebagai pusat pertahanan Aceh. Di daerah ini Sultan Aceh bersama Panglima Polem dan
pasukannya kembali menyusun strategi baru untuk mempersiapkan penyarangan terhadap
Belanda.

Karena menerima berita ancaman bahwa keluarga mereka akan ditangkap dan dibuang, maka
pada tanggal 10 Januari 1903 Sultan Muhammad Daud Syah terpaksa berdamai dengan
Belanda. Pemerintah Hindia Belanda mengasingkannya ke Ambon dan terakhir dipindahkan ke
Batavia sampai Sultan wafat pada tanggal 6 Februari 1939. Hal ini menyebabkan Teuku
Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud secara terpaksa juga berdamai dengan
Belanda pada tanggal 7 September 1903
Cut Nyak Meutia

Cut Nyak Meutia (1870-1910)

Berani Menerjang Peluru

Wanita kelahiran Perlak, Aceh, tahun 1870, ini adalah seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional
yang hingga titik darah penghabisan tetap memegang prinsip tak akan mau tunduk kepada
kolonial.

Sebelum Cut Nyak Meutia lahir, pasukan Belanda sudah menduduki daerah Aceh yang digelari
serambi Mekkah tersebut. Perlakuan Belanda yang semena-mena dengan berbagai pemaksaan
dan penyiksaan akhirnya menimbulkan perlawanan dari rakyat. Tiga tahun sebelum perang
Aceh-Belanda meletus, ketika itulah Cut Nyak Meutia dilahirkan. Suasana perang pada saat
kelahiran dan perkembangannya itu, di kemudian hari sangat memengaruhi perjalanan
hidupnya.

Perang terhadap pendudukan Belanda terus berkobar seakan tidak pernah berhenti. Cut Nyak
Meutia bersama suaminya Teuku Cik Tunon langsung memimpin perang di daerah Pasai. Perang
yang berlangsung sekitar tahun 1900-an itu telah banyak memakan korban baik dari pihak
pejuang kemerdekaan maupun dari pihak Belanda.

Tapi pengejaran pasukan Belanda yang sangat intensif membuatnya tidak bisa menghindar lagi.
Rahasia tempat persembunyiannya terbongkar. Dalam suatu pengepungan yang rapi dan ketat
pada tanggal 24 Oktober 1910, dia berhasil ditemukan.

Walaupun pasukan Belanda bersenjata api lengkap tapi itu tidak membuat hatinya kecut.
Dengan sebilah rencong di tangan, dia tetap melakukan perlawanan. Namun tiga orang tentara
Belanda yang dekat dengannya melepaskan tembakan. Dia pun gugur setelah sebuah peluru
mengenai kepala dan dua buah lainnya mengenai dadanya.

Cut Nyak Meutia gugur sebagai pejuang pembela bangsa. Atas jasa dan pengorbanannya, oleh
negara namanya dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang disahkan dengan
SK Presiden RI No.107 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964.

Cut Nyak Dien

Cut Nyak Dien (1850-1908)

Perempuan Aceh Berhati Baja


Pahlawan Kemerdekaan Nasional kelahiran Lampadang, Aceh, tahun 1850, ini sampai akhir
hayatnya teguh memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Wanita yang dua kali menikah ini,
juga bersuamikan pria-pria pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertamanya dan Teuku
Umar suami keduanya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan bahkan juga Pahlawan
Kemerdekaan Nasional.

Jiwa pejuang memang sudah diwarisi Cut Nyak Dien dari ayahnya yang seorang pejuang
kemerdekaan yang tidak kenal kompromi dengan penjajahan. Dia yang dibesarkan dalam
suasana memburuknya hubungan antara kerajaan Aceh dan Belanda semakin mempertebal
jiwa patriotnya.
Dua tahun setelah kematian suami pertamanya atau tepatnya pada tahun 1880, Cut Nyak Dien
menikah lagi dengan Teuku Umar, kemenakan ayahnya. Sumpahnya yang hanya akan menikah
dengan pria yang bersedia membantu menuntut balas kematian suami pertamanya benar-
benar ditepati. Teuku Umar adalah seorang pejuang kemerdekaan yang terkenal banyak
mendatangkan kerugian bagi pihak Belanda. Teuku Umar telah dinobatkan oleh negara sebagai
Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Sekilas mengenai Teuku Umar. Teuku Umar terkenal sebagai seorang pejuang yang banyak
taktik. Pada tahun 1893, pernah berpura-pura melakukan kerja sama dengan Belanda hanya
untuk memperoleh senjata dan perlengkapan perang. Setelah tiga tahun berpura-pura bekerja
sama, Teuku Umar malah berbalik memerangi Belanda. Tapi dalam satu pertempuran di
Meulaboh pada tanggal 11 Pebruari 1899, Teuku Umar gugur.

Begitu teguhnya pendirian Cut Nyak Dien sehingga ketika sudah terkepung dan hendak
ditangkap pun dia masih sempat mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda.
Pasukan Belanda yang begitu banyak akhirnya berhasil menangkap tangannya. Dia lalu ditawan
dan dibawa ke Banda Aceh.

Tapi walaupun di dalam tawanan, dia masih terus melakukan kontak atau hubungan dengan
para pejuang yang belum tunduk. Tindakannya itu kembali membuat pihak Belanda berang
sehingga dia pun akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat. Di tempat pembuangan itulah
akhirnya dia meninggal dunia pada tanggal 6 Nopember 1908, dan dimakamkan di sana.

Perjuangan dan pengorbanan yang tidak mengenal lelah didorong karena kecintaan pada
bangsanya menjadi contoh dan teladan bagi generasi berikutnya. Atas perjuangan dan
pengorbanannya yang begitu besar kepada negara, Cut Nyak Dien dinobatkan menjadi
Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Penobatan tersebut dikuatkan dengan SK Presiden RI No.106
Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964
Raja Si Singamangaraja

Raja Si Singamangaraja XII (1849-1907)

Menolak Dinobatkan Menjadi Sultan


Raja Si Singamangaraja XII yang lahir pada tahun 1849 di Bakkara, Tapanuli, sebuah daerah di
tepian Danau Toba, ini diangkat menjadi raja pada tahun 1867 menggantikan ayahnya Raja Si
Singamangaraja XI yang meninggal dunia akibat penyakit kolera. Sebagaimana leluhurnya, sejak
Si Singamangaraja II, gelar Raja dan kepemimpinan selalu diturunkan dari pendahulunya secara
turun temurun.

Dalam sejarah perjuangan nasional Indonesia, ia seorang pejuang yang tidak mau berkompromi
dengan Belanda. Sehingga terjadilah pertempuran sengit yang menewaskan hampir seluruh
keluarganya melawan penjajah. Patuan Bosar Ompu Pulo Batu atau Raja Si Singamangaraja XII
bersama dua putra dan satu putrinya serta beberapa panglimanya yang berasal dari Aceh gugur
pada saat yang sama yaitu tanggal 17 Juni 1907 di Sionom Hudon.

Raja Si Singamangaraja XII tepatnya gugur di hutan daerah Simsim, Sindias di kaki gunung
Sitapongan, kurang lebih 9-10 km dari Pearaja, Sionom Hudon, Tapanuli, Sumatera Utara.
(Disebut Sionom Hudon, sesuai dengan keenam marga yang menguasai daerah itu yaitu
Tinambunan, Tumanggor, Maharaja, Pinayungan, Turutan, dan Anakampun). Jenazahnya mula-
mula dimakamkan di Tarutung, kemudian dipindahkan ke Sopo Surung Balige.

Perang Batak yang dipimpin Si Singamangaraja XII di Tapanuli, Sumatera Utara yang pecah sejak
tahun 1878 itu, akhirnya berakhir sudah. Sejarah mencatat, ketika gugurnya sang pahlawan ini
yang menjadi Gubernur Jenderal yaitu pemangku jabatan Kerajaan Belanda yang tertinggi
daerah kolonial di Nusantara adalah Gubernur Jenderal J.B.van Heutsz, sedangkan Gubernur
Militer di Aceh yang mencakup Sumatera Utara adalah Jenderal G.O.E.van Daalen.

Dan dibawah pasukan Kapten Christoffel alias ‘Si Macan Aceh’, seorang berkebangsaan Swiss
yang sebelumnya hanya merupakan serdadu bayaran, namun kemudian tahun 1906 menjadi
warga negara Belanda, akhirnya sang pahlawan, Raja Si Singamangaraja XII gugur tertembak.

Kapten Christoffel yang melaporkan gugurnya Raja Si Singamangaraja XII di Tanah Batak kepada
Gubernur Jenderal J.B.van Heutsz di Bogor ketika itu membawa bukti jarahan berupa Piso Gaja
Dompak dan Stempel Kerajaan. Stempel kerajaan dan Piso Gaja Dompak pun secara resmi
disampaikan oleh Bataviaaschap Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Lembaga
Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan di Batavia) pada rapatnya tanggal 7 Agustus 1907 kepada
Museum di Gedung Gajah (Jalan Merdeka Barat sekarang-red). Piso Gaja Dompak waktu itu
diberi tanda nomor 13425.
B. Jaman Pergerakan Nasional

Kyai Haji Ahmad Dahlan

Kyai Haji Ahmad Dahlan (1868-1923)

Kyai Haji Ahmad Dahlan (Yogyakarta, 1 Agustus 1868–Yogyakarta, 23 Februari 1923) adalah
seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Beliau adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari
keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid
Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari
H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu.

Pada tahun 1903, beliau bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada
masa ini, beliau sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU,
K.H. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman,
Yogyakarta.

Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan


mengadakan tabligh ke berbagai kota, disamping juga melalui relasi-relasi dagang yang
dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di
berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya
untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin
berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan
mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang
Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia
Belanda pada tanggal 2 September 1921.

Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui
pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya
sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961.

Samanhudi

Kiai Haji Samanhudi (1868-1956)

Kiai Haji Samanhudi (1868–1956) adalah pendiri Sarekat Dagang Islamiyah, sebuah organisasi
massa di Indonesia yang awalnya merupakan wadah bagi para pengusaha batik di Surakarta.

Ia dimakamkan di Banaran, Grogol, Sukoharjo.


Wahidin Sudirohusodo

Wahidin Sudirohusodo (1852-1917)

Penggagas Budi Utomo


Kendati ia tidak termasuk pendiri Budi Utomo (20 Mei 1908), namanya selalu dikaitkan dengan
organisasi kebangkitan nasional itu. Sebab, sesungguhnya dialah penggagas berdirinya
organisasi yang didirikan para pelajar STOVIA Jakarta itu. Pahlawan Nasional ini lahir di desa
Mlati, Yogyakarta, pada tanggal 7 Januari 1852. Ia wafat dada tanggal 26 Mei 1917 dan
dimakamkan di desa Mlati, Yogyakarta.

Dokter lulusan STOVIA, Sekolah Dokter Jawa di Jakarta, ini sangat senang bergaul dengan rakyat
biasa. Sehinggga tak heran bila ia mengetahui banyak penderitaan rakyat. Ia juga sangat
menyadari bagaimana terbelakang dan.tertindasnya rakyat akibat penjajahan Belanda.
Menurutnya, salah satu cara untuk membebaskan diri dari penjajahan, rakyat harus cerdas.
Untuk itu, rakyat harus diberi kesempatan mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah. Sebagai
dokter, ia sering mengobati rakyat tanpa memungut bayaran.

Selain sering bergaul dengan rakyat, dokter yang terkenal pula pandai menabuh gamelan dan
mencintai seni suara, ini juga sering mengunjungi tokoh-tokoh masyarakat di beberapa kota di
Jawa. Para tokoh itu diajaknya untuk mendirikan "dana pelajar". Direncanakan, dana itu akan
dipakai untuk menolong pemuda-pemuda yang cerdas, tetapi tidak mampu melanjutkan
sekolahnya. Namun, ajakannya kurang mendapat sambutan.

Kemudian di Jakarta, ia mengunjungi para pelajar STOVIA. Kepada para pelajar sekolah dokter
itu, ia membentangkan gagasannya. Ia menganjurkan agar para pelajar itu mendirikan
organisasi yang bertujuan memajukan pendidikan dan meninggikan martabat bangsa.
Gagasan lulusan Europeesche Lagere School Yogyakarta, ini disambutan baik para pelajar
STOVIA itu. Mereka juga sependapat dan menyadari bagaimana diburuknya nasib rakyat
Indonesia pada waktu itu. Maka pada tanggal 20 Mei 1908, Sutomo dan kawan-kawannya
mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Budi Utomo. Inilah organisasi modern pertama
yang lahir di Indonesia. Karena itu, tanggal lahir Budi Utomo, 20 Mei, diperingati sebagai Hari
Kebangkitan Nasional.

Dokter Sutomo

Dokter Sutomo (1888 – 1938)

Pendiri Budi Utomo


Dokter Sutomo yang bernama asli Subroto ini lahir di desa Ngepeh, Jawa Timur, 30 Juli 1888.
Ketika belajar di STOVIA (Sekolah Dokter), ia bersama rekan-rekannya, atas saran dr. Wahidin
Sudirohusodo mendirikan Budi Utomo (BU), organisasi modem pertama di Indonesia, pada
tanggal 20 Mei 1908, yang kemudian diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Kelahiran BU sebagai Perhimpunan nasional Indonesia, dipelopori oleh para pemuda pelajar
STOVIA (School tot Opleiding voor Indische Artsen) yaitu Sutomo, Gunawan, Suraji dibantu oleh
Suwardi Surjaningrat, Saleh, Gumbreg, dan lain-lain. Sutomo sendiri diangkat sebagai ketuanya.

Tujuan perkumpulan ini adalah kemajuan nusa dan bangsa yang harmonis dengan jalan
memajukan pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan, teknik dan industri, kebudayaan,
mempertinggi cita-cita kemanusiaan untuk mencapai kehidupan bangsa yang terhormat.
Selain bergerak di bidang politik dan kedokteran, dr. Sutomo juga aktif di bidang
kewartawanan. Ia bahkan memimpin beberapa buah surat kabar. Dalam usia 50 tahun, ia
meninggal dunia di Surabaya pada tanggal 30 Mei 1938.

Maria Walanda Maramis

Maria Walanda Maramis (1872-1924)

Maria Josephine Catherine Maramis (1872 -1924) yang lebih dikenal sebagai Maria Walanda
Maramis adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia karena usahanya untuk
mengembangkan keadaan wanita di Indonesia pada permulaan abad ke-20.

Maramis menjadi yatim piatu pada saat ia berumur enam tahun karena kedua orang tuanya
jatuh sakit dan meninggal dalam waktu yang singkat. Paman Maramis yaitu Rotinsulu yang
waktu itu adalah Hukum Besar di Maumbi membawa Maramis dan saudara-saudaranya ke
Maumbi dan mengasuh dan membesarkan mereka di sana. Maramis beserta kakak
perempuannya dimasukkan ke Sekolah Melayu di Maumbi. Sekolah itu mengajar ilmu dasar
seperti membaca dan menulis serta sedikit ilmu pengetahuan dan sejarah. Ini adalah satu-
satunya pendidikan resmi yang diterima oleh Maramis dan kakak perempuannya karena
perempuan pada saat itu diharapkan untuk menikah dan mengasuh keluarga.

Untuk menghargai peranannya dalam pengembangan keadaan wanita di Indonesia, Maria Walanda
Maramis mendapat gelar Pahlawan Pergerakan Nasional dari pemerintah Indonesia pada tanggal 20
Mei 1969.
Kiai Hasyim Asy’ari

Kiai Hasyim Asy'ari (1875-1947)

Ulama Pembaharu Pesantren


Pendiri pesantren Tebuireng dan perintis Nahdlatul Ulama (NU), salah satu organisasi
kemasyarakatan terbesar di Indonesia, ini dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu
pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri membaca
buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.

Karya dan jasa Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10
April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin pesantren.
Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan
Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan
Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja
Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).

Pada tahun 1899, Kiai Hasyim Asy'ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi
pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy'ari
memosisikan Pesantren Tebuireng, menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam
tradisional.

Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari
mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang
dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy'ari pun semakin besar dengan mendirikan
organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa
Tengah dan Jawa Timur.
Bahkan, para ulama di berbagai daerah sangat menyegani kewibawaan Kiai Hasyim. Kini, NU
pun berkembang makin pesat. Organisasi ini telah menjadi penyalur bagi pengembangan Islam
ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa.

Sesudah Indonesia merdeka, melalui pidato-pidatonya Kiai Hasyim Asy’ari membakar semangat
para pemuda supaya mereka berani berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan. Ia
meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1947 karena pendarahan otak dan dimakamkan di
Tebuireng.

Raden Ajeng Kartini

Raden Ajeng Kartini (1879-1904)

Pejuang Kemajuan Wanita


Door Duistermis tox Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang, itulah judul buku dari kumpulan surat-
surat Raden Ajeng Kartini yang terkenal. Surat-surat yang dituliskan kepada sahabat-sahabatnya
di negeri Belanda itu kemudian menjadi bukti betapa besarnya keinginan dari seorang Kartini
untuk melepaskan kaumnya dari diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya.

Buku itu menjadi pedorong semangat para wanita Indonesia dalam memperjuangkan hak-
haknya. Perjuangan Kartini tidaklah hanya tertulis di atas kertas tapi dibuktikan dengan
mendirikan sekolah gratis untuk anak gadis di Jepara dan Rembang.

Upaya dari puteri seorang Bupati Jepara ini telah membuka penglihatan kaumnya di berbagai
daerah lainnya. Sejak itu sekolah-sekolah wanita lahir dan bertumbuh di berbagai pelosok
negeri. Wanita Indonesia pun telah lahir menjadi manusia seutuhnya.

Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-wanita negeri ini belum memperoleh
kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang
tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan menentukan jodoh/suami sendiri, dan lain
sebagainya.

Pada saat itu, Raden Ajeng Kartini yang lahir di Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 21 April 1879,
ini sebenarnya sangat menginginkan bisa memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, namun
sebagaimana kebiasaan saat itu dia pun tidak diizinkan oleh orang tuanya.

Dia merasakan sendiri bagaimana ia hanya diperbolehkan sekolah sampai tingkat sekolah dasar
saja padahal dirinya adalah anak seorang Bupati. Hatinya merasa sedih melihat kaumnya dari
anak keluarga biasa yang tidak pernah disekolahkan sama sekali.

Setelah meninggalnya Kartini, surat-surat tersebut kemudian dikumpulkan dan


diterbitkan menjadi sebuah buku yang dalam bahasa Belanda berjudul Door Duisternis
tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Apa yang terdapat dalam buku itu sangat
berpengaruh besar dalam mendorong kemajuan wanita Indonesia karena isi tulisan
tersebut telah menjadi sumber motivasi perjuangan bagi kaum wanita Indonesia di
kemudian hari.

Mengingat besarnya jasa Kartini pada bangsa ini maka atas nama negara, pemerintahan
Presiden Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan
Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964 yang menetapkan
Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini,
tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal
sebagai Hari Kartini.
Dewi Sartika

Dewi Sartika (1884-1947)

Dewi Sartika (1884 – 1947) adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum perempuan, diakui
sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun 1966.

Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dan Raden
Somanagara. Meski melanggar adat saat itu, orang tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi
Sartika, ke sekolah Belanda pula. Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya
(kakak ibunya) yang berkedudukan sebagai patih di Cicalengka. Sejak kecil, Dewi Sartika sudah
menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di
belakang gedung kepatihan, beliau sering memperagakan praktik di sekolah, mengajari baca-
tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang
kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.

Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan
kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota
keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis, dan
sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu

Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika
membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya
tiga orang; Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-
murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo kabupaten
Bandung.

Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu
upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam.
Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan
Karang Anyar, Bandung.

Cipto Mangunkusumo

Cipto Mangunkusumo (1886-1943)

Dokter Pendiri Indische Partij


Dokter Cipto Mangunkusumo adalah seorang dokter profesional yang lebih dikenal sebagai
tokoh pejuang kemerdekaan nasional. Dia merupakan salah seorang pendiri Indische Partij,
organisasi partai partai pertama yang berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka dan turut
aktif di Komite Bumiputera.

Awal perjuangan Cipto Mangunkusumo, pria kelahiran Pecangakan, Ambarawa tahun 1886, ini
dimulai sejak dia kerap menulis karangan-karangan yang menceritakan tentang berbagai
penderitaan rakyat akibat penjajahan Belanda. Karangan-karangan yang dimuat harian De
Express itu oleh pemerintahan Belanda dianggap sebagai usaha untuk menanamkan rasa
kebencian pembaca terhadap Belanda.

Tidak bekerja sebagai dokter pemerintah yang diupah oleh pemerintahan Belanda, membuat dr.
Cipto semakin intens melakukan perjuangan. Pada tahun 1912, dia bersama Douwes Dekker
dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) mendirikan Indische Partij, sebuah partai politik
yang merupakan partai pertama yang berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka.

Di Banda Neira, dr. Cipto mendekam/terbuang sebagai tahanan selama tiga belas tahun. Dari
Banda Naire dia dipindahkan ke Ujungpandang. Dan tidak lama kemudian dipindahkan lagi ke
Sukabumi, Jawa Barat. Namun karena penyakit asmanya semakin parah, sementara udara
Sukabumi tidak cocok untuk penderita penyakit tersebut, dia dipindahkan lagi ke Jakarta.
Jakarta merupakan kota terakhirnya hingga akhir hidupnya. Dr. Cipto Mangunkusumo
meninggal di Jakarta, 8 Maret 1943, dan dimakamkan di Watu Ceper, Ambarawa.

Atas jasa dan pengorbanannya sebagai pejuang pembela bangsa, oleh negara namanya
dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang disahkan dengan SK Presiden RI
No.109 Tahun 1964, Tanggal 2 Mei 1964 dan namanya pun diabadikan sebagai nama Rumah
Sakit Umum Pusat di Jakarta.
Haji Agus Salim

Haji Agus Salim (1884-1954)

Haji Agus Salim (lahir dengan nama Mashudul Haq (yang bermakna "pembela kebenaran");
(1884 – 1954) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia.

Agus Salim lahir dari pasangan Angku Sutan Mohammad Salim dan Siti Zainab. Ayahnya adalah
seorang kepala jaksa di Pengadilan Tinggi Riau.

Pada tahun 1915, Salim bergabung dengan Sarekat Islam (SI), dan menjadi pemimpin kedua di
SI setelah H.O.S. Tjokroaminoto.

Peran Agus Salim pada masa perjuangan kemerdekaan RI antara lain:

• anggota Volksraad (1921-1924)


• anggota panitia 9 BPUPKI yang mempersiapkan UUD 1945
• Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan Kabinet III 1947
• pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Arab, terutama Mesir pada
tahun 1947
• Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin 1947
• Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta 1948-1949

Di antara tahun 1946-1950 ia laksana bintang cemerlang dalam pergolakan politik Indonesia,
sehingga kerap kali digelari "Orang Tua Besar" (The Grand Old Man). Ia pun pernah menjabat
Menteri Luar Negeri RI pada kabinet Presidentil dan di tahun 1950 sampai akhir hayatnya
dipercaya sebagai Penasehat Menteri Luar Negeri.
Pada tahun 1952, ia menjabat Ketua di Dewan Kehormatan PWI. Biarpun penanya tajam dan
kritikannya pedas namun Haji Agus Salim masih mengenal batas-batas dan menjunjung tinggi
Kode Etik Jurnalistik.

Ia meninggal dunia pada 4 November 1954 di RSU Jakarta dan dimakamkan di TMP Kalibata,
Jakarta.

Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara (1889-1959)

Bapak Pendidikan Nasional


Pendiri Taman Siswa ini adalah Bapak Pendidikan Nasional. Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2
Mei 1889. Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal
ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah
menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan). Ia
meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 28 April 1959 dan dimakamkan di sana.

Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga
kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut
hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak
lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia
dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.

Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik.
Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan
menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan
dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.

Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto
Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran
nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai
Indonesia merdeka.

Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun


mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut
Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat
menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai
bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.

Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri


Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara
bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak
Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan
Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat
keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan
lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada
pada tahun 1957.

Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu
memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku,
budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus
didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.
Sam Ratulangi

Dr. Sam Ratulangi (1890-1949)

Dr. Gerungan Saul Samuel Yacob Ratulangi atau Sam Ratulangi saja (1890 –1949) adalah
seorang politikus Minahasa dari Sulawesi Utara, Indonesia. Beliau adalah seorang pahlawan
nasional Indonesia. Sam Ratulangi juga sering disebut-sebut sebagai tokoh multidimensional.
Beliau dikenal dengan filsafatnya: "Si tou timou tumou tou" yang artinya: manusia baru dapat
disebut sebagai manusia, jika sudah dapat memanusiakan manusia.

Sam Ratulangi juga adalah gubernur Sulawesi yang pertama. Beliau meninggal di Jakarta dalam
kedudukan sebagai tawanan musuh pada tanggal 30 Juni 1949 dan dimakamkan di Tondano.
Namanya diabadikan dalam nama bandar udara di Manado yaitu Bandara Sam Ratulangi dan
Universitas Negeri di Sulawesi Utara yaitu Universitas Sam Ratulangi
M H Thamrin

MH Thamrin (1894 - 1941)

Politikus yang Santun

Mohammad Husni Thamrin dilahirkan di Sawah Besar, Betawi, 16 Februari 1894. Ia berasal dari
keluarga berada. Kakeknya, Ort, orang Inggris, pemilik hotel di bilangan Petojo, yang menikah
dengan perempuan Betawi, Noeraini. Ayahnya, Thamrin Mohamad Thabrie, pernah menjadi
Wedana Batavia tahun 1908, jabatan tertinggi nomor dua yang terbuka bagi warga pribumi
setelah bupati.
.

Tak kibarkan bendera Belanda

Meski pada mulanya dipandang sebagai tokoh kooperatif, pada akhirnya hayatnya justru
Thamrin dianggap berbahaya oleh Pemerintah Hindia Belanda. Thamrin tidak mengibarkan
bendera Belanda di rumahnya pada ulang tahun Ratu Wilhelmina, 31 Agustus 1940.

Setelah dr. Sutomo meninggal dunia pada tahun 1938, maka Thamrin menggantikannya sebagai
wakil Ketua Partai Indonesia Raya (Parindra). Perjuangannya di Volksraad tetap dilanjutkan
dengan sebuah mosi, agar istilah Nederlands Indie, Nederlands Indische dan Inlander diganti
dengan istilah Indonesia, Indonesische dan Indonesiea.

Sejak tanggal 6 januari 1941 Husni thamrin dikenakan tahanan rumah, karena dituduh bekerja
sama dengan Jepang. Walaupun dalam keadaan sakit, Thamrin tidak boleh dikunjungi teman-
temannya. Akhirnya ia meninggal dunia pada 11 Januari 1941 dan dimakamkan di pekuburan
Karet, Jakarta.

Tahun 1960, Presiden Soekarno mengangkatnya sebagai pahlawan nasional.

Wage Rudolf Supratman

Wage Rudolf Supratman (1903–1938)

Penggubah Lagu Indonesia Raya


Tingginya jiwa kebangsaan dari Wage Rudolf Supratman menuntun dirinya membuahkan karya
bernilai tinggi yang di kemudian hari telah menjadi pembangkit semangat perjuangan
pergerakan nasional. Semangat kebangsaan, rasa persatuan dan kehendak untuk merdeka
dalam jiwanya dituangkan dalam lagu gubahannya Indonesia Raya. Lagu yang kemudian
menjadi lagu kebangsaan negeri ini.

Penolakan jiwanya terhadap penjajahan, pernah juga dituliskannya dalam bukunya yang
berjudul Perawan Desa. Namun sayang, Pahlawan nasional yang lahir 9 Maret 1903 ini sudah
meninggal pada tanggal 17 Agustus 1938, sebelum mendengar lagu gubahannya
dikumandangkan pada hari kemerdekaan negeri yang dicintainya.

Kilas balik dari lahirnya lagu Indonesia Raya sendiri adalah berawal dari ketika suatu kali
terbacanya sebuah karangan dalam Majalah Timbul. Penulis karangan tersebut menentang ahli-
ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan. Supratman yang sudah semakin
kental jiwa kebangsaannya merasa tertantang. Sejak itu, ia mulai menggubah lagu. Dan pada
tahun 1924 lahirlah lagu Indonesia Raya.

Ketika Kongres Pemuda, yakni kongres yang melahirkan Sumpah Pemuda dilangsungkan di
Jakarta bulan Oktober tahun 1928, secara instrumentalia Supratman memperdengarkan lagu
ciptaannya itu pada malam penutupan acara tanggal 28 Oktober 1928 tersebut. Disitulah saat
pertama lagu tersebut dikumandangkan di depan umum. Lagu yang sangat menggugah jiwa
patriotisme itupun dengan cepat terkenal di kalangan pergerakan nasional. Sehingga sejak itu
apabila partai-partai politik mengadakan kongres, lagu Indonesia Raya, lagu yang menjadi
semacam perwujudan rasa persatuan dan kehendak untuk merdeka itu selalu dinyanyikan.

Dan ketika Indonesia sudah memperoleh kemerdekaan, para pejuang-pejuang kemerdekaan


menjadikan lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan. Dan, Wage Rudolf Supratman yang
meninggal dan dimakamkan di Surabaya tanggal 17 Agustus 1938, dikukuhkan menjadi
Pahlawan Nasional atas segala jasa-jasanya untuk nusa dan bangsa tercinta ini.

Jenderal Gatot Subroto

Jenderal Gatot Subroto (1907-1962)

Penggagas AKABRI
Pria berkumis tebal yang lahir di Banyumas 10 Oktober 1909, ini sejak anak-anak sudah
menunjukkan watak seorang pemimpin. Dia memiliki keberanian, ketegasan, tanggung jawab,
dan berpantang akan kesewenangan. Pengalaman tidak manis pernah dialaminya ketika masih
bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS).

Tentara yang aktif dalam tiga zaman ini pernah menjadi Tentara Hindia Belanda (KNIL) pada
masa pendudukan Belanda, anggota Pembela Tanah Air (Peta) pada masa pendudukan Jepang
dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) setelah kemerdekaan Indonesia serta turut menumpas PKI
pada tahun 1948. Ia juga menjadi penggagas terbentuknya Akademi Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (AKABRI).

Setelah kemerdekaan Indonesia, Gatot langsung masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR),
tentara bentukan pemerintah Indonesia sendiri dan merupakan tentara resmi RI yang dalam
perjalanannya kemudian berganti nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Sejak kemerdekaan hingga pengakuan kedaulatan kemerdekaan RI atau pada masa Perang
Kemerdekaan yakni antara tahun 1945-1950, dia dipercayai memegang beberapa jabatan
penting. Pernah dipercaya menjadi Panglima Divisi II, Panglima Corps Polisi Militer, dan
Gubernur Militer Daerah Surakarta dan sekitarnya.

Bersamaan di saat dirinya menjabat Gubernur Militer Daerah Surakarta dan sekitarnya,
pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) Madiun pun bergolak yakni pada bulan
September 1948. Pemberontakan yang didalangi oleh Muso itu akhirnya berhasil diatasi dengan
gemilang.

Setelah banyak terjadi peristiwa dalam mempertahankan kemerdekaan dari agresi militer
Belanda, pengakuan kedaulatan republik ini pun berhasil diperoleh. Pasca pengakuan
kedaulatan itu, Gatot Subroto semakin dipercaya mengemban tugas yang lebih tinggi. Dia
diangkat menjadi Panglima Tentara & Teritorium (T & T) IV I Diponegoro.

Di kalangan militer, dia dikenal sebagai seorang pimpinan yang mempunyai perhatian besar
terhadap pembinaan perwira muda. Menurutnya, salah satu cara untuk membina perwira
muda adalah dengan menyatukan akademi militer setiap angkatan yakni Angkatan Darat, Laut,
dan Udara, menjadi satu akademi. Gagasan tersebut akhirnya terwujud dengan terbentuknya
Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI).

Gatot Subroto akhirnya meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 11 Juni 1962, pada usia 55
tahun. Sang Jenderal ini dimakamkan di desa Mulyoharjo, Ungaran, Yogyakarta. Atas jasa-
jasanya yang begitu besar bagi negara, seminggu setelah kematiannya, Jenderal Gatot Subroto
dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang dikuatkan dengan SK Presiden RI
No.222 Tahun 1962, tgl 18 Juni 1962.

HR Rasuna Said

HR Rasuna Said (1910-1965)

Orator, Srikandi Kemerdekaan


HR Rasuna Said (Hajjah Rangkayo Rasuna Said) seorang orator, pejuang (srikandi) kemerdekaan
Indonesia. Pahlawan nasional Indonesia ini lahir di Maninjau, Agam, Sumatera Barat, 15
September 1910 dan wafat di Jakarta, 2 November 1965 dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
Seorang puteri terbaik bangsa yang tak hanya sekadar memperjuangkan adanya persamaan hak
antara pria dan wanita.

HR Rasuna Said diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden R.I. No.
084/TK/Tahun 1974 tanggal 13 Desember 1974. Selain itu, sebagai penghormatan atas
perjuangannya, namanya diabadikan sebagai salah satu nama jalan protokol di kawasan
Kuningan, Jakarta Selatan, termasuk bagian segi tiga emas Jakarta.

Dia pejuang yang berpandangan luas dan berkemauan keras. Sejak muda berjuang melalui
Sarekat Rakyat sebagai Sekretaris Cabang. Kemudian aktif sebagai anggota Persatuan Muslim
Indonesia (PERMI). Dia seorang orator yang sering kali mengecam tajam kekejaman dan
ketidakadilan pemerintah Belanda. Dia tak gentar kendati akibatnya harus ditangkap ditangkap
dan dipenjara pada tahun 1932 di Semarang.

Ketika pendudukan Jepang, Hajjah Rangkayo Rasuna Said ikut serta sebagai pendiri organisasi
pemuda Nippon Raya di Padang. Organisasi ini pun kemudian dibubarkan oleh Pemerintah
Jepang.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan dia aktif sebagai anggota Dewan Perwakilan Sumatera
mewakili daerah Sumatera Barat. Kemudian terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia Serikat (DPR RIS). Tahun 1959, kemudian menjadi anggota Dewan
Pertimbangan Agung sampai akhir hayatnya 1965.

Ismail Marzuki

Ismail Marzuki (1914-1958)

Komponis Pejuang Legendaris


Komponis pejuang dan maestro musik legendaris ini dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh
Presiden RI, dalam rangkaian Hari Pahlawan 10 November 2004 di Istana Negara. Dia dikenal
sebagai pejuang dan tokoh seniman pencipta lagu bernuansa perjuangan yang dapat
mendorong semangat membela kemerdekaan.

Ismail Marzuki kelahiran kampung Kwitang, Jakarta Pusat, pada tahun 1914 ini menciptakan
sekitar 250 lagu. Karya-karyanya sampai hari ini masih sering terdengar, antara lain Juwita
Malam, Sepasang Mata Bola, Selendang Sutera, Sabda Alam, dan Indonesia Pusaka.

Komponis pelopor yang wafat 25 Mei 1958, ini telah melahirkan lagu-lagu kepahlawanan, yang
menggugah jiwa nasionalisme. Maestro musik ini menyandang predikat komponis pejuang
legendaris Indonesia.

Ismail Marzuki memang seorang komponis besar yang sampai saat ini boleh jadi belum ada
yang dapat menggantikannya. Karena itu, memang sudah layak diberikan penghormatan
padanya sebagai pahlawan nasional.
Karya-karya Ismail Marzuki memang kaya, baik soal melodi maupun liriknya. Ia pun mencipta
lagu dengan bermacam warna, salah satunya keroncong, di antaranya Bandung Selatan di
Waktu Malam dan Selamat Datang Pahlawan Muda.

Jenderal Sudirman

Jenderal Sudirman (1916-1950)

Panglima dan Jenderal Pertama RI


Sudirman yang dilahirkan di Bodas Karangjati, Purbalingga, 24 Januari 1916, ini memperoleh
pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa, sebuah sekolah yang terkenal berjiwa nasional
yang tinggi. Kemudian ia melanjut ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Solo tapi tidak sampai
tamat. Sudirman muda yang terkenal disiplin dan giat di organisasi Pramuka Hizbul Wathan ini
kemudian menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap. Kedisiplinan, jiwa pendidik
dan kepanduan itulah kemudian bekal pribadinya hingga bisa menjadi pemimpin tertinggi
Angkatan Perang.

Jenderal Sudirman merupakan salah satu tokoh besar di antara sedikit orang lainnya yang
pernah dilahirkan oleh suatu revolusi. Saat usianya masih 31 tahun ia sudah menjadi seorang
jenderal. Meski menderita sakit paru-paru yang parah, ia tetap bergerilya melawan Belanda..

Sudirman merupakan salah satu pejuang dan pemimpin teladan bangsa ini. Pribadinya teguh
pada prinsip dan keyakinan, selalu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan
bangsa di atas kepentingan pribadinya. Ia selalu konsisten dan konsekuen dalam membela
kepentingan tanah air, bangsa, dan negara. Hal ini boleh dilihat ketika Agresi Militer II Belanda.
Ia yang dalam keadaan lemah karena sakit tetap bertekad ikut terjun bergerilya walaupun harus
ditandu.

Dalam keadaan sakit, ia memimpin dan memberi semangat pada prajuritnya untuk melakukan
perlawanan terhadap Belanda. Itulah sebabnya kenapa ia disebutkan merupakan salah satu
tokoh besar yang dilahirkan oleh revolusi negeri ini.

Dan melalui Konferensi TKR tanggal 2 Nopember 1945, ia terpilih menjadi Panglima Besar
TKR/Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 18 Desember
1945, pangkat Jenderal diberikan padanya lewat pelantikan Presiden. Jadi ia memperoleh
pangkat Jenderal tidak melalui Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya sebagaimana
lazimnya, tapi karena prestasinya.

Pada saat pasukan Belanda kembali melakukan agresinya atau yang lebih dikenal dengan Agresi
Militer II Belanda, Ibukota Negara RI berada di Yogyakarta sebab Kota Jakarta sebelumnya sudah
dikuasai. Jenderal Sudirman yang saat itu berada di Yogyakarta sedang sakit. Keadaannya sangat
lemah akibat paru-parunya yang hanya tinggal satu yang berfungsi.

Maka dengan ditandu, ia berangkat memimpin pasukan untuk melakukan perang gerilya.
Kurang lebih selama tujuh bulan ia berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lain,
dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah sekali sementara obat juga hampir-
hampir tidak ada. Tapi kepada pasukannya ia selalu memberi semangat dan petunjuk seakan
dia sendiri tidak merasakan penyakitnya. Namun akhirnya ia harus pulang dari medan gerilya, ia
tidak bisa lagi memimpin Angkatan Perang secara langsung, tapi pemikirannya selalu
dibutuhkan.

Pada tangal 29 Januari 1950, Panglima Besar ini meninggal dunia di Magelang dan dimakamkan
di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela
Kemerdekaan.
C. Jaman Setelah Kemerdekaan

Soekarno

Sang Proklamator
SOEKARNO (1901-1970)

Berdiri di Atas Kaki Sendiri


Soekarno (Bung Karno) Presiden Pertama Republik
Indonesia, 1945- 1966, menganut ideologi
pembangunan ‘berdiri di atas kaki sendiri’.
Proklamator yang lahir di Blitar, Jatim, 6 Juni 1901 ini
dengan gagah mengejek Amerika Serikat dan negara
kapitalis lainnya: “Go to hell with your aid.” Persetan
dengan bantuanmu.

Ia mengajak negara-negara sedang berkembang


(baru merdeka) bersatu. Pemimpin Besar Revolusi ini
juga berhasil mengge-lorakan semangat revolusi bagi
bangsanya, serta menjaga keutuhan NKRI.

Itulah Bung Karno yang berhasil menggelorakan


semangat revolusi dan mengajak berdiri di atas kaki
sendiri bagi bangsanya, walaupun belum sempat
berhasil membawa rakyatnya dalam kehidupan yang
sejahtera. Konsep “berdiri di atas kaki sendiri”
memang belum sampai ke tujuan tetapi setidaknya
berhasil memberikan kebanggaan pada eksistensi
bangsa. Daripada berdiri di atas utang luar negeri
yang terbukti menghadirkan ketergantungan dan
ketidakberdayaan (noekolonialisme).

Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang,


Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan
kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Sebelumnya,
ia juga berhasil merumuskan Pancasila yang
kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Ia berupaya mempersatukan
nusantara. Bahkan ia berusaha menghimpun bangsa-
bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan
Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang
kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.

Orator Ulung
Presiden pertama RI itu pun dikenal sebagai orator
yang ulung, yang dapat berpidato secara amat
berapi-api tentang revolusi nasional, neokolonialis-
me dan imperialisme. Ia juga amat percaya pada
kekuatan massa, kekuatan rakyat.

“Aku ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku


besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan
aku penyambung lidah rakyat,” kata Bung Karno,
dalam karyanya ‘Menggali Api Pancasila’. Suatu
ungkapan yang cukup jujur dari seorang orator
besar.

Gejala berbahasa Bung Karno merupakan fenomena


langka yang mengundang kagum banyak orang.
Kemahirannya menggunakan bahasa dengan segala
macam gayanya berhubungan dengan
kepribadiannya. Hal ini tercermin dalam
autobiografi, karangan-karangan dan buku-buku
sejarah yang memuat sepak terjangnya.

Anti Imperialisme
Pada 17 Mei 1956. Bung Karno mendapat
kehormatan menyampaikan pidato di depan Kongres
Amerika Serikat. Sebagaimana dilaporkan New York
Times (halaman pertama) pada hari berikutnya,
dalam pidato itu dengan gigih ia menyerang
kolonialisme.

“Perjuangan dan pengorbanan yang telah kami


lakukan demi pembebasan rakyat kami dari
belenggu kolonialisme, telah berlangsung dari
generasi ke generasi selama berabad-abad. Tetapi,
perjuangan itu masih belum selesai. Bagaimana
perjuangan itu bisa dikatakan selesai jika jutaan
manusia di Asia maupun Afrika masih berada di
bawah dominasi kolonial, masih belum bisa
menikmati kemerdekaan?” pekik Soekarno ketika
itu.

Hebatnya, meskipun pidato itu dengan keras


menentang kolonialisme dan imperialisme, serta
cukup kritis terhadap negara-negara Barat, ia
mendapat sambutan luar biasa di Amerika Serikat
(AS).

Pidato itu menunjukkan konsistensi pemikiran dan


sikap-sikap Bung Karno yang sejak masa mudanya
antikolonialisme. Terutama pada periode 1926-1933,
semangat antikolonialisme dan anti-imperialisme itu
sudah jelas dikedepankannya.

Mohammad Hatta

Mohammad Hatta (1902-1980)

Sang Proklamator
Mohammad Hatta lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di
Bukittinggi. Di kota kecil yang indah inilah Bung Hatta
dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya. Ayahnya, Haji
Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia
delapan bulan. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara
perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya.

Tangal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia


diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta
atas nama bangsa Indonesia, tepat pada jam 10.00 pagi di
Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta.

Tanggal 18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat sebagai


Presiden Republik Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta
diangkat menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia.
Periode Tahun 1950-1956
Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif
memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga
pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis berbagai
karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan
koperasi. Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi
untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi
ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta
mengucapkan pidato radio untuk menyambut Hari
Koperasi di Indonesia. Karena besamya aktivitas Bung
Hatta dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal 17 Juli
1953 dia diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada
Kongres Koperasi Indonesia di Bandung. Pikiran-pikiran
Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan
dalam bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan
Koperasi Membangun (1971).

Pada tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar


kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam
ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di Yoyakarta.
Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato
pengukuhan yang berjudul “Lampau dan Datang”.

Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai


Wakil Presiden RI, beberapa gelar akademis juga
diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas
Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta
sebagai guru besar dalam ilmu politik perekonomian.
Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan
gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi.
Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris
Causa di bidang ilmu hukum. Pidato pengukuhan Bung
Hatta berjudul “Menuju Negara Hukum”.

Pada Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil


Presiden Pertama Republik Indonesia, wafat pada tanggal
14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo,
Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU
Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret 1980.
Jenderal Anumerta Achmad Yani

Jenderal Anumerta Achmad Yani (1922-1965)

Jenderal Anti Komunis

Jenderal Achmad Yani terkenal sebagai seorang tentara yang selalu berseberangan dengan
Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketika menjabat Menteri/Panglima Angkatan Darat
(Men/Pangad) atau yang sekarang menjadi Kepala Staf Angkatan Darat sejak tahun 1962, ia
menolak keinginan PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani.

Karenanya, dengan fitnah bahwa sejumlah TNI AD telah bekerja sama dengan sebuah negara
asing untuk menjatuhkan Presiden Soekarno, PKI lewat Gerakan Tiga Puluh September (G 30/S)
menjadikan dirinya salah satu target yang akan diculik dan dibunuh di antara tujuh petinggi TNI
AD lainnya.

Peristiwa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 dinihari itu akhirnya menewaskan enam
dari tujuh Perwira Tinggi Angkatan Darat yang sebelumnya direncanakan PKI. Lubang Buaya,
lokasi dimana sumur tempat menyembunyikan jenazah para Pahlwawan Revolusi itu berada
menjadi saksi bisu atas kekejaman komunis tersebut.

Sutoyo Siswomiharjo

Sutoyo Siswomiharjo (1922-1965)

Gugur Dianiaya G-30-S/PKI

Mayor Jenderal TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo dianugerahi penghargaan sebagai


Pahlawan Revolusi. Mantan IRKEHAD kelahiran Kebumen, 23 Agustus 1922, ini gugur di Lubang
Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 sebagai korban dalam peristiwa Gerakan 30 September/PKI.
Beliau dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
Letnan Jenderal Anumerta Suprapto

Letnan Jenderal Anumerta Suprapto (1920-1965)

Menentang Komunis

Letnan Jenderal Anumerta Suprapto terkenal sebagai seorang tentara yang taat menjalankan
ibadah agama dan tidak pernah setuju dengan ajaran komunis. Sehingga ketika menjabat
Deputy II Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad), dialah salah satu perwira yang
menolak usulan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri
dari buruh dan tani.

Karena penolakan itu, pria kelahiran Purwokerto yang masuk tentara jamannya Tentara
Keamanan Rakyat dan yang pernah menjadi ajudan Panglima Besar Jenderal Sudirman, ini
selalu dimusuhi dan selalu mendapat rongrongan dari pihak PKI. Bahkan akhirnya dalam
pemberontakan Gerakan Tiga Puluh September tahun 1965, ia salah satu perwira tinggi yang
menjadi korban penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh PKI.

Terakhir, dengan membuat fitnah adanya sejumlah Jenderal TNI AD bekerjasama dengan satu
negara luar hendak menggulingkan Presiden Soekarno, PKI pun melakukan aksinya pada malam
30 September 1965 atau subuh tanggal 1 Oktober 1965. Rencananya PKI hendak menculik dan
membunuh tujuh Perwira Tinggi AD. Rencana jahat itu berjalan hampir sempurna. Hanya satu
di antara perwira dimaksud yang berhasil lolos dari penculikan yakni Jenderal A.H. Nasution,
walaupun untuk itu, Pierre Tendean ajudan Nasution sendiri harus menjadi tumbalnya.

Keenam Perwira Tinggi AD itu yakni: Jend. TNI Anumerta Achmad Yani; Letjen. TNI Anumerta
Suprapto; Letjen. TNI Anumerta S.Parman; Letjen. TNI Anumerta M.T. Haryono; Mayjen. TNI
Anumerta D.I. Panjaitan; Mayjen. TNI Anumerta Sutoyo S; dan satu Perwira Pertama yaitu
Kapten CZI TNI Anumerta Pierre Tendean.

Ketujuh perwira yang berhasil diculik dan dibunuh itu besok harinya oleh tim yang dipimpin
Soeharto (mantan Presiden RI) ditemukan terkubur di sumur tua di daerah Lubang Buaya.
Jenazah ketujuh korban ditemukan penuh lumpur dan darah, dari bekas luka di tubuh para
korban disimpulkan bahwa sebagian korban langsung mati tertembak sementara sebagian lagi
lebih dulu disiksa kemudian baru ditembak.

Suprapto yang karena kesetiaanya pada Pancasila gugur sebagai Pahlawan Revolusi. Bersama
enam perwira lainnya ia dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata. Pangkatnya yang
sebelumnya masih Mayor Jenderal kemudian dinaikkan satu tingkat menjadi Letnan Jenderal
sebagai penghargaan atas jasa-jasanya.

Dan untuk menghormati jasa para pahlawan tersebut, oleh pemerintah Orde Baru
ditetapkanlah tanggal 1 Oktober setiap tahunnya sebagai hari Kesaktian Pancasila sekaligus
sebagai hari libur nasional. Dan di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur di depan sumur tua
tempat jenazah ditemukan, dibangun tugu dengan latar belakang patung ketujuh Pahlawan
Revolusi tersebut. Tugu tersebut dinamai Tugu Kesaktian Pancasila.
Letnan
Jenderal
Anumerta
S. Parman

Letnan Jenderal Anumerta S. Parman (1918-1965)

Setia Pada Pancasila

Kata orang bijak, fitnah lebih kejam daripada membunuh. Dan apa yang dilakukan oleh PKI pada
tujuh perwira pada malam 30 September 1965 jauh lebih kejam lagi. Setelah memfitnah
dengan menyebutkan bahwa para Jenderal itu telah bekerjasama dengan satu negara luar untuk
menjatuhkan Presiden Soekarno, PKI juga menculik dan membunuh perwira-perwira tersebut
secara sadis dan biadab. Letjen. Anumerta S. Parman yang waktu itu menjabat sebagai Asisten I
Menteri/Panglima Angkatan Darat termasuk salah satu dari ketujuh perwira tersebut.

Pria kelahiran Wonosobo, Jawa Tengah ini merupakan perwira intelijen, sehingga banyak tahu
tentang kegiatan rahasia PKI karena itulah dirinya termasuk salah satu di antara para perwira
yang menolak rencana PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani.
Penolakan yang membuatnya dimusuhi dan menjadi korban pembunuhan PKI.
Perwira yang gugur sebagai Pahlawan Revolusi ini lahir di Wonosobo, Jawa Tengah, 4 Agustus
S. Parman gugur sebagai Pahlawan Revolusi untuk mempertahankan Pancasila. Bersama enam
perwira lainnya ia dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata. Pangkatnya yang
sebelumnya masih Mayor Jenderal kemudian dinaikkan satu tingkat menjadi Letnan Jenderal
sebagai penghargaan atas jasa-jasanya.

Mayor Jenderal Anumerta D.I. Panjaitan

Mayor Jenderal Anumerta D.I. Panjaitan (1925-


1965)

PembongkarKonspirasi
PKI - RRC

Keberhasilan Mayor Jenderal Anumerta D.I.


Panjaitan membongkar rahasia kiriman senjata
dari Republik Rakyat Cina (RRC) untuk Partai
Komunis Indonesia (PKI) serta penolakannya
terhadap rencana PKI untuk membentuk
Angkatan Kelima yang terdiri atas buruh dan tani,
membuat dirinya masuk daftar salah satu perwira
Angkatan Darat yang dimusuhi oleh PKI.
Kebencian PKI itu kemudian berujung pada aksi
penculikan serta pembunuhan dirinya saat
pemberontakan Gerakan 30 September 1965.

Ketika menjabat Asisten IV Men/Pangad, ia


mencatat prestasi tersendiri atas keberhasilannya
membongkar rahasia pengiriman senjata dari
Republik Rakyat Cina (RRC) untuk PKI. Dari situ
diketahui bahwa senjata-senjata tersebut
dimasukkan ke dalam peti-peti bahan bangunan
yang akan dipakai dalam pembangunan gedung
Conefo (Conference of the New Emerging Forces).
Senjata-senjata itu diperlukan PKI yang sedang
giatnya mengadakan persiapan melancarkan
pemberontakan.

Dengan bertameng alasan dipanggil oleh


Panglima Tertinggi Presiden Soekarno, tujuh
perwira tinggi TNI AD, pada malam 30 September
atau pagi dinihari tanggal 1 Oktober 1965 hendak
diculik oleh sekelompok berpakaian Pengawal
Presiden yang kemudian diketahui adalah
pasukan PKI. Enam perwira tinggi itu berhasil
diculik, namun Jenderal A.H. Nasution berhasil
lolos tapi puteri dan ajudannya menjadi korban
peristiwa itu.

Mayjen Anumerta D.I. Panjaitan yang malam


dinihari itu merasa heran akan pemanggilan
mendadak itu. Namun karena loyalitasnya pada
pimpinan tertinggi militer, Presiden Soekarno, ia
pun berangkat namun terlebih dahulu berpakaian
resmi. Namun firasatnya yang tajam sepertinya
merasakan bahaya yang sedang terjadi. Sebelum
memasuki mobilnya, dengan berdiri di samping
mobil ia lebih dulu memohon doa kepada Tuhan.
Namun belum selesai menutup doanya, pasukan
PKI sudah memberondongnya dengan peluru.

Pencarian yang dilakukan di bawah pimpinan


Soeharto (Mantan Presiden RI yang waktu itu
menjabat sebagai Pangkostrad), ditemukanlah
jenazah Panjaitan di Lubang Buaya, terkubur
massal di dalam satu sumur tua yang tidak
dipakai lagi bersama enam perwira lainnya. Ia
gugur sebagai Pahlawan Revolusi, kemudian
dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata.
Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya,
pangkatnya yang sebelumnya masih Brigadir
Jenderal kemudian dinaikkan satu tingkat
menjadi Mayor Jenderal.
Letnan Jenderal
Anumerta M.T. Haryono

Letnan Jenderal Anumerta M.T. Haryono (1924-1965)

Letjen Anumerta M.T. Haryono kelahiran Surabaya, 20 Januari 1924, ini sebelumnya memperoleh
pendidikan di ELS (setingkat Sekolah Dasar) kemudian diteruskan ke HBS (setingkat Sekolah Menengah
Umum). Setamat dari HBS, ia sempat masuk Ika Dai Gakko (Sekolah Kedokteran masa pendudukan
Jepang) di Jakarta, namun tidak sampai tamat.

Pada tanggal 1 Oktober 1965 dinihari, Letjen. TNI Anumerta M.T. Haryono bersama enam
perwira lainnya yakni: Jend. TNI Anumerta Achmad Yani; Letjen. TNI Anumerta Suprapto;
Letjen.TNI Anumerta S Parman; Mayjen. TNI Anumerta D.I. Panjaitan; Mayjen. TNI Anumerta
Sutoyo S; dan Kapten CZI TNI Anumerta Pierre Tendean berhasil diculik kemudian dibunuh
secara membabi buta dan jenazahnya dimasukkan ke sumur tua di daerah Lubang Buaya tanpa
prikemanusiaan.

M.T. Haryono yang tewas karena mempertahankan Pancasila itu gugur sebagai Pahlawan
Revolusi. Ia kemudian dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata. Sebagai penghargaan
atas jasa-jasanya, pangkatnya yang sebelumnya masih Mayor Jenderal kemudian dinaikkan satu
tingkat menjadi Letnan Jenderal.
Untuk menghormati jasa para Pahlawan Revolusi sekaligus untuk mengingatkan bangsa ini akan
peristiwa penghianatan PKI tersebut, dengan demikian diharapkan peristiwa yang sama tidak
akan terulang kembali, maka oleh pemerintahan Soeharto ditetapkanlah tanggal 1 Oktober
setiap tahunnya sebagai hari Kesaktian Pancasila sekaligus sebagai hari libur nasional. Dan di
daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur di depan sumur tua tempat jenazah ditemukan,
dibangunlah Tugu Kesaktian Pancasila sebagai tugu peringatan yang berlatar belakang patung
ketujuh Pahlawan Revolusi tersebut.

Pierre Tendean

Kapten (Anumerta) Pierre Andreas Tendean (1939–1965) salah seorang korban pada peristiwa
Gerakan 30 September dan merupakan pahlawan nasional Indonesia.

Beliau adalah ajudan dari Jenderal Abdul Harris Nasution (Panglima ABRI) pada era Soekarno.
Abdul Harris Nasution lolos dari peristiwa penculikan tetapi anaknya, Ade Irma Suryani
Nasution tewas tertembus peluru. Pierre Tendean sendiri ditangkap oleh segerombolan
penculik dan dibunuh di Lubang Buaya. Beliau diculik karena dikira adalah Jenderal
A.H.Nasution.

Beliau dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.


Halim Perdana Kusuma (1922-1947)

Gugur Saat Bertugas


Halim Perdanakusuma (Halim Perdana Kusuma) seorang pahlawan Indonesia. Pria kelahiran
Sampang, 18 November 1922, ini gugur di Malaysia, 14 Desember 1947 dalam usia 25 tahun
saat menjalankan tugas semasa perang Indonesia-Belanda di Sumatera. Ia ditugaskan membeli
dan mengangkut perlengkapan senjata dengan pesawat terbang dari Thailand.

Pemerintah memberi penghormatan atas jasa dan perjuangan Halim, dengan menganugerahi
gelar pahlawan nasional dan mengabadikan namanya di sebuah lapangan terbang (Bandar
Udara) internasional Halim Perdanakusuma di Jakarta. Juga dengan mengabadikan namanya
pada kapal perang KRI Abdul Halim Perdanakusuma.

Yos Sudarso

Yos Sudarso (1925-1962)

Gugur di Atas KRI Macan Tutul


Pahlawan Nasional Laksamana Madya Yosaphat Sudarso, yang lebih dikenal dengan panggilan
Yos Sudarso, kelahiran Salatiga, 24 November 1925, gugur dalam pertempuran di atas KRI
Macan Tutul dalam pertempuran Laut Aru 13 Januari 1962 pada masa kampanye Trikora.
Namanya kini diabadikan pada sebuah KRI dan pulau.

Anda mungkin juga menyukai