Ibu : Saya di rumah di Park Place 308. Saya harap John bisa pulang ke rumah. Saya
merasa lebih baik ketika dia di sini. Saya hanya tidak bisa menanganinya.
Relawan : Apakah Anda berpikir itu salah? Apakah Anda takut melukai Danny?
Ibu : Dia tidak akan berhenti menangis. Dia selalu menangis. John tidak tahu
bagaimana rasanya. Saya kira dia menyalahkan saya-saya tahu ibu saya
melakukannya (Mulai menangis dengan tidak terkontrol)
Ibu : Dia..dia mengendarai sebuah truk. Dia tidak akan pulang sebelum Kamis.
Relawan : Saya mengerti...dan saya tahu ini berat untuk Anda. Sudahkah Anda bicara
dengan seseorang tentang perasaan Anda?
Ibu : Tidak. Baiklah, dengan Marge tetangga saya sedikit. Dia bilang dia merasa seperti
itu beberapa kali. Tapi....saya tidak tahu
Dalam situasi ini, relawan terus memperkuat pendapat bahwa ia mengerti. Tenang dan
sikap yakin pada relawan terlihat untuk menenangkan si ibu, yang setuju untuk datang pada
sore hari berikutnya dan untuk membawa anaknya bersama dengan dia.
Tujuan dari wawancara krisis adalah untuk merespon permasalahan yang terjadi dan
menyediakan sumber daya dengan segera. Tujuan mereka adalah untuk membelokkan potensi
permasalahan dan menganjurkan penelepon untuk masuk ke dalam suatu hubungan dengan
klinik atau membuat rujukan sehingga solusi jangka panjang bisa berhasil. Wawancara
tersebut memerlukan pelatihan, kepekaan, dan keputusan. Mengajukan pertanyaan yang
salah, dalam wawancara riwayat kasus hanya dapat mengakibatkan adanya beberapa
informasi yang salah. Namun, penelepon yang mengajukan pertanyaan yang salah di telepon
mungkin akan menutup teleponnya. Layanan klinis mulai melampaui batas-batas klinik
konvensional, ada kemungkinan bahwa mereka akan mulai menipiskan hal tersebut dengan
menjalankan layanan yang menawarkan sedikit kesempatan untuk kontrol. Tetapi klien yang
harus mendapatkan intervensi selama krisis nampaknya menjadi pertimbangan mereka.
Tabel 6-2 Garis Besar untuk Wawancara Riwayat Kasus
1. Mengidentifikasi data, termasuk nama, jenis kelamin, pekerjaan, alamat, tempat dan
tanggal lahir, agama, dan pendidikan.
2. Alasan untuk datang ke agensi dan ekspektasi layanan.
3. Situasi saat ini, seperti deskripsi perilaku sehari-hari dan perubahan yang terjadi baru-
baru ini atau perubahan yang terjadi di masa mendatang.
4. Konstelasi keluarga termasuk deskripsi ibu, ayah, dan anggota keluarga lainnya dan
aturan dalam keluarga dimana dia tumbuh.
5. Ingatan awal, deskripsi tentang kejadian paling awal dan di sekitar klien yang masih
dapat diingat.
6. Kelahiran dan perkembangan termasuk usia berjalan dan berbicara, masalah-masalah
yang dialami dibanding anak-anak lain, dan pandangan orang tentang pengalaman di
masa awal klien.
7. Kondisi kesehatan, termasuk penyakit dan kecelakaan di masa kanak-kanak dan di
masa perkembangan selanjutnya, penggunaan obat-obatan dan alkohol, dan
perbandingan tubuh klien dengan orang lain.
8. Pendidikan dan pelatihan, termasuk minat khusus klien dan prestasi.
9. Catatan pekerjaan, termasuk alasan untuk pindah kerja dan sikap terhadap pekerjaan.
10. Rekreasi dan minat, termasuk menjadi relawan, membaca, dan laporan responden
mengenai keadekuatan eskpresi diri dan kesenangan.
11. Perkembangan seksual, yang mencakup kesadaran pertama, jenis-jenis kegiatan
seksual, dan pandangan mengenai keadekuatan ekspresi seksual.
12. Data perkawinan dan keluarga, yang mencakup kejadian-kejadian penting dan apa
penyebabnya dan perbandingan antara keluarganya sekarang dengan keluarga asal.
13. Deskripsi-diri, termasuk kekuatan, kelemahan dan ideal-self
14. Pilihan dan titik-titik balik dalam kehidupan, meninjau keputusan dan perubahan yang
paling penting , termasuk peristiwa yang paling penting.
15. Pandangan terhadap masa depan, termasuk hal apa yang klien harapkan di tahun
depan dan dalam lima atau sepuluh tahun mendatang, dan apa yang dibutuhkan untuk
mencapai harapan itu.
16. Informasi lebih lanjut oleh responden mungkin dianggap dihilangkan dari sejarah.
Tabel 6-3 Wawancara Pemeriksaan Status Mental terhadap Seorang Pria Berusia 24
Tahun yang Didiagnosa Schizoprenia
PROFIL
Thomas A. Widiger, Ph.D.
Wawancara diagnostik
Seperti yang telah disebukan pada bab 5, psikologi klinis mengevaluasi pasien berdasarkan
kriteria DSM-IV. Perusahaan asuransi, protokol riset, atau bahkan tuntutan pengadilan
mungkin memerlukan evaluasi diagnostik. Bagaimana klinikan mencapai formula seperti itu,
bagaimanapun juga, sebagian besar diserahkan pada mereka. Menurut sejarah, mereka
menggunakan wawancara klinis- sebuah bentuk bebas wawancara tidak terstruktur yang
isinya sangat bervariasi dari klinikan ke klinikan.
Seperti yang mungkin diharapkan, metode wawancara ini sering menghasilkan rating
yang tidak reliabel karena dua klinikan mengevaluasi pasien mungkin saja mencapai
formulasi diagnostik yang berbeda. Riset tentang reliabilitas diagnosis menggunakan
wawancara klinis tidak terstruktur belum mendukung pendekatan ini. (e.g. Matarazzo, 1983;
Ward, Beck, Mendelson, Mock & Erbauch, 1962).
Untunglah, semuanya berubah. Peneliti mengembangkan wawancara diagnostik
terstruktur yang bisa digunakan oleh psikolog klinis dalam penelitian atau kerja mereka.
Wawancara diagnostik terstruktur terdiri atas satu set pertanyaan standar dan tindak lanjut
pemeriksaan yang diminta dalam urutan tertentu. Penggunaan wawancara diagnostik
terstuktur memastikan semua pasien atau subjek diberikan pertanyaan yang sama. Hal ini
membuat dua klinikan yang mengevaluasi pasien yang sama mungkin mencapai formulasi
diagnostik yang sama (reliabilitas interrater tinggi).
Beberapa wawancara diagnostik terstruktur tersedia untuk psikolog klinis. Gambar 6-
1 memperlihatkan bagian Wawancara Klinis Terstruktur untuk gangguan Axis I DSM IV
(First, Spitzer, Gibbon, & William,1995) yang disebut SCID-I. Bagian SCID-I menilai
kemunculan kriteria DSM IV untuk Specific Phobia. Pertanyaan interviewer yang ditanyakan
berada di sebelah kiri kolum,dan kriteria DSM IV untuk gangguan berada di tengah kolum.
Reliabilitas
Wawancara terstandar (terstruktur) dengan instruksi skor yang jelas akan lebih reliabel
daripada wawancara tidak terstruktur. Alasannya karena wawancara terstruktur mengurangi
variasi informasi dan kriteria. Variasi informasi mengacu pada variasi pertanyaan yang
diajukan klinikan, observasi dilakukan selama wawancara, dan metode untuk
menggabungkan informasi yang diperoleh (Rogers, 1995).