Anda di halaman 1dari 2

Stereotipikal dalam Novel Bunga Roos dari Cikembang Oleh Fitrian Eka Paramita (208013000040) Bunga Roos dari

Cikembang merupakan roman karya seorang sastrawan Melayu Tionghoa bernama Kwee Tek Hoay (KTH). Sekilas, roman ini terlihat sperti roman percintaan biasa antara Nyai dan tuannya yang dibumbui dengan perkawinan paksa yang mewarnai kisah cinta ketiga tokoh dalam novel ini (Ay Tjeng, Marsiti, dan Gwat Nio). Namun, jika diteliti lebih lanjut, maka ada gagasan lain yang dituangkan oleh KTH yaitu Ia ingin mengangkat derajat Nyai yang selalu lekat dengan stereotip-stereotip yang menjadikannya sosok yang sangat hina dalam masyarakat. Prasangka yang subyektif dan belum tentu kebenarannya merupakan suatu gejala social yang selalu mewarnai kehidupan bermasyarakat. Ada dua hal dalam Roman Bunga Roos dari Cikembang ini yang mengandung stereotip terhadap sosok perempuan dari golongan dan status tertentu yang coba diangkat dan diketengahkan oleh KTH. Maka tulisan ini akan menggambarkan bagaimana KTH mengangkat dan menanggapi stereotipstereotip yang berkembang dalam masyarakat pada masa itu.. Pertama, KTH mencoba mengangkat stereotip yang melekat pada perempuan Sunda dengan menghadirkan tokoh Marsiti. Marsiti adalah wanita berdarah Sunda yang dijadikan Nyai oleh Ay Tjeng seorang administrator perkebunan karet di daerah Gunung Mulia. Keduanya pun saling mencintai sehingga Ay Tjeng ingin menjadikan Marsiti sebagai istri yang sah. Namun, kasih sayang Ay Tjeng kepada Marsiti ditentang oleh ayahnya yang menganggap bahwa perempuan Sunda adalah perempuan yang pandai mengguna-guna, materialistis dan terkenal sebagai perempuan yang paling tidak setia.
. Maka janganlah kau kasih hatimu kerna dijebak oleh prampuan begitu, apalagi perempuan Sunda memang dari dulu sudah terkenal pande kongtauw dan mengeret, dan tersohor sabagi prampuan yang paling tidak setia di seantero Indonesia.

Namun tokoh Marsiti yang dihadirkah oleh KTH bertolak belakang dengan subjektifitas tersebut. Marsiti digambarkan sebagai wanita yang memiliki cinta dan pengabdian yang tulus kepada tuannya, ia begitu setia kepada tuannya dan bukan seorang perempuan yang gila harta. Hal ini terlihat dari keputusan Marsiti untuk meninggalkan

Ay Tjeng karena ia tidak mau menjadi penghalang pernikahan Ay Tjeng dengan Gwat Nio, wanita pilihan ayahnya. Marsiti pergi tanpa sepengetahuan Ay Tjeng dan tidak membawa satu pun harta Ay Tjeng setelah sebelumnya Ia menolak diberikan sejumlah uang dari Oh Pin Lo, ayah Ay Tjeng, sebagai kompensasi atas kepergian Marsiti. Setelah berpisah dengan Ay Tjeng pun Marsiti tetap menjaga kesetiaan dan cintanya dengan tidak menikah dengan orang lain sampai maut menjemputnya. Dengan cara inilah KTH mematahkan stereotip yang melekat pada citra perempuan Sunda. Melalui Marsiti, Ia ingin menyampaikan kepada pembacanya bahwa tidak semua perempuan Sunda memiliki sikap materialistis, suka mengguna-guna dan tidak setia. Kedua, penggambaran tokoh Marsiti selain menjadi pembelaan terhadap stereotip perempuan Sunda, juga menjadi pembelaan terhadap seorang Nyai yang selalu dianggap sebagai perempuan hina. Untuk mengangkat derajat Marsiti dan sebagai buah dari kemuliaan sikapnya, KTH manghadirkan tokoh Rosminah sebagai buah cinta Marsiti dengan Ay Tjeng. Sebelum meninggal dunia Marsiti berpesan pada Tirta, orang yang menjaga Rosminah setelah kepergiannya dari sisi Ay Tjeng, untuk menjaga Rosminah dan tidak memasukkannya ke dalam Islam serta tidak memberitahukan kepada sembarang orang bahwa ia adalah ibu kandung Rosminah. Rosminah pun dipertemukan dengan Bian Koen yang sedang depresi karena kehilangan tunangannya, Lily, yang juga merupakan anak dari Ay Tjeng dengan Gwat Nio. Bian Koen pun menginginkankan Rosminah menjadi pengganti Lily. Namun, Rosminah tidak dijadikan seorang Nyai seperti Ibu dan Neneknya, Ia menikah secara resmi oleh Bian Koen dan kembali dipertemukan dengan Ay Tjeng, ayah kandungnya. Dengan memberikan peruntungan kepada nasib Rosminah, KTH berusaha menaikkan derajat keturunan Marsiti dengan menjadikan anaknya sebagai istri yang sah dari laki-laki terhormat. Jadi, Kwee Tek Hoay mematahkan stereotip yang melekat pada perempuan Sunda melalui tokoh Marsiti dan mengangkat derajat keturunan seorang Nyai melalui tokoh Rosminah. Lewat Marsiti, Ia menunjukkan bahwa tidak semua perempuan Sunda dan seorang Nyai memiliki sikap matrealistis, suka mengguna-guna, dan tidak setia. Sedangkan, lewat perubahan nasib Rosminah, Kwee Tek Hoay telah menaikkan derajat keturunan seorang Nyai.

Anda mungkin juga menyukai