Penyakit Hipertensi
1. Definisi Penyakit Hipertensi
Tekanan Darah Tinggi (hipertensi) adalah suatu peningkatan tekanan darah di dalam arteri dan secara umum
hipertensi merupakan keadaan tanpa gejala, dimana tekanan yang abnormal tinggi di dalam arteri
menyebabkan meningkatnya resiko terhadap stroke, aneurisma, gagal jantung, serangan jantung dan
kerusakan ginjal (Kemkes, 2016). Hipertensi merupakan suatu keadaan meningkatnya tekanan darah sistolik
lebih dari sama dengan 140 mmHg dan diastolik lebih dari sama dengan 90 mmHg setelah dua kali
pengukuran terpisah (Nuraini, 2015).
Menurut Hastuti (2019) hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah meningkat melebihi batas
normal. Seseorang dikatakan hipertensi bila memiliki tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg atau
tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg, pada pemeriksaan yang berulang.
b. Farmakologi
1) Diuretik
Obat-obatan jenis diuretik bekerja dengan mengeluarkan cairan tubuh (lewat kencing), sehingga volume
cairan tubuh berkurang mengakibatkan daya pompa jantung menjadi lebih ringan dan berefek pada turunnya
tekanan darah. Contoh obat-obatan ini adalah: Bendroflumethiazide, chlorthizlidone, hydrochlorothiazide,
dan indapamide.
2) Ace-Inhibitor
Kerja obat golongan ini menghambat pembentukan zat angiotensin II (zat yang dapat meningkatkan tekanan
darah). Efek samping yang sering timbul adalah batuk kering, pusing sakit kepala dan lemas. Contoh obat
yang tergolong jenis ini adalah Catopril, enalapril, dan lisinopril.
3) Calsium Channel Blocker
Golongan obat ini berkerja menurunkan menurunkan daya pompa jantung dengan menghambat kontraksi
otot jantung (kontraktilitas). Contoh obat yang tergolong jenis obat ini adalah amlodipine, diltiazem dan
nitrendipine.
4) ARB
Kerja obat ini adalah dengan menghalangi penempelan zat angiotensin II pada reseptornya yang
mengakibatkan ringannya daya pompa jantung. Obat-obatan yang termasuk golongan ini adalah eprosartan,
candesartan, dan losartan.
5) Beta Blocker
Mekanisme obat antihipertensi ini adalah melalui penurunan daya pompa jantung. Jenis obat ini tidak
dianjurkan pada penderita yang telah diketahui mengidap gangguan pernafasan seperti asma bronchial.
Contoh obat yang tergolong ke dalam beta blocker adalah atenolol, bisoprolol, dan beta metoprolol.
B. Kolesterol
1. Definisi Kolesterol
Menurut Mumpuni & Wulandari, 2011 Kolesterol adalah salah satu komponen dalam membentuk lemak. Di
dalam lemak terdapat berbagai macam komponen yaitu seperti zat trigliserida, fosfolipid, asam lemak bebas,
dan juga kolesterol. Secara umum, kolesterol berfungsi untuk membangun dinding didalam sel (membran
sel) dalam tubuh. Bukan hanya itu saja, kolesterol juga berperan penting dalam memproduksi hormon seks,
vitamin D, serta berperan penting dalam menjalankan fungsi saraf dan otak. (Mahardika, 2017)
Kolesterol adalah lemak yang berguna bagi tubuh. Namun bila kadarnya di dalam tubuh terlalu tinggi,
kolesterol akan menumpuk di pembuluh darah dan mengganggu aliran darah. Kolesterol merupakan zat
yang diproduksi secara alami oleh organ hati, tetapi juga bisa ditemukan dalam makanan yang berasal dari
hewan, seperti daging dan susu. Kolesterol diperlukan oleh tubuh untuk membentuk sel-sel sehat,
memproduksi sejumlah hormon, dan menghasilkan vitamin D. Meskipun penting bagi tubuh, kolesterol
dapat mengganggu kesehatan jika kadarnya terlalu tinggi. Penyebab Kolesterol dapat dipicu oleh gaya hidup
yang tidak sehat, penyakit yang diderita, dan keturunan.
2. Klasifikasi Kolesterol
Klasifikasi kolestrol dibagi menjadi 2, yaitu :
a. Jenis Kolestrol
1) Low Density Lipoprotein (LDL)
LDL atau sering juga disebut sebagai kolesterol jahat, LDL lipoprotein deposito kolesterol bersama didalam
dinding arteri, yang menyebabkan terjadinya pembentukan zat yang keras, tebal, atau sering disebut juga
sebagai plakat kolesterol, dan denganseiring berjalannya waktu dapat menempel didalam dinding arteri dan
terjadinya penyempitan arteri (Yovina, 2012).
2) High Density Lipoprotein (HDL)
HDL adalah kolesterol yang bermanfaat bagi tubuh manusia, fungsi dari HDL yaitu mengangkut LDL
didalam jaringan perifer ke hepar akan membersihkan lemak-lemak yang menempel di pembuluh darah
yang kemudian akan dikeluarkan melalui saluran empedu dalam bentuk lemak empedu (Sutanto, 2010).
b. Kadar Kolestrol
6. Pencegahan Displidemia
Menurut (Perki, 2013) contoh pencegahan dislipidemia, yaitu:
a. Diet
Diet yang dapat dipakai untuk menurunkan kolesterol LDL adalah diet asam lemak tidak jenuh seperti
MUFA dan PUFA karena faktor diet yang paling berpengaruh terhadap peningkatan konsentrasi kolesterol
LDL adalah asam lemak jenuh. Penurunan kolesterol LDL yang diakibatkan oleh diet PUFA lebih besar
dibandingkan dengan diet MUFA atau diet rendah karbohidrat. Diet karbohidrat bersifat netral terhadap
kolesterol LDL, sehingga makanan kaya karbohidrat merupakan salah satu pilihan untuk menggantikan diet
lemak jenuh. Oleh karena itu, asupan karbohidrat dianjurkan kurang dari 60% kalori total. Diet makanan
tinggi serat seperti kacangkacangan, buah, sayur dan sereal memiliki efek hipokolesterolemik langsung.
b. Aktivitas Fisik
Tujuan melakukan aktivitas fisik secara teratur adalah mencapai berat badan ideal, mengurangi resiko
terjadinya sindrom metabolik dan mengontrol faktor resiko PJK. Aktivitas fisik yang dianjurkan adalah
aktivitas yang terukur seperti jalan cepat 30 menit per hari selama 5 hari per minggu atau aktivitas lain setara
dengan 4-7 kkal/menit atau 3-6 METs.
c. Menghentikan Kebiasaan Merokok
Menghentikan merokok dapat meningkatkan konsentrasi kolesterol HDL sebesar 5-10%.Merokok
berhubungan dengan peningkatan konsentrasi TG, tetapi menghentikan merokok diragukan menyebabkan
penurunan konsentrasi TG.
d. Diet Suplemen
1) Fitosterol
Fitosterol berkompetisi dengan absorbsi kolesterol di usus sehingga dapat menurunkan konsentrasi
kolesterol total. Secara alami, fitosterol banyak didapat dalam minyak nabati dan, dalam jumlah lebih
sedikit, dalam buah segar, kacang kenari, dan kacang polong. Fitosterol sering ditemukan sebagai bahan
tambahan pada minyak goreng dan mentega. Konsumsi fitosterol sebagai diet suplemen menurunkan
kolesterol LDL sampai 15%.
b) Protein Kedelai
Protein kedelai berhubungan dengan penurunan 3-5% kolesterol LDL. Sebagian besar studi menggunakan
asupan protein kedelai lebih dari 40 mg/hari. Sebuah studi menunjukkan asupan 25 mg/hari berhubungan
dengan penurunan kolesterol LDL sebesar 5 mg/dL.
c) Makanan Kaya Serat
Diet serat yang larut dalam air seperti kacang polong, sayuran, buah, dan sereal mempunyai efek
hipokolesterolemik. Diet serat yang larut dalam air sebanyak 5-10 gram/hari dapat menurunkan kolesterol
LDL sebesar 5%.Anjuran diet serat yang larut dalam air untuk menurunkan kolesterol LDL adalah 5-15
gram/hari.
7. Komplikasi Displidemia
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dislipidemia adalah kondisi di mana terjadinya penumpukan lipid
yang berlebihan pada pembuluh darah, terutama arteri. Kondisi ini dapat memicu terjadinya penebalan arteri
(aterosklerosis). Aliran darah di dalam arteri pun menjadi terhambat,
sehingga berbagai komplikasi pun dapat muncul. Beberapa komplikasi yang dapat disebabkan oleh penyakit
ini adalah:
a. Nyeri Dada
Apabila pembuluh arteri yang mengalirkan darah ke jantung terdampak (arteri koroner), kemungkinan dapat
mengalami nyeri dada (angina) dan gejala-gejala penyakit arteri koroner.
b. Serangan Jantung
Penggumpalan darah berpotensi terjadi apabila arteri tersumbat. Hal ini dapat menyebabkan aliran darah
terhambat dan jantung tidak mendapat suplai darah yang cukup. Serangan jantung pun sangat mungkin
terjadi.
c. Stroke
Sama seperti serangan jantung, stroke bisa terjadi apabila penggumpalan darah memotong aliran darah
menuju otak.
D. Penyempitan Arteri Koronaria (arterosklerosis)
1. Definisi Arterosklerosis
Aterosklerosis merupakan suatu perubahan yang terjadi pada dinding arteri, hal ini ditandai dengan
akumulasi lipid ekstra sel, rekrutmen dan akumulasi leukosit, pembentukan sel busa, migrasi serta proliferasi
miosit, deposit matrik ekstra sel (seperti kolagen, kalsium) yang dilibatkan oleh multifactor. (Rahman,
2012).
Aterosklerosis adalah penyakit degeneratif progresif pada arteri yang menyebabkan oklusi (sumbatan
bertahap) pembuluh tersebut, mengurangi aliran darah yang melaluinya. Aterosklerosis ditandai oleh plak-
plak yang terbentuk di bawah lapisan dalam pembuluh di dinding arteri. Plak aterosklerotik terdiri dari inti
kaya iemak yang dilapisi oleh pertumbuhan abnormal sel otot polos, ditutupi oleh jaringan ikat kaya kolagen
(Sherwood, 2014).
2. Etiologi Arterosklerosis (beserta faktor resiko)
Aterosklerosis ini terjadi karena adanya kadar kolesterol yang tinggi pada serum dan juga laju peningkatan
ukuran serta julam aterom yang dipengaruhi beberapa faktor. Sedangkan faktor resiko aterosklerosis dapat
dibedakan menjadi faktor resiko mayor atau utama dan faktor resiko minor. Faktor resiko mayor diantaranya
adalah umur, jenis kelamin, keturunan (ras), merokok, hiperlipidemia, hipertensi, kurang aktivitas fisik,
diabetes mellitus, obesitas, dan hiperhomosistein. Sedangkan yang termasuk faktor resiko minor adalah
stress, alkohol, diet dan nutrisi (Rahman, 2012). Tiga faktor resiko yang tidak dapat diubah yaitu usia, jenis
kelamin, dan riwayat keluarga. Untuk faktor yang bisa diubah diantaranya merokok, hiperlipidemia,
hipertensi, kurang aktivitas fisik, diabetes, obesitas dan hiperhomosisteinemia.
3. Patogenesis Arterosklerosis
Arterosklerosis dimulai pada saat sel darah putih monosit mengalami perpindahan dari aliran darah ke
dinding arteri dan kemudian mengalami perubahan menjadi sel-sel yang mengumpulkan lemak. Monosit
yang terisikan dengan lemak tersebut lama-kelamaan akan terkumpul dan menyebabkan bercak penebalan
pada lapisan bagian dalam dinding pembuluh darah (endotel). Daerah yang mengalami penebalan ini disebut
dengan ateroma atau plak aterosklerotik. Ateroma biasanya terbentuk pada daerah percabangan pembuluh
darah, hal ini mungkin dikarenakan turbulensi pada daerah ini dapat menyebabkan cedera pada dinding
pembuluh darah sehingga akan lebih mudah mengalami pembentukan ateroma.
Arteri yang mengalami aterosklerosis lama-kelamaan akan kehilangan kelenturannya dan mengalami
penyempitan karena ateroma terus tumbuh, kondisi ini disebut sebagai penyakit arteriosklerosis. Arteroma
akan mengumpulkan endapan kalsium, hal ini akan menyebabkan arteroma menjadi rapuh dan bisa pecah,
apabila darah masuk ke dalam ateroma yang pecah, maka ateroma yang pecah akan menumpahkan
kandungan lemaknya dan kemudian memicu pembentukan trombus atau bekuan darah yang
mengakibatkan ateroma menjadi semakin besar dan lebih mempersempit pembluh darah. Bekuan darah
tersebut akan menyumbat pembuluh darah akan bisa terlepas kemudian mengalir bersama aliran darah dan
akhirnya bisa menyebabkan terbentuknya emboli atau sumbatan pada daerah yang lain.
4. Komplikasi Arterosklerosis
Komplikasi penyakit aterosklerosis dapat terjadi tergantung pada jenis arteri yang tersumbat. Beberapa jenis
komplikasi akibat penyakit aterosklerosis yang mungkin terjadi, antara lain sebagai berikut:
a. Penyakit Arteri Koroner
Umumnya bisa menyebabkan nyeri dada atau angina, serangan jantung, atau gagal jantung
b. Penyakit Arteri Karotis
Biasanya akan menyebabkan serangan iskemik transien atau TIA serta stroke
c. Penyakit Arteri Perifer
Dalam kasus yang jarang terjadi biasanya dapat menyebabkan kematian jaringan atau gangren
d. Aneurisma
Komplikasi dapat terjadi di mana saja termasuk munculnya tonjolan di dinding arteri
e. Penyakit Ginjal Kronis
Penyempitan pembuluh darah pada ginjal bisa memengaruhi fungsi organ tubuh satu ini.
E. Pemeriksaan Kardiovaskular
1. Pemeriksaan EKG
EKG merupakan suatu alat pemeriksaan yang berfungsi untuk merekam sinyal biologi yang terbentuk dari
hasil aktivitas listrik jantung. Sinyal tersebut diambil dengan cara memasangkan elektroda pada titik titik
tertentu di bagian tubuh pasien. Hasil dari rekaman EKG memiliki bentuk yang spesifik hingga dapat
dijadikan sebagai acuan untuk mengetahui kondisi
jantung seseorang. Sinyal EKG memiliki tegangan hingga 0,3mV dan juga rentang frekuensi antara 0,03-
100 Hz. Sinyal tersebut dideteksi dan direkam menggunakan perangkat elektrokardiografi. (Sulastomo &
dkk., 2019).
2. Pemeriksaan ECG
Ecocardiografi adalah alat diasnogtik di bidang kardiovaskuler dengan menggunakan gelombang suara
frekuensi tinggi. Transmisi gelombang suara memberikan kontur yang sesuai dengan jaringan yang
memantulkan transmisi gelombang. Dengan ecocardiografi diperoleh kontur dinding pembuluh darah,
katup-katup jantung, ruang-ruang jantung, dan selaput pembungkus jantung. Percitraan gambar terbentuk
dalam satu dimensi (M- mode), dua dimensi, tiga dimensi, dan empat dimensi. Terdapat beberapa jenis
pemeriksaan ecocardiografi, yaitu:
a. Eko Transtorakal
b. Eko Transesofageal
c. Eko Intraoperatif
d. Eko Intravaskular Dengan memakai Instrumen:
a. Transduser: sumber dan penerima gelombang suara
b. Oskiloskop: layar yang menampilkan hasil pengelolaan gelombang suara
c. Printer: dokumentasi dengan warna hitam putih, bewarna, atau video (Setiati, dkk, 2018).
5. Pemeriksaan Kolesterol
Pemeriksaan kolesterol darah adalah untuk mendeteksi kadar kolesterol dalam tubuh seseorang. Dalam
pemeriksaan kadar kolesterol darah terdapat dua metode yang berbeda yaitu :
a. Metode Reaksi Liberman-Burhard
Dasarnya adalah kolesterol dengan asam asetat anhidrat dan asam sulfat pekat membentuk warna hijau
kecoklatan. Absorbance diukur pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 546 nm. Kelemahan dari
metode ini adalah perbedaan penimbunan warna antara reaksi ikatan dari steroid selain kolesterol,
interpretasi, haemoglobin, bilirubin, iodide, salisilat, vitamin dan vitamin D (Andayani, 2016). Prinsipnya :
Kolesterol dengan asam acetat anhidridadan asam sulfat pekat membentuk warna hijau kecoklatan.
Absorben warna ini sebanding dengan kolesterol dalam sampel (Andayani, 2016).
b. Metode CHOD-PAP (Cholesterol Oxidase Diaminase Peroksidase Aminoantipyrin)
Dasarnya adalah kolesterol dibentuk setelah hidrolisa dan oksidase H2O2 bereaksi dengan 4-aminoantipyrin
dan phenol dengan katalisator peroksida membentuk quinoneimine yang berwarna. Absorbance warna ini
sebanding dengan kolesterol dalam sampel. Kelebihannya yaitu terjadi
reaksi dengan sterol tubuh yang bukan kolesterol (Leksono,2016). Metode pemeriksaan pada penelitian ini
menggunakan CHOD-PAP dengan prinsip: Kolesterol oksidase akan menghasilkan peroksida. Peroksida
yang terbentuk, diwarnai dengan empat amino antipirin membentuk kuinoneimine yang berwarna merah
muda. Metode ini paling banyak digunakan karena hasilnya lebih teliti, hanya saja reagen-reagen harus
disimpan dengan baik karena enzim mudah rusak (Panil, 2008). Faktor yang mengganggu pada pemeriksaan
ini adalah pada sampel yang keruh, lipemik, ikterik atau mengalami hemodialis (Andayani, 2016).
d. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya SRM belum jelas diketahui, namun beberapa hipotesis telah dikemukakan dan belum
ada satupun yang benar-benar bisa menjelaskan SRM secara lengkap. Namun banyak dipakai teori
perubahan pemakaian energi tingkat sel dan fungsi mitokondria. Fungsi mitokondria yang abnormal dengan
deplesi CoQ10 pernah dilaporkan selama pemakaian statin, bahkan pada pasien yang asimtomatik. Namun
masih diperdebatkan bahwa hal ini mungkin merupakan keadaaan patologis mitokondria yang sebelumnya
tidak
terdiagnosis. Hingga saat ini belum cukup data yang dapat membuktikan pemberian CoQ10 secara rutin bisa
mencegah timbulnya SRM.
Efek statin pada mitokondria terdeteksi melalui berbagai macam metode mulai dari morphometric hingga in
vivo magnetic response spectroscopy. Berdasarkan pengamatan ini kemungkinan statin memang
menurunkan fungsi mitokondria, menurunkan produksi energi dan mengganggu degradasi protein otot, di
mana hal ini berkontribusi pada timbulnya gejala SRM. Sayangnya biopsi otot pada pasien dengan SRM
menunjukkan hasil yang tidak konsisten dan belum sepenuhnya bisa mendukung teori bahwa statin
menyebabkan fungsi mitokondria menjadi abnormal. Secara keseluruhan, belum ada data yang menjanjikan
yang dapat menjelaskan terjadinya SRM sehingga hingga saat ini masih belum jelas.
Kebanyakan miopati bawaan atau miopati bawaan adalah penyakit kronis progresif lambat. Dokter gawat
darurat jarang mendatangi pasien khusus untuk mengobati miopati kongenital kecuali jika terjadi perburukan
akut. Dokter gawat darurat lebih sering menangani pasien dengan penyebab metabolic, inflamasi, endokrin,
dan toksik miopati dibandingkan dengan penyebab bawaan karena onset gejala akut atau subakut yang
terkait dengan bentuk non-kongenital.
Kelumpuhan periodik adalah sekelompok penyakit yang menyebabkan pasien mengalami kelemahan akut
akibat pergeseran kalium, yang menyebabkan disfungsi otot. Cacat genetik saluran ion natrium di membran
sel otot bertanggung jawab atas kelumpuhan, yang dapat berlangsung dari jam ke hari.
e. Patogenesis
Dalam terminologi kedokteran miopati merupakan penyakit neuromuskuler dimana serat - serat otot tidak
berfungsi sebagaimana mestinya, ditandai dengan terjadinya kelemahan otot. Namun demikian kram otot,
kekakuan dan spasme dapat juga dihubungkan dengan miopati (Suhaimi, 2003). Miopati adalah kumpulan
kelainan pada otot
yang biasanya tanpa melibatkan sistem saraf dan tidak berhubungan sama sekali dengan gangguan pada
jembatan neuromuskuler. Distrofi otot adalah bentuk kelainan yang paling umum didapati dan Duchenne
Distrofi Muscular (DMD) adalah jenis distrofi otot yang paling sering ditemui. Distrofi otot atau Muscular
Dystrophy (MD) adalah penyakit otot turunan di mana seratserat otot sangat rentan rusak. Otot, terutama
otot-otot sukarela, menjadi semakin lemah. Pada tahap akhir distrofi otot, lemak dan jaringan ikat sering
menggantikan serat otot (Mustiadi, 2017).
f. Pemeriksaan Penunjang
Pada jenis penyakit ini pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan Lab, dimana untuk
melihat kadar kreatinin kinase dalam darah (Malandrini A, dkk, 2009 dalam Adinugraha dan Sri, 2019).
Selain itu menurut North. K, dkk (2014) dalam Adinugraha dan Sri (2019), bisa juga dengan pemeriksaan
elektromiografi dan nerve conduction studies (NCS). Selain itu juga bisa dengan MRI dan USG untuk
mengetahui morfologi otot serta menentukan lokasi untuk pemeriksaan lanjutan seperti biopsi, tak lupa
pemeriksaan genetik juga dilakukan (North K, 2011 dalam Adinugraha dan Sri, 2019:5-6).
3. Hipokalemia
a. Etiologi
Menurut Yaswir dan Ferawati (2012) penyebab hipokalemia dapat dibagi sebagai berikut :
Asupan Kalium Kurang
Orang tua yang hanya makan roti panggang dan teh, peminum alkohol yang berat sehingga jarang makan
dan tidak makan dengan baik, atau pada pasien sakit berat yang tidak dapat makan dan minum dengan baik
melalui mulut atau disertai oleh masalah lain misalnya pada pemberian diuretik atau pemberian diet
rendah kalori pada program menurunkan berat badan dapat menyebabkan hipokalemia.
Pengeluaran Kalium Berlebihan
Pengeluaran kalium yang berlebihan terjadi melalui saluran cerna seperti muntah-muntah, melalui ginjal
seperti pemakaian diuretik, kelebihan hormon mineralokortikoid primer atau hiperaldosteronisme primer
(sindrom bartter atau sindrom gitelman) atau melalui keringat yang berlebihan. Diare, tumor kolon
(adenoma vilosa) dan pemakaian pencahar menyebabkan kalium keluar bersama bikarbonat pada saluran
cerna bagian bawah (asidosis metabolik). Licorice (semacam permen) yang mengandung senyawa yang
bekerja mirip aldosteron, dapat menyebabkan hipokalemia jika dimakan berlebihan.
Kalium Masuk ke Dalam Sel
Kalium masuk ke dalam sel dapat terjadi pada alkalosis ekstrasel, pemberian insulin, peningkatan aktivitas
beta-adrenergik (pemakaian β2- agonis), paralisis periodik hipokalemik, dan hipotermia (Yaswir dan
Ferawati, 2012).
b. Faktor Risiko
Risiko terjadinya hipokalemia akan meningkat jika:
c. Tanda Gejala
Pada beberapa kasus, banyak pasien mengeluhkan terjadinya kelemahan otot, terutama pada bagian
ekstremitas bawah. Gejala kelemahan otot rangka sendiri adalah keadaan umum yang terjadi pada pasien
yang kekurangan kalium berat. Serangan sering dicetuskan oleh aktivitas berat, makanan tinggi karbohidrat,
makanan dengan kadar natrium yang tinggi, intoksikasi alcohol, perubahan suhu tubuh yang mendadak,
suara maupun cahaya (Gunawan Septa Dinata, 2018).
Pada kasus hipokalemia berat dapat menyebabkan paralisis total pada sistem respiratori, bulbar dan otot
cranial. Ada beberapa laporan yang menyatakan terjadi kematian akibat gagal nafas dan aritmia jantung.
Frekuensi serangan memiliki variasi dari harian hingga tahunan, dan setiap serangan dapat bertahan dari
beberapa jam sampai beberapa hari. Beberapa pasien dapat jatuh ke serangan yang abortif atau berkembang
menjadi kelemahan otot kronik selama sisa hidupnya. Selain kelemahan otot, pada pemeriksaan fisik akan
ditemukan reflek tendon dalam yang menurun sampai hilang. Sistem sensorik dan kesadaran tidak
terganggu. Pasien juga akan mengalami nyeri otot dan gangguan kognitif pada saat terjadi serangan
(Gunawan Septa Dinata, 2018).
d. Patofisiologi Dan Patogenesis
Patofisiologi hipokalemia berkaitan dengan peran utama kalium dalam tubuh. Hipokalemia merupakan
keadaan kadar kalium dalam darah berada dibawah batas normal yaitu sekitar kurang dari 3,5 mEq/L.
Kalium adalah kation intraselular utama yang memainkan peranan penting pada metabolisme sel, 98%
ditemukan intraseluler dan hanya 2% ekstraseluler. Rasio kalium cairan intraselular terhadap cairan
ekstraselular membantu menentukan potensial istirahat membran saraf dan sel otot, sehingga bagian
terbanyak dari kalium terletak di dalam
sel. Hipokalemia dapat terjadi karena kehilangan kalium dari tubuh, maupun karena gerakan kalium ke
dalam sel-sel. Keseimbangan kadar kalium normal diregulasi oleh pompa ion spesifik secara primer oleh
seluler, membran-bound, dan pompa ATPase Natrium Kalium yang kadarnya dipertahankan dalam rentang
3,5-5,3 mEq/L.
Keseimbangan kalium juga dipertahankan terutama melalui regulasi ekskresi duktus pengumpul renal.
Terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan ekskresi kalium yaitu aldosteron, aliran tinggi sodium
akibat penggunaan diuretik, aliran urine yang tinggi akibat penggunaan diuretik osmotik, kadar kalium
serum yang tinggi dan adanya ion negatif pada duktus pengumpul akibat bikarbonat. Sedangkan faktor yang
dapat menurunkan ekskresi kalium yaitu defisiensi aldosteron absolut atau resistensi terhadap aldosteron,
rendahkan kadar natrium pada duktus pengumpul, rendahnya aliran urine, kadar kalium serum yang rendah
dan gagal ginjal.
Ginjal dapat beradaptasi terhadap perubahan asupan kalium akut dan kronik. Ginjal mempertahankan
peranan penting dalam kesetimbangan homeostasis kalium, bahkan pada keadaan gagal ginjal kronik.
Mekanisme adaptasi ginjal membuat ginjal dapat memertahankan homeostasis ginjal sampai laju filtrasi
ginjal di bawah 15-20 ml menit. Pada kondisi gagal ginjal yang berat, proporsi kalium yang diekskresi
melalui saluran cerna akan meningkat. Salah satu faktor terjadinya hipokalemia yaitu gerakan kalium ke
dalam sel. Ambilan kalium sel dipicu oleh alkalinemia, insulin, stimulasi beta adrenergik dan santin.
Aldosteron juga mampu mencetuskan ambilan kalium oleh sel setelah konsumsi makanan. Laju kalium ke
dalam sel dapat meningkat karena pompa Na KATPase tidak dapat mempertahankan distribusi kalium
antara sel dan cairan ekstraseluler (Palmer, 2015). Mekanisme peningkatan laju kalium masuk ke dalam sel
terjadi karena peningkatan pH ekstraseluler pada kondisi alkalosis metabolik, sehingga dapat menyebabkan
hipokalemia (Sumantri, 2009).
e. Pemeriksaan Penunjang
Penegakan diagnosa penyakit paralisis periodik hipokalemia perlu di tinjau dari beberapa aspek. Diterapkan
pada pasien tertentu yang memenuhi kriteria tanda-tanda nya seperti pasien dengan kondisi otot yang tidak
adekuat yang mengakibatkan salah satu atau beberapa anggota gerak mengalami onset dadakan, arefleksia,
hilangnya kesadaran, serta menunjukkan bukti pendukung (hasil pemeriksaan hipokalemia dan
laboratorium) kalium yang rendah saat serangan menyingkirkan penyebab sekunder dan menegakkan
diagnosa periodik paralisis familial (Dinata & Syafrita, 2018).
Pemeriksaan :
1. Elektrokardiogram (EKG)
Ketidaknormalan pada hasil elektrokardiogram (EKG) yang didapatkan dari kasus ini, bisa menjadi titik
terang untuk tenaga medis yang memeriksa, apakah pasien nya mengalami paralisis hipokalemia atau bukan.
Gambaran hasil ketidaknormalan EKG pada kasus ini, yaitu didapatkan pendataran dan inversi dari
gelombang T, munculnya gelombang U dan depresi segmen ST. ( Lopez & Henderson, 2012 dalam Dinata
& syasfrita, 2018).
2. Electromyography (EMG)
Pada saat terjadi serangan hipokalemia ini, maka akan terlihat gambaran amplitudo yang menurun.
Penurunan amplitudo pada pemeriksaan EMG ditandai dengan hilangnya aktivitas listrik pada otot yang
mengalami kelemahan (Dinata & Syafrita, 2018).
Motor potensial & potensial polifasik meningkat jumlahnya, serta kecepatan hantar serabut saraf menurun
pada saat serangan. Di luar serangan, nilai EMG adalah normal. (Wirastuti, FK Unissula, Semarang)
3. Pemeriksaan CMAP (Compound Muscle Amplitude Potential)
Pemeriksaan ini dikenal juga dengan sebutan Exercise EMG. Pemeriksaan CMAP ini lebih efektif pada
70%-80%, dengan catatan, apabila hal tersebut dilakukan pada kasus yang dialami dan sebisa mungkin
dikerjakan dengan tepat. (Allen, dkk :2008 dalam Dinata & syasfrita). Selain dari riwayat pasien atau nilai
kalium serum yang normal, rendah atau sangat rendah selama serangan, tes CMAP adalah pemeriksaan
standar saat ini. Diagnosis ditegakkan apabila timbul kelemahan otot disertai kadar kalium plasma. yang
rendah dan kelemahan otot membaik setelah pemberian kalium. (Dinata & Syafrita, 2018).
4. Pemeriksaan transtubular potassium concentration gradient (TPCG) atau
transtubular K+ concentration ([K+]) gradient (TTKG)
Pemeriksaan ini digunakan untuk membedakan penyebab PPH, apakah akibat kehilangan kalium melalui
urin atau karena proses perpindahan kalium ke ruang intraselular (chanellopathy).
Pemeriksaan TTKG dilakukan saat terjadi serangan. Dalam kondisi normal, ginjal akan merespons
hipokalemia dengan cara menurunkan ekskresi kalium untuk menjaga homeostasis. Jika dalam keadaan
kalium plasma rendah, tetapi dijumpai ekskresi kalium urin yang tinggi (lebih dari 20 mmol/L), PPH terjadi
akibat proses di ginjal (ismy, 2020).
5. Pemeriksaan provokatif
Dilakukan dengan menggunakan loading glukosa oral, glukosa intravena, dan epinefrin intraarterial.
Pemeriksaan- pemeriksaan ini jarang dilakukan karena berakibat fatal dan adanya metode lainnya yang lebih
sederhana dan aman. (Dinata & Syafrita, 2018). Pemberian insulin, hormon tiroid, steroid (kortikotropin 80-
100 IU iv) (Wirastuti, FK Unissula Semarang).
B. Infeksi Muskulo Skeletal
1. Osteomielitis
a. Etiologi
Terdapat beberapa penyebab osteomielitis. Adanya kondisi avaskuler dan iskemik pada daerah infeksi dan
pembentukan sequestrum pada daerah dengan tekanan oksigen rendah sehingga tidak bisa dicapai oleh
antibiotik. Rendahnya tekanan oksigen mengurangi efektivitas bakterisidal dari polymorpholeukocytes dan
juga merubah infeksi aerobik menjadi anaerob (Solomon, 2016). Selain itu, osteomielitis juga disebabkan
oleh infeksi. Infeksi ini bisa disebabkan trauma berupa penyebaran dari stomatitis, tonsillitis, infeksi sinus,
furukolosis maupun infeksi yang hematogen. Inflamasi yang disebabkan bakteri pyogenik ini meliputi
seluruh struktur yang membentuk tulang, mulai dari medulla, korteks dan periosteum. Osteomielitis juga
disebabkan oleh bakteri, namun kebanyakan pada spesies staphylococci dan streptococci.
Etiologi dari osteomielitis akut dan kronis hampir sama. Kebanyakan kasus disebabkan oleh infeksi
sehingga banyak klinisi mengatakan osteomielitis disebabkan oleh adanya virulensi dari mikroorganisme
yang terlibat serta tergantung dari ketahanan tubuh. Terdapat beberapa faktor-faktor yang mendukung
terjadinya osteomielitis yaitu status imunitas, status gizi, usia, serta ada atau tidaknya penyakit sistemik.
b. Faktor Risiko
Faktor risiko penyakit osteomielitis meliputi Diabetes mellitus, penyakit sickle cell, AIDS, penyalahgunaan
obat-obatan secara intra vena, alkohol, pengguna steroid jangka panjang, dan penurunan kekebalan tubuh.
Kondisi-kondisi tersebut bisa menjadi faktro risiko ditambah dengan terjadinya fraktur terbuka.
c. Tanda Gejala
Tanda gejala yang muncul pada pasien dengan diagnosa osteomielitis adalah:
Osteomielitis akut
1) Infeksi dibawa oleh darah
2) Biasanya awitannya mendadak
3) Sering terjadi dengan manifestasi klinis septikemia (misalnya: menggigil, demam
tinggi, denyut nadi cepat dan malaise, pembesaran kelenjar limfe regional)
4) Infeksi menyebar dari rongga sumsum ke korteks tulang
5) Bagian yang terinfeksi menjadi nyeri, bengkak dan sangat nyeri tekan
a) Infeksi terjadi akibat penyebaran dari infeksi di sekitarnya atau kontaminasi
langsung
b) Daerah infeksi membengkak, hangat, nyeri dan nyeri tekan
c) Sering ada riwayat infeksi sebelumnya atau luka
d) Lab, anemia, leukositosis
Osteomielitis kronik
Ditandai dengan pus yang selalu mengalir keluar dari sinus atau mengalami periode berulang nyeri,
inflamasi, pembengkakan dan pengeluaran pus, hasil laboratorium LED meningkat. Menurut Smeltzer
(2002):
1) Jika infeksi dibawah oleh darah, biasanya awitannya mendadak, sering terjadi
dengan manifestasi klinis septikemia (misalnya: menggigil, demam tinggi, denyut
nadi cepat dan malaise umum). Gejala sismetik pada awalnya dapat menutupi
gejala lokal secara lengkap. Setelah infeksi menyebar dari rongga sumsum ke
korteks tulang, akan mengenai periosteum dan jaringan lunak, dengan bagian yang
terinfeksi menjadi nyeri, bengkak dan nyeri tekan. Pasien menggambarkan nyeri
konstan berdenyut yang semakin memberat dengan gerakan dan berhubungan
dengan tekanan pus yang terkumpul.
2) Bila osteomielitis terjadi akibat penyebaran dari infeksi di sekitarnya atau
kontaminasi langsung, tidak akan ada gejala
septikemia. Daerah infeksi membengkak, hangat, nyeri dan nyeri tekan.
3) Pasien dengan osteomielitis kronik ditandai dengan pus yang selalu mengalir
keluar dari sinus atau mengalami periode berulang nyeri, inflamasi, pembengkakan
dan pengeluaran pus. Infeksi derajat rendah dapat menjadi pada jaringan parut
akibat kurangnya asupan darah.
d. Patofisiologi dan Patogenesis
Osteomyelitis merupakan gabungan kata osteon (bone) dan muelinos (marrow) yang berasal dari Bahasa
Yunani kuno. Kata ini merupakan penggambaran dari suatu infeksi yang terjadi pada bagian ruang medula
tulang. Osteomyelitis dapat dimaknai sebagai kondisi terjadinya inflamasi tulang yang berasal dari ruang
medula dan sistem haversian kemudian meluas hingga periosteum daerah sekitarnya. Kestabilan Infeksi ini
terjadi pada bagian tulang yang mengalami kalsifikasi ketika pus dan edema menghalangi aliran darah lokal
atau terjadi obstruksi di dalam ruang medula dan di bawah periosteum. Terbentuk sequester setelah terjadi
iskemia tulang yang terinfeksi menjadi nekrotik merupakan tanda klasik dari osteomyelitis. (Putra dan
Sulistyani 2009).
Osteomielitis didefinisikan sebagai inflamasi yang terjadi pada sumsum tulang. Pemicu dari Inflamasi ini
karena invasi bakteri ke dalam bagian sum-sum dari tulang yang menstimulasi terjadinya sirkulasi mikro dan
meningkatkan tekanan di dalam intramedullary. Pada hampir semua kasus yang terjadi, infeksi ditemukan
ketika sudah meluas dan melibatkan tulang kortikal dan periosteum. Didasari oleh gejala klinis,
Osteomielitis pada rahang sendiri dapat dibagi atas suppurative dan non- suppurative. Selain itu terdapat
jenis osteomielitis yang jarang ditemukan seperti syphilitic, viral, dan tubercolous. (Faisal, dkk. 2020).
Osteomielitis biasa terjadi pada mandibula dibandingkan dengan maksila. Hal tersebut disebabkan karena
maksila memiliki lebih banyak
vaskularisasi pembuluh darah yang berasal dari beberapa arteri, dibandingkan dengan mandibula yang
memiliki pembuluh darah utama dari arteri alveolaris inferior dan ketebalan tulang kortikal. Penyebab utama
osteomielitis pada rahang adalah infeksi odontogenik. Selain itu penyebab osteomielitis juga dapat berupa
peri-implanitis, tumor atau kista terinfeksi, dan infeksi pada trauma atau luka pembedahan. Hal tersebut
dapat menyebabkan kolapsnya pembuluh darah, terhentinya aliran vena dan iskemia yang akan
menyebabkan terjadinya nekrosis tulang. Tulang yang mengalami iskemia dan nekrotik tidak akan
mendapatkan vaskularisasi adekuat yang menyebabkan pertahanan tubuh tidak mampu menghadapi invasi
dan proliferasi bakteri sehingga penyebaran bakteri semakin luas. Organisme mikro yang terlibat dalam
osteomielitis antara lain Stapphylococcus Aureus, S.epidermidis, Actinomyeces, bakteri anaerob
Peptostreptococcus spp, Fusobacterium dan Prevotella (Faisal, dkk. 2020).
Osteomielitis dapat dibagi secara garis besar yaitu akut dan kronis. Tanda dari Osteomielitis akut antara lain
demam, malaise, selulitis, leukositosis, dan trismus. Osteomielitis kronis sendiri merupakan bentuk sekunder
dari osteomielitis akut. Minggu keempat merupakan masa peralihan dari fase akut dan kronis. Tanda dari
osteomielitis kronis sekunder dapat berupa pembengkakan, nyeri yang dalam, purulent, fistula intraoral dan
ekstraoral, tulang nekrotik, dan luka jaringan lunak. Selain itu, untuk osteomielitis kronis primer sendiri
tidak diawali oleh fase akut terlebih dahulu.
e. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis infeksi akut didapat berdasarkan riwayat, pemeriksaan klinis seperti parastesia dari nervous
alveolaris inferior dan nervous mentalis, atau dari hasil pemeriksaan darah. Sedangkan pada kasus infeksi
kronis dapat ditandai dengan kerusakan tulang yang terlihat jelas dengan radiografi biasa seperti panoramik.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan kombinasi riwayat kesehatan, pemeriksaan klinis, dan radiografi.
Kemampuan untuk membedakan tumor tulang dan dysplasia
tulang fibrous dari gambaran radiografi sangat penting karena keduanya memiliki gambaran yang mirip.
Perawatan osteomielitis terdiri atas terapi antibiotik, pembedahan, dan supportive care. Penatalaksanaan
primer terhadap osteomielitis supuratif akut pada rahang adalah dengan antibiotik. Terapi antibiotik yang
adekuat dimulai selama tahap awal infeksi dan tindakan pembedahan dari penyebab akan memberikan hasil
yang baik sehingga tidak berkembang ke tahap kronis. Pada kasus osteomielitis kronis, pembedahan
merupakan penatalaksanaan yang paling utama.
Laboratorium
1) Peningkatan laju endap eritrosit (Ros, 1997:90)
2) Lukosit dan LED meningkat (Overdoff, 2002:572)
Rontgen
Menunjukkan pembengkakan jaringan lunak sampai dua minggukemudian tampak bintik-bintik
dekalsifikasi pada batang tulang, yang kemudian dapat meluas dan diikuti oleh tanda-tanda pembentukan
involukrom (Overdoff, 2002:572).
Scan tulang, biasanya sebelum rontgen (Overdoff, 2002:572).
Biopsi tulang, mengidentifikasi organisme penyebab.
c. Tanda Gejala
Menurut Mayo Clinic tahun 2019 biasanya tidak ada gejala pada tahap awal pengeroposan tulang. Tapi
begitu tulang mengalami osteoporosis, seseorang mungkin memiliki tanda dan gejala yang meliputi:
1. Nyeri punggung, yang disebabkan oleh tulang belakang yang retak atau roboh.
2. Kehilangan tinggi badan seiring waktu.
3. Postur membungkuk.
4. Tulang yang patah jauh lebih mudah dari yang diperkirakan
d. Patofisiologi
Pada wanita yang memasuki fase menopause dan pasca menopause, proses osteoporosis yaitu penurunan
densitas massa tulang akan terjadi secara berlanjut dan bertahap. Sementara pada pria osteoporosis terjadi
lebih lambat, namun seperti halnya dengan wanita, hal ini disebabkan karena meningkatnya proses resorpsi
sel osteoclast yang merupakan akibat langsung dari penurunan hormone steroid,seperti pada penderita
hypogonadism (Bartl&Frisch, 2009).
Penurunan hormon steroid ini juga memiliki dampak langsung terhadap sel-sel yang memiliki reseptor
estrogen alpha atau beta, seperti pada sel-sel mesenchymalprogenitor di sumsum tulang yang memproduksi
sel osteoblast (sel pembangun tulang) dan sel adipocytes (sel lemak). Hormon estrogen lah yang akan
mempromosikan perubahan osteoblastogenic menjadi osteoblast, dan juga akan menghambat proses
adipogenesis (pembentukan lemak). Oleh karena itu, pada usia lanjut proses pembentukan sel-sel tulang
akan menurun karena dampak langsung dari pergeseran keseimbangan proses produksi sel tulang dan sel
lemak di sumsum tulang, yang mana akan lebih banyak proses pembentukan sel adiposit (Bartl&Frisch,
2009).
e. Patogenesis
Dalam Permana (n.d.), osteoporosis dapat terjadi pada kehidupan. Penyebab terjadinya adalahpenurunan
bone turn over yang terjadi sepanjang kehidupan. Satu dari dua wanita akan mengalami osteoporosis,
sedangkan pada laki-laki hanya 1 dari 50 orang laki-laki. Ini di duga berhubungan dengan adanya fase masa
menopause dan proses kehilangan pada wanita jauh lebih banyak. Percepatan pertumbuhan tulang, mencapai
massa puncak tulang pada usia berkisar 20 – 30 tahun, kemudian terjadi perlambatan formasi tulang dan
dimulai resorpsi tulang yang lebih dominan. Keadan ini bertahan samapi seorang wanita apabila mengalami
menopause akan terjadi percepatan resorpsi
tulang, sehingga keadaan ini tulang menjadi sangat rapuh dan mudah terjadi fraktur. Setelah usia 30 tahun,
resorpsi tulang secara perlahan dimulai akhirnya akan lebih dominan dibandingkan dengan pembentukan
tulang. Kehilanga massa tulang menjadi cepat pada beberapa tahun pertama setelah menopause dan akan
menetap pada beberapa tahun kemudian pada masa postmenopause. Proses ini terus berlangsung pada
akhirnya secara perlahan tapi pasti terjadi osteoporosis. Percepat osteoporosis tergantung dari hsil
pembentukan tulang sampai tercapainya massa tulang puncak. Massa tulang puncak ini terjadi sepanjang
awal kehidupan sampai dewasa muda. Selama ini, tulang tidak hanya tumbuh tetapi juga menjdai solid. Pada
usia rata – rata 25 tahun tulang mencapai pembentuk massa tulang puncak. Walaupun demikian massa
puncak tulang ini secara individual sangat bervariasi dan pada umumnya pada laki-laki lebih tinggi
dibanding pada wanita. Massa puncak tulang ini sangatlah penting, yang akan menjadi ukuran seseorang
menjadi risiko terjadinya fraktur pada kehidupannya. Apabila massa puncak tulang ini rendah maka akan
mudah terjadi fraktur kan saja, tetapi apabila tinggi makan akan terlindung dari ancaman fraktur. Faktor
faktor yang menentukan tidak tercapainya massa tulang puncak sampai saai ini belum dapat dimengerti
sepenuhnya tetapi diduga terdapat beberapa faktor yang berperan, yaitu genetik, asupan kalsium, aktifitas
fisik, dan hormon seks. Untuk memelihara dan mempertahan massa puncak tulang adalah dengan diet,
aktifitas fisik, status reproduktif, rokok, kelebiham konsumsi alkohol, dan beberapa obat.
f. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Humaryanto (2017) beberapa teknik yang dapat digunakan untuk mengukur kepadatan mineral
tulang adalah sebagai berikut:
Dual-Energy X-ray Absorptiometry (DEXA)
Teknik ini menggunakan dua sinar-X berbeda, dapat digunakan untuk mengukur kepadatan tulangbelakang
dan pangkal paha. Sejumlah sinar-X dipancarkan pada bagian tulang dan jaringan lunak yang dibandingkan
dengan bagian yang lain. Tulang yang mempunyai kepadatan tulang tertinggi hanya mengizinkan sedikit
sinar-X yang melewatinya. DEXA merupakan metode yang paling akurat untuk mengukur kepadatan
mineral tulang. DEXA dapat mengukur sampai 2% mineral tulang yang hilang tiap tahun. Penggunaan alat
ini sangat cepat dan hanya menggunakan radiasi dengan dosis yang rendah tetapi lebih mahal dibandingkan
dengan metode ultrasounds.
Peripheral Dual-Energy X-ray Absorptiometry (P-DEXA)
Alat ini merupakan hasil modifikasi dariDEXA. Alat ini mengukur kepadatan tulang anggota badan seperti
pergelangan tangan, tetapi tidakdapat mengukur kepadatan tulang yang berisiko patah tulang seperti tulang
belakang atau pangkal paha.Jika kepadatan tulang belakang dan pangkal paha sudah diukur maka
pengukuran dengan P-DEXA tidak diperlukan. Mesin P-DEXA mudah dibawa, menggunakan radiasi sinar-
X dengandosis yang sangat kecil, dan hasilnya lebih cepat dan konvensional dibandingkan DEXA.
Dual Photon Absorptiometry (DPA)
Alat ini menggunakan zat radioaktif untuk menghasilkan radiasi. Dapat mengukur kepadatan mineral tulang
belakang dan pangkal paha, juga menggunakan radiasi sinar dengan dosis yang sangat rendah tetapi
memerlukan waktu yang cukup lama.
Ultrasounds
Alat ultrasound pada umumnya digunakan untuk tes pendahuluan. Jika hasilnyamengindikasikan kepadatan
mineral tulang rendah maka dianjurkan untuk tes menggunakan DEXA. Ultrasounds menggunakan
gelombang suara untuk mengukur kepadatan mineral tulang, biasanya pada telapak kakifrekuensi yang
digunakan pada QUS biasanya terletak antara 200 kHz dan 1,5 MHz. Sebagian mesin melewatkan
gelombang suara melalui udara dan sebagian lagi melalui air. Ultrasoundsdalam penggunaannya cepat,
mudah dan tidak menggunakan radiasi seperti sinar-X. Salah satu kelemahan Ultrasounds tidak dapat
menunjukkan kepadatan mineral tulang yang berisiko patah tulang karena osteoporosis. Penggunaan
Ultrasoundsjuga lebih terbatas dibandingkan DEXA.
Heel Ultrasound Scan
Heel Ultrasound Scan atau skrining QUS pada area kalkaneus atau tumit kaki merupakan metode skrining
kepadatan tulang yang menunjukkan bagaimana struktur tulang dan seberapa kuat dan elastis tulang yang
diukur atau lebih tepat dikatakan mengukur kualitas tulang dengan sensitivitas sebesar 77,5% dan
spesifisitas 50% untuk osteoporosis.TesHeel QUSdilakukan dengan individu duduk, lepaskan alas kaki dan
kaos kaki yang di kenakan, pastikan telapak kaki dalam keadaan bersih dan tidak ada kotoran yang
menempel, kemudian satu kaki ditempatkan pada posisi kakiistrumen QUS.Tidak ada ketentuan kaki kiri
atau kanan.Segmen tulang yang diteliti akan ditempatkan diantara probe ini dan gelombang ultrasound yang
dipancarkan dari probe emisi melalui tulang akan ditangkap oleh probe penerima atau receiver. Ada dua
jenis QUS tergantung pada poros yang dilalui gelombang ultrasound untuk menempuhperjalanan melalui
tulang, yaitu QUS dengan transmis horizontal dan transmisi longitudinal. Transmisi horisontalmenggunakan
probe yang mengukur kecepatan suara pada lapisan kortikal tulang pada jarak tetap. Segmen tulang yang
diukur seperti lengan bawah,tibia dan radius. Transmisi longitudinal lebih sering digunakan dan segmen
tulang yang diukur adalah kalkaneus.
Quantitative Computed Tomography (QTC)
Adalah suatu model dariCT-scan yang dapat mengukur kepadatan tulang belakang. Salah satu model dari
QTC disebut peripheral QCT (pQCT) yang dapat mengukur kepadatan tulang anggota badan
seperti pergelangan tangan. Pada umumnya pengukuran dengan QCT jarang dianjurkan karena sangat
mahal, menggunakan radiasi dengan dosistinggi, dan kurang akurat dibandingkan dengan DEXA, PDEXA,
atau DPA.
2. Osteoarthritis
a. Etiologi
Osteoartritis merupakan penyakit sendi degenerative atau kelainan sendi yang paling sering ditemukan dan
kerap kali menimbulkan ketidakmampuan (disabilitas). Osteoartitis juga ditandai dengan kerusakan tulang
rawan atau kartilago hyalin sendi, pertumbuhan osteofit pada tepian sendi, meregangnya kapsula sendi,
timbulnya peradangan dan melemahnya otot-otot yang menghubungkan sendi. Ketika semakin tua, suatu
lapisan cairan yang disebut cairan synovial akan menurun. Hal ini akan menyebabkan ujung-ujung tulang
saling bergesek satu sama lain. Gesekan yang terjadi pada ujung-ujung tulang inilah yang akan
menimbulkan nyeri (Aswedi Putra, dkk., 2018). Penyebab osteoarthritis dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
Osteoarthritis primer disebut juga Osteoarthritis idiopatik adalah Osteoarthritis yang
kausanya tidak diketahui dan tidak ada hubungannya dengan penyakit sistemik
maupun proses perubahan lokal pada sendi.
Osteoarthritis sekunder adalah Osteoarthritis yang didasari oleh adanya kelainan
endokrin, inflamasi, metabolik, pertumbuhan dan imobilisasi yang lama. Osteoarthritis
primer lebih sering ditemukan dari pada Osteoarthritis sekunder. Penyakit ini bersifat
progresif lambat, umumnya terjadi pada usia lanjut, walaupun usia bukan satu-satunya
faktor risiko (Anisa IkaPratiwi, 2015).
b. Faktor Risiko
Faktor resiko yang paling utama dari osteoarthritis adalah bertambahnya usia. Kemudian faktor risiko
osteoartritis yang lain diantaranya obesitas atau kegemukan, kelainan tulang atau sendi,
trauma sendi, penyakit inflamasi sendi, penyakit endokrin dan metabolic (Aswedi Putra, dkk., 2018).
c. Tanda Gejala
Manifestasi klinis dari OA biasanya terjadi secara perlahan- lahan. Awalnya persendian akan terasa nyeri di
persendian, kemudian nyeri tersebut akan menjadi persisten atau menetap, kemudian diikuti dengan
kekakuan sendi terutama saat pagi hari atau pada posisi tertentu pada waktu yang lama. Tanda cardinal dari
OA adalah kekakuan dari persendian setelah bangun dari tidur atau duduk dalam waktu yang lama,
swelling (bengkak) pada satu atau lebih persendian, terdengar bunyi atau gesekan (krepitasi) ketika
persendian digerakkan. Pada kasus-kasus yang lanjut terdapat pengurangan massa otot. Terdapatnya luka
mencerminkan kelainan sebelumnya. Perlunakan sering ditemukan, dan dalam cairan sendi superfisial,
penebalan synovial atau osteofit dapat teraba. Pergerakan selalu terbatas, tetapi sering dirasakan tidak
sakit pada jarak tertentu hal ini mungkin disertai dengan krepitasi. Beberapa gerakan lebih terbatas dari yang
lainnya oleh karena itu, pada ekstensi panggul, abduksi dan rotasi interna biasanya merupakan gerakan yang
paling terbatas. Pada stadium lanjut ketidakstabilan sendi dapat muncul dikarenakan tiga alasan yakni
berkurangnya kartilago dan tulang, kontraktur kapsulera simetris, dan kelemahan otot. Krepitasi, rasa
gemeretak (seringkali sampai terdengar) yang terjadi pada sendi yang sakit. Perubahan bentuk sendi, sendi
yang mengalami osteoarthritis biasanya mengalami perubahan berupa perubahan bentuk dan penyempitan
pada celah sendi. Perubahan ini dapat timbul karena kontraktur sendi yang lama, perubahan permukaan
sendi, berbagai kecacatan dan gaya berjalan dan perubahan pada tulang dan permukaan sendi. Seringkali
pada lutut atau tangan mengalami perubahan bentuk membesar secara perlahan-lahan. Perubahan gaya
berjalan, hal yang paling meresahkan pasien adalah perubahan gaya berjalan, hampir semua pasien
osteoarthritis pada
pergelangan kaki, lutut dan panggul mengalami perubahan gaya berjalan (pincang). Keadaan ini selalu
berhubungan dengan nyeri.
d. Patofisiologi
Penyakit ini bersifat kronik, berjalan progresif, tidak meradang, dan ditandai oleh adanya pengikisan rawan
sendi dan pembentukan tulang baru pada permukaan sendi. Klasifikasi dari Osteoarthritis terbagi menjadi
dua, yaitu Osteoarthritis primer dan Osteoarthritis sekunder. Osteoarthritis primer dapat disebut juga
sebagai Osteoarthritis idiopatik merupakan jenis yang penyebabnya tidak diketahui dan tidak ada
hubungannya dengan penyakit sistemik, inflamasi, ataupun perubahan lokal pada sendi.
Sedangkan untuk Osteoarthritis sekunder dapat disebabkan karena beberapa faktor. Faktor yang dapat
menyebakan penyakit ini antara lain, penggunaan sendi yang berlebihan dalam aktifitas kerja, olahraga
berat, adanya cedera sebelumnya, penyakit sistemik, inflamasi, kondisi seperti trauma sendi, kelainan
bawaan, faktor gaya hidup, dan respon imun semua dapat menjadi pemicu terjadinya Osteoarthritis. Kasus
Osteoarthritis primer lebih banyak ditemui daripada Osteoarthritis sekunder. (Price and Wilson, dalam
Pratama 2019).
e. Patogenesis
Penyebab osteoartritis dapat dibedakan menjadi dua yaitu:. Osteoarthritis primer disebut juga Osteoarthritis
idiopatik adalah Osteoarthritis yang kausanya tidak diketahui dan tidak ada hubungannya dengan penyakit
sistemik maupun proses perubahan lokal pada sendi. Osteoarthritis sekunder adalah Osteoarthritis yang
didasari oleh adanya kelainan endokrin, inflamasi, metabolik, pertumbuhan dan imobilisasi yang lama.
Osteoarthritis primer lebih sering ditemukan dari pada Osteoarthritis sekunder. Penyakit ini bersifat
progresif lambat, umumnya terjadi pada usia lanjut, walaupun usia bukan satu-satunya faktor risiko (Anisa
Ika Pratiwi, 2015).
f. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Diagnostik Pada penderita OA, dilakukannya pemeriksaan radiografi pada sendi yang terkena
sudah cukup untuk memberikan suatu gambaran diagnostik (Winangun, 2019). Gambaran Radiografi sendi
yang menyokong diagnosis OA adalah:
Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada bagian yang
menanggung beban seperti lutut).
Peningkatan densitas tulang subkondral ( sklerosis ).
Kista pada tulang
Osteofit pada pinggir sendi
Perubahan struktur anatomi sendi.
Pemeriksaan Laboratorium Hasil pemeriksaan laboratorium pada OA biasanya tidak
banyak berguna. Pemeriksaan darah tepi (hemoglobin, leukosit, laju endap darah)
masih dalam batas – batas normal. Pemeriksaan imunologi masih dalam batas – batas
normal. Pada OA yang disertai peradangan sendi dapat dijumpai peningkatan ringan
sel peradangan (< 8000 / m) dan peningkatan nilai protein.Pemeriksaan imunologi
(ANA, faktor rheumatoid, dan komplemen) masih dalam batas-batas
normal(Winangun, 2019).
3. Gout
a. Etiologi
Gout merupakan sekelompok penyakit heterogen yang terjadi akibat deposisi kristal monosodium urat
(MSU) pada jaringan atau akibat super saturasi asam urat pada cairan ekstraseluler.
b. Faktor Risiko
Suku bangsa /ras
Suku bangsa yang paling tinggi prevalensi nya pada suku maori di Australia. Prevalensi suku Maori
terserang penyakit asam urat tinggi sekali sedangkan Indonesia prevalensi yang paling tinggi pada penduduk
pantai dan yang paling tinggi di daerah Manado-Minahasa
karena kebiasaan atau pola makan dan konsumsi alkohol. (Wiraputra & Putra, 2017)
Konsumsi alkohol
Konsumsi alkohol menyebabkan serangan gout karena alkohol meningkatkan produksi asam urat. Kadar
laktat darah meningkat sebagai akibat produk sampingan dari metabolisme normal alkohol. Asam laktat
menghambat ekskresi asam urat oleh ginjal sehingga terjadi peningkatan kadarnya dalam serum. • Konsumsi
ikan laut Ikan laut merupakan makanan yang memiliki kadar purin yang tinggi. Konsumsi ikan laut yang
tinggi mengakibatkan asam urat. (Wiraputra & Putra, 2017)
Penyakit
Penyakit-penyakit yang sering berhubungan dengan hiperurisemia. Mis. Obesitas, diabetes melitus, penyakit
ginjal, hipertensi, dislipidemia, dsb. Adipositas tinggi dan berat badan merupakan faktor resiko yang kuat
untuk gout pada laki-laki, sedangkan penurunan berat badan adalah faktor pelindung. (Wiraputra & Putra,
2017)
Obat-obatan
Beberapa obat-obat yang turut mempengaruhi terjadinya hiperurisemia. Mis. Diuretik, antihipertensi,
aspirin, dsb. Obat- obatan juga mungkin untuk memperparah keadaan. Diuretik sering digunakan untuk
menurunkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, tetapi hal tersebut juga dapat menurunkan
kemampuan ginjal untuk membuang asam urat. Hal ini pada gilirannya, dapat meningkatkan kadar asam urat
dalam darah dan menyebabkan serangan gout. Gout yang disebabkan oleh pemakaian diuretik dapat
"disembuhkan" dengan menyesuaikan dosis. Serangan Gout juga bisa dipicu oleh kondisi seperti cedera dan
infeksi.hal tersebut dapat menjadi potensi memicu asam urat. Hipertensi dan penggunaan diuretik juga
merupakan faktor risiko penting independen untuk gout. Aspirin memiliki 2 mekanisme
kerja pada asam urat, yaitu: dosis rendah menghambat ekskresi asam urat dan meningkatkan kadar asam
urat, sedangkan dosis tinggi (> 3000 mg / hari) adalah uricosurik. (Wiraputra & Putra, 2017)
Jenis Kelamin
Pria memiliki resiko lebih besar terkena nyeri sendi dibandingkan perempuan pada semua kelompok umur,
meskipun rasio jenis kelamin laki-laki dan perempuan sama pada usia lanjut. Dalam Kesehatan dan Gizi
Ujian Nasional Survey III, perbandingan laki- laki dengan perempuan secara keseluruhan berkisar antara 7:1
dan 9:1. Dalam populasi managed care di Amerika Serikat, rasio jenis kelamin pasien laki-laki dan
perempuan dengan gout adalah 4:1 pada mereka yang lebih muda dari 65 tahun, dan 3:1 pada mereka lima
puluh persen lebih dari 65 tahun. Pada pasien perempuan yang lebih tua dari 60 tahun dengan keluhan sendi
datang ke dokter didiagnosa sebagai gout, dan proporsi dapat melebihi 50% pada mereka yang lebih tua dari
80 tahun. (Wiraputra & Putra, 2017)
Diet tinggi purin
Hasil analisis kualitatif menunjukkan bahwa HDL yang merupakan bagian dari kolesterol, trigliserida dan
LDL disebabkan oleh asupan makanan dengan purin tinggi. (Wiraputra & Putra, 2017)
c. Tanda Gejala
Gejala yang dirasakan dan tanda yang sering muncul pada penderita Gout diantaranya adalah:
Rasa nyeri hebat dan mendadak pada ibu jari kaki (sendi metatarsofalangeal pertama)
dan jari kaki (sendi tarsal)
Terganggunya fungsi sendi yang biasanya di satu tempat, sekitar 70- 80 % pada
pangkal ibu jari
Terjadi hiperurisemia
Terjadi hiperurikemia dan penimbunan kristal urat yang khas yaitu kristal monosodium
urat dalam cairan dan jaringan sendi, ginjal, tulang rawan dan lain-lain
Terdapat tofus yang telah dibuktikan secara kimiawi
Telah terjadi >1 kali serangan di persendian (arthritis) yang bersifat akut
Adanya serangan padasatu sendi, terutama sendi ibu jari kaki. Serangan juga biasa
terjadi di tempat lain seperti pergelangan kaki, punggung kaki, lutut, siku, pergelangan
tangan atau jarijari tangan
Sendi tampak kemerahan
Peradangan disertai demam (suhu tubuh >38o C), dan pembengkakan tidak simetris
pada satu sendi dan terasa panas
Tak ditemukan adanya bakteri pada saat serangan dan imflamasi
Nyeri hebat di pinggang bila terjadi batu ginjal akibat penumpukan asam urat di ginjal
Gejala yang lain: ruam kulit, sakit tenggorokan, lidah berwarna merah atau gusi
berdarah.(Kusumayanti, Dewi, dkk. 2014)
d. Patofisiologi
Dasar gangguan metabolik Gout adalah hiperuisemia yaitu kadar asam urat (menurut Council for
International Organisation of Medical Sciences/CIOMS) untuk pria > 7 mg/dl dan untuk wanita > 6 mg/dl.
Kondisi asam urat yang meningkat dalam tubuh menyebabkan terjadinya penumpukan asam urat pada
jaringan yang kemudian akan membentuk Kristal urat yang ujungnya tajam seperti jarum. Kondisi ini
memacu terjadinya respon inflamasi dan diteruskan dengan serangan gout. Penumpukan asam urat dapat
menimulkan kerusakan hebat pada sendi dan jaringan lunak dan dapat menyebabkan nefrolithiasisurat (batu
ginjal) dengan disertai penyakit ginjal kronis jika tidak mendapatkan penanganan yang tepat dan segera.
(Kertia, 2009 dalamJardewi, 2017). Menurut Michael A. Charter gout memiliki 4 tahapan klinis, yaitu:
Stadium I
Kadar asam urat darah memingkat tapi tidak menunjukan gejala atau keluhan (hiperusemia asimtomatik).
Stadium II
Terjadi pembengkakan dan nyeri pada sendi kaki, sendi jari tangan, pergelangan tangan dan siku
(acutarthritis gout).
Stadium III
Kebanyakan orang mengalami serangan gout berulang dalam waktu kurang dari 1 tahun jika tidak diobati
(intercritical stadium).
Stadium IV
Timbunan asam urat terus meluas selama beberapa tahun jika tidak dilakukan pengobatan, hal ini dapat
menyebabkan nyeri sakit, kaku serta pembengkakan sendi nodular yang besar (cronic gout).
e. Patogenesis
Monosodium urat akan membentuk Kristal ketika konsentrasinya dalam plasma berlebih, sekitar 7,0 mg/dl.
Diduga kelarutan asam urat dipengaruhi pH, suhu, dan ikatan antara asam urat dan protein plasma (Busso
dan So, 2010). Kristal monosodium urat yang menumpuk akan berinteraksi dengan fagosit melalui dua
mekanisme. Mekanisme pertama adalah dengan cara mengaktifkan sel-sel melalui rute konvensional yakni
opsonisasi dan fagositosis serta mengeluarkan mediator inflamasi. Mekanisme kedua adalah kristal
monosodium urat berinteraksi langsung dengan membran lipid dan protein melalui membran sel dan
glikoprotein pada fagosit. (Widyanto, Fandi Wahyu, 2017).
f. Pemeriksaan Penunjang
Ada beberapa pemeriksaan penunjang gout arthritis menurut (Aspiani, 2014)
Dapat dilakukan dengan alat tes kadar asam urat, umumnya nilai normal asam urat
dalam darah yaitu 3,5 mg/dl – 7,2 mg/dl namun pada penderita gout arthritis atau kadar
asam urat tinggi nilai asam urat dalam darah lebih dari 7,0 mg/dl untuk pria dan 6,0
mg/dl untuk wanita.
Serum asam urat, umumnya meningkat diatas 7,5 mg/dl. Pemeriksaan ini
mengindikasikan hiperurisemia, akibat peningkatan produksi asam urat atau gangguan
ekskresi.
Leukosit, menunjukkan peningkatan yang signifikan mencapai 20.000/mm3 selama
serangan akut. Selama periode asimtomatik angka leukosit masih dalam batas normal
yaitu 5000-10.000/mm3.
Urin specimen 24 jam, urin dikumpulkan dan diperiksa untuk menentukan produksi
dan ekskresi dan asam urat. Jumlah normal seorang mengekskresikan 250-750mg/24
jam asam urat di dalam urin. Ketika produksi asam urat meningkat maka level asam
urat urin meningkat. Kadar kurang dari 800 mg/24 jam mengidentifikasi gangguan
ekskresi dengan peningkatan serum asam urat.
Pemeriksaan radiografi, pada sendi yang terserang, hasil pemeriksaan menunjukkan
tidak terdapat perubahan pada awal penyakit, tetapi setelah penyakit berkembang
progesif maka akan terlihat jelas/area terpukul pada tulang yang berada di bawah
sinavial sendi.
4. Spondilitis
a. Etiologi
Etiologi Spondilitis Tuberkulosis, yakni penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil
(basilus). Bakteri yang paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis, walaupun
spesies Mycobacterium yang lainpun dapat juga bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti
Mycobacterium africanum (penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus,
ataupun non-tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV). Perbedaan jenis spesies ini
menjadi penting karena sangat mempengaruhi pola resistensi obat.
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat acid-fastnon-motile dan
tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang konvensional. Dipergunakan teknik
Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya. Bakteri tubuh secara lambat dalam media egg-enriched dengan
periode 6-8 minggu. Produksi niasin merupakan karakteristik Mycobacterium tuberculosis dan dapat
membantu untuk membedakannnya dengan spesies lain (Vitriana, 2020).
b. Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya ankylosing spondylitis adalah:
Laki-laki
Berusia remaja atau dewasa muda
Memiliki variasi gen HLA-B jenis HLA-B27
Memiliki orangtua dengan riwayat penyakit ankylosing spondylitis
Memiliki saudara (kakak atau adik) dengan penyakit ini
c. Tanda Gejala
1. Sakit punggung dan kekakuan
Nyeri punggung dan kekakuan biasanya merupakan gejala utama spondilitis Tanda dan gejala nya
menemukan:
● Rasa sakit menjadi lebih baik dengan olahraga, tetapi tidak membaik atau
bertambah buruk dengan istirahat
● Rasa sakit dan kaku lebih parah di pagi dan malam hari (menyebabkan bangun
secara teratur di malam hari karena rasa sakit tersebut)
● Mengalami nyeri di area sekitar bokong
2. Radang sendi
Selain menyebabkan gejala di punggung dan tulang belakang, AS juga dapat menyebabkan radang sendi
(artritis) di bagian lain tubuh penderita, seperti pinggul dan lutut. Tanda dan gejalanya:
● Nyeri saat menggerakkan sendi yang terkena
● Nyeri saat sendi yang terkena diperiksa
● Bengkak dan hangat di area yang terkena
3. Enthesitis
Enthesitis adalah peradangan yang menyakitkan di mana tulang bergabung dengan tendon (tali jaringan
keras yang menghubungkan
otot ke tulang) atau ligamen (pita jaringan yang menghubungkan tulang ke tulang). Situs umum untuk
enthesitis adalah:
● Di bagian atas tulang kering
● Di belakang tumit (tendon Achilles)
● Di bawah tumit
● Dimana tulang rusuk bergabung dengan tulang dada
Jika tulang rusuk terpengaruh, penderita dapat mengalami nyeri dada dan sulit membesarkan dada saat
menarik napas dalam.
4. Kelelahan
Kelelahan adalah gejala umum AS yang tidak diobati. Itu bisa membuat penderita merasa lelah dan kurang
energi. (NHS, 2019)
d. Patofisiologi
Spondilitis adalah gejala penyakit berupa peradangan pada ruas tulang belakang, umumnya disebabkan oleh
kuman tuberkulosis. Istilah Spondilitis biasa juga disebut Spondilitis ankilosa, penyakit inflamasi progreif
yang biasanyamengenai pria dewasa muda.
Perjalanan infeksi pada vertebra melalui 2 jalur utama yaitu arteri dan vena, serta jalur tambahan. Jalur
utama berlangsung secara sistemik mengalir sepanjang arteri ke perifer masuk ke dalam korpus vertebra,
berasal dari arteri segmental lumbal yang memberikan darah ke separuh dari korpus yang berdekatan, di
mana setiap korpus diberi nutrisi oleh 4 buah arteri. Di dalam korpus ini berakhir sebagai end artery
sehingga perluasan infeksi korpus vertebra sering dimulai di daerah paradiskus.
Jalur kedua adalah melalui pleksus Batson, yaitu sebuah anyaman vena epidural dan peridural. Vena dari
korpus vertebra mengalir ke pleksus Batson pada daerah peri vertebral. Pleksus ini beranastomosa dengan
pleksus-pleksus pada dasar otak, dinding dada, interkostal, lumbal dan pelvis. Jika terjadi aliran balik akibat
perubahan tekanan pada dinding dada dan abdomen maka basil dapat ikut menyebar.
Jalur ketiga adalah penyebaran perkontinuitatum dari abses para vertebral yang telah terbentuk, dan
menyebar sepanjang ligamentum longitudinal anterior dan posterior ke korpus vertebra yang berdekatan
(Williams, 2012 dalamJurnalRespirasi, 2016).
e. Patogenesis
Patogenesa penyakit ini sangat tergantung dari kemampuan bakteri menahan cernaan enzim lisosomal dan
kemampuan host untuk memobilisasi immunitas seluler. Jika bakteri tidak dapat diinaktivasi, maka bakteri
akan bermultiplikasi dalam sel dan membunuh sel itu. Komponen lipid, protein serta polisakarida sel basil
tuberkulosa bersifat immunogenik, sehingga akan merangsang pembentukan granuloma dan mengaktivasi
makrofag. Beberapa antigen yang dihasilkannya juga dapat juga bersifat immunosupresif (Wood, dkk ,
1993dalam Vitriana, 2020).
Pasien dengan infeksi berat mempunyai progresi yang cepat; demam, retensi urine dan paralisisa refleksi
dapat terjadi dalam hitungan hari. Respon seluler dan kandungan protein dalam cairan serebro spinal akan
tampak meningkat, tetapi basil tuberkulosa sendiri jarang dapat diisolasi. Pasien dengan infeksi bakteri yang
kurang virulen akan menunjukkan 3 perjalanan penyakit yang lebih lambat progresifitasnya, jarang
menimbulkan meningitis serebral dan infeksinya bersifat terlokalisasi dan terorganisasi (Vitriana, 2020).
f. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang Spondilitis Tuberkulosis yakni pemeriksaan rutin yang biasa dilakukan untuk
menentukan adanya infeksi Mycobacteriumtuberculosisadalah dengan menggunakan uji tuberkulin
(Mantouxtes). Uji tuberkulin merupakan tes yang dapat mendeteksi adanya infeksi tanpa adanya menifestasi
penyakit, dapat menjadi negatif oleh karena anergi yang berat atau kekurangan energi protein. Uji tuberkulin
ini tidak dapat untuk menentukan adanya TB aktif. Pemeriksaan laju endap darah (LED) dilakukan dan LED
yang
meningkat dengan hasil >100 mm/jam. Pemeriksaan radiologi pada tulang belakang sangat mutlak
dilaksanakan untuk melihat kolumnavertebralis yang terinfeksi pada 25%-60% kasus. Vertebra lumbal I
paling sering terinfeksi. Pemeriksaan radiologi dapat ditemukan fokus infeksi pada bagian anterior korpus
vertebre dan menyebar ke lapisan subkondral tulang. Pada beberapa kasus infeksi terjadi di bagian anterior
dari badan vertebrae sampai ke diskus intervertebrae yang ditandai oleh destruksi dari endplate. Elemen
posterior biasanya juga terkena. Penyebaran kediskus intervertebrae terjadi secara langsung sehingga
menampakkan erosi pada badan vertebra anterior yang disebabkan oleh abses jaringan lunak. Ketersediaan
computerizedtomographyscan (CT scan) yang tersebar luas dan magneticresonancescan (MR scan) telah
meningkat penggunaannya pada manajemen TB tulang belakang. CT scan dikerjakan untuk dapat
menjelaskan sklerosis tulang belakang dan destruksi pada badan vertebrae sehingga dapat menentukan
kerusakan dan perluasan ekstensi posterior jaringan yang mengalami radang, material tulang, dan untuk
mendiagnosis keterlibatan spinal posterior serta keterlibatan sacroiliac join dan sacrum. Hal tersebut dapat
membantu memandu biopsi dan intervensi perencanaan pembedahan. Pemeriksaan CT scan diindikasikan
bila pemeriksaan radiologi hasilnya meragukan. Gambaran CT scan pada spondilitis TB tampak kalsifikasi
pada psoas disertai dengan adanya kalsifikasi periperal.9 Magneticresonanceimaging (MRI) dilaksanakan
untuk mendeteksi massa jaringan, appendicular TB, luas penyakit, dan penyebaran subligamentous dari
debris tuberculous.
Biopsi tulang juga dapat bermanfaat pada kasus yang sulit, namun memerlukan tingkat pengerjaan dan
pengalaman yang tinggi serta pemeriksaan histologi yang baik. Pada pemeriksaan histologi akan ditemukan
nekrosis kaseosa dan formasi sel raksasa, sedangkan bakteri tahan asam tidak ditemukan dan biakan sering
memberikan hasil yang negatif (Paramarta, dkk., 2008).
2.1 Penyakit Sumsum Tulang Belakang
A. Cedera Sumsum Tulang Belakang
a) Pengertian
Spinal cord injury (SCI) adalah trauma yang menyebabkan kerusakan pada spinal cord sehingga
menyebabkan menurunnya atau menghilangnya fungsi motorik maupun sensoris (The National Spinal Cord
Injury, 2001).
b) Etiologi
Etiologi spinal cord injury atau cedera spinal umumnya disebabkan oleh kasus trauma, akan tetapi sebagian
kecil disebabkan oleh kasus-kasus non trauma. Kasus trauma cedera spinal umumnya disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas, kasus kekerasan, olahraga dan kejadian jatuh. Kasus non trauma dapat disebabkan
oleh kelainan kongenital atau hasil dari iskemia, penyakit autoimun, penyakit infeksi serta komplikasi dari
prosedur medis.
1) Kasus Trauma
Kasus trauma masih menjadi penyebab terbesar spinal cord injury. Berdasarkan National Spinal Cord
Injury Statistical Center (NSCISC) pada tahun 2010 didapatkan, sebab cedera spinal di Amerika Serikat
adalah sebagai berikut: • Kecelakaan lalu lintas (38%)
• Kasus jatuh (30.5%)
• Kasus kekerasan: terutama luka tembak (13.5%)
• Olahraga atau aktivitas rekreasi (9%).
2) Kasus Nontrauma
Kasus nontraumatik memberikan kontribusi untuk cedera spinal. NSCISC menyatakan 10% dari seluruh
kasus cedera spinal disebabkan oleh kasus medis, kasus operasi, dan lainnya.
Beberapa sebab kasus cedera spinal non trauma adalah sebagai berikut : • Kelainan kongenital (spina bifida,
myelomeningocele, Arnold-Chiari malformation, malformasi skeletal, syringomyelia)
• Penyakit degeneratif kolum vertebra (spondilosis vertebra, stenosis spinalis, prolaps diskus,
spondilolistesis)
• Kompresi tumor
• Iskemia vaskular
• Penyakit infeksi (polio, tuberkulosis, sifilis)
• Multiple sclerosis
• Transverse myelitis
• Fraktur vertebra akibat osteoporosis sekunder
• Iatrogenik (seperti injeksi spinal, kateter epidural, pungsi lumbal) c) Patofisiologi
Patofisiologi spinal cord injury (cedera spinal) menjelaskan dua mekanisme cedera yaitu cedera primer,
kerusakan awal akibat cedera mekanis. Serta cedera sekunder, cedera yang terjadi akibat cedera primer
yang ditandai dengan perdarahan, edema, dan iskemia.
1) Cedera Primer
Cedera primer pada medula spinalis dapat bersifat komplit ataupun inkomplit. Hal ini disebabkan oleh
cedera mekanik, berupa :
• Kompresi
• Distraksi
• Laserasi
• Transeksi
Cedera tersebut menyebabkan kerusakan pada akson, pembuluh darah, ataupun membran sel. Kebanyakan,
cedera meninggalkan ”subpial rim” dari akson terdemielinisasi atau tidak terdemielinisasi yang berpotensi
untuk terjadinya regenerasi. Selain itu, timbul edema akut pada medula yang berkontribusi terhadap
kejadian iskemia pada medula spinalis. Fase-fase ini menyerupai patofisiologi molekuler pada cedera otak
traumatik.
Secara seluler, beberapa menit setelah cedera, terjadi peningkatan sitokin termasuk tumor necrosis factor
alpha (TNF-α) dan interleukin 1-beta (IL-1β). Selanjutnya, terjadi pembuangan cadangan glutamat dan
disfungsi transporter astrosit glutamat yang menyebabkan meningkatnya kadar sitotoksik glutamat. Periode
ini dikenal dengan immediate phase, yang dapat bertahan hingga 2 jam pasca cedera.
1) Cedera Sekunder
Cedera sekunder dimulai setelah cedera primer berlangsung. Proses patologis ini didasari oleh berbagai
mekanisme yang menyebabkan kekurangan energi akibat gangguan perfusi seluler dan iskemia. Cedera
sekunder dibagi menjadi tiga fase, yaitu:
• Fase Akut
Fase akut berlangsung dalam 48 jam pertama. Kerusakan vaskularisasi, perdarahan dan iskemia terjadi
dalam fase ini. Gangguan mikrosirkulasi tersebut mengakibatkan perubahan patologik seperti disregulasi
ionik, eksitotoksisitas, produksi radikal bebas dan respon inflamasi yang berlebihan menyebabkan
kerusakan lebih lanjut pada neuron dan glial.
• Fase Subakut/Intermediate
Periode subakut diperkirakan terjadi hingga dua minggu setelah cedera. Karakteristik dari fase ini adalah
respons fagositosis untuk membersihkan debris seluler dan proliferasi aktif dari astrosit yang membentuk
scar yang mencegah regenerasi aksonal. Meskipun begitu, proliferasi astrosit berperan penting dalam
homeostasis ionik dan pembentukan kembali sawar darah otak, sehingga membatasi imunitas sel dan
edema. Minggu kedua hingga bulan keenam setelah cedera ditandai dengan maturasi scar astrositik dan
regenerasi aksonal yang berkelanjutan.
• Fase Kronik
Fase intermediate diikuti oleh fase kronik yang ditandai dengan maturasi dan stabilisasi scar astrositik,
pembentukan syrinx dan kavitas, dan degenerasi wallerian (degenerasi akson di bagian distal cedera).
Sekuele jangka panjang meliputi nyeri kronik dan spastisitas. Target terapi pada periode ini adalah
remyelinisasi dan plastisitas sistem saraf.
d) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain:
1) X-Ray spinal
2) Menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislokasi) 3) CT Scan
4) Untuk menentukan tempat luka atau jejas, mengevaluasi gangguan struktural 5) MRI
6) Untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal, edema dan kompresi
7) Mielografi
8) Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktorpatologisnya tidak jelas atau
dicurigai adannya dilusi pada ruang subarakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah
mengalami luka penetrasi).
9) Foto rongent thorak
10) Mengetahui keadaan paru (contoh: perubahan padadiafragma, atelektasis). 11) Pemeriksaan fungsi paru
(kapasitas vital, volume tidal) : mengukur volume inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan trauma
servikal bagian bawah atau pada trauma torakal dengan gangguan pada saraf frenikus atau ototinterkostal)
12) AGD: menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi (Batticaca, 2008).
e) Faktor Resiko
Faktor risiko berbeda pada tiap populasi. Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki lebih sering mengalami
cedera spinal dengan rasio perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 2:1.
Berdasarkan usia, kejadian cedera spinal meningkat di dua populasi. Pertama, pasien laki - laki dewasa
muda, cenderung mengalami cedera spinal terkait trauma kecelakaan bermotor ataupun cedera yang
berhubungan dengan olahraga. Kedua adalah pasien geriatri. Pasien geriatri mengalami cedera spinal
diakibatkan oleh karena kasus jatuh, infeksi, tumor serta kelainan tulang.
f) Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala bervariasi tergantung di mana tulang belakang terluka dan luasnya cedera. Bagian kulit
yang diinervasi melalui bagian tulang belakang tertentu disebut dermatom , dan cedera pada bagian tulang
belakang tersebut dapat menyebabkan rasa sakit, mati rasa, atau hilangnya sensasi di area terkait.
Paresthesia , kesemutan atau sensasi terbakar di area kulit yang terkena, adalah gejala lain. Seseorang
dengan tingkat kesadaran yang rendah mungkin menunjukkan respons terhadap rangsangan yang
menyakitkan di atas titik tertentu tetapi tidak di bawahnya. Sekelompok otot yang diinervasi melalui bagian
tulang belakang tertentu disebut miotom , dan cedera pada bagian sumsum tulang belakang tersebut dapat
menyebabkan masalah dengan gerakan yang melibatkan otot tersebut. Otot bisa berkontraksi tak terkendali
( spastisitas ), menjadi lemah , atau lumpuh total . Syok tulang belakang , hilangnya aktivitas saraf termasuk
refleks di bawah tingkat cedera, terjadi segera setelah cedera dan biasanya hilang dalam satu hari.
Priapisme , ereksi pada penis mungkin merupakan tanda cedera sumsum tulang belakang akut. Bagian
tubuh tertentu yang terpengaruh oleh hilangnya fungsi ditentukan oleh tingkat cedera. Beberapa tanda,
seperti disfungsi usus dan kandung kemih dapat terjadi di semua tingkatan. Kandung kemih neurogenik
melibatkan kemampuan yang dikompromikan untuk mengosongkan kandung kemih dan merupakan gejala
umum cedera tulang belakang. Hal ini dapat menyebabkan tekanan tinggi pada kandung kemih yang dapat
merusak ginjal.
B. Spinal Stenosis
a) Definisi
Spinal Canal Stenosis Lumbal merupakan suatu kondisi penyempitan kanalis spinalis atau foramen
intervertebralis pada daerah lumbar disertai dengan penekanan akar saraf yang keluar dari foramen tersebut
dan juga kelainan medis yang umum terjadi pada populasi dengan usia lanjut, dan ditandai oleh
penyempitan kanal tulang belakang lumbar dan saluran akar saraf yang menyebabkan kompresi struktur
saraf dan pembuluh darah di kanal. (Edwi, Sartika 2020)
b) Etiologi
Gejala klinis biasanya muncul pada dekade ke-6 atau ke-7, kebanyakan pasien mengeluh nyeri punggung
(95%) selama satu tahun. Nyeri pada ekstremitas bawah (71%) berupa rasa terbakar hilang timbul,
kesemutan, berat, geli di posterior atau posterolateral tungkai atau kelemahan (33%) yang menjalar ke
ekstremitas bawah, memburuk dengan berdiri lama, beraktivitas, atau ekstensi lumbar
Beberapa kondisi yang mendasari terjadinya lumbar spinal canal stenosis yaitu:
a. Pertumbuhan berlebih pada tulang.
b. Ligamentum flavum hipertrofi
c. Prolaps diskus
Sebagian besar kasus stenosis kanal lumbal adalah karena progresif tulang dan pertumbuhan berlebih
jaringan lunak dari arthritis. Risiko terjadinya stenosis tulang belakang meningkat pada orang yang sebagai
berikut:
a. Terlahir dengan kanal spinal yang sempit
b. Jenis kelamin wanita lebih beresiko daripada pria
c. Usia 60 tahun atau lebih karena osteofit atau tonjolan tulang berkaitan dengan pertambahan usia
d. Pernah mengalami cedera tulang belakang sebelumnya. (Edwi, Sartika 2020) c) Tanda Gejala
Tanda dan gejala yang muncul pada pasien dengan stenosis spinalis bergantung dari letak terbentuknya
stenosis (penyempitan) pada kanal spinal serta seberapa parah penyakitnya.
Beberapa tanda gejala yang mungkin muncul yaitu:
a. Myelopathy
b. Mati rasa pada ekstremitas
c. Nyeri punggung bawah
d. Nyeri pada ekstremitas
e. Kesemutan pada ekstremitas
f. Kelemahan atau kram pada bagian lengan atau kaki. (Edwi, Sartika 2020) d) Patofisiologis
Tiga komponen biokimia utama diskus intervertebralis adalah air, kolagen, dan proteoglikan, sebanyak 90-
95% total volume diskus. Kolagen tersusun dalam lamina, membuat diskus mampu berekstensi dan
membuat ikatan intervertebra. Proteoglikan berperan sebagai komponen hidrodinamik dan elektrostatik dan
mengontrol turgor jaringan dengan mengatur pertukaran cairan pada matriks diskus. Komponen air
memiliki porsi sangat besar pada berat diskus, jumlahnya bervariasi tergantung beban mekanis yang
diberikan pada segment tersebut. Sejalan dengan pertambahan usia cairan tersebut berkurang, akibatnya
nukleus pulposus mengalami dehidrasi dan kemampuannya mendistribusikan tekanan berkurang, memicu
robekan pada annulus. Kolagen memberikan kemampuan peregangan pada diskus. Nucleus tersusun secara
eksklusif oleh kolagen tipe-II, yang membantu menyediakan level hidrasi yang lebih tinggi dengan
memelihara cairan, membuat nucleus mampu melawan beban tekan dan deformitas. Annulus terdiri dari
kolagen tipe-II dan kolagen tipe-I dalam jumlah yang sama, namun pada orang yang memasuki usia 50
tahun atau lebih tua dari 50 tahun kolagen tipe-I meningkat jumlahnya pada diskus Proteoglikan pada
diskus intervertebralis jumlahnya lebih kecil dibanding pada sendi kartilago, proteinnya lebih pendek, dan
jumlah rantai keratin sulfat dan kondroitin 9 sulfat yang berbeda. Kemampatan diskus berkaitan dengan
proteoglikan, pada nuleus lebih padat daripada di annulus. Sejalan dengan penuaan, jumlah proteoglikan
menurun dan sintesisnya juga menurun. Annulus tersusun atas serat kolagen yang kurang padat dan kurang
terorganisasi pada tepi perbatasannya dengan nukleus dan membentuk jaringan yang renggang dengan
nukleus pulposus. (Apsari, Putu Indah Budi, 2018).
e) Pemeriksaan Penunjang
a. X-ray
Foto X-ray polos dengan arah anteroposterior, lateral dan oblique berguna untuk menunjukkan lumbalisasi
atau sakralisasi, menentukan bentuk foramina intervertebralis dan facet joint, menunjukkan spondilosis,
spondiloarthrosis, retrolistesis, spondilolisis, dan spondilolistesis
b. CT Scan
CT Scan dinyatakan efektif untuk mengevaluasi tulang, khususnya di aspek resesus lateralis. Selain itu dia
bisa juga membedakan mana diskus dan mana ligamentum flavum dari kantongan tekal diskus lateralis
yang mengarahkan kecurigaan kita kepada lumbar stenosis, serta membedakan stenosis sekunder akibat
fraktur. Harus dilakukan potongan 3 mm dari L3 sampai sambungan L5-S1. Namun derajat stenosis sering
tidak bisa ditentukan karena tidak bisa melihat jaringan lunak secara detail.
c. MRI
MRI merupakan pemeriksaan gold standart diagnosis lumbar stenosis dan perencanaan operasi.
Kelebihannya adalah bisa mengakses jumlah segmen yang terkena, serta mengevaluasi bila ada tumor,
infeksi bila dicurigai. Selain itu bisa membedakan dengan baik kondisi central stenosis dan lateral stenosis.
Bisa mendefinisikan flavopathy, penebalan kapsuler, abnormalitas sendi facet, osteofit, herniasi diskus atau
protrusi. Ada atau tidaknya lemak epidural, dan kompresi teka dan akar saraf juga bisa dilihat dengan baik.
Potongan sagital juga menyediakan porsi spina yang panjang untuk mencari kemungkinan tumor metastase
ke spinal. Kombinasi potongan axial dan sagital bisa mengevaluasi secara komplit central canal dan neural
foramen. Namun untuk mengevaluasi resesus lateralis diperlukan pemeriksaan tambahan myelografi
lumbar dikombinasi dengan CT scan tanpa kontras. (Edwi, Sartika 2020)
C. Multiple Sclerosis
a) Pengertian
Multiple sclerosis (MS) adalah penyakit yang berpotensi melumpuhkan otak dan sumsum tulang belakang
(sistem saraf pusat).
b) Etiologi
Penyebab multiple sclerosis tidak diketahui. Ini dianggap sebagai penyakit autoimun di mana sistem
kekebalan tubuh menyerang jaringannya sendiri. Dalam kasus MS , kerusakan sistem kekebalan ini
menghancurkan zat lemak yang melapisi dan melindungi serabut saraf di otak dan sumsum tulang belakang
(mielin).
Mielin dapat dibandingkan dengan lapisan isolasi pada kabel listrik. Ketika mielin pelindung rusak dan
serabut saraf terbuka, pesan yang berjalan di sepanjang serabut saraf tersebut mungkin melambat atau
diblokir.
c) Patofisiologi
Pada Penyakit MS , sistem kekebalan menyerang selubung pelindung (mielin) yang menutupi serabut saraf
dan menyebabkan masalah komunikasi antara otak dan seluruh tubuh. Akhirnya, penyakit ini dapat
menyebabkan kerusakan permanen atau kerusakan saraf.
d) Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala multiple sclerosis mungkin sangat berbeda dari orang ke orang dan selama penyakit
tergantung pada lokasi serabut saraf yang terkena. Gejala sering mempengaruhi gerakan, seperti:
• Mati rasa atau kelemahan pada satu atau lebih anggota tubuh yang biasanya terjadi di satu sisi tubuh Anda
pada satu waktu, atau kaki dan tubuh Anda
• Sensasi sengatan listrik yang terjadi dengan gerakan leher tertentu, terutama menekuk leher ke depan
(tanda Lhermitte)
• Gemetar, kurang koordinasi atau gaya berjalan goyah
Masalah penglihatan juga sering terjadi, termasuk:
• Kehilangan penglihatan sebagian atau seluruhnya, biasanya pada satu mata pada satu waktu, seringkali
disertai nyeri saat gerakan mata
• Penglihatan ganda berkepanjangan
• Penglihatan kabur
Gejala multiple sclerosis mungkin juga termasuk:
• Ucapan cadel
• Kelelahan
• Pusing
• Kesemutan atau nyeri di bagian tubuh Anda
• Masalah dengan fungsi seksual, usus dan kandung kemih
e) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang MRI merupakan pemeriksaan radiologi pilihan untuk membantu menentukan lesi
multiple sclerosis. MRI dengan dan tanpa kontras dapat membedakan lesi aktif dan lesi lama multiple
sclerosis. Kriteria diagnosis multiple sclerosis dikembangkan untuk mendapatkan batasan yang jelas
mengenai deskripsi lesi MRI disseminated in space and time dan melakukan eksklusi penyakit lain yang
memiliki gejala mirip multiple sclerosis.
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah pungsi lumbal untuk memeriksa cairan
serebrospinal.
f) Faktor Resiko
• Usia. MS dapat terjadi pada semua usia, tetapi onsetnya biasanya terjadi sekitar usia 20 dan 40 tahun.
Namun, orang yang lebih muda dan lebih tua bisa terpengaruh.
• Seks. Wanita dua sampai tiga kali lebih mungkin mengalami MS kambuh dibandingkan pria .
• Sejarah keluarga. Jika salah satu orang tua atau saudara Anda menderita MS , Anda berisiko lebih tinggi
terkena penyakit ini.
• Infeksi tertentu. Berbagai virus telah dikaitkan dengan MS , termasuk Epstein-Barr, virus yang
menyebabkan mononukleosis menular.
• Ras. Orang kulit putih, terutama keturunan Eropa Utara, berada pada risiko tertinggi mengembangkan
MS . Orang keturunan Asia, Afrika atau Amerika Asli memiliki risiko paling rendah.
• Iklim. MS jauh lebih umum di negara-negara dengan iklim sedang, termasuk Kanada, Amerika Serikat
bagian utara, Selandia Baru, Australia tenggara dan Eropa.
• Vitamin D. Memiliki tingkat vitamin D yang rendah dan paparan sinar matahari yang rendah dikaitkan
dengan risiko MS yanglebih besar .
• Penyakit autoimun tertentu. Anda memiliki risiko lebih tinggi terkena MS jika Anda memiliki gangguan
autoimun lain seperti penyakit tiroid, anemia pernisiosa, psoriasis, diabetes tipe 1 atau penyakit radang
usus.
• Merokok. Perokok yang mengalami peristiwa awal gejala yang mungkin menandakan MS lebih mungkin
mengembangkan peristiwa kedua yang menegaskan MS yang kambuh dibandingkan bukan perokok .
g) Komplikasi
Orang dengan multiple sclerosis juga dapat berkembang:
• Kekakuan otot atau kejang
• Kelumpuhan, biasanya di kaki
• Masalah dengan kandung kemih, usus atau fungsi seksual
• Perubahan mental, seperti kelupaan atau perubahan suasana hati • Depresi
• Epilepsi
2.2 Penyakit Yang Disebabkan Infeksi
A. Infeksi Saluran Kemih (ISK)
a) Pengertian
Infeksi saluran kemih adalah terjadinya inflamasi atau infeksi di saluran kemih yang disebabkan oleh
mikroorganisme patogenik dalam traktus urinarius, dengan atau tanpa disertai tanda dan gejala (Smeltzer
dan Bare, 2002).
b) Etiologi
Menurut Smeltzer dan Bare, 2002, penyebab Infeksi saluran kemih adalah sebagai berikut:
1. Refluks uretrovesikal adalah aliran balik urin dari uretra ke dalam kandung kemih. Batuk , bersin atau
mengejan akan menimbulkan tekanan pada kandung kemih yang akan mendorong urin dari kandung kemih
ke uretra ketika, tekanan kembali normal, urin akan mengalir kembali ke dalam kandung kemih, dengan
membawa bakteri dari anterior uretra.
2. Refluks ureterovesikal adalah aliran balik urin dari kandung kemih ke dalam kedua ureter. Dalam
keadaan normal, sambungan ureterovesikal mencegah aliran balik urin ke dalam ureter. Ureter menembus
ke dalam dinding kandung kemih sehingga sebagian kecil ureter ditekan oleh otot-otot kandung kemih
selama berkemih normal. Ketika katup ureterovesikal rusak akibat kelainan kongenital atau abnormalitas,
ureteral bakteri dapat masuk dan akhirnya menghancurkan ginjal.
3. Kontaminasi fekal. Meatus ureteral merupakan rute masuknya bakteri ke dalam saluran kemih.
4. Hubungan seksual. Berperan dalam masuknya organisme dari perineum ke dalam kandung kemih wanita.
5. Pemasangan alat. Penggunaan kateter atau pemeriksaan sitoskopik juga merupakan faktor utama yang
menyebabkan infeksi saluran kemih. 6. Statis urin. Statis urin dalam kandung kemih dapat menyebabkan
infeksi yang menyebar ke seluruh sistem perkemihan.
7. Obstruksi. Setiap obstruksi terhadap aliran urin meningkatkan kerentanan saluran kemih terhadap infeksi.
Penyebab umum obstruksi saluran kemih adalah anomaly kongenital , striktur uretrs, kontraktur leher
kandung kemih, tumor kandung kemih, batu ginjal, kompresi, ureter, dan abnormalitas neurologis.
c) Tanda dan gejala, Menurut Smeltzer dan Bare, 2002 :
1. ISK di bagian bawah sistitis :
• Nyeri dan panas ketika berkemih
• Kadang disertai spasme pada area kandung kemih dan suprapubis
• Hematuria dan nyeri punggung bisa terjadi
2. ISK di bagian atas :
• Pielonefritis mencakup demam, menggigil , nyeri panggul dan badan nyeri ketika berkemih
• Pemeriksaan fisik menunjukan adanya nyeri di area sudut kostovetrtebrata
d) Penatalaksanaan
1. Farmakologi : obat-obatan diberikan oleh dokter untuk mengatasi infeksi, umumnya dengan antibiotic
2. Nonfarmakologi : penatalaksanaan secara nonfarmakologi di fokuskan untuk mengurangi terjadinya
kekambuhan terjadinya ISK. Untuk mengurangi terjadinya kekambuhan dianjurkan untuk tidak menahan
kencing, meningkatkan hygiene terutama pada saluran kemih, dan meningkatkan asupan cairan.
e) Komplikasi
Menurut Smeltzer dan Bare, 2002 , komplikasi pada ISK antara lain, :
1. Gagal ginjal akut
2. Gagal ginjal kronis
3. Sepsis
B. Diare
a) Pengertian
Diare adalah penyakit yang membuat penderitanya menjadi sering buang air besar, dengan kondisi tinja
yang encer. Pada umumnya, diare terjadi akibat makanan dan minuman yang terpapar virus, bakteri, atau
parasit.
Diare merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Berdasarkan data informasi profil kesehatan
Indonesia tahun 2017 dari Kemenkes RI, jumlah kasus diare seluruh Indonesia adalah sekitar 7 juta, dan
paling banyak terjadi di provinsi Jawa Barat dengan 1,2 juta kasus. Diare juga merupakan salah satu
masalah kesehatan yang paling umum terjadi pada bayi dan anak-anak.Biasanya diare hanya berlangsung
beberapa hari (akut), namun pada sebagian kasus dapat memanjang hingga berminggu-minggu (kronis).
Pada umumnya, diare tidak berbahaya jika tidak terjadi dehidrasi. Namun, jika disertai dehidrasi, penyakit
ini bisa menjadi fatal, dan penderitanya perlu segera mendapat pertolongan medis.
b) Gejala
Gejala diare bervariasi, umumnya meliputi perut kembung atau kram, tinja encer, rasa mulas, atau
terkadang mual dan muntah. Penderita dapat mengalami satu atau beberapa gejala sekaligus, tergantung dari
penyebab diare.
Gejala lainnya yang mungkin juga dapat terjadi adalah:
• Penurunan berat badan.
• Tinja berlendir, berdarah, atau mengandung makanan yang belum tercerna. • Demam.
• Sakit kepala.
Sedangkan tanda-tanda yang menunjukkan penderita diare mengalami dehidrasi adalah:
• Pusing.
• Rasa haus berlebihan.
• Urine menjadi sedikit atau berwarna gelap.
• Mulut dan kulit kering.
• Lemas.
Pada bayi atau anak-anak, dehidrasi juga bisa dikenali dari gejala:
• Mata, perut, dan pipi yang terlihat cekung.
• Air mata berkurang saat menangis.
• Tidak ada urine pada popok selama 3 jam atau lebih.
• Rewel.
Segera cari pertolongan medis jika Anda memiliki bayi atau anak-anak yang mengalami diare selama lebih
dari 24 jam, terutama jika disertai gejala dehidrasi, demam melebihi 39 derajat Celsius, tinja mengandung
nanah, atau tinja berwarna hitam.
c) Penyabab
Beberapa kondisi dapat menyebabkan seseorang mengalami diare, umumnya adalah infeksi virus pada usus
besar. Jenis-jenis virus tersebut meliputi rotavirus, norwalk, cytomegalovirus, dan virus hepatitis.
Rotavirusmerupakan virus yang paling sering menyebabkan diare pada anak-anak.
Selain infeksi virus, penyebab diare lainnya adalah:
• Infeksi bakteri, seperti Campylobacter, Clostridum difficile, Escherichia coli, Salmonella, dan Shigella.
• Infeksi parasit, contohnya Giardiasis ataustrongyloidiasis. • Alergi makanan.
• Makanan yang mengandung pemanis buatan.
• Intoleransi fruktosa (pemanis alami pada madu dan buah-buahan) dan intoleransi laktosa (zat gula yang
terdapat pada susu dan produk sejenisnya).
• Pasca operasi batu empedu.
• Efek samping obat-obatan, misalnya antibiotik yang dapat mengganggu keseimbangan alami bakteri
dalam usus sehingga menimbulkan diare.
Pada kasus diare yang berlangsung lama (kronis), faktor-faktor penyebabnya meliputi:
• Radang usus, seperti pada penyakit Crohn, kolitis ulseratif, atau kolitis mikroskopik.
• Irritable bowel syndrome.
• Penyakit celiac atau penyakit yang menyebabkan tubuh menolak protein gluten.
d) Diagnosis diare
Untuk mengetahui apakah seorang pasien terkena diare dan apa yang menyebabkannya, dokter akan
menanyakan tentang gejala yang dirasakan, kebiasaan sehari-hari pasien, dan riwayat penyakitnya. Jika
diperlukan, dokter mungkin akan melakukan tes lanjutan. Di antaranya adalah pemeriksaan darah
danpemeriksaan feses untuk melihat adanya bakteri atau parasit yang menyebabkan diare.
Apabila pasien mengeluh kerap mengalami diare setelah mengonsumsi makanan tertentu, dokter dapat
mencurigai bahwa pasien mengalami intoleransi atau alergi makanan.
Jika penyebab diare masih terus berlangsung dan belum diketahui penyebabnya, pemeriksaan kolonoskopi
dapat dilakukan. Kolonoskopi dilakukan untuk mengetahui kondisi usus dan mengidentifikasi adanya
kelainan pada usus besar. Prosedur pemeriksaan ini menggunakan alat seperti selang kecil yang dilengkapi
dengan lampu dan kamera pada ujungnya.
e) Pengobatan diare
Bagian besar kasus diare dapat pulih dalam beberapa hari tanpa memerlukan pengobatan. Penderita diare
dapat menerapkan beberapa hal berikut ini di rumah untuk meredakan gejalanya:
• Meningkatkan konsumsi cairan.
Mengganti kehilangan cairan dan elektrolit adalah salah satu kunci penting dalam penanganan diare. Hal ini
juga diperlukan untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Caranya adalah dengan mengonsumsi cairan
sebanyak-banyaknya, bisa berupa air putih, jus, atau kaldu. Pada anak-anak, pemberian oralit sangat
disarankan. Pada bayi yang masih menyusui, asupan ASI harus selalu terjaga.
• Mengonsumsi makanan yang tepat
Saat mengalami diare, penderita dianjurkan untuk mengonsumsi makanan lunak selama beberapa hari.
Selain itu, hindari juga makanan yang sarat lemak, serat, atau bumbu. Jika kondisi usus sudah membaik,
ganti ke makanan semi padat dengan kadar serat yang ditingkatkan secara bertahap.
Jika upaya penangan diare secara mandiri belum berhasil, maka dokter dapat memberiobat diare untuk
mengatasinya. Dokter dapat meresepkan antibiotik jika diare disebabkan oleh infeksi bakteri.
Di samping obat antibiotik, dokter juga dapat memberikan obat yang dapat memperlambat gerakan usus,
sehingga mengurangi diare yang parah. Contoh obat tersebut adalah loperamide dan bismuth subsalicylate.
Diskusikan kembali dengan dokter mengenai manfaat dan risiko mengonsumsi obat anti diare.
Untuk obat pereda rasa sakit, meski tidak dapat mengobati diare, dokter akan meresepkannya jika diare
disertai demam dan nyeri. Contohnya adalah paracetamol atauibuprofen.
Untuk kasus diare yang berlangsung lama, misalnya akibat radang usus, dokter perlu menangani penyakit
tersebut terlebih dahulu. Setelah kondisi penyebabnya tertangani, maka diare akan otomatis mereda.
f) Pencegahan
Upaya pencegahan diare tergantung kepada kedisiplinan seseorang dalam menjaga kebersihan makanan dan
minuman. Dengan menerapkan kebiasaan bersih, seseorang dapat terhindar dari virus atau mikroorganisme
lain yang dapat menyebabkan diare. Dianjurkan untuk:
• Rajin mencuci tangan, terutama sebelum dan setelah makan, setelah menyentuh daging yang belum
dimasak, sehabis dari toilet, atau setelah bersin dan batuk. Bersihkan tangan dengan sabun, dan bilas dengan
air bersih.
• Mengonsumsi makanan yang sudah dimasak. Hindari memakan buah-buahan atau sayuran mentah yang
tidak dipotong sendiri.
• Minum air matang.
C. Tetanus
a) Definisi Tetanus
Tetanus didefinisikan sebagai keadaan hipertonia akut atau kontraksi otot yang mengakibatkan nyeri
spasme otot menyeluruh tanpa penyebab lain, serta terdapat riwayat luka ataupun kecelakaan sebelumnya.
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium
tetani ditandai dengan kekakuan otot dan spasme yang periodik dan berat.
b) Etiologi Tetanus
Penyabab Tetanus adalah bakteri Clostridium tetani yaitu bakteri Gram positif anaerob yang ditemukan di
tanah dan kotoran binatang. Jika bakteri ini menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda lain,
bakteri ini akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama
tetanospasmin.
c) Patogenesis
Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang terkontaminasi dengan debu,
tanah, tinja binatang, pupuk. Cara masuknya spora ini melalui luka yang terkontaminasi antara lain luka
tusuk oleh besi, luka bakar, luka lecet, otitis media, infeksi gigi, ulkus kulit yang kronis, abortus, tali pusat,
kadang– kadang luka tersebut hampir tak terlihat. Bila keadaan menguntungkan di mana tempat luka
tersebut menjadi hipaerob sampai anaerob disertai terdapatnya jaringan nekrotis, leukosit yang mati, benda–
benda asing maka spora berubah menjadi vegetatif yang kemudian berkembang.
d) Gambaran Klinis Tetanus
Masa inkubasi tetanus umumnya antara 7-10 hari, namun dapat lebih singkat atau dapat lebih lama. Makin
pendek masa inkubasi makin jelek prognosisnya.Terdapat hubungan antara jarak tempat invasi Clostridium
tetani dengan susunan saraf pusat dan interval antara luka dan permulaan penyakit, dimana makin jauh
tempat invasi maka inkubasi makin panjang.
Secara klinis tetanus ada 4 macam, yaitu :
1. Tetanus umum
Bentuk ini merupakan gambaran tetanus yang paling sering dijumpai. Terjadinya bentuk ini berhubungan
dengan jalan masuk kuman. Biasanya dimulai dengan trismus dan risus sardonikus, lalu berproses ke
spasme umum dan opistotonus.23 Dalam 24 – 48 jam dari kekakuan otot menjadi menyeluruh sampai ke
ekstremitas. Kekakuan otot rahang terutama masseter menyebabkan mulut sukar dibuka, sehingga penyakit
ini juga disebut lock jaw. Selain kekakuan otot masseter, pada muka juga terjadi kekakuan otot muka
sehingga muka menyerupai muka meringis kesakitan yang disebut risus sardonikus (alis tertarik ke atas,
sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi), akibat kekakuan otot–otot leher
bagian belakang menyebabkan nyeri waktu melakukan fleksi leher dan tubuh sehingga memberikan gejala
kuduk kaku sampai opisthotonus.
2. Tetanus local
Bentuk ini sebenarnya banyak akan tetapi kurang dipertimbangkan karena gambaran klinis tidak khas.
Bentuk tetanus ini berupa nyeri, kekakuan otot– otot pada bagian proksimal dari tempat luka. Tetanus lokal
adalah bentuk ringan dengan angka kematian 1%, kadang–kadang bentuk ini dapat berkembang menjadi
tetanus umum.
3. Cephalic tetanus
Merupakan salah satu varian tetanus lokal. Terjadinya bentuk ini bila luka mengenai daerah mata, kulit
kepala, muka, telinga, otitis media kronis dan jarang akibat tonsilektomi. Gejala berupa disfungsi saraf
loanial antara lain n. III, IV, VII, IX, X, XI, dapat berupa gangguan sendiri–sendiri maupun kombinasi dan
menetap dalam beberapa hari bahkan berbulan–bulan. Cephalic Tetanus dapat berkembang menjadi tetanus
umum. Pada umumnya prognosis bentuk cephalic tetanus jelek.
4. Tetanus neonatal
Tetanus neonatal didefinisikan sebagai suatu penyakit yang terjadi pada anak yang memiliki kemampuan
normal untuk menyusu dan menangis pada 2 hari pertama kehidupannya, tetapi kehilangan kemampuan ini
antara hari ke-3 sampai hari ke-28 serta menjadi kaku dan spasme. Tetanus neonatal, biasa terjadi karena
proses melahirkan yang tidak bersih. Gejala klinisnya biasa terjadi pada minggu kedua kehidupan, ditandai
dengan kelemahan dan ketidakmampuan menyusu, kadang disertai opistotonus.
e) Komplikasi Tetanus
Komplikasi yang berbahaya dari tetanus adalah hambatan pada jalan napas sehingga pada tetanus yang
berat, terkadang memerlukan bantuan ventilator. Sekitar kurang lebih 78% kematian tetanus disebabkan
karena komplikasinya. Kejang yang berlangsung terus menerus dapat mengakibatkan fraktur dari tulang
spinal dan tulang panjang, serta rabdomiolisis yang sering diikuti oleh gagal ginjal akut.
Salah satu komplikasi yang sulit ditangani adalah gangguan otonom karena pelepasan katekolamin yang
tidak terkontrol. Gangguan otonom ini meliputi hipertensi dan takikardi yang kadang berubah menjadi
hipotensi dan bradikardi.2 Walaupun demikian, pemberian magnesium sulfat saat gejala tersebut sangat
bisa diandalkan. Magnesium sulfat dapat mengontrol gejala spasme otot dan disfungsi otonom.
f) Penatalaksanaan Tetanus
Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni:
(1) membuang sumber tetanospasmin;
(2) menetralisasi toksin yang tidak terikat;
(3) memberikan perawatan penunjang (suportif) sampai tetanospasmin yang berikatan dengan jaringan telah
habis dimetabolisme.
Tindakan awalnya adalah memberikan imunisasi pasif dan membersihkan luka, selanjutnya meminimalisir
efek toksin yang sudah berikatan pada sistem saraf dan memberikan terapi suportif. Khususnya di ruang
terapi intensif, penatalaksanaan tetanus berupa terapi suportif, dengan menitikberatkan pada sistem
respirasi, instabilitas otonom, dan spasme otot. Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif
sampai efek dari toksin yang telah terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya ditangani di
ICU, dimana mereka bisa dimonitoring dan diobservasi secara kontinue
2.3 Penyakit Darah Genetik
A. Thalasemia
a) Pengertian Thalasemia
Thalasemia berasal dari bahasa Yunani yaitu thalasso yang berarti laut. Pertama kali ditemukan oleh
seorang dokter Thomas B. Cooley tahun 1925 di daerah Laut Tengah, dijumpai pada anak-anak yang
menderita anemia dengan pembesaran limfa setelah berusia satu tahun. Anemia dinamakan splenic atau
eritroblastosis atau anemia mediteranean atau anemia Cooley sesuai dengan nama penemunya (Ganie,
2005).
Thalasemia adalah suatu penyakit keturunan yang diakibatkan oleh kegagalan pembentukan salah satu dari
empat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin, sehingga hemoglobin tidak terbentuk sempurna.
Tubuh tidak dapat membentuk sel darah merah yang normal, sehingga sel darah merah mudah rusak atau
berumur pendek kurang dari 120 hari dan terjadilah anemia (Herdata.N.H. 2008 dan Tamam.M. 2009).
Hemoglobin adalah suatu zat di dalam sel darah merah yang berfungsi mengangkut zat asam dari paru-paru
ke seluruh tubuh, juga memberi warna merah pada eritrosit. Hemoglobin manusia terdiri dari persenyawaan
hem dan globin. Hem terdiri dari zat besi (Fe) dan globin adalah suatu protein yang terdiri dari rantai
polipeptida. Hemoglobin pada manusia normal terdiri dari 2 rantai alfa (α) dan 2 rantai beta (β).
b) Patofisiologis
Pada talasemia terjadi hampir 200 mutasi genetik yang berhubungan dengan kelainan yang ditimbulkan.
Semua mutasi yang terjadi berakibat pada tidak terjadinya sintesis rantai β-globin yang disebut sebagai
talasemia-βo atau pengurangan sintesis rantai β-globin yang disebut sebagai talasemia-β+ (Olivieri, 1999).
Talasemia secara klinis bersifat heterogen, hal ini disebabkan karena terjadi berbagai kelainan genetik
akibat mutasi, sehingga menyebabkan gangguan sintesis dari rantai globin. Pada talasemia terjadi hemolisis
dan eritropoiesis yang tidak efektif. Hal ini terjadi secara bersama-sama sehingga mengakibatkan anemia
pada talasemia (Rani dkk., 2013). Anemia yang terjadi akibat hemolisis
perifer disebabkan oleh rantai globin alfa yang tidak larut, sehingga memicu terjadinya kerusakan membran
pada eritrosit. Anemia akan merangsang produksi eritropietin yang cukup intensif, akan tetapi akibat
sumsum tulang yang tidak efektif akan menyebabkan terjadinya deformitas pada tulang. Anemia yang berat
serta berkepanjangan dan meningkatnya eritropoiesis akan mengakibatkan pembesaran pada hepar dan lien
serta eritropoiesis ekstrameduler (Stanley dan Schrier, 2002).
Pada pasien talasemia, sumsum tulang mengandung 5 sampai 6 kali jumlah prekursor eritroid lebih banyak
dibandingkan pada orang normal yang sehat, dengan jumlah sel apoptosis 15 kali lebih banyak. Apoptosis
yang terjadi lebih cepat merupakan penyebab utama terjadinya eritropoiesis yang tidak efektif, hal ini
menyebabkan terdapat rantai alfa yang berlebih pada prekursor eritoid (Mathias dkk., 2000). Meskipun
mekanisme apoptosis dari sel tersebut belum diketahui dengan jelas,
akan tetapi diduga jalur tersebut dimediasi oleh interaksi dari Fas-Fas ligand. Apoptosis yang terjadi secara
cepat dihubungkan dengan peningkatan paparan ekstraseluler dari phosphatidylserine yang merupakan
signal penting untuk aktivasi dari makrofag, dimana hal tersebut meningkat pada pasien talasemia (Rund
dan Rachmilewitz, 2005).
c) Klasifikasi Thalasemia
Thalasemia diklasifikasikan berdasarkan molekuler menjadi dua yaitu thalasemia alfa dan thalasemia beta.
1. Thalasemia Alfa
Thalasemia ini disebabkan oleh mutasi salah satu atau seluruh globin rantai alfa yang ada. Thalasemia alfa
terdiri dari :
a. Silent Carrier State
Gangguan pada 1 rantai globin alfa. Keadaan ini tidak timbul gejala sama sekali atau sedikit kelainan
berupa sel darah merah yang tampak lebih pucat.
b. Alfa Thalasemia Trait
Gangguan pada 2 rantai globin alpha. Penderita mengalami anemia ringan dengan sel darah merah
hipokrom dan mikrositer, dapat menjadi carrier.
c. Hb H Disease
Gangguan pada 3 rantai globin alfa. Penderita dapat bervariasi mulai tidak ada gejala sama sekali, hingga
anemia yang berat yang disertai dengan perbesaran limpa.
d. Alfa Thalassemia Mayor
Gangguan pada 4 rantai globin alpha. Thalasemia tipe ini merupakan kondisi yang paling berbahaya pada
thalassemia tipe alfa. Kondisi ini tidak terdapat rantai globin yang dibentuk sehingga tidak ada HbA atau
HbF yang diproduksi. Janin yang menderita alpha thalassemia mayor pada awal kehamilan akan mengalami
anemia, membengkak karena kelebihan cairan, perbesaran hati dan limpa. Janin ini biasanya mengalami
keguguran atau meninggal tidak lama setelah dilahirkan.
2. Thalasemia Beta
Thalasemia beta terjadi jika terdapat mutasi pada satu atau dua rantai globin beta yang ada. Thalasemia beta
terdiri dari :
a. Beta Thalasemia Trait.
Thalasemia jenis ini memiliki satu gen normal dan satu gen yang bermutasi. Penderita mengalami anemia
ringan yang ditandai dengan sel darah merah yang mengecil (mikrositer).
b. Thalasemia Intermedia.
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi tetapi masih bisa produksi sedikit rantai beta globin. Penderita
mengalami anemia yang derajatnya tergantung dari derajat mutasi gen yang terjadi.
c. Thalasemia Mayor.
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi sehingga tidak dapat memproduksi rantai beta globin. Gejala
muncul pada bayi ketika berumur 3 bulan berupa anemia yang berat. Penderita thalasemia mayor tidak
dapat membentuk hemoglobin yang cukup sehingga hampir tidak ada oksigen yang dapat disalurkan ke
seluruh tubuh, yang lama kelamaan akan menyebabkan kekurangan O2, gagal jantung kongestif, maupun
kematian. Penderita thalasemia mayor memerlukan transfusi darah yang rutin dan perawatan medis demi
kelangsungan hidupnya (Dewi.S 2009 dan Yuki 2008).
d) Tanda Gejala
Penderita thalasemia memiliki gejala yang bervariasi tergantung jenis rantai asam amino yang hilang dan
jumlah kehilangannya. Penderita sebagian besar mengalami anemia yang ringan khususnya anemia
hemolitik (Tamam.M. 2009).
Keadaan yang berat pada beta-thalasemia mayor akan mengalami anemia karena kegagalan pembentukan
sel darah, penderita tampak pucat karena kekurangan hemoglobin. Perut terlihat buncit karena hepatomegali
dan splenomegali sebagai akibat terjadinya penumpukan Fe, kulit kehitaman akibat dari meningkatnya
produksi Fe, juga terjadi ikterus karena produksi bilirubin meningkat. Gagal jantung disebabkan
penumpukan Fe di otot jantung, deformitas tulang muka, retrakdasi pertumbuhan, penuaan dini
(Herdata.N.H. 2008 dan Tamam. M. 2009).
e) Pemeriksaan dan Diagnosis
Penderita pertama datang dengan keluhan anemia/pucat, tidak nafsu makan dan perut membesar. Keluhan
umumnya muncul pada usia 6 bulan, kemudian dilakukan pemeriksaan fisis yang meliputi bentuk muka
mongoloid (facies Cooley), ikterus, gangguan pertumbuhan, splenomegali dan hepatomegali.
Pemeriksaan penunjang laboratorium yang dilakukan meliputi : Hb bisa sampai 2-3 g%, gambaran
morfologi eritrosit ditemukan mikrositik hipokromik, sel target, anisositosis berat dengan
makroovalositosis, mikrosferosit, polikromasi, basophilic stippling, benda Howell-Jolly, poikilositosis dan
sel target.
Pemeriksaan khusus juga diperlukan untuk menegakkan diagnosis meliputi : Hb F meningkat 20%-90%,
elektroforesis Hb (Dewi.S. 2009 dan Herdata.H.N. 2009).
f) Pengobatan Thalasemia
Pengobatan Thalasemia yaitu dengan terapi. Penderita thalasemia sampai saat ini belum ada obat yang
dapat menyembuhkan secara total. Pengobatan yang dilakukan meliputi pengobatan terhadap penyakit dan
komplikasinya. Pengobatan terhadap penyakit dengan cara tranfusi darah, splenektomi, induksi sintesa
rantai globin, transplantasi sumsum tulang dan terapi gen. Pengobatan komplikasi meliputi mencegah
kelebihan dan penimbunan besi, pemberian kalsium, asam folat, imunisasi. Pemberian vitamin C 100-250
mg/hari untuk meningkatkan ekskresi besi dan hanya diberikan pada saat kelasi besi saja. Vitamin E 200-
400 IU/hari untuk memperpanjang umur sel darah merah. Transfusi harus dilakukan seumur hidup secara
rutin setiap bulannya (Herdata.H.N.2008 dan Tamam.M. 2009).
B. Hemofilia
a) Definisi
Hemofilia merupakan penyakit kelainan pendarahan akibat kekurangan salah satu faktor pembekuan darah
yang dimana faktor pembekuan darah ini merupakan protein yang sangat diperlukan dalam proses
pembekuan darah sehingga kekurangan faktor tersebut akan dapat mengakibatkan pendarahan tidak
terkendali baik secara spontan maupun setelah adanya benturan ringan. Seseorang yang menderita hemofilia
bukan berarti akan mengalami pendarahan lebih banyak atau lebih cepat daripada orang lain, tetapi akan
memiliki periode pendarahan yang yang lebih lama dari pendarahan berulang yang bisa menyebabkan efek
serius terutama pada bagian persendian. Penyakit hemofilia ini sendiri ternyata terbagi menjadi beberapa
jenis yaitu hemofilia A, hemofilia B, dan hemofilia C.
b) Etiologi
Penyakit hemofilia A dan hemofilia b merupakan penyakit pendarahan yang disebabkan oleh mutasi dari
gen faktor VIII dan faktor IX. Sedangkan pada hemofilia c biasanya disebabkan karena diturunkan dengan
autosom resesif dan merupakan defect atau kekurangan pada faktor IX, dan biasa didapatkan oleh sebuah
proses autoimun.
c) Faktor risiko
Hemofilia merupakan jenis penyakit yang sebagian besar disebabkan oleh adanya kelainan genetik yang
diwariskan dari keluarganya. Oleh sebab itu, apabila seseorang memiliki anggota keluarga dengan
gangguan penggumpalan darah genetik atau hemofilia maka secara tidak langsung dirinya akan berpeluang
untuk mengembangkan penyakit hemofilia ini.
d) Tanda gejala
Tanda dan gejala dari penyakit hemofilia adalah pendarahan secara berlebihan. Walaupun tidak dapat
dibedakan secara klinis kasus yang lebih berat dapat ditemukan pada pasien dengan hemofilia A
dibandingkan dengan hemofilia B. Pada penyakit hemofilia dapat dibagi menjadi penyakit ringan sedang,
atau parah hal ini berdasarkan gejala dan jumlah faktor VIII atau IX yang berfungsi yang ditemukan pada
darah.
Sedangkan tanda gejala pada penyakit hemofilia C pada umumnya tidak separah kasus pada hemofilia A
maupun hemofilia B. Pendarahan yang terjadi setelah operasi adalah komplikasi yang paling sering terjadi
pada kasus hemofilia C ini
e) Patogenesis
Pada hemofilia A, sebuah penyakit heterogen di mana faktor VIII yang berfungsi pada darah terdapat
dengan jumlah yang menurun, hal ini dapat disebabkan karena memang jumlah faktor VIII yang diproduksi
memang sedang menurun, terdapatnya protein yang abnormal dan tidak fungsional ataupun keduanya.
Pohon faktor VIIIa dan faktor IXa keduanya berperan dalam mengaktivasi faktor X pada jalur campuran di
proses koagulasi maka dari itu hemofilia A dan hemofilia B memiliki gambaran klinis yang sangat mirip.
Trombin yang terbentuk pada pasien hemofilia sangat berkurang bekuan darah yang terbentuk menjadi
sangat lemah mudah tergerak dan sangat rentan terhadap fibrinolisis.Dikarenakan hemofilia sangatlah
jarang informasi mengenai hemofilia C ini masih cukup sedikit ditemukan bahwa walaupun terdapat
defisiensi faktor IX* yang besar, kecenderungan untuk berdarah dapat masih lah cukup sedikit, kekurangan
jumlah faktor tidaklah berbanding lurus dengan derajat keparahan penyakit hemofilia C ini.
f) Patofisiologi
Proses terjadinya homeostasis pada hemofilia bergantung pada faktor koagulasi trombosit dan pembuluh
darah. Mekanismenya terdiri dari respon pembuluh darah adhesi trombosit, agregasi trombosit
pembentukan bekuan darah stabilisasi bekuan darah pembatasan bekuan darah pada tempat cedera oleh
regulasi antikoagulan serta pemulihan aliran darah melalui proses fibrinolisis dan penyembuhan pembuluh
darah.
Pada penderita hemofilia dimana terjadi defisit faktor VIII atau faktor IX maka pembentukan bekuan darah
menjadi terlambat dan tidak stabil. Oleh karena itu, penderita hemofilia tidak berdarah lebih cepat, akan
tetapi perdarahan sulit berhenti. Pada perdarahan dalam ruang tertutup seperti dalam sendi, proses
perdarahan terhenti akibat efek tamponade. Namun pada luka yang terbuka dimana efek tamponade tidak
ada, perdarahan masif dapat terjadi. Bekuan darah yang terbentuk tidak kuat dan perdarahan ulang dapat
terjadi akibat proses fibrinolisis alami atau trauma ringan.
Defisit faktor VIII dan faktor IX ini disebabkan oleh mutasi pada gen F8 dan F9. Gen F8 terletak di bagian
lengan panjang kromosom X di regio Xq28, sedangkan gen F9 terletak di regio Xq27.2,14 Terdapat lebih
dari 2500 jenis mutasi yang dapat terjadi, namun inversi 22 dari gen F8 merupakan mutasi yang paling
banyak ditemukan yaitu sekitar 50% penderita hemofilia A yang berat. Mutasi gen F8 dan F9 ini
diturunkan secara x-linked resesif sehingga anak laki-laki atau kaum pria dari pihak ibu yang menderita
kelainan ini. Pada sepertiga kasus mutasi spontan dapat terjadi sehingga tidak dijumpai adanya riwayat
keluarga penderita hemofilia pada kasus demikian
g) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang pada pasien hemofilia yakni berupa
• Pemeriksaan darah tepi lengkap (Hb, leukosit, Ht, trombosit) serta apus darah tepi (MCV, MCH, MCHC)
• Pemeriksaan BT, CT, PT, APTT, PTT substitution test
• Pemeriksaan kadar faktor (VIII, IX, bin Willebrand)
• Pemeriksaan urin rutin
• Pemeriksaan tes benzidine
• Pemeriksaan foto rontgen sendi
C. Anemia Sel Sabit
a) Pengertian dan Etiologi Anemia Sel Sabit
Penyakit sel sabit (Sickle cell anemia) adalah suatu penyakit keturunan yang ditandai dengan sel darah
merah berbentuk sabit, kaku, dan anemia hemolitik kronik. Penyakit sel sabit, sel darah merah memiliki
hemoglobin (protein pengangkut oksigen) yang bentuknya abnormal, sehingga mengurangi jumlah oksigen
di dalam sel dan menyebabkan bentuk sel menjadi seperti sabit.
Anemia sel sabit (Sickle cell Anemia) merupakan penyakit kekurangan sel darah merah normal yang
disebabkan oleh kelainan genetik pada tubuh manusia dimana sel-sel darah merah berbentuk sabit. Sulit
bagi sel darah merah berbentuk sabit untuk melewati pembuluh darah, terutama di bagian pembuluh darah
yang menyempit atau pada persimpangan pembuluh darah.
Sickle cell anemia (SCA) adalah penyakit genetic yang resesif, artinya seseorang harus mewarisi dua gen
pembawa penyakit ini dari kedua orangtuanya. Hal inilah yang menyebabkan penyakit SCA jarang terjadi.
Seseorang yang hanya mewarisi satu gen tidak akan menunjukkan gejala dan hanya berperan sebagai
pembawa. Jika satu pihak orangtua mempunyai gen SCA dan yang lainnya merupakan pembawa, maka
terdapat 50% kesempatan anaknya menderita SCA dan 50% kesempatan sebagai pembawa.
Penyakit sel sabit sebenarnya dapat dibedakan menjadi 2 (Beutler E, 2001), yaitu:
1) Penyakit sel sabit yang heterozigot; dan
2) Penyakit sel sabit yang homozigot.
Untuk penyakit sel sabit heterozigot, hemoglobin yang terdapat dalam darah pasien tidak hanya HbS saja,
melainkan bisa saja ada bentuk kelainan hemoglobin yang lain seperti HbC, HbD, HbE, maupun β-
thalassemia. Sebaliknya, dalam darah pasien penderita penyakit sel sabit homozigot hanya terdapat satu
kelainan hemoglobin, yaitu HbS. Kelainan homozigot ini justru merupakan kelainan yang paling parah bila
dibandingkan dengan kelainan heterozigot (Beutler E, 2001). Berdasarkan kedua jenis tersebut, anemia sel
sabit termasuk ke dalam penyakit sel sabit homozigot (Beutler E, 2001).
Faktor risiko anemia sel sabit adalah adanya sickle cell trait (SCT) pada kedua orang tua pasien (Neville
Dan panepinto, 2011). Faktor yang meningkatkan risiko mortalitas pada pasien dengan anemia sel sabit
adalah pertambahan usia, peningkatan hitung retikulosit, penurunan kadar HbF, peningkatan
echocardiography-derived tricuspid regurgitant jet velocity (TRV), dan peningkatan N-terminal pro b-type
natriuretic peptide (NTproBNP) (Maitra P, dkk., 2017).
b) Gejala Anemia Sel Sabit
Kelainan ini merupakan bawaan dari lahir sehingga biasanya gejala penyakit ini mulai muncul sejak
seseorang masih berusia 4-6 bulan. Beberapa gejala yang dapat ditemukan pada penderita anemia sel sabit,
antara lain:
1. Sering merengek (pada bayi)
2. Mudah kelelahan tanpa sebab yang jelas
3. Tampak kuning di bola mata dan/atau kulit tubuh
4. Sering bengkak dan nyeri di tangan dan kaki
5. Sering terkena infeksi, demam, dan jatuh sakit
6. Nyeri tak tertahan di dada, punggung, tangan, kaki, tulang dan sendi 7. Perut bengkak (sakit saat ditekan)
c) Patofisiologi Anemia Sel Sabit
Perubahan asam amino ke-6 pada rantai protein globin β dari asam glutamat menjadi valin ternyata
membawa dampak yang sangat besar terhadap morfologi sel darah merah dan interaksi hemoglobin dalam
sel darah merah tersebut. Perubahan asam amino tersebut menyebabkan HbS mempunyai kecenderungan
untuk berikatan dengan HbS yang lain sehingga membentuk suatu rantai spiral yang menyerupai tali
tambang ketika mengalami deoksigenasi, sehingga secara keseluruhan bentuk dari sel darah merah tidak
lagi menjadi bikonkaf, tetapi menyerupai sabit. Proses pembentukan rantai spiral tersebut disebut dengan
polimerisasi. Proses polimerisasi tersebut akan menyebabkan adanya peningkatan viskositas dan solubilitas
dari darah, sehingga darah akan menjadi lebih kental yang kemudian dapat menyebabkan penyumbatan
pada pembuluh darah kecil (Lonergan, dkk, 2008).
d) Pemeriksaan Anemia Sel Sabit
Diagnosis anemia sel sabit dilakukan dengan pemeriksaan analisis Hb untuk melihat keberadaan
haemoglobin S atau hemoglobin cacat yang menyebabkan anemia sel sabit. Untuk menentukan seberapa
berat anemia, jumlah dari Hb yang normal juga akan diperiksa, sehingga dapat mengarahkan ke
pemeriksaan selanjutnya untuk melihat kemungkinan komplikasi. Sementara pengambilan sampel air
ketuban untuk mencari keberadaan gen sel sabit, bisa dilakukan untuk mendiagnosis anemia sel sabit pada
janin sejak dalam kandungan.
e) Pengobatan/Terapi Anemia Sel Sabit
Berikut ini pengobatan yang dapat dilakukan untuk menangani gejala anemia sel sabit, antara lain:
1. Transplantasi sumsum tulang. Metode ini merupakan satu-satunya penanganan yang dapat mengobati
penyakit ini hingga tuntas.
2. Penanganan krisis sel sabit dengan menghindari faktor pemicunya. Beberapa upaya untuk mencegah
pemicunya adalah dengan minum banyak cairan untuk menghindari dehidrasi, mengenakan pakaian yang
cukup hangat agar tidak kedinginan, menghindari perubahan suhu secara tiba-tiba, tidak berolahraga berat,
hindari merokok dan alkohol, serta usahakan tetap tenang dan tidak stres. Dokter akan memberikan obat
jika krisis sel sabit berlanjut.
3. Rasa nyeri ditangani dengan cara mengompres bagian yang sakit dengan handuk hangat, mengalihkan
pikiran dari rasa sakit, minum banyak cairan untuk melancarkan aliran darah yang tersumbat, serta
mengonsumsi obat pereda nyeri yang dijual bebas di apotek.
4. Mengatasi anemia, hal tersebut dilakukan dengan merangsang produksi sel darah merah dengan
konsumsi suplemen asam folat. Sementara, jika gejala anemia sudah berat, maka jumlah sel darah merah
harus ditingkatkan dengan tranfusi darah.
5. Mengatasi pertumbuhan yang terhambat, dengan memberikan terapi hormon. 6. Mencegah infeksi
terutama pada anak, dengan melengkapi vaksinasi. 7. Mencegah stroke, dengan menjalani pemeriksaan
transcranial doppler scan (TCD scan) atau USG Doppler karotis setiap tahun.
2.4 Penyakit Neoplasma
A. Sarkoma
a) Definisi Sarkoma
Sarkoma adalah tumor yang muncul pada tulang dan jaringan lunak. Sarkoma jaringan lunak adalah tumor
ganas atau kanker yang menunjang dan menghubungkan struktur di sekeliling tubuh. Adapun yang
termasuk ke dalam jaringan ini yaitu, lemak, otot, pembuluh darah, saraf, tendon, dan lapisan pada tulang
sendi. Sarkoma punya julukan sel kanker ganas yang pandai menyamar. Tak hanya itu, sarkoma adalah sel
kanker yang bisa muncul di bagian tubuh mana pun karena berkembang di jaringan ikat atau tulang.
Kemungkinan kesembuhan bergantung pada jenis sarkoma yang dialami serta seberapa parah kondisinya
ketika pertama kali didiagnosis. Sarkoma jaringan lunak dapat menyerang bagian tubuh mana pun. Meski
demikian, umumnya menyerang area perut, lengan, dan tungkai. Sarkoma ini juga dapat menyerang semua
usia, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Namun, kasus ini lebih banyak terjadi pada lansia, dan
risiko mengalami sarkoma jaringan lunak akan meningkat seiring pertambahan usia.
b) Penyebab Sarkoma
Kanker terjadi akibat perubahan atau mutasi DNA di dalam sel sehingga berkembang di luar kendali. Sel-
sel abnormal ini kemudian membentuk tumor yang dapat menyerang jaringan sekitarnya, dan menyebar ke
bagian tubuh lain. Namun, penyebab mutasi DNA tidak dapat diketahui secara pasti. Mutasi bisa terjadi
pada berbagai jenis sel dalam tubuh. Jenis kanker yang tumbuh bergantung pada jenis sel yang mengalami
mutasi tersebut. Terdapat beberapa faktor yang juga bisa menjadi penyebab terjadinya sarcoma, antara
lain :
1. Faktor Genetik
Beberapa orang menurunkan mutasi DNA yang membuat mereka lebih rentan terinfeksi sarcoma jaringan
lunak.
2. Paparan Zat Beracun
Pada orang yang terpapar zat beracun seperti dioxin, vinyl chloride, dan arsenic dalam dosis tinggi juga
rentan mengalami sarcoma. Selain itu, herbisida yang mengandung asam phenoxyacetic juga bisa
meningkatkan risiko.
3. Paparan Radiasi
Paparan terapi radiasi untuk menangani kanker payudara, prostat, atau limfoma juga bisa meningkatkan
risiko seseorang terjangkit sarkoma. Jadi, perlu diingat bahwa orang yang menjalani prosedur pengobatan
terapi radiasi juga berisiko mengalami kanker lain yang tidak berhubungan.
c) Gejala Sarkoma
Pada tahap awal, sarkoma jaringan lunak tidak menimbulkan gejala apa pun dan sulit ditemukan, karena
tumor ini dapat tumbuh di bagian tubuh mana pun. Gejala baru dapat terlihat saat tumor membesar. Gejala
tersebut ditunjukkan dengan benjolan atau pembengkakan, dan rasa nyeri jika tumor menekan saraf atau
otot. Kondisi ini menimbulkan rasa tidak nyaman atau kesulitan bernapas.
d) Tingkat Keparahan
Tingkat keparahan sarkoma jaringan lunak dapat terbagi menjadi : 1.Stadium 1A
Ukuran sel kanker sebesar 5 cm atau lebih kecil dan masih terlihat seperti sel yang normal. Selain itu,
belum ada penyebaran, baik ke kelenjar getah bening terdekat maupun organ yang jauh.
2.Stadium 1B
Ukuran sel kanker sebesar 5 cm atau bisa lebih besar dari 15 cm, dan belum tampak seperti sel abnormal. Di
samping itu, sel kanker belum menyebar, baik ke kelenjar getah bening atau organ yang jauh.
3.Stadium 2
Ukuran sel kanker sebesar 5 cm atau lebih kecil, namun sudah terlihat seperti sel abnormal dengan
pertumbuhan yang cepat. Belum ada penyebaran ke kelenjar getah bening atau organ yang jauh letaknya.
4.Stadium 3A
Ukuran sel kanker lebih besar dari 5 cm, namun kurang dari 10 cm. Sel kanker jelas menunjukkan tanda
sebagai sel abnormal dengan pertumbuhan yang cepat. Kendati demikian, belum ada penyebaran ke
kelenjar getah bening terdekat maupun organ lain yang jauh.
5.Stadium 3B
Ukuran sel kanker dapat lebih dari 10 cm, namun kurang dari 15 cm. Sel tersebut sudah terlihat seperti sel
abnormal dengan perkembangan yang cepat, meski belum ada penyebaran ke kelenjar getah bening terdekat
atau organ yang jauh.
6.Stadium 4
Ukuran kanker bisa sebesar apa pun dan kanker sudah menyebar ke jaringan getah bening terdekat atau
sudah meluas hingga ke organ yang jauh, seperti paru-paru.
e) Pemeriksaan Adanya Sarkoma
Untuk memastikan diagnosis sarkoma jaringan lunak, dokter perlu melakukan serangkaian pemeriksaan di
rumah sakit. Pemeriksaan tersebut berupa:
1.Pencitraan, misalnya melalui foto Rontgen, CT scan, MRI, atau positron emission tomography (PET
scan). Pemeriksaan ini bertujuan melihat kondisi area yang diduga terserang sarkoma.
2.Biopsi. Pada sarkoma jaringan lunak, pengambilan sampel tumor dapat dilakukan dengan menggunakan
jarum (core needle biopsy) atau prosedur operasi dengan memotong jaringan tumor untuk diteliti di
laboratorium.
Serangkaian pemeriksaan tersebut perlu dilakukan untuk menentukan sifat tumor dari sekian banyak jenis
sarkoma, sehingga dapat dilakukan penanganan yang tepat.
f) Pengobatan Sarkoma
Pengobatan sarkoma jaringan lunak tergantung kepada jenis, lokasi, dan ukuran dari tumor. Beberapa
pilihan pengobatan yang dapat dilakukan adalah:
• Operasi. Ini merupakan penanganan utama yang dilakukan jika sarkoma terdiagnosis pada tahap awal.
Pada prosedur ini, sel kanker diangkat beserta jaringan sehat di sekitarnya untuk memastikan tidak ada sel
kanker yang tertinggal. Selain mengangkat sel kanker, pada sebagian kecil kasus, amputasi bagian tubuh
tempat tumbuhnya kanker juga perlu dilakukan.
• Kemoterapi. Ini merupakan terapi yang kerap menjadi penanganan pertama saat kanker sudah menyebar,
dengan menggunakan golongan obat kimia tertentu untuk membunuh sel kanker. Kemoterapi dapat
diberikan dalam bentuk pil atau melalui infus. Efek samping dari kemoterapi yang mungkin muncul, antara
lain adalah merasa lemah dan lelah, serta kerontokan rambut. Kemoterapi sering dilakukan untuk mengatasi
rhabdomyosarcoma.
• Radioterapi. Terapi ini dilakukan dengan menggunakan energi bertenaga tinggi. Radioterapi dapat
dilakukan sebelum operasi pengangkatan tumor, untuk mengecilkan tumor sehingga mudah diangkat.
Terapi ini juga bisa dilakukan pada saat operasi (intraoperative radiation), sehingga tidak mengganggu
jaringan sekitarnya. Sedangkan radioterapi yang dilakukan pasca operasi bertujuan membunuh sel kanker
yang tersisa. Saat prosedur operasi tidak bisa dilakukan, radioterapi juga bisa diberikan untuk menghambat
perkembangan sarkoma. Efek samping yang mungkin muncul dari terapi ini adalah kerontokan rambut di
area pengobatan dan tubuh merasa lelah.
• Terapi target. Beberapa jenis sarkoma jaringan lunak memiliki ciri tertentu, sehingga bisa dilumpuhkan
melalui obat atau antibodi buatan untuk menghambat pertumbuhan sel kanker tanpa merusak sel yang
normal. Terapi ini sangat membantu untuk mengatasi tumor pada saluran pencernaan (gastrointestinal
stromal tumor).
Kanker yang dideteksi pada stadium awal memiliki kemungkinan sembuh yang lebih besar. Namun,
semakin besar ukuran dan semakin tinggi stadium tumor, maka sarkoma berisiko dapat terjadi lagi atau
menyebar ke organ lain. Kesempatan penderita untuk sembuh akan lebih sulit saat sarkoma sudah
menyebar, meski penanganan untuk memperlambat penyebaran kanker dan meringankan gejala, masih bisa
dilakukan.
B. Fibroid/Fibroma
a) Definisi
Sjamsuhidajat dan De Jong dalam Marmah Oktaria (2015:10). Fibroadenoma mempakan neoplasma jinak
yang temtama dijumpai pada perempuan muda. Fibroadenoma teraba sebagai benjolan bulat dengan simpai
licin, bebas digerakkan dan konsistensmya kenyal padat.
Menurut kamus kedokteran Dorland, (2012) fibroadenoma mammae merupakan tumor jinak payudara yang
berasal dari jaringan fibrosa dan epitel kelenjar.
b) Etiologi
Fadjari dalam Marmah Oktaria (2015:11) Etiologi dari FAM masih tidak diketahui pasti tetapi dikatakan
bahwa hipersensitivitas terhadap estrogen pada lobul dianggap menjadi penyebabnya. Fibroadenoma
mammae terjadi akibat proliferasi abnormal jaringan periduktus ke dalam lobulus; dengan demikian sering
ditemukan di kuadran lateral atas karena di bagian ini distribusi kelenjar paling banyak. Baik estrogen,
progesteron, kehamilan, maupun laktasi dapat merangsang pertumbuhan FAM.
c) Faktor Resiko
Santen dan Mansel dalam Marmah Oktaria (2015:11) Usia menarche, usia menopause dan terapi hormonal
termasuk kontrasepsi oral tidak merubah risiko terjadinya lesi ini. Pengamatan klinis yang dilakukan pada
perempuan yang menerima estrogen dan obat antiestrogen menunjukan bahwa wanita pasca menopause
yang menerima estrogen lebih dari delapan tahun mengalami lesi jinak. Faktor genetik juga dikatakan tidak
berpengaruh tetapi adanya riwayat keluarga dengan carsinoma mammae dikatakan meningkatkan risiko
terjadinya penyakit ini.
d) Patogenesis
Guray dan Sahin dalam Marmah Oktaria (2015:15) Fibroadenoma mammae dianggap mewakili
sekelompok lobus hiperplastik dari mammae yang dikenai sebagai "kelainan dari pertumbuhan normal dan
involusi". Fibroadenoma sering terbentuk sewaktu menarche (15-25 tahun), waktu dimana struktur lobul
ditambahkan kedalam sistem duktus pada mammae. Lobus hiperplastik sering terjadi pada waktu ini dan
dianggap merupakan bagian dari perkembangan mammae.
Fibroadenoma mammae merupakan lobus yang berbatas jelas, mudah digerakkan dari jaringan disekitamya.
Pada gambaran histologis menunjukkan stroma dengan proliferasi fibroblast yang mengelilingi kelenjar dan
rongga kistik yang dilapisi epitel dengan bentuk dan ukuran yang berbeda. Pembagian fibroadenoma
berdasarkan gambaran histologisnya yaitu :
a) Fibroadenoma pericanaliculare
Kelenjar bulat dan lonjong dilapisi epitel selapis atau beberapa lapis
b) Fibroadenoma intracanaliculare
Jaringan ikat mengalami proliferasi lebih banyak sehingga kelenjar berbentuk panjang-panjang (tidak
teratur) dengan lumen sempit mirip bintang (Kumar, Cotran dan Robbins, 2012)
Lesi ini mempakan hormone dependent neoplasma distimulasi oleh laktasi sewaktu hamil dan mengalami
involusi sewaktu perimenopause. Tumor ini dapat terjadi karena mutasi DNA sel. Wanita dengan mutasi
pada gen BRCAl atau BRCA2 yang diperoleh dari mestektomi bilateral memiliki frekuensi yang tinggi
untuk terjadinya lesi jinak maupun ganas pada payudara.
e) Pemeriksaan
▪ Pemeriksaan fisik
Karena organ payudara dipengaruhi oleh faktor hormonal maka sebaiknya pemeriksaan payudara dilakukan
disaat pengaruh hormonal seminimal mungkin, satu minggu setelah haid. Pemeriksaan yang dapat
dilakukan terdiri dari : 1) Inspeksi
pasien diminta untuk duduk tegak dan berbaring. Kemudian, inspeksi dilakukan terhadap bentuk kedua
payudara, wama kulit, lekukan, retraksi papilla, adanya kulit berbintik seperti kulit jeruk, ulkus, dan
benjolan. Cekungan kulit {dimpling) lebih terlihat jelas bila pasien diminta untuk mengangkat lengannya
lums keatas.
2) Palpasi
lebih baik dilakukan pada pasien yang berbaring dengan bantal tipis di punggung sehingga payudara
terbentang rata. Palpasi dilakukan dengan ruas pertama jari telunjuk, tengah dan manis yang digerakkan
perlahan tanpa tekanan pada setiap kuadran payudara dengan alur melingkar. Pada sikap duduk, benjolan
yang tidak terlihat saat berbaring umumnya lebih lebih mudah ditemukan. Perabaan aksila pun lebih mudah
dilakukan pada saat posisi duduk. Pemijatan halus puting susu juga dilakukan, untuk melihat adanya
pengeluaran cairan.
Melalui inspeksi dan palpasi dapat dinilai :
1) Massa tumor: ukuran, lokasi, bentuk, konsisitensi, terfiksasi atau tidak ke dinding dada
2) Perubahan kulit: kemerahan, d'orange, dimpling, ulserasi 3) Pembahan puting: tertarik, kemerahan, erosi,
pembahan wama, discharge (Sjamsuhidajat dan De Jong, 2013).
Pada pemeriksaan fisik FAM biasanya didapatkan gambaran fibroadenoma mammae sebagai berikut :
1) Bentuk bulat teratur atau lonjong
2) Permukaan rata
3) Konsistensi kenyal lunak
4) Batas tegas
5) Mudah digerakkan
6) Tidak ada nyeri (Guray dan Sahin, 2006).
▪ Pemeriksaan penunjang
1) Mammografi
Fadjari dalam Marmah Oktaria (2015:11) Mammografi adalah pemeriksaan radiografi payudara. Sedapat
mungkin dilakukan sebagai alat bantu diagnostik utama, temtama pada usia di atas 30 tahun. Walaupim
mamografi sebelumnya normal, jika terdapat keluhan baru, maka hams dimamografi ulang. Pada
mamografi, lesi yang mencurigakan ganas menunjukkan salah satu atau beberapa gambaran sebagai
berikut: lesi asimetris, kalsifikasi pleomorfik, tepi ireguler atau berspikula, terdapat peningkatan densitas
dibandingkan sekitamya. Pada salah satu penelitian teihad^ 41.427 penderita, sensitivitasnya mencapai
82,3% dengan spesifisitas 91,2%. Walaupun demikian, bila hasilnya negatif, harus tetap dilakukan
pemeriksaan lanjutan.
Snell dalam Marmah Oktaria (2015:18) Teknik ini digunakan dengan luas pada pemeriksaan mtin mammae
untuk menemukan tumor jinak atau ganas, dan kista. Digunakan dosis sinar X yang sangat rendah,
sehingga bahaya pemeriksaan ini kecil dan dapat sering diulangi. Kesuksesan dari pemeriksaan ini
diperlihatkan dengan d^at ditemukannya lesi yang berukuran beberapa milimeter, jauh sebelum dapat
dideteksi pada pemeriksaan klinik.
2) Ultrasonografi
Fadjari dalam Marmah Oktaria (2015:19) Ultrasonografi (USG) sangat berguna untuk membedakan lesi
solid dan kistik setelah ditemukan kelainan pada mamografi. Pemeriksaan ini juga dapat digunakan pada
kondisi klinis tertentu, misalnya pada wanita hamil yang mengeluh ada benjolan di payudara sedangkan
hasil mamografinya tidak jelas walaupun sudah diulang, dan untuk panduan saat biopsi jarum atau core
biopsy. Hasil pemeriksaan USG maupun mamografi dapat diklasifikasikan menurut panduan The American
College of Radiology Breast Imaging Reporting and Data System atau yang dikenai sebagai ACR BI-
RADS, sebagai berikut :
a. Kategori 0: Hams dilakukan mamografi untuk menentukan diagnosis
b. Kategori 1: Negatif atau tidak ditemukan lesi
c. Kategori 2: Jinak. Biasanya kista simpleks. Ulang USG 1 tahun lagi
d. Kategori 3: Kemungkinan jinak. Sering ditemukan pada FAM. Ulang USG 3-6 buian
e. Kategori 4: Curiga abnormal. Hams dibiopsi
f. Kategori 5: Sangat curiga ganas. Dikelola sesuai panduan kanker payudara dini
g. Kategori 6: Kanker. Hasil biopsi memang benar keganasan payudara, dikelola sebagai kanker payudara
dini.
f)Terapi
Tatalaksana FAM masih diperdebatkan, tergantimg pada usia pasien dan temuan klinis (Sperber dkk, 2003).
Bila dari hasil biopsi menunjukan lesi adalah fibroadenoma maka tindakan pembedahan dapat dilakukan
ataupun tidak. Hams dilakukan tindakan pembedahan apabila terdapat tanda abnormalitas, ukuran dan
bentuk dari payudara yang bembah dan curiga lesi tersebut adalah keganasan (Greenberg dkk, 1998).
Namun, bedah eksisi berhubungan dengan morbiditas karena pengangkatan mammae dapat mengubah
kualitas hidup serta meninggalkan bekas jaringan pamt (Sperber dkk, 2003).
Guray dan Sahin dalam Marmah Oktaria (2015:20) Terapi pasien fibroadenoma memang bervariasi.
Beberapa dokter menyarankan untuk dilakukan eksisi namun terapi konservatif dapat menggantikan
perawatan bedah dalam waktu dekat atas dasar usia muda pasien, temuan gambaran jinak, karakteristik
klinis, dan temuan jinak pada hasil FNA biopsi. Teknik minimal invasif seperti USG, menjadi pilihan
pengobatan yang sangat baik untuk wanita dengan fibroadenoma yang menghindari operasi, lesi juga dapat
diobati dengan observasi dan ditindaklanjuti secara berkala. Pada fibroadenoma juvenile (>5 cm) operasi
pengangkatan sangat dianjurkan walau lesi sepenuhnya jinak.
Jika pada pemeriksaan FNA didapatkan gambaran fibroadenoma dan penderita berusia dibawah 30 tahim
maka terapi yang diberikan adalah observasi maupim eksisi jika ada kekhawatiran. Jika usia pasien diatas
30 tahun maka tindakan yang dilakukan adalah eksisi untuk menyingkirkan keganasan (Stead dkk, 2003;
Al-Salamah, 2006).
g) Komplikasi
Fibroadenoma adalah sebuah tumor jinak namun dalam beberapa laporan kasus menggambarkan bahwa
seseorang yang terdiagnosis FAM mengalami peningkatan resiko carcinoma mammae (Kuijper dkk, 2001).
Pada beberapa kasus yang jarang, FAM dapat menjadi carcinoma mammae (Guray dan Sahin, 2006).
C. Adenoma
a) Definisi
Adenoma Pleomorfik adalah tumor kelenjar saliva dan paling umum di jumpai pada kelenjar parotid.
Tumor ini merupakan tumor campuran (benign mixed tumor), yang terdiri dari komponen epitel, mioepitel
dan mesenkim dan tersusun dalam beberapa variasi komponennya. Pada kelenjar saliva mayor Adenoma
Pleomorfik paling sering di jumpai pada kelenjar parotid, sedangkan pada kelenjar saliva minor Adenoma
Pleomorfik lebih sering dijumpai pada palatum dan bibir atas.
Adenoma Pleomorfik dapat terjadi pada semua umur, baik anak-anak maupun dewasa. Pada sebagian besar
kasus menunjukkan 45% sampai 75% dari semua neoplasma kelenjar saliva, timbulnya penyakit 2 sampai
35 kasus per 100,000 orang. Adenoma Pleomorfik lebih sering terjadi pada wanita dibanding laki-laki
dengan perbandingan 2:1. Adenoma Pleomorfik paling sering terjadi diantara dekade ke- 3 sampai ke- 6,
dengan presentase usia rata-rata 43-46 tahun.
b) Etiologi
Penyebab Adenoma Pleomorfik pada kelenjar saliva belum diketahui secara pasti, diduga karena
keterlibatan lingkungan dan faktor genetik.
a. Pemaparan radiasi
dihubungkan dengan pekembangan tumor jinak dan carsinoma mukoepidermoid malignant
b. simian virus (SV 40)
karena virus ini memainkan peranan penting dalam perkembangan Adenoma Pleomorfik.
c. Virus Epstein-Barr
merupakan salah satu faktor didalam perkembangan tumor-tumor limphoephitelial kelenjar saliva.
d. Perubahan-perubahan genetik
seperti kehilangan allelic, monosomi dan polisomi, dan penyusunan kembali strukturnya
e. β-catenin
memainkan peranan penting di dalam perkembangan Adenoma Pleomorfik. Tidak hanya dalam perubahan
bentuk yang malignant, tetapi juga didalam pengaturan fungsi-fungsi fisiologis. Ekspresi dari β-catenin
adalah immunohistochemical yang di uji dalam lesilesi maupun dalam kelenjar saliva normal dan dengan
Adanya kecenderungan sel-sel neoplasma mengorganisir struktur duktus dan berlanjut ke β-catenin
didalam lapisan-lapisan sel, clusters dan sheets, sehingga protein dapat berpartisifasi didalam morpologi
Adenoma Pleomorfik
c) Gambaran Klisis
Adenoma Pleomorfik mempunyai gambaran klinis yaitu, massa tumor tunggal, keras, bulat, bergerak
(mobile), pertumbuhan lambat, tanpa rasa sakit, nodul tunggal. Suatu nodul yang terisolasi umumnya
tumbuh di luar dari pada normal, dari suatu nodul utama dibandingkan dengan suatu multinodular.
d) Tanda Gejala
Gejala dan tanda tumor ini tergantung pada lokasinya Apabila tumor ini di jumpai pada kelenjar saliva
minor, gejala yang timbul bermacam-macam tergantung pada lokasi tumor. Gejala yang timbul seperti :
dysphagia, dyspnea, serak ,susah mengunyah, dan epistaxsis.
e) Gambaran Histopatologi
Secara histologi, Adenoma Pleomorfik mempunyai gambaran yang bervariasi. Secara klasik Adenoma
Pleomorfik adalah bifasik dan karakteristiknya merupakan satu campuran epitel poligonal dan elemen
myoepitel spindle-shaped membentuk unsur dengan latar belakang stroma oleh mukoid, myxoid, kartilago
atau hyalin
Elemen-elemen epitel disusun membentuk struktur seperti duktus, sheets, lembaran-lembaran yang
poligonal, spindle atau stellate-shaped cells (bentuk pleomorphism). Area squamous metaplasia dan ephitel
pearls bisa di lihat. Adenoma Pleomorfik tidak mempunyai kapsul, tetapi diselubungi oleh pseudocapsul
yang berserat dari bermacam-macam ketebalannya. Tumor ini meluas dari keadaan normal melalui
parenkim kedalam bentuk pseudopodia seperti jari. Tetapi bukan suatu tanda perubahan bentuk yang
malignant
Pada kelenjar parotid, Adenoma Pleomorfik biasanya dikelilingi oleh sebuah kapsul yang fibrous, dengan
bermacam-macam ketebalan yang tidak sempurna terutama dalam tumor-tumor mukoid. Pada kelenjar
saliva minor tidak adanya kapsul bisa di lihat. Secara mikroskopis satelit tumor dengan nodul kecil-kecil,
pseudopodia, dan penetrasi kapsul bisa di lihat diluar kapsul.
f) Gambaran Radiografi
Pemeriksaan radiografi berguna untuk membantu menegakkan diagnosa pada penderita Adenoma
Pleomorfik. CT dan MRI berperan penting untuk mendeteksi Adenoma Pleomorfik pada kelenjar saliva.
Gambaran CT pada Adenoma Pleomorfik adalah suatu penampang yang tajam dan pada dasarnya
mengelilingi lesi homogen yang mempunyai suatu kepadatan yang lebih tinggi dibanding glandular tisssue.
T1- weighted MRI menunjukkan Adenoma Pleomorfik dengan
area yang relatif mempunyai intensitas signal rendah (area gelap/radiolusen) dibanding glandular tisssue.
Pemeriksaan Adenoma Pleomorfik dengan CTI dan MR oleh radiolog untuk mengetahui lokasi dan besar
tumor, deteksi lesi, batas tumor, batas lesi, aspek lesi, kontras antara lesi dengan jaringan sekitarnya,
gambaran intensitas dari lesi, keberhasilan pemakaian medium kontras, aspek lesi setelah injeksi medium
kontras, deteksi kapsul nya dan resorpsi tulang yang terjadi di sekitar lesi tersebut.
1. Limfadenitis
1.1 Pengertian
Limfadenitis adalah peradangan pada kelenjar getah bening. Kelenjar ini merupakan bagian dari sistem
limfatik yang memiliki peran penting dalam menjaga sistem kekebalan tubuh agar berfungsi dengan baik.
Kelenjar getah bening atau kelenjar limfa terdapat di hampir seluruh bagian tubuh, antara lain di leher,
ketiak, selangkangan, serta rongga perut dan dada. Kelenjar getah bening normalnya berukuran kecil, tetapi
akan membengkak ketika terinfeksi.
1.2 Jenis Limfadenitis
Berdasarkan luasnya infeksi, limfadenitis dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
1.2.1 Limfadenitis lokal, yaitu peradangan pada beberapa kelenjar getah bening di dekat asal infeksi,
misalnya peradangan kelenjar getah bening di leher akibat infeksi amandel
1.2.2 Limfadenitis umum, yaitu peradangan di banyak kelenjar getah bening akibat infeksi yang telah
menyebar melalui aliran darah, atau akibat penyakit lain yang menyebar ke seluruh tubuh
1.3 Penyebab Limfadenitis
Limfadenitis terjadi akibat respons kelenjar getah bening terhadap infeksi bakteri, virus, jamur, atau parasit,
yang selanjutnya dapat menyebarkan infeksi tersebut ke seluruh sistem limfatik hanya dalam beberapa jam.
Beberapa jenis mikroorganisme yang dapat menyebabkan limfadenitis adalah:
1. Bakteri, seperti Streptococcus, Staphylococcus aureus, Bartonella henselae, Mycobacterium tuberculosis,
Yersinia enterocolitica, Yersinia pestis, dan Salmonella
2. Virus, antara lain Cytomegalovirus, Epstein-Barr, Parvovirus, dan Rubella
3. Jamur, misalnya Histoplasma capsulatum
4. Jamur, misalnya Histoplasma capsulatum
1.4 Gejala Limfadenitis
Kelenjar limfa atau kelenjar getah bening merupakan bagian dari sistem limfatik, yang juga terdiri dari
limpa, timus, sumsum tulang, amandel, dan adenoid. Di dalam kelenjar getah bening, terdapat sel darah
putih yang berfungsi melawan zat asing berbahaya, seperti virus dan bakteri. Ketika mikroorganisme
tersebut menginfeksi tubuh, kelenjar getah bening dapat membengkak dan meradang sebagai respons
terhadap infeksi, sehingga muncul keluhan limfadenitis.
Gejala yang timbul akibat limfadenitis bervariasi, tergantung pada penyebab dan lokasi terjadinya infeksi.
Beberapa gejala yang umumnya muncul pada limfadenitis adalah:
1. Pembengkakan pada kelenjar getah bening di leher, ketiak, atau selangkangan
2. Kelenjar getah bening nyeri bila diraba
3. Kulit di daerah kelenjar getah bening menjadi kemerahan
4. Terbentuknya kumpulan nanah atau abses di kelenjar limfa yang membengkak
5. Keluarnya cairan dari kelenjar getah bening yang membengkak 6. Demam
1.5 Diagnosis Limfadentitis
1. Tes darah, untuk mendeteksi tanda infeksi dan peradangan, seperti peningkatan jumlah sel darah putih
dan protein C-reaktif
2. Kultur darah dan cairan getah bening, untuk mengidentifikasi bakteri penyebab infeksi dan melihat
apakah infeksi telah menyebar ke aliran darah
3. Pengambilan sampel (biopsi) dari kelenjar getah bening, untuk mengetahui penyebab peradangan
4. Pemindaian dengan USG, foto Rontgen dan CT scan, untuk mendeteksi kelenjar getah bening mana saja
yang membengkak dan untuk mendeteksi kemungkinan adanya tumor di kelenjar getah bening
1.6 Komplikasi Limfadenitis
Limfadenitis yang tidak segera ditangani dapat menimbulkan komplikasi. Komplikasi yang muncul pada
tiap penderita dapat berbeda, tergantung pada penyebab yang mendasarinya. Komplikasi tersebut antara
lain:
1. Selulitis
2. Terbentuknya kumpulan nanah atau abses di rongga dada
3. Perikarditis yang disertai kumpulan nanah
4. Pecahnya pembuluh darah arteri karotis, yaitu pembuluh darah besar di leher
5. Terbentuknya gumpalan darah pada pembuluh darah vena di leher 6. Fistula, terutama pada limfadenitis
yang disebabkan oleh tuberkulosis 7. Sepsis, yaitu infeksi yang menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran
darah
1.7 Pencegahan Limfadenitis
Cara terbaik untuk mencegah limfadenitis adalah dengan menjalani gaya hidup sehat agar Anda terhindar
dari infeksi. Hal itu bisa didapat dengan melakukan beberapa cara berikut:
1. Beristirahat yang cukup
2. Makan makanan bergizi
3. Rutin berolahraga
4. Menghindari orang yang sedang sakit
5. Rutin menjaga kebersihan, seperti mencuci tangan dengan air dan sabun 6. Segera mengoleskan antiseptik
jika kulit Anda terluka dan tutup luka dengan perban
2. Limfadenitis Tuberkulosis
Limfadenitis tuberkulosis (TB) merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening yang
disebabkan oleh basil tuberkulosis. Apabila peradangan terjadi pada kelenjar limfe di leher disebut dengan
scrofula. Limfadenitis pada kelenjar limfe di leher inilah yang biasanya paling sering terjadi. Infeksi
M.tuberculosis pada kulit disebabkan oleh perluasan langsung tuberkulosis ke kulit dari struktur dasar atau
terpajan melalui kontak dengan tuberkulosis disebut dengan scrofuloderma.
2.1 Etiologi Limfadenitis TB
Limfadenitis tuberkulosis disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis. Mycobacteria tergolong
dalam famili Mycobactericeae dan ordo Actinomyceales. Spesies patogen yang termasuk dalam
Mycobacterium kompleks, yang merupakan agen penyebab penyakit yang tersering dan terpenting adalah
Mycobacterium tuberculosis. Basil TB adalah bakteri aerobik obligat berbentuk batang tipis lurus berukuran
sekitar 0,4 x 3 µm dan tidak berspora. nding bakteri Mikobakterium kaya akan lipid yang terdiri dari asam
mikolat, lilin, dan fosfat. Bakteri ini mendapatkan energi dari oksidasi banyak komponen karbon sederhana.
Penambahan CO2 meningkatkan pertumbuhan.
2.2 Manifestasi Klinis
Klinis Limfadenitis adalah presentasi klinis paling sering dari TB ekstrapulmoner. Limfadenitis TB juga
dapat merupakan manifestasi lokal dari penyakit sistemik. Pasien biasanya datang dengan keluhan
pembesaran kelenjar getah bening yang lambat. Pada pasien limfadenitis TB dengan HIV-negatif,
limfadenopati leher terisolasi adalah manifestasi yang paling sering dijumpai yaitu sekitar dua pertiga
pasien. Oleh karena itu, infeksi mikobakterium harus menjadi salah satu diagnosis banding dari
pembengkakan kelenjar getah bening, terutama pada daerah yang endemis. Durasi gejala sebelum diagnosis
berkisar dari beberapa minggu sampai beberapa bulan. Pembengkakan kelenjar limfe dapat terjadi secara
unilateral atau bilateral, tunggal maupun multipel, dimana benjolan ini biasanya tidak nyeri dan
berkembang secara lambat dalam hitungan minggu sampai bulan, dan paling sering berlokasi di regio
servikalis posterior dan yang lebih jarang di regio supraklavikular.
2.3 Diagnosis
Untuk mendiagnosa limfadenitis TB diperlukan tingkat kecurigaan yang tinggi,. Anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang lengkap, pewarnaan BTA, pemeriksaan radiologis, dan biopsi aspirasi jarum halus
dapat membantu dalam membuat diagnosis awal yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam
memberikan pengobatan sebelum diagnosis akhir dapat dibuat berdasarkan biopsi dan kultur . Juga penting
untuk membedakan infeksi mikobakterium tuberkulosis dengan non-tuberkulosis.
Beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosa limfadenitis TB :
a. Pemeriksaan mikrobiologi Pemeriksaan mikrobiologi yang meliputi pemeriksaan mikroskopis dan kultur.
Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Spesimen untuk pewarnaan dapat
diperoleh dari sinus atau biopsi aspirasi. Dengan pemeriksaan ini kita dapat memastikan adanya basil
mikobakterium pada spesimen, diperlukan minimal 10.000 basil TB agar perwarnaan dapat positif .
Diperlukan waktu beberapa minggu untuk mendapatkan hasil kultur. Pada adenitis tuberkulosa,
M.tuberculosis adalah penyebab tersering, diikuti oleh M.bovis
b. Tes Tuberkulin Pemeriksaan intradermal ini (Mantoux Test) dilakukan untuk menunjukkan adanya reaksi
imun tipe lambat yang spesifik untuk antigen mikobakterium pada seseorang. Reagen yang digunakan
adalah protein purified derivative (PPD). Pengukuran indurasi dilakukan 2-10 minggu setelah infeksi.
Dikatakan positif apabila terbentuk indurasi lebih dari 10 mm, intermediat apabila indurasi 5-9 mm, negatif
apabila indurasi kurang dari 4 mm
c. Pemeriksaan Sitologi Spesimen untuk pemeriksaan sitologi diambil dengan menggunakan biopsi aspirasi
kelenjar limfe. Sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan sitologi dengan biopsi aspirasi untuk menegakkan
diagnosis limfadenitis TB adalah 78% dan 99% (Kocjan, 2001). CT scan dapat digunakan untuk membantu
pelaksanaan biopsi aspirasi kelenjar limfe intratoraks dan intraabdominal . Pada pemeriksaan sitologi akan
terlihat Langhans giant cell, granuloma epiteloid, nekrosis kaseosa.
d. Pemeriksaan Radiologis Foto toraks, USG, CT scan dan MRI leher dapat dilakukan untuk membantu
diagnosis limfadenitis TB. Foto toraks dapat menunjukkan kelainan yang konsisten Universitas Sumatera
Utaradengan TB paru pada 14-20% kasus. Lesi TB pada foto toraks lebih sering terjadi pada anak-anak
dibandingkan dewasa, yaitu sekitar 15% kasus . USG kelenjar dapat menunjukkan adanya lesi kistik
multilokular singular atau multipel hipoekhoik yang dikelilingi oleh kapsul tebal . Pemeriksaan dengan
USG juga dapat dilakukan untuk membedakan penyebab pembesaran kelenjar (infeksi TB, metastatik,
lymphoma, atau reaktif hiperplasia).
Pada pembesaran kelenjar yang disebabkan oleh infeksi TB biasanya ditandai dengan fusion tendency,
peripheral halo, dan internal echoes . Pada CT scan, adanya massa nodus konglumerasi dengan lusensi
sentral, adanya cincin irregular pada contrast enhancement serta nodularitas didalamnya, derajat
homogenitas yang bervariasi, adanya manifestasi inflamasi pada lapisan dermal dan subkutan mengarahkan
pada limfadenitis TB . Pada MRI didapatkan adanya massa yang diskret, konglumerasi, dan konfluens.
Fokus nekrotik, jika ada, lebih sering terjadi pada daerah perifer dibandingkan sentral, dan hal ini bersama
sama dengan edema jaringan lunak membedakannya dengan kelenjar metastatik
3. Limfedema
3.1 Pengertian
Limfedema adalah cairan getah bening yang mengalami penumpukan di jaringan kulit bagian bawah dan
diakibatkan oleh kerusakan atau ketidaknormalan pada aliran getah bening seseorang. Akibat dari
limfedema yaitu akan muncul pembengkakan pada seluruh atau sebagian tubuh yang terkena limfedema
biasanya pada lengan atau kaki. Limfedema ini berhubungan dengan sistem limfatik seseorang yang
merupakan bagian dari sistem imunitas tubuh dan berfungsi untuk mengalirkan cairan tubuh dan protein
yang berlebih ke dalam sirkulasi darah, mengangkut lemak dari usus halus, melindungi tubuh dari infeksi
mikroorganisme. Anatomi dari sistem limfatik terdiri atas pembuluh, node, kelenjar limfatik yaitu timus dan
limpa.
3.2 Etiologi
Abnormalitas atau ketidaknormalan kelenjar getah bening menjadi penyebab utama terjadinya kelainan
yaitu limfedema. Kondisi ini tidak sering terjadi dan termasuk juga sebagai penyakit genetik. Kerusakan
dari kelenjar getah bening yang nantinya akan mengakibatkan limfedema ini dapat terjadi karena adanya
trauma, luka bakar, radiasi, infeksi, dan kompresi atau invasi kelenjar getah bening oleh tumor. Penyebab
utama dari limfedema ini biasanya muncul sejak lahir. Ada pun gejala pada beberapa pasien muncul dan
baru diketahui saat mereka usia dewasa.
Limfedema dapat dikategorikan menjadi dua jenis yaitu limfedema primer dan limfedema sekunder.
Limfedema primer yaitu limfedema praecox yang merupakan bentuk paling umum. Jenis limfedema ini
berkembang saat masa pubertas dan lebih sering menyerang wanita daripada pria. Limfedema di seluruh
dunia paling sering disebabkan oleh Filariasis. Parasit penyebabnya adalah Wuchereria bancrofti. Parasit ini
disebarkan melalui nyamuk yang menyerang daerah tropis dan subtropis. Akibat dari parasit ini yaitu tubuh
akan menjadi mudah terinfeksi dan terjadi pembengkakan pada beberapa daerah tubuh seperti kaki dan
lengan. Sedangkan, limfedema sekunder disebabkan oleh kerusakan dan pemblokiran fungsi sistem
limfatik. Prosedur bedah yang telah dikaitkan dengan limfedema yaitu termasuk vena pengupasan,
lipectomy, membakar bekas luka eksisi , dan bedah vaskular perifer.
3.3 Manifestasi Klinis
Pembengkakan yang terjadi pada seluruh tubuh atau hanya sebagian tubuh merupakan gejala paling umum
yang sering muncul sebagai tanda dari limfedema. Selain itu, penderita juga akan merasakan nyeri pada
beberapa daerah tubuh seperti siku dan lutut yang terasa nyeri karena disebabkan oleh pembengkakan
ekstermitas. Penderita juga akan merasakan berat pada anggota tubuh yang terkena limfedema dan
kehilangan mobilitas tubuh. Kulit penderita akan menjadi lebih keras dan kering bahkan sampai muncul
seperti kutil di permukaan kulit tersebut. Infeksi berulang juga mungkin saja terjadi pada anggota tubuh
yang terkena limfedema. Pada limfedema primer gejala sering muncul pada masa pubertas.
3.4 Diagnosis
Limfedema yang mengakibatkan pembengkakan pada bagian tubuh akibat gagal jantung kongestif, gagal
ginjal, darah yang membeku, serta keadaan lainnya dapat dihilangkan penyebabnya dengan melakukan
beberapa pemeriksaan fisik dan pemeriksaan riwayat kesehatan secara menyeluruh.
Tes MRI dan CT Scan berperan dalam mengetahui dan mendeteksi penyebab yang muncul dari
pembengkakan bagian tubuh yang terkena limfedema. Arsitektur node getah bening atau
pengindentifikasian tumor akan ditentukan oleh tes tersebut. Ada pun Limfoskintigrafi yaitu tes dengan
penyuntikan perwarna pelacak ke bagian pembuluh getah bening selanjutnya mengamati aliran fluida
dengan menggunakan teknologi pencitraan. Selain itu, pemeriksaan dapat dilakukan dengan Scan USG
Doppler atau Tes Gelombang Suara yang digunakan dalam pengevaluasian aliran darah yang nantinya
membantu mendeteksi gumpalan darah di pembuluh daran yang memungkinkan menjadi salah satu
penyebab dari limfedema.
3.5 Patogenesis dan Patofisiologi
Akumulasi jangka panjang cairan dan protein dalam jaringan menyebabkan peradangan yang akan
menimbulkan jaringan parut, pemebengkakan ke arah luar untuk ujung. Kulit di daerah edema mengental
dengan penampilan sebagai kulit jeruk efek. Kulit di atasnya bersisik dan pecah-pecah disertai dengan
infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur. Daerah yang terkena mungkin terasa lembut, sakit dan kehilangan
mobilitas atau fleksibilitas. .Daerah bekas luka dan bengkak lymphedema sering mengalami infeksi dan
bahkan tumor ganas pembuluh getah bening (lymphangiosarcoma).
Perkembangan klinis limfedema dari filariasis dipengaruhi oleh faktor kerentanan individu terhadap parasit,
seringnya mendapat gigitan nyamuk, banyaknya larva infektif yang masuk ke dalam tubuh, dan adanya
infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur dapat dengan cepat menimbulkan gejala klinis. Secara umum,
perkembangan klinis filariasis dapat dibagi menjadi fase dini dan fase lanjut. Pada fase dini timbul gejala
klinis akut karena infeksi cacing dewasa bersama-sama dengan infeksi oleh bakteri dan jamur. Pada fase
lanjut terjadi kerusakan saluran limfe kecil yang terdapat di kulit dilanjutkan dengan pelebaran (dilatasi)
saluran limfe dan penyumbatan (obstruksi).
3.6 Komplikasi dan Cacat
Komplikasi dari limfedema yang paling sering terjadi adalah kulit dan jaringan ikat yang mengalami
peradangan (selulitis) dan peradangan pembuluh limfatik (limfangitis)Infeksi sekunder pada kulit dan
jaringan di bawahnya dapat mempersulit limfedema. Selain itu, ada thrombosis vena atau pembentukan
bekuan darah di pembuluh darah yang lebih dalam juga merupakan komplikasi yang dikenal dari
limfedema. Daerah radang yang mengalami penurunan fungsi serta permasalahan merupakan komplikasi
lanjutan lymphedema.
3.7 Perawatan
Limfedema tidak mempunyai obat khusus untuk menyembuhkannya. Namun, terdapat beberapa perawatan
yang dapat dilakukan untuk mengurangi rasa nyeri atau rasa sakit pada penderita limfedema, antara lain
sebagai berikut;
a. Perawatan dengan kompresi dapat mengurangi pembengkakan dan mencegah pembentukkan jaringan
parut serta komplikasi lain.
Contoh perawatan kompresi adalah dengan lengan elastis atau stocking yang harus sesuai dengan benar dan
untuk memberikan kompresi bertahap dari ujung ekstremitas menuju bagasi. Kompresi manual dengan
teknik pijat dengan petunjuk getah bening drainase dapat bermanfaat pada beberapa penderita lymphedema.
Perangkat kompresi pneumatic adalah lengan atau stocking dihubungkan ke pompa yang menyediakan
kompresi berurutan dari ujung ekstremitas terhadap tubuh; dapat digunakan di klinik atau di rumah dan
berguna dalam mencegah jaringan parut jangka panjang, tetapi tidak dapat digunakan pada semua individu
seperti penderita gagal jantung kongestif, thrombosis vena dalam atau infeksi tertentu
b. Pembalut yang dibungkus lebih erat di ujung ekstremitas dan dibungkus lebih longgar terhadap bagasi
bermanfaat untuk mendorong aliran getah bening dari ekstremitas menuju pusat tubuh.
c. Latihan berupa kontraksi yang ringan untuk merangsang otot-otot lengan atau kaki dapat dianjurkan oleh
dokter atau ahli terapi fisik untuk membantu merangsang aliran getah bening.
d. Pembedahan pada lymphedema untuk menghilangkan kelebihan cairan dan jaringan dalam kasus yang
parah tetapi tidak mampu menyembuhkan lymphedema.
e. Lymphedema adalah penyakit kronik yang tidak bisa disembuhkan secara sempurna, tidak ada obat terapi
yang efektif. Gunakan benzopiron (dikumarol) dan injeksi kortikosteroid untuk meningkatkan transport
limfatik. Diuretik bisa digunakan eksaserbasi akut dari edema sekunder untuk infeksi. Diuretik tidak
dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang.
4. Limfoma
4.1 Pengertian
Limfoma adalah kanker yang terjadi pada sistem limfatik. Sistem limfatik terdiri dari pembuluh, kelenjar
limfatik, dan organ getah bening. Sistem limfatik memiliki Sirkulasi saling berhubungan. Jika ada kelainan
atau tumor, maka akan bisa menyebar melalui sirkulasi. Limfoma terdiri dari limfoma Hodgkin dan non-
Hodgkin (Mengko & Surarso 2009). Limfoma Hodgkin adalah limfoma yang terjadi karena mutasi pada sel
limfosit B, sedangkan pada limfoma non-Hodgkin itu terjadi karena mutasi DNA pada sel B dan T. Non
Hodgkins umum terjadi pada anjing, terhitung sekitar 83% dari kasus hematopoiesis limfoid. Dalam kasus
anjing berusia <1 tahun Tahun, 1,5 / 100.000 kasus, dan anjing berumur 10 tahun Tahun, yaitu 84 / 100.000
kasus (Marconato et al., 2013).
4.2 Etiologi
Penyebab limfoma belum sepenuhnya dipahami ada beberapa faktor risiko yang dapat memicunya
Limfoma. Faktor risiko ini termasuk usia, perubahan genetika, infeksi, bahan kimia radiasi, dan penyakit
Imunodefisiensi tertentu (Mengko & Surarso 2009). Diagnosa Limfoma harus melalui beberapa
pemeriksaan sebelum dapat ditemukan Stadium kanker yang dialami pasien. Stadium kanker Limfoma
terbagi menjadi 4 stadium, yaitu I, II, II dan IV. Sel kanker stadium I bertemu area tertentu dari kelenjar
getah bening. Stadium II, sel limfoma memiliki setidaknya 2 kelompok kelenjar getah bening. Limfoma
stadium III ada di kelompok kelenjar getah bening atas dan bawah di organ atau jaringan yang mengelilingi
diafragma atau getah bening. Limfoma stadium IV telah menyebar ke semua organ atau jaringan selain
kelenjar getah bening, mungkin saja di hati, darah atau sumsum tulang (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2015).
4.3 Patogenesis
Biasanya, mukosa dengan limfoma asso-like lymphoid tissue (MALT) muncul di jaringan atau organ yang
tidak normal terdapat jaringan limfoid, seperti area orbital, Tetapi terdapat jaringan limfoid reaktif yang
menanggapi rangsangan antigen persisten atau disebabkan oleh peradangan kronis penyakit autoimun.
Analisis mutasi somatik di wilayah variabel imunoglobulin (V) Fragmen gen (Ig) dan rantai berat (H) yang
memiliki bukti efek stimulasi antigen patogenesis kronis limfoma MALT. Awalnya, proses ini bergantung
pada rangsangan Antigenisitas yang berkelanjutan, dan akhirnya menjadi otonom. Stimulasi antigen kronis
bisa terjadi ketidakstabilan dan kelainan genetik kromosom, yang kemudian menyebabkan klon sel limfoid
normal berubah menjadi limfoma MALT. Kelainan genetik adisional, yaitu mutasi / penghapusan p53 atau
p16, Akhirnya mengarah pada pengembangan arah limfoma yang lebih agresif (menyebar Limfoma besar
sel-B) lebih kecil dari 10% kasus. Sifat proses inflamasi dasar pasien limfoma bagian MALT tidak
diketahui kasus besar. Sebuah studi cohort yang dilakukan di Inggris Termasuk 369 pasien limfoma MALT,
menunjukkan prevalensi tirotoksikosis autoimun yang signifikan (5%) pada pasien dengan penyakit tiroid
orbital, sebelum diagnosis limfoma MALT, mediannya adalah 17,5 tahun. Potensi mikroba patogen pada
proses peradangan dan akhirnya memicu Akuisisi MALT juga memainkan peran penting dalam
transformasi dan ekspansi ganas limfoma klonal lanjut. Diantara pasien Laporkan limfoma MALT primer
menunjukkan adany hubungan dengan DNA Helicobacter pylori dan klamidia pneumonia. Ferrari, dkk
membuktikan hubungan ini antara limfoma dan infeksi C Psittaci (Cp) pada pasien Italia. DNA Cp
terdeteksi melalui imunohistokimia dan analisis PCR dilakukan pada 80% dari 40 sampel limfoma.
Faktanya, suhu DNA bakteri ditemukan menjadi 43% sel mononuklear darah tepi pasien, tapi tidak
diantara pendonor yang sehat.
4.4 Faktor Resiko
Faktor resiko tersebut adalah sebagai berikut :
1. Umur: resiko NHL meningkat dengan bertambahnya umur 2. lnfeksi :
a. lnfeksi HIV lnfeksi virus Epstein-Barr, salah satu faktor etiologi mononucleosis
b. Infeksi H pylori, bakteri yang hidup di traktus digestif
c. Infeksi virus hepatitis B atau hepatitis C .
3. Kondisi medis yang merusak sistem imun
a. HIV
b. Penyakit autoimun
c. Penggunaan terapi imunosupresif (sering digunakan seteiah transplantasi organ)
d. Penyakit imunodefisiensi herediter (ataxia telangiectasia)
4. Paparan terhadap bahan kimia
a. Pekerjaan petani atau pekerjaan dengan paparan terhadap bahan kimia toksik tertentu seperti pestisida,
herbisida, atau benzene.
b. Pewarna rambut
5. Genetik : riwayat keluarga positif limfoma
4.5 Diagnosa
Evaluasi awal pasien Limfoma melakukan pengambilan sampel fisiologis dan jaringan yang cukup ketat
untuk diagnosis histopatologis. Rencana perawatan lanjutan termasuk riwayat kesehatan dan pemeriksaan
lengkap Pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium rutin, protein stimulasi listrik serum, LDH serum,
Beta 2- mikroglobulin, rontgen dada, CT scan Dada, perut dan panggul dan biopsi sumsum. Pemeriksaan
CT dan peningkatan MRI kontras adalah alat pencitraan radaiografik. Kunci untuk mengevaluasi
proliferasi adneksa okular. Alat-alat ini membantu dalam mengkaji lokasi, ukuran dan derajat infiltrasi
Limfoma. Tampilan Radiografi umum dari lesi limfatik, yaitu lesi bening, dari kepadatan hingga
homogenitas, fokus kepadatan sedikit lebih tinggi, tepinya jelas, dekat dengan struktur yang berdekatan.
Menyusup ke bola mata atau erosi tulang adalah ciri yang jarang dari limfoma MALT. Pencitraan Positron
Emission Tomography (PET) mungkin berguna selain mengevaluasi limfoma, meskipun sensitivitas rendah
(27%) dalam mendeteksi lesi orbita. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa PET memiliki
sensitivitas lebih tinggi dari CT scan dalam mendeteksi penyakit tingkat metastasis pasien (86% vs 72%)
kelenjar getah bening orbital membengkak. Dalam 71% kasus, menggunakan pencitraan PET dan CT scan
sehingga MRI telah memberikan informasi signifikan secara klinis lainnya saya menyebabkan peningkatan
dan perubahan alam manajemen pasien.
4.6 Manifestasi Klinis Dan Gejala Limfoma
Gejala yang sering ditemukan pada penderita limfoma pada umumnya non spesifik, diantaranya:
1. Penurunan berat badan >10% dalam 6 bulan
2. Demam 38 derajat Celcius >1 minggu tanpa sebab yang jelas 3. Keringat malam banyak
4. Cepat lelah
5. Penurunan nafsu makan
6. Pembesaran kelenjar getah bening yang terlibat
7. Dapat pula ditemukan adanya benjolan yang tidak nyeri di leher, ketiak atau pangkal paha (terutama bila
berukuran di atas 2 cm); atau sesak napas akibat pembesaran kelenjar getah bening mediastinum maupun
splenomegali.
Tiga gejala pertama harus diwaspadai karena terkait dengan prognosis yang kurang baik, begitu pula bila
terdapatnya Bulky Disease (KGB berukuran > 6- 10 cm atau mediastinum >33% rongga toraks).2 Menurut
Lymphoma International Prognostic Index, temuan klinis yang mempengaruhi prognosis penderita LNH
adalah usia >60 tahun, keterlibatan kedua sisi diafragma atau organ ekstra nodal (Ann Arbor III/IV) dan
multifokalitas (>4 lokasi).
5. Leukemia limfoblastik
5.1 Pengertian
Leukemia adalah salah satu kanker pada jaringan pembentuk darah yang diakibatkan oleh kemunculan
mutasi somatik yang multistep pada sel progentor limfoid. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak
namun lebih banyak emakan nyawa orang dewasa. Penyakit Leukemia limfoblastik dapat menjadi semakin
parah atau dapat menjadi beberapa stadium. Oleh karena itu penyakit ini harus segera di tangani karena
dapat mengakibatkan kematian (Rahmadin, dkk, 2017).
5.2 Etiologi
Penyebab dari penyakit ini belum diketahui pasti, awal dan proses terjadinya leukemia limfoblastik ini
dikarenakan mutasi yang mengubah fungsi selular seperti meningkatnya kemampuan self renewal,
perubahan dalam kendali proliferase normal, blok terhadap proliferase dan tingginya resistensi terhadap
apoptosis (Hendra, 2018). Human T-cell Leukemia Virus-1 atau HTLV-1, umur, gender, etnis, umur ibu
penderita saat melahirkan dan juga karakteristik bayi yang dilahirkan merupakan beberapa faktor yang
mempengaruhi leukemia. Pemakaian sampo yang mengandung insektisida pada anak-anak kecil adalah
contoh faktor yang mempengaruhi terjadinya leukemia limpoblastik. Gangguan respon imun yang terjadi
saat bulan-bulan awal anak lahir merupakan respon dari infeksi yang juga mencoba untuk melawan
leukemia pada tubuh anak (Hendra, 2018).
5.3 Faktor risiko
Faktor risiko dari penyakit leukemia limfoblastik bisa berupa genetik yaitu kelainan gen dan translokasi gen
ataupun bisa dari lingkungan yaitu paparan radiasi ion dan non-ion, asap rokok, pestisida, alkohol (Hendra,
2018).
Morfologi Sel
Pemeriksaan kajian aspirasi sumsum tulang adalah langkah mendiagnosis leukemia limfoblastik dengan
standar baku. Morfologi dari bentuk sel dan presentase sel limfossit muda dapat dilhat setelah pewarnaan
hasil, dan kurang lebih akan diteukan 25% limfoblas (Larasati, 2016).
5.4 Klasifikasi
Berlandasan dari French American British (FAB), klasifikasi leukemia limfoblas dibedakan dari bentuknya,
ukuran intinya, dan sitoplasma dari sel limfoblas dibagi menjadi tipe L1, L2 dan L3. Gambaran sitologi dari
tipe L1 adalah ukurannya yang cenderung kecil, kromatin nukleusnya bersifat homogen, ukuran dari
nukleusnya reguler namun kadang ditemui juga yang sedikit melengkung dan kadanag terbelah, nukleoli
tidak terlihat atau berukuran kecil, jarang terdapat kandungan sitoplasma, basofilia dalam sitoplasma
memiliki warna yang pudar dan vakuola yang berada dalam sitoplasma bervariasi (Larasati, 2016).
Gambaran sitologi tipe L2 adalah memiliki ukuran yang besar, kromatin nukleus bersifat heterogen atau
dapat dikatakan bervariasi, ukuran nukleusnya irregular atau sering berbentuk belahan dan juga lekukan,
nukleolinya lebih atau sama dengan 1 dan ukurannya pun termasuk besar, kandungan sitoplasmanya
beragam dan kadang juga berlebih, basofilia dalam sitoplasma berfariasi dan warnanya lebih jelas jika di
bandingkan dengan tipe L1 dan vakuola dalam sitoplasmanya berfariasi (Larasati, 2016).
Gambaran sitologi pada tipe L3 adalah ukuran selnya yang didominasi dengan ukuran yang bedsar,
kromatin nukleus bersifat homogen dengan tipe stipped, ukuran nukleusnya regular seperti lonjong dan
bulat, nukleolinya prominent, kandungan sitoplasmanya sering berlebih, basofilia dalam sitoplasma
memiliki warna paling jels dibandingkan dengan tipe L1 dan L2 dan vakuola dalam sitoplasmanya lebih
sering dominan (Larasati, 2016).
5.5 Gejala
Gejala klinis dari LLA bermacam-macam. Pada umumnnya gejala klinis yang timbul merupakan gambaran
dari kegagalan sumsum tulang atau keterlibatan ekstramedular oleh sel leukemia. Berkurangnya sel-sel
normal di perifer disebabkan oleh akumulasi sel-sel limfoblas ganas di sumsum tulang dan gejala infeksi
klinis dapat berhubungan dengan demam, anemia, infeksi, dan perdarahan. Gejala klinis seperti demam atau
infeksi dapat ditemukan pada separuh penderita LLA, sedangkan gejala klinis seperti perdarahan dapat
ditemukan pada sepertiga penderita yang baru didiagnosis LLA. Terlebih lagi perdarahan yang berat jarang
ditemukan. Gejala-gejala dan tanda klinis yang dapat ditemukan:
a. Anemia menyebabkan mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada. b. Anoreksia atau berat badan yang
menurun karena proliferasi dan metabolisme sel-sel leukemia yang begitu cepat.
c. Nyeri tulang dan sendi (karena infiltrasi sumsum tulang oleh sel-sel leukemia).
d. Demam, banyak berkeringat (gejala hipermetabolisme).
e. Infeksi mulut, saluran napas atas dan bawah, selulitis, atau sepsis. Penyebab tersering adalah
stafilokokus, streptokokus, dan bakteri gram negatif usus, serta berbagai spesies jamur. Infeksi ini sering
terjadi berulang yang disebabkan karena neutropeni atau berkurangnya jumlah neutrofil.
f. Perdarahan kulit (petechiae, atraumatic ecchymosis), perdarahan gusi, hematuria, perdarahan saluran
cerna, perdarahan otak, di mana perdarahan-perdarahan ini terjadi karena trombositopenia.
g. Hepatomegali, splenomegali, limfadenopati yang disebabkan infiltrasi sel-sel leukemia ke berbagai
jaringan dan organ.
h. Massa di mediastinum (sering pada LLA sel T).
i. Leukemia sistem saraf pusat: nyeri kepala, muntah (gejala tekanan tinggi intrakranial), perubahan dalam
status mental, kelumpuhan saraf otak terutama sarfa VI dan VII, kelainan neurologik fokal, jekang, sampai
terjadi koma.
j. Keterlibatan organ lain: testis, retina, kulit, pleura, perikardium, tonsil. (Liem. F. E, 2019)
5.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dari LLA adalah peeriksaan darah tepi dan sumsum tulang. (Soegeng Soegijanto,
2016) tetapi ada pemeriksaan penunjang lainnya juga. Pemeriksaan meliputi:
1. Pemeriksan darah tepi, terdiri dari:
a. Hemoglobin, anemia normositik normokromik
b. Leukosit
c. Blast, umumya sangat banyak apabila angka leukosit di atas 10.000/mm3
d. Trombosit. Kebanyakan pasien memiliki angka trombosit dibawah normal.
2. Pemeriksaan sumsum tulang. Pemeriksaan limfoblas pada sumsum tulang belakang, jumlah limfoblas
sumsum tulang belakang adalah 25% atau 30%.
3. Radiologis dada. Pemeriksaan ini dilakukan karena adanya kemungkinan ditemukannya massa
mediastinal pada LLA sel-T. 4. Survei tulang rangka
5. Kimia darah, seperti elektrolit, urea darah, asam urat, tes fungsi hati, dan kadar Ig
6. Cairan serebrospinal
7. Test koagulasi
8. Fungsi jantung, dilakukan dengan EKG dan ekokardiografi (Soegeng Soegijanto, 2016)
Pemeriksaan hematologis memperlihatkan anemia normokromik normositik pada sebagian besar kasus
diikuti dengan trombositopenia. (Liem. F. E, 2019) Anemia normokromik normositik adalah anemia yang
terjadi ketika ukuran dan warna SDM (eritrosit) normal (Tambayong, 2000). Ukuran atau volume rata-rata
eritrosit bisa juga disebut dengan MCV (Admin, 2017). Trombositopenia adalah penurunan zat pembeku
darah. (Oktaviano, 2019)
Pemeriksaan aspirasi sumsum tulang, didapatkan komponen sumsum tulang mengandung 30% sel blast.
Pasien dimasukkan kategori risiko tinggi bila jumlah leukosit darah tepi >50.000/ml, ditemukan sel blast
pada susunan saraf pusat, jumlah total sel blast setelah 1 minggu diterapi lebih dari 1000/mm, ada massa di
mediastinum, dan umur <1 tahun atau>10 tahun. Kemudian untuk mengetahui dasar-dasar pengobatan
maka dilakukan tes fungsi hati dan ginjal. (Liem. F. E, 2019)
6. Kawasaki
6.1 Pengertian
Penyakit Kawasaki (PK) atau sindrom Kawasaki pertama kali diperkenalkan oleh Dr Tomisaku Kawasaki
di Jepang pada tahun 1967. Dari data ekokardiografi dan angiografi didapatkan bahwa pada 20-40% kasus
PK yang tidak diobati akan terjadi kelainan arteri koroner jantung dengan segala konsekuensinya seperti
trombosis koroner, stenosis koroner dan infark miokard yang sebagian dapat berakhir dengan kematian.
Diagnosis dini dan penanganan yang cepat dan tepat dapat mencegah atau setidaknya mengurangi
kemungkinan terjadinya komplikasi jantung.
6.2 Epidemiologi
Di banyak negara berkembang penyakit jantung rematik merupakan penyakit jantung didapat yang tersering
dijumpai pada anak. Sedangkan di negara negara maju, yang paling sering adalah penyakit Kawasaki. Di
Jepang insiden per tahun mencapai 112 kasus per 100 000 balita yang merupakan tertinggi di dunia. Di
Amerika Serikat insiden bervariasi dari 9,1 (kulit putih) sampai 32,5 (pada keturunan Asia-Pasifik) per 100
000 anak balita.
Di Indonesia sudah ditemukan lebih dari 100 kasus terutama di daerah Jabotabek. Advani dkk. pada tahun
2005 melaporkan seri kasus pertama PK di Indonesia pada Simposium Internasional Penyakit Kawasaki ke
VIII di San Diego, Amerika Serikat. Sejak itu Indonesia secara resmi masuk dalam peta penyakit Kawasaki
dunia. Berdasarkan perhitungan angka kejadian diberbagai negara, Advani memperkirakan angka kejadian
di Indonesia setidaknya 5000 kasus baru setiap tahun. Dari 5000 kasus baru per tahun ini, kasus yang
sempat terdeteksi dan diobati, masih di bawah 100 atau baru sekitar 2 %. Berarti masih sekitar 98 % kasus
PK di Indonesia yang belum terdiagnosis. Penyebabnya adalah kurangnya pengetahuan baik dari kalangan
medis maupun kalangan awam tentang penyakit ini.
Penyakit ini umumnya ditemukan pada anak balita, 80% kasus ditemukan pada usia di bawah 4 tahun dan
jarang ditemukan pada usia kurang dari 3 bulan atau lebih dari 8 tahun. Usia tersering adalah 1-2 tahun .
Sedangkan kasus termuda yang dilaporkan di Indonesia adalah bayi usia 3 bulan. Penyakit ini lebih sering
ditemukan pada laki laki dengan rasio sekitar 1.3-1.5 : Angka kekambuhan PK sekitar 3%.
6.3 Etiologi
Hingga saat ini berbagai penelitian belum dapat menemukan etiologi penyakit ini. Gambaran klinis dan
epidemiologis penyakit ini sangat mendukung kemungkinan adanya suatu proses infeksi. Diduga penyakit
ini dipicu oleh gangguan sistem imun yang didahului oleh suatu proses infeksi.
6.4 Patogenesis
Terjadi vaskulitis sistemik pada seluruh pembuluh darah dalam tubuh terutama pada arteri ukuran sedang
dengan predileksi utama pada arteri koroner di jantung. Pada fase akut dan subakut terjadi edema pada
endotel dan otot polos yang disertai infiltrasi sel inflammasi di dinding vaskuler yang diawali oleh sel
polimorfonuklear dan berlanjut dengan sel mononuklear, limfosit (terutama sel T) dan sel plasma. Pada
vaskular yang terserang berat, proses peradangan terjadi pada tiga lapis dinding sehingga terjadi dilatasi
atau aneurisma. Trombus dapat terbentuk pada lumen sehingga meyumbat aliran darah. Pada fase
penyembuhan, lesi menjadi fibrotik dengan proliferasi intima yang berakibat terjadinya stenosis atau
sumbatan vaskular tersebut. Pada fase subakut, kadar semua jenis imunoglobin meningkat yang
menandakan terjadinya respons antibodi yang hebat. Hingga saat ini belum jelas apakah kerusakan arteri
koroner disebabkan oleh agen etiologik, respons imun penjamu atau keduanya .
6.5 Gejala Penyakit Kawasaki
Gejala penyakit Kawasaki muncul dalam tiga tahap, dan berlangsung selama kurang lebih 1,5 bulan,yaitu :
1. Tahap pertama
Tahap pertama terjadi pada minggu ke-1 sampai minggu ke-2. Pada tahap ini, gejala yang muncul adalah:
1. Demam yang berlangsung selama lebih dari 3 hari.
2. Bibir dan lidah kering, kemerahan, serta pecah-pecah.
3. Ruam kemerahan muncul di hampir seluruh bagian tubuh.
4. Telapak tangan dan kaki membengkak, serta memerah.
5. Mata memerah, tanpa disertai keluarnya cairan.
6. Muncul benjolan di leher akibat pembengkakan kelenjar getah bening.
2. Tahap kedua
Gejala pada tahap kedua muncul pada minggu ke 2 - minggu ke 4. Gejala pada tahap kedua yaitu:
1. Diare
2. Muntah
3. Sakit perut
4. Sakit kepala
5. Tubuh terasa lelah
6. Nyeri dan pembengkakan pada sendi
7. Kulit di jari tangan dan kaki terkelupas
8. Kulit dan bagian putih mata tampak menguning
9. Terdapat nanah dalam urine
3. Tahap ketiga
Tahap ketiga terjadi pada minggu ke-4 sampai minggu ke-6, ditandai dengan mulai meredanya gejala.
Meskipun demikian, kondisi anak masih lemas dan mudah lelah. Butuh waktu setidaknya 8 minggu sampai
kondisi anak kembali normal.
6.5 Manifestasi klinis
Gejala klinis pada PK tidak patognomonik, karena itu dibuat kriteria klinis guna memudahkan diagnosis.
Manifestasi klinis tergantung fase penyakitnya. Tidak semua gejala klinis tampil pada satu saat sehingga
kadang kita perlu menunggu sambil mengamati gejala yang timbul sebelum menegakkan diagnosis.
Perjalanan penyakit ini dibagi atas 3 fase:
1. Fase akut (10 hari pertama)
A. Terdapat enam gejala yang bersifat diagnostik
1. Demam tinggi mendadak , dapat mencapai 41º C dan bersifat remiten. Demam ini tidak menunjukkan
respon terhadap antibiotik. Jika tidak diobati demam dapat berlangsung selama 1-2 minggu, bahkan bisa 3-
4 minggu. Dalam 2-5 hari setelah timbul demam, gejala lain akan muncul.
2. Konjungtivitis bilateral tanpa eksudat
3. Perubahan pada mulut : bibir merah terang yang kemudian menjadi pecah dan berdarah, lidah merah
(strawberry tongue) dan eritema yang difus pada rongga mulut dan faring.
4. Perubahan pada tangan dan kaki yaitu edema yang induratif dan kemerahan pada telapak tangan dan
telapak kaki, kadang terasa nyeri 5. Eksantema polimorfik (berbagai bentuk). Eksantema dapat dijumpai
dalam berbagai bentuk pada penderita yang sama dengan warna kemerahan. Distribusi bervariasi dapat di
wajah, badan atau ekstremitas. Sering juga menyerupai urtikaria dan gatal. Dapat berbentuk makula dan
papula sehingga menyerupai campak. Eksantema ini dapat hilang disatu tempat kemudian muncul ditempat
lain. Lesi jarang berbentuk vesikel, pustula atau bulosa. Kadang dapat dijumpai ruam kemerahan di daerah
perianal
6. Pembesaran kelenjar getah bening leher (servikal). Dijumpai pada sekitar 50% penderita. Hampir selalu
bersifat unilateral dan berukuran >1,5 cm.
Tanda dan gejala lain yang mungkin dijumpai :
1. Piuria steril (pada 60% kasus)
2. Gangguan fungsi hepar (40 %)
3. Artritis sendi besar (30%), dapat juga pada sendi kecil
4. Meningitis aseptik (25%)
5. Nyeri perut dengan diare (20%)
6. Hidrops kandung empedu dengan ikterus (10%)
B. Kelainan kardiovaskular yang mungkin timbul : takikardi, irama derap, bising jantung, kardiomegali,
efusi perikardium, disfungsi ventrikel kiri, perubahan EKG (PR interval memanjang, voltase QRS rendah,
ST depresi/elevasi, QTc memanjang). Kelainan arteri koroner mulai terjadi pada akhir minggu pertama
hingga minggu kedua.
2. Fase subakut (hari 11-25 )
1. Deskuamasi ujung jari tangan dan kemudian diikuti jari kaki (karakteristik)
2. Eksantema, demam dan limfadenopati menghilang
3. Perubahan kardiovaskular yang nyata mungkin timbul : dapat terjadi dilatasi/aneurisma a. koroner, efusi
perikardium, gagal jantung dan infark miokard.
4. Jumlah trombosit meningkat (trombositosis) dan dapat mencapai lebih dari 1.000.000 / mm3.
3. Fase konvalesen (6-8 minggu)
Pada fase ini laju endap darah dan hitung trombosit mencapai nilai normal kembali. Dapat dijumpai garis
transversal yang dalam pada kuku jari tangan dan kaki yang dikenal sebagai Beau’s lines . Meskipun anak
tampak menunjukkan perbaikan secara klinis, namun kelainan jantung dapat berlangsung terus.
6.6 Diagnosis
Diagnosis PK didasarkan kepada gejala klinis semata. Tidak ada pemeriksaan penunjang yang dapat
memastikan diagnosis.Terdapat 6 kriteria gejala yang diagnostik :
1. Demam remiten, bisa mencapai 41º C dan berlangsung > 5 hari 2. Injeksi konjungtiva bilateral (tanpa
eksudat)
3. Kelainan di mulut dan bibir : lidah strawberry, rongga mulut merah difus, bibir merah dan pecah.
4. Kelainan tangan dan kaki : eritema dan edema pada fase akut serta deskuamasi ujung jsri tangan dan kaki
pada fase subakut
5. Eksantema yang polimorfik.
6. Limfadenopati servikal unilateral (diameter >1,5 cm)
Diagnosis PK dapat ditegakkan jika dijumpai kriteria demam ditambah empat dari lima kriteria yang lain.
Jika ditemukan kelainan arteri koroner, bersifat diagnostik meskipun dijumpai kurang dari empat kriteria
selain demam. Kriteria demam adalah mutlak. Semua kriteria dijumpai pada >90 % kasus kecuali
limfadenopati (50% kasus).
Jika ditemukan demam yang disertai kurang dari empat kriteria lain,namun disertai kelainan koroner pada
ekokardiografi atau angiografi, disebut penyakit Kawasaki inkomplit. Istilah inkomplit lebih disukai dari
pada atipik karena pada kasus inkomplit jumlah kriteria yang dijumpai kurang tetapi tidak menunjukkan
gejala yang atipik. Istilah atipik sebaiknya digunakan pada kasus yang bermasalah misalnya dengan
gangguan ginjal atau akut abdomen yang tidak lazim ditemukan pada PK. Kawasaki inkomplit sering
dijumpai pada bayi terutama pada usia < 6 bulan. Kasus PK inkomplit harus dipikirkan pada semua anak
dengan demam selama 5 hari atau lebih yang tidak dapat diterangkan penyebabnya, yang disertai 2-3
kriteria diagnostik . Penyakit Kawasaki harus dipertimbangkan sebagai diagnosis diferensial pada setiap
anak dengan demam selama beberapa hari yang disertai ruam dan konjungtivitis non purulen, terutama pada
anak berusia < 1 tahun dan juga pada remaja, pada usia mana diagnosis sering terabaikan.
6.7 Pemeriksaan penunjang
A. Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang patognomonik untuk PK. Hal hal yang dapat dijumpai adalah
1. Lekositosis dengan pergeseran kekiri pada hitung jenis
2. Reaktan fase akut meningkat: CRP (C Reactive Protein), laju endap darah, alpha 1 antitripsin.
3. Trombositosis dijumpai pada fase subakut, bisa mencapai >1.000.000/mm3.
a. Piuria (akibat uretritis)
b. Enzim hati meningkat.
c. Peningkatan enzim miokardium seperti Creatine Phospokinase MB (CPK MB) menunjukkan adanya
infark miokard.
B. Elektrokardiografi (EKG)
Harus dilakukan saat diagnosis ditegakkan.
EKG dapat menunjukkan gambaran voltage QRS rendah, perubahan gelombang ST : elevasi atau depresi,
QTc memanjang. Gelombang Q yang abnormal (lebar dan dalam) pada hantaran ektremitas atau prekodial
menunjukkan adanya infark miokard.
C. Foto thorax
Foto torak biasanya tidak banyak memberi informasi, meskipun demikian, dapat ditemukan kardiomegali
jika terjadi miokarditis atau kelainan arteri koroner atau regurgitasi katup yang berat.
D. Echokardiografi
Echokardiografi mutlak perlu dilakukan pada semua pasien yang dengan diagnosis PK atau kecurigaan PK
dan merupakan pemeriksaan yang terpenting. Tujuan ekokardiografi terutama mendeteksi kelainan arteri
koroner dan disfungsi jantung yang lain. Ekokardiografi pertama dilakukan saat diagnosis ditegakkan dan
diulang 2 minggu setelah awitan penyakit jika tidak ditemukan kelainan. Kemudian diulang lagi setelah 6
minggu sejak awitan. Jika hasil normal dan laju endap darah normal maka ekokardiografi tidak harus
diulang lagi. Jika ditemukan kelainan dan pada fase akut, ekokardiografi dapat dilakukan setidaknya sekali
seminggu , bahkan tiap 48 jam untuk memantau pertambahan dimensi aneurisma arteri koroner atau
pembentukan trombus.
2.1 Penyakit Organ Reproduksi
A. Endometriosis
a. Etiologi
Beberapa etiologi endometriosis yang dikemukakan oleh seorang ahli, terdiri dari beberapa macam poin dan
dipercaya sebagai mekanisme dasar endometriosis yaitu:
1. Menstruasi Retrograde
Etiologi endometriosis yang paling banyak dijumpai ialah menstruasi retrograde. Menstruasi retrograde
yakni adalah berbaliknya aliran darah menstruasi. Menstruasi retrograde menunjukkan bahwa letak
implantasi endometrium tidak sesuai dengan tempat asalnya (ektopik). Teori ini dikemukakan oleh
Sampson pada tahun
1927. Menurut hasil penelitiannya, ditemukan terjadinya refluks (darah menstruasi yang mengalir balik)
melalui saluran tuba ke dalam rongga pelvis. Darah yang mengalir balik ke rongga peritoneum disebutkan
dapat berimplantasi di permukaan peritoneum dan merangsang metaplasia peritoneum. (Eprints.
poltekkesjogja.ac.id: 9-11).
2. Imunologi dan Genetik
Salah satu penelitian internasional menganalisis banyak keluarga, di mana salah satu anggota keluarga
tersebut ada yang terinfeksi endometriosis. Kemudian disebutkan pada penelitian tersebut bahwa saudara
sekandung memiliki pertalian yang sangat kuat terhadap penyakit endometriosis ini. Karena faktor
kromosom memiliki hubungan yang cukup kuat. Sedangkan gangguan
pada sistem imunologi yaitu terjadi pada wanita yang terinfeksi endometriosis. Dmowski (yang dikutip dari
Eprints. poltekkesjogja.ac.id: 9-11) mengatakan, terjadinya ketidakberhasilan pada sistem penampungan
serta pembuangan zat-zat sisa saat menstruasi oleh makrofag dan fungsi sel NK yang menurun pada
endometriosis (Eprints. poltekkesjogja.ac.id: 9-11).
3. Metaplasia
Etiologi ini disampaikan oleh Robert Meyer yang menjelaskan bahwa endometriosis terjadi karena adanya
rangsangan pada sel-sel epitel yang berasal dari sel epitel selomik pluripoten dapat mempertahankan
hidupnya di daerah pelvis, sehingga terbentuk jaringan endometriosis. Teori ini didukung oleh penelitian
yang dapat menerangkan terjadinya pertumbuhan endometriosis di toraks, umbilikus dan vulva (Eprints.
poltekkesjogja.ac.id: 9-11).
4. Emboli Limfatik dan Vascular
Kegiatan ini dapat menggambarkan mekanisme terjadinya endometriosis di daerah luar pelvis. Sirkulasi
limfatik banyak terdapat di daerah retroperitoneal. Salah satu penelitian memperlihatkan bahwa pada 29%
wanita yang terinfeksi endometriosis, ditemukan terdapatnya nodul limfa di pelvis. Kondisi ini dapat
menjadi suatu landasan teori tentang endometriosis yang terjadi di luar pelvis, contohnya di paru (Eprints.
poltekkesjogja.ac.id: 9-11).
b. Faktor Risiko
Berdasarkan hasil penelitian tentang faktor risiko kejadian endometriosis dapat disimpulkan bahwa Ada
hubungan antara umur, usia menarche, panjang siklus menstruasi, riwayat IBS, dan konsumsi lemak trans
dengan kejadian endometriosis. Menurut Mukti, Prima (2014), faktor risiko sebagai berikut:
1. Umur
Hasil uji chi square dari data penelitian tentang umur dengan kejadian endometriosis, menunjukkan bahwa
ada hubungan antara umur dengan kejadian endometriosis. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Nur
hasanah (2011) yang menyatakan bahwa dari 60 responden terdapat 58 responden berusia 19-45 tahun yang
mengalami endometriosis. Menurut Manero et. al. (2009), Prevalensi dari endometriosis pelvik tinggi, yaitu
6-10% pada wanita usia reproduktif.
2. Usia Menarche
Sesuai dengan penelitian Mary L. Hediger (2006) yang menyatakan bahwa wanita yang mengalami
endometriosis lebih banyak ditemukan pada wanita yang mengalami menarche ≥14 tahun. Menurut Philippe
R. Koninckx dan Anastasia Ussia (2003) menyatakan bahwa menarche lebih awal (≤11 tahun) juga
berhubungan dengan kejadian endometriosis. Menurut Heba Mohamed Mamdouh (2010) juga menyatakan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara menarche lebih awal (≤11 tahun) dengan kejadian
endometriosis. Menurut Susan A. Teolar (2010), menarche lebih awal dapat meningkatkan risiko
endometriosis. Maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara usia menarche dengan kejadian
endometriosis.
3. Panjang Siklus Menstruasi
Ada hubungan antara panjang siklus menstruasi dengan kejadian endometriosis. Hal ini sesuai dengan
penelitian Heba Mohamed Mamdouh (2010) yang menyatakan bahwa siklus menstruasi yang pendek
berisiko 6 kali terkena endometriosis. Pada penelitian Kasey Brandt (2004) juga disebutkan bahwa siklus
menstruasi yang pendek ≤27 hari dapat meningkatkan risiko terkena endometriosis.
4. Riwayat IBS (Irritable Bowel Syndrome)
Ada hubungan antara riwayat IBS dengan kejadian endometriosis. Hal ini sesuai dengan penelitian Heba
Mohamed Mamdouh (2010) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat IBS
dengan kejadian endometriosis dengan perbandingan kasus sebesar 29,1% dan kontrol sebesar 16,6%
(AOR= 1,9; 95% CI:1.03–3.87). Seaman HE (2008), wanita yang mengalami endometriosis terdiagnosa 3,5
kali irritable bowel syndrome lebih banyak daripada wanita yang tidak mengalami endometriosis.
5. Konsumsi Lemak Trans
Sesuai dengan Linda C. Giudice (2010:1) yang menyatakan bahwa konsumsi daging merah dan lemak trans
dapat meningkatkan risiko terjadinya endometriosis. Menurut Stacey A. Missmer (2010:3) menyatakan
bahwa konsumsi lemak trans berhubungan dengan tingginya risiko endometriosis.
c. Tanda Gejala
Gejala endometriosis yang dapat ditemukan antara lain nyeri haid (dismenore), nyeri pelvis kronis,
dispareunia, diskezia, pendarahan uterus abnormal, dan infertilitas (Indrani, dkk., 2017)
d. Patogenesis
Hingga kini, patogenesis endometriosis masih belum jelas. Diperkirakan endometriosis ovarium muncul
akibat proses invaginasi dan metaplasia coelomic dari pelapis epitel ovarium atau dapat terjadi akibat
implantasi langsung jaringan endometrium ke dalam kista folikel atau kista luteum. Mekanisme lain yang
diperkirakan menjadi penyebab endometriosis peritoneum dan endometriosis pada ovarium
adalah perubahan mekanisme apoptosis sehingga terbentuklah implantasi endometrium (Chrestella, 2012).
e. Patofisiologi
Menurut (Prasetyani, 2020) ada beberapa teori mengenai patofisiologi terjadinya endometriosis antara lain
sebagai berikut:
1. Teori refluks haid serta implantasi sel endometrium di dalam rongga
peritoneum
Teori ini pertama kali diterapkan oleh John Sampson (1921). Bukti dari teori ini dapat diketahui dengan
ditemukannya darah haid dalam rongga peritoneum menggunakan laparoskopi. Kemudian, sel endometrium
yang berada dalam darah haid dapat dikultur serta dapat hidup menempel dan tumbuh berkembang pada sel
mesotel peritoneum.
2. Teori koelemik metaplasia
Merupakan teori yang menyatakan sel mesotel dapat mengalami perubahan menjadi sel endometrium
ektopik akibat dari stimulus tertentu terutama hormon. Bukti dari teori ini berupa ditemukannya
endometriosis pada perempuan pramenarke serta pada daerah yang tidak berhubungan langsung dengan
refluks haid seperti di rongga paru. Endometrium eutopik dan ektopik merupakan dua bentuk yang berbeda,
baik secara morfologi ataupun fungsional.
3. Sebaran melalui aliran darah (hematogen) serta limfogen.
4. Pengaruh genetik.
Endometriosis merupakan penyakit menurun terlihat secara genetik. Pada ibu atau saudara kandung
memiliki risiko tujuh kali lebih besar ditemukannya endometriosis.
5. Patoimunologi merupakan reaksi abnormal imunologi yang tidak
berusaha membersihkan refluks haid dalam rongga peritoneum
Keadaan ini justru akan memfasilitasi terjadinya endometriosis. Terjadinya penurunan apoptosis sel-sel
endometriosis ektopik. Pada kodisi endometriosis akan ditemukan adanya peningkatan jumlah makrofag dan
monosit di dalam cairan peritoneum, yang teraktivasi menghasilkan faktor pertumbuhan serta sitokin.
Kejadian ini akan merangsang pertmbuhan endometrium ektopik.
f. Pemeriksaan Penunjang
1. USG transvaginal
USG digunakan untuk mendiagnosis adanya kista endometriosis yang ukurannya >1 cm, namun tidak dapat
digunakan untuk melihat bintik-bintik endometriosis. Selain itu, USG transvagina dapat menemukan lokasi-
lokasi tumbuhnya sel endometrium selain di dinding rahim. Dengan menggunakan USG transvagina kita
dapat melihat gambaran karakteristik kista endometriosis dengan bentuk kista.
2. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Magnetic resonance imaging (MRI) menggunakan gelombang radio dan magnet yang kuat dibanding sinar
x. MRI dapat digunakan untuk mengetahui seberapa jauh pertumbuhan kanker endometrium ke badan uterus
dan membantu menemukan pembesaran kelenjar limfa.
3. Pemeriksaan Serum CA 125
Serum CA 125 adalah petanda tumor yang sering digunakan pada kanker ovarium. Pada endometriosis juga
terjadi peningkatan kadar CA 125. Namun, pemeriksaan ini mempunyai nilai sensitifitas yang rendah. Kadar
CA 125
juga meningkat pada keadaan infeksi radang panggul, mioma, dan trimester awal kehamilan. CA 125 dapat
digunakan sebagai monitor prognostik pascaoperatif endometriosis bila nilainya tinggi berarti prognostik
kekambuhannya tinggi. Bila didapati CA 125 > 65 mIU/ml pra operatif menunjukkan derajat beratnya
endometriosis.
4. Pembedaan Laparoskopi
Laparoskopi merupakan alat diagnostik baku emas (gold standard) untuk mendiagnosis endometriosis,
dengan pemeriksaan visualisasi langsung ke rongga abdomen,yang mana pada banyak kasus sering dijumpai
jaringan endometriosis tanpa adanya gejala klinis. Lesi aktif yang baru berwarna merah terang, sedangkan
lesi yang sudah lama berwarna merah kehitaman. Lesi nonaktif terlihat berwarna putih dengan jaringan
parut. Lesi merupakan jaringan yang abnormal dalam tubuh.
B. Disfungsi Ereksi
a. Etiologi
Penyebab DE ialah organik, psikogenik, dan campuran (Nancy Sasube dan Starry H. Rampengan, 2016)
1. Disfungsi gangguan ereksi organik
Merupakan gangguan ereksi karena terjadi kerusakan pada jaringan di tubuh, terutama pembuluh darah
2. Disfungsi gangguan ereksi psikogenik
Disebabkan oleh faktor psikis dan emosional seseorang. Tipe disfungsi ereksi ini tidak permanen dan
jaringan erektil tetap sehat karena hanya terjadi pada saat- saat tertentu, misalnya depresi, stres, dan kurang
percaya diri
3. Disfungsi gangguan ereksi campuran
b. Faktor Risiko
Terdapat berbagai faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya DE. Usia menjadi salah satu faktor risiko
yang penting. Shamloul dan Ghanem (2013) dalam Novianti (2017), melaporkan bahwa DE dibagi menjadi
psikogenik, organik (seperti neurogenik, hormonal, arterial, kavernosal atau obat- obatan), atau campuran
antara psikogenik dan organik. DE biasanya merupakan campuran antara psikogenik dan organik. Terdapat
juga literatur yang menyebutkan adanya factor iatrogenik sebagai salah satu risiko DE.
1. Usia
Usia menjadi salah satu faktor risiko terjadinya
disfungsi ereksi. Usia mempengaruhi terjadinya DE berkaitan dengan penurunan fungsi fisiologis dari
organ- organ tubuh. Pada penelitian lain yang dilakukan pada kelompok pria usia lanjut oleh Asmara di
Jakarta pada tahun 2011 ditemukan prevalensi disfungsi ereksi sebesar 80,5%.
2. Psikogenik
Faktor psikologis seperti stres, depresi, schizofrenia, dan berkurangnya gairah seksual mempengaruhi
sulitnya mengalami ereksi (Lasker dkk, 2010). Untuk saat ini, Disfungsi ereksi psikogenik secara umum
berhubungan dengan kelompok faktor yang memengaruhi, mempercepat, dan memelihara disfungsi ereksi
itu sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain faktor predisposisi seperti pengalaman traumatik masa lalu,
edukasi seks yang tidak adekuat, masalah kesehatan mental dan fisik atau faktor presipitasi seperti masalah
relasi, tekanan dalam keluarga atau social (Shamloul dan Ghanem, 2013 dalam Novianti, 2017).
3. Neurogenik
Beberapa kelainan neurologis yang sering dihubungkan dengan Disfungsi Ereksi, antara lain multi
sklerosis, epilepsi lobus temporalis, penyakit Parkinson, stroke, penyakit Alzheimer, dan trauma korda
spinalis (Shamloul dan Ghanem, 2013). Prevalensinya sebesar 10- 19% dari penyebab DE secara
keseluruhan. Disfungsi ereksi neurogenik berkaitan dengan kegagalan inisiasi ereksi. Hal ini berhubungan
dengan berbagai kelainan neurologis seperti disebutkan sebelumnya, yang secara garis besar dibagi dalam
kategori rusaknya bagian saraf sentral, perifer ataupun keduanya (Shridharani, 2016 dalam Novianti, 2017).
4. Endokrinogenik (Testosteron)
Androgen memainkan bagian penting dalam meningkatkan gairah seksual dan mempertahankan ereksi saat
tidur secara adekuat, namun memiliki efek yang terbatas untuk memulai ereksi. Sebagai tambahan,
testosteron berperan penting dalam regulasi sintesis Nitric Oxid (NO) dan PDE5 di dalam penis.
Hiperprolaktinemia menimbulkan disfungsi seksual berkaitan dengan rendahnya konsentrasi testosteron
(Shamloul dan Ghanem, 2013). Studi cross sectional yang dilakukan terhadap lebih dari 3000 pria usia 40-
79, konsentrasi testosterone bebas menurun 1,3 % per tahun. Pada studi lain terhadap 890 pria, ditemukan
penurunan kadar testestoron dibawah normal sebesar 20%, 30% dan 50% pada pria berusia 60 tahun, 70
tahun dan 80
tahun (Sinha, 2012 dalam Novianti, 2017).
5. Vaskulogenik
Faktor risiko yang sering berkaitan dengan insufisiensi arteri pada penis, termasuk aterosklerosis, hipertensi,
hiperlipidemia, merokok, diabetes mellitus, dan iradiasi pelvis. Disfungsi endotel merupakan hal yang paling
sering menjadi faktor risiko vaskuler yang dapat mengarahkan kepada DE arteriogenik. DE akan bertambah
baik jika konsentrasi lemak total dan LDL (Low-Density-
Lipoprotein), sebagaimana juga kolesterol menurun. Di sisi lain, diabetes, hipertensi, dislipidemia, obesitas,
dan merokok merupakan faktor risiko untuk penyakit kardiovaskuler dan disfungsi ereksi (Shamloul dan
Ghanem, 2013 dalam Novianti, 2017).
c. Tanda Gejala
Gejala utama yang menunjukkan bahwa pasien menderita DE adalah ditandai dengan ketidakmampuan
penis untuk mengeras atau ereksi, ketidakmampuan menjaga penis untuk tetap ereksi serta berkurangnya
keinginan untuk berhubungan seksual.
Disfungsi ereksi terjadi ketika ketiga hal tersebut terjadi secara berulang-ulang dan dalam jangka waktu
yang lama. Selain itu, penderita Disfungsi ereksi juga biasanya mengalami gejala yang mirip dengan
ejakulasi dini, ejakulasi tertunda, serta anorgasmia atau ketidakmampuan mencapai orgasme meski sudah
mendapat banyak stimulasi seksual.
Ejakulasi dini berbeda dengan disfungsi ereksi, dan ini sering disebut sebagai suatu hal yang sama
dikarnakan memiliki gejala yang hampir serupa. Disfungsi ereksi (DE) adalah ketidakmampuan organ
reproduksi pria untuk melakukan hubungan seksual akibat tidak terjadinya ereksi penis. Sedangkan ejakulasi
dini merupakan gangguan dimana penis dapat ereksi, namun tidak bertahan lama dan mencapai orgasme
dalam waktu yang singkat (Sumampouw, 2015).
d. Patogenesis
Menurut National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diasease (1993:83-90), Mc Vary KT
(2007) dan American Association of Clinical Endocrinologist Medical Guidelines for clinical practice for
the evaluation and treatment
of male sexual dysfunction (2003:78-94) dalam Rampengan (2016), fungsi seksual pada laki-laki normal
membutuhkan respon yang terintegrasi antara rangsangan pusat dan lokal. Sinyal saraf yang berasal dari
otak ditransmisikan ke pusat ereksi torakolumbalis dan memicu ereksi. Proses ini bekerja secara erat dengan
refleks ereksi yang melibatkan stimulasi skrotum atau genital, yang mengaktifkan impuls saraf di nervus
pudenda ketika ditransmisikan ke vertebra Sakral 4-5, akan merangsang reflex ereksi. Meskipun sinyal saraf
sangat penting, ereksi pada akhirnya ditentukan oleh faktor vaskular yang mengatur aliran darah ke korpora
kavernosa. Aliran darah yang mengalir ke kavernosum diperantarai oleh senyawa kimia di intrakavernosa
yang melibatkan sintesis enzim nitric oxide synthase (NOS), nitric oxide (NO), dan enzim siklase adenilat
yang membantu menghasilkan guanosin monofosfat siklik yang diperlukan untuk memaksimalkan aliran
darah pada intra kavernosa dan meningkatkan tekanan dalam korpora kavernosa. Fungsi ereksi penis ialah
hasil interaksi yang kompleks antara faktor vaskular, saraf, hormonal, dan psikologis. Pencapaian dan
mempertahankan suatu ereksi membutuhkan aliran darah arteri yang baik dan terjebaknya aliran darah vena,
oleh karena itu proses penyakit yang memengaruhi fungsi arteri dan vena akan memengaruhi fungsi ereksi.
e. Patofisiologi
Keluhan dari BPH diakibatkan oleh adanya obstruksi dan sekunder akibat dari respon kandung kemih.
Komponen obstruksi dapat dibagi menjadi obstruksi mekanik dan dinamik. Pada hiperplasi prostat, obstruksi
mekanik terjadi akibat penekanan terhadap lumen uretra atau leher buli, yang mengakibatkan resistensi
bladder outlet. Komponen obstruksi dinamik menjelaskan berbagai jenis keluhan penderita. Stroma prostat
terdiri dari otot polos dan kolagen, yang dipersyarafi oleh
saraf adrenergik. Tonus uretra pars prostatika diatur secara autonom, sehingga penggunaan α-blocker
menurunkan tonus ini dan menimbulkan disobstruksi.
Patofisiologi disfungsi ereksi meliputi gangguan biologis (organik) dan psikososial, sehingga membuat penis
tidak dapat ereksi maksimal dan menimbulkan dampak ketidakpuasan seksual. Pada pria sehat, ereksi terjadi
karena respon terhadap rangsangan sentuhan, penciuman, dan penglihatan. Suplai aliran darah yang lancar,
fungsi saraf tepi yang baik, dan mekanisme biokimia yang adekuat merupakan faktor mutlak yang
dibutuhkan hingga ereksi dapat dimulai dan dipertahankan. Terdapat dua mekanisme sistem saraf yang
berlaku, yakni sistem saraf otonom yang berperan dalam ereksi serta orgasme, serta sistem saraf
parasimpatik yang berperan untuk menginisiasi dan mempertahankan ereksi. Terjadinya kontraksi penis jika
dijabarkan secara terperinci meliputi adanya mekanisme RhoA- Rho kinase, dan adanya faktor mediasi
seperti noradrenaline, endothelin-1, neuropeptide Y, prostanoids, angiotensin II, serta hal lain yang belum
dapat teridentifikasi. Sedangkan pada relaksasi penis terdapat faktor mediasi relaksasi seperti
acetylcholine, nitric oxide, vasoactive intestinal polypeptide, pituitary adenylyl cyclase activating peptide,
calcitonin gene related peptide, adrenomedullin, adenosine triphosphate, serta adenosine prostanoids.
f. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan hematuria. Kecurigaan adanya infeksi
saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan kultur urin, dan kalau terdapat kecurigaan adanya karsinoma
buli-buli perlu dilakukan pemeriksaan sitologi urin. Pada pasien BPH yang sudah mengalami retensi urin
dan telah memakai kateter, pemeriksaan urinalisis tidak banyak manfaatnya karena seringkali telah ada
leukosituria maupun eritostiruria akibat pemasangan kateter (IAUI, 2003). Serum kreatinin diperiksa untuk
evaluasi fungsi ginjal. Dikatakan bahwa gagal ginjal akibat BPH terjadi sebanyak 3−30% dengan rata-rata
13,6%. Serum Prostate Specific Antigen (PSA) dapat dipakai untuk mengetahui perjalanan penyakit dari
BPH. PSA disintesis oleh sel epitel kelenjar prostat dan bersifat organ spesifik tetapi bukan kanker spesifik.
Kadar PSA tinggi berarti pertumbuhan volume prostat lebih cepat, keluhan akibat BPH atau laju pancaran
urin lebih buruk, dan lebih mudah terjadinya retensi urin akut. Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat
diprediksikan berdasarkan kadar PSA. Semakin tinggi kadar PSA makin cepat laju pertumbuhan prostat
(García Reyes, 2017).
Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada peradangan, setelah manipulasi pada prostat
(biopsi prostat atau TURP), pada retensi urin akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua
(IAUI, 2003). Pemeriksaan lain yakni uroflowmetri. Uroflometri adalah pencatatan tentang pancaran urin
selama proses miksi secara elektronik. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran
kemih bagian bawah yang tidak invasif. Dari uroflometri dapat diperoleh informasi mengenai volume miksi,
pancaran maksimum (Qmax), pancaran rata-rata (Qave), waktu yang dibutuhkan untuk mencapai pancaran
maksimum, dan lama pancaran. Nilai Qmax dipengaruhi oleh: usia, jumlah urin yang dikemihkan (García
Reyes, 2017).
2.2 Infeksi Organ Reproduksi
A. Vaginitis
a. Etiologi
Menurut mayo Clinic tahun 2019, penyebab dari vaginitis tergantung pada jenis vaginitis yang dialami,
yakni:
1. Bakteri vaginosis
Pada umumnya vaginitis disebabkan karena adanya perubahan bakteri normal yang ada pada vagina menjadi
pertumbuhan berlebih dari organisme yang lain. Bakteri yang biasanya ditemukan di vagina yakni
lactobacilli yang dimana pada penderita vaginitis kalah jumlah dengan bakteri anaerob lain yang juga berada
di vagina penderita. Hal tersebut jika dibiarkan, dapat mengakibatkan bakteri anaerob akan semakin banyak
yang dimana hal tersebut dapat mengganggu keseimbangan sehingga menyebabkan vaginosis bakterialis.
2. Infeksi jamur
Vaginitis yang disebabkan karena infeksi jamur umumnya terjadi karena pertumbuhan berlebih dari
organisme jamur yakni candida albicans di vagina penderita. Candida albicans sendiri dapat tumbuh dan
menginfeksi area lembab tubuh lainnya seperti di mulut lipatan kulit, dan bantalan kuku.
3. Trikomoniasis
Trichomonas vaginalis merupakan salah satu parasit bersel satu mikroskopis yang dapat menyebabkan
infeksi menular seksual. Organisme ini dapat tertular ketika berhubungan seksual dengan individu yang
terinfeksi.
4. Vaginitis tidak menular
Vaginitis juga dapat disebabkan karena adanya reaksi alergi dari semprotan vagina, sabun wangi, deterjen
beraroma, dan produk spermisida. Selain itu adanya iritasi jaringan vulva dan vagina yang disebabkan
karena benda asing seperti kertas tisu atau tampon yang terlupa di dalam vagina juga dapat menjadi salah
satu penyebab vaginitis.
5. Sindrom menopause genitourinari (atrofi vagina)
Menopause juga menjadi salah satu penyebab vaginitis karena penurunan kadar estrogen. Selain itu operasi
pengangkatan ovarium juga dapat menyebabkan tipisnya lapisan vagina yang dapat mengakibatkan iritasi,
rasa terbakar, hingga kekeringan pada area vagina.
b. Faktor Risiko
Pada umumnya BV ditemukan pada wanita usia reproduktif dengan aktifitas seksual yang tinggi dan
promiskuitas, dan wanita hamil juga merupakan faktor resiko terjadinya BV (Selastri, A. Dkk. Universitas
Hasanuddin). Berdasarkan hasil studi, faktor yang menjadi penyebab terjadinya resiko penyakit vaginitis
diantaranya:
BV umumnya terjadi pada wanita usia produktif. Prevalensi dari bacterial vaginosis dan distribusi bentuk
tipenya bervariasi diantara populasi dunia.
1. Usia
Pada umumnya BV ditemukan pada wanita usia
reproduktif dengan aktifitas seksual yang tinggi dan promiskuitas. Peneliti di Amerika Serikat, melaporkan
angka kejadian BV pada wanita dengan usia kehamilan antara 23- 26 minggu sebesar 16,3%. (Dewi, 2008
dalam Selastri, A. Dkk. 2014. Universitas Hasanuddin).
2. Pekerjaan (status sosial ekonomi)
Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa bacterial vaginosis berkaitan erat
dengan status sosial ekonomi, yang diukur dengan pekerjaan, pendapatan dan tingkat pendidikan (32%)
(Selastri, A. Dkk. Universitas Hasanuddin). Bakterial vaginosis juga berkaitan erat dengan status sosial
ekonomi, yang diukur dengan pendapatan dan tingkat pendidikan 32% (Ocviyanti et al., 2010) (Selastri, A.
Dkk. 2014. Universitas Hasanuddin).
3. Penggunaan celana dalam
Lama penggunaan
Berdasarkan hasil studi penelitian terkait resiko kebiasaan mengganti celana dalam terhadap kejadian
vaginosis bakterial, peneliti menemukan hubungan yang signifikan antara kebiasaan mengganti celana
dalam secara rutin dengan kejadian vaginosis bakterial. Hasil studi mengungkapkan bahwasanya kebiasaan
mengganti celana dalam berperan sebagai faktor risiko kejadian vaginosis bakterial pada wanita usia subur.
Penelitian ini spesifik pada frekuensi mengganti celana dalam minimal 3 kali sehari.
Jenis bahan
Penelitian sebelumnya menemukan keterkaitan antara celana dalam yang ketat, jenis kain (nilon dengan
katun (Mark A K, 2010)
Waktu penggunaan
Penggunaan celana dalam pada malam hari (P. Korenek, 2003)
Cara mencuci
Penggunaan antiseptik kuat dalam mencuci celana dalam memiliki keterkaitan dengan kejadian vaginosis
bakterial (Ernawati. Dkk. Universitas Hasanuddin).
c. Tanda Gejala
Vaginitis merupakan sindrom klinis akibat pergantian Lactobacillus spp. penghasil hidrogen peroksidase
(H2O2). Pergantian Lactobacillus spp. ini menyebabkan penurunan konsentrasi H2O2 yang umumnya
ditandai dengan produksi sekret vagina yang banyak, berwarna abu-abu hingga kuning, tipis, homogen,
berbau amis dan terdapat peningkatan pH. Vaginitis merupakan penyebab paling sering dari keluhan duh
tubuh vagina dan keputihan yang bau, namun 50% pasien vaginitis tidak memberikan gejala apapun.
Hampir separuh pasien Vaginitis tidak memberikan gejala apapun. Pada pasien Vaginitis dengan gejala,
keluhan yang sering didapatkan yaitu bau dan rasa gatal. Keluhan tersebut disebabkan oleh peningkatan
Amin terutama Trimethylalamine yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang dicurigai menjadi penyebab
Vaginitis yaitu G. vaginalis, M. hominis, dan Mobiluncusspp (Pujiastuti & Murtiastutik, 2014).
d. Patogenesis
Patogenesis Bacterial Vaginosis, yakni bacterial vaginosis (BV) disebabkan oleh faktor-faktor yang
mengubah lingkungan asam normal di vagina menjadi keadaan basa yang mendorong pertumbuhan
berlebihan bakteri-bakteri penghasil basa. Ketika konsentrasi Lactobacilli yang merupakan flora normal
vagina jumlahnya menurun, bakteri ini jumlahnya dapat meningkat berlebihan sehingga menjadi spesies
dominan di lingkungan vagina yang dapat bersifat patogenik (Ilse Truter dan Michael Graz, 2013). Faktor-
faktor yang dapat mengubah pH (asam basa keseimbangan) melalui efek alkalinisasi antara lain adalah
mucus serviks, semen, darah haid, mencuci vagina (douching), pemakaian antibiotik, dan perubahan hormon
saat hamil dan menopause. Faktor-faktor ini memungkinkan terjadinya peningkatan pertumbuhan
Gardnerella vaginalis, Mucoplasma hominis, dan bakteri anaerob. faktor risiko lain yang telah dikaitkan
dengan Bacterial Vaginosis (BV) termasuk memiliki beberapa pasangan seks, pasangan seks pria baru, seks
dengan sesama jenis, hubungan seksual pertama pada usia dini, sering douching vagina, Penggunaan benda
asing vagina atau sabun wangi, merokok dan kurangnya vagina lactobacilli (Cherpes, etal. 2008).
Mencuci vagina (douching) sering dikaitkan dengan keluhan disuria, keputihan, dan gatal pada vagina. Pada
wanita yang beberapa kali melakukan douching, dilaporkan terjadi perubahan pH (asam basa keseimbangan)
vagina dan berkurangnya konsentrasi mikroflora normal sehingga memungkinkan terjadinya pertumbuhan
bakteri pathogen yang oportunistik (Vandepitte, et al.2011).
Flora vagina wanita tanpa Bacterial Vaginosis (BV) biasanya terdiri dari kuman gram-batang positif, dengan
dominasi oleh Lactobacillus crispalus, Lactobacillus jensenii dan Lactobacillus iners (Johnson dalam Truter
dan Graz 2013). Menurut Sobel (2000, dalam Hodiwala dan Koli, 2015) Pada Bacterial vaginosis (BV)
dapat terjadi simbiosis antara Gardnerella vaginalis sebagai pembentuk asam amino dan kuman anaerob
beserta bakteri fakultatif dalam vagina yang mengubah asam amino menjadi amin sehingga menaikkan pH
sekret vagina sampai suasana yang sesuai bagi pertumbuhan Gardnerella vaginalis. Beberapa amin diketahui
menyebabkan iritasi kulit dan menambah pelepasan sel epitel dan menyebabkan cairan yang keluar dari
vagina berbau tidak sedap, bakteri anaerob yang menyertai Bacterial vaginosis (BV) diantaranya
Bacteroides bivins, Bacteroides Capilosus dan Bacteroides disiens yang dapat diisolasikan dari infeksi
genitalia. Gardenella vaginalis melekat pada sel-sel epitel vagina in vitro, kemudian menambahkan
deskuamasi sel epitel vagina sehingga terjadi perlekatan duh tubuh pada dinding vagina. Organisme ini tidak
invasif dan respon inflamasi lokal yang terbatas dapat dibuktikan dengan sedikitnya jumlah leukosit dalam
sekret vagina dan dengan pemeriksaan histopatologis. Timbulnya Bakterial Vaginosis (BV) ada
hubungannya dengan aktivitas seksual atau pernah menderita infeksi Trichomonas. (Vandepitte, etal.2011).
e. Patofisiologi
Sekelompok kuman harus bekerja secara sinergistik untuk menimbulkan kejadian vaginosis. Flora campuran
kuman anaerob dapat tumbuh secara berlebihan sebagai akibat adanya peningkatan substrat, peningkatan
pH, dan hilangnya dominasi flora normal laktobasili yang menghambat pertumbuhan kuman lain. Pada
wanita normal dijumpai kolonisasi strain Laktobasili yang mampu memproduksi H2O2, sedangkan pada
penderita vaginosis terjadi penurunan jumlah populasi laktobasili secara menyeluruh, sementara populasi
yang tersisa tidak mampu menghasilkan H2O2. Diketahui bahwa H2O2 dapat menghambat pertumbuhan
kuman-kuman yang terlibat dalam vaginosis, yaitu oleh terbentuknya H2O-halida karena pengaruh
peroksidase alamiah yang berasal dari serviks. Dengan meningkatnya pertumbuhan kuman, produksi
senyawa amin oleh kuman anaerob juga bertambah, yaitu berkat adanya dekarboksilase mikrobial. Senyawa
amin yang terdapat pada cairan vagina yaitu putresin, kadaverin, metilamin, isobutilamin, fenetilamin,
histamin, dan tiramin (Putra, 2014).
Bakteri anaerob dan enzim yang bukan diproduksi oleh Gardnerella dalam suasana pH vagina yang
meningkat akan mudah menguap dan menimbulkan bau amis, bau serupa juga dapat tercium jika pada sekret
vagina yang diteteskan KOH 10%. Senyawa amin aromatik yang berkaitan dengan timbulnya bau amis
tersebut adalah trimetilamin, suatu senyawa amin abnormal yang dominan pada BV. Bakteri anaerob akan
memproduksi aminopeptida yang akan memecah protein menjadi asam amino dan selanjutnya menjadi
proses dekarboksilasi yang akan mengubah asam amino dan senyawa lain menjadi amin, yaitu
dekarboksilasi ornitin (metabolit arginin) akan menghasilkan putresin, dekarboksilasi lisin akan
menghasilkan kadaverin dan dekarboksilasi betain (metabolit
kolin) akan menghasilkan trimetilamin. Poliamin asal bakteri ini bersamaan dengan asam organik yang
terdapat dalam vagina penderita infeksi BV, yaitu asam asetat dan suksinat, bersifat sitotoksik dan
menyebabkan eksfoliasi epitel vagina. Hasil eksfoliasi yang terkumpul membentuk sekret vagina. Dalam pH
yang alkalis Gardnerella vaginalis melekat erat pada sel epitel vagina yang lepas dan membentuk clue cells.
Secara mikroskopik clue cellsnampak sebagai sel epitel yang sarat dengan kuman, terlihat granular dengan
pinggiran sel yang hampir tidak tampak (Putra, 2014).
f. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan pH vagina dengan menggunakan kertas lakmus
Peningkatan pH salah satunya didapatkan pada kelompok umur 41-45 tahun. Kadar estrogen mulai turun
pada masa perimenopause, sehingga kadar glikogen epitel vagina berkurang, akibatnya tingkat keasaman
vagina meningkat. Penelitian Eschenbach didapatkan sebanyak 178 wanita dengan pH < 4,4 tidak pernah
ditemukan clue cells, sedangkan 257 wanita yang mempunyai pH > 4,7 didapatkan clue cells sebesar 20%.
Terdapat duh tubuh vagina yang homogen, fishy odor, atau keduanya sebesar 89% dari 257 wanita tersebut.
Sensitivitas pH vagina paling tinggi pada BV tetapi spesifisitasnya paling rendah (Abdul Karim, 2016).
2. Pemeriksaan laboratorium
Dilakukan untuk menemukan clue cells yang merupakan sel skuamosa epitel vagina yang dipenuhi oleh
bakteri vagina. Batas dinding sel menjadi tidak jelas akibat penempelan oleh bakteri-bakteri bentuk batang
atau kokus misalnya Gardnerella, Mobiluncus, dan bakteri lainnya. Lactobacillus dapat juga menempel
pada sel epitel vagina walaupun jarang
dengan konsentrasi yang tinggi sehingga menyerupai clue cells. Pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas
60% dan spesitifitas 98% (Abdul Karim, 2016).
B. Prostatitis
a. Etiologi
1. Prostatitis Bakteri Akut
Prostatitis bakteri akut disebabkan oleh infeksi bakteri pada kelenjar prostat. Kebanyakan jenis bakteri yang
memicu prostatitis yaitu bakteri gram negatif (Escherichia coli, Enterobacter, Serratia, Pseudomonas,
Enterococcus, and spesies Proteus). Gejala yang khas adalah adanya keluhan infeksi saluran urinarius bagian
bawah, seperti peningkatan frekuensi buang air kecil mendadak, dan disuria.
2. Prostatitis Bakteri Kronis
Prostatitis bakteri kronis merupakan penyebab penting menetapnya bakteri di dalam saluran kencing bagian
bawah pada pria. Agen penyebabnya sama dengan prostatitis bakteri akut. Kuman batang gram negatif,
termasuk enterrobakteria dan pseudomonas merupakan kuman pathogen paling penting. Kuman kokus gram
positif, seperti Streptococcus faecalis atau Stapfilococcus saprophiticus merupakan penyebab prostatitis
bakteri akut. Gejala yang khas adanya infeksi saluran kencing yang rekuren
3. Chronic Pelvic Pain Syndrome (sindrom nyeri pinggul kronis)
Prostatitis ini merupakan bentuk prostatitis non bakteri. Namun penyebabnya tidak diketahui. Seseorang
yang pernah mengalami infeksi bakteri prostat sebelumnya mungkin berisiko mengembangkan jenis
prostatitis ini.
Penyakit ini dapat disertai gejala iritasi saluran kencing bagian bawah.
b. Faktor Risiko
1. Umur
Peningkatan risiko pada pria berumur lebih dari 50 tahun berhubungan dengan kelemahan fisik seperti pada
daerah buli (otot detrusor) dan penurunan fungsi saraf. Perubahan karena pengaruh umur tua menurunkan
kemampuan buli-buli dalam mempertahankan aliran urin pada proses adaptasi oleh adanya obstruksi karena
pembesaran prostat, sehingga menimbulkan gejala PPJ (Farah Diba, 2019).
2. Faktor Riwayat Keluarga
Seseorang akan memiliki risiko terkena PPJ lebih besar bila pada anggota keluarganya ada yang menderita
PPJ atau kanker Prostat. Dimana dalam riwayat keluarga ini terdapat mutasi dalam gen yang menyebabkan
gangguan dalam menekan resiko tumor sehingga sel akan berproliferasi secara terusmenerus tanpa adanya
batas kendali. (Farah Diba, 2019).
c. Tanda Gejala
1. Tidak bisa menahan rasa ingin kencing.
2. Frekuensi kencing yang tinggi, terutama pada malam hari (nocturia)
3. Nyeri dan sensasi panas ketika kencing (dysuria).
4. Mengalami kesulitan kencing, volume di kantung kemih sedikit dan ragu untuk
mengeluarkannya.
5. Nyeri pada perut, punggung bagian bawah, dan selangkangan.
6. Saat ejakulasi terasa sakit.
7. Sakit di antara bagian buah zakar dan anus.
8. Rasa tidak nyaman dan nyeri pada area testis dan penis.
9. Gejala seperti flu (bakteri prostatitis).
d. Patogenesis
Diawali dengan patogen yang mampu mengatasi pertahanan kekebalan alami kelenjar prostat. Infeksi
bakteri dapat melaluitransmisi seksual, penyebaran hematogenik, limfatik, atau lokasi yang berdekatan
dengan Kelenjar Prostat. Penyebab utama prostatitis terjadi karna reflusk dari urine itu sendiri. Asendens
dari uretritis, sititis dan epididimitis juga dapat menyebabkan prostatitis pula.
Ketika kekebalan alami kelenjar prostat sudah tidak dapat mengatasi, kejadian inflamasi dapat menyebabkan
terjadinya pembesaran kelenjar prostat yang dapat menekan uretra dan mengganggu proses berkemih.
e. Patofisiologi
Menurut Garmelia (2018), prostatitis merupakan salah satu penyakit kelamin yang menyerang pria. Penyakit
ini menyebabkan terjadinya pembengkakan atau peradangan pada bagian kelenjar prostat. Kelenjar ini
berfungsi untuk menghasilkan air mani dan menyalurkan sperma. Penyakit ini dapat menyebabkan
penderitanya sampai tidak dapat buang air kecil, rasa sakit saat buang air kecil, serta rasa tidak nyaman
bahkan juga flu. Penyakit ini dapat menyerang di semua usia muda maupun tua.
f. Pemeriksaan Penunjang
Mendiagnosis prostatitis melibatkan mengesampingkan kondisi lain sebagai penyebab gejala Anda dan
menentukan jenis prostatitis yang Anda miliki. Dokter Anda akan bertanya tentang riwayat kesehatan dan
gejala Anda. Ia juga akan melakukan pemeriksaan fisik, yang kemungkinan termasuk pemeriksaan colok
dubur.
1. Tes diagnostik awal mungkin termasuk:
Tes urine
Dokter Anda mungkin meminta sampel urin Anda dianalisis untuk mencari tanda-tanda infeksi pada urin
Anda (urinalisis). Dokter Anda mungkin juga mengirim sampel urin Anda ke laboratorium untuk
menentukan apakah Anda mengalami infeksi.
Tes darah
Dokter Anda mungkin memeriksa sampel darah Anda untuk mengetahui tanda-tanda infeksi dan masalah
prostat lainnya.
Pijat pasca prostat
Dalam kasus yang jarang terjadi, dokter Anda mungkin memijat prostat Anda dan menguji sekresi.
Tes pencitraan
Dalam beberapa kasus, dokter Anda mungkin memesan CT scan saluran kemih dan prostat Anda atau
sonogram prostat Anda. Gambar CT scan memberikan informasi yang lebih rinci daripada sinar-X biasa.
Sonogram adalah citra visual yang dihasilkan oleh USG.
2. Obat alternatif
1. Anamnesis/Tanya Jawab
Dari proses tanya jawab yang dilakukan dokter dan pasien mengenai keluhan yang terjadi pada pasien yang
memungkinkan pasien memiliki mioma uteri.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan bimanual tumor pada uterus, yang umumnya terletak di garis tengah atau pun agak ke samping,
seringkali teraba terbenjol-benjol. Mioma subserosum dapat mempunyai tangkai yang berhubung dengan
uterus.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Ultra Sonografi (USG)
Mioma uteri yang besar dapat terlihat jelas didiagnosis dengan kombinasi transabdominal dan transvaginal
sonografi. Gambaran sonografi mioma biasaanya adalah simetrikal, berbatas tegas, hypoechoic dan
degenerasi kistik menunjukkan anechoic.
b. Magnetic Resonance Imagine (MRI)
Miom uteri lebih baik didiagnosa dengan MRI dibandingkan USG tetapi biayanya lebih mahal. MRI mampu
menentukan ukuran, lokasi dan bilangan mioma
uteri serta bisa mencegah jarak penembusan mioma submukosa di dalam dinding miometrium (Berutu,
2018).
B. Kista Ovarium
a. Etiologi
Kista ovarium dapat dikeahui dengan ditemukannya sumbatan pada saluran yang berisi cairan akibat infeksi
bakteri dan virus, zat dioksin dari asap pabrik serta pembakaran gas bermotor yang dapat menurunkan daya
tahan tubuh manusia, dan kemudian akan membantu tumbuhnya kista,
Menurut Kurniawati, dkk. (2009) dalam (Laelati, 2017) ada beberapa faktor pemicu terjadinya kista, antara
lain:
1. Faktor Internal
Faktor genetik
Di dalam tubuh manusia diketahui terdapat gen pemicu kanker yang sering disebut gen protoonkogen.
Pemicu terjadinya protoonkogen akibat dari makanan yang bersifat karsinogen, polusi, dan paparan radiasi.
Gangguan hormon
Individu yang kadar hormon estrogen atau progesteron berlebih akan memicu terjadinya penyakit kista.
Riwayat kanker kolon
Individu dengan riwayat kanker kolon, dapat berisiko terjadinya penyakir kista. Dimana, kanker tersebut
dapat menyebar secara merata ke bagian alat reproduksi lainnya.
2. Faktor Eksternal
Kurang olahraga
Olahraga memilki peranan penting bagi kesehatan tubuh manusia. Apabila jarang melakukan olahraga maka
kadar lemak akan tersimpan serta
menumpuk di sel-sel jaringan tubuh. Hal tersebut dapat mengakibatkan terhambatnya peredaran darah oleh
jaringan lemak yang tidak dapat berfungsi dengan baik.
Merokok dan konsumsi alkohol
Merokok dan mengkonsumsi alkohol adalah salah atu contoh gaya hidup tidak sehat yang dialami oleh
setiap manusia. Merokok serta mengkonsumsi alkohol dapat menyebabkan terganggunya kesehatan tubuh
manusia. Hal tersebut dapat mengakibatkan terjadi kanker, peredaran darah tersumbat, kemandulan, cacat
janin.
b. Faktor Risiko
1. Usia
Umumnya, kista ovarium jinak (tidak bersifat kanker) terjadi pada wanita di kelompok usia reproduktif.
Kista ovarium bersifat ganas sangat jarang, akan tetapi wanita yang memasuki masa menopause (usia 50-70
tahun) lebih beresiko memiliki kista ovarium ganas.
2. Genetika
Resiko wanita terkena kista ovarium adalah sebesar 1,6%. Apabila wanita tersebut memiliki seorang
anggota keluarga yang mengindap kista, risikonya akan meningkat menjadi 4% sampai 5% (Rasjidi 2009).
Semakin banyak jumlah keluarga yang memiliki riwayat kanker tersebut, dan semakin dekat tingkat
hubungan keluarga, maka semakin besar resiko seorang wanita terkena kista ovarium.
3. Faktor Hormonal
Kista ovarium dapat terjadi karena ketidakseimbangan hormon estrogen dan progesteron, misalnya akibat
penggunaan obat-obatan yang merangsang
ovulasi dan obat pelangsing tubuh yang bersifat diuretik. Kista fungsional dapat terbentuk karena stimulasi
hormon gonadotropin atau sensitivitas terhadap hormon gonadotropin yang berlebihan.
4. Merokok
Merokok juga merupakan faktor resiko untuk pertumbuhan kista ovarium fungsional. Semakin meningkat
resiko kista ovarium fungsional dan semakin menurun indeks massa tubuh (BMI) jika seseorang merokok.
5. Obesitas
Wanita obesitas (BMI ≥ 30 kg/m2) lebih beresiko terkena kista ovarium baik jinak maupun ganas. Jaringan
lemak memproduksi banyak jenis zat kimia, salah satunya adalah hormon estrogen, yang dapat
memengaruhi tubuh. Hormon estrogen merupakan faktor utama dalam terbentuknya kista ovarium.
c. Tanda Gejala
Gejala yang paling sering dirasakan adalah rasa nyeri pada perut bagian bawah dan pinggul. Rasa nyeri ini
timbul akibat pecahnya dinding kista, pembesaran kista yang terlalu cepat sehingga organ sekitarnya
teregang, perdarah yang terjadi didalam kista, dan tangkai kista yang terpelintir. Gejala kista secara umum,
antara lain: a. Rasa nyeri yang menetap di rongga panggul disertai rasa agak gatal sewaktu bersetubuh atau
bergerak; b. Perdarahan menstruasi seperti biasa, siklus menstruasi tidak teratur; c. Perut membesar
(Natiqotul Fatkhiyah, 2019).
d. Respons Tubuh
Respon tubuh terhadap perubahan fisiologi menurut Wiknjosastro (2008) dalam Cunti (2017) adalah sebagai
berikut:
1. Sistem gastrointestinal
Tumor di dalam abdomen bagian bawah dapat menyebabkan pembengkakan perut. Apabila tumor menekan
kandung kemih dapat menimbulkan gangguan miksi.
2. Sistem pencernaan
Kista yang besar akan menekan organ disekitarnya seperti lambung. Penekan pada lambung dapat
mengakibatkan mual muntah serta kehilangan nafsu makan.
3. Sistem pernafasan
Akibat dari pertumbuhan tumor yang membesar mengakibatkan paruparu menjadi terdesak sehingga
sirkulasi oksigen terganggu maka timbul rasa sesak.
4. Sistem reproduksi
Sel telur yang gagal berovulasi mengakibatkan produksi hormon meningkat, pertumbuhan folikel menjadi
tidak teratur, kegagalan sel telur menjadi matang menimbulkan kista ovarium. Akibat dari komplikasi kista,
terjadi perdarahan ke dalam kista dan menimbulkan gejala yang minimal. Akan tetapi saat terjadi perdarahan
sekonyong- konyong dalam jumlah yang banyak akan terjadi distensi cepat dari kista yang menimbulkan
nyeri perut mendadak.
5. Sistem kardiovaskuler
Putaran tungkai pada kista ovarium dapat menyebabkan gangguan sirkulasi meskipun jarang bersifat total.
Adanya putaran tungkai menimbulkan tarikan ligamentum infundibulopelvikum terhadap peritoneum
parietale yang akan menimbulkan rasa sakit. Karena vena lebih mudah tertekan, terjadilah pembendungan
darah dalam tumor dengan akibat dari pembesaran terjadi perdarahan didalamnya.
e. Patofisiologi
Corvin dalam Laelati (2017), fungsi ovarium yang normal tergantung kepada sejumlah hormone dan
kegagalan pembentukan salah satu hormone tersebut bisa mempengaruhi fungsi ovarium. Ovarium tidak
akan berfungsi secara normal jika tubuh wanita tidak menghasilkan hormone hipofisa dalam jumlah yang
tepat. Fungsi ovarium yang abnormal kadang menyebabkan penimbunan folikel yang terbentuk secara tidak
sempurna di dalam ovarium. Folikel tersebut gagal mengalami pematangan dan gagal melepaskan sel telur,
terbentuk secara tidak sempurna di dalam ovarium karena itu terbentuk kista di dalam ovarium.
f. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Djuwantono, dkk (2011: 282-287) dalam Garmelia (2018: 34-36), yang perlu dilakukan untuk
menegakkan diagnosa kista ovarium adalah anamnesa, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang.
1. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonik adalah gelombang suara dengan frekuensi lebih tinggi daripada kemampuan pendengaran telinga
manusia, sehingga kita tidak bisa mendengarnya sama sekali. Dalam jaringan yang heterogen akan
ditimbulkan bermacam-macam echo, disebut acho free atau bebas echo. Suatu rongga berisi cairan bersifat
anechoic, misalnya kista, asites, pembuluh darah besar, pericardial atau pleural effusion. USG pada kista
ovarium akan terlihat sebagai struktur kistik yang bulat (kadang-kadang oval) dan terlihat sangat echolucent
dengan dinding-dinding yang tipis/tegas/licin dan di tepi belakang kista nampak bayangan echo yang lebih
putih dari dinding depannya. Kista ini dapat bersifat unilokuler (tidak bersepta) atau multilokuler
(bersepta-septa). Kadang-kadang terlihat bintik-bintik echo yang halus-halus (internal echoes) di dalam
kista yang berasal dari elemen-elemen darah di dalam kista.
Transabdominal sonogram
Pemeriksaan cara sonogram menggunakan gelombang bunyi untuk melihat gambaran organ tubuh.
Pemeriksaan jenis ini bisa dilakukan melalui dinding perut atau bisa juga dimasukkan melalui vagina dan
memerlukan waktu sekitar 30 menit, untuk bisa tahu ukuran dan bentuk kistanya. Syarat pemeriksaan
transabdominal sonogram dilakukan dalam keadaan vesica urinaria terisi/penuh.
Endovaginal sonogram
Pemeriksaan ini dapat menggambarkan secara detail struktur pelvis. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara
endovaginal. Pemeriksaan dilakukan dalam keadaan vesica urinaria kosong.
Kista endometriosis
Menunjukkan karakteristik yang difuse, low level/echoes pada endometrium, yang memberikan gambaran
yang padat.
Polikistik ovarium
Akan didapat massa kistik berdinding tipis yang memberikan penyangatan kontras pada dindingnya.
3. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Gambaran MRI lebih jelas memperlihatkan jaringan halus dibandingkan dengan CT-scan, serta ketelitian
dalam mengidentifikasi lemak dan produk darah. CT-scan dapat memberikan petunjuk tentang organ asal
dari massa yang ada. MRI tidak terlalu dibutuhkan dalam beberapa/banyak kasus. USG dan MRI jauh lebih
baik dalam mengidentifikasi kista ovarium dan massa/tumor pelvis dibandingkan dengan CT-scan.
4. CA-125
Dokter juga memeriksa kadar protein di dalam darah yang disebut CA-125. Kadar CA-125 juga meningkat
pada perempuan subur, meskipun tidak ada proses keganasan. Tahap pemeriksaan CA-125 biasanya
dilakukan pada perempuan yang berisiko terjadi proses keganasan.
2.4 Perdarahan Pada Kehamilan
A. Abortus
a. Etiologi
Berbagai faktor dapat menyebabkan terjadinya abortus inkomplit adalah sebagai berikut:
1. Faktor fetal
Abortus pada usia kehamilan awal pada umumnya disebabkan oleh abnormalitas zigot, atau plasenta.
Abnormalitas kromosom ditemukan sekitar 60-75% kasus abortus spontan. Dan angka abortus yang
disebabkan kelainan kromosom akan semakin berkurang seiring dengan bertambahnya usia kehamilan.
Abnormalitas kromosom diturunkan dari gen kedua orang tuanya (Gaufber, 2015).
Sekitar 95 % dari kelainan kromosom disebabkan oleh kegagalan gametogenesis. Autosomal trisomi adalah
kelainan kromosom yang paling sering ditemukan pada abortus trimester awal. Adanya riwayat abortus
sebelumnya
akan meningkatkan risiko fetal aneuploidy dari 1 % menjadi
2 %. Monosomy X (45,X) adalah penyebab kelainan kromosom tunggal tersering. Kelainan ini akan
menyebabkan sindrom Turner, dimana biasanya akan berakhir dengan abortus dan sangat jarang dapat
bertahan 10 hingga trimester tiga. Triploid sering dihubungkan dengan hidropik plasental (degenerasi Mola)
atau Mola Hidatidosa parsial. Janin dengan jumlah kromosom normal (Euploidy) (46 XY / XX) cenderung
akan bertahan lebih lama daripada janin dengan Aneuploidy (Larsen, et al., 2013).
2. Faktor maternal
Kelainan anatomi uterus
Adanya kelainan anatomi uterus seperti Leiomyoma yang besar dan multipel atau adanya sinekia uterus
(Ashermann Syndrome) dapat meningkatkan risiko abortus (Cunningham, et al., 2014). Malformasi
kongenital yang disebabkan oleh abnormalitas fusi Ductus Müllerii dan lesi yang didapat memiliki pengaruh
yang sifatnya masih kontroversial. Pembedahan pada beberapa kasus dapat menunjukkan hasil yang positif.
Inkompetensia servik bertanggung jawab untuk abortus yang terjadi pada trimester II. Tindakan cervical
cerclage pada beberapa kasus memperlihatkan hasil yang positif (Gaufber, 2015).
Infeksi
Beberapa jenis infeksi dan hubungannya dengan abortus telah diteliti secara luas, misal: Lysteria
monocytogenes, Mycoplasma hominis, Ureaplasma urealyticum, Toxoplasma gondii, dan Virus (Herpes
simplex, Cytomegalovirus, Rubella) memiliki hubungan yang bervariasi dengan semua jenis abortus spontan
(Smith, 2015). Data penelitian yang menghubungkan
infeksi dengan abortus menunjukkan hasil yang beragam, 11 sehingga American College of Obstetricians
and Gynecologyst menyatakan bahwa infeksi bukan penyebab utama abortus trimester awal (Cunningham,
et al., 2014).
Penyakit metabolik
Abortus sering dihubungkan dengan adanya penyakit metabolik pada ibu seperti tuberkulosis, Diabetes
Mellitus, Hipotiroidisme, dan anemia. Pada penelitian Craig tahun 2002 dilaporkan bahwa angka abortus
meningkat secara signifikan pada Ibu hamil dengan Diabetes tidak terkontrol (Cunningham, et al., 2014).
Pada penelitian Mills tahun 1998 melaporkan bahwa pengaturan kadar gula darah pada pasien DM dalam
waktu 21 hari setelah konsepsi akan menurunkan angka kejadian abortus setara dengan wanita nonDM
(Tulandi & Al-Fozan, 2016). Sedangkan pada Ibu dengan Hipotiroidisme, defisiensi iodin dipercaya sebagai
penyebab utama terjadinya abortus (Cunningham, et al., 2014). Anemia dapat mengurangi suplai oksigen
pada metabolisme ibu dan janin karena dengan kurangnya kadar hemoglobin maka berkurang pula kadar
oksigen dalam darah. Hal ini dapat memberikan efek tidak langsung pada ibu dan janin antara lain kematian
janin, meningkatnya kerentanan ibu pada infeksi dan meningkatkan risiko terjadinya prematuritas pada bayi
(Cunningham, et al., 2014).
Faktor Imunologi
Sekitar 15 % Ibu dengan abortus disebabkan oleh faktor imunologi. Dua Teori utama gangguan imunologi
adalah autoimunitas – kekebalan 12 yang melawan sel
sendiri, dan alloimunitas – kekebalan melawan sel orang lain (Tulandi & Al-Fozan, 2016). Sindroma
Antibodi Fosfolipid adalah gangguan imunologi autoimunitas yang ditandai dengan adanya antibodi dalam
sirkulasi yang melawan fosfolipid membran dan setidaknya memperlihatkan satu sindroma klinik spesifik
(abortus berulang, trombosis yang penyebabnya tak jelas dan kematian janin). Penegakkan diagnosa
setidaknya memerlukan satu pemeriksaan serologis untuk konfirmasi diagnosis (antikoagulansia lupus,
antibodi kardiolipin). Pengobatan pilihan adalah aspirin dan heparin (atau prednison dalam beberapa kasus
tertentu) (Smith, 2015). Alloimunitas (perbedaan imunologi antara individu) telah diajukan sebagai faktor
antara pasangan subur yang menyebabkan abortus yang tidak dapat dijelaskan dengan alasan lain. Selama
kehamilan normal, sistem imunologi ibu dianggap dapat mengenali suatu antigen janin semialogenetik 50%
bersifat “non- self” dan kemudian menghasilkan faktor “pemblokade” untuk melindungi janin. Kegagalan
untuk memproduksi faktor “pemblokade” ini yang dipercaya berperan penting dalam proses terjadinya
abortus (Tulandi & Al- Fozan, 2016).
Trauma fisik
Trauma yang tidak menyebabkan terhentinya kehamilan sering kali dilupakan. Yang diingat hanya kejadian
tertentu yang dapat menyebabkan 13 abortus. Namun, sebagian besar abortus spontan terjadi beberapa
waktu setelah kematian mudigah atau janin (Smith, 2015).
3. Faktor paternal
Tidak banyak yang diketahui tentang faktor paternal (ayah) dalam terjadinya abortus spontan. yang jelas,
translokasi kromosom pada sperma dapat menyebabkan abortus.
Adenovirus atau virus herpes simpleks ditemukan pada hampir 40% sampel (Smith, 2015).
b. Faktor Risiko
1. Usia
Frekuensi abortus yang secara klinis bertambah 12% pada wanita yang berusia kurang dari 20 tahun,
menjadi 26% pada wanita berumur diatas 40 tahun. Dari sejumlah abortus yang terjadi ditemukan bahwa
jika ibu berusia lebih dari 35 tahun maka resiko itu lebih tinggi. Frekuensi abortus yang secara klinis
terdeteksi meningkat 12% pada wanita berusia kurang dari 20 tahun menjadi 26% pada mereka yang usianya
lebih dari 40 tahun. (Anestasia & Satria, 2017)
2. Paritas Ibu
Paritas adalah jumlah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu baik lahir hidup maupun mati. Paritas 2-3
merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian maternal. Paritas 1 dan paritas lebih dari 3
mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi. Lebih tinggi paritas, lebih tinggi kematian maternal,
sedangkan resiko pada paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana. Sebagai
kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak direncanakan. (Anestasia & Satria, 2017)
3. Predisposisi Abortus Berulang
Riwayat abortus pada penderita abortus merupakan predisposisi terjadinya abortus berulang. Kejadiannya
sekitar 3-5% data dari beberapa studi menunjukkan bahwa setelah 1 kali abortus pasangan punya resiko 15%
untuk mengalami keguguran lagi, sedangkan bila pernah 2 kali, resiko nya akan meningkat 25%. Beberapa
studi meramalkan bahwa resiko abortus setelah 3 kali abortus berurutan adalah 30-45%. Menurut Suryadi
(1994) penderita dengan riwayat abortus 1 kali dan 2 kali menunjukkan adanya pertumbuhan janin yang
terlambat pada kehamilan berikutnya melahirkan bayi prematur. Sedangkan dengan riwayat abortus 3 kali
atau lebih, ternyata terjadi pertumbuhan janin yang terlambat, prematuritas. (Anestasia & Satria, 2017)
4. Jarak Kehamilan
Menurut Rahmani (2013) Bila jarak kelahiran dengan anak sebelumnya kurang dari 2 tahun. Rahim dan
kesehatan ibu belum pulih dengan baik. Kehamilan dalam keadaan ini perlu di waspadai karena ada
kemungkinan pertumbuhan janin kurang baik, mengalami persalinan yang lama atau perdarahan (abortus).
Insidensi abortus meningkat pada wanita yang hamil dalam 3 bulan setelah melahirkan. (Anestasia & Satria,
2017)
c. Tanda Gejala
Tanda dari seseorang yang mengalami abortus atau keguguran yang paling umum adalah perdarahan vagina.
Perdarahan vagina sendiri dapat bervariasi dari bercak ringan atau kotoran kecoklatan hingga pendarahan
hebat seperti keluarnya darah atau gumpalan merah cerah. Gejala keguguran atau abortus lainnya, yakni:
1. Kram yang disertai nyeri pada perut bagian bawah
2. Terdapat cairan yang keluar dari vagina
3. Terdapat jaringan yang keluar dari vagina
4. Tidak lagi mengalami gejala kehamilan pada umumnya seperti adanya rasa
mual atau nyeri pada payudara. (NHS, 2018).
d. Patogenesis
Patogenesis Abortus Menurut Sastrawinata dan kawan- kawan (2005), terjadi secara langsung sehabis janin
meninggal di dalam rahim. Kemudian diikuti dengan perdarahan yang keluar dari vagina. Hal ini
menyebabkan dimulainya kontraksi uterus, dan langsung setelah itu terjadi pendorongan janin yang
mengalami kematian itu keluar rongga rahim (ekspulsi). Perlu diketahui bahwasanya janin yang mati itu
terjadi paling lama sekitar dua minggu sebelum perdarahan terjadi. Sebelum pekan ke-10, hasil konsepsi
biasanya dikeluarkan secara lengkap. Hal ini dikarenakan sebelum pekan ke-10 vili korialis belum
menempelkan diri secara kuat ke rahim sang ibu sehingga telur mudah terlepas keseluruhannya. Janin yang
meninggal di dalam rahim ibunya, kemungkinan besar masih ada sisa sisa hasil pembuahan sehingga perlu
dikeluarin. Proses pengeluaran hasıl konsepsi ada 4 cara yakni:
1. Keluarnya kantong korion pada kehamilan muda, meninggalkan sisa desidua.
2. Kantong amnion yang berisinya fetus didorong keluar, meninggalkan korion
dan desidua.
3. Pecahnya amnion terjadi dengan putusnya tali pusat dan pendorongan janin ke
luar, tetapi mempertahankan sisa amnion dan korion (hanya janin yang
dikeluarkan).
4. Seluruh janin dan desidua yang melekat didorong keluar secara utuh.
(Repository usu.ac.id).
e. Patofisiologi
Pada awal abortus terjadi perdarahan dalam desidua basalis, diikuti nekrosis jaringan yang menyebabkan
hasil
konsepsi terkepas dan dianggap benda asing dalam uterus. Sehingga menyebabkan uterus berkontraksi untuk
mengeluarkan benda asing tersebut. Apabila pada kehamilan kurang dari 8 minggu, villi khorialis sudah
menembus terlalu dalam hingga plasenta tidak dapat dilepaskan sempurna dan menimbulkan banyak
perdarahan dari pada plasenta. Apabila mudigah yang mati tidak dikeluarkan dalam waktu singkat, maka
dapat diliputi oleh lapisan bekuan darah. Pada janin yang telah meninggal dan tidak dikeluarkan dapat
terjadi proses modifikasi janin mengering dan karena cairan amion menjadi kurang oleh sebab diserap dan
menjadi agak gepeng. Dalam tingkat lebih lanjut menjadi tipis. Kemungkinan lain pada janin mati yang
tidak lekas dikeluarkan ialah terjadinya meserasi, kulit terkelupas, tengkorak menjadi lembek, perut
membesar karena terasa cairan dan seluruh janin berwarna kemerah-merahan. (Prawiroharjo, 2010 dalam
Hana 2016)
f. Pemeriksaan Penunjang
Dalam sebagian besar kasus, informasi dari anamnesis dan pemeriksaan fisik cukup untuk dapat
menegakkan diagnosis dan menentukan usia kehamilan. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan apabila
tanda dan gejala yang ditemukan tidak khas, atau diperlukan informasi tambahan untuk mengkonfirmasi
diagnosis dan merencanakan tatalaksana selanjutnya, misalnya pemeriksaan ultrasonografi untuk
menyingkirkan kemungkinan kehamilan ektopik, pemeriksaan laboratorium untuk menentukan kadar
hemoglobin pada pasien dengan perdarahan hebat, dan pemeriksaan jaringan setelah prosedur evakuasi hasil
konsepsi apabila dicurigai adanya kondisi patologis tertentu. Berikut adalah penjelasan pemeriksaan
penunjang pasca keguguran, yaitu:
1. Pemeriksaan ultrasonografi
Apabila tersedia, pemeriksaan ultrasonografi dapat digunakan untuk memeriksa letak, kondisi, dan usia
kehamilan.
2. Pemeriksaan laboratorium
Pengukuran beta hCG bila kehamilan belum dikonfirmasi, pengukuran kadar Hb jika dicurigai anemia,
pemeriksaan golongan darah dan Rh, pemeriksaan HIV, skrining IMS bila ditemukan tanda infeksi genitalia,
skrining kanker serviks, serta pemeriksaan lain yang sesuai dengan riwayat dan pemeriksaan medis (seperti
fungsi hati dan ginjal).
3. Pemeriksaan jaringan
Jika terdapat jaringan, dapat dikirim ke laboratorium patologi anatomi untuk mengkonfirmasi bahwa
keguguran telah terjadi dan gejala tidak berhubungan dengan penyebab lain dari perdarahan kehamilan.
Selain itu, pemeriksaan jaringan, khususnya setelah prosedur evakuasi hasil konsepsi, dapat pula dilakukan
dengan cara sederhana menggunakan lampu, mangkok bening, dan air. Jaringan yang ingin diperiksa
dilarutkan dalam air dan diamati dengan cahaya dari bawah (Erna Mulati, 2020)
B. Plasenta Previa
a. Etiologi
Penyebab terjadinya plasenta previa secara pasti sulit ditentukan namun ada teori yang mengemukakan
sebagai salah satu penyebabnya yaitu vaskularisasi desidua yang tidak memadai, sebagai akibat dari proses
radang atau atrofi. Paritas tinggi, usia lanjut, cacat rahim misalnya bekas bedah sesar, kerokan, miomektomi,
dan sebagainya berperan dalam proses peradangan dan kejadian atrofi di endometrium. Cacat bekas bedah
sesar berperan menaikkan insiden dua sampai tiga kali. Pada perempuan perokok dijumpai insidensi plasenta
previa lebih tinggi dua kali lipat. Hipoksemia akibat karbon monoksida hasil pembakaran rokok
menyebabkan plasenta menjadi hipertrofi sebagai upaya kompensasi. Plasenta yang terlalu besar seperti
pada kehamilan ganda dan eritroblastosis fetalis bisa menyebabkan pertumbuhan plasenta melebar ke
segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum (Prawirohardjo, 2009)
dalam (Rini, 2019).
b. Faktor Risiko
Ibu yang mengalami persalinan lebih dari 5 kali secara fisik juga mempunyai risiko tinggi dikarenakan
organ reproduksi terutama pada otot rahim mengalami kelelahan akibat sering melahirkan. Oleh karena itu,
terjadinya atonia uteri pada saat persalinan berikutnya sangat besar karena otot rahim tidak mampu
berkontraksi sehingga akan membahayakan nyawa ibu. Ibu memiliki riwayat persalinan, misalnya 3 kali
abortus atau lebihyang disebut dengan abortus habitualis. Dengan seringnya terjadinya abortus, maka
kemungkinan besar akan terjadi abortus berulang pada kehamilan berikutnya jika tidak diketahui penyebab
terjadinya abortus, penyebab 2 kali partus prematurus atau lebih, dan penyebab kematian janin dalam
kandungan atau kematian perinatal (Kurniawan, 2013 dalam (Endryani Syafitri, 2020.
Terdapat hubungan yang signifikan antara faktor usia ibu hamil dengan plasenta previa. Usia ibu yag hamil
kurang dari 20 tahun akan membahayakan nyawa ibu maupun janinnya. Hal tersebut dikarenakan
endometrium ibu masih belum cukup matang. Sedangkan pada ibu hamil yang berusia lebih dari 35 tahun
harus waspada dan berhati-hati karena terjadi penurunan fungsi organ reproduksi. Hal tersebut karena ketika
sudah mencapai usia lebih dari 35 tahun, jaringan rahim tidak lagi subur, sedangkan dinding rahim tempat
menempelnya plasenta, ini yang menyebabkan terjadinya plasenta previa. Berdasarkan teori yang ada pada
Usia >35 tahun di anggap fungsi fisik dan organ reproduksi sudah menurun atau berkurang (Endryani
Syafitri, 2020).
c. Tanda Gejala
Gejala dari plasenta previa yaitu perdarahan yang keluar dari jalan lahir berwarna merah segar tanpa rasa
nyeri, tanpa sebab, dan biasanya berulang, terjadi pada saat tidur atau saat melakukan aktivitas dan darah
yang keluar bisa sedikit ataupun banyak. (Sukarni, 2013). Umumnya terjadi pada trimester III atau sebelum
bulan ketujuh, karena segmen bawah uterus lebih banyak mengalami perubahan. Perdarahan pada plasenta
previa disebabkan karena pergerakan antara plasenta dengan dinding rahim. Biasanya kepala anak sangat
tinggi karena plasenta terletak pada kutub bawah rahim, kepala tidak dapat mendekati pintu atas panggul,
karena hal tersebut di atas, juga ukuran panjang rahim berkurang maka plasenta previa lebih sering terdapat
kelainan letak (Rukiyah 2010).
d. Patogenesis
Plasenta Previa adalah Plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah lahir demikian rupa sehingga
menutupi seluruh atau sebagian dari Ostium UteriInternum. Sejalan dengan bertambah membesarnya Rahim
dan meluasnya segmen bawah Rahim ke arah Proksimal memungkinkan Plasenta yang Berimplantasi pada
segmen bawah Rahim ikut berpindah mengikuti perluasan segmen bawah Rahim seolah Plasenta tersebut
bermigrasi. Ostium Uteri yang secara dinamik mendatar dan meluas dalam persalinan Kala satu bisa
mengubah luas pembukaan Servik yang tertutup oleh Plasenta (Endryani Syafitri dan Suyanti Suwardi,
2020).
e. Patofisiologi
Pada usia kehamilan yang lanjut, umumnya pada trisemester ketiga dan mungkin juga lebih awal oleh
karena mulai terbentuknya segmen bawah rahim, tapak plasenta akan mengalami pelepasan. Sebagaimana
diketahui tapak plasenta terbentuk dari jaringan maternal yaitu bagian desidua basalis yang bertumbuh
menjadi bagian dari uteri. Dengan melebarnya isthmus uteri menjadi segmen bawah rahim, maka plasenta
yang berimplantasi disitu sedikit banyak akan mengalami laserasi akibat pelepasan pada desidua pada tapak
plasenta. Demikian pula pada waktu serviks mendatar (effacement) dan membuka (dilatation) ada bagian
tapak plasenta yang terlepas. Pada tempat laserasi akan terjadi perdarahan yang berasal dari sirkulasi
maternal yaitu dari ruang intervillus dari plasenta. Oleh karena fenomena pembentukan segmen bawah
rahim itu perdarahan pada plasenta previa betapa pun pasti kan terjadi (unavoidable bleeding).
Perdarahan di tempat itu relative dipermudah dan diperbanyak oleh karena segmen bawah rahim dan serviks
tidak mampu berkontraksi dengan kuat karena elemen otot yang dimilikinya minimal, dengan akibat
pembuluh darah pada tempat itu tidak akan tertutup dengan sempurna. Perdarahan akan berhenti karena
terjadi pembekuan kecuali jika ada laserasi mengenai sinus yang besar dari plasenta dimana perdarahan akan
berlangsung lebih banyak dan lebih lama. Oleh karena pembentukan segmen bawah rahim itu akan
berlangsung progresif dan bertahap, maka laserasi baru akan mengulang kejadian perdarahan. Demikian
perdarahan akan berulang tanpa sesuatu sebab lain (causeless). Darah yang keluar berwarna merah segar
tanpa rasa nyeri (pain-less).
Pada plasenta yang menutupi seluruh uteri internum perdarahan terjadi lebih awal dalam kehamilan karena
segmen bawah rahim terbentuk lebih dahulu pada bagian terbawah yaitu ostium uteri internum. Sebaliknya
pada plasenta previa parsialis atau letak rendah perdarahan baru akan terjadi pada waktu mendekati atau
mulai persalinan. Perdarahan pertama biasanya sedikit tetapi cenderung lebih banyak pada perdarahan
berikutnya. Perdarahan yang pertama sudah bisa terjadi pada kehamilan dibawah 30 minggu, tetapi lebih
separuh kejadiannya pada kehamilan 34 minggu ke atas. Berhubung tempat perdarahan terletak pada dekat
dengan ostium uteri internum, maka perdarahan lebih mudah mengalir keluar rahim dan tidak membentuk
hematom retroplasenta yang mampu merusak jaringan lebih luas dan melepaskan tromboplastin ke dalam
sirkulasi maternal. Dengan demikian sangat jarang terjadi koagulopati pada plasenta previa.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah dinding segmen bawah rahim yang tipis mudah diinvasi oleh
pertumbuhan vili dari trofoblas, akibatnya plasenta melekat lebih kuat pada dinding uterus. Lebih sering
terjadi plasenta akreta dan inkreta bahkan plasenta perkreta yang pertumbuhan vilinya bisa sampai
menembus buli-buli dan ke rectum bersama plasenta previa. Plasenta akreta dan inkreta lebih sering terjadi
pada uterus yang sebelumnya pernah bedah sesar. Segmen bawah rahim dan serviks yang rapuh mudah
robek oleh sebab kurangnya elemen otot yang terdapat disana. Kedua kondisi ini berpotensi meningkatkan
kejadian perdarahan pasca persalinan pada plasenta previa, misalnya dalam kala tiga karena plasenta sukar
melepas dengan sempurna (retensio plasenta) atau setelah uri lepas karena segmen bawah rahim tidak
mampu berkontraksi dengan baik (Aprilya, 2018).
f. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan USG
Pemeriksaan USG dapat menentukan secara akurat implantasi plasenta berdasarkan level plasenta dan
bagian terendah janin. Perdarahan pada kehamilan lanjut, meskipun jumlahnya sedikit, selalu kaji
kemungkinan adanya plasenta previa.
Transabdominal Sonography (TAS)
Plasenta previa dapat dideteksi dengan baik melalui transabdominal sonography (TAS) pada kehamilan usia
20-24 minggu. Pemeriksaan dilakukan dengan cara memberikan gel pada bagian perut pasien, kemudian
ditempelkan stik USG (Transduser) dan terlihatlah gambarannya di monitor. Apabila pada pemeriksaan TAS
dicurigai terdapat plasenta previa, maka sebaiknya dilakukan transvaginal sonography (TVS), karena TVS
dapat mengukur jarak plasenta ke orifisium internal serviks dengan lebih tepat. Dengan pemeriksaan TAS,
sulit dilakukan visualisasi dari plasenta posterior, visualisasi segmen bawah juga dapat terganggu oleh
kepala bayi, obesitas dan kandung kemih yang terlalu penuh.
Transvaginal Sonography (TVS)
Pemeriksaan di TVS dapat dilakukan kapan saja, karena tidak diperlukan persyaratan kandung kencing
penuh. Sebelum memulai pemeriksaan sebaiknya diberikan penjelasan singkat kepada pasien tentang
prosedur pemeriksaan. Pemeriksaan dilakukan di meja ginekologi. Transduser vagina dibubuhi jelly dan
dipasang kondom kemudian di bagian luarnya dibubuhi jelly. Transduser vagina dimasukkan perlahan-lahan
ke arah anterior untuk memvisualisasi kan serviks dan uterus. Jika uterus tidak terlihat pada posisi anterior
gerakan amplop dengan lambat ke sisi kanan atau kiri kemudian arahkan ke posterior setelah Uterus terlihat
penting dicatat posisinya dan ukurannya (Darmasetiawan, 2006).
Pemeriksaan dengan menggunakan transvaginal sonography (TVS) saat ini lebih disukai karena lebih akurat
dalam menentukan letak plasenta. Tingkat akurasi TVS tinggi dengan sensitivitas 87,5%.
2.1 Pediculosis Capitis
2.1.1. Pengertian
Pediculosis capitis adalah infeksi kulit atau rambut kepala dimana yang disebabkan oleh infestasi Pediculus
humanus var. capitis. Penyakit ini prevalensi cukup tinggi terutama anak sekolah dan penyakit ini juga telah
menjadi masalah dinegara berkembang maupun negara maju. Pediculus humanus var. capitis merupakan
ektoparasit yang obligat pemakan darah. Daur hidupnya selalu terkait dengan manusia, tidak dapat
melompat, tidak memiliki sayap dan daur hidupnya tidak terjadi pada hewan. Penyakit ini dapat menyebar
memalui transmisi langsung kontak kepala-kepala orang yang terinfeksi dan transmisi tidak langsung seperti
memakai sisir, topi, handuk, bantal, .kasur dan kerudung.
2.1.2. Tanda dan Gejala
Gejala klinis penyakit Pediculosis capitis adalah rasa gatal sehingga menimbulkan kelainan kulit kepala dan
dapat menimbulkan infeksi sekunder bila digaruk. Pada anak sekolah infestasi kronik Pediculosis capitis
menyebabkan anemia yang akan membuat anak- anak lesu, mengantuk, serta mempengaruhi kinerja belajar
dan fungsi kognitif, selain itu pada saat malam hari anak – anak yang terinfeksi akan mengalami gangguan
tidur karena rasa gatal dan sering menggaruk. Dari sisi psikologis, infestasi kutu kepala membuat anak
merasa malu karena diisolasi dari anak lain.
2.1.3. Penyebab
Pedikulosis ialah infeksi pada kulit atau rambut yang disebabkan oleh Pediculus yang termasuk dalam
golongan famili Pediculidae. Penyakit ini dibedakan antara Pediculus humanus yang menyerang manusia,
dan Pediculus animalis yang menyerang binatang. Pediculus ini merupakan parasit obligat yang
mempertahankan hidup dengan cara
menghisap darah inangnya. Pediculus humanus var. capitis adalah salah satu klasifikasi dari Pediculus yaitu
yang menyerang kulit kepala manusia dan menyebabkan pedikulosis kapitis.
2.1.4. Pengobatan
Penyakit ini dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode yang mencakup metode fisik maupun
kimiawi. Metode secara kimiawi, yaitu penggunaan insektisida atau pedikulisida, secara luas telah dipakai
diseluruh dunia. Insektisida mudah dan nyaman untuk digunakan serta hasilnya sangat efektif. Akan tetapi,
terdapat adanya efek samping yang potensial dan juga banyak ditemukan terjadinya resistensi tungau
terhadap beberapa insektisida. Metode fisik yang dapat digunakan adalah dengan mencukur rambut untuk
mencegah infestasi dan membantu agar obat topikal bekerja lebih baik dan tidak terhalang rambut.
Macam-macam obat yang dapat digunakan untuk terapi Pediculosis capitis yaitu piretrin yang berasal dari
ekstrak alami bunga Chryantheum cineraria efolium tetapi pada orang yang alergi terhadap tanaman
chryantheums atau sari tanaman yang terkait akan mengalami sesak nafas dan dispnea. Di Amerika Serikat,
piretrin adalah satu-satunya pedikulisida yang tersedia dipasaran dan dijual bebas yang diizinkan oleh Food
and Drug Administration (FDA). Insektisida ini tersedia dalam bentuk lotion, shampoo, foam mousse dan
krim. Produk piretrin dioleskan pada kepala selama 10 menit lalu dibilas. Walaupun efektifitas pedikulisidae
mendekati 100% pada pertengahan tahun 1980, terdapat juga kegagalan pengobatan sebesar 88% karena
resistensi yang baru-baru ini dilaporkan.
2.1.5. Pencegahan
Terdapat dua metode pencegahan yaitu mencegah penularan langsung dan tidak langsung. Metode
pencegahan penularan kontak langsung: Menghindari adanya kontak langsung rambut dengan rambut ketika
bermain dan beraktivitas dirumah, sekolah, dan dimanapun. Metode pencegahan penularan tidak langsung :
a. Tidak menggunakan pakaian seperti topi, scarf, jaket, kerudung, kostum olahraga, ikat rambut secara
bersamaan.
b. Tidak menggunakan sisir, sikat, handuk secara bersamaan. Apabila ingin memakai sisir atau sikat
dari orang yang terinfeksi dapat melakukan desinfeksi sisir dan sikat dengan cara direndam di air panas
sekitar 130F selama 5-10 menit.
c. Mencuci dan menjemur pakaian, perlengkapan tempat tidur, karpet, dan barang-barang lain.
d. Menyapu dan membersihkan lantai dan perabotan lainnya
2.1.6. Patogenesis
Pedikulosis kapitis merupakan parasit manusia yang menyerang pada rambut bagian belakang kepala.
Pedikulosis kapitis dapat berpindah dari hospes yang satu ke hospes yang lain secara cepat. Pedikulosis
kapitis dapat bertahan hidup pada suhu 5°C selama 10 hari tanpa makan. Pedikulosis kapitis mampu
menghisap darah kepala dalam waktu yang lama. Pedikulosis kapitis akan mati pada suhu 40°C. Sedangkan
telur pedikulosis kapitis dapat dimusnahkan pada suhu 60°C dalam waktu 15-30 menit (Setiyo,2007). Factor
pendukung penderita dapat terjangkit pedikulosis kapitis adalah kurangnya menjaga kebersihan rambut dan
kebiasaan pinjam meminjam seperti pinjam meminjam sisir, topi, bantal, kerudung dan handuk (Fadilah,
2015). Pedikulosis kapitis akan menyebabkan rasa gatal, karena air liur yang disuntikkan ke kulit kepala saat
pedikulosis kapitis menghisap darah dan kotoran yang diakibatkan oleh pedikulosis kapitis. Penderita akan
menggaruk kepala karena merasakan gatal. Kebiasaan menggaruk dapat mengakibatkan luka, iritasi dan
infeksi sekunder selain itu penderita dapat mengalami anemia (Fadilah, 2015).
2.1.7. Patofisiologi
Siklus hidup pedilukolis kapitis merupakan metamorfosis tidak sempurna dimulai dari telur menjadi nimfa
kemudian dewasa. Pedikulosis kapitis membutuhkan waktu 18 hari mulai telur diletakkan sampai menjadi
dewasa. Telur akan menetas menjadi nimfa kurang lebih membutuhkan
waktu 10 hari dan pedikulosis kapitis dewasa dapat hidup selama 27 hari (Fadilah, 2015). Pedikulosis kapitis
mampu bertahan hidup selama 1-2 hari apabila tidak berada pada rambut atau kulit kepala manusia. Menurut
Rahman (2014) pedikulosis kapitis dapat bertahan hidup selama 48 jam tidak menghisap darah apabila tidak
berada di rambut atau kulit kepala manusia, sedangkan telur 11 bertahan sekitar 1 minggu apabila tidak
terdapat dirambut atau kulit kepala (Rahman, 2014).
mempunyai 6 kaki, warnanya putih keabu-abuan, panjangnya 2,5 sampai 3,5 cm, tidak memiliki sayap, dan
bentuk tubuhnya rata.
Kutu tubuh membutuhkan makan 1 sampai 5 kali sehari dan dapat hidup sampai 60 hari. Tetapi apabila kutu
terpisah dari tubuh manusia, maka kutu tersebut akan mati dalam waktu seminggu.
2.2.4. Faktor Risiko
Pedikulosis korporis biasanya menyerang orang dewasa yang memiliki hygiene yang buruk, misal
pengembara, pengungsi bencana alam, saat peperangan atau jarang mandi, jarang mengganti pakaian, jarang
mencuci pakaian. Bertukar atau bergantian pakaian dan handuk juga bisa menularkan penyakit ini. (Harlim,
2019)
2.2.5. Manifestasi Klinis
Gejala infestasi pedikulosis korporis meliputi rasa gatal di sekitar badan, terutama di area lipatan di tempat
yang terdapat jahitan pakaian (ketiak, dada, punggung, selangkangan). Seringkali rasa gatal manjadi lebih
(sangat gatal) membuat individu akan terus menggaruk hingga terjadi infeksi sekunder oleh bakteri.
(Kusumasari, 2019)
Beberapa menit setelah gigitan kutu pediculus humanus var corporis akan timbul bintik merah pada area
tersebut, kemudian akan berkembang menjadi papul dengan inflamasi seperti urtika. Kondisi inilah yang
menimbulkan rasa sangat gatal. Selain itu dapat ditemukan ruam berupa eritem, krusta, erkskoriasi, dan
limfadenopati. Gigitan kutu juga dapat menimbulkan Maculae cerulae, yaitu makula berwana abu-abu
kebiruan. Lesi-lesi tersebut sering dijumpai pada bagian tubuh, aksila, neckline dan waistline. Vagabond’s
disease adalah sebutan dari likenifikasi dan hiperpigemntasi yang timbul akibat infestasi kronis dan garukan
terus menerus. (Yuniaswan, 2020)
2.2.6. Patofisiologi dan patogenesis
Infestasi kutu tubuh dapat melibatkan ribuan kutu, masing-masing menggigit atau menghisap darah rata-rata
5 kali sehari. Ketika menghisap darah (makan), kutu tubuh akan menembus kulit dan menyuntikkan
antikoagulan saliva, lalu menghisap darah ke dalam saluran pencernaannya.
Gigitan kutu tubuh dapat menyebabkan berbagai lesi kulit, dan pruritus parah yang diduga disebabkan oleh
reaksi alergi dan / atau inflamasi terhadap air liur kutu. Gigitan kutu tubuh bisa menimbulkan gatal yang
intens sehingga menyebabkan ekskoriasi kulit (lecet kulit yang disebabkan kehilangan lapisan kulit), yang
berpotensi menyebabkan infeksi bakteri sekunder yang signifikan. (Badri T Powers J. ,2020)
Kemampuan kutu tubuh yang dapat menularkan penyakit bakteri merupakan dampak medis terbesar dari
kutu tubuh, terutama demam parit yang disebabkan oleh Bartonella quintana, demam kambuh yang
disebabkan oleh Borrelia rekurentis, dan tifus epidemik (yang ditularkan melalui kutu) yang disebabkan oleh
Rickettsia prowazekii. Demam parit dan epidemi tifus tidak ditularkan melalui gigitan kutu melainkan
melalui tinja yang terinfeksi. Ketika makan, kutu tubuh sering mengeluarkan kotorannya ke kulit, yang
secara tidak sengaja tergosokkan pada tempat gigitan, mata, atau selaput lendir. Penularan Rickettsia
prowazekii juga dapat terjadi melalui menghirup debu tinja aerosol, yang telah didokumentasikan sebagai
sumber infeksi potensial bagi dokter. Tidak seperti demam parit dan tifus epidemik, penularan demam
kambuh yang disebabkan oleh Borrelia rekurentis tidak terjadi melalui tinja yang terkontaminasi. Infeksi
terjadi ketika seseorang meremukkan kutu yang terinfeksi, dan bakteri tersebut kemudian menyerang
tempat gigitan atau kulit jari atau tangan yang menghancurkan kutu tersebut. Selain itu, seseorang dapat
terinfeksi jika mereka menggosok mata atau memasukkan jari ke dalam mulut setelah membasmi kutu.
(Badri T Powers J. ,2020)
Bakteri patogen tambahan yang ditemukan pada kutu tubuh termasuk Salmonella typhi, Serratia marcescens,
dan Acinetobacter baumannii. DNA Yersinia pestis, yang menyebabkan wabah pes, telah diidentifikasi pada
kutu tubuh, dan diyakini dapat berfungsi sebagai vektor tambahan bagi organisme tersebut. (Badri T Powers
J. ,2020)
2.3.2. Etiologi
Pedikulosis pubis disebabkan oleh kutu Phthirus Pubis yang panjangnya 1-2mm, berwarna coklat tua/muda;
mempunyai 3 pasang kaki dengan ujung seperti cakar yang digunakan untuk mencengkam rambut, dan
kepalanya dimasukkan ke dalam folikel. Pediculus pubis sering juga disebut crab karena ukurannya yang
lebih pendek, badan yang lebih lebar (0,8 - 1,2 mm) dan cakar depan yang besar, memberikan gambaran
seperti kepiting. Kutu pubis berwarna putih hingga abu-abu dan berbentuk oval dan memiliki abdomen yang
lebih kecil daripada P. humanus capitis dan P.humanus corporis. Siklus hidup rata-rata Pediculosis pubis
adalah 35 hari, periode dari ovummenjadi dewasa selama 15 hari. Pediculosis pubis betina rata-rata bertelur
1 - 2 butir per hari. Telurnya, berwarna coklat terang, yang melengket pada rambut manusia dapathidup
hingga 10 hari. Cakar yang besar memungkinkan Pediculosis pubis memegang rambut pada daerah paha,
perianal, dan aksila.
b. Pengendalian Kutu Phthirus Pubis
Penanganan kutu sangat tergantung dari kebersihan pribadi dan menghindari pemakaian alat-alat yang
memungkinkan terjadi penularankutu secara bersama, seperti sisir, topi, pakaian, dll. Tindakanmonitoring
terhadap kutu kemaluan dapat dilakukan terutama
apabilaterjadi kegatalan kulit pada kemaluan dan ditemui keberadaan telur kutu pada rambut kemaluan.
Untuk itu dapat digunakan sisir khusus yangmemiliki jari-jari yang rapat (serit). Penggunaan serit efektif
menghilangkan nimfa dan kutu dewasa namun tidak dengan telurnya, sehingga pemakaian serit harus
dilakukan berulang dan bersamaandengan itu hindari kontak dengan orang atau barang yang dapat menjadi
sumber penularan. Yang penting diperhatikan kebersihan itu sendirisetelah dipakai, hal ini untuk
menghindari penularan berulang. Secarasederhana penggunaan sabun untuk pencuci rambutn kemaluan dan
airhangat secara teratur dapat menurunkan populasi nimfa dan kutudewasa (Nurmaini, 2001)
2.3.3. Factor resiko
Satu studi rinci menemukan kejadian sekitar 33 kasus pubis pediculosis tahunan per 100.000 orang, dengan
dua kali lebih banyak laki- laki sebagai perempuan memiliki infestasi kutu kemaluan. Seperti dengan PMS
lain, pubis pediculosis paling sering terjadi pada dewasa muda. Di Inggris, insidensi tahunan adalah 74 kasus
per 100.000 orang dalam untuk kelompok usia 24 tahun yang merupakan dua kali tingkat kutu yang
ditemukan dalam populasi secara keseluruhan.Pubis Phthirus adalah spesies kutu yang lebih memilih hidup
di antararambut manusia kasar, seperti rambut kemaluan. Sebuah infestasi kutukemaluan menghasilkan
pubis STD pediculosis disebut, kondisi kulit lokalyang ditandai dengan rasa gatal. kutu kemaluan juga
disebut kutu kepiting,dan kasus pubis pediculosis telah informal disebut kepiting. Mereka
adalahexoparasites, atau makhluk hidup di permukaan tubuh manusia, mereka dapatditularkan dari orang ke
orang melalui kontak seksual ( Simms et al, 2006).
Kutu kemaluan berwarna abu-abu, oval, Arthropoda berkaki enam.Setiap 1 sampai 2 mm, membuat kutu
kemaluan kecil dari kutu kepala, yang merupakan spesies yang berbeda. kutu kemaluan bertelur (nits
disebut) padakasar rambut-rambut tubuh yaitu, kemaluan, rambut perianal, rambut paha,rambut perut,
rambut ketiak, jenggot, dan bulu mata.
Kutu dewasa hidupdengan menghisap darah dan tidak bergerak jauh dari telur mereka (Frenkl &Potts, 2007;
Leone, 2007; Link, 2007)
2.3.4. Manifestasi/ tanda gejala
Kutu kelamin biasanya menular melalui hubungan seksual. Penularan dari orang tua kepada anak lebih
mungkin terjadi melalui rute pemakaian handuk, pakaian, tempat tidur atau closets yang sama secara
bergantian. Kutu pubis juga menyebar melalui keringat saat kontak tubuh atau seksual (Nuttal, 2009).
Pasien dengan pubis pediculosis hadir dengan tak henti-hentinya gatal. Pemeriksaan dekat daerah yang
terinfeksi akan menemukan telur tembus pada bagian bawah poros rambut; telur dapat menjadi yang terbaik
dilihat dengan menggunakan lensa pembesar. Kutu sendiri abu-abu atau coklat, dan ketika penuh dengan
darah, mereka menjadi kemerahan. Dalam pembesaran, kutu dapat dilihat untuk memiliki kepala kecil dan
tiga pasang mencakar, kaki jointed (Eckert & Lentz,2007a; Frenkl & Potts, 2007; Leone, 2007; Link, 2007;
Shoemaker etal,2007).
Kulit di daerah yang terinfeksi mungkin memiliki ruam macular atau makulopapular merah. Akan ada
bintik-bintik perdarahan pucat biru ke kiri di titik di mana kutu telah makan, dan ekskresi dari kutu biasanya
titik daerah seperti butir merica kecil. Pasien menggaruk dapatmenyebabkan tanda sekunder dan infeksi.
infestasi serius dapatmenyebabkan kulit bersisik. Sebuah kasus pubis pediculosis. Kutu hidup di dasar
rambut kemaluan, dan telur tembus (nits) menempel pada poros rambut, tampak seperti tetesan air kecil.
(CDC, 2008d).
2.3.5. Patofisiologi dan patogenesis
Pedikulosis pubis merupakan parasit manusia yang menyerang pada rambut kemaluan manusia. Pedikulosis
pubis dapat berpindah dari hospes yang satu ke hospes yang lain secara cepat. Pedikulosis pubis dapat
bertahan hidup pada suhu 5°C selama 10 hari tanpa makan. Pedikulosis pubis mampu menghisap darah
kemaluan dalam waktu yang lama. Pedikulosis pubis akan mati pada suhu 40°C. Sedangkan telur
pedikulosis
pubis dapat dimusnahkan pada suhu 60°C dalam waktu 15-30 menit (UMM, 2017).
Factor pendukung penderita dapat terjangkit pedikulosis pubis adalah kurangnya menjaga kebersihan rambut
kemaluan dan kebiasaan pinjam meminjam seperti pinjam handuk dan pakaian dalam (UMM, 2017).
Pedikulosis pubis akan menyebabkan rasa gatal, karena air liur yang disuntikkan ke kulit saat pedikulosis
pubis menghisap darah dan kotoran yang diakibatkan oleh pedikulosis pubis. Penderita akan menggaruk
kemaluan karena merasakan gatal. Kebiasaan menggaruk dapat mengakibatkan luka, iritasi dan infeksi
sekunder selain itu penderita dapat mengalami anemia (UMM, 2017).
2.3.6. Pemeriksaan Penunjang
Pengobatan untuk penyakit ini bisa dengan menggunakna neutrotoxicity yang dapat melumpuhkan kutu, ini
erjadi karena efek dari topical application. Tapi perlu ditegaskan bahwa pengobatan ini dapat membunuh
kutu namun tidak bisa mengahncurkan telur kutu dengan maksimal. Pengobatan berulang sangat dianjurkan
biasanya pengobatan kedua bisa dilakukan setelah 7-10 hari dari pengobatan awal.
Insektisida atau topical pediculicides adalah pengobatan pertama untuk masalah ini. Dalam insektisida ini
mengandung bahan bahan seperti malathion, linedane, alkohol benzil, topical ivermectin, dan spinosad.
Pyrethiroid merupakan insektisida golongan pyrethrin yang paling sering digunakan. Malathion 0,5% adalah
racun yang dapat membuat ketidakmampuan serangga untuk bernafas. Linedane 1% adalah organochlorine
membunuh kutu dengan cara membuat kutu tidak bisa bernafas. Larutan benzil 0,5% dapat mencegah kutu
untuk membuka spiracles respirator mereka sehingga tidak dapat bernafas. Spinosad 0,9% menyebabkan
kematian dan juga kelumpuham kutu. Spinosad terbukti mempunyai tingkat kesuksesan untuk memberantas
kutu lebih besar dari pada permethrin diminggu kedua dan hanya perlu satu dosis.
Topical ivermectin adalah satu-satunya obat oral yang yang di gunakan untuk melawan penyakit ini. Jtopical
ivermectin juga memiliki efek samping yaitu neurotoksisitas. Kutu ini juga bisa dibasmi dengan menjaga
agar kita selalu hidup bersih, mau itu tubuh pakaian atau lingkungan kita. Kutu pubis juga biasanya tidak
tahan dengan obat-obatan yang digunakan untuk kutu kepala, walaupun berbeda dalam hal sensitivitas. Kutu
pubis yang ada pada pakaian dan benda benda di sekitar kita seperti sprai dan sarung bantal bisa dihilangkan
dengan memakai air panas dengan suhu 52 derajat celcius selama 30 menit (Bragg & Simon, 2020).
2.4. Scabies
2.4.1. Pengertian Scabies
Scabies merupakan infeksi kulit yang disebabkan Sarcoptes scabiei, yakni tungau berukuran kecil yang
hidup didalam kulit penderita. Tungau yang tersebar luas diseluruh dunia ini dapat ditularkan dari hewan ke
manusia ataupun sebaliknya. Tungau ini berukuran 200-450 mikron, berbentuk lonjong, bagian dorsal
konveks sedangkan bagian ventral pipih (Soedarto dalam Safitri dkk, 2019).
2.4.2. Etiologi Scabies
Scabies merupakan salah satu penyakit yang mudah menular dari penderita ke orang lain. Menurut
Kurniawan dkk (2020), skabies merupakan salah satu penyakit kulit yang sering terjadi di negara
berkembang dan merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah di seluruh dunia karena sering
diabaikan atau dianggap biasa. Penyebab dari penyakit ini adalah infeksi Sarcoptes scabiei varietas hominis.
Salah satu jenis tungau ini termasuk dalam kelas Arachnida, subkelas Acarina, ordo Astigmata, dan famili
Sarcoptidae. Adapaun siklus hidup dari S. scabiei ini mulai dari telur, larva, nimfa, hingga tungau dewasa.
Dalam Hilma dan Ghazali (2014), munculnya penyakit ini disebabkan oleh berbagai faktor resiko salah
satunya kondisi lingkungan dengan tingkat kebersihan yang buruk
kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan di temukannya papul, vesikel, urtika dan lain-lain, dengan
garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder. (Djuanda dalam Safitri dkk, 2019)
2.4.6. Patofisiologi Scabies
Menurut Sungkar dalam Salma (2020) Seseorang akan mengalami scabies ketika tungau betina dewasa
berpindah dari penderita sebelumnya dan berhasil masuk ke tubuh orang lain. Tungau betina dewasa ini
kemudian berjalan di permukaan kulit penderita baru lalu mencari daerah yang sesuai untuk melekatkan
dirinya pada permukaan kulit. Setelah menemukan lokasi yang sesuai, tungau mulai membuat sebuah lubang
lalu melekatkan dirinya pada kulit dengan menggunakan kakinya (ambulakral). Setelah itu, tungau mulai
membentuk sebuah terowongan yang sempit di kulit sampai dengan perbatasan stratum korneum dan
stratum granulosum yang biasanya dilakukan pada malam hari dan di dalam terowongan itu pula tungau
berkopulasi atau melakukan perkawinan. Tungau betina ini mampu bertelur sebanyak 2-3 telur per hari dan
40-50 telur selama hidupnya. Kurniawan dkk (2020) menyebutkan bahwa tungau betina dapat hidup selama
30-60 hari di dalam terowongan tersebut dan selama itu pula ia akan terus memperluas terowongannya.
2.4.7. Pemeriksaan Penunjang Scabies
Pemeriksaan penunjang ini dilakukan dengan menggunakan gelas pembesar atau mikroskop cahaya untuk
menemukan tungau. pemeriksaan histopatologik juga dapat dilakukan untuk mengidentifikasi tungau
melalui biopsy kulit. Pengambilan sampel untuk scabies ini dilakukan dengan menentukan terlebih dahulu
lokasi lesi yang akan diambil sebagai sampel, lalu teteskan minyak mineral di daerah lesi tersebut.
Kemudian, lakukan pengerokan kulit dengan menggunakan pisau scalpel nomor 15 sepanjang lesi
terowongan. Setelah itu, kulit hasil dari kerokan dipindahkan ke gelas objek dan tutup dengan menggunakan
gelas penutup. Pada hasil pemeriksaan dengn kaca pembesar atau mikroskop cahaya akan teridentifikasi S.
scabie, telur, dan tinjanya (Wijaya dkk, 2019).
2.5.1. Pengertian
Creeping eruption (cutaneous larva migrans) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi larva non human
hookworm Ancylostoma braziliensis atau Ancylostoma caninum dari kucing atau anjing pada manusia.
Larva tersebut menembus kulit manusia, bermigrasi di kulit manusia meski tidak dapat menjadi bentuk
dewasa, dan menimbulkan gejala berupa lepuh, kemerahan, menonjol disertai rasa gatal dan panas,
kemudian menjalar berkelok-kelok.
2.5.2. Etiologi
Penyebab utama dari Cutaneous Larva Migrans adalah larva cacing
tambang dari kucing dan anjing (Ancylostoma braziliense, Ancylostoma caninum, Ancylostoma
ceylanicum). Penyebab lain yang juga memungkinkan, yaitu larva Uncinaria stenocephala dan bunostomum
phlebotomum.
Morfologi dari Ancylostoma caninum dan Ancylostoma braziliense
a. Ancylostoma caninum, Memiliki tiga pasang gigi. Panjang cacing jantan dewasa Ancylostoma
caninum berukuran 11-13 mm dengan bursa kopulatriks dan cacing betina dewasa berukuran 14-21 mm.
Cacing betina meletakkan rata-rata 16.000 telur setiap harinya (Richey et al.,1996).
b. Ancylostoma braziliense, Morfologi mirip dengan A. Caninum, tetapi kapsul bukalnya memanjang
dan berisi dua pasang gigi sentral. Gigi sebelah lateral lebih besar, sedangkan didi sebelah medial sangat
kecil.
Selain itu, pada Ancylostoma braziliense juga terdapat sepasang gigi segitiga di dasar bukal kapsul. Cacing
betina berukuran 6-9 mm dan cacing jantan berukuran 5-8 mm. Cacing betina dapat mengeluarkan telur
4.000 butir setiap hari (Richey et al.,1996)
jaringan kulit penderita hingga masa hidup dari cacing ini berakhir (Juzych, 2012; Palgunadi, 2010).
2.5.5. Patofisiologi (dalam Sri Linuwih sw Menaldi , dkk. 2016)
Setelah larva menembus ke dalam epidermis, rasa gatal dan papul kemerahan mulai timbul. Sensasi gatal
bukan merupakan respon imun yang spesifik, melainkan dipicu oleh stimulasi zat yang dilepaskan larva Di
Di beberapa kasus, tampak jalur yang meninggi 1.5 hari setelah penetrasi Larva biasanya bermigrasi di
epidermis selama 2-8 minggu sampai beberapa bulan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa 81% pasien
dengan CLM mengalami gangguan tidur karena gatal yang berat. Nyeri juga dapat terjadi. Lesi pada
ganukan bisa menjadi superinfeksi akibat bakteri patogen seperti Saurous dan streptokokus Vesikulobulosa
terjadi pada 0-15% dari kasus. Patofisiolog pembentukan bula pada CLM tidak diketahui. Folikulitis jarang
terjadi Lasi biasanya berupa jalur tunggal yang terletak pada kaki, pantat, dan paha, yang merupakan kulit
terbuka. Lesi juga bisa ditemukan di bagian tubuh lain. Anak-anak lebih sering memiliki kesi di pantat, alat
kelamin, dan tangan. Sedangkan pada orang dewasa hampir semua di tungkai dan kaki. Larva dapat
berpindah ke kulit manusia melalui pakaian yang terkontaminasi, handuk, atau benda lainnya.
2.5.6. Pemeriksaan penunjang (dalam dr.Karina Sugih arto, 2016)
CLM yang disebabkan oleh Ancylostoma caninum dapat dideteksi dengan ELISA (Enzyme-linked
immunosorbent assay). Sekarang ini, mikroskop Epiluminesens telah digunakan untuk memvisualisasikan
pergerakan larva, namun sensitivitas metode ini belum diketahui (Heukelbach dan Feldmeier, 2008).
2.5.7. Pengobatan (dalam dr.Karina Sugih arto, 2016)
Menurut Heukelbach dan Feldmeier (2008), obat pilihan utama pada CLM adalah ivermectin. Dosis tunggal
(200 µg/kg berat badan) dapat membunuh larva secara efektif dan menghilangkan rasa gatal dengan cepat.
Angka kesembuhan dengan dosis tunggal berkisar 77% sampai
100%. Dalam hal kegagalan pengobatan, dosis kedua biasanya dapat memberikan kesembuhan. Ivermectin
kontradiksi pada anak-anak dengan berat kurang dari 15 kg atau berumur kurang dari 5 tahun dan pada ibu
hamil atau wanita menyusui. Namun, pengobatan off-label pada anak-anak dan ibu hamil sudah pernah
dilakukan dengan tanpa adanya laporan kejadian merugikan yang signifikan (Saez-de-Ocariz et al, 2002;
Gyapong et al, 2004 dalam Heukelbach dan Feldmeier, 2008).
Dosis tunggal ivermectin lebih efektif daripada dosis tunggal albendazol, tetapi pengobatan berulang dengan
albendazol dapat dilakukan sebagai alternatif yang baik di negara-negara dimana ivermectin tidak tersedia.
Oral albendazol (400 mg setiap hari) yang diberikan selama 5-7 hari menunjukkan tingkat kesembuhan yang
sangat baik, dengan angka kesembuhan mencapai 92-100%. Karena dosis tunggal albendazol memiliki
efikasi yang rendah, albendazol dengan regimen tiga hari biasanya lebih direkomendasikan. Jika diperlukan,
dapat dilakukan pendekatan alternatif dengan dosis awal albendazol dan mengulangi pengobatan
(Heukelbach dan Feldmeier, 2008).
Tiabendazol (50 mg per kg berat badan selama 2-4 hari) telah digunakan secara luas sejak laporan mengenai
efikasinya pada tahun 1963. Namun, tiabendazol yang diberikan secara oral memiliki toleransi yang buruk.
Selain itu, penggunaan tiabendazol secara oral sering menimbul efek samping berupa pusing, mual muntah,
dan keram usus. Karena penggunaan ivermectin dan albendazol secara oral menunjukkan hasil yang baik,
penggunaan tiabendazol secara oral tidak direkomendasikan (Heukelbach dan Feldmeier, 2008).
Penggunaan tiabendazol secara topikal pada lesi dengan konsentrasi 10-15% tiga kali sehari selama 5-7 hari
terbukti memiliki efektivitas yang sama dengan pengguaan ivermectin secara oral. Penggunaan secara
topikal didapati tidak memiliki efek samping, tetapi memerlukan kepatuhan pasien yang baik. Tiabendazol
topikal terbatas pada lesi multipel yang luas dan tidak dapat digunakan pada folikulitis.
Ivermectin dan albendazol adalah gabungan yang menjanjikan untuk penggunaan topikal, terutama untuk
anak-anak, namun data efikasi untuk penggunaan ini masih terbatas. Infeksi sekunder harus ditangani
dengan antiobiotik topikal (Heukelbach dan Feldmeier, 2008).
Cara terapi lain ialah dengan cryotherapy yakni menggunakan CO2 snow (dry ice) dengan penekanan
selama 45 detik sampai 1 menit, dua hari berturut-turut. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan
menggunakan nitrogen liquid dan penyemprotan kloretil sepanjang lesi. Akan tetapi, ketiga cara tersebut
sulit karena sulit untuk mengetahui secara pasti dimana larva berada. Di samping itu, cara ini dapat
menimbulkan nyeri dan ulkus. Pengobatan dengan cara ini sudah lama ditinggalkan (Aisah, 2010).
2.5.8. Pencegahan (dalam dr.Karina Sugih arto, 2016)
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah kejadian CLM antara lain:
a. Mencegah bagian tubuh untuk berkontak langsung dengan tanah atau pasir yang terkontaminasi
(Heukelbach dan Feldmeier, 2008)
b. Saat menjemur pastikan handuk atau pakaian tidak menyentuh tanah (Heukelbach dan Feldmeier,
2008)
c. Melakukan pengobatan secara teratur terhadap anjing dan kucing dengan antihelmintik (Bava et al,
2011)
d. Hewan dilarang untuk berada di wilayah pantai ataupun taman bermain (Bava et al, 2011)
e. Menutup lubang-lubang pasir dengan plastik dan mencegah binatang untuk defekasi di lubang
tersebut (Tremblay et al, 2000 dalam Heukelbach dan Feldmeier, 2008)
f. Wisatawan disarankan untuk menggunakan alas kaki saat berjalan di pantai dan menggunakan kursi
saat berjemur (Tremblay et al, 2000 dalam Heukelbach dan Feldmeier, 2008)
Akan tetapi, pada masyarakat yang kurang mampu, keterbatasan finansial mengakibatkan sulitnya
masyarakat untuk memberikan yang
teratur terhadap anjing dan kucing. Sehingga pada akhirnya, pemberantasan cacing tambang pada binatang
hanya bisa dilakukan dengan cara melakukan
pengontrolan yang terintegrasi antara pihak kesehatan masyarakat, antropologis medis, dokter hewan, dan
masyarakat (Heukelbach, Mencke, dan Feldmeier, 2002).
2.1. Diare
A. Etiologi Diare
Diare terjadi karena adanya Infeksi (bakteri, protozoa, virus, dan parasit) alergi, malabsorpsi, keracunan,
obat dan defisiensi imun adalah kategori besar penyebab diare. Pada balita, penyebab diare terbanyak adalah
infeksi virus terutama Rotavirus (Permatasari, 2012). Sebagian besar dari diare akut disebabkan oleh infeksi.
Banyak dampak yang dapat terjadi karena infeksi saluran cerna antara lain: pengeluaran toksin yang dapat
menimbulkan gangguan sekresi dan reabsorpsi cairan dan elektrolit dengan akibat dehidrasi, gangguan
keseimbangan elektrolit dan gangguan keseimbangan asam basa. Invasi dan destruksi pada sel epitel,
penetrasi ke lamina propria serta kerusakan mikrovili yang dapat menimbulkan keadaan malabsorpsi. Dan
bila tidak mendapatkan penanganan yang adekuat pada akhirnya dapat mengalami invasi sistemik.
Secara klinis penyebab diare dapat dikelompokan dalam 6 golongan besar yaitu infeksi (disebabkan oleh
bakteri, virus atau infestasi parasit), malabsorbsi, alergi, keracunan, imunodefisiensi dan sebab-sebab lainya
(DEPKES RI, 2011). Penyebab diare sebagian besar adalah bakteri dan parasit, di samping sebab lain seperti
racun, alergi dan dispepsia (Djamhuri, 1994).
• Virus
Merupakan penyebab diare akut terbanyak pada anak (70-80%). Beberapa jenis virus penyebab diare akut
antara lain Rotavirus serotype 1,2,8, dan 9 pada manusia, Norwalk Virus, Astrovirus, Adenovirus (tipe
40,41), Small bowel structure virus, Cytomegalovirus.
• Bakteri
Enterotoxigenic E.coli (ETEC), Enteropathogenic E.coli (EPEC). Enteroaggregative E.coli (EaggEC),
Enteroinvasive E coli (EIEC), Enterohemorrhagic E.coli (EHEC), Shigella spp., Campylobacter Jejuni
(Helicobacter jejuni), Vibrio cholera 01, dan V. Cholera 0139, salmonella (non-thypoid).
• Parasit
Protozoa, Giardia lambia, Entamoeba histolityca, Balantidium coli, Cryptosporidium, Microsporidium spp.,
Isospora belli, Cyclospora cayatanensis.
• Heliminths
Strongyloides sterocoralis, Schitosoma spp., Capilaria philippinensis, Trichuris trichuria.
• Non Infeksi
Malabsorbsi, Keracunan makanan, alergi, gangguan motilitas, imonodefisiensi, obat dll
B. Patofisiologi Diare
Mekanisme dasar penyebab timbulnya diare adalah gangguan osmotik (makanan yang tidak dapat diserap
akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan
elektrolit ke dalam rongga usus, isi rongga usus berlebihan sehingga timbul diare). Selain itu menimbulkan
gangguan sekresi akibat toksin di dinding usus, sehingga sekresi air dan elektrolit meningkat kemudian
menjadi diare. Gangguan motilitas usus yang mengakibatkan hiperperistaltik. Akibat dari diare itu sendiri
adalah kehilangan air dan elektrolit (dehidrasi) yang mengakibatkan gangguan keseimbangan asam basa
(asidosis metabolik dan hypokalemia), gangguan gizi (intake kurang, output berlebih), hipoglikemia dan
gangguan sirkulasi darah (Zein dkk, 2004).
Mekanisme terjadinya diare dan termasuk juga peningkatan sekresi atau penurunan absorbsi cairan dan
elektrolit dari sel mukosa intestinal dan eksudat yang berasal dari inflamasi mukosa intestinal (Wiffen et al,
2014). Infeksi diare akut diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi diare non inflamasi dan
diare inflamasi. Diare inflamasi disebabkan invasi bakteri dan sitoksin di kolon dengan manifestasi sindrom
disentri dengan diare disertai lendir dan darah. Gejala klinis berupa mulas sampai nyeri seperti kolik, mual,
muntah, tetanus, serta gejala dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin makroskopis ditemukan
lendir dan atau darah, mikroskopis didapati sek lukosit polimakronuklear. Diare juga dapat terjadi akibat
lebih dari satu mekanisme, yaitu peningkatan sekresi usus dan penurunan absorbsi di usus. Infeksi bakteri
menyebabkan inflamasi dan mengeluarkan toksin yang menyebabkan terjadinya diare. Pada dasarnya,
mekanisme diare akibat kuman enteropatogen meliputi penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa
kerusakan mukosa, invasi mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitoksin. Satu jenis bakteri dapat
menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut untuk mengatasi pertahanan mukosa usus (Amin, 2015).
Berdasarkan patofisiologinya, diare dapat dibagi atas 3 kelompok :
• Osmotic diarrhea, yang terjadi karena isi usus menarik air dari mukosa. Hal ini ditemukan
malabsorbsi, dan defisiensi laktase.
• Secretori diarrhoea, pada keadaan ini usus halus, dan usus besar tidak menyerap air dan garam, tetapi
mensekresikan air dan elektrolit. Fungsi yang terbalik ini dapat disebabkan pengaruh toksin bakteri, garam
empedu, prostaglandin, dan lain-lain. Cara terjadinya, melalui rangsangan oleh cAMP (cyclic AMP) pada
sel mukosa usus.
• Exudative diarrhoea, ditemukan pada inflamasi mukosa seperti pada colitis ulcerativa, atau pada
tumor yang menimbulkan adanya serum, darah, dan mukus.
Diare akut dapat menyebabkan terjadinya:
• Kehilangan air dan elektrolit serta gangguan asam basa yang menyebabkan dehidrasi, asidosis
metabolic dan hypokalemia.
• Gangguan sirkulasi darah dapat berupa renjatan hipovolemik atau prarenjatan sebagai akibat diare
dengan atau tanpa disertai dengan muntah, perfusi jaringan berkurang sehingga hipoksia dan
asidosismetabolik bertambah berat, peredaran otak dapat terjadi, kesadaran menurun (soporokomatus) dan
bila tidak cepat diobati, dapat menyebabkan kematian.
• Gangguan gizi yang terjadi akibat keluarnya cairan berlebihan karena diare dan muntah, kadang-
kadang orang tua menghentikan pemberian makanan karena takut bertambahnya muntah dan diare pada
anak atau bila makanan tetap diberikan tetapi dalam bentuk diencerkan. Hipoglikemia akan lebih sering
terjadi pada anak yang sebelumnya telah menderita malnutrisi atau bayi dengan gagal bertambah berat
badan. Sebagai akibat hipoglikemia dapat terjadi edema otak yang dapat mengakibatkan kejang dan koma
(Suharyono, 1991).
serta kulit tampak kering (Hasan dkk, 1985). Berdasarkan banyaknya kehilangan cairan dan elektrolit dari
tubuh, diare dapat dibagi menjadi :
• Diare tanpa dehidrasi
Pada tingkat diare ini penderita tidak mengalami dehidrasi karena frekuensi diare masih dalam batas
toleransi dan belum ada tanda- tanda dehidrasi.
• Diare dengan dehidrasi ringan (3%-5%)
Pada tingkat diare ini penderita mengalami diare 3 kali atau lebih, kadang kadang muntah, terasa haus,
kencing sudah mulai berkurang, nafsu makan menurun, aktifitas sudah mulai menurun, tekanan nadi masih
normal atau takikardia yang minimum dan pemeriksaan fisik dalam batas normal
• Diare dengan dehidrasi sedang (5%-10%)
Pada keadaan ini, penderita akan mengalami takikardi, kencing yang kurang atau langsung tidak ada,
iritabilitas atau lesu, mata dan ubun- ubun besar menjadi cekung, turgor kulit berkurang, selaput lendir bibir
dan mulut serta kulit tampak kering, air mata berkurang dan masa pengisian kapiler memanjang (≥ 2 detik)
dengan kulit yang dingin yang dingin dan pucat.
• Diare dengan dehidrasi berat (10%-15%)
Pada keadaan ini, penderita sudah banyak kehilangan cairan dari tubuh dan biasanya pada keadaan ini
penderita mengalami takikardi dengan
D. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada penyakit diare adalah antara lain meliputi: pemeriksaan tinja, makroskopis
dan mikroskopis, pH dan kadar gula dalam tinja dengan kertas lakmus dan tablet clinlinitest bila diduga
intoleransi gula, bila perlu dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi, pemeriksaan gangguan
keseimbangan asam-basa dalam darah dengan menentukan pH dan cadangan alkali atau lebih tepat dengan
pemeriksaan analisa gas darah, pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal,
pemeriksaan elektrolit terutama kadar natrium, kalium, kalsium, dan fosfor dalam serum (terutama pada
penderita diare yang disertai kejang. Evaluasi laboratorium pasien diare infeksi dimulai dari pemeriksaan
feses adanya leukosit. Kotoran/tinja biasanya tidak mengandung leukosit, jika ada, dianggap sebagai
inflamasi kolon baik infeksi maupun non infeksi . Sampel harus diperiksa sesegera mungkin karena neutrofil
cepat berubah. Sensitivitas leukosit feses (Salmonella, Shigella, dan Campylocbacter) yang dideteksi dengan
kultur feses bervariasi dari 45%-95% tergantung jenis patogenya. Pasien dengan diare berdarah harus
dilakukan kultur feses untuk EHEC 0157:H7. Pasien dengan diare berat, deman, nyeri abdomen, atau
kehilangan cairan harus diperiksa kimia darah, natrium kalium, klorida ureum, kreatin, analisa gas darah,
dan pemeriksaan darah lengkap (Zein dkk, 2004).
2.2. Gastritis
Gastritis merupakan peradangan yang mengenai mukosa lambung,peradangan ini dapat mengakibatkan
pembengkakan mukosa lambung sampai terlepasnya epitel akan gangguan saluran pencernaan. Pelepasan
epitel akan merangsang timbulnya proses inflamasi pada lambung (Ardian Ratu, 2013).
A. Klasifikasi:
1. Gastritis akut
Gastritis akut adalah inflamasi akut mukosa lambung pada sebagian besar merupakan penyakit yang ringan
dan sembuh sempurna. Gastritis akut dibedakan menjadi 2 yaitu:
a. Gastritis akut erosive: kerusakan yang terjadi tidak lebih dalam dari pada mukosa muskularis.
b. Gastritis akut hemoragik: penyakit ini akan dijumpai perdarahan mukosa lambung dalam berbagai
derajat dan terjadi erosi yang berarti hilangnya kontinuitas lambung pada beberapa tempat, menyertai pada
mukosa lambung tersebut.
2. Gastritis kronis
Menurut Muttaqin, (2011) Gastritis kronis adalah suatu peradangan permukaan mukosa lambung yang
bersifat menahun. Gastritis kronik diklasifikasikan dengan tiga perbedaan sebagai berikut:
a. Gastritis superfisial, dengan manifestasi kemerahan, edema, perdarahan, dan erosi mukosa.
b. Gastritis atrofik, dimana peradangan terjadi di seluruh lapisan mukosa pada perkembangannya
dihubungkan dengan ulkus dan kanker lambung, serta anemia pernisiosa. Hal ini merupakan karakteristik
dari penurunan jumlah sel parietal dan sel chief.
c. Gastritis hipertrofik, yaitu suatu kondisi dengan terbentuknya nodul – nodul pada mukosa lambung
yang bersifat irregular, tipis, dan hemoragik.
B. Etiologi
a. Gastritis akut disebabkan oleh faktor internal (kondisi pemicu yang menyebabkan pengeluaran asam
lambung berlebihan) maupun faktor eksternal (menyebabkan iritasi dan infeksi) (selfiana, 2015).
• Faktor dari luar: 1) makanan, diet yang salah, makanan banyak, terlalu cepat, makanan berbumbu
yang dapat merusak mukosa lambung, seperti rempah – rempah, alcohol, kopi, stress. Obat – obatan
digitalis, iodium, kortison, analgesic, anti inflamasi, bahan alkali yang kuat (soda)
• Faktor dari dalam: toxin, bakteri yang beredar dalam darah missal morbilli, difteri, variola. Infeksi
pyrogen langsung pada dinding lambung seperti streptococcus, staphylococcus.
b. Gastritis kronis disebabkan oleh benigna atau maligna dari lambung atau oleh bakteri Helicobacter
pylori (H. pylori) (Smeltzer & Bare, 2002)
• Tipe A (gastritis autoimun) seperti anemia
• Tipe B (gastritis H. pylory) seperti factor diet, minuman panas, pedas, alcohol, merokok, refluks isi
usus kedalam lambung.
D. Faktor resiko:
1. Usia
Usia sangat berpengaruh terhadap penyakit gastritis, karena masa remaja adalah masa mencari identitas diri,
adanya keinginan untuk
dapat diterima oleh teman sebaya dan mulai tertarik oleh lawan jenis yang dapat menyebabkan remaja
sangat menjaga penampilan. Semua itu sangat mempengaruhi pola makan remaja, termasuk pemilihan bahan
makanan dan frekuensi makan. Remaja takut gemuk sehingga remaja menghindari sarapan dan makan siang
atau hanya makan sehari sekali (Pratiwi, 2013).
2. Jenis kelamin
Faktor jenis kelamin mempengaruhi terjadinya penyakit gastritis. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan
bahwa jumlah penderita gastritis antara pria dan wanita, ternyata lebih banyak diderita oleh perempuan
(Riyanto, 2012). Hal ini disebabkan karena wanita lebih mementingkan tugas – tugasnya daripada makan,
sehingga menyebabkan telat makan yang dapat menyebabkan asam lambung meningkat.
3. Pekerjaan
Tuntutan dunia kerja yang keras, dengan deadline target yang menyita waktu menyebabkan para pekerja
mengabaikan pemenuhan kebutuhan dirinya, terutama dalam menjaga pola makan tepat waktu dan istirahat
yang cukup. Sudah jamak di kota-kota besar, pekerja kantoran sering dikejar-kejar waktu sehingga nyaris
tidak memiliki jam istirahat yang cukup, walau cuma untuk makan siang tepat waktu. Pola kerja super sibuk
seperti ini juga menyebabkan stres karena tekanan kerja yang tinggi. Sehingga pekerja kantoran sangat
rentan mengalami penyakit maag (Efendi,2015).
4. Pendidikan
Pendidikan rendah lebih rentang terkena gastritis daripada yang berpendidikan tinggi, karena orang
berpendidikan rendah berasumsi tidak perlu makan yang kaya dengan karbohidrat yang penting kenyang.
sehingga porsi bahan makanan sumber karbohidrat lebih banyak dibandingkan dengan kelompok bahan
makanan lain. Sebaliknya, sekelompok orang yang berpendidikan tinggi cenderung memilih bahan makanan
sumber protein dan akan berusaha menyeimbangkan dengan kebutuhan gizi lain. Sehingga pendidikan
sangat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit gastritis (Pratiwi,2013)
a) Gastritis akut
Ketidaknyamanan, sakit kepala, malas, mual, muntah, dan anoreksia.
b) Gastritis kronis
Tipe A secara khusus asimtomatik. Tipe B pasien mengeluh anoreksia, nyeri ulu hati setelah makan,
kembung, rasa asam di mulut, mual, dan muntah
F. Pemeriksaan penunjang:
Menurut (Suratun, 2010) pemeriksaan penunjang pada pasien dengan gastritis, yaitu:
A. Etilologi
Penyakit gastroesophageal reflux atau GERD bersifat multifaktorial. Esofagitis dapat terjadi akibat
gastroesophageal reflux jika terjadi kontak yang lama antara bahan refluxate dan mukosa esophagus, dan
terdapat penurunan resistensi jaringan mukosa esophagus,, walaupun waktu kontak antara bahan refluksat
dengan esofagus tidak cukup lama (Setiati, et al., 2014).
B. Patogenesis
Kerongkongan dan lambung dipisahkan oleh zona tekanan tinggi yang dihasilkan oleh kontraksi Lower
Esophageal Sphincter (LES). Pada individu normal, separator ini akan dipertahankan kecuali bila terdapat
aliran anti degradasi yang terjadi pada saat menelan atau aliran elektron yang terjadi saat sendawa atau
muntah, titik arus balik lambung menuju kerongkongan hanya terjadi melalui lesi. saat nada LES tidak ada
atau sangat rendah. (Setiati, et al., 2014).
Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseiimbangan antara
faktor defensif dari esofagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat.
Mekanisme antirefluks LES, pada ujung bawah esofagus , meluas ke atas sekitar 3 cm diatas perbatasan
lambung, otot sirkulasi esofagus berfungsi sebagai sfingter esofagus bawah yang lebar atau disebut juga
sfingter gastroesofageal. Normalnya, sfingter ini berkontraksi secara tonik dengan tekanan intraluminal pada
titik ini di esofagus sekitar 30 mmHg, berbeda dengan bagian tengah esofagus yang normalnya tetap
berelaksasi.
2. Faktor non Mekanik
• Bersihan asam dari lumen esofagus
Faktor-faktor yang berperan dalam pembersihan asam esofagus adalah gravitasi, peristaltik, sekresi saliva
dan produksi bikarbonat esofagus. Setelah terjadi refluks, sebagian bahan refluks akan kembali ke perut
dengan dirangsang gerak peristaltik pada proses menelan. Sisanya akan dinetralkan oleh bikarbonat yang
disekresikan oleh kelenjar ludah dan kelenjar esofagus. Mekanisme ini sangat penting, karena semakin lama
kontak dengan bahan refluxate dengan esophagus maka semakin besar kemungkinan terjadinya esophagitis.
• Ketahanan epitel esofagus
Berbeda antara lambung dan duodenum, esofagus tidak memiliki lapisan mukus yang melindungi mukosa
esofagus. Mekanisme ketahanan esofagus terdiri dari:
- Membran sel
- Batas intraseluler yang membatasi difusi Ke jaringan esofagus
- Aliran darah esofagus yang menyuplai nutrisi, oksigen dan bikarbonat, dan mengeluarkan ion dan .
- Sel-sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentranspor ion serta bikarbonat
ekstraseluler.
Kandungan di lambung yang berpotensi merusak refluksat terdiri dari: HCL, pepsin, garam, empedu, enzim
pankreas.
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa
esofagus makin meningkat pada pH <2, atau adanya pepsin atau garam empedu. Namun dari kesemuanya itu
yang memiliki potensi daya rusak yang sangat tinggi adalah asam. Faktor-faktor lainnya yang
mengakibatkan meningkatnya refluks fisiologis antara lain, dilatasi lambung Gastric oulet serta Delayed
gastic emptying.
konsekuensi logis daro gastritis dan pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung.
b) Faktor lingkungan
1. Merokok
Orang yang merokok dalam waktu lama memiliki risiko paling tinggi mengalami gastroesophageal reflux
karena sering mengalami heartburn setiap minggu, merokok juga dapat meningkatkan asam lambung, dan
juga salah satu kandungan dalam rokok seperti nikotin dapat menyebabkan gastroesophageal reflux dengan
cara merelaksasikan sfingter esofagus bagian bawah. atau LES.
2. Faktor stress
Stres dapat merangsang saraf sehingga dapat mempengaruhi pembentukan gastric refluxate salah satunya
HCL, dan stres juga mempengaruhi hipersensitivitas esofagus sehingga dapat mempengaruhi kondisi LES
sehingga dapat menyebabkan terjadinya reflux regurgitasi dari perut ke kerongkongan.
3. Faktor usia dan jenis kelamin
Usia dan jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang bisa menyebabkan terhadinya refluks
gastroesofageal, pasien yang berusia 40 tahun memiliki resiko paling tinggi dan laki-laki lebih sering
mengalami refluks gastroesofageal di bandingkan perempuan.
c) Faktor individu
1. Faktor genetic
Refluks gastroesofageal juga dipengaruhi oleh faktor genetik, terdapat beberapa penelitian menunjukan
hubungan antar gen dan refluks gastroesofageal. Pada penelitian tersebut mejelaskan kelainan pada
kromosm 13q pada anak dengan refluks gastroesofageal.
2. Faktor status gizi
Banyak penelitian menunjukkan kenaikan indeks massa tubuh atau IMT berkaitan dengan refluks
gastroesofageal. Obesitas merupakan salah satu faktor yang bisa mengakibatkan refluks gastroesofageal,
semakin tinggi nilai ITM seseorang dapat meningkatkan intra abdomen yang bisa mempengaruhi LES.
D. Manifestasi Klinis
Pada pengidap refluks gastroesofageal gejala yang ditimbul berupa gejala yang tipikal & gejala atipikal.
Gejala klinik dari refluks gastroesofageal merupakan nyeri atau rasa tidak lezat di daerah epigastrium atau
retrosternal bagian bawah. Rasa nyerinya ini misalnya rasa terbakar, kadang dicampuri oleh tanda-tanda
disflagia atau kesulitan menelan makanan, regurgitasi atau mual & rasa pahit pada lidah.
GERD atau refluks gastroesofageal jua dapat menimbulkan manifestasi tanda-tanda ekstra esofageal yang
atipik & sangat bervariasi mulai dari nyeri dada non-kardiak, suara serak, laringitis, batuk karena aspirasi
sampai timbulnya bronkiektasis atau asma.
Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor kecenderungan timbulnya GERD lantaran
timbulnya perubahan anatomis di wilayah gastroesofageal high pressures zone akibat penggunaan obat-
obatan yg menurunkan tonus LES contohnya theofilin.
Gejala GERD umumnya berjalan perlahan-lahan, sangat sporadis terjadi fragmen akut atau keadaan yg
bersifat mengancam nyawa. Oleh sebab itu, biasanya pasien menggunakan GERD memerlukan
penatalaksanaan secara medik.
E. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosa GERD diantaranya:
1. Endoskopi
Endoskopi adalah studi pertama yang dipilih untuk mengevaluasi pasien dengan dugaan GERD. Penyakit
gastroesophageal reflux tidak selalu berhubungan dengan lesi mukosa yang terlihat secara mikroskopis.
Dalam kasus ini, sampel dijalankan. Endoskopi menentukan lokasi dan komposisi sumber perdarahan dan
berguna untuk pengobatan (perluasan endoskopi) (Setiati, et al., 2014).
2. Radiologi
Pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali kali tidak menunjukan kelainan, terutama pada kasus esofagitis
ringan. Disamping itu hanya sekita 25% pasien refluks gastroesofageal menunjukan refluks barium secara
spontan pada pemeriksaan fluoroskopi. Pada keadaan yang lebih berat, gambaran radiologi dapat berupa
penebalan dinding dan lipatan mukosa, tukak, atau penyempitan lumen.
3. Tes provokatif
a. Tes perfusi
Asam (Bernstein) untuk mengevaliasi kepekaan mukosa esofagus terhadap asam. Pemeriksaan ini dengan
mengunkan HCL 0,1% yang dialirkan ke esofagus. Tes Bernstein yang nefatif tidak memiliki arti diagnostik
dan tidak bisa menyingkirkan nyeri asal esofagus.
b. Tes endrofonium
Tes farmakologis ini menggunkan obat endofonium yang di suntikan ke intarvena.
2.4. Apendisitis
Apendisitis adalah istilah yang merujuk pada peradangan usus buntu atau umbai cacing (apendik) akibat dari
infeksi. Apendisitis dapat terjadi pada wanita maupun pria di segala usia. Apendisitis dikelompokan menjadi
dua tipe yaitu apendisitis akut dan apendisitis kronis.
A. Etiologi
Apendisitis disebabkan oleh adanya obstruksi pada lumen apendiks yang disebabkan oleh sumbatan masa
fecalith. penyebb lain dari obstruksi lumen apendiks adalah akibat hiperplasia jaringan limfoid yang
berkaitan dengan infeksi virus atau neoplasma (pada kasus tertentu). Batu empedu dan gumpalan cacing
(oxyuriasis vermicularis) juga dapan menimbulkan obstruksi pada lumen apendiks hingga menimbulkan
peradangan.
Ketika obstruksi lumen apendiks terjadi, lapisan mukosa pada dinding apendiks akan mensekresi mukus
yang jumlahnya meningkat. Peningkatan produksi mukus ini akan meningkatkan volume lumen apendiks
sehingga menyebabkan kenaikan tekanan intralumen. Hal ini dapat mengakibatkan kolapsnya vena drainase
sehingga menurunkan suplai darah ke apendiks yang dapat mengakibatkan iskemia jaringan apendiks,
infark, dan gengren. Obstruksi dan cedera iskemik memudahkan terjadinya proliferasi bakteri pada lumen
apendiks. Gangguan limfatik yang terjadi pada kasus apensitis juga menyebabkan
turunnya pertahanan mukosa apendiks sehingga memudahkan invasi bakteri ke dinding apendiks (Amalia,
2016).
B. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit,
benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut
menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mucus tersebut
semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut lokal
yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah
kanan bawah. Keadaan ini disebut apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan
terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis
gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua proses
diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul
suatu massa lokal yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat menjadi
abses atau menghilang. Pada anak-anak, kerena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, maka
dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang
sehingga memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah
ada gangguan pembuluh darah (Herdiansyah, 2015).
C. Faktor Resiko
Menurut Arifuddin, Salmawati, & Prasetyo (2017), terdapat tiga faktor yang dapat meningkatkan resiko
terjadinya apendisitis yaikni usia, jenis kelamin dan pola makan.
1. Usia
Apendisitis bisa terjadi pada semua usia namun jarang terjadi pada usia dewasa akhir dan balita, kejadian
apendisitis biasanya meningkat pada usia remaja dan dewasa. Usia 20 – 30 tahun bisa dikategorikan sebagai
usia produktif, Dimana orang yang berada pada usia tersebut melakukan banyak sekali kegiatan. Hal ini
menyebabkan orang tersebut mengabaikan nutrisi makanan yang dikonsumsinya. Akibatnya terjadi kesulitan
buang air besar yang akan menyebabkan peningkatan tekanan pada rongga usus dan pada akhirnya
menyebabkan sumbatan pada saluran apendiks.
2. Jenis kelamin
Pria memiliki resiko terkena apendisitis yang lebih besar dibandingkan dengan wanita. Hal ini dikarenakan
pria lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah untuk bekerja dan lebih cenderung mengkonsumsi
makanan cepat saji, sehingga hal ini dapat menyebabkan beberapa komplikasi atau obstruksi pada usus yang
bisa masalah pada sistem pencernaan salah satunya yaitu apendisitis.
3. Pola makan
Pola makan yang kurang serat dapat menyebabkan apendisitis, selain itu bahan makanan yang dikonsumsi
serta cara pengolahan dan waktu makan yang tidak teratur juga dapat menyebabkan apendisitis. kebiasaan
pola makan yang kurang dalam mengkonsumsi serat akan berakibat pada timbulnya sumbatan fungsional
apendiks dan meningkatkan pertumbuhan kuman, sehingga terjadi peradangan pada apendiks.
E. Pemeriksaan Penunjang
a) Ultrasonography (USG)
Ultrasonography (USG) akurat untuk mendiagnosis appendicitis pada anak-anak. USG akan memudahkan
para klinisi dalam membedakan appendicitis yang tidak atau sudah berkomplikasi. USG juga dapat
membantu dalam membuat keputusan medis mengenai apakah situasi pasien memerlukan inisiasi terapi
antibiotika terlebih dahulu, atau segera melakukan apendektomi. Gambaran dilatasi diameter apendiks > 6
mm menunjukkan gambaran appendicitis.
b) CT Scan
Pemeriksaan ini biasanya tidak diutamakan karena paparan radiasinya, dan beban biaya pada pasien. CT
Scan mungkin dilakukan apabila gambaran klinis appendicitis meragukan, di mana pemeriksaan
laboratorium tidak mendukung, dan USG juga tidak jelas. Pemeriksaan kombinasi dengan detektor tunggal
CT Scan dan USG memiliki keakuratan diagnosis appendicitis sekitar 78%. Dengan penggunaan multi
detektor memberikan spesifisitas 98% dan sensitifitas 98,5%, untuk mendiagnosis appendicitis
c) Laboratorium Darah
Pada hitung jenis lengkap bisa didapatkan leukosit > 10500 sel/mcL dan neutrofilia >75%. Kadar C-reactive
protein > 1 mg/dL disertai lekositosis dan neutrofilia adalah umum pada pasien dengan appendicitis. Kadar
yang sangat tinggi mengindikasikan terjadinya gangrene
d) Urinalisis
Pada urinalisis bisa ditemukan piuria, leukosituria, eritrosituria, dan kadar asam 5-hidroksiindolasetat (U-5-
HIAA) sebagai marker dini appendicitis yang meningkat secara signifikan sewaktu akut dan menurun ketika
telah terjadi nekrosis.
A. Etiologi
Penyakit batu empedu (Kolelitiasis) adalah salah satu penyakit abdomen tanpa gejala. Penyebab dari
penyakit ini adalah terbentuknya endapan yang akhirnya mengeras dan membentuk batu di dalam kantung
empedu (kolelitiasis) atau saluran empedu (koledokolitiasis) dan saluran hati. Unsur pembentuk batu ini
adalah kolesterol dan kalsium. Batu empedu berukuran kecil lebih berbahaya dibandingkan yang berukuran
besar, dikarenakan yang berukuran kecil dapat berpindah tempat ke tempat lain dan dapat memicu masalah
lainnya.
B. Patofisiologis
Patofisiologi batu empedu adalah akibat substansi tertentu pada cairan empedu yang meningkat, sehingga
memiliki konsentrasi yang lebih tinggi daripada pelarutnya. Cairan empedu yang terkonsentrasi
menyebabkan supersaturasi dan presipitasi sebagai kristal mikroskopik. Kristal ini terperangkap dalam
mukus kantung empedu dan membentuk lumpur bilier (biliary sludge). Seiring berjalannya waktu, kristal ini
menumpuk dan saling menyatu membentuk batu makroskopik.
C. Faktor Resiko
Faktor resiko batu empedu (Cholelithiasis) dikenal dengan singkatan 4F, yaitu Forty, Female, Fat, dan
Family.
1. Usia Lanjut. Jarang menyerang di usia 25 tahun kebawah, sekitar 30% lansia diperkirakan memiliki
batu empedu, meskipun tidak menampakkan gejala.
2. Wanita. Sekitar 2 : 1000 pada wanita mengidap batu ginjal jauh lebih banyak dibandingkan 0,6 :
1000 pada pria. Pada wanita hamil, posisi kantung empedu menjadi lebih rendah dan batu empedu bisa
berkembang. Hormone wanita dan konsumsi pil KB diduga ikut berperan dalam peningkatan resiko.
3. Obesitas. Peneliti menunjukkan bahwa wanita dengan BMI lebih dari 32 mendapatkan resiko 3x
lebih besar dibanding BMI antara 25- 25
4. Genetik. Bila keluarga kita memiliki riwayat penyakit ini, maka kita akan berpeluang 1½ kali
mendapatkan penyakit batu empedu.
E. Pemeriksaan Penunjang
Pada umumnya untuk mendiagnosis penyakit ini dapat menggunakan pemeriksaan pencitraan yang
memungkinkan mendeteksi ketidaknormalan dalam kantung empedu, pankreas, atau saluran empedu.
1. Ultrasonografi, adalah teknik radiologi menggunakan gelombang suara berfrekuensi tinggi untuk
menghasilkan pencitraan organ dan struktur tubuh.
2. Pemeriksaan darah hati dan pankreas, untuk mendeteksi ketidaknormalan dalam produksi enzim. Hal
ini membantu menunjukkan gangguan dalam produksi enzim normal dan kemungkinan hasil dari batu
empedu
3. Kolesistogram Oral (OCG), adalah prosedur sinar X dimana pasien mengunyah tablet yang
mengandung iodin.
Atresia berasal dari Bahasa Yunani, yang mana ‘a’ berarti tidak ada dan ‘trepsis’ yang berarti makanan atau
minuman. Penamaan atresia ani kini lebih dikenal dengan sebutan malformasi aorektal (MAR) yang
merupakan suatu kelainan kongenital yang berupa tidak ada atau tertutupnya saluran anus secara abnormal.
Kelainan ini karena tidak terjadi perforasi membran yang memisahkan bagian endoterm yang
mengakibatkan adanya pembentukan lubang anus yang tidak sempurna. Akibat dari hal ini yaitu anus
menjadi terlihat rata atau sedikit cekung kearah dalam, dan terkadang ada yang berbentuk anus tapi tidak
berhubungan langsung dengan rectum. Kelainan ini menyebabkan penderitanya menjadi tidak memiliki
lubang untuk mengeluarkan feses.
A. Etiologi
Atresia ani merupakan salah satu kelainan bawaan yang penyebabnya belum diketahui secara pasti. Namun,
ada beberapa sumber yang mengatakan bahwa atresia ani ini disebabkan oleh beberapa hal, yakni :
1. Adanya gangguan saat pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik sehingga
menyebabkan kegagalan dalam pembentukan septum urorektal secara komplit
2. Saluran pernapasan dari atas terputus dengan dubur, sehingga bayi terlahir tanpa memiliki anus
3. Adanya kegagalan pertumbuhan dalam kandungan saat si bayi masih berusia 12 minggu atau 3 bulan
dalam kandungan
4. Kelainan bawaan, yang mana pada umumnya tidak ada kelainan pada rektum, sfingter dan otot dasar
panggul.
Faktor predisposisi :
1. Kelainan sistem pencernaan, yang terjadi kegagalan perkembangan anomali pada gastrointestinal
2. Kelainan sistem perkemihan, yang terjadi kegagalan pada genitourinary
B. Patofisiologi
Atresia ani merupakan suatu kelainan yang mana dapat disebabkan oleh adanya kegagalan dari
pembentukan septum urorektal secara komplit karena terdapat gangguan pada pertumbuhan, fusi atau
pembentukan anus dari tonjolan embrionik, yang menyebabkan rektum dan anus tumbuh dari embrionik di
bagian belakang. Ujung ekor dari belakang tersebut kemudian berkembang menjadi kloaka yang akan
membentuk bakal genitourinaria dan struktur anorectal. Adanya stenosis anal dikarenakan ada penyempitan
pada kanal anorektal, dan adanya atresia anal dikarenakan tidak adanya kelengkapan dan perkembangan
dari kolon antara 7 – 10 minggu dalam perkembangan fetal (janin). Kemudian adanya kegagalan dari
migrasi dapat disebabkan karena adanya kegagalan dalam agenesis sakral dan abnormalitas pada vagina
serta uretra. Tidak ada pembukaan dari usus besar yang keluar melalui anus sehingga menyebabkan janin
atau fetal yang akan keluar menjadi terhambat dan berakibat pada obstruksi di bagian intestinal. Saluran
pencernaan kemudian putus, mulai dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi baru lahir 20 tanpa lubang
anus. Atresia ani merupakan salah satu kelainan kongenital, yang terdapat 3 letak :
1. Tinggi (supralevator), yang mana rektum berakhir di atas M. levator ani (muskulus puborektalis)
2. Intermediate, yang mana rektum terletak pada muskulus levator ani tapi tidak menembusnya
3. Rendah, yang mana rektum berakhir dibawah levator ani
C. Gejala
Atresia ani merupakan suatu kelainan yang biasanya dialami bayi dengan gejala muntah – muntah selama 24
– 48 jam setelah lahir dan tidak terdapat defekasi mekonium atau feses pertama pada bayi. Gejala ini
berbahaya, karena terdapat penyumbatan yang tinggi. Selain itu, kelainan ini juga terdapat fistula atau
adanya hubungan abnormal antar organ – organ yang seharusnya tidak ada. Pada bayi perempuan, sering
ditemukan fistula rektovaginal, yang mana bayi ketika buang air besar fesesnya keluar melalui vagina dan
jarang terjadi rektoperineal, serta tidak rektourinarius. Sedangkan pada bayi laki – laki, dapat terjadi fistula
rektourinarius dan berakhir di kandung kemih atau uretra serta jarang mengalami rektoperineal. Gejala –
gejala yang akan timbul dapat meliputi :
D. Pemeriksaan
1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dapat dilihat pada saat pemeriksaan yakni anus tampak merah, usus pada bayi melebar,
adanya jaringan yang menahan termometer yang dimasukkan ke anus, terdengar hiperperistaltik pada saat ]
melakukan auskultasi, bayi tidak mengeluarkan mekonium pada 24 jam setelah kelahiran, serta tinja terdapat
pada urin dan vagina
2. Pemeriksaan Penunjang
Untuk memperkuat dari diagnosis bahwa seseorang atau bayi mengalami atresia ani, dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang yang meliputi :
- Pemeriksaan radiologis
- Sinar X terhadap abdomen
- Ultrasound terhadap Abdomen
- CT Scan
- Pyelografi Intravena
- Pemeriksaan fisik rectum
- Rontgenogram abdomen dan pelvis (Helda Nila Grafika, 2010).
E. Etiologi
1. Adanya inflamasi/peradangan pada appendiks secara akut atau sudah terjadi perforasi apendiks,
tukak lambung, usus tifus, pankreatitis akut, kolesistitis akut.
2. Adanya ileus obstruksi baik disebabkan karena adanya hernia inkarserata maupun karena adanya
volvulus usus.
3. Adanya iskemia yang disebabkan karena adanya kelainan atau penyumbatan vaskuler.
4. Adanya perdarahan bisa disebabkan karena adanya kehamilan ektopik, atau aneurisma yang pecah
5. Adanya cedera/trauma dimana terjadi perforasi organ berongga, perdarahan hati atau limpa.
F. Manifestasi Klinik
Gejala/tanda dari trauma abdomen sangat tergantung dari organ mana yang terkena, seperti:
1. Bila yang terkena organ-organ solid (hati dan lien) maka akan tampak gejala perdarahan secara
umum seperti pucat, anemis bahkan sampai dengan tanda-tanda syok hemoragic. Gejala perdarahan di intra
peritoneal akan ditemukan klien mengeluh nyeri dari mulai nyeri ringan sampai dengan nyeri hebat, nyeri
tekan dan kadang nyeri lepas, defans muskular (kaku otot), bising usus menurun, dan pada klien yang kurus
akan tampak perut membesar, dari hasil perkusi ditemukan bunyi pekak.
2. Bila yang terkena organ berlumen gejala yang mungkin timbul adalah peritonitis yang dapat
berlangsung cepat bila organ yang terkena gaster tetapi gejala peritonitis akan timbul lambat bila usus halus
dan kolon yang terkena. Klien mengeluh nyeri pada seluruh kuadran abdomen, bising usus menurun, kaku
otot (defans muskular), nyeri tekan, nyeri lepas dan nyeri ketok.
3. Pada trauma ginjal biasanya ada hematuri, nyeri pada costa vertebra, dan pada inspeksi biasanya
jejas (+). Pada kasus trauma abdomen ini yang paling mendapat prioritas tindakan adalah bila terjadi
perdarahan di intra abdomen (yang terkena organ solid)
G. Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi (lihat) = mulai dari keadaan umum klien, ekspresi wajah, tanda-tanda vital, sikap berbaring,
gejala dan tanda dehidrasi, perdarahan, syok, daerah lipat paha (inguinal, skrotum bila terdapat hernia
biasanya ditemukan benjolan).
2. Auskultasi = selain suara bising usus yang diperiksa di keempat kuadran dimana adanya ekstravasasi
darah menyebabkan hilangnya bunyi bising usus, juga perlu didengarkan adanya bunyi bruits dari arteri
renalis, bunyi bruits pada umbilical merupakan indikasi adanya trauma pada arteri renalis.
3. Perkusi = melihat apakah ada nyeri ketok. Salah satu pemeriksaan perkusi adalah uji perkusi tinju
dengan meletakkan tangan kiri pada
sisi dinding toraks pertengahan antara spina iliaka anterior superior kemudian tinju dengan tangan yang lain
sehingga terjadi getaran di dalam karena benturan ringan bila ada nyeri merupakan tanda adanya
radang/abses di ruang subfrenik antara hati dan diafraghma.
4. Untuk teknik palpasi identifikasi kelembutan, kekakuan dan spasme hal ini
5. dimungkinkan diakibatkan karena adanya massa atau akumulasi darah ataupun cairan.
H. Pemeriksaan Penunjang
Untuk ketepatan diagnosa perlu adanya pemeriksaan-pemeriksaan penunjang seperti hematologi (Hb,
Leukosit, Hematokrit, PT,APTT), radiologi (BNO/foto polos abdomen, servikal lateral, thoraks
anteroposterior/AP dan pelvis) Diagnostic Peritoneal Lavage/DPL, USG, CT SCAN.
Patofisiologi penurunan kesadaran yaitu dimulai ketika formasi retikuler yang berperan penting untuk
menentukan tingkat kesadaran seseorang. RAS merupakan jalur polysynaptic kompleks yang berasal dari
batang otak (formasi retikuler) dan hipotalamus dengan memberikan proyeksi ke intralaminar dan nukleus
retikular thalamus yang kemudian akan memproyeksi kembali secara menyeluruh dan tidak spesifik pada
area luas sekitar korteks termasuk frontal, parietal, temporal, dan oksipital.
Menurut Wijdicks (2010), Kelainan yang mengenai lintasan RAS berada diantara medulla, pons,
mesencephalon kemudian menuju ke subthalamus, lalu menuju ke hipotalamus dan selanjutnya talamus
yang kemudian akan menimbulkan penurunan derajat kesadaran. Kesadaran dapat ditentukan oleh interaksi
yang terjadi secara kontinu antara fungsi korteks serebri (kualitas) dengan Ascending Reticular Activating
System atau ARAS (kuantitas) yang terletak mulai dari pertengahan bagian atas pons. Kemudian ARAS
menerima
serabut-serabut saraf kolateral dari jaras-jaras sensoris untuk selanjutnya melalui thalamic relay nuclei yang
dipancarkan secara difus ke kedua korteks serebri. ARAS juga dapat bertindak sebagai suatu tombol off-on
yang memiliki fungsi untuk menjaga korteks serebri tetap sadar (awake).
Menurut Yeo (2013), respon gangguan kesadaran pada kelainan di ARAS ini merupakan suatu kelainan atau
gangguan yang dapat berpengaruh kepada sistem arousal atau respon primitif yang merupakan bagian dari
manifestasi yang terjadi pada rangkaian inti-inti di batang otak dan serabut serabut saraf pada susunan saraf.
Korteks serebri juga merupakan salah satu bagian yang terbesar dari susunan saraf pusat dimana kedua
kortek sini berperan dalam kesadaran akan diri terhadap lingkungan atau input-input rangsangan sensoris
(awareness). Neurotransmiter sangat berperan pada ARAS, antara lain neurotransmitter kolinergik,
monoaminergik dan Gamma Aminobutyric Acid (GABA).
b. Patogenesis
Menurut Avner (2006), dalam perilaku yang normal membutuhkan pengetahuan serta efek yang sesuai,
sehingga seseorang dapat mengenali hubungan antara diri sendiri dan lingkungan. Hemisfer otak
bertanggung jawab atas kontrol tingkah laku. Pada umumnya, tubuh kita mengikuti ritme kesadaran yang
normal. Dimulai ketika manusia dalam kondisi kesadaran penuh atau dalam kondisi wakefulness yang
kemudian menjadi mengantuk, kemudian pada akhirnya tertidur. Ketika kita tertidur atau bahkan pada saat
kita mengantuk, tubuh kita secara spontan menerima stimulus dari luar yang kemudian diproses melalui
input sensoris yang berfungsi untuk meningkatkan kita dalam kondisi sadar sehingga menyebabkan
seseorang menjadi sadar atau
terbangun. Siklus ini dipicu secara predominan oleh ARAS, yang disebut sebagai pusat tidur.
Gangguan penurunan kesadaran terbagi menjadi dua, yakni gangguan derajat kesadaran (kuantitas, arousal,
wakefulness) dan gangguan isi kesadaran (kualitas, awareness, alertness). Karena adanya lesi yang dapat
mengganggu interaksi ARAS dengan korteks serebri, apakah itu lesi supratentorial, subtentorial dan
metabolik, hal itu dapat mengakibatkan menurunnya kesadaran seseorang (Taylor, 2006).
Menurut Avner, (2006) Pendekatan lain untuk menjelaskan level kesadaran adalah dengan menggunakan
analogi “tombol on off lampu”, karena perilaku yang dikontrol oleh hemisfer otak diibaratkan seperti lampu
bohlam sedangkan komponen kesadaran yang dikontrol oleh ARAS diibaratkan sebagai tombol untuk
menyalakan lampu. Jika kita ingin menyalakan lampu atau jika ingin lampu menyala atau kondisi seseorang
menjadi Sadar, Lampu tersebut harus dapat berfungsi dan menyala dengan baik. Ada tiga kemungkinan yang
dapat terjadi jika lampu tersebut tidak menyala (dalam hal ini kesadarannya terganggu), yaitu terjadinya
defek pada lampu itu sendiri (dalam hal ini bisa terjadi disfungsi menyeluruh pada hemisfer otak manusia),
hal ini bisa terjadi karena adanya defek pada tombol lampu tersebut (abnormalistas dari ARAS), atau karena
terjadinya defek pada kedua lampu dan tombol lampu (Disfungsi CNS yang terjadi secara umum). Model ini
juga membantu kita untuk dapat membedakan penyebab dari penurunan kesadaran yang terjadi pada
manusia. ARAS yang terdapat di beberapa refleks batang otak yaitu termasuk refleks cahaya pada pupil
(nervus kranial II dan III) serta refleks pergerakan mata (nervus kranial III, VI, VIII, dan fasciculus
longitudinal medial). Pemeriksaan pada refleks ini mengindikasikan fungsi dari ARAS.
Menurut Howlet, (2012) Karena adanya trauma yang terjadii pada area ARAS sehingga dapat menyebabkan
hilangnya refleks batang otak dan terjadi gangguan kesadaran, hal ini dapat terjadi meskipun hemisfer otak
tetap dalam kondisi normal. Disfungsi otak difus yang terjadi biasanya akibat dari adanya riwayat penyakit
medis seperti keracunan, gangguan metabolik dan infeksi yang dapat menyebabkan penekanan atau
kompresi pada ARAS yang merupakan akibat dari gangguan struktural Periode hilangnya kesadaran sesaat
berarti hilangnya kesadaran intermiten dan dapat muncul secara mendadak dari pasien yang sebelumnya
telah sadar penuh. Hal ini dapat terjadi pada pasien dengan penyakit kardiovaskular dengan penurunan aliran
darah ke otak secara akut atau syncope ataupun gangguan aktivitas elektrik pada otak yang dapat berupa
kejang. Lesi yang terjadi di fokal otak tepatnya di bawah tentorium dapat mengganggu RAS sehingga dapat
menyebabkan penurunan kesadaran sedangkan lesi fokal yang terjadi di atas tentorium dalam satu hemisfer
otak dapat menyebabkan penurunan kesadaran hanya jika sisi kontralateral otaknya secara bersamaan
terlibat atau terkompresi lesi menyebar (difus) otak, yang mempengaruhi fungsi otak secara keseluruhan
termasuk RAS dapat menyebabkan penurunan kesadaran.
2. KOMA
a. Patofisiologis
Koma merupakan kondisi hilangnya kesadaran dimana seseorang tidak akan memberikan reaksi ketika
diberi rangsangan baik itu verbal, taktil, dan nyeri dari luar. Ketika koma, pasien berada pada keadaan tidak
sadar yang dalam.
Pasien tidak dapat dibangunkan akibat disfungsi atau kerusakan ARAS di batang otak atau kedua hemisfer
serebrinya. Karakteristik koma adalah tidak adanya gairah dan kesadaran terhadap diri sendiri dan
lingkungan sekitarnya (Tahir, 2019).
ARAS (Ascending Reticular Activating Systems) adalah sebuah sistem yang mengatur kesadaran manusia
yang terletak di daerah rostral dari batang otak dengan cakupan area yaitu pertengahan batang otak dan
meluas sampai ke otak tengah, thalamus serta hypothalamus (Satyanegara, dalam Sidabutar, 2020). Apabila
terjadi masalah pada sistem ini, maka akan menyebabkan gangguan kesadaran yang mempengaruhi
kemampuan seseorang dalam menggunakan panca inderanya seperti dalam respon membuka mata,
merespon perintah verbal, motorik dan waspada. Penyebab paling umum dari hal ini adalah trauma, iskemik
atau hemoragik dan metabolisme (Amorim dalam Sidabutar, 2020).
Pada pasien koma patogenesis malaria serebral, NO berperan dalam imunitas pejamu, mempertahankan
status vaskular, proses neurotransmisi, dan menjadi efektor TNF (Tumor necrosis factor). TNF adalah
sitokin yang banyak disekresikan oleh makrofag dan memiliki banyak peran metabolisme seperti proliferasi
sel, diferensiasi, apoptosis, metabolisme lipid, dan koagulasi. Nitrit oksida adalah molekul pembawa sinyal
yang tersebar luas dan berperan penting dalam setiap sel dan fungsi organ dalam tubuh. Pembentukan NO
secara enzimatik dari L-arginin dikatalisis oleh nitric oxide synthase (NOS) (Maharani, dkk. 2018).
Sitokin-sitokin proinflamasi meningkatkan aktivitas cytokine inducible nitric oxide synthase (iNOS, NOS-
2), suatu
enzim yang berperan dalam sintesis NO dalam sitosol yang aktivitasnya dipengaruhi oleh sitokin, di sel-sel
endotel pembuluh darah otak. Hal ini menyebabkan peningkatan sintesis NO. NO dapat melintas sawar
darah otak dan masuk ke jaringan otak. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, NO dapat mengganggu
proses neurotransmisi. Diduga, hal tersebut yang bertanggung jawab terhadap terjadinya koma reversibel
(Mawuntu, 2018).
Keadaan sistem respirasi pada saat koma yang disebabkan oleh penyakit otak metabolik, cepat atau lambat
hampir selalu menyebabkan kelainan pernapasan baik dari sisi kedalaman ataupun irama. Kebanyakan
perubahan ini terjadi secara non-spesifik dan merupakan bagian dari penekanan batang otak yang lebih luas.
Pasien-pasien dalam keadaan stupor atau koma ringan seringkali menampilkan gambaran pernapasan
Cheyne Stokes, yaitu pola pernapasan abnormal yang ditandai dengan pernapasan yang semakin dalam dan
terkadang lebih cepat (Tursinawati et al., 2017).
Pada pasien dengan koma yang dalam, keadaan pupil menjadi kriteria klinis yang paling penting dan mampu
membedakan antara kerusakan struktural dengan penyakit metabolik. Adanya refleks cahaya pupil yang
tetap terjaga, walaupun disertai dengan depresi pernapasan, respons kalorik vestibulo-okular negatif,
kekakuan deserebrasi atau flasiditas motorik tetap mengindikasikan koma metabolik. Sebaliknya, bila
asfiksia, ingesti antikolinergik atau glutetimid dan penyakit pupil sebelumnya dapat disingkirkan, ketiadaan
refleks cahaya pupil mengimplikasikan adanya penyakit struktural dibanding metabolik. Pada motilitas
okular, seperti bola mata biasanya
bergerak secara acak pada koma metabolik ringan dan kemudian diam pada posisi depan seiring dengan
mendalamnya koma.
Untuk tekanan parsial oksigen (PaO2) pada pasien koma idealnya harus mempertahankan PaO2 lebih tinggi
dari 100 mmHg dan PaCO2 antara 35 dan 40 mmHg. Tekanan parsial oksigen (PaO2) merupakan ukuran
tekanan oksigen yang larut dalam darah yang menentukan seberapa baik oksigen mengalir dari paru-paru ke
darah (Tursinawati et al., 2017).
b. Patogenesis
Koma adalah suatu keadaan di mana pasien dalam keadaan penurunan kesadaran dan tidak dapat
dibangunkan secara adekuat dengan stimulus kuat. Pasien mungkin masih dapat meringis atau melakukan
gerakan stereotipik. Namun pasien tetap tidak dapat melakukan lokalisasi nyeri dan gerakan defensif yang
sesuai. Koma dapat terjadi akibat gangguan fungsi baik pada brainstem reticular activating system (RAS)
diatas midpons ataupun pada kedua hemisfer serebri yang mengatur kesadaran (Tursinawati et al., 2017).
Koma dapat disebabkan oleh penyakit yang menyerang bagian otak secara fokal maupun seluruh otak secara
difusi. Penyebab koma secara umum diklasifikasikan dalam intrakranial dan ekstrakranial. Selain itu, Koma
juga dapat disebabkan oleh penyebab traumatik dan non- traumatik.
Penyebab traumatik yang sering terjadi adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, dan jatuh. Penyebab
non-traumatik yang dapat membuat seseorang jatuh dalam keadaan koma antara lain gangguan metabolik,
intoksikasi
obat, hipoksia global, iskemia global, stroke iskemik, perdarahan intraserebral, perdarahan subaraknoid,
tumor otak, kondisi inflamasi, infeksi sistem saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis dan abses serta
gangguan psikogenik. Keadaan koma dapat berlanjut menjadi kematian batang otak jika tidak ada perbaikan
keadaan klinis (Greer dalam Tahir, 2019). Koma yang terjadi secara tiba-tiba dapat memberi dugaan kejang
atau perdarahan intrakranial. Koma yang didahului kantuk atau ketidakstabilan dapat memberi dugaan
tertelannya obat-obatan atau racun (Avner dalam Tahir, 2019).
Faktor penyebab koma dapat dibagi empat golongan, yakni lesi supratentorial, lesi subtentorial, ensefalopati
difus, dan psikiatri.
1. Lesi Supratentorial
Golongan ini dapat disebabkan oleh hematom subdural, hematom epidural, kontusio serebri, Hematom
intraserebral, abses otak,stroke, tumor otak.
2. Lesi Subtentorial
Golongan ini dapat disebabkan oleh trombosis/emboli arteri basilar, Perdarahan pons, perdarahan cerebellar,
subdural dan epidural hematom fosa posterior
3. Ensefalopati Difus
Golongan ini dapat disebabkan oleh meningitis, ensefalitis, hipoglikemia, Global cerebral iskemik, hepatik
ensefalopati, hiponatremia,
4. Psikiatrik
Golongan ini dapat disebabkan oleh reaksi konversi, depresi, stupor katatonik (Tursinawati et al., 2017)
Dalam konsep mati batang otak, ketika batang otak berhenti bekerja, otak tidak dapat mengirim pesan ke
tubuh untuk mengontrol fungsi bawah sadar manusia dan juga tidak dapat menerima pesan kembali dari
tubuh. Hanya ada satu jenis kematian manusia, yaitu hilangnya kesadaran yang dikombinasikan dengan
hilangnya kemampuan untuk bernapas secara permanen, kemungkinan masih terasa atau terdapat detak
jantung. Christopher Pallis, salah satu pakar dalam konsep mati batang otak menyatakan bahwa batang otak
merupakan area yang berperan sebagai ‘stasiun pusat’ dari hampir semua serabut saraf input maupun output
kedua hemisfer, pusat pengatur kesadaran, dan juga pusat pengatur pernapasan. Oleh karena itu, jika terjadi
kerusakan pada batang otak, maka hal itu seperti kerusakan fungsional dari otak dan sesuai dengan kriteria
kematian.
Menurut Harvard, kriteria seseorang dengan mati batang otak adalah tidak terima dan tidak responsif, tidak
ada tanda gerakan atau pernapasan, tidak dapat refleks, EEG datar, dan hipotermia serta depresan sistem
saraf pusat. Selain itu, menurut peraturan menteri kesehatan Indonesia, prosedur pemeriksaan mati batang
otak dapat dilihat jika tidak adanya respons terhadap cahaya, refleks kornea, refleks vestibulo-okular,
respons motorik dalam distribusi saraf kranial terhadap rangsang adekuat pada area somatik, dan refleks
muntah atau refleks batuk terhadap rangsang oleh kateter isap yang dimasukkan ke dalam trakea.
b. Patogenesis
Kematian pada otak disebabkan karena tingginya tekanan intrakranial (TIK) akibat perdarahan dan edema
otak.
Apabila peningkatan TIK mendekati tekanan darah arterial, tekanan serebral (TPS) akan mendekati nol yang
kemudian perfusi serebral akan berhenti sehingga pada akhirnya otak akan mengalami kematian. Selain itu,
peningkatan perdarahan intraserebral membuat stimulasi vasokonstriksi parah sehingga terjadinya disfungsi
organ akhir.
Peningkatan terhadap tekanan intrakranial juga menyebabkan refleks cushing, ditandai dengan bradikardi
dan hipertensi arteri sistemik yang dapat dilihat pada seseorang dengan mati batang otak. TIK yang tinggi
juga akan menyebabkan herniasi serebral dan batang otak yang kemudian terjadi stimulasi simpatis dan
disfungsi sumbu hipotalamus serta hipofisis. Hal ini berdampak pada hipotensi dan juga pengurangan
tingkat ADH yang bersirkulasi, hormon tiroid dan kortisol. Iskemia menyebabkan asidosis metabolik yang
merangsang pelepasan sitokin dan mengaktifkan faktor koagulasi dan mendorong proliferasi leukosit yang
menyebabkan reaktivasi jalur inflamasi sistemik dan kerusakan jaringan.
Spina bifida disebabkan oleh tabung saraf yang tidak berkembang atau tidak menutup dengan sempurna
pada masa kehamilan. Ada beberapa faktor yang dinilai dapat meningkatkan risiko seorang ibu melahirkan
bayi dengan spina bifida, diantaranya:
1. Mengalami kekurangan asam folat. Asam folat adalah vitamin yang sangat penting untuk
perkembangan janin.
2. Memiliki riwayat keluarga dengan spina bifida.
3. Memiliki riwayat mengonsumsi obat-obatan anti- kejang, seperti asam valproat.
4. Menderita diabetes atau obesitas.
5. Mengalami hipertermi pada minggu-minggu awal kehamilan.
b. Patofisiologis
Neural Tube Defects (NTD) merupakan malformasi kongenital kedua tersering di dunia. Kelainan tersebut
terjadi akibat penutupan tabung saraf yang tidak sempurna pada usia embrionik 26 hingga 28 hari. Secara
normal sistem saraf pusat (SSP) muncul pada awal minggu ketiga sebagai suatu lempeng penebalan
ektoderm berbentuk sandal, lempeng saraf (neural plate), di regio middorsal di depan primitive node (nodus
primitif). Tepi- tepi lempeng ini segera membentuk lipatan saraf. Seiring dengan perkembangan yang lebih
lanjut, lipatan saraf tersebut terus meninggi, saling mendekati di garis tengah, dan akhirnya menyatu
membentuk tabung saraf (neural tube).
Penyatuan dimulai di daerah servikal dan berlanjut ke arah sefalik dan kaudal. Jika penyatuan telah dimulai,
ujung- ujung bebas tabung saraf membentuk neuroporus kranialis dan kaudalis yang berhubungan dengan
rongga amnion diatasnya. Penutupan neuroporus kranialis berlangsung ke arah kranial dari
tempat penutupan awal di regio servikal dan dari suatu tempat di otak depan yang terbentuk belakangan.
Tempat yang belakangan ini berjalan ke arah kranial,untuk menutup regio paling rostral tabung saraf, dan ke
arah kaudal untuk bertemu dengan penutupan dari daerah servikal. Penutupan akhir neuroporus kranialis
terjadi pada stadium 18 sampai 20 somit (hari ke-25), penutupan neuroporus kaudalis terjadi sekitar 2 hari
kemudian.
c. Faktor Resiko
Belum diketahui pasti faktor apa yang menyebabkan bayi atau anak dapat mengidap spina bifida. Namun
para ilmuwan mengatakan bahwa kombinasi dari lingkungan dan riwayat keluarga atau kurangnya asam
folat di dalam tubuh si ibu dapat menyebabkan bayi atau anak tersebut mengidap penyakit ini.
Diketahui bahwa penyakit ini lebih sering terjadi pada bayi berkulit putih dan Hispanik, juga pada anak
perempuan. Selain itu wanita penderita diabetes yang berat badannya tidak dijaga dengan baik atau pengidap
obesitas juga kemungkinan memiliki anak dengan spina bifida.
Hipertermia di minggu-minggu awal kehamilan pun juga dapat beresiko spina bifida. Peningkatan resiko
spina bifida juga berkaitan dengan meningkatnya suhu tubuh ibu, karena demam atau penggunaan sauna
atau bak air panas.
hidrosefalus maka jumlah cairan yang mengisi otak akan berlebihan, sehingga menimbulkan penekanan sel-
sel otak dan gangguan saraf. Salah satu jenis hidrosefalus yaitu hidrosefalus kongenital, merupakan kelainan
bawaan yang terjadi karena adanya gangguan ketika di dalam kandungan seperti infeksi toksoplasma,
kurangnya asam folat, cytomegalovirus, mumps, rubella, sifilis (Admin UNAIR, 2021).
Kemudian ada paraplegia atau kelumpuhan pada kedua belah kaki, karena cedera parah pada spinal cord di
level paling akhir. Akibatnya penderita dapat kehilangan fungsi motorik dan sensorik di area yang rusak,
kehilangan kekuatan, menjadi lemah dan layu, kehilangan kendali buang air kecil dan buang air besar
(Effendi, 2016).
Lalu ada paralisis total, berdasarkan tingkat keparahannya paralisis terbagi dua, yaitu parsial dan lengkap.
Parsial yaitu paralisis sebagian dan lengkap yaitu paralisis total, paralisis total terjadi ketika fungsi otot dan
sensasi di anggota badan yang terkena paralisis ini benar-benar hilang atau tidak berfungsi.
e. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Pada trimester
pertama wanita hamil menjalani pemeriksaan darah yang disebut Triple Screen. Tes ini merupakan tes
penyaringan untuk spina bifida, sindrom down dan kelainan bawaan lainnya. 85 % wanita yang mengandung
bayi dengan spina bifida akan memiliki kadar serum alfa feytoprotein yang tinggi. Tes ini memiliki angka
positif palsu yang tinggi, karena itu jika hasilnya positif, perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk
memperkuat diagnosis. Dilakukan USG yang biasanya dapat
menemukan adanya spina bifida. Kadang dilakukan amniosentesis (analisa cairan ketuban) Setelah bayi
lahir, dilakukan pemeriksaan berikut:
1. CT Scan dan MRI ditemukan kelainan tulang belakang dengan perubahan struktur tulang belakang.
2. USG pada tulang belakang menunjukkan adanya kelainan pada cord spinalis maupun pada vertebra.
3. Rontgen pada tulang belakang menentukan luas dan lokasi kelainan.
2. FENILKETONURIA
a. Etiologi
Etiologi fenilketonuria adalah kelainan kongenital yang bersifat autosomal resesif. Hal ini menyebabkan
gangguan metabolisme fenilalanin akibat defisiensi enzim fenilalanin hidroksilase yang mengubah
fenilalanin menjadi tirosin. Phenylketonuria (PKU) adalah gangguan genetik yang ditandai oleh kekurangan
atau masalah dengan aktivitas spesifik dari enzim fenilalanin hidroksilase (PAH), yang diperlukan untuk
metabolisme phenylalanine asam amino pada asam amino tirosin. Jika tidak diobati, phenylalanin
menumpuk dan dapat mengakibatkan masalah masalah neurologis, termasuk keterbelakangan mental dan
kejang (kondisi dimana kerusakan metabolik yang mempengaruhi sistem tubuh dalam memecah protein
terjadi Phenylketonuria disebabkan karena gen pada kromosom 12 mengalami mutasi. Gen pengkode
protein yang disebut PAH atau phenylalanine hydroxylase adalah sebuah enzim dalam liver. Enzim ini
bertugas memecah asam amino fenilalanin menjadi produk lain yang dibutuhkan tubuh, yaitu tirosin. Pada
saat gen ini bermutasi, bentuk dari enzim PAH berubah dan menjadi tidak mampu untuk memecah
fenilalanin dengan tepat. Fenilalanin yang tak dapat dipecah tubuh akhirnya
terakumulasi dalam aliran darah dan menjadi racun dalam otak (Afriansyah, 2007).
b. Patofisiologis
Patofisiologi fenilketonuria masih menjadi suatu perdebatan semenjak ditemukannya penyakit ini. Perhatian
penelitian pada awalnya hanya berfokus pada fenilalanin (Phe) yang jumlahnya meningkat dalam darah
sehingga bersifat toksik pada otak. Nilai IQ ditemukan berkaitan dengan usia saat dimulainya pengobatan
dan kadar Phe di dalam darah. Temuan ini mendapat dukungan dari studi lain yang menyatakan bahwa
dengan menurunkan kadar Phe dalam darah di bawah 600 μmol/L, kecerdasan normal dapat tercapai.
Beberapa teori mencoba memaparkan pengaruh kadar Phe dengan kecerdasaan, antara lain adalah:
1. Phe diduga menghambat secara kompetitif pengangkutan asam amino besar lainnya pada BBB
(Blood Brain Barrier).
2. Defisiensi tirosin akibat fenilketonuria diduga menyebabkan gangguan sintesis neurotransmitter.
Fenilalanin membutuhkan enzim fenilalanin hidroxilase untuk mengubah fenilalanin menjadi tirosin oleh
tubuh, tirosin dibutuhkan oleh tubuh untuk sintesis beberapa zat kimia dalam otak seperti dopamine dan
norepinephrine.
Terlepas dari pengaruh sentral pada kerusakan sistem saraf, dapat diketahui dari data yang ditemukan
mengungkapkan bahwa hasil yang optimal secara klinis itu berkaitan erat dengan mempertahankan kadar
Phe darah antara 120-360 μmol/L. Ketika fenilalanin (Phe) tidak dapat dimetabolisme di dalam tubuh, pola
makan khas yang membuat sehat untuk orang tanpa PKU atau Fenilketonuria menyebabkan kadar Phe yang
sangat
tinggi menumpuk di dalam darah dan hal itu merupakan racun bagi otak apabila tidak diobati dan seringkali
mengalaminya bahkan dalam tahap pengobatan (Schuck PF, dkk . 2015).
c. Faktor Resiko
1. Orang yang memiliki mutasi pada kromosom gen 12q23.2. Fenilketonuria merupakan penyakit
autosomal resesif, sehingga penderita harus memiliki dua alel dari kedua orang tuanya untuk mendapatkan
penyakit ini.
2. Memiliki kedua orangtua dengan kecacatan gen yang menyebabkan fenilketonuria.
3. Menjadi keturunan etnis tertentu. Cacat gen yang menyebabkan fenilketonuria bervariasi tergantung
kelompok etnis. Fenilketonuria lebih sering terjadi pada kelompok etnis lain di luar kelompok Afrika-
Amerika. Keturunan dari Etnis Afrika-Amerika dilaporkan memiliki kecenderungan lebih kecil mengalami
fenilketonuria (Konecki,dkk. 2019).
e. Pemeriksaan Penunjang
Untuk mendiagnosis fenilketonuria, dokter akan melakukan beberapa pemeriksaan penunjang, seperti
diantaranya:
1. Menanyakan keluhan pasien dan Riwayat kesehatan keluarga.
2. Pemeriksaan fisik.
3. Tes darah.
4. Tes DNA.
Dan jika bayi memiliki resiko menderita fenilketonuria, pemeriksaan sudah bisa dimulai ketika bayi berusia
satu minggu. Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengambil sampel darah dari tumit atau siku bayi untuk
diperiksa di laboratorium. Jika terbukti menderita fenilketonuria, bayi harus menjalani pemeriksaan rutin
untuk mengukur kadar fenilalanin dalam tubuhnya. Frekuensi pemeriksaan darah yang dilakukan untuk
memantau kadar fenilalanin adalah:
1. Seminggu sekali, pada bayi yang berusia 1-6 bulan.
2. Dua minggu sekali, pada bayi yang berusia 6 bulan hingga 4 tahun.
3. Sebulan sekali, pada anak yang berusia di atas 4 tahun hingga dewasa.
Patologi duchenne muscular dystrophy ini akan ditandai dengan kelemahan otot maksimal, terjadinya
degenerasi yang progresif dan ditandai dengan terjadinya infiltrasi lemak pada otot. Pada penyakit ini terjadi
karena mengalami mutasi pada gen dystrophin tepatnya pada kromosom X yang mana berupa delesi, mutasi
titik (point mutations), dan duplikasi, hal inilah yang membuat tidak dapat menghasilkannya protein
dystrophin dan dapat terjadinya defisiensi serta akan mengalami patologi struktur dystrophin.
b. Patofisiologis
Dystrophin ini adalah suatu protein yang berbentuk berupa batang dan memiliki berat molekul 427 KD,
yang mana tersusun dari 5% membran protein sitoskeleton, dalam pembentukannya dikoordinir oleh gen dan
letaknya di lengan pendek kromosom X (Xp21), serta diwariskan atau diturunkan secara resesif.
Produk protein yang memiliki tanggungjawab pada interaksi antara serabut otot dan matriks ekstraseluler
yang dapat melalui dari adanya banyak subunit yang berada di dalam
kompleks protein hal ini merupakan dystrophin. Kalsium yang berlebihan sehingga dapat menembus ke
sarkolema (membran sel) hal itu terjadi karena akibat dari tidak adanya dystrophin. Dengan adanya melalui
suatu proses tahapan kompleks, akan menyebabkan munculnya oksigen reaktif serta inaktivasi enzim- enzim
antioksidan, hal ini karena adanya kalsium yang berlebihan. Dengan terjadinya hal tersebut dapat
menimbulkan stres oksidatif yang terjadi di dalam sel sehingga dapat merusak sarkolema serta dapat
memberi lebih banyak pintu untuk kalsium, yang hal ini dapat menimbulkan sebuah kematian sel. Serabut
otot yang mengalami nekrosis serta dapat digantikan dengan jaringan ikat dan juga adiposa.
c. Faktor Resiko
Tidak banyak yang diketahui tentang faktor risiko distrofi muskular (Barakat dkk, 2017). Laki-laki lebih
berisiko untuk terkena penyakit ini, karena penyakit ini merupakan penyakit genetik yang disebabkan oleh
gen pada kromosom X yang dapat diturunkan ibu kepada anak laki-lakinya. Namun, meskipun kebanyakan
anak laki-laki dengan DMD mewarisi gen abnormal dari ibunya, beberapa dapat mengembangkan penyakit
sebagai akibat mutasi spontan dari gen distrofin yang terjadi secara acak untuk alasan yang tidak diketahui
(Acsadi, 2016).
kifoskoliosis. Banyak pasien sudah menggunakan kursi roda pada usia 12 tahun. Gambaran yang biasa
tampak pada kondisi ini adalah scoliosis akibat dari kelemahan otot. Pada kelemahan otot yang berat
sekalipun, pergerakan okuler tetap terjaga baik sebagaimana fungsi berkemih dan buang air besar (Jufan,
Sari, dan Mahardieni, 2016). Sepertiga dari penderita dengan DMD juga memiliki berbagai tingkat
gangguan kognitif termasuk ketidakmampuan belajar, defisit perhatian, dan gangguan spektrum autistik
(Acsadi, 2016).
e. Pemeriksaan Penunjang
1. CPK
Pada pasien duchenne muscular dystrophy, CPK keluar dari sel otot ke dalam aliran darah, sehingga kadar
yang tinggi (hampir 50 sampai 100 kali lipat) mengkonfirmasikan bahwa ada kerusakan otot. Nilai CPK bisa
setinggi 15,000 - 35,000 iu/l (normal =60 iu/l).
2. Tes DNA
Gen dystrophin terdiri dari 79 ekson, dan analisa DNA dapat mengidentifikasi jenis mutasi yang spesifik
pada ekson tertentu. Delesi atau duplikasi di dalam gen dystrophin bisa dideteksi oleh analisis Southern blot
atau metode-metode polymerase chain reaction (PCR) pada 65% dari pasien (Jufan,dkk, 2016).
3. Pemeriksaan Laboratorium
Kadar creatine kinase serum adalah yang paling bernilai dan umum digunakan untuk mendiagnosis distro
senopati Duchenne. Kadar
creatine kinase serum berkisar 10-20 kali normal atau lebih (normalny adalah <160 IU/L).
4. Elektromiogram (EMG)
Elektromiogram menunjukkan gambaran miopati dan tidak spesifik untuk distrofi muskular Duchenne.
EMG menunjukkan fibrilasi, gelombang positif, amplitude rendah, potensial motor unit polifasik kadang-
kadang frekuensi tinggi.
5. Biopsi
Secara histologis menunjukkan variasi
ukuran serat, degenerasi dan regenerasi serat otot, kelompok fibrosis endomysial, ukuran serat lebih kecil
dan adanya limfosit. Degenerasi melebihi regenerasi dan terjadi penurunan jumlah serat otot, digantikan
dengan lemak dan jaringan konektif (fibrosis) (Syarif & Widiasteti, 2019).
4. KEJANG DEMAM
a. Etiologi
Kejang demam / Step adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas
380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium ( = di luar rongga tengkorak). Kejang tersebut
biasanya timbul pada suhu badan yang tinggi (demam). Demamnya sendiri dapat disebabkan oleh berbagai
sebab, tetapi yang paling utama adalah infeksi. Demam yang disebabkan oleh imunisasi juga dapat
memprovokasi terjadinya kejang demam. Berumur di bawah 5 tahun pernah menderita kejang demam.
Beberapa kondisi yang dapat menimbulkan kejang demam menurut Lumban Tobing (2005):
1. Demam itu sendiri, yang disebabkan oleh Infeksi saluran pernafasan atas, otitis media, pneumonia,
gastroenteritis, dan infeksi saluran kemih, kejang tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi.
2. Efek produk toksik daripada mikroorganisme.
3. Respon alergik atau keadaan umum yang abnormal oleh infeksi.
4. Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit.
5. Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan, yang tidak diketahui atau ensefalopati toksik
sepintas (Irdawati, 2009).
b. Patofisiologis
Kejang demam yaitu jenis gangguan saraf paling umum yang sering dijumpai pada anak-anak dan penyakit
ini biasanya terjadi pada usia 3 bulan sampai 5 tahun karena pada usia ini otak anak sangat rentan terhadap
peningkatan mendadak suhu badan dan memiliki inside puncak penyakit pada usia 18 bulan serta dikatakan
hilang apabila anak berusia 6 tahun (Ngastiyah, 2014). Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi
pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas 380 C) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium (Bararah &
Jauhar, 2013). Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang sering dijumpai pada anak, terutama
pada anak 6 bulan sampai 4 tahun (Wulandari & Erawati, 2016).
c. Faktor Resiko
Faktor risiko yang dialami pada penderita kejang demam pada anak rentang usia 6 bulan sampai 5 tahun
yaitu suhu yang tinggi dan lama waktu demam yang dialami, usia yang kurang dari dua tahun, riwayat
kejang demam pada keluarga, jenis kelamin, usia ibu saat hamil, usia kehamilan, asfiksia, dan bayi
berat lahir rendah (Fuadi et al., 2010). Namun, faktor risiko utama terjadinya kejang demam pada anak
adalah riwayat keluarga (Siqueira, 2010). Hampir 3 % dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah
menderita kejang demam (Ngastiyah, 2014).
e. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Arief (2015), terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu sebagai
berikut:
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menilai sumber infeksi yang menyebabkan demam atau kondisi lain
seperti gastroenteritis dehidrasi akibat demam. Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan darah tepi,
elektrolit dan gula darah.
memprediksi timbulnya kejang berulang ataupun memperkirakan kemungkinan epilepsi pada pasien kejang
demam. Namun, pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas,
misalnya pada kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal.
3. Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan dalam menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan
meningitis. Pada bayi, seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena
manifestasi klinis yang tidak jelas. Oleh karena itu, disarankan untuk menggunakan pungsi lumbal untuk:
i. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan.
ii. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
iii. Bayi >18 bulan tidak rutin
Namun, apabila klinis yakin bukan meningitis, tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.
4. Pencitraan
Diketahui bahwa MRI memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi daripada CT scan, tetapi belum
banyak tersedia di unit gawat darurat. Pemindaian CT dan MRI dapat mendeteksi perubahan fokal
sementara dan kejang fokal sekunder. Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti Computed Tomography scan
(CT-scan) atau
Magnetic Resonance Imaging (MRI) tidak rutin dan hanya digunakan untuk indikasi seperti berikut:
i. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis).
ii. Paresis nervus VI.
iii. Papilledema.
5. POLIOMIELITIS
a. Etiologi
Poliomielitis adalah suatu penyakit paralisis atau lumpuh yang disebabkan oleh virus Penyakit ini tersebar di
seluruh dunia dan manusia merupakan satu-satunya reservoir untuk poliomielitis. Poliomielitis sedikit lebih
banyak menyerang anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, dan lebih sering dialami oleh anak-anak
yang tidak mendapatkan vaksinasi, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah yang penduduknya padat
dan dengan sanitasi yang buruk. Poliomielitis disebabkan oleh infeksi dari genus enterovirus yang dikenal
dengan poliovirus. Terdapat tiga serotipe dari poliovirus, yaitu poliovirus tipe 1 (Brunhilde/PV1), tipe 2
(Lansing/PV2), dan tipe 3 (Leon/PV3). Transmisi penyakit ini sangat mudah lewat oral-oral (orofaringeal)
dan fekal-oral (intestinal). Polio sangat infeksius antara 7-10 hari sebelum dan sesudah timbulnya gejala,
tetapi transmisinya mungkin terjadi selama virus berada di dalam saliva atau feses.
b. Patofisiologis
Poliovirus masuk kedalam tubuh melalui mulut, menginfeksi sel yang pertama ditemuinya, yaitu di faring
dan mukosa saluran cerna. Virus ini masuk dan berikatan dengan immunoglobulin-like receptor, yang
dikenal sebagai reseptor poliovirus atau CD 155, pada membran sel. Di dalam sel-sel saluran cerna, virus ini
bertahan selama sekitar 1 minggu,
kemudian menyebar ke tonsil, jaringan limfoid saluran cerna dan kelenjar limfa mesenterik dan servikal
dimana virus ini berkembang biak. Selanjutnya, virus ini masuk ke dalam aliran darah. Poliovirus dapat
bertahan dan berkembang biak dalam darah dan kelenjar limfa untuk waktu lama, kadang-kadang hingga 17
minggu.
c. Faktor Resiko
Penyakit polio disebabkan oleh virus yang umumnya masuk melalui makanan atau minuman yang
terkontaminasi dengan tinja dan virus polio. Sama halnya seperti cacar, polio hanya menjangkiti manusia.
Dalam tubuh manusia, virus polio menjangkiti tenggorokan dan usus. Selain melalui kotoran, virus polio
juga bisa menyebar melalui tetesan cairan yang keluar saat penderitanya batuk atau bersin.
Imunisasi atau pemberian vaksin polio dapat meminimalisasi terjangkit virus polio. Anak-anak, wanita
hamil dan orang yang sistem kekebalan tubuhnya lemah, sangat rentan terkena virus polio jika di daerah
mereka tidak terdapat program imunisasi atau tidak memiliki sistem sanitasi yang bersih dan baik. Orang-
orang yang belum divaksinasi akan memiliki tingkat risiko terjangkit polio yang tinggi jika melakukan atau
mengalami hal-hal seperti berikut ini:
1. Tinggal serumah dengan penderita polio
2. Sistem kekebalan tubuh yang menurun
3. Bepergian ke daerah di mana polio masih kerap terjadi
4. Telah melakukan operasi pengangkatan amandel
2. Minor Illness (Abortif Poliomielitis) dengan gejala panas yang tidak terlalu tinggi, perasaan lemas,
tidak ada nafsu makan dan sakit pada tenggorokan, gangguan gastrointestinal, dan nyeri kepala ringan.
Pemeriksaan fisik dalam batas normal, pemeriksaan CSS normal dan sembuh dalam waktu 24-72 jam.
3. Nonparalitik Poliomielitis (meningitis aseptik), ditandai dengan adanya demam tinggi 39,5 °C, sakit
kepala, nyeri pada otot, hiperestesi dan parestesia, tidak ada nafsu makan, mual, muntah, konstipasi atau
diare dapat timbul. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kaku kuduk, brudzinski dan kernig positif, perubahan
refleks permukaan dan refleks dalam dimana refleks tersebut mulai menurun. Hasil lumbal pungsi
didapatkan adanya kenaikan sel, pada permulaan PMN (polimorfonuklear) kemudian berubah menjadi
mononuklear, protein normal atau sedikit meningkat dan kadar glukosa normal.
4. Paralitik Poliomielitis, dimulai dengan gejala seperti nonparalitik poliomyelitis ditambah dengan
ditemukannya kelumpuhan pada satu atau dua ekstremitas dan hilangnya refleks superfisial atau refleks
tendon dalam (tipe spinal). Pada major illness, gejala klinis dimulai dengan demam, kelemahan yang terjadi
dalam beberapa jam, nyeri kepala dan muntah. Dalam waktu 24 jam terlihat kekakuan pada leher dan
punggung. Penderita
terlihat mengantuk, iritabel, dan kecemasan. Onset terjadinya paralisis tiba tiba dan berlangsung dalam
beberapa jam dapat melibatkan lebih dari satu ekstremitas. Pada kasus yang ringan biasanya kelumpuhan
bersifat asimetris dan anggota gerak bagian bawah lebih sering terkena dibanding anggota gerak bagian atas
namun pada kasus yang berat dapat terjadi kuadriplegi dan kelumpuhan yang bersifat bulber akibat
kerusakan pada batang otak sehingga terjadi insufisiensi pernafasan, 1314 gangguan menelan, kelumpuhan
pita suara dan kesulitan bicara, saraf yang terkena adalah saraf V,IX,X,XI dan kemudian VII (tipe bulber),
dan tipe bulbo spinal manifestasi klinisnya gabungan kelumpuhan tipe spinal dan bulber. Manifestasi klinis
paralisis terbagi dua yaitu spinal dan bulbar. Pada poliomielitis spinal, kelemahan bagian proksimal lebih
berat dari distal, lebih sering mengenai fleksor, asimetris dan pada kasus yang ringan hanya mengenai
beberapa motor unit. Paralisis ekstremitas bawah lebih sering dari pada ekstremitas atas dan otot tubuh
paling jarang terkena. Otot mengalami kelumpuhan flaksid, refleks tendon menghilang, dan atrofi terjadi 5-7
hari setelah lumpuh. Derajat kerusakan medulla spinalis dapat dibedakan dari gejala klinis. Gejala klinis
poliomielitis bulbar berupa gangguan menelan dan fonasi, paralisis otot fasialis unilateral atau bilateral, dan
terkadang kelumpuhan otot lidah. Bentuk yang paling berat adalah polio ensefalitis. Kasus kelumpuhan tipe
ensefalitis (jarang) ditemukan adanya disorientasi, iritabel, mengantuk dan
ditemukan kelumpuhan tipe perifer dan saraf kranialis yang terjadi bersamaan.
e. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang berupa demam, pemeriksaan
darah tepi tidak menunjukkan kelainan yang spesifik atau terjadi leukositosis dengan predominan PMN pada
fase akut. Hasil lumbal pungsi didapatkan adanya kenaikan sel, pada permulaan PMN (polimorfonuklear)
kemudian berubah menjadi mononuklear, protein normal atau sedikit meningkat dan kadar glukosa normal.
Pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan peningkatan jumlah sel bervariasi 20-300 sel/ml, pada
umumnya dalam 72 jam pertama terjadi dominasi PMN, selanjutnya dominasi limfosit, penurunan kadar
gula, dan peninggian kadar protein. Pemeriksaan serologi peninggian titer antibodi 4 x atau lebih antara fase
akut dan konvalesens. Diagnosis pasti poliomielitis ditegakkan berdasarkan isolasi virus dari feses, faring,
urin, ataupun cairan serebrospinal (jarang). Isolasi virus, dilakukan dengan sampel tinja terutama dalam
waktu 2 minggu setelah kelumpuhan. Pengeluaran virus terjadi secara intermiten sehingga sampai diambil
dua kali dengan selang waktu 24 jam. Sampel dari faring dan cairan serebrospinalis kemungkinan positifnya
sedikit. Pemeriksaan EMG (Elektromiografi) untuk membedakan kelumpuhan karena kelainan di otot.
6. TETANUS NEONATORUM
Menurut Stoll (2007), Neonatus yaitu bayi baru lahir berusia di bawah 28 hari. Untuk pengertian dari tetanus
sendiri yaitu adanya Clostridium tetani yang dapat menimbulkan penyakit toksemik akut, dengan tanda
utamanya yaitu spasme atau kekuatan otot tanpa
adanya gangguan kesadaran, menurut Ismoedijanto, 2006. Sehingga pengertian gabungan dari tetanus dan
neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir yang disebabkan oleh Clostridium
tetani yaitu bakteri yang mengeluarkan toksin untuk menyerang sistem saraf pusat, menurut Saifuddin, 2001.
(Admin USU, 2016)
a. Etiologi
Menurut Bleck (2000), Clostridium tetani merupakan kuman dengan bentuk seperti batang, memiliki ukuran
2-5 x 0,4- 0,5 milimikron, hidup dengan jenis anaerob atau mampu hidup tanpa udara atau oksigen, dan
bekerja sebagai pembentuk spora. Pada spora dewasa, memiliki bagian yang berbentuk bulat terletak di
ujung, dan memberi gambaran penabuh genderang atau drumstick.
Menurut Ritarwan (2004), spora juga dapat bertahan hidup di lingkungan yang panas, pada antiseptik, dan di
jaringan tubuh. Spora ini juga bisa bertahan hidup beberapa bulan bahkan bertahun. Menurut ilmuwan lain
yaitu Arnon, 2007 Clostridium tetani sering ditemukan di dalam kotoran manusia dan hewan, selain itu bisa
terkena luka melalui debu atau tanah yang sudah terkontaminasi.
Dan menurut Suraatmaja (2000), bakteri ini juga merupakan bakteri gram positif dan dapat menghasilkan
eksotoksin yang bersifat neurotoksik. Toksin ini bernama tetanospasmin yang bisa menyebabkan kekejangan
pada otot. (Admin USU, 2016)
b. Patofisiologis
Berikut merupakan penjelasan patofisiologi dari tetanus neonatorum:
Kelainan patologi biasanya terdapat pada otak, sumsum tulang belakang, dan terutama pada nukleus
motoric, dan jika terjadi kematian itu disebabkan oleh Asfeksia akibat spasmus laring pada kejang dengan
waktu yang lama. Selain kejang, dapat disebabkan juga oleh pengaruh langsung pada pusat pernafasan dan
peredaran darah, penyebab lainnya yaitu Sepsis dan Pneumonia Aspirasi. Kedua sebab tersebut dapat
dinyatakan sebagai penyebab utama kematian karena tetanus neonatorum di Indonesia. Biasanya penularan
pada bayi melalui tali pusat, karena tidak sterilnya alat untuk memotong tali pusar dari bayi tersebut. Selain
itu infeksi juga dapat melalui obat- obatan dan dedaunan yang digunakan dalam perawatan tali pusat (Sari,
2018).
c. Faktor Resiko
Terdapat 5 faktor risiko utama terjadinya tetanus neonatorum, yaitu:
1. Faktor Risiko Pencemaran Lingkungan Fisik dan Biologik
Kebanyakan Penderita penyakit ini ialah yang memiliki tempat tinggal di lingkungan yang kurang bersih,
oleh karenanya bakteri ini pasti lebih mudah untuk berkembang biak.
4. Faktor Kebersihan Tempat Pelayanan Persalinan Menurut Abruty (2008), kebersihan di tempat
persalinan tempat bersalin yang tidak bersih bukan saja berisiko menimbulkan penyakit pada bayi yang akan
dilahirkan, namun juga pada ibu yang melahirkan.
2. Otot yang kaku juga dapat terjadi di mimik muka bayi sehingga sudut mata bayi ketarik ke samping
dan ke bawah, dahi bayi terlihat seperti mengerut, dan mata bayi terlihat seperti tertutup.
3. Kekakuan otot yang lainnya yaitu tubuh bayi yang melengkung seperti busur dan bertumpu pada
tumit dan belakang kepala. Jika dibiarkan maka dapat terjadi fraktur tulang vertebrata.
4. Kemudian ada kekakuan otot dinding perut yang dapat menyebabkan dinding perut ketika diraba
akan terasa seperti papan. Selain otot dinding perut, otot penyangga pada rongga dada juga dapat menjadi
kaku sehingga penderita kesulitan untuk bernafas atau batuk. Jika kekakuan otot toraks berlangsung lebih
dari 5 hari, perlu diperiksa lebih lanjut karena berisiko timbulnya perdarahan paru.
5. Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernafasan akibat kakunya otot secara terus-menerus
dari otot laring yang bisa menimbulkan sesak nafas. Efek tetanospasmin dapat menyebabkan gangguan
denyut jantung seperti kadar denyut jantung menurun, atau kadar denyut jantung meningkat. Tetanospasmin
juga dapat menyebabkan demam dan hiperhidrosis. Kekakuan otot polos pula dapat menyebabkan anak
tidak bisa buang air kecil.
6. Menurut Ningsih (2007), bila kekakuan otot semakin berat, akan timbul kejang-kejang umum yang
terjadi setelah penderita menerima rangsangan misalnya terpapar sinar yang kuat, dicubit, dan digerakkan
secara kasar dicubit, digerakkan secara kasar. Sehingga “masa istirahat” kejang semakin sedikit dan dapat
menimbulkan epileptikus, yaitu epilepsi yang berlangsung secara terus menerus selama lebih dari 30 menit
tanpa adanya kejadian masa sadar pada pengidapnya dan berujung dengan kematian (Admin USU, 2016).
e. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang tidak berperan banyak dalam penegakan diagnosis maupun pemantauan dalam
perkembangan pasien yang mengidap tetanus neonatorum. Penegakan diagnosis hampir selalu ditegakkan
berdasarkan karakteristik klinis dan tidak bergantung pada konfirmasi bakteriologis. Hal
ini disebabkan karena kurangnya pendeteksian pada bakteri ini, hanya 30% sampel luka yang diambil dari
pasien bayi yang dicurigai adanya tetanus, sedangkan kuman tersebut juga dapat diisolasi dari sampel pasien
yang tidak menunjukkan manifestasi tetanus.
Di sisi lain, kadar antitoksin serum yang rendah atau tidak terdeteksi dapat membantu mengarahkan
diagnosis tetanus neonatorum. Namun, antitoksin serum dapat pula terdeteksi pada beberapa kasus sehingga
berpotensi membingungkan tenaga medis dalam menginterpretasi hasilnya.
7. CEREBRAL PALSY
a. Etiologi
Suatu definisi mengatakan bahwa penyebab CP berbeda–beda tergantung pada suatu klasifikasi yang luas
yang meliputi antara lain adalah terminologi tentang anak–anak yang secara neurologik sakit sejak
dilahirkan, anak–anak yang dilahirkan kurang bulan dengan berat badan lahir rendah dan anak-anak yang
berat badan lahirnya sangat rendah, yang berisiko CP dan terminologi tentang anak–anak yang dilahirkan
dalam keadaan sehat dan mereka yang berisiko mengalami CP setelah masa kanak–kanak Cerebral palsy
dapat disebabkan faktor genetik maupun faktor lainnya. Apabila ditemukan lebih dari satu anak yang
menderita kelainan ini dalam suatu keluarga (Swaiman,1998).
b. Patofisiologis
Cerebral palsy didefinisikan sebagai suatu kelainan pada gerakan dan postur yang bersifat menetap,
disebabkan oleh kecacatan nonprogresif atau lesi yang terjadi pada otak yang belum matur. Presentasi klinik
yang tampak dapat disebabkan oleh abnormalitas struktural yang mendasar pada otak, cedera
yang terjadi pada prenatal awal, prenatal atau postnatal karena vascular insufficiency; toksin atau infeksi
risiko–risiko patofisiologi dari kelahiran prematur. Bukti–bukti yang ada menunjukkan bahwa faktor–faktor
prenatal berperan dalam 70
– 80 % kasus CP. Dalam banyak kasus, penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi hampir sebagian besar
kasus disebabkan oleh multifaktor. Selama periode prenatal, pertumbuhan yang abnormal dapat terjadi
kapan saja (dapat karena abnormalitas yang bersifat genetik, toksik atau infeksi, atau vascular insufficiency)
(Boosara, 2004).
c. Faktor Resiko
1. Umur Orang Tua
Berbagai hipotesis telah dikemukakan untuk menghitung penurunan kualitas reproductive outcome dengan
semakin bertambahnya usia orangtua. Pada perempuan telah diketahui adanya hubungan antara pertambahan
usia dengan peningkatan abnormalitas kromosom. Selain itu, suatu penelitian menunjukkan adanya efek
peningkatan usia terhadap kualitas oocyte dan uterus senescence. (Elise and Patrick, 2002). Suatu studi yang
dilakukan menggunakan metode fluorescence in-situ hybridization, dibuktikan bahwa pada ayah yang lebih
tua (≥ 50 tahun), lebih berisiko memiliki keturunan aneuploid, daripada ayah yang lebih muda (< 30 tahun).
Selain itu, berdasarkan suatu penelitian yang baru-baru ini dilakukan dengan membandingkan antara
kelompok laki-laki berusia 23-39 tahun dengan kelompok laki-laki berusia 59- 74 tahun, ditarik kesimpulan
bahwa pada kelompok laki-laki dengan usia lebih tua mengalami aberasi kromosom sperma lebih besar
daripada kelompok
2. Kelainan Genetik
Faktor genetik memiliki sebagian peranan dalam menyebabkan CP, baik berperan sebagai bagian dalam
multi causal pathway maupun sebagai satu–satunya penyebab. Pada suatu kebudayaan atau suatu daerah
yang terisolasi, dimana perkawinan sedarah (cosanguinous) merupakan hal yang biasa, maka genetik dapat
muncul sebagai penyebab CP. Suatu studi melaporkan bahwa apabila dalam keluarga terdapat penderita CP,
kemungkinan untuk terjadi CP lagi lebih besar dibandingkan dengan kontrol. Ketika melibatkan variabel
kelahiran kembar, jika salah satu meninggal baik di dalam rahim maupun setelah dilahirkan, maka
kemungkinan terjadinya CP yang kedua meningkat, baik pada kembar identik atau tidak. Bila diperkirakan
kedua anak kembar berjenis kelamin sama, monochorionicity merupakan faktor yang meningkatkan
kemungkinan kedua bayi tersebut menderita CP (Stanley et al., 2000).
3. Status Sosial Ekonomi
Hubungan antara kemiskinan dan kesehatan anak-anak telah diketahui secara luas. Meskipun mekanisme
yang menghubungkan antara keduanya masih sulit dimengerti, namun peningkatan kemiskinan terbukti
berkorelasi negatif terhadap status kesehatan, pertumbuhan fisik dan perkembangan, dan juga meningkatkan
risiko
kematian pada anak-anak (Séquin et al., 2003). Etiologi mekanisme hubungan antara faktor sosial ekonomi
dengan kejadian CP sangat komplek. Telah banyak laporan penelitian yang dipublikasikan tentang
pengujian terhadap efek sosial ekonomi terhadap kejadian CP kongenital, meskipun beberapa
menghubungkan sosial ekonomi bersama-sama dengan faktor kelahiran preterm dan intrauterine growth
restriction. Penelitian yang dilakukan Dowding dan Barry (1990) menunjukkan trend yang jelas terjadinya
peningkatan kejadian CP kongenital dengan semakin menurunnya tingkat sosial ekonomi dengan
menggunakan estimasi pekerjaan ayah (Stanley et al., 2000).
4. Riwayat Obstetrik
Seorang anak yang dilahirkan oleh ibu yang mempunyai siklus menstruasi yang panjang, berisiko menderita
CP. Begitu pula dengan anak yang dilahirkan dari ibu yang memiliki siklus menstruasi yang tidak teratur.
Dan seorang anak yang ibunya memiliki riwayat obstetrik buruk, yaitu pada kehamilan sebelumnya
mengalami keguguran, lahir mati, kematian perinatal, kelahiran prematur dan lahir cacat akibat asfiksia
neonatal, berisiko menderita CP dibandingkan yang tidak memiliki riwayat obstetrik buruk. Temuan ini
mengindikasikan bahwa siklus menstruasi ibu dan riwayat obsterik buruk juga merupakan faktor risiko CP
(Kuban, 1994).
Preeklamsi dan eklamsi merupakan kumpulan gejala yang timbul pada ibu hamil, bersalin dan masa nifas
yang terdiri dari trias, yaitu hipertensi, proteinuria dan edema, yang kadang- kadang disertai konvulsi dan
koma. Pada pre-eklamsi terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air. Jika semua
arteriola dalam tubuh mengalami spasme, maka tekanan darah akan naik, sebagai usaha untuk mengatasi
kenaikan tekanan perifer agar oksigenasi jaringan dicukupi. (Mochtar, 1998).
1. Gangguan Motorik
Gangguan yang dapat terjadi pada anak cerebral palsy berupa kesulitan untuk mobilisasi yaitu kesulitan
untuk berpindah tempat berjalan serta bergerak diakibatkan karena terjadinya kelumpuhan dan kekakuan
pada bagian anggota gerak atas dan bawah, gangguan koordinasi antara tulang, otot, persendian.
Diakibatkan karena adanya kerusakan pada otak, kerusakan pada sistem piramidalis, dan ekstrapiramidal
yang merupakan pengatur sistem motorik pada manusia sehingga mengakibatkan anak
cerebral palsy mengalami kelumpuhan dan tidak dapat terkendalinya gerakan-gerakan infoluter.
2. Gangguan Sensoris
Pada anak yang menderita cerebral palsy akan terjadi kerusakan otak yang sangat luas yang mengakibatkan
gangguan system sensoris seperti kelainan penglihatan, pendengaran, perabaan, sensasi pengecapan. Pada
kelainan pendengaran yang menurun lebih umum terdapat pada penderita Cerebral palsy daripada populasi
normal lainnya, dan gangguan pada mata mempengaruhi 35% dari orang yang menderita Cerebral Palsy.
Cacat visual yang sering didengar merupakan strabismus. Strabismus merupakan suatu kondisi pada mata
yang tidak dapat bergerak ke arah yang sama dan terlihat bergerak ke arah yang berbeda.
3. Gangguan Berbicara
Gangguan berbicara diakibatkan karena area broka yang menjadi pusat bahasa dibagian otak terganggu.
Diakibatkan kerusakan pada otak yang biasanya ditandai dengan sulitnya anak memahami bahasa dan pada
gangguan tersebut akan mengalami komplikasi berupa lidah,otot mulut, dan otot artikulasi terganggu
sehingga menyebabkan anak cerebral palsy sulit berbicara. Lebih dari separuh dengan pasien menderita
Cerebral palsy yang memiliki beberapa masalah pada ucapan, yang biasanya disebut dengan dysarthria
adalah ketidakmampuan mengartikulasikan kata-kata
4. Gangguan Kecerdasan
Menurut stephen dan hawks pada jurnal penelitian yang dilakukan oleh Mimin Tjasmin didapatkan 40-60%
pada anak gangguan cerebral palsy mengalami retardasi mental sehingga mengakibatkan mereka kesulitan
belajar hal ini menuntut penempatan yang tepat untuk memodifikasi pembelajaran yang dilakukan pada anak
cerebral palsy. Karena kerusakan pada anak penderita cerebral palsy terjadi di otak, maka pada umumnya
anak penderita cerebral palsy juga mengalami gangguan dalam kecerdasannya.
e. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang menurut Sitorus (2016) dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Penilaian Psikologi
Penilaian yang dapat menentukan untuk penilaian tingkat pendidikan yang diperlukannya.
2. Pemeriksaan Metabolik
Pemeriksaan yang mengalihkan penyebab penyakit cerebral palsy. Selain itu pemeriksaan tersebut biasanya
diperlukan pemeriksaan arteriografi dan pem pneumoensefalografi individu. Agar diperoleh hasil yang
maksimal, penderita penyakit cerebral palsy memerlukan penanganan yang begitu maksimal jadi perlu
ditangani oleh suatu tim yang terdiri dari ahli saraf, ahli jiwa, dokter anak, ahli fisioterapi, ahli bedah tulang
dan orang tua penderita.
3. Electroencephalogram (EEG)
Pemeriksaan yang penting pada pasien dengan kelainan susunan pusat saraf. Alat yang bekerja dengan
prinsip sebagai mencatat aktivitas elektrik di dalam otak, terutama dibagian korteks (lapisan luar otak yang
tebal). Dengan pemeriksaan Electroencephalogram (EEG), aktifitas sel-sel dalam saraf otak kortek yang
fungsinya untuk kegiatan sehari-hari, misalnya tidur, istirahat, dan lain-lain, dapat direkam. Pada infeksi
saraf pusat seperti meningitis,ensefalitis, pemeriksaan electroencephalogram (EEG) dapat dilakukan
untuk melihat kemungkinan, seperti terjadinya kejang yang tersembunyi atau ada salah satu bagian otak
yang terganggu.
4. Tes Laboratorium
i. Tes kadar amonia darah, merupakan tes kadar yang tinggi dalam darah yang mempunyai
sifat beracun. Memiliki beberapa enzim yang menimbulkan kerusakan asam amino yang menimbulkan
hiperamonemia.
ii. Analisa kelainan kromosom pada bayi dapat diidentifikasi suatu anomali genetika, misalnya downs
syndrome ketika anomaly tersebut muncul pada sistem organ pada janin saat di kandungan.
iii. Tes fungsi tiroid cacat bawaan lahir dapat mengindikasikan kadar hormone tiroid yang begitu
rendah.
b. Patofisiologis
Meningitis terjadi akibat dari suatu penyebaran penyakit di organ atau jaringan tubuh yang lain. Virus atau
bakteri akan menyebar secara hematogen sampai ke selaput otak, misalnya penyakit Faringitis, Tonsilitis,
Pneumonia, dan Bronkopneumonia. Masuknya organisme melalui sel darah merah pada blood brain barrier.
Penyebaran organisme bisa terjadi akibat prosedur pembedahan, pecahnya abses serebral atau kelainan
sistem saraf pusat. Otorrhea atau rhinorrhea akibat fraktur dasar tengkorak yang dapat menimbulkan
meningitis. dimana terjadinya hubungan antara CSF (Cerebrospinal Fluid) dan dunia luar. Penumpukan pada
CSF akan bertambah dan mengganggu
aliran CSF di sekitar otak dan medulla spinalis. Mikroorganisme masuk ke susunan saraf pusat melalui
ruang pada subarachnoid sehingga menimbulkan respon peradangan seperti pada via, arachnoid, CSF, dan
ventrikel. Efek peradangan yang disebabkan oleh mikroorganisme meningitis yang mensekresi toksik dan
terjadilah toksemia, sehingga terjadi peningkatan suhu oleh hipotalamus yang menyebabkan suhu tubuh
meningkat atau terjadinya hipertermi (Putri KKA, 2019).
c. Faktor Resiko
1. Kontak erat dengan orang terinfeksi.
2. Pemukiman padat penduduk.
3. Paparan asap rokok (pasif maupun aktif).
4. Tingkat sosial ekonomi rendah.
5. Perubahan iklim.
6. Riwayat infeksi saluran napas atas (Sugihantono, 2019).
e. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis Meningitis Bakteri dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang yaitu, melalui analisis CSS,
kultur
darah, Pewarnaan CSS, dan biakan CSS. Pada beberapa prinsipnya, fungsi lumbal harus dihindari pada
pasien immunocompromised (AIDS, terapi imunosupresan, pasca- transplantasi). Pada pemeriksaan darah,
meningitis bakteri disertai dengan peningkatan leukosit dan penanda inflamasi, serta kadang disertai
hipokalemia, hiponatremia,serta gangguan fungsi ginjal dengan asidosis metabolik. Pewarnaan Gram CSS
memberikan hasil mengkokus positif pada sekitar 50% pasien dengan meningitis meningokokus akut. Kultur
darah dapat membantu, namun tak selalu bisa diandalkan (Meisadona, G. 2015).
2. ENSEFALITIS
a. Etiologi
Menurut Mansjoer, dkk. Ensefalitis merupakan radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh bakteri,
virus, jamur, dan protozoa. Ada juga menurut Soedarmo, dkk. Mengatakan ensefalitis merupakan penyakit
yang menyerang susunan syaraf pusat pada medulla spinalis serta meningen yang disebabkan oleh Japanese
Ensefalitis yaitu virus yang dapat ditularkan oleh nyamuk. Ensefalitis memang memiliki banyak
mikrobiologi penyebab, namun yang menjadi penyebab paling sering dari penyakit ini adalah virus. Infeksi
ini dapat terjadi karena virus dapat langsung menyerang otak atau reaksi radang akut karena terjadi infeksi
sistemik atau adanya vaksinasi terlebih dahulu. Ensefalitis juga dapat diakibatkan oleh invasi langsung
cairan serebrospinal selama pungsi lumbal. Menurut Soedarmo dkk, bahwa virus Ensefalitis berkembang
biak dari sel hidup yaitu di dalam nukleus dan sitoplasma seperti babi, kuda, gigitan nyamuk dan lain lain.
b. Patofisiologis
Setelah mikroorganisme masuk ke tubuh manusia yang rentan, melalui kulit, saluran pernapasan dan saluran
cerna. Virus menuju sistem getah bening dan berkembangbiak. Virus akan menyebar melalui aliran darah
dan menimbulkan viremia pertama. Melalui aliran darah virus akan menyebar ke sistem saraf pusat dan
organ eksterneural. Kemudian virus dilepaskan dan masuk ke dalam peredaran darah menyebabkan viremia
ke dua yang bersamaan dengan penyebaran infeksi penyakit sistemik.
Setelah terjadinya viremia, vius menembus dan berkembangbiak pada endotel vaskular dengan cara
endositosis. Sehingga, dapat menembus sawar otak. Setelah mencapai susunan saraf pusat virus
bekembangbiak dalam sel dengan cepat pada retikulum endoplasma serta badan golgi yang menghancurkan
mereka. Akibat infeksi virus tersebut maka permeabilitas sel neuron, ganglia dan endotel meningkat.
Sehingga cairan di luar sel masuk ke dalam dan timbullah edema sitotoksik. Adanya edema dan kerusakan
pada susunan saraf pusat ini memberikan manifestasi berupa Ensefalitis. Dengan masa prodromal
berlangsung 1-4 hari. Area otak yang terkena dapat pada talamus, ganglia basal, batang otak, hipotalamus
dan korteks serebral.
Virus-virus yang menyebabkan parotitis, morbili, varisela masuk ke dalam tubuh melalui saluran
pernafasan. Virus polio dan enterovirus melalui mulut, VHS melalui mulut atau mukosa kelamin, virus yang
lain masuk ke tubuh melalui inokulasi seperti gigitan binatang (rabies) atau nyamuk. Bayi dalam kandungan
mendapat infeksi melalui plasenta oleh virus rubella atau CMV. Virus memperbanyak diri secara lokal,
terjadi viremia yang menyerang SSP melalui kapilaris di pleksus koroideus. Cara lain ialah melalui saraf
perifer (gerakan sentripetal) misalnya VSH, rabies dan herpes zoster.
c. Faktor Resiko
Berikut ini merupakan beberapa faktor resiko dari Ensefalitis, yaitu:
1. Usia
Ensefalitis ini biasanya lebih rentan terhadap anak-anak serta lansia. Namun, di beberapa kondisi ensefalitis
juga dapat menyerang seseorang dengan rentan umur produktif seperti 20-40 tahun.
3. Wilayah geografis
Tinggal diwilayah yang memiliki populasi nyamuk ataupun kutu pembawa virus juga dapat meningkatkan
seseorang terjangkit penyakit ini.
menjerit pada anak kecil. Lalu tidak jarang ditemukan tanda perangsangan SSP (koma, stupor, letargi), kaku
kuduk, peningkatan reflek tendon, tremor, kelemahan otot dan kadang- kadang kelumpuhan.
Meskipun penyebabnya berbeda, gejala klinis Ensefalitis lebih kurang sama dan khas sehingga dapat
digunakan sebagai kriteria diagnostik. Secara umum gejala ini berupa trias Ensefalitis yang terdiri dari
demam, kejang dan penurunan kesadaran.
e. Pemeriksaan Penunjang
Berikut ini merupakan beberapa pemeriksaan penunjang bagi penderita atau pasien dengan diagnosis
ensefalitis, yaitu diantaranya:
1. Pemeriksaan Darah Lengkap.
2. Pemeriksaan Feses.
3. Pemeriksaan Cairan Serebrospinal.
4. Pemeriksaan Titer Antibody.
5. Pemeriksaan Serologi Darah (VDRL, TPHA).
6. EEG.
7. Foto Thorax.
8. Foto Rontgen Kepala.
9. CT Scan Arteriografi.
3. ABSES OTAK
a. Etiologi
Abses otak ini merupakan suatu penyakit yang menginfeksi lokal intrakranial yang awalnya dimulai melalui
fase cerebritis dan nantinya akan memuai menjadi suatu kumpulan nanah yang di keliling kapsul. Patologi
ini juga merupakan suatu infeksi pernanahan yang mana terlokalisir di
sentral jaringan otak yang dapat disebabkan dari suatu agen infeksius yaitu seperti bakteri, fungi dan parasit.
b. Patofisiologis
Infeksi dari patologi tersebut terjadi berasal pada dari telinga tengah, sel mastoid, dan sinus paranasal. Yang
dapat menyebabkan terjadinya abses otak itu karena otitis media yang mana biasanya berlokasi pada lobus
serebelum atau temporal. Penjalaran hematogen menuju ke otak biasanya menimbulkan suatu abses
multiloculated serta abses multipel yang mana menimbulkan pada tingkat kematian yang lebih tinggi dari
pada abses yang berasal dari sumber infeksi yang lebih dekat. Pada umumnya faktor asal dari terjadinya
penyebab patologi abses otak secara hematogen yang terjadi pada orang dewasa adalah penyakit paru
piogenik kronis yaitu seperti abses paru, empiema, kistik fibrosis, dan bronkiektasis. infeksi lainnya
bersumber dari luka, osteomielitis, infeksi pelvis, infeksi kulit, dan infeksi intraabdominal. Trauma juga
dapat menimbulkan terjadinya pembentukan dari abses otak yang mana menghasilkan dari suatu faktur
terbuka kranial yang mengalami kerusakan di lapisan dural.
c. Faktor Resiko
Seperti yang sudah diketahui abses otak berfaktor dengan adanya suatu infeksi yang mana berdekatan
dengan otak maupun asal infeksi dari tempat lainnya yang kemudian dapat menyebar secara hematogen.
Infeksi juga dapat terjadi dengan adanya trauma berat di kepala serta prosedur bedah saraf. Risiko dari orang
yang menderita abses otak dan apabila memiliki suatu patologi paru seperti infeksi, sinusitis kronis, otitis
media, fistula arteriovenosa, dan penyakit imunokompromais seperti HIV/AIDS.
e. Pemeriksaan Penunjang
1. Darah
Pemeriksaan darah ini biasanya dilakukan untuk menegakkan diagnosis abses otak yang mana mempunyai
sensitivitas 90% dan spesifitas 77%. Yang mana dari hasil pemeriksaan sel darah putih 60%-70% yang mana
akan mengalami sedikit kenaikan atau dari hasil dapat menunjukan nilai normal. Dari hasil pemeriksaan laju
endap darah (LED) dapat menunjukan suatu nilai normal khusus pada kasus penderita abses otak dengan
penyakit jantung kongenital sianotik (CCHD) yang mana
polisitemia akan menurunkan LED. C-reactive protein (CRP)seiring akan meningkatkan meningkat seiring
dengan tingginya proses sintesis di hepar akibat kondisi inflamasi di tubuh termasuk infeksi pada abses otak
dan abses gigi tapi CRP bisa juga tinggi pada kondisi non-inflamasi dan tumor otak.
2. Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal ini memiliki peran yang sangat diragukan dalam menentukan abses. Walaupun demikian ia
memiliki abnormal pada >90%. Mikroorganisme yang menimbulkan infeksi itu jarang teridentifikasi CFS
melalui pungsi lumbal (kecuali abses pecah dan masuk ke ventrikel) dengan kultur positif pada 6- 22%
kasus.
darah tepi, yang mana terjadi pada saat hari pertama dan meningkat pada hari ke-3.
“acellular debris” dan sel-sel radang. Daerah tepi dari sel radang, makrofag dan fibroblas.
4. MALARIA SEREBRAL
a. Etiologi
Malaria disebabkan oleh parasit Plasmodium. Terdapat lima spesies plasmodium yang dapat menginfeksi
manusia, yaitu:
1. Plasmodium falciparum.
2. Plasmodium vivax.
3. Plasmodium ovale.
4. Plasmodium malariae.
5. Plasmodium knowlesi.
Di Indonesia, jenis plasmodium yang banyak ditemukan ialah Plasmodium falciparum dan Plasmodium
vivax. Plasmodium falciparum adalah penyebab utama malaria berat, termasuk malaria serebral. Namun
demikian, akhir-akhir ini di Indonesia mulai banyak dilaporkan kasus-kasus malaria berat akibat
Plasmodium vivax (Mawuntu, 2018).
b. Patofisiologis
Husna dan Prasetyo (2016) mengungkapkan bahwa hingga saat ini, patofisiologi malaria serebral masih
belum diketahui dengan baik. Banyak hipotesis patofisiologi yang melatarbelakangi malaria serebral telah
diungkapkan, di antaranya ialah hipotesis mekanikal, permeabilitas, humoral.
1. Hipotesis mekanikal
Berhubungan dengan infected red blood cells (IRBC) cytoadherence dan penurunan deformabilitas,
menyebabkan anemia, bentukan rosette dan obstruksi mikrovaskuler.
2. Hipotesis permeabilitas
Didasarkan pada gangguan blood brain barrier (BBB) dan peningkatan permeabilitas vaskuler, diikuti
dengan senyawa toksik yang mencapai parenkim otak dan menyebabkan gangguan neurologis.
3. Hipotesis humoral
Fokus pada peningkatan produksi molekul proinflamasi, termasuk sitokin dan kemokin, dan faktor terlarut
lainnya seperti reactive oxygen species (ROS), yang bertanggungjawab terhadap inflamasi, demam dan
koma selama malaria serebral.
c. Faktor Resiko
Menurut Mawuntu (2018) terdapat beberapa faktor risiko malaria serebral, yaitu:
1. Riwayat berkunjung ke daerah endemik malaria.
2. Riwayat tinggal di daerah endemik malaria.
3. Riwayat sakit malaria atau riwayat demam.
4. Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir.
5. Riwayat mendapat transfusi darah.
e. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Mawuntu (2018) pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menegakkan diagnosis, memantau
komplikasi, menyingkirkan diagnosis banding, dan melihat keberhasilan terapi. Terdapat beberapa
pemeriksaan yang dapat dilakukan, yaitu:
1. Pemeriksaan Hapusan Darah Untuk Malaria
Untuk menegakkan diagnosis, pemeriksaan mikroskopik darah tepi sangat penting dilakukan, yaitu untuk
menentukan ada atau tidaknya parasit malaria. Pemeriksaan darah tepi perlu dilakukan tiga kali dengan hasil
negatif untuk menyingkirkan diagnosis malaria. Pemeriksaan pada saat pasien panas atau demam dapat
meningkatkan kemungkinan ditemukannya parasit. Pemeriksaan darah tepi bisa dilakukan melalui
tetes/hapusan darah tebal dan tetes/hapusan darah tipis. Hapusan darah tebal adalah cara terbaik untuk
menemukan parasit malaria karena tetesan darah cukup banyak dibandingkan preparat darah tipis. Hapusan
darah tipis digunakan untuk mengidentifikasi jenis plasmodium bila dengan preparat darah tebal sulit
ditentukan (Harijanto dkk dalam Mawuntu, 2018).
2. Tes Serologi
Fungsi dari tes ini adalah untuk mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap malaria atau pada keadaan
jumlah parasit sangat minimal. Tes ini dapat dikatakan kurang efektif karena antibodi baru terjadi setelah
dua minggu terjadinya infeksi dan menetap 3
– 6 bulan. Namun, tes ini sangat spesifik dan sensitif sehingga bermanfaat untuk penelitian epidemiologi
atau alat uji saring donor darah (Harijanto dkk dalam Mawuntu, 2018).
3. Tes Antigen
Terdapat dua jenis antigen yang dipakai yaitu histidine rich protein II untuk mendeteksi antigen dari
Plasmodium falciparum dan antigen terhadap lactate dehydrogenase (LDH) yang terdapat pada plasmodium
lainnya. Waktu yang diperlukan untuk mendeteksi sangat cepat, hanya sekitar 3-5 menit sehingga tes ini
dikenal sebagai tes diagnostik cepat (rapid diagnostic test = RDT). Tes ini memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang cukup tinggi. Tes ini juga dapat dipakai sebagai tes deteksi parasit untuk pemberian terapi
kombinasi berbasis artemisin (artemisin combination therapy = ACT). Namun, tes ini memiliki keterbatasan,
yaitu tidak dapat dipakai dalam pemantauan lanjut maupun mendeteksi jumlah parasit (Harijanto dkk dalam
Mawuntu, 2018).
4. Tes Molekuler
Pemeriksaan ini dianggap sangat baik karena menggunakan teknologi amplifikasi asam deoksiribonukleat
(deoxyribonucleic acid = DNA). Sensitivitas maupun spesifitasnya tinggi. Kelebihan dari tes ini adalah
walaupun jumlah parasitnya sangat sedikit, tetapi masih dapat memberikan hasil positif. Tes ini baru dipakai
sebagai sarana penelitian dan belum untuk pemeriksaan rutin (Harijanto dkk dalam Mawuntu, 2018).
5. Pencitraan Neurologis
Pencitraan otak berguna untuk membantu menyingkirkan diagnosis banding pada keadaan- keadaan tertentu,
mencari kelainan otak primer yang dapat terjadi pada malaria serebral, dan membantu mencari
kontraindikasi pungsi lumbal. Pemeriksaan MRI otak adalah pemeriksaan terpilih. Hasil MRI otak juga
mampu menunjukkan tanda-tanda infark awal, edema otak, hidrosefalus, maupun herniasi otak dengan baik.
Namun, pemeriksaan MRI otak berlangsung lebih lama dan cukup mahal. Pemeriksaan CT scan kepala
dapat menjadi pilihan jika MRI otak tidak memungkinkan (Harijanto dkk dalam Mawuntu, 2018).
5. TETANUS
a. Etiologi
C. tetani adalah bakteri Gram positif anaerob yang ditemukan di tanah dan kotoran binatang. Bakteri ini
berbentuk batang dan memproduksi spora, memberikan gambaran klasik seperti stik drum, meski tidak
selalu terlihat. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun. C. tetani merupakan bakteri yang
motil karena memiliki flagella, dimana menurut antigen flagellanya, dibagi menjadi 11 strain dan
memproduksi neurotoksin yang sama. Spora yang diproduksi oleh bakteri ini tahan terhadap banyak agen
desinfektan baik agen fisik maupun agen kimia. Spora C. tetani dapat bertahan dari air mendidih selama
beberapa menit (meski hancur dengan autoclave pada suhu 121° C selama 15-20 menit). Jika bakteri ini
menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda lain, bakteri ini akan memasuki tubuh penderita
tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin. Spora atau bakteri masuk ke dalam tubuh
melalui luka terbuka. Ketika menempati tempat
yang cocok (anaerob) bakteri akan berkembang dan melepaskan toksin tetanus. Dengan konsentrasi sangat
rendah, toksin ini dapat mengakibatkan penyakit tetanus (dosis letal minimum adalah 2,5 ng/kg) (Rahmanto,
2017).
b. Patofisiologis
Tetanus disebabkan oleh eksotoksin clostridium tetani, bakteri bersifat obligat anaerob. Bakteri ini terdapat
di mana- mana, mampu bertahan di berbagai lingkungan ekstrim dalam periode lama karena sporanya sangat
kuat. Clostridium tetani telah diisolasi dari tanah, debu jalan, feses manusia dan binatang. Bakteri tersebut
biasanya memasuki tubuh setelah kontaminasi pada abrasi kulit, luka tusuk minor, atau ujung potongan
umbilikus pada neonatus; pada 20% kasus, mungkin tidak ditemukan tempat masuknya. Bakteri juga dapat
masuk melalui ulkus kulit, abses, gangren, luka bakar, infeksi gigi, tindik telinga, injeksi atau setelah
pembedahan abdominal/pelvis, persalinan dan aborsi. Jika organisme ini berada pada lingkungan anaerob
yang sesuai untuk pertumbuhan sporanya, akan berkembang biak dan menghasilkan toksin tetanospasmin
dan tetanolisin. Tetanospasmin adalah neurotoksin poten yang bertanggungjawab terhadap manifestasi klinis
tetanus, sedangkan tetanolysin sedikit memiliki efek klinis. Terdapat dua mekanisme yang dapat
menerangkan penyebaran toksin ke susunan saraf pusat:
1. Toksin diabsorpsi di neuromuscular junction, kemudian bermigrasi melalui jaringan perineural ke
susunan saraf pusat
2. Toksin melalui pembuluh limfe dan darah ke susunan saraf pusat. Masih belum jelas mana yang
lebih penting, mungkin keduanya terlibat.
Pada mekanisme pertama, toksin yang berikatan pada neuromuscular junction lebih memilih menyebar
melalui saraf motorik, selanjutnya secara transinaptik ke saraf motorik dan otonom yang berdekatan,
kemudian ditransport secara retrograd menuju sistem saraf pusat. Tetanospasmin yang merupakan zinc
dependent endopeptidase memecah vesicle-Associated membrane protein II (VAMP II atau synaptobrevin)
pada suatu ikatan peptida tunggal. Molekul ini penting untuk pelepasan neurotransmiter di sinaps, sehingga
pemecahan ini mengganggu transmisi sinaps. Toksin awalnya mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah
pelepasan glisin dan γ-aminoButyric acid (GABA). Pada saat interneuron menghambat motor neuron alpha
juga terkena pengaruhnya, terjadi kegagalan menghambat refleks motorik sehingga muncul aktivitas saraf
motorik tak terkendali, mengakibatkan peningkatan tonus dan rigiditas otot berupa spasme otot yang tiba-
tiba dan potensial merusak. Hal ini merupakan karakteristik tetanus. Otot wajah terkena paling awal karena
jalur axonalnya pendek, sedangkan neuron-neuron simpatis terkena paling akhir, mungkin akibat aksi toksin
di batang otak. Pada tetanus berat, gagalnya penghambatan aktivitas otonom menyebabkan hilangnya
kontrol otonom, aktivitas simpatis yang berlebihan dan peningkatan kadar katekolamin. Ikatan neuronal
toksin sifatnya irreversibel, pemulihan membutuhkan tumbuhnya terminal saraf yang baru, sehingga
memanjangkan durasi penyakit ini (Laksmi, 2014).
c. Faktor Resiko
Komplikasi yang berbahaya dari tetanus adalah hambatan pada jalan napas sehingga pada tetanus yang
berat, terkadang memerlukan bantuan ventilator. Sekitar kurang lebih 78% kematian tetanus disebabkan
karena komplikasinya. Kejang yang berlangsung terus menerus dapat mengakibatkan
fraktur dari tulang spinal dan tulang panjang, serta rabdomiolisis yang sering diikuti oleh gagal ginjal akut.
Infeksi nosokomial umum sering terjadi karena rawat inap yang berkepanjangan. Infeksi sekunder termasuk
sepsis dari kateter, pneumonia yang didapat di rumah sakit, dan ulkus dekubitus. Emboli paru sangat
bermasalah pada pengguna narkoba dan pasien usia lanjut. Aspirasi pneumonia merupakan komplikasi akhir
yang umum dari tetanus, ditemukan pada 50%-70% dari kasus diotopsi. Salah satu komplikasi yang sulit
ditangani adalah gangguan otonom karena pelepasan katekolamin yang tidak terkontrol. Gangguan otonom
ini meliputi hipertensi dan takikardi yang kadang berubah menjadi hipotensi dan bradikardi. Walaupun
demikian, pemberian magnesium sulfat saat gejala tersebut sangat bisa diandalkan. Magnesium sulfat dapat
mengontrol gejala spasme otot dan disfungsi otonom (Rahmanto, 2017).
sardonicus, sakit tenggorokan, dan disfagia. Peningkatan tonus otot-otot trunkal mengakibatkan opistotonus.
Kelompok otot yang berdekatan dengan tempat infeksi sering terlibat, menghasilkan penampakan tidak
simetris.1,3,6,7 spasme otot muncul spontan, juga dapat diprovokasi oleh stimulus fisik, visual, auditori,
atau emosional. Spasme otot menimbulkan nyeri dan dapat menyebabkan ruptur tendon, dislokasi sendi
serta patah tulang. Spasme laring dapat terjadi segera, mengakibatkan obstruksi saluran nafas atas akut dan
respiratory arrest. Pernapasan juga dapat terpengaruh akibat spasme yang melibatkan otot-otot dada; selama
spasme yang memanjang, dapat terjadi hipoventilasi berat dan apnea yang mengancam nyawa. Tanpa
fasilitas ventilasi mekanik, gagal nafas akibat spasme otot adalah penyebab kematian paling sering. Hipoksia
biasanya terjadi pada tetanus akibat spasme atau kesulitan membersihkan sekresi bronkial yang berlebihan
dan aspirasi. Spasme otot paling berat terjadi selama minggu pertama dan kedua, dan dapat berlangsung
selama 3 sampai 4 minggu, setelah itu rigiditas masih terjadi sampai beberapa minggu lagi.
Tetanus berat berkaitan dengan hiperkinesia sirkulasi, terutama bila spasme otot tidak terkontrol baik.
Gangguan otonom biasanya mulai beberapa hari setelah spasme dan berlangsung 1-2 minggu. Meningkatnya
tonus simpatis biasanya dominan menyebabkan periode vasokonstriksi, takikardia dan hipertensi.
Autonomic storm berkaitan dengan peningkatan kadar katekolamin. Keadaan ini silih berganti dengan
episode hipotensi, bradikardi dan asistole yang tiba-tiba. Gambaran gangguan otonom lain meliputi Salivasi,
berkeringat, meningkatnya sekresi bronkus, hiperpireksia, stasis lambung dan ileus.
Pada keadaan berat dapat timbul berbagai komplikasi. Intensitas spasme paroksismal kadang cukup untuk
mengakibatkan ruptur otot spontan dan hematoma intramuskular. Fraktur kompresi atau subluksasi vertebra
dapat terjadi, biasanya pada vertebra thorakalis. Gagal ginjal akut merupakan komplikasi tetanus yang dapat
dikenali akibat dehidrasi, rabdomiolisis karena spasme, dan gangguan otonom. Komplikasi lain meliputi
atelektasis, pneumonia aspirasi, ulkus peptikum, retensi urine, infeksi traktus urinarius, ulkus dekubitus,
thrombosis vena, dan tromboemboli (Laksmi, 2014).
e. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis tetanus adalah murni diagnosis klinis berdasarkan riwayat penyakit dan temuan saat pemeriksaan.
Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan uji spatula, dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring
menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif jika terjadi kontraksi rahang
involunter (menggigit spatula) dan hasil negatif berupa refleks muntah. Laporan singkat The American
Journal of Tropical Medicine and Hygiene menyatakan bahwa uji spatula memiliki spesifisitas tinggi (tidak
ada hasil positif palsu) dan sensitivitas tinggi (94% pasien terinfeksi menunjukkan hasil positif).
Pemeriksaan darah dan cairan serebrospinal biasanya normal. Kultur C. Tetani dari luka sangat sulit (hanya
30% positif), dan hasil kultur positif mendukung diagnosis, bukan konfirmasi. Beberapa keadaan yang dapat
disingkirkan dengan pemeriksaan cermat adalah meningitis, perdarahan subarachnoid, infeksi orofasial serta
arthralgia temporomandibular yang menyebabkan trismus, keracunan Strychnine, tetani hipokalsemia,
histeri, ensefalitis, terapi phenothiazine, serum sickness, epilepsi dan rabies (Laksmi, 2014).
6. RABIES
a. Etiologi
Agen penyebab rabies adalah virus dari genus lyssavirus dan termasuk ke dalam family Rhabdoviridae.
Virus ini bersifat neurotropic, berbentuk menyerupai peluru dengan panjang 130
– 300 nm dan diameter 70 nm. Virus ini terdiri dari inti RNA (Ribo Nucleic Acid) rantai tunggal diselubungi
lipoprotein. Pada selubung luar terdapat tonjolan yang terdiri dari glikoprotein G yang berperan penting
dalam timbulnya imunitas oleh induksi vaksin dan penting dalam identifikasi serologi dari virus rabies
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016).
b. Patofisiologis
Masa inkubasi (masa masuknya virus kedalam tubuh manusia atau hewan sampai menimbulkan gejala
penyakit) pada hewan antara 3–8 minggu, masa inkubasi pada manusia bervariasi, biasanya 2–8 minggu,
kadang- kadang 10 hari sampai 2 tahun, tetapi rata- rata masa inkubasinya 2–18 minggu. Sumber penularan
dari penyakit rabies adalah anjing sebagai sumber penular utama, disamping itu dapat juga ditularkan oleh
kucing dan kera. Di luar negeri, disamping ke 3 hewan diatas, dapat juga ditularkan melalui gigitan binatang
seperti serigala, kelelawar, skunk, dan racoon.
Daya serang virus rabies sebagai berikut; setelah virus rabies masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan
hewan (anjing), selama sekitar 2 minggu virus akan tetap tinggal di tempat masuk dan atau di dekat tempat
gigitan. Selanjutnya virus akan bergerak mencapai ujung-ujung serabut saraf posterior tanpa menunjukkan
perubahan fungsinya. Sepanjang perjalanan ke otak, virus rabies akan berkembangbiak atau membelah diri
(replikasi). Selanjutnya sampai di otak dengan
jumlah virus maksimal, kemudian menyebar luas ke semua bagian neuron. Virus ini akan masuk ke sel-sel
limbik, hipotalamus, dan batang otak. Setelah memperbanyak diri pada neuron-neuron sentral, maka virus
rabies akan bergerak ke seluruh organ dan jaringan tubuh untuk berkembang biak seperti adrenal, ginjal,
paru-paru, hati dan selanjutnya akan menyerang jaringan tubuh lainnya (Dinas Kesehatan Pemerintah
Provinsi Bali, 2019).
c. Faktor Resiko
Hal-hal yang menjadi faktor risiko penularan penyakit rabies adalah sarana transportasi, khususnya
pelabuhan yang tidak resmi, hewan peliharaan yang tidak divaksinasi di daerah tertular, hewan liar di daerah
tertular, pekerja yang berisiko spt dokter hewan, penangkap anjing, petugas laboratorium, pemburu dll.
Wisatawan ke daerah tertular tapi tidak diberi preexposure, transplantasi terutama cornea. Penyakit Rabies
telah tertular ke seluruh dunia, sedangkan daerah tertular rabies di wilayah Indonesia selain Bali meliputi 23
provinsi, artinya hanya 10 provinsi di Indonesia yang menyandang status bebas rabies. Cara penularan virus
rabies pada hewan berbeda dengan cara penularan pada manusia. Pada hewan terjadi melalui gigitan hewan
yang menderita rabies ke hewan sehat. Cara penularan pada manusia, dibagi dua yaitu, dari hewan ke
manusia melalui gigitan hewan yang air liurnya mengandung virus rabies dan nongigitan melalui jilatan
hewan yang mengandung virus rabies pada luka, selaput mukosa yang utuh, selaput lendir mulut, selaput
lendir anus, selaput lendir alat genitalia eksterna dan melalui inhalasi atau udara (jarang terjadi). Cara
penularan dari manusia ke manusia melalui transplantasi kornea, kontak air liur penderita ke mukosa mata
dan pernah ada laporan, orang sehat setelah digigit oleh
penderita rabies, mengalami sakit rabies (Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi Bali, 2019).
2. Gejala Klinis
i. Batuk dan kesulitan bernafas.
ii. Keringat yang berlebihan.
iii. Hipersalivasi.
iv. Ketakutan pada air (hidrofobia).
v. Ketakutan pada udara (aerofobia).
vi. Ketakutan pada cahaya (fotofobia).
vii. Kesulitan bernafas.
viii. Kejang-kejang.
ix. Kelumpuhan umum.
x. Meninggal.
e. Pemeriksaan Penunjang
Penyakit ini dalam waktu 3–5 hari dapat menyebabkan kematian sejak timbulnya gejala, sehingga
pemeriksaan serologis kadang-kadang belum sempat dilakukan. Pada kasus
dengan perjalanan penyakit yang agak lama, misalnya gejala paralisis yang dominan dan mengaburkan
diagnosis maka pemeriksaan laboratorium sangat membantu dalam menegakkan diagnosis. Virus rabies
dapat diisolasi dari air liur, konjungtiva, cairan serebrospinal dan urin penderita. Walaupun demikian isolasi
virus kadang-kadang tidak berhasil didapatkan dari jaringan otak dan bahan tersebut setelah 1 – 4 hari sakit.
Hal ini berhubungan dengan adanya neutralizing antibodies.
Pemeriksaan Fluorescent Antibodies Test (FAT) dapat menunjukkan antigen virus di jaringan otak, air liur,
kerokan mukosa, cairan serebrospinal, urin, kulit dan usap kornea. FAT ini juga bisa negatif, bila antibodi
telah terbentuk. Dilakukan pemeriksaan isolasi virus. Serum neutralizing antibodies pada kasus yang tidak
divaksinasi tidak akan terbentuk sampai hari kesepuluh pengobatan, tetapi setelah itu titer akan meningkat
dengan cepat. Walaupun secara klinis gejalanya patognomonik namun Negri Bodies dengan pemeriksaan
mikroskopis (Seller) dapat negatif pada 10–20 kasus, terutama pada kasus-kasus yang sempat divaksinasi
dan penderita yang dapat bertahan hidup setelah lebih dari 2 minggu. Saat ini teknik pemeriksaan untuk
rabies yang cukup sensitif dan spesifik adalah teknik pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction)
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016).
7. SPONDILITIS TB
a. Etiologi
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang
merupakan anggota ordo Actinomycetales dan famili Mycobacteriaceae. dan juga sebagai kuman patogen
bacillus aerob yang tumbuh dengan lambat. Mycobacterium tuberculosis
merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat acid-fastnon- motile dan tidak dapat diwarnai dengan
baik melalui cara yang konvensional. Hal ini terjadi karena kuman bakterium memiliki dinding sel yang
tebal yang terdiri dari lapisan lilin dan lemak. Fokus infeksi bakteri tersebut terdapat di paru-paru, kelenjar
getah bening mediastinum, mesenterium, saluran pencernaan, sistem genitourinarius, atau organ lainnya
(Saputra dan Munandar, 2015).
b. Patofisiologis
Menurut Harsono dalam Irawan (2018) menjelaskan bahwa basil TB sebagian besar masuk ke dalam tubuh
melalui traktus respiratorius. Penyebarannya berlangsung secara hematogen, biasanya bakteri berkembang
biak di tempat aliran darah sehingga menyebabkan bakteri berkumpul banyak pada ujung pembuluh darah.
Terutama di tulang belakang di sekitar tulang thorakal dan lumbal, kuman bersarang. Penyakit ini umumnya
mengenai lebih dari satu vertebra. Pada anak-anak, infeksi ini dapat bersumber dari fokus primer di paru dan
pada orang dewasa berasal dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil). Kuman dapat sampai ke tulang
belakang melalui pleksus venosus paravertebral batson.
Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau lumbar yang memberikan suplai darah kedua
vertebrae yang berdekatan, yaitu setengah bagian bawah vertebra diatasnya dan bagian atas vertebra di
bawahnya atau melalui pleksus Batson’s yang mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan banyak
vertebra yang terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada kurang lebih 70% kasus, penyakit ini diawali
dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan,
sementara pada 20% kasus melibatkan tiga atau lebih vertebra (Vitriana, 2002).
Menurut Dheda et.al dalam Kusmiati (2016), penyebaran infeksi tuberkulosis akan menyebabkan inflamasi
pada paradiskus, terjadi hyperemia, edema sumsum tulang belakang dan osteoporosis. Destruksi tulang
terjadi progresif, akibat lisis jaringan tulang di bagian anterior, serta adanya iskemi sekunder, periarthritis
dan endarteritis, akan menyebabkan kolapsnya bagian tersebut, dan berakibat pada hilangnya kekuatan
mekanis tulang untuk menahan berat badan sehingga terjadi kolaps vertebra dengan sendi intervertebral
dengan lengkung saraf posterior yang tetap intak, jadi akan timbul deformitas berbentuk kifosis yang
progresifitasnya (angulasi posterior) tergantung dari derajat kerusakan, level lesi dan jumlah vertebra yang
terlibat yang sering disebut sebagai gibbus. Bila sudah timbul deformitas ini, maka hal tersebut merupakan
tanda bahwa penyakit ini sudah meluas.
c. Faktor Risiko
Beberapa faktor risiko terjadinya spondilitis TB diantaranya, kontak erat/paparan yang lama kepada pasien
yang terinfeksi TBC, kondisi imunodefisiensi (HIV, pecandu alkohol, penyalahgunaan obat), tinggal di area
dengan kepadatan penduduk berlebih, malnutrisi, usia lanjut, kemiskinan, dan kondisi sosial ekonomi yang
rendah (Universitas Airlangga, 2021).
berbahaya. Biasanya, pasien berobat jika ada rasa sakit yang parah, kelainan bentuk yang nyata, atau muncul
gejala gangguan saraf. Pasien dapat datang tanpa gejala, maupun mengalami beberapa gejala diantaranya:
1. Gejala umum infeksi TB adalah demam, berkeringat di malam hari, kehilangan berat badan,
anoreksia (gangguan makan) dapat dialami pada 20-30 % penderita.
2. Nyeri yang terlokalisir terutama pada area punggung, dan semakin memberat saat bergerak, batuk,
atau mengangkat beban.
3. Gangguan bentuk tulang belakang seperti bungkuk, adanya pembengkakan atau benjolan pada tulang
punggung, dan postur tubuh yang kaku.
4. Jika mengenai sistem saraf dapat disertai keluhan kelemahan/lumpuh pada kaki, tangan, gangguan
sensoris, mati rasa, hingga gangguan berkemih.
5. Pembentukan abses dingin/Cold Abscess di sekitar lesi, adalah ciri khas lain dari spondilitis TB.
Merupakan Abses tanpa rasa nyeri dan tanpa adanya tanda inflamasi. Pembentukan abses biasa terjadi dan
dapat tumbuh hingga ukuran yang sangat besar. Tempat abses tergantung pada wilayah tulang vertebral
yang terkena (Universitas Airlangga, 2021).
e. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Kusmiati dan Narendrani terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu:
1. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologis sangat membantu dalam menemukan tuberkulosis ekstra paru terutama pada kasus
spondilitis TB. Pemeriksaan radiologis
yang dapat digunakan untuk menunjang diagnosis spondilitis TB yaitu sinar-X, Computed Tomography
Scan (CT scan), dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Tulang belakang merupakan sisi tulang yang
sering terlibat pada tuberkulosis tulang, rata-rata didapatkan 50% kasus dari seluruh kasus skeletal TB. L1
merupakan lokasi paling sering terjadi, melibatkan lebih dari satu corpus vertebra, dengan didapatkan
penyempitan jarak antar diskus intervertebralis, erosi dan iregularitas corpus vertebra. Proses penyakit sering
berawal di sisi anterior dari corpus vertebra yang berdekatan dengan sisi end plate. Tahap lebih lanjut
kerusakan terjadi sepanjang ligamentum longitudinal anterior dan posterior serta melalui end plate sehingga
terjadi kolaps korpus vertebra ke segmen anterior menyerupai akordion (concertina) yang disebut juga
dengan concertina collapse menghasilkan bentuk kifosis.
2. CT Scan
CT scan berguna untuk memvisualisasi regio torakal dan keterlibatan iga yang sulit dilihat pada foto polos.
Keterlibatan lengkung saraf posterior seperti pedikel tampak lebih baik dengan CT Scan. CT-scan dapat
memperlihatkan dengan jelas sklerosis tulang, destruksi badan vertebra, abses epidural, fragmentasi tulang,
dan penyempitan kanalis spinalis. CT myelography juga dapat menilai dengan akurat kompresi medula
spinalis apabila tidak tersedia pemeriksaan MRI. Selain hal yang disebutkan di atas, CT scan dapat juga
berguna untuk
memandu tindakan biopsi perkutan dan menentukan luas kerusakan jaringan tulang
3. Sinar X
Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti adanya tuberkulosis di paru (2/3 kasus
mempunyai foto rontgen yang abnormal). Pada fase awal, akan tampak lesi osteolitik pada bagian anterior
badan vertebra dan osteoporosis regional. Penyempitan ruang diskus intervertebralis menandakan terjadinya
kerusakan diskus. Pembengkakan jaringan lunak sekitarnya memberikan gambaran fusiformis.
Pada fase lanjut, kerusakan bagian anterior semakin memberat dan membentuk angulasi kifotik (gibbus).
Bayangan opak yang memanjang paravertebral dapat terlihat, yang merupakan cold abscess. Namun,
sayangnya sinar-X tidak dapat mencitrakan cold abscess dengan baik. Dengan proyeksi lateral, klinisi dapat
menilai angulasi kifotik diukur dengan metode konstan.
A. Pengertian Diabetes Mellitus
Diabetes merupakan penyakit kronis yang serius karena insulin (hormone yang mengatur gula darah atau
glukosa) yang dihasilkan oleh pankreas tidak cukup atau ketika tubuh tidak dapat secara efektis
menggunakan insulin yang dihasilkannya. Diabetes adalah masalah kesehatan masyarakat yang penting,
merupakan salah satu dari empat penyakit tidak menular prioritas yang menjadi target tindak lanjut oleh para
pemimpin dunia. Jumlah kasus dan prevalensi diabetes terus meningkat selama beberapa decade terakhir.
Diabetes mellitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Diabetes mellitus dibagi menjadi
dua yaitu diabetes mellitus tipe-1 dan diabetes mellitus tipe-2. Diabetes mellitus tipe-1 merupakan diabetes
yang disebabkan kenaikan gula darah karena kerusakan sel beta pankreas, sehingga produksi insulin tidak
ada sama sekali. Sedangkan diabetes mellitus tipe-2 merupakan diabetes yang disebabkan kenaikan gula
darah karena penurunan sekresi insulin yang rendah oleh kelenjar pankreas.
Etiologi DM-2
a. Usia Risiko terjadinya diabetes tipe 2 meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Resistensi
insulin mulai terjadi pada usia 45 tahun dan cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun. Hal ini terjadi
karena orang – orang diusia ini cenderung kurang bergerak,
kehilangan massa otot, dan bertambah berat badan. Selain itu, proses penuaan juga mengakibatkan
penurunan fungsi sel beta pankreas sebagai penghasil insulin.
b. Obesitas Memiliki kelebihan berat badan merupakan faktor risiko utama untuk diabetes tipe 2.
Sekitar 80% pasien DM tipe 2 mengalami obesitas. Obesitas menyebabkan respon sel beta pankreas
terhadap peningkatan glukosa darah berkurang, selain itu reseptor insulin pada sel di seluruh tubuh termasuk
di otot berkurang jumlahnya dan kurang sensitive.
c. Riwayat keluarga Pada pasien-pasien dengan DM tipe 2, penyakitnya mempunyai pola familial yang
kuat. Indeks untuk DM tipe 2 pada kembar monozigot hampir 100%. Risiko berkembangnya DM tipe 2 pada
saudara kandung mendekati 40% dan 33% untuk anak cucunya. Transmisi genetik adalah yang paling kuat.
d. Kelompok etnik Meskipun masih belum jelas mengapa, kebanyakan orang dari suatu ras termasuk
ras hitam, hispanik, Indian Amerika dan Asia-Amerika lebih cenderung memiliki risiko terhadap DM tipe 2
dibandingkan ras kulit putih.
C. Faktor Risiko Diabetes Mellitus
Menurut Kemenkes (2013), faktor risiko DM dibagi menjadi:
keluarga dan kecenderungan pertimbangan dalam pengambilan keputusan adalah contoh pengaruh genetik.
Responden yang memiliki keluarga dengan DM harus waspada. Resiko menderita DM bila salah satu orang
tuanya menderita DM adalah sebesar 15%. Jika kedua orang-tuanya memiliki DM adalah 75% (Diabetes
UK, 2010).
c) Riwayat melahirkan bayi dengan berat lahir bayi > 4000gram atau pernah menderita DM saat hamil
(DM Gestasional)
Pengaruh tidak langsung dimana pengaruh emosi dianggap penting karena dapat mempengaruhi hasil
pemeriksaan dan pengobatan. Aturan diit, pengobatan dan pemeriksaan sehingga sulit dalam mengontrol
kadarbula darahnya dapat memengaruhi emosi penderita (Nabil, 2012).
2. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi
a) Overweight/berat badan lebih (indeks massa tubuh > 23kg/m2)
Salah satu cara untuk mengetahui kriteria berat badan adalah dengan menggunakan Indeks Masa Tubuh
(IMT). Berdasarkan dari BMI atau kita kenal dengan Body Mass Index diatas, maka jika berada diantara 25-
30, maka sudah kelebihan berat badan dan jika berada diatas 30 sudah termasuk obesitas.
Menurut Nabil (2012), ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi berat badan yaitu:
1) Makan dengan porsi yang lebih kecil
2) Ketika makan diluar rumah, berikan sebagian porsi untuk anda untuk teman atau anggota keluarga
yang lain.
3) Awali dengan makan buah atau sayuran setiap kali anda makan.
4) Ganti snack tinggi kalori dan tinggi lemak dengan snack yang lebih sehat.
b) Aktifitas fisik kurang
Lakukan kegiatan fisik dan olahraga secara teratur sangat bermanfaat bagi setiap orang karena dapat
meningkatkan kebugaran, mencegah kelebihan berat badan, meningkatkan fungsi jantung, paru dan otot
serta memperlambat proses penuaan. Olahraga harus dilakkan secara teratur. Macam dan takaran olahraga
berbeda menurut usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan dan kondisi kesehatan. Jika pekerjaan sehari-hari
seseorang kurang memungkinkan gerak fisik, upayakan berolahraga
secara teratur atau melakukan kegiatan lain yang setara. Kurang gerakatau hidup santai merupakan faktor
pencetus diabetes (Nabil, 2012).
c) Merokok Penyakit dan tingginya angka kematian (Hariadi S, 2008). Hasil uji statistik menunjukkan
ada hubungan antara merokok dengan kejadian DM tipe (p = 0,000). Hal ini sejalan dengan penelitian oleh
Houston yang juga mendapatkan bahwa perokok aktif memiliki risiko 76% lebih tinggi terserang DM Tipe 2
dibanding dengan yang tidak (Irawan, 2010). Dalam asap rokok terdapat 4.000 zat kimia berbahaya untuk
kesehatan, dua diantaranya adalah nikotin yang bersifat
adiktif dan yang bersifat karsinogenik.
d) Hipertensi (TD > 140/90 mmHg)
Jika tekanan darah tinggi, maka jantung akan bekerja lebih keras dan resiko untuk penyakit jantung dan
diabetes pun lebih tinggi. Seseorang dikatakan memiliki tekanan darah tinggi apabila berada dalam kisaran >
140/90 mmHg. Karena tekanan darah tinggi sering kali tidak disadari, sebaiknya selalu memeriksakan
tekanan darah setiap kali melakukan pemeriksaan rutin (Nabil, 2012).
a) Poliuria (air kencing keluar banyak) dan polydipsia (rasa haus yang berlebih) yang disebabkan
karena osmolalitas serum yang tinggi akibat kadar glukosa serum yang meningkat,
b) Anoreksia dan polifagia (rasa lapar yang berlebih) yang terjadi karena glucosuria yang menyebabkan
keseimbangan kalori negative.
c) Keletihan (rasa cepat Lelah) dan kelemahan yang disebabkan penggunaan glukosa oleh sel menurun.
d) Kulit kering, lesi kuli atau luka yang lambat sembuhnya, dan rasa gatal pada kulit.
e) Sakit kepala, mengantuk, dan gangguan pada aktivitas disebabkan oleh kadar glukosa intrasel yang
rendah.
f) Kram pada otot, iritabilitas, serta emosi yang labil akibat ketidakseimbangan elektrolit.
g) Gangguan penglihatan seperti pemandangan kabur yang disebabkan karenan pembengkakan akibat
glukosa.
h) Sensasi kesemutan atau kebas ditangan dan kaki yang disebabkan kerusakan jaringan saraf.
i) Gangguan rasa nyaman dan nyeri pada abdomen yang disebabkan karena neuropati otonom yang
menimbulkan konstipasi.
j) Mual, diare, dan konstipasi yang disebabkan karena dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit serta
neuropati otonomi.
E. Patogenesis Diabetes Mellitus
Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya kekurangan insulin secara relatif
maupun absolut.Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan, yaitu:
a. Rusaknya sel-sel pankreas karena pengaruh dari luar (virus,zat kimia,dll)
b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas
c. Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer. (Bhatt et al., 2016)
2. Patofisiologi DM tipe 2
Terjadinya DM tipe 2 utamanya disebabkan oleh resistensi insulin. Selain itu, terjadinya DM tipe 2 bisa
terjadi karena resistensi insulin dan defisiensi insulin. Umumnya patofisiologi DM tipe 2 dipengaruhi oleh
beberapa keadaan yaitu:
a) Resistensi insulin dikarenakan obesitas dan penuaan.
b) Disfungsi sel β pankreas sehingga menyebabkan defisiensi insulin yang terjadi melalui 3 jalur yaitu:
• Pengaruh luar yang menyebabkan rusaknya sel β pankreas
• seperti virus dan zat kimia.
• Penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas.
• Kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer.
c) Terjadinya peningkatan glukosa hepatik yang tidak disertai kerusakan sel β pankreas.
Resistensi insulin dan defisiensi insulin merupakan penyebab utama DM tipe 2. Terjadinya lipolisis dan
peningkatan glukosa hepatik merupakan karakteristik dari resistensi insulin.
b. Pemeriksaan Vaskuler
1) Pemeriksaan Radiologi yang meliputi : gas subkutan, adanya benda asing, osteomelietus.
c. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan darah yang meliputi : GDS (Gula Darah Sewaktu), GDP (Gula Darah Puasa),
2) Pemeriksaan urine , dimana urine diperiksa ada atau tidaknya kandungan glukosa pada urine
tersebut. Biasanya pemeriksaan dilakukan menggunakan cara Benedict (reduksi). Setelah pemeriksaan
selesai hasil dapat dilihat dari perubahan warna yang ada : hijau (+), kuning (++), merah (+++), dan merah
bata (++++).
3) Pemeriksaan kultur pus : Bertujuan untuk mengetahui jenis kuman yang terdapat pada luka dan
untuk observasi dilakukan rencana tindakan selanjutnya.
4) Pemeriksaan Jantung meliputi EKG sebelum dilakukan tindakan pembedahan
obat-obat anti diabetes oral sesuai indikasi dan dosis menurut petunjuk dokter. Untuk dapat mencegah
terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang baik. Diabetes mellitus terkendali baik
tidak berarti hanya kadar glukosa darahnya saja yang baik, tetapi harus secara menyeluruh kadar.
J. Pengertian SIADH
Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone (SIADH) adalah keadaan yang disebabkan oleh sekresi
hormon antidiuretik (ADH) berlebihan. Kelebihan ADH akan menyebabkan peningkatan reabsorpsi air dari
tubulus ginjal, sehingga terjadi penahanan air dan hiponatremia. SIADH dapat diakibatkan oleh hasilan
ADH ektopik sel ganas, diimbas obat, jejas (lesi) jaras baroreseptor, dan penyebab lainnya.
K. Etiologi SIADH
SIADH disebabkan oleh tiga (3) penyebab utama, yaitu hasilan ADH ektopik oleh sel kanker, SIADH
terimbas obat (drug-induced SIADH), dan jejas di jaras baroreseptor, terutama di sistem saraf pusat (SSP)
dan paru. SIADH dapat terjadi sebagai akibat gejala endokrin paraneoplastik. Sekresi ADH ektopik
diakibatkan oleh penunjukkan abnormal gen ADH, baik oleh sel tumor primer maupun sel metastasis. Obat-
obatan yang dapat menimbulkan SIADH tidak sedikit. Antidepresan golongan selective serotonin reuptake
inhibitors (SSRI) adalah salah satunya. Mekanisme terjadinya SIADH diduga karena rangsangan sekresi
ADH secara berlebihan, atau memperkuat pengaruh ADH di ginjal. Jejas di jaras baroreseptor juga dapat
menimbulkan SIADH, karena baroreseptor arkus aorta terletak di daerah dada. Perubahan tekanan yang
ditemukan akan diteruskan melalui saraf sensorik (nervus IX dan X) dan berakhir di otak. Persarafan
tersebut juga menyampaikan isyarat yang bersifat hambatan. Apabila terdapat jejas di jaras tersebut, maka
akan Tabel 1. Penyebab utama SIADH2–4 Macam penyebab utama Gejala/macam obat Hasilan ADH
ektopik Karsinoma sel kecil paru (small cell lung carcinoma) Karsinoma usus duabelas jari (duodenum) dan
pankreas Karsinoma nasofaring Keganasan saluran kemih Mesotelioma Timoma Terimbas obat
Desmopresin Selective serotonin reuptake inhibitors Klorpromazin Quinolon Siklofosfamid Vinkristin
Cisplatin Gangguan
jaras baroreseptor Paru: pneumonia, infeksi jamur, tuberkulosis, abses SSP: tumor, infeksi, trauma,
perdarahan Penyebab lain AIDS Olah raga berat Psikosis akutSindrom Hormon Antidiuretik Berlebih -
Arleen, dkk 137 terjadi gangguan aliran isyarat hambatan, dan dapat mengimbas sekresi ADH yang
berlebihan. Keadaan ini dapat terjadi di kelainan paru seperti radang parenkim paru (pneumonia) terutama
yang disebabkan oleh Legionella dan Mycoplasma, tuberkulosis, atau abses.
N. Patogenesis SIADH
SIADH adalah keadaan yang diakibatkan oleh kadar ADH yang berlebihan. Kelebihan ADH akan
menyebabkan peningkatan reabsorpsi air dari tubulus ginjal, sehingga terjadi penahanan air dan
hyponatremia.
Pengaturan ADH dalam SIDH terdapat 4 jenis: Di jenis a, ADH disekresi dalam jumlah besar dan
berfluktuasi, tanpa menunjukkan hubungan terhadap osmolalitas plasma. Keadaan ini menandakan
kegagalan pengaturan osmosa secara menyeluruh. Jenis SIADH ini merupakan jenis yang paling umum, dan
biasanya menyebabkan hiponatremia berat. Di jenis b, kadar ADH plasma sedikit di atas batas normal. ADH
dipertahankan dalam kadar yang tetap, seiring peningkatan osmolalitas plasma menuju keadaan normal.
Lebih lanjut kadar ADH akan meningkat sesuai dengan osmolalitas plasma. Keadaan ini menunjukkan
gangguan mekanisme pengaturan osmosa, khususnya cacat sebagian (defek parsial) terhadap isyarat
hambatan. Pada jenis c, terjadi peningkatan kadar ADH bersamaan dengan peningkatan osmolalitas plasma.
Peningkatan ADH, sudah terjadi saat osmolalitas lebih rendah dari normal (pemasangan ke bawah kembali/
downward resetting terhadap pengatur osmosa). Jenis ini disebut sebagai reset osmostat. Jenis d tidak
termasuk ke dalam SIADH. Di jenis d, kadar ADH rendah atau tidak terukur, walaupun menimbulkan gejala
klinis yang serupa dengan SIADH. Keadaan ini menunjukkan bahwa pengaruh antidiuresis yang berlebihan
diakibatkan oleh kelainan lain, seperti perpindahan di penerima V2, yang dikenal sebagai gejala berkaitan
ginjal akibat antidiuresis tidak sesuai/nephrogenic syndrome of inappropriate antidiuresis (NSIAD).
O. Patofisiologi SIADH
Kadar ADH yang berlebih akan meningkatkan reabsorpsi air oleh tubulus kolingentes sehingga
meningkatkan keseluruhan volume air tubuh ekstrasel maupun intrasel sebesar 7-10%. Tetapi, peningkatan
tersebut bersifat subklinis, artinya tidak menunjukkan gejala yang jelas seperti hipertensi atau edema.
Setelah peningkatan volume tersebut, tubuh memiliki mekanisme untuk mengembalikan volume cairan
tubuh kembali dalam keadaan normal. Tubuh akan mengeksresikan natrium melalui urin dengan dua (2)
cara, yaitu natriuresis bertekanan (pressure natriuresic) dan pelepasan natriuretic peptides.
Pressure natriuresis terjadi saat volume plasma meningkat sehingga mengakibatkan kenaikan perfusi ginjal,
dan berakhir dengan meningktanya eksresi natrium. Namun, mekanisme ini hanya berperan kecil dalam
upaya mencapai homeostasis. Proses utama yang menjadi faktor pemicu natriuresis sindrom ini adalah
pelepasan natriuretic peptide, baik peptide natriuretic atrium (ANP) jantung maupun peptide natriuretic otak
(BNP). Keduanya akan dieksresikan ketika teradi regangan jantung melebihi normal, seperti meningkatnya
volume cairan tubuh. ANP akan dieksresi oleh sel di atrium jantung, sementara BNP akan diekresikan di
ventrikel. Proses inilah yang akan menyebabkan terhambatnya pelepasan renin yang mengakibatkan sekresi
aldosteron pada kelenjar adrenal dan ADH pada hipotalamus menurun serta menghambat kerja saraf
simpatik ginjal.
Untuk mempertahankan volume cairan intrasel dalam batas normal, tubuh akan mengeluarkan kalium dan
zat osmolit lain, seperti glutamin, glutamate, mioiniositol, aspartat, dan N-asetilaspartat dari intrasel.
Meskipun bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan volume cairan intrasel dan gradien osmotik,
proses tersebut mengakibatkan tubuh kehilangan natrium, kalium, dan zat osmolit sehingga volume baik di
kompartemen intrasel maupun ekstrasel cenderung meningkat. Untuk mengatasi peningkatan volume cairan
tersebut, terjadilah mekanisme pelepasan pelolosan vasopressin/vasopressin escape, yaitu penurunan
kemampuan pengikat penerima V2 (receptor binding capacity), penurunan pembentukkan Camp, dan
pembuatan pengaturan rendah (down regulation synthesis). Vasopressin escape meningkatkan pembuangan
air oleh ginjal, sehingga terjadilah penurunan osmolitas urin. Mekanisme inilah yang menyebabkan ginjal
kurang responsive
terhadap kelebihan ADH sehingga osmolitas urin pada pasien SIADH biasanya tidak melebihi 600
mOsm/kg.
P. Pemeriksaan SIADH
Gambaran utama di SIADH adalah hiponatremia (kadar natrium plasma <134 mmol/L atau 135 mEq/L).
Walaupun demikian, banyak keadaan atau kelainan lain yang menimbulkan hiponatremia. Untuk
membedakan SIADH dengan penyebab hiponatremia yang lain, patokan Bartter dan Schwartz2 harus
dipenuhi, yaitu terdapat hipo-osmolalitas (osmolalitas plasma <280 mOsm/kg, atau kepekatan natrium
plasma <135 mEq/ L), osmolalitas air kemih >100 mOsm/kg, euvolemia, kadar natrium air kemih >40
mEq/L (walaupun masukan/intake garam dan air normal), serta tidak didapatkan kelainan ginjal, adrenal,
kelenjar gondok (tiroid), jantung, atau hati. Untuk mempermudah diagnosis, maka diagram alir di atas dapat
menjadi panduan (gambar 8).2,8 Langkah pertama untuk menilai hiponatremia adalah menentukan
osmolalitas plasma. Hiponatremia disertai plasma yang hiperosmol (>280 mOsm/kg) dapat disebabkan oleh
hiperglikemia, hiperproteinemia, atau hiperlipidemia. Kadar protein atau lemak (lipid) yang tinggi di dalam
serum akan mengurangi komposisi air di dalam serum. Natrium hanya larut dalam air, maka penurunan
kadar air dalam serum akan menyebabkan penurunan kadar natrium yang terukur. Keadaan ini disebut
sebagai hiponatremia semu (pseudohiponatremia). Kadar natrium serum diperkirakan akan turun sebesar
0,002 mEq/L tiap peningkatan 1 mg/dL lipid, dan turun sebesar 0,25 mEq/L tiap peningkatan kadar protein
1 mg/dL di atas 8 mg/dL.12 Adanya zat yang tidak dapat melewati ruangan/ kompartemen ekstrasel juga
dapat menyebabkan hiponatremia (translocational hyponatremia). Zat seperti glukosa, manitol, dan sukrosa
akan menarik air intrasel, meningkatkan volume cairan ekstrasel, sehingga menyebabkan hiponatremia.
Ditemukan juga bahwa kenaikan kadar glukosa 100 mg/dL di atas normal akan menyebabkan penurunan
kadar natrium sebesar 2,4 mEq/L. Jika hiponatremia terjadi bersama dengan plasma hipoosmol (<280
mOsm/kg), langkah selanjutnya adalah menentukan osmolalitas air kemih dan status volume cairan tubuh.8
SIADH dapat diuraikan apabila osmolalitas air kemih >100 mOsm/kg disertai dengan status volume cairan
tubuh yang normal (euvolemia). Status volume cairan tubuh dinilai secara klinis.
Dalam keadaan hipervolemia, dapat dijumpai edema atau asites, sedangkan di hipovolemia didapatkan
hipotensi postural. Di SIADH tidak terjadi gangguan volume cairan tubuh, sehingga secara klinis tidak
didapatkan asites atau hipotensi postural.3,8 Langkah selanjutnya adalah menyingkirkan keadaan lain yang
serupa dengan gambaran SIADH, yaitu antara lain: fungsi ginjal yang berkekurangan (insufisiensi renal),
hipotiroid, atau kekurangan glukokortikoid. Diperlukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, serta pemeriksaan
penunjang lain untuk menyingkirkan kemungkinan tersebut. Apabila kelainan tersebut dapat disingkirkan,
dan kadar natrium air kemih >25 mEq/L, maka diagnosis SIADH dapat ditetapkan.8 Walaupun patokan dan
alur diagnosis telah tersedia, tetapi beberapa kelainan dengan gambaran klinik dan laboratorik yang hampir
serupa dengan SIADH, seperti cerebral salt wasting (CSW) dan kekurangan glukokortikoid, dapat
mempersulit penetapan diagnosis. Penting untuk dapat menetapkan diagnosis dengan tepat, karena setiap
kelainan memiliki penatalaksanaan tidak terjadi gangguan volume cairan tubuh, sehingga secara klinis tidak
didapatkan asites atau hipotensi postural.3,8 Langkah selanjutnya adalah menyingkirkan keadaan lain yang
serupa dengan gambaran SIADH, yaitu antara lain: fungsi ginjal yang berkekurangan (insufisiensi renal),
hipotiroid, atau kekurangan glukokortikoid. Diperlukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, serta pemeriksaan
penunjang lain untuk menyingkirkan kemungkinan tersebut. Apabila kelainan tersebut dapat disingkirkan,
dan kadar natrium air kemih >25 mEq/L, maka diagnosis SIADH dapat ditetapkan.8 Walaupun patokan dan
alur diagnosis telah tersedia, tetapi beberapa kelainan dengan gambaran klinik dan laboratorik yang hampir
serupa dengan SIADH, seperti cerebral salt wasting (CSW) dan kekurangan glukokortikoid, dapat
mempersulit penetapan diagnosis. Penting untuk dapat menetapkan diagnosis dengan tepat, karena setiap
kelainan memiliki penatalaksanaan yang berbeda. CSW adalah hiponatremia yang sering terjadi di pasien
dengan cedera SSP. Di CSW dijumpai natriuresis berat, yang lebih lanjut menyebabkan penurunan volume
sirkulasi dan hiponatremia. Status volume sirkulasi seringkali tidak mudah dinilai secara klinis, sehingga
CSW sulit dibedakan dengan SIADH. Diagnosis CSW hanya dapat ditetapkan apabila didapatkan beberapa
dari keadaan di bawah ini, yaitu penurunan tekanan vena pusat kurang dari 5 cmH2O, penurunan volume
plasma, peningkatan angka banding BUN/kreatinin, peningkatan hematokrit dan kadar plasma protein.3,8
Kekurangan glukokortikoid adalah kelainan yang
disebabkan oleh ACTH berkurang.2 ACTH merupakan hormon yang dihasilkan oleh hipofisis anterior.
Homon ini bekerja di kawasan glomerulosa kelenjar adrenal, tempat pembuatan hormon glukokortikoid
khususnya kortisol.1 Kortisol diperlukan tubuh dalam proses pembuangan air, sehingga kekurangan kortisol
akan berujung di penahanan air dan hiponatremia.2 Karena penahanan air dan hiponatremia juga terjadi di
SIADH, maka kadang sulit untuk membedakan kekurangan ACTH dengan SIADH. Untuk membantu
menetapkan diagnosis, dapat diperiksa serum kortisol. Pasien dengan kekurangan ACTH memiliki kadar
serum kortisol rendah.
Q. Pencegahan SIADH
Pencegahan SIADH dapat dilakukan dengan cara minum air secukupnya, jangan berlebihan dan jangan
kekurangan. Konsumsi setidaknya 8 gelas per hari. Mencukupi kebutuhan cairan tubuh penting untuk
kesehatan dan selalu perhatikan dengan baik jumlah cairan yang dikonsumsi per harinya. Terlalu banyak
mengonsumsi cairan bisa membuat kamu mengalami hiponatremia. Kondisi hiponatremia adalah gangguan
elektrolit ketika kadar natrium dalam darah lebih rendah dari batas normal. Natrium merupakan
elektrolit yang mengatur kadar air dalam darah dan dalam sel.
R. Pengobatan SIADH
Penatalaksanaan medik SIADH harus ditujukan untuk mengatasi keadaan patologis yang mendasarinya.
Keganasan SIADH, akan membaik dengan kemoterapi. Hiponatremia yang terjadi karena metastasis dalam
otak, dapat diatasi dengan pemberian kortikosteroid dan pengobatan radiasi. Di samping itu, penting untuk
menghentikan penggunaan obat yang dapat memicu SIADH terjadi.8 Pengobatan hiponatremia bergantung
tingkat keparahan gejala yang timbul. Pengobatan utama untuk hiponatremia ringan (kadar natrium serum
>125 mEq/L) adalah pembatasan cairan. Cairan NaCl 0,9% diberikan, dengan volume berkisar antara 800–
1200 ml per hari. Apabila cara ini tidak mampu memperbaiki hiponatremia, maka dapat diberikan infus
cairan hipertonis (NaCl 3% atau 5%) disertai pemberian diuretik. Cara ini akan memperbaiki hiponatremia
dalam waktu 3– 10 hari. Walaupun demikian, pelaksanaan pembatasan cairan tidak praktis dan relatif sulit
terutama untuk pasien anak yang sebagian besar asupan dietnya berupa cairan.8,13 Apabila pembatasan
cairan dan pemberian diuretik tidak berhasil, hiponatremia dapat diatasi dengan pemberian obat seperti:
demeklosiklin, litium, dan urea.
Demeklosiklin adalah derivat tetrasiklin. Walaupun bersifat meracuni ginjal (nefrotoksik), obat ini
digunakan sebagai pengobatan SIADH karena menyebabkan diabetes insipidus pada 60% pasien yang
menggunakannya. Diabetes insipidus juga dapat diimbas dengan pemberian litium. Litium bekerja dengan
mendownregulate AQP2 pada 30% pasien. Akan tetapi obat ini tidak boleh digunakan dalam jangka panjang
karena mengakibatkan nefritis interstisial dan gagal ginjal terminal. Obat lain yang dapat digunakan untuk
mengatasi SIADH kronis adalah urea. Di beberapa telitian ditemukan bahwa dengan pemberian urea lewat
rongga mulut adalah tepat guna dan aman, baik untuk anak maupun dewasa.8,13 Saat ini tersedia obat yang
bekerja selektif sebagai antagonis V2, yaitu golongan vaptan. Vaptan menghalangi reabsorpsi air di tubulus
ginjal tanpa mempengaruhi pembuangan zat terlarut, sehingga disebut sebagai akuaretik. Beberapa jenis
antagonis V2 adalah: tolvaptan, lixivaptan, mozavaptan, dan satavaptan. Vaptan sangat bermanfaat bagi
pasien dengan SIADH kronis yang tidak dapat diatasi dengan pembatasan cairan dan suplementasi garam.
S. Pengertian Hipotiroidisme
Hipotiroidisme artinya kekurangan hormon tiroid, yaitu hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar tiroid atau
kelenjar gondok. Hipotiroidisme (miksedema) adalah sindroma klinik yang terjadi akibat kadar T3 dan T4
dalam sirkulasi tidak adekuat. Laju metabolisme akan menurunkan dan mukopolisakarida tertimbun dalam
jaringan ikat dermis sehingga tampak gambaran wajah miksedema yang khas.
Menurut American Thyroid Association dan American Association of Clinical Endocrinologists,
hipertiroidisme didefinisikan sebagai kondisi berupapeningkatan kadar hormon tiroid yang disintesis dan
disekresikan oleh kelenjar tiroid melebihi normal (Bahn et al, 2011).
T. Etiologi Hipotrioidisme
Kegagalan tiroid dapat disebabkan oleh penyakit pada kelenjer tiroid (hipotiroidisme primer), kelenjer
hipofisis (hipotiroidisme sekunder), atau hipotalamus (hipotiroidisme tersier). Hipotiroidisme primer sering
terjadi dan di Eropa/Amerika biasanya merupakan akibat dari penyakit autoimun terapi radio-iodin untuk
hipotiroidisme sebelumnya (50% menjadi hipotiroid dalam 10 tahun). Diseluruh dunia penyebab paling
sering adalah difisiendi iodin. Walaupun hipotiroid dapat bersifat kongiental, penyabab-penyebab penting
pada orang dewasa adalah (Medicine at a Glance, 2003):
1. Autoimun: ada 2 bentuk tiroiditis autoimun yang mudah dapat dibedakan melalui adanya stauma
(atrofik) pada keduanya dapat ditemukan auto antibodi. Anggota keluarga yang mungkin addison, anemia
pernisiosa, atau diabetes. Terkadang tiroiditis hashimoto menimbulkan nyeri pada fase akut dan lebih jarang
lagi, menyebabkan hipotiroidisme sementara.
2. pascaterapi tirotoksikosis: radio-iodin, operasi, obat-obatan antitiroid.
3. Difisiensi iodin: strauma endemik (misalnya leher Derby-shire) adalah penyebab paling
hipotiroidisme paling umum diseluruh dunia.
4. Kelebihan iodin: kelebihan yang kronis (misalnya ekspektoran atau amiodaron) dapat menyebabkan
hipotiroidisme
5) Stress
6) Stress juga berkolerasi dengan antibody terhadap antibody TSH-reseptor Riwayat penyakit keluarga
yang berhubungan dengan kelainan autoimun
3) Hipotiroidisme sepintas adalah keadaan hipotiroidisme yang cepat menghilang (mis. Pasca
pengobatan RAI, pascatiroidectomi subtotalis). Pada tahun pertama pasca morbus graves, 40% kasus
mengalami hipotiroidisme ringan dengan TSH naik sedikit. Sesudah setahun banyak kasus pulih kembali,
sehingga jangan tergesa memberi subtitusi. Pada neonatus di daerah dengan defisiensi yodium keadaan ini
banyak ditemukan, dan mereka beresiko mengalami gangguan perkembangan syaraf.
X. Patofisiologi Hipotiroidisme
Hipotiroid dapat disebabkan oleh gangguan sintesis hormon tiroid atau gangguan pada respon jaringan
terhadap hormon tiroid. Sintesis hormon tiroid diatur sebagai berikut :
1. Hipotalamus membuat Thyrotropin Releasing Hormone (TRH) yang merangsang hipofisis anterior.
2. Hipofisis anterior mensintesis thyrotropin (Thyroid Stimulating Hormone = TSH) yang merangsang
kelenjar tiroid.
3. Kelenjar tiroid mensintesis hormon tiroid (Triiodothyronin = T3 danTetraiodothyronin = T4 =
Thyroxin) yang merangsang metabolisme jaringan yang meliputi: konsumsi oksigen, produksi panas tubuh,
fungsi syaraf, metabolisme protrein, karbohidrat, lemak, dan vitamin-vitamin, serta kerja daripada hormon-
hormon lain.
Hipotiroid dapat terjadi akibat malfungsi kelenjar tiroid, hipofisis, atau hipotalamus. Apabila disebabkan
oleh malfungsi kelenjar tiroid, maka kadar HT yang rendah akan disertai oleh peningkatan kadar TSH dan
TRH karena tidak adanya umpan balik negatif oleh HT pada hipofisis anterior dan hipotalamus. Apabila
hipotiroid terjadi akibat malfungsi hipofisis, maka kadar HT yang rendah disebabkan oleh rendahnya kadar
TSH. TRH dari hipotalamus tinggi karena tidak adanya umpan balik negatif baik dari TSH maupun HT.
Hipotiroid yang disebabkan oleh malfungsi hipotalamus akan menyebabkan rendahnya kadar HT, TSH, dan
TRH.
Y. Pemeriksaan Hipotiroidisme
Kelenjar tiroid yang kurang aktif jika pasien merasakan gejala kelelahan, kulit kering, sembelit, dan berat
badan yang bertambah, atau pernah mengalami masalah tiroid atau penyakit gondok sebelumnya.
Diagnosis hipotiroidisme didasarkan pada gejala yang dirasakan pasien dan hasil pemeriksaan penunjang
berupa tes darah yang mengukur kadar TSH dan kadar hormon tiroksin. Kadar tiroksin yang rendah dan
kadar TSH yang tinggi menunjukkan kelenjar tiroid yang kurang aktif karena kelenjar hipofisis
memproduksi terlalu banyak TSH dalam upaya merangsang kelenjar tiroid untuk memproduksi lebih banyak
hormon tiroid. Tes screening TSH merupakan tes screening terbaik untuk memeriksa kadar TSH terlebih
dahulu lalu dilanjutkan dengan pemeriksaan hormon tiroid jika diperlukan. Tes TSH juga berperan penting
dalam mengelola hipotiroidisme. Pemeriksaan tersebut membantu para dokter dalam menentukan dosis obat
yang tepat. Selain itu, tes TSH juga digunakan untuk membantu mendiagnosis kondisi yang disebut
hipotiroidisme subklinis yang biasanya tidak menimbulkan gejala.
Z. Pencegahan Hipotiroidisme
Pada masa kehamilan hindari penggunaan obat-obatah antitiroid secara berlebihan, yodium profilaksis pada
daerah-daerah endemik, diagnosis dini melalui pemeriksaan penyaringan pada neonatus. Sedangkan pada
hipotiroidisme dewasa dapat dilakukan dengan pemeriksaan ulang tahunan.
terus diminum sepanjang hidup penderita. Dalam keadaan darurat, hormon tiroid tidak bisa diberikan secara
intraena.
Pengobatan Secara Alami
a. Selenium
Dalam National Institutes of Health (NIH), selenium adalah elemen yang berperan dalam metabolisme
hormon tiroid. Selenium sendiri dapat ditemukan dalam ikan tuna, kacang brazil dan daging sapi yang diberi
makan rumput.
b. Diet gula
Gula dan makanan olahan bisa memicu peningkatan peradangan di tubuh. Peradangan dapat memperlambat
konversi T4 menjadi triiodothyronine atau T3 dan hormon tiroid lain sehingga dengan peradangan ini dapat
memperburuk Hipotiroidisme.
c. Vitamin B
Mengonsumsi suplemen vitamin B12 dapat membantu memperbaiki beberapa kerusakan akibat
hipotiroidisme. Vitamin B-12 dapat membantu mengatasi kelelahan akibat penyakit tiroid. Penyakit ini juga
mempengaruhi kadar vitamin B1 dalam tubuh.
Vitamin B dapat ditemukan dalam makanan seperti asparagus, kacang polong atau buncis, minyak wijen,
tuna, keju, susu dan telur.
d. Probiotik
National Institutes of Health (NIH) juga menemukan adanya hubungan penyakit hipotiroidisme dan usus
kecil. Dimana ditemukan bahwa terdapat perubahan motilitas gastrointestinal (GI) yang terjadi dibarengi
dengan hipotiroidisme yang dapat menyebabkan pertumbuhan berlebih bakteri usus kecil (SIBO) dan pada
akhirnya menyebabkan gejala GI kronis, seperti diare.
Dengan itu mengkonsumsi beberapa makanan seperti susu, yogurt, kefir ataupun suplemen probiotik adalah
sebuah solusi karena fungsinya yang membantu menjagausus.
probiotik untuk pencegahan atau pengobatan kondisi apapun. Dengan berkonsultasi dengan dokter Anda
untuk mengetahui apakah suplemen ini dapat membantu Anda.
e. Diet gluten
Menerapkan diet gluten adalah sebuah diet yang dijalani bagi banyak orang yang menderita hipotiroidisme.
gluten sendiri dapat ditemukan dalam tepung dan gandum, sehingga orang yang menderita hipotiroidisme
diharapkan untuk tidak mengkonsumsi makanan yang mengandung gluten, biasanya dalam produk makanan
yang tidak mengandung gluten bertuliskan gluten free pada kemasannya.
2) Jenis Kelamin : Prevalensi hipertiroid di Inggris menyerang 2% wanita (10 kali lipat dibanding pria),
di Amerika ditemukan pada 1,9% wanita dan 0,9% laki- laki.11–13Data dari beberapa rumah sakit di
Indonesia menunjukkan perbandingan yang serupa dimana wanita lebih banyak yang terserang hipertiroid
dengan rentang usia 21-30 tahun (41,73%).
3) Genetik : Hipertiroid adalah penyakit yang memiliki banyak faktor dengan faktor ekologi dan faktor
genetik. Faktor genetik menyumbang 79% kejadian hipertiroid, sisanya (21%) disumbangkan oleh faktor
ekologis.
4) Iodium : Asupan iodium yang berlebihan dalam tubuh mengebabkan fungsi otonom dari tiroid
mensintesis dan melepaskan hormon tiroid dalam jumlah yang berlebihan. Hal ini dapat terjadi dikarenakan
jumlah iodium yang berlebihan dapat meblokir fungsi tiroid dalam memproduksi hormon. Peristiwa ini
ditandai dengan peningkatan kadar hormon tiroid dalam darah terutama kadar FT4. Selain itu kondisi
kelebihan iodium juga dapat berakibat buruk terhadap kesehatan yaitu terjadinya tirotoksikosis dan
meningkatkan risiko Iodine Induced Hyperthyroidsm(IIH).
5) Tingkat stress
6) Merokok
7) Penggunaan kontrasepsi hormonal
EE. Tanda Gejala Hipertiroidisme
Gejala yang paling sering muncul berupa palpitasi , lemas , tremor, anxiety, gangguan tidur, intoleransi
panas, berkeringat, dan polydipsia. Pada pemeriksaan fisik biasanya dapat di temukan takikardi, tremor pada
ekstremitas dan penurunan berat badan.Pada pasien hipertiroid 67% mengalami gangguan neuromuscular
dan 62% memiliki gejala klinis berupa kelemahan setidaknya 1 organ yang berhubungan dengan konsentrasi
serum fT4. Selain itu hipertiroid memiliki manifestasi klinis yang terdiri dari peningkatan frekuensi denyut
jantung, gelisah, lekas marah, iritabilitas, tidak tahan panas, keringat berlebihan, penurunan berat badan,
peningkatan rasa lapar, gondok, exopthalmus, dan lain-lain. Hipertiroid berdampak pada penurunan kualitas
sumber daya manusia dan mengganggu penampilan secara kosmetika (pembesaran kelenjar gondok dan
exophtalmus). Pada Wanita Usia Subur yang hipertiroid akan mengalami aktivitas kerja rendah sebesar
empat kali lebih tinggi
Hipertiroid neonatal
Manifestasi klinis
- Riwayat kehamilan: penyakit autoimun pada ibu dan obat antitiroid yang diminum.
- Sebagian besar bayi lahir prematur, pertumbuhan intrauterin terhambat.
- Mikrosefali, sutura sempit, kraniosinostosis.
- Goiter, eksoftalmus, flushing, peningkatan suhu tubuh.
- Iritabel, sangat gelisah, hiperaktif, takipnea, hiper-refleksi.
- Takikardi (denyut jantung >160x/menit), aritmia, pembesaran ventrikel jantung, gagal jantung, dan
hipertensi.
- Pada keadaan yang berat dapat terjadi penurunan berat badan yang progresi
Krisis tiroid
Manifestasi klinis
- Riwayat tirotoksikosis sebelumnya
- Gejala umum: hiperpireksia, banyak keringat, penurunan berat, distres napas, mudah lelah, lemah.
- Gejala saluran cerna: mual, muntah,diare, nyeri perut, ikterus.
- Gejala kardiovaskuler: aritmia, takikardi, hipertensi bisa berakhir dengan hipotensi, syok, dan gagal
jantung.
- Gejala neurologis: agitasi, hiper-refleksi, tremor, kejang sampai koma
- Tanda tirotoksikosis: exophthalmus dan goiter
- Faktor pencetus: sepsis, pembedahan, anestesi, terapi iodium radioaktif, obat (pseudoefedrin,
salisilat, kemoterapi), pemberian hormon tiroid berlebihan, penghentian terapi antitiroid, ketoasidosis
diabetik, trauma langsung terhadap kelenjar tiroid
rasional ialah dengan membuang nodul otonom,dengan cara operasi atau radioaktif. Untuk hipertiroidisme
karena naiknya HCG pada mola atau choriocarsinoma tindakan operasi adalah yang terbaik.
Tingkat Tanda-tanda
8. USG, untuk mengetahui ukuran dan komposisi dari kelenjar tiroid apakah massa atau nodule.
9. ECG untuk menilai kerja jantung, mengetahui adanya takhikardia, atrial fibrilasi dan perubahan
gelombang P dan T.
• Kelumpuhan otot-otot
• Aritmia jantung
• Gangguan pernapasan
• Epilepsi
PP.Patogenesis Hipoparatiroidisme
Jarang sekali terjadi hipoparatiroidisme primer, dan jika ada biasanya terdapat pada anak- anak dibawah
umur 16 tahun. Ada tiga kategori dari hipoparatiroidisme:
1) Defisiensi sekresi hormon paratiroid, ada dua penyebab utama: a) Post operasi pengangkatan kelenjar
partiroid dan total tiroidektomi. b) Idiopatik, penyakit ini jarang dan dapat kongenital atau didapat
(acquired). 2) Hipomagnesemia. 3) Sekresi hormon paratiroid yang tidak aktif. 4) Resistensi terhadap
hormon paratiroid (pseudohipoparatiroidisme).
Pada hipoparatiroidisme terdapat gangguan dari metabolisme kalsium dan fosfat, yakni kalsium serum
menurun (bisa sampai 5 mgr%) dan fosfat serum meninggi (bisa sampai 9,5-12,5 mgr%). Pada yang post
operasi disebabkan tidak adekuat produksi hormon
paratiroid karena pengangkatan kelenjar paratiroid pada saat operasi. Operasi yang pertama adalah untuk
mengatasi keadaan hiperparatiroid dengan mengangkat kelenjar paratiroid. Tujuannya adalah untuk
mengatasi sekresi hormon paratiroid yang berlebihan, tetapi biasanya terlalu banyak jaringan yang diangkat.
Operasi kedua berhubungan dengan operasi total tiroidektomi. Hal ini disebabkan karena letak anatomi
kelenjar tiroid dan paratiroid yang dekat (diperdarahi oleh pembuluh darah yang sama) sehingga kelenjar
paratiroid dapat terkena sayatan atau terangkat. Hal ini sangat jarang dan biasanya kurang dari 1 % pada
operasi tiroid. Pada banyak pasien tidak adekuatnya produksi sekresi hormon paratiroid bersifat sementara
sesudah operasi kelenjar tiroid atau kelenjar paratiroid, jadi diagnosis tidak dapat dibuat segera sesudah
operasi. Pada pseudohipoparatiroidisme timbul gejala dan tanda hipoparatiroidisme tetapi kadar PTH dalam
darah normal atau meningkat. Karena jaringan tidak berespons terhadap hormon, maka penyakit ini adalah
penyakit reseptor. Terdapat dua bentuk: (1) pada bentuk yang lebih sering, terjadi pengurangan congenital
aktivitas Gs sebesar 50 %, dan PTH tidak dapat meningkatkan secara normal konsentrasi AMP siklik, (2)
pada bentuk yang lebih jarang, respons AMP siklik normal tetapi efek fosfaturik hormon terganggu.
hipoparatoroid terjadi saat kelenjar paratiroid tidak memproduksi hormon paratiroid dalam jumlah yang
memadai bagi tubuh. Keempat kelenjar ini berfungsi
mengendalikan keseimbangan kalsium dalam tubuh. Kondisi atau faktor yang diduga dapat memicu
hipoparatiroid.Hipoparatoroid dapat dikatakan permanen jika pacca tindakan pembedahan hipokalsemia.
kegagalan kelenjar paratiroid dalam menghasilkan hormon paratiroid (hipoparatiroidisme).
Hipoparatiroidisme tersebut kemungkinan besar diakibatkan oleh tindakan tiroidektomi total. Faktor
penyebab hipokalsemia yang lain, khususnya dengan konsentrasi PTH intak yang rendah, seperti
hipomagnesemia dan hipoparatiroidism herediter (sindroma Di George/velocardiofacial, calcium sensor
mutation, poyglandular autoimmune deficency, pseudo hypoparathyroidism, neonatal hypocalcemia)
disingkirkan berdasarkan data data anamnesis, khususnya riwayat saat bayi dan masa kanak kanak serta
tidak didapatkannya tanda tanda kelainan pertumbuhan. Hipoparatiroidism herediter pada umumnya mulai
nampak pada usia dekade awal, dapat berdiri sendiri (hipoparatiroidism idiopatik) atau disertai kelainan
organ lain, seperti timus, kelenjar ovarium, tiroid, adrenal. Hipertiroidism pada pasien tampaknya
disebabkan oleh pemberian hormon tiroksin eksogen, di mana tidak kami bahas secara khusus.
a. Laboratorium
• Kalsium serum rendah.
• Fosfat anorganik dalam serum tinggi.
• Fosfatase alkali normal atau rendah.
b. Diagnostik
• Foto Rontgen
• Sering terdapat kalsifikasi yang bilateral pada ganglion basalis di tengkorak.
• Kadang-kadang terdapat pula kalsifikasi di serebellum dan pleksus koroid.
• Density dari tulang bisa bertambah.
• EKG: biasanya QT-interval lebih Panjang
kalsium intravena, disuntikkan pula parathormon (100-200 U) dan vitamin D 100.000 U per oral.
• Hipoparatiroid menahun
Tujuan pengobatan yang dilakukan untuk hipoparatiroid menahun ialah untuk meninggikan kadar kalsium
dan menurunkan fosfat dengan cara diet dan medikamentosa. Diet harus banyak mengandung kalsium dan
sedikit fosfor. Medikamentosa terdiri atas pemberian alumunium hidroksida dengan maksud untuk
menghambat absorbsi fosfor di usus. Di samping itu diberikan pula ergokalsiferol (vitamin D2), dan yang
lebih baik bila ditambahkan dihidrotakisterol. Selama pengobatan hipoparatiroid, harus waspada terhadap
kemungkinan terjadi hiperkalsemia. Bila ini terjadi, maka kortisol diperlukan untuk menurunkan kadar
kalsium serum.
UU. Pengertian Hiperparatiroidisme
Hiperparatiroidisme adalah akibat dari kelebihan produksi hormon paratiroid oleh kelenjar paratiroid dan
ditandai dengan klasifikasi tulang dan pembentukan batu ginjal yang mengandung kalsium.
Hiperparatiroidisme terbagi menjadi dua, yaitu primer dan sekunder. Hiperparatiroidisme primer lebih
sering terjadi pada wanita dibanding pria terutama pada pasien antara usia 60-70 tahun. Hiperparatiroidisme
sekunder terjadi pada pasien yang mengalami gagal ginjal kronis dan rikets renalis.
X. Etiologi Hiperparatiroidisme
Hipertiroidisme dapat terjadi akibat disfungsi kelenjar tiroid, hipofisis, atau hipotalamus. Peningkatan TSH
akibat malfungsi kelenjar tiroid akan disertai penurunan TSH dan TRF karena umpan balik negatif HT
terhadap pelepasan keduanya. Hipertiroidisme akibat malfungsi hipofisis memberikan gambamn kadar HT
dan TSH yang finggi. TRF akan Tendah karena uinpan balik negatif dari HT dan TSH. Hipertiroidisme
akibat malfungsi hipotalamus akan memperlihatkan HT yang finggi disertai TSH dan TRH yang berlebihan.
Menurut (Tarwoto,dkk 2007 dalam Modul Keperawatan Medical Bedah 2019) penyebab hipertiroid
diantaranya adenoma hipofisis, penyakit graves, modul tiroid, tiroiditis, konsumsi banyak yodium dan
pengobatan hipotiroid.
1) Adenoma hipofisis Penyakit ini merupakan tumor jinak kelenjar hipofisis dan jarang terjadi.
2) Penyakit graves Penyakit graves atau toksi goiter diffuse merupakan penyakit yang disebabkan
karena autoimun, yaitu dengan terbentuknya antibody yang disebut thyroid-stimulatin immunoglobulin
(TSI) yang melekati sel-sel tiroid. TSI merinu tindakan TSH dan merangasang tiroid untuk membuat
hormon tiroid terlalu banyak. Penyakit ini dicirikan adanya hipertiroidisme, pembesaran kelenjar tiroid atau
(goiter) dan eksoftalmus (mata yang melotot).
3) Tiroditis Tiroditis merupakan inflamasi kelenjar tiroid yang biasanya disebabkan oleh bakteri seperti
streptococcus pyogenes, staphycoccus aureus dan pnemucoccus pneumonia. Reaksi peradangan ini
menimbulkan pembesaran pada kelenjar tiroid, kerusakan sel dan peningkatan jumlah hormon tiroid.
Tiroditis dikelompokan menjadi tiroiditis subakut, tiroiditis posetpartum, dan tiroiditis tersembunyi. Pada
tiroiditis subakut terjadi pembesaran kelenjar tiroid dan biasanya hilang dengan sendirinya setelah beberapa
bulan. Tiroiditis pesetpartum terjadi sekitar 8% wanita setelah beberapa bulan melahirkan. Penyebabnya
diyakini karena autoimun. Seperti halnya dengan tiroiditis subakut, tiroiditis wanita dengan posetpartum
sering mengalami hipotiroidisme sebelum kelenjar tiroid benar-benar sembuh. Tiroiditis tersembunyi juga
disebabkan juga karna autoimun dan pasien tidak mengeluh nyeri, tetapi mungkin juga terjadi pembesaran
kelenjar. Tiroiditis tersembunyi juga dapat mengakibatkan tiroiditis permanen.
4) Konsumsi yodium yang berlebihan, yang mengakibatkan peningkatan sistesis hormon tiroid.
5) Terapi hipertiroid, pemberian obat obatan hipotiroid untuk menstimulasi sekresi hormon tiroid.
Penggunaan yang tidak tepat menimbulkan kelebihan jumlah hormon tiroid.
kelenjar, dengan kelenjar lainnya tetap normal. Pada hiperplasia paratiroid, keempat kelenja membesar.
Karena diagnosa adenoma atau hiperplasia tidak dapat ditegakan preoperatif, jadi penting bagi ahli bedah
untuk meneliti keempat kelenjar tersebut. Jika teridentifikasi salah satu kelenjar tersebut mengalami
pembesaran adenomatosa, biasanya kelenjar tersebut diangkat dan laninnya dibiarkan utuh. Jika ternyata
keempat kelenjar tersebut mengalami pembesaran ahli bedah akan mengangkat ketiga kelelanjar dan
meninggalkan satu kelenjar saja yang seharusnya mencukupi untuk mempertahankan homeostasis kalsium-
fosfat.
2. Hiperparatiroidisme Sekunder
Hiperparatiroidisme sekunder terjadi karena penumpukan fosfat dalam tubuh akibat terhambatnya
pengeluaran fosfat melalui ginjal,serta penurunan kadar kalsitriol akibat berkurangnya massa ginjal pada
gagal ginjal kronik. Peningkatan kadar fosfat dalam darah, yang sebagian besar dalam bentuk fosfat
inorganik, mengakibatkan tiga hal yaitu:
a. hipokalsemia sebagai akibat dari gangguan fisikokimiawi
b. secara langsung merangsang kelenjar paratiroid untuk mensekresikan hormonparatiroid (Parathyroid
hormone/PTH)
c. meningkatkan pelepasan fibroblast growth factor23 (FGF 23) oleh osteosit dan osteoblast tulang
skelet.
Selanjutnya FGF 23 ini menstimulus kelenjar paratiroid untuk mensekresikan PTH. Peningkatan kadar FGF
23 juga akan menghambat Na-Pi co-transport di ginjal dan mengakibatkan fosfaturia, menghambat 1-α vit
D3 hidroksilase yang akan mengakibatkan penghambatan resorbsi fosfat inorganik (Pi) dan kalsium di
saluran cerna. Sementara itu, kondisi hipokalsemia mengakibatkan peningkatan aktifitas calcium sensing
receptor (CaSR) pada kelenjar paratiroid, yang selanjutnya mengakibatkan sintesis PTH melalui transkripsi
gen pre/pro serta meningkatkan proliferasi sel kelenjar paratiroid yang pada akhirnya akan memicu
peningkatan sekresi PTH. Disisi lain, hipokalsitriolemia akan menstimulus reseptor vitamin D (vitamin D
receptor,VDR) yang selanjutnya akan menstimulus kelenjar paratiroid mensekresikan PTH. Hasil akhir dari
semua proses di atas adalah peningkatan
sekresi PTH yang dikenal dengan “hiperparatiroidisme sekunder atau secondary hyperparathyroidism”.
Konsumsi cairan tubuh agar tetap terhidrasi dapat mencegah terjadinya hiperparatiroidisme. Kecukupan
cairan tubuh dapat membuat tubuh menghasilkan urin dan menghindari penyakit batu ginal.
3) Olahraga Teratur
Menghindari Obat Penambah Kalsium
Kadar kalsium yang berlebih dapat menyebabkan gangguan yang disebabkan oleh tumor. Alangkah baiknya
jika melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan dokter sebelum mengkonsumsi obat penambah kalsium
tersebut.
Akromegali berasal dari istilah Yunani yaitu akron (ekstremitas) dan megale (besar), yang didasarkan atas
salah satu temuan klinis akromegali, yaitu pembesaran tangan dan kaki. Sebagian besar kasus akromegali
disebabkan oleh tumor hipofisis. Gejala klinis yang dialami pada pasien akromegali disebabkan oleh massa
tumor dan hipersekresi hormone pertumbuhan yang terjadi setelah lempeng pertumbuhan tulang menutup.
atau jinak. Sekitar 95 persen pengidap akromegali disebabkan oleh tumor hipofisis jinak dan sekitar 5 persen
lainnya disebabkan oleh tumor non-hipofisis.
1. Tumor Hipofisis (Pituitari)
Tumor ini ada yang makro-adenoma, ada juga yang mikro-adenoma. Kalau ukuran tumor kurang dari 1 cm
maka disebut mikro-adenoma, namun jika lebih dari 1 cm maka disebut makro-adenoma. Makro-adenoma
inilah yang biasanya mensekresi hormone pertumbuhan terllau banyak dan menyebabkan akromegali.
2. Tumor Non-Hipofisis (Pituitari)
Ini umumnya terjadi ketika seseorang memiliki tumor di bagian tubuh selain kelenjar hipofisis. Umumnya,
tumor ini terjadi pada bagian otak, pankreas, atau paru-paru, sehingga menyebabkan hormon pertumbuhan
terlalu banyak diproduksi. Tumor tersebut akan menghasilkan hormon pelepas hormon pertumbuhan
(GHRH), hormon yang berfungsi untuk memberi instruksi pada kelenjar hipofisis untuk membuat lebih
banyak hormon pertumbuhan
mekanisme: peningkatan GH dan IGF-I memicu pertumbuhan tulang rawan artikular dan ligamen
periarticular, kemudian menyebabkan perubahan mekanis. Artralgia merupakan salah satu keluhan yang
paling umum pada pasien akromegali. Artropati pada sendi besar merupakan gambaran dari penyakit, terjadi
pada sekitar 70% pasien, yang merupakan hasil dari penebalan jaringan fibrosa tulang rawan dan
periarticular yang menyebabkan pembengkakan sendi, nyeri, dan penurunan gerak diikuti oleh penyempitan
ruang sendi, osteopitosis, dan gambaran osteoarthritis dengan penyakit kronis . Sekitar 50% dari pasien
memiliki artropati aksial (pelebaran ruang diskus, pembesaran tulang belakang, dan pembentukan osteofit)
terutama mempengaruhi daerah lumbar. Pengaruh pada daerah lumbal dapat menyebabkan berbagai
keterbatas gerakan, ketidakstabilan sendi, dan deformitas sendi.
- B3 (Brain) : Pada tumor hipofisis yang mengakibatkan akromegali biasanya terjadi nyeri kepala
bitemporal, gangguan penglihatan disertai hemianopsia bitemporal akibat penyebaran supraselar tumor dan
penekanan kiasma optikum
- B4 (Bladder) : Penurunan libido, impotensi, oligomenorea, infertilitas, nyeri senggama pada wanita,
batu ginjal.
- B5 (Bowel) : tidak ditemukan masalah keperawatan
- B6 (Bone) : Pembesaran pada kaki dan tangan perubahan bentuk raut wajah, sinus frontalis dan sinus
paranasalis membesar.
KKK. Pemeriksaan Penunjang Akromegali
- Pengukuran GH dan IGF-I. Setelah berpuasa dalam semalam, dokter akan mengambil sampel darah
untuk mengukur kadar GH dan IGF-I. Peningkatan kadar hormon-hormon ini menunjukkan akromegali.
- Growth hormone suppression test. Ini adalah metode definitif untuk memverifikasi akromegali.
Dalam tes ini, kadar GH dalam darah diukur sebelum dan sesudah minum gula (glukosa). Biasanya,
konsumsi glukosa menurunkan tingkat GH. Jika memiliki acromegaly, level GH akan cenderung tetap
tinggi.
- Imaging. Dokter mungkin menyarankan agar menjalani prosedur pencitraan, seperti magnetic
resonance imaging (MRI), untuk membantu menentukan lokasi dan ukuran tumor kelenjar pituitari. Jika ahli
radiologi, yang biasanya melakukan prosedur, tidak melihat tumor kelenjar pituitari, mereka mungkin
mencari tumor non-hipotermia yang mungkin bertanggung jawab untuk tingkat GH yang tinggi.
- Pemeriksaan Laboratorium : peningkatan prolaktin (PRL) dan GH, serta penurunan testosteron,
sedangkan kadar thyroid-stimulating hormon (TSH), kortisol dan follicle stimulating hormon (FSH) dan
luteinizing hormone (LH) normal.
- Pemeriksaan Radiologi : Magnetic Resonance Imaging (MRI) Kepala
Radioterapi umumnya tidak digunakan sebagai terapi lini pertama pada kasus akromegali karena lamanya
rentang waktu tercapainya terapi efektif sejak pertama kali dimulai.
- libido menurun
- kelainan menstruasi (Suastika, 2016)
Pengaruh hiperglukokortikoid terhadap sel-sel lemak adalah meningkatkan enzim lipolisis sehingga terjadi
hiperlipidemia dan hiperkolesterolemia. Pada sindrom Cushing ini terjadi redistribusi lemak yang khas.
Gejala yang bisa dijumpai adalah obesitas dengan redistribusi lemak sentripetal. Lemak terkumpul di dalam
dinding abdomen, punggung bagian atas yang membentuk buffalo hump, dan wajah sehingga tampak bulat
seperti bulan dengan dagu ganda.
Pada keadaan hiperglukokortikoid bisa timbul hipertensi, namun penyebabnya belum diketahui dengan jelas.
Hipertensi dapat disebabkan oleh peningkatan sekresi angiotensinogen akibat kerja langsung glukokortikoid
pada arteriol atau akibat kerja glukokortikoid yang mirip mineralokortikoid sehingga menyebabkan
peningkatan retensi air
dan natrium, serta ekskresi kalium. Retensi air ini juga akan menyebabkan wajah yang bulat menjadi tampak
pletorik.
Keadaan hiperglukokortikoid juga dapat menimbulkan gangguan emosi, insomnia, dan euforia. Pada
sindrom Cushing, hipersekresi glukokortikoid sering disertai oleh peningkatan sekresi androgen adrenal
sehingga bisa ditemukan gejala dan tanda klinis hipersekresi androgen seperti hirsutisme, pubertas prekoks,
dan timbulnya jerawat.