Anda di halaman 1dari 24

TUGAS

HIPERTENSI ESENSIAL

Oleh:

ARI SEPTIANI

DIAH BUDIARTI

LABORATORIUM FARMAKOLOGI KLINIK/FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2010

1
PENDAHULUAN

Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu kondisi medis dimana terjadi peningkatan
tekanan darah secara kronis (dalam jangka waktu lama). Penderita yang mempunyai tiga
bacaan tekanan darah yang melebihi 140/90 mmHg pada saat istirahat diduga sebagai
penderita hipertensi (Mas'ud, 1989).

KLASIFIKASI HIPERTENSI
Tabel 2.1. menunjukkan klasifikasi tekanan darah untuk dewasa (18 tahun).
Klasifikasi ini berdasarkan rata-rata hasil dua kali pengukuran atau lebih pada posisi duduk
(Chobanian, et al., 2004).

Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC VII; TDS = Tekanan Darah Sistolik;
TDD = Tekanan Darah Diastolik (Chobanian, et al., 2004)

KLASIFIKASI TEKANAN TDS TDD


DARAH (MMHG) (MMHG)
NORMAL <120 dan <80
PRE HIPERTENSI 120-139 atau 80-89
HIPERTENSI DERAJAT I 140-159 atau 90-99
HIPERTENSI DERAJAT II  160 atau  100

Menurut etiologinya, hipertensi dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu


hipertensi esensial atau hipertensi primer dan hipertensi non esensial atau hipertensi sekunder
(Mas'ud, 1989).
1. Hipertensi esensial (primer)
Hipertensi yang tidak diketahui secara pasti penyebabnya atau tanpa ada tanda-tanda
kelainan alat di dalam tubuh. Hipertensi esensial adalah penyakit multifaktorial yang timbul
terutama karena interaksi antara faktor-faktor risiko tertentu. Faktor-faktor risiko yang
mendorong timbulnya kenaikan tekanan darah tersebut adalah (Yogiantoro, 2007) :

2
1. Faktor risiko, seperti diet dan asupan garam, stress, rasial, obesitas, merokok, genetik
2. Sistem saraf simpatis
a. Tonus simpatis
b. Variasi diurnal
3. Keseimbangan antara modulator vasodilatasi dan vasokonstriksi : endotel pembuluh
darah berperan utama, tetapi remodeling dari endotel, otot polos, dan interstitium juga
memberikan kontribusi akhir
4. Pengaruh sistem otokrin setempat yang berperan pada sistem renin, angiotensin, dan
aldosteron
Kaplan menggambarkan beberapa faktor yang berperan dalam pengendalian tekanan
darah yang mempengaruhi rumus dasar Tekanan Darah = Curah Jantung x Tahanan Perifer
(Yogiantoro, 2007).

Gambar 1. Faktor-faktor yang berpengaruh pada pengendalian tekanan darah (Yogiantoro,


2007)
2. Hipertensi sekunder

3
Hipertensi sekunder adalah tekanan darah tinggi yang penyebabnya dapat
diidentifikasikan. Penyebabnya terdiri dari kelainan organik seperti penyakit ginjal, kelainan
pada korteks adrenal, kelainan endokrin-metabolik (sindroma cushing, hiperaldosteronisme
sekunder, feokromositoma, akromegali), koarktasio aorta, dan toksemia gravidarum serta
adanya pemakaian obat-obatan sejenis dengan kortikosteroid. Hanya sebagian kecil pasien
hipertensi yang dapat diidentifikasi kausa spesifiknya, yaitu hanya sekitar 5-10%, sedangkan
90-95% nya tidak diketahui penyebabnya (hipertensi esensial). Dalam praktek klinik tidak
jarang hipertensi sekunder berubah menjadi suatu hipertensi maligna yang sukar diobati
(Mas'ud, 1989; Yogiantoro, 2007).

Tabel 2. Obat-obatan yang dilaporkan dapat menimbulkan hipertensi


Pil KB Tembakau (terutama dalam jumlah besar atau
Likoris*, karbenoksalon, dll dengan kafein)
Penghambat monoamine oksidase ditambah Siklosporin
tiramin, guanadrel, busipron, atau amantadin Klorpromazin
Antiinflamasi nonsteroid (NSAIDs) Eritropoeitin
Simpatomimetik Depo-medroksiprogesteron
Antidepresan trisiklik Estrogen terkonjugasi/dietilstilbestrol (DES)
Steroid Steroid topical atau inhaler terfluorinasi
Kokain, amfetamin, dll
Alkohol
* Likoris mengandung steroid (asam glisirretinik) yang menghambat 11-beta-hidroksisteroid dehidrogenase,
menyebabkan kortisol bekerja sebagai mineralokortikoid endogen karena tidak dimetabolisme menjadi kortison.
Kerja langsung asam glisirretinik tidak lagi dianggap sebagai penyebab utama hiperaldosteronisme pada
sindroma ini.

REBOUND HIPERTENSI
Hipertensi yang berhubungan dengan penghentian tiba-tiba dari berbagai pengobatan
antihipertensi disebut sebagai hipertensi rebound. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan
darah lebih tinggi dibandingkan dengan tekanan darah pada saat sebelum diberikan
pengobatan antihipertensi. Tergantung pada keparahan peningkatan tekanan darah, hipertensi
jenis ini dapat menyebabkan kegawatan hipertensi. Hipertensi rebound dihindari dengan
penurunan dosis secara bertahap (tapering off), sehingga memberikan tubuh lebih cukup
waktu untuk mengadakan pengaturan terhadap penurunan dosis ini. Obat-obatan yang paling

4
sering dihubungkan dengan hipertensi ini biasanya obat-obat yang berfungsi di pusat
pengaturan tekanan darah, seperti klonidin dan penyekat beta (Wikipedia).

Kerusakan Organ Target yang Dapat Disebabkan oleh Tekanan Darah Tinggi
Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara langsung, maupun
tidak langsung. Kerusakan organ-organ target yang umum ditemui pada pasien hipertensi
adalah (JNC VII) :
1. Jantung
a) Hipertrofi ventrikel kiri
b) Angina atau infark miokardium
c) Gagal jantung
2. Otak, Stroke atau transient ischaemic attack
3. Penyakit ginjal kronis
4. Penyakit arteri perifer
5. Retinopati

Faktor risiko penyakit kardiovaskuler pada pasien hipertensi antara lain adalah
(Chobanian, et al., 2004); (Yogiantoro, 2007):
a. Merokok
b. Obesitas
c. Kurangnya aktivitas fisik
d. Dislipidemia
e. Diabetes mellitus
f. Mikroalbuminuria atau perhitungan LFG <60 ml/menit
g. Umur (laki-laki >55 tahun, perempuan 65 tahun)
h. Riwayat keluarga dengan penyakit jantung kardiovaskuler premature (laki-laki <55 tahun,
perempuan <65 tahun)

Diagnosis Hipertensi
1. Anamnesis (Yogiantoro, 2007)
1. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah
2. Indikasi adanya hipertensi sekunder
a. Adanya keluarga dengan riwayat penyakit ginjal (ginjal polikistik)

5
b. Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuria, pemakaian obat-obat
analgesik dan obat/bahan lain
c. Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi (feokromositoma)
d. Episode kelemahan otot dan tetani (aldosteronisme)
3. Faktor-faktor risiko
a. Riwayat hipertensi atau penyakit kardiovaskuler pada pasien atau keluarga pasien
b. Riwayat hiperlipidemia pada pasien atau keluarganya
c. Riwayat diabetes mellitus pada pasien atau keluarganya
d. Kebiasaan merokok
e. Pola makan
f. Kegemukan, intensitas olah raga
g. Kepribadian
4. Gejala kerusakan organ
a. Otak dan mata : sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, transient ischaemic
attack, defisit sensoris atau motoris
b. Jantung : palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki
c. Ginjal : haus poliuria, nokturia, hematuria
d. Arteri perifer : ekstremitas dingin, klaudikasio intermitten
5. Pengobatan antihipertensi sebelumnya
6. Faktor-faktor pribadi, keluarga, lingkungan

2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik, selain memeriksa tekanan darah, juga untuk evaluasi adanya
penyakit penyerta, kerusakan organ target serta kemungkinan adanya hipertensi sekunder
(Yogiantoro, 2007).
Pengukuran tekanan darah (Chobanian, et al., 2004; Yogiantoro, 2007) :
a. Pengukuran rutin di kamar periksa
b. Pengukuran 24 jam (ambulatory blood pressure monitoring/ABPM)
c. Pengukuran sendiri oleh pasien

3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari (Yogiantoro, 2007):
1. Urin lengkap (UL)
2. Elektrolit serum ( K, Na, Ca, P)

6
3. Darah lengkap (DL)
4. Profil lipid
5. Gula darah
6. Elektrokardiogram (EKG)
7. BUN dan kreatinin serum
8. Foto dada
Bila dipandang perlu bisa dilengkapi pemeriksaan [ CITATION yog07 \l 1033 ]:
1. Ekskresi albumin serum
2. Rasio albumin/kreatinin.
JNC 7 menyatakan bahwa tes yang lebih mendalam untuk mencari penyebab hipertensi
tidak dianjurkan kecuali jika dengan terapi memadai tekanan darah tidak tercapai
(Yogiantoro, 2007).

Evaluasi pasien hipertensi juga diperlukan untuk menentukan adanya penyakit penyerta
sistemik, yaitu (Yogiantoro, 2007):
a. Aterosklerosis (melalui pemeriksaan profil lemak)
b. Diabetes (terutama pemeriksaan gula darah)
c. Fungsi ginjal (dengan pemeriksaan proteinuria, kreatinin serum, serta memperkirakan laju
filtrasi glomerulus).

PENGOBATAN HIPERTENSI
Tujuan terapi menurut JNC 7 adalah [ CITATION yog07 \l 1033 ]:
1. Menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit jantung kardiovaskuler dan ginjal
2. Terapi tekanan darah hingga < 140/90 mmHg atau tekanan darah < 130/80 mmHg pada
penderita diabetes atau penakit ginjal kronis
3. Mencapai target tekanan darah sistolik terutama pada orang berusia ≥ 50 tahun.
Terapi non farmakologis terdiri dari [ CITATION yog07 \l 1033 ]:
a. Menghentikan merokok
b. Menurunkan berat badan berlebih (index masa tubuh diusahakan 18,5 – 24,9 kg/m2)
diperkirakan menurunkan tekanan darah sistolik 5 – 20 mmHg/10 kg penurunan berat
badan.
c. Menurunkan konsumsi alcohol berlebih
d. Meningkatkan aktivitas fisik misalnya dengan berjalan minimal 30 menit/hari diharapkan
menurunkan tekanan darah sistolik 4-9 mmHg.

7
e. Menurunkan asupan natrium tidak lebih dari 100 mmol/ hari (6 gram NaCl), diharapkan
menurunkan tekanan darah sistolik 2-8 mmHg.
f. Diet dengan asupan cukup kalium dan kalsium dengan mengkonsumsi makanan kaya
buah, sayur, rendah lemak hewani dan mengurangi asam lemak jenuh diharapkan
menurunkan tekanan darah sistolik 8-14 mmHg.
Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang dianjurkan
oleh JNC 7 adalah (Chobanian, et al., 2004; Yogiantoro, 2007):
a. Diuretika, terutama jenis thiazide (thiaz) atau aldosterone antagonist
b. Beta blocker (BB)
c. Calcium Channel Blocker atau Calcium Antagonist (CCB)
d. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
e. Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 receptor antagonist/blocker (ARB)

Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara bertahap, dan target
tekanan darah dicapai secara progresif dalam beberapa minggu. Dianjurkan untuk
menggunakan obat antihipertensi dengan masa kerja yang panjang atau yang memberikan
efikasi 24 jam dengan pemberian sekali sehari. Pilihan apakah memulai terapi dengan satu
jenis obat antihipertensi atau dengan kombinasi tergantung pada tekanan darah awal dan ada
tidaknya komplikasi. Jika terapi dimulai dengan satu jenis obat, dan dalam dosis rendah, dan
kemudian tekanan darah belum mencapai target, maka langkah selanjutnya adalah
meningkatkan dosis obat tersebut, atau berpindah ke antihipertensi lain dengan dosis rendah.
Efek samping umumnya bisa dihindari dengan menggunakan dosis rendah, baik tunggal,
maupun kombinasi. Sebagian besar pasien memerlukan kombinasi obat antihipertensi untuk
mencapai target tekanan darah, tetapi terapi kombinasi dapat meningkatkan biaya pengobatan
dan menurunkan kepatuhan pasien karena jumlah obat yang harus diminum bertambah
(Chobanian, et al., 2004; Yogiantoro, 2007).

8
Tabel 2.3. Indikasi dan kontraindikasi kelas-kelas utama obat antihipertensi menurut ESH
(Yogiantoro, 2007)

perifer
atlit, atau
fisik

9
Tabel 3. Tatalaksana hipertensi menurut JNC 7 (Yogiantoro, 2007)

10
Algoritma Pengobatan Hipertensi

(Chobanian, et al., 2004)

Modifikasi Gaya Hidup

Target Tekanan Darah Tidak Tercapai (<140/90 mmHg)

(<130/80 mmHg untuk penderita diabetes atau penyakit ginjal kronik)

Pilihan Obat Awal

Tanpa indikasi Dengan indikasi


yang memaksa yang memaksa

Hipertensi Tahap 1 Hipertensi Tahap 2 (TDS Obat untuk indikasi yang


(TDS 140-159 atau 160 atau TDD  100 memaksa
TDD 90-99 mmHg) mmHg)
Lihat pengobatan
indikasi pasien khusus
Diuretik jenis Thiazide Kombinasi 2 obat untuk
untuk sebagian besar sebagian besar kasus
kasus (pada umumnya
diuretick jenis thiazide Obat antihipertensi
Dapat dipertimbang- dan ACEI, atau ARB, lainnya sesuai kebutuhan
kan ACEI, ARB, ßB, atau ßB, atau CCB)

Target Tekanan Darah Belum Tercapai

Optimalkan dosis atau berikan tambahan obat sampai taget tekanan darah
tercapai. Pertimbangkan konsultasi dengan ahli hipertensi.

11
Penatalaksanaan Asma Bronkiale menurut GINA 2008

Tujuh komponen dalam pengobatan asma:


1. Edukasi pasien
Edukasi mengenai penyakitnya, tujuan pengobatan (termasuk pengobatan jangka panjang),
obat-obat yang digunakan termasuk efek sampingnya
2. Menilai dan monitor berat asma berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4.Merencanakan dan memberikan terapi jangka panjang
Controller Medications:obat pengontrol
 Steroid inhalasi
 Steroid sistemik : intra vena
 Kromolin
 Ketotifen
 Teofilin lepas lambat
 Inhalasi β2-agonists kerja lama
 Oral β2-agonists kerja lama
 Leukotriene modifier

C
B
A

12
5. Menetapkan terapi pada serangan akut
Tujuan Penatalaksanaan pada Asma Eksaserbasi Akut:
• Menghilangkan obstruksi secepat mungkin
• Mengatasi hipoksemia
• Mengembalikan faal paru ke normal secepat mungkin
• Mencegah kekambuhan/serangan ulangan
• Memberikan penyuluhan kepada pasien dan keluarga pasien mengenai cara mengatasi
dan mencegah serangan asma.
Reliever Medications: obat pereda
 Inhalasi β2-agonists kerja cepat
 Oral β2-agonists kerja cepat
 Anticholinergics
 Teofilin kerja cepat :aminophillin
 Injeksi epinefrin / adrenalin
 Kortikosteroid sistemik

13
6. Kontrol secara teratur dan Pola hidup sehat

Obat-Obat Bronkodilator

Tipe utama bronkodilator :

1. Adrenergik
2. Antikolinergik
3. Xanthin

1. Adrenergik

Yang digunakan adalah b2-agonis yaitu : salbutamol, terbutalin, tretoquinol, fenoterol,


rimiterol, prokaterol (Meptin), dan klenbuterol (Spriropent). Sedangkan obat long-acting
yang agak baru, yaitu salmoterol dan formoterol (dorudil).

Zat-zat ini selektif terhadap reseptor b2 adrenergis dan praktis tidak terhadap reseptor- b1
(stimulasi jantung). Obat dengan efek terhadap kedua reseptor sebaiknya jangan digunakan
dikarenakan efeknya terhadap jantung, seperti efedrin, inprenalin, orsiprenalin dan
heksoprenalin. Pengecualian adalah adrenalin (reseptor a dan b) yang sangat efektif pada
keadaan status asmatikus.

 Mekanisme kerjanya adalah melalui stimulasi reseptor b2 di trachea dan bronchi, yang
menyebabkan aktivasi dari adenilsiklase. Enzim ini memperkuat pengubahan
adenosintrifosat (ATP) yang kaya energi menjadi cyclic-adenosin monophosphat
(cAMP) dengan pembebasan energi yang digunakan untuk proses-proses dalam sel.
Meningkatnya kadar cAMP di dalam sel menghasilkan beberapa efek bronkodilatasi
dan penghambatan pelepasan mediator oleh sel mast.
 Penggunaannya semula sebagai monoterapi kontinu, yang ternyata secara berangsur
meningkatkan HRB dan akhirnya memperburuk fungsi paru, karena tidak
menanggulangi peradangan dan peningkatan kepekaan bagi alergen pada pasien
alergis. Oleh karena itu, sejak beberapa tahun hanya digunakan untuk melawan
serangan atau sebagai pemeliharaan dalam kombinasi dengan obat pencegah, seperti
kortikosteroid dan kromoglikat.

14
 Kehamilan dan laktasi. Salbutamol dan terbutalin dapat digunakan oleh wanita hamil,
begitu pula fenoterol dan heksoprenalin setelah minggu ke-16. Salbutamol,
Terbutalin, dan salmeterol mencapai air susu ibu. Dari obat lainnya belum terdapat
cukup data untuk menilai keamanannya; pada binatang percobaan, salmoterol ternyata
berbahaya bagi janin.

Obat-obat adrenergik yang sering digunakan sebagai bronkodilator :

v     Adrenalin epinefrin Lidonest 2%.

Zat adrenergik ini dengan efek alfa + beta adalah bronchodilator terkuat dengan kerja cepat
tetapi singkat dan digunakan untuk serangan asma yang hebat. Sering kali senyawa ini
dikombinasi dengan tranquillizer peroral guna melawan rasa takut dan cemas yang menyertai
serangan. Secara oral, adrenalin tidak aktif.

Efek samping berupa efek sentral (gelisah, tremor, nyeri kepala) dan terhadap jantung
palpitasi, aritmia), terutama pada dosis lebih tinggi. Timbul pula hyperglikemia, karena efek
antidiabetika oral diperlemah. Dosis pada serangan asma i.v. 0,3 ml dari larutan 1 : 1.000
yang dapat diulang dua kali setiap 20 meter (tartrat).

v     Efedrin : *Asmadex, * Asmasolon, * Bronchicum”

Derivat – adrenalin ini memiliki efek sentral lebih kuat dengan efek bronchodilatasi lebih
ringan dan bertahan lebih lama (4 jam). Efedrin dapat diberikan secara oral maka banyak
digunakan sebagai obat asma (bebas berbatas tanpa resep) dalam berbagai sediaan populer,
walaupun efek sampingnya dapat membahayakan.

Resorpsinya baik dan dalam waktu ¼ – 1 jam sudah terjadi bronchodilatasi. Di dalam hati,
sebagian zat dirombak ekskresinya terutama lewat urin secara utuh. Plasma ½-nya 3-6 jam.

Efek samping, pada orang yang peka, efedrin dalam dosis rendah sudah dapat menimbulkan
kesulitan tidur, tremor, gelisah dan gangguan berkemih. Pada overdose, timbul efek
berbahaya terhadap SSP dan jantung (palpitasi) (3,4).

v     Isoprenalin : Isuprel Aleudrin

15
Derivat ini mempunyai efek b1 + b2 adrenergis dan memiliki daya bronchodilatasi baik tetapi
resorpsinya di usus buruk dan tidak teratur. Resorpsinya dari mulut (oromukosal sebagai
tablet atau larutan agak lebih baik dan cepat, dan efeknya sudah timbul setelah beberapa
menit dan bertahan sampai 1 jamn.

Penggunaannya sebagai obat asma sudah terdesak oleh adrenergika dengan khasiat spesifik
tanpa efek beta-1 (jantung), sehingga lebih jarang menimbulkan efek samping. Begitu pula
turunnya, seperti yang tersebut di bawah ini, sebaiknya jangan digunakan lagi (3,4).

v     Orsiprenalin (Metaproterenol, Alupent, Silomat comp)

Adalah isomer isoprenalin dengan resorpsi lebih baik, yang efeknya dimulai lebih lambat
(oral sesudah 15-20 menit tetapi bertahan lebih lama, sampai 4 jam. Mulai kerjanya melalui
inhalasi atau injeksi adalah setelah 10 menit.

Dosis 4 dd 20 mg (sulfat), i.m. atau s.c. 0,5 mg yang dapat diulang setelah ½ jam, inhalasi 3 –
4 dd 2 semprotan (3,4).

v     Salbutamol: ventolin, salbuven

Derivat isoprenalin ini merupakan adrenergikan pertama (1986) yang pada dosis biasa
memiliki daya kerja yang lebih kurang spesifik terhadap reseptor b 2. selain berdaya
bronchodilatasi baik, salbutamol juga memiliki efek lemah terhadap stabilisasi mastcell,
maka sangat efektif mencegah maupun meniadakan serangan asma. Dewasa ini obat ini
sudah lazim digunakan dalam bentuk dosis-aerosol berhubung efeknya pesat dengan efek
samping yang lebih ringan daripada penggunaan per oral. Pada saat inhalasi seruk halsu atau
larutan, kira-kira 80% mencapai trachea, tetapi hanya 7 -8% dari bagian terhalus (1-5 mikron)
tiba di bronchioli dan paru-paru.

Efek samping jarang terjadi dan biasanya berupa nyeri kepala, pusing-pusing, mual, dan
tremor tangan. Pada overdose dapat terjadi stimulasi reseptor b -1 dengan efek kardiovaskuler:
tachycardia, palpitasi, aritmia, dan hipotensi. Oleh karena itu sangat penting untuk
memberikan instruksi yang cermat agar jangan mengulang inhalasi dalam waktu yang terlalu
singkat, karena dapat terjadi tachyfylaxis (efek obat menurun dengan pesat pada penggunaan
yang terlalu sering).

16
Dosis 3-4 dd 2-4 mg (sulfat) inhalasi 3-4 dd 2 semprotan dari 100 mcg, pada serangan akut 2
puff yang dapat diulang sesudah 15 menit. Pada serangan hebat i.m. atau s.c. 250-500 mcg,
yang dapat diulang sesudah 4 jam (3,4).

v     Terbutalin : Bricasma, Bricanyl

Derivat metil dari orsiprenalin (1970) ini juga berkhasiat b 2 selektif. Secara oral, mulai
kerjanya sesudah 1-2 jam, sedangkan lama kerjnya ca 6 jam. Lebih sering mengakibatkan
tachycardia.

Dosis 2-3 dd 2,5-5 mg (sulfat) inhalasi 3-4 dd 1-2 semprotan dari 250 mcg, maksimum 16
puff sehari, s.c. 250 mcg, maksimum 4 kali sehari (3,4).

v     Fenoterol (berotec)

Adalah derivat terbutalin dengan daya kerja dan penggunaan yang sama. Efeknya lebih kuat
dan bertahan ca 6 jam, lebih lama daripada salbutamol (ca 4 jam).

Dosis : 3 dd 2,5-5 mg (bromida), suppositoria malam hari 15 mg, dan inhalasi 3-4 dd 1-2
semprotan dari 200 mcg (3,4).

1. 2. Antikolinergika

Di dalam sel-sel otot polos terdapat keseimbangan antara sistem adrenergis dan sistem
kolinergis. Bila karena sesuatu sebab reseptor b2 dari sistem adrenergis terhambat, maka
sistem kolinergis akan dominan dengan akibat bronchokonstriksi. Antikolinergik memblok
reseptor muskarinik dari saraf-saraf kolinergis di otot polos bronchi, hingga aktivitas saraf
adrenergis menjadi dominan dengan efek bronchodilatasi. Penggunaan terutama untuk terapi
pemeliharaan HRB, tetapi juga digunakan untuk menghilangkan serangan asma akut (melalui
inhalasi dengan efek cepat).

Efek samping yang tidak dikehendaki adalah sifatnya yang mengentalkan dahak dan
tachycardia, yang tidak jarang mengganggu terapi. Yang terkenal pula adalah efek atropin,
seperti mulut kering, obstipasi, sukar berkemih, dan penglihatan buram akibat gangguan
akomodasi. Penggunaanya sebagai inhalasi meringankan efek samping ini (3,4).

Contoh obat antikolinergik yang sering digunakan sebagai bronchodilator :

17
Ipratropium : Atrovent

Derivat-N-propil dari atropin ini (1974) melawan pembentukan cGMP yang menimbulkan
konstriksi. Ipratropin mengurangi hipersekresi di bronchi, maka amat efektif pada pasien
yang mengeluarkan banyak dahak. Khususnya digunakan sebagai inhalasi, efeknya dimulai
lebih lambat (15 menit) dari pada b2-mimetika. Efek maksimalnya dicapai setelah 1-2 jam
dan bertahan rata-rata 6 jam. Sangat efektif sebagai obat pencegah dan pemeliharaan,
terutama pada bronchitis kronis. Saat ini zat ini tidak digunakan (lagi) sebagai monoterapi
(pemeliharaan), melainkan selalu bersama kortikosteroid-inhalasi. Kombinasinya dengan b2-
agonis memperkuat efeknya (adisi).

Resorpsinya secara oral buruk. Secara tracheal hanya bekerja setempat dan tidak diserap.
Keuntungannya ialah zat ini juga dapat digunakan oleh pasien jantung yang tidak tahan
terhadap adrenergika. Efek sampingnya jarang terjadi dan biasanya berupa mulut kering,
mual, nyeri kepala, dan pusing. Dosis inhalasi 3-4 dd 2 semprotan dari 20 mcg (bromida).

3.   Derivat Xanthin: teofilin, aminofilin

Daya bronchorelaksasinya diperkirakan berdasarkan blokade reseptor adenosin.


Selain itu, teofilin seperti kromoglikat mencegah meningkatnya hipereaktivitas dan
berdasarkan ini bekerja profilaksis. Resorpsi dari turunan teofilin amat berbeda-beda; yang
terbaik adalah teofilin microfine (particle size 1-5 micron) dan garam-garamnya aminofilin
dan kolinteofilinat. Penggunaanya secara terus-menerus pada terapi pemeliharaan ternyata
efektif mengurangi frekuensi serta hebatnya serangan. Pada keadaan akut injeksi aminofilin
dapat dikombinasi dengan obat asam lainnya, tetapi kombinasi dengan b 2-mimetika
hendaknya digunakan dengan hati-hati karena kedua jenis obat saling memperkuat efek
terhadap jantung.

Tablet sustanined release (Euphyllin retard 125-250 mg) efketif untuk memperoleh kadar
darah yang konstan, khususnya pada waktu tidur dan dengan demikian mencegah serangan
tengah malam dan morning dip.

v     Teofilin

Alkaloida ini memiliki sejumlah khasiat antara lain berdaya spasmolitis terhadap otot
polos, khususnya otot bronchi, menstimulasi jantung (efek inotropik positif). Teofilin juga

18
menstimulasi SSP dan pernafasan, serta bekerja diuretis lemah dan singkat. Kofein juga
memiliki semua khasiat ini meski lebih lemah, kecuali efek stimulasi sentralnya yang lebih
kuat. Kini, obat ini banyak digunakan sebagai obat prevensi dan terapi serangan asma.

Efek bronchodilatasinya tidak berkorelasi baik dengan dosis, tetapi memperlihatkan


hubungan jelas dengan kadar darahnya dan kadar di air liur. Indeks terapeutisnya sempit.
Untuk efek optimal diperlukan kadar dalam darah dari 10-15 mcg/ml, sedangkan pada 20
mcg/ml sudah terjadi efek toksis. Oleh karena itu, dianjurkan untuk menetapkan dosis secara
individual berdasarkan tuntutan kadar dalam darah. Hal ini terutama perlu pada anak-anak di
bawah usia 2 tahun dan pada manula diatas 60 tahun, yang sangat peka terhadap overdosis,
juga pada pasien gangguan hati dan ginjal. Terapi dengan teofilin harus dipandu dengan
penentuan kadar dalam darah.

Resorpsinya di usus buruk dan tidak teratur. Itulah sebabnya bronchodilator ini dahulu
jarang digunakan. Baru pada tahun 1970-an, diketahui bahwa resorpsi dapat menjadi lengkap
bila digunakan dalam bentuk serbuk microfine (besarnya partikel 5-10 mikron) begitu juga
pada penggunaan sebagai larutan, yang ditambahkan alkohol 20%. Plasma-t ½ nya 3-7 jam,
ekskresinya berlangsung sebagai asam metilurat lewat kemih dan hanya 10% dalam keadaan
utuh. Teofilin sebaiknya digunakan sebagai sediaan ‘sutanined release’ yang memberikan
resorpsi konstan dan kadar dalam darah yang lebih teratur.

Efek sampingnya yang terpenting berupa mual dan muntah, baik pada penggunaan
oral maupun rektal atau parenteral. Pada overdose terjadi efek sentral (gelisah, sukar tidur,
tremor, dan konvulsi) serta gangguan pernafasan, juga efek kardiovaskuler, seperti
tachycardia, aritmia, dan hipotensi. Anak kecil sangat peka terhadap efek samping teofilin.

Dosis 3-4 dd 125 – 250 mg microfine (retard).

v     Aminofilin

Adalah bentuk garam yang dalam darah akan berubah menjadi teofilin kembali.
Garam ini bersifat basa dan sangat merangsang selaput lendir, sehingga secara oral sering
mengakibatkan gangguan lambung (mual, muntah), juga pada penggunaan dalam
suppositoria dan injeksi intramuskuler (nyeri). Pada serangan asma, obat ini digunakan
sebagai injeksi i.v.

19
KASUS
Seorang Bapak berusia 45 tahun sudah sejak lama menderita asma bronkiale dan rutin mengkonsumsi
teofilin. Beberapa minggu yang lalu pasien didiagnosis menderita hipertensi esensial oleh dokter.
Pada saat itu tensi darahnya 145/100 mmHg. Pasien sudah diberi advice tetapi tensi darah tetap tinggi.
Tentukan jenis obat apa yang sesuai bagi pasien!

PEMBAHASAN KASUS MENURUT KAIDAH P-TREATMENT

I. PROBLEM PASIEN
1. Hipertensi esensial
2. Asma bronkiale

II. TUJUAN TERAPI


1. Mengontrol tekanan darah hingga target < 140/90
2. Mengontrol asma bronkiale

III. MEMILIH TERAPI

Kontrol tekanan darah

Terapi non farmakologis terdiri dari:


a. Menghentikan merokok
b. Menurunkan berat badan berlebih
c. Menurunkan konsumsi alkohol berlebih
d. Latihan fisik
e. Diet rendah garam
f. Meningkatkan konsumsi buah, sayur, serta menurunkan asupan lemak.

20
Terapi farmakologis

Golongan Obat Efficacy Safety Suitability Cost


Diuretik +++ +++ ++ ++++
ACE-I +++ +++ + ++++
ARB +++ +++ ++ +++
BB +++ + ++ +++
CCB ++++ ++++ ++++ +++
α-bloker ++ ++ ++ ++
Central α-agonis +++ + ++ ++
vasodilator +++ ++ ++ ++++

Drug of choice untuk asma bronkiale  CCB (efikasi tinggi dan cukup aman bagi penderita
asma).

P-Drug

Jenis Obat Efficacy Safety Suitability Cost


diltiazem +++ + ++ +++
verapamil +++ + ++ ++
amlodipine, ++++ ++++ ++++ ++++
nifedipine, ++++ + +++ ++++
nicardipine, +++ ++ ++ ++
felodipine, +++ ++ ++ ++

21
Isradipine +++ ++ ++ ++

Dipilih Amlodipin karena efikasi, safety, suitability lebih baik daripada jenis obat yang lain.

Kontrol Asma bronkiale

Terapi non-farmakologis:

1. Edukasi pasien
Edukasi mengenai penyakitnya, tujuan pengobatan (termasuk pengobatan jangka
panjang), obat-obat yang digunakan termasuk efek sampingnya
2. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
3. Kontrol secara teratur dan Pola hidup sehat

Terapi Farmakologis
Golongan Obat Bronkodilator Efficacy Safety Suitability Cost
Xantin ++++ ++ ++ ++++
Adrenergik β2-agonists ++++ +++ ++ ++++
Antikolinergik +++ ++ ++ ++

Dipilih golongan yang relatif aman bagi jantung yaitu Adrenergik β2-agonists yang bekerja selektif
di reseptor β2

P-Drug

Golongan Obat Efficacy Safety Suitability Cost


Fenoterol +++ ++ ++ ++
Salbutamol (albuterol) ++++ +++ ++ ++++
Terbutalin ++++ +++ ++ +++
Tulobuterol +++ ++ ++ ++

Dipilih Salbutamol karena efikasi cukup tinggi dan harganya terjangkau.

IV. MEMULAI TERAPI

PRAKTEK DOKTER BERSAMA


dr. Mulia Noviarti
Jl. KH. Abdulrahman Wahid 2 No.34
22 Telp. 0541-733324
SIP:097/A/P/u/05

Samarinda, 10 Februari 2010


/ Amlodipin 5 mg tab No. XXX
S 1-0-0 pc

/ Salbutamol 2 mg tab No. XXX


S 3 dd tab 1 pc

Pro: Tn X
Umur: 45 thn
Alamat: Jl. Markisa

V. MEMBERI INFORMASI

Informasi mengenai tujuan terapi HT:

 Untuk mencapai target tekanan darah <140/90 mmHg


 Mencegah komplikasi akibat HT seperti strok, serangan jantung, retinopati,
PAD, gagal ginjal
Informasi mengenai tujuan penggantian obat asma:
 Untuk meminimalisir efek obat asma terhadap jantung dan mencegah
perburukan hipertensinya.
Informasi mengenai cara meminum obat:
 Obat hipertensi diminum 1 kali sehari 1 tablet yaitu pada pagi hari setelah
sarapan pagi
 Obat asma diminum 3 kali sehari 1 tablet sesudah makan.

Informasi efek samping obat :

23
 Amlodipin  bengkak pada kaki, sakit kepala, kemerahan pada wajah,
berdebar-debar, mual, & hipotensi
 Salbutamol  gemetaran, cemas, somnolen, sakit kepala, mual, rasa terbakar
pada dada, pusing, flushing, kejang otot

Peringatan:

 Patuhi pengobatan non-farmakologis (nasehat dokter) maupun terapi


farmakologis yang telah diberikan sesuai petunjuk dokter.
 Rutin kontrol sesuai anjuran dokter.
 Segera hubungi dokter jika terjadi efek samping yang serius.

VI. MONITOR HASIL TERAPI

1. Pasien diminta untuk kembali kontrol 2 minggu kemudian untuk mengevaluasi


hasil terapi.
2. Bila timbul efek samping yang berat atau dirasa cukup mengganggu segera
konsultasikan kembali ke dokter.

24

Anda mungkin juga menyukai