LTM 1 - Fisiologi Sistem Gastrointestinal
LTM 1 - Fisiologi Sistem Gastrointestinal
Sistem gastrointestinal (selanjutnya disebut sistem GI) merupakan sistem organ yang berperan bagi tubuh
dalam penyediaan nutrisi, elektrolit, dan air. Proses ini mencakup proses pemrosesan makanan di rongga mulut,
pergerakan makanan sepanjang saluran cerna, sekresi oleh kelenjar cerna, hingga pada akhirnya penyerapan dan
pengeluaran sisa makanan.
Organ yang merupakan bagian dari sistem gastrointestinal memiliki berbagai peranan. Ada organ yang
memiliki kerja sederhana seperti hanya menghubungkan organ satu dengan organ lain, sementara organ lain
memiliki fungsi yang kompleks.
Dalam artikel ini, pembahasan akan dilakukan secara sistematika anatomis, mulai dari rongga mulut
hingga lambung, kemudian disertai dengan pembahasan organ pendukung sistem gastrointestinal, yakni hepar
beserta cairan empedu. Namun demikian sebelum melangkah lebih lanjut ada baiknya dibahas mengenai
mengenai dasar-dasar faal kontraksi otot polos.
Mekanisme kontraksi otot rangka diterangkan sebagai berikut. Ketiadaan troponin dalam otot polos
menyebabkan tropomiosin tidak berperan dalam menutupi tempat berikatan aktin. Dengan demikian, aktin dan
miosin dicegah untuk membentuk cross bridge melalui light chain miosin (yang selama ini kurang dianggap
penting dalam mempelajari mekanisme kontraksi otot rangka). Cross bridge hanya akan terbentuk apabila
light chain miosin terfosforliasi. Bagaimana light chain terfosfolirasi diatur melalui influks Ca2+ melalui
reseptor dihidropiridin ke dalam sitoplasma sel otot (sel otot polos tidak memiliki tubulus T dan retikulum
sarkoplasmanya tidak berkembang baik, sehingga sangat memerlukan Ca2+ dari lingkungan ekstrasel) yang
kemudian mengaktifkan kompleks MLC (myosin light chain) kinase. Jika diperhatikan, ion fosfat inorganik (Pi)
yang dibutuhkan untuk kontraksi ini memiliki dua tempat berikatan, yakni di light chain (unik bagi otot polos)
dan di situs ATPase miosin yang bermanfaat untuk penciptaan power stroke (juga ditemukan di otot rangka).
Berdasarkan peningkatan konsentrasi Ca2+ sitosolik otot polos terbagi menjadi otot polos fasik dan otot
polos tonik. Otot polos fasik pada keadaan normal sangat lemah kontraksinya, namun akan meningkat aktivitas
kontraksinya jika diinginkan. Sementara itu otot polos tonik sebagian besar masa hidupnya berlangsung
mengalami kontraksi parsial yang menetap (istilah ini disebut dengan tonus).
Selain daripada sistem saraf tersendiri ini, sistem gastrointestinal juga mendapat pengaruh dari persarafan
simpatis dan parasimpatis. Kedua sistem saraf ini bekerja dengan cara memengaruhi kedua pleksus sistem
saraf enterik. Stimulasi simpatis akan menyebabkan penghambatan aktivitas sistem GI (melalui kerja
neurotransmiter norepinefrin). Kontras dengan simpatis, rangsangan parasimpatis meningkatkan aktivitas sistem
GI. Meskipun mempersarafi sistem GI, ketiadaan persarafan otonom ini tidak menyebabkan kelainan yang
berarti pada sistem GI, karena persarafan enterik sendiri sudah cukup mumpuni dalam hal menunjang aktivitas
sistem GI. Lebih lanjut lagi selain ditemukan persarafan otonom dapat pula ditemukan serabut saraf aferen
(sensori) yang berasal dari epitel sistem GI. Serabut aferen ini mengirimkan informasi ke kedua pleksus,
sistem saraf simpatis (melalui ganglia prevertebral), maupun ke sistem saraf parasimpatis (melalui n.vagus ke
batang otak).
Persarafan sistem GI berperan dalam refleks GI yang berperan dalam pengaturan kerja sistem GI. Saat ini
setidaknya dikenal tiga jenis refleks GI, yakni refleks yang hanya melibatkan sistem saraf enterik; refleks
yang melibatkan ganglia simpatis, serta refleks yang melibatkan pusat pengaturan sentral.
Makanan yang dimakan akan dikunyah (proses mastikasi), yang tidak lain merupakan proses motilitas
yang terjadi di rongga mulut (cavum oris). Makanan dapat terkunyah karena adanya proses oklusi (merapatnya
susunan gigi geligi atas dengan bawah, yang mana pada orang-orang dengan kelainan maloklusi menyebabkan
makanan tidak terkunyah dengan baik).2 Mengunyah adalah proses yang penting karena menghancurkan
struktur dan kontur makanan menjadi halus dan mudah tertelan. Hal yang lebih penting lagi adalah dengan
penghancuran, permukaan makanan yang berkontak dengan enzim akan lebih luas sehingga lebih baik tercerna. 1
Pada dasarnya mengunyah merupakan proses volunter, walaupun pada akhirnya akan merupakan suatu proses
refleks yang melibatkan otot-otot rahang, pipi, dan lidah. Makanan akan dibahasi dengan air liur untuk
kemudian mengalami sedikit pencernaan. Zat-zat nutrien tidak ada yang diserap di organ ini, dan makanan
selanjutnya akan melanjutkan perjalanan ke faring.
Saliva (liur) adalah sekret yang dihasilkan oleh tiga kelenjar besar, yakni kelenjar submandibularis,
sublingualis, dan parotis, serta oleh kelenjar pipi (buccal) yang lebih kecil.1 Hampir seluruh komponen saliva
adalah H2O, dengan komposisi sisanya merupakan:
1. Elektrolit, yang sebagian besar tersusun atas ion K+, bikarbonat (HCO3-). Perlu diketahui bahwa
kandungan elektrolit saliva berbeda dengan cairan tubuh akibat proses transpor aktif ion-ion yang
terjadi di saluran keluar kelenjar liur;
2. Sekret serosa, berupa ptialin (suatu alfa-amilase) yang berperan dalam memecah pati (atau
polisakarida) menjadi maltosa (suatu disakarida);
3. Mucin, suatu sekresi mukus untuk melicinkan makanan dan melindungi mukosa oral;
4. Enzim proteolitik, berupa lisozim yang bekerja menyerang bakteri untuk memasukkan ion tiosianat
(SCN-) yang akan menjadi agen bakterisidal;
5. serta Imunoglobulin A yang merupakan bagian dari sistem imun humoral dan mencegah bakteri agar
tidak mempenetrasi epitelium maupun laktoferin yang dapat mengikat zat besi yang dibutuhkan bagi
perkembangbiakan bakteri.
Peranan pusat luhur (higher center) dari sistem saraf pusat dapat memengaruhi sekresi saliva. Oleh karena
itu, seseorang yang mencium aroma makanan kesukaannya dapat menghasilkan saliva yang lebih banyak
Jika memang demikian adanya proses pengeluaran saliva, dapat dikatakan bahwa proses pengeluaran
saliva merupakan suatu refleks yang dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni refleks sederhana dan refleks
terkondisi. Refleks sederhana terjadi ketika kemoreseptor dan baroreseptor di rongga mulut merespons
keberadaan makanan yang kemudian menyampaikan informasi melalui serabut saraf aferen ke pusat saliva.
Refleks terkondisi, secara kontras, tidak melibatkan stimulasi oral. Hanya dengan membayangkan atau mencium
aroma makanan dapat menginisiasi pengeluaran saliva melalui jenis refleks ini. Refleks terkondisi adalah suatu
refleks yang didapatkan (acquired) berdasarkan pengalaman sebelumnya (previous experience) dan melibatkan
korteks serebri dan fungsi luhur lainnya.4
Rangsangan simpatis akan menyebabkan pengeluaran saliva dengan karakteristik kental dan dalam jumlah
yang lebih sedikit. Oleh karena rangsang simpatis akan mengakibatkan rangsang parasimpatis menjadi tidak
ekstensif, mulut akan terasa lebih kering.
Proses penelanan, serta faring dan esofagus, tempat lewat makanan sebelum memasuki lambung
Makanan yang telah tercairkan dengan adanya saliva dari rongga mulut dan berbentuk seperti bola disebut
dengan nama bolus. Bolus akan meninggalkan rongga mulut menuju saluran cerna berikutnya (faring) melalui
suatu proses yang dinamakan menelan (deglutisi).
Proses menelan terbagi menjadi tiga tahap, yakni fase volunter, fase faringeal, dan fase esofageal. Fase
volunter ditandai dengan proses mengangkat lidah ke atas untuk kemudian mendorong bolus ke arah belakang.
Fase ini merupakan fase yang dapat dikendalikan. Setelah bolus melewati fase volunter, bolus akan mengikuti
fase involunter. Fase faringeal merupakan suatu refleks yang terpicu akibat bolus menyentuh area reseptor di
bukaan faring. Fase ini dimulai dengan penutupan trakea (melalui penutupan glottis, yakni bagian superior dari
laring), pembukaan esofagus, serta gelombang peristaltik cepat yang timbul di faring untuk menekan bolus ke
esofagus atas. Pusat pengendali dari proses penelanan merupakan pusat penelanan yang terletak di daerah
medulla dan pons bagian bawah yang berjalan melalui n.vagus.1 Saat menelan kerja sistem respirasi terhambat
akibat pusat menelan menghambat pusat respirasi di sekitarnya, namun hambatan ini tidak terlihat efeknya. Fase
terakhir adalah fase esofageal yang membawa bolus dari esofageal atas ke esofageal bawah, sebelum memasuki
gaster. Gerakan mendorong esofagus ini dilakukan oleh gerak peristaltik primer (yang merupakan kontinuasi
dari peristaltik faring) dan gerak peristaltik sekunder (yang muncul apabila bolus yang menyangkut di
esofagus meregang esofagus dan menimbulkan refleks ini).
Sebelum memasuki gaster ditemukan lagi struktur sfingter gastroesofageal yang berperan untuk
mencegah terjadinya refluks isi asam lambung naik ke atas melalui esofagus. Gerak peristaltik yang muncul dari
esofagus turun ke bawah dan menimbulkan relaksasi reseptif yang terjadi di sfingter ini. Tonus sfinger ini
berkurang, relaks, dan memperbolehkan bolus untuk masuk ke gaster.
Gaster
Gaster merupakan organ yang berperan dalam penyimpanan makanan sementara (sebelum dialirkan ke
duodenum), tempat mencerna bolus melalui sekret yang dihasilkan olehnya (pencernaan karbohidrat
berlangsung, pencernaan protein pertama kali), mencampurkannya melalui gerakan yang terkoordinir, serta
berperan dalam penyerapan beberapa zat larut lemak seperti alkohol dan aspirin. 3
Sessat setelah bolus tiba di bagian atas gaster (kardia), gaster mengirimkan refleks (refleks vagovagal)
untuk menghambat tonus otot lambung sehingga lambung dapat menampung makanan. Mekanisme ini juag
merupakan suatu relaksasi reseptif. Selanjutnya muncul gerakan-gerakan peristaltik lemah yang dimulai
dari bagian atas lambung dan bergerak ke arah lambung. Sel-sel interstisial Cajal dapat ditemukan di bagian
fundus atas gaster yang menghasilkan potensial gelombang lambat (lihat bagian faal otot polos). Gelombang
ini bergerak dan semakin kuat di bagian akhir lambung mengakibatkan timbulnya potensial aksi berupa gerakan
peristaltik yang lebih kuat (bagian antrum memiliki otot yang lebih tebal dibandingkan bagian korpus dan
fundus). Sfingter pilori yang masih tertutup menyebabkan gerakan bolus dengan sekret lambung tidak dapat
melewati rongga yang sangat kecil ini. Dengan demikian, gerakan peristaltik lambung ini juga dapat bermanfaat
sebagai suatu gerakan mengaduk dan mencampur, yang sering disebut dengan gerakan retropulsi, serta
lebih dominan terjadi di bagian antrum gaster. Hasil dari pencampuran bolus dengan sekret gaster ini
menghasilkan suatu kim (chyme).
Sfinger pilori merupakan struktur yang terletak di ujung distal gaster, sebelum terdapat bukaan menuju
duodenum. Sfingter pilori beserta dengan bagian akhir gaster dapat disebut dengan istilah pompa pilori yang
berperan dalam regulasi pengosongan gaster. Banyaknya kim yang terdapat di gaster akan membuat gaster
teregang dan pada akhirnya merangsang gaster untuk meningkatkan motilitas dan pengosongan gaster. Gastrin
juga meningkatkan kerja pompa pilori.
Meskipun demikian, faktor yang lebih penting justru datang bukan dari gaster, melainkan dari duodenum.
Apabila kim yang terdapat di duodenum banyak mengandung lemak, bersifat asam, hipertonik (atau hipotonik),
serta mukosa duodenal teriritasi, terjadi respons refleks enterogastrik yang membuat sfingter pilori
meningkatkan tonusnya. Selain melalui persarafan, enterogastron, suatu hormon yang salah satunya memiliki
efek ke gaster akan menghambat kontraksi antrum dan meningkatkan tonus sfingter pilori. Contoh dari
enterogastron adalah GIP (gastric inhibitory peptide), sekretin, kolesistokinin (CCK). CCK dihasilkan oleh
mukosa jejenum akibat deteksi terhadap lemak (dan sedikit akibat asam amino) yang memiliki fungsi lain untuk
merangsang kantung empedu mengeluarkan isinya.
Di sepanjang dinding mukosa gaster terdapat sel-sel pensekresi mukus yang bermanfaat untuk melindungi
gaster dari suasana asam gaster. Sekret ini agaknya bersifat agak basa dan melapisi gaster cukup tebal (sekitar 1
mm). Sifat basa ini menjelaskan bahwa sifat asam cairan lambung tidak secara langsung mengiritasi mukosa
lambung karena terlindungi oleh sekret mukus ini. Selain itu dapat ditemukan pula kelenjar oksintik (disebut
pula kelenjar gastrik) dan kelenjar pilorik (PGA, pyloric gland area).1,4 Jumlah sekret dari keselurhan kelenjar
di gaster mencapai 2 liter setiap harinya. Sekret yang dihasilkan oleh kelenjar oksintik adalah:
Sementara itu sekresi oleh kelenjar pilorik terdiri atas sel-sel mukus yang hampir identik dengan hasil
sekret mucous neck cells dari kelenjar oksintik. Hormon penting yang disekresi oleh kelenjar ini adalah gastrin
yang akan mengatur sel parietal kelenjar oksintik dalam menghasilkan asam klorida. 1 Gastrin dihasilkan oleh sel
G (suatu sel endokrin, bukan eksokrin) di kelenjar pilorik bagian antrum akibat menerima makanan yang kaya
akan protein atau dirangsang oleh parasimpatis (asetilkolin). Gastrin kemudian merangsang sel ECL
(enterochromafin-like cells) yang kemudian menghasilkan histamin. Histamin selanjutnya merangsang sel
parietal untuk menserkesikan asam klorida melalui mekanisme yang telah dijelaskan di atas. 1
Hepar terlibat dalam proses pencernaan melalui mekanisme penghasil empedu yang membantu mencerna
dan mengabsorpsi zat lemak. Hepatosit (sel hati) menghasillkan empedu dan dialirkan ke kanalikuli biliaris.
Beberapa kanalikulus biliaris akan berkumpul ke ductus hepaticus, sebelum bergabung dengan ductus cysticus
(yang dimiliki oleh kantung empedu) membentuk ductus biliaris communis. Saluran empedu yang menuju
duodenum dikawal oleh otot sfingter lain, yakni
sfingter Oddi. Apabila sfingter Oddi tertutup, empedu
yang dihasilkan akan dialirkan ke vesica biliaris
(fellea) atau kantung empedu yang berada dekat
dengan hepar. Oleh karena itu dikatakan bahwa
empedu tidak secara langsung dialirkan ke kantung
empedu. Kolesistokinin menyebabkan sfinter Oddi
terbuka dan mengalirkan isi empedu ke duodenum.
Kepustakaan
1. Guyton AC, Hall JE. Textbook of medical physiology. 11th edition. Philadelphia: Elsevier Saunders;
2006.
2. Sherwood L. Human physiology: From cells to system. 7 th edition. Toronto: Brooks/Cole Cengage
Learning; 2010.
3. Barrett K, Brooks H, Bitano S, Barman S. Ganong’s review of medical physiology. 23th edition. New
York: McGraw Hill; 2010.
4. Tortora JG, Derrickson B. Principles of anatomy and physiology. 12th edition. Denver: John Wiley &
Sons; 2009.
Courtesy: nps.org.au