Anda di halaman 1dari 2

Labora Ergo Sum

(Refleksi 1 Muharam 1432 H)


Muhammad Mirza Ardi - Opini
PERAYAAN 1 Muharam bukanlah agama, tetapi budaya agama. Hari besar Islam yang re
smi diajarkan oleh agama, sesuai dengan sabda Rasulullah, hanya ada dua yaitu Id
ul Fitri dan Idul Adha.
Sebaliknya sebagian dari peringatan-peringatan keagamaan seperti Nuzulul Quran,
Isra Mikraj, Maulid dan sebagainya adalah suatu pengkayaan kehidupan agama kita.
Peringatan-peringatan hari besar itu memang mengandung makna yang mendalam.
Semua bangsa memperingati tahun baru. Tahun baru yang paling umum diperingati di
seluruh dunia ialah tahun baru kalender umum (masehi) yang sebetulnya baru dimu
lai sejak abad 13 oleh Gregorius. Itu pun hanya di kalangan orang Katolik. Sebab
, sebetulnya mereka menganggap 1 Januari adalah praktik kaum kafir warisan dari
Roma. Setelah tahun baru masehi mengalami desaklarisasi, barulah orang-orang Pro
testan ikut merayakan 1 Januari sebagai tahun baru pada abad ke-18. Sementara it
u, bangsa Cina yang juga memiliki tahun baru sendiri, baru beberapa puluh tahun
yang lalu mengikuti perayaan 1 masehi ini.
Karena setiap perayaan keagamaan memiliki makna yang mendalam. Maka tugas penutu
r agama adalah mereaktulisasi dan mengkontekstualisasikan hari-hari besar itu de
ngan kehidupan umatnya. Yang paling sering kita dengar dalam perayaan 1 Muharram
adalah cerita-cerita tentang bagaimana Ali bin Abi Thalib menggantikan Rasul de
ngan cara tidur di ranjang Nabi.
Cerita tentang laba-laba yang menutup gua tempat Rasul dan Abu Bakar bersembunyi
sehingga para jongos Quraish tak bisa menemukan mereka. Atau cerita tentang kuc
ing yang menghapus jejak-jejak tapak kaki Rasul dan Abu bakar yang membuat kompl
otan Quraish kesulitan mengejar. Namun yang paling memukau, bagaimana Rasul menj
awab kekhawatiran Abu Bakar ketika para kafir Quraish berada dimulut gua, Tenangl
ah wahai Abu Bakar, Allah bersama kita . Penjelasan peristiwa hijrah seperti ini l
ebih menekankan aspek metafisika dan keimanan.
Namun, seperti pepatah Cina yang mengatakan satu lukisan memiliki seribu arti. D
emikian pula dengan kejadian-kejadian sejarah, sebuah peristiwa dapat memiliki s
eribu makna. Misalkan saja bagaimana Hasan Al-Banna menafsirkan 1 Muharram, pend
iri Ikhwanul Muslimin ini melihat peristiwa hijrah sebagai perpindahan marhalah
(fase) dakwah Islam. Sebuah metamoforsis dari gerakan menjadi negara , dari tabligh m
enjadi siyasi. Konon, penafsiran baru inilah yang membuat seorang Yusuf Al-Qarad
hawi muda tertarik bergabung dengan gerakan Ikhwanul Muslimin. Dalam otobiografi
nya, ulama besar itu mengatakan Hasan al-Banna begitu memukau dalam menjelaskan
fase-fase dakwah kepada mahasiswa Al-Azhar, dan penafsiran perpindahan mihwar ta
bligh ke siyasi benar-benar sesuatu yang baru saat itu. Di sini hijrah dilihat d
ari perspektif strategi dakwah. Tambahan, ada juga yang menafsirkan peristiwa hi
jrah dari sudut pandang tasawuf, yaitu hijrah (bepindah) dari perilaku buruk ke
perilaku baik (akhlakul karimah).
Bila kita membaca sejarah Islam, memperingati tahun baru adalah sesuatu kebiasaa
n yang muncul setelah Nabi wafat. 1 Muharam adalah hasil ijtihad Umar bin Khatta
b. Umar-lah yang menerapkan tahun Hijrah atau kalender hijriah, yaitu ketika dia
mendapat laporan dari berbagai daerah yang waktu itu sudah sangat luas mengenai
kegiatan-kegiatan mereka. Seperti kegiatan pengumpulan pajak atau zakat. Namun
laporan itu tidak pernah disertai dengan meniti masa datang atau tarikh yang jel
as, sehingga membingungkan.
Maka Umar pun mengumpulkan para sahabatnya. Apakah perlu mempunyai suatu kalende
r yang bisa meniti masa, yang bisa menetapkan datangnya peristiwa-peristiwa itu
secara lebih tepat. Banyak usulan, misalnya supaya kalender Islam dimulai dengan
kelahiran Nabi. Usulan ini ditolak karena Muhammad waktu lahir belum menjadi Na
bi dan Muhammad waktu lahir tidak punya prestasi apa-apa.
Kemudian ada yang mengusulkan kalender Islam dimulai dari kematian beliau, usula
n ini juga ditolak. Kematian adalah akhir dari suatu kerja, jadi tidak sewajarny
a diperingati sebagai suatu hal yang abadi. Maka diambillah suatu peristiwa yang
paling penting dalam riwayat Muhammad, yaitu hijrah (perpindahan) dari Mekah ke
Yastrib, yang kemudian diubah menjadi Madinah dan merupakan lambang dari presta
si, dari achievement, dari hasil kerja. Jadi, peristiwa Hijrah dipilih karena me
rupakan permulaan dari suatu kerja, suatu aktivitas, suatu kegiatan yang membuat
Nabi ketika wafat menjadi manusia yang paling sukses sepanjang sejarah dunia in
i.
Oleh karena itu, memperingati 1 Muharam secara tidak langsung mengingatkan kita
bahwa sebetulnya agama Islam mengajarkan penghargaan manusia melalui kerjanya ya
ng dalam. Dalam sosiologi bahasa Inggris disebut sebagai achievement orientation
. Jadi manusia itu dinilai bukan dari prestisenya, melainkan prestasinya. Maka,
keturunan dalam agama Islam tidaklah penting. Rasulullah Muhammad saw pernah ked
atangan seorang sahabat yang membawa orang lain. Dan sahabat Nabi ini menceritak
an bahwa orang yang dibawanya itu adalah ahli nasab atau ahli keturunan. Lalu Ra
sulullah menjawab, Ilmu keturunan itu adalah ilmu yang tidak bermanfaat dan kebod
ohan yang berbahaya. Kenapa begitu? Karena dalam agama kita (Islam), yang penting
adalah kerja. Sehingga kalau Rene Descartes mempunyai motto cogito ergo sum, aku
berpikir maka aku ada. Maka sebetulnya seorang Muslim harus berkata labora ergo s
um ( aku bekerja maka aku ada. ) Intinya, seorang muslim itu tidak boleh menjadi seor
ang pemalas, penunda-nunda, lamban, atau menghabiskan waktu berjam-jam di warung
kopi untuk hal yang sia-sia (lagha).
Prestasi 1 Muharam adalah kumpulan kerja amal-amal baik. Nabi pernah mengatakan S
ebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Sabda tersebut kalau k
ita negasikan menjadi seburuk-buruk manusia adalah yang tidak mampu memberikan ma
nfaat bagi orang lain. Jadi di sini ada etos kontribusi sosial dan tidak seyogyan
ya seorang yang beragama itu menjadi parasit. Dalam Alquran dikatakan, badan kit
a ini menjadi perekam dari seluruh perbuatan kita, dan semuanya itu akan berbica
ra pada Allah swt melalui tangan dan kaki kita (QS 36:65). Sesuatu hal yang sama
sekali tidak mustahil, karena tubuh kita terdiri dari miliaran gen. Oleh karena
itu kita harus serius dalam menjalani hidup ini. Karena yang berdampak panjang
dari manusia adalah reputasinya. Dan reputasi itu jauh lebih panjang usianya dar
ipada umur pribadi.
Sampai sekarang kita masih menyebut tokoh-tokoh yang hidupnya ribuan tahun lalu.
Dan mereka itu rata-rata hidupnya pendek, kurang lebih 40-50 tahun. Tapi mereka
meninggalkan hal-hal yang luar biasa bagi umat manusia. Oleh karena itu reputas
i, seperti yang digambarkan Alquran (36:12), sebetulnya merupakan cerminan dari
apa nanti yang kita alami di akhirat. Reputasi buruk itu (koruptor, tukang pamer
, diktator, penipu rakyat, dsb) berarti sebagai cerminan bahwa kita akan sengsar
a. Sebaliknya reputasi baik adalah cerminan akan kebahagiaan kita. Sekalipun yan
g terakhir, yang mengetahui hanyalah Allah swt.
Oleh karena itu dalam memperingati 1 Muharram ini kita sebaiknya merenungkan apa
sebetulnya agama kita. Apa yang sebetulnya diajari agama kita mengenai etos ker
ja itu. Karena sebagaimana kata Aam Amiruddin dalam Tafsir Kontemporer, yang mem
buat umat Islam sekarang ketinggalan dalam rangking peradaban dunia adalah karen
a minimnya etos ilmu (iqra) dan etos usaha/kerja (jihad). Padahal hanya dengan e
tos kerja, etos ilmu, dan amal-amal sosial penduduknya, Aceh bisa hijrah dari pr
ovinsi yang sedang berkembang menjadi provinsi Syariat Islam yang maju dan makmu
r.
* Penulis adalah penggiat Kelompok Studi Darussalam (KSD), alumnus IELSP Ohio Un
iversity USA.

Anda mungkin juga menyukai