Anda di halaman 1dari 4

MENIMBANG MODEL DEMOKRASI WESTMINSTER ATAU CONSENSUS MODEL Meskipun hingga saat ini demokrasi tetap dianggap yang

terbaik di antara berbagai sistem politik yang ada, tetapi berbagai kritik terhadap demokrasi Westminster dan Consensus Model terus bermunculan. Hal tersebut menunjukan bahwa dalam kedua model tersebut terdapat kelemahan-kelemahan yang tidak memenuhi nilai-nilai pokok dari konsep demokrasi tersebut. Dalam model Westminester (Majoritarian) misalnya, kritik yang muncul terhadap model ini adalah karena begitu besarnya kekuasaan yang ada ditangangan Perdana Menteri dan secara umum tidak begitu mengenal pembagian kekuasaan (separation of power). Sedangkan pada model Consensus kritik yang muncul adalah lamanya jangka waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suatu kesepakatan. Karena itu, tidak ada jaminan dengan mengaplikasikan demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan akan berdampak pada efisiensi pemerintahan, menurut Urofsky demokrasi memang tidak dirancang untuk itu, tetapi demokrasi dirancang demi pertanggung jawaban pemerintah kepada konstituennya.[1] Dahl menunjukan bahwa sebuah demokrasi yang bertanggung jawab hanya bisa terjadi jika, sekurang-kurangnya ada delapan jaminan institusional, yaitu; [1] Kebebasan untuk membentuk dan mengikuti organisasi; [2] Kebebasan untuk berekspresi; [3] Hak untuk memilih; [4] Memenuhi syarat-nya pegawai pemerintah; [5] Hak para pemimpin untuk bersaing demi mendapatkan dukungan dan suara; [6] Sumber-sumber informasi alternative; [7] Pemilu yang adil dan bebas; serta [8] Institusi untuk pembuatan kebijakan pemerintah bergantung pada suara dan ekspresi pilihan lainnya.[2] Dalam menerapkan nilai-nilai demokrasi ini, kedua model di atas menurut Lijphart memiliki perbedaan yakni; sangat tergantung pada struktur negara dan karakteristiknya, tingkat pluralitas, jumlah penduduk dan perbedaan kultur.[3] Karena itu, model Westminster (Majoritarian) banyak diterapkan pada negara yang mempunyai masyarakat homogen, sedangkan model Consensus lebih tepat untuk diterapkan pada masyarakat pluralis. Pada model demokrasi Westminster di mana pemerintahan mayoritas sangat kuat dapat menyebabkan terpinggirkannya peran minoritas. Bahaya yang dapat ditimbulkan adalah banyaknya minoritas dalam masyarakat yang majemuk akan termarginalisasi karena mereka tidak dapat memberikan pengaruh terhadap mayoritas partai politik. Hal ini dapat menimbulkan terjadinya kekerasan politik yang menimbulkan terjadinya etnic cleansing. Laporan UNDP[4] pada tahun 1947 di Asia Selatan misalnya; menunjukan bahwa di wilayah tersebut terbagi dua kebangsaan, sebagian Muslim India merasa model Westminster dapat

diartikan sebagai penguasaan Hindu India terhadap mereka. Sampai saat ini konflik komunal di antara warga Muslim dan Hindu di India masih tetap terjadi, terlebih lagi jika dikaitkan dengan isu sensitif seperti perebutan wilayah Kashmir, karena itu terjadinya tindakan kekerasan dan pembantaian terhadap mereka sangat mungkin. Kejadian serupa juga dialami oleh kelompok minoritas Katolik di Irlandia Utara yang mayoritas warganya merupakan penganut Protestan, penguasaan pemerintahan oleh mayoritas dengan meminggirkan minoritas telah menyebabkan terjadinya konflik di negara tersebut. Sementara dalam model Consensus akses kelompok minoritas ke dalam pemerintahan sangat terbuka. Namun demikian, model ini juga tidak luput dari masalah. Dalam pelaksanaannya, sering terjadi institusi baru yang menerapkan struktur demokrasi Consensus karena mereka tidak merasa savety dengan keputusan itu maka golongannya tidak mengambil konsensus. Alasan demokrasi model ini tidak praktis karena membawa pada satu ketidakefisienan yang besar. Pada kasus Uni Eropa misalnya, banyak komplain terjadi karena beberapa keputusan penting tidak dapat diambil hanya karena ada salah -satu anggota tidak menyetujui (boikot) terhadap keputusan yang diambil. Sementara di Lebanon pada tahun 1943-1970 demokrasi model Consensus ini mengalami kegagalan. Hal ini disebabkan karena sistem tersebut kehilangan fleksibilitasnya untuk menyesuaikan diri dengan perubahanperubahan yang terjadi dalam masyarakatnya. Persyaratan consociational democracy untuk mewakili kelompok-kelompok politik secara proporsional, sesuai dengan jumlah anggotanya masing-masing, tidak terpenuhi. Sekte Maronit yang jumlahnya minoritas, malah mempunyai kekuasaan yang dominan, baik di bidang politik maupun ekonomi. Sedangkan sekte Syiah, Sunni dan Druze yang mayoritas, malah tidak mempunyai kekuasaan politik maupun ekonomi yang sebanding. Demikian juga dengan yang terjadi di Malaysia, model Consensus yang diterapkan ternyata hanya membawa kebaikan bagi para elitnya saja. Sementara sebagian besar masyarakatnya terpinggirkan, karena akses partisipasi dan kebebasannya terbelenggu. Sebagai gambaran teraktual, beberapa hari belakangan ini kita disuguhkan berita tentang bagaimana terpinggirkannya warga Malaysia dari etnis India dalam kehidupan politik maupun perekonomian di sana. Sedangkan kelompok oposisi Malaysia begitu terkekang, melalui UU Subversif (ISA) pemerintah Malaysia mengekang kebebasan berekspresi dan berpartisipasi. Padahal ciri khas dari negara yang menjunjung demokrasi adalah penghormatannya terhadap persamaan hak.

Konsistensi

Inti dari demokrasi pada hakekatnya adalah kekuasaan oleh rakyat, bagi rakyat dan untuk rakyat. Maka terjadinya distorsi dalam penerapan demokrasi sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, merupakan bentuk pengingkaran terhadap demokrasi itu sendiri. Karena itu, apapun sistem yang dipilih model Westminster atau model Consensus, peran negara adalah untuk menghindarkan terjadinya potensi konflik dalam masyarakat karena perbedaan kepentingan. Jadi sangat penting di sini, dibangun kepercayaan yang kokoh terhadap nilainilai domokrasi itu sendiri. Dahl mengungkapkan bahwa prinsip fundamental demokrasi adalah ketika sampai pada satu keputusan kolektif maka setiap orang dalam komunitas politik melekatkan kepentingannya melalui konsiderasi yang seimbang.[5] Hal ini bukan berarti bahwa semua orang akan memiliki tingkat kepuasaan yang sama terhadap keputusan tesebut, tetapi yang lebih penting dari itu semua adalah konsistensi dan ketaatan terhadap nilai-nilai demokrasi yang diterapkan. Konsistensi dan ketaatan ini yang sebetulnya merupakan kunci dari keberhasilan penerapan suatu sistem pemerintahan. Sebab tanpa hal tersebut, sebaik apapun suatu sistem pemerintahan jika tidak dilaksanakan secara konsisten dan taat terhadap nilai-nilai yang dikandungnya, maka mustahil dapat berjalan dengan baik. Adanya kelemahan dalam suatu sistem merupakan hal yang manusiawi terjadi, sebab tidak ada satupun sistem yang benar benar sempurna di dunia ini. Lipson mengatakan kekuatan pemerintah terletak pada konsistensinya dalam menjalankan program yang dibuatnya agar menjadi lebih baik dari keadaan sebelumnya.[6] Permasalahan yang kerapkali terjadi di negara-negara yang menggunakan sistem pemerintahan demokrasi pada umumnya adalah ketidakkonsitenan dan ketidaktaatannya terhadap kaidah-kaidah demokrasi yang diterapkannya itu sendiri. Sehingga dalam prakteknya banyak terjadi penyimpangan. Jadi dalam hal ini, sangat tidak adil jika hanya menyalahkan sistemnya yang lemah, tetapi sangat mungkin kesalahan itu terjadi karena adanya penyimpangan dalam penerapan sistem itu sendiri. Demokrasi memang bukan merupakan sistem yang terbaik, tetapi sebagaimana diungkapkan Lipson dari semua sistem yang pernah ada demokrasi merupakan yang terbaik dan paling bijaksana.[7] Kritik terhadap demokrasi akan selalu muncul, namun demikian dibalik kelemahan-kelemahan yang dikandungnya, demokrasi juga memiliki kekuatan dan kebaikan, yaitu bahwa demokrasi memperkuat harga diri manusia, menyediakan kesempatan pendidikan kewarganegaraan secara terus-menerus (mempertinggi budaya politik). Dengan kesempatan pendidikan kewarganegaraan maka masyarakat akan menjadi semakin berbudaya. Kedua model demokrasi Westminster dan Consensus memang masih mengandung banyak kelemahan dan dapat menjadi tidak demokratis menurut elemen-

elemannya, sehingga model terbaik yang dapat diterapkan adalah dengan mengambil sisi positifnya dan membuang nilai negatifnya, sehingga dapat terjadi konsiderasi di antara kedua sistem tersebut.
[1] Melvin Urofsky, Prinsip-Prinsip Dasar Demokrasi, Dalam Demokrasi, Jakarta: 2002, hal. 35. [2] Arend Lijphart, Democracies: Pattern of Majoritarian and Consensus Government In Twenty-One Centuries, New Haven and London: Yale University Press, 1984, hal. 2. [3] Ibid., hal. 42-43. [4] Human Development Report, UNDP, 2000. [5] Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengritiknya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992, [6] Lipson, The Democratic Civilization, New York: Feiffer and Simons, 1964, hal. 240. [7] Ibid., hal. 251.

Anda mungkin juga menyukai