Pahlawan Nasional Jadi
Pahlawan Nasional Jadi
Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo (1593 - 1645) adalah raja Kesultanan Mataram yang
memerintah pada tahun 1613-1645. Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang
menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara pada saat itu.
Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan menjadi
pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November
1975.
Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan Raden Mas
Rangsang. Merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyokrowati dan Ratu Mas Adi Dyah
Banowati. Ayahnya adalah raja kedua Mataram, sedangkan ibunya adalah putri Pangeran
Benawa raja Pajang.
Pada awal pemerintahannya, Mas Rangsang bergelar Panembahan Agung. Kemudian setelah
menaklukkan Madura tahun 1624, ia mengganti gelarnya menjadi Susuhunan Agung, atau
disingkat Sunan Agung.
Pada tahun 1641 Sunan Agung mendapatkan gelar bernuansa Arab. Gelar tersebut adalah
Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami, yang diperolehnya dari pemimpin Ka'bah di
Makkah,
Sultan Agung naik takhta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun. Dua tahun kemudian, patih senior
Ki Juru Martani wafat karena usia tua, dan kedudukannya digantikan oleh Tumenggung Singaranu.
Pada tahun 1614 VOC (yang saat itu masih bermarkas di Ambon) mengirim duta untuk mengajak
Sultan Agung bekerja sama namun ditolak mentah-mentah. Pada tahun 1618
Mataram dilanda gagal panen akibat perang yang berlarut-larut melawan Surabaya. Meskipun
demikian, Sultan Agung tetap menolak bekerja sama dengan VOC.
Pada tahun 1619 VOC berhasil merebut Jakarta dan mengganti namanya menjadi Batavia.
Markas mereka pun dipindah ke kota itu. Menyadari kekuatan bangsa Belanda tersebut, Sultan
Agung mulai berpikir untuk memanfaatkan VOC dalam persaingan menghadapi Surabaya dan
Banten.
Maka pada tahun 1621 Mataram mulai menjalin hubungan dengan VOC. Kedua pihak saling
mengirim duta besar. Akan tetapi, VOC ternyata menolak membantu saat Mataram menyerang
Surabaya. Akibatnya, hubungan diplomatik kedua pihak pun putus.
Sultan Agung pantang menyerah menghadapi penjajah yang sangat kuat. Ia mencoba menjalin
hubungan dengan Portugis untuk bersama-sama menghancurkan VOC-Belanda. Namun
hubungan kemudian diputus tahun 1635 karena ia menyadari posisi Portugis saat itu sudah
lemah.
Akhir Kekuasaan
Seluruh Pulau Jawa akhirnya berada dalam kekuasaan Kesultanan Mataram, kecuali Batavia
yang masih diduduki militer VOC-Belanda. Sedangkan desa Banten telah berasimilasi melalui
peleburan kebudayaan. Wilayah luar Jawa yang berhasil ditundukkan adalah Palembang di
Sumatra tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan tahun 1622. Sultan Agung juga menjalin
hubungan diplomatik dengan Makassar, negeri terkuat di Sulawesi saat itu.
Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar tidak hanya dibangun di atas
pertumpahan darah dan kekerasan, namun melalui kebudayaan rakyat yang adiluhung dan
mengenalkan sistem-sistem pertanian. Negeri-negeri pelabuhan dan perdagangan seperti
Surabaya dan Tuban dimatikan, sehingga kehidupan rakyat hanya bergantung pada sektor
pertanian.
Sultan Agung juga menaruh perhatian pada kebudayaan. Ia memadukan Kalender Hijriyah yang
dipakai di pesisir utara dengan Kalender Saka yang masih dipakai di pedalaman. Hasilnya adalah
terciptanya Kalender Jawa Islam sebagai upaya pemersatuan rakyat Mataram. Selain itu Sultan
Agung juga dikenal sebagai penulis naskah berbau mistik, berjudul Sastra Gending.
Di lingkungan keraton Mataram, Sultan Agung menetapkan pemakaian bahasa bagongan yang
harus dipakai oleh para bangsawan dan pejabat demi untuk menghilangkan kesenjangan satu
sama lain. Dengan demikian diharapkan dapat terciptanya rasa persatuan di antara penghuni
istana.
Menjelang tahun 1645 Sultan Agung merasa ajalnya sudah dekat. Ia pun membangun Astana
Imogiri sebagai pusat pemakaman keluarga raja-raja Kesultanan Mataram mulai dari dirinya. Ia
juga menuliskan serat Sastra Gending sebagai tuntunan hidup trah Mataram.
Sesuai dengan wasiatnya, Sultan Agung yang meninggal dunia tahun 1645 digantikan oleh
putranya yang bernama Raden Mas Sayidin sebagai raja Mataram selanjutnya, bergelar
Amangkurat I.
Sultan Hasanuddin (1631 - 1670), Raja Gowa ke-16, terlahir dengan nama I Mallombasi
Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Setelah memeluk agama Islam,
ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja
lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. Karena keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van
Het Oosten oleh Belanda yang artinya Ayam Jantan/Jago dari Benua Timur. Ia dimakamkan di
Katangka, Makassar.
Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden No. 087/TK/1973,
tanggal 6 November 1973.[1]
Sultan Hasanuddin lahir di Makassar, merupakan putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja
Gowa ke-15. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda yang diwakili
Kompeni sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Gowa merupakan
kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan.
Nyi Ageng Serang (Serang, 1752 - Yogyakarta, 1828) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia.
Beliau dimakamkan di Kalibawang, Kulon Progo.Beliau pahlawan nasional yang hampir
terlupakan,mungkin karena namanya tak sepopuler RA kartini atau Tjut nyak dien tapi beliau sangat
berjasa bagi negeri ini.Warga kulonprogo mengabadikan monumen beliau di tengah kota Wates berupa
patung beliau sedang menaiki kuda dengan gagah berani membawa tombak.
Sultan Mahmud Badaruddin II
Tanggal 13 Juli 1821, menjelang tengah malam, SMB II beserta keluarganya menaiki kapal
Dageraad dengan tujuan Batavia. Dari Batavia SMB II dan keluarganya diasingkan ke Ternate
sampai akhir hayatnya 26 September 1852.
Kapitan
Pattimura
Perlawanan sejati ditunjukkan oleh pahlawan ini dengan keteguhannya yang tidak mau
kompromi dengan Belanda. Beberapa kali bujukan pemerintah Belanda agar beliau bersedia
bekerjasama sebagai syarat untuk melepaskannya dari hukuman gantung tidak pernah
menggodanya. Beliau memilih gugur di tiang gantung sebagai Putra Kesuma Bangsa daripada
hidup bebas sebagai penghianat yang sepanjang hayat akan disesali rahim ibu yang
melahirkannya.
Di Saparua, Thomas Matulessy dipilih oleh rakyat untuk memimpin perlawanan. Untuk itu, ia
pun dinobatkan bergelar Kapitan Pattimura. Pada tanggal 16 mei 1817, suatu pertempuran
yang luar biasa terjadi. Rakyat Saparua di bawah kepemimpinan Kapitan Pattimura tersebut
berhasil merebut benteng Duurstede. Tentara Belanda yang ada dalam benteng itu semuanya
tewas, termasuk Residen Van den Berg.
Di sebuah rumah di Siri Sori, Kapitan Pattimura berhasil ditangkap pasukan Belanda. Bersama
beberapa anggota pasukannya, dia dibawa ke Ambon. Di sana beberapa kali dia dibujuk agar
bersedia bekerjasama dengan pemerintah Belanda namun selalu ditolaknya.
Tapi Pattimura menunjukkan kesejatian perjuangannya dengan tetap menolak bujukan itu. Di
depan benteng Victoria, Ambon pada tanggal 16 Desember 1817, eksekusi pun dilakukan.
Kapitan Pattimura gugur sebagai Pahlawan Nasional. Dari perjuangannya dia meninggalkan
pesan tersirat kepada pewaris bangsa ini agar sekali-kali jangan pernah menjual kehormatan
diri, keluarga, terutama bangsa dan negara ini.
Pangeran Diponegoro
Dalam perundingan di Magelang tanggal 28 Maret 1830, beliau ditangkap dan dibuang ke
Menado yang dikemudian hari dipindahkan lagi ke Ujungpandang.
Setelah kurang lebih 25 tahun ditahan di Benteng Rotterdam, Ujungpandang, akhirnya pada
tanggal 8 Januari 1855 beliau meninggal. Jenazahnya pun dimakamkan di sana. Beliau wafat
sebagai pahlawan bangsa yang tidak pernah mau menyerah pada kejaliman manusia.
Pangeran Antasari
Pangeran Antasari (1797 - 1862) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Beliau
meninggal karena penyakit cacar di pedalaman sungai Barito, Kalimantan Tengah. Kerangkanya
dipindahkan ke Banjarmasin dan dimakamkan kembali di Taman Makam Perang Banjar
(Komplek Makam Pangeran Antasari), Banjarmasin Utara, Banjarmasin. Perjuangan beliau
dilanjutkan oleh keturunannya Sultan Muhammad Seman dan cucunya Ratu Zaleha.
Pada 14 Maret 1862 menyandang gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin dihadapan
para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Tanah Dusun Atas, Kapuas dan
Kahayan yaitu Kiai Adipati Jaya Raja.
Semasa muda nama beliau adalah Gusti Inu Kartapati. Ayah Pangeran Antasari adalah Pangeran
Masohut (Mas'ud) bin Pangeran Amir bin Sultan Muhammad Aminullah dan ibunya Gusti
Hadijah binti Sultan Sulaiman. Ia pernah meledakkan kapal milik Belanda yang bernama Kapal
Onrust dan juga dengan pemimpin-pemimpinnya yang bernama Letnan der Velde dan Letnan
Bangert.
Teungku Cik di Tiro atau Muhammad Saman (1836 – 1891), adalah seorang pahlawan dari
Aceh. Ia adalah putra dari Teungku Syekh Ubaidillah. Sedangkan ibunya bernama Siti Aisyah,
putri Teungku Syekh Abdussalam Muda Tiro. Ia lahir pada tahun 1836, bertepatan dengan 1251
Hijriah di Dayah Jrueng kenegerian Cumbok Lam Lo, Tiro, daerah Pidie, Aceh. Ia dibesarkan
dalam lingkungan agama yang ketat.
Dengan Perang Sabilnya, satu persatu benteng Belanda dapat direbut. Begitu pula wilayah-
wilayah yang selama ini diduduki Belanda jatuh ke tangan pasukan Cik di Tiro. Pada bulan Mei
tahun 1881, pasukan Cik Di Tiro dapat merebut benteng Belanda Lam Baro, Aneuk Galong dan
lain-lain. Belanda merasa kewalahan akhirnya memakai "siasat liuk" dengan mengirim makanan
yang sudah dibubuhi racun. Tanpa curiga sedikitpun Cik di Tiro memakannya, dan akhirnya
meninggal pada bulan Januari 1891 di benteng Aneuk Galong.
Panglima Polem
Panglima Polem bernama lengkap Teuku Panglima Polem Sri Muda Setia Perkasa Muhammad
Daud adalah salah seorang pejuang kemerdekaan Republik Indonesia yang berasal dari Aceh.
Setelah dewasa, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud menikah dengan salah seorang
puteri dari Tuanku Hasyim Bantamuda, tokoh Aceh yang seperjuangan dengan ayahnya. Dia
diangkat sebagai Panglima Polem IX paada bulan Januari 1891 untuk menggantikan ayahnya
Panglima Polem Raja Kuala yang telah wafat. Setelah pengangkatannya sebagai Panglima dia
kemudian mempunyai nama lengkap Teuku Panglima Polem Sri Muda Setia Perkasa
Muhammad Daud.
Dalam perjuangannya Panglima Polem Raja Daud secara tidak langsung juga memperoleh
dukungan dari para ulama Aceh.
Pada awal tahun 1901, Sultan Muhammad Daud Syah bersama Panglima Polem mengambil
inisiatif secara bersama-sama menyingkir ke daerah gayo dan kemudian menjadikan daerah ini
sebagai pusat pertahanan Aceh. Di daerah ini Sultan Aceh bersama Panglima Polem dan
pasukannya kembali menyusun strategi baru untuk mempersiapkan penyarangan terhadap
Belanda.
Karena menerima berita ancaman bahwa keluarga mereka akan ditangkap dan dibuang, maka
pada tanggal 10 Januari 1903 Sultan Muhammad Daud Syah terpaksa berdamai dengan
Belanda. Pemerintah Hindia Belanda mengasingkannya ke Ambon dan terakhir dipindahkan ke
Batavia sampai Sultan wafat pada tanggal 6 Februari 1939. Hal ini menyebabkan Teuku
Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud secara terpaksa juga berdamai dengan
Belanda pada tanggal 7 September 1903
Cut Nyak Meutia
Wanita kelahiran Perlak, Aceh, tahun 1870, ini adalah seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional
yang hingga titik darah penghabisan tetap memegang prinsip tak akan mau tunduk kepada
kolonial.
Sebelum Cut Nyak Meutia lahir, pasukan Belanda sudah menduduki daerah Aceh yang digelari
serambi Mekkah tersebut. Perlakuan Belanda yang semena-mena dengan berbagai pemaksaan
dan penyiksaan akhirnya menimbulkan perlawanan dari rakyat. Tiga tahun sebelum perang
Aceh-Belanda meletus, ketika itulah Cut Nyak Meutia dilahirkan. Suasana perang pada saat
kelahiran dan perkembangannya itu, di kemudian hari sangat memengaruhi perjalanan
hidupnya.
Perang terhadap pendudukan Belanda terus berkobar seakan tidak pernah berhenti. Cut Nyak
Meutia bersama suaminya Teuku Cik Tunon langsung memimpin perang di daerah Pasai. Perang
yang berlangsung sekitar tahun 1900-an itu telah banyak memakan korban baik dari pihak
pejuang kemerdekaan maupun dari pihak Belanda.
Tapi pengejaran pasukan Belanda yang sangat intensif membuatnya tidak bisa menghindar lagi.
Rahasia tempat persembunyiannya terbongkar. Dalam suatu pengepungan yang rapi dan ketat
pada tanggal 24 Oktober 1910, dia berhasil ditemukan.
Walaupun pasukan Belanda bersenjata api lengkap tapi itu tidak membuat hatinya kecut.
Dengan sebilah rencong di tangan, dia tetap melakukan perlawanan. Namun tiga orang tentara
Belanda yang dekat dengannya melepaskan tembakan. Dia pun gugur setelah sebuah peluru
mengenai kepala dan dua buah lainnya mengenai dadanya.
Cut Nyak Meutia gugur sebagai pejuang pembela bangsa. Atas jasa dan pengorbanannya, oleh
negara namanya dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang disahkan dengan
SK Presiden RI No.107 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964.
Jiwa pejuang memang sudah diwarisi Cut Nyak Dien dari ayahnya yang seorang pejuang
kemerdekaan yang tidak kenal kompromi dengan penjajahan. Dia yang dibesarkan dalam
suasana memburuknya hubungan antara kerajaan Aceh dan Belanda semakin mempertebal
jiwa patriotnya.
Dua tahun setelah kematian suami pertamanya atau tepatnya pada tahun 1880, Cut Nyak Dien
menikah lagi dengan Teuku Umar, kemenakan ayahnya. Sumpahnya yang hanya akan menikah
dengan pria yang bersedia membantu menuntut balas kematian suami pertamanya benar-
benar ditepati. Teuku Umar adalah seorang pejuang kemerdekaan yang terkenal banyak
mendatangkan kerugian bagi pihak Belanda. Teuku Umar telah dinobatkan oleh negara sebagai
Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Sekilas mengenai Teuku Umar. Teuku Umar terkenal sebagai seorang pejuang yang banyak
taktik. Pada tahun 1893, pernah berpura-pura melakukan kerja sama dengan Belanda hanya
untuk memperoleh senjata dan perlengkapan perang. Setelah tiga tahun berpura-pura bekerja
sama, Teuku Umar malah berbalik memerangi Belanda. Tapi dalam satu pertempuran di
Meulaboh pada tanggal 11 Pebruari 1899, Teuku Umar gugur.
Begitu teguhnya pendirian Cut Nyak Dien sehingga ketika sudah terkepung dan hendak
ditangkap pun dia masih sempat mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda.
Pasukan Belanda yang begitu banyak akhirnya berhasil menangkap tangannya. Dia lalu ditawan
dan dibawa ke Banda Aceh.
Tapi walaupun di dalam tawanan, dia masih terus melakukan kontak atau hubungan dengan
para pejuang yang belum tunduk. Tindakannya itu kembali membuat pihak Belanda berang
sehingga dia pun akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat. Di tempat pembuangan itulah
akhirnya dia meninggal dunia pada tanggal 6 Nopember 1908, dan dimakamkan di sana.
Perjuangan dan pengorbanan yang tidak mengenal lelah didorong karena kecintaan pada
bangsanya menjadi contoh dan teladan bagi generasi berikutnya. Atas perjuangan dan
pengorbanannya yang begitu besar kepada negara, Cut Nyak Dien dinobatkan menjadi
Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Penobatan tersebut dikuatkan dengan SK Presiden RI No.106
Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964
Raja Si Singamangaraja
Dalam sejarah perjuangan nasional Indonesia, ia seorang pejuang yang tidak mau berkompromi
dengan Belanda. Sehingga terjadilah pertempuran sengit yang menewaskan hampir seluruh
keluarganya melawan penjajah. Patuan Bosar Ompu Pulo Batu atau Raja Si Singamangaraja XII
bersama dua putra dan satu putrinya serta beberapa panglimanya yang berasal dari Aceh gugur
pada saat yang sama yaitu tanggal 17 Juni 1907 di Sionom Hudon.
Raja Si Singamangaraja XII tepatnya gugur di hutan daerah Simsim, Sindias di kaki gunung
Sitapongan, kurang lebih 9-10 km dari Pearaja, Sionom Hudon, Tapanuli, Sumatera Utara.
(Disebut Sionom Hudon, sesuai dengan keenam marga yang menguasai daerah itu yaitu
Tinambunan, Tumanggor, Maharaja, Pinayungan, Turutan, dan Anakampun). Jenazahnya mula-
mula dimakamkan di Tarutung, kemudian dipindahkan ke Sopo Surung Balige.
Perang Batak yang dipimpin Si Singamangaraja XII di Tapanuli, Sumatera Utara yang pecah sejak
tahun 1878 itu, akhirnya berakhir sudah. Sejarah mencatat, ketika gugurnya sang pahlawan ini
yang menjadi Gubernur Jenderal yaitu pemangku jabatan Kerajaan Belanda yang tertinggi
daerah kolonial di Nusantara adalah Gubernur Jenderal J.B.van Heutsz, sedangkan Gubernur
Militer di Aceh yang mencakup Sumatera Utara adalah Jenderal G.O.E.van Daalen.
Dan dibawah pasukan Kapten Christoffel alias ‘Si Macan Aceh’, seorang berkebangsaan Swiss
yang sebelumnya hanya merupakan serdadu bayaran, namun kemudian tahun 1906 menjadi
warga negara Belanda, akhirnya sang pahlawan, Raja Si Singamangaraja XII gugur tertembak.
Kapten Christoffel yang melaporkan gugurnya Raja Si Singamangaraja XII di Tanah Batak kepada
Gubernur Jenderal J.B.van Heutsz di Bogor ketika itu membawa bukti jarahan berupa Piso Gaja
Dompak dan Stempel Kerajaan. Stempel kerajaan dan Piso Gaja Dompak pun secara resmi
disampaikan oleh Bataviaaschap Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Lembaga
Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan di Batavia) pada rapatnya tanggal 7 Agustus 1907 kepada
Museum di Gedung Gajah (Jalan Merdeka Barat sekarang-red). Piso Gaja Dompak waktu itu
diberi tanda nomor 13425.
B. Jaman Pergerakan Nasional
Kyai Haji Ahmad Dahlan (Yogyakarta, 1 Agustus 1868–Yogyakarta, 23 Februari 1923) adalah
seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Beliau adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari
keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid
Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari
H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu.
Pada tahun 1903, beliau bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada
masa ini, beliau sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU,
K.H. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman,
Yogyakarta.
Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui
pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya
sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961.
Samanhudi
Kiai Haji Samanhudi (1868–1956) adalah pendiri Sarekat Dagang Islamiyah, sebuah organisasi
massa di Indonesia yang awalnya merupakan wadah bagi para pengusaha batik di Surakarta.
Dokter lulusan STOVIA, Sekolah Dokter Jawa di Jakarta, ini sangat senang bergaul dengan rakyat
biasa. Sehinggga tak heran bila ia mengetahui banyak penderitaan rakyat. Ia juga sangat
menyadari bagaimana terbelakang dan.tertindasnya rakyat akibat penjajahan Belanda.
Menurutnya, salah satu cara untuk membebaskan diri dari penjajahan, rakyat harus cerdas.
Untuk itu, rakyat harus diberi kesempatan mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah. Sebagai
dokter, ia sering mengobati rakyat tanpa memungut bayaran.
Selain sering bergaul dengan rakyat, dokter yang terkenal pula pandai menabuh gamelan dan
mencintai seni suara, ini juga sering mengunjungi tokoh-tokoh masyarakat di beberapa kota di
Jawa. Para tokoh itu diajaknya untuk mendirikan "dana pelajar". Direncanakan, dana itu akan
dipakai untuk menolong pemuda-pemuda yang cerdas, tetapi tidak mampu melanjutkan
sekolahnya. Namun, ajakannya kurang mendapat sambutan.
Kemudian di Jakarta, ia mengunjungi para pelajar STOVIA. Kepada para pelajar sekolah dokter
itu, ia membentangkan gagasannya. Ia menganjurkan agar para pelajar itu mendirikan
organisasi yang bertujuan memajukan pendidikan dan meninggikan martabat bangsa.
Gagasan lulusan Europeesche Lagere School Yogyakarta, ini disambutan baik para pelajar
STOVIA itu. Mereka juga sependapat dan menyadari bagaimana diburuknya nasib rakyat
Indonesia pada waktu itu. Maka pada tanggal 20 Mei 1908, Sutomo dan kawan-kawannya
mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Budi Utomo. Inilah organisasi modern pertama
yang lahir di Indonesia. Karena itu, tanggal lahir Budi Utomo, 20 Mei, diperingati sebagai Hari
Kebangkitan Nasional.
Dokter Sutomo
Kelahiran BU sebagai Perhimpunan nasional Indonesia, dipelopori oleh para pemuda pelajar
STOVIA (School tot Opleiding voor Indische Artsen) yaitu Sutomo, Gunawan, Suraji dibantu oleh
Suwardi Surjaningrat, Saleh, Gumbreg, dan lain-lain. Sutomo sendiri diangkat sebagai ketuanya.
Tujuan perkumpulan ini adalah kemajuan nusa dan bangsa yang harmonis dengan jalan
memajukan pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan, teknik dan industri, kebudayaan,
mempertinggi cita-cita kemanusiaan untuk mencapai kehidupan bangsa yang terhormat.
Selain bergerak di bidang politik dan kedokteran, dr. Sutomo juga aktif di bidang
kewartawanan. Ia bahkan memimpin beberapa buah surat kabar. Dalam usia 50 tahun, ia
meninggal dunia di Surabaya pada tanggal 30 Mei 1938.
Maria Josephine Catherine Maramis (1872 -1924) yang lebih dikenal sebagai Maria Walanda
Maramis adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia karena usahanya untuk
mengembangkan keadaan wanita di Indonesia pada permulaan abad ke-20.
Maramis menjadi yatim piatu pada saat ia berumur enam tahun karena kedua orang tuanya
jatuh sakit dan meninggal dalam waktu yang singkat. Paman Maramis yaitu Rotinsulu yang
waktu itu adalah Hukum Besar di Maumbi membawa Maramis dan saudara-saudaranya ke
Maumbi dan mengasuh dan membesarkan mereka di sana. Maramis beserta kakak
perempuannya dimasukkan ke Sekolah Melayu di Maumbi. Sekolah itu mengajar ilmu dasar
seperti membaca dan menulis serta sedikit ilmu pengetahuan dan sejarah. Ini adalah satu-
satunya pendidikan resmi yang diterima oleh Maramis dan kakak perempuannya karena
perempuan pada saat itu diharapkan untuk menikah dan mengasuh keluarga.
Untuk menghargai peranannya dalam pengembangan keadaan wanita di Indonesia, Maria Walanda
Maramis mendapat gelar Pahlawan Pergerakan Nasional dari pemerintah Indonesia pada tanggal 20
Mei 1969.
Kiai Hasyim Asy’ari
Karya dan jasa Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10
April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin pesantren.
Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan
Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan
Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja
Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).
Pada tahun 1899, Kiai Hasyim Asy'ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi
pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy'ari
memosisikan Pesantren Tebuireng, menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam
tradisional.
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari
mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang
dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy'ari pun semakin besar dengan mendirikan
organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa
Tengah dan Jawa Timur.
Bahkan, para ulama di berbagai daerah sangat menyegani kewibawaan Kiai Hasyim. Kini, NU
pun berkembang makin pesat. Organisasi ini telah menjadi penyalur bagi pengembangan Islam
ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa.
Sesudah Indonesia merdeka, melalui pidato-pidatonya Kiai Hasyim Asy’ari membakar semangat
para pemuda supaya mereka berani berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan. Ia
meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1947 karena pendarahan otak dan dimakamkan di
Tebuireng.
Buku itu menjadi pedorong semangat para wanita Indonesia dalam memperjuangkan hak-
haknya. Perjuangan Kartini tidaklah hanya tertulis di atas kertas tapi dibuktikan dengan
mendirikan sekolah gratis untuk anak gadis di Jepara dan Rembang.
Upaya dari puteri seorang Bupati Jepara ini telah membuka penglihatan kaumnya di berbagai
daerah lainnya. Sejak itu sekolah-sekolah wanita lahir dan bertumbuh di berbagai pelosok
negeri. Wanita Indonesia pun telah lahir menjadi manusia seutuhnya.
Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-wanita negeri ini belum memperoleh
kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang
tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan menentukan jodoh/suami sendiri, dan lain
sebagainya.
Pada saat itu, Raden Ajeng Kartini yang lahir di Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 21 April 1879,
ini sebenarnya sangat menginginkan bisa memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, namun
sebagaimana kebiasaan saat itu dia pun tidak diizinkan oleh orang tuanya.
Dia merasakan sendiri bagaimana ia hanya diperbolehkan sekolah sampai tingkat sekolah dasar
saja padahal dirinya adalah anak seorang Bupati. Hatinya merasa sedih melihat kaumnya dari
anak keluarga biasa yang tidak pernah disekolahkan sama sekali.
Mengingat besarnya jasa Kartini pada bangsa ini maka atas nama negara, pemerintahan
Presiden Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan
Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964 yang menetapkan
Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini,
tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal
sebagai Hari Kartini.
Dewi Sartika
Dewi Sartika (1884 – 1947) adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum perempuan, diakui
sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun 1966.
Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dan Raden
Somanagara. Meski melanggar adat saat itu, orang tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi
Sartika, ke sekolah Belanda pula. Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya
(kakak ibunya) yang berkedudukan sebagai patih di Cicalengka. Sejak kecil, Dewi Sartika sudah
menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di
belakang gedung kepatihan, beliau sering memperagakan praktik di sekolah, mengajari baca-
tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang
kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.
Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan
kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota
keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis, dan
sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu
Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika
membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya
tiga orang; Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-
murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo kabupaten
Bandung.
Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu
upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam.
Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan
Karang Anyar, Bandung.
Cipto Mangunkusumo
Awal perjuangan Cipto Mangunkusumo, pria kelahiran Pecangakan, Ambarawa tahun 1886, ini
dimulai sejak dia kerap menulis karangan-karangan yang menceritakan tentang berbagai
penderitaan rakyat akibat penjajahan Belanda. Karangan-karangan yang dimuat harian De
Express itu oleh pemerintahan Belanda dianggap sebagai usaha untuk menanamkan rasa
kebencian pembaca terhadap Belanda.
Tidak bekerja sebagai dokter pemerintah yang diupah oleh pemerintahan Belanda, membuat dr.
Cipto semakin intens melakukan perjuangan. Pada tahun 1912, dia bersama Douwes Dekker
dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) mendirikan Indische Partij, sebuah partai politik
yang merupakan partai pertama yang berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka.
Di Banda Neira, dr. Cipto mendekam/terbuang sebagai tahanan selama tiga belas tahun. Dari
Banda Naire dia dipindahkan ke Ujungpandang. Dan tidak lama kemudian dipindahkan lagi ke
Sukabumi, Jawa Barat. Namun karena penyakit asmanya semakin parah, sementara udara
Sukabumi tidak cocok untuk penderita penyakit tersebut, dia dipindahkan lagi ke Jakarta.
Jakarta merupakan kota terakhirnya hingga akhir hidupnya. Dr. Cipto Mangunkusumo
meninggal di Jakarta, 8 Maret 1943, dan dimakamkan di Watu Ceper, Ambarawa.
Atas jasa dan pengorbanannya sebagai pejuang pembela bangsa, oleh negara namanya
dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang disahkan dengan SK Presiden RI
No.109 Tahun 1964, Tanggal 2 Mei 1964 dan namanya pun diabadikan sebagai nama Rumah
Sakit Umum Pusat di Jakarta.
Haji Agus Salim
Haji Agus Salim (lahir dengan nama Mashudul Haq (yang bermakna "pembela kebenaran");
(1884 – 1954) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia.
Agus Salim lahir dari pasangan Angku Sutan Mohammad Salim dan Siti Zainab. Ayahnya adalah
seorang kepala jaksa di Pengadilan Tinggi Riau.
Pada tahun 1915, Salim bergabung dengan Sarekat Islam (SI), dan menjadi pemimpin kedua di
SI setelah H.O.S. Tjokroaminoto.
Di antara tahun 1946-1950 ia laksana bintang cemerlang dalam pergolakan politik Indonesia,
sehingga kerap kali digelari "Orang Tua Besar" (The Grand Old Man). Ia pun pernah menjabat
Menteri Luar Negeri RI pada kabinet Presidentil dan di tahun 1950 sampai akhir hayatnya
dipercaya sebagai Penasehat Menteri Luar Negeri.
Pada tahun 1952, ia menjabat Ketua di Dewan Kehormatan PWI. Biarpun penanya tajam dan
kritikannya pedas namun Haji Agus Salim masih mengenal batas-batas dan menjunjung tinggi
Kode Etik Jurnalistik.
Ia meninggal dunia pada 4 November 1954 di RSU Jakarta dan dimakamkan di TMP Kalibata,
Jakarta.
Ki Hajar Dewantara
Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga
kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut
hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak
lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia
dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik.
Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan
menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan
dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto
Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran
nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai
Indonesia merdeka.
Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu
memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku,
budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus
didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.
Sam Ratulangi
Dr. Gerungan Saul Samuel Yacob Ratulangi atau Sam Ratulangi saja (1890 –1949) adalah
seorang politikus Minahasa dari Sulawesi Utara, Indonesia. Beliau adalah seorang pahlawan
nasional Indonesia. Sam Ratulangi juga sering disebut-sebut sebagai tokoh multidimensional.
Beliau dikenal dengan filsafatnya: "Si tou timou tumou tou" yang artinya: manusia baru dapat
disebut sebagai manusia, jika sudah dapat memanusiakan manusia.
Sam Ratulangi juga adalah gubernur Sulawesi yang pertama. Beliau meninggal di Jakarta dalam
kedudukan sebagai tawanan musuh pada tanggal 30 Juni 1949 dan dimakamkan di Tondano.
Namanya diabadikan dalam nama bandar udara di Manado yaitu Bandara Sam Ratulangi dan
Universitas Negeri di Sulawesi Utara yaitu Universitas Sam Ratulangi
M H Thamrin
Mohammad Husni Thamrin dilahirkan di Sawah Besar, Betawi, 16 Februari 1894. Ia berasal dari
keluarga berada. Kakeknya, Ort, orang Inggris, pemilik hotel di bilangan Petojo, yang menikah
dengan perempuan Betawi, Noeraini. Ayahnya, Thamrin Mohamad Thabrie, pernah menjadi
Wedana Batavia tahun 1908, jabatan tertinggi nomor dua yang terbuka bagi warga pribumi
setelah bupati.
.
Meski pada mulanya dipandang sebagai tokoh kooperatif, pada akhirnya hayatnya justru
Thamrin dianggap berbahaya oleh Pemerintah Hindia Belanda. Thamrin tidak mengibarkan
bendera Belanda di rumahnya pada ulang tahun Ratu Wilhelmina, 31 Agustus 1940.
Setelah dr. Sutomo meninggal dunia pada tahun 1938, maka Thamrin menggantikannya sebagai
wakil Ketua Partai Indonesia Raya (Parindra). Perjuangannya di Volksraad tetap dilanjutkan
dengan sebuah mosi, agar istilah Nederlands Indie, Nederlands Indische dan Inlander diganti
dengan istilah Indonesia, Indonesische dan Indonesiea.
Sejak tanggal 6 januari 1941 Husni thamrin dikenakan tahanan rumah, karena dituduh bekerja
sama dengan Jepang. Walaupun dalam keadaan sakit, Thamrin tidak boleh dikunjungi teman-
temannya. Akhirnya ia meninggal dunia pada 11 Januari 1941 dan dimakamkan di pekuburan
Karet, Jakarta.
Penolakan jiwanya terhadap penjajahan, pernah juga dituliskannya dalam bukunya yang
berjudul Perawan Desa. Namun sayang, Pahlawan nasional yang lahir 9 Maret 1903 ini sudah
meninggal pada tanggal 17 Agustus 1938, sebelum mendengar lagu gubahannya
dikumandangkan pada hari kemerdekaan negeri yang dicintainya.
Kilas balik dari lahirnya lagu Indonesia Raya sendiri adalah berawal dari ketika suatu kali
terbacanya sebuah karangan dalam Majalah Timbul. Penulis karangan tersebut menentang ahli-
ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan. Supratman yang sudah semakin
kental jiwa kebangsaannya merasa tertantang. Sejak itu, ia mulai menggubah lagu. Dan pada
tahun 1924 lahirlah lagu Indonesia Raya.
Ketika Kongres Pemuda, yakni kongres yang melahirkan Sumpah Pemuda dilangsungkan di
Jakarta bulan Oktober tahun 1928, secara instrumentalia Supratman memperdengarkan lagu
ciptaannya itu pada malam penutupan acara tanggal 28 Oktober 1928 tersebut. Disitulah saat
pertama lagu tersebut dikumandangkan di depan umum. Lagu yang sangat menggugah jiwa
patriotisme itupun dengan cepat terkenal di kalangan pergerakan nasional. Sehingga sejak itu
apabila partai-partai politik mengadakan kongres, lagu Indonesia Raya, lagu yang menjadi
semacam perwujudan rasa persatuan dan kehendak untuk merdeka itu selalu dinyanyikan.
Penggagas AKABRI
Pria berkumis tebal yang lahir di Banyumas 10 Oktober 1909, ini sejak anak-anak sudah
menunjukkan watak seorang pemimpin. Dia memiliki keberanian, ketegasan, tanggung jawab,
dan berpantang akan kesewenangan. Pengalaman tidak manis pernah dialaminya ketika masih
bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS).
Tentara yang aktif dalam tiga zaman ini pernah menjadi Tentara Hindia Belanda (KNIL) pada
masa pendudukan Belanda, anggota Pembela Tanah Air (Peta) pada masa pendudukan Jepang
dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) setelah kemerdekaan Indonesia serta turut menumpas PKI
pada tahun 1948. Ia juga menjadi penggagas terbentuknya Akademi Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (AKABRI).
Setelah kemerdekaan Indonesia, Gatot langsung masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR),
tentara bentukan pemerintah Indonesia sendiri dan merupakan tentara resmi RI yang dalam
perjalanannya kemudian berganti nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Sejak kemerdekaan hingga pengakuan kedaulatan kemerdekaan RI atau pada masa Perang
Kemerdekaan yakni antara tahun 1945-1950, dia dipercayai memegang beberapa jabatan
penting. Pernah dipercaya menjadi Panglima Divisi II, Panglima Corps Polisi Militer, dan
Gubernur Militer Daerah Surakarta dan sekitarnya.
Bersamaan di saat dirinya menjabat Gubernur Militer Daerah Surakarta dan sekitarnya,
pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) Madiun pun bergolak yakni pada bulan
September 1948. Pemberontakan yang didalangi oleh Muso itu akhirnya berhasil diatasi dengan
gemilang.
Setelah banyak terjadi peristiwa dalam mempertahankan kemerdekaan dari agresi militer
Belanda, pengakuan kedaulatan republik ini pun berhasil diperoleh. Pasca pengakuan
kedaulatan itu, Gatot Subroto semakin dipercaya mengemban tugas yang lebih tinggi. Dia
diangkat menjadi Panglima Tentara & Teritorium (T & T) IV I Diponegoro.
Di kalangan militer, dia dikenal sebagai seorang pimpinan yang mempunyai perhatian besar
terhadap pembinaan perwira muda. Menurutnya, salah satu cara untuk membina perwira
muda adalah dengan menyatukan akademi militer setiap angkatan yakni Angkatan Darat, Laut,
dan Udara, menjadi satu akademi. Gagasan tersebut akhirnya terwujud dengan terbentuknya
Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI).
Gatot Subroto akhirnya meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 11 Juni 1962, pada usia 55
tahun. Sang Jenderal ini dimakamkan di desa Mulyoharjo, Ungaran, Yogyakarta. Atas jasa-
jasanya yang begitu besar bagi negara, seminggu setelah kematiannya, Jenderal Gatot Subroto
dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang dikuatkan dengan SK Presiden RI
No.222 Tahun 1962, tgl 18 Juni 1962.
HR Rasuna Said
HR Rasuna Said diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden R.I. No.
084/TK/Tahun 1974 tanggal 13 Desember 1974. Selain itu, sebagai penghormatan atas
perjuangannya, namanya diabadikan sebagai salah satu nama jalan protokol di kawasan
Kuningan, Jakarta Selatan, termasuk bagian segi tiga emas Jakarta.
Dia pejuang yang berpandangan luas dan berkemauan keras. Sejak muda berjuang melalui
Sarekat Rakyat sebagai Sekretaris Cabang. Kemudian aktif sebagai anggota Persatuan Muslim
Indonesia (PERMI). Dia seorang orator yang sering kali mengecam tajam kekejaman dan
ketidakadilan pemerintah Belanda. Dia tak gentar kendati akibatnya harus ditangkap ditangkap
dan dipenjara pada tahun 1932 di Semarang.
Ketika pendudukan Jepang, Hajjah Rangkayo Rasuna Said ikut serta sebagai pendiri organisasi
pemuda Nippon Raya di Padang. Organisasi ini pun kemudian dibubarkan oleh Pemerintah
Jepang.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan dia aktif sebagai anggota Dewan Perwakilan Sumatera
mewakili daerah Sumatera Barat. Kemudian terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia Serikat (DPR RIS). Tahun 1959, kemudian menjadi anggota Dewan
Pertimbangan Agung sampai akhir hayatnya 1965.
Ismail Marzuki
Ismail Marzuki kelahiran kampung Kwitang, Jakarta Pusat, pada tahun 1914 ini menciptakan
sekitar 250 lagu. Karya-karyanya sampai hari ini masih sering terdengar, antara lain Juwita
Malam, Sepasang Mata Bola, Selendang Sutera, Sabda Alam, dan Indonesia Pusaka.
Komponis pelopor yang wafat 25 Mei 1958, ini telah melahirkan lagu-lagu kepahlawanan, yang
menggugah jiwa nasionalisme. Maestro musik ini menyandang predikat komponis pejuang
legendaris Indonesia.
Ismail Marzuki memang seorang komponis besar yang sampai saat ini boleh jadi belum ada
yang dapat menggantikannya. Karena itu, memang sudah layak diberikan penghormatan
padanya sebagai pahlawan nasional.
Karya-karya Ismail Marzuki memang kaya, baik soal melodi maupun liriknya. Ia pun mencipta
lagu dengan bermacam warna, salah satunya keroncong, di antaranya Bandung Selatan di
Waktu Malam dan Selamat Datang Pahlawan Muda.
Jenderal Sudirman
Jenderal Sudirman merupakan salah satu tokoh besar di antara sedikit orang lainnya yang
pernah dilahirkan oleh suatu revolusi. Saat usianya masih 31 tahun ia sudah menjadi seorang
jenderal. Meski menderita sakit paru-paru yang parah, ia tetap bergerilya melawan Belanda..
Sudirman merupakan salah satu pejuang dan pemimpin teladan bangsa ini. Pribadinya teguh
pada prinsip dan keyakinan, selalu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan
bangsa di atas kepentingan pribadinya. Ia selalu konsisten dan konsekuen dalam membela
kepentingan tanah air, bangsa, dan negara. Hal ini boleh dilihat ketika Agresi Militer II Belanda.
Ia yang dalam keadaan lemah karena sakit tetap bertekad ikut terjun bergerilya walaupun harus
ditandu.
Dalam keadaan sakit, ia memimpin dan memberi semangat pada prajuritnya untuk melakukan
perlawanan terhadap Belanda. Itulah sebabnya kenapa ia disebutkan merupakan salah satu
tokoh besar yang dilahirkan oleh revolusi negeri ini.
Dan melalui Konferensi TKR tanggal 2 Nopember 1945, ia terpilih menjadi Panglima Besar
TKR/Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 18 Desember
1945, pangkat Jenderal diberikan padanya lewat pelantikan Presiden. Jadi ia memperoleh
pangkat Jenderal tidak melalui Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya sebagaimana
lazimnya, tapi karena prestasinya.
Pada saat pasukan Belanda kembali melakukan agresinya atau yang lebih dikenal dengan Agresi
Militer II Belanda, Ibukota Negara RI berada di Yogyakarta sebab Kota Jakarta sebelumnya sudah
dikuasai. Jenderal Sudirman yang saat itu berada di Yogyakarta sedang sakit. Keadaannya sangat
lemah akibat paru-parunya yang hanya tinggal satu yang berfungsi.
Maka dengan ditandu, ia berangkat memimpin pasukan untuk melakukan perang gerilya.
Kurang lebih selama tujuh bulan ia berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lain,
dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah sekali sementara obat juga hampir-
hampir tidak ada. Tapi kepada pasukannya ia selalu memberi semangat dan petunjuk seakan
dia sendiri tidak merasakan penyakitnya. Namun akhirnya ia harus pulang dari medan gerilya, ia
tidak bisa lagi memimpin Angkatan Perang secara langsung, tapi pemikirannya selalu
dibutuhkan.
Pada tangal 29 Januari 1950, Panglima Besar ini meninggal dunia di Magelang dan dimakamkan
di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela
Kemerdekaan.
C. Jaman Setelah Kemerdekaan
Soekarno
Sang Proklamator
SOEKARNO (1901-1970)
Orator Ulung
Presiden pertama RI itu pun dikenal sebagai orator
yang ulung, yang dapat berpidato secara amat
berapi-api tentang revolusi nasional, neokolonialis-
me dan imperialisme. Ia juga amat percaya pada
kekuatan massa, kekuatan rakyat.
Anti Imperialisme
Pada 17 Mei 1956. Bung Karno mendapat
kehormatan menyampaikan pidato di depan Kongres
Amerika Serikat. Sebagaimana dilaporkan New York
Times (halaman pertama) pada hari berikutnya,
dalam pidato itu dengan gigih ia menyerang
kolonialisme.
Mohammad Hatta
Sang Proklamator
Mohammad Hatta lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di
Bukittinggi. Di kota kecil yang indah inilah Bung Hatta
dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya. Ayahnya, Haji
Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia
delapan bulan. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara
perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya.
Jenderal Achmad Yani terkenal sebagai seorang tentara yang selalu berseberangan dengan
Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketika menjabat Menteri/Panglima Angkatan Darat
(Men/Pangad) atau yang sekarang menjadi Kepala Staf Angkatan Darat sejak tahun 1962, ia
menolak keinginan PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani.
Karenanya, dengan fitnah bahwa sejumlah TNI AD telah bekerja sama dengan sebuah negara
asing untuk menjatuhkan Presiden Soekarno, PKI lewat Gerakan Tiga Puluh September (G 30/S)
menjadikan dirinya salah satu target yang akan diculik dan dibunuh di antara tujuh petinggi TNI
AD lainnya.
Peristiwa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 dinihari itu akhirnya menewaskan enam
dari tujuh Perwira Tinggi Angkatan Darat yang sebelumnya direncanakan PKI. Lubang Buaya,
lokasi dimana sumur tempat menyembunyikan jenazah para Pahlwawan Revolusi itu berada
menjadi saksi bisu atas kekejaman komunis tersebut.
Sutoyo Siswomiharjo
Menentang Komunis
Letnan Jenderal Anumerta Suprapto terkenal sebagai seorang tentara yang taat menjalankan
ibadah agama dan tidak pernah setuju dengan ajaran komunis. Sehingga ketika menjabat
Deputy II Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad), dialah salah satu perwira yang
menolak usulan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri
dari buruh dan tani.
Karena penolakan itu, pria kelahiran Purwokerto yang masuk tentara jamannya Tentara
Keamanan Rakyat dan yang pernah menjadi ajudan Panglima Besar Jenderal Sudirman, ini
selalu dimusuhi dan selalu mendapat rongrongan dari pihak PKI. Bahkan akhirnya dalam
pemberontakan Gerakan Tiga Puluh September tahun 1965, ia salah satu perwira tinggi yang
menjadi korban penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh PKI.
Terakhir, dengan membuat fitnah adanya sejumlah Jenderal TNI AD bekerjasama dengan satu
negara luar hendak menggulingkan Presiden Soekarno, PKI pun melakukan aksinya pada malam
30 September 1965 atau subuh tanggal 1 Oktober 1965. Rencananya PKI hendak menculik dan
membunuh tujuh Perwira Tinggi AD. Rencana jahat itu berjalan hampir sempurna. Hanya satu
di antara perwira dimaksud yang berhasil lolos dari penculikan yakni Jenderal A.H. Nasution,
walaupun untuk itu, Pierre Tendean ajudan Nasution sendiri harus menjadi tumbalnya.
Keenam Perwira Tinggi AD itu yakni: Jend. TNI Anumerta Achmad Yani; Letjen. TNI Anumerta
Suprapto; Letjen. TNI Anumerta S.Parman; Letjen. TNI Anumerta M.T. Haryono; Mayjen. TNI
Anumerta D.I. Panjaitan; Mayjen. TNI Anumerta Sutoyo S; dan satu Perwira Pertama yaitu
Kapten CZI TNI Anumerta Pierre Tendean.
Ketujuh perwira yang berhasil diculik dan dibunuh itu besok harinya oleh tim yang dipimpin
Soeharto (mantan Presiden RI) ditemukan terkubur di sumur tua di daerah Lubang Buaya.
Jenazah ketujuh korban ditemukan penuh lumpur dan darah, dari bekas luka di tubuh para
korban disimpulkan bahwa sebagian korban langsung mati tertembak sementara sebagian lagi
lebih dulu disiksa kemudian baru ditembak.
Suprapto yang karena kesetiaanya pada Pancasila gugur sebagai Pahlawan Revolusi. Bersama
enam perwira lainnya ia dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata. Pangkatnya yang
sebelumnya masih Mayor Jenderal kemudian dinaikkan satu tingkat menjadi Letnan Jenderal
sebagai penghargaan atas jasa-jasanya.
Dan untuk menghormati jasa para pahlawan tersebut, oleh pemerintah Orde Baru
ditetapkanlah tanggal 1 Oktober setiap tahunnya sebagai hari Kesaktian Pancasila sekaligus
sebagai hari libur nasional. Dan di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur di depan sumur tua
tempat jenazah ditemukan, dibangun tugu dengan latar belakang patung ketujuh Pahlawan
Revolusi tersebut. Tugu tersebut dinamai Tugu Kesaktian Pancasila.
Letnan
Jenderal
Anumerta
S. Parman
Kata orang bijak, fitnah lebih kejam daripada membunuh. Dan apa yang dilakukan oleh PKI pada
tujuh perwira pada malam 30 September 1965 jauh lebih kejam lagi. Setelah memfitnah
dengan menyebutkan bahwa para Jenderal itu telah bekerjasama dengan satu negara luar untuk
menjatuhkan Presiden Soekarno, PKI juga menculik dan membunuh perwira-perwira tersebut
secara sadis dan biadab. Letjen. Anumerta S. Parman yang waktu itu menjabat sebagai Asisten I
Menteri/Panglima Angkatan Darat termasuk salah satu dari ketujuh perwira tersebut.
Pria kelahiran Wonosobo, Jawa Tengah ini merupakan perwira intelijen, sehingga banyak tahu
tentang kegiatan rahasia PKI karena itulah dirinya termasuk salah satu di antara para perwira
yang menolak rencana PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani.
Penolakan yang membuatnya dimusuhi dan menjadi korban pembunuhan PKI.
Perwira yang gugur sebagai Pahlawan Revolusi ini lahir di Wonosobo, Jawa Tengah, 4 Agustus
S. Parman gugur sebagai Pahlawan Revolusi untuk mempertahankan Pancasila. Bersama enam
perwira lainnya ia dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata. Pangkatnya yang
sebelumnya masih Mayor Jenderal kemudian dinaikkan satu tingkat menjadi Letnan Jenderal
sebagai penghargaan atas jasa-jasanya.
PembongkarKonspirasi
PKI - RRC
Letjen Anumerta M.T. Haryono kelahiran Surabaya, 20 Januari 1924, ini sebelumnya memperoleh
pendidikan di ELS (setingkat Sekolah Dasar) kemudian diteruskan ke HBS (setingkat Sekolah Menengah
Umum). Setamat dari HBS, ia sempat masuk Ika Dai Gakko (Sekolah Kedokteran masa pendudukan
Jepang) di Jakarta, namun tidak sampai tamat.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 dinihari, Letjen. TNI Anumerta M.T. Haryono bersama enam
perwira lainnya yakni: Jend. TNI Anumerta Achmad Yani; Letjen. TNI Anumerta Suprapto;
Letjen.TNI Anumerta S Parman; Mayjen. TNI Anumerta D.I. Panjaitan; Mayjen. TNI Anumerta
Sutoyo S; dan Kapten CZI TNI Anumerta Pierre Tendean berhasil diculik kemudian dibunuh
secara membabi buta dan jenazahnya dimasukkan ke sumur tua di daerah Lubang Buaya tanpa
prikemanusiaan.
M.T. Haryono yang tewas karena mempertahankan Pancasila itu gugur sebagai Pahlawan
Revolusi. Ia kemudian dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata. Sebagai penghargaan
atas jasa-jasanya, pangkatnya yang sebelumnya masih Mayor Jenderal kemudian dinaikkan satu
tingkat menjadi Letnan Jenderal.
Untuk menghormati jasa para Pahlawan Revolusi sekaligus untuk mengingatkan bangsa ini akan
peristiwa penghianatan PKI tersebut, dengan demikian diharapkan peristiwa yang sama tidak
akan terulang kembali, maka oleh pemerintahan Soeharto ditetapkanlah tanggal 1 Oktober
setiap tahunnya sebagai hari Kesaktian Pancasila sekaligus sebagai hari libur nasional. Dan di
daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur di depan sumur tua tempat jenazah ditemukan,
dibangunlah Tugu Kesaktian Pancasila sebagai tugu peringatan yang berlatar belakang patung
ketujuh Pahlawan Revolusi tersebut.
Pierre Tendean
Kapten (Anumerta) Pierre Andreas Tendean (1939–1965) salah seorang korban pada peristiwa
Gerakan 30 September dan merupakan pahlawan nasional Indonesia.
Beliau adalah ajudan dari Jenderal Abdul Harris Nasution (Panglima ABRI) pada era Soekarno.
Abdul Harris Nasution lolos dari peristiwa penculikan tetapi anaknya, Ade Irma Suryani
Nasution tewas tertembus peluru. Pierre Tendean sendiri ditangkap oleh segerombolan
penculik dan dibunuh di Lubang Buaya. Beliau diculik karena dikira adalah Jenderal
A.H.Nasution.
Pemerintah memberi penghormatan atas jasa dan perjuangan Halim, dengan menganugerahi
gelar pahlawan nasional dan mengabadikan namanya di sebuah lapangan terbang (Bandar
Udara) internasional Halim Perdanakusuma di Jakarta. Juga dengan mengabadikan namanya
pada kapal perang KRI Abdul Halim Perdanakusuma.
Yos Sudarso