LANDASAN TEORI
A. Pengertian BMT
Baitul Mal Wa Tamwil (BMT) terdiri dari dua istilah, yaitu baitul mal dan baitut tamwil. Baitul maal lebih
mengarah pada usaha-usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang non profit, seperti zakat, infak dan
shodaqoh. Sedangkan baitut tamwil sebagai usaha pengumpulan dan dan penyaluran dana komersial (Prof.
H A. Djazuli:2002).
B. Sejarah BMT
Di Indonesia sendiri setelah berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) timbul peluang untuk mendirikan
bank-bank yang berprinsip syariah. Operasinalisasi BMI kurang menjangkau usaha masyakat kecil dan
menengah, maka muncul usaha untuk mendirikan bank dan lembaga keuangan mikro, seperti BPR syariah
dan BMT yang bertujuan untuk mengatasi hambatan operasioanal daerah.
Disamping itu di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang hidup serba berkecukupan muncul
kekhawatiran akan timbulnya pengikisan akidah. Pengikisan akidah ini bukan hanya dipengaruhi oleh aspek
syiar Islam tetapi juga dipengaruhi oleh lemahnya ekonomi masyarakat. Oleh sebab itu peran BMT agar
mampu lebih aktif dalam memperbaiki kondisi tersebut.
Pengertian lembaga keuangan non bank yakni organisasi ekonomi yang berbentuk selain bank (Heri
Sudarsono:2005)
Dibentuknya:
Lembaga ini didirikan dengan maksud untuk memfasilitasi masyarakat bawah yang tidak terjangkau oleh
pelayanan bank syariah atau BPR syariah. Prinsip operasinya didasarkan atas prinsip bagi hasil, jual-beli
(itjarah) dan titipan (wadiah).
Asuransi syariah menggantikan prinsip bunga dengan prinsip dana kebajikan (tabarru’), dimana sesame
umat di tuntut untuk saling tolong menolong ketika saudara mengalami musibah.
3. Reksadana Syariah
Reksadana syariah mengganti system deviden dengan bagi hasil mudharabah dan hanya mempertimbangkan
investasi-investasi yang halal sebagai portofolionya.
Sebagaimana reksadana syariah, pasar modal syariah juga menggunakan prinsip yang sama.
Lembaga ini menggunakan system jasa administrasi dan bagi-hasil untuk menggantikan prinsip bunga.
6. Lembaga Zakat, Infak, Shadaqah dan Waqaf
Lembaga ini merupakan lembaga yang hanya ada dalam system keuangan Islam, karena Islam mendorong
umatnya untuk menjadi sukatelawan dalam
21 beramal (volunteer). Dana ini hanya bisa di alokasikan untuk kepentingan social atau peruntukan yang
telah digariskan menurut syariah Islam.
Menurut Heri Sudarsono (2006) Bank dan Lembaga Keuangan Syariah merupakan Organisasi ekonomi
yang berdasar pada syari`ah Islam dan didirikan oleh umat Islam.
Untuk mewujudkan masyarakat adil dan efisien, maka setiap tipe dan lapisan masyarakat harus terwadahi,
namun perbankan belum bisa menyentuh semua lapisan masyarakat, sehingga masih terdapat kelompok
masyarakat yang tidak terfasilitasi yakni:
1. Masyarakat yang secara legal dan administrative tidak memenuhi kriteria perbankan. Prinsip kehati-hatian
yang diterapkan oleh bank menyebabkan sebagian masyarakat tidak mampu terlayani. Mereka yang
bermodal kecil dan penghindar resiko tersebut, jumlahnya cukup signifikan dalam Negara-negara muslim
seperti Indonesia, yang sebenarnya secara agregat memegang dana yang cukup besar.
2. Masyarakat yang bermodal kecil namun memiliki keberanian dalam mengambil resiko usaha. Biasanya
kelompok masyarakat ini akan memilih reksa dana atau mutual fund sebagai jalan investasinya.
3. Masyarakat yang memiliki modal besar dan keberanian dalam mengambil resiko usaha. Biasanya
kelompok ini akan memilih pasar modal atau investasi langsung sebagai media investasinya.
4. Masyarakat yang menginginkan jasa keuangan non-investasi, misalnya pertanggungan terhadap resiko
kekurangan likuiditas dalam kasus darurat, kebutuhan dana konsumtif jangka pendek, tabungan hari tua, dan
sebagainya. Kesemua produk tersebut tidaklah ditawarkan oleh perbankan (karena regulasi perbankan yang
juga membatasinya). Sebagai alternatifnya, kelompok masyarakat tersebut akan menggunakan jasa asuransi,
pegadaian dan dana pension sebagai pilihan investasinya.
1. Penghimpun dan penyalur dana, dengan menyimpan uang di BMT, uang tersebut dapat ditingkatkan
utilitasnya, sehingga timbul unit surplus (pihak yang memiliki dana berlebih) dan unit defisit (pihak yang
kekurangan dana).
2. Pencipta dan pemberi likuiditas, dapat menciptakan alat pembayaran yang sah yang mampu memberikan
kemampuan untuk memenuhi kewajiban suatu lembaga/perorangan.
3. Sumber pendapatan, BMT dapat menciptakan lapangan kerja dan memberi pendapatan kepada para
pegawainya.
4. Pemberi informasi, memberi informasi kepada masyarakat mengenai risiko keuntungan dan peluang yang
ada pada lembaga tersebut.
H. Teori Dana BMT
Dana BMT atau Financeable Fund adalah sejumlah uang yang dimiliki dan dikuasai suatu BMT dalam
kegiatan operasionalnya. Dana BMT ini terdiri dari :
Yaitu dana yang berasal dari pemilik berupa modal dan hasil usaha BMT.
Yaitu dana yang berasal dari instrumen pasar uang dan instrumen pasar modal.
Yaitu dana yang berasal dari penghimpunan dana BMT berupa giro (nasabah), tabungan, deposito
berjangka, sertifikat deposito berjangka, kewajiban segera lainnya.
Pada sistem operasional BMT syariah, pemilik dana menanamkan uangnya di BMT tidak dengan motif
mendapatkan bunga, tetapi dalam rangka mendapatkan keuntungan bagi hasil. Produk penghimpunan dana
lembaga keuangan syariah adalah (Himpunan Fatwa DSN-MUI, 2003):
1. Giro Wadiah
Giro Wadiah adalah produk simpanan yang bisa ditarik kapan saja. Dana nasabah dititipkan di BMT dan
boleh dikelola. Setiap saat nasabah berhak mengambilnya dan berhak mendapatkan bonus dari keuntungan
pemanfaatan dana giro oleh BMT. Besarnya bonus tidak ditetapkan di muka tetapi benar-benar merupakan
kebijaksanaan BMT. Sungguhpun demikian nominalnya diupayakan sedemikian rupa untuk senantiasa
kompetitif (Fatwa DSN-MUI No. 01/DSN-MUI/IV/2000).
2. Tabungan Mudharabah
Dana yang disimpan nasabah akan dikelola BMT, untuk memperoleh keuntungan. Keuntungan akan
diberikan kepada nasabah berdasarkan kesepakatan nasabah. Nasabah bertindak sebagai shahibul mal dan
lembaga keuangan syariah bertindak sebagai mudharib (Fatwa DSN-MUI No. 02/DSN-MUI/IV/2000).
3. Deposito Mudharabah
BMT bebas melakukan berbagai usaha yang tidak bertentangan dengan syariah dan mengembangkannya.
BMT bebas mengeola dana (Mudharabah Mutaqah). BMT berfungsi sebagai mudharib sedangkan nasabah
juga shahibul maal. Ada juga dana nasabah yang dititipkan untuk usaha tertentu. Nasabah memberi batasan
penggunaan dana untuk jenis dan tempat tertentu. Jenis ini disebut Mudharabah Muqayyadah.
J. Produk Pembiayaan
Dalam melaksanakan kegiatan pembiayaan, BMT syariah menempuh mekanisme bagi hasil sebagai
pemenuhan kebutuhan permodalan (equity financing) dan investasi berdasarkan imbalan melalui mekanisme
jual-beli (bai’) sebagai pemenuhan kebutuhan pembiayaan (debt financing) (Zainul arifin ,1999)
1. Equity Financing
Pembiayaan Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu,
dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan
risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan (Himpunan Fatwa DSN-MUI, 2003 : 50).
Dari pengertian di atas, dapat dilihat ciri-ciri dari perjanjian/akad musyarakah, yaitu kontribusi dana berasal
dari dua pihak (BMT dan nasabah) dan bagi hasil berdasarkan kontribusi modal. Dalam musyarakah,
kepemilikan dua orang atau lebih terbagi dalam sebuah aset nyata. Dalam hal pengelolaan usaha, pihak
BMT diikutsertakan atau dilibatkan dalam proses manajemen.
Aplikasi BMT untuk akad musyarakah adalah (M. Syafi’i Antonio, 1999:197):
1. Pembiayaan Proyek. Nasabah dan BMT sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek. Setelah
proyek selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati bersama.
2. Modal Ventura. Pada BMT-BMT yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan,
musyarakah diterapkan dalam skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu
tertentu, dan setelah itu BMT melakukan divestasi, baik secara singkat maupun bertahap.
Pembiayaan Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul
maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola dan keuntungan usaha
dibagi sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak (Himpunan Fatwa DSN-MUI, 2003 : 40).
Di dalam mudharabah hubungan kontrak bukan antara pemberi modal, melainkan antara penyedia dana
(shahibul maal) dengan enterpreneur (mudharib)( Zainul Arifin, 1999 ).
Dari kedua pengertian diatas dapat dilihat bahwa BMT menanggung seluruh modal sedangkan nasabah
hanya memiliki modal keahlian (tetapi tidak mempunyai dana). Keuntungan usaha dibagi menurut
kesepakatan sedangkan kerugian seluruhnya ditanggung oleh pemilik modal (BMT) selam bukan akibat
kelalaian si pengelola.
2. Debt Financing
Debt Financing dilakukan dengan teknik jual-beli. Pengertian bai’ meliputi berbagai kontrak pertukaran
barang dan jasa dalam jumlah tetentu atas barang dan jasa bersangkutan (Zainul arifin, 1999 ).
Penyerahan jumlah barang atau jasa dapat dilakukan dengan segera (cash) atau dengan tangguh (deferred).
a) Murabahah
BMT membeli barang kemudian menjualnya kepada nasabah dengan harga jual senilai harga beli plus
keuntungannya. BMT harus memberi
tahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan. Nasabah membayar
harga barang yang telah disepakati dalam jangka waktu tertentu (Fatwa DSN-MUI No. 04/DSN-
MUI/IV/2000).
Dalam hal ini BMT bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Dalam murabahah
penjual harus memberitahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai
tambahannya.
Sistem ini diterapkan pada produk pembiayaan untuk pembelian barang-barang investasi, baik domestik
maupun luar negeri, seperti melalui letter of credit (L/C). Skema ini paling banyak digunakan karena
sederhana dan tidak terlalu asing bagi yang sudah biasa bertransaksi dengan dunia BMT pada umumnya.
b) Bai’ as-salam
Bai’ as-salam jual beli barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga lebih dahulu dengan syarat-
syarat tertentu. Pembayaran hrus dilakukan pada saat kontrak disepakati. Waktu penyerahan barang
ditetapkan berdasarkan kesepakatan dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati pula (Himpunan
Fatwa DSN-MUI, 2003 : 30).
Dalam aplikasi BMT, transaksi ini biasanya dipergunakan untuk pembiayaan pertanian jangka pendek
seperti padi, jagung, dan cabai serta untuk pembiayaan barang industri seperti produk garmen (pakaian jadi).
c) Bai’ al-istishna’
Bai’ al-istishna merupakan akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan
kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni’) dan penjual
(pembuat, shani)(Himpunan Fatwa DSN-MUI, 2003 : 36).
Transaksi Bai’ al-istishna biasanya dipakai untuk pembiayaan konstruksi dan barang-barang manufaktur
jangka pendek. Kontrak Bai’ al-istishna walaupun kelihatan sama dengan bai’ as-salam tetapi berbeda.
d) Al Ijarah
Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran
upah atau sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri (Himpunan Fatwa
DSN-MUI, 2003 : 58).
Dalam transaksi ijarah , BMT menyewakan suatu aset yang sebelumnya telah dibeli oleh BMT kepada
nasabahnya untuk jangka waktu tertentu dengan jumlah sewa yang telah disetujui di muka.
Aplikasi dalam BMT untuk sistem ini adalah Leasing, baik dalam bentuk operating lease maupun financial
finance.
Pemberian suatu fasilitas Pembiayaan mempunyai tujuan tertentu. Tujuan pemberian Pembiayaan tersebut
tidak akan terlepas dari misi BMT tersebut didirikan. Adapun tujuan utama pemberian suatu Pembiayaan
antara lain :
1. Mencari keuntungan
Yaitu bertujuan untuk meperoleh hasil dari pemberian Pembiayaan tersebut. Hasil tersebut terutama dalam
bentuk bunga yang diterima oleh BMT sebagai balas jasa dan biaya administrasi Pembiayaan yang
dibeBMTan kepada nasabah.
Yaitu untuk membantu usaha nasabah yang memerlukan dana, baik dana investasi maupun dana untuk
modal kerja. Dengan dana tersebut, maka pihak debitur akan dapat mengembangkan dan memperluaskan
usahanya.
3. Membantu pemerintah
Bagi pemerintah semakin banyak pembiayaan yang disalurkan oleh pihak BMT, maka semakin baik,
mengingat semakin banyak Pembiayaan berarti adanya peningkatan pembangunan di berbagai sektor.
Disamping tujuan di atas, suatu fasilitas Pembiayaan memiliki fungsi sebagai berikut :
Dengan adanya Pembiayaan dapat meningkatkan daya guna uang maksudnya jika hanya disimpan saja tidak
akan menghasilkan sesuatu yang berguna.
Dalam hal ini uang diberikan atau disalurkan akan beredar dari suatu wilayah ke wilayah lainnya sehingga,
suatu daerah yang kekurangan uang dengan memperoleh Pembiayaan maka daerah tersebut akan
memperoleh tambahan uang dari daerah lainnya.
Pembiayaan yang diberikan oleh BMT akan dapat digunakan oleh debitur untuk mengolah barang yang
tidak berguna menjadi barang berguna atau bermanfaat.
Pembiayaan dapat pula menambah atau memperlancar arus barang dari satu wilayah ke wilayah lainnya,
sehingga jumlah barang yang beredar dari satu wilayah ke wilayah lain bertambah atau Pembiayaan dapat
pula meningkatkan jumlah barang yang beredar.
Dengan memberikan Pembiayaan dapat dikatakan sebagai stabilitas ekonomi karena dengan adanya
Pembiayaan yang diberikan akan menambah jumlah barang yang diperlukan oleh masyarakat.
f. Untuk meningkatkan kegairahan berusaha.
Bagi penerima Pembiayaan tentu akan dapat meningkatkan kegairahan berusaha, apalagi bagi si nasabah
yang memang modalnya pas-pasan.
Semakin banyak Pembiayaan yang disalurkan maka akan semakin baik, terutama dalam hal meningkatkan
pendapatan.
Dalam hal pinjaman internasional akan dapat meningkatkan saling membutuhkan antara si penerima
pembiayaan dengan si pemberi Pembiayaan.
K. Produk Jasa
Di samping produk pembiayaan, BMT syariah juga mempunyai produk-produk jasa atau pelayanan. Produk
ini juga merupakan penerapan dari akad-akad syariah. Produk jasa yang lazim diterapkan BMT syariah
diantaranya adalah (Himpunan Fatwa DSN-MUI, 2003) :
a) Wakalah
Wakalah berarti pelimpahan kekuasan dari satu pihak ke pihak lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan
(Himpunan Fatwa DSN-MUI, 2003 : 66). Prinsip perwakilan diterapkan dalam BMT syariah dimana BMT
bertindak sebagai wakil dan nasabah sebagai pemberi wakil (muwakil).(M. Syafi’i Antonio, 1999:252).
Prinsip ini diterapkan untuk pengiriman uang atau transfer, penagihan (collection/inkasso), dan letter of
credit (L/C). Sebagai imbalan, BMT mengenakan fee atau biaya atas jasanya terhadap nasabah.
b) Kafalah
Kafalah berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung
jawab orang lain sebagai penjamin (M. Syafi’i Antonio, 1999:231).
Dalam pengertian lain, kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga
untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung.
Prinsip penjaminan yang diterapkan oleh BMT syariah di mana BMT bertindak sebagai penjamin sedangkan
nasabah sebagai pihak yang dijamin. Seperti halnya dalam wakalah, untuk jasa al kafalah BMT syariah pun
mendapat bayaran dari nasabahnya.
c) Hawalah
Hawalah adalah pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib
menanggungnya(M. Syafi’i Antonio, 1999:201).
Prinsip ini diterapkan oleh BMT syariah di mana BMT bertindak sebagai penerima pengalihan piutang dan
nasabah bertindak sebagai pengalih piutang. Untuk jasa ini BMT syariah mendapatkan upah pengalihan dari
nasabah.
Aplikasi dalam BMT untuk jasa ini adalah factoring atau anjak piutang, post-date check, bill discounting.
d) Rahn
Rahn adalah menahan harta milik si peminjam sebagi jaminan atas pinjama yang diterimanya. Barang yang
ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis (M. Syafi’i Antonio, 1999:213 ).
Dalam jasa ini pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian
piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan hutang atau gadai.
e) Qardh
Qardh adalah pinjamam yang diberikan kepada nasabah yang memerlukan. Nasabah wajib mengembalikan
jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah disepakati bersama (Himpunan Fatwa DSN-MUI, 2003 :
111).
1. Sebagai produk pelengkap kepada nasabah yang telah terbukti loyalitas dan bonafiditasnya yang
membutuhkan dana talangan segera untuk masa yang relatif pendek. Nasabah tersebut akan mengembalikan
secepatnya sejumlah uang yang dipinjamkannya itu
2. Sebagai fasilitas nasabah yang memerlukan dana cepat sedangkan ia tidak bisa menarik dananya karena,
misalnya tersimpan dalam bentuk deposito.
3. Sebagai produk untuk menyumbang usaha sangat kecil atau membantu sektor sosial. Guna pemenuhan
skema khusus ini telah dikenal suatu produk khusus yaitu qardhu hasan.
f) Sharf
Sharf adalah transaksi pertukaran antara emas dan perak atau pertukaran valuta asing, dimana mata uang
asing dipertukarkan dengan mata uang domestik atau dengan mata uang asing lainnya.
Non-Performing Finance atau Pembiayaan macet secara umum adalah Pembiayaan yang tidak lancar atau
Pembiayaan dimana debiturnya tidak
memenuhi persyaratan yang diperjanjikan, misalnya persyaratan mengenai pengembalian pokok pinjaman,
peningkatan margin deposit, pengikatan dan peningkatan agunan dan sebagainya. Dalam pengertian khusus
atau menurut BMT, BMT yang konservatif melihat Pembiayaan atau pinjamanan yang diberikannya sebagai
aset yang berisiko (risk asset) dan karenanya BMT harus mengelola risiko yang melekat pada proses
pemberian pinjaman. BMT semacam ini mengganggap bahwa laporan keuangan yang seharusnya dihasilkan
oleh debitur untuk disampaikan kepada BMTnya, sebagai salah satu pengelola berisiko. Sarana untuk risk
management ini tidak ada, maka Pembiayaannya menjadi bermasalah.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai penyalur dana kepada masyarakat, maka BMT sebagai lembaga
perPembiayaanan, harus melakukan analisis melalui prinsip 5 C, guna meminimalkan risiko bermasalahnya
atau tidak kembalinya Pembiayaan. Kelima prinsip tersebut meliputi :
1. Character
Keyakinan pihak BMT bahwa si peminjam mempunyai moral, watak, ataupun sifat-sifat pribadi yang
positip dan koperatip dan juga mempunyai rasa tanggung jawab baik dari kehidupan pribadi sebagai
manusia, kehidupan sebagai anggota masyarakat ataupun dalam menjalankan kegiatan usahanya.
2. Capacity
Suatu penilaian kepada calon debitur mengenai kemampuan melunasi kewajiban-kewajibannya dari kegiatan
usaha yang dilakukannya atau kegiatan usaha yang akan dilakukannya yang akan dibiayai dengan
Pembiayaan dari BMT. Jadi jelaslah maksud dari penilaian terhadap capacity ini untuk menilai sampai
dimana hasil usaha yang akan diperolehnya tersebut, akan mampu untuk melunasinya tepat waktu sesuai
dengan perjanjian yang telah disepakatinya.
3. Capital
Penilaian terhadap jumlah dana atau modal sendiri yang dimiliki oleh calon debitur. Hal ini kelihatannya
kontradiktip dengan tujuan Pembiayaan yang berfungsi sebagai penyedia dana. Namun memang
demikianlah halnya dalam kaitan bisnis murni, semakin kaya seseorang ia akan dipercaya untuk
memperoleh Pembiayaan.
4. Collateral
Suatu penilaian terhadap barang-barang jaminan yang diserahkan oleh peminjam atau debitur sebagai
jaminan atas Pembiayaan yang diterimanya. Manfaat collateral yaitu sebagai alat pengamanan apabila
uasaha yang dibiayai dengan Pembiayaan tersebut gagal atau sebab lain dimana debitur tidak mampu
melunasi Pembiayaannya dari hasil usahanya yang normal.
5. Condition of economy
Condition of economy yaitu adalah situasi dan kondisi politik, sosial, ekonomi, budaya, dan lain-lain yang
mempengaruhi kondisi perekonomian pada suatu saat
maupun untuk suatu kurun waktu tertentu yang kemungkinannya akan dapat mempengaruhi kelancaran
usaha dari perusahaan yang memperoleh Pembiayaan.
Banyak faktor yang menyebabkan Pembiayaan tersebut menjadi bermasalah. Faktor-faktor penyebab
terjadinya Pembiayaan bermasalah, yaitu :
Secara umum BMT dipahami sebagai financial intermediary institution atau lembaga perantara keuangan
dari dua pihak yaitu pihak yang kelebihan dana dan pihak yang kekurangan dana.
Setelah mengetahui pengertian dari sisi penggumpulan dana dan sisi penyaluran Pembiayaan, maka dapat
diukur kinerja BMT sebagai lembaga intermediasi. Salah satu tolak ukur dalam rangka mengukur kinerja
BMT khususnya yang berkenaan dengan pelaksanaan fungsi intermediasi adalah dengan menggunakan
Finance to Deposit Ratio (FDR), yaitu perbandingan atau ratio antara Dana Pihak Ketiga (DPK) yang
berhasil dihimpun oleh BMT (pelaksanaan fungsi intermediasi penghimpunan dana) terhadap penyaluran
dana dalam bentuk Pembiayaan (pelaksanaan fungsi penyaluran dana).
N. Intermediasi BMT
Alat ukur utama yang selama ini digunakan untuk mengukur kinerja BMT khususnya berkenaan dengan
pelaksanaan fungsi intermediasi BMT adalah Finance to deposit ratio (FDR), yaitu perbandingan atau rasio
antara dana pihak ketiga (DPK) yang berhasil dihimpun oleh BMT (pelaksanaan fungsi intermediasi
penghimpunan dana) terhadap penyaluran dana dalam bentuk Pembiayaan (pelaksanaan fungsi penyaluran
dana). Dilihat dari komponen pembentuknya FDR merupakan suatu ukuran ideal yang dapat digunakan
untuk mengukur kinerja BMT sebagai lembaga intermediasi (Abdullah, 2003 : 16).
Finance to deposit Ratio (FDR) adalah suatu pengukuran tradisional yang menunjukkan deposito berjangka,
giro, tabungan, dan lain lain yang digunakan dalam memenuhi permohonan pinjaman nasabahnya. Rasio ini
menggambarkan sejauh mana simpanan digunakan untuk pemberian pinjaman. Rasio ini juga dapat
digunakan untuk mengukur tingkat likuiditas.. Definisi ini masih bersifat umum karena lebih lanjut
dijelaskan bahwa setiap pemberian Pembiayaan disertai dengan klausa perjanjian.
Fungsi intermediasi BMT bertolak ukur kepada Finance to Deposit Ratio (FDR). FDR adalah suatu
pengukuran tradisional yang menunujukkan deposito berjangka, giro, tabungan, dan lain-lain yang
digunakan dalam memenuhi permohonan pinjaman (Finance requests) nasabahnya. Rasio ini
menggambarkan sejauh mana simpanan digunakan untuk pemberian pinjaman. Rasio ini juga dapat
mengukur tingkat likuiditas.
Rasio yang tinggi menunjukkan bahwa suatu BMT meminjamkan seluruh dananya (Finance-up) atau relatif
tidak likuid (illiquid). Sebaliknya rasio yang rendah menunjukkan BMT yang likuid dengan kelebuhan
kapasitas dana yang siap untuk dipinjamkan. Oleh karena itu, rasio ini juga dapat memberi isyarat apakah
suatu pinjaman masih dapat mengalami ekspansi atau sebaliknya harus dibatasi.
Secara umum, BMT yang besar cenderung mempunyai FDR yang lebih besar dibanding BMT yang kecil.
Meskipun tidak demikian tidak berlaku untuk BMT kecil yang terletak di daerah pertanian, karena BMT itu
mempunyai FDR sangat tinggi, bahkan kadang bisa lebih dari 100%.
Dalam pengertian sehari-hari seperti sering diucapkan oleh banyak kalangan bahwa akhir-akhir ini yang
dapat dilihat pada indikator FDR umumnya hanya isi komponen yang sangat sederhana. Sebagai indikator
pinjaman adalah jumlah atau posisi pinjmanan yang diberikan, sebagaiman tercantum pada sisi aktiva.
Sebagai indikator pada simpanan adalah giro, deposito, tabungan yang masing-masing tercantum pada sisi
passiva neraca BMT. Kedua komponen tersebut dalam bentuk rupiah.
Tujuan perhitungan FDR adalah untuk mengetahui serta menilai sampai berapa besar jauh suatu BMT
memiliki kondisi sehat dalam menjalankan operasi atau kegiatan usahanya. Dengan kata lain FDR
digunakan sebagai indikator untuk mengetahui tingkat kerawanan suatu BMT.
BMT sebagai alternatif Bank-bank konvensional, memiliki keunggulan-keunggulan yang juga merupakan
perbedaan dan perbandingan jika dengan perbankan konvensional. Disamping hal tersebut muncul juga
kelemahan-kelemahan karena sebagai pemain baru dalam dunia lembaga keuangan.
1. BMT Islam memiliki dasar hukum operasional yakni Al Qur’an dan Al Hadist. Sehingga dalam
operasionalnya sesuai dengan prinsip-prinsip dasar seperti diperintahkan oleh Allah SWT, juga nilai dasar
seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW.
2. BMT Islam mendasarkan semua produk dan operasinya pada prinsip-prinsip efisiensi, keadilan, dan
kebersamaan.
3. Adanya kesamaan ikatan emosional keagamaan yang kuat antara pemegang saham, pengelola, dan
nasabah, sehingga dapat dikembangkan kebersamaan dalam menghadapi resiko usaha dan membagi
keuntungan secara jujur dan adil.
4. Adanya keterikatan secara religi, maka semua pihak yang terlibat dalam BMT Islam akan berusaha
sebaik-baiknya sebagai pengalaman ajaran agamanya sehingga berapa pun hasil yang diperoleh diyakini
membawa berkah.
5. Adanya fasilitas pembiayaan (Al Mudharabah dan Al Musyarakah) yang tidak membebani nasabah sejak
awal dengan kewajiban membayar biaya secara
tetap, hal ini memberikan kelonggaran physichologis yang diperlukan nasabah untuk dapat berusaha secara
tenang dan bersungguh-sungguh.
6. Adanya fasilitas pembiayaan (Al Murabahah dan Al Ba’i Bitsaman Ajil) yang lebih mengutamakan
kelayakan usaha dari pada jaminan (kolateral) sehingga siapa pun baik pengusaha ataupun bukan
mempunyai jaminan kesempatan yang luas untuk berusaha.
7. Tersedia pembiayaan (Qardu Hasan) yang tidak membebani nasabah dengan biaya apapun, kecuali biaya
yang dipergunakan sendiri:seperti bea materai, biaya notaris, dan sebagainya. Dana fasilitas ini diperoleh
dari pengumpulan zakat, infak dan sadaqah, para amil zakat yang masih mengendap.
8. Dengan diterapkannya sistem bagi hasil sebagai pengganti bunga, maka tidak ada diskriminasi terhadap
nasabah yang didasarkan atas kemampuan ekonominya sehingga akseptabilitas BMT Islam menjadi luas.
9. Dengan adanya sistem bagi hasil, maka untuk kesehatan BMT yang bisa diketahui dari naik turunnya
jumlah bagi hasil yang diterima.
10. Dengan diterapkannya sistem bagi hasil, maka persaingan antar BMT Islam berlaku wajar yang
diperuntukkan oleh keberhasilan dalam membina nasabah dengan profesionalisme dan pelayanan yang baik.
Kelemahan-kelemahan serta permasalahan-permasalahan yang ada dalam BMT Islam (Warkum Sumitro,
1996) adalah:
1. Dalam operasional BMT Islam, pihak-pihak yang terlibat didasarkan pada ikatan emosional keagamaan
yang sama, sehingga antara pihak-pihak khususnya pengelola BMT dan BMT harus saling percaya, bahwa
mereka sama-sama beritikad baik dan jujur dalam bekerjasama. BMT dengan sistem ini terlalu berprasangka
baik kepada semua nasabah dan berasumsi bahwa semua orang yang terlibat adalah jujur. Dengan demikian,
BMT Islam rawan terhadap mereka yang beritikad tidak baik sehingga diperlukan usaha tambahan untuk
mengawasi nasabah yang menerima pembiayaan dari BMT Islam karena tidak dikenal bunga, denda
keterlambatan dan sebagainya.
2. Sistem bagi hasil yang adil memerlukan tingkat profesionalisme yang tinggi bagi pengelola BMT untuk
membuat penghitungan yang cermat dan terus-menerus.
3. Motivasi masyarakat muslim untuk terlibat dalam aktivitas BMT Islam adalah emosi keagamaan, ini
berarti tingkat efektifitas keterlibatan masyarakat muslim dalam BMT Islam tergantung pada pola pikir dan
sikap masyarakat itus sendiri.
4. Semakin banyak umat Islam memanfaatkan fasilitas yang disediakn BMT Islam, sementara belum
tersedia proyek-proyek yang bisa di biayai sebagai akibat kurangnya tenaga-tenaga profesional yang siap
pakai, maka BMT Islam akan menghadapi ”kelebihan likuiditas”.
5. Salah satu misi BMT Islam yakni mengentaskan kemiskinan yang sebagian besar kantong-kantong
kemiskinan terdapat di pedesaan.
Menurut kamus, bunga adalah uang balas jasa atau ganti rugi yang diberikan kepada orang yang telah
meminjamkan uang atau modal (W. J. S. Poerwadarmita, 1991:165).
”Bunga adalah biaya yang dikenakan pada peminjam uang atau imbalan yang diberikan kepada penyimpan
yang besarnya telah ditetapkan dimuka, biasanya ditentukan dalam bentuk persentase (%) dan terus
dikenakan selama masih ada sisa simpanan atau pinjaman sehingga tidak hanya terbatas pada jingka waktu
kontrak”.
Q. Penilaian Resiko
Penilaian risiko yang dihadapi pada pembiayaan Mudharabah/Musyarakah dapat dibagi menjadi 3 yakni:
1. Unusual Business Risk yaitu resiko bisnis yg luar biasa yg ditentukan oleh:
2. Jenis bagi hasil yg ditentukan (profit and loss sharing atau revenue sharing)
a. Profit & loss sharing ; shrinking risk muncul bila terjadi loss sharing yg harus ditanggung oleh bank
b. Revenue sharing, shrinking risk terjadi bila nasabah tidak mampu menanggung biaya (nafaqah) yg
seharusnya ditanggung nasabah, sehingga nasabah tidak mampu melanjutkan usahanya
Sedangkan Analisi terhadap pembiayaan terhadap suatu perusahaan bila dilihat terhadap sales cost, profits,
assets & liabilities serta cash flow yakni:
1. Resiko yang Timbul dari Perubahan Kondisi Bisnis Nasabah Setelah Pencairan Pembiayaan
1. Kebanyakan hal yang terjadi setelah pembiayaan telah cair yakni Over Trading dengan kata lain too much
business wuth too little capital sehingga krisis cash flow (Uang kas)
2. Adverse Trading yakni mengembangkan bisnis dengan fixed cost yg besar serta bermain di pasar tidak
stabil sehingga menimbulkan high risk.
3. Liquidity Run yaitu kesulitan likuiditas karena kehilangan sumber pendapatan dan dan peningkatan
pengeluaran karena alasan yg tidak terduga