Anda di halaman 1dari 8

PENDAHULUAN

Banyak Wajib Pajak besar yang melakukan akuisisi Wajib Pajak lain dengan tujuan

mendapatkan manfaat ekonomi! Biasanya tujuan utama akuisisi adalah sinergi usaha

pengakuisisi baik untuk jangka pendek atau jangka panjang. Perusahaan yang diakuisisi

mungkin memiliki supply bahan baku yang dibutuhkan oleh pengakuisisi sehingga ada

jaminan pasokan bahan baku, atau memiliki jaringan pemasaran produk sehingga

memudahkan pemasaran, atau bahkan pesaing pengakuisisi sehingga dengan akuisisi tersebut

pengakuisisi memiliki pangsa pasar lebih besar. Bisa juga akuisisi untuk melebarkan divisi

usaha lain sehingga pengakuisisi memiliki beragam macam usaha, dan lain-lain.

Dari segi akuntansi, akuisisi juga bisa berfungsi make-up. Perusahaan yang tidak

memiliki kegiatan apa-apa (paper company) bisa terlihat memiliki kegiatan di Necara dan

Laporan Laba Rugi lainnya dengan mengakuisisi perusahaan sehat. Perusahaan “A” yang

membeli lebih dari 50% saham perusahaan “B” harus mencatat investasi tersebut dengan

menggunakan metode pooling of interest method. Unsur-unsur laporan keuangan dari

perusahaang yang bergabung harus dimasukkan dalam laporan keuangan gabungan. Dan

biasanya, laporan keuangan gabungan selalu lebih cantik dilihat dari angka-angka

dibandingkan dengan laporan keuangan sendiri.

Akuisisi juga sering menimbulkan manfaat lain yaitu timbulnya goodwill. Goodwill

adalah selisih lebih antara biaya perolehan dan bagian perusahaan pengakuisisi atas nilai

wajar aktiva dan kewajiban yang dapat diidentifikasi pada tanggan transaksi pertukaran. Para

akuntan memandang goodwill sebagai menfaat keekonomian masa yang akan datang sebagai

hasil sinergi atau sebagai hasil suatu aktiva tidak mungkin diakui.

1
GOODWILL NEGATIF

Goodwill negatif merupakan selisih lebih antara bagian pengakuisisi atas nilai wajar aktiva

bersih dan biaya perolehan anak perusahaan yang diakuisisi. Contoh berikut adalah transaksi

yang menimbulkan goodwill negatif.

Data dibawah ini merupakan Neraca milik anak perusahaan yang diakuisisi :

Aktiva lancar Rp.100.000.000

Aktiva Tetap Rp.250.000.000

Aktiva Lain-lain Rp. 25.000.000

Hutang Lancar (Rp. 75.000.000)

Hutang Jangka Panjang (Rp.100.000.000)

Hutang Lain-lain (Rp. 50.000.000)

Nilai WAJAR Aktiva Bersih Rp.175.000.000

Seandainya, perusahaan dengan nilai wajar aktiva bersih seperti tersebut diatas

diakuisisi sebanyak 100% senilai Rp.150.000.000 maka pengakuisisi akan

mendapatkan goodwill negatif sebesar Rp.25.000.000.

Di neraca pengakuisisi, goodwill negatif ini akan muncul di sisi kewajiban sebesar

Rp. 25.000.000. Tetapi, goodwill negatif ini hanya akan muncul dalam neraca gabungan atau

neraca konsolidasi pengakuisisi. Jika ‘pun’ tidak ada kata-kata neraca konsolidari, biasanya

laporangan keuangan konsolidasi selalu ditambah “dan anak perusahaan”. Seperti, PT ABC

dan anak perusahaan.

PSAK No. 22 tentang Akuntansi Penggabungan Usaha pada paragrap 46

menyebutkan bahwa goodwill negatif adalah pendapatan yang ditangguhkan (deferred

income). Pendapatan ini kemudian secara sistematis selama suatu periode tidak kurang dari

20 tahun akan diakui sebagai pendapatan melalui penyusutan goodwill.

2
Kalau PSAK sudah jelas-jelas mengakui goodwill negatif sebagai pendapatan,

walaupun diakui selama 20 tahun, bagaimana dengan pajak? Tidak ada aturan khusus

tentang goodwill negatif. Karena itu, masing-masing memberikan tafsiran sendiri-sendiri.

Satu pendapat menyatakan bahwa goodwill negatif bukan objek PPh sedangan pendapat lain

sebagai objek PPh. Berikut ini adalah uraian masing-masing pendapat dan analisa penulis.

3
SILANG PENDAPAT PERPAJAKAN TERKAIT GOODWILL NEGATIF

BUKAN OBJEK PPh

Pendapat pertama mengatakan bahwa goodwill negatif bukan objek PPh. Setidaknya

ada dua alasan mengapa goodwill negatif bukan ojejk PPh. Kedua alasan tersebut dalam

kasus-kasus yang umum sudah diterima dan diakui kebenarannya.

Alasan pertama, goodwill negatif hanya muncul di neraca konsolidasi. Sedangkan

pada neraca bukan konsolidasi, neraca induk saja, tidak akan ada goodwill negatif.

Sedangkan perpajakan di Indonesia, khususnya pajak penghasilan, tidak mengakui adanya

laporan keuangan konsolidasi. Hal ini disebabkan kita menganut the classical system dimana

masing-masing dianggap sebagai satu entitas yang terpisah. Induk sebagai badan hukum

sendiri dan anak sebagai badan hukum yang lain, terpisah dari induk. Sehingga pelaporan

perpajakan, angka-angka yang harus dimuat di SPT Tahunan PPh adalah angka-angka

laporan keuangan induk saja. Bukan laporan keuangan konsolidasi.

Kasus ini mirip dengan kasus deviden. Wajib Pajak di negara penganut sistem klasik

selalu mengeluh karena adanya double-double perpajakan. Pemegang saham, para

konglomerat, akan mendapatkan sebagian kecil saja keuntungan dari unit-unit usaha karena

akan terkikis oleh pajak. Sebaliknya, goodwill negatif tidak terkena pajak.

Jika goodwill negatif akan dikenakan pajak maka SPT PPh kita harus mengakui

laporan keuangan gabungan. Angka-angka SPT PPh harus sama dengan laporan keuangan

gabungan. Konsekuensinya, anak perusahaan tidak perlu membuat SPT PPh karena semua

data keuangan anak perusahaan akan dilaporkan di SPT PPh induk perusahaan. Dengan kata

lain, semua kewajiban PPh badan dalam satu grup dilakukan oleh induk saja. Grup dipandang

sebagai satu entitas, badan hukum, dan anak perusahaan dianggap sebagai unit-unit usaha

yang tergabung menjadi satu kesatuan.

4
Alasan kedua, saat akuisisi adalah saat pembelian sedangkan laba atau rugi diakui saat

penjualan. Pada keadaan normal, menghitung laba atau rugi adalah penjualan dikurangi

pembelian dan biaya-biaya yang terkait dengan barang atau jasa yang dijual. Disebut laba jika

nilai penjualan lebih besar daripada harga pokok. Sedangkan pada saat akuisisi, belum ada

laba atau rugi karena aktiva yang dibeli belum dijual kembali.

OBJEK PPh

Dari contoh neraca diatas, terlihat bahwa goodwill negatif adalah “selisih lebih”.

Barang senilai, menurut harga wajar, Rp.175.000.000 dibeli dengan harga Rp.150.000.000.

Pembeli tentu saja akan memperoleh keuntungan setidaknya sebesar Rp.25.000.000

walaupun keuntungan itu masih berupa potensi.

The creation theory of income mengatakan bahwa penghasilan adalah kemampuan

ekonomi yang dapat dipakai atau dinikmati. Pada kasus goodwill negatif, selisih lebih antara

nilai wajar dengan pembelian merupakan manfaat ekonomi yang dapat dipakai.

Bertambahnya nilai aktiva (sebesar goodwill) yang kita miliki dan diakui di neraca

konsolidasi mengindikasikan adanya “tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh Wajib

Pajak”.

Pada kasus akuisisi, penghasilan bukanlah capital gain karena capital gain hanya

terjadi saat penjualan. Tetapi ada penghasilan lain yang disebut capital appreciation, yaitu

penghasilan yang diperoleh karena bertambahnya nilai aktiva kita. Contoh yang sudah umum

diakui adalah valuta asing. Semua uang, piutang, hutang atau aktiva apapun yang

bernominasi mata uang asing harus ditransfer ke mata uang rupiah dengan harga pasar.

Selisih lebih antara harga yang tercatat dengan harga pasar adalah capital appreciation dan

dianggap sebagai penghasilan. Pada kasus valuta asing, untuk mendapatkan penghasilan tidak

perlu ada penjualan tetapi cukup ‘pertambahan nilai aktiva’. Pertambahan nilai aktiva ini

5
dianggap “tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh Wajib Pajak”.

Apa yang dimaksud tambahan kemampuan ekonomis? Menurut pakar perpajakan, tambahan

kemampuan ekonomis adalah :

[1] aliran kemampuan ekonomis yang mempunya nilai uang;

[2] jumlah aljabar dari nilai barang & jasa yang dikonsumsi atau disimpan untuk dipakai.

Syarat pertama tambahan kemampuan ekonomis adalah dapat dinilai atau mempunyai

nilai uang. Syarat kedua adalah ‘dikonsumsi atau disimpan’. Tambahan kemampuan

ekonomis tersebut tidak perlu untuk dikonsumsi tapi bisa juga untuk disimpan dengan tujuan

tertentu. Dari batasan tambahan kemampuan ekonomis tersebut diketahui

bahwa goodwill negatif merupakan penghasilan dan objek Pajak Penghasilan.

PENGAKUISISI ADALAH PEMEGANG SAHAM

Tidak diragukan lagi jika pengakuisisi adalah pemegang saham! Pengakuisisi adalah

pemilik saham anak perusahaan, perusahaan yang diakuisisi. Tidak ada yang aneh. Hanya

saja, dunia perpajakan selalu memperlakukan aturan khusus berkenaan dengan transaksi yang

dilakukan oleh pemegang saham. Kita lihat contoh klasik deviden terselubung dibawah ini.

PT Selalu Untung menjual sebuah aktiva kepada seorang pemegang saham senilai

Rp.10.000.000. Karena aktiva tersebut sudah 100% disusutkan, maka nilai buku aktiva

tersebut Rp.0,00 alian NOL. Atas transaksi tersebut, PT Selalu Untuk membukukan

keuntungan sebesar nilai jual Rp.10.000.000 karena nilai bukunya nol.

Ternyata, harga wajar aktiva tersebut bukan Rp.10.000.000 tetapi Rp.30.000.000.

Karena terdapat selisih Rp.20.000.000 dengan harga wajar, maka atas pembelian aktiva

tersebut pemegang saham memperoleh penghasilan sebesar Rp.20.000.000. Seharusnya, PT

6
Selalu Untung memotong PPh Pasal 23 atas deviden sebesar 15% dari Rp.20.000.000 dan

pemegang saham mencatat atau menambahkan penghasilan di SPT PPh OP sebesar

Rp.20.000.000 karena pembelian aktiva tersebut.

Saat terjadi akuisisi, pengakuisisi memperoleh penghasilan sebesar goodwill negatif.

Penghasilan sebesar goodwill negatif harus diakui oleh pemegang saham (pengakuisisi) dan

dilaporkan di SPT PPh Badan. Selanjutnya, tentu saja, harus dikenakan Pajak Penghasilan

berdasarkan tarif Pasal 17 UU PPh.

7
PENUTUP

Apakah karena perbedaan cara pelaporan SPT, kita harus kehilangan pajak atas

goodwill? Bukankah praktisi akuntansi dan usahawan juga sudah mengakui

bahwagoodwill adalah satu jenis keuntungan? Kita pun selalu mendahukukan hakikat

daripada formalitas, the substance-over-form principle. Jika hakikat ekonominya

goodwill negatif merupakan penghasilan, maka tidak ada alasan untuk tidak

memasukkan goodwill negatif sebagai objek Pajak Penghasilan!

Patut disyukuri, pada tahun 2010 , PSAK 22,sudah direvisi, dimana Goodwill negatif diakui

“sebagai keuntungan periode berjalan”,tidak lagi sebagai “pendapatan ditangguhkan dan

diamortisasi selama 20 tahun”. Hal ini sejalan dengan PSAK lainnya yang juga

dikonvergensikan ke ifrs. Di mana di ifrs 3, diatur terkait goodwill dan goodwill negatif,di

mana pengakuan terhadap goodwill negatif adalah sebagai “bargain purchase” transactions

atau keuntungan atas transaksi pembelian. Begitupun dengan penilaiannya,digunakan nilai

wajar sebagai landasan kalkulasinya.

Anda mungkin juga menyukai