Anda di halaman 1dari 25

TUGAS

“Hipertensi Dan CKD (Chronic Kidney Disease)”

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)


DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER

Clinical Instructure :
apt. Heryenni, S. Farm

Disusun Oleh :
Edward Andre M.S Pardede (2043700413)
Yuliana (2043700311)
Bilia Ayu Septiani (2043700326)
Riska Ramadhani (2043700433)
Gina Puspita Pertiwi (2043700455)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 JAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN
Hipertensi dikenal secara luas sebagai penyakit kardiovaskular.
Diperkirakan telah menyebabkan 4.5% dari beban penyakit secara global, dan
prevalensinya hampir sama besar di negara berkembang maupun di negara maju.
Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama gangguan jantung. Selain
mengakibatkan gagal jantung, hipertensi dapat berakibat terjadinya gagal ginjal
maupun penyakit serebrovaskular. Penyakit ini bertanggung jawab terhadap
tingginya biaya pengobatan dikarenakan alasan tingginya angka kunjungan ke
dokter, perawatan di rumah sakit dan / atau penggunaan obat jangka panjang.
Pada kebanyakan kasus, hipertensi terdeteksi saat pemeriksaan fisik
karena alasan penyakit tertentu, sehingga sering disebut sebagai “silent killer”.
Tanpa disadari penderita mengalami komplikasi pada organ-organ vital seperti
jantung, otak ataupun ginjal. Gejala-gejala akibat hipertensi, seperti pusing,
gangguan penglihatan, dan sakit kepala, seringkali terjadi pada saat hipertensi
sudah lanjut disaat tekanan darah sudah mencapai angka tertentu yang bermakna.
Penyakit ginjal kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan
hilangnya fungsi ginjal untuk mempertahankan metabolisme serta keseimbangan
cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang progresif atau penurunan
fungsi ginjal secara bertahap dengan manifestasi penumpukan sisa metabolik
(toksik uremik) di dalam darah (Mutaqin, 2014).
Penyakit Ginjal Kronis (Chronic Kidney Disease) penyakit dimana
terdapat penurunan fungsi ginjal yang selama periode bulanan hingga tahunan
yang ditandai dengan penurunan glomerulus filtration rate (GFR) secara perlahan
dalam periode yang lama. Tidak terdapat gejala awal pada penyakit ginjal kronis,
namun seiring waktu saat penyakit ginjal kronis memberat, akan timbul gejala-
gejala seperti: bengkak pada kaki, kelelahan, mual dan muntah, kehilangan nafsu
makan, dan kebingungan.
Fungsi ginjal menandakan kondisi ginjal dan fungsinya dalam fisiologi
ginjal. Glomerular Filtration Rate (GFR) menandakan jumlah cairan yang di
filtrasi oleh ginjal. Creatinine Cleareance Rate (CrCl) menandakan jumlah
kreatinin darah yang disaring oleh ginjal. CrCl merupakan parameter yang
berguna untuk mengetahui GFR dari ginjal. Penyebab dari penyakit ginjal kronis
dapat berupa diabetes melitus, tekanan darah tinggi (Hipertensi),
glomerulonephritis, penyakit ginjal polikistik (Polycystic Kidney Disease). Factor
resiko dari penyakit ginjal kronis dapat berupa riwayat penyakit keluarga pasien.
Diagnosis dari penyakit ginjal kronis secara umum berupa tes darah yang
berfungsi untuk mengetahui Glomerulus Filtration Rate (GFR), dan tes urin untuk
mengetahui apakah terdapat albuminuria. Pemeriksaan lebih lanjut dapat berupa
ultrasound dan biopsy ginjal untuk mengetahui penyebab dari penyakit ginjal
kronis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hipertensi
A. Pengertian Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah di dalam arteri (pembuluh
darah nadi) diatas angka normal (<120/<80) (Darma, 2016).
B. Etiologi Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang
beragam. Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologi-nya tidak diketahui
(essensial atau hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan
tetapi dapat di kontrol. Kelompok lain dari populasi dengan persentase rendah
mempunyai penyebab yang khusus, dikenal sebagai hipertensi sekunder. Banyak
penyebab hipertensi sekunder; endogen maupun eksogen. Bila penyebab
hipertensi sekunder dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien ini dapat
disembuhkan secara potensial (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik ,
2006)
a. Hipertensi primer (essensial)
Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi essensial
(hipertensi primer). Literatur lain mengatakan, hipertensi essensial merupakan
95% dari seluruh kasus hipertensi. Beberapa mekanisme yang mungkin
berkontribusi untuk terjadinya hipertensi ini telah diidentifikasi, namun belum
satupun teori yang tegas menyatakan patogenesis hipertensi primer tersebut.
Hipertensi sering turun temurun dalam suatu keluarga, hal ini setidaknya
menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting pada patogenesis
hipertensi primer. Menurut data, bila ditemukan gambaran bentuk disregulasi
tekanan darah yang monogenik dan poligenik mempunyai kecenderungan
timbulnya hipertensi essensial. Banyak karakteristik genetik dari gen-gen ini yang
mempengaruhi keseimbangan natrium, tetapi juga di dokumentasikan adanya
mutasi-mutasi genetik yang merubah ekskresi kallikrein urine, pelepasan nitric
oxide, ekskresi aldosteron, steroid adrenal, dan angiotensinogen (Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik , 2006).
b. Hipertensi sekunder
Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit
komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah (lihat
Tabel 1). Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis
atau penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obat-
obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi
atau memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Obat-obat ini
dapat dilihat pada Tabel 1. Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi, maka
dengan menghentikan obat yang bersangkutan atau mengobati/mengoreksi
kondisi komorbid yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam
penanganan hipertensi sekunder (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik ,
2006)
Tabel 1. Penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi
Penyakit Obat
 penyakit ginjal kronis  Kortikosteroid, ACTH
 hiperaldosteronisme primer  Estrogen (biasanya pil KB dg
 penyakit renovaskular  kadar estrogen tinggi)
 sindroma Cushing  NSAID, cox-2 inhibitor
 pheochromocytoma  Fenilpropanolamine dan analog
 koarktasi aorta  Cyclosporin dan tacrolimus
 penyakit tiroid atau paratiroid  Eritropoetin
 Sibutramin
 Antidepresan (terutama
 venlafaxine)
NSAID: non-steroid-anti-inflammatory-drug, ACTH: adrenokortikotropik hormon
C. Patofisiologi
Tekanan darah arteri
Tekanan darah arteri adalah tekanan yang diukur pada dinding arteri
dalam millimeter merkuri. Dua tekanan darah arteri yang biasanya diukur, tekanan
darah sistolik (TDS) dan tekanan darah diastolik (TDD). TDS diperoleh selama
kontraksi jantung dan TDD diperoleh setelah kontraksi sewaktu bilik jantung
diisi. Banyak faktor yang mengontrol tekanan darah berkontribusi secara potensial
dalam terbentuknya hipertensi; faktor-faktor tersebut adalah (lihat gambar 1 )
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik , 2006):
 Meningkatnya aktifitas sistem saraf simpatik (tonus simpatis dan/atau
variasi diurnal), mungkin berhubungan dengan meningkatnya respons
terhadap stress psikososial dll
 Produksi berlebihan hormon yang menahan natrium dan vasokonstriktor
 Asupan natrium (garam) berlebihan
 Tidak cukupnya asupan kalium dan kalsium
 Meningkatnya sekresi renin sehingga mengakibatkan meningkatnya
produksi angiotensin II dan aldosteron
 Defisiensi vasodilator seperti prostasiklin, nitrik oxida (NO), dan peptide
natriuretik
 Perubahan dalam ekspresi sistem kallikrein-kinin yang mempengaruhi
tonus vaskular dan penanganan garam oleh ginjal
 Abnormalitas tahanan pembuluh darah, termasuk gangguan pada
pembuluh darah kecil di ginjal
 Diabetes mellitus
 Resistensi insulin
 Obesitas
 Meningkatnya aktivitas vascular growth factors
 Perubahan reseptor adrenergik yang mempengaruhi denyut jantung,
karakteristik inotropik dari jantung, dan tonus vaskular
 Berubahnya transpor ion dalam sel
Berbagai faktor yang mengontrol BP merupakan komponen potensial
yang berkontribusi dalam pengembangan hipertensi esensial. Ini termasuk
kegagalan fungsi baik humoral [yaitu, sistem renin-angiotensindosteron (RAAS)]
atau mekanisme vasodepresor, mekanisme neuron abnormal, cacat pada
autoregulasi perifer, dan gangguan pada natrium, kalsium, dan hormon natriuretik.
Banyak dari faktor-faktor ini secara kumulatif dipengaruhi oleh RAAS multifaset,
yang akhirnya mengatur TD arteri. Mungkin tidak ada satu faktor pun yang
bertanggung jawab atas hipertensi esensial (Dipiro, 102-103)
MAP = (SBP × 1/3) + (DBP × 2/3)
BP arteri secara hemodinamik dihasilkan oleh interaksi antara aliran
darah dan resistensi terhadap aliran darah. Secara matematis didefinisikan sebagai
dan resistansi perifer total (TPR) sesuai dengan persamaan berikut:
BP = CO × TPR
CO adalah penentu utama SBP, sedangkan TPR sangat menentukan
DBP. Pada gilirannya, CO adalah fungsi dari volume stroke, detak jantung, dan
kapasitansi vena. Tabel 2 memuat daftar penyebab fisiologis peningkatan CO dan
TPR dan menghubungkannya dengan mekanisme patogenesis yang potensial.
Dalam kondisi fisiologis normal, tekanan darah arteri berfluktuasi sepanjang hari
setelah ritme sirkadian. BP menurun ke nilai harian terendah selama tidur diikuti
dengan kenaikan tajam yang dimulai beberapa jam sebelum bangun dengan nilai
tertinggi yang terjadi pada pagi hari. BP juga meningkat secara akut selama
aktivitas fisik atau stres emosional (Dipiro, 2011: 102-103)
Tabel 2 . Daftar penyebab fisiologis peningkatan CO dan TPR dan
menghubungkannya dengan mekanisme patogenesis yang potensial (Dipiro,
2011).

D. Klasifikasi tekanan darah


Klasifikasi tekanan darah oleh JNC 7 untuk pasien dewasa (umur ≥ 18
tahun) berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada dua
atau lebih kunjungan klinis (Tabel 3). Klasifikasi tekanan darah mencakup 4
kategori, dengan nilai normal pada tekanan darah sistolik (TDS) < 120 mm Hg
dan tekanan darah diastolik (TDD) < 80 mm Hg. Prehipertensi tidak dianggap
sebagai kategori penyakit tetapi mengidentifikasi pasien-pasien yang tekanan
darahnya cendrung meningkat ke klasifikasi hipertensi dimasa yang akan datang.
Ada dua tingkat (stage) hipertensi , dan semua pasien pada kategori ini harus
diberi terapi obat.
Tabel 3. Klasifikasi tekanan darah untuk dewasa umur ≥ 18 tahun menurut JNC 7.
Tekanan darah
Klasifikasi tekanan darah Tekanan darah sistolik
diastolik
Normal <120 <80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi Stage 1 140-159 90-99
Hipertensi Stage 2 ≥160 ≥100
Krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh
tekanan darah yang sangat tinggi yang kemungkinan dapat menimbulkan atau
telah terjadinya kelainan organ target. Biasanya ditandai oleh tekanan darah
>180/120 mmHg; dikategotikan sebagai hipertensi emergensi atau hipertensi
urgensi. Pada hipertensi emergensi tekanan darah meningkat ekstrim disertai
dengan kerusakan organ target akut yang bersifat progresif, sehingga tekanan
darah harus diturunkan segera (dalam hitungan menit – jam) untuk mencegah
kerusakan organ target lebih lanjut. Contoh gangguan organ target akut:
encephalopathy, pendarahan intrakranial, gagal ventrikel kiri akut disertai edema
paru, dissectingaortic aneurysm, angina pectoris tidak stabil, dan eklampsia atau
hipertensi berat selama kehamilan (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan
Klinik, 2006).
Hipertensi urgensi adalah tingginya tekanan darah tanpa disertai
kerusakan organ target yang progresif. Tekanan darah diturunkan dengan obat
antihipertensi oral ke nilai tekanan darah pada tingkat 1 dalam waktu beberapa
jam s/d beberapa hari (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik , 2006).
E. Penatalaksanaan Terapi
Tujuan umum pengobatan hipertensi adalah (Direktorat Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik , 2006: 21) :
 Penurunan mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan
hipertensi.
 Mortalitas dan morbiditas ini berhubungan dengan kerusakan organ target
(misal: kejadian kardiovaskular atau serebrovaskular, gagal jantung, dan
penyakit ginjal)
Mengurangi resiko merupakan tujuan utama terapi hipertensi, dan pilihan
terapi obat dipengaruhi secara bermakna oleh bukti yang menunjukkan
pengurangan resiko. Target nilai tekanan darah yang di rekomendasikan dalam
JNC VII.
 Kebanyakan pasien < 140/90 mm Hg
 Pasien dengan diabetes < 130/80 mm Hg
 Pasien dengan penyakit ginjal kronis < 130/80 mm Hg
Setelah diagnosis hipertensi ditegakkan, sebagian besar pasien harus
menjalani modifikasi gaya hidup dan terapi obat secara bersamaan. Modifikasi
gaya hidup sendiri adalah terapi yang tepat untuk sebagian besar pasien dengan
prehipertensi. Namun, modifikasi gaya hidup saja tidak dianggap memadai untuk
pasien dengan hipertensi dan faktor risiko cardiovaskular tambahan atau
kerusakan organ target terkait hipertensi (Dipiro, 2011: 110).
a. Terapi Farmakologi
Pilihan terapi obat awal tergantung pada derajat peningkatan TD dan
adanya indikasi yang meyakinkan (dibahas dalam bagian Farmakoterapi).
Sebagian besar pasien dengan hipertensi tahap 1 pada awalnya harus diobati
dengan obat antihipertensi lini pertama, atau kombinasi dua agen. Terapi obat
kombinasi direkomendasikan untuk pasien dengan peningkatan TD yang lebih
berat (hipertensi tahap 2), lebih disukai menggunakan dua obat antihipertensi lini
pertama (Dipiro, 2011: 110). Pendekatan umum ini diuraikan pada Gambar 1. Ada
enam indikasi kuat di mana kelas obat antihipertensi spesifik memiliki bukti yang
menunjukkan manfaat unik pada pasien dengan hipertensi dan indikasi menarik
yang terdaftar (Gambar 2).
Gambar 1. Algoritma untuk pengobatan hipertensi (Dipiro, 2011: 110)
Rekomendasi terapi obat dinilai dengan kekuatan rekomendasi dan
kualitas bukti dalam tanda kurung. Kekuatan rekomendasi: A, B, dan C masing-
masing adalah bukti yang baik, sedang, dan buruk untuk mendukung
rekomendasi. Kualitas bukti: (1) Bukti dari lebih dari 1 uji coba terkontrol secara
acak yang benar. (2) Bukti dari setidaknya satu percobaan klinis yang dirancang
dengan baik dengan pengacakan, dari studi kohort atau kasus-terkontrol, atau hasil
dramatis dari eksperimen yang tidak terkendali atau analisis subkelompok. (3)
Bukti dari pendapat otoritas yang dihormati, berdasarkan pengalaman klinis, studi
deskriptif, atau laporan komunitas ahli (Diadaptasi dari JNC7 dan AHA).

Gambar 2. Tata laksana Hipertensi dengan komplikasi penyakit lain


Indikasi yang meyakinkan untuk kelas obat individu (diadaptasi dari
JNC7, 1 AHA, 2 dan bukti lainnya 58). Indikasi kuat untuk obat-obatan tertentu
merupakan rekomendasi berbasis bukti dari studi hasil atau pedoman klinis yang
ada. Urutan terapi obat berfungsi sebagai pedoman umum yang harus seimbang
dengan penilaian klinis dan respons pasien; Namun, farmakoterapi standar harus
dipertimbangkan sebagai rekomendasi lini pertama, lebih disukai sesuai dengan
urutan yang digambarkan. Kemudian rekomendasi tambahan farmakoterapi
dimaksudkan untuk lebih mengurangi risiko kejadian kardiovaskular ketika
farmakoterapi tambahan diperlukan untuk menurunkan tekanan darah ke nilai
tujuan. Kontrol tekanan darah harus dikelola bersamaan dengan indikasi yang
meyakinkan. Rekomendasi terapi obat dinilai dengan kekuatan rekomendasi dan
kualitas bukti dalam tanda kurung. Kekuatan rekomendasi: A, B, dan, C adalah
bukti yang baik, sedang, dan buruk untuk mendukung rekomendasi. Kualitas
bukti: (1) Bukti dari lebih dari satu uji coba terkontrol secara acak yang benar. (2)
Bukti dari setidaknya satu percobaan klinis yang dirancang dengan baik dengan
pengacakan, dari studi analitik kohort atau case-controlled atau serangkaian waktu
ganda, atau hasil dramatis dari eksperimen yang tidak terkontrol atau analisis
subkelompok. (3) Bukti dari pendapat pihak berwenang yang dihormati,
berdasarkan pengalaman klinis, studi deskriptif, atau laporan dari komunitas ahli
(Dipiro, 2011: 111).
Pertimbangan lain dalam Pemilihan obat Antihipertensi (Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik , 2006: 41) :
a. Efek yang berpotensi menguntungkan
 Diuretik tipe thiazide berguna untuk memperlambat demineralisasi pada
osteoporosis.
 β-blocker dapat berguna untuk pengobatan atrial
takhiaritmia/fibrilasi,migraine, tirotoksikosis (jangka pendek), atau tremor
esensial.
 Kalsium antagonis dapat berguna juga untuk pengobatan sindroma
Raynaud dan aritmia tertentu
 α-blocker dapat berguna untuk gangguan prostat
b. Efek yang berpotensi tidak menguntungkan :
 Diuretik tipe thiazide harus digunakan dengan hati-hati pada pasien
dengan diagnosa pirai atau yang mempunyai sejarah medis hiponatremia
yang bermakna.
 Hindari penggunaan penyekat β pada pasien asma, reactive airway
disease,atau second or third degree heart block
 ACEI dan ARB tidak boleh diberikan kepada perempuan punya rencana
hamildan kontraindikasi pada perempuan hamil. ACEI tidak boleh
diberikan padapasien dengan riwayat angioedema.
 Antagonis aldosteron dan diuretic penahan kalium dapat menyebabkan
hiperkalemia, sehingga jangan diberikan kepada pasien dengan kalium
serum >5.0 mEq/L (tanpa minum obat apa-apa).
b. Terapi Non Farmakologi
Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk
mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam
penanganan hipertensi. Semua pasien dengan prehipertensi dan hipertensi harus
melakukan perubahan gaya hidup. Perubahan yang sudah terlihat menurunkan
tekanan darah dapat terlihat pada Tabel 4 sesuai dengan rekomendasi dari JNC
VII. Disamping menurunkan tekanan darah pada pasien-pasien dengan hipertensi,
modifikasi gaya hidup juga dapat mengurangi berlanjutnya tekanan darah ke
hipertensi pada pasien-pasien dengan tekanan darah prehipertensi (Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik , 2006).
Modifikasi gaya hidup yang penting yang terlihat menurunkan tekanan
darah adalah mengurangi berat badan untuk individu yang obes atau gemuk;
mengadopsi pola makan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) yang
kaya akan kalium dan kalsium; diet rendah natrium; aktifitas fisik; dan
mengkonsumsi alkohol sedikit saja. Pada sejumlah pasien dengan pengontrolan
tekanan darah cukup baik dengan terapi satu obat antihipertensi; mengurangi
garam dan berat badan dapat membebaskan pasien dari menggunakan obat.10
Program diet yang mudah diterima adalah yang didisain untuk menurunkan berat
badan secara perlahan-lahan pada pasien yang gemuk dan obes disertai
pembatasan pemasukan natrium dan alkohol. Untuk ini diperlukan pendidikan ke
pasien, dan dorongan moril (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik ,
2006).
Fakta-fakta berikut dapat diberitahu kepada pasien supaya pasien
mengerti rasionalitas intervensi diet (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan
Klinik , 2006):
 Hipertensi 2 – 3 kali lebih sering pada orang gemuk dibanding orang
dengan berat badan ideal
 Lebih dari 60 % pasien dengan hipertensi adalah gemuk (overweight)
 Penurunan berat badan, hanya dengan 10 pound (4.5 kg) dapat
menurunkan tekanan darah secara bermakna pada orang gemuk,
 Obesitas abdomen dikaitkan dengan sindroma metabolik, yang juga
prekursor dari hipertensi dan sindroma resisten insulin yang dapat
berlanjut ke DM tipe 2, dislipidemia, dan selanjutnya ke penyakit
kardiovaskular.
 Diet kaya dengan buah dan sayuran dan rendah lemak jenuh dapat
menurunkan tekanan darah pada individu dengan hipertensi.
 Walaupun ada pasien hipertensi yang tidak sensitif terhadap garam,
kebanyakan pasien mengalami penurunaan tekanan darah sistolik dengan
pembatasan natrium.
JNC VII menyarankan pola makan DASH yaitu diet yang kaya dengan
buah, sayur, dan produk susu redah lemak dengan kadar total lemak dan lemak
jenuh berkurang. Natrium yang direkomendasikan < 2.4 g (100 mEq)/hari
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik , 2006)..
Aktifitas fisik dapat menurunkan tekanan darah. Olah raga aerobik secara
teratur paling tidak 30 menit/hari beberapa hari per minggu ideal untuk
kebanyakan pasien. Studi menunjukkan kalau olah raga aerobik, seperti jogging,
berenang, jalan kaki, dan menggunakan sepeda, dapat menurunkan tekanan darah.
Keuntungan ini dapat terjadi walaupun tanpa disertai penurunan berat badan.
Pasien harus konsultasi dengan dokter untuk mengetahui jenis olah-raga mana
yang terbaik terutama untuk pasien dengan kerusakan organ target. Merokok
merupakan faktor resiko utama independen untuk penyakit kardiovaskular. Pasien
hipertensi yang merokok harus dikonseling berhubungan dengan resiko lain yang
dapat diakibatkan oleh merokok (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik ,
2006).
Tabel 4. Modifikasi Gaya Hidup untuk Mengontrol Hipertensi

2.2 CKD (Chronic Kidney Disease)

A. Pengertian CKD

Definisi Penyakit Ginjal Kronis adalah penurunan fungsi ginjal secara


kronis yang memerlukan waktu bulanan hingga tahunan yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal (Glomerulus Filtration Rate) 30mg/g tidak terikat pada
umur, tekanan darah, dan apakah teradapat diabetes atau tidak pada pasien.
Penyakit ginjal kronis juga tidak hanya didefinisikan sebagai penyakit ginjal stase
akhir atau End Stage Renal Disease (ESRD), namun juga diasosiasikan dengan
komplikasi-komplikasi penyakit ginjal kronis seperti: anemia, hiperparatiroid,
hiperphospatemia, penyakit jantung, infeksi, dan fraktur yang khusus terdapat
pada CKD-MBD (Chronic Kidney Disease – Mineral Bone Disorder). Namun
penurunan GFR dan albuminuria tidak merupakan pengukuran yang simptomatis
simtomatis namun merupakan pengukuran langsung dari fungsi ginjal dan
kerusakan ginjal.

B. Epidemiologi

Angka prevalensi penyakit ginjal kronis di Indonesia pada tahun 2018


cukup tinggi yaitu mencapai 3.8 permil populasi Indonesia menderita penyakit
ginjal kronis yang terdiagnosis dokter. Angka ini lebih tinggi dibandingkan
prevalensi penyakit ginjal kronis pada tahun 2013 yaitu 2 permil di seluruh
Indonesia. Prevalensi tertinggi terdapat pada provinsi Kalimantan utara yaitu
sebanyak 6.4 permil sedangkan prevalensi terendah di Indonesia terdapat pada
provinsi Sulaswesi Barat pada angka 1.8 permil. Penderita penyakit ginjal kronis
tersering berada pada umur 65-74 tahun, lebih banyak terjadi pada laki-laki.
Persentase penderita penyakit ginjal kronis yang sedang menjalani hemodialisa di
Indonesia juga cukup rendah dimana hanya 19.3% penderita penyakit ginjal
kronis menjalani terapi hemodialisa.
Di dunia, sebanyak 1 dari 10 orang mempunyai penyakit ginjal kronis.
Daerah-daerah seperti Afrika, Amerika, Asia Selatan, dan Asia Tenggara
merupakan daerah yang paling sering ditemukannya penyakit ginjal kronis.
Penyakit ginjal kronis merupakan penyebab dari 956.000 kematian di seluruh
dunia pada tahun 2013. Pada tahun 2016, Penyakit ginjal kronis terdapat pada
sekitar 753 juta orang di seluruh dunia yang meliputi 336 juta pada pasien laki-
laki dan 417 juta pada pasien perempuan. Di seluruh dunia terdapat 1,2 juta
kematian per tahun akibat penyakit ginjal kronis, Penyebab tersering penyakit
ginjal kronis adalah Hipertensi pada 550 ribu pasien, diabetes melitus pada 418
ribu pasien, dan glomerulonephritis pada 238 ribu pasien.
C. Etiologi
Penyebab tersering penyakit ginjal kronis yang diketahui adalah diabetes
melitus, selanjutnya diikuti oleh tekanan darah tinggi dan glomerulonephritis.
Penyebab lainnya dapat berupa idiopatik. Namun penyebab-penyebab dari
penyakit ginjal kronis dapat diklasifikasikan berdasarkan anatomi ginjal yang
terlibat9,10: - Penyakit vaskular, yang dapat melibatkan pembuluh darah besar
seperti bilateral artery stenosis, dan pembuluh darah kecil seperti nefropati
iskemik, hemolytic-uremic syndrome, dan vasculitis 4 - Kelainan pada glomerulus
yang dapat berupa o Penyakit glomerulus primer seperti nefritis dan focal
segmental glomerulosclerosis o Penyakit glomerulus sekunder seperti nefropati
diabetic dan lupus nefritis - Penyakit bawaan seperti penyakit ginjal polikistik -
Nefropati obstruktif yang dapat berupa batu ginjal bilateral dan hyperplasia
prostate - Infeksi parasite (yang sering berupa enterobiasis) dapat menginfeksi
ginjal dan menyebabkan nefropati Penyakit ginjal kronis juga dapat idiopatik yang
mempunyai gejala yang berupa penuruhnan aliran darah ke ginjal yang
menyebabkan sel ginjal menjadi nekrosis.
D. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronis menurut KDIGO pada tahun 2012
meliputi kriteria penurunan GFR dan peningkatan rasio albuminuria dan serum
kreatinin. Klasifikasi penyakit ginjal kronis menurut KDIGO bertujuan untuk
menentukan penanganan pasien, dan urgensi penanganan dari penyakit ginjal
kronis tersebut. Kriteria pertama yang digunakan KDIGO untuk menentukan
urgensi penyakit ginjal kronis adalah GFR, GFR (Glomerulus Filtration Rate)
merupakan kemampuan glomerulus ginjal untuk memfiltrasi darah. GFR dapat
dihitung dengan menggunakan jumlah serum creatinine dengan rumus
menggunakan formula GFR MDRD sebagai berikut:
GFR = 186 x Scr -0.830 x age0.230 x 1 (male) / 0.742 (female)
Hasil GFR dapat diinterpretasikan dengan tabel berikut:

GUYS TABLE NY TOLONG DI BUAT ATAU DILIAT DI FILE YA

Selanjutnya dilakukan pengukuran albuminuria dan serum kreatinin untuk


mengetahui katergori penyakit ginjal kronis berdasarkan rasio almbuminuria dan
serum kreatinin. Kategori menurut KDIGO 2012 dapat dilihat pada tabel berikut:

GUYS TABLE NY TOLONG DI BUAT ATAU DILIAT DI FILE YA

Dengan mengkombinasikan kedua kriteria diatas dapat dimasukkan ke cross-table


untuk mengetahui resiko referral untuk pasien ginjal kronis dan urgensi
penanganan penyakit ginjal kronis. Cross table untuk referral dapat dilihat pada
gambar berikut:

GUYS TABLE NY TOLONG DI BUAT ATAU DILIAT DI FILE YA

Sedangkan untuk grading penyakit ginjal kronis itu sendiri hanya menggunakan
GFR dengan beberapa kriteria tambahan yang dapat dilihat pada tabel dibawah:

GUYS TABLE NY TOLONG DI BUAT ATAU DILIAT DI FILE YA

E. Manifestasi Klinis
Penyakit ginjal kronis secara umum pada stadium awal tidak terdapat
gejala yang khas, namun penyakit ginjal kronis stadium awal hanyak dapat
dideteksi dengan peningkatan serum kreatinin dan proteinuria. Namun jika fungsi
ginjal terus menerus mengalami penurunan akan menimbulkan gejala-gejala
sebagai berikut:
 Peningkatan tekanan darah akibat kelebihan cairan dan produksi dari
hormone vasoaktif yang diekskresikan oleh ginjal melalui sistam Renin-
AngiotensinAldosterone-System (RAAS), menyebabkan resiko penderita
penyakit ginjal kronis menderita hipertensi atau penyakit jantung kongestif
 Akumulasi urea pada darah yang menyebabkan uremia, gejala uremia
dapat berupa pericarditis, ensefalopati, gastropati. Akibat jumlah urea yang
tinggi dalam darah, urea dapat diekskresikan melalui kelenjar keringat
dalam konsentrasi tinggi dan mengkristal pada kulit yang disebut dengan
“uremic frost”
 Kalium terakumulasi dalam darah sehingga menyebabkan hiperkalemi
yang mempunyai gejala-gejala seperti malaise, hingga aritmia jantung.
Hiperkalemi dapat terjadi jika GFR dari ginjal mencapai
 Penurunan produksi eritropoietin yang dapat menyebabkan penurunan
produksi sel darah merah yang dapat menyebabkan anemia, eritropoietin
diproduksi di jaringan interstitial ginjal, dalam penyakit ginjal kronis,
jaringan ini mengalami nekrosis sehingga produksi eritropoietin berkurang
 Overload volume cairan yang disebabkan oleh retensi natrium dan cairan
pada ginjal sehingga dapat menyebabkan edema ringan hingga edema
yang mengancam nyawa misalnya pada edema paru
 Hyperphosphatemia yang disebabkan oleh berkurangnya ekskresi
phosphate oleh ginjal. Hiperphospatemia meningkatkan resiko dari
penyakit kardiovaskular, dimana phosphate merupakan stimulus dari
kalsifikasi vaskular
 Hipokalsemia yang disebabkan oleh stimulasi pembentukan FGF-23 oleh
osteosit dibarengi dengan penurunan masa ginjal. FGF-23 merupakan
inhibitor dari enzim pembentukan vitamin D yang secara kronis akan
menyebabkan hipertropi kelenjar paratiroid, kelainan tulang akibat
panyakit ginjal, dan kalsifikasi vaskular.
 Asidosis metabolic yang disebabkan oleh akumulasi dari fosfat dan urea.
Asidosis juga dapat disebabkan oleh penuruan kemampuan produksi
ammonia pada sel-sel ginjal.
 Anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh beberapa factor yaitu:
peningkatan inflamasi yang disebabkan oleh akumulasi urea, penurunan
eritropoietin dan penurunan fungsi sumsum tulang.
F. Patofisiologi
Secara umum penyebab dari penyakit ginjal kronis adalah penurunan
aliran darah ke ginjal yang umumnya disebabkan oleh Hipertensi. Mekanisme
kerusakan ginjal oleh hipertensi disebabkan oleh penebalan sel-sel tunica intima
pada glomerulus ginjal, penebalan sel tunica intima menyebabkan mengecilnya
vaskular yang berujung pada mengecilnya aliran pembuluh darah ke bagian
glomerulus, berkurangnya aliran pembuluh darah ke glomerulus menyebabkan
aktifnya system Renin- 8 Angiotensin-Aldosteron yang menyebabkan kenaikan
tekanan darah lebih lanjut sehingga terjadi kerusakan ginjal yang permanen.
Awalnya mekanisme aktifasi system Renin-Angiotensin-Aldosterone dapat
mengkompensasi kurangnya aliran darah ke ginjal, namun seiring waktu akan
menyebabkan nekrosis pada sel ginjal. Kerusakan glomerulus ginjal dapat
menyebabkan Global sclerosis dimana terjadi kerusakan yang permanen dari
glomerulus atau Focal segmental necrosis yang merupakan system kompensasi
ginjal dimana terjadi pembesaran glomerulus pada suatu area karena kerusakan
nefron pada area lain pada ginjal. Secara kronik perubahan-perubahan pada
glomerulus ginjal akan menyebabkan kematian nefron yang akan menyebabkan
penurunan GFR secara perlahan.
G. Diagnosis
Secara definisi, penyakit ginjal kronis merupakan penurunan fungsi ginjal
secara kronis yang ditandai dengan penurunan GFR (Glomerulus Filtration Rate)
<60 ml/min/1.73mm selama 3 bulan atau lebih. Namun untuk mendiagnosis CKD
dapat dilakukan secara objektif dan dapat dipastikan melalui tes laboratorium
tanpa mengidentifikasi penyebab penyakit, sehingga dapat dideteksi oleh dokter
non-nefrologi dan ahli kesehatan lainnya.
Penyakit ginjal dibagi menjadi akut atau kronik. Untuk menetukannya,
dibagi berdasarkan durasinya. Jika durasi 3 bulan ( >90hari) maka disebut kronik.
Kronisitas ini untuk membedakan CKD dengan penyakit ginjal akut lainnya
seperti akut GN termasuk AKI yang memerlukan intervensi dan memiliki etiologi
dan hasil yang berbeda. Durasi penyakit ginjal ini dapat didokumentasikan dan
disimpulkan berdasarkan konteks klinis. Untuk diagnosis yang akurat, dianjurkan
untuk pemeriksaan ulang fungsi ginjal dan kerusakan ginjal. Untuk waktu
evaluasi bergantung pada penilaian klinis, dengan evaluasi awal untuk pasien
diduga memiliki AKI dan evaluasi selanjutnya untuk pasien diduga memiliki
CKD. Pada AKI terjadi peningkatan serum creatinin secara tiba-tiba dengan
jumlah yang tinggi namun pada CKD peningkatan serum creatinin terjadi secara
perlahan dan kronis.
Kebanyakan dari penyakit ginjal tidak memiliki gejala atau temuan dan
hanya terdeteksi ketika sudah kronis. Sebagian CKD tidak dapat disembuhkan
dengan pengobatan seumur hidup hanya untuk memperlambat perkembangan
gagal ginjal. Tetapi, dalam beberapa kasus dapat sepenuhnya sembuh, baik secara
spontan maupun dengan pengobatan. Pada kasus lain, pengobatan menyebabkan
penyembuhan parsial pada kerusakan ginjal dan peningkatan fungsi ginjal.

1. Penurunan GFR
GFR merupakan salah satu komponen dari fungsi eksresi yang dapat
dijadikan acuan sebagai keseluruhan index dari fungsi ginjal. Kerusakan
struktual yang meluas dapat mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
ditandai dengan berkurangnya GFR. 12 GFR 3bulan dapat diindikasi dengan
CKD dengan nilai normal GFR yaitu sekitar 125ml/min/1,73m2 . GFR ini
dapat dideteksi secara rutin dengan tes laboratorium. GFR ini dapat dilihat
berdasarkan serum creatinin (SCr) tetapi bukan hanya SCr saja yang sensitive
untuk mendeteksi GFR. Penurunan eGFR menggunakan SCr dapat di
konfirmasi dengan penggunakan penanda filtrasi alternative yaitu Cystatin C.
2. Kerusakan Ginjal
Kerusakan ginjal bisa terjadi di dalam parenkim, pembuluh darah besar
atau tubulus collecting duct yang paling sering dipakai sebagai penanda dari
jaringan ginjal. Penanda ini dapat memberikan petunjuk tentang kemungkinan
kerusakan dalam ginjal dan temuan klinis penyebab penyakit ginjal.
a. Proteinuria Merupakan istilah yang ditandai dengan adanya peningkatan
jumlah protein dalam urin. Proteinuria menyebabkan hilangnya protein
plasma akibat dari peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein,
reabsorpsi protein pada tubular tidak adekuat dan peningkatan konsentrasi
plasma protein. Proteinuria dapat menunjukan adanya protein hilang pada
ginjal dan saluran kencing bagian bawah.
b. Albuminuria Albumin merupakan salah satu jenis protein plasma yang
ditemukan dalam urin dengan jumlah sedikit dan jumlah sangat besar pada
pasien dengan penyakit ginjal. Albuminuria mengacu pada peningkatan
albumin secara abnormal dalam urin. Beberapa alasan untuk lebih fokus
pada albuminuria dibanding proteinuria yaitu albumin adalah komponen
utama protein urin pada sebagian besar penyakit ginjal, lalu data
epidemiologi penelitian di seluruh dunia menunjukan bahwa hubungan
adanya hubugnan kuat dari jumlah albumi urin dengan resiko penyakit
ginjal dan CVD, dan klasifikasi penyakit ginjal berdasarkan dari tingkat
albuminuria. Albuminuria merupakan temuan umum namun tidak
semuanya mengarah ke CKD. Adanya albuminuria ini menandakan
adanya penyakit glomerular dimana umumnya muncul sebelum terjadi
pengurangan GFR. Albuminuria dapat dikaitkan dengan hipertensi,
obesitas dan penyakit pembuluh darah dimana penyakit ginjal yang
mendasari tidak diketahui. Tingka kehilangan albumin dan protein
umumnya disebut AER ( Albumin Excretion Rate) dan PER (Protein
Excretion Rate). Batas AER ≥30mg/24 jam yang bertahan selama >3
bulan untuk menunjukkan CKD. Batas ini kira-kira setara dengan ACR
dalam sample urin acak ≥30mg/g atau ≥3mg/mmol.
c. Sedimen Urin Abnormal Temuan seperti sel, Kristal dan mikroorganisme
dapat muncul dalam endapan urin dalam berbagai gangguan ginjal dan
saluran kemih, tetapi temuan sel tubular ginjal, sel darah merah (RBC), sel
darah putih (WBC), granular kasar, wide cast, dan banyak sel dismorfik
sel darah merah adalah patognomic kerusakan ginjal.
d. Elektrolit dan kelainan lain akibat gangguan tubular Abnormalitas
elektrolit dapat terjadi akibat kelainan reabsopsi dan sekresi tubulus ginjal.
Seringkali penyakit yang bersifat genetik tanpa kelainan patologis yang
mendasari. Penyakit lain didapat seperti karena obat atau racun dan
biasanya dengan lesi patologis tubular yang menonjol.
e. Kelainan Imaging Tes imaging dapat memungkinkan diagnosis penyakit
pada struktur ginjal, pembuluh darah atau tubulus collecting. Pasien
dengan kelainan struktural yang signifikan dianggap memiliki CKD jika
kelainan tersebut dapat bertahan > 3 bulan.
f. Riwayat transplatasi ginjal Penerima transplantasi ginjal didefinisikan
CKD terlepas dari tingkat GFR atau adanya penanda kerusakan ginjal.
Penerima transplantasi ginjal memiliki peningkatan resiko kematian dan
hasil ginjal dibanding dengan populasi umum dan mereka memerlukan
pengobatan medis khusus.
H. Penatalaksanaan
Hipertensi Pasien dengan hipertensi diperlukan terapi antihipertensi yang
mencakup ACE inhibitor atau angiotensin receptor blocker. untuk tekanan darah
ditargetkan systolik kurang dari 130 mm Hg dan diastolic kurang dari 80mm Hg.

Gaya hidup seperti:


a. Berhenti merokok Untuk mengurangi resiko perkembangan penyakit ginjal
kronis dan penyakit ginjal tahap akhir dan mengurangi resiko penyakit
kardiovaskular.
b. Penurunan berat badan Orang dengan obesitas (BMI >30,0kg/m2 ) dan
kelebihan berat badan (BMI >25,0 – 29,0 kg/m2 ) harus didorong untuk
mengurangi BMI karena untuk menurunkan resiko penyakit ginjal kronis dan
penyakit ginjal stadium akhir. Pemeliharaan berat badan yang sehat (18,5-24,9
kg/m2 ; lingkat pinggang < 102cm untuk pria, <88 cm untuk wanita)
direkomendasikan untuk mencegah hipertensi dan menurunkan tekanan darah
pada hipertensi. Semua orang yang kelebihan berat badan dengan hipertensi
disarankan harus menurutnkan berat badan.
c. Kontrol diet protein Diet protein terkontrol (0.80-1.0 g/kg/d) direkomendasikan
untuk orang dewasa dengan penyakit ginjal kronis. Pembatasan protein dalam
makanan (0,70g/kg/hari harus mencakup pemantauan klinis dan biokimiawi
dari defisiensi nutrisi.
d. Asupan alcohol Konsumsi alcohol pada hipertensi harus sesuai dengan
Canadian Guideline untuk resiko minum alcohol rendah. Orang dewasa sehat
harus membatasi konsumsi alcohol 18 hingga 2 minuman atau kurang perhari
dan konsumsi tidak boleh melebihin 14 minuman per minggu untuk pria dan 9
minuman per minggu untuk wanita.
e. Olahraga Untuk mengurangi resiko hipertensi, orang tanpa hipertensi dan
dengan hipertensi (menurunkan tekanan darah) harus didorong untuk
melakukan latihan dinamis intensitas sedang selama 30-60 menit seperti
berjalan, jogging, bersepeda atau berenang, dilakukan 4-7 hari per minggu.
f. Diet asupan garam Untuk mencegah hipertensi, asupan natrium makanan
dianjurkan.
BAB III

PEMBAHASAN
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

4.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

Darma, Surya. 2016. Buku Ajar Praktis Patofisiologi Farmakologi Farmakoterapi.


Gre Publishing: Yogyakarta
Dipiro, Joseph T., Robert, L.T., Gary, R.M., Barbara, G.W., L, Michael P. 2011.
Pharmachotherapy a Pathophysiologic Approach 8th Edition. The
McGraw-Hill: United States.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. 2006. Pharmceutical Care Untuk
Penyakit Hipertensi: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai